Transcript
Page 1: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

1

Gubernur

Daerah Istimewa Yogyakarta

BUDAYA MARITIM INDONESIA,

PELUANG, TANTANGAN, DAN STRATEGI

Sarasehan

ROAD MAP PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN KEMARITIMAN

INDONESIA SERTA PENCANGAN BULAN MARITIM UGM

Yogyakarta, 28 Agustus 2014

Di zaman Majapahit,

Arus Balik peradaban berlangsung

dari wilayah Bawah Angin di Selatan

ke Atas Angin di Utara

--Pramoedya Ananta Toer

TETAPI kini, berubah pada arah sebaliknya, dari Utara ke Selatan.

Bisa jadi benar ucapan Pramoedya1, Indonesia tak habis-habisnya

dirundung masalah integrasi, karena sebagai kekuatan maritim,

Indonesia justru diatur oleh paham kontinental dengan watak khasnya

yang bukan saja tak kenal, tetapi bahkan meminggirkan budaya

kemaritimannya.

Arus Balik

Arus Balik yang mengisahkan Nusantara dalam segala kemegahannya

sebagai kekuatan maritim yang jaya. Tetapi, kemudian Arus Balik membayangkan

arus zaman membalik, segalanya berubah: kekuasaan laut menjadi mengkerut ke

pedalaman, kemuliaan menukik dalam kemerosotan, kejayaan berubah ke

kekalahan, kecemerlangan cendekia menjadi kedunguan penalaran, persatuan

berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan. Kehadiran

Belanda dan Portugis (Peranggi) mengubah struktur masyarakat dan pemerintahan.

Westernisasi mengubah watak bangsa yang tangguh, yang pandai memanfaatkan

alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menjadi masyarakat yang manja.

1 Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16,

Hasta Mitra, 2002.

Page 2: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

2

Kemudian cenderung konsumtif, sekaligus minim inovasi. Produk-produk

asing terus dikonsumsi, sehingga kita kehilangan kreasi untuk menemukan,

mengolah, dan mencipta.

Sejarah adalah cermin paling jernih, referensi terpercaya untuk suatu

perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik. Itulah isi paling

substansial bukunya ketika ia mengorek-orek sejarah, sehingga sedemikian banyak

pelajaran dipersembahkan oleh sejarah, agar kita menaruh kecintaan kepada rakyat

dan Tanah Air. Betapa kekuatan dan kesatuan maritim Nusantara pernah

mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke Utara, tetapi kemudian arus

membalik. Arus raksasa menggelombang dari Utara menghempas Nusantara

mundur ke Selatan –yang tertinggal hanya negara-kota kecil-kecil di pesisir Utara

Jawa, bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke pedalaman, ke desa-desa di kaki-

kaki pegunungan.

Mundur terus sampai ke pedalaman bukan hanya geografis, tetapi terlebih

lagi mundur ke pedalaman diri sendiri, ke pedalaman nurani dan kenalurian yang

mengganti nalar rasional. Merasuk dalam ke pedalaman diri yang paling aman,

yang tak akan mampu disentuh oleh siapa pun. Pedalaman di mana bisa dibangun

kekuasaan paling perkasa dan bisa berbuat segala-galanya, ketika khayal dan

kenyataan bersimpangan tanpa batas. Akhirnya Arus Balik bukan hanya kisah

tentang para penguasa di Nusantara dan Jawa, dia juga kisah tentang manusia

Nusantara, manusia Jawa, kultur Jawa, kisah tentang “the Javanese mind” dengan

berbagai perwatakannya.

Bercermin pada sejarah, kita harus meneguhkan kembali jatidiri bangsa

sebagai penghuni Negara Maritim, beranjak dengan visi dan strategi cerdas dan

kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim

yang rasional dan berwawasan global. Sebab kalau tidak, kegemilangan masa lalu

hanya akan menjadi wacana tanpa makna, jika kepemimpinan nasional tidak segera

memutar kemudi ke arah Visi Negara Maritim.

