Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
Cerita Natal Inspiratif
Compiled by:
Snow Media Publishing
Copyleft 2010 by snow media
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
I
Tidak Masuk Akal Yesus, Tuhan Menjadi Manusia?
uatu ketika, ada seorang pria yang menganggap Natal sebagai sebuah takhayul belaka. Dia bukanlah orang yang kikir. Dia adalah pria yang baik hati dan tulus, setia kepada keluarganya dan bersih kelakuannya terhadap orang lain. Tetapi ia tidak percaya pada
kelahiran Kristus yang diceritakan setiap gereja di hari Natal. “Saya benar‐benar minta maaf jika saya membuat kamu sedih,” kata pria itu kepada istrinya yang rajin pergi ke gereja. “Tapi saya tidak dapat mengerti mengapa Tuhan mau menjadi manusia. Itu adalah hal yang tidak masuk akal bagi saya “
Pada malam Natal , istri dan anak‐anaknya pergi menghadiri kebaktian tengah malam di gereja. Pria itu menolak untuk menemani mereka. “Saya tidak mau menjadi munafik,” jawabnya. “Saya lebih baik tinggal di rumah. Saya akan menunggumu sampai pulang.“
Tak lama setelah keluarganya berangkat, salju mulai turun. Ia melihat keluar jendela dan melihat butiran‐butiran salju itu berjatuhan. Lalu ia kembali ke kursinya di samping perapian dan mulai membaca surat kabar. Beberapa menit kemudian, ia dikejutkan oleh suara ketukan. Bunyi itu terulang tiga kali. Ia berpikir seseorang pasti sedang melemparkan bola salju ke arah jendela rumahnya. Ketika ia pergi ke pintu masuk untuk mengeceknya, ia menemukan sekumpulan burung terbaring tak berdaya di salju yang dingin. Mereka telah terjebak dalam badai salju dan mereka menabrak kaca jendela ketika hendak mencari tempat berteduh.
Saya tidak dapat membiarkan makhluk kecil itu kedinginan di sini, pikir pria itu. Tapi bagaimana saya bisa menolong mereka?
Kemudian ia teringat akan kandang tempat kuda poni anak‐anaknya. Kandang itu pasti dapat memberikan tempat berlindung yang hangat. Dengan segera pria itu mengambil jaketnya dan pergi ke kandang kuda tersebut. Ia membuka pintunya lebar‐lebar dan menyalakan lampunya. Tapi burung‐burung itu tidak masuk ke dalam. Makanan pasti dapat menuntun mereka masuk, pikirnya. Jadi ia berlari kembali ke rumahnya untuk mengambil remah‐remah roti dan menebarkannya ke salju untuk membuat jejak ke arah kandang. Tapi
S
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
ia sungguh terkejut. Burung‐burung itu tidak menghiraukan remah roti tadi dan terus melompat‐lompat kedinginan di atas salju.
Pria itu mencoba menggiring mereka seperti anjing menggiring domba, tapi justru burung‐burung itu berpencaran kesana‐kemari, malah menjauhi kandang yang hangat itu. “Mereka menganggap saya sebagai makhluk yang aneh dan menakutkan,” kata pria itu pada dirinya sendiri, “dan saya tidak dapat memikirkan cara lain untuk memberitahu bahwa mereka dapat mempercayai saya. Kalau saja saya dapat menjadi seekor burung selama beberapa menit, mungkin saya dapat membawa mereka pada tempat yang aman.“
Pada saat itu juga, lonceng gereja berbunyi. Pria itu berdiri tertegun selama beberapa waktu, mendengarkan bunyi lonceng itu menyambut Natal yang indah. Kemudian dia terjatuh pada lututnya dan berkata, “Sekarang saya mengerti,” bisiknya dengan terisak. “Sekarang saya mengerti mengapa KAU mau menjadi manusia.“
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
II
Kisah Natal: Boneka untuk adikku
ari terakhir sebelum Natal, aku terburu‐buru ke supermarket untuk membeli hadiah2 yang semula tidak direncanakan untuk dibeli. Ketika melihat orang banyak, aku mulai mengeluh: "Ini akan makan waktu selamanya, sedang masih banyak
tempat yang harus kutuju" "Natal benar‐benar semakin menjengkelkan dari tahun ke tahun. Kuharap aku bisa berbaring, tidur, dan hanya terjaga setelahnya" Walau demikian, aku tetap berjalan menuju bagian mainan, dan di sana aku mulai mengutuki harga‐harga, berpikir apakah sesudahnya semua anak akan sungguh‐sungguh bermaindengan mainan yang mahal.
Saat sedang mencari‐cari, aku melihat seorang anak laki2 berusia sekitar 5 tahun, memeluk sebuah boneka. Ia terus membelai rambut boneka itu dan terlihat sangat sedih. Aku bertanya‐tanya untuk siapa boneka itu. Anak itu mendekati seorang perempuan tua di dekatnya: 'Nenek, apakah engkau yakin aku tidak punya cukup uang?' Perempuan tua itu menjawab: 'Kau tahu bahwa kau tidak punya cukup uang untuk membeli boneka ini, sayang.' Kemudian Perempuan itu meminta anak itu menunggu di sana sekitar 5 menit sementara ia berkeliling ke tempat lain. Perempuan itu pergi dengan cepat. Anak laki2 itu masih menggenggam boneka itu di tangannya.
Akhirnya, aku mendekati anak itu dan bertanya kepada siapa dia ingin memberikan boneka itu. 'Ini adalah boneka yang paling disayangi adik perempuanku dan dia sangat menginginkannya pada Natal ini. Ia yakin Santa Claus akan membawa boneka ini untuknya' Aku menjawab mungkin Santa Claus akan membawa boneka untuk adiknya, dan supaya ia jangan khawatir.
Tapi anak laki2 itu menjawab dengan sedih 'Tidak, Santa Claus tidak dapat membawa boneka ini ke tempat dimana adikku berada saat ini. Aku harus memberikan boneka ini kepada mama sehingga mama dapat memberikan kepadanya ketika mama sampai di sana.' Mata anak laki2 itu begitu sedih ketika mengatakan ini 'Adikku sudah pergi kepada Tuhan. Papa berkata bahwa mama juga segera pergi menghadap Tuhan, maka kukira mama dapat membawa boneka ini untuk diberikan kepada adikku.' Jantungku seakan terhenti.
H
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
Anak laki‐laki itu memandangku dan berkata: 'Aku minta papa untuk memberitahu mama agar tidak pergi dulu. Aku meminta papa untuk menunggu hingga aku pulang dari supermarket.' Kemudian ia menunjukkan fotonya yang sedang tertawa. Kamudian ia berkata: 'Aku juga ingin mama membawa foto ini supaya tidak lupa padaku. Aku cinta mama dan kuharap ia tidak meninggalkan aku tapi papa berkata mama harus pergi bersama adikku.' Kemudian ia memandang dengan sedih ke boneka itu dengan diam.
Aku meraih dompetku dengan cepat dan mengambil beberapa catatan dan berkata kepada anak itu. 'Bagaimana jika kita periksa lagi, kalau2 uangmu cukup?' 'Ok' katanya. 'Kuharap punyaku cukup.' Kutambahkan uangku pada uangnya tanpa setahunya dan kami mulai menghitung. Ternyata cukup untuk boneka itu, dan malah sisa. Anak itu berseru: 'Terima Kasih Tuhan karena memberiku cukup uang' Kemudian ia memandangku dan menambahkan: 'Kemarin sebelum tidur aku memohon kepada Tuhan untuk memastikan bahwa aku memiliki cukup uang untuk membeli boneka ini sehingga mama bisa memberikannya kepada adikku. DIA mendengarkan aku. Aku juga ingin uangku cukup untuk membeli mawar putih buat mama, tapi aku tidak berani memohon terlalu banyak kepada Tuhan. Tapi DIA memberiku cukup untuk membeli boneka dan mawar putih.' 'Kau tahu, mamaku suka mawar putih'.
Beberapa menit kemudian, neneknya kembali dan aku berlalu dengan keretaku. Kuselesaikan belanjaku dengan suasana hati yang sepenuhnya berbeda dari saat memulainya. Aku tidak dapat menghapus anak itu dari pikiranku. Kemudian aku ingat artikel di koran lokal 2 hari yang lalu, yang menyatakan seorang pria mengendarai truk dalam kondisi mabuk dan menghantam sebuah mobil yang berisi seorang wanita muda dan seorang gadis kecil. Gadis kecil itu meninggal seketika, dan ibunya dalam kondisi kritis. Keluarganya harus memutuskan apakah harus mencabut alat penunjang kehidupan, karena wanita itu tidak akan mampu keluar dari kondisi koma.
