1
Gubernur
Daerah Istimewa Yogyakarta
BUDAYA MARITIM INDONESIA,
PELUANG, TANTANGAN, DAN STRATEGI
Sarasehan
ROAD MAP PEMBANGUNAN KELAUTAN DAN KEMARITIMAN
INDONESIA SERTA PENCANGAN BULAN MARITIM UGM
Yogyakarta, 28 Agustus 2014
Di zaman Majapahit,
Arus Balik peradaban berlangsung
dari wilayah Bawah Angin di Selatan
ke Atas Angin di Utara
--Pramoedya Ananta Toer
TETAPI kini, berubah pada arah sebaliknya, dari Utara ke Selatan.
Bisa jadi benar ucapan Pramoedya1, Indonesia tak habis-habisnya
dirundung masalah integrasi, karena sebagai kekuatan maritim,
Indonesia justru diatur oleh paham kontinental dengan watak khasnya
yang bukan saja tak kenal, tetapi bahkan meminggirkan budaya
kemaritimannya.
Arus Balik
Arus Balik yang mengisahkan Nusantara dalam segala kemegahannya
sebagai kekuatan maritim yang jaya. Tetapi, kemudian Arus Balik membayangkan
arus zaman membalik, segalanya berubah: kekuasaan laut menjadi mengkerut ke
pedalaman, kemuliaan menukik dalam kemerosotan, kejayaan berubah ke
kekalahan, kecemerlangan cendekia menjadi kedunguan penalaran, persatuan
berubah menjadi perpecahan yang memandulkan segala kegiatan. Kehadiran
Belanda dan Portugis (Peranggi) mengubah struktur masyarakat dan pemerintahan.
Westernisasi mengubah watak bangsa yang tangguh, yang pandai memanfaatkan
alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menjadi masyarakat yang manja.
1 Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik: Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16,
Hasta Mitra, 2002.
2
Kemudian cenderung konsumtif, sekaligus minim inovasi. Produk-produk
asing terus dikonsumsi, sehingga kita kehilangan kreasi untuk menemukan,
mengolah, dan mencipta.
Sejarah adalah cermin paling jernih, referensi terpercaya untuk suatu
perubahan guna membangun masa depan yang lebih baik. Itulah isi paling
substansial bukunya ketika ia mengorek-orek sejarah, sehingga sedemikian banyak
pelajaran dipersembahkan oleh sejarah, agar kita menaruh kecintaan kepada rakyat
dan Tanah Air. Betapa kekuatan dan kesatuan maritim Nusantara pernah
mengimbak-imbak megah berpendaran damai ke Utara, tetapi kemudian arus
membalik. Arus raksasa menggelombang dari Utara menghempas Nusantara
mundur ke Selatan –yang tertinggal hanya negara-kota kecil-kecil di pesisir Utara
Jawa, bahkan lebih jauh lagi mundur sampai ke pedalaman, ke desa-desa di kaki-
kaki pegunungan.
Mundur terus sampai ke pedalaman bukan hanya geografis, tetapi terlebih
lagi mundur ke pedalaman diri sendiri, ke pedalaman nurani dan kenalurian yang
mengganti nalar rasional. Merasuk dalam ke pedalaman diri yang paling aman,
yang tak akan mampu disentuh oleh siapa pun. Pedalaman di mana bisa dibangun
kekuasaan paling perkasa dan bisa berbuat segala-galanya, ketika khayal dan
kenyataan bersimpangan tanpa batas. Akhirnya Arus Balik bukan hanya kisah
tentang para penguasa di Nusantara dan Jawa, dia juga kisah tentang manusia
Nusantara, manusia Jawa, kultur Jawa, kisah tentang “the Javanese mind” dengan
berbagai perwatakannya.
Bercermin pada sejarah, kita harus meneguhkan kembali jatidiri bangsa
sebagai penghuni Negara Maritim, beranjak dengan visi dan strategi cerdas dan
kreatif untuk keluar dari paradigma agraris tradisional ke arah paradigma maritim
yang rasional dan berwawasan global. Sebab kalau tidak, kegemilangan masa lalu
hanya akan menjadi wacana tanpa makna, jika kepemimpinan nasional tidak segera
memutar kemudi ke arah Visi Negara Maritim.
