Transcript
Page 1: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. CEDERA KEPALA

2.1.1. Definisi Cedera Kepala

Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma non degeneratif–non

konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksternal yang menyebabkan

kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik sementara atau

permanen dan bisa juga menyebabkan kelumpuhan sampai kematian. Cedera

kepala sedang merupakan cedera kepala dengan skala koma glassgow 9 – 12

(Osborn et al, 2003).

2.1.2 Epidemiologi

Cedera kepala merupakan penyebab utama kematian, terutama pada

dewasa muda dan penyebab utama kecacatan. Di Amerika Serikat, hampir 10%

kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari total kematian akibat

trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7 detik dan

kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi

pada semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa

muda berusia 15-24 tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 atau 4 kali lebih sering

dibandingkan wanita (Rowland et al, 2010).

Page 2: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

9

2.1.3. Morfologi Cedera Kepala

Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (Peteret al 2009)

2.1.3.1. Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera cedera kepala.

Kulit kepala terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin,

connective tissue, apponeurosis galea, jaringan ikat longgar dan perikranium.

Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang

memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala

sering terjadi robekan pada lapisan ini.

2.1.3.2. Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:

1. Fraktur Linier

Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau

stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang

kepala.

2. Fraktur diastasis

Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang

tengkorak yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala.

Jenis fraktur ini terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum

menyatu dengan erat.

Page 3: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

10

3. Fraktur kominutif

Fraktur komunitif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki

lebih dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

4. Fraktur impresi

Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga

besar yang langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada

tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada

duramater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna

terjadi jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula

interna segmen tulang yang sehat.

5. Fraktur basis cranii

Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar

tulang tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada

duramater yang merekat erat pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan

fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign (Fraktur

basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan battle’s sign (fraktur

kranii fossa media).

Page 4: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

11

2.1.4 Cedera Otak Fokal dan Diffuse

Tobing, 2011 mengklasifikasikan cedera otak fokal dan cedera otak

diffuse:

A. Cedera otak fokal meliputi:

1. Perdarahan Epidural/ Epidural Hematom (EDH)

EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial

antara tabula interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat

menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid interval selama

beberapa jam dan kemudian terjadi defisit neurologis berupa

hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang

ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan hemiparesis.

2. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut

Perdarahan SDH adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang

terjadi akut (3-6 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-

vena kecil dipermukaan korteks cerebri.

3. Perdarahan subdural kronik atau SDH Kronik

SDH kronik adalah terkumpulnya darah di ruang subdural lebih dari 3

minggu setelah trauma. SDH kronik diawali dari SDH akut dengan

jumlah darah yang sedikit-sedikit.

Page 5: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

12

4. Perdarahan intra cerebral/Intracerebral Hematomn (ICH)

Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan

konfluen yang terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom

bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim otak dengan tulang

tengkorak, tetapi disebabkan oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat

trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak

lebih dalam, yaitu di parenkim otak ataupembuluh darah kortikal dan

subkortikal.

5. Perdarahan subarahnoid traumatik (SAH)

Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah

kortikal baik arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma

dapat memasuki ruang subarahnoid dan disebut sebagai perdarahan

subarahnoid (PSA).

Gambar 1. Lesi intrakranial (Tomio, 2000).

Page 6: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

13

B. Cedera otak diffuse

Cedera otak diffuse merupakan terminologi yang menunjukkan

kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera kepala

difuse disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan

translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan

terhadap parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah

dikarenakan adanya perdarahan subarahnoid traumatik yang

menyebabkan terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi

iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia akibat renjatan

sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala difuse. Dari gambaran

morfologi pencitraan atau radiologi, cedera kepala difuse dikelompokkan

menjadi (Sadewa, 2011):

1. Cedera akson difuse ( Diffuse aksonal injury )

Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang

menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak

(serabut proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti

dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan inti-

inti permukaan kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.