Setiap Pemimpin harus mampu membangunkan etos bangsa, ketika

dihadapkan pada perubahan strategis, baik sebagai ancaman dan tantangan,

atau peluang dan harapan. Pertanyaannya adalah: Bagaimana strategi untuk

membalikkan kembali dari Selatan ke Utara? Apakah Wiragaleng, tokoh

protagonis dalam novel itu, akan ber-reinkarnasi sebagai Wiragaleng Abad 21

mampu mengembalikan arus itu?

Sejarah Maritim Nusantara

Novel itu mengisahkan Nusantara menjadi saksi bisu, kehebatan kerajaan

besar penguasa Arus Selatan hingga mampu menerjang penguasa kerajaan utara.

Majapahit, menjadi kekuatan maritim terbesar pada abadnya (1350-1389 M).

Majapahit mengusai hampir seluruh Indonesia saat ini, hingga Singapura

(Tumasik), Malaysia (Malaka), dan beberapa negara ASEAN lainnya.

Page 3: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

3

Tetapi setelah keruntuhan Majapahit (1478 M) membuat Nusantara yang

dulu menjadi mercusuar Selatan dan membawa arus ke arah Utara, akhirnya harus

menerima kenyataaan bahwa arus telah berbalik, dan Nusantara sekian abad

lamanya terjajah. Mangkatnya Mahapatih Gadjah Mada menjadi titik awal,

kemudian berturut-turut peristiwa melemahkan kerajaan, dan akhirnya lenyap

dengan kedatangan Islam.

Arus pun berbalik, kerajaan-kerajaan yang dulu dalam kekuasaan Majapahit

melepaskan diri. Keturunan Majapahit pun lebih memilih pada kekuasaan yang

tersisa, seperti Raja Tuban Wilwatika. Tapi, hidupnya berubah drastis oleh

bergeraknya Arus eksternal (Portugis) dan internal (Demak). Wiragaleng akhirnya

menjadi tokoh yang ditunggu untuk mengusir penjajah, menghentikan peperangan

saudara, mempersatukan Nusantara seperti Gadjah Mada2.

Di balik kejayaan Majapahit, novel itu juga menyiratkan kenyataan, bahwa

dulu kita memiliki budaya maritim yang andal. Dari berbagai belahan penjuru

Nusantara tersebar banyak bandar atau pelabuhan besar. Juga banyak peninggalan

budaya yang melukiskan kegagahan nenek moyang orang Indonesia sebagai pelaut.

Sejarah pun telah menyebutkan bahwa bersatunya Nusantara adalah karena

kebesaran armada maritim.

Sejak abad ke-9 Masehi, nenek moyang kita telah berlayar jauh dengan kapal

bercadik. Ke Utara mengarungi laut Tiongkok, ke Barat memotong lautan Hindia

hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Kian ramainya pengangkutan

komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di

Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.

Sumber sejarah pelayaran Indonesia dalam masa prasejarah bisa kita lihat

dari relief di candi-candi Hindu dan Budha yang dibangun setelah tahun 500

Masehi, seperti Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Di sana dapat dilihat bahwa

pada masa itu sudah berlangsung pelayaran niaga. Perlayaran ini merupakan wujud

aktivitas migrasi penduduk dalam jarak pendek, di samping migrasi pada kawasan

yang lebih jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang dagangan.

Masyarakat Indonesia telah memiliki pranata hubungan perdagangan.

Budaya kemaritiman bangsa Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejarah

menunjukkan, kehidupan kemaritiman, pelayaran dan perikanan beserta

kelembagaan formal dan informalnya merupakan kontinuitas dari proses

perkembangan kemaritiman Indonesia masa lalu. Buktinya, berdasarkan penelitian,

terdapat tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan

untuk berlayar. Situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang

dipenuhi oleh lukisan perahu layar, menggambarkan bahwa kita adalah keturunan

bangsa pelaut sudah sekitar tahun 10.000 sebelum masehi!

