Download docx - Case Perina ARIN

Transcript
Page 1: Case Perina ARIN

BAB I

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS

1. IDENTITAS PASIEN

Nama : By. Ny. T

Umur : 1 hari

Tempat dan tanggal lahir : Soreang, 25 Oktober 2015

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Tenjolaya 02/06 Kec Cangkuang

Masuk RS : 25 Oktober 2015, Jam 20.50 WIB

No. RM : 530780

Tanggal Periksa : 28 Oktober 2015

2. IDENTITAS ORANG TUA PASIEN

AYAH PASIEN

Nama Ayah : Tn. A

Umur : 35 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Buruh

IBU PASIEN

Nama Ibu : Ny. T

Umur : 22 tahun

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Hubungan pasien dengan orang tua : anak kandung

1

Page 2: Case Perina ARIN

II. ANAMNESIS

1. Keluhan Utama

Sesak nafas

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Bayi lahir di Bidan pada tanggal 25 Oktober 2015, pada jam 20.50 WIB,

menurut ayah pasien, bayi dilahirkan dengan usia kandungan 9 bulan.

Berat lahir: 2050 gram, PB: 47 cm, Jenis Kelamin Laki-laki. 3 hari

setelah bayi lahir, ibu pasien datang ke IGD RSUD Soreang dengan

keluhan bayinya yang menjadi biru dan sesak nafas sejak 1 hari SMRS.

Ibu pasien mengeluhkan perut bayi terlihat kembung dan BAB yang tidak

teratur dan berwarna hitam. Panas badan dan sesak disangkal.

3. Riwayat Penyakit Dahulu Pada Ibu

Hipertensi : (-)

DM : (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga

-

5. Riwayat Pribadi

Riwayat Kehamilan

Ibu hamil tunggal. Usia ibu saat hamil adalah 20 tahun. Ibu selalu

memeriksakan kehamilan di bidan secara rutin. Riwayat pemakaian

obat-obatan ketika hamil disangkal. Riwayat mengkonsumsi jamu

– jamuan disangkal.

Riwayat Persalinan

Pasien lahir secara Spontan dengan presentasi kepala, dalam usia

kehamilan 8 bulan. Berat lahir 2050 gram.

Riwayat Pasca Lahir

Tidak ada Keluhan.

2

Page 3: Case Perina ARIN

6. Riwayat Makanan

Pasien di beri ASI

7. Riwayat Imunisasi

Pasien di Imunisasi di bidan

8. Sosial Ekonomi dan Lingkungan

Pasien Anak Tunggal dari Pasangan Ny. T dan Tn. A yang bekerja

sebagai IRT dan Buruh. Orang tua pasien tidak memberi tahu jumlah

penghasilannya, tetapi mengatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari keluarga.

9. PEMERIKSAAN FISIK

(Dilakukan Pada Tanggal 24 Agustus 2015)

A. Pemeriksaan Umum

1) Kesadaran : STATE 3

2) Down Score : 1

3) Tanda Utama

Heart Rate : 136 x/menit,

Frekuensi Nafas : 69 x/menit, tipe Abdominal Thoracal

Suhu : 36,2o Celsius

4) Status gizi

Antropometris :

Berat Badan (BB) : 2050 gram

Panjang Badan (PB) : 47 cm

Lingkar Kepala : 35 cm

Lingkar Dada : 29 cm

Kepala – symphisis : 25 cm

Simpisis – Kaki : 22 cm

BB/U : < -2

PB/U : < -1

BB/PB : > 1

3

Page 4: Case Perina ARIN

B. Pemeriksaan khusus

a. Sutura : Ubun – ubun besar datar

b. Rambut : Hitam tidak mudah dicabut

c. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

d. Telinga : Pinna +/+, Recoil kembali langsung

e. Hidung : Pernapasan cuping hidung (+), choana +/+

f. Mulut : Perioral cyanosis (-), langit-langit intak

g. Tenggorokan : Sulit dinilai

h. Tonsil : Sulit dinilai

i. Lidah : Makroglosia (-)

j. Gigi : Belum erupsi

k. Leher : Retraksi suprasternal (-)

1. Thoraks :

a.Pernapasan : Bentuk dan gerak simetris, retraksi

intercostae (+)

b.Pulmo : Bronkovesikuler sound kanan = kiri,

ronkhi -/-, wheezing -/-, slem -/-

c. Cor : Bunyi Jantung I – II murni regular,

gallop (-), murmur (-)

2. Abdomen : cembung, distensi abdomen (+), bising

usus (+) mengkilat

a.Hepar : Tidak teraba

b.Lien : Tidak teraba

3. Anus : (+) terlihat feses berwarna hitam di

popok

4. Ekstremitas : Akral hangat, kuning (-), capillary

refill time < 3“

5. Genital : Laki-laki

6. Neurologi : reflex moro (+) reflex rooting (+)

reflex pegang (+) reflex hisap (+)

reflex babinski (+)

4

Page 5: Case Perina ARIN

Pemeriksaan New Ballad Score dan Maturitas Fisik

Hasil :

New Ballad Score : 3, 3, 2, 3, 3, 4

Maturitas Fisik : 2, 3, 3, 3, 3, 3

5

Page 6: Case Perina ARIN

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

GDS : 72

6

Page 7: Case Perina ARIN

Diagnosis Kerja

- Sepsis Preterm

- RDS

- TI AGA Kepala Spontan

TATALAKSANA :

IVFD N4 12 gtt/menit micro

NGT dekompresi

Cefotaxime 3 x 120 mg (IV)

Pantau TTV

Pro konsul dr. SpA

Dexamethasone 0,7 mg (IV)

Gentamicin 12 mg (IV)

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

7

Page 8: Case Perina ARIN

Follow up

Tanggal Keluhan Terapi

28 Oktober

2015

S : Sadar aktif (-) , kuning (-) demam (-), sesak

(-) sianosis (+)

O: State: 3 Downscore: 1

HR : 149 x/ menit

RR : 66 x/menit

S : 36,7 oC

Kepala :UUB datar lembut belum menutup,

rambut tidak mudah di cabut

Mata : Ca (-), Si (+)

Hidung : PCH (+)

Mulut : POC (+), Hipersalivasi (-),

Makroglosus (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar, Retraksi

Supra Sternal (+).

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris

Paru : BVS Ki = Ka,

Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-

Jantung : BJ I – II murni reguler murmur (-),

gallop (-).

Abdomen : Datar lembut, BU (+)

Ekstremitas : Akral Hangat CRT <3” turgor

kembali cepat

A: RDS + Sepsis preterm

P:

IVFD D10% 12

gtt/menit micro

Retensi : -

Cefotaxime 3 x 120

mg (IV)

Pantau TTV

Pro konsul dr. SpA

Dexamethasone 0,7

mg (IV)

Gentamicin 12 mg

(IV)

O2 2-3 L/M

Amphicilin 2x150 mg

8

Page 9: Case Perina ARIN

29 Oktober

2015

S : sesak (+) demam (-) sianosis (-)

O: State 4 Downscore 1

HR : 150 x/ menit

RR : 61 x/menit

S : 36,4 oC

Kepala :UUB datar lembut belum menutup,

rambut tidak mudah di cabut

Mata : Ca (-), Si (-)

Hidung : PCH (+)

Mulut : POC (+), Hipersalivasi (-),

Makroglosus (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar, Retraksi

Supra Sternal (+).

