Download pdf - Bia Kritik Sastra

Transcript

PowerPoint Presentation

KRITIK SASTRA PUJANGGA BARU

OLEHKELOMPOK: 7NAMA: 1. Rahmita (06111002007) 2. Subiyah Meidarini (06111002006) 3. Ayu Meiriska (06111002002)

A. Latar BelakangPeriode 1931 1940 merupakan periode terintegrasinya sastra Pujangga Baru meskipun diantara tokoh tokohnya sudah ada yang menulis sebelum tahun 1930, seperti Muhammad Yamin dan Sanusi Pane. Akan tetapi, baru sesudah terbitnya majalah Pujangga Baru pada bulan Juli 1933, para sastrawan pendukung sastra Pujangga Baru terhimpun sehingga corak Pujangga Baru menjadi tegas dan dominan.Teori Kritik Sastra pada Periode Pujangga BaruPada periode Pujangga Baru, tulisan tulisan yang dapat digolongkan bercorak kritik sastra, baik yang bersifat teori maupun terapan, kian nyata dan kian banyak.

Diantara tokoh tokoh itu adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Armijn Pane, J.E. Tatengkeng. Disamping mereka, masih ada beberapa yang lain. Akan tetapi, merekalah yang menonjol diantara para sastrawan Pujangga Baru.

Sesuai dengan aliran romantisme yang mereka anut, pada umumnya orientasi sastra mereka adalah ekspresif meskipun corak pragmatik Balai Pustaka masih kuat berakar juga. Salah seorang tokoh pentingnya, Sutan Takdir Alisjahbana, nada dasar kritiknya bahkan berorientasi pragmatik meskipun agak lain dengan corak pragmatik Balai Pustaka. Pada periode Balai Pustaka Pujangga Baru, ada sebuah artikel berjudul Kritik Kesusastraan dalam rubik Memajukan Kesusastraan majalah Panji Pustaka (Th. X, 5 Juli 1932, hlm. 838 839).

Artikel itu ditulis oleh pengasuh (redaksi) ruang sastra itu tanpa nama penulisnya. Akan tetapi, dapat diduga bahwa penulisnya Sutan Takdir Alisjahbana, sesuai dengan keterangan Balfas (1971:1). Ia mengatakan bahwa mulai maret 1932 Panji Pustaka membuka kolom berjudul (untuk) Memajukan kesusastraan dibawah redaksi Sutan Taksir Alisjahbana.Dapat dikatakan Kritik Kesusastraan itu merupakan teori kritik sastra Indonesia yang ditulis (dinyatakan) secara eksplisit, betul betul merupakan teori kritik sastra (Indonesia Modern), tidak hanya seperti Nota Rinkes yang bersifat aturan umum untuk buku yang akan diterbitkan oleh Balai Pustaka, termasuk buku sastra.Kritik Kesusastraan sebagai teori kritik sastra Indonesia modern yang awal dapat dikatakan memuat teori kritik agak lengkap , yaitu memuat pengertian kritik, guna kritik sastra, sifat kritik yang baik, dan syarat syarat bagi seorang kritikus (yang baik).

Dapat dikatakan Kritik Kesusastraan itu merupakan peletak dasar teori kritik sastra Indonesia Modern, terutama tentang pengertian sastra dan guna kritik sastraGuna kritik sastra itu untuk mendidik pembaca, bagaimana membaca buku dan bagaimana membedakan yang baik dan yang buruk. Begitu juga dengan adanya kritik itu si pengarang dapat mengambil teladan darinya. Ia menjadi tahu dimana cacat dan dimana baiknya. Dengan demikian, pengetahuannya itu berguna bagi tulisan atau karyanya yang kemudian.A.Teori Kritik Sastra Armijn Pane

Corak tipe kritik ekspesif pertama kali tampak tegas dalam tulisan Armijn Pane yang berjudul Sifatnya Kesusastraan Baru dalam Pujangga Baru Th.I, No.1, Juli 1933.

Didalam tulisan Armijn dikemukakan konsep (estetik) sastra baru yang mencerminkan tipe oriental sastra kritik ekprensif seperti telah terlihat dalam judul fasal pertama : Seorang hamba seni yang sejati adalah hamba sekmanya. Disimpulkan Armijn Pane bahwa seorang pujangga yang sejati seninya, yang bersuara menurut perasaan sukmanya, adalah menyatakan perjuangan bangsanya dan keadaan bangsa di zamannya.