2 Rizky Kusumo, Resensi Novel: Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer), 11 Februari 2014.

Page 4: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

4

Selain itu, ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku

Aborigin di Australia dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita

sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain dengan kapal-kapal yang laik

layar. Sejarah juga mencatat, bahwa Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi kiblat

di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia.

Sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan

perdagangan (commercial zones)3.

1. Jaringan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri

Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera.

2. Jaringan perdagangan Selat Malaka.

3. Jaringan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan

Vietnam Selatan, dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan.

4. Jaringan Laut Sulu, meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao,

dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam).

5. Karingan Laut Jawa, meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku,

pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera, yang berada di

bawah hegemoni Majapahit.

Keperkasaan dan kejayaan nenek moyang kita di laut haruslah menjadi

penyemangat generasi berikutnya. Bentuk implementasinya, bukan hanya

sekedar berlayar, tetapi bagaimana bangsa Indonesia dapat

memanfaatkannya demi kesejahteraan pembangunan bangsa.

Kemaritiman Masakini

Dunia maritim Indonesia telah mengalami kemunduran yang cukup

signifikan, kalau pada zaman dahulu mencapai kejayaan, baik dalam bidang politik

maupun ekonomi, sekarang ini tidak tampak sedikit pun kemajuan yang dapat

dilihat. Ironis memang, Indonesia yang mempunyai potensi laut sangat besar di

dunia kurang begitu memperhatikan sektor ini.

Padahal, laut menjadi salah satu faktor dalam mempertahankan eksistensi

wilayah suatu negara “Barang siapa yang menguasai laut, ia akan menguasai

dunia”, demikian dalil Alfred Thayer Mahan (1890) dalam karyanya: The Influence

of Sea Power Upon History 1660-1783. Ia mengemukakan premis, bahwa

Indomesia bisa belajar bagaimana dapat maju dengan landasan pijak (foot hold)

seperti Inggris dengan adagiumnya: “Britanica rules the waves”. Pakar strategi

maritim Inggris Dr. Geoffrey Till dalam Sea power: A Guide to the Twenty First

Century (2013) menyatakan ada empat komponen dasar menuju terciptanya sea

power sebagai basis Negara Maritim.

3 Zulkifli Rahman, Sejarah Kemaritiman Indonesia, 29 September 2012.

Page 5: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

5

Basis yang harus dimiliki bangsa Indonesia adalah: (1) masyarakat yang

memiliki preferensi terhadap laut (maritime community), (2) sumberdaya maritim

(sumberdaya laut, infrastruktur, perkapalan), (3) posisi geografis, dan (4) political

will Pemerintah. Ternyata kita hanya memiliki potensi pada sumberdaya maritim

(No. 2), dan posisi geografis (No. 3) saja. Kita belum memiliki maritime

community (No. 1) yang andal dan political will Pemerintah (No. 4) yang jelas

berorientasi kemaritiman.

Padahal, keempat komponen itu merupakan prasyarat bagi terciptanya

pelabuhan-pelabuhan laut yang dinamis dalam sistem perdagangan internasional,

armada perkapalan nasional dan AL yang kuat. Kejayaan sea power suatu bangsa

berkorelasi langsung dengan kejayaan bangsa itu sendiri. Untuk menuju terciptanya

sea power, dibutuhkan tiga hal penting yaitu: kesadaran maritim, preferensi publik

dan kepentingan nasional.

Menurut Doktrin Eka Sasana Jaya, TNI-AL sejatinya adalah blue-water

navy. Menurut doktrin yang diformulasikan 17 Agustus 1965 itu, kapal perang

TNI-AL dapat digelar untuk menjamin keselamatan armada niaga Indonesia saat

berlayar di mana pun, baik di laut teritorial maupun lautan lepas. Namun, sejak

ditetapkannya Doktrin Catur Karma Eka Karma 1988 dan Doktrin Sad Dwi Bhakti

1994, Doktrin Eka Sasana Jaya tidak digunakan lagi. Dengan perubahan doktrin

tadi, secara pelahan tetapi pasti, TNI-AL menjadi tidak jelas, apakah blue-water

navy, green-water navy atau brown-water navy4.