Apakah mereka keluarga dari anak laki‐laki ini? 2 hari setelah pertemuan dengan anak kecil itu, kubaca di koran bahwa wanita muda itu meninggal dunia. Aku tak dapat menghentikan diriku dan pergi membeli seikat mawar putih dan kemudian pergi ke rumah duka tempat jenasah dari wanita muda itu diperlihatkan kepada orang‐orang untuk memberikan penghormatan terakhir sebelum penguburan. Wanita itu di sana, dalam peti matinya, menggenggam setangkai mawar putih yang cantik dengan foto anak laki‐laki dan boneka itu ditempatkan di atas dadanya. Kutinggalkan tempat itu dengan menangis, merasa hidupku telah berubah selamanya. Cinta yang dimiliki anak laki‐laki itu kepada ibu dan adiknya, sampai saat ini masih sulit untuk dibayangkan. Dalam sekejap mata, seorang pria mabuk mengambil semuanya dari anak itu.
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
III
Dua Bayi Dalam Palungan
i tahun 1994, dua orang Amerika menanggapi undangan Departemen Pendidikan Rusia untuk mengajar Moral dan Etika berdasarkan prinsip‐prinsip Alkitab di sekolah‐sekolah umum. Mereka diundang mengajar di penjara‐penjara, kantor‐
kantor, departemen kepolisian, pemadam kebakaran, dan disebuah tempat yatim piatu yang besar.
Ada sekitar 100 anak laki‐laki dan perempuan penghuni di situ, yang terbuang, ditinggalkan dan sekarang ditampung dalam program pemerintah. Beginilah kisah dalam kata‐kata mereka:
Waktu itu mendekati musim libur tahun 1994, sewaktu anak‐anak yatim piatu kita ‐ untuk pertama kalinya ‐ mendengar kisah Natal. Kami cerita soal Maria dan Jusuf, yang sesampai di Bethlehem, sebab tak mendapat penginapan, lalu pergi kesebuah kandang binatang, dimana bayi Yesus lahir dan diletakkan dalam sebuah palungan.
Sepanjang cerita itu, anak‐anak maupun staf rumah yatim itu terpukau diam, terpaku takjub mendengarkan. Beberapa diantaranya bahkan duduk diujung depan sekali kursi mereka seakan agar bisa lebih menangkap tiap kata. Seusai ceriteranya semua anak‐anak kami beri tiga potong kertas karton untuk membuat palungan, juga sehelai kertas persegi, dan sedikit sobekan kertas napkin berwarna kuning yang kami bawa. Maklum, masa itu kertas berwarna sedang langka dikota ini.
Sesuai petunjuk anak‐anak itu menyobek kertasnya, lantas dengan hati‐hati, menyusun sobekan pita‐pita seakan‐akan jerami kuning dipalungan. Potongan‐potongan kecil kain flanel ‐ digunting dari gaun‐malam bekas dari seorang ibu Amerika saat meninggalkan Rusia ‐ dipakai sebagai selimut kecil bayi itu. Bayi mirip bonekapun digunting dari lembaran kulit tipis yang kami bawa dari Amerika.
Mereka semua sibuk menyusun palungan masing‐masing saat aku berjalan keliling, memperhatikan kalau‐kalau ada yang butuh bantuan. Semuanya kelihatan beres, sampai aku tiba dimeja sikecil Misha (seorang anak laki‐laki). Kelihatannya ia sekitar 6 tahun dan sudah menyelesaikan proyeknya.
D
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
Sewaktu kulihat palungan bocah kecil ini, saya heran bahwa bukannya satu, melainkan ada dua bayi didalamnya. Cepat kupanggil penterjemah agar menanyai anak ini kenapa ada dua bayi. Dengan melipat tangannya dan mata menatap hasil karyanya, anak ini mulai mengulang kisah Natal dengan amat serius.
Untuk anak semuda dia yang baru sekali mendengar kisah Natal, ia mengurutkan semua kejadian demikian cermat dan telitinya ‐ sampai pada bagian kisah dimana Maria meletakkan bayi itu kedalam palungan. Di sini si Misha mengubahnya. Ia membuat penutup akhir kisah ini demikian:
"Sewaktu Maria menaruh bayi itu dipalungan, Yesus lalu melihat aku dan bertanya apa aku punya tempat tinggal. Aku bilang aku tak punya mama dan tak punya papa, jadi aku tak punya tempat untuk tinggal. Lalu Yesus bilang aku sih boleh tinggal sama dia. Tapi aku bilang tidak bisa, sebab aku kan tidak punya apa‐apa yang bisa kuberikan sebagai hadiah seperti orang‐orang dalam kisah itu. Tapi aku begitu ingin tinggal bersamanya, jadi aku pikir, apa yah yang aku punya yang bisa dijadikan hadiah. Aku pikir barangkali kalau aku bantu menghangatkan dia, itu bisa jadi hadiah."
"Jadi aku bertanya pada Yesus, 'Kalau aku menghangatkanmu, cukup tidak itu sebagai kado?' Dan Yesus menjawab, 'Kalau kamu menjaga dan menghangatkan aku, itu bakal menjadi hadiah terbaik yang pernah diberikan siapapun padaku.' Jadi begitu, terus aku masuk dalam palungan itu, lantas Yesus melihatku dan bilang aku boleh kok tinggal bersamanya ‐ untuk selamanya."
Saat sikecil Misha berhenti bercerita, air matanya menggenang meluber jatuh membasahi pipinya yang kecil. Wajahnya ia tutupi dengan tangannya, kepalanya ia jatuhkan ke meja dan seluruh tubuh dan pundaknya gemetar saat ia menangis tersedu.
Yatim piatu kecil ini telah menemukan seseorang yang takkan pernah melupakan atau meninggalkannya, yang takkan pernah berbuat zalim padanya, seseorang yang akan tetap tinggal dan menemaninya ‐ untuk selamanya.
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
IV
The Last Waltz
ama saya Lily , kami tinggal di sebuah kota kecil di Menado. Sejak muda Ibu saya senang sekali menari, oleh sebab itulah ketika hari perkawinannya ayah memohon agar tarian yang terakhir diberikan hanya untuk dia seorang, maka dari itulah lagu
pertama pada saat mereka menari adalah „The Last Waltz“ dari Engelbert Humperdinck, dan rupanya ini benar‐benar menjadi kenyataan, karena beberapa bulan kemudian pada saat ibu melahirkan saya, ibu meninggal dunia.
Daddy – begitulah panggilan saya terhadap ayah. Karena kasihnya kepada ibu, Daddy tidak pernah mau menikah lagi. Saya dibesarkan hanya oleh Daddy dan nenek saya, dan setiap malam Natal sudah merupakan tradisi bagi Daddy untuk selalu mengalunkan lagu kesayangannya “The Last Waltz”, sambil mengingat ibu. Ketika saya berusia lima tahun, Daddy mengajar saya menari waltz.
Sejak saat itu, setiap malam Natal, kami menari waltz berdua. Pada hari ulang tahun saya yang kedua belas, yang bertepatan dengan malam tahun baru, Daddy memberikan kepada saya hadiah berupa long dress warna merah, dan kami berdua menari waltz bersama.
Pada saat tersebut, saya benar‐benar merasa seperti juga Sang Putri dalam kisah Cinderella yang sedang menari dengan Sang Pangeran. Daddy mengasihi saya sehingga hampir semua permohonan saya selalu dikabulkan olehnya, ia benar‐benar mengabdikan hidupnya hanya untuk saya seorang.
Seharian Daddy harus bekerja di kantor, jadi satu‐satunya yang membimbing saya di rumah adalah Nenek, hal ini mengakibatkan saya terlibat pergaulan bebas, dan akhirnya mulai ketagihan narkoba. Hampir setiap hari saya pulang ke rumah setelah jauh malam.
Walaupun demikian Daddy selalu menunggu kedatangan saya dengan sabar, ia baru bisa tidur setelah saya berada di rumah kembali. Bahkan pada malam Natal yang terakhirpun, saya lebih senang merayakannya di diskotik bersama dengan anak‐anak muda lainnya daripada bersama dengan Daddy, di situlah untuk pertama kalinya saya melihat Daddy mengeluarkan air mata.
N
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
Karena kebutuhan saya akan narkoba semakin meningkat, maka akhirnya saya mencuri uang tabungan yang seyogianya untuk masa tuanya Daddy, dan melarikan diri ke Jakarta dengan harapan di sana saya bisa mendapatkan pekerjaan dan bisa hidup mandiri.
Pada hari‐hari pertama saya tinggal numpang di rumah Om saya, dan ternyata mencari pekerjaan di Jakarta itu tidaklah mudah, sehingga akhirnya saya terpaksa melamar bekerja di Klab Malam “Blue Ocean” sebagai pramuria. Kalau dahulu saya menari dengan Daddy, di sana saya terpaksa harus menari dengan pria yang sebaya dengan Daddy, bahkan tidak jarang di mana akhirnya saya bersedia untuk menemani mereka tidur di hotel.
