26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Konsep Pemerintahan Daerah
Definisi Pemerintahan Daerah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1
ayat (2) adalah sebagai berikut :
“Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Melihat definisi pemerintahan daerah seperti yang telah
dikemukakan di atas, maka yang dimaksud pemerintahan daerah adalah
penyelenggaraan urusan-urusan yang menjadi urusan daerah (provinsi
atau kabupaten) oleh pemerintah daerah dan DPRD.
Penyelenggara pemerintahan daerah menurut Undang-undang
Nomor 23 tahun 2014 Pasal adalah pemerintah daerah dan DPRD Dalam
menyelenggarakan pemerintahan, Pemerintah menggunakan asas
desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekosentrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014). Sementara itu, dalam menyelenggarakan
pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi
dan tugas pembantuan.
27
Dengan demikian penyelenggara pemerintah daerah terdiri dari
pemerintahan daerah dan DPRD. Pemerintah daerah adalah Gubernur,
Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah. Sedangkan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Pemerintah daerah
harus mampu mengelola daerahnya sendiri dengan baik dengan penuh
tanggung jawab dan jauh dari praktik-praktik korupsi.
Dalam menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan, terutama
dalam penyelenggaraan otonomi daerah dibekali dengan hak dan
kewajiban tertentu. Hak-hak daerah menurut Undanag-Undang Nomor 23
Tahun 2014:
1. Mengatur dan mengurusi sendiri urusan pemerintahannya
2. Memilih pemimpin daerah
3. Mengelola aparatur daerah
4. Mengelola kekayan daerah
5. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah
6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya lainnya yang berada di daerah
7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah dan
8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
28
Disamping hak-hak tersebut di atas, daerah juga diberi beberapa
kewajiban, yaitu:
1. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan
nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
2. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
3. Mengembangkan kehidupan demokrasi
4. Mewujudkan keadilan dan pemerataan
5. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan
6. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan
7. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak
8. Mengembangkan sistem jaminan sosial
9. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah
10. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah
11. Melestarikan lingkungan hidup
12. Mengelola administrasi kependudukan
13. Melestarikan nilai sosial budaya
14. Membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai
dengan kewenangannya.
15. Kewajiban lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
29
Hak dan kewajiban daerah tersebut diwujudkan dalam bentuk
rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk
pendapatan, belanja, dan pembiayaan daerah, yang dikelola dalam sistem
pengelolaan keuangan daerah. Sesuai dengan asas-asas yang telah
dikemukakan di atas, pengelolaan keuangan dilakukan secara efisien,
efisien, transparan, bertanggungjawab, tertib, adil, patuh, dan taat pada
peraturan perundang-undangan ( Rozali, 2007 : 27-30).
Melalui sistem pemerintahan daerah, pemerintahan daerah diberi
wewenang untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan yang diserahkan
kepadanya. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terdiri
dari:
a. Urusan Pemerintahan Absolut adalah Urusan Pemerintahan yang
sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
b. Urusan Pemerintahan Konkuren urusan pemerintahan yang dibagi
antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah
Kabupaten/Kota.
c. Urusan Pemerintahan Umum adalah Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan
30
2.1.2. Konsep Pemerintahan Desa
Defenisi Desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Tentang Desa Pasal 1 Ayat (1) Desa adalah Desa dan Desa Adat atau
yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdarkan prakarsa masyarakat, hak
asal usul, dan atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan defenisi Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 47 Tahun 2015 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 Tentang Desa adalah Desa dan Desa Adat atau yang disebut
dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat
berdarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan atau hak tradisional
yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
31
Pemerintahan Desa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 2015 adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-
batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan
Negara Kesatuan Indonesia.
Kekuatan rantai besi berada pada mata rantai yang terlemah.Jika
mengibaratkan system pemerintahan nasional sebagai rangkaian mata
rantai sistem pemerintahan mulai dari Pusat, Daerah dan Desa, maka
desa merupakan mata rantai terlemah.Hampir segala aspek menunjukkan
betapa lemahnya kedudukan dan keberadaan desa dalam konstalasi
pemerintah. Padahal desalah yang menjadi pertautan terakhir dengan
masyarakat yang akan membawanya ketujuan akhir yang telah digariskan
sebagai cita-cita bersama. (Wasistiono, 2006:1)
Desa di Indonesia pertama kali ditemukan oleh Mr. Herman Warner
Muntinghe, seorang Belanda anggota Raad van Indie pada masa
penjajahan kolonial Inggris, yang merupakan pembantu Gubernur Jendral
Inggris yang berkuasa pada tahun 1811 di Indonesia. Dalam sebuah
laporan tertanggal 14 juli 1817 kepada pemerintahannya disebutkan
32
tentang adanya desa-desa di daerah-daerah pesisir uatama Pulau Jawa.
Dan kemudian hari ditemukan juga desa-desa dikepulauan luar jawa yang
kurang lebih sama dengan desa yang ada di Jawa (Wasistiono,2006:7).
Kata “Desa” sendiri berasal dari bahasa India yakni swadesi yang
berarti tempat asal, tempat tinggal, negeri asal, atau tanah leluhur yang
meruju pada satu kesatuan hidup, dengan satu kesatuan norma, serta
memiliki batas yang jelas (Husaini, 2013:57). Sesuai batasan definisi
tersebut, maka Indonesia dapat ditemui banyak kesatuan masyarakat
dengn peristilahannya masing-masing seperti Dusun dan Marga bagi
masyarakat Sumatera Selatan, Dati di Maluku, Nagari di Minang atau
Wanua di Minahasa. Pada daerah lain masyarakat setingkat desa juga
memiliki berbagai istilah dan keunikan sendiri baik mata pencaharian
maupun adat istiadatnya.
2.1.3. Konsep Otonomi Desa
Pengembangan otonomi desa merupakan konsekuensi berbagai
tuntutan perkembangan lingkungan global, lingkungan pemerintahan dan
lingkungan sosial masyarakat yang dinamis. Desa sebagai sub sistem
pemerintahan nasional, memerlukan adaptasi dan antisipasi terhadap
perkembangan tersebut (Wasistiono dan Tahir, 2006:85).
33
Otonomi desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta
bukan merupakan pemberian dari pemerintah.Sebaliknya pemerintah
berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki desa
tersebut.Dengan demikian hak untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat inilah yang disebut otonomi desa.Desa yang
otonom memberikan ruang gerak yang luas pada perencanaan
pembangunan yang merupakan kebutuhan nyata masyarakat dan tidak
banyak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan
pemerintah.
Otonomi desa adalah kewenangan desa yang diberikan untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan (Widjaya :26). Adapun tujuan otonomi
desa adalah :
1. Peningkatan pembangunan
2. Peningkatan pelayanan
3. Peningkatan kemandirian
4. Peningkatan daya saing desa
34
Untuk memperkuat pelaksanaan otonomi desa diharapkan
pemerintah secara intensif dan terpadu mengupayakan kebijakan sebagai
berikut :
a. memberi akses dan kesempatan kepada desa untuk menggali sumber
daya alam yang ada dalam wilayahnya untuk dimamfaatkan sebagai
sumber pendapatan desa tanpa mengabaikan fungsi kelestarian,
konservasi dan pembangunan yang berkelanjutan.
b. Memprogramkan pemberian bantuan kepada desa sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c. Memfasilitasi upaya peningkatan kepastian pemerintahan, lembaga-
lembaga kemasyarakatan serta komponen masyarakat lainnya di desa
melalui pembinaan dan pengawasan, pemberian pedoman,
bimbingan, pelatihan, arahan dan supervise.
Karena otonomi desa merupakan otonomi yang berdasarkan asal
usul dan adat istiadat dalam masyarakat atau merupakan hasil cipta, rasa
dan karsa masyarakat dalam kenyataannya pasti akan timbul
keanekaragaman dari penataan desa, tata kehidupan masyarakat, potensi
desa, susunan pemerintahan maupun tata pemerintahan yang sangat
dipengaruhi oleh keaneka ragaman asal usul dan adat istiadat
masyarakatnya. Diharapkan dengan adanya otonomi desa maka akan
tercipta desa yang mandiri. Untuk melihat kemadirian desa maka harus
dilihat kemandirian masyarakatnya.
35
Teori struktural fungsional menjelaskan bahwa dalam proses
pembangunan masyarakat pedesaan perlu adanya adaptasi dengan
lingkungan sekitarnya baik lingkungan alam, fisik, sosial ekonomi maupun
sosial budaya, ini mempertegas bahwa proses perubahan masyarakat
pedesaan harus sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Departemen
Dalam Negeri memberikan penafsiran kemandirian sebagai bobot
sumbangan masyarakat desa dengan mengurus kepentingan dan
mangatasi masalah sendiri.Semakin besar bobot tersebut maka semakin
kuat pula tingkat kemandirian suatu desa.Sementara Badan Pusat
Statistik memberikan nilai kemandirian dari segi bobot sumbangan
masyarakat desa dengan proyek pemerintah desa.
Ukuran yang dipakai oleh Departemen Dalam Negeri untuk
mengetahui tingkat kemandirian suatu desa dapat ditinjau dari 7 (tujuh)
pendekatan yang terdiri dari 3 (tiga) variabel dibidang ekonomi (berupa
hasil karya manusia yaitu ragam mata pencaharian, produksi pertanian
dan prasarana perhubungan serta pertanian dan pasar) dan 4 (empat)
variabel dibidang sosial budaya komoditas (yang terdiri dari kelembagaan
adat lama, pemerintah desa dan kelembagaan desa lainnya, swadaya
kegotongroyongan serta tingkat pendidikan penduduk).
