BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : By. Ny. T
Umur : 1 hari
Tempat dan tanggal lahir : Soreang, 25 Oktober 2015
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Tenjolaya 02/06 Kec Cangkuang
Masuk RS : 25 Oktober 2015, Jam 20.50 WIB
No. RM : 530780
Tanggal Periksa : 28 Oktober 2015
2. IDENTITAS ORANG TUA PASIEN
AYAH PASIEN
Nama Ayah : Tn. A
Umur : 35 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Buruh
IBU PASIEN
Nama Ibu : Ny. T
Umur : 22 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hubungan pasien dengan orang tua : anak kandung
1
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak nafas
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Bayi lahir di Bidan pada tanggal 25 Oktober 2015, pada jam 20.50 WIB,
menurut ayah pasien, bayi dilahirkan dengan usia kandungan 9 bulan.
Berat lahir: 2050 gram, PB: 47 cm, Jenis Kelamin Laki-laki. 3 hari
setelah bayi lahir, ibu pasien datang ke IGD RSUD Soreang dengan
keluhan bayinya yang menjadi biru dan sesak nafas sejak 1 hari SMRS.
Ibu pasien mengeluhkan perut bayi terlihat kembung dan BAB yang tidak
teratur dan berwarna hitam. Panas badan dan sesak disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu Pada Ibu
Hipertensi : (-)
DM : (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
-
5. Riwayat Pribadi
Riwayat Kehamilan
Ibu hamil tunggal. Usia ibu saat hamil adalah 20 tahun. Ibu selalu
memeriksakan kehamilan di bidan secara rutin. Riwayat pemakaian
obat-obatan ketika hamil disangkal. Riwayat mengkonsumsi jamu
– jamuan disangkal.
Riwayat Persalinan
Pasien lahir secara Spontan dengan presentasi kepala, dalam usia
kehamilan 8 bulan. Berat lahir 2050 gram.
Riwayat Pasca Lahir
Tidak ada Keluhan.
2
6. Riwayat Makanan
Pasien di beri ASI
7. Riwayat Imunisasi
Pasien di Imunisasi di bidan
8. Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Pasien Anak Tunggal dari Pasangan Ny. T dan Tn. A yang bekerja
sebagai IRT dan Buruh. Orang tua pasien tidak memberi tahu jumlah
penghasilannya, tetapi mengatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari keluarga.
9. PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan Pada Tanggal 24 Agustus 2015)
A. Pemeriksaan Umum
1) Kesadaran : STATE 3
2) Down Score : 1
3) Tanda Utama
Heart Rate : 136 x/menit,
Frekuensi Nafas : 69 x/menit, tipe Abdominal Thoracal
Suhu : 36,2o Celsius
4) Status gizi
Antropometris :
Berat Badan (BB) : 2050 gram
Panjang Badan (PB) : 47 cm
Lingkar Kepala : 35 cm
Lingkar Dada : 29 cm
Kepala – symphisis : 25 cm
Simpisis – Kaki : 22 cm
BB/U : < -2
PB/U : < -1
BB/PB : > 1
3
B. Pemeriksaan khusus
a. Sutura : Ubun – ubun besar datar
b. Rambut : Hitam tidak mudah dicabut
c. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
d. Telinga : Pinna +/+, Recoil kembali langsung
e. Hidung : Pernapasan cuping hidung (+), choana +/+
f. Mulut : Perioral cyanosis (-), langit-langit intak
g. Tenggorokan : Sulit dinilai
h. Tonsil : Sulit dinilai
i. Lidah : Makroglosia (-)
j. Gigi : Belum erupsi
k. Leher : Retraksi suprasternal (-)
1. Thoraks :
a.Pernapasan : Bentuk dan gerak simetris, retraksi
intercostae (+)
b.Pulmo : Bronkovesikuler sound kanan = kiri,
ronkhi -/-, wheezing -/-, slem -/-
c. Cor : Bunyi Jantung I – II murni regular,
gallop (-), murmur (-)
2. Abdomen : cembung, distensi abdomen (+), bising
usus (+) mengkilat
a.Hepar : Tidak teraba
b.Lien : Tidak teraba
3. Anus : (+) terlihat feses berwarna hitam di
popok
4. Ekstremitas : Akral hangat, kuning (-), capillary
refill time < 3“
5. Genital : Laki-laki
6. Neurologi : reflex moro (+) reflex rooting (+)
reflex pegang (+) reflex hisap (+)
reflex babinski (+)
4
Pemeriksaan New Ballad Score dan Maturitas Fisik
Hasil :
New Ballad Score : 3, 3, 2, 3, 3, 4
Maturitas Fisik : 2, 3, 3, 3, 3, 3
5
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
GDS : 72
6
Diagnosis Kerja
- Sepsis Preterm
- RDS
- TI AGA Kepala Spontan
TATALAKSANA :
IVFD N4 12 gtt/menit micro
NGT dekompresi
Cefotaxime 3 x 120 mg (IV)
Pantau TTV
Pro konsul dr. SpA
Dexamethasone 0,7 mg (IV)
Gentamicin 12 mg (IV)
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
7
Follow up
Tanggal Keluhan Terapi
28 Oktober
2015
S : Sadar aktif (-) , kuning (-) demam (-), sesak
(-) sianosis (+)
O: State: 3 Downscore: 1
HR : 149 x/ menit
RR : 66 x/menit
S : 36,7 oC
Kepala :UUB datar lembut belum menutup,
rambut tidak mudah di cabut
Mata : Ca (-), Si (+)
Hidung : PCH (+)
Mulut : POC (+), Hipersalivasi (-),
Makroglosus (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, Retraksi
Supra Sternal (+).
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris
Paru : BVS Ki = Ka,
Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-
Jantung : BJ I – II murni reguler murmur (-),
gallop (-).
Abdomen : Datar lembut, BU (+)
Ekstremitas : Akral Hangat CRT <3” turgor
kembali cepat
A: RDS + Sepsis preterm
P:
IVFD D10% 12
gtt/menit micro
Retensi : -
Cefotaxime 3 x 120
mg (IV)
Pantau TTV
Pro konsul dr. SpA
Dexamethasone 0,7
mg (IV)
Gentamicin 12 mg
(IV)
O2 2-3 L/M
Amphicilin 2x150 mg
8
29 Oktober
2015
S : sesak (+) demam (-) sianosis (-)
O: State 4 Downscore 1
HR : 150 x/ menit
RR : 61 x/menit
S : 36,4 oC
Kepala :UUB datar lembut belum menutup,
rambut tidak mudah di cabut
Mata : Ca (-), Si (-)
Hidung : PCH (+)
Mulut : POC (+), Hipersalivasi (-),
Makroglosus (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, Retraksi
Supra Sternal (+).
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris
Paru : BVS Ki = Ka,
Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-
Jantung : BJ I – II murni reguler murmur (-),
gallop (-).
Abdomen : Datar lembut, BU (+) retraksi
epigastrium (+)
Ekstremitas : Akral Hangat CRT <3” turgor
kembali cepat
A: RDS + Sepsis Preterm
P :
IVFD D10% 12
gtt/menit micro
Retensi : -
Cefotaxime 3 x 120
mg (IV)
Pantau TTV
Dexamethasone 0,7
mg (IV)
Gentamicin 12 mg
(IV)
O2 2-3 L/M
Fluconazol 25 mg
(IV)
Cek GDS
30 Oktober
2015
S : pasien demam (+) tidak terlalu tinggi. tidak
banyak bergerak aktif, banyak tidur, ikterik (-)
sesak (-)
O: State 4 Downsocre 0
HR : 147 x/ menit
RR : 53 x/menit
S : 37,8 oC
P:
IVFD D10% 12
gtt/menit micro
Retensi : -
Cefotaxime 3 x 120
mg (IV)
Pantau TTV
Dexamethasone 0,7
9
Kepala :UUB datar lembut belum menutup,
rambut tidak mudah di cabut
Mata : Ca (-), Si (-)
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-), Hipersalivasi (-),
Makroglosus (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, Retraksi
Supra Sternal (-).
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris
Paru : BVS Ki = Ka,
Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-
Jantung : BJ I – II murni reguler murmur (-),
gallop (-).
Abdomen : Datar lembut, BU (+) retraksi
epigastrium (+)
Ekstremitas : Akral Hangat CRT <3” turgor
kembali cepat
NGT kosong
A: RDS + Sepsis Preterm
mg (IV)
Gentamicin 12 mg
(IV)
O2 2-3 L/M
GDS : 112
1 Agustus
2015
S: Pasien lebih bergerak aktif daripada
sebelumnya. Ikterik (-) sesak (-) demam (-)
sianosis (-)
O: State 4 Downsocre 0
HR : 140 x/ menit
RR : 48 x/menit
S : 36,8 oC
Kepala :UUB datar lembut belum menutup,
rambut tidak mudah di cabut
Mata : Ca (-), Si (-)
Hidung : PCH (-)
Mulut : POC (-), Hipersalivasi (-),
P:
IVFD D10% 12
gtt/menit micro
Retensi : -
Cefotaxime 3 x 120
mg (IV)
Pantau TTV
Pro konsul dr. SpA
Dexamethasone 0,7
mg (IV)
Gentamicin 12 mg
(IV)
O2 2-3 L/M
10
Makroglosus (-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, Retraksi
Supra Sternal (-).