Setelah satu bulan saya berada di Jakarta, saya menerima surat dari Daddy yang dialamatkan ke tempat kost saya, rupanya Daddy mengetahui alamat kost saya dari Om. Dalam seminggu saya menerima tiga surat bahkan terkadang lebih, tetapi tidak satu surat pun yang pernah saya balas, boro‐boro dibalas, dibukapun tidak. Masalahnya saya merasa malu dan tidak berani membaca surat dari Daddy, saya merasa berdosa terhadap Daddy, bahkan saya merasa jijik terhadap diri saya sendiri.
Sudah lebih dari satu tahun saya di Jakarta, tumpukan surat yang dikumpulkan sudah ada beberapa dus. Semuanya ini saya simpan dengan rapi, hanya sayangnya ini hanya sekedar pajangan saja bagi saya, karena saya tidak berani dan mau membukanya. Saya tidak ingin mengetahui bahwa gadis kesayangannya Daddy, gadis yang sedemikian ia banggakannya, telah menjadi seorang pramuria, seorang prostitusi, bahkan sudah menjadi pencandu berat narkoba.
Beberapa hari sebelum Natal, saya menerima surat lagi yang ditulis dengan tulisan tangan yang sama, dan bentuk sampul yang sama, tetapi kali ini tidak dikirim melalui pos maupun ke alamat kost saya, melainkan dikirim dan dititipkan secara langsung ke klab malam tempat di mana saya bekerja. Dan ketika saya menanyakan siapa yang menitipkan surat tersebut, ternyata dari gambaran yang diberikan adalah Daddy sendiri yang telah khusus datang ke Jakarta untuk mengantarkan surat tersebut.
Ini kali saya sudah tidak tahan lagi untuk membukanya, dengan air mata yang turun berlinang saya baca surat tersebut, yang isinya sebagai berikut: “Lily my dearest beloved princess, Daddy sudah sejak lama tahu di mana kamu bekerja, permohonan Daddy hanya satu saja: “Maukah kamu pulang kembali ke rumah untuk menari bersama dengan Daddy ?”
Setelah membaca surat tersebut, saya langsung pulang ke tempat kost untuk membaca ratusan surat ‐ surat lainnya yang belum saya buka, ternyata semua surat isinya sama, di mana hanya tertulis satu pertanyaan saja yang ditulis dengan tangan: “Maukah Lily menari kembali bersama dengan Daddy ?”
Hari itu juga saya langsung mengambil keputusan untuk pulang ke rumah. Karena menjelang Natal, maka hampir semua pesawat fully book, sehingga terpaksa saya membeli
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
tiket dengan harga yang berkali lipat lebih tinggi, hanya dengan satu harapan saja agar saya bisa tiba di rumah sebelum malam Natal nanti.
Setibanya saya dirumah, saya langsung dipeluk dengan erat oleh Daddy, air matanya turun berlinang dengan deras membasahi kepala saya. Dengan suara terisak‐isak Daddy bertanya sekali lagi: “Maukah Lily menari kembali bersama dengan Daddy ?” Saya mengangguk sambil menjawab: “YA, tapi apakah Daddy tahu, bahwa Lily yang sekarang ini bukanlah princess Daddy yang dahulu lagi ? Saya adalah seorang prostitusi yang kotor, bahkan yang telah mengidap penyakit AIDS, apakah Daddy tidak malu menerima saya kembali, apakah Daddy tidak takut ketularan penyakit saya ?”
Daddy tidak berkata sepatah katapun juga, ia hanya pergi memutar lagu kesayangannya “My Last Waltz”, dan memeluk saya dengan penuh kasih untuk mengajak saya menari seperti pada hari‐hari Natal sebelumnya , hanya ini kali selainnya diiringi oleh irama lagu, juga oleh tetesan air mata yang turun berderai.
Tanpa saya ketahui, sejak Daddy ditinggal oleh saya, ia sering begadang menunggu dan mengharapkan kedatangan saya kembali, di samping itu karena rasa duka yang sedemikian mendalamnya, sehingga akhirnya ia jatuh sakit kanker, dua minggu setelah Natal Daddy menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Rupanya ia mengetahui bahwa bahwa hari‐hari terakhirnya telah mendekati, oleh sebab itulah ia telah memaksakan diri, walaupun dalam keadaan sakit sekalipun juga khusus untuk mengantarkan surat bagi saya ke Jakarta, hanya untuk mewujudkan keinginannya yang terakhir dimana ia bisa mendapatkan kesempatan sekali lagi menari dengan putri kesayangannya. Masih terngiang‐ngiang dikuping saya lirik dari lagu kesayangannya “The Last Waltz”
.....
A little girl alone and so shy
I had the last waltz with you
Two lonely people together
I fell in love with you
The last waltz should last forever
But the love we had was goin' strong
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
V
Tidak Ada yang Mustahil ( Kasih itu Nyata)
os Felidas adalah nama sebuah jalan di salah satu ibu kota negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota . Ada sebuah kisah Natal yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang.
Cerita ini dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa IA bukan penduduk asli kota itu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya. Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, Tidak sampai setahun di kota itu, mereka sudah kehabisan seluruh uangnya.
Hingga suatu pagi mereka menyadari akan tinggal dimana malam nanti dengan tidak sepeserpun uang Ada dikantong. Padahal mereka sedang menggendong seorang bayi berumur satu tahun. Dalam keadaan panik Dan putus ASA, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya Dan tiba di sebuah jalan sepi dimana puing‐puing dari sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.
Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik‐titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: "Saya harus meninggalkan kalian sekarang untuk mendapatkan pekerjaan apapun, kalau tidak malam nanti Kita akan tidur disini." Setelah mencium bayinya IA pergi. Dan itu adalah kata2nya yang terakhir karena setelah itu IA tidak pernah kembali. Tak seorangpun yang tahu dengan pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.
Selama beberapa Hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, Dan bila malam menjelang ibu Dan anaknya tidur diemperan toko itu. Pada Hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang‐orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, Dan jadilah mereka pengemis disana selama 6 bulan berikutnya.
Pada suatu Hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit Dan memutuskan untuk bekerja. Persoalan nya adalah di mana IA harus
L
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, Dan tampak amat cantik. Keliahatan nya tidak Ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu Dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka.
Suatu pagi IA berpesan pada anaknya, agar IA tidak pergi kemana‐mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau yang menawarkan gula‐gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. "Dalam beberapa Hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, Dan Kita tidak lagi tidur dengan angin dirambut Kita".
Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, Dan membaringkan anaknya dengan hati‐hati di dalamnya, di sebelahnya IA meletakkan sepotong roti, kemudian, dengan Mata basah ibu itu menuju kepabrik sepatu, dimana IA bekerja sebagai pemotong kulit. Begitulah kehidupan mereka selama beberapa Hari, hingga dikantong sang Ibu. Kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh tersebut.
Dengan suka cita sang Ibu menuju ke penginapan orang‐orang miskin itu, membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota . Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya Dan membawanya kesebuah rumah mewah dipusat kota.
Disitu gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Suami istri dokter tsb memberi nama anak gadis itu Serrafona, mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah‐tengah kemewahan istana gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan‐kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi Dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan‐kalangan kelas atas, Dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun IA pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, Dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.
Pada umurnya yang ke‐24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif digereja, Dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian. Setiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.
Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, Dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan Dan sebuah real‐estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga Dan istana yang paling megah di kota Itu.
Menjelang Hari ulang tahunnya yang ke‐27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang Ayahnya yang sudah
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
tidak pernah dipakai lagi, Dan di laci meja kerja ayahnya, IA menemukan selembar foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, Dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar Dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian IA membuka lemarinya sendiri, Dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni.
Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang‐barang pribadinya, dari kalung‐kalung berlian hingga surat‐surat pribadi. Tapi diantara benda‐benda mewah itu tampak sesuatu yang terbungkus oleh kapas kecil, sebentuk anting‐anting melingkar yang amat sederhana, ringan Dan bukan terbuat dari emas murni.
Almarhum ibu memberinya benda itu dengan pesan untuk tidak menghilangkan nya. Ia sempat bertanya, kalau itu anting, dimana pasangannya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting itu didekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan‐lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu‐raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri.
Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, dengan senyum yang dibuat‐buat, belum pernah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar‐lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan‐pertanya annya, kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.
Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat dibenaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya Dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dingin sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.
Matanya basah ketika ia keluar dari kamar Dan menghampiri suaminya, "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkin kah ibu sekarang masih Ada di jalan setelah 25 tahun?" Ini semua adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam‐putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu‐satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, penerbit surat kabar dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan‐yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti‐panti orang jompo dan badan‐badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
Bulan demi bulan telah berlalu, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu dinegeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian.
Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah‐daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali‐kali, dan suaminya mengangguk‐angguk penuh pengertian.
Saat itu waktu sudah memasuki masa menjelang Natal. Seluruh negeri bersiap untuk menyambut hari kelahiran Kristus, Dan bahkan untuk kasus Serrafona‐pun, orang tidak lagi menaruh perhatian utama. Melihat pohon‐pohon terang mulai menyala disana‐sini, mendengar lagu‐lagu Natal mulai dimainkan ditempat‐tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih.