36
2.1.4. Konsep Pembangunan Desa
Pembangunan untuk rakyat harus dilaksanakan dengan strategi
memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan. Dengan demikian
sasaran pembangunan dalam arti yang luas, tidak saja pencapaian
produktivitas melainkan juga secara bersamaan etrcapai pula pemerataan
hasil dan keseimbangan pembangunan diberbagai bidang: politik,
ekonomi, sosial budaya dan ketahanan masyarakat.
Dalam menjalankan partisipasi pembangunan desa selain
membutuhkan kebijakan dari daerah, partisipasi masyarakat,
pembangunan desa juga menentukan peranan sumber daya aparatur
desa yang pro aktif dalam pengembangan desa.
Desa yang di atur dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999
merupakan transisi dari desa seragam yang diciptakan Undang-Undang
No.5 Tahun 1974 dan sekaligus memberikan landasan yang kuat bagi
terwujudnya Development Community dimana desa tidak lagi sebagai
level administrasi atau bawahan daerah, desa merupakan Independent
Community, yaitu desa dan masyaraktnya berhak berbicara atas
kepentingan sendiri.
Dalam peraktek pemerintahan di Indonesia sumber-sumber daerah
banyak dipungut pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota. Misalnya
Pajak Bumi dan Bangunan sebagian besar adanya masuk ke kas daerah.
Contoh lain adalah keberadaan perusahan negara dan perusahaan
37
swasta besar di pedesaan. Secara resmi tidak ada penghasilan
perusahaan besar tersebut masuk ke kas desa. Mungkin secara tidak
resmi bantuan perusahaan besar (Community Development) tersebut
langsung diberikan kepada aparatur atau tokoh masyarakat pedesaan,
dengan maksud supaya mereka tidak mengalami kesulitan menghadapi
kritikan masyarakat Desa dari kebijakan perusahaan yang merugikan
kepentingan masyarakat setempat. Bagi kebanyakan daerah lainnya,
persoalan otonomi daerah memiliki arti yang sangat penting.
Desentralisasi dengan pengawasan, jika hal ini bisa terus berjalan dalam
pengertian yang nyata, akan memiliki pengaruh mendalam terhadap
kehidupan masyarakat Desa.
Jika hal tersebut (Community Development) dikelola secara serius
maka Community Development menjadi sumber pendapatan desa yang
dapat memenuhi kebutuhan pembangunan desa sesuai dengan Undang-
Undang 23 Tahun 2014.
Pemerintah Indonesia mencoba menerapkan konsep Community
Development (CD) secara selektif dan bertahap mulai Repelita I 1956-
1960, menurut model negara-negara bekas jajahan Inggris. Rezim
Soeharto ingin melakukan lompatan kodok melalaui akselerasi
modernisasi desa, keseragaman, keserentakan, serba-sewadah, loncat-
loncatan, sektoralisasi dan inpres. Akibatnya kesenjangan antar desa
pada gilirannya antar kawasan semakin lebar. (Ndraha, 2007:199).
38
2.1.5. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya”
yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut
maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju
berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/ kekuatan/ kemampuan,
dan atau proses pemberian daya/ kekuatan/ kemampuan dari pihak yang
memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.
Pengertian “proses” menunjukan pada serangkaian tindakan atau
langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sitematis yang
mencerminkan pertahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang
atau belum berdaya menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada
suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah
kondisi masyarakat yang lemah, baik knowledge, attitude, maupun
practice (KAP) menuju pada penguasaan pengetahuan, sikap-perilaku
sadar dan kecakapan-keterampilan yang baik.
Makna “memperoleh” daya/ kekuatan/ kemampuan menunjuk pada
sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya,
kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata
“memperoleh” mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif
untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Dengan demikian
masyarakat yang mencari, mengusahakan, melakukan, menciptakan
situasi atau meminta pada pihak lain untuk memberikan daya/
kekuatan/ kemampuan. Iklim seperti ini hanya akan tercipta jika
39
masyarakat tersebut menyadari ketidakmampuan/ ketidakberdayaan/ tidak
adanya kekuatan, dan sekaligus disertai dengan kesadaran akan perlunya
memperoleh daya/ kemampuan/ kekuatan.
Makna kata “pemberian” menunjukkan bahwa sumber inisiatif
bukan dari masyarakat. Insisatif untuk mengalihkan daya/
kemampuan/ kekuatan, adalah pihak-pihak lain yang memiliki
kekuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen lainnya.
Senada dengan pengertian ini Prijono & Pranarka (1996: 77) menyatakan
bahwa: pemberdayaan mengandung dua arti. Pengertian yang pertama
adalah to give power or authority, pengertian kedua to give ability to or
enable. Pemaknaan pengertian pertama meliputi memberikan kekuasaan,
mengalihkan kekuatan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak yang
kurang/ belum berdaya. Di sisi lain pemaknaan pengertian kedua adalah
memberikan kemampuan atau keberdayaan serta memberikan peluang
kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu.
Berbeda dengan pendapat Pranarka, Sumodiningrat
(Sumodiningrat, 2000 dalam Teguh, 2004: 78-79) menyampaikan:
pemberdayaan sebenarnya merupakan istilah yang khas Indonesia
daripada Barat. Di barat istilah tersebut diterjemahkan sebagai
empowerment, dan istilah itu benar tapi tidak tepat. Pemberdayaan yang
kita maksud adalah memberi “daya” bukan “kekuasaan” daripada “
pemberdayaan” itu sendiri. Barangkali istilah yang paling tepat adalah
“energize” atau katakan memberi “energi” pemberdayaan adalah
40
pemberian energi agar yang bersangkutan mampu untuk bergerak
secara mandiri.
Bertolak pada kedua pendapat diatas dapat dipahami bahwa untuk
konteks barat apa yang disebut dengan empowerment lebih
merupakan pemberian kekuasaan daripada pemberian daya. Pengertian
tersebut sangat wajar terbentuk, mengingat lahirnya konsep
pemberdayaan di barat merupakan suatau reaksi atau pergulatan
kekuasaan, sedangkan dalam konteks Indonesia apa yang disebut
dengan pemberdayaan merupakan suatu usaha untuk memberikan
daya, atau meningkatkan daya (Winarni, 1998: 75-76).
Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan
masyarakat, Winarni (1998:75-76) mengungkapkan bahwa inti dari
pemberdayaan adalah meliputi tiga hal yaitu pengembangan, (enabling),
memperkuat potensi atau daya (empowering), terciptanya
kemandirian (Winarni, 1998: 75).
Pada hakikatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana
atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang
(enabling). Logika ini didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa memiliki daya. Setiap masyarakat
pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka tidak menyadari
atau daya tersebut masih belum diketahui secara eksplisit. Oleh karena itu
daya harus digali dan kemudian dikembangkan. Jika asumsi ini
berkembang maka pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya,
41
dengan cara mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran
akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya. Di
samping itu hendaknya pemberdayaan jangan menjebak masyarakat
dalam perangkap ketergantungan (charity), pemberdayaan sebaliknya
harus mengantarkan pada proses kemandirian. (Winari, 1998: 76).
Akar pemahaman yang diperoleh dalam diskursus ini adalah:
1. Daya dipahami sebagai suatu kemampuan yang seharusnya dimiliki
oleh masyarakat, supaya mereka dapat melakukan sesuatu
(pembangunan) secara mandiri.
2. Pemberdayaan merupakan suatu proses bertahap yang harus
dilakukan dalam rangka memperoleh serta meningkatkan daya
sehingga masyarakat mampu mandiri (Winarni, 1998: 76).
Pemberdayaan memiliki makna membangkitkan sumber daya,
kesempatan, pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk
meningkatkan kapasitas dalam menentukan masa depan mereka
(Suparjan dan Hempri, 2003: 43). Konsep utama yang terkandung dalam
pemberdayaan adalah bagaimana memberikan kesempatan yang luas
bagi masyarakat untuk menentukan sendiri arah kehidupan dalam
komunitasnya.
Pemberdayaan memberikan tekanan pada otonom pengambilan
keputusan dari suatu kelompok masyarakat. Penerapan aspek
demokrasi dan partisipasi dengan titik fokus pada lokalitas akan menjadi
landasan bagi upaya penguatan potensi lokal. Pada aras ini
42
pemberdayaan masyarakat juga difokuskan pada penguatan individu
anggota masyarakat beserta pranata-pranatanya. Pendekatan utama
dalam konsep pemberdayaan ini adalah menempatkan masyarakat
tidak sekedar sebagai obyek melainkan juga sebagai subyek.
Konteks pemberdayaan, sebenarnya terkandung unsur partisipasi
yaitu bagaimana masyarakat dilibatkan dalam proses pembangunan, dan
hak untuk menikmati hasil pembangunan. Pemberdayaan mementingkan
adanya pengakuan subyek akan kemampuan atau daya (power)
yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya
proses ini melihat pentingnya mengalihfungsikan individu yang tadinya
obyek menjadi subyek (Suparjan dan Hempri, 2003: 44).
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan adalah untuk
membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian
tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa
yang mereka lakukan tersebut. Lebih lanjut perlu ditelusuri apa yang
sesungguhnya dimaknai sebagai suatu masyarakat yang mandiri.
Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang
dialami masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan,
memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi
mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan
mempergunakan daya dan kemampuan yang terdiri atas kemampuan
kognitif, konatif, psikomotorik, dengan pengerahan sumber daya yang
dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut, dengan
43
demikian untuk menuju mandiri perlu dukungan kemampuan berupa
sumber daya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, konatif,
psikomotorik dan afektif, dan sumber daya lainnya yang bersifat fisik-
material.
Pemberdayan masyarakat hendaklah mengarah pada pada
pembentukan kognitif masyarakat yang lebih baik. Kondisi kognitif pada
hakikatnya merupakan kemampuan berpikir yang dilandasi oleh
pengetahuan dan wawasan seorang atau masyarakat dalam rangka
mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi. Kondisi konatif
merupakan suatu sikap perilaku masyarakat yang terbentuk yang
diarahkan pada perilaku yang sensitif terhadap nilai-nilai
pembangunan dan pemberdayaan. Kondisi afektif adalah merupakan
sense yang dimiliki oleh masyarakat yang diharapkan dapat
diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku.
Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan ketrampilan yang
dimiliki masyarakat sebagai upaya pendukung masyarakat dalam rangka
melakukan aktivitas pembangunan.
Terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif,
konatif, afektif dan psikomotorik) akan dapat memberikan kontribusi pada
terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan, karena dengan
demikian dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan yang
dilengkapi dengan kecakapan ketrampilan yang memadai, diperkuat oleh
rasa memerlukan pembangunan dan perilaku sadar akan kebutuhannya
44
tersebut, untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah
proses. Melalui proses belajar maka masyarakat secara bertahap akan
memperoleh kemampuan/ daya dari waktu ke waktu, dengan demikian
akan terakumulasi kemampuan yang memadai untuk mengantarkan
kemandirian mereka, apa yang diharapkan dari pemberdayaan yang
merupakan visualisasi dari pembangunan sosial ini diharapkan dapat
mewujudkan komunitas yang baik dan masyarakat yang ideal (Teguh,
2004: 80-81).
Menurut Sumodiningrat pemberdayaan tidak bersifat selamanya,
melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri, meski
dari jauh di jaga agar tidak jatuh lagi (Sumodiningrat,2000 dalam Teguh,
2004: 82). Dilihat dari pendapat tersebut berarti pemberdayaan melalui
suatu masa proses belajar hingga mencapai status mandiri, meskipun
demikian dalam rangka mencapai kemandirian tersebut tetap dilakukan
pemeliharaan semangat, kondisi dan kemampuan secara terus menerus
supaya tidak mengalami kemunduran lagi.
Sebagaimana disampaikan dimuka bahwa proses belajar dalam
rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap.
Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi:
1. Tahap penyadaran dan tahap pembentukan perilaku menuju perilaku
sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan kapasitas diri.
2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan,
kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan
45
keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam
pembangunan.
3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan
keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif
untuk mengantarkan pada kemandirian (Teguh,2004: 83).
2.1.6. Kebijakan Publik
1. Pengertian Kebijakan
Carl J Federick sebagaimana dikutip Agustino (2008:7)
mendefinisikan kebijakan sebagai serangkaian tindakan/kegiatan yang
diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu
lingkungan tertentu dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-
kesulitan) dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan
kebijaksanaan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Pendapat ini juga menunjukan bahwa ide kebijakan melibatkan
perilaku yang memiliki maksud dan tujuan merupakan bagian yang
penting dari definisi kebijakan, karena bagaimanapun kebijakan harus
menunjukan apa yang sesungguhnya dikerjakan daripada apa yang
diusulkan dalam beberapa kegiatan pada suatu masalah.
46
Wahab mengemukakan bahwa istilah kebijakan sendiri masih
terjadi silang pendapat dan merupakan ajang perdebatan para ahli.
Maka untuk memahami istilah kebijakan, Wahab (2008: 40-50)
memberikan beberapa pedoman sebagai berikut :
a. Kebijakan harus dibedakan dari keputusan
b. Kebijakan sebenarnya tidak serta merta dapat dibedakan dari
administrasi
c. Kebijakan mencakup perilaku dan harapan-harapan
d. Kebijakan mencakup ketiadaan tindakan ataupun adanya tindakan
e. Kebijakan biasanya mempunyai hasil akhir yang akan dicapai
f. Setiap kebijakan memiliki tujuan atau sasaran tertentu baik
eksplisit maupun implisit
g. Kebijakan muncul dari suatu proses yang berlangsung sepanjang
waktu
h. Kebijakan meliputi hubungan-hubungan yang bersifat antar
organisasi dan yang bersifat intra organisasi
i. Kebijakan publik meski tidak ekslusif menyangkut peran kunci
lembaga-lembaga pemerintah
j. Kebijakan itu dirumuskan atau didefinisikan secara subyektif.
Menurut Winarno (2007 : 15), istilah kebijakan (policy term)
mungkin digunakan secara luas seperti pada “kebijakan luar negeri
Indonesia”, “kebijakan ekonomi Jepang”, dan atau mungkin juga dipakai
untuk menjadi sesuatu yang lebih khusus, seperti misalnya jika
47
kita mengatakan kebijakan pemerintah tentang debirokartisasi dan
deregulasi. Namun baik Solihin Abdul Wahab maupun Budi Winarno
sepakat bahwa istilah kebijakan ini penggunaanya sering dipertukarkan
dengan istilah lain seperti tujuan (goals) program, keputusan, undang-
undang, ketentuan- ketentuan, standar, proposal dan grand design
(Suharno :2009 : 11).
Irfan Islamy sebagaimana dikutip Suandi (2010: 12) kebijakan
harus dibedakan dengan kebijaksanaan. Policy diterjemahkan dengan
kebijakan yang berbeda artinya dengan wisdom yang artinya
kebijaksanaan. Pengertian kebijaksanaan memerlukan pertimbangan
pertimbangan lebih jauh lagi, sedangkan kebijakan mencakup aturan-
aturan yang ada didalamnya. James E Anderson sebagaimana
dikutip Islamy (2009: 17) mengungkapkan bahwa kebijakan adalah “ a
purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing
with a problem or matter of concern” (Serangkaian tindakan yang
mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu
masalah tertentu).
Konsep kebijakan yang ditawarkan oleh Anderson ini menurut
Winarno (2007: 18) dianggap lebih tepat karena memusatkan
perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa
yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu konsep ini juga
membedakan secara tegas antara kebijakan (policy) dengan keputusan
48
(decision) yang mengandung arti pemilihan diantara berbagai alternatif
yang ada.
Richard Rose sebagaimana dikutip Winarno (2007: 17) juga
menyarankan bahwa kebijakan hendaknya dipahami sebagai
serangkaian kegiatan yang sedikit banyak berhubungan beserta
konsekuensi- konsekuensi bagi mereka yang bersangkutan daripada
sebagai keputusan yang berdiri sendiri. Pendapat kedua ahli tersebut
setidaknya dapat menjelaskan bahwa mempertukarkan istilah kebijakan
dengan keputusan adalah keliru, karena pada dasarnya kebijakan
dipahami sebagai arah atau pola kegiatan dan bukan sekadar suatu
keputusan untuk melakukan sesuatu.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut di atas maka
dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah tindakan-tindakan atau
kegiatan yang sengaja dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang,
suatu kelompok atau pemerintah yang di dalamnya terdapat unsur
keputusan berupa upaya pemilihan diantara berbagai alternatif yang
ada guna mencapai maksud dan tujuan tertentu.
49
2. Pengertian Kebijakan Publik
Lingkup dari studi kebijakan publik sangat luas karena mencakup
berbagai bidang dan sektor seperti ekonomi, politik, sosial, budaya,
hukum, dan sebagainya. Disamping itu dilihat dari hirarkirnya kebijakan
publik dapat bersifat nasional, regional maupun lokal seperti undang-
undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri,
peraturan pemerintah daerah/provinsi, keputusan gubernur,
peraturan daerah kabupaten/kota, dan keputusan bupati/walikota.
Secara terminologi pengertian kebijakan publik (public policy) itu
ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya.
Easton memberikan definisi kebijakan publik sebagai the authoritative
allocation of values for the whole society atau sebagai pengalokasian
nilai- nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. Laswell
dan Kaplan juga mengartikan kebijakan publik sebagai a projected
program of goal, value, and practice atau sesuatu program
pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah.
Pressman dan Widavsky sebagaimana dikutip Budi
Winarno (2002: 17) mendefinisikan kebijakan publik sebagai hipotesis
yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bias
diramalkan. Kebijakan publik itu harus dibedakan dengan bentuk-
bentuk kebijakan yang lain misalnya kebijakan swasta. Hal ini
dipengaruhi oleh keterlibatan faktor-faktor bukan pemerintah. Robert
Eyestone sebagaimana dikutip Agustino (2008 : 6) mendefinisikan
50
kebijakan publik sebagai “hubungan antara unit pemerintah dengan
lingkungannya”. Banyak pihak beranggapan bahwa definisi tersebut
masih terlalu luas untuk dipahami, karena apa yang dimaksud
dengan kebijakan publik dapat mencakup banyak hal.
Menurut Nugroho, ada dua karakteristik dari kebijakan publik,
yaitu:1) kebijakan publik merupakan sesuatu yang mudah untuk
dipahami, karena maknanya adalah hal-hal yang dikerjakan untuk
mencapai tujuan nasional; 2) kebijakan publik merupakan sesuatu
yang mudah diukur, karena ukurannya jelas yakni sejauh mana
kemajuan pencapaian cita-cita sudah ditempuh. Menurut Woll
sebagaimana dikutip Tangkilisan (2003:2) menyebutkan bahwa kebijakan
publik ialah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di
masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga
yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.
Thomas R Dye sebagaimana dikutip Islamy (2009: 19)
mendefinisikan kebijakan publik sebagai “ is whatever government
choose to do or not to do” ( apapaun yang dipilih pemerintah untuk
dilakukan atau untuk tidak dilakukan). Definisi ini menekankan bahwa
kebijakan publik adalah mengenai perwujudan “tindakan” dan bukan
merupakan pernyataan keinginan pemerintah atau pejabat publik
semata. Di samping itu pilihan pemerintah untuk tidak melakukan
sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai
51
pengaruh (dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk
melakukan sesuatu.
