Transcript

1 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

DINAMIKA RELASI AKADEMISI – PRAKTISI DALAM IMPLEMENTASI KONSEP DAN TEORI PEMASARAN

Amin Wibowo

STIE Widya Wiwaha, e-mail: [email protected] Abstract To understand marketing construct, managers learn from many aspects relate to marketing orientation construct in term of profitability factors. Among managers in the industries have different understanding about the marketing concept. Most of the managers have a gap in understanding about marketing orientations that are presented by academicians. Maturity and declining fenomena is responded by managers with finding a better way to make more attractive for their products. Relationship, network and interactions is one of the alternatives to increase attractiveness. Marketing practice has reached change phases, and now transaction marketing has shift to relationship marketing. There are three actors involve in translation process between academicians and practitioners : academicians, practitioners and consultant. Academicians and practitioners should get involved in interactions process. Both should develop the share understanding about the meaning of the central concept in market contexts. The relationship between academicians and practitioners would create mutual respect and trust in utilizing the researches finding. Academicians would obtain real problems faced by corporations. The obstacles in transferring knowledge from academicians to practitioners are not only in volume and information characteristics, but also the choice and attributes of information, providers and users. Concept and practice of marketing need to be re-focus. Traditional teaching system needs to be revised. Marketing personnel need to understand the traditional way of doing marketing before receiving concept and the new way of implementing marketing programs. But in reality, there is not being reflected in marketing educations that is represented in textbooks, and there are no best-practice in managing marketing. Te principles in retro-marketing and experiential marketing indicate that there is need to re-focus. The future development of marketing theory would be directed more to global perspectives. Marketing theory should also give more attention to the impact of technology to customers and business focusing on system thinking to integrate the changing in theory elements. Marketer needs to develop the theory for manager to produce better information. The development of marketing theory would be directed toward smaller gap between academicians and practitioners

Key words : system thinking, marketing theory, retro-marketing, experiential marketing, marketing practice, marketing concept, marketing orientation.

Pendahuluan

Hasil-hasil riset yang dilakukan kalangan akademisi dimaksudkan untuk memberikan pemahaman,

penjelasan dan prediksi atas fenomena pemasaran. Atas hasil-hasil riset ini diharapkan dapat

digunakan para manager serta praktisi lain. Demikian pula pada penelitian-penelitian tentang

marketing orientation. Marketing sebagai sebuah disiplin terapan, semestinya juga dipahami

kalangan praktisi. Pemahaman praktisi atas konstruk marketing orientation adalah fenomena

menarik, terlebih jika dikaitkan dengan marketing art. Dengan latar belakang pengalaman,

2 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

pendidikan dan industry tentu mempunyai konsekuensi yang berbeda-beda. Bukan hanya dalam

hal pemahaman tentang marketing orientation, para praktisi atau manager juga akan melibatkan

diri pada sebuah keyakinan praktik terkait dengan lingkungan dimana mereka bekerja. Perubahan

lingkungan menuntut mereka untuk berfikir dan bersikap tertentu khususnya ketika menghadapi

fenomena maturity. Dalam menghadapi marketing maturity harus menemukan cara terbaik, karena

cara-cara lama yang biasa mereka lakukan tidak lagi memberikan garansi sukses. Marketing

dengan cara-cara lama atau traditional marketing perlu diganti dengan cara-cara baru yang

memerlukan cara berfikir baru, perspektif baru dan teori baru. Relationship marketing adalah salah

satunya.

Para akademisi yang dengan kontinyu terlibat dalam pengembangan ilmu, perspektif berpikir baru

dan bahkan teori baru mempunyai tanggung jawab untuk mentranslasikan hasil kajian dan

pemikirannya kepada praktisi. Akademisi dan praktisi harus terlibat dalam sebuah proses interaksi.

Peneliti dan praktisi mengembangkan pemahaman bersama tentang makna central concept terkait

dengan contexts. Relasi antara akademisi – praktisi akan membantu menciptakan mutual respect

dan trust akan arti penting pemanfaatan hasil-hasil riset dan pengembangan pengetahuan berbasis

realitas fenomena praktik. Untuk menjalin relasi sebagaimana yang di idealkan tentunya

dihadapkan dengan hambatan-hambatan dalam melakukan transfer knowledge. Hambatan-

hambatan ini tentu harus dipecahkan dengan program konkrit dan ini memerlukan perhatian

tersendiri.

Kesenjangan antara teoritisi dan praktisi marketing memerlukan pemikiran dan pem-fokusan

ulang, bukan saja terbatas pada konsep dan teorinya tetapi juga menyangkut sistem pengajaran.

Sistem pengajaran tradisional perlu direvisi. Marketer, baik dari kalangan akademisi maupun

praktisi perlu memahami perbedaan “the traditional way of doing marketing” sebelum menerima

“the new way of doing marketing” dalam implementasi program-program pemasaran.

Pengembangan marketing theory untuk masa-masa yang akan datang lebih banyak terarah pada

perspektif perkembangan terkini, dimana marketing theory harus memberikan perhatian pada

dampak teknologi dengan focus system thinking guna mengintegrasikan perubahan-perubahan

penting yang terjadi pada elemen-elemen teori. Pengembangan teori pemasaran juga diarahkan

untuk memperkecil gap antara akademisi – praktisi.

Paper ini ditulis dengan tujuan untuk mendiskusikan dinamika relasi akademisi – praktisi dalam

implementasi konsep dan teori pemasaran. Paparan dalam paper ini dibagi dalam tujuh bagian.

3 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

Bagian pertama, membahas pemahaman para manager tentang konsep pemasaran khususnya

marketing orientation. Pembahasan issu ini penting karena dalam praktik terdapat missing link

antara konsep dan praktik sebagai mana yang direpresentasikan oleh pemahaman para manager

tentang konsep marketing orientation. Bagian kedua, membahas faktor-faktor yang menyebabkan

perubahan dalam praktik marketing. Seiring dengan perkembangan dan perubahan praktik, teori

marketing juga harus mengikuti perubahan yang ada sehingga ilmu pemasaran bisa eksis

khususnya dalam memberikan pemahaman, penjelasan dan prediksi dari fenomena perubahan

yang ada. Perubahan paradigm biasanya akan diikuti oleh perubahan teori. Bagian ketiga,

mendiskusikan hambatan dalam merubah knowledge dikalangan praktisi. Bagaian ini

mendiskusikan tentang beratnya sebuah proses translasi dari theory ke praktik. Bagian ini juga

menjelaskan hambatan-hambatan dalam membangun relasi antara teoritisi dengan praktisi terkait

dengan penerapan marketing theory dalam ranah realitas. Bagian keempat membahas kesenjangan

teori dan realitas dalam sebuah tinjauan pada buku teks teori pemasaran. Persoalan terkait dengan

buku-buku teks marketing adalah adanya berbagai bias antara makna yang tertuang didalamnya

dengan makna realitas dalam praktik. Bagian kelima mendiskusikan perlunya perubahan

marketing concept dan pengajaran marketing. Bagian ini mendiskusikan upaya pengajaran

marketing yang memerlukan re-focusing agar sesuai dan merefleksikan dunia praktik. Bagaian ke

enam membahas perspektif dan arah baru teori pemasaran. Dan bagian terakhir dari paper ini

adalah konklusi yang member simpulan kecil mari masing-masing bahasan yang dilakukan.