Pagi, siang dan sore ia berdoa, "Tuhan, saya bukannya tidak berniat merayakan hari lahirmu, tapi ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup ini 'temukan saya dengan ibu' ". Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan Ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ketempat wanita itu berada, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus‐putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah uang.
Malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik, mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang‐orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur untuk kesekian kalinya ia bertanya‐tanya kenapa ia begitu yakin bahwa Ibunya masih hidup dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.
Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. "Tuhan Maha Kasih nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu nyonya, hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak terlalu banyak lagi." Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh Dan banyak angin. Rumah‐rumah disepanjang jalan itu tua‐tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain‐main ditepi jalan dari jalanan pertama,
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.
Tubuh Serrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. "Cepat, Serrafonna, mama menunggumu, sayang". Ia mulai berdoa, "Tuhan beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja untuknya". Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja". Mobil masih berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka.
Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan". Ketika mereka masuk dibelokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat‐erat. Jalan itu bernama Los Felidas, panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah‐tengah jalan itu, di depan puing‐puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong‐kantong plastik, dan ditengah‐tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak.
Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya Dan 3 mobil polisi, di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis‐pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
"Belum bergerak dari tadi." Lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun dari Mobil, suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
"Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu." Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingatan semasa kecilnya kembali menerawang saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan kembali terlintas bayangan ketika IA mulai belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya.
Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat. "Tuhan", ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, "Beri kami sehari,Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberinya tahu bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Sehingga mama tidak sia‐sia pernah merawat saya".
Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya, wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang‐orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil‐mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri disaat ia masih muda.
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
"Mama....", ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang selama ini ditunggunya tiap malam dan seiap hari ‐ antara sadar Dan tidak kini menjadi kenyataan.
Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas, dengan perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebuah anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk Dan menyadari bahwa itulah pasangan anting yang selama ini dicarinya dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.
"Mama, saya tinggal di istana dengan makanan enak setiap hari. Mama jangan pergi, Kita bisa lakukan bersama‐sama. Mama ingin makan, ingin tidur apapun juga........ Mama jangan pergi....... ." Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan Maha Pengasih dan Pemberi, Tuhan..... satu jam saja.......satu jam saja....."
Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia‐sia.
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
VI
Tukang Arloji
i Jerman tinggal seorang tukang arloji. Namanya Herman Josep. Dia tinggal di sebuah kamar yang sempit. Di kamar itu ada sebuah bangku kerja, sebuah lemari tempat kayu dan perkakas kerjanya, sebuah rak untuk tempat piring dan gelas serta
tempat tidur lipat di bawah bangku kerjanya.
Selain puluhan arloji yang sudah dibuatnya tidak ada barang berharga lain di kamarnya. Di jendela kaca kamar itu Herman menaruh sebuah jam dinding paling bagus untuk menarik perhatian orang‐orang yang lewat. Herman adalah seorang tukang arloji yang miskin. Pakaiannya compang‐camping. Tetapi dia baik hati. Anak‐anak di sekitar rumah menyukainya. Kalau permainan mereka rusak, Herman biasa diminta memperbaiki. Herman tak pernah minta satu sen pun untuk itu. “Belilah makanan yang enak atau tabunglah uang itu untuk hari Natal.” Ini jawaban yang Herman selalu berikan.
Sejak dulu penduduk kota itu biasa membawa hadiah Natal ke kathedral dan meletakkannya di kaki patung Maria yang sedang memangku bayi Yesus. Setiap orang menabung supaya bisa memberi hadiah yang paling indah pada Yesus. Orang‐orang bilang, kalau Yesus suka hadiah yang diberikan kepada‐Nya, Ia akan mengulurkan tangan‐Nya dari pelukan Maria untuk menerima bingkisan itu. Tentu saja ini legenda. Belum pernah terjadi bayi Yesus dalam pelukan Maria mengulurkan tangan menerima bingkisan Natal untuk‐Nya.
Meskipun begitu penduduk kota itu selalu berusaha membawa bingkisan yang paling indah. Para penulis puisi membuat syair‐syair yang aduhai. Anak‐anak juga tidak ketinggalan. Setiap orang berlomba memberikan yang terbaik pada Yesus di Hari Natal. Siapa tahu, kata mereka, Yesus mengulurkan tangan menerima pemberian itu. Orang‐orang yang tidak punya bingkisan, pergi ke Gereja untuk berbakti pada malam Natal sekaligus menilai bingkisan mana yang terindah. Herman, tukang arloji, adalah salah seorang yang hanya pergi untuk berbakti dan menonton.
Pernah ada seorang teman mencegah Herman dan bertanya: “Kau tidak tahu malu. Tiap tahun kau tak pernah membawa bingkisan Natal buat Yesus?” Pernah satu kali panitia Natal bertanya: “Herman! Mana bingkisan Natal darimu? Orang‐orang yang lebih miskin dari
D
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
kau saja selalu bawa.” Herman menjawab: “Tunggulah, satu ketika saya akan bawa bingkisan.” Tapi sedihnya, tukang arloji ini tak pernah punya apa‐apa untuk Yesus. Arloji yang dibuatnya dijual dengan harga murah. Kadang‐kadang ia memberikan gratis pada orang yang benar‐benar perlu.
Tetapi dia punya ide. Tiap hari ia bekerja untuk bingkisan natal itu. Tidak satu orangpun yang tahu ide itu kecuali Trude, anak perempuan tetangganya. Trude berumur 7 tahun waktu ia tahu ide Herman. Tetapi setelah Trude berumur 31 tahun bingkisan itu belum selesai. Herman membuat sebuah jam dinding. Mungkin yang paling indah dan belum pernah ada. Setiap bagian dikerjakan dengan hati‐hati dan penuh kasih. Bingkainya, jarum‐jarumnya, beratnya, dan yang lainnya diukir dengan teliti. Sudah 24 tahun Herman merangkai jam dinding itu.
Masuk tahun ke‐25 Herman hampir selesai. Tapi dia juga masih terus membantu memperbaiki mainan anak‐anak. Perhatiannya pada hadiah Natal itu membuat dia tidak punya cukup waktu untuk buat arloji dan menjualnya. Kadang Herman tidur dengan perut kosong. Ia makin tambah kurus tetapi jam dindingnya makin tanbah cantik. Di jam dinding itu ada kandang, Maria sedang berlutut di samping palungan yang di dalamnya terbaring bayi Yesus. Di sekeliling palungan itu ada Yusuf serta tiga orang Majus, gembala‐gembala dan dua orang malaikat. Kalau jam dinding itu berdering, orang‐orang tadi berlutut di depan palungan Yesus dan terdengar lagu “Gloria in Excelsis Deo”.
“Lihat ini!” kata Herman pada Trude. “Ini berarti bahwa kita harus menyembah Kristus bukan hanya pada hari Minggu atau hari raya tetapi pada setiap hari dan setiap jam. Yesus menunggu bingkisan kita setiap detik.” Jam dinding itu sudah selesai. Herman puas. Ia menaruh benda itu di jendela kaca kamarnya supaya bisa dilihat orang. Orang‐orang yang lewat berdiri berjam‐jam mengagumi benda itu. Mereka sudah menduga bahwa ini pasti bingkisan Natal dari Herman. Hari Natal sudah tiba. Pagi itu Herman membersihkan rumahnya. Ia mengambil pakaiannya yang paling bagus. Sambil bekerja ia melihat jam dinding itu. Ia takut jangan‐jangan ada kerusakan. Dia senang sekali sehingga ia memberikan uang yang dia miliki kepada pengemis‐pengemis yang lewat di rumahnya.
Tiba‐tiba ia ingat, sejak pagi dia belum sarapan. Ia segera ke pasar untuk membeli sepotong roti dengan uang terakhir yang ada padanya. Di lemarinya ada sebuah apel. Ia mau makan roti dengan apel itu. Waktu dia buka pintu, Trude masuk sambil menangis. “Ada apa?” tanya Herman. Suami saya mengalami kecelakaan. Sekarang dia di RS. Uang yang kami tabung untuk beli pohon Natal dan kue harus saya pakai untuk bayar dokter. Anak‐anak sudah menuggu hadiah Natal. Apa lagi yang harus saya berikan untuk mereka?”
Herman tersenyum. “Tenanglah Trude. Semua akan beres. Saya akan jual arloji saya yang masih sisa. Kita akan punya cukup uang untuk beli mainan anak‐anak. Pulanglah.”