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris
Paru : BVS Ki = Ka,
Rhonki -/-, whezing -/-, slem -/-
Jantung : BJ I – II murni reguler murmur (-),
gallop (-).
Abdomen : Datar lembut, BU (+) retraksi
epigastrium (+)
Ekstremitas : Akral Hangat CRT <3” turgor
kembali cepat
NGT kosong
A: RDS + Sepsis Preterm
Menghubungi IGD RSHS, RS Santosa Bandung,
RS Hermina, RS Boromeus, RS santo Yusuf, RS
AL-Isla, RS AL-Ikhsan bagian bedah anak
pasien ditolak dengan alasan keadaan umum
letargis dan tidak dapat di transport maka harus
perbaikan KU dulu sebelum dirujuk. Jika tidak
ada keadaan yang berbahaya, pasien bisa ke
bagian poli bedah anak
Advis dr Budi Risjadi, Sp.A:
Inform consent ke
keluarga
Motivasi rujuk ke RS
lain
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
11
Respiratory Distress Syndrome (RDS)
Pendahuluan
Distress respirasi atau gangguan nafas merupakan masalah yang sering
dijumpai pada hari-hari pertama kehidupan BBL. Gangguan napas ini ditandai
dengan takipnea, napas cuping hidung, retraksi interkostal, sianosis dan apneu.
Gangguan napas yang paling sering ialah TTN (Transient Tachypnea of the
Newborn), displasia bronkopulmonar dan RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau
PMH (Penyakit Membran Hialin).1
RDS merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru lahir. Kurang
lebih 30 % dari semua kematian pada neonatus disebabkan oleh RDS atau
komplikasinya. Sindrom gangguan pernapasan ditemui lebih sering di negara
berkembang daripada di tempat lain, terutama karena kebanyakan bayi prematur
yang kecil untuk usia kehamilan mereka stres dalam rahim karena kekurangan gizi
atau hipertensi akibat kehamilan. RDS pada bayi prematur bersifat primer,
insidensinya berbanding terbalik dengan umur kehamilan dan berat lahir.
Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30% pada bayi
32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada
bayi matur.2
Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia
kehamilan 37 minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi
caesar, kelahiran yang dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu
mengalami RDS. Pada ibu diabetes, terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang
menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan. Selain itu dapat juga disebabkan
pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang menimbulkan stress
pada fetus seperti ibu dengan hipertensi / drug abuse, atau adanya infeksi kongenital
kronik. 2
Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih.
Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan
produksi surfaktan oleh sel pneumosit tipe II. Insidensinya berkurang pada
pemberian steroid / thyrotropin releasing hormon pada ibu. Pengenalan surfaktan
eksogen sebagai pencegahan dan terapi telah merubah keadaan klinik dari penyakit
dan menurunkan morbiditas dan mortalitas dari penyakit.2
12
BAB 2
PEMBAHASAN
A. Definisi
RDS adalah gangguan napas pada bayi baru lahir yang terjadi segera atau
beberapa saat setelah lahir dan menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam
pertama kehidupan. RDS ini hampir sebagian besar terjadi pada Bayi Kurang Bulan,
yang masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat kurang dari 2500 gram. Pada
pemeriksaan radiologik ditemukan adanya gambaran retikulogranular yang uniform
dengan air bronchogram.3
B. Etiologi
Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan surfaktan, suatu
zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru. RDS seringkali terjadi pada bayi
prematur, karena produksi surfaktan yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22,
baru mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan,
makin besar pula kemungkinan terjadinya RDS. 4
C. Patofisiologi
Perkembangan paru normal
Paru berasal dari pengembangan “embryonic foregut” dimulai dengan
perkembangan bronkhi utama pada usia 3 minggu kehamilan. Pertumbuhan paru
kearah kaudal ke mesenkhim sekitar dan pembuluh darah, otot halus, tulang rawan
dan komponen fibroblast berasal dari jaringan ini. Secara endodermal epitelium
mulai membentuk alveoli dan saluran pernapasan. Di luar periode embrionik ini, ada
4 stadium perkembangan paru yang telah dikenal. Pada seluruh stadium ini,
perkembangan saluran pernapasan, pembuluh darah dan proses diferensiasi
berlangsung secara bersamaan.1
Pseudoglandular (5-17 minggu)
Terjadi perkembangan percabangan bronkhius dan tubulus asiner
Kanalikuler (16-26 minggu)
Terjadi proliferasi kapiler dan penipisan mesenkhim
13
Diferensiasi pneumosit alveollar tipe II sekitar 20 minggu
Sakuler (24-38 minggu)
Terjadi perkembangan dan ekspansi rongga udara
Awal pembentukan septum alveolar
Alveolar (36 minggu – lebih 2 tahun setelah lahir)
Penipisan septum alveolar dan pembentukan kapiler baru.1
Surfaktan Paru
Surfaktan dibentuk pada pneumosit alveolar tipe II dan disekresi kedalam
rongga udara kecil sekitar usia kehamilan 22 minggu. Komponen utama surfaktan
ini adalah fosfolipid, sebagian besar terdiri dari dipalmithylphosphatidylcholine
(DPPC). Surfaktan disekresi oleh eksositosis dari lamellar bodies pneumosit alveolar
tipe II dan mielin tubuler. Pembentukan mielin tubuler tergantung pada ion kalsium
dan protein surfaktan SP-A dan SP-B. Surfaktan lapisan tunggal berasal dari mielin
tubuler dan sebagian besar terdiri dari DPPC. Fungsinya adalah untuk mengurangi
tegangan permukaan, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli
selama ekspirasi dan pemeliharaan sisa volume paru.1
Terjadi proses “re-uptake and recycling” secara aktif dari fosfolipid
surfaktan (baik endogenous maupun dari pemberian surfaktan) oleh pneumosit tipe
II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara kapiler dan rongga
udara masih 2-3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu terjadi
pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 – 34
minggu.1
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi
belum mencapai permukaan paru. Muncul pada cairan amnion antara 28-32 minggu.
Level yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan.5
Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin)
– 80 %, phosphatidylglycerol – 7 %, phosphatidylethanolamine – 3 %, apoprotein
(surfactant protein A, B, C, D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia
kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan penyimpanannya pada sel
alveolar tipe II. Protein merupakan 10 % dari surfaktan, fungsinya adalah
memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus
dan ikut serta dalam proses perombakan surfaktan. 5
14
Surfaktan disintesa dari prekursor (1) di retikulum endoplasma (2) dan
dikirim ke aparatus Golgi (3) melalui badan multivesikular. Komponen-
komponennya tersusun dalam badan lamelar (4), yaitu penyimpanan intrasel
berbentuk granul sebelum surfaktan disekresikan. Setelah disekresikan (eksositosis)
ke perbatasan cairan alveolus, fosfolipid-fosfolipid surfaktan disusun menjadi
struktur kompleks yang disebut mielin tubular (5). Mielin tubular menciptakan
fosfolipid yang menghasilkan materi yang melapisi perbatasan cairan dan udara (6)
di alveolus, yang menurunkan tegangan permukaan. Kemudian surfaktan dipecah,
dan fosfolipid serta protein dibawa kembali ke sel tipe II, dalam bentuk vesikel-
vesikel kecil (7), melalui jalur spesifik yang melibatkan endosom (8) dan
ditransportasikan untuk disimpan sebagai badan lamelar (9) untuk didaur ulang.
Beberapa surfaktan juga dibawa oleh makrofag alveolar (10). Satu kali transit dari
fosfolipid melalui lumen alveoli biasanya membutuhkan beberapa jam. Fosfolipid
dalam lumen dibawa kembali ke sel tipe II dan digunakan kembali 10 kali sebelum
didegradasi. Protein surfaktan disintesa sebagai poliribosom dan dimodifikasi secara
ekstensif di retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan badan multivesikular. Protein
surfaktan dideteksi dalam badan lamelar sebelum surfaktan disekresikan ke
alveolus.2
Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan
kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan
dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya phosphatydilglycerol,
phosphatydilinositol, phosphatydilserin, phosphatydilethanolamine dan
sphingomyelin. Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan perfusi.
Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia,
hipotensi dan stress dingin, menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang
melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek
pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan. 5
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang
dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru
yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons.
Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari meningkatnya permeabilitas membran
kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke rongga laveoli yang kemudian
mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum
berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah. 5
15
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan
edema interstitial mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih
tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian
bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif,
membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut
menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur
yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi
matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada
akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung
mengalami atelektasis. 2
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit
respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan
atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak memperoleh
ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance paru, tidal volume
yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis, bertambahnya usaha bernafas, dan
tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia,
hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan
meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus,
dan melalui paru sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel
yang memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi
protein ke rongga alveoli. 2
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot
nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan
ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif
yang dapat menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah paru. Kapasitas sel
pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru yang
menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus
memperburuk hipoksemia. 5
Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena
berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan
permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan
protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat
menginaktivasi surfaktan. 5
16
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance
paru merupakan karakteristik RDS. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi
surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai
respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi dan
mencegah FRC semakin berkurang.2
Patofisiologi RDS Pada bayi dengan RDS, dimana adanya ketidakmampuan paru untuk
mengembang dan alveoli terbuka. RDS pada bayi yang belum matur menyebabkan gagal pernafasan karma imaturnya dinding dada, parenchyma paru, dan imaturnya indotelium kapiler yang menyebabkan kolaps paru pada akhir ekspirasi.