2. Kontusio Cerebri

Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan

karena efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang

menjadi penyebab kontusio cerebri adalah adanya gayacoup dan

countercup, dimana hal tersebut menunjukkan besarnya gaya yang

Page 7: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

14

sanggup merusak struktur parenkim otak yang terlindung begitu kuat

oleh tulang dan cairan otak yang begitu kompak.

3. Edema Cerebri

Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala.

Pada edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak

namun terlihat pendorongan hebat pada daerah yang mengalami

edema. Edema otak bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia

yang umumnya dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.

4. Iskemia cerebri

Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak

berkurang atau berhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama

(kronik progresif) dan disebabkan karena penyakit degenerative

pembuluh darah otak

2.1.5. Patofisiologi Cedera Kepala

Mekanisme cedera otak primer setelah trauma.

Cedera primer bisa berhubungan dengan koma yang berkepanjangan dan

mempengaruhi respon motorik sebagai degenerasi subcortical matter yang

tersebar, yang biasanya disebut sebagai diffused axonal injury ( DAI ). Setelah

beberapa minggu setelah injuri axon dan degenerasi wallerian dari fiber tracts

maka akan terbentuk sekelompok neuroglia. Secara klinis DAI diperkirakan

terjadi karena trauma luas berupa mild concussion dimana tidak ada lesi struktural

Page 8: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

15

yang bisa ditunjukkan dan bisa terjadi penyembuhan total secara klinis, koma

yang berkepanjangan, bahkan kematian(Andrewset al,2002).

Cedera otak primer tidak dapat menjelaskan terjadinya deteriorasi

dibandingkan dengan cedera otak sekunder yaitu proses seluler dan biokimiawi

yang kompleks yang terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa hari setelah

trauma(Jesset al, 2000).

Gambar 02. Neuronal damage (Paragon SC, 2008)

Pada kondisi cedera yang mengalami robekan (shear-force), maka dapat

terjadi Diffuse Axonal Injury (DAI) secara menyeluruh yang merusak serat-serat

axonal dan selaput myelin. Dan gambaran ini nampak dalam CT scan kepala dan

Page 9: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

16

gambaran histopatologis dalam bentuk petechiae dalam substansia alba. Selain itu

dapat pula terjadi contusio otak, hematoma (subdural, epidural, intracerebral)

dan perdarahan subarachnoid(Andrewset al,2002).

Kerusakan pada cedera kepala dapat berupa fokal lesi maupun diffuse,

terletak pada area spesifik atau tersebar. Diffuse injury sedikit terlihat pada

gambaran neuroimaging namun akan tampak jelas pada pemeriksaan

histopatologis post mortem secara mikroskopis. Dimana tipe dari diffuse injury

dapat berupa concusion atau diffuse axonal injury. Lesi fokal biasa berhubungan

dengan fungsi dari kerusakan area yang terjadi, manifestasi berupa gejala

hemiparesis atau aphasia. Gambaran fokal lesi yang dapat terlihat pada CT Scan

berupaLaserasi Cerebri, Contusio Cerebri (bila darah bercampur dengan jaringan

otak), Intrakranial hemoragik (bila darah tidak bercampur dengan jaringan otak).

Lesi intra axial berupa Intracerebral hemoragik, dimana perdarahan terjadi pada

jaringan otak itu sendiri. Sedangkan yang termasuk lesi extra-axial berupa

Epidural Hematome(perdarahan antara skull dan duramater), Subdural Hematome

(perdarahan antara duramater dengan arachnoid mater), Subarachnoid Hemoragik

(perdarahan antara arachnoid membrane dengan piamater) dan Intraventrikuler

Hemoragik (perdarahan didalam ventrikel) (Franco et al, 2000; Andrewset al,

2002).

Mekanisme cedera otak sekunder setelah trauma.

Cedera sekunder meliputi kerusakan blood-brain barier, pelepasan faktor

inflamasi, kelebihan radikal bebas, pelepasan neurotransmitter glutamate, influks

Page 10: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

17

ion calsium dan sodium kedalam neuron, dimana menyebabkan disfungsi dari

mitokondria(Jess et al, 2000).