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
Herman mengambil jas dinginnya lalu pergi ke pasar dengan satu jam tangan yang unik. Ia tawarkan jam itu di toko arloji. Tapi mereka tidak berminat. Ia pergi ke kantor gadai tapi pegawai‐pegawai bilang arloji itu kuno. Akhirnya ia pergi ke rumah walikota. “Tuan, saya butuh uang untuk membeli mainan bagi beberapa anak. Tolong beli arloji ini?” Pak walikota tertawa. “Saya mau beli arloji tetapi bukan yang ini. Saya mau jam dinding yang ada di jendela kaca rumahmu. Berapapun harganya saya siap.” “Tidak mungkin tuan. Benda itu tidak saya jual.”"Apa? Bagi saya semua mungkin. Pergilah sekarang. Satu jam lagi saya akan kirim polisi untuk ambil jam dinding itu dan kau dapat uang 1000 dolar.”
Herman pergi sambil geleng‐geleng kepala. “Tidak mungkin! Saya mau jual semua yang saya punya. Tapi jam dinding itu tidak. Itu untuk Yesus.” Waktu ia tiba dekat rumah, Trude dan anak‐anaknya sudah menunggu. Mereka sedang menyanyi. Merdu sekali. Baru saja Herman masuk, beberapa orang polisi sudah berdiri di depan. Mereka berteriak agar pintu dibuka. Jam dinding itu mereka ambil dan uang 1000 dolar diberikan pada Herman. Tetapi Herman tidak menerima uang itu. “Barang itu tidak saya jual. Ambillah uang itu,” teriak Herman sedih. Orang‐orang itu pergi membawa jam dinding serta uang tadi. Pada waktu itu lonceng gereja berbunyi. Jalan menuju kathedral penuh manusia. Tiap orang membawa bingkisan di tangan.
“Kali ini saya pergi dengan tangan kosong lagi”, kata Herman sedih. “Saya akan buat lagi satu yang lebih cantik.” Herman bangkit untuk pergi ke gereja. Saat itu ia melihat apel di dalam lemari. Ia tersenyum dan meraih apel itu. “Inilah satu‐satunya yang saya punya, makanan saya pada hari natal. Saya akan berikan ini pada Yesus. Itu lebih baik dari pada pergi dengan tangan kosong.”
Katedral penuh. Suasana bukan main semarak. Ratusan lilin menyala dan bau kemenyan terasa di mana‐mana. Altar tempat patung Maria memangku bayi Yesus penuh dengan bingkisan. Semuanya indah dan mahal. Di situ juga ada jam dinding buatan tukang arloji itu. Rupanya Pak walikota mempersembahkan benda itu pada Yesus. Herman masuk. Ia melangkah dengan kaki berat menuju altar dengan memegang apel. Semua mata tertuju padanya. Ia mendengar mereka mengejek, makin jelas. “Cih! Dia memang benar‐benar pelit. Jam dindingnya yang indah dia jual. Lihatlah apa yang dia bawa. Memalukan!”
Hati Herman sedih, tetapi ia terus maju. Kepalanya tertunduk. Ia tidak berani memandang orang sekeliling. Matanya ditutup. Tangan yang kiri diulurkan ke depan untuk membuka jalan. Jarak altar masih jauh. Herman tahu bahwa ia harus naik anak tangga untuk sampai ke altar. Sekarang kakinya menyentuh anak tangga pertama. Herman berhenti sebentar. Ia tidak punya tenaga lagi. Sejak pagi dia belum makan apa‐apa. Ada tujuh anak tangga. “Dapakah saya sampai ke altar itu?”
Herman mulai menghitung. Satu! Dua! Tiga! Empat! lalu ia terantuk dan hampir terguling ke bawah. Serentak semua orang berkata: “Memalukan!” Setelah mengumpulkan sisa tenaga Herman bergerak lagi. Tangga kelima. Kedengaran suara mengejek: “Huuuu…!”
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
Herman naik setapak lagi. Tangga keenam. Omelan dan ejekan orang‐orang berhenti. Sebagai gantinya terdengar seruan keheranan semua orang yang hadir. “Mujizat! Sebuah mujizat!!!”
Hadirin seluruhnya turun dari kursi dan berlutut. Imam merapatkan tangannya dan mengucapkan doa. Herman, tukang arloji yang miskin ini menaiki anak tangga yang terakhir. Ia mengangkat wajahnya. Dengan heran ia melihat patung bayi Yesus yang ada di pangkuan Maria sedang mengulurkan tangan untuk menerima bingkisan Natal darinya. Air mata menetes dari mata tukang arloji itu. Inilah hari Natal yang paling indah dalam hidupnya.
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
VII
Berikan Aku Seorang Ayah
ecarik kertas koran terbang dikipas angin dan tersangkut pada tiang listrik. Dari kejauhan bisa aku baca judul besar yang tertulis dengan warna merah pada halaman kertas itu yang mengingatkan saya akan natal yang kini tiba. Malam nanti adalah
"Malam Kudus, Malam Damai". Dan setiap hati pasti mengimpikan agar di malam ini mereka bisa menemukan setitik kesegaran, menemukan secercah kedamaian yang dibawa oleh Allah yang menjelma.
Judul di kertas koran itu tertulis dalam Karakter khusus bahasa Cina; "Selamat Hari Natal: Semoga Harapan Anda Menjadi Kenyataan." Karena tertarik dengan judul tersebut, saya memungut kertas koran yang sudah tercabik dan kotor itu dan membacanya. Ternyata ini merupakan halaman khusus yang sengaja disiapkan bagi siapa saja agar menuliskan impian dan harapannya. Koran ini seakan berperan sebagai agen yang meneruskan harapan mereka agar kalau boleh bisa didengarkan oleh Santa Klaus atau oleh Allah sendiri. Ada kurang lebih tiga puluh harapan yang dimuat di halaman koran hari ini. Namun saya tertarik dengan harapan yang ditulis oleh seorang gadis kelas tiga SMP.
"Tuhan...apakah Engkau sungguh ada? Aku tak pernah tahu tentang Engkau. Aku tak pernah melihat diriMu. Namun banyak orang mengatakan bahwa malam ini Engkau yang jauh di atas sana akan menjelma menjadi seorang manusia sama seperti diriku dan mendengarkan setiap harapan yang ada di dasar setiap hati. Tuhan kalau Engkau sungguh ada dan malam ini mengetuk hatiku, aku akan mengatakan kepadaMu bahwa aku butuh seorang ayah. Berikanlah aku seorang ayah. Aku tahu bahwa harapanku ini bukanlah sesuatu yang baru, karena sejak kecil aku secara terus‐menerus merindukan hal ini."
"Kata ibuku di rumahku ada seorang ayah. Aku tahu bahwa di rumahku, di samping ibuku masih ada seorang lelaki yang hidup bersama kami. Dan kata ibu dia inilah yang seharusnya aku panggil ayah. Namun aku tak pernah merasakan cinta seorang ayah. Setiap hari kami tak pernah mengucapkan lebih dari tiga kalimat. Ketika kami saling berpapasan, yang aku rasakan cumalah kebencian yang terpancar dari sudut kedua matanya."
S
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
"Benar bahwa ia membayar uang sekolahku. Ia juga membiayai kebutuhan hidupku. Tapi... sebatas itukah yang disebut kasih sayang seorang bapa? Dia tak lebih dari pada seseorang yang harus memenuhi sebuah tuntutan hukum untuk mendampingi diriku, tetapi ia bukanlah ayahku. Setiap ongkos yang keluar untuk membayar uang sekolahku harus aku bayar dengan derai air mata dan isakan tangis, harus aku bayar dengan mata yang membengkak. Inikah kasih sayang seorang bapa?¡¨
"Tuhan...apakah Engkau mendengarkan diriku? Malam ini ketika Engkau menjelma menjadi seseorang seperti diriku dan menjenguk bathinku, hanya satu hal yang aku harapkan. Berikanlah aku seorang bapa. Seorang bapa yang mencintaiku, seorang bapa yang bisa menasihati aku tetapi mencaci diriku."
Setelah membaca tulisan ini aku bisa merasakan kepedihan yang bercokol dalam diri si gadis ini. Aku pernah menjadi seorang anak tiri, anak yang kehilangan seorang bapa ketika masih berumur dua tahun. Dan betapa dalam dan besarnya kerinduanku untuk bisa merasakan kasih sayang seorang bapa. Ketika berumur sembilan tahun aku akhirnya boleh memperoleh seorang ayah lagi.
Namun temanku, aku yakin anda pernah membaca kisah hidup anak tiri. Aku tak hanya membaca, namun dengan hidupku sendiri aku mengalaminya. Ternyata kerinduanku untuk menyapa seseorang sebagai bapa hanya bisa bertahan dalam mimpi. Itulah nasib menjadi seorang anak tiri. Namun waktu terus bergulir. Bapa tiriku kini telah ubanan. Kalau dulu aku bermimpi untuk dicintai oleh seseorang yang boleh aku panggil sebagai bapa, walau mimpiku ini tak pernah menjadi kenyataan, namun kini aku hanya bisa berjuang untuk mencintai seseorang dengan harapan bahwa ia boleh menyapa aku sebagai anaknya. Yang ada di dasar bathinku bukanlah rasa marah dan dendam. Tapi belas kasihan. Dan ini hanya menjadi mungkin karena aku telah mengalami cinta seorang Bapa yang dibawa oleh seorang bayi mungil di kandang hina. Yesus yang lahir dalam dingin telah mengatakan kepadaku bahwa ada seorang Bapa yang selalu dan senantiasa mencintaiku. Aku tak perlu lagi mencari dan bermimpi. Kini adalah giliranku untuk membalas cinta tersebut dengan mencintai orang lain, dan...terutama mencintai ayah tiriku.