Demikian juga dalam wujud (bentuk) seninya, semuanya itu ditentukan oleh paksaan sukmanya, maka hal hal yang tidak sesuai dengan hal itu, seperti peribahasa masa lalu, dibuang digantikan peribahasa sendiri, kiasan sendiri yang timbul dari dalam sukmanya tanpa dicari cari lebih dahulu. Semuanya harus sesuai dengan apa yang hendak dinyatakan itu (1933:1952, hlm.21).Dikemukakan pula bahwa pujangga bukan hanya semata mata cermin masyarakat, zaman dan alam. Ia adalah individu yang berdiri sendiri, yang mempunyai kekhasan.Keadaan masyarakat, zaman dan alam yang hendak dilukiskan itu dicampur dengan perasaan dan pikirannya. Keadaan individu para pujangga itulah yang menyebabkan perbedaan diantara merekaKarena adanya pengaruh timbal balik antara masyarakat dengan pujangga, Armijn Pane (1952, hlm. 23) berkata sebagai berikut.

Kami bukan abdi seni yang hanya bersifat seni untuk seni semata mata, tetapi kami abdi yang sebagai salah satu alat, harus mengabdikan diri kepada masyarakatnya.

Selanjutnya, dikemukannya bahwa setiap zaman, masyarakat, dan alam menimbulkan corak yang khusus bagi semua pujangga sebagai anak masyarakat pada zamannya.

Yang lebih penting lagi adalah isi karya sastra, sedangkan rupa dan bentuknya hanya penolong untuk menyatakan dan menarik perhatian kepada isinya. Meskipun demikian, rupa dan bentuknya tidak boleh diabaikan sebab isinya tidak akan berharga jika rupa dan bentuknya tidak sepadan dengannya.Sebagai penutup Armin mengemukakan bahwa berhubungan dengan keadaan individu pujangga, tidak boleh orang membandingan karya sastranya semata mata berdasarkan perasaan dan pikiran sendiri. Oleh karena itu, sebaiknya pujangga yang dibandingkan (dikritik karya sastranya) itu sendiri menjadi ukuran, sebab dialah yang menjadi cermin masyarakat dan zamannya, maka individunya tidak akan tersia siakan (terabaikan). Yang harus diutamakan adalah benar benar sajak (karya sastra) pujangga itu menyatakan sukmanya atau tidak, mencerminkan sukmanya dengan secepatnya atau tidak. Tentu saja, pendapat Armijn itu sukar dibuktikan sebab bagaimakah orang tahu karya sastranya itu sesuai dengan sukmanya atau tidak. Sebab. orang hanya tahu teks sastranya saja, tidak tahu niat dan sukma pujangga.Teori kritik Armijn Pane tersebut menjadi dasar kriteria untuk kritik ataupun pembicaraan sastra Pujangga Baru dalam bagian II, III, IV, dan V dalam nomor nomor Pujangga Baru yang terbit berikutnya.B. Teori Kritik Sastra J.E. Tatengkeng

Selain penulis Kritik Kesusastraan, sastrawan yang mengemukakan teorik kritik sastra dengan istilah Kritik Sastra adalah J.E. Tatengkeng dalam esainya yang bejudul Pengelidikan dan Pengakuan.

Dalam esainya itu tercermin tipe orientasi sastra yang ekspresif seperti teori kritik sastra Armijn Pane. Di dalamnya diuraikan pengertian kritik sastra, tujuannya (maksudnya) dan fungsinya.

Oleh karena biasanya dalam istilah kritik dalam penggunaan sehari hari terkandung pengertian merusakkan, mematikan, dan caci maki, maka pada mulanya Tatengkeng lebih suka mempergunakan istilah Penyelidikan dari pada istilah Kritik kesusastraan.

Dalam esainya itu Tatengkeng tidak menerangkan arti kritik secara eksplisit, tetapi dari maksud (guna) kritik sastra yang dikemukakan secara implisit tercermin pengertian itu, yaitu penyelidikan terhadap karya sastraMenurut Tatengkeng maksud penyelidikan kesusastraan ada dua macam.1. Kritik sastra untuk memberikan penerangan 2. Kritik sastra untuk memberi nasihatYang pertama, sebagai penerangan, ditunjukkan kepada orang yang mencintai kesusastraan, yaitu para pembaca buku kesusastraan. Dengan penerangan penyelidikan kesusastraan ini, pembaca dapat belajar melihat, mendengar dan merasa lebih dalam kalau ia membaca buku karya sastra.

