1
PENGELOLAAN TANAH PECATU DESA DI KABUPATEN LOMBOK
TENGAH SETELAH PERUBAHAN STATUS DESA MENJADI
KELURAHAN
(Pendekatan Teori Sociological Jurisprudence dan Mazhab
Sejarah)
a. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Kebijakan Pemerintah Daerah yang paling sering
menyisakan permasalahan adalah kebijakan untuk merubah
status desa menjadi kelurahan karena terhadap hal ini akan
berkaitan dengan keberadaan aset desa antara lain berupa
tanah kas desa (tanah pecatu desa)1 yang cenderung
menimbulkan konflik pengelolaan antara Pemerintah Daerah
dengan kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
setempat, mengingat kenyataannya pada waktu ini di banyak
daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan
masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan
penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat.
Dengan demikian, kebijakan tersebut haruslah
1Tanah pecatu desa merupakan tanah jabatan bagi pamong desa (kepala desa dan pembantu-pembantunya) dimaksudkan sebagai sumber penghasilan dalam rangka menjalankan tugas-tugas pemerintahan di desanya masing-masing. Dalam tesis Masri Maulana, kedudukan dan fungsi tanah pecatu desa di Kabupaten Lombok Tengah persepektif hukum pertanahan nasional, Universitas Mataram Tahun 2011, hal. 7
2
memperhatikan dan menghargai kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat2 yang hidup.
Berangkat dari uraian di atas, paling tidak ada tiga
alasan dalam penelitian ini perlu dilaksanakan. Pertama,
kebijakan Pemerintah Daerah dalam merubah status desa
menjadi kelurahan masih dirasakan belum memberikan
kepastian dalam rangka untuk melindungi dan menghormati
nilai-nilai budaya dan adat istiadat serta hak-hak masyarakat
hukum adat khususnya bagi eksistensi tanah pecatu desa
yang diyakininya sebagai hak komunal masyarakat adat atas
tanah.
Hak-hak masyarakat adat dalam konteks ini adalah:
“hak kolektif sebagai masyarakat hukum adat sebagai komunitas antropologis, masyarakat hukum adat yang mempunyai hak kolektif, yang diperlukannya maupun untuk membangun dan mengembangkan potensi kemanusiaan warganya untuk mencapai taraf kesejahteraan yang lebih tinggi, terutama hak atas tanah ulayat”.3
2 Masyarakat hukum adat atau istilah lain yang sejenis seperti masyarakat adat atau masyarakat tradisional atau The Indigenous people adalah suatu komunitas antropologis yang bersifat homogen dan secara berkelanjutan mendiami suatu wilayah tertentu, mempunyai hubungan historis dan mistis dengan sejarah masa lampau mereka, merasa dirinya dan dipandang oleh pihak luar sebagai berasal satu nenek moyang yang sama dan mempunyai identitas dan budaya yang khas yang ingin mereka pelihara dan lestarikan untuk kurun sejarah selanjutnya, serta tidak mempunyai posisi dominan dalam struktur dan sistem politik yang ada. dikutip dari Himpunan Dokumen Peringatan Hari Internasional Masyarakat Hukum Adat Sedunia, Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, tanggal 9 Agustus 2006, Jakarta, Komnas HAM press, September 2006, hal. 9. (Masyarakat hukum adat dan masyarakat adat atau the indigenous people dalam tulisan ini akan digunakan secara bergantian untuk menunjuk pada subjek yang sama)
3 Ibid. hal. 10
3
Perubahan desa menjadi kelurahan selalu dipersepsikan
sebagai bagian dari bentuk pembangunan dan peningkatan
kualitas hidup masyarakat, walaupun secara tegas dalam
ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 pasal
5 ayat (1) secara eksplisit berbunyi “desa dapat diubah atau
disesuaikan statusnya menjadi kelurahan berdasarkan
prakarsa pemerintah desa bersama BPD dengan
memperhatikan saran dan pendapat masyarakat setempat”.4
Namun dalam menjalankan kewenangan tersebut pemerintah
daerah wajib mengakui dan menghormati asal usul, adat
isitiadat dan social budaya masyarakat setempat karena
terhadap perubahan tersebut akan berimplikasi kepada
kekayaan desa akan beralih menjadi kekayaan daerah yang
dikelola oleh kelurahan sebagaimana di tentukan dalam pasal
6 ayat (1). Kekayaan desa sebagaimana disebutkan tadi
termasuk didalamnya adalah tanah pecatu desa
Kewenangan ini juga sering dimaknai sebagai usaha
yang seluas-luasnya kepada daerah untuk mengembangkan
daerahnya dengan kebijakan sendiri sesuai kebutuhan dan
aspirasi masyarakat setempat dengan pelibatan secara aktif
masyarakat adat dan penduduk setempat sebagai pihak yang
paling berkepentingan dalam pembuatan kebijakan
4 PP 72 Tahun 2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587)
4
pemerintah daerah. Dalam konteks kebijakan perubahan desa
menjadi kelurahan tentunya pemerintah daerah harus
memperhatikan dasar filosofis, yuridis dan sosiologis
manakala kebijakan tersebut terbentuk dalam sebuah produk
hukum5.