Pemahaman para manager tentang konsep marketing orientation

Konsep merupakan building block dari model, teori atau sebuah penjelas. Agar konsep bermanfaat

bagi manager, konsep harus diberikan isi dan disesuaikan dengan konteks yang sebenarnya dimana

konsep itu akan dioperasikan (Ottesen dan Gronhough, 2002). Operasionalisasi konsep tidak

terlepas dengan proses kognitif dengan melibatkan kategorisasi aktifitas kognitif terkait dengan

konseptualisasi dan pemahaman. Kategorisasi sendiri akan mempengaruhi perhatian dan

interpretasi stimuli (data), seperti data apa yang diperhatikan dan bagaimana data-data itu

distrukturkan. Rosch sebagaimana dikutip oleh Ottessen dan Gronhough (2004) memaparkan

bahwa para pelaku kategorisasi akan mengembangkannya melalui interaksi dengan lingkungan.

Misalnya, dalam hal bagaimana manager mempersepsikan kompetitor menunjukan bahwa persepsi

dipengaruhi kategorisasi tertentu yang digunakan oleh yang bersangkutan. Melalui interaksi,

4 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

membaca, menghadiri presentasi, melihat TV, mendengarkan radio para manager dikenalkan

dengan konsep-konsep baru dan ide-ide management. Upaya-upaya seperti ini akan meningkatkan

perhatian manajer terhadap ide-ide dan konsep. Lebih lanjut Ottesen dan Gronhough (2002)

menjelaskan bahwa ketika diekspose dengan konsep baru para manager sebenarnya telah

mempunyai struktur pengetahuan dan model mental. Data atau konsep baru diintegrasikan

kedalam struktur pengetahuan yang telah ada tanpa merubah pemikiran dasar pelaku. Eksposure

dan refleksi pada konsep dan ide baru merupakan hasil dari cognitive learning, perubahan pada

learner insight dan pemahaman. Proses learning demikian memakan waktu dan memerlukan

motivasi.

Perhatian dan pemahaman manager dipengharuhi oleh beberapa faktor seperti latar belakang

pendidikan, keterlibatan dalam berbagai aktivitas dan struktur pengatahuan yang telah terbentuk

(Dorbon dan Simon, 1958; Starbuck dan Mezias, 1996 sebagai mana dikutip Ottesen dan

Gronhough, 2002). Maka pemahamaman atas construct market orientation sebagaimana halnya

marketing activities performed bervariasi di antara para manger meskipun mereka berada dalam

industry yang sama. Dalam kajiannya Ottesen dan Gronhough (2002) menemukan (1) Dalam hal

para manager diekspose, hadir dan belajar konsep baru, menunjukan bahwa pemahaman para

manager terhap konsep market orientation dikaitkan dengan konteks market dan kompetisi

(konteks yang dipersepsikan oleh para manager). Temuan ini mengindikasikan bahwa para manger

mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan market orientation terhadap kinerja perusahaannya

seperti halnya faktor-faktor yang mempengaruhi profitability. Hal demikian menunjukan bahwa

adopsi dan interpretasi konstruk market otrientation terkait dengan upaya keras mereka untuk

meningkatkan goal-directed behavior. Dengan demikian, fungsi market orientation adalah sebagai

thinking tool yang membantu mereka dalam memilih dan menginterpretasikan stimuli baru. (2)

Meskipun para manager berada dalam industry yang sama pemahaman mareka tentang konsep

market orientation berbeda-beda. Pemahaman konsep mereka sebagian menyimpang dari makna

yang direfleksikan dalam literature akademik. Temuan ini mengindikasikan para manager

mempelajari hanya hanya sebatas bagian yang mereka adopsi dari makna konstruk teori. Salah satu

alasannya adalah para manager tidak biasa dengan literature akademik sehingga mempunyai

keterbatasan kemampuan dalam mengadopsi konsep. Jelas bahwa pengalaman dan ekspektasi para

menejer adalah faktor yang mempengaruhi pemahaman konsep secara kontekstual.

Dengan dasar dua hasil temuan Ottesen dan Gronhough (2002) jelas bahwa secara personal

pemahaman dalam menerapkan konsep dipengaruhi oleh konteks yang paling dekat dengan subjek.

5 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

Tentang hal ini Ottesen dan Gronhough (2004) memberikan paparan tentang contoh bagaimana

konsep dapat dipengharuhi oleh konteks yang paling dekat. Mereka menemukan bahwa dimensi-

dimensi penting dari konstruk market orientation sebagaimana dipersepsikan para manager

adalah situasi penawaran (bagi industry perikanan). Dalam konteks ini situasi penawaran

memberikan perfect sense karena untuk memberikan customer satisfaction dan profit, perusahaan

harus mampu mengamankan dan mensupply raw material dengan waktu yang tepat. Karena

supply selalu berfluktuasi (volatile) dan tidak pasti, situasi supply secara terus menerus dipantau

dan dijadikan pertimbangan utama. Fakta demikian merupakan indikasi bahwa pengembangan

konstruk teoritis dapat dipengaruhi oleh konteks dimana konstruk itu dikembangkan, dan

pengaruh-pengaruih kontekstual bermungkinan mempunyai dampak pada kemampuan

generalisasi (generalisability) dari konstruk teoritikalnya.

Berbagai faktor yang menyebabkan perubahan dalam praktik marketing

Dalam marketing klasik (sering juga disebut conventional marketing atau tradisional marketing)

dimana elemen-elemen andalannya adalah 4 P’s, dipandang mempunyai kekurangan dalam

lingkungan pemasaran saat ini. Para produsen merasakan bahwa persainagn yang mereka hadapi

saat ini sangat berbeda dengan masa-masa lalu, khususnya tahun-tahun 1950-an dan 1960-an.