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris

Paru : BVS Ki = Ka,

Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-

Jantung : BJ I – II murni reguler murmur (-),

gallop (-).

Abdomen : Datar lembut, BU (+) retraksi

epigastrium (+)

Ekstremitas : Akral Hangat CRT <3” turgor

kembali cepat

A: RDS + Sepsis Preterm

P :

IVFD D10% 12

gtt/menit micro

Retensi : -

Cefotaxime 3 x 120

mg (IV)

Pantau TTV

Dexamethasone 0,7

mg (IV)

Gentamicin 12 mg

(IV)

O2 2-3 L/M

Fluconazol 25 mg

(IV)

Cek GDS

30 Oktober

2015

S : pasien demam (+) tidak terlalu tinggi. tidak

banyak bergerak aktif, banyak tidur, ikterik (-)

sesak (-)

O: State 4 Downsocre 0

HR : 147 x/ menit

RR : 53 x/menit

S : 37,8 oC

P:

IVFD D10% 12

gtt/menit micro

Retensi : -

Cefotaxime 3 x 120

mg (IV)

Pantau TTV

Dexamethasone 0,7

9

Page 10: Case Perina ARIN

Kepala :UUB datar lembut belum menutup,

rambut tidak mudah di cabut

Mata : Ca (-), Si (-)

Hidung : PCH (-)

Mulut : POC (-), Hipersalivasi (-),

Makroglosus (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar, Retraksi

Supra Sternal (-).

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris

Paru : BVS Ki = Ka,

Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-

Jantung : BJ I – II murni reguler murmur (-),

gallop (-).

Abdomen : Datar lembut, BU (+) retraksi

epigastrium (+)

Ekstremitas : Akral Hangat CRT <3” turgor

kembali cepat

NGT kosong

A: RDS + Sepsis Preterm

mg (IV)

Gentamicin 12 mg

(IV)

O2 2-3 L/M

GDS : 112

1 Agustus

2015

S: Pasien lebih bergerak aktif daripada

sebelumnya. Ikterik (-) sesak (-) demam (-)

sianosis (-)

O: State 4 Downsocre 0

HR : 140 x/ menit

RR : 48 x/menit

S : 36,8 oC

Kepala :UUB datar lembut belum menutup,

rambut tidak mudah di cabut

Mata : Ca (-), Si (-)

Hidung : PCH (-)

Mulut : POC (-), Hipersalivasi (-),

P:

IVFD D10% 12

gtt/menit micro

Retensi : -

Cefotaxime 3 x 120

mg (IV)

Pantau TTV

Pro konsul dr. SpA

Dexamethasone 0,7

mg (IV)

Gentamicin 12 mg

(IV)

O2 2-3 L/M

10

Page 11: Case Perina ARIN

Makroglosus (-)

Leher : KGB tidak teraba membesar, Retraksi

Supra Sternal (-).

Thoraks : Bentuk dan gerak simetris

Paru : BVS Ki = Ka,

Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-

Jantung : BJ I – II murni reguler murmur (-),

gallop (-).

Abdomen : Datar lembut, BU (+) retraksi

epigastrium (+)

Ekstremitas : Akral Hangat CRT <3” turgor

kembali cepat

NGT kosong

A: RDS + Sepsis Preterm

Menghubungi IGD RSHS, RS Santosa Bandung,

RS Hermina, RS Boromeus, RS santo Yusuf, RS

AL-Isla, RS AL-Ikhsan bagian bedah anak

pasien ditolak dengan alasan keadaan umum

letargis dan tidak dapat di transport maka harus

perbaikan KU dulu sebelum dirujuk. Jika tidak

ada keadaan yang berbahaya, pasien bisa ke

bagian poli bedah anak

Advis dr Budi Risjadi, Sp.A:

Inform consent ke

keluarga

Motivasi rujuk ke RS

lain

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

11

Page 12: Case Perina ARIN

Respiratory Distress Syndrome (RDS)

Pendahuluan

Distress respirasi atau gangguan nafas merupakan masalah yang sering

dijumpai pada hari-hari pertama kehidupan BBL. Gangguan napas ini ditandai

dengan takipnea, napas cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis dan apneu.

Gangguan napas yang paling sering ialah TTN (Transient Tachypnea of the

Newborn), displasia bronkopulmonar dan RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau

PMH (Penyakit Membran Hialin).1

RDS merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Kurang

lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau

komplikasinya. Sindrom gangguan pernapasan ditemui lebih sering di negara

berkembang daripada di tempat lain, terutama karena kebanyakan bayi prematur

yang kecil untuk usia kehamilan mereka stres dalam rahim karena kekurangan gizi

atau hipertensi akibat kehamilan. RDS pada bayi prematur bersifat primer,

insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir.

Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi

32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada

bayi matur.2

Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia

kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi

caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu

mengalami RDS. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang

menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan

pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress

pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital

kronik. 2

Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih.

Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan

produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. Insidensinya berkurang pada

pemberian steroid / thyrotropin releasing hormon pada ibu. Pengenalan surfaktan

eksogen sebagai pencegahan dan terapi telah merubah keadaan klinik dari penyakit

dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit.2

12

Page 13: Case Perina ARIN

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Definisi

RDS adalah gangguan napas pada bayi baru lahir yang terjadi segera atau

beberapa saat setelah lahir dan menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam

pertama kehidupan. RDS ini hampir sebagian besar terjadi pada Bayi Kurang Bulan,

yang masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat kurang dari 2500 gram. Pada

pemeriksaan radiologik ditemukan adanya gambaran retikulogranular yang uniform

dengan air bronchogram.3

B. Etiologi

Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu

zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. RDS seringkali terjadi pada bayi

prematur, karena produksi surfaktan yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22,

baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan,

makin besar pula kemungkinan terjadinya RDS. 4

C. Patofisiologi

Perkembangan paru normal

Paru berasal dari pengembangan “embryonic foregut” dimulai dengan

perkembangan bronkhi utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru

kearah kaudal ke mesenkhim sekitar dan pembuluh darah, otot halus, tulang rawan

dan komponen fibroblast berasal dari jaringan ini. Secara endodermal epitelium

mulai membentuk alveoli dan saluran pernapasan. Di luar periode embrionik ini, ada

4 stadium perkembangan paru yang telah dikenal. Pada seluruh stadium ini,

perkembangan saluran pernapasan, pembuluh darah dan proses diferensiasi

berlangsung secara bersamaan.1

Pseudoglandular (5-17 minggu)

Terjadi perkembangan percabangan bronkhius dan tubulus asiner

Kanalikuler (16-26 minggu)

Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkhim

13

Page 14: Case Perina ARIN

Diferensiasi pneumosit alveollar tipe II sekitar 20 minggu

Sakuler (24-38 minggu)

Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga udara

Awal pembentukan septum alveolar

Alveolar (36 minggu – lebih 2 tahun setelah lahir)

Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru.1

Surfaktan Paru

Surfaktan dibentuk pada pneumosit alveolar tipe II dan disekresi kedalam

rongga udara kecil sekitar usia kehamilan 22 minggu. Komponen utama surfaktan

ini adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari dipalmithylphosphatidylcholine

(DPPC). Surfaktan disekresi oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit alveolar

tipe II dan mielin tubuler. Pembentukan mielin tubuler tergantung pada ion kalsium

dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan lapisan tunggal berasal dari mielin

tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC. Fungsinya adalah untuk mengurangi

tegangan permukaan, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli

selama ekspirasi dan pemeliharaan sisa volume paru.1

Terjadi proses “re-uptake and recycling” secara aktif dari fosfolipid

surfaktan (baik endogenous maupun dari pemberian surfaktan) oleh pneumosit tipe

II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga

udara masih 2-3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi

pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 – 34

minggu.1

Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi

belum mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu.

Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan.5

Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin)

– 80 %, phosphatidylglycerol – 7 %, phosphatidylethanolamine – 3 %, apoprotein

(surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia

kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel

alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari surfaktan, fungsinya adalah

memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus

dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan. 5

14

Page 15: Case Perina ARIN

Surfaktan disintesa dari prekursor (1) di retikulum endoplasma (2) dan

dikirim ke aparatus Golgi (3) melalui badan multivesikular. Komponen-

komponennya tersusun dalam badan lamelar (4), yaitu penyimpanan intrasel

berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis)

ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun menjadi

struktur kompleks yang disebut mielin tubular (5). Mielin tubular menciptakan

fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara (6)

di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan dipecah,

dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-

vesikel kecil (7), melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom (8) dan

ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar (9) untuk didaur ulang.

Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (10). Satu kali transit dari

fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid

dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum

didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara

ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein

surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke

alveolus.2

Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan

kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan

dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol,

phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan

sphingomyelin. Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi.

Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia,

hipotensi dan stress dingin, menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang

melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek

pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan. 5

Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang

dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru

yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons.

Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran

kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke rongga laveoli yang kemudian

mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum

berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah. 5

15

Page 16: Case Perina ARIN

Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan

edema interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih

tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian

bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif,

membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut

menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur

yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi

matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada

akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung

mengalami atelektasis. 2

Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit

respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan

atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh

ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal volume

yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha bernafas, dan

tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia,

hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan

meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus,

dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel

yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi

protein ke rongga alveoli. 2

Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot

nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan

ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif

yang dapat menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan

vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel

pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru yang

menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus

memperburuk hipoksemia. 5

Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena

berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan

permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan

protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat

menginaktivasi surfaktan. 5

16

Page 17: Case Perina ARIN

Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance

paru merupakan karakteristik RDS. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi

surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai

respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan

mencegah FRC semakin berkurang.2

Patofisiologi RDS Pada bayi dengan RDS, dimana adanya ketidakmampuan paru untuk

mengembang dan alveoli terbuka. RDS pada bayi yang belum matur menyebabkan gagal pernafasan karma imaturnya dinding dada, parenchyma paru, dan imaturnya indotelium kapiler yang menyebabkan kolaps paru pada akhir ekspirasi.

Pada bayi dengan RDS disebabkan oleh menurunnya jumlah surfaktan/perubahan kualitatif surfaktan, dengan demikian menimbulkan ketidakmampuan alveoli untuk ekspansi. Terjadinya perubahan tekanan intra - extrathoracic dan menurunnya pertukaran udara.

Secara alamiah perbaikan mulai setelah 24-48 jam. Sel yang rusak akan diganti. Membran hyaline, berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam protein nacreous filtrate serum ( saringan serum protein ), difagosit oleh makrofag. Sel cuboidal menempatkan pada alveolar yang rusak dan epithelium jalan nafas, kemudian terjadi perkembangan sel kapiler baru pada alveolai. Sintesis surfaktan memulai lagi dan kemudian membantu perbaikan alveoli untuk pengembangan.

D. Manifestasi klinik

Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun

biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat

dan dangkal (60 x / menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus

dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat

asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat.6

Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, dan

pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif

terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang

kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengar ronkhi basah halus, terutama pada

basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. 6

Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun,

terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring

memburuknya penyakit. Apneu dan pernafasan iregular muncul saat bayi lelah, dan

merupakan tanda perlunya intervensi segera. 6

Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan

oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada

17

Page 18: Case Perina ARIN

progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada

bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak

dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan

respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 – 33 minggu kehamilan, fungsi

paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia

kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. 1

Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada

kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya

terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara

alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular.

Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi

bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (RDS

berat). 1

E. Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis tentang:

Riwayat kelahiran kurang bulan.

Riwayat ibu dengan diabetes melitus.

Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin),

atau partus tindakan dengan bedah sesar.

Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit RDS.6

2. Pemeriksaan Fisik

Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.

Dijumpai sindroma klinis yang terdiri dari kumpulan gejala

o Sesak napas, dengan frekuensi napas >60 kali/menit atau <30

kali/menit

o Grunting atau merintih

o Retraksi dinding dada

o Kadang dijumpai sianosis pada suhu kamar1,6,7

Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan

APGAR score (derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai

18

Page 19: Case Perina ARIN

Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun ada juga yang

menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam. 2,6

Tabel Silverman score 2

Grade Gerakan

dada atas

Dada

bawah

(retraksi

ICS)

Retraksi

epigastrium

PCH Grunting

0 Sinkron - - - -

1 Tertinggal

pada

inspirasi

Ringan Ringan Minimal Terdengar

pada

stetoskop

2 See-saw Jelas Jelas Jelas Terdengar

tanpa

stetoskop

Perhatikan tanda prematuritas.

Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru-

paru.

Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya

bayi, adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA.

Penyakit bisa menetap atau menjadi progresif setelah 48-96 jam

pertama kehidupan.1,7

3. Pemeriksaan Penunjang

Foto toraks

Posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial. Gambaran radiologi dapat

memberi gambaran penyakit membran hialinyang menunjukkan gambaran

retikulogranular yang difus bilateral atau gambaran bronkhogram udara (air

bronchogram) dan paru yang tidak berkembang.8 Terdapat 4 Derajat :

Derajat 1 (ringan): kadang normal atau gambaran retikulogranuler,

homogen, tidak ada air bronchogram.8

Derajat 2 (ringan-sedang): 1 + air bronchogram

19

Page 20: Case Perina ARIN

Gambaran air bronchogram (gambaran bronko yang seharusnya terisi

udara) yang menonjol menunjukkan bronkiolus yang menutup latar

belakang alveoli yang kolaps.8

Derajat 3 (sedang-berat) : 2 + batas jantung-paru kabur

Derajat 4 (berat): 3 + white lung

20

Page 21: Case Perina ARIN

4. Laboratorium

Darah : Hb, Ht, dan gambaran darah tepi tidak menunjukkan tanda

infeksi. Menunjukkan pada kecurigaan pneumonia.6 Kultur streptokokus

(-).