Cedera otak bisa berawal dari perkembangan hematom pada intrakranial,

edema otak, peningkatan tekanan intrakranial, dan iskemia, dan semua hal di atas

bisa diperburuk oleh kondisi hipoksia yang sistemik, hipotensi, atau pyrexia.

Faktor lainnya pada cedera otak sekunder yaitu terjadi perubahan pada aliran

darah ke otak, iskemia(karena insufisiensi blood flow), hipoksia serebri

(Insufisiensi oksigen dalam otak), edema serebri(swelling dari otak), dan

peningkatan tekanan intrakranial. Peningkatan tekanan intrakranial mungkin hasil

dari swelling atau pendesakan masssa dari lesi, seperti hemoragik. Sebagai

akibatnya terjadi penurunan tekanan perfusi serebral dimana dapat menimbulkan

terjadinya iskhemik biasanya berlangsung dalam 24 jam paska trauma. Ketika

tekanan antara tulang meningkat sangat tinggi, itu dapat menyebabkan terjadinya

kematian batang otak atau herniasi batang otak(Manleyet al, 2001; Robert, 2003;

Moppett, 2007)

Page 11: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

18

Gambar 03. Patofisiololgi Cedera Kepala Sekunder.

2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Outcome

Banyak sekali studi yang meneliti faktor faktor yang mempengaruhi

outcome, di antaranya: Umur, Skor GCS, Reflek Pupil, skor hipoksia, hipotensi,

klasifikasi CT Scan, dan Perdarahan Sub arachnoid (Murray et al, 2007;

Hukkelhoven et al, 2005; Jennett et al, 1976; Choi et al, 1991;Signorini et al,

1999; Braakman et al, 1980; Quigley etal, 1997; Stablein et al, 1980; Lannoo et

al, 2000;Young et al, 1981; Narayan et al, 1981; Fearnside et al,1993; Schaan

etal, 2002; Barlow et al, 1984; Andrewset al, 2002; Chantal et al, 2005).

Page 12: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

19

Waktu prothrombin juga diidentifikasi sebagai faktor prognostik

independent kuat, tetapi data ini hanya ditunjang oleh sedikit pasien pada 3 studi

yang relevan (Murray et al, 2007). Dengan meneliti faktor - faktor prognostik

tersebut, akan memberikan jalan bagi proyek IMPACT, yang berfokus pada

perkembangan dari pendekatan terbaru dari rancangan dan analisis dari uji klinis

pada Cedera Kepala Traumatis (Maas et al, 2007; Marmarou et al, 2007).

2.2.1 Demografi

Secara demografi faktor usia dan jenis kelamin penderita mempengaruhi

outcome penderita cedera kepala sedang. Umur adalah prediktor

independen dari outcome pasien (Luerssen et al, 1988; Signoriniet al,

1999; Mosenthal et al, 2002; Hukkelhovenet al, 2003;Mushkudiani et al,

2007).Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa penderita dengan usia

lebih muda memiliki prognosis atau outcome yang lebih baik

dibandingkan dengan usia yang lebih tua terutama pada usia diatas 65

tahun, ini dikarenakan banyaknya co-morbiditas yang dimiliki oleh

penderita sejalan dengan meningkatnya usia, disamping itu juga pada

penderita yang lebih tua memiliki daya tahan yang menurun, serta

elastisitas pembuluh darah yang menurun pula, serta respon yang lebih

buruk terhadap anemia (Tokutomi et al, 2008). Pasien yang lebih tua

memiliki angka kematian yang lebih tinggi dan memiliki

favorableoutcome yang lebih rendah. Kejadian cedera sistemik multiple

jarang terjadi pada pasien yang lebih tua. Terjadinya variasi dari jenis lesi

Page 13: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

20

intrakranial sesuai dengan usia mungkin disebabkan oleh perbedaan antara

otak usia muda dan usia tua pada saat terjadinya cedera otak sekunder.