Pada lingkungan bisnis yang ada pada saat ini kapasitas produksi tidak dapat di manfaatkan secara

penuh. Dalam kanjian Lindgreen, Palmer dan Vanhamme (2004) pada industry otomotif di Eropa

Barat rata-rata kapasitas pabrik yang tidak digunakan sekitar sepertiga dari kapaitas penuh. Fakta

ini menandakan bahwa karena beberapa factor yang menyebabkan pasar menjadi saturated

(jenuh).

Market maturity dapat dipahami dari sejumlah perspektif produk dan industry. Berprinsip pada

dalil dependent demand yang sudah mapan, dependent demand selalu inherent (tidak dapat

dipisahkan) dengan pasar industry : ukuran industry akan ditentukan oleh ukuran pasar, ukuran

pasar sangat ditentukan oleh tingkat subtitusi produk yang memberikan kepuasan pada needs yang

hampir sama untuk penawaran pada fungsi yang berbeda berdasarkan teknologi yang berbeda.

Maturity dan decline adalah representasi dari fenomena yang sama namun dalam tingkatan yang

berbeda. Kesatuan karakteristik dari maturity dan decline adalah kekurangan pertumbuhan secara

organinik dari pasar yang ada, dimana sales dan marketing actions menjadi sangat penting bagi

6 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

sukses perusahaan yang akan datang. Hal demikian terjadi karena revenue yang akan datang dan

pertumbuhan unit volume tergantung pada kompetisi secara langsung dengan perusahaan lain.

Dalam kajiannya Lindreen, Palmer dan Vanhamme (2004) menemukan bahwa untuk menghadapi

fenomena maturity dan declining para manager berupaya untuk mencari jalan yang lebih baik

untuk meningkatkan attractiveness dari produk-produk mereka serta memberikan adding value.

Relationship, network dan interaksi adalah opportunity bagi mereka. Hal yang hampir sama juga

dikemukakan oleh para marketer academisi bahwa marketing telah melampaui sejumlah tahap

perubahan dari transaction marketing ke relationship marketing. Perubahan-perubahan yang

teramati mengarah pada diskusi-diskusi tentang ada atau tidaknya magnitude perubahan sebagai

upaya untuk memberikan justifikasi yang dapat menggambarkan keperluan perubahan paradigma.

Sebagai alternative, berdasar pandangan transaksional tuntutan perbahan disikapi dengan hanya

menambahkan “P” ke dalam konsep konvensioanal 4 P’s. Hal demikian yang banyak kita ketahui

dengan perspektif Marketing Mix Plus. Namun diluar marketer yang berpandangan conventional

terdapat kelompok pakar yang berpandangan lain, dimana antar mereka terdapat kesepakatan

yang meluas bahwa relationship marketing adalah sebuah fenomena baru.

Menurut pandangan relationship marketing, paradigm transaction marketing tidak lagi efektif

ketika transaction marketing hanya berfokus pada new customers. Sebaliknya, bagi relationship

paradigm penekanan harus pada value of retained customers dan mendukung bahwa perusahaan

harus sukses mempertahankan customer-customer-nya jika mereka menginginkan pertumbuhan

profit dan sales- nya (Reichheld, 1996, Reichheld dan Sasser, 1990 seperti dukutip Lindreen,

Palmer dan Vanhamme, 2004). Menurut kajian-kajian yang dilakukan oleh kelompok

Contemporary Marketing Practice (CMP) alasan-alasan adanya tuntutan perubahan paradigm dari

transaction marketing ke relationship marketing adalah (1) Organisasi harus meningkatkan focus

pada attracting, developing dan retaining business dalam kaitannya dengan marketing. Hal demikian

sangat berbeda dengan transaction marketing yang lebih menekankan pada attracting business

tetapi kurang pada retaining business. Pemikiran rasionalnya adalah membuat bisnis baru

biayanya 10 kali lebih mahal dari pada mempertahankan bisnis yang telah ada. Pada mature

marketing, retain customers adalah sesuatu yang berbeda dan lebih mementingkan strategic value

of the firm. (2) Para manager memberikan penekanan yang lebih besar pada memanage marketing

relationship, network, interaction, baik pada internal maupun external customers : dengan

supplier, customers dan pasar penting lain. Marketing harus mengenali pasar-pasarnya yang

berbeda dan mengembangkan effective market plan yang memberikan dan menyediakan value. (3)

7 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

Dalam beberapa organisasi mengenalkan pendekatan pluralistic terhadap marketing dan bagimana

pendekatan-pendekatan ini dipraktikan dengan relationship marketing dilakukan untuk

menghubungkan dengan transaction marketing. Dalam konteks ini Lindgreen sebagai mana dikutip

Lindreen, Palmer dan Vanhamme ( 2004) memberikan contoh New Zealand Wineries yang tidak

menggunakan pendekatan sama untuk customers yang berbeda. Dalam beberapa hal yang menjadi

fokus adalah memproduksi dengan volume besar dengan biaya yang rendah, dan terus berupaya

keras mendapatkan customers namun sekaligus juga melibatkan diri dalam long-term relationship

dengan customer-nya. Mereka menggunkan pendekatan transaction marketing kepada sebagian

custoimersnya, namun sekjaligus juga menggunakan relationship marketing kepada kelompok

customers yang lainnya. Penggunaan dua pendekatan sekaligus inilah yang disebut “pluralistic

approach”.

Hambatan-hambatan potensial dalam merubah knowledge dikalangan praktisi

Marketing adalah disiplin terapan bagi para marketing manager dan praktisi marketing. Kegunaan

academic marketing research adalah kemampuannya dalam memberikan alat bantu bagi para

markering manager dan pengambil keputusan lain. Realiabilitas dan validitas knowledge dari hasil

academic marketing research dapat digunakan dalam goal-directed effort untuk bisa berkompetisi

secara efektif dalam marketplace. Academic knowledge yang direpresentasikan dengan konsep dan

teori tentang fenomena kehidupan nyata diasumsikan penting. Maka sangat jelas bahwa praktisi

marketing mendapat manfaat dari pemerolehan dan penggunaan research-based-knowledge yang

dilakukan oleh para akademisi. Ottessen dan Gronhough (2004) memaparkan bahwa research

based knowledge akan memberikan beberapa kegunaan, diantaranya (1) Scientific knowledge

ditujukan untuk menyediakan penjelasan, prediksi dan pemahaman fenomena. (2) Teori yang

dihasilkan dapat membantu praktisi dalam meningkatkan relevansi atas pertanyaan-pertanyaan

penting mereka, dan dapat digunakan sebagai input untuk mempertajam dan memandu keputusan-

keputusan pentingnya. Ketika decision maker mempunyai knowledge dan pemahaman tentang

beberapa teori yang saling berhubungan atau teori alternative maka knowledge iru akan

memberikan broader-base bagi pemahaman ruang lingkup masalah (problem space) sehingga

mereka dapat membuat keputusan yang lebih baik. (3) Teori dan konsep-konsep yang “inherent”,

saling terkait dan tidak dapat terpisahkan dapat membantu manager dan pengambil keputusan lain

untuk melakukan kategorisasi, interpretasi, dan memahami market data yang diperlukan dalam

8 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

memilih trend yang signifikan, serta menghindarkan overload dalam dinamika dan turbulensi

lingkungan bisnis yang semakin meningkat.