Artinya, memang strategi maritim kita masih lemah, kalau tidak bisa

dikatakan sengaja “dilemahkan”.

Dialektika Budaya

Konsep bipolarisme dari budaya Jawa (pola J) dan budaya Melayu (pola M)

pernah diketengahkan oleh Prof. Dr. Mochtar Naim5 sejak 1980. Dialektika budaya

pada hakikatnya adalah alamiah dan tumbuh dengan sendirinya. Budaya,

sebagaimana juga manusia yang membawanya, adalah barang yang hidup yang

memiliki vitalitas tersendiri. Ia mengandung unsur-unsur konflik maupun harmoni

ketika berhubungan dengan dunia luar dan dengan dirinya sendiri.

Struktur budaya-budaya Nusantara mencerminkan luasnya kawasan kepulauan

itu sendiri, yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa, agama

dan adat-istiadatnya. Konflik dan penyerasian dalam bersentuhan akan selalu

terjadi. Proses ambil-mengambil dan pinjam-meminjam budaya karena bersentuhan

dan saling berhubungan itu juga wajar terjadi. Oleh karena, persentuhan budaya itu

adalah konfigurasi dari berbagai koalisi, akulturasi, dan integrasi yang terjadi

dalam proses dialektika tesis, antitesis, dan sintetis.

4 Siswanto Rusdi, TNI-AL Menjadi Blue-Water Navy (Kembali)?, Indonesia Maritim Club,

19 April 2009. 5 Mochtar Naim, Demokrasi dan Dialektika Kebudayaan Nusantara.

Page 6: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

6

Dari segi pendekatan konflik, logis jika spektrum budaya-budaya Nusantara

direntangkan dalam sebuah garis kontinum yang menghubungkan dua kutub yang

secara dialektik bertentangan. Tujuannya secara akademik tidak lain untuk

menemukan ciri-ciri dan pola-pola itu, agar dapat ditentukan langkah-langkah

pemanfaatan yang bersifat positif dan konstruktif yang berguna bagi para

pengambil keputusan di berbagai bidang kehidupan.

Dari segi positifnya, karena adanya unsur-unsur yang bertentangan ini

terletak dinamika budaya Nusantara, yang oleh Mpu Tantular digambarkan sebagai

“Satu dalam ke-berbagai-an” (Bhinneka Tunggal Ika). Tetapi dari segi negatifnya,

berbeda dengan masyarakat berbudaya tunggal, seperti China dan Jepang,

Indonesia yang berbudaya majemuk akan selalu dihadapkan pada potensi konflik

interkultural, yang setiap kehilangan keseimbangan, bisa menyentak ke permukaan.

Jika sekali hal itu terjadi, maka dampaknya juga bisa jauh dan beruntun. Bahkan di

masa refeormasi ini kita sudah berkali-kali dihadapkan pada situasi konflik yang

bersumber dari pertikaian sistem nilai dan orientasi budaya itu.

Ciri khas yang membedakan antara pola budaya J dan M, karena komponen

utama yang membentuknya adalah Adat, Agama, dan Pengaruh Barat atau

Kebudayaan Modern yang intensitasnya juga berbeda-beda. Adat adalah khazanah

budaya yang primordial sifatnya yang tumbuh dari bumi Indonesia sendiri. Agama,

baik Hindu, Budha, Islam, Kristen, atau pun Khonghucu, datang dari luar,

sebagairnana juga dengan kebudayaan modern yang datang dari Barat sesudahnya.

Akulturasi dari Adat, Agama, dan Kebudayaan Modern ini dalam prosesnya lalu

membentuk pola budaya J dan M.