David Easton sebagaimana dikutip Agustino (2009: 19)
memberikan definisi kebijakan publik sebagai “ the autorative allocation
of values for the whole society”. Definisi ini menegaskan bahwa hanya
pemilik otoritas dalam sistem politik (pemerintah) yang secara syah dapat
berbuat sesuatu pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu diwujudkan
dalam bentuk pengalokasian nilai-nilai. Hal ini disebabkan karena
pemerintah termasuk ke dalam “authorities in a political system” yaitu
para penguasa dalam sistem politik yang terlibat dalam urusan sistem
politik sehari-hari dan mempunyai tanggungjawab dalam suatu maslaha
tertentu dimana pada suatu titik mereka diminta untuk mengambil
keputusan di kemudian hari kelak diterima serta mengikat sebagian besar
anggota masyarakat selama waktu tertentu.
Berdasarkan pendapat berbagai ahli tersebut dapat disimpulkan
bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang dilakukan atau
tidak dilakukan oleh pemerintah yang berorientasi pada tujuan
tertentu guna memecahkan masalah-masalah publik atau demi
kepentingan publik. Kebijakan untuk melakukan sesuatu biasanya
tertuang dalam ketentuan- ketentuan atau peraturan perundang-
undangan yang dibuat pemerintah sehingga memiliki sifat yang mengikat
dan memaksa.
52
3. Urgensi Kebijakan Publik
Untuk melakukan studi kebijakan publik merupakan studi yang
bermaksud untuk menggambarkan, menganalisis, dan menjelaskan
secara cermat berbagai sebab dan akibat dari tindakan-tindakan
pemerintah. Studi kebijakan publik menurut Thomas R. Dye,
sebagaimana dikutip Wahab ( Suharno: 2010: 14) sebagai berikut:
“Studi kebijakan publik mencakup menggambarkan upaya kebijakan publik, penilaian mengenai dampak dari kekuatan- kekuatan yang berasal dari lingkungan terhadap isi kebijakan publik, analisis mengenai akibat berbagai pernyataan kelembagaan dan proses-proses politik terhadap kebijakan publik; penelitian mendalam mengenai akibat-akibat dari berbagai kebijakan politik pada masyarakat, baik berupa dampak kebijakan publik pada masyarakat, baik berupa dampak yang diharapkan (direncanakan) maupun dampak yang tidak diharapkan.”
Wahab sebagaimana dikutip Suharno (2010: 16-19) dengan
mengikuti pendapat dari Anderson (1978) dan Dye (1978)
menyebutkan beberapa alasan mengapa kebijakan publik penting
atau urgen untuk dipelajari, yaitu:
a) Alasan Ilmiah
Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh
pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses
perkembangannya, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat.
Dalam hal ini kebijakan dapat dipandang sebagai variabel terikat
(dependent variable) maupun sebagai variabel independen (independent
variable). Kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka
perhatian akan tertuju pada faktor-faktor politik dan lingkungan yang
53
membantu menentukan substansi kebijakan atau diduga
mempengaruhi isi kebijakan piblik. Kebijakan dipandang sebagai
variabel independen jika focus perhatian tertuju pada dampak kebijakan
tertuju pada sistem politik dan lingkungan yang berpengaruh terhadapo
kebijakan publik.
b) Alasan professional
Studi kebijakan publik dimaksudkan sebagai upaya untuk
menetapkan pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan publik guna
memecahkan masalah-masalah sosial sehari-hari.
c) Alasan Politik
Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar
pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan
yang tepat pula.
4. Tahap-Tahap Kebijakan Publik
Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses
yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel
yang harus dikaji. Oleh karena itu beberapa ahli politik yang menaruh
minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses
penyusunan kebijakan publik kedalam beberapa tahap. Tujuan
pembagian seperti ini adalah untuk memudahkan kita dalam mengkaji
kebijakan publik. Namun demikian, beberapa ahli mungkin membagi
tahap-tahap ini dengan urutan yang berbeda. Tahap-tahap kebijakan
54
publik menurut William Dunn sebagaimana dikutip Winarno (2007: 32-
34 adalah sebagai berikut:
a) Tahap penyusunan agenda
Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah
pada agenda publik. Sebelumnya masalah ini berkompetisi
terlebih dahulu untuk dapat masuk dalam agenda kebijakan. Pada
akhirnya, beberapa masalah masuk ke agenda kebijakan para perumus
kabijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama
sekali, sementara masalah yang lain ditetapkan menjadi fokus
pembahasan, atau ada pula masalah karena alasan- alasan tertentu
ditunda untuk waktu yang lama.
b) Tahap formulasi kebijakan
Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian
dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik.
Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Dalam perumusan
kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai
kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini
masing-masing actor akan bersaing dan berusaha untuk mengusulkan
pemecahan masalah terbaik.
55
c) Tahap adopsi kebijakan
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para
perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif
kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas
legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau putusan
peradilan.
d) Tahap implementasi kebijakan
Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan
elit jika program tersebut tidak diimplementasikan, yakni dilaksanakan
oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah di tingkat
bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit
administrasikan yang memobilisasikan sumber daya finansial dan
manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan
saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan
para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain munkin akan
ditentang oleh para pelaksana.
e) Tahap evaluasi kebijakan
Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau
dievaluasi, unuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat untuk meraih
dampak yang diinginkan, yaitu memecahkan masalah yang dihadapi
masyarakat. Oleh karena itu ditentukan ukuran-ukuran atau kriteria-
kriteria yamh menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik yang
56
telah dilaksanakan sudah mencapai dampak atau tujuan yang diinginkan
atau belum.
2.1.7. Evaluasi Kebijakan Publik
Evaluasi adalah kegiatan menilai mencari terobosan baru untuk
penyempurnaan. Evaluasi juga merupakan proses analisis yang
menekankan pada penciptaan Premis nilai yang memberikan penilaian
terhadap lahirnya sebuah program kebijakan atau sebuah kegiatan.
Proses evaluasi melahirkan sebuah pertanyaan apa perbedaan yang
dibuat ?. Artinya evaluasi merupakan analisa terhadap sebuah fakta dan
tanggapan yang dihasilkan ketika sebuah program dan kebijakan
dilaksanakan.
Evaluasi merupakan suatu proses yang mendasarkan diri pada
disiplin ketata dan tahapan waktu maka untuk dapat mengetahui hasil dari
kegiatan ataupun kendala-kendala yang terjadi dari suatu kegiatan
(Nurcholis,2005: 169),dengan evaluasi dapat mengukur tingkat
keberhasilan prinsip-prinsip dan pelaksanaan fungsi dan tugas Badan
Permusyawarahan Desa. Evaluasi merupakan penilaian pencapaian
kinerja dari implementasi. Evaluasi dilaksanakan setelah kegiatan selesai
dilaksanakan.(Nugroho, 2002:665)
57
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja, kebijakan
harus diawasi dan salah satu mekanisme pengawasan tersebut disebut
evaluasi kebijakan.Evaluasi biasanya ditujukan untuk menilai sejauhmana
keefektifan kebijakan publik guna dipertanggungjawabkan kepada
konstituennya.Sejauhmana tujuan dapat dicapai. Evaluasi diperlukan
untuk melihat kesenjangan antara harapan dan kenyataan. (Nugroho,
2002:665)
Evaluasi menurut Siagian (1985 :7) adalah penilaian dan
merupakan bagian yang internal dari proses pelaksanaan sistem
pengawasan, penilaian merupakan suatu proses analisa data yang
diperoleh melalui proses penguasaan untuk menentukan hasil faktual dari
pelaksanaan pengawasan itu. Instrument yang digunakan dalam proses
penilaian boleh saja atau bisa menggunakan instrument pengawasan. Jika
demikian hanya perbedaan mendasar pengawasan dan penilaian terletak
pada aspek orientasi waktu, sasaran dan pemamfaatannya.
Menurut Badudu (2001:402) evaluasi adalah menilai atau memaksa
untuk menilai pekerjaan yang sudah dilakukan, bagaimana hasilnya cukup
baik atau buruk.Evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang
menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi,
implementasi dan.Evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan
fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap
akhir saja, melainkan kepada seluruh proses kebijakan. Menurut Edward
58
dan Brown, evaluasi adalah suatu tindakan atau usaha proses untuk
menentukan nilai dari sesuatu. (Sudijono, 1996:1).
Selanjutnya menurut Siagian (1985:12) faktor-faktor pendukung
kegiatan penilaian tersebut adalah :
1. Tercapaianya sasaran yang ditetapkan untuk dicapai. 2. Tersedianya dana, sarana dan prasarana yang diperlukan. 3. Pengetahuan dan keterampilan manajerial yang mutakhir, tidak
ketinggalan zaman yang sesuai dengan tuntutan lingkungan eksternal. 4. Keunggulan produk organisasi sehingga para pesaing tersebut dapat
menandinginya. 5. Loyalitas, dedikasi dan semangat kerja yang tinggi dari para
pelaksana berbagai kegiatan operasional. 6. Interaksi positif antara berbagai bantuan kerja yang membuahkan
kerjasama yang intim dan serasi. 7. Tepatnya rincian strategi bidang fungsional dikaitkan dengan tujuan,
misi sasaran jangka panjang dan strategi induk organisasi. 8. Dalam pada itu harus diwaspadai pula kemungkinan diraihnya
keberhasilan semua dalam arti bahwa keberhasilan yang diraih itu hanya karena sasaran dan standar mutu kerja yang ditentukan terlalu rendah, sehingga tanpa upaya yang maksimalpun keberhasilanpun akan dicapai.
Adapun ciri dari evaluasi kebijakan menurut Nugroho (2007:670)
adalah:
a. Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan.
b. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan dan target kebijakan.
c. Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi. d. Dilaksnakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian. e. Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan dan kinerja kebijakan.