Namun pada sisi yang lain Ottossen dan Gronhough (2004) juga menjelaskan bahwa disamping

benefit, knowledge juga cenderung untuk tidak dimanfaatkan ketika (1) potensial users

mendapatkan bahwa knowledge penting tetapi kurang bisa diaplikasikan (2) informasi yang

diperoleh dari riset tidak dipahami karena potential users kurang pengetahuannya (3) relevant

users tidak peduli dengan informasi yang diperoleh dari riset karena mempunyai kapasitas

perhatian yang terbatas dan pendalamannya tidak cukup tersebar.

Bagi praktisi, knowledge seperti apa yang dipersepsikan useful ?. Knowledge dikatakan useful jika

ditandai dengan kegunaan yang berbeda-beda. Menurut Otessen dan Gronhough (2004), ada tiga

tipe keguanaan knowledge : instrumental, konseptual dan simbolik. Kegunaan instrumental

knowledge adalah kemampuannya diaplikasikan secara langsung dari hasil riset untuk

memecahkan masalah spesifik atau memandu keputusan-keputusan serta tindakan-tindakan

konkrit. Kegunaan conseptual knowledge terkait dengan penggunaan informasi riset untuk

general enlighment seperti informasi riset yang dapat memperluas pengetahuan bagi penggunanya

tetapi tidak untuk diterapkan secara langsung untuk pembuatan keputusan atau tindakan spesifik.

Kegunaan knowledge simbolik adalah pengetahuan yang digunakan untuk mendukung opini

pengambil keputusan sebagai “mata” dari anggota organisasi yang lain, misalnya penggunaan

informasi riset untuk melegitimasi tindakan-tindakan masa lalu atau membangun konsensus

tentang keputusan dan tindakan masa depan.

Dalam bisnis dan marketing kegunaan knowledge dikaitkan dengan kegunaan pengetahuan secara

instrumental karena terarah secara langsung kepada tindakan. Temuan hasil kajian pada market

orientation jarang memberikan arah konkrit pada tindakan, misalnya dalam bentuk prinsip-prinsip

strategic yang menjelaskan tindakan-tindakan yang tepat untuk situasi spesifik (Roster

sebagaimana dikutip Ottesen dan Gronhough, 2004). Temuan dari kajian tentang market

orientation bersifat terlalu umum (generalize), sehingga tidak tepat untuk aplikasi langsung.

Knowledge dengan sifat demikian mungkin akan mempengaruhi pemikiran users tetapi tidak dapat

dapat digunakan sesegera visi aplikasinya. Jadi tipe knowledge yang demikian kurang bermanfaat

dibanding kegunaan knowledge instrumental yang menghasilkan hasil konkrit. Namun demikian,

konsepsi knowledge baru mungkin dapat merubah mental model dari usernya. Dengan demikian

penggunaan conceptual knowledge membawa perubahan pemahaman users tentang market

9 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

reality dan bagaimana berkompetisi secara efektif. Jadi, meskipun konseptual knowledge tentang

market orientation tidak mempunyai dampak langsung pada keputusan-keputusan dan tindakan

namun juga mempunyai nilai penting. Informasi dari riset market orientation dapat digunakan

secara simbolik, untuk melegitimasi perubahan dalam memandang anggota organisasi lain dan key

strakeholeders lain.

Lebih lanjut Ottossen dan Gronhough (2004) juga menjelaskan tentang hambatan-hambatan dalam

mentransfer marketing orientation knowledge dari para akademisi kepada praktisi. Kesuksesan

dalam melakukan transfer pengetahuan tentang market orientation dari komunitas akademisi

kepada praktisi sangat tergantung kepada beberapa faktor. Menurut Von Hippel sebagaimana

dikutip Ottossen dan Gronhough (2004) hambatan dalam melakukan transfer knowledge secara

efektif bukan hanya menyangkuit volume dan karakteristik informasi, tetapi juga sangat tergantung

pada pilihan dan atribut dari informasi, providers dan users.

Terkait dengan karakteristik informasi yaitu menyangkut kompleksitas informasi yang ditransfer,

semakin kompleks informasi yang ditransfer semakin ambigu (kabur) sehingga semakin sulit untuk

ditransfer. Teori market orientation menjadi lebih “elaborate” dan mencakup banyak hubungan

yang kompleksitasnya menjadi semakin meningkat sehingga sulit untuk mentransfer. Dari sudut

pandang praktisi pertanyaan penting adalah pada tingkat seberapa adopsi market orientation

dicakup dalam firm performance, dari market context dimana perusahaan beroperasi. Untuk

membuat keputusan apakah manager menerapkan market orientation,manager perlu menguji

apakah perusahaannya beroperasi dalam kondisi keterbatasan nilai dari market orientation. Issu

lain tentang penggunaan konsep market orientation dari akademisi bagi praktisi adalah knowledge

base yang bersifat general dan abstrak sehingga disisihkan dari konteks bagi kebanyakan praktisi.

Hambatan yang berhubungan dengan provider academic information. Knowledge yang

dikembangkan oleh marketing akademisi biasanya disebar luaskan melalui jurnal dan koverensi.

Kegunaan diseminasi demikian dipertanyakan oleh para praktisi. Jurnal dan konverensi ilmuan

adalah media komunikasi yang kurang tepat bagi praktisi. Alasannya adalah ; (1) sangat sedikit

praktisi yang membaca journal dan menghadiri academics conference (2) karena informasi riset

tentang market orientation adalah kompleks dan abstrak dan masih memerlukan klarifikasi lebih

lanjut sehingga informasi dipahami dan digunakan dalam konteksnya users-nya (3) scientist tidak

mempunyai kompetensi untuk memberikan advice yang cukup kepada praktisi. Untuk

memberikan advice yang relevan substantial knowledge dari konteks dimana konsep dan teori

10 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

diaplikasikan, scientist perlu kemampuan komunikasi dengan bahasa dan jargon yang gampang

dipahami para praktisi. (4) ketika penerima informasi tidak mempersepsikan sumber informasi

adalah reliable, dapat dipercaya dan atau knowledgeable , maka transfer informasi sangat sulit.