Ada pertanyaan hipotetis menyentak yang menarik untuk direnungkan,

bagaimana seandainya Mahathir Mohammad kelahiran Sumatera yang terpilih

menjadi Presiden RI6? Bisa dibayangkan, tentu cerita tentang negara Indonesia

boleh jadi akan lain. Mahathir adalah orang Melayu yang dibesarkan oleh nilai-

nilai Melayu, yang identik dengan laut, dagang, dan kerajaan.

Setelah Jawa, Melayu memiliki sejarah dan khazanah budaya yang kaya dan

panjang. Budaya Melayu membentuk mentalitas independen, pragmatik, mobil,

terbiasa bersaing, mementingkan keahlian teknis, dan punya harga diri. Barangkali

inilah sebabnya, Soekarno, yang dibesarkan dalam tradisi budaya sawah-

pedalaman Jawa-Bali, sering tidak cocok dengan Hatta, Syahrir, Tan Malaka, yang

dibesarkan oleh budaya maritim-ladang. ilai-nilai pola dasar (archetype) yang

mengendap dalam dunia ketidaksadaran seseorang, diwarisi lewat tradisi

masyarakatnya. Ketidaksadaran kolektif itu bekerja secara diam-diam dan muncul

secara spontan, mendasari sikap-sikap sadarnya ketika seseorang menjadi

pemimpin.

6 Jakob Sumardjo, Seorang Presiden Melayu, Kompas, 28 Agustus 2001.

Page 7: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

7

Karakter pokok budaya sawah adalah dominannya peranan tanah, lokalitas,

sebagai modal utama produksi, dan banyaknya tenaga kerja untuk menggarap tanah

menjadi lahan persawahan. Implikasinya, terlatihnya budaya ini dalam segi

pengaturan manajemen dan hukum dalam skala besar. Mau tidak mau, masyarakat

agraris itu terbiasa, bahkan dibutuhkan, adanya otorita sentral yang kuat.

Kalau tidak demikian, maka pengaturan air, pengaturan warga yang berjubel-

jubel dalam satu lokal, tidak akan bisa berjalan dengan baik. Modernisasi yang

berdasarkan alam pikiran Barat, rupanya lebih dekat dengan alam pikiran laut

daripada alam pikiran agraris. Jagat Melayu dengan enteng memasuki alam pikiran

modern Barat. Sebagai Melayu, Mahathir bisa menunjukkan harga diri di tengah

persaingan dunia. Konflik dan persaingan, kemampuan individual dan kebebasan,

daya adaptasi, semua itu bekal mentalitas yang dibutuhkan dalam dunia modern.

Jagat persawahan adalah jagat yang terikat ruang, karena lokalitas pertanian

menjadi syarat mutlak kehidupan. Warna lokal tak mudah dihapus, daya

adaptasinya lambat, di mana sesuatu yang baru selalu dinilai dengan hati-hati.

Dalam budaya Jawa bukan adaptasi tetapi inkulturasi, yaitu segala hal dari luar,

asing, dan baru, ditelan dalam budaya lokal. Semua konflik berakhir dalam

harmoni, menang tanpa mengalahkan. Kaya tanpa memiliki, berkuasa tanpa

memerintah. Pendek kata, dunia batin lebih penting dari dunia materi. Perangkat

kesadaran kolektif yang demikian ini, akan mengalami konflik jika dihadapkan

dengan modernitas.

Seandainya Hatta dulu Presiden dan wakilnya Soekarno, mungkin bangsa ini

akan mengalami sejarah yang berbeda. Tetapi, bagaimana Hatta harus berpidato di

depan publik persawahan Soekarno yang berada di habitat budayanya sendiri?

Ketidaksadaran kolektif maritim berbicara di hadapan ketidaksadaran kolektif

persawahan, tentu sulit dibayangkan bagaimana wujudnya dalam angan-angan

negara yang namanya Indonesia ini.