Perubahan dari respon patofisiologisnya sangat berhubungan dengan

perkembangan cedera otak sekunder terhadap suatu proses penuaan otak

(Tokutomi et al, 2008).

Jenis Kelamin dikatakan sebagai yang paling kontroversial di

antara faktor-faktor yang lain. Walaupun angka insiden penderita cedera

kepala didapatkan lebih besar pada laki-laki, namun prognosis atau

outcome yang didapatkan lebih buruk pada perempuan dibandingkan

dengan laki-laki, namun mekanismenya belum dapat dijelaskan. Pada

beberapa penelitian menegaskan kelompok wanita pada observasi multiple

mempunyai outcome yang lebih buruk setelah cedera kepala berat (Tate et

al, 2001; Slewa-Younan et al, 2008; Macintyre et al, 1999; Ponsford et

al, 2008). Pada suatu uji klinis terkontrol didapatkan pada binatang

menunjukkan pemulihan yang lebih baik dan fungsi kognitif yang lebih

baik di antara betina seteleh cedera kepala dibandingkan kelompok

jantan(Bramlett and Dietrich, 2001; O’Connor et al, 2003, Wagner et al,

2004).

2.2.2 Penyebab cedera

Meskipun Kepentingan yang paling besar dari penyebab cedera

adalah dari segi dan perspektif Kesehatan Masyarakat, Relevansi klinis

dari penyebab cedera tidak boleh diremehkan. Tergantung dari Mekanisme

Page 14: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

21

dan penyebab cedera, dampak dari cedera terhadap otak mungkin berbeda,

dan ini sangat berhubungan dengan konsekuensi langsung dari diagnostik

imaging dan manajemen terapinya (Butcheret al, 2007).

Terdapat sebuah hubungan univariat yang kuat antara penyebab

cedera pasien dan outcome jangka panjang pada pasien cedera kepala

sedang sampai berat. Kemungkinan hasil yang lebih buruk bagi mereka

yang mengalami kecelakaan dibandingkan dengan oleh karena kekerasan

maupun oleh karena jatuh dengan sendirinya. Mereka yang terluka karena

olahraga atau rekreasi memiliki outcome yang lebih buruk dibandingkan

dengan yang dikarenakan jatuh, sementara untuk kelompok "lain" dan

"kecelakaan kerja" kemungkinan hasil yang lebih buruk yang mirip

dengan kecelakaan lalu lintas (Butcher et al, 2007).

2.2.3 GCS (Glascow Coma Scale)

Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennett dan Teasdale

pada tahun 1974 (Teasdaleet al, 1974). Pemeriksaan GCS dilakukan

secara luas pada penderita–penderita pada awal cedera kepala terutama

sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi (Brickley and

Shepherd, 1995; Hudak et al, 2005;Marion and Carlier, 1994; Sternbach,

2000; Vos et al, 2001). Penilaian awal dari GCS sangat penting terutama

pada penderita cedera kepala sedang karena berkaitan dengan outcome dari

penderita dimana pada penderita cedera kepala sedang dengan nilai GCS

awal lebih besar memiliki prognosis outcome yang lebih baik sehingga

Page 15: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

22

dalam melakukan observasi penderita tersebut dapat dilakukan lebih ketat

pada GCS lebih kecil (Kothari, 2006). Stein menemukan bahwa pasien

dengan GCS 13 didapatkan kelainan patologis pada CT Scan Kepala pada

337 dari 997 kasus (33,8%), sedangkan pada 97 dari 899 (10,8%) pasien

diindikasikan untuk operasi (Stein, 2001).

2.2.4 Reflek pupil

Pemeriksaan respons pupil dapat menyediakan informasi yang

berharga dari derajat cedera kepala awal ataupun yang progresif (Andrea

et al, 2005).

Secara umum, dilatasi dan fiksasi dari pupil menandakan adanya

herniasi dan penanda tidak langsung dari cedera batang otak (Rovlias,

2004; Goebert et al, 1970; Jamous et al, 2010).