Advice yang diberikan para akademisi akan membuat resisten para praktisi kecuali para prakltisi

menemukan bahwa para akademisi adalah reliable, trustworthy dan knowledgeable.

Hambatan terkait dengan users (pengguna) informasi dari akademisi. Menurut Mintzberg

sebagaimana dikurip Ottossen dan Gronhough (2004) manager adalah orang yang sibuk, secara

terus menerus dihadapkan dengan rentang yang luas akan tugas-tugas dan permintaan. Manager

juga dibatasi oleh kapasitas kognitif yang dimiliki Ottossen dan Gronhough (2002) seperti kapasitas

untuk memperhatikan, interpretasi, menyimpan dan menggunakan data. Meskipun para manger

mencoba yang terbaik akan kemampuannya, keterbatasan waktu dan kapasitas kognitif tidak

memungkinkan mencakup semua issu yang diminatinya. Dalam situasi keterbatasan waktu dan

kapasitas para praktisi akan memilih tipe informasi lain akan informasi konsep abstrak tentang

market orientation.

Kesenjangan teori dan Realitas sebuah tinjauan pada buku teks teori pemasaran.

Berdasarkan kajian yang dilakukan Gummason (2004) antara marketing textbooks theory dengan

realitas terdapat kesenjangan yang cukup besar. Ia melakukan analisis atas teori marketing

management yang ada dalam textbooks beserta misinya untuk menyajikan state-of-art review

dalam disiplin marketing yang dapat di baca dan dengan format yang memberi inspirasi. Meskipun

didalamnya memuat sejumlah besar pengalaman observasi dan kumpulan scientific knowledge

namun textbooks tidak menghidupkan misinya. Kebanyakan buku text merupakan sajian

“kenangan” tahun 1960-an yang menyajikan fragmen-fragmen teori, model dan temuan riset

beserta contoh-contoh, kasus, cerita sukses dan catatan-catatan dari artikel jurnal, buku-buku dan

berita-berita dari media. Teori dalam textbooks berstruktur menurut sejumlah fenomena,

diantaranya adalah 4 P’s marketing mix dan mencakup produk, pricing, sales management,

advertising, channel management, marketing strategy, market research, market planning,

organizational buying behavior, international marketing, marketing organization dan sebagainya.

Bagimana relasi antara satu dengan yang lain adalah tidak jelas. Inilah yang sering dikatakan

sebagai theory mess.

11 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

Sebelum relationship marketing, dengan credonya long-term relationship dan win-win, teori

dengan jelas memanipulasi management centric, dan bukan customer centric, berfokus pada

anonymous dan statistical mess. Namun diluar mainstream itu terdapat pendukung relationship

marketing yang melihat long-term relationship. Relationship marketing menjadi jelas dalam

ekspresinya seperti adanya jargon ‘managing the customers”, owning the customers”, dan “locking in

the customers”.

Marketing management sebagaimana direpresentasikan dalam textbooks dan di ajarkan di

universitas mempunyai dua kelemahan utama (1) kurang general, kurang dalam hal fondasi

theoretical serta menawarkan poor context dalam hal pemahaman konseptual serta pengembangan

fenomena kotemporer (2) tekxtbooks yang diajarkan diuniversitas terlalu pedagogis dengan

simplifikasi yang berlebih-lebihan dengan harapan mudah di pahami dan bahkan kadang-kadang

diarahkan oleh keinginan untuk membuat buku-buku teks lebih atraktif. Gummesson (2004) lebih

lanjut mengingatkan untuk tidak tergesa-gesa mempercayai bahwa knowledge yang ada dalam

textbooks adalah komulatif dan knowledge yang baru dan seharusnya pembacanya dapat mengatur

diri dalam fondasi yang tepat dalam traditional science dan textbooks. Knowledge yang baru

dengan perbedaan point yang menguntungkan adalah esensi dari pergeseran paradigm.

Gummeson (2004) menyebut service, quality dan relationship adalah fenomena yang semestinya

memainkan peran pada abad millennium ini. Knowldege lama seharusnya digunakan ketika

knowledge itu kualifaid untuk digunakan dan semestinya tidak disingkirkan karena usia dan tidak

pernah dijustifikasi karena umur. Ilmu ekonomi lama tidak mati karena merupakan bagian dari

ilmu ekonomi yang baru. Secara simultan Gummasson (2004) juga mengingatkan untuk tidak

begitu saja percaya pada semua yang ditampilkan dalam bentuk baru adalah baru.

Service, quality dan relationship adalah tiga eleman yang tidak muncul dalam riset pemasaran

sampai dua pertiga dekade yang lalu. Fenomena-fenomena ini adalah abadi dan menjadi dasar

kehidupan manusia dan masyarakat. Meskipun service, quality dan relationship ini kemunculannya

mempunyai nilai penting, ketiga elemen generic ini secara nyata lepas perhatian dalam marketing

oleh peneliti akademis, pendidik dan penulis buku-buku text. Elemen-elemen ini masih belum

mendapatkan tempat di dalam general marketing theory. Ketiganya hanya merupakan tambahan

dari buku-buku teks “old marketing.” Bagaimana old marketing memandang ketiga elemen

tersebut, berikut adalah pembahasannya.

12 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

Sevice. Service disediakan oleh perusahaan privat, pemerintah dan organisasi sosial. Sampai akhir

tahun 1970-an service dianggap tidak penting dalam perekonomian. Service ditempatkan nomor

dua setelah goods. Service dipandang lebih bersifat invisible, intangible dan residuals. Namun

demikian, service dan goods selalu hadir “in tandem” dalam sebuah offering. Yang ada adalah goods

(things) dan service (activities); sebuah pelajaran yang diterima tetapi tidak pernah cukup untuk di

pilih. Goods dan service sebagian subtitusi dan sebagaian supplements. Dalam pandangan

customers tidak ada sesuatu itu di sector service dan sector manufactur. Kategorisasi service dan

manufactur ditempatkan diatas dalam perspektif ekonomi oleh para produser karena mereka

(produser) adalah product oriented dan bukan customers oriented.