Tarsis Sigho – Taipei
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
VIII
NATAL SETELAH BADAI LALU
wal 1990‐an. Di kawasan Sako Kenten Palembang. Kota yang hidup di aliran sungai Musi ini tentu saja belum seramai dan semaju sekarang. Aku diundang menghadiri perayaan natal oleh sebuah komunitas Kristen Batak. Panitia rupanya ingin
membuat suatu acara natal lain dari biasa: natal di alam terbuka. Suatu ide menarik namun sedikit nekad bila memperhitungkan bulan Desember biasanya adalah musim penghujan. Namun panitia sudah menyewa tenda mengantisipasi. Amanlah artinya pikirku.
Aku tiba di lokasi perayaan seperempat jam sebelum acara dimulai. Tentu saja mengenakan pakaian formal lengkap: jas dan dasi. Saat itu aku masih sangat muda. Perasaanku: aku bukan saja gagah tetapi cukup wibawa dan kharisma sebagai pendeta muda. Diantar oleh Toman Simangunsong, panitia yang sekaligus temanku di gereja HKBP Palembang, aku duduk di baris terdepan kursi sofa yang menghadap panggung yang dibangun di suatu ruang kosong di areal perumahan menunggu acara dimulai.
Ini natal komunitas yang bukan saja saling mengenal secara pribadi, tetapi tinggal bersama di suatu perumahan menengah bawah yang masih jauh dari kemewahan. Tentu saja suasananya sangat akrab, ramah dan kekeluargaan. Tak lama, kursi‐kursi sudah terisi penuh dengan wajah‐wajah ceria: ayah‐ayah muda usia mengenakan jas (mungkin sebagian besar jas perkawinannya) dan ibu‐ibu muda mengenakan kebaya dan rambut bersasak khas Batak, anak‐anak kecil berbaju renda, dan sejumlah pemuda berpakaian kasual dan gadis modis. Ingat saat itu aku belum menikah. Lengkaplah sudah sukacita.
Perayaan natal pun dimulai dengan nyanyian pembuka Hai Mari Berhimpun diiringi organ plus tiupan angin sejuk yang sedikit kencang. Aku menenangkan hatiku. Tuhan penuh kasih kataku. Dia tentu tidak ingin mengacaukan acara yang dibuat untukNya apalagi mempermalukan anak‐anakNya yang dengan tulus merayakan kelahiran putraNya. Namun angin makin kencang. Kapas‐kapas yang dipasang di pohon natal di panggung berterbangan. Aku senyum kecil. Dari dulu aku paling geli jika melihat pohon natal di republik ini diberi kapas simbol salju. Syukurlah kapas‐kapas itu pergi. Tapi bagaimana kelanjutan natal ini?
Doa pembukaan belum selesai ketika hujan yang kutampik dengan doaku justru turun sederas‐derasnya, disertai angin dan gelegar guntur pula. Aku mencoba tetap tenang
A
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
mengikuti ibadah. Pesan guruku di kampus dulu bahwa walaupun muda sebagai pendeta aku akan selalu jadi panutan apalagi dalam keadaan genting. Sepertinya jemaat juga mencoba tenang meneruskan ibadah walaupun wajah mereka tampak sangat gelisah dan rusuh. Para anggota panitia benar‐benar sibuk: menutup speaker dengan plastik, menjolok‐jolok tenda terpal yang melenduk karena dipenuhi air, membantu jemaat menggeser kursi lebih ke tengah menghindar tempias, dan atau hanya mundar‐mandir tak tahu mau bikin apa. Aku terus berdoa dalam hati memohon ketenangan diri sebab terus terang aku tak yakin lagi hujan akan segera berhenti.
Benar, hujan bukannya berhenti malah makin deras sekali. Perasaanku itu kayak ditumpahkan sekaligus dari langit. Hampir seluruh areal tenda bocor. Jas‐jas dan kebaya‐kebaya basah kuyup. Seluruh hiasan natal lenyap diterbangkan angin. Pohon natal tumbang. Lampu padam. Natal bubar.
Hujan terus mencurah.Kami akhirnya tak tahan dan terpaksa menyingkir ke sebuah rumah anggota komunitas yang terdekat dengan tempat tenda. Hilang sudah keceriaan. Panitia tampak kecewa dan pasrah. Lusuh meringkuk. Lilin pun dinyalakan seadanya. Suasana senyap. Tiba‐tiba ada seorang berteriak: mari kita lanjutkan natal kita! Aku mengangguk seakan mendengar wahyu. Ya mari kita bernatal! Kami pun kembali berhimpun, merapat bersempit‐sempit di rumah itu. Tanpa organ kami kembali bernyanyi. Semangat. Anak‐anak, ayah‐ayah dan ibu‐ibu berpakaian basah tanpa pupur di wajah berdiri membacakan ayat‐ayat alkitab. Hormat dan khidmat. Bahasa bataknya: pajojorhon. Paduan suara menyanyikan lagu kelahiran Yesus di kegelapan. Suaranya lantang sekali. Aneh sekali. Aku merasa Roh Yesus hadir.
Malam terasa sangat hangat. Kami semua berdiri rapat. Diterangi oleh beberapa cahaya lilin kami menyanyikan Malam Kudus dalam bahasa Batak. Air mataku menetes merasakan kebahagiaan ilahi.
Sonang ni bornginna i, uju ro Jesus i!
Sonang modom do halak sude. Holan dua na dungo dope.
Mangingani anakNa Jesus Tuhanta i.
Godang ni tua disi di na ro Jesus i.
Tung malua pardosa muse, sian hamagoanna sude.
Ala ro Sipangolu, Jesus Tuhanta i.
***
Dengan takzim, aku pun membuka lembar‐lembar Alkitabku yang basah dan lantas membaca Injil Lukas dengan gagap di keremangan cahaya lilin: Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud. Dan inilah tandanya bagimu: Kamu akan menjumpai seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di dalam palungan.” Suasana sangat hening. Aku menggaris bawahi pesan malaikat itu: Tuhan telah datang ke dalam kenyataan kehidupan kita yang paling dalam. Dia mau menerima kita apa adanya. Tanpa syarat. Dan Dia ingin kita juga menyambut dan menerima Dia dengan keberadaan kita yang sesungguhnya, tanpa topeng dan kepalsuan apapun. Jemaat mengangguk mengaminkan kotbahku. Tulus.
Di akhir kotbah, aku menyampaikan sebuah kesaksian: semua keindahan dan hiasan lenyap, namun inilah natal yang terindah yang pernah kualami sepanjang hidupku.
Selamat menyambut natal 2007,
Pdt Daniel T.A. Harahap
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
IX
Karena Natal Damai Di Tengah Perang
isah nyata ini terjadi di malam Natal pada saat perang dunia ke‐satu di tahun 1914, tepatnya di front perang bagian barat di Eropa. Pada saat tersebut tentara Perancis, Inggris dan Jerman saling baku tembak satu dengan yang lain. Di malam Natal yang
dingin dan gelap begini, hampir setiap prajurit merasa sudah bosan dan muak untuk berperang, apalagi telah berbulan ‐ bulan mereka meninggalkan rumah mereka, jauh dari istri, anak maupun orang tuanya.
Pada malam Natal biasanya mereka selalu berkumpul bersama dengan seluruh anggota keluarganya masing‐masing, makan bersama, bahkan menyanyi bersama di bawah pohon terang di hadapan tungku api yang hangat.
Berbeda dengan malam Natal yang sekarang ini, di mana cuaca di luar sangat dingin sekali dan saljupun turun dengan lebatnya, mereka bukannya berada di antara anggota keluarga yang mereka kasihi, melainkan berada di hadapan musuh perang mereka yang setiap saat bersedia untuk menembak mati siapa saja yang bergerak.
Tiada hadiah yang menunggu selainnya peluru dari senapan musuh, bahkan persediaan makananpun sudah berkurang jauh, sehingga hari inipun hampir seharian penuh mereka belum makan. Pakaianpun basah kuyup karena turunnya salju. Biasanya mereka berada di lingkungan suasana yang hangat dan bersih, tetapi kali ini mereka berada di dalam lubang parit, seperti layaknya seekor tikus, boro‐boro bisa mandi dan berpakaian bersih, tempat di mana mereka berada sekarang inipun basah, becek penuh dengan lumpur. Mereka menggigil kedinginan. Rasanya tiada keinginan yang lebih besar pada saat ini selainnya rasa damai untuk bisa berkumpul kembali dengan orang‐orang yang mereka kasihi.