Analisis gas biasanya memberikan hasil : hipoksemia, asidemia yang

berupa metabolik, respiratorik atau kombinasi, dan saturasi oksigen yang

tidak normal.7

Rasio lesitin/sfingomielin (L/S ratio <2:1). 7

Shake test (tes kocok), jika tidak ada gelembung, resiko tinggi untuk

terjadinya PMH 60%. 7

F. Terapi

Manajemen ventilator mekanik

Pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) akan meningkatkan

oksigenasi dan survival. CPAP mulai dipasang pada tekanan sekitar 5-7 cm H2O

melalui prong nasal, pipa nasofaringeal atau pipa endotrakheal. Pada beberapa bayi

dengan derajat sakit sedang, CPAP mungkin dapat mencegah kebutuhan untuk

pemakaian ventilator mekanik (VM).2,5

CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual

capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara,

mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS

PaO2 > 50%. Pemakaian secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup

untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat

dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32

minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat menghindari

pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus tetap dilakukan dan CPAP

hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas yang adekuat, disertai

analisa gas darah yang memuaskan. 5

CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini

menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya

belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72

jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera

sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di

atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan. 5

21

Page 22: Case Perina ARIN

Ventilasi Mekanik

Bayi dengan RDS berat atau disertai komplikasi, yang berakibat timbulnya

apnea persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya

antara lain : 4,5,9

1. Analisa gas darah menunjukan hasil buruk

pH darah arteri <>

pCO2 arteri > 60 mmHg

pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 – 100 %

2. Kolaps kardiorespirasi

3. Apnea persisten dan bradikardi

Memilih ventilator mekanik

Ventilasi tekanan positif pada bayi baru lahir dapat diberikan berupa ventilator

konvensional atau ventilator berfrekuensi tinggi (150 x / menit). Ventilator

konvensional dapat berupa tipe “volume” atau “tekanan”, dan dapat diklasifikasikan

lebih lanjut dengan dasar cycling mode – biasanya siklus inspirasi diterminasi. Pada

modus pressure limited time cycled ventilation, tekanan puncak inspirasi diatur dan

selama inspirasi udara dihantarkan untuk mencapai tekanan yang ditargetkan.

Setelah target tercapai, volume gas yang tersisa dilepaskan ke atmosfer. Hasilnya,

penghantaran volume tidal setiap kali nafas bervariabel meski tekanan puncak yang

dicatat konstan. Pada modus volume limited, pre-set volume dihantarkan oleh setiap

nafas tanpa memperhatikan tekanan yang dibutuhkan. Beberapa ventilator

menggunakan aliran udara sebagai dasar dari cycling mode di mana inspirasi

berakhir bila aliran telah mencapai level pre-set atau sangat rendah (flow

ventilators). Ada juga ventilator yang mampu menggunakan baik volume atau

pressure controlled ventilation bergantung pada keinginan operator. 5

Ventilasi dengan fekuensi tinggi biasanya diberikan dengan high frequency

oscillatory ventilators (HFOV). Terdapat piston pump atau vibrating diaphragm

yang beroperasi pada frekuensi sekitar that 10 Hz (1 Hz = 1 cycle per second, 60

cycles per minute). Selama HFOV, baik inspirasi maupun ekspirasi sama-sama aktif.

Tekanan oscillator pada jalan udara memproduksi volume tidal sekitar 2-3 ml

dengan tekanan rata-rata jalan udara dipertahankan konstan, mempertahankan

volume paru ekivalen untuk menggunakan CPAP dengan level sangat tinggi.

22

Page 23: Case Perina ARIN

Volume gas yang dipindahkan pada volume tidal ditentukan oleh ampiltudo tekanan

jalan udara oscillator (P). 5

Ventilator konvensional

Hipoksemia pada RDS biasanya terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi

dan perfusi (V/Q) atau pirau dari kanan ke kiri, abnormalitas difusi dan hipoventilasi

merupakan factor tambahan. Oksigenasi terkait langsung pada FiO2 dan tekanan

rata-rata jalan udara (mean airway pressure - MAP). MAP dapat ditingkatkan

dengan perubahan tekanan puncak inspirasi (peak inspiratory pressure - PIP),

positive end expiratory pressure (PEEP) atau dengan mengubah rasio inspirasi :

ekspirasi (I:E) dengan memperpanjang waktu inspirasi sementara kecepatannya tetap

konstan. MAP yang sangat tinggi dapat menyebabkan distensi berlebihan, meski

oksigenasi adekuat, transport oksigen berkurang karena penurunan curah jantung.

Pembuangan CO2 berbanding lurus dengan minute ventilation, ditentukan oleh

produk volume tidal (dikurangi ventilasi ruang mati) dan kecepatan pernafasan.

Untuk minute ventilation yang sama, perubahan penghantaran volume tidal lebih

efektif untuk merubah eliminasi CO2 dibanding perubahan kecepatan pernafasan

karena ventilasi ruang mati tetap konstan. 5,9

a. Peak Inspiratory Pressure (PIP)

Perubahan pada PIP mempengaruhi oksigenasi (dengan mengubah MAP) dan

CO2 dengan efek pada volume tidal dan ventilasi alveolar. Peningkatan PIP

menurunkan PaCO2 dan memperbaiki oksigenasi (PaO2 meningkat). Pemakainan

PIP ditentukan oleh compliance system pernafasan dan bukan oleh ukuran atau berat

bayi. Gunakan PIP terendah yang menghasilkan ventilasi adekuat berdasarkan

pemeriksaan klinik (gerakan dada dan suara nafas) dan analisa gas darah. PIP

berlebih dapat menyebabkan paru mengalami distensi berlebihan dan meningkatkan

resiko baro/volutrauma dan menimbulkan kebocoran udara. 5,9

b. Positive End Expiratory Pressure (PEEP)

PEEP yng adekuat mencegah kolaps alveoli dan dengan mempertahankan

volume paru saat akhir respirasi, memperbaiki keseimbangan V/Q. Peningkatan

23

Page 24: Case Perina ARIN

PEEP memperbesar MAP dan memperbaiki oksigenasi. Sebaliknya, PEEP berlebih

(> 8 cm H2O) menginduksi hiperkarbia dan memperburuk compliance paru dan

mengurangi hantaran volume tidal karena alveoli terisi berlebihan P = PIP - PEEP).