Setiap Pemimpin harus mampu membangunkan etos bangsa, ketika
dihadapkan pada perubahan strategis, baik sebagai ancaman dan tantangan,
atau peluang dan harapan. Pertanyaannya adalah: Bagaimana strategi untuk
membalikkan kembali dari Selatan ke Utara? Apakah Wiragaleng, tokoh
protagonis dalam novel itu, akan ber-reinkarnasi sebagai Wiragaleng Abad 21
mampu mengembalikan arus itu?
Sejarah Maritim Nusantara
Novel itu mengisahkan Nusantara menjadi saksi bisu, kehebatan kerajaan
besar penguasa Arus Selatan hingga mampu menerjang penguasa kerajaan utara.
Majapahit, menjadi kekuatan maritim terbesar pada abadnya (1350-1389 M).
Majapahit mengusai hampir seluruh Indonesia saat ini, hingga Singapura
(Tumasik), Malaysia (Malaka), dan beberapa negara ASEAN lainnya.
3
Tetapi setelah keruntuhan Majapahit (1478 M) membuat Nusantara yang
dulu menjadi mercusuar Selatan dan membawa arus ke arah Utara, akhirnya harus
menerima kenyataaan bahwa arus telah berbalik, dan Nusantara sekian abad
lamanya terjajah. Mangkatnya Mahapatih Gadjah Mada menjadi titik awal,
kemudian berturut-turut peristiwa melemahkan kerajaan, dan akhirnya lenyap
dengan kedatangan Islam.
Arus pun berbalik, kerajaan-kerajaan yang dulu dalam kekuasaan Majapahit
melepaskan diri. Keturunan Majapahit pun lebih memilih pada kekuasaan yang
tersisa, seperti Raja Tuban Wilwatika. Tapi, hidupnya berubah drastis oleh
bergeraknya Arus eksternal (Portugis) dan internal (Demak). Wiragaleng akhirnya
menjadi tokoh yang ditunggu untuk mengusir penjajah, menghentikan peperangan
saudara, mempersatukan Nusantara seperti Gadjah Mada2.
Di balik kejayaan Majapahit, novel itu juga menyiratkan kenyataan, bahwa
dulu kita memiliki budaya maritim yang andal. Dari berbagai belahan penjuru
Nusantara tersebar banyak bandar atau pelabuhan besar. Juga banyak peninggalan
budaya yang melukiskan kegagahan nenek moyang orang Indonesia sebagai pelaut.
Sejarah pun telah menyebutkan bahwa bersatunya Nusantara adalah karena
kebesaran armada maritim.
Sejak abad ke-9 Masehi, nenek moyang kita telah berlayar jauh dengan kapal
bercadik. Ke Utara mengarungi laut Tiongkok, ke Barat memotong lautan Hindia
hingga Madagaskar, ke Timur hingga Pulau Paskah. Kian ramainya pengangkutan
komoditas perdagangan melalui laut, mendorong munculnya kerajaan-kerajaan di
Nusantara yang bercorak maritim dan memiliki armada laut yang besar.
Sumber sejarah pelayaran Indonesia dalam masa prasejarah bisa kita lihat
dari relief di candi-candi Hindu dan Budha yang dibangun setelah tahun 500
Masehi, seperti Borobudur, Prambanan, dan lain-lain. Di sana dapat dilihat bahwa
pada masa itu sudah berlangsung pelayaran niaga. Perlayaran ini merupakan wujud
aktivitas migrasi penduduk dalam jarak pendek, di samping migrasi pada kawasan
yang lebih jauh, sampai perhubungan laut bagi pengangkutan barang dagangan.
Masyarakat Indonesia telah memiliki pranata hubungan perdagangan.