59
Menurut Dunn (Nugroho, 2007 :10) tahap-tahap dalam proses
pembuatan kebijakan adalah sebagai berikut :
1. Fase penyusunan agenda, disini pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah kebijakan pada agenda publik
2. Fase formulasi kebijakan, disini para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah
3. Adopsi kebijakan, disini alternatif kebijakan dipilih dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas dan atau consensus kelembagaan
4. Implementasi kebijakan, disini kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi dengan memobilisir sumber daya yang dimilikinya, terutama financial dan manusia.
5. Penilaian kebijakan, disini pembuat kebijakan dan pelaksana kebijakan akan dinilai apakah telah memenuhi kebijakan yang telah ditentukan.
Kelima tahap pembuatan kebijakan di atas dinilai paralel dengan
tahapan analisis kebijakan yang dapat digambarkan pada table berikut :
Tabel. 2.1. Tahapan Analisis Kebijakan
Analisis Kebijakan Pembuatan Kebijakan
1 2
a. Perumusan Masalah
b. Peramalan
c. Rekomendasi
d. Pemantauan
e. Penilaian (evaluasi)
a. Penyusunan agenda
b. Formulasi kebijakan
c. Adopsi kebijakan
d. Implementasi kebijakan
e. Penilaian kebijakan
Sumber : Dunn dalam Nugroho, 2007
60
Berikut ini akan dijelaskan proses analisis kebijakan menurut
Dunn (Nugroho, 2007: 16) yaitu sebagai berikut :
1. Perumusan masalah, masalah kebijakan adalah nilai kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi yang dapat diidentifikasi untuk kemudian diperbaiki atau dicapai melalui tindakan publik. Fase-fase perumusan masalah kebijakan antara lain :
a. Pencarian masalah b. Pendefenisian masalah c. Spesifikasi masalah d. Pengenalan masalah
2. Peramalan masa depan kebijakan, peramalan adalah prosedur untuk membuat informasi actual tentang situasi social dimasa depan atas dasar informasi yang telah ada tentang masalah kebijakan. Peramalan mempunyai sejumlah tatanan yaitu :
a. Akurasi ramalan. b. Kondisi komperatif masa depan. c. Konteks, yaitu konteks institusional, temporal dan historical.
3. Rekomendasi kebijakan, yaitu menentukan alternatif yang terbaik dan mengapa. Terdapat enam kriteria untuk rekomendasi kebijakan antara lain : a. Efektifitas b. Efisiensi c. Kecukupan d. Perataan e. Responsifitas f. Kelayakan
4. Pemantauan hasil kebijakan, yaitu untuk memberi informasi tentang sebab dan akibat kebijakan publik. Pemantauan mempunyai empat fungsi yaitu : a. Ekplanasi b. Akutansi c. Pemeriksaan d. Kepatuhan
5. Penilaian (evaluasi) kinerja kebijakan yaitu menekankan pada penciptaan premis-premis nilai dengan kebutuhan untuk menjawab pertanyaan “ apa perbedaan yang dibuat ?” kriteria untuk evaluasi kebijakan sama dengan kriteria rekomendasi kebijakan yaitu : a. Efektifitas b. Efisiensi c. Kecukupan d. Perataan e. Responsifitas f. Kelayakan
61
Deskripsi utama Evaluasi adalah bahwa evaluasi menghasilkan
tuntutan tuntutan yang bersifat evaluasi.Pertanyaan yang terlontar tentang
evaluasi bukanlah mengenai fakta (apakah sesuatu ada?) atau aksi
(apakah yang harus dilakukan?). Tetapi berhubungan dengan nilai
(berapa nilainya?) karena evaluasi mempunyai karakteristik yang
membedakan dengan metode analisis kebijakan lainnya seperti yang
dipaparkan Dunn(Nugroho, 2007: 156) yaitu :
1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari suatu kebijakan dan program. Evaluasi terutama merupakan usaha untuk menentukan manfaat atau kegunaan sosial kebijakan atau program, bukan sekedar usaha untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi kebijakan yang terantisipasi. Karena ketepatan tujuan dan sasaran kebijakan dapat selalu dipertanyakan, evaluasi mencakup prosedur untuk mengevaluasi tujuan tujuan dan sasaran itu sendiri.
2. Interpendensi Fakta Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik “Fakta”maupun nilai untuk menyatakan bahwa kebijakan atau program tertentu telah mencapai tingkat kinerja tertinggi (atau rendah) diperlukan tidak hanya hasil hasil kebijakan berharga bagi sejumlah individu, kelompok ataupun seluruh masyarakat. Untuk menyatakan yang demikian harus didukung oleh bukti bukti bahwa hasil kebijakan secara aktual merupakan konsekuensi dari aksi aksi yang dilakukan untuk memecahkan masalah tertentu, karena itu pemantauan merupakan prasarat bagi evaluasi.
3. Orientasi masa kini dan masa lampau, tuntutan evaluasi berbeda dengan tuntutan tuntutan advokatif, diarahkan pada hasil sekrang dan masa lalu, dibangdingkan hasil masa desan. Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah.
4. Dualitas nilai. Nilai nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai kualitas ganda, karena dipandang sebgai tujuan dan sekaligus cara. Evaluasi sama dengan rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada. Dapat dianggap sebagai intrisik maupun ekstrinsit. Nilai nilai sering ditata dalam suatu yang merefleksikan kepentingan dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.
62
Studi evaluasi dapat menjawab bagaimana suatu kebijakan
dilaksanakan, apa kendalanya, apakah program dapat mencapai sasaran,
variabel apa sajakah yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu
kebijakan atau program. Evaluasi dilakukan karena tidak semua program
kebijakan meraih hasil yang diinginkan.Seringkali terjadi kebijakan publik
gagal meraih maksud atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya
(Winarno, 2002: 165). Evaluasi kebijakan ditunjukkan untuk melihat
sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah
kebijakan public yang sudah dijalankan meraih dampak yang diinginkan?.
(Laster, 2002: 165)
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan
yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup
substansi, implementasi dan dampak.Dalam hal ini evaluasi kebijakan
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya evaluasi kebijakan
tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam
seluruh proses kebijakan. Dengan demikian evaluasi kebijakan bias
meliputi perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang
diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi maupun
dampak kebijakan.(Laster, 2002: 166)
63
Teori evaluasi kebijakan akan dapat mengetahui peran para aktor
dalam pembuatan kebijakan. Dalam proses pembuatan kebijakan melalui
beberapa proses, diantaranya proses pengkajian kebijakan. Dalam proses
pengkajian harus memahami metode analisis yang bertujuan
menciptakan, menilai secara kritis dan mengkomunikasikan pengetahuan
yang relevan dengankebijakan.
Evaluasi merupakan suatu proses yang mendasarkan diri pada
disiplin ketat dan tahapan waktu, maka untuk dapat memenuhi hasil dari
kegiatan atau program yang telah direncanakan. Dengan evaluasi dapat
diketahui hambatan atau kendala-kendala yang terjadi dari suatu kegiatan.
Degnan evaluasi dapat mengukur tingkat keberhasilan prinsip-prinsip dan
pelaksanaan kegiatan dana simpan pinjam kelompok .
Evaluasi menurut Siagian (2000:166) adalah penilaian dan
merupakan bagian yang integral dari proses pelaksanaan system
pengawasan, penilaian merupakan suatu proses analisa data yang
diperoleh melalui proses penguasaan untuk menentukan hasil faktual dari
pelaksanaan pengawasan itu. Instrument yang digunakan dalam proses
penilaian boleh saja atau bias menggunakan instrument pengawasan, jika
demikian halnya perbedaan mendasar pengawasan, dengan penilaian
terletak pada aspek oerientasi waktu, sasaran dan pemanfaatannya.
64
Selanjutnya menurut Siagian (1990) faktor-faktor pendukung
kegiatan penilaian tersebut adalah:
1. Tercapainya sasaran yang ditetapkan untuk dicapai. 2. Tersedianya dana, sasaran dan prasarana yang diperlukan. 3. Pengetahuan dan keterampilan manajerial yang mutakhir, tidak
ketinggalan zaman yang sesuai dengan tuntutan lingkungan eksternal. 4. Keunggulan produk organisasi sehingga para pesaing tersebut dapat
menandingkannya. 5. Loyalitas, dedikasi dan semangat kerja yang tinggi dari para
pelaksana berbagai kegiatan operasional. 6. Interaksi positif antara berbagai bantuan kerja yang membuahkan
kerja sama yang intim dan serasi. 7. Tepatnya rincian strategi bidang fungsional dan operasional dikaitkan
dengan tujuan, misi, sasaran jangka panjang dan strategi induk organisasi.
8. Dalam pada itu harus diwaspadai pula kemungkinan diraihnya keberhasilan “semua” dan arti bahwa keberhasilan yang diraih itu hanya karena sasaran dan standard mutu kerja yang ditentukan terlalu rendah, sehingga tanpa upaya maksimalpun, keberhasilanpun akan dicapai juga.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), Evaluasi adalah
penilaian hasil,.Tujuan pokok evaluasi bukanlah untuk menyalah-
nyalahkan, melainkan untuk melihat seberapa besar kesenjangan antara
pencapaian dan harapan suatu kebijakan public.Tugas selanjutnya adalah
bagaimana mengurangi dan menutup kesenjangan tersebut.Jadi evaluasi
kebijakan publik harus dipahami sebagai sesuatu yang bersifat positif.
Evaluasi bertujuan mencari kekurangan dan menutupi kekurangan. Ciri
dari evaluasi kebijakan adalah :
65
1. Tujuan menemukan hal-hal yang strategis untuk menigkatkan
kinerja kebijakan.
2. Evaluasi mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan,
pelaksanaan kebijakan, dan target kebijakan.
3. Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi.
4. Dilaksanakan tidak dalam permusuhan atau kebencian.
5. Mencakup rumusan, implementasi, lingkungan dan kinerja
kebijakan.