Dasar filosofis dimaksudkan menjadi dasar cita-cita
hukum ideal sewaktu menuangkan suatu masalah ke dalam
peraturan perundang-undangan. Dasar filosofis sangat
penting untuk menghindari pertentangan peraturan
perundang-undangan yang disusun dengan nilai-nilai yang
hakiki dan luhur di tengah-tengah masyarakat, misalnya etika,
adat, agama dan lain-lain. Kemudian dasar yuridis merupakan
ketentuan hukum yang menjadi dasar bagi pembuatan
peraturan perundang-undangan. Dasar yuridis ini sangat
penting untuk memberikan pijakan pengaturan suatu
peraturan perundang-undangan agar tidak terjadi konflik
hukum atau pertentangan hukum dengan peraturan
perundang-undangan di atasnya. Sedangkan dasar sosiologis
mengkaji realitas masyarakat yang meliputi kebutuhan hukum
masyarakat, aspek sosial ekonomi dan nilai-nilai yang hidup
dan berkembang (rasa keadilan masyarakat). Hal ini
5 Produk hukum dimaksud dalam tulisan ini adalah peraturan perundangan-undangan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan Keputusan Bupati.
5
dimaksudkan untuk menghindari tercerabutnya peraturan
perundang-undangan yang dibuat dari akar-akar sosialnya di
masyarakat. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang
setelah diundangkan kemudian ditolak oleh masyarakat,
merupakan cerminan peraturan perundang-undangan yang
tidak memiliki akar sosial yang kuat.
Kedua, implikasi perubahan desa menjadi kelurahan
terhadap budaya hukum masyarakat dan adat istiadat
cenderng diabaikan bahkan dipandang hanya sebagai dampak
sederhana dari sebuah kebijakan, padahal apabila
mencermati masyarakat desa masih diidentifikasi sebagai
masyarakat yang masih mempertahankan tatanan lama,
tradisi dan adat istiadatnya manakala berubah menjadi
kelurahan cenderung hal-hal yang dipertahankan tadi akan
berangsur-angsur hilang.
Hal ini memperlihatkan bahwa bagaimana hukum
Negara mengalami konflik dengan hukum lokal dan ancaman
bagi keberlangsungan nilai-nilai budaya masyarakat serta
kecenderunannya adalah seringkali kehadiran hukum Negara
menggerus tatanan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Disini hukum Negara masih melihat masyarakat sebagai objek
pengaturan hukum oleh karena hukum yang dibentuk
didasarkan pada kepentingan Negara semata yang
6
mengabaikan kepentingan masyarakat. Penghalusan dari
sociological jurisprudence yang dipopulerkan oleh Mochtar
Kusumatmaja bagaimana hukum itu merekayasa
(engineering) masyarakat ternyata memaksa prilaku
masyarakat untuk diubah melalui rekayasa social yakni
melalui hukum Negara masih belum mampu memberikan
penyelesaian yang memadai. Namun apakah rekayasa
(engineering) tersebut akan memliki nilai baik bagi
masyarakat.
Ketiga, pengelolaan tanah pecatu desa setelah berubah
menjadi kelurahan belum memiliki dasar pengaturan yang
jelas dalam peraturan perundang-undangan serta belum
adanya kesamaan persepsi tentang tanah pecatu desa baik
sumber-sumber tanah pecatu maupun dalam hal
pengelolaannya. Disini perlu dilakukan penelitian dan
penentuan masih adanya tanah pecatu dengan mengikut
sertakan pakar-pakar hukum adat, masyarakat hukum adat
yang ada.
Apabila dilihat dari sumbernya paling tidak tanah
pecatu itu bersumber dari , pertama Tanah Pecatu Pusaka
berasal dari tanah pusaka milik pekasih pamong desa sendiri,
dijadikan tanah pecatu dengan maksud untuk menghindar
dari pajak. Kedua Tanah Pecatu Medar dapat berasal dari
7
tanah Negara yang dijadikan tanah pecatu, pembelian tanah
rakyat oleh pemerintah, dan dapat pula berasal dari
pembelian anggota masyarakat dalam lingkungan desa
tersebut. 6
Konsepsi terhadap tanah pecatu yang demikian belum
jelas akan berpengaruh pada cara penanganan
permasalahanya oleh karenanya pertanyaan mendasar yang
sering dilontarkan adalah apakah tanah pecatu dapat
dipersamakan dengan tanah ulayat7, terhadap pertanyaan ini
paling tidak akan dapat mengurai dasar pengaturan tanah
pecatu itu sendiri.
Bilamana mencermati konsepsi perlindungan hak
ulayat yang sudah diatur dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945
yang menyatakan bahwa:
6 Direktorat Agraria Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dokumen Tanah Pecatu: Data Inventarisasi Tanah Pecatu di seluruh Wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat, 1979. Hal. 1.