Budaya kemaritiman bangsa Indonesia bukanlah fenomena baru. Sejarah
menunjukkan, kehidupan kemaritiman, pelayaran dan perikanan beserta
kelembagaan formal dan informalnya merupakan kontinuitas dari proses
perkembangan kemaritiman Indonesia masa lalu. Buktinya, berdasarkan penelitian,
terdapat tipe jukung yang sama yang digunakan oleh orang-orang Kalimantan
untuk berlayar. Situs prasejarah di gua-gua Pulau Muna, Seram dan Arguni yang
dipenuhi oleh lukisan perahu layar, menggambarkan bahwa kita adalah keturunan
bangsa pelaut sudah sekitar tahun 10.000 sebelum masehi!
2 Rizky Kusumo, Resensi Novel: Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer), 11 Februari 2014.
4
Selain itu, ditemukannya kesamaan benda-benda sejarah antara Suku
Aborigin di Australia dengan di Jawa menandakan bahwa nenek moyang kita
sudah melakukan hubungan dengan bangsa lain dengan kapal-kapal yang laik
layar. Sejarah juga mencatat, bahwa Sriwijaya dan Majapahit pernah menjadi kiblat
di bidang maritim, kebudayaan, dan agama di seluruh wilayah Asia.
Sekitar abad ke-14 dan permulaan abad ke-15 terdapat lima jaringan
perdagangan (commercial zones)3.
1. Jaringan Teluk Bengal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri
Lanka, Burma (Myanmar), serta pesisir utara dan barat Sumatera.
2. Jaringan perdagangan Selat Malaka.
3. Jaringan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan
Vietnam Selatan, dikenal sebagai jaringan perdagangan Laut Cina Selatan.
4. Jaringan Laut Sulu, meliputi pesisir barat Luzon, Mindoro, Cebu, Mindanao,
dan pesisir utara Kalimantan (Brunei Darussalam).
5. Karingan Laut Jawa, meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku,
pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatera, yang berada di
bawah hegemoni Majapahit.
Keperkasaan dan kejayaan nenek moyang kita di laut haruslah menjadi
penyemangat generasi berikutnya. Bentuk implementasinya, bukan hanya
sekedar berlayar, tetapi bagaimana bangsa Indonesia dapat
memanfaatkannya demi kesejahteraan pembangunan bangsa.
Kemaritiman Masakini
Dunia maritim Indonesia telah mengalami kemunduran yang cukup
signifikan, kalau pada zaman dahulu mencapai kejayaan, baik dalam bidang politik
maupun ekonomi, sekarang ini tidak tampak sedikit pun kemajuan yang dapat
dilihat. Ironis memang, Indonesia yang mempunyai potensi laut sangat besar di
dunia kurang begitu memperhatikan sektor ini.
Padahal, laut menjadi salah satu faktor dalam mempertahankan eksistensi
wilayah suatu negara “Barang siapa yang menguasai laut, ia akan menguasai
dunia”, demikian dalil Alfred Thayer Mahan (1890) dalam karyanya: The Influence
of Sea Power Upon History 1660-1783. Ia mengemukakan premis, bahwa
Indomesia bisa belajar bagaimana dapat maju dengan landasan pijak (foot hold)
seperti Inggris dengan adagiumnya: “Britanica rules the waves”. Pakar strategi
maritim Inggris Dr. Geoffrey Till dalam Sea power: A Guide to the Twenty First
Century (2013) menyatakan ada empat komponen dasar menuju terciptanya sea
power sebagai basis Negara Maritim.
3 Zulkifli Rahman, Sejarah Kemaritiman Indonesia, 29 September 2012.
5
Basis yang harus dimiliki bangsa Indonesia adalah: (1) masyarakat yang
memiliki preferensi terhadap laut (maritime community), (2) sumberdaya maritim
(sumberdaya laut, infrastruktur, perkapalan), (3) posisi geografis, dan (4) political
will Pemerintah. Ternyata kita hanya memiliki potensi pada sumberdaya maritim
(No. 2), dan posisi geografis (No. 3) saja. Kita belum memiliki maritime
community (No. 1) yang andal dan political will Pemerintah (No. 4) yang jelas
berorientasi kemaritiman.