Pada bayi dengan RDS disebabkan oleh menurunnya jumlah surfaktan/perubahan kualitatif surfaktan, dengan demikian menimbulkan ketidakmampuan alveoli untuk ekspansi. Terjadinya perubahan tekanan intra - extrathoracic dan menurunnya pertukaran udara.
Secara alamiah perbaikan mulai setelah 24-48 jam. Sel yang rusak akan diganti. Membran hyaline, berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam protein nacreous filtrate serum ( saringan serum protein ), difagosit oleh makrofag. Sel cuboidal menempatkan pada alveolar yang rusak dan epithelium jalan nafas, kemudian terjadi perkembangan sel kapiler baru pada alveolai. Sintesis surfaktan memulai lagi dan kemudian membantu perbaikan alveoli untuk pengembangan.
D. Manifestasi klinik
Tanda dari RDS biasanya muncul beberapa menit sesudah lahir, namun
biasanya baru diketahui beberapa jam kemudian di mana pernafasan menjadi cepat
dan dangkal (60 x / menit). Bila didapatkan onset takipnea yang terlambat harus
dipikirkan penyakit lain. Beberapa pasien membutuhkan resusitasi saat lahir akibat
asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat.6
Biasanya ditemukan takipnea, grunting, retraksi intercostal dan subcostal, dan
pernafasan cuping hidung. Sianosis meningkat, yang biasanya tidak responsif
terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang
kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengar ronkhi basah halus, terutama pada
basis paru posterior. Terjadi perburukan yang progresif dari sianosis dan dyspnea. 6
Bila tidak diterapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun,
terjadi peningkatan sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring
memburuknya penyakit. Apneu dan pernafasan iregular muncul saat bayi lelah, dan
merupakan tanda perlunya intervensi segera. 6
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan
oliguria. Tanda asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada
17
progresi yang cepat dari penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada
bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus ringan, tanda dan gejala mencapai puncak
dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak timbul komplikasi, keadaan
respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 – 33 minggu kehamilan, fungsi
paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil (usia
kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik. 1
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada
kadar oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya
terjadi pada hari kedua sampai ketujuh, sehubungan dengan adanya kebocoran udara
alveoli (emfisema interstitial, pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular.
Kematian dapat terjadi setelah beberapa minggu atau bulan bila terjadi
bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi mekanik (RDS
berat). 1
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis tentang:
Riwayat kelahiran kurang bulan.
Riwayat ibu dengan diabetes melitus.
Riwayat persalinan yang mengalami asfiksia perinatal (gawat janin),
atau partus tindakan dengan bedah sesar.
Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit RDS.6
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.
Dijumpai sindroma klinis yang terdiri dari kumpulan gejala
o Sesak napas, dengan frekuensi napas >60 kali/menit atau <30
kali/menit
o Grunting atau merintih
o Retraksi dinding dada
o Kadang dijumpai sianosis pada suhu kamar1,6,7
Manifestasi klinis berupa distress pernafasan dapat dinilai dengan
APGAR score (derajat asfiksia) dan Silverman Score. Bila nilai
18
Silverman score > 7 berarti ada distress nafas, namun ada juga yang
menyatakan bila nilainya > 2 selama > 24 jam. 2,6
Tabel Silverman score 2
Grade Gerakan
dada atas
Dada
bawah
(retraksi
ICS)
Retraksi
epigastrium
PCH Grunting
0 Sinkron - - - -
1 Tertinggal
pada
inspirasi
Ringan Ringan Minimal Terdengar
pada
stetoskop
2 See-saw Jelas Jelas Jelas Terdengar
tanpa
stetoskop
Perhatikan tanda prematuritas.
Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema paru-
paru.
Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit, besarnya
bayi, adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA.
Penyakit bisa menetap atau menjadi progresif setelah 48-96 jam
pertama kehidupan.1,7
3. Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks
Posisi AP dan lateral, bila diperlukan serial. Gambaran radiologi dapat
memberi gambaran penyakit membran hialinyang menunjukkan gambaran
retikulogranular yang difus bilateral atau gambaran bronkhogram udara (air
bronchogram) dan paru yang tidak berkembang.8 Terdapat 4 Derajat :
Derajat 1 (ringan): kadang normal atau gambaran retikulogranuler,
homogen, tidak ada air bronchogram.8
Derajat 2 (ringan-sedang): 1 + air bronchogram
19
Gambaran air bronchogram (gambaran bronko yang seharusnya terisi
udara) yang menonjol menunjukkan bronkiolus yang menutup latar
belakang alveoli yang kolaps.8
Derajat 3 (sedang-berat) : 2 + batas jantung-paru kabur
Derajat 4 (berat): 3 + white lung
20
4. Laboratorium
Darah : Hb, Ht, dan gambaran darah tepi tidak menunjukkan tanda
infeksi. Menunjukkan pada kecurigaan pneumonia.6 Kultur streptokokus
(-).
Analisis gas biasanya memberikan hasil : hipoksemia, asidemia yang
berupa metabolik, respiratorik atau kombinasi, dan saturasi oksigen yang
tidak normal.7
Rasio lesitin/sfingomielin (L/S ratio <2:1). 7
Shake test (tes kocok), jika tidak ada gelembung, resiko tinggi untuk
terjadinya PMH 60%. 7
F. Terapi
Manajemen ventilator mekanik
Pemberian continuous positive airway pressure (CPAP) akan meningkatkan
oksigenasi dan survival. CPAP mulai dipasang pada tekanan sekitar 5-7 cm H2O
melalui prong nasal, pipa nasofaringeal atau pipa endotrakheal. Pada beberapa bayi
dengan derajat sakit sedang, CPAP mungkin dapat mencegah kebutuhan untuk
pemakaian ventilator mekanik (VM).2,5
CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual
capacity (FRC) melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara,
mencegahnya kolaps selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS
PaO2 > 50%. Pemakaian secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup
untuk bayi kecil, harus diberikan ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat
dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di atas 2000 gr atau usia kehamilan 32
minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu dapat menghindari
pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus tetap dilakukan dan CPAP
hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas yang adekuat, disertai
analisa gas darah yang memuaskan. 5
CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini
menyebabkan tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya
belum hilang, jumlah tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72
jam, dan penggunaan CPAP pada bayi dapat dikurangi secara bertahap segera
sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen arteri tak dapat dipertahankan di
atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan ventilasi buatan. 5
21
Ventilasi Mekanik
Bayi dengan RDS berat atau disertai komplikasi, yang berakibat timbulnya
apnea persisten membutuhkan ventilasi mekanik buatan. Indikasi penggunaannya
antara lain : 4,5,9
1. Analisa gas darah menunjukan hasil buruk
pH darah arteri <>
pCO2 arteri > 60 mmHg
pO2 arteri < 50 mmHg pada konsentrasi oksigen 70 – 100 %
2. Kolaps kardiorespirasi
3. Apnea persisten dan bradikardi
Memilih ventilator mekanik
Ventilasi tekanan positif pada bayi baru lahir dapat diberikan berupa ventilator
konvensional atau ventilator berfrekuensi tinggi (150 x / menit). Ventilator
konvensional dapat berupa tipe “volume” atau “tekanan”, dan dapat diklasifikasikan
lebih lanjut dengan dasar cycling mode – biasanya siklus inspirasi diterminasi. Pada
modus pressure limited time cycled ventilation, tekanan puncak inspirasi diatur dan
selama inspirasi udara dihantarkan untuk mencapai tekanan yang ditargetkan.
Setelah target tercapai, volume gas yang tersisa dilepaskan ke atmosfer. Hasilnya,
penghantaran volume tidal setiap kali nafas bervariabel meski tekanan puncak yang
dicatat konstan. Pada modus volume limited, pre-set volume dihantarkan oleh setiap
nafas tanpa memperhatikan tekanan yang dibutuhkan. Beberapa ventilator
menggunakan aliran udara sebagai dasar dari cycling mode di mana inspirasi
berakhir bila aliran telah mencapai level pre-set atau sangat rendah (flow
ventilators). Ada juga ventilator yang mampu menggunakan baik volume atau
pressure controlled ventilation bergantung pada keinginan operator. 5
Ventilasi dengan fekuensi tinggi biasanya diberikan dengan high frequency
oscillatory ventilators (HFOV). Terdapat piston pump atau vibrating diaphragm
yang beroperasi pada frekuensi sekitar that 10 Hz (1 Hz = 1 cycle per second, 60
cycles per minute). Selama HFOV, baik inspirasi maupun ekspirasi sama-sama aktif.
Tekanan oscillator pada jalan udara memproduksi volume tidal sekitar 2-3 ml
dengan tekanan rata-rata jalan udara dipertahankan konstan, mempertahankan
volume paru ekivalen untuk menggunakan CPAP dengan level sangat tinggi.