7 Tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Rumusan ini dikutip dari ketentuan Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, pasal 1 ayat (2). Sedangkan hak ulayat merupakan kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi keberlangsungan hidup dan kehidupannya yang timbul dari hubungan lahiriah dan bathiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan. Hak ulayat disini merupakan sebutan yang dikenal dalam kepustakaan hukum adat dan dikalangan masyarakat hukum adat diberbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan hak penguasaan yang tertinggi dalam hukum adat. Dikutip dari buku Hukum Agraria Indonesia, Budi Harsono, Djambatan, Jakarta Edisi 2004 hal. 62
8
“negara mengakui dan menghormati kesatuan–kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang”8
Secara konstitusional UUD 1945 memberikan jaminan
dan memperkuat eksistensi hukum adat bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat adat. Selanjutnya
dalam pasal 3 UUPA secara tegas memberikan pengakuan
bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa
dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan dan
kesatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-
Undang dan Peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi9.
Penelitian ini lebih memfokuskan diri pada pengelolaan
tanah pecatu desa di Kabupaten Lombok Tengah setelah desa
berubah menjadi kelurahan. Penulis akan melakukan analisa
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan,
konsepsional, soisologis dan sejarah tanah pecatu desa di
Kabupaten Lombok Tengah.
8 UUD 1945, Pasal 18b ayat (2)9 Achmad Sodiki & Yanis Maladi, Politik Hukum Agraria, cetakan I, Mahkota Kata, 2009, Jogjakarta, Hal 188
9
Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Masri Maulana tentang tanah pecatu desa dimana
permasalahan penelitiannya adalah pertama, Bagaimanakah
kedudukan dan fungsi tanah pecatu desa di Kabupaten
Lombok Tengah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Kedua,
Bagaimanakah dasar pengaturannya secara yuridis tentang
tanah pecatu desa dalam perspektif hukum pertanahan
nasional. Ketiga, Apakah yang menjadi faktor penghambat
dan pendukung dalam penataan/pengelolaan tanah pecatu di
Kabupaten Lombok Tengah.
Persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Masri Maulana pada objek penelitian yakni Tanah Pecatu Desa
di Kabupeten Lombok Tengah. Namun perbedaan mendasar
adalah penelitian sebelumnya menekankan pada Kedudukan
dan Fungsi Tanah Pecatu Desa di Kabupaten Lombok Tengah
Perspektif Hukum Pertanahan Nasional. Sedangkan penelitian
ini lebih fokus pada pengelolaan tanah pecatu desa di
Kabupaten Lombok Tengah setelah desa berubah menjadi
kelurahan. Perbedaan yang lain, penelitian ini tidak hanya
menjelaskan fakta apa adanya melainkan juga merefleksikan
teori sociological jurisprudence dan mazhab sejarah,
kaitannya dengan perubahan status desa menjadi kelurahan.
b. RUMUSAN MASALAH
10
Berdasarkan uraian pemikiran di atas untuk lebih fokus
dalam penulisan ini akan dirumuskan permasalahan sebagai
berikut:
1. Apakah dasar pertimbangan perubahan status desa
menjadi kelurahan?
2. Bagaimanakah implikasinya terhadap budaya hukum
masyarakat?
3. Bagaimanakah pengelolaan hak-hak asli desa tanah pecatu
di Kabupaten Lombok Tengah setelah perubahan status
desa menjadi kelurahan?
c. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
a. Memperoleh data konkrit tentang dasar pertimbangan
Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Tengah dalam
kebijakan perubahan status desa menjadi kelurahan.
b. Mengungkapkan bagaimana implikasi perubahan status
desa menjadi kelurahan terhadap budaya hukum
masyarakat.
c. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan hak-hak asli
desa tanah pecatu di Kabupaten Lombok Tengah
setelah perubahan status desa menjadi kelurahan.
2. Manfaat Penelitian
11
a. Sebagai masukan baik secara teoritis maupun secara
praktis bagi kalangan perguruan tinggi, khususnya
Fakultas Hukum dalam rangka pengembangan ilmu
hukum, penyuluhan hukum dan pelayanan hukum bagi
masyarakat.
b. Sebagai masukan bagi Pemerintah Daerah dalam
rangka pembinaan dan pembentukan peraturan
perundang-undangan dalam bidang Pertanahaan
khususnya terkait dengan Tanah Pecatu.
d. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Adanya pembatasan ruang lingkup dari penelitian ini untuk
menjaga agar penelitian ini tidak menyimpang dari pokok
permasalahan yang diangkat dengan demikian bahwa
penilitian ini akan memfokuskan diri pada permasalahan
bagaimana pengelolaan tanah pecatu desa setelah
perubahan status desa menjadi kelurahan, dimana peneliti
akan melakukan studi lapangan di Kabupaten Lombok
Tengah Nusa Tenggara Barat.
e. KERANGKA TEORI
Perubahan status desa menjadi kelurahan yang
berimpilikasi pada eksistensi pengelolaan tanah pecatu
mempunyai akar teori yang saling berselisih (the battle of
12
theory) yakni Teori Sociological Jurisprudence dan Mazhab
Sejarah. Teori Sociological Jurisprudence menekankan pada
modernisasi, sedangkan Mazhab Sejarah cenderung
mempertahankan tatanan lama.