Padahal, keempat komponen itu merupakan prasyarat bagi terciptanya
pelabuhan-pelabuhan laut yang dinamis dalam sistem perdagangan internasional,
armada perkapalan nasional dan AL yang kuat. Kejayaan sea power suatu bangsa
berkorelasi langsung dengan kejayaan bangsa itu sendiri. Untuk menuju terciptanya
sea power, dibutuhkan tiga hal penting yaitu: kesadaran maritim, preferensi publik
dan kepentingan nasional.
Menurut Doktrin Eka Sasana Jaya, TNI-AL sejatinya adalah blue-water
navy. Menurut doktrin yang diformulasikan 17 Agustus 1965 itu, kapal perang
TNI-AL dapat digelar untuk menjamin keselamatan armada niaga Indonesia saat
berlayar di mana pun, baik di laut teritorial maupun lautan lepas. Namun, sejak
ditetapkannya Doktrin Catur Karma Eka Karma 1988 dan Doktrin Sad Dwi Bhakti
1994, Doktrin Eka Sasana Jaya tidak digunakan lagi. Dengan perubahan doktrin
tadi, secara pelahan tetapi pasti, TNI-AL menjadi tidak jelas, apakah blue-water
navy, green-water navy atau brown-water navy4.
Artinya, memang strategi maritim kita masih lemah, kalau tidak bisa
dikatakan sengaja “dilemahkan”.
Dialektika Budaya
Konsep bipolarisme dari budaya Jawa (pola J) dan budaya Melayu (pola M)
pernah diketengahkan oleh Prof. Dr. Mochtar Naim5 sejak 1980. Dialektika budaya
pada hakikatnya adalah alamiah dan tumbuh dengan sendirinya. Budaya,
sebagaimana juga manusia yang membawanya, adalah barang yang hidup yang
memiliki vitalitas tersendiri. Ia mengandung unsur-unsur konflik maupun harmoni
ketika berhubungan dengan dunia luar dan dengan dirinya sendiri.
Struktur budaya-budaya Nusantara mencerminkan luasnya kawasan kepulauan
itu sendiri, yang dihuni oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa, agama
dan adat-istiadatnya. Konflik dan penyerasian dalam bersentuhan akan selalu
terjadi. Proses ambil-mengambil dan pinjam-meminjam budaya karena bersentuhan
dan saling berhubungan itu juga wajar terjadi. Oleh karena, persentuhan budaya itu
adalah konfigurasi dari berbagai koalisi, akulturasi, dan integrasi yang terjadi
dalam proses dialektika tesis, antitesis, dan sintetis.
4 Siswanto Rusdi, TNI-AL Menjadi Blue-Water Navy (Kembali)?, Indonesia Maritim Club,
19 April 2009. 5 Mochtar Naim, Demokrasi dan Dialektika Kebudayaan Nusantara.
6
Dari segi pendekatan konflik, logis jika spektrum budaya-budaya Nusantara
direntangkan dalam sebuah garis kontinum yang menghubungkan dua kutub yang
secara dialektik bertentangan. Tujuannya secara akademik tidak lain untuk
menemukan ciri-ciri dan pola-pola itu, agar dapat ditentukan langkah-langkah
pemanfaatan yang bersifat positif dan konstruktif yang berguna bagi para
pengambil keputusan di berbagai bidang kehidupan.
Dari segi positifnya, karena adanya unsur-unsur yang bertentangan ini
terletak dinamika budaya Nusantara, yang oleh Mpu Tantular digambarkan sebagai
“Satu dalam ke-berbagai-an” (Bhinneka Tunggal Ika). Tetapi dari segi negatifnya,
berbeda dengan masyarakat berbudaya tunggal, seperti China dan Jepang,
Indonesia yang berbudaya majemuk akan selalu dihadapkan pada potensi konflik
interkultural, yang setiap kehilangan keseimbangan, bisa menyentak ke permukaan.
Jika sekali hal itu terjadi, maka dampaknya juga bisa jauh dan beruntun. Bahkan di
masa refeormasi ini kita sudah berkali-kali dihadapkan pada situasi konflik yang
bersumber dari pertikaian sistem nilai dan orientasi budaya itu.