Tujuan khusus meliputi, menigkatkan pengetahuan masyarakat
tentang Program Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan
Pada Usaha Ekonomi Desa/Kelurahan Simpan Pinjam (UED/K-SP) dan
pemanfaatannya, meningkatkan ekonomi masyarakat dalam
pengembangan usaha produktif sektoral. Desa, terjadinya sinergi antara
kegiatan ekonomi yang bermodalkan pinjaman UED/K-SP dengan
program program lainnya yang ada dalam desa, meningkatkan peran
serta masyarakat dalam swadaya masyarakat pada kegiatan
pembangunan desa dan terjadinya peningkatan ekonomi masyarakat
desa.
66
Evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau
manfaat hasil kebijakan. Secara umum Dunn menggambarkan kriteria-
kriteria evaluasi kebijakan publik sebagai berikut :
Tabel. 2.2. Indikator Evaluasi Kebijakan Publik
Tipe Kriteria Pertanyaan Ilustrasi
1 2 3
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah
dicapai? Unit pelayanan
Efisiensi
Seberapa banyak usaha
diperlukan untuk mencapai hasil
yang diinginkan?
- Unit biaya,Manfaat bersih
dan Rasio biaya-manfaat
Kecukupan
Seberapa jauh pencapaian hasil
yang diinginkan dapat
memecahkan masalah
Biaya tetap dan Efektivitas
tetap
Perataan
Apakah biaya dan manfaat
didistribusikan dengan merata
kepada kelompok-kelompok yang
berbeda?
- Kriteria Pareto, Kriteria
Kaldor Hicks, Kriteria
Rawls
Responsivitas
Apakah hasil kebijakan
memuaskan kebutuhan preferensi
atau nilai kelompok-kelompok
tertentu?
Konsistensi dengan survey
warga negara
Ketepatan
Apakah hasil (tujuan) yang
diinginkan benar-benar berguna
atau bernilai?
Program publik harus
merata dan efisien
Sumber : Dunn dalam Nugroho, 2007
Kebijakan yang telah diformulasikan atau dirumuskan bermaksud
untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks ini, dapat dimengerti
apabila banyak kalangan yang berpendapat bahwa kebijakan tidak akan
sukses jika dalam pelaksanaannya tidak ada kaitannya dengan tujuan
67
yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan
kebijakan mencapai tujuan yang telah ditetapkan, maka tahap terakhir dari
proses kebijakan adalah melakukan evaluasi kebijakan. Evaluasi
kebijakan menekankan pada estimasi atau pengukuran dari suatu
kebijakan, termasuk juga materi, implementasi, pencapaian tujuan, dan
dampak dari kebijakan tersebut, bahkan evaluasi juga dapat digunakan
untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
atau kegagalan suatu kebijakan, sehingga hasil pengkajian tersebut dapat
digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan apakah kebijakan
tersebut akan dilanjutkan, diubah, diperkuat atau diakhiri. (Anderson,
1997:2)
Adapun menurut Ndraha (1989:201), berpendapat bahwa evaluasi
merupakan proses perbandingan antara standar dengan fakta dan analisa
hasilnya. Kesimpulannya adalah perbandingan antara tujuan yang hendak
dicapai dalam penyelesaian masalah dengan kejadian yang sebenarnya,
sehingga dapat disimpulkan dengan analisa akhir apakah suatu kebijakan
harus direvisi atau dilanjutkan.
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga, menurut timing
evaluasi yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan dan
setelah dilaksanakan. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut
evaluasi proses. Evaluasi setelah kebijakan juga disebut sebagai evaluasi
konsekuensi (output) kebijakan dan/atau evaluasi impak/pengaruh
(outcome) kebijakan atau sebagai evaluasi sumatif (Nugroho :671). Lester
68
dan Steward,Jr mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan
menjadi evaluasi proses, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses
implementasi. Evaluasi impak, yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil
dan/atau pengaruh dari implementasi kebijakan. Evaluasi kebijakan, yaitu
apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yang dikehendaki
dan evaluasi meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi berbagai
implementasi kebijakan yang ada untuk menemukan kesamaan-
kesamaan tertentu. (Nugroho :674)
House (Nugroho :674) membagi model evaluasi menjadi :
a. Model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi. b. Model perilaku, dengan indikator utama adalah produktivitas dan
akuntabilitas. c. Model formulasi keputusan dengan indikator utama adalah keefektifan
dan keterjagaan kualitas. d. Model tujuan bebas dengan indikator utama adalah pilihan pengguna
dan mamfaat sosial. e. Model kekritisan seni dengan indikator utama adalah standar yang
semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat. f. Model review professional dengan indikator utama adalah penerimaan
professional. g. Model kuasi legal dengan indikator utama adalah resolusi. h. Model studi kasus dengan indikator utama adalah pemahaman atas
diversitas. Anderson membagi evaluasi kbijakan publik menjadi tiga.Tipe
pertama, evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan
fungsional.Kedua, evaluasi yang memfokuskan pada bekerjanya
kebijakan.Ketiga, evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara
objektif program-program kebijakan yang ditujukan untuk mengukur
dampaknya bagi masyarakat dan sejauhmana tujuan-tujuan yang ada
telah dinyatakan telah dicapai. (Nugroho :674).
69
Menurut Wibawa (1993 :45), evaluasi kebijakan publik memiliki
empat fungsi yaitu:
1. Eksplanasi. Melalui evaluasi dapat dipotret realitas pelaksanaan program dan dapat dibuat suatu generalisasi tentang pola-pola hubungan antar berbagai dimensi realitas yang diamatinya. Dari evaluasi ini evaluator dapat mengidentifikasi masalah, kondisi dan aktor yang mendukung keberhasilan atau kegagalan kebijakan.
2. Kepatuhan. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah tindakan yang dilakukan oleh para pelaku, baik birokrasi maupun pelaku lainnya sesuai dengan standard an prosedur yang ditetapkan oleh kebijakan.
3. Audit. Melalui evaluasi dapat diketahui apakah output benar-benar sampai ketangan kelompok sasaran kebijakan atau justru ada kebocoran atau penyimpangan.
4. Akunting. Dengan evaluasi dapat diketahui apa akibat sosial-ekonomi dari kebijakan tersebut.
Howlet dan Ramesh mengelompokkan evaluasi menjadi tiga yaitu :
1. Evaluasi administratif, yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif anggaran, efisiensi, biaya dari proses kebijakan didalam pemerintah yang berkenaan dengan : a. Effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang
dikembangkan kebijakan. b. Performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari
program yang dikembangkan oleh kebijakan. c. Adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation,
yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan.
d. Efficiency evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang keefektifan biaya tersebut.
e. Process evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk melaksanakan program.
2. Evaluasi judisial, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi Negara hingga hak azazi manusia.
Evaluasi politik, yaitu menilai sejauh mana penerimaan konstituen
politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.
70
2.1.8. Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP)
Berdasarkan Petunjuk Teknis PPD, Program Pemeberdayaan Desa
disingkat PPD adalah program yang bertujuan untuk mempercepat
penanggulangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat,
penyediaan Dana Usaha Desa dan penguatan koordinasi serta sinergi
sektoral dalam pembangunan desa secara partisipatif dan jenis kegiatan
PPD pada dasarnya meliputi seluruh bidang kegiatan yang mendukung
upaya Pemerintah Provinsi Riau untuk menaggulangi maslaah
Kemiskinan, Kebodohan, dan Ketertinggalan Infrastruktur (K2I).
Sedangkan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) adalah
Lembaga Keunagan Mikro (LKM) yang dibentuk oleh Desa melalui
musyawarah untuk mengelola Dana Usaha Desa dan dana yang berasal
dari kegiatan simpan pinjam masyarakat.
Adapun prinsip pengelolaan kegiatan Program Pemberdayaan
Desa adalah (Juknis PPD, 2009:5) ialah :
1. Prinsip Dasar. Penegelolaan Dana Usaha Desa harus memperhatikan prinsip-prinsip dasar PPD yaitu transparan, memihak kepada masyarakat miskin, desentralisasi/dapat dikerjakan oleh masyarakat, akuntabilitas, kompetisi sehat, termasuk dalam hal usulan, pemilihan pengelola, system pengelolaan serta penyaluran dana.
2. Swadaya. Masyarakat memberikan swadaya untuk setiap kegiatan yang diusulkan, sebagai salah satu indikasi adanya kesungguhan dan kebutuhan akan kegiatan tersebut.
3. Pelestarian Kegiatan. Dana Usaha Desa merupakan tanggung jawab masyarakat, melalui pengurus yang telah terbentuk. Sedangkan kegiatan ekonomi yang telah tercipta dan mempunyai pangsa pasar perlu dikembangkan dengan bantuan pembinaan manajemen dan instansi terkait.
71
Adapun Visi dan Misi PPD seperti yang tertuang dalam Pedoman
Umum PPD (2009:5) adalah :
Visi Program Pemberdayaan Desa adalah mewujudkan masyarakat
Riau yang sejahtera. Adapun Misi PPD adalah;
a. Mempercepat penanggulangan kemiskinan melalui pengembangan
ekonomi masyarakat dengan pemberian Dana Usaha Desa,
b. Memperkuat kelembagaan masyarakat desa,
c. Mendorong pelembagaan system pembangunan pasrtisipatif,
d. Mendorong peran aktif dinas sektoral untuk memenuhi kebutuhan
dasar masyarakat desa.
Berdasarkan petunjuk teknis PPD (2009:1) tujuan khusus dari PPD
ini adalah:
1. Mendorong berkembangnya perekonomian masyarakat desa. 2. Meningkatkan dorongan berusaha bagi anggota masyarakat desa
yang berpenghasilan rendah. 3. Meningkatkan pengembangan usaha dan penyerapan tenaga kerja
bagi masyarakat desa. 4. Mengurangi ketergantungan masyarakat dari rentenir. 5. Meningkatkan peranan masyarakat dalam pengelolaan Dana Usaha
Desa. 6. Meningkatkan kebiasaan gotong-royong dan gemar menabung secara
tertib. 7. Meningkatkan peran perempuan dalam perencanaan dan
pelaksanaan kegiatan desa. 8. Memenuhi kebutuhan sarana/prasarana yang dibutuhkan oleh
masyarakat desa.