1. Teori sociological Jurisprudence
Di Indonesia, ajaran Sociological Jurisprudence selalu
dihubungkan dengan "law as a tool of social engineering".
Istilah "law as a tool of social engineering" selalu
diidentikkan dengan mantan Dekan Harvard Law School,
Roscoe Pound, dengan merujuk pada buku karya
monumentalnya yang berjudul: “Jurisprudence”. Istilah
"law as a tool of social engineering" pertama kalinya di
tahun 1970-an, diperkenalkan di Indonesia oleh alumni
Harvard Law School, Mochtar Kusumaatmadja. Mochtar
Kusumaatmadja menerjemahkan "Law as a tool of social
engineering" = hukum sebagai rekayasa sosial,
memberikan pemahaman bahwa penggunaan hukum
sebagai "rekayasa sosial", bersifat "top down", yaitu semua
pembuatan dan kebijakan hukum harus berasal dari
pemerintah, bukan bersifat "bottom up".
Roscoe Pound dalam bukunya “Jurisprudence”
memang sama sekali tidak pernah menggunakan istilah
"law as a tool of social engineering" dan di dalam indeks
13
buku itu sama sekali tidak ditemukan satupun tema "law as
a tool of social engineering." Namun bagi yang
menafsirkan ajaran Rosoe Pound sebagai “law as a tool of
social engineering” juga tidak keliru karena jantung ajaran
Pound adalah bagaimana mendayagunakan hukum
sebagai alat rekayasa sosial10.
Bagi Pound, ilmu hukum kurang lebih sama dengan
teknologi, karena itu analogi “engineering” dapat
diterapkan pada masalah hukum dan sosial, sebagaimana
dikatakan Pound:
“Ukuran ini praktis ditemukan (dan lama telah ditemukan pada kenyataannya, meskipun tidak dalam teori) dalam sebuah ide dari rekayasa sosial, dengan menggunakan "rekayasa"dalam arti yang digunakan oleh para insinyur industri. Hal ini ditemukan dalam sebuah ide memberikan keamanan yang paling lengkap dan pengaruh skema seluruh tuntutan atau harapan manusia …. dengan sedikit pengorbanan dari skema secara keseluruhan, sedikit friksi, dan sedikit kemubasiran. Hal ini ….adalah masalah dari semua ilmu-ilmu sosial. Dalam sociological jurisprudence kita memperlakukannya sebagai masalah khusus mencapai pengakuan dan perlindungan dari skema harapan manusia dengan alat tatanan hukum, dengan alat kaidah yang dibentuk dari ajaran, teknik pengembangan dan penerapan (social engineering) dan cita-cita yang diterima dalam cahaya yang mereka kembangkan dan terapkan, dan melalui proses peradilan dan administrasi”.11
10 Roscoe Pound, Jurisprudence, Volume I, New Jersey: The Lawbook Excange, 2000, hal 346-347 mengutip Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Posistivisme Hukum, Genta Publishing 2011
11 ibid
14
Social engineering, menurut Pound, dapat
diefektifkan dalam proses yudisial dan administratif.
Karena itu, bagi penganut sociological jurisprudence,
sangat penting mencermati sejauh mana putusan-putusan
hakim/administrasi berpengaruh positif bagi masyarakat.
Tetapi Mochtar menyadari bahwa Indonesia yang
mengikuti tradisi Civil Law, peranan perundang-undangan
dalam proses ”social engineering” lebih menonjol jika
dibandingkan dengan Amerika Serikat yang lebih
mengandalkan “the judge made law”. Terlebih lagi,
pengaruh Positivisme Hukum klasik sangat kuat mengakar
di Indonesia. Social engineering kemudian lebih
mengandalkan pembentukan hukum melalui pembuatan
peraturan perundang-undangan.
Pemikiran dari inti mazhab sociological Jurisprudence
berkembang pesat di Amerika dimana melihat hukum itu
mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Ruh dari mazahab ini adalah hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat12.