Ciri khas yang membedakan antara pola budaya J dan M, karena komponen
utama yang membentuknya adalah Adat, Agama, dan Pengaruh Barat atau
Kebudayaan Modern yang intensitasnya juga berbeda-beda. Adat adalah khazanah
budaya yang primordial sifatnya yang tumbuh dari bumi Indonesia sendiri. Agama,
baik Hindu, Budha, Islam, Kristen, atau pun Khonghucu, datang dari luar,
sebagairnana juga dengan kebudayaan modern yang datang dari Barat sesudahnya.
Akulturasi dari Adat, Agama, dan Kebudayaan Modern ini dalam prosesnya lalu
membentuk pola budaya J dan M.
Ada pertanyaan hipotetis menyentak yang menarik untuk direnungkan,
bagaimana seandainya Mahathir Mohammad kelahiran Sumatera yang terpilih
menjadi Presiden RI6? Bisa dibayangkan, tentu cerita tentang negara Indonesia
boleh jadi akan lain. Mahathir adalah orang Melayu yang dibesarkan oleh nilai-
nilai Melayu, yang identik dengan laut, dagang, dan kerajaan.
Setelah Jawa, Melayu memiliki sejarah dan khazanah budaya yang kaya dan
panjang. Budaya Melayu membentuk mentalitas independen, pragmatik, mobil,
terbiasa bersaing, mementingkan keahlian teknis, dan punya harga diri. Barangkali
inilah sebabnya, Soekarno, yang dibesarkan dalam tradisi budaya sawah-
pedalaman Jawa-Bali, sering tidak cocok dengan Hatta, Syahrir, Tan Malaka, yang
dibesarkan oleh budaya maritim-ladang. ilai-nilai pola dasar (archetype) yang
mengendap dalam dunia ketidaksadaran seseorang, diwarisi lewat tradisi
masyarakatnya. Ketidaksadaran kolektif itu bekerja secara diam-diam dan muncul
secara spontan, mendasari sikap-sikap sadarnya ketika seseorang menjadi
pemimpin.
6 Jakob Sumardjo, Seorang Presiden Melayu, Kompas, 28 Agustus 2001.
7
Karakter pokok budaya sawah adalah dominannya peranan tanah, lokalitas,
sebagai modal utama produksi, dan banyaknya tenaga kerja untuk menggarap tanah
menjadi lahan persawahan. Implikasinya, terlatihnya budaya ini dalam segi
pengaturan manajemen dan hukum dalam skala besar. Mau tidak mau, masyarakat
agraris itu terbiasa, bahkan dibutuhkan, adanya otorita sentral yang kuat.
Kalau tidak demikian, maka pengaturan air, pengaturan warga yang berjubel-
jubel dalam satu lokal, tidak akan bisa berjalan dengan baik. Modernisasi yang
berdasarkan alam pikiran Barat, rupanya lebih dekat dengan alam pikiran laut
daripada alam pikiran agraris. Jagat Melayu dengan enteng memasuki alam pikiran
modern Barat. Sebagai Melayu, Mahathir bisa menunjukkan harga diri di tengah
persaingan dunia. Konflik dan persaingan, kemampuan individual dan kebebasan,
daya adaptasi, semua itu bekal mentalitas yang dibutuhkan dalam dunia modern.
Jagat persawahan adalah jagat yang terikat ruang, karena lokalitas pertanian
menjadi syarat mutlak kehidupan. Warna lokal tak mudah dihapus, daya
adaptasinya lambat, di mana sesuatu yang baru selalu dinilai dengan hati-hati.
Dalam budaya Jawa bukan adaptasi tetapi inkulturasi, yaitu segala hal dari luar,
asing, dan baru, ditelan dalam budaya lokal. Semua konflik berakhir dalam
harmoni, menang tanpa mengalahkan. Kaya tanpa memiliki, berkuasa tanpa
memerintah. Pendek kata, dunia batin lebih penting dari dunia materi. Perangkat
kesadaran kolektif yang demikian ini, akan mengalami konflik jika dihadapkan
dengan modernitas.