PEEP berlebih juga dapat menimbulkan efek sampping pada hemodinamik karena

paru mengalami distensi berlebih, menyebabkan penurunan venous return, yang

kemudian menurunkan curah jantung. Tekanan 3 – 6 cm H2O memperbaiki

oksigenasi pada bayi baru lahir dengan RDS tanpa mengganggu mekanisme paru-

paru, eliminasi CO2 atau stabilitas hemodinamik. 5

c. Frekuensi

Terdapat 2 metode dasar, frekuensi rendah dan frekuensi tinggi Frekuensi

rendah dimulai pada kecepatan 30 - 40 nafas / menit (bpm). Metode cepat sekitar 60

bpm dan dapat ditingkatkan hingga 120 bpm bila bayi bernafas lebih cepat dari

ventilator. Waktu ekspirasi harus lebih panjang dari inspirasi untuk mencegah alveoli

mengalami distensi berlebihan, waktu inspirasi harus dibatasi maksimum 0,5 detik

selama ventilasi mekanik kecuali dalam keadaan khusus. Pada frekuensi tinggi

terjadi penurunan insidensi pneumotoraks , mungkin karena frekuensi ini sesuai

dengan usaha nafas bayi. Waktu inspirasi memanjang akan meningkatkan MAP dan

memperbaiki oksigenasi, dan merupakan alternative dari peningkatan PIP. Namun

hal ini merupakan predisposisi dari distensi berlebihan pada paru serta air trapping

karena waktu ekspirasi berkurang. 5

d. Kecepatan Aliran

Aliran minimum setidaknya 2 kali minute ventilation bayi (normal : 0.2 – 1 L /

menit) cukup adekuat, tapi dalam prakteknya digunakan 4 – 10 L / menit. Bila

digunakan frekuensi nafas lebih tinggi dengan waktu inspirasi lebih pendek,

kecepatan aliran di atas kisaran harus diberikan untuk menjamin penghantaran

volume tidal. Kecepatan aliran yang tinggi memperbaiki oksigenasi karena efeknya

pada MAP. Beberapa ventilator memiliki kecepatan aliran yang tetap, yaitu sebesar 5

L / menit. 5

24

Page 25: Case Perina ARIN

Sirkulasi

Auskultasi suara jantung, ukur tekanan darah, palpasi denyut nadi dan periksa

hematokrit1

Koreksi asidosis metabolik

Asidosis metabolik berat (pH < 7.2) dengan kadar bikarbonat serum (< 15-16

mEq/L) atau defisit basa menunjukkan beratnya penyakit. Penyebab harus segera

ditentukan dan ditangani.1

Jaga kehangatan suhu bayi sekitar 36,5°C – 36,8°C (suhu aksiler) untuk

mencegah vasokonstriksi perifer1

Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab distres respirasi1

Terapi pemberian surfaktan1

Produk Dosis Dosis tambahan

Calfactant

3 ml/kgBB lahir

diberikan dalam 2

aliquot

Mungkin dapat diulang setiap 12

jam sampai dosis 3 kali berturut-

turut dengan interval 12 jam bila

ada indikasi

Beractant4 ml/kgBB lahir

diberikan dalam 4 dosis

Mungkin dapat diulang minimal

setelah 6 jam, sampai jumlah total

4 dosis dalam waktu 48 jam

setelah lahir

Colfosceril

5 ml/kgBB lahir

diberikan dalam waktu

4 menit

Mungkin dapat diulang setelah 12

jam dan 24 jam bila ada indikasi

25

Page 26: Case Perina ARIN

Porcine

2,5 ml/kgBB lahir

diberikan dalam 2

aliquot

Dua dosis berurutan 1,25 ml/kg,

dosis diberikan dengan interval 12

jam bila ada indikasi

Bila tidak tersedia fasilitas NICU segera rujuk ke rumah sakit yang tersedia

NICU1

Pemantauan

Dipantau efektivitas terapi dengan memperhatikan perubahan gejala klinis

yang terjadi.

Setelah BKB/BBLR melewati masa kritis yaitu kebutuhan oksigen sudah

terpenuhi dengan oksigen ruangan atau atmosfer, suhu tubuh bayi sudah stabil diluar

inkubator, bayi dapat menetek, ibu bisa merawat dan mengenali tanda-tanda sakit

pada bayi dan tidak ada komplikasi atau penyulit maka bayi dapat berobat jalan.6

G. Komplikasi

1. Patent Ductus Arteriosus

Insidensi PDA pada bayi prematur dengan RDS sekitar 90%. Dengan meningkatnya

angka bertahan hidup bayi sangat kecil disertai penggunaan surfaktan eksogen, PDA

sebagai komplikasi RDS merupakan masalah dari penanganan RDS pada awal

kehidupan. 4

PDA diasosiasikan dengan pirau dari kanan ke kiri dan peningkatan aliran darah paru

dan tekanan arteri pulmonal. Peningkatan aliran darah paru menyebabkan

berkurangnya compliance paru yang akan membaik setelah ligasi PDA. Peningkatan

aliran darah paru akan menimbulkan kegagalan ventrikel kiri dan edema paru serta

mempengaruhi keseimbangan cairan paru. Kebocoran protein plasma ke rongga

alveoli menghambat fungsi surfaktan. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen

serta ventilasi mekanik. 4

2. Hemorrhagic Pulmonary Edema

26

Page 27: Case Perina ARIN

Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat yang merupakan

komplikasi dari RDS dan PDA. Insidensinya pada bayi prematur sekitar 1 % namun

pada otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan hemoragis di rongga udara merupakan

filtrat kapiler yang berasal dari rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk

interstitial ditandai dengan perdarahan pleura, septum interlobularis, peribronkial,

perivaskular, dan dinding aleolar. Bila perdarahan masuk ke alveoli, eritrosit

memenuhi rongga udara dan meluas hingga ke bronkiolus dan bronkus. 4

3. Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)

PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru. PIE

yang terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila pecar akan

menimbulkan pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan terjadinya

pneumomediastinum atau pneomopericardium. Bila alveoli ruptur, udara dapat

terlokalisasi dan bersatu di parenkim membentuk pseudokista. Rupturnya alveoli

dapat menyebabkan udara masuk ke vena pulmonalis, menimbulkan emboli udara. 4

4. Infeksi

Infeksi dapat manifes sebagai kegagalan untuk membaik, perburukan mendadak,

perubahan jumlah leukosit, trombositopenia. Terdapat peningkatan insidensi

septicemia sekunder terhadap staphylococcal epidermidis dan atau Candida. Bila

curiga akan adanya septikemia, lakukan kultur darah dari 2 tempat berbeda dan

berikan antibiotik 4,8

5. Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler

Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi

lebih tinggi pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi mekanik. Ultrasound

kepala dilakukan dalam minggu pertama. Terapi indometasin profilaksis dan

pemberian steroid antenatal menurunkan insidensinya. Hipokarbia dan

chorioamnionitis dikaitkan dengan peningkatan periventricular leukomalacia. 8

H. Prognosis

27

Page 28: Case Perina ARIN

Sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi (berbanding terbalik

dengan kemungkinan timbulnya penyulit).2 Prognosis baik bila gangguan napas akut

dan tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemi yang lama.1

SEPSIS PRETERM

1. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu

1,818 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan

di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup

dengan angka kematian 10,3%. Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data

yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode

Januari - September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68%

dengan angka kematian sebesar 14,18%. 3

2. FAKTOR RESIKO

Kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya

faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan

penunjang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Terjadinya sepsis

neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu dan bayi.