Dilatasi pupil akut pada pasien cedera kepala menandakan kegawat

daruratan. Secara tradisional, fenomena ini dipercayai disebabkan oleh

herniasi unkus yang merupakan hasil dari edena otak atau suatu lesi masa,

yang mengarah ke kompresi dari nervus 3 kranialis (Mauritz et al, 2009).

Penyebab lain dari dilatasi pupil adalah penurunan aliran darah ke otak

dan kemudian menghasilkan iskemia otak khususnya batang otak (Ritter,et

al, 1999).

2.2.5 Hipoksia dan Hipotensi

Page 16: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

23

Hipoksia serebral bersama dengan hipotensi adalah faktor yang paling

kritis dalam memperparah kerusakan sekunder setelah kejadian cedera

kepala, khususnya setelah Cedera Kepala diffuse (McHugh et al, 2007;

Miller,1993).

Hipoksia

Studi epidemiologis menunjukkan bahwa hingga 44% dari pasien cedera

kepala berat, mengalami hipoksia otak, yang berhubungan komplikasi

neurologis lain (Jeremitsky et al, 2003). Hipoksia dapat diinduksi oleh

hipoperfusi serebral, apneu, dan hipoventilasi yang disebabkan oleh

Cedera Otak traumatic yang berhubungan dengan cedera batang otak

(Newcombe et al, 2010). Lebih lagi, hipoksia sistemik dapat disebabkan

oleh cedera ektrakranial dan seringkali berdampingan dengan cedera

kepala seperti sumbatan jalan nafas, trauma tembus paru, kehilangan darah

berlebihan (Siegelet al, 1995).

Hipoksia juga merupakan tanda seberapa berat cedera otak yang didapat

dan dapat menyebabkan kelainan otak sekunder(Manley G, 2001; Gao et

al, 2010; Hellewel et al, 2010).

Hipotensi

Suatu kejadian tunggal hipotensi berhubungan dengan peningkatan

morbiditas dan 2 kali mortalitas dibandingkan dengan kelompok pasien

tanpa hipotensi (Chesnut et al, 2000). Manley melaporkan tren yang tidak

Page 17: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

24

terlalu signifikan dari peningkatan mortalitas pasien dengan GCS < 13

yang mengalami episode tunggal hipotensi selama dirawat di RS (Sistolik

<= 90) (Manley et al, 2001).

Pada serial penelitian oleh Vassar et al, yang dirancang untuk

menekankan pilihan yang optimal dari cairan resusitasi, dalam

mengkoreksi hipotensi, berhubungan dengan perbaikan outcome (Vassar et

al, 1993). Pentingnya pengukuran MAP dibandingkan dengan tekanan

sistolik, harus ditekankan, bukan hanya karena peran dari MAP dalam

menghitung tekanan perfusi serebral (CPP) tetapi juga karena kurangnya

konsistensi hubungan antara tekanan sistolik dengan MAP membuat

perhitungan berdasarkan tekanan sistolik tersebut tidak akurat (Bullock et

al, 2007).

Cerebral blood flow yang rendah, tekanan oksigen yang rendah

dan pelepasan asam amino berhubungan dengan terjadinya iskhemia dan

hal tersebut dapat menyebabkan pemicu cascade kerusakan sel. Beberapa

sistem yang berpengaruh terhadap gambaran patologis pada cedera kepala

yaitu adanya faktor ekstrakranial (disebabkan adanya faktor diluar otak)

atau intrakranial(disebabkan kerusakan jaringan di dalam otak)

(Madikians, 2006; Manley, 2001; Moppett, 2007).