Seandainya Hatta dulu Presiden dan wakilnya Soekarno, mungkin bangsa ini
akan mengalami sejarah yang berbeda. Tetapi, bagaimana Hatta harus berpidato di
depan publik persawahan Soekarno yang berada di habitat budayanya sendiri?
Ketidaksadaran kolektif maritim berbicara di hadapan ketidaksadaran kolektif
persawahan, tentu sulit dibayangkan bagaimana wujudnya dalam angan-angan
negara yang namanya Indonesia ini.
Bagi seorang pemimpin, stereotipe itu mungkin dapat ditekan oleh kesadaran
intelektualnya. Seorang Jawa bisa saja berpola pikir Melayu, atau sebaliknya,
sebagai pemimpin dan intelektual. Tetapi, pemimpin yang demikian itu akan
dikatakan “tidak Jawa” atau “tidak Melayu” oleh komunitas budayanya yang
bermodalkan ketidaksadaran kolektif tadi.
Seorang “pemimpin Melayu” (apa pun etniknya) dibutuhkan di alam
modernisasi sekarang ini. Pemimpin semacam itu harus berhadapan dengan
multikultur yang amat beragam, namun dengan pendekatan kebudayaan ia
harus secara bijak mampu menemukan solusinya yang tepat.
8
Strategi Bangkitkan Budaya Maritim
Sekalipun kaya akan hasil laut, bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai
pemakan ikan. Oleh karena itu, budaya maritim harus berwujud reformasi kultural,
atau jika meminjam istilah Presiden Terpilih, Bapak Joko Widodo, “Revolusi
Mental”, yang diawali dari meja makan, dimana ikan harus menjadi menu utama
bangsa Indonesia. Gemar makan ikan laut, selain mencerdaskan bangsa
sebagaimana bangsa Jepang memiliki tradisi kuat mengkonsumsi ikan, akan
mendorong terbenahinya tata kelola kelautan Indonesia yang tumpang tindih.
Rata-rata konsumsi ikan orang Indonesia adalah 30 kg. per tahun masih
kalah dengan konsumsi ikan orang Malaysia yang mencapai 37 kg. per tahun. Jika
dibandingkan dwngan Jepang, kita hanya separuh dari konsumsi mereke yang
mencapai lebih dari 60 kg. per tahun. Kalau konsumsi ikan saja masih rendah, itu
artinya tidak mengherankan jika penanganan illegal fishing tidak dianggap penting.
Jika konsumsi ikan orang Indonesia menyamai orang Jepang, artinya dua
kali lebih banyak kebutuhan ikan dari data sekarang, itu akan mendorong
Pemerintah untuk serius menangani lautnya agar kebutuhan konsumsi ikan orang
Indonesia terpenuhi. Serius menangani tata kelola kelautan itu termasuk di
dalamnya adalah mengurai keruwetan yang terjadi karena tumpang tindih peraturan
dan tidak terkoordinasinya tata kelola laut karena ego sektoral.
Kerugian Indonesia terkait dengan illegal fishing diperkirakan mencapai Rp
30 triliun per tahun. Jumlah triliunan ini adalah angka yang sangat besar dan dapat
dialokasikan ke pendidikan, misalnya. Jepang untuk mencari ikan saja sampai ke
kutub utara, dan segala jenis ikan pun diburu. Sementara Indonesia yang wilayah
kelautannya lebih luas dari Jepang, belum menganggap penting tata kelola satu
atap kelautan. Semua instansi merasa punya hak atas tata kelola laut meski untuk
bertanggung jawab atas kerugian tata kelola tersebut tidak ada yang mau
bertanggungjawab7.
Oleh karena itu, Pemerintah mendatang dalam mewujudkan budaya maritim
dengan cara mendorong dunia pendidikan, keluarga dan lembaga terkait memiliki
program makan ikan laut. Membentuk suatu budaya itu tidak bisa instan tetapi
harus dididik, diajari dan diedukasi. Ini hal yang sederhana tetapi akan mengubah
cara pandang bangsa Indonesia terhadap lautnya. Jika makan ikan laut menjadi
tradisi, kebutuhan makan ikan meningkat, illegal fishing diperangi, pembangunan
instruktur kelautan dan kekuatan keamanan dan keselamatan laut ditingkatkan.