22
Volume gas yang dipindahkan pada volume tidal ditentukan oleh ampiltudo tekanan
jalan udara oscillator (P). 5
Ventilator konvensional
Hipoksemia pada RDS biasanya terjadi karena ketidakseimbangan ventilasi
dan perfusi (V/Q) atau pirau dari kanan ke kiri, abnormalitas difusi dan hipoventilasi
merupakan factor tambahan. Oksigenasi terkait langsung pada FiO2 dan tekanan
rata-rata jalan udara (mean airway pressure - MAP). MAP dapat ditingkatkan
dengan perubahan tekanan puncak inspirasi (peak inspiratory pressure - PIP),
positive end expiratory pressure (PEEP) atau dengan mengubah rasio inspirasi :
ekspirasi (I:E) dengan memperpanjang waktu inspirasi sementara kecepatannya tetap
konstan. MAP yang sangat tinggi dapat menyebabkan distensi berlebihan, meski
oksigenasi adekuat, transport oksigen berkurang karena penurunan curah jantung.
Pembuangan CO2 berbanding lurus dengan minute ventilation, ditentukan oleh
produk volume tidal (dikurangi ventilasi ruang mati) dan kecepatan pernafasan.
Untuk minute ventilation yang sama, perubahan penghantaran volume tidal lebih
efektif untuk merubah eliminasi CO2 dibanding perubahan kecepatan pernafasan
karena ventilasi ruang mati tetap konstan. 5,9
a. Peak Inspiratory Pressure (PIP)
Perubahan pada PIP mempengaruhi oksigenasi (dengan mengubah MAP) dan
CO2 dengan efek pada volume tidal dan ventilasi alveolar. Peningkatan PIP
menurunkan PaCO2 dan memperbaiki oksigenasi (PaO2 meningkat). Pemakainan
PIP ditentukan oleh compliance system pernafasan dan bukan oleh ukuran atau berat
bayi. Gunakan PIP terendah yang menghasilkan ventilasi adekuat berdasarkan
pemeriksaan klinik (gerakan dada dan suara nafas) dan analisa gas darah. PIP
berlebih dapat menyebabkan paru mengalami distensi berlebihan dan meningkatkan
resiko baro/volutrauma dan menimbulkan kebocoran udara. 5,9
b. Positive End Expiratory Pressure (PEEP)
PEEP yng adekuat mencegah kolaps alveoli dan dengan mempertahankan
volume paru saat akhir respirasi, memperbaiki keseimbangan V/Q. Peningkatan
23
PEEP memperbesar MAP dan memperbaiki oksigenasi. Sebaliknya, PEEP berlebih
(> 8 cm H2O) menginduksi hiperkarbia dan memperburuk compliance paru dan
mengurangi hantaran volume tidal karena alveoli terisi berlebihan P = PIP - PEEP).
PEEP berlebih juga dapat menimbulkan efek sampping pada hemodinamik karena
paru mengalami distensi berlebih, menyebabkan penurunan venous return, yang
kemudian menurunkan curah jantung. Tekanan 3 – 6 cm H2O memperbaiki
oksigenasi pada bayi baru lahir dengan RDS tanpa mengganggu mekanisme paru-
paru, eliminasi CO2 atau stabilitas hemodinamik. 5
c. Frekuensi
Terdapat 2 metode dasar, frekuensi rendah dan frekuensi tinggi Frekuensi
rendah dimulai pada kecepatan 30 - 40 nafas / menit (bpm). Metode cepat sekitar 60
bpm dan dapat ditingkatkan hingga 120 bpm bila bayi bernafas lebih cepat dari
ventilator. Waktu ekspirasi harus lebih panjang dari inspirasi untuk mencegah alveoli
mengalami distensi berlebihan, waktu inspirasi harus dibatasi maksimum 0,5 detik
selama ventilasi mekanik kecuali dalam keadaan khusus. Pada frekuensi tinggi
terjadi penurunan insidensi pneumotoraks , mungkin karena frekuensi ini sesuai
dengan usaha nafas bayi. Waktu inspirasi memanjang akan meningkatkan MAP dan
memperbaiki oksigenasi, dan merupakan alternative dari peningkatan PIP. Namun
hal ini merupakan predisposisi dari distensi berlebihan pada paru serta air trapping
karena waktu ekspirasi berkurang. 5
d. Kecepatan Aliran
Aliran minimum setidaknya 2 kali minute ventilation bayi (normal : 0.2 – 1 L /
menit) cukup adekuat, tapi dalam prakteknya digunakan 4 – 10 L / menit. Bila
digunakan frekuensi nafas lebih tinggi dengan waktu inspirasi lebih pendek,
kecepatan aliran di atas kisaran harus diberikan untuk menjamin penghantaran
volume tidal. Kecepatan aliran yang tinggi memperbaiki oksigenasi karena efeknya
pada MAP. Beberapa ventilator memiliki kecepatan aliran yang tetap, yaitu sebesar 5
L / menit. 5
24
Sirkulasi
Auskultasi suara jantung, ukur tekanan darah, palpasi denyut nadi dan periksa
hematokrit1
Koreksi asidosis metabolik
Asidosis metabolik berat (pH < 7.2) dengan kadar bikarbonat serum (< 15-16
mEq/L) atau defisit basa menunjukkan beratnya penyakit. Penyebab harus segera
ditentukan dan ditangani.1
Jaga kehangatan suhu bayi sekitar 36,5°C – 36,8°C (suhu aksiler) untuk
mencegah vasokonstriksi perifer1
Langkah selanjutnya untuk mencari penyebab distres respirasi1
Terapi pemberian surfaktan1
Produk Dosis Dosis tambahan
Calfactant
3 ml/kgBB lahir
diberikan dalam 2
aliquot
Mungkin dapat diulang setiap 12
jam sampai dosis 3 kali berturut-
turut dengan interval 12 jam bila
ada indikasi
Beractant4 ml/kgBB lahir
diberikan dalam 4 dosis
Mungkin dapat diulang minimal
setelah 6 jam, sampai jumlah total
4 dosis dalam waktu 48 jam
setelah lahir
Colfosceril
5 ml/kgBB lahir
diberikan dalam waktu
4 menit
Mungkin dapat diulang setelah 12
jam dan 24 jam bila ada indikasi
25
Porcine
2,5 ml/kgBB lahir
diberikan dalam 2
aliquot
Dua dosis berurutan 1,25 ml/kg,
dosis diberikan dengan interval 12
jam bila ada indikasi
Bila tidak tersedia fasilitas NICU segera rujuk ke rumah sakit yang tersedia
NICU1
Pemantauan
Dipantau efektivitas terapi dengan memperhatikan perubahan gejala klinis
yang terjadi.
Setelah BKB/BBLR melewati masa kritis yaitu kebutuhan oksigen sudah
terpenuhi dengan oksigen ruangan atau atmosfer, suhu tubuh bayi sudah stabil diluar
inkubator, bayi dapat menetek, ibu bisa merawat dan mengenali tanda-tanda sakit
pada bayi dan tidak ada komplikasi atau penyulit maka bayi dapat berobat jalan.6
G. Komplikasi
1. Patent Ductus Arteriosus
Insidensi PDA pada bayi prematur dengan RDS sekitar 90%. Dengan meningkatnya
angka bertahan hidup bayi sangat kecil disertai penggunaan surfaktan eksogen, PDA
sebagai komplikasi RDS merupakan masalah dari penanganan RDS pada awal
kehidupan. 4
PDA diasosiasikan dengan pirau dari kanan ke kiri dan peningkatan aliran darah paru
dan tekanan arteri pulmonal. Peningkatan aliran darah paru menyebabkan
berkurangnya compliance paru yang akan membaik setelah ligasi PDA. Peningkatan
aliran darah paru akan menimbulkan kegagalan ventrikel kiri dan edema paru serta
mempengaruhi keseimbangan cairan paru. Kebocoran protein plasma ke rongga
alveoli menghambat fungsi surfaktan. Hal ini akan meningkatkan kebutuhan oksigen
serta ventilasi mekanik. 4
2. Hemorrhagic Pulmonary Edema
26
Perdarahan paru seringkali terjadi sekunder akibat edema paru berat yang merupakan
komplikasi dari RDS dan PDA. Insidensinya pada bayi prematur sekitar 1 % namun
pada otopsi ditemukan sekitar 55 %. Cairan hemoragis di rongga udara merupakan
filtrat kapiler yang berasal dari rongga interstitial atau perdarahan alveoli. Bentuk
interstitial ditandai dengan perdarahan pleura, septum interlobularis, peribronkial,
perivaskular, dan dinding aleolar. Bila perdarahan masuk ke alveoli, eritrosit
memenuhi rongga udara dan meluas hingga ke bronkiolus dan bronkus. 4
3. Pulmonary Interstitial Emphysema (PIE)
PIE dapat terjadi simetris, asimetris atau terlokalisasi pada satu bagian paru. PIE
yang terletak di perifer dapat menimbulkan bleb subpleura yang bila pecar akan
menimbulkan pneumotoraks. Bisa juga menyebabkan terjadinya
pneumomediastinum atau pneomopericardium. Bila alveoli ruptur, udara dapat
terlokalisasi dan bersatu di parenkim membentuk pseudokista. Rupturnya alveoli
dapat menyebabkan udara masuk ke vena pulmonalis, menimbulkan emboli udara. 4
4. Infeksi
Infeksi dapat manifes sebagai kegagalan untuk membaik, perburukan mendadak,
perubahan jumlah leukosit, trombositopenia. Terdapat peningkatan insidensi
septicemia sekunder terhadap staphylococcal epidermidis dan atau Candida. Bila
curiga akan adanya septikemia, lakukan kultur darah dari 2 tempat berbeda dan
berikan antibiotik 4,8
5. Perdarahan intracranial dan leukomalasia periventrikuler
Perdarahan intrakranial didapatkan pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
lebih tinggi pada bayi RDS yang membutuhkan ventilasi mekanik. Ultrasound
kepala dilakukan dalam minggu pertama. Terapi indometasin profilaksis dan
pemberian steroid antenatal menurunkan insidensinya. Hipokarbia dan
chorioamnionitis dikaitkan dengan peningkatan periventricular leukomalacia. 8
H. Prognosis
27
Sangat bergantung pada berat badan lahir dan usia gestasi (berbanding terbalik
dengan kemungkinan timbulnya penyulit).2 Prognosis baik bila gangguan napas akut
dan tidak berhubungan dengan keadaan hipoksemi yang lama.1
SEPSIS PRETERM
1. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian/insidens sepsis di negara berkembang cukup tinggi yaitu
1,818 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan
di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup
dengan angka kematian 10,3%. Di Indonesia, angka tersebut belum terdata. Data
yang diperoleh dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, dalam periode
Januari - September 2005, angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 13,68%
dengan angka kematian sebesar 14,18%. 3
2. FAKTOR RESIKO
Kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya
faktor resiko ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Terjadinya sepsis
neonatorum dipengaruhi oleh faktor risiko pada ibu dan bayi.