72
Sesuai dengan Pedoman Umum dan Petunjuk Teknis sebagaimana
diatur dalam Keputusan Gubernur Riau Nomor 78 Tahun 2009 tentang
Penyelenggara dari Program Pemberdayaan ini adalah ditunjuk Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa (BPM Bangdes)
Provinsi Riau sebagai Pelaksana Tim Koordinasi Pembinaan dan
Pengendalian PPD yang bertanggungjawab langsung kepada Gubernur
Riau. Sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota, maka yang
bertanggungjawab dalam Pelaksanaan Tim Koordinasi Pembinaan dan
Pengendalian PPD di Kabupaten/Kota adalah Kepala Badan
Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) langsung
kepada Bupati/Walikota.
Dana Usaha Desa adalah dana hibah yang disediakan Pemerintah
Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten/Kota se-Provinsi Riau dalam
APBD masing-masing yang dianggarkan untuk desa.
Sedangkan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) adalah
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dibentuk oleh desa melalui
musyawarah untuk mengelola Dana Usaha Desa dan dana yang berasal
dari kegiatan simpan pinjam masyarakat.
Usaha ekonomi produktif ini meliputi seluruh kegiatan usaha baik
perorangan ataupun kelompok yang merupakan prakarsa dari masyarakat
sendiri untuk meningkatkan taraf hidupnya, antara lain :
1. Perdagangan; kios, warung, pengumpul.
73
2. Pertanian; tanaman pangan.
3. Perkebunan; sawit, karet, kelapa, dan lain sebagaianya.
4. Peternakan; itik, ayam, sapi, kerbau, kambing, dan lain-lain.
5. Perikanan; perikanan tangkap, tambak, dan lain-lain.
6. Jasa; perbengkelan, salon, servis computer, handphone, dan lain-lain.
7. Industri Rumah Tangga; pembuatan minyak kelapa, gula aren, batu
bata, pengolahan ikan, anyaman, dan lain-lain.
Selanjutnya UED-SP berfungsi sebagai lembaga keuangan desa
untuk menyalurkan dana melalui mekanisme penyaluran kredit dan
penarikan dana dari penyalur kredit tersebut. UED-SP merupakan
organisasi atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat karena adanya
kesadaran dan persamaan tujuan untuk meningkatkan taraf
hidup.Sebagai suatu organisasi, maka UED-SP harus memiliki anggaran
dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang ditetapkan oleh
masyarakat melalui musyawarah desa.Melalui musyawarah desa ini
ditetapkan pula pengelolanya untuk melaksanakan program UED-SP.
Intinya adalah musyawarah desa adalah pemegang kekuasaan tertinggi.
Musyawarah desa merupakan forum tertinggi menetapkan AD/ART,
pengelola dan garis-garis besar program UED-SP. Selanjutnya
menjabarkan garis-garis besar program dalam bentuk program kerja dan
melayani masyarakat yang dalam pelaksanaannya mendapat
pengawasan atau pembinaan dari Badan Pengawas.
74
Keanggotaan UED-SP adalah anggota masyarakat desa yang
memenuhi persyaratan berdasarkan AD/ART.Sasaran program adalah
anggota UED-SP dan masyarakat desa yang memiliki usaha ekonomi
produktif.Masyarakat dapat mengembangkan kegiatan usahanya melalui
kegiatan usaha perorangan atau dalam bentuk kelompok.
Pengelola UED-SP terdiri dari : Ketua, Kasir, Tata Usaha dan Staff
Analisis Kredit (SAK) yang diangkat dan diberhentikan berdasarkan
musyawarah desa yang dinyatakan dengan Surat Keputusan Kepala Desa
serta mempunyai masa jabatan selama tiga tahun dan setelah itu dapat
dipilih kembali.
Mekanisme Pelaksanaan Program UED-SP yang meliputi
pendataan calon pemanfaat, penetapan calon pemanfaat, penggunaan
dana, dan pengembalian dana pinjaman yaitu :
1. Pelaksanaan Pendataan Calon Pemanfaat : dilaksanakan langsung
dengan cara sosialisasi program UED-SP oleh Pendamping Desa
dengan unsure-unsur perangkat desa kepada masyarakat melalui
tahapan-tahapan Musyawarah Desa yang didalamnya menetapkan
bahwa setiap calon pemanfaat harus mengajukan proposal Rencana
Usaha Pemanfaat (RUP) dan diperiksa kelengkapan dokumen
administrasi RUP oleh pengelola UED-SP yaitu Staf Analisis Kredit
(SAK).
75
2. Pelaksanaan penetapan calon pemanfaat : setelah seluruh pemanfaat
melengkapi dokumen administrasi RUP maka dilakukan proses
verifikasi survey lapangan sebagai penilaiaan yang meliputi (1) tempat
usaha, (2) kesesuaian usaha yang dilakukan dengan yang diusulkan
dalam proposal, (3) kesesuaian pengguna dana dengan kebutuhan
usaha, (4) kebenaran dan nilai agunan yang diajukan, (5) kapasitas
usaha dan kemampuan mengembalikan pinjaman, dan (6) karakter
calon pemanfaat. Setelah proses verifikasi enam kategori memenuhi
syarat maka dapat ditetapkan jumlah calon pemanfaat.
3. Pelaksanaan penggunaan dana : oleh pengelola UED-SP membuat
Surat Perjanjian Pemberian Pinjaman (SP3) dengan pemegang
otoritas Rekening Dana Usaha Desa (DUD) diketahui oleh
Pendamping Desa dan Pengawas Umum yang dilengkapi dengan
dokumen usulan kegiatan hasil pembahasan pada forum musyawarah
desa, pemegang otoritas rekening DUD berdasarkan SP3 mentransfer
dana dari rekening DUD ke rekening UED-SP sesuai dengan jumlah
yang diajukan. Setelah dana dicairkan melalui rekning DUD maka
langsung dilakukan penyaluran dana ke anggota atau kelompok
pemanfaat/ masyarakat yang meminjam. Kewajiban bagi pemanfaat
anggota/kelompok harus menggunakan dana pinjaman sesuai
kebutuhan serta memperhatikan siklus usaha, pemanfaat wajib
membelanjakan dana pinjaman sesuai dengan renacana kegiatan
76
yang diajukan dan tertuang dalam dokumen Surat Perjanjian
Pemeberian Kredit (SP2K).
4. Proses pengembalian dana pinjaman : dikembalikan setiap bulan oleh
pemanfaat setalah satu bulan yang lalu menerima penyaluran dana
pinjaman, pemanfaat mengembalikan dana pinjaman dengan bunga
12% pertahun atau 1% perbulan yang telah ditetapkan di dalam
Petunjuk Teknis Program, apabila terjadi keterlambatan pengembalian
atau penunggakan pemanfaat akan dikenakan denda sesuai yang
tertuang di dalam AD/ART dari hasil musyawarah desa.
Program UED-SP memiliki alur kegiatan program yang baku sesuai
dengan yang tercantum dalam Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan
seperti terlihat pada gambar di bawah ini.
Pemantauan dalam pelaksanaan program UED-SP terbagi menjadi
dua bagian, yaitu sebagai berikut.
1. Pemantauan Internal, adalah kegiatan pemantauan yang dilakukan
mereka yang terlibat secara langung dalam program
2. Pemantauan Eksternal, adalah pemantauan yang dilakukan oleh
pihak luar yang independen yang diharapkan dapat memberikan
pandangan yang lebih objektif.
Pemantauan ini dapat dilihat pada gambar berikut.
77
2.2. Kerangka Berpikir
Berdasarkan studi literatur dan penelitian terdahulu, maka disusun
kerangka pemikiran seperti gambar di bawah ini.
Gambar 2.3. Kerangka Pikir Penelitian
Evaluasi Pelayanan Program Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP) Kecamatan Bengkalis
Sumber : Modifikasi Penulis, 2018
Pelaksanaan Program Usaha
Ekonomi Desa Simpan Pinjam
(UED-SP)
Sasaran Program
Tujuan Program
EVALUASI Teori William N. Dunn
Kriteria Evaluasi:
1. Efektifitas (Pencapaian Hasil yang diinginkan) 2. Efisiensi (Usaha untuk mencapai hasil) 3. Kecukupan (Pengaruh Kebijakan dalam Memecahkan Masalah) 4. Pemerataan (Pemerataan Manfaat Kebijakan) 5. Responsivitas (Hasil Kebijakan sesuai Kebutuhan) 6. Ketepatan (Manfaat Tujuan Kebijakan)
BAIK
CUKUP BAIK
TIDAK BAIK
Pemberdayaan Masyarakat
Kecamatan Bengkalis
Kabupaten Bengkalis
78
2.3. Hasil Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rusli (2014) Evaluasi
Pelaksanaan Program Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan
Pada Usaha EkonomiI Desa - Simpan Pinjam di Kecamatan Bengkalis
Kabupaten Bengkalis, dari hasil peneilitian diketahui bahwa Implementasi
Program Peningkatan Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan pada Usaha
Ekonomi Desa Simpan Pinjam di Kecamatan Bengkalis pada tahun 2012-
2013 telah sesuai dengan petunjuk teknis meskipun terlihat kurang
optimal di dalam beberapa tahap implementasi.
Pada tahap persiapan program dilihat bahwa pembentukan Tim
Pengurus Pelaksanaan Program dan fasilitator sudah sesuai dengan
pedoman pelaksanaan. Begitu pula dalam identifikasi masalah,
kebutuhan, dan potensi sudah melibatkan masyarakat/sasaran program.