Pada ujungnya nanti Indonesia tidak membutuhkan banyak badan yang mengatur
tata kelola kelautan.
7 Laksda TNI (P) Yosaphat Didik Heru Purnomo, Perlu Revolusi Laut untuk Wujudkan Budaya
Maritim, Suara Pembaruan dimuat di BERITASATU.com, Jakarta, 25 Agustus 2014.
9
Yang dibutuhkan Indonesia, sebagaimana banyak negara telah melakukan,
adalah memiliki satu badan dengan banyak fungsi agar tumpang tindih pengelolaan
dapat dihindarkan. Kesemrawutan tata kelola kelautan Indonesia yang sekarang
ada, karena masing-masing instansi atau kementerian bertindak berdasarkan
peraturannya sendiri. Yang harus dipikirkan adalah kepentingan nasional, bangsa
dan negara.
Tetapi kita juga harus mengingat memoar Laksamana Cunningham, “It
takes a navy three years to build a ship, but it takes a nation three hundred years
to build a tradition”, bahwa memerlukan waktu panjang untuk bisa mengubah
budaya “among tani” ke “dagang layar”.
Catatan Akhir
Diilhami oleh Semangat Bahari yang pernah menjadikan keunggulan bangsa,
upaya membangun kejayaan Negara Maritim yang maju, mandiri dan bermartabat,
memerlukan strategi budaya untuk menyiapkan generasi muda yang berkeyakinan
diri, sanggup mengambil tanggung-jawab masa depan, dan memiliki wawasan
kebaharian yang mendalam, serta didukung oleh keterampilan bahari yang andal.
Strategi budaya ini merupakan pemicu bagi transformasi jangka panjang menuju
budaya Indonesia yang lebih berorientasi pada kebaharian bagi generasi mudanya.
Untuk mencari jawab tema Sarasehan UGM ini, menarik merenungkan
pertanyaan introspektif sejarawan Ong Hok Ham. ”Apakah orang Indonesia hanya
(bisa) hidup terpencil dikelilingi gunung berapi dan hidup dari usaha pertanian
untuk kemudian dikolonisasi (lagi) oleh penguasa (baru) lautan Indonesia?”
Artinya, kalau dulu selama tiga setengah abad kita berada di bawah
kekuasaan VOC dan kemudian Hindia Belanda, maka di abad ke-21 ini sejarah bisa
jadi berulang meski dengan aktor-aktor yang berbeda, karena bangsa ini sudah
dalam posisi sulit untuk bisa keluar dari aneka jebakan paham neoliberal yang
berwajah global. Dan, hanya pemimpin bangsa yang besarlah yang mampu
mewujudkan mimpi menjadi kenyataan bagi rakyatnya, agar bisa terlepas dari
dahsyatnya cengkeraman kapitalisme-neoliberal.
Pemimpin masa depan harus mampu “Menjawab Tantangan, dan
Membuka Peluang, dengan Strategi Pembangunan Budaya Maritim” guna
mewujudkan kemandirian Indonesia sebagai Negara Maritim disegani dunia. Kalau
pada Seminar KAGAMA di Batam, saya mengandaikan dengan kalimat, “Siapa
tahu akan lahir dari generasi penerus KAGAMA ini untuk mengembalikan
kejayaan Indonesia kembali ke khittah-nya sebagai Negara Maritim Dunia”, maka
sekarang harapan itu sudah terjawab dengan terpilihnya Presiden yang sah secara
konstitusional oleh putusan MK, yang juga adalah Alumni UGM.
10
Apakah Wiragaleng, tokoh protagonis dalam novel Arus Balik itu, ber-
reinkarnasi sebagai Wiragaleng Abad 21 dalam diri Presiden terpilih, mampu
mengembalikan arus itu, sebagai jawab atas pertanyaan Pramoedya dalam
intro paparan ini, sejarahlah yang akan membuktikannya...
Yogyakarta, 28 Agustus 2014
GUBERNUR
DAERAH ISTIMEWA YOIGYAKARTA,
HAMENGKU BUWONO X