2.2.6Gambaran lesi intrakranial

Gambaran CT Scan yang ada pada pemeriksaan radiologis sangat

mempengaruhi outcome dari penderita cedera kepala sedang, yaitu

Page 18: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

25

terutama didasarkan pada jenis fokal lesi yang ada, ukuran besarnya. Dari

semua lesi intrakranial yang disebutkan di atas dapat mempengaruhi

keadaan umum dari penderita tersebut, dikarenakan terjadinya peningkatan

volume intrakranial karena adanya hematom atau edema yang

meningkatkan tekanan intrakranial sehingga pada akhirnya dapat

menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran penderita yang dapat dinilai

dari penurunan GCS, kondisi tersebut dapat memperburuk keadaan

penderita secara umum dan adanya midline shift dapat disebabkan karena

peningkatan tekanan volume intrakranial, sehingga stuktur midline nya

terdorong ke lateral, menyebabkan cingulate gyrus herniasi di bawah tepi

bebas dari falx, sesuai dengan kriteria marshall(Marshallet al, 1991;

Robert et al, 2003; Lesko et al, 2012; Chestnut, 2000; Van Dongen et al,

1983; Cordobes et al, 1986; Younget al, 1981; Azian et al, 2001;

Eisenberg et al, 1990;Fearnside et al, 1993; Lipper et al, 1985; Pillai et

al,2003; Quattrocchi et al, 1991; Servadei et al, 2000).

2.2.7Gangguan faal hemostasis

Mekanisme patofisiologi koagulopati pada cedera kepala

merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui pasti. Hal ini

dikarenakan adanya pelepasan banyak faktor jaringan saat cedera kepala

ke sirkulasi tubuh, sehingga menyebabkan abnormalitas koagulasi

intravaskular. Ketidakseimbangan antara pembentukan clot dan

hiperfibrinolisis menyebabkan hipoperfusi sistemik dan penggunaan

Page 19: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

26

antikoagulan dapat berperan menyebabkan koagulopati dan gangguan

perdarahan. Hipoperfusi menyebabkan ekspresi trombomodulin endotelial

yang mengikat thrombin, sehingga menghambat pembentukan fibrin dari

fibrinogen. Selain itu, kompleks trombomodulin-trombin mengaktivasi

protein C, yang menghambat plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1)

dan faktor koagulasi Va dan VIIIa. Hal ini menyebabkan pelepasan tissue

plasminogen activator (tPA) endotelial yang menyebabkan terjadinya

fibrinolisis. Pada penderita cedera kepala sering terjadi hipotermia dan

asidosis yang berperan dalam memperburuk hemostasis dan gangguan

outcome (Greuters, 2011). Selain itu kehilangan darah baik karena trauma

cranial maupun sistemik dapat merangsang diathesis hemoragik

disebabkan oleh deplesi platelet dan faktor pembekuan darah. Pada Cedera

kepala, cedera tersebut dapat merangsang keadaan hiperkoagulasi, baik

secara sistemik maupun local pada daerah penumbra dari contusion serebri

dengan melepaskan faktor PCTF (Pro-Coagulant Tissue Factor).

Peningkatan konsentrasi plasma dari produk degradasi Fibrin/fibrinogen

dan 2-plasmin inhibitor dan menurunnya kadar fibrinogen berhubungan

dengan outcome yang buruk setelah cedera kepala (Jackelien et al, 2007;

Olson et al, 1989; Selladurai et al, 1997; Bredbackaand Edner, 1994;

Hoots, 1997; Miner et al, 1982;Stein et al, 1992).

2.2.8 Hemoglobin

Page 20: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

27

Pada cedera kepala akut, hemoglobin rendah mungkin akibat dari

kehilangan darah atau pemberian cairan yang berlebihan. Sebagai

konsekuensinya, kapasitas membawa oksigen darah akan menurun, dan

berpotensi meningkatkan risiko kerusakan iskemik sekunder pada saat

aliran darah otak sudah terganggu. Tingkat Hb yang tinggi namun akan

meningkatkan viskositas dan kompromi perfusi. Secara teoritis hubungan

antara Hb dan hasil mungkin sangat diharapkan. Kami menemukan

hubungan linier teru-menerus.Bagaimanapun perlu dicatat bahwa tingkat

tinggi Hb yang diamati sangat jarang, dan kemungkinan outcome buruk

pada tingkat Hb diatas rentang diamati tidak bisa dikesampingkan.