Faktor risiko ibu:

Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah

lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila

disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.

Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,

infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),

kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.

Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.

Kehamilan multipel.

28

Page 29: Case Perina ARIN

Persalinan dan kehamilan kurang bulan.

Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.

Faktor risiko pada bayi: 6

Prematuritas dan berat lahir rendah.

Dirawat di Rumah Sakit.

Trauma pada proses persalinan.

Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,

infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal

Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek

imun,atau asplenia.

Asfiksia neonatorum.

Cacat bawaan.

Tidak diberi ASI

Pemberian nutrisi parenteral.

Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.

Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded

Buruknya kebersihan di NICU.

Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis

dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut

dalam risiko mayor dan risiko minor.4

29

Page 30: Case Perina ARIN

Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan

diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang

(septicwork-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat

meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien

sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.5

30

Page 31: Case Perina ARIN

BAB III

ETIOLOGI

Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat

menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,

hanya dibahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab sepsis

pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di

negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri

Gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum. Oleh

karena itu pemeriksaan pola kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan

rumah sakit memegang peranan yang sangat penting.1,2

Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah

diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999

di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan

Gambia. Dalampenelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering

ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus

pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada

meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama

Klebsiella sp dan E.Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif

juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada

neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita

di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang

dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering

ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.1,3

Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir.

Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun

2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter

sp,Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005

menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti

Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%). 5

31

Page 32: Case Perina ARIN

Tabel perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun

waktu :

32

Page 33: Case Perina ARIN

BAB IV

PATOFISIOLOGI

Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam

darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan mulai

dari infeksi ke SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan

akhirnya kematian.1

Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) :

Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik :

33

Page 34: Case Perina ARIN

International Consensus Definitions for Pediatric Sepsis

Infeksi : infeksi yang dicurigai atau yang sudah terbukti, atau sebuah sindrom klinis

yang terkait dengan kemungkinan infeksi yang tinggi

SIRS : memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut dengan salah satunya harus suhu

abnormal atau jumlah leukosit yang abnormal

1. Suhu core > 38.5 °C atau < 36 °C

2. Takikardi : mean heart rate > 2 SD diatas normal untuk umur tanpa stimuli

dari luar, obat – obatan, ataupun stimuli nyeri; ATAU elevasi yang menetap

tanpa penjelasan selama 0.5 – 4 jam; ATAU pada anak –anak < 1 tahun

terdapat bradikardi persisten lebih dari 0.5 jam ( mean heart rate < persentil

10 tanpa rangsangan vagal, obat-obatan, ataupun penyakit jantung

kongenital )

3. Takipneu > 2 SD diatas normal atau perlunya ventilator mekanik yang tidak

terkait dengan kelainan neuromuskular atau anestesi umum

4. Leukositosis atau leukopeni; atau leukosit imatur > 10%

Sepsis : SIRS dengan infeksi yang terbukti

Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan 1 dari hal berikut :

1. Disfungsi kardiovaskuler

Meskipun diberikan IV fluid sebanyak > 40 mL/kg dalam satu jam,

terdapat hipotensi < persentil ke 5 untuk umur, tekanan darah sistolik < 2 SD

dibawah normal untuk umur.

34

Page 35: Case Perina ARIN

ATAU

Perlunya obat-obatan vasoaktif untuk mempertahankan tekanan

darah

ATAU

2 dari hal berikut :

Asidosis metabolik yang tidak diketahui sebabnya > 5 mEq/L

Peningkatan kadar laktat arteri > 2 x batas atas normal

Oliguri < 0.5 mL/kg/jam

Capillary Refill Time yang menurun > 5 detik

Beda suhu akral dan tubuh > 3 °C

2. Acute respiratory distress syndrome yang didefinisikan dengan terdapatnya

rasio PaO2/FiO2 ≤ 300 mm Hg, infiltrat bilateral pada foto thoraks, dan tidak

terbuktinya gagal jantung kiri

ATAU

Sepsis disertai dengan kegagalan organ 2 atau lebih ( Respirasi, Renal,

Neurologi, hematologi, atau hepar )

Syok Sepsis : Sepsis yang disertai dengan kegagalan organ kardiovaskuler

Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Kegagalan organ yang tidak bisa

dipertahankan homeostasis tubuh tanpa bantuan obat-obatan.1,3,5

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan

menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal

sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis

awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode

pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran

atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD

adalah Streptokokus Grup B (>40% kasus), Escherichia coli ,Klebsiella, dan

Pseudomonas aeruginosa Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes,

sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme

penyebabnya adalah batang Gram negatif. 5

Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam)

yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Angka

35

Page 36: Case Perina ARIN

mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju,

Coagulase-negative Staphilococcus (CoNS) dan Candida albicans merupakan

penyebab utama SAL. 5

Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian

besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak

dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan

sekitar (SAL). 5

Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman

karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,

khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian

kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :1,2,5

Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin

melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.

Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau

Listeria dll.

Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya

saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau

amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan

akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman

pada janin.

Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan

lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke

dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran

pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi

yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-

24 jam.

Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena

infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang

mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi

dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap

yang terlalu lama dan hunian terlalu padat, dll.

36

Page 37: Case Perina ARIN

Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran

darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari

tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam

gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran

klinis yang terlihat akan berbeda.

Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan

gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme

prokoagulasi dan antikoagulasi.

1. Respon inflamasi

Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan

lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida

merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan

memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat

protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya

kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran

makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4)

yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.

Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,

yakni dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan

dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen

mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam

jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan

eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik

melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok

organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator

inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi

makrofag. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan

selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi

37

Page 38: Case Perina ARIN

sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan

jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada

tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan

gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada

permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi

pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.

2. Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi

Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator

inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor (TF). Ekspresi TF

secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung

umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik.1,3,5

Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur

ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari

mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur

intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik

dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan

fibrin.1,3,5

3. Gangguan Fibrinolisis

Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem

koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh

darah baru), rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.1,3,5

Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan

urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk

merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi

proteolisisfibrin. 1,3,5

Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen

activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI).

Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan. 1,3,5

Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh

tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi fibrinolisis

38

Page 39: Case Perina ARIN

akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil

pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup

D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-

α dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga

menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya

menyebabkan disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat

bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang

berat dapat menyebabkan kematian. 1,3,5

Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan

tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen

khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,

aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan

fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam

mikrovaskular. Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan

intravaskular menyeluruh ( PIM ) merupakan komplikasi tersering pada sepsis.

Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi

perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis

mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi

dihubungkan dengan prognosis buruk. 1,3,5

Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme

inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi

dan koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya

trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat,

syok septik, dapat

menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian. 1,3,5

39

Page 40: Case Perina ARIN

40

Kematian

MODS

Syok

Hipovolemia

Kegagalan jantung dan vaskularisasi

Kebocoran plasma / cedera endotel

Acute Respiratory Distress Syndrome

Penurunan trombomodulin

Peningkatan plasminogen activator inhibitor

Trombosis dan antifibrinolisis

Aktivasi endotel

Peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi endotel

Aktivasi sistem koagulasiAktivasi sistem komplemen

Pelepasan mediator inflamasi endogen

Sitokin pro-inflammasiSitokin anti-inflammasiPlatelet activating factorArachidonic acid metabolitesSubstansi depresi miocardiumOpiat endogen

Aktivasi pertahanan inangSel – sel inflammasi teraktivasi

Superantigen atau toksinInfeksi fokal

Page 41: Case Perina ARIN

BAB V

MANIFESTASI DAN GEJALA KLINIS

Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik

yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan

dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala

klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan

respon tubuh terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan

menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai

Apgar rendah. Setelah lahir bayi akan tampak lemah. Selanjutnya akan terlihat

berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan

susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang

terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan

kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis,akral dingin). Bayi dapat pula

memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi

(perdarahan,ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu

pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi). 7

Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood

Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum berat

bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut : 7

• Laju napas > 60 kali per menit

• Retraksi dada yang dalam

• Cuping hidung kembang kempis

• Merintih

• Ubun ubun besar membonjol

• Kejang

• Keluar pus dari telinga

41

Page 42: Case Perina ARIN

• Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit

• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin)

• Letargi atau tidak sadar

• Penurunan aktivitas /gerakan

• Tidak dapat minum

• Tidak dapat melekat pada payudara ibu

• Tidak mau menetek.

Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan

Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah

Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini

gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori. Penegakan diagnosis

ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori : 5

42

Page 43: Case Perina ARIN

Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-

tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut : 5

Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai

sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini).

Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel), atau tiga

tanda atau lebih pada Kategori B (tabel).

Bila mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori B,

atau dua tanda pada Kategori B.

43

Page 44: Case Perina ARIN

BAB VI

PEMERIKSAAN

1. LABORATORIUM

A. Pemeriksaan kuman dengan kultur darah

Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam

menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil

biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu

dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari

jenis kuman yang biasa ditemukan di masing- masing klinik. Kultur darah dapat

dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset dini maupun lanjut. 7

B. Pungsi lumbal

Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat tinggi.

Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Punksi

lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila

dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis

neonatorum dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari

cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, punksi lumbal diulang 24-36

jam setelah pemberian antibiotikuntuk menilai apakah pengobatan cukup efektif.

Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada LCS,

diperlukan modifikasi tipe antibiotikdan dosis. Dari penelitian, terdapat 15% bayi

dengan meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif. 7

C. Pewarnaan Gram

44

Page 45: Case Perina ARIN

Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai

saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman.

Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah

bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.

Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk

identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan fasilitas

laboratorium yang terbatas dan bermanfaat dalam menentukan penggunaan

antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur

bakteri. 7

D. Pemeriksaan Hematologi

Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang

diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut : 7

Hitung trombosit

Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/µL jarang

ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum

dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/µL), MPV

(mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara

signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.

Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit

Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun,

walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis

dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak

terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress

saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih

sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil, eosinofil, batang, PMN,

limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang terjadi pada saat mulainya

onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak dapat

memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis. Neutropenia juga

45

Page 46: Case Perina ARIN

ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia perinatal

berat, serta perdarahan periventrikular dan intraventrikular.

Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T)

Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis

neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang

dapat diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama

kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada

60 jam pertama kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat

ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena

itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis

neonatorum dapat ditegakkan.

Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)

C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan

muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh

IL6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di

neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi

yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah

stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat

sampai proses inflamasinya teratasi. Nilai normal yang biasa dipakai adalah < 5

mg/L. CRP sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk

mengetahui respon antibiotika, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi.

Faktor yang dapat memengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur

kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan,

imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV,rotavirus, adenovirus, influenza).

Untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%,

spesifisitas 78,94%. Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk

sepsis awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.

Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)

46

Page 47: Case Perina ARIN

Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa

Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien

sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu

lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Selain bermanfaat untuk deteksi

dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien sepsis

neonatorum.

2. Pencitraan

Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran, misalnya: 7

Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola

retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory

Distress Syndrome).

Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.

Pneumonia : Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena

ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini

yang telah terbukti dengan kultur.

47

Page 48: Case Perina ARIN

BAB VII

DIAGNOSIS

Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan

prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan

hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya, diagnosis sepsis neonatal sulit ditegakkan karena gambaran klinis

pasien tidak spesifik. Gejala spesis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar

jarang ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda

dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada neonatus. Selain itu tidak ada

satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal

dalam diagnosis pasti pasien sepsis.

Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain :

Faktor Resiko

Gambaran Klinik

Pemeriksaan Penunjang

Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena

salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan

diagnosis pasien. Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis

yang diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama

kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk

melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan awitan dini,

pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat

dalam lingkungan pasien.

Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokan menjadi :

1. Faktor ibu :

Persalinan dan kelahiran kurang bulan

Ketuban pecah lebih dari 18 – 24 jam

Chorioamnionitis

48

Page 49: Case Perina ARIN

Persalinan dengan tindakan

Demam pada ibu ( > 38,4 °C )

Infeksi saluran kencing pada ibu

Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu

2. Faktor bayi

Asfiksia perinatal

Berat lahir rendah

Bayi kurang bulan

Prosedur invasif

Kelainan bawaan

Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan

sampai saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini

merupakan salah satu faktor penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal

tidak banyak mengalami perubahan dalam dekade terakhir ini.

Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi

karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien.

Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus,

bayi kurang bulan yang mengalamai lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-

larut, infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau

infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor resiko

awitan dini maupun lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus

tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala klinis. Hal ini

akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih efisien pada sepsis

neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien.

Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang

ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis

awitan dini janin yang terinfeksi mungkin menderita takikardim lahir dengan

asfiksia, dan memerlukan resusitasi karena nilai apgar yang rendah. Setelah lahir

bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia,

49

Page 50: Case Perina ARIN

hipoglikemia, dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai

kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.

Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat

seperti letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah, kadang-kadang terdengar high

pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan

kardiovaskular seperti hipotensim pucat, sianosis, dingin, dan clammy skin. Bayi

dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun

gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,

intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipneu,

apneu, merintih, dan retraksi.