Bagi seorang pemimpin, stereotipe itu mungkin dapat ditekan oleh kesadaran

intelektualnya. Seorang Jawa bisa saja berpola pikir Melayu, atau sebaliknya,

sebagai pemimpin dan intelektual. Tetapi, pemimpin yang demikian itu akan

dikatakan “tidak Jawa” atau “tidak Melayu” oleh komunitas budayanya yang

bermodalkan ketidaksadaran kolektif tadi.

Seorang “pemimpin Melayu” (apa pun etniknya) dibutuhkan di alam

modernisasi sekarang ini. Pemimpin semacam itu harus berhadapan dengan

multikultur yang amat beragam, namun dengan pendekatan kebudayaan ia

harus secara bijak mampu menemukan solusinya yang tepat.

Page 8: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

8

Strategi Bangkitkan Budaya Maritim

Sekalipun kaya akan hasil laut, bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai

pemakan ikan. Oleh karena itu, budaya maritim harus berwujud reformasi kultural,

atau jika meminjam istilah Presiden Terpilih, Bapak Joko Widodo, “Revolusi

Mental”, yang diawali dari meja makan, dimana ikan harus menjadi menu utama

bangsa Indonesia. Gemar makan ikan laut, selain mencerdaskan bangsa

sebagaimana bangsa Jepang memiliki tradisi kuat mengkonsumsi ikan, akan

mendorong terbenahinya tata kelola kelautan Indonesia yang tumpang tindih.

Rata-rata konsumsi ikan orang Indonesia adalah 30 kg. per tahun masih

kalah dengan konsumsi ikan orang Malaysia yang mencapai 37 kg. per tahun. Jika

dibandingkan dwngan Jepang, kita hanya separuh dari konsumsi mereke yang

mencapai lebih dari 60 kg. per tahun. Kalau konsumsi ikan saja masih rendah, itu

artinya tidak mengherankan jika penanganan illegal fishing tidak dianggap penting.

Jika konsumsi ikan orang Indonesia menyamai orang Jepang, artinya dua

kali lebih banyak kebutuhan ikan dari data sekarang, itu akan mendorong

Pemerintah untuk serius menangani lautnya agar kebutuhan konsumsi ikan orang

Indonesia terpenuhi. Serius menangani tata kelola kelautan itu termasuk di

dalamnya adalah mengurai keruwetan yang terjadi karena tumpang tindih peraturan

dan tidak terkoordinasinya tata kelola laut karena ego sektoral.

Kerugian Indonesia terkait dengan illegal fishing diperkirakan mencapai Rp

30 triliun per tahun. Jumlah triliunan ini adalah angka yang sangat besar dan dapat

dialokasikan ke pendidikan, misalnya. Jepang untuk mencari ikan saja sampai ke

kutub utara, dan segala jenis ikan pun diburu. Sementara Indonesia yang wilayah

kelautannya lebih luas dari Jepang, belum menganggap penting tata kelola satu

atap kelautan. Semua instansi merasa punya hak atas tata kelola laut meski untuk

bertanggung jawab atas kerugian tata kelola tersebut tidak ada yang mau

bertanggungjawab7.

Oleh karena itu, Pemerintah mendatang dalam mewujudkan budaya maritim

dengan cara mendorong dunia pendidikan, keluarga dan lembaga terkait memiliki

program makan ikan laut. Membentuk suatu budaya itu tidak bisa instan tetapi

harus dididik, diajari dan diedukasi. Ini hal yang sederhana tetapi akan mengubah

cara pandang bangsa Indonesia terhadap lautnya. Jika makan ikan laut menjadi

tradisi, kebutuhan makan ikan meningkat, illegal fishing diperangi, pembangunan

instruktur kelautan dan kekuatan keamanan dan keselamatan laut ditingkatkan.

Pada ujungnya nanti Indonesia tidak membutuhkan banyak badan yang mengatur

tata kelola kelautan.