Abnormal nilai Hb rendah yang diamati pada sejumlah pasien (17%) dan

terkait dengan parameter lain (misalnya, hipotensi). Anemia adalah

masalah umum pada pasien sakit kritis dan berhubungan dengan hasil

outcome buruk yang telah didokumentasikanselama bertahun-tahun (du

Cheyron et al, 2005; Hebert et al, 1997;Sanchez-Olmedo et al, 2005).

2.2.9Waktu operasi

Pasien yang dioperasi dalam waktu 4 jam saat kedatangan di ird

mempunyai peluang 2 kali lipat lebih kecil kemungkinan meninggal di

rumah sakit dibandingkan mereka yang dioperasi setelah 4 jam dari waktu

kedatangan. Waktu operasi secara signifikan mempengaruhi kematian di

rumah sakit. Evakuasi tepat waktu hematoma akut dapat pemberita

Page 21: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

28

probabilitas kelangsungan hidup yang baik dari trauma kepala (Ju Kim et

al,2006; Leach et al, 2009).

2.3. Glasgow Outcome Scale Extended (GOSE)

Glasgow outcome scale (GOS) paling luas digunakan untuk menilai hasil

akhir secara umum pada cedera otak. GOS dikelompokkan dalam lima katagori,

yaitu mati, persistent vegetative state, ketidakmampuan yang berat,

ketidakmampuan sedang dan kesembuhan yang baik. Penilaian secara tepat

diperoleh pada 3, 6 dan 12 bulan setelah cedera otak. Validitas GOS sebagai suatu

penilai hasil akhir cedera otak didukung oleh kuatnya hubungan dengan lamanya

koma, beratnya kondisi pada awal trauma (diukur dengan GCS) dan tipe lesi

intrakranial(Milleret al, 2005).

GOS katagori juga berkorelasi dengan lamanya postraumatik amnesia.

Kritikan terhadap GOS relatif tidak sensitif terhadap kondisi. Pasien yang

membaik secara signifikan dan secara klinis terutama 6 bulan setelah cedera otak

(Narayan et al, 1996). Skala pengukuran GOS ini pertama kali ditemukan oleh

Jennet dan Bond pada tahun 1975. Prognosis pascacedera otak yang didasarkan

kapabilitas sosial pasien pascacedera otak dikombinasikan dengan efek mental

spesifik dan defisit neurologis. Derajat skala ini mencerminkan suatu kerusakan

otak secara umum, dimana juga mampu menilai prognosis pascakoma traumatik

ataupun nontraumatik (Bullock, 2007; Narayan, 2002). Telaah pada penderita

adalah sebanyak 150 orang yang bertahan hidup setelah cedera otak di Glasgow

Page 22: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

29

oleh spesialis saraf dan bedah saraf. Keduanya memutuskan bahwa penilaian ini

sangat tepat pada 3 bulan, 6 bulandan 12 bulan pascatrauma (Jennetet al, 2005).

Skala penilaian prognosis Glasglow terdiri atas lima kategori yaitu: (Jennetet

al,2005)

1. Pemulihan baik (good recovery= GR) diberi nilai 5.Pasien dapat

berpartisipasi pada kehidupan sosial, kembali bekerja seperti biasa.

Pemeriksaa ini dapat disertai komplikasi neurologis ringan, seperti defisit

minor saraf kranial dan kelemahan ekstremitas atau sedikit gangguan pada uji

kognitif atau perubahan personal.

2. Ketidakmampuan sedang (Moderate disability=MD, independent but

disabled) diberi nilai 4. Kondisi pasien jelas berbeda sebelum cedera dan

mampu menggunakan transportasi umum, tetapi tidak dapat bekerja seperti

biasa. Pasien defisit memori/perubahan personal, hemiparesis, disfasia,

ataksia, epilepsi paska traumatika, atau defisit mayor saraf kranial. Derajat

ketergantungan pasien pada orang lain lebih baik dibandingkan dengan lansia

dan kemampuan kebutuhan personal sehari-hari dapat dikerjakan tetapi,

mobilitas dan kapasitas berinteraksi tidak dapat dilakukan tanpa asisten.