Penyelidikan sastra atau kritik sastra mengajarkan kepada pembaca untuk melihat dan mengerti sukma orang orang yang dibacanya dan sukma pengarangnya sendiri.Guna kritik saran yang kedua adalah bagi pengarang atau pujangganya sendiri. Dengan adanya kritik sastra, pengarang dapat melihat kekurangan dan kenguatkan dirinya dalam hal hal yang masih lemah.

Selanjutnya menurut Tatengkeng, kritik besar sekali gunanya bagi pengarang yaitu sebagai petunjuk jalan baginya, dalam arti kritik sastra membuat pengarang dapat menulis lebih baik dengan usaha sendiri, bukannya berarti ia harus mencontoh saja cara orang lain mengarang.

Dengan hal demikian itu, kritik sastra berguna untuk memperkembangkan dan bertumbuhnya kesusastraan baru.C. Teori Kritik Sastra Sanusi Pane

Aliran sastra romantik biasanya mendasarkan penciptaannya sebagai curahan atau pancaran jiwanya. Oleh karena itu, pada umumnya karya sastra mereka bersifat liris, merupakan curahan perasaan dan pendapat pribadi.

Konsep seni pada umumnya adalah Seni untuk Seni yang menekankan sifat seninya dan yang lain lain. Demikianlah, pada mulanya Sanusi Pane menyatakan kriteria sastranya dalam sebuah sajaknya yang liris.Kriteria itu menjadi dasar penciptaan sastra dan kritiknya sendiri pada saat penciptaannya.

Sanusi Pane mengikuti aliran rimantik, maka ia menciptakan puisi puisi liris sesuai dengan mode zaman dan alirannya berupa soneta dan puisi liris lainnya. Menurut teori ekspresif, sukma sastrawan itu merupakan lampu yang menerangi alam sekitarnya, oleh karena itu, sukma pujangga Sanusi Pane adalah matahari yang menerangi bumi seperti tampak dalam bait kedua Sajak-nya tersebut.

Seperti matahari mencintai bumiMemberi sinar selama lamanya.Tidak meminta sesuatu kembaliHarus cintamu senantiasa.

Jadi, menilik sajaknya tersebut, orientasi kritik sastra Sanusi Pane adalah ekspensif. Dia lebih mengutamakan sukma dan kata hatinya sendiri dari pada lainnya, seperti juga pikiran Tatengkeng.

Berdasarkan kriteria semacam itu, ia menciptakan dan menimbang karya sastranya. Dia lebih mengutamakan seninya dari pada tujuan sastranya sehingga semboyannya adalah seni untuk seni, seperti Tatengkeng juga.

Demikianlah ia menciptakan karya sastranya, salah satu diantaranya adalah drama Sandhyakala ning Majapahit. Karya ini kemudian dikritik Sutan Takdir Alisjahbana dalam satu bab novelnya Layar Terkembang. Dikatakan bahwa drama ini merupakan karya yang melemahkan semangat para pemuda Indonesia meskipun bernilai seni.

Atas kritik Takdir itu ia menulis esai Sikap Aesthetish. Konsep estetik Sanusi Pane terus dipertahankan sampai karyanya yang terakhir, yaitu Manusia Baru (1940). Tampaknya konsep estetikanya itu kontradiktoris dengan kenyataan bahwa drama Manusia Baru itu mengemukakan masalah tentang buruh dan majikan. Di dalamnya Sanusi Pane memberikan penyelesaian pertikaian itu secara pragmatik.

Hal ini seperti sastra yang bertujuan (pragmatik, tendenz leteratuur). Jadi, tampaknya kontradiktoris kalau Sanusi Pane berkata dalam pengantarnya sebagai berikut.Lakon ini mesti ditonton sebagai hasil seni saja. Kalau orang menarik pelajaran juga daripadanya, dan itu bukan sebenarnya maksud pengarang karena ia hendak memberi seni saja.

TERIMA KASIH