7 Laksda TNI (P) Yosaphat Didik Heru Purnomo, Perlu Revolusi Laut untuk Wujudkan Budaya

Maritim, Suara Pembaruan dimuat di BERITASATU.com, Jakarta, 25 Agustus 2014.

Page 9: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

9

Yang dibutuhkan Indonesia, sebagaimana banyak negara telah melakukan,

adalah memiliki satu badan dengan banyak fungsi agar tumpang tindih pengelolaan

dapat dihindarkan. Kesemrawutan tata kelola kelautan Indonesia yang sekarang

ada, karena masing-masing instansi atau kementerian bertindak berdasarkan

peraturannya sendiri. Yang harus dipikirkan adalah kepentingan nasional, bangsa

dan negara.

Tetapi kita juga harus mengingat memoar Laksamana Cunningham, “It

takes a navy three years to build a ship, but it takes a nation three hundred years

to build a tradition”, bahwa memerlukan waktu panjang untuk bisa mengubah

budaya “among tani” ke “dagang layar”.

Catatan Akhir

Diilhami oleh Semangat Bahari yang pernah menjadikan keunggulan bangsa,

upaya membangun kejayaan Negara Maritim yang maju, mandiri dan bermartabat,

memerlukan strategi budaya untuk menyiapkan generasi muda yang berkeyakinan

diri, sanggup mengambil tanggung-jawab masa depan, dan memiliki wawasan

kebaharian yang mendalam, serta didukung oleh keterampilan bahari yang andal.

Strategi budaya ini merupakan pemicu bagi transformasi jangka panjang menuju

budaya Indonesia yang lebih berorientasi pada kebaharian bagi generasi mudanya.

Untuk mencari jawab tema Sarasehan UGM ini, menarik merenungkan

pertanyaan introspektif sejarawan Ong Hok Ham. ”Apakah orang Indonesia hanya

(bisa) hidup terpencil dikelilingi gunung berapi dan hidup dari usaha pertanian

untuk kemudian dikolonisasi (lagi) oleh penguasa (baru) lautan Indonesia?”

Artinya, kalau dulu selama tiga setengah abad kita berada di bawah

kekuasaan VOC dan kemudian Hindia Belanda, maka di abad ke-21 ini sejarah bisa

jadi berulang meski dengan aktor-aktor yang berbeda, karena bangsa ini sudah

dalam posisi sulit untuk bisa keluar dari aneka jebakan paham neoliberal yang

berwajah global. Dan, hanya pemimpin bangsa yang besarlah yang mampu

mewujudkan mimpi menjadi kenyataan bagi rakyatnya, agar bisa terlepas dari

dahsyatnya cengkeraman kapitalisme-neoliberal.

Pemimpin masa depan harus mampu “Menjawab Tantangan, dan

Membuka Peluang, dengan Strategi Pembangunan Budaya Maritim” guna

mewujudkan kemandirian Indonesia sebagai Negara Maritim disegani dunia. Kalau

pada Seminar KAGAMA di Batam, saya mengandaikan dengan kalimat, “Siapa

tahu akan lahir dari generasi penerus KAGAMA ini untuk mengembalikan

kejayaan Indonesia kembali ke khittah-nya sebagai Negara Maritim Dunia”, maka

sekarang harapan itu sudah terjawab dengan terpilihnya Presiden yang sah secara

konstitusional oleh putusan MK, yang juga adalah Alumni UGM.

Page 10: BUDAYA MARITIM INDONESIA, PELUANG, TANTANGAN, DAN

10

Apakah Wiragaleng, tokoh protagonis dalam novel Arus Balik itu, ber-

reinkarnasi sebagai Wiragaleng Abad 21 dalam diri Presiden terpilih, mampu

mengembalikan arus itu, sebagai jawab atas pertanyaan Pramoedya dalam

intro paparan ini, sejarahlah yang akan membuktikannya...

Yogyakarta, 28 Agustus 2014

GUBERNUR

DAERAH ISTIMEWA YOIGYAKARTA,

HAMENGKU BUWONO X