Teori yang dipopulerkan oleh Roscue Pound ini
mengetengahkan pentingnya living law hukum yang hidup
12 Lili Rasjidi & Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, cetakan x, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, Halaman 66
15
didalam masyarakat dalam proses lahirnya teori ini
merupakan suatu sintese dari tesenya yaitu positivisme
hukum dan anti tesisnya mashab sejarah.13
Dalam pandangan Rosceou Pound akal dan
pengalaman sangat penting karena hanya hukum yang
sanggup menghadapi ujian akal dapat hidup terus dimana
hukum-hukum yang kekal adalah pernyataan akal yang
berdiri di atas pengalaman yang diuji dengan pengalaman,
pengalaman dikembangkan oleh akal dan akal di uji oleh
pengalaman. Tidak ada sesuatu yang dapat bertahan
sendiri di dalam sistem hukum . hukum adalam
pengalaman yang diuji oleh akal yang diumumkan dengan
wibawa oleh badan-badan yang membuat undang-undang
atau mengesahkan undang-undang dalam masyarakat
yang berorganisasi politik dan dibantu oleh kekuasaan
masyarakat itu14
2. Teori mazhab sejarah
Inti ajaran dari Von Savigny bahwa hukum itu tidak
dibuat melainkan tubuh bersama dengan masyarakat (das
recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke)15
13 Ibid Halaman 6714 Ibid Halaman 6715 Widodo Dwi Putro, Op. Cit. Hal. 87
16
itu ditemukan bukan dibuat. Menurut Von Savigny bahwa
hukum tidak berlaku secara universal karena setiap bangsa
memiliki kebiasaan dan budaya yang berbeda dengan
bangsa lain yang ditemukan dalam volksgeist (jiwa bangsa)
yang menurut ia bahwa volksgeist itu unik tertinggi dan
realitas mistis sehingga tidak dapat dipahami secara
rasional akan tetapi hanya dapat dipersepsikan secara
intuitif.
Menurut Von Savigny hukum merupakan salah satu
faktor dalam kehidupan bersama dalam suatu bangsa,
seperti bahasa, adat moral oleh karena hukum adalah
sesuatu yang bersifat supraindividual suatu gejala
masyarakat. Tetapi suatu masyarakat lahir dalam sejarah,
berkembang dalam sejarah dan lenyap dalam sejarah.16
Dengan demikian hukum selalu terikat dengan
perkembagan organis masyarakat, tidak ada
perkembangan masyarakat maka tidak ada hukum sama
sekali. Cicero mengatakan ibi socitas ibi ius (dimana ada
masyarakat disana ada hukum).
Kelahiran mazhab sejarah yang dipelopori oleh
Friedrich Carl Von Savigny ini dipengaruhi Montesquieu,
melalui bukunya L'esprit des Lois mengatakan adanya
16 Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, Halaman 118
17
hubungan antara jiwa suatu bangsa dengan hukumnya.
Selain itu juga dipengaruhi paham nasionalisme yang mulai
timbul pada abad ke-19. Selanjutnya, kelahiran mazhab ini
juga merupakan reaksi terhadap pendapat yang
dikemukakan Thibaut yang menghendaki dilakukannya
kodefikasi hukum di negara Jerman berdasarkan Hukum
perancis (Code Napoleon); serta reaksi tidak langsung
terhadap aliran hukum alam dan aliran hukum positif17.
Dampak ajaran madzab ini sangat tampak pada para
sarjana sosiologi dan hukum adat. Mereka disadarkan
tentang pentingnya penelitian mengenai hubungan antara
hukum dengan struktur masyarakat beserta sistem
nilainya. Pengaruh pandangan Savigny juga terasa sampai
jauh ke luar negara Jerman, termasuk ke Indonesia18.
Namun, sebagaimana produk kreativitas manusia
lainnya, pemikiran madzab sejarah tentang hukum,
tentulah juga memiliki kelemahan, dalam hal ini yang
utama adalah kurang diberikannya arti penting perundang-
undangan sebagai sumber hukum.19
W. Friedman mengatakan bahwa gagasan yang
benar-benar penting dari L'esprit des Lois adalah tesis 17 ibid
18Lili Rasjidi, Loc. Cit Hal. 6619 Ibid
18
bahwa hukums walaupun secara samar didasarkan atas
beberapa prinsip hukum alam mesti dipengaruhi oleh
lingkungan dan keadaan seperti iklim, tanah, agama, adat-
kebiasaan, perdagangan dan lain sebagainya20.
Selanjutnya dikatakan bahwa gagasan Montesquieu
tentang sistem hukum merupakan hasil dari kompleksitas
berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia. Ketika
Montesquieu membahas penyebab suatu negara
mempunyai perangkat hukum atau struktur sosial dan
politik tertentu, dikatakan bahwa hal itu dikarenakan oleh 2
faktor penyebab utama yang membentuk watak
masyarakat yaitu faktor fisik dan faktor moral. Faktor fisik
yang utama adalah iklim yang menghasilkan akibat
fisiologi dan mental tertentu. Yang harus juga
dipertimbangkan adalah keadaan dataran, kepadatan
penduduk dan daerah kekuasaan suatu masyarakat.
Selanjutnya, yang dimaksud sebagai faktor moral adalah:
agama, hukum, peribahasa, kebiasaan, ekonomi dan
perdagangan, cara berfikir dan suasana yang tercipta di
pengadilan negara. Berdasarkan uraian di atas tampak
bahwa Montesquieu mendekati pokok bahasannya lebih
20 W friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Edisi 1 Cetakan 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996 Halaman 86
19
sebagai ahli filsafat sejarah daripada semangat seorang
ahli sosiologi positivistik.