Namun untuk kegiatan identifikasi data dilapangan terhadap masyarakat /
pemanfaat program masih kurang optimal dan belum tepat sasaran. Hal
ini disebabkan karena beberapa petugas pendata kurang memahami dan
hanya memandang keadaan masyarakat secara umum dengan hanya
melihat KKnya saja tanpa mengadakan survey ke rumah-rumah
masyarakat. Sedangkan untuk pelatihan fasilitator tingkat kabupaten telah
dilaksanakan. Komunikasi dalam tahapan ini berjalan dengan baik ini
terlihat dari adanya musyawarah untuk mengidentifikasi masalah,
kebutuhan serta potensi yang ada. Sementara itu komunikasi yang sudah
dijalankan tapi kurang efektif adalah penyampaian tahap proses
79
peminjaman dana UED/K-SP, yang didalamnya mengenai kriteria
masyarakat yang boleh melakukan peminjaman. Sikap pelaksana dalam
tahap ini sangat mendukung, hal ini dapat ditunjukkan dengan fasilitator
mengundang dan mendampingi masyarakat/pemanfaat program dalam
melakukan identifikasi masalah, kebutuhan, serta potensi. Dukungan
Masyarakat/kelompok sasaran juga bagus ini terlihat dengan adanya
partisipasi dari masyarakat dalam musyawarah.
Pada tahap pelaksanaan program telah dilaksanakan berdasarkan
petunjuk teknis program tatpi masih belum optimal. Pelaksanaan program
tersebut meliputi pembinaan secara intern dikelembagaan UED/K-SP,
pembinaan ekstern yang langsung mengenai masyarakat/kelompok
sasaran dalam hal ini secara langsung mengidentifikasi permasalahan-
permasalahan yang dialami oleh masyarakat hingga di selesaikan didalam
forum musyawarah. Selanjutnya pembuatan laporan perkembangan
program dan laporan keuangan yang didalamnya meliputi perkembangan
pinjaman oleh masyarakat, tingkat keberhasilan usaha masyarakat dan
seberapa besar dana usaha desa terserap melalui pinjaman masyarakat.
Komunikasi sudah terjalin dengan baik, ini terlihat dari keterlibatan
masyarakat didalam musyawarah desa dan menjadi pemanfaat
program.Selain itu juga dibukanya forum diskusi mengenai pemecahan
masalah yang dialami oleh masyarakat/pemanfaat program.Sikap
pelaksana kurang baik karena jarang sekali mau melakukan inspeksi
kelapangan dan melakukan pembinaan terhadap masyarakat untuk
80
pengembangan usaha mereka.Dukungan kelompok sasaransudah cukup
baik ini terlihat dari adanya peran aktif masyarakat/pemanfaat program
disaat mengikuti forum musyawarah dan pertemuan bersama pihak
pelaksana program dalam hal penyelesaian tunggakan.
Pada tahap evaluasi kegiatan pada umum sudah terlaksana
dengan baik.Hal ini terlihat dari terlibatnya semua pihak dalam evaluasi ini
baik dari masyarakat, Tim Pembina Kecamatan, maupun Tim Pembina
Kabupaten. Dalam evaluasi ini perwakilan masyarakat di panggil langsung
untuk memberikan keterangan perihal pelaksanaan program UED/K-SP
yang dilaksanakan oleh tim Pelaksana program meliputi Pengelola
UED/K-SP, Fasilitator Pendamping Desa dan Kepala Desa. Sementara itu
Tim Evaluasi melakukan penilaian dengan cara diskusi pelaksana
program tingkat desa/kelurahan dan tingkat kecamatan mengenai hasil
laporan keuangan dan progress kegiatan mengadakan kunjungan ke
lokasi. Komunikasi terjalin dengan baik antara masyarakat/pemanfaat
progam dengan Tim Evaluasi.Sikap pelaksana juga sudah baik ini terlihat
dari adanya laporan yang dibuat oleh Tim Pembina Kecamatan.Dukungan
Masyarakat/ kelompok sasaran juga sudah baik ini terlihat dari
kehadirannya pada saat pelaksanaan evaluasi serta kemauan untuk
memberikan keterangan tentang pelaksanaan program oleh pelaksana
program.
81
2.4. Konsep Operasional
untuk kesepahaman pengertian dalam penelitian ini agar tidak
menimbulkan salah pemahaman dan pengertian, maka akan dijelaskan
dan dirumuskan beberapa konsep sebagai berikut :
1. Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu di masyarakat dimana dalam penyusunannya melalui
berbagai mekanisme.
2. Evaluasi kebijakan adalah mengkaji akibat-akibat pelaksanaan suatu
kebijakan dan membahas hubungan antara cara-cara yang digunakan
dan hasil yang hendak dicapai.
3. Evaluasi pelaksanaan Program Peningkatan Keberdayaan
Masyarakat Pedesahaan Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-
SP) ialah program yang selama ini dilaksanakan di Kabupaten
Bengkalis khususnya Kecamatan Bengkalis.
4. Evaluasi dalam penelitian ini adalah Evaluasi Peningkatan
Keberdayaan Masyarakat Pedesahaan Usaha Ekonomi Desa Simpan
Pinjam (UED-SP).
5. UED-SP adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dibentuk oleh
Desa melalui musyawarah untuk mengelola Dana Usaha Desa dan
dana yang berasal dari kegiatan simpan pinjam masyarakat.
6. Pemberdayaan UED-SP ialah tindakan sosial yang dilaksanakan oleh
lembaga UED-SP dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif
82
untuk memecahkan masalah sosial dan ekonomi dengan kemampuan
dan sumber daya yang dimiliki.
2.5. Operasional Variabel
Secara terperinci operasinalisasi variabel pada penelitian ini dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.3. Operasional Variabel
Konsep Variabel Indikator Sub Indikator Penilaian
Evaluasi adalah
perbandingan antara tujuan yang hendak
dicapai dalam
penyelesaian masalah dengan kejadian
yang sebenarnya
Evaluasi Program
Pemberdayaan Masyarakat
UED-SP
Efektifitas
Meningkatnya Ekonomi Masyarakat
Baik
Bertambahnya Usaha di Desa
Turunnya angka kemiskinan
Effesiensi
Tahapan Peminjaman
Upaya meminimalisir tunggakan
Inovasi dalam administrasi pelayanan
Kecukupan
Kebijakan dalam menghadapi tunggakan
Cukup Baik
Laporan pengelola kepada Pemerintah
Komunikasi (Etika) Pengelola
Pemerataan
Keberpihakan Pengelola terhadap pemanfaat
Upaya mengurangi kesenjangan
Pemahaman Perbub Nomor 38 Tahun 2014
Resposivitas
Respon masyarakat terhadap UED-SP
Tidak Baik
Partisipasi masyarakat terhadap UED-SP
Pandangan masyarakat terhadap kelanjutan program
Ketetapan
Keberadaan Pemanfaat Fiktif
Proses penyitaan agunan
kebijakan dalam verifikasi berkas pemanfaat
Sumber : Modifikasi Penulis, 2018
83
2.6. Teknik Pengukuran
2.6.1. Efektifitas
Baik : Apabila Indikator pada efektifitas dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
67% - 100%
Kurang Baik : Apabila Indikator pada efektifitas dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
34% - 66%
Tidak Baik Apabila Indikator pada efektifitas dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
0% - 33%
2.6.2. Efesiensi
Baik : Apabila Indikator pada efesiensi dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
67% - 100%
Kurang Baik : Apabila Indikator pada efesiensi dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
34% - 66%
84
Tidak Baik Apabila Indikator pada efesiensi dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
0% - 33%
2.6.3. Kecukupan
Baik : Apabila Indikator pada kecukupan dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
67% - 100%
Kurang Baik : Apabila Indikator pada kecukupan dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
34% - 66%
Tidak Baik Apabila Indikator pada kecukupan dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
0% - 33%
2.6.4. Pemerataan
Baik : Apabila Indikator pada pemerataan dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
67% - 100%
85
Kurang Baik : Apabila Indikator pada pemerataan dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
34% - 66%
Tidak Baik : Apabila Indikator pada pemerataan dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
0% - 33%
2.6.5. Responsivitas
Baik : Apabila Indikator pada responsivitas dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
67% - 100%
Kurang Baik : Apabila Indikator pada responsivitas dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
34% - 66%
Tidak Baik Apabila Indikator pada responsivitas dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
0% - 33%
86
2.6.6. Ketepatan
Baik : Apabila Indikator pada ketepatan dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
67% - 100%
Kurang Baik : Apabila Indikator pada ketepatan dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
34% - 66%
Tidak Baik Apabila Indikator pada ketepatan dapat
terpenuhi dengan baik terhadap Program
UED-SP dengan persentase penilaian
0% - 33%
2.7. Ukuran Variabel
2.7.1. Evaluasi Program UED-SP Dalam Upaya Pemberdayaan
Masyarakat Kecamatan Bengkalis
Baik : Apabila Pelaksanaan Program UED-SP ini
dilihat dari aspek efektifitas, efesiensi,
kecukupan, pemerataan, responsivitas dan
ketepatan terpenuhi dengan penilaian dari
responden dengan persentase penilaian
67% - 100%
87
Kurang Baik : Apabila Pelaksanaan Program UED-SP ini
dilihat dari aspek efektifitas, efesiensi,
kecukupan, pemerataan, responsivitas dan
ketepatan terpenuhi dengan penilaian dari
responden dengan persentase penilaian
34% - 66%
Tidak Baik Apabila Pelaksanaan Program UED-SP ini
dilihat dari aspek efektifitas, efesiensi,
kecukupan, pemerataan, responsivitas dan
ketepatan terpenuhi dengan penilaian dari
responden dengan persentase penilaian
0% - 33%