Dalam textbooks theory, goods adalah tangible, dihasilkan oleh pabrik-pabrik besar. Good adalah

“macho”, service “sissies”. Jika service diperhatikan seluruhnya, maka terdapat kontinum atau

“service to machinery” (dari service sampai machinery), atau industry seperti perbankan atau

transportasi, tetapi service tidak secara konseptual ditingkatkan generalisasinya pada tingkat yang

lebih linggi. Salah satu industry service pokok adalah distribusi barang melalui wholesaling dan

retailing yang diperlakukan sebagai masalah logistic, memindahkan dan menyimpan barang

dengan skala ekonomi dan biaya terendah sebagai kuncinya. Hal demikian tidak diperlakukan dari

perspektif customer service dan perspektif revenue. Kebanyakan textbooks mengklaim bahwa

service marketing sama dengan goods marketing.

Service adalah sebuah perspektif dari pada kategori, sehingga tidak pernah ada “goods against

service”. Yang terjadi selalu service with goods. Service pertama karena menambah dan

meningkatkan nilai pelayanan yang selalu dicari, baru kemudian media yang digunakan untuk

menyampaikan barang atau aktivitas.

Quality. Kualitas telah di pertimbangkan sebagai bukti dan dipandang tidak penting sehingga

jarang disebut-sebut dalam textbooks marketing. Quality dipandang sebagai isu dalam management

operasi, bukan pada marketing atau sales. Quality ditangani pada level shop floor bukan oleh top

management. Pada hal salah satu aspek quality ditetapkan pada agenda terpenting dalam

marketing dengan nama customers satisfaction. Dengan demikian mestinya marketing memberi

kontribusi pada modern quality concept meskipun aspek-aspek lain dari quality tidak dicatat oleh

marketer (diantara yang lain service quality, tetapi ini tidak dicatat oleh tradisi quality

management yang sudah establish). Oliver (1997) sebagaimana dipaparkan oleh Gummasson

(2004) mengungkap adanya perkembangan perhatian atas issu quality ini dalam konsep customers

13 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

satisfaction , customers perceived quality dan value terkait dengan bottom line dan long-term

survival. Ketiganya saat ini lebih banyak didiskusikan dibanding masa-masa lalu. Axiom bahwa

satisfied customers akan melakukan re-purchase dan bisnis akan menjadi lebih profitable perlu

dipertanyakan. Seberapa jauh perusahaan tahu dengan pasti tentang customer satisfaction dan

seberapa besar mereka peduli adalah pertanyaan penting yang perlu diajukan.

Relationship. Relationship dan kedekatan relasi, network dan interaksi sangat jarang disebut dalam

textbooks general marketing. Ketiganya belum dipandang berpengaruh penting dalam general

textbooks theory meskipun di dalam teks secara gradual memuat lebih banyak kasus dan contoh

relationship marketing. Relationship marketing pada tahap awal ini menjadi chapter tersendiri

pada bagian akhir buku-buku teks. Pada hal dalam marketing dan sales relationship customers

adalah menjadi focus. Dengan mempelajari relationship marketing maka akan menjadi jelas bahwa

kita akan mengetahui market relationship yang lain : dengan supplier, dengan intermediaries,

dengan competitor. Mega relationship diperlukan dalam hubunganya dengan media, local

government, dan internal customers. Marketing manager memerlukan kerjasama dengan

manufacturing, accounting, personalia dan spesialis fungsional lain. Pendekatan multi-level

terhadap relationship marketing menambah theoretical context pada relationship, network dan

interaction (Gummasson, 1999 dalam 2004).

Jika masyarakat adalah sebuah network dari sebuah relationship, tetapi marketing hanya

mengenali dalam bentuk footnotes atau subgroup dari beberapa bentuk klasifikasi lain

(mendapatkan perhatian yang amat kecil) maka secara fundamental telah terjadi kesalahan dan

perlu adanya pergeseran paradigm, dengan mana paradigm baru ini tidak bersifat tertutup.

Dengan berbagai fakta yang terjadi pada buku-buku teks marketing theory tradisonal, khususnya

terkait dengan relationship, nerwork dan interactive yang memerlukan paradigm baru, maka

fondasi marketing management dan teoritical fragments yang dikenalkan dalam teksbooks perlu

adanya perubahan.

Perlunya perubahan marketing concept dan pengajaran marketing

Beberapa pakar marketing menyatakan bahwa konsep pemasaran telah menapak pada tahap

kedewasaan dan mengalami krisis. Konsep yang berada pada tahapan ini menjadi tidak realistic

sehingga perlu direvisi, diperbaharuhi atau bahkan diganti. Meskipun tidak dapat dipungkiri,

14 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

bahwa pemasaran modern telah membawa capaian-capaian kemajuan, namun berbagai kelemahan

muncul di dalamnya. Beberapa komentator pemasaran menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang

hilang dalam konsep pemasaran : sebuah konsep seharusnya mendalam. Pada tahap kedewasaan

teori, juga dimungkinkan adanya kelehaman - kelemahan yang tidak dapat diperbaiki. Sebuah

konsep dapat saja mempunyai landasan teoritikal yang solid tetapi tidak berarti aman. Ekspresi

demikian perlu mendapat penekanan dan diperluas. Perhatian bukan saja pada pertanyaan filosofi

dan konsep yang sudah melenceng tetapi tetapi juga pada fungsi dalam pemasaran sehari-hari.

McCole (2004) lebih jauh memaparkan bahwa penyusunan kembali organisasi dan menempatkan

marketing di dalamnya semakin ter-fragmentasi karena pasar dan kompetisi semakin tidak

terprediksi. Ke-tidak relevan-an teori pemasaran yang telah lama di bangun sebagaimana BCG dan

PLC dan prolifikasi menjadikan marketing cure-alls (penyembuh semua) sedikit banyak

memanaskan versi-versi konsep pemasaran. Fenomena demikian merupakan bukti bahwa

marketing telah menapaki “mid life crisis” dan ini adalah saat yang mendesak untuk menyusun

kembali fungsi dan konsep yang dapat merefleksikan kehidupan nyata pemasaran. Adapun

fenomena yang mengharuskan untuk melakukan perubahan adalah adanya kepopuleran sukses

dan vitaltas disiplin marketing. Kepopuleran suskes marketing secara tekstual ternyata hanya

menjadi limbah baru dari pendidikan bisnis di universitas, yang sebenarnya bertentangan dengan

realita dunia bisnis itu sendiri. Dengan demikian relevansinya dengan praktik adalah menjadi

pertanyaan. Masalah lain adalah vitalitaas disiplin marketing sangat tergantung kelanjutannya pada

“cross interdisciplinary input”. Meskipun semakin populis versi tekstual dari marketing

management namun telah mengabaikan pengetahuan yang berasal dari interdisciplinary karena

antusiame pada pembahasan praktik dengan mengabaikan teori. Dengan kata lain kita melupakan

semua yang telah berlalu. Pada hal sebaliknya teori lebih penting dari pada subyek pembahasan

popular dan powerful sebagaimana terjadi dalam marketing untuk melanjutkan dan menguji

kembali konsep-konsep yang ada didalamnya (Hackly sebagaimana dikutip McCole, 2004).