Sebagaimana dikemukakan di atas, Madzab Sejarah
juga diilhami oleh paham nasionalisme yang mulai timbul
di awal abad ke-19. "Deutsch uber alles", demikianlah
semboyan Jerman mengekspresikan tingginya
nasionalismenya21. Dengan memanfaatkan eforia politik
yang sedang berkecamuk pada warga negara dan
penyelenggara negara pada waktu itu, Savigny
menyarankan penolakan terhadap usul Thibaut dalam
pamfletnya yang berbunyi: "Uber Die Notwetdigkeit Eines
Allgemeinen Burgerlichen Rechts Fur Deutschland"
(Keperluan akan adanya kodefikasi hukum perdata negara
Jerman)22. Tentulah usul Thibaut, ahli hukum perdata
Jerman, yang menghendaki agar di Jerman diperlakukan
kodefikasi perdata dengan berdasarkan hukum Perancis
(Code Napoleon) dirasakan tidak selaras dengan semangat
nasionalisme Jerman yang pada waktu itu sedang
menggelora. Eforia nasionalisme yang cenderung
chauvinistik tersebut mustahil dapat menerima upaya
pembentukan hukum yang berasal dari jiwa bangsa lain
(dalam hal ini Perancis yang meninggalkan Jerman). Dalam 21 bahkan kemudian semboyan itu terkesan menunjukkan sikap chauvinisme
22 Lili rasjidi. Hal. 64
20
suasana demikian. Savigny mendapatkan "Lahan subur"
untuk menanam dan menyemaikan ajarannya yang
mengatakan bahwa 'hukum itu tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat. Dan oleh karena setiap bangsa
memiliki "volgeist" (jiwa rakyat) yang berbeda, maka
hukum suatu negara tidak dapat diterapkan bagi negara
lain, meskipun negara lain itu adalah bekas penjajahnya.
Dalam kaitan inilah kemudian Savigny mengatakan,
adalah tidak masuk akal jika terdapat hukum yang berlaku
universal pada semua waktu. Hukum yang sangat
tergantung atau bersumber kepada jiwa rakyat tersebut
dan yang menjadi isi dari hukum itu ditentukan oleh
pergaulan hidup manusia dari masa ke masa (sejarah). Inti
ajaran Madzab Sejarah yang didirikan oleh Savigny ini
terdapat dalam bukunya 'von Beruf Ungerer Zeit fur
Gesetzgebung und Rechtswissenschaft23 (Tentang Tugas
Zaman Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu
Hukum). antara lain dikatakan: 'Das Recht wird nicht
gemacht. est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak
dibuat. tetapi tumbuh dan berkembang bersama
masyarakat)24
23Ibid. Hal. 6524 Ibid
21
Latar belakang pendapat Savigny di atas timbul
karena keyakinannya bahwa dunia yang terdiri dari
bermacam-macam bangsa itu mempunyai volgeist (jiwa
rakyat) yang berbeda-beda yang tampak dari perbedaan
kebudayaan. Ekspresi itu juga tampak pada hukum yang
sudah barang tentu berbeda pula pada setiap tempat dan
waktu. Isi hukum yang bersumber dari pada jiwa rakyat itu
ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari masa ke
masa (sejarah). Hukum menurut pendapat Savigny
berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana yang
pencerminannya tampak dalam tingkah laku semua
individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks
dimana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa
yang diucapkan oleh para ahli hukumnya25
Dampak pemikiran hukum Savigny yang kemudian
dikembangkan oleh muridnya Puchta, terhadap
perkembangan hukum tertulis di Jerman tampaknya sangat
kuat. Buktinya tantangan Savigny terhadap kodefikasi
Perancis itu menyebabkan hampir satu abad lamanya
Jerman tidak mempunyai kodefikasi hukum perdata. Baru
pada Tahun 1900 negeri Jerman mendapatkan kitab
undang-undangnya dalam wujud Burgerliches Gesetzbuch.
25 Ibid
22
Di Indonesia pun pengaruh ajaran madzab sejarah sangat
dirasakan, yakni dengan lahirnya cabang ilmu hukum baru
yang dikenal sebagai hukum adat, yang dipelopori oleh
Van Vollenhoven, Ter Haar serta tokoh-tokoh hukum adat
lainnya.