Faktor risiko ibu:
Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila
disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
Infeksi dan demam (>38°C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),
kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
Kehamilan multipel.
28
Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
Faktor risiko pada bayi: 6
Prematuritas dan berat lahir rendah.
Dirawat di Rumah Sakit.
Trauma pada proses persalinan.
Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,
infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal
Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek
imun,atau asplenia.
Asfiksia neonatorum.
Cacat bawaan.
Tidak diberi ASI
Pemberian nutrisi parenteral.
Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded
Buruknya kebersihan di NICU.
Divisi Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis
dengan menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut
dalam risiko mayor dan risiko minor.4
29
Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan
diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang
(septicwork-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat
meningkatkan identifikasi pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien
sehingga mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.5
30
BAB III
ETIOLOGI
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,
hanya dibahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri. Pola kuman penyebab sepsis
pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu. Bahkan di
negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan pola kuman, walaupun bakteri
Gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari sepsis neonatorum. Oleh
karena itu pemeriksaan pola kuman secara berkala pada masing-masing klinik dan
rumah sakit memegang peranan yang sangat penting.1,2
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah
diteliti oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999
di empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan
Gambia. Dalampenelitian tersebut mengemukakan bahwa isolate yang tersering
ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus
pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada
meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama
Klebsiella sp dan E.Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif
juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada
neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita-wanita
di daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang
dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering
ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus.1,3
Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir.
Di Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun
2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter
sp,Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005
menunjukkan Acinetobacter calcoacetius paling sering (35,67%), diikuti
Enterobacter sp (7,01%), dan Staphylococcus sp (6,81%). 5
31
Tabel perubahan pola kuman penyebab sepsis neonatorum berdasarkan kurun
waktu :
32
BAB IV
PATOFISIOLOGI
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam
darah (bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan mulai
dari infeksi ke SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ, dan
akhirnya kematian.1
Kriteria Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) :
Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik :
33
International Consensus Definitions for Pediatric Sepsis
Infeksi : infeksi yang dicurigai atau yang sudah terbukti, atau sebuah sindrom klinis
yang terkait dengan kemungkinan infeksi yang tinggi
SIRS : memenuhi 2 dari 4 kriteria berikut dengan salah satunya harus suhu
abnormal atau jumlah leukosit yang abnormal
1. Suhu core > 38.5 °C atau < 36 °C
2. Takikardi : mean heart rate > 2 SD diatas normal untuk umur tanpa stimuli
dari luar, obat – obatan, ataupun stimuli nyeri; ATAU elevasi yang menetap
tanpa penjelasan selama 0.5 – 4 jam; ATAU pada anak –anak < 1 tahun
terdapat bradikardi persisten lebih dari 0.5 jam ( mean heart rate < persentil
10 tanpa rangsangan vagal, obat-obatan, ataupun penyakit jantung
kongenital )
3. Takipneu > 2 SD diatas normal atau perlunya ventilator mekanik yang tidak
terkait dengan kelainan neuromuskular atau anestesi umum
4. Leukositosis atau leukopeni; atau leukosit imatur > 10%
Sepsis : SIRS dengan infeksi yang terbukti
Sepsis berat : Sepsis yang disertai dengan 1 dari hal berikut :
1. Disfungsi kardiovaskuler
Meskipun diberikan IV fluid sebanyak > 40 mL/kg dalam satu jam,
terdapat hipotensi < persentil ke 5 untuk umur, tekanan darah sistolik < 2 SD
dibawah normal untuk umur.
34
ATAU
Perlunya obat-obatan vasoaktif untuk mempertahankan tekanan
darah
ATAU
2 dari hal berikut :
Asidosis metabolik yang tidak diketahui sebabnya > 5 mEq/L
Peningkatan kadar laktat arteri > 2 x batas atas normal
Oliguri < 0.5 mL/kg/jam
Capillary Refill Time yang menurun > 5 detik
Beda suhu akral dan tubuh > 3 °C
2. Acute respiratory distress syndrome yang didefinisikan dengan terdapatnya
rasio PaO2/FiO2 ≤ 300 mm Hg, infiltrat bilateral pada foto thoraks, dan tidak
terbuktinya gagal jantung kiri
ATAU
Sepsis disertai dengan kegagalan organ 2 atau lebih ( Respirasi, Renal,
Neurologi, hematologi, atau hepar )
Syok Sepsis : Sepsis yang disertai dengan kegagalan organ kardiovaskuler
Multiple Organ Dysfunction Syndrome : Kegagalan organ yang tidak bisa
dipertahankan homeostasis tubuh tanpa bantuan obat-obatan.1,3,5
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis
awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode
pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran
atau in utero. Di negara maju, kuman tersering yang ditemukan pada kasus SAD
adalah Streptokokus Grup B (>40% kasus), Escherichia coli ,Klebsiella, dan
Pseudomonas aeruginosa Haemophilus influenza, dan Listeria monocytogenes,
sedangkan di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme
penyebabnya adalah batang Gram negatif. 5
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam)
yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Angka
35
mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara maju,
Coagulase-negative Staphilococcus (CoNS) dan Candida albicans merupakan
penyebab utama SAL. 5
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian
besar bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak
dapat diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan
sekitar (SAL). 5
Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman
karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion,
khorion, dan beberapa faktor anti infeksi pada cairan amnion. Walaupun demikian
kemungkinan kontaminasi kuman dapat timbul melalui berbagai jalan yaitu :1,2,5
Infeksi kuman, parasit atau virus yang diderita ibu dapat mencapai janin
melalui aliran darah menembus barier plasenta dan masuk sirkulasi janin.
Keadaan ini ditemukan pada infeksi TORCH, Triponema pallidum atau
Listeria dll.
Prosedur obstetri yang kurang memperhatikan faktor a/antisepsis misalnya
saat pengambilan contoh darah janin, bahan villi khorion atau
amniosentesis. Paparan kuman pada cairan amnion saat prosedur dilakukan
akan menimbulkan amnionitis dan pada akhirnya terjadi kontaminasi kuman
pada janin.
Pada saat ketuban pecah, paparan kuman yang berasal dari vagina akan
lebih berperan dalam infeksi janin. Pada keadaan ini kuman vagina masuk ke
dalam rongga uterus dan bayi dapat terkontaminasi kuman melalui saluran
pernafasan ataupun saluran cerna. Kejadian kontaminasi kuman pada bayi
yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah pecah lebih dari 18-
24 jam.
Setelah lahir, kontaminasi kuman terjadi dari lingkungan bayi baik karena
infeksi silang ataupun karena alat-alat yang digunakan bayi, bayi yang
mendapat prosedur neonatal invasif seperti kateterisasi umbilikus, bayi
dalam ventilator, kurang memperhatikan tindakan a/anti sepsis, rawat inap
yang terlalu lama dan hunian terlalu padat, dll.
36
Bila paparan kuman pada kedua kelompok ini berlanjut dan memasuki aliran
darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari
tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam
gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran
klinis yang terlihat akan berbeda.
Patofisiologi sepsis terdiri dari aktivasi inflamasi, aktivasi koagulasi, dan
gangguan fibrinolisis. Hal ini mengganggu homeostasis antara mekanisme
prokoagulasi dan antikoagulasi.