Seorang tentara sedang merintih kesakitan karena barusan saja terkena tembakan, sedangkan tentara lainnya menggigil kedinginan, bahkan pimpinan mereka yang biasanya keras dan tegas entah kenapa pada malam ini kelihatannya sangat sedih sekali, terlihat air matanya turun berlinang, rupanya ia teringat akan istri dan bayinya yang baru berusia enam bulan. Kapankah perang ini akan berakhir ? Kapankah mereka akan bisa pulang kembali ke
K
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
rumahnya masing‐masing ? Kapankah mereka bisa memeluk lagi orang ‐ orang yang mereka kasihi ? Dan masih merupakan satu pertanyaan besar pula, apakah mereka bisa pulang dengan selamat dan berkumpul kembali dengan istri dan anak ‐ anaknya ? Entahlah...
Tidak sepatah katapun terdengar. Suasana malam yang gelap dan dingin terasa hening dan sepi sekali, masing‐masing teringat dan memikirkan keluarganya sendiri. Selama berjam‐jam mereka duduk membisu seperti demikian.
Tiba‐tiba dari arah depan di front Jerman, ada cahaya kecil yang timbul dan bergoyang, cahaya tersebut kelihatan semakin nyata. Rupanya ada seorang prajurit Jerman yang telah membuat pohon Natal kecil yang diangkat ke atas dari parit tempat persembunyian mereka, sehingga nampak oleh seluruh prajurit di front tersebut.
Pada saat yang bersamaan terdengar alunan lembut suara lagu "Stille Nacht, heilige Nacht" (Malam Kudus), yang pada awalnya hanya sayup‐sayup kedengarannya, tetapi semakin lama lagu yang dinyanyikan tersebut semakin jelas dan semakin keras terdengar, sehingga membuat para pendengarnya merinding dan merasa pilu karena teringat akan anggota keluarganya yang berada jauh dari medan perang ini.
Ternyata seorang prajurit Jerman yang bernama Sprink yang menyanyikan lagu tersebut dengan suara yang sangat indah, bersih, dan merdu. Prajurit Sprink tersebut sebelumnya ia dikirim ke medan perang adalah seorang penyanyi tenor opera yang terkenal. Rupanya suasana keheningan dan gelapnya malam Natal tersebut telah mendorong dia untuk melepaskan emosinya dengan menyanyikan lagu tersebut, walaupun ia mengetahui dengan menyanyikan lagu tersebut, prajurit musuh bisa mengetahui tempat di mana mereka berada.
Ia bukan hanya sekedar menyanyi dalam tempat persembunyiannya saja, ia berdiri tegak, tidak membungkuk lagi, bahkan ia naik ke atas sehingga dapat terlihat dengan nyata oleh semua musuh ‐ musuhnya. Melalui nyanyian tersebut ia ingin membawakan kabar gembira sambil mengingatkan kembali makna dari Natal ini, ialah untuk berbagi rasa damai dan kasih. Untuk ini ia bersedia mengorbankan jiwanya, ia bersedia mati ditembak oleh musuhnya. Tetapi apa yang terjadi, apakah ia ditembak mati ?
Tidak! Entah kenapa seakan‐akan ada mukjizat yang terjadi, sebab pada saat yang bersamaan semua prajurit yang ada di situ, satu demi satu turut keluar dari tempat persembunyiannya masing‐masing, dan mereka mulai menyanyikannya bersama. Bahkan seorang tentara Inggris musuh beratnya Jerman, turut mengiringi mereka menyanyi sambil meniup dua peniup bagpipes (alat musik Skotlandia) yang dibawanya khusus ke medan perang.
Dengan perasaan terharu mereka turut menyanyikan lagu Malam Kudus. Hujan air mata tak dapat dibendung. Air mata dari mereka yang berada jauh dari orangtua, anak, calon istri, kakak, adik, dan sahabat mereka.
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
Yang tadinya lawan sekarang menjadi kawan, sambil saling berpelukan mereka menyanyikan bersama lagu Malam Kudus dalam bahasanya masing ‐ masing, di sinilah rasa damai dan sukacita benar ‐ benar terjadi. Setelah itu, mereka meneruskan menyanyi bersama dengan lagu Adeste Fideles (Hai Mari Berhimpun), mereka berhimpun bersama, tidak ada lagi perbedaan pangkat, derajat, usia maupun bangsa, bahkan perasaan bermusuhanpun hilang dengan sendirinya.
Mereka berhimpun bersama dengan musuh mereka yang seyogianya harus saling tembak, membunuh satu dengan yang lain, tetapi entah kenapa dalam suasana Natal tersebut mereka ternyata bisa berkumpul dan menyembah bersama kelahiran‐Nya, Sang Juru Selamat. Rupanya inilah mukjizat Natal yang benar ‐ benar bisa membawa suasana damai di malam yang suci.
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
X
Cerita Seorang Sarah
ada pertengahan Desember yang dingin dan berangin, Sarah berjalan dengan agak tergesa‐gesa menuju ke penampungan umum, sebuah tempat dimana dia dan 2 orang anaknya yang kecil menyebutnya sebagai rumah selama tiga bulan terakhir.
Dia baru saja pulang dari tempat kerjanya.
Selama lima hari terakhir, Sarah sangat beruntung dapat menemukan pekerjaan. Meski bukan pekerjaan yang memberikan uang cukup baginya. Tetapi dia merasa senang karena dia dapat bekerja. Jaman sekarang adalah tidak mungkin untuk mendapatkan pekerjaan yang tetap dan gaji yang besar, hanya dengan bermodalkan ijazah SMA.
Bahkan hal itu akan semakin sulit jika anda adalah seorang wanita dan seorang ibu tunggal serta tidak mempunyai alamat tetap. Sarah bekerja paruh waktu sebagai pencuci piring di kafe dan itu juga bukan pekerjaan yang tetap. Karena Sarah menggantikan tempat seorang pegawai yang sedang sakit. Dan hari ini merupakan hari yang terakhir untuk Sarah bekerja menggantikan orang tersebut. Tetapi selama lima hari ini Sarah dapat memberi kedua anaknya makanan yang hangat dan cukup. Dan untuk sekarang, hal itu lebih dari apa yang dia inginkan.
Sarah berjalan menuju ke penampungan umum itu, kedua anaknya sedang menunggunya dengan perut yang kosong, dia memperhatikan keadaan sekitarnya banyak orang yang berlalu lalang tidak seperti biasanya. Hari Natal akan tiba sebentar lagi.
Jalanan penuh sesak dengan orang‐orang yang keluar masuk dari toko satu ke toko lainnya berbelanja untuk hari Natal. Sarah teringat bahwa dua tahun yang lalu, seperti waktu ini, dia juga sangat sibuk berbelanja untuk Natal.
Sarah dan suaminya berpergian bersama beberapa hari untuk mencari hadiah yang tepat bagi anak‐anaknya. Semua tampaknya berjalan dengan baik. Sarah menjaga kedua orang anaknya dan rumah, sementara suaminya sibuk bekerja memperbesar usahanya. Uang mengalir begitu mudahnya waktu itu.
P
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
Anak‐anak suka dengan hadiah yang mereka terima. Mereka berempat merayakan kebaktian Natal di gereja. Dan menyalami banyak orang yang bersama‐sama memperingati kelahiran sang Juruselamat yang menjelma menjadi seorang bayi Yesus.
Tepat pada malam Tahun Baru, ketika Sarah dan suaminya pulang mengendarai mobil dari sebuah pesta, di sebuah perempatan jalan ... tiba‐tiba ... sebuah mobil sport menabrak samping mobil mereka tepat pada bagian pengemudi ... di mana suami Sarah menyetir.
Sarah mengalami luka‐luka kecil, tetapi suaminya mengalami pendarahan otak yang hebat. Dan ... suaminya ... tidak pernah bangun kembali ... Sarah tidak pernah dapat melupakan siang hari yang dingin itu ... ketika mereka meletakkan tubuh suaminya ... di liang kubur.
Beberapa bulan kemudian, usaha suaminya ditutup, rumah mereka disita oleh bank. Dalam duabelas bulan, mobil mereka dan alat‐alat perabot mereka terjual. Dan tiga bulan yang lalu, Sarah dan kedua anaknya diusir dari apartemen mereka. Lima bulan sewa tak terbayar. Semenjak itu mereka tinggal di penampungan umum.
Sarah tetap berjalan, dan dia berhenti pada depan sebuah toko perabot rumah. Di dalam toko tampak sebuah televisi besar, seperti yang pernah dipunyainya dulu, menyiarkan sebuah acara mencari dana untuk hari Natal. Dengan menampilkan banyak artis‐artis terkenal. Seorang pengusaha terkenal maju ke depan dan memberikan sebuah cek dengan tertulis 5 juta dollar kepada panitia. Dan seketika penonton bangkit berdiri dan memberikan tepuk tangan yang panjang. Satu demi satu, pengusaha, bintang film, penyanyi, politikus maju kedepan dan menyumbangkan uang yang besar jumlahnya ... seperti mereka hendak berlomba siapa yang terbanyak. Penonton pun semakin ramai bertepuk tangan.