3. Perselisihan Teori
Apabila dipetakan persamaan cara pandang
Sociological Jurisprudence dengan Mazhab Hukum Sejarah:
sama-sama melihat hukum dan masyarakat sebagai suatu
yang tidak terpisah dan saling berhubungan. Perbedaan
mendasar adalah cara melihat fungsi hukum. Jika Mazhab
Hukum Sejarah memahami hukum lebih romantik, Pound
mengandaikan hukum seperti ”teknologi”. Karena itu,
fungsi hukum, menurut pandangan Pound, bukan hanya
sebagai pengendalian sosial (social control) seperti
ketertiban (social order) dan penyelesaian sengketa
(dispute settlement) melainkan lebih dari itu, sebagai
rekayasa sosial (social engineering). Sebagaimana saran
Pound: “…I have suggested thinking of jurisprudence as a
science of social engineering.”26
Jika selama ini hukum diandaikan berjalan tertatih-
tertatih mengikuti kenyataan sosial (”het recht hinkt achter
26 Ibid. Hal 545
23
de feiten aan”), maka dalam konsep ”social engineering”
hukum justru berada di depan kenyataan sosial dan hakim
diharapkan oleh Pound menjadi ”social engineer.” ”The
task of the lawyer as ”social engineer”, formulated a
programme of action, attempted to gear individual and
social needs to the values of Western democratic
society.”27 Cara berpikir modernis yang cenderung menuju
kebaruan akan mudah berbenturan dengan cara berpikir
tradisional yang bersikukuh mempertahankan nilai-nilai
lama. Ketika hukum didayagunakan sebagai rekayasa
sosial, tentu akan berbenturan dengan tradisi-tradisi yang
sebelumnya mapan. Tradisi terguncang, misalnya
perubahan status desa menjadi kelurahan, karena ia
“dipaksa” berubah melalui rekayasa sosial. Namun,
pembaruan melalui rekayasa sosial yang ditawarkan
Roscoe Pound tidak bersifat radikal dan lebih menekankan
kemanfaatan praktis (pragmatis).
27 MDA freeman, Op. Cit, hal. 678
24
f. METODE PENELITIAN
Dalam rangka memperoleh dan mengumpulkan data
serta menganalisis data dan informasi atau keterangan yang
bersifat ilmiah tentunya dibutuhkan suatu karya tulis ilmiah
maupun susunan yang sistematis terarah dan konsisten,
Adapun metode dalam penelitian ini adalah :
1. Jenis Penelitian
Dari masalah yang dikaji dalam penelitian ini, maka
penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum
normatif-empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan
mengkaji ketentuan perundang-undangan (inabstracto)
serta melihat fakta-fakta hukum yang terjadi di lapangan
(inconcreto)28 berkaitan dengan Pengelolaan Tanah Pecatu
Desa di Kabupaten Lombok Tengah Setelah Perubahan
Status Desa Menjadi Kelurahan
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan normatif empirik, yaitu memandang
hukum bukan saja sebagai perangkat kaidah yang bersifat
normatif atau apa yang tertuang dalam teks peraturan
28 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004, Hal. 29.
25
perundang-undangan (law in books), akan tetapi juga
melihat (law as it is society) bagaimana hukum itu bisa
dijalankan di tengah-tengah masyarakat, oleh karena itu
pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini
adalah :
a. Pendekatan perundang-undangan (statuta approach)
dilakukan untuk meneliti norma-norma hukum yang
terkandung di dalamnya terkait satu sama lain secara
logis, dan apakah norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga
tidak ada kekurangan hukum dan apakah proses norma-
norma hukum tersebut tersusun secara hierarkis.29
b. Pendekatan Konsep (conceptual approach) digunakan
untuk memahami konsep yang digunakan dan
berkaitan dengan Pengelolaan Tanah Pecatu Desa di
Kabupaten Lombok Tengah Setelah Perubahan Status
Desa Menjadi Kelurahan.
c. Pendekatan Sosiologis (sociological approach)
digunakan untuk mengetahui bagaimana aturan hukum
dilaksanakan berkaitan dengan Pengelolaan Tanah
Pecatu Desa di Kabupaten Lombok Tengah Setelah
29 Harjono, Penelitian Hukum pada Kajian Hukum Murni, dalam Joni Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, 2005. Halaman 303.
26
Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan dan
penegakan hukum (law enforcement).30
d. Pendekatan Sejarah (historical approach), mengkaji
bagaimana perkembangan hukum dalam Pengelolaan
Tanah Pecatu Desa di Kabupaten Lombok Tengah
Setelah Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan.
3. Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang terdiri
dari aturan hukum yang terkait dengan permasalahan
yang diangkat dalam penelitian mengenai bentuk
hukum Agraria Nasional Undang-Undang Pokok Agraria
No 5 Tahun 1960, Undang-Unndang Nomor 32 Tahun
2004
b. Data Lapangan yang dapat melalui penelitian lapangan
berdasarkan hasil wawancara dengan para informan
dan melalui pengamatan.
a) Informan
1. Staf Bagian Pemerintahan Umum dan Staf bagian
Aset Daerah Kabupaten Lombok Tengah.
30 Amirudin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006. Halaman 134.
27
2. Sekretaris Desa.
3. Masyarakat
b) Bahan hukum tersier yang bersumber dari kamus
hukum, kamus bahasa, artikel-artikel pada
koran/surat kabar dan majalah.
4. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi
penelitian di Kabupaten Lombok Tengah focus pada
beberapa desa yang sudah berubah statusnya menjadi
kelurahan karena mengingat di kabupaten Lombok tengah
terdiri dari 129 desa dan 10 kelurahan, maka lokasi
penelitian akan dilakukan di 3 kelurahan dengan asumsi
bahwa dari sampel yang diambil penulis sudah dapat
mewakili kelurahan yang lain.
Adapun kelurahan dimaksud adalah, kelurahan leneng,
kelurahan gerantung dan kelurahan gerunung mengingat
kelurhan ini baru dibentuk akan memudah penulis untuk
menelisik data dan informasi terkait dengan keberadaan
tanah pecatu desa.
5. Teknik pengumpulan dan pengolahan Bahan Hukum/ Data
28
Untuk mendapatkan data akurat yang diperlukan dalam
penelitian ini digunakan teknik dan alat pengumpul data
sebagai berikut:
a. Data Primer
Teknik dan alat pengumpulan data primer data
didapat melalui Wawancara (interview). Metode
interview ini dengan melakukan wawancara langsung
dengan informan, dalam hal ini wawancara dilakukan
dengan:
a) Staf Bagian Pemerintahan Kabupaten Lombok.
b) Sekretaris Desa.
c) Tokoh Masyarakat
b. Penelusuran Bahan Hukum
Studi dokumentasi adalah cara memperoleh data
dengan jalan mengumpulkan segala macam bahan
hukum serta mengadakan pencatatan yang sistematis.
Kemudian menghubungkan paparan yang ada dalam
bahan hukum tersebut.
6. Analisis Data
Dari semua data/bahan hukum yang terkumpul,
kemudian diolah, selanjutnya dinalisis dengan metode
analisa kualitatif deskriptif yaitu dengan merumuskan
29
dalam bentuk menguraikan yang dapat memberikan
penjelasan secara signifikan terhadap pokok masalah yang
menjadi obyek yang diteliti, sehingga merupakan jawaban
sebagai hasil temuan dari hasil tujuan penelitian dengan
pola berpikir yang runtun dan sistematis.
Analisa kualitatif dilakukan dengan cara deduktif yaitu
menarik suatu kesimpulan dari data yang sifatnya umum
ke khusus untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu
kebenaran sehingga memperoleh gambaran yang jelas
masalah yang diteliti.
g. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk penulisan tesis ini penulis akan menyusun dengan
sistematika sebagai berkut:
1. BAB I : latar belakang permasalahan, rumusan
permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, ruang
lingkup penelitian, kerangka teori, sistematika penulisan.
2. BAB II : menguraikan pembahasan kaitan dengan rumusan
permasalahan yang pertama yakni apa sajakah yang
menjadi dasar pertimbangan hukum pemerintah daerah
dalam merubah status desa menjadi kelurahan.
3. BAB III : menguraikan pembahasan rumusan permasalahan
kedua yakni bagaimana pengelolaan tanah pecatu desa di
30
kabuaten lombok tengah setelah perubahan status desa
menjadi kelurahan.
4. BAB IV : berisi tentang uraian pembahasan kaitan dengan
rumusan permasalahan ketiga yani apakah dasar
kewenanagan pemerintah daerah dalam mengelola tanah
pecatu desa
5. BAB V : Penutup yang berisi simpulan dan saran
h. DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sodiki & Yanis Maladi, Politik Hukum Agraria, cetakan I,
Mahkota Kata, Jogjakarta, 2009
Amidhan “Menggagas Pembentukan Komisi Nasional
Penyelesaian Konflik Agraria (KNUPKA)”(Makalah
yang dibawakan pada Konfrensi Nasional Agraria,
Yayasan Kemala, Jakarta, Oktober 2004
Amirudin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006
Direktorat Agraria Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dokumen
Tanah Pecatu: Data Inventarisasi Tanah Pecatu di
seluruh Wilayah provinsi Nusa Tenggara Barat, 1979
Harjono, Penelitian Hukum pada Kajian Hukum Murni, dalam Joni
Ibrahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum
Normatif, Banyumedia Publishing, Malang, 2005
31
Lili Rasjidi & Ira Tania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
Hukum, cetakan x, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2007
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta,
2004
Theo Hujibers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius,
Yogyakarta, 1982
W friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Edisi I Cetakan 3, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996
--------------- Teori dan Filsafat Hukum, Edisi II Cetakan 3, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996
---------------, Teori dan Filsafat Hukum, Edisi III Cetakan 3, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1996
Widodo Dwi Putro, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme
Hukum, Genta Publising, Yogyakarta, Tahun 2011
Zen Wen, Gong 2000; Eksploitasi Sumber Daya Alam Dan
Peminggiran Rakyat Semakin Menjadi, Otonomi
Daerah Sumber Daya Alam Lingkungan, cetakan I,
Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001