1. Respon inflamasi
Respon sepsis terhadap bakteri Gram negatif dimulai dengan pelepasan
lipopolisakarida (LPS), yaitu endotoksin dari dinding sel bakteri. Lipopolisakarida
merupakan komponen penting pada membran luar bakteri Gram negatif dan
memiliki peranan penting dalam menginduksi sepsis. Lipopolisakarida mengikat
protein spesifik dalam plasma yaitu lipoprotein binding protein (LPB). Selanjutnya
kompleks LPS-LPB ini berikatan dengan CD14, yaitu reseptor pada membran
makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada Toll-like receptor 4 (TLR4)
yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag.
Bakteri Gram positif dapat menimbulkan sepsis melalui dua mekanisme,
yakni dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan
dengan melepaskan fragmen dinding sel yang merangsang sel imun. Superantigen
mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam
jumlah yang sangat banyak. Bakteri Gram positif yang tidak mengeluarkan
eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik
melalui mekanisme yang sama dengan bakteri Gram negatif. Kedua kelompok
organisme diatas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator
inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer dilepaskan dari sel-sel akibat aktivasi
makrofag. Kerusakan utama akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan
selanjutnya akan menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi
37
sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan
jumlah reseptor trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada
tempat yang mengalami cedera. Cedera pada endotel ini juga berkaitan dengan
gangguan fibrinolisis. Hal ini disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor pada
permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul antitrombik. Selain itu, inflamasi
pada sel endotel akan menyebabkan vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah.
2. Aktivasi Inflamasi dan Koagulasi
Pada sepsis terlihat hubungan erat antara inflamasi dan koagulasi. Mediator
inflamasi menyebabkan ekspresi faktor jaringan atau Tissue Factor (TF). Ekspresi TF
secara langsung akan mengaktivasi jalur koagulasi ekstrinsik dan melalui lengkung
umpan balik secara tidak langsung juga akan mengaktifkan jalur instrinsik.1,3,5
Pada sepsis, aktivasi kaskade koagulasi umumnya diawali pada jalur
ekstrinsik yang terjadi akibat ekspresi TF yang meningkat akibat rangsangan dari
mediator inflamasi. Selain itu, secara tidak langsung TF juga akan megaktifkan jalur
intrinsik melalui lengkung jalur umpan balik. Terdapat kaitan antara jalur ekstrinsik
dan intrinsik dan hasil akhir aktivasi kedua jalur tersebut adalah pembentukan
fibrin.1,3,5
3. Gangguan Fibrinolisis
Fibrinolisis adalah respons homeostasis tubuh terhadap aktivasi sistem
koagulasi. Penghancuran fibrin penting bagi angiogenesis (pembentukan pembuluh
darah baru), rekanalisasi pembuluh darah dan penyembuhan luka.1,3,5
Aktivator fibrinolisis [tissue-type plasminogen activator (t-PA) dan
urokinasetype plasminogen activator (u-PA)] akan dilepaskan dari endotel untuk
merubah plasminogen menjadi plasmin. Jika plasmin terbentuk, akan terjadi
proteolisisfibrin. 1,3,5
Tubuh juga memiliki inhibitor fibrinolisis alamiah yaitu plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) dan trombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI).
Aktivator dan inhibitor diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan. 1,3,5
Sepsis mengganggu respons fibrinolisis normal dan menyebabkan tubuh
tidak mampu menghancurkan mikrotrombi. TNF-α menyebabkan supresi fibrinolisis
38
akibat tingginya kadar PAI-1 dan menghambat penghancuran fibrin. Hasil
pemecahan fibrin dikenal sebagai fibrin degradation product (FDP) yang mencakup
D-dimer, dan sering diperiksa pada tes koagulasi klinis. Mediator proinflamasi (TNF-
α dan IL-6) bekerja secara sinergis meningkatkan kadar fibrin, sehingga
menyebabkan trombosis pada pembuluh darah kecil hingga sedang dan selanjutnya
menyebabkan disfungsi multi organ. Secara klinis, disfungsi organ dapat
bermanifestasi sebagai gangguan napas, hipotensi, gagal ginjal dan pada kasus yang
berat dapat menyebabkan kematian. 1,3,5
Pada sepsis, saat aktivasi koagulasi maksimal, sistem fibrinolisis akan
tertekan. Respon akut sistem fibrinolisis adalah pelepasan aktivator plasminogen
khususnya t-PA dan u-PA dari tempat penyimpanannya dalam endotel. Namun,
aktivasi plasminogen ini dihambat oleh peningkatan PAI-1 sehingga pembersihan
fibrin menjadi tidak adekuat, dan mengakibatkan pembentukan trombus dalam
mikrovaskular. Disseminated intravascular coagulation (DIC) atau Pembekuan
intravaskular menyeluruh ( PIM ) merupakan komplikasi tersering pada sepsis.
Konsumsi faktor pembekuan dan trombosit akan menginduksi komplikasi
perdarahan berat. PIM secara bersamaan akan menyebabkan trombosis
mikrovaskular dan perdarahan. Pada pasien PIM, kadar PAI-1 yang tinggi
dihubungkan dengan prognosis buruk. 1,3,5
Efek kumulatif kaskade sepsis menyebabkan ketidakseimbangan mekanisme
inflamasi dan homeostasis. Inflamasi yang lebih dominan terhadap anti inflamasi
dan koagulasi yang lebih dominan terhadap fibrinolisis, memudahkan terjadinya
trombosis mikrovaskular, hipoperfusi, iskemia dan kerusakan jaringan. Sepsis berat,
syok septik, dapat
menyebabkan kegagalan multi organ, dan berakhir dengan kematian. 1,3,5
39
40
Kematian
MODS
Syok
Hipovolemia
Kegagalan jantung dan vaskularisasi
Kebocoran plasma / cedera endotel
Acute Respiratory Distress Syndrome
Penurunan trombomodulin
Peningkatan plasminogen activator inhibitor
Trombosis dan antifibrinolisis
Aktivasi endotel
Peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi endotel
Aktivasi sistem koagulasiAktivasi sistem komplemen
Pelepasan mediator inflamasi endogen
Sitokin pro-inflammasiSitokin anti-inflammasiPlatelet activating factorArachidonic acid metabolitesSubstansi depresi miocardiumOpiat endogen
Aktivasi pertahanan inangSel – sel inflammasi teraktivasi
Superantigen atau toksinInfeksi fokal
BAB V
MANIFESTASI DAN GEJALA KLINIS
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik
yang ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan
dalam menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala
klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan
respon tubuh terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan
menderita takikardia, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai
Apgar rendah. Setelah lahir bayi akan tampak lemah. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan
susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang
terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan
kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis,akral dingin). Bayi dapat pula
memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi
(perdarahan,ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu
pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi). 7
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood
Illnesses tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis sepsis neonatorum berat
bila ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut : 7
• Laju napas > 60 kali per menit
• Retraksi dada yang dalam
• Cuping hidung kembang kempis
• Merintih
• Ubun ubun besar membonjol
• Kejang
• Keluar pus dari telinga
41
• Kemerahan di sekitar umbilikus yang melebar ke kulit
• Suhu >37,7°C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5°C (atau akral teraba dingin)
• Letargi atau tidak sadar
• Penurunan aktivitas /gerakan
• Tidak dapat minum
• Tidak dapat melekat pada payudara ibu
• Tidak mau menetek.
Beberapa rumah sakit di Indonesia mengacu pada buku Panduan
Manajemen Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Perawat dan Bidan di Rumah
Sakit tahun 2003 untuk menentukan kriteria sepsis neonatorum. Pada buku ini
gambaran klinis pada sepsis dibagi menjadi dua kategori. Penegakan diagnosis
ditentukan berdasarkan usia pasien dan gambaran klinis sesuai dengan kategori : 5
42
Neonatus diduga mengalami sepsis (tersangka sepsis) bila ditemukan tanda-
tanda dan gejala yang akan dijelaskan sebagai berikut : 5
Bila ada riwayat ibu dengan infeksi intrauterin, demam yang dicurigai
sebagai infeksi berat atau KPD (ketuban pecah dini).
Bila bayi mempunyai dua tanda atau lebih pada Kategori A (tabel), atau tiga
tanda atau lebih pada Kategori B (tabel).
Bila mempunyai satu tanda pada Kategori A dan satu tanda pada Kategori B,
atau dua tanda pada Kategori B.
43
BAB VI
PEMERIKSAAN
1. LABORATORIUM
A. Pemeriksaan kuman dengan kultur darah
Sampai saat ini pemeriksaan biakan darah merupakan baku emas dalam
menentukan diagnosis sepsis. Pemeriksaan ini mempunyai kelemahan karena hasil
biakan baru akan diketahui dalam waktu minimal 3-5 hari. Hasil kultur perlu
dipertimbangkan secara hati-hati apalagi bila ditemukan kuman yang berlainan dari
jenis kuman yang biasa ditemukan di masing- masing klinik. Kultur darah dapat
dilakukan baik pada kasus sepsis neonatorum onset dini maupun lanjut. 7
B. Pungsi lumbal
Kemungkinan terjadinya meningitis pada sepsis neonatorum sangat tinggi.