Seorang penyanyi mendorong penonton untuk ikut menyumbangkan uang mereka. Lalu penyanyi itu menyanyikan sebuah lagu Natal sampai mengeluarkan air mata. Dengan tak sadar dari mata Sarah keluar air mata pula. Dia teringat ketika dia masih mampu menolong para tetangga yang sedang kekurangan. Tetapi sekarang ... dia tidak mampu lagi.
Dia tidak tahan untuk menonton lebih lama lagi, dan dengan cepat dia berlalu dari depan toko itu. Dibukanya dompetnya terlihat uang dua puluh dollar, hasil kerjanya siang hari ini. Tidak banyak. Tetapi paling tidak hal itu cukup untuk mengenyangkan dia dan anaknya malam ini.
Ketika Sarah mendekati toko makanan dan hendak masuk ke dalamnya, dia memperhatikan di samping pintu masuk toko, dua anak lelaki kecil, mungkin berumur 10 dan 13 tahun, yang sedang duduk di atas trotoar yang dingin, dengan saling berpelukan.
Tubuh mereka terbungkus dengan selimut tua yang kotor. Tetapi selimut itu tidak dapat menutup semua tubuh mereka. Kaki mereka tampak memakai sepatu olahraga yang
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
tidak sepasang. Anak lekaki yang lebih kecil sepatunya berlubang sehingga kelihatan jempol kakinya.
Rambut mereka kotor dan berminyak. Wajah dan kulit mereka tampak sekali kedinginan dalam keadaan yang beku seperti itu. Dan di depan mereka tampak sebuah kaleng kosong. Banyak orang yang keluar masuk dari toko makanan itu tetapi tidak banyak yang memperhatikan kedua orang anak lekaki itu.
Sarah mendekati mereka. Anak lelaki yang lebih besar mendongakkan kepalanya dengan pandangan mata yang sayu. Secara otomatis tangan Sarah membuka dompetnya dan memegang uang 20 dollar miliknya. Sarah termenung sejenak dan berpikir kedua anaknya sedang menunggunya pulang untuk membawa makanan yang hangat malam ini.
Duapuluh dollar tidaklah banyak. Tetapi dengan uang sebesar itu cukup berarti bagi Sarah saat ini. Dan itulah uang hanya dia punya.
Anak lelaki yang besar memeluk adiknya yang kedinginan lebih erat lagi. Kemudian tanpa ragu lagi, Sarah mengambil uang 20 dollar miliknya, dan memasukkan ke dalam kaleng kosong itu. Dan dengan cepat dia berbalik kembali ke penampungan umum tanpa menoleh sekalipun ke arah toko makanan itu. Dari belakang, Sarah dapat mendengar suara anak lelaki yang lebih besar, membangunkan adiknya, “Lihat ... uang ...!”
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
XI
Hadiah Natal Untuk Alma
aat itu adalah malam menjelang natal di tahun 1970 dan seorang anak perempuan kecil berdoa untuk sebuah boneka. Dia tak pernah memiliki boneka selama ini. Alma memandang ke sekeliling rumahnya, rumah pertanian yang sederhana. Tidak ada
pohon natal di sudut rumah. Tak ada lilin yang menyala di jendela. Tidak ada tumpukan kado Natal di atas meja. Tapi, rumah itu terlihat bersih dan hangat dan Alma merasa bahagia dan bersyukur.
Alma mencintai rumahnya dan dia juga mencintai gereja kecil bercat putih yang ada di desanya. Di gereja itu, dia mendengar kisah tentang Bayi Jesus yang juga miskin, yang bahkan tidak memiliki sebuah kasur untuk tidur, dan yang lahir di atas tumpukan jerami di sebuah gudang ternak. Dia mendengarkan cerita tentang kelahiran‐Nya berulang‐ulang dengan rasa kagum dan hormat.
Malam ini Alma merasa sangat bahagia. Program Natal Tahunan di gerejanya mengundang hampir seluruh keluarga yang tinggal di sebuah sisi bukit kecil, desa Pennsylvania itu untuk bernatalan di gereja. Alma, bersama ibu dan adik‐adiknya, berjalan menuruni jalanan desa yang panjang, melalui salju tebal yang telah disesaki oleh kereta gerobak dan salju yang ditarik oleh kuda. Suasana Norman Rockwell tergambar saat itu, saat‐saat Amerika permulaan, cuaca yang dingin, malam di musim dingin yang mempercepat langkah‐langkah kaki manusia, namun menyegarkan jiwa.
Setelah duduk di dalam gereja, Alma memandang ke sekelilingnya. Murid‐murid sekolah minggu telah menghias pohon natal yang berdiri di depan altar di dekat piano. Lilin‐lilin di pohon natal itu memberikan sebuah cahaya lembut ke bagian atas gereja. Kemudian pendeta membaca kisah tentang kelahiran Jesus, kemudian mengundang setiap orang menyanyikan kidung puji‐pujian setelah lagu‐lagu Natal. Seorang pembantu gereja (penatua) memberikan kepada masing‐masing anak kecil sejumlah cokelat dan permen yang dibungkus dalam sebuah kertas serbet dan diikat dengan pita merah.
Di bawah pohon Natal, terdapat tumpukan kado Natal yang tinggi. Saat itu merupakan kebiasaan bagi para keluarga untuk membawa hadiah mereka – yang akan
S
Cerita Natal Inspiratif – Snow Media Publishing
diberikan kepada anggota keluarga yang lain dan teman – ke gereja dan hadiah itu akan dibuka di depan semua jemaat yang hadir. Tidak pernah lepas dari perhatian Alma, bahwa seperti biasanya, ibunya tidak membawa hadiah apa pun dan Alma pun tidak berharap apa‐apa. Ayahnya jarang pulang ke rumah. Hal ini karena ayahnya adalah seorang penebang kayu dan seorang pengumpul ginseng. Ketika ayahnya pulang, uang yang tersedia sangat sedikit.
Akhirnya, pendeta berjalan menuju pohon Natal, mengambil kado pertama dan berkata,”Kado ini untuk Blanche dari kedua orang tuanya”. Semua orang bertepuk tangan ketika Blanche dengan gembira berjalan ke depan untuk menerima hadiah. Hadiah itu berupa switer indah berwarna putih yang dijahit dengan tangan.
Pendeta mengambil kado demi kado, memanggil hampir setiap orang yang ada di gereja. Semua anak laki‐laki mendapatkan kereta api mainan yang terbuat dari ukiran kayu dari ayah mereka; kereta salju mainan baru diangkat tinggi‐tinggi oleh pendeta supaya dilihat oleh semua jemaat;berbotol‐botol parfum dengan merek “April in Paris” dipersembahkan oleh para anak perempuan kepada ibu mereka. Sebuah gangsing dengan warna merah menyala berputar mengitari lantai kayu gereja. Semua memandang dengan gembira. Alma pun ikut tertawa dan bertepuk tangan. Dan dia menunggu dan menunggu kado dari pendeta.
Akhirnya, pendeta pun mengambil kado terakhir. Alma menahan napas. Kado ini pasti untuknya;boneka yang seringkali ia doakan. “Christine,” pendeta memanggil sebuah nama,”kado ini untukmu”. Christine membuka kotak yang panjang dan sempit itu dan dengan hati‐hati mengeluarkan sebuah boneka porselin besar dengan rambut blonde, mengenakan gaun panjang merah muda dan topi yang sesuai. Christine memeluk boneka itu dengan erat, dan berlari ke arah ayah‐ibunya untuk berterima kasih atas hadiah mewah itu.
Alma berdiri dengan tenang ketika lagu puji‐pujian terakhir dinyanyikan dan setiap anak dengan satu lengan penuh berjuang membawa kado‐kado itu ke kereta mereka. Akhirnya, Alma mengikuti keluarganya keluar dari gereja dan memulai perjalanan panjang ke rumah. Dengan cepat, dia berjalan ke arah sebuah tonggak kayu dimana kuda biasa ditambatkan, dan tanpa sengaja menabrakkan keningnya hingga
terjatuh ke belakang ke arah gumpalan salju. Dengan rasa bingung, ia kembali berdiri dan berjalan sempoyongan untuk bergabung dengan keluarganya yang sama sekali tidak melihatnya jatuh. Sebuah benjolan seperti telur dengan cepat membesar di keningnya, sebuah benjolan tulang yang tetap terlihat jelas sepanjang hidupnya. Namun, Alma terlihat seperti menganggapnya layaknya sebuah lencana kehormatan dan dengan tertawa menyebutnya sebagai kado Natal di tahun 1907. Alma tidak menganggap kecelakaan itu sebagai kenangan pahit, tapi sebagai sebuah kemenangan. Alma, seorang penganut Kristiani yang bahagia sepanjang hidupnya hingga meninggal di usia yang ke 96.