Gambaran Klinis Disfungsi Multiorgan pada Bayi

Gangguan organ Gambaran Klinis

Kardiovaskular Tekanan darah sistolik < 40 mmHg

Denyut Jantung < 50 atau >

220/menit

Terjadi Henti Jantung

pH darah < 7.2 pada PaCO2 normal

Kebutuhan akan inotropik untuk

mempertahankan tekanan darah

normal

Saluran Napas Frekuensi napas > 90/menit

PaCO2 > 65 mmHg

PaO2 < 40 mmHg

Memerlukan ventilasi mekanik

FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung

sianotik

Sistem Hematologik Hb < 5 g/dL

WBC < 3000 sel/mm3

Trombosit < 20.000

D-dimer > 0.5µg/mL pada PTT > 20

50

Page 51: Case Perina ARIN

detik atau waktu tromboplastin > 60

detik

SSP Kesadaran menurun disertai dilatasi

pupil

Gangguan Ginjal Ureum > 100 mg/d\

Creatinin > 20 mg/dL

Gastroenterologi Perdarahan gastrointestinal disertai

dengan penurunan Hb > 2g%, hipotensi,

perlu tranfusi darah atau operasi

gastrointestinal

Hepar Bilirubin total > 3 mg%

Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam

menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu

pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan

khusus lainnya sering dipergunakan dalam membantu menegakan diagnosis. Upaya

inipun tampaknya masih belum dapat diandalkan. Sampai saat ini pemeriksaan

laboratorium tunggal yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas tinggi sebagai

indikator sepsis, belum ditemukann. Dalam penentuan diagnosis, interpretasi hasil

laboratorium hendaknya memperhatikan faktor resiko dan gejala klinis yang terjadi.

Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit

ditegakkan apabila hanya berdasarkan riwayat pasien dan gambaran klinik saja.

Untuk hal tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu

konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berupa pemeriksaan

laboratorium maupun pemeriksaan khusus lainnya. Langkah tadi disbeut Septic

work up dan termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan darah yang merupakan

gold standard diagnosis sepsis, namun memerlukan waktu 2 – 5 hari untuk

diagnosis pastinya.

Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya

bila kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di

51

Page 52: Case Perina ARIN

klinik tersebut. Selain itu hasil kultur diperngaruhi pula oleh kemungkinan

pemberian antibiotika sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman

nosokomial.

Untuk mengenal kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat

dapat dilakukan pewarnaan gram. Tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis

kuman secara lebih spesifik.

Pemeriksaan lain dalam septic work up tersebut adalah pemeriksaan

komponen-komponen darah. Pada sepsis neonatal, trombositopenia dapat

ditemukan pada 10 – 60 % pasien. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000

dan terjhadi pada 1 – 3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan.

Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis

ketimbang hitung trombosit. Enam puluh pasien sepsis biasnya disertai perubahan

hitung neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total ( rasio I/T ) sering

dipakau sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Sensitivitas rasio I/T ini 60 –

90 %, karenanya untuk diagnosis perlu disertai kombinasi dengan gambaran klinik

dan pemeriksaan penunjang yang lain.

52

Page 53: Case Perina ARIN

BAB VIII

PENATALAKSANAAN

Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana

sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab

membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan

masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan

pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.

Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat

dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan

di klinik tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman

diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai

dilakukan, walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan.

Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini (SAD)

Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai

aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme

penyebab SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas

antibakteri.

Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat (SAL)

Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin.

Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar

enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan

aminoglikosida lain.

Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan

penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin

generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin

spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri

53

Page 54: Case Perina ARIN

Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten

terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.

Terapi suportif (adjuvant)

Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ

atau lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi,

gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik

seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun.

Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen,

pemberian inotropik, dan pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam

kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan

dikepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG),

pemberian tranfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony

stimulating factor (GCSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT)

dan lain-lain.

Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum

Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan

untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal.

Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti

memperbaiki status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki

respons terhadap katekolamin, dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat

diberikan hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Sebuah meta-analisis

memperkuat hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari

secara signifikan.

Dukungan Nutrisi

Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan

metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi

insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi

meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase

akut oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat

54

Page 55: Case Perina ARIN

dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada

keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus

dipenuhi; atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada

bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10

g/kg/hari dan lemak 1g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat

dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis,

dianjurkan untuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama.

Pemberian nutrisi enteral diberikan setelah bayi lebih stabil.

55

Page 56: Case Perina ARIN

BAB IX

PROGNOSIS

Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi

bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan

meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30%

kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada

bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini

adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 – 30 %) dan pada sepsis

awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira – kira 2 %). 5

56

Page 57: Case Perina ARIN

BAB X

KESIMPULAN

Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum dapat

dipecahkan yang karena bersifat multifaktorial, mulai dari faktor ibu, janin, maupun

dari pelayanan rumah sakit. Sepsis neonatorum juga merupakan masalah yang sulit

didiagnosa karena pada neonatus, respon sistem imun tubuhnya tidak selalu

menimbulkan gejala seperti sepsis pada anak yang lebih besar. Umumnya

penatalaksanaan yang diberikan bisa terlambat bila tenaga medis tidak

memberikan perhatian yang cukup pada pasien.

Tanda dan gejala klasik sepsis pada neonatus mencakup takikardi,

takipneu, leukositosis atau leukopeni, dan hipertermi atau hipotermi. Selain itu bila

didapatkan sepsis berat dapat ditemukan disfungsi organ-organ tertentu, seperti

jantung, hati, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Ketika kegagalan organ sudah

mencapai derajat tertentu, akan menyebabkan terjadinya septik syok yang dapat

segera menyebabkan sindrom disfungsi multiorgan yang berakhir pada kematian

bila tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat.

Penatalaksanaan sepsis pada umumnya mencakup eradikasi infeksi dengan

antibiotika selektif, terapi adjuvant untuk mendukung status organ neonatus, terapi

kortikosteroid bila terdapat insufisensi adrenal, dan terapi nutrisi yang adekuat

untuk mempertahankan kesehatan bayi.

57

Page 58: Case Perina ARIN

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics, Ilmu Kesehatan

Anak, edisi ke 18. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Jakarta : EGC, 2004, hal

653-663.

2. John Mersch, MD, FAAP : Neonatal Sepsis ( Sepsis Neonatorum ). Page was

last modified June 20th, 2011. Page available at

http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=98247

3. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Rudolph ’s Pediatrics, Buku Ajar

Pediatri Rudolph, edisi ke 20. Sepsis dan Meningitis Pada Neonatus. Jakarta :

EGC, 2006, hal 601-610.

4. Mary T. Caserta, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified October

2009. Page available at

http://www.merckmanuals.com/professional/sec19/ch279/ch279m.html

5. Kosim Sholeh et al. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama, cetakan kedua.

Sepsis Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010,

hal 170-187.

6. Ann L Anderson-Berry, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified

February 23rd, 2010. Page available at

http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview

7. Claudio Chiesa et al : Diagnosis of Neonatal Sepsis : A Clinical and Laboratory

Challenge. Page was last modified July 1st, 2011. Page available at

http://www.clinchem.org/cgi/content/full/50/2/279

8. Carl Kuschel : Antibiotics for Neonatal Sepsis. Page was last modified

October 20th, 2010. Available at

http://www.adhb.govt.nz/AntibioticsForNeonatalSepsis.htm

58

Page 59: Case Perina ARIN

CASE REPORT

PERINATOLOGIRespiratory Distress Syndrome + Sepsis Preterm

DISUSUN OLEH :

ARIANE N. RAHMADHANI

1102011042

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK

RSUD SOREANG

2015

59