Bayi dengan meningitis mungkin saja tidak menunjukkan gejala spesifik. Punksi
lumbal dilakukan untuk mendiagnosis atau menyingkirkan sepsis neonatorum bila
dicurigai terdapat meningitis. Pemeriksaan ini dilakukan baik pada sepsis
neonatorum dini maupun lanjut. Kemudian dilakukan pemeriksaan kultur dari
cairan serebrospinal (LCS). Apabila hasil kultur positif, punksi lumbal diulang 24-36
jam setelah pemberian antibiotikuntuk menilai apakah pengobatan cukup efektif.
Apabila pada pengulangan pemeriksaan masih didapatkan kuman pada LCS,
diperlukan modifikasi tipe antibiotikdan dosis. Dari penelitian, terdapat 15% bayi
dengan meningitis yang menunjukkan kultur darah negatif. 7
C. Pewarnaan Gram
44
Selain biakan kuman, pewarnaan Gram merupakan teknik tertua dan sampai
saat ini masih sering dipakai di laboratorium dalam melakukan identifikasi kuman.
Pemeriksaan dengan pewarnaan Gram ini dilakukan untuk membedakan apakah
bakteri penyebab termasuk golongan bakteri Gram positif atau Gram negatif.
Walaupun dilaporkan terdapat kesalahan baca pada 0,7% kasus, pemeriksaan untuk
identifikasi awal kuman ini dapat dilaksanakan pada rumah sakit dengan fasilitas
laboratorium yang terbatas dan bermanfaat dalam menentukan penggunaan
antibiotik pada awal pengobatan sebelum didapatkan hasil pemeriksaan kultur
bakteri. 7
D. Pemeriksaan Hematologi
Beberapa parameter hematologi yang banyak dipakai untuk menunjang
diagnosis sepsis neonatorum adalah sebagai berikut : 7
Hitung trombosit
Pada bayi baru lahir jumlah trombosit yang kurang dari 100.000/µL jarang
ditemukan pada 10 hari pertama kehidupannya. Pada penderita sepsis neonatorum
dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.0000/µL), MPV
(mean platelet volume) dan PDW (platelet distribution width) meningkat secara
signifikan pada 2-3 hari pertama kehidupan.
Hitung leukosit dan hitung jenis leukosit
Pada sepsis neonatorum jumlah leukosit dapat meningkat atau menurun,
walaupun jumlah leukosit yang normal juga dapat ditemukan pada 50% kasus sepsis
dengan kultur bakteri positif. Pemeriksaan ini tidak spesifik. Bayi yang tidak
terinfeksi pun dapat memberikan hasil yang abnormal, bila berkaitan dengan stress
saat proses persalinan. Jumlah total neutrofil (sel-sel PMN dan bentuk imatur) lebih
sensitif dibandingkan dengan jumlah total leukosit (basofil, eosinofil, batang, PMN,
limfosit dan monosit). Jumlah neutrofil abnormal yang terjadi pada saat mulainya
onset ditemukan pada 2/3 bayi. Walaupun begitu, jumlah neutrofil tidak dapat
memberikan konfirmasi yang adekuat untuk diagnosis sepsis. Neutropenia juga
45
ditemukan pada bayi yang lahir dari ibu penderita hipertensi, asfiksia perinatal
berat, serta perdarahan periventrikular dan intraventrikular.
Rasio neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T)
Pemeriksaan ini sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis
neonatorum. Semua bentuk neutrofil imatur dihitung, dan rasio maksimum yang
dapat diterima untuk menyingkirkan diagnosis sepsis pada 24 jam pertama
kehidupan adalah 0,16. Pada kebanyakan neonatus, rasio turun menjadi 0,12 pada
60 jam pertama kehidupan. Sensitivitas rasio I/T berkisar antara 60-90%, dan dapat
ditemukan kenaikan rasio yang disertai perubahan fisiologis lainnya; oleh karena
itu, rasio I/T ini dikombinasikan dengan gejala-gejala lainnya agar diagnosis sepsis
neonatorum dapat ditegakkan.
Pemeriksaan C-reactive protein (CRP)
C-reactive protein (CRP) merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan
muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh
IL6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di
neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit. CRP meningkat pada 50-90% bayi
yang menderita infeksi bakteri sistemik. Sekresi CRP dimulai 4-6 jam setelah
stimulasi dan mencapai puncak dalam waktu 36-48 jam dan terus meningkat
sampai proses inflamasinya teratasi. Nilai normal yang biasa dipakai adalah < 5
mg/L. CRP sebagai suatu pemeriksaan serial selama proses infeksi untuk
mengetahui respon antibiotika, lama pengobatan, dan/atau relapsnya infeksi.
Faktor yang dapat memengaruhi kadar CRP adalah cara melahirkan, umur
kehamilan, jenis organisme penyebab sepsis, granulositopenia, pembedahan,
imunisasi dan infeksi virus berat (seperti HSV,rotavirus, adenovirus, influenza).
Untuk diagnosis sepsis neonatorum, CRP mempunyai sensitivitas 60%,
spesifisitas 78,94%. Jika CRP dilakukan secara serial, nilai prediksi negatif untuk
sepsis awitan dini adalah 99,7% sedangkan untuk sepsis awitan lanjut adalah 98,7%.
Pemeriksaan Biomolekuler/Polymerase Chain Reaction (PCR)
46
Akhir-akhir ini di beberapa negara maju, pemeriksaan biomolekular berupa
Polymerase Chain Reaction (PCR) dikerjakan guna menentukan diagnosis dini pasien
sepsis. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu
lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Selain bermanfaat untuk deteksi
dini, PCR juga dapat digunakan untuk menentukan prognosis pasien sepsis
neonatorum.
2. Pencitraan
Pemeriksaan radiografi toraks dapat menunjukkan beberapa gambaran, misalnya: 7
Menunjukkan infiltrat segmental atau lobular, yang biasanya difus, pola
retikulogranular, hampir serupa dengan gambaran pada RDS (Respiratory
Distress Syndrome).
Efusi pleura juga dapat ditemukan dengan pemeriksaan ini.
Pneumonia : Penting dilakukan pemeriksaan radiologi toraks karena
ditemukan pada sebagian besar bayi, meninggal akibat sepsis awitan dini
yang telah terbukti dengan kultur.
47
BAB VII
DIAGNOSIS
Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan
prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan
hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya, diagnosis sepsis neonatal sulit ditegakkan karena gambaran klinis
pasien tidak spesifik. Gejala spesis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar
jarang ditemukan pada neonatus. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda
dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada neonatus. Selain itu tidak ada
satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal
dalam diagnosis pasti pasien sepsis.
Dalam menentukan diagnosis diperlukan berbagai informasi antara lain :
Faktor Resiko
Gambaran Klinik
Pemeriksaan Penunjang
Ketiga faktor ini perlu dipertimbangkan saat menghadapi pasien karena
salah satu faktor saja tidak mungkin dipakai sebagai pegangan dalam menegakkan
diagnosis pasien. Faktor resiko sepsis dapat bervariasi tergantung awitan sepsis
yang diderita pasien. Pada awitan dini berbagai faktor yang terjadi selama
kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator untuk
melakukan elaborasi lebih lanjut sepsis neonatal. Berlainan dengan awitan dini,
pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang terdapat
dalam lingkungan pasien.
Pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokan menjadi :
1. Faktor ibu :
Persalinan dan kelahiran kurang bulan
Ketuban pecah lebih dari 18 – 24 jam
Chorioamnionitis
48
Persalinan dengan tindakan
Demam pada ibu ( > 38,4 °C )
Infeksi saluran kencing pada ibu
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu
2. Faktor bayi
Asfiksia perinatal
Berat lahir rendah
Bayi kurang bulan
Prosedur invasif
Kelainan bawaan
Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan
sampai saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini
merupakan salah satu faktor penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal
tidak banyak mengalami perubahan dalam dekade terakhir ini.
Berlainan dengan awitan dini, pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi
karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien.
Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif neonatus,
bayi kurang bulan yang mengalamai lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-
larut, infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau
infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor resiko
awitan dini maupun lambat ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus
tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala klinis. Hal ini
akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih efisien pada sepsis
neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada neonatus. Pada sepsis
awitan dini janin yang terinfeksi mungkin menderita takikardim lahir dengan
asfiksia, dan memerlukan resusitasi karena nilai apgar yang rendah. Setelah lahir
bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia,
49
hipoglikemia, dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai
kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh.
Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat
seperti letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah, kadang-kadang terdengar high
pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan
kardiovaskular seperti hipotensim pucat, sianosis, dingin, dan clammy skin. Bayi
dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal ataupun
gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,
intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipneu,
apneu, merintih, dan retraksi.