Dalam kajiannya lebih lanjut McCole (2004) menguraikan dua model pengembangan atau

paradigm yang tepat untuk melakukan kodifikasi dan translasi, yaitu : retro-marketing dan

experiential marketing.

Retromarketin. Sebagaimana dijelaskan McCole (2004), retro-marketing dikenalkan oleh Brown.

Retro marketing dilihat sebagai kebangkitan atau re-launch product atau service dari periode

historis sebelumnya. Prinsip dari paradigm ini adalah simple dan to the point. Marketer

mendapatkan lebih dengan berjuang secara lebih keras. Retro marketing di representasikan

15 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

sebagai antitesis dari modern marketing. Brown percaya bahwa sukses dari retro marketing

tergantung pada upaya mengenali bahwa consumers saat ini adalah “nothing”. Operasionalisasi

dari retro-marketing didasarkan kepada lima elemen : strickterism, entertaintment, amplification,

secrecy dan exclusivity. Namun McCole (2004) memberikan kritikan bahwa retro-marketing

hanyalah bentuk dari nostalgic marketing. restro-marketing tidaklah tepat untuk semua kejadian;

demikian pula untuk setiap produk, service dan market segment. Retro-marketing hanya cocok

untuk global brand dengan “strong brand equity.

Experiencial marketing. Experiential marketing mengandalkan 6 indera : penciuman, penglihatan,

rasa, pendengaran, sentuhan dan keseimbangan. Experiencial marketing berkembang karena

tradisional marketing telah melupakan kecenderungan tindakan dari sebuah pengalaman.

Experiencial marketing menjadi semakin penting (khususnya untuk marketer intangible product)

karena marketing abad 21 lebih menantang, yaitu terfragmentasinya media, consumers yang

semakin pintar dan meningkatnya pikiran bebas customers. Experiencial marketing adalah lebih

dari separo pengalaman dan secara total baru sebagai the way of thinking marketing. Hal penting

dari Experiencial marketing adalah marketer bukan hanya concern dengan customers satisfaction.

Para experiencial marketer jauh lebih concern dengan membuat consumers secara emosional

dilekatkan dengan product atau service. Dengan demikian maka dalam experiencial paradigm

“emotional attachement” adalah kuncinya. Emosional attachement antara brand dengan

consumersnya adalah tujuan pokok dari experiencial marketing. Experiencial marketing

menawarkan tantangan baru untuk akademisi dan praktisi.

Perspektif dan arah baru teori pemasaran

Marketing telah berubah. Lingkungan ekonomi, teknologi dan sosial dimana kita hidup telah

berubah dan berpengaruh pada cara-cara bagaimana para marketing manager membuat keputusan

serta para akademisi mengajar. Bidang utama yang mengalami perubahan adalah globalisasi,

teknologi dan consumers demand dengan dampak pada adanya competitor baru, consumers baru,

informasi baru, dan cara-cara baru dalam pemasaran. Tentunya, perubahan-perubahan ini

mempengaruhi marketing management, marketing research dan marketing theory.

Dalam kajiannya Goldsmith (2004) menemukan beberapa masalah yang dihadapi oleh praktisi

pemasaan. Masalah-masalah itu antara lain adalah (1) consumers menjadi lebih beragam dan

16 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

memiliki ekspektasi lebih akan nilai dari barang, jasa dan informasi produksi yang dikonsumsi (2)

consumers lebih mempunyai kekuatan untuk melakukan kontrol (3) mereka mempunyai informasi

yang lebih banyak (4) media menjadi lebih beragam dan terfragmentasi (4) marketer dinilai

berdasar criteria Return on Invesment (ROI) untuk menjustifikasi keputusan budgeting (5)

marketing department semakin termarginalkan. Ini semua sebagai akibat dari globalisasi,

terknologi dan personalisasi; dan pada saat yang sama marketer dituntut untuk lebih accountable

pada pengengualaran dan hasil.

Dalam menyelesaikan masalah Sheth dan Sisodia (2001) sebagaimana di nyatakan dalam

Goldsmith (2004) memberi anjuran bahwa untuk mengahdapi perubahan lingkungan yang ada,

marketer harus : (1) lebih consumer-centric (2) menggunakan lebih banyak teknologi seperti CRM

dan mengintegrasikan teknologi ke dalam aspek lain dari marketing untuk menciptakan

pendekatan system guna mendapatkan customers baru (3) memuaskannya dan

mempertahankannya sebagai loyal buyers dan ((5) menghindarkan incremental thinking serta

mencari tahu dengan lebih banyak tentang customers sebagai individu sehingga solusi di buat

untuk memuaskan needs dan wants dengan lebih baik dari pada sebelumnya.

Dampak atas adanya perubahan yang diakibatkan oleh globalisasi, teknologi dan personalisasi

menuntut adanya perubahan arah pengembangan teori pemasaran. Topik dalam marketing teori

sejak semula menjadi bahan berdebatan bagi banyak teoritisi. Hal demikian terjadi karena tidak

adanya persetujuan universal tentang apa yang dimaksud dengan marketing theory meskipun

berbagai jurnal marketing theory diterbitkan dan memuat pengembangan serta diseminasi

alternative dan critical perspective marketing theory. Dalam amatan Goldsmith (2004), diskusi dan

perdebatan dalam ranah marketing theory untuk masa-masa yang akan datang semestinya lebih

banyak terarah pada perspektif global sehingga marketing theory bisa mencerminkan ide-ide dan

concern para marketer dan institusi diseluruh dunia, bukan hanya Amerika Utara dan Eropa. Lebih

dari itu marketing theory juga memberikan perhatian pada dampak teknologi pada consumers dan

bisnis. Marketing theory sebagaimana management harus memfokuskan pada system thinking

untuk mengintegrasikan perubahan-perubahan penting yang terjadi pada elemen-elemen teori

yang ada saat ini. Para marketer perlu mengembangkan teori baru untuk mengarahkan

management dan pemasaran produk informasi. Teori demikian akan membantu manager untuk

menghasilkan produk informasi yang lebih baik terkait dengan tantangan dalam pricing,

distributing dan promoting. Untuk menjawab tantangan terkait dengan pengembangan teori

pemasaran yang akan datang yang dapat memperkecil gap antara akademisi – praktisi, Smethee

17 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

dan Lee ((2004) menawarkan perspektif yang di representasikan dalam tiga bentuk pertanyaan.