3. Ketidakmampuan berat (Severe disability=SD, conscious but dependent)

diberi nilai 3. Pasien mutlak bergantung pada orang lain setiap saat (memakai

baju, makan, dll), paralisis spastik, disfasia, disatria, defisit fisik dan mental

yang mutlak memerlukan supervisi perawat/keluarga.

4. Vegetative State=PVS diberi nilai 4. Pasien hanya mampu menuruti perintah

ringan saja atau bicara sesaat. Pada perawatan sering ditemukan grasping

Page 23: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

30

reflek, withdrawal sebagai pencerminan menuruti perintah, mengerang,

menangis, kadang mampu mengatakan tidak sebagai bukti proses kembali

berbicara.

5. Meninggal dunia (dead) diberi nilai 1. Pada tahun 1981 Jennet menelaah dan

memodifikasi ulang skala GOS karena masalah sensitivitas statistik dan

penggunaan yang lebih praktis pada uji klinis obat neuroproteksi, yaitu

distribusi bimodal (dikotomisasi) antara hidup (GR, MD, SD) dan mati (PVS,

Dead)

GOSE adalah Suatu skala pengukuran outcome pada cedera kepala yang

dipakai untuk menyatakan prognosis, dinilai 3,6,12 dan 24 bulan setelah cedera

kepala, yang terdiri dari 8 kategori (Wilson et al, 1998)

a. Death : Meninggal

b. Vegetative : Vegetatif

c. Lower severe disability : memerlukan pertolongan dari orang lain hampr

tiap saat sepanjang hari.

d. Upper severe disability : Dapat ditinggal dirumah sendiri kurang lebih 8

jam sehari, akan tetapi tidak dapat melakukan perjalanan jauh atau pergi

bebelanja tanpa ditemani orang lain.

e. Lower moderate disability : Tidak mampu untuk bekerja.

f. Upper moderate disability : Penurunan kapasitas bekerja.

g. Lower good recovery : Dapat kembali pada kehidupan normal, tetapi

memiliki masalah kecil yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.

Page 24: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

31

h. Upper good recovery : Dapat kembali pada kehidupan normal tanpa ada

masalah yang berhubungan dengan trauma kepala yang mempengaruhi

kehidupan sehari-hari

2.4. Validitas

Validitas mempunyai arti sejauh mana ketepatan dankecermatan suatu

instrumen pengukurdalam melakukan fungsiukurnya. Suatu instrumnen dikatakan

memiliki validitas yang tinggi apabilaalat tersebut menjalankan fungsi ukur secara

tepat atau memberikanhasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya

pengukurantersebut. Artinya hasil ukur dari pengukuran tersebut

merupakanbesaran yang mencerminkan secara tepat fakta atau

keadaansesungguhnya dari apa yang diukur (Matondang, 2009).

Pengukuran validitas menggunakan kurva receiver operating

characterisctics(ROC). Kurva ROC meghubungkan truepositive (sensitivitas) dan

false positiveprobabilitas yang dihasilkan oleh suatu model pengukuran. Daerah di

bawah kurva (AUC)berkisar mulai 0,5, yang berarti model

tidakmemilikikemampuan diskriminasi, hingga1,0 (diskriminasi yang sempurna).

Contohkurva ROC ditampilkan pada Gambar 2 (Matondang, 2009)

Page 25: BAB II - erepo.unud.ac.iderepo.unud.ac.id/17281/3/1014028206-3-BAB 2.pdf · 9 2.1.3. Morfologi Cedera Kepala Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (P eteret al 2009) 2.1.3.1

32

Gambar 04. Kurva ROC untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas

(Matondang ,2009)