Gambaran Klinis Disfungsi Multiorgan pada Bayi
Gangguan organ Gambaran Klinis
Kardiovaskular Tekanan darah sistolik < 40 mmHg
Denyut Jantung < 50 atau >
220/menit
Terjadi Henti Jantung
pH darah < 7.2 pada PaCO2 normal
Kebutuhan akan inotropik untuk
mempertahankan tekanan darah
normal
Saluran Napas Frekuensi napas > 90/menit
PaCO2 > 65 mmHg
PaO2 < 40 mmHg
Memerlukan ventilasi mekanik
FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung
sianotik
Sistem Hematologik Hb < 5 g/dL
WBC < 3000 sel/mm3
Trombosit < 20.000
D-dimer > 0.5µg/mL pada PTT > 20
50
detik atau waktu tromboplastin > 60
detik
SSP Kesadaran menurun disertai dilatasi
pupil
Gangguan Ginjal Ureum > 100 mg/d\
Creatinin > 20 mg/dL
Gastroenterologi Perdarahan gastrointestinal disertai
dengan penurunan Hb > 2g%, hipotensi,
perlu tranfusi darah atau operasi
gastrointestinal
Hepar Bilirubin total > 3 mg%
Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam
menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu
pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan
khusus lainnya sering dipergunakan dalam membantu menegakan diagnosis. Upaya
inipun tampaknya masih belum dapat diandalkan. Sampai saat ini pemeriksaan
laboratorium tunggal yang mempunyai sensitivitas dan spesifitas tinggi sebagai
indikator sepsis, belum ditemukann. Dalam penentuan diagnosis, interpretasi hasil
laboratorium hendaknya memperhatikan faktor resiko dan gejala klinis yang terjadi.
Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit
ditegakkan apabila hanya berdasarkan riwayat pasien dan gambaran klinik saja.
Untuk hal tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu
konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berupa pemeriksaan
laboratorium maupun pemeriksaan khusus lainnya. Langkah tadi disbeut Septic
work up dan termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan darah yang merupakan
gold standard diagnosis sepsis, namun memerlukan waktu 2 – 5 hari untuk
diagnosis pastinya.
Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan dengan hati-hati khususnya
bila kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di
51
klinik tersebut. Selain itu hasil kultur diperngaruhi pula oleh kemungkinan
pemberian antibiotika sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman
nosokomial.
Untuk mengenal kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat
dapat dilakukan pewarnaan gram. Tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis
kuman secara lebih spesifik.
Pemeriksaan lain dalam septic work up tersebut adalah pemeriksaan
komponen-komponen darah. Pada sepsis neonatal, trombositopenia dapat
ditemukan pada 10 – 60 % pasien. Jumlah trombosit biasanya kurang dari 100.000
dan terjhadi pada 1 – 3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan.
Sel darah putih dianggap lebih sensitif dalam menunjang diagnosis
ketimbang hitung trombosit. Enam puluh pasien sepsis biasnya disertai perubahan
hitung neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total ( rasio I/T ) sering
dipakau sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Sensitivitas rasio I/T ini 60 –
90 %, karenanya untuk diagnosis perlu disertai kombinasi dengan gambaran klinik
dan pemeriksaan penunjang yang lain.
52
BAB VIII
PENATALAKSANAAN
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana
sepsis neonatorum, sedangkan di pihak lain penentuan kuman penyebab
membutuhkan waktu dan mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan
masalah dalam melaksanakan pengobatan optimal karena keterlambatan
pengobatan akan berakibat peningkatan komplikasi yang tidak diinginkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan antibiotik secara empiris dapat
dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab yang tersering ditemukan
di klinik tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila sensitifitas kuman
diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah mulai
dilakukan, walaupun beberapa dari terapi tersebut belum terbukti menguntungkan.
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini (SAD)
Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai
aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme
penyebab SAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas
antibakteri.
Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat (SAL)
Pada infeksi nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin.
Amikasin resisten terhadap proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar
enzim bakteri yang diperantarai plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan
aminoglikosida lain.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan
penisilin (ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin
generasi ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin
spektrum luas dapat digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri
53
Gram negatif. Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten
terhadap antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin.
Terapi suportif (adjuvant)
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ
atau lebih yang disebut Disfungsi Multi Organ, seperti gangguan fungsi respirasi,
gangguan kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik
seperti koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun.
Pada keadaan tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen,
pemberian inotropik, dan pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam
kepustakaan disebut terapi adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan
dikepustakaan antara lain pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG),
pemberian tranfusi dan komponen darah, granulocyte-macrophage colony
stimulating factor (GCSF dan GM-CSF), inhibitor reseptor IL-1, transfusi tukar (TT)
dan lain-lain.
Pemberian Kortikosteroid pada Sepsis Neonatorum
Pada saat ini pemberian kortikosteroid pada pasien sepsis lebih ditujukan
untuk mengatasi kekurangan kortisol endogen akibat insufisiensi renal.
Kortikosteroid dosis rendah bermanfaat pada pasien syok sepsis karena terbukti
memperbaiki status hemodinamik, memperpendek masa syok, memperbaiki
respons terhadap katekolamin, dan meningkatkan survival. Pada keadaan ini dapat
diberikan hidrokortison dengan dosis 2 mg/kgBB/hari. Sebuah meta-analisis
memperkuat hal ini dengan menunjukkan penurunan angka mortalitas 28 hari
secara signifikan.
Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan
metabolik tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi
insulin, lipolisis, dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi
meningkat, protein otot dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase
akut oleh hati. Beberapa asam amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat
54
dibutuhkan, diantaranya glutamin, sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada
keadaan sepsis, minimal 50% dari energy expenditure pada bayi sehat harus
dipenuhi; atau dengan kata lain minimal sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada
bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4 g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10
g/kg/hari dan lemak 1g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada bayi pada dasarnya dapat
dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada bayi sepsis,
dianjurkan untuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama.
Pemberian nutrisi enteral diberikan setelah bayi lebih stabil.
55
BAB IX
PROGNOSIS
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik, tetapi
bila tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan
meningkatkan angka kematian. Pada meningitis terdapat sequele pada 15-30%
kasus neonatus. Rasio kematian pada sepsis neonatorum 2–4 kali lebih tinggi pada
bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini
adalah 15 – 40 % (pada infeksi SBG pada SAD adalah 2 – 30 %) dan pada sepsis
awitan lambat adalah 10 – 20 % (pada infeksi SGB pada SAL kira – kira 2 %). 5
56
BAB X
KESIMPULAN
Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum dapat
dipecahkan yang karena bersifat multifaktorial, mulai dari faktor ibu, janin, maupun
dari pelayanan rumah sakit. Sepsis neonatorum juga merupakan masalah yang sulit
didiagnosa karena pada neonatus, respon sistem imun tubuhnya tidak selalu
menimbulkan gejala seperti sepsis pada anak yang lebih besar. Umumnya
penatalaksanaan yang diberikan bisa terlambat bila tenaga medis tidak
memberikan perhatian yang cukup pada pasien.
Tanda dan gejala klasik sepsis pada neonatus mencakup takikardi,
takipneu, leukositosis atau leukopeni, dan hipertermi atau hipotermi. Selain itu bila
didapatkan sepsis berat dapat ditemukan disfungsi organ-organ tertentu, seperti
jantung, hati, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Ketika kegagalan organ sudah
mencapai derajat tertentu, akan menyebabkan terjadinya septik syok yang dapat
segera menyebabkan sindrom disfungsi multiorgan yang berakhir pada kematian
bila tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat.
Penatalaksanaan sepsis pada umumnya mencakup eradikasi infeksi dengan
antibiotika selektif, terapi adjuvant untuk mendukung status organ neonatus, terapi
kortikosteroid bila terdapat insufisensi adrenal, dan terapi nutrisi yang adekuat
untuk mempertahankan kesehatan bayi.
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics, Ilmu Kesehatan
Anak, edisi ke 18. Sepsis dan Meningitis Neonatus. Jakarta : EGC, 2004, hal
653-663.
2. John Mersch, MD, FAAP : Neonatal Sepsis ( Sepsis Neonatorum ). Page was
last modified June 20th, 2011. Page available at
http://www.medicinenet.com/script/main/art.asp?articlekey=98247
3. Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD. Rudolph ’s Pediatrics, Buku Ajar
Pediatri Rudolph, edisi ke 20. Sepsis dan Meningitis Pada Neonatus. Jakarta :
EGC, 2006, hal 601-610.
4. Mary T. Caserta, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified October
2009. Page available at
http://www.merckmanuals.com/professional/sec19/ch279/ch279m.html
5. Kosim Sholeh et al. Buku Ajar Neonatologi, edisi pertama, cetakan kedua.
Sepsis Pada Bayi Baru Lahir. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010,
hal 170-187.
6. Ann L Anderson-Berry, MD : Neonatal Sepsis. Page was last modified
February 23rd, 2010. Page available at
http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview
7. Claudio Chiesa et al : Diagnosis of Neonatal Sepsis : A Clinical and Laboratory
Challenge. Page was last modified July 1st, 2011. Page available at
http://www.clinchem.org/cgi/content/full/50/2/279
8. Carl Kuschel : Antibiotics for Neonatal Sepsis. Page was last modified
October 20th, 2010. Available at
http://www.adhb.govt.nz/AntibioticsForNeonatalSepsis.htm
58
CASE REPORT
PERINATOLOGIRespiratory Distress Syndrome + Sepsis Preterm
DISUSUN OLEH :
ARIANE N. RAHMADHANI
1102011042
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK
RSUD SOREANG
2015
59