Jawaban atas pertanyaan terkait dengan terjalinnya relationships antara akademisi dan praktisi,

yang merupakan cerminan dari pengembangan marketing theory untuk masa yang akan datang

dengan mendasarkan pada fenomena-fenomena praktis. Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah

(1) bagaimana akademisi marketing bisa mengembangkan hubungan yang lebih baik dengan

praktisi untuk saling memberikan manfaat. (2) dapatkah aliran positivist dan interpretive menjalin

kerjasama dan saling belajar kemudian mengembangkan network research yang pluralistic dan

memungkinkan adanya multiple methodologis (3) dapatkah marketing mengadopsi perubahan yang

akan datang ataukah akan menjadi subsume atau sub area dari management information science. .

Konklusi

Dalam hal pemahaman konstruk marketing orientation (1) para manger mempelajari hal-hal

terkait dengan market orientation dalam hubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi

profitability. (2) Meskipun para manager berada dalam industry yang sama pemahaman mareka

tentang konsep market orientation berbeda-beda. Pemahaman konsep mereka sebagian

menyimpang dari makna yang direpresentasikan dalam literature akademik. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa para manager mempelajari hanya sebatas bagian yang mereka adopsi.

Fenomena maturity dan declining disikapi para manager dengan berupaya mencari jalan yang lebih

baik untuk meningkatkan attractiveness dari produk-produk mereka serta memberikan adding

value. Relationship, network dan interaksi adalah menjadi salah satu alternatifnya. Dengan bahasa

lain dapat dikatakan bahwa praktik marketing telah melampaui sejumlah tahap perubahan, dan

kini transaction marketing bergesr ke relationship marketing.

Untuk melakukan translasi antara para akdemisi dan praktisi ada tiga fihak yang terlibat :

akademisi, praktrisi dan pihak ketiga (konsultan). Akademisi dan praktisi semestinya terlibat

interaksi. Peneliti akademisi dan praktisi semstinya mengembangkan share understanding tentang

makna dari central concept terkait dan market contexts. Relasi antara akademisi – praktisi akan

membantu menciptakan mutual respect dan trust dalam pemanfaatan hasil-hasil riset. Para

akademisi bisa memperoleh akses pada masalah-masalah kehidupan nyata yang dihadapi

organisasi perusahaan sehingga memungkinkan untuk memberikan hasil-hasil riset yang relevan.

18 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

Hambatan-hambatan dalam melakukan transfer knowledge dari akademisi kepada praktisi bukan

hanya menyangkuit volume dan karakteristik informasi, tetapi justru terletak pada pilihan dan

atribut dari informasi, providers dan users.

Konsep dan praktik marketing perlu di re-fokus. Sistem pengajaran tradisional perlu direvisi dan

personalia marketing perlu memahami cara-cara “the traditional way of doing marketing” sebelum

dapat menerima konsep atau cara baru dalam implementasi program-program pemasaran. Apa

yang terjadi dalam realitas tidak tercermin dalam pengajaran marketing yang di representasikan

dalam teks dan tidak juga memunculkan “best-practice” dalam memanage marketing dari berbagai

organisasi. Prinsip-prinsip yang terjadi pada retro-marketing dan experiencial marketing

membuktikan bahwa re-focusing diperlukan.

Pengembangan marketing theory untuk masa-masa yang akan datang lebih banyak terarah pada

perspektif global. Marketing theory juga harus memberikan perhatian akan dampak teknologi pada

consumers dan bisnis dengan memfokuskan pada system thinking untuk mengintegrasikan

perubahan-perubahan penting yang terjadi pada elemen-elemen teori yang ada saat ini. Para

marketer perlu mengembangkan teori yang bagi para manager menghasilkan produk informasi

yang lebih baik. Pengembangan teori pemasaran yang akan datang diarahkan pada upaya

memperkecil gap antara akademisi – praktisi. Untuk maksud ini ada pertanyaan yang memerlukan

jawaban dalam bentuk program aksi tentang relasi antara akademisi – praktisi : (1) bagaimana

akademisi marketing bisa mengembangkan hubungan yang lebih baik dengan praktisi untuk saling

memberikan manfaat. (2) dapatkah aliran positivism dan interpretivism menjalin kerjasama dan

saling belajar kemudian mengembangkan network research yang pluralistic dan memungkinkan

adanya multiple methodologis (3) dapatkah marketing mengadopsi perubahan yang akan datang.

--oo00oo—

REFERENSI :

Lindgreen, A., R. Palmer, & J. Vanhamme (2004), “Contemporary Marketing Practice:

Theoretical Propositions and Practical Implications”, Marketing Intelligence &

Planning, 22(6/7): 673 -692.

19 Jurnal Kajian Bisnis, Vol.21, No.1, Januari – April, 2013; halaman 265-279

Gummesson, E. (2002), “Practical Value of Adequate Marketing Management Theory”,

European Journal of Marketing, 36(3): 325 – 402.

Ottesen, G. G., & K. Gronhaug (2004), “Barrier to Practical Use of Academic Marketing

Knowledge”, Marketing Intelligence & Planning, 22(5): 520 – 530.

Webster Jr., F. E., A. J. Malter, & S. Ganesan (2005), “The Decline and Dispersion of

Marketing Competence”, MIT Sloan Management Review, 46(4/Summer):35 – 43.

Goldsmith, R. E. (2004), “Current and Future Trends in Marketing and Their Implications

for the Discipline”, Journal of Marketing Theory and Practice, 12(4/Fall):10 – 17.

Smithee, A., & T. Lee (2004), “Future Directions in Marketing Knowledge: A Panoramic

Perspective from Hollywood”, Journal of Business & Industrial Marketing, 19(2):149

-154.

Ottesen, G. G., & K. Gronhaug (2004), “Manager’s Understanding of Theoretical Concepts:

The Case of Market Orientation”, European Journal of Marketing, 36(11/12):1209 –

1224.

McCole, P. (2004), “Refocusing Marketing to Reflect Practice”, Marketing Intelligence &

Planning, 22(5):531 -539


Recommended