IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
8
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab 2 dalam penelitian ini, akan dikemukakan beberapa teori dan konsep serta
hasil penelitian ini, meliputi: konsep beban pengasuhan, pola interaksi, gangguan jiwa,
keluarga, konsep teori Roy
2.1 Konsep Beban Pengasuhan
2.1.1 Definisi Pengasuh
Merriam (2007) menyebutkan bahwa pengasuh adalah seseorang yang
memberikan perawatan langsung (seperti untuk anak, orang lanjut usia, atau orang sakit
kronis). Saat ini istilah pengasuh keluarga sering digunakan secara bergantian dengan
informal caregiver, seseorang memberikan perawatan tanpa mendapat bayaran,
biasanya memiliki hubungan pribadi dengan penerima perawatan. Caregiver adalah
penyedia asuhan kesehatan untuk semua usia dimana mengalami ketidakmampuan
fisik atau psikis kronis. Jenis caregiver ada dua, caregiver formal dan caregiver
informal. Caregiver formal merupakan individu menerima bayaran untuk memberikan
perhatian, perawatan, perlindungan kepada individu yang mengalami sakit. Sedangkan
caregiver informal merupakan individu menyediakan bantuan untuk individu lain
dimana masih memiliki hubungan keluarga maupun dekat individu tersebut antara lain,
keluarga, teman, tetangga dan biasanya tidak menerima bayaran (Bumagin, 2009).
9
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
2.1.2 Definisi Beban Pengasuhan
Beban pengasuhan didefinisikan sebagai sejauh mana caregiver dapat
merasakan keadaan emosionalnya dan kesehatan fisik, kehidupan sosial dan status
keuangan sebagai akibat dari merawat mereka (Jagannathan, Thirthalli, Hamza,
Nagendra, & Gangadhar, 2014).
Beban memiliki dua komponen yaitu beban objektif dan subjektif. Beban
objektif mengacu pada tantangan kuantitatif yang dihadapi oleh anggota keluarga
dalam kehidupan sehari hari seperti biaya keuangan, kehilangan waktu luang dan
hubungan sosial yang berubah.Beban subjektif mengacu pada biaya abstrak atau
biaya emosional yang dihadapi oleh keluarga sebagai akibat dari penyakit penderita
(Jagannathan, Thirthalli, Hamza, Nagendra, & Gangadhar, 2014). Sering dikatakan
bahwa beban perawatan lebih ditentukan dari dampak dan konsekuensi dari
merawat pasien (Awad & Voruganti, 2009).
2.1.3 Definisi Beban Pengasuhan Pada Gangguan Jiwa
Beban pengasuhan pada gangguan jiwa adalah permasalahan keluarga saat
mengetahui saudaranya mengalami gangguan jiwa dan harus merawat pasien
gangguan jiwa tersebut (Kubler Ross, 2008).
Stengard (2003) menyebutkan bahwa beban pengasuhan yang dialami
keluarga ODGJ adalah munculnya stress pada keluarga saat harus merawat pasien
gangguan jiwa tersebut dikarenakan harus mengeluarkan banyak biaya, takut
ketahuan sama lingkungan sekitar, takut tidak mampu berinteraksi dengan baik
dengan pasien gangguan jiwa tersebut.
10
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
2.1.4 Teori Beban Pengasuhan
Untuk mencapai sebuah kerangka konseptual dari beban pengasuhan, teori-
teori yang berbeda telah digunakan, (Caqueo-Urízar, Miranda-Castillo, Giráldez, et
al., 2014) dalam (Sanjaya, 2016) menggabungkan aspek kuantitatif dan kualitatif.
Teori-teori tersebut antara lain :
1. Role theory menyatakan bahwa setiap orang dianggap sebagai aktor dalam
hubungan sosial. Terdapat kategori orang-orang yang lebih atau kurang di beberapa
aspek. Kategori tersebut disebut posisi ayah, ibu, anak, dan yang lainnya. Seseorang
dengan posisi tertentu menampilkan harapan tentang bentuk dimana dia akan
berperilaku dengan orang lain di posisi yang sama. Harapan di posisi ini disebut
sektor peran (role sector). Pada beberapa kasus, skizofrenia membuat harapan
keluarga terhadap pasien tidak terpenuhi. Hal ini menimbulkan ketidaknyamanan
pada semua anggota keluarga
2. Stress theory menyatakan bahwa kesulitan yang berhubungan dengan
gangguan fungsi, sebagai faktor tekanan lingkungan atau tekanan yang bersifat
kronis merupakan aspek subyektif burden. Hal ini menimbulkan sejumlah
perubahan pada caregiver sebagai hasil dari interaksi penilaian strategi koping
mereka.
3. Systemic theory menyatakan bahwa meskipun burden merujuk pada
fenomena keluarga, perlu untuk mempertimbangkan keluarga dalam konteks sosial
(jaringan sosial, komunitas dan / atau budaya).
11
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
2.1.5 Klasifikasi Caregiver Burden
Berdasarkan jenisnya, Lippi (2016) mengklasifikasikan caregiver burden
menjadi:
1. Objective burden :
Jagannathan et al. (2014) menyebutkan bahwa beban objektif keluarga
mengacu pada konsekuensi perawatan yang dapat diamati, seperti gangguan pada
rutinitas keluarga yang dipicu oleh penyakit tersebut, misalnya dijelaskan oleh
(Lippi, 2016) :
a. Mengabaikan anggota keluarga lainnya dan terganggunya keluarga dalam
hubungan sosial dan masalah pernikahan
b. Gangguan dan kendala dalam aktivitas sosial sehari-hari, bersantai.
c. Isolasi sosial dan kurangnya dukungan sosial.
d. Penarikan dukungan oleh / kehilangan kontak dengan teman, keluarga dan
tetangga.
e. Kehilangan pekerjaan / pendapatan atau penurunan produktivitas /
peningkatan absensi kerja.
2. Subjective Burden :
Jagannathan et al (2014) menyebutkan bahwa beban subjektif mengacu
pada beban emosional perawatan, seperti perasaan bersalah, dan kekhawatiran
tentang masa depan. Secara detail Lippi (2016) mendeskripsikan bentuk beban
subjektif seperti rasa bersalah dan menyalahkan diri sendiri, karena tidak mengenali
gejala lebih awal, malu dalam situasi sosial, khawatir terutama tentang masa depan
pasien, dan juga masalah kesejahteraan emosional, masalah kesehatan mental dan
morbiditas psikologis
12
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
2.1.6 Faktor yang Mempengaruhi Beban Pengasuhan
Terdapat berbagai hal yang mempengaruhi beban pengasuhan yang dialami
oleh caregiver keluarga penderita skizofrenia. (Lippi, 2016) merangkum situasi
yang meningkatkan dan menurunkan beban pengasuhan, yaitu :
1. Situasi yang meningkatkan beban pengasuhan
Situasi yang meningkatkan beban pengasuhan bagi keluarga yang merawat
gangguan jiwa tersebut seperti pasien yang sangat sakit parah / cacat, pasien yang
mengalami gejala negatif berat, perawatan diri yang buruk, pasien psikotik akut,
dan kecurigaan yang tidak semestinya, pengangguran atau rendahnya fungsi
psikososial pasien, pasien yang mengalami gejala negative berat, perawatan diri
yang buruk, pasien psikotik akut dan kecurigaan yang tidak semestinya dan juga
keterlibatan teman dan keluarga dalam melakukan interaksi dengan gangguan jiwa
tersebut yang sangat terbatas.
2. Situasi yang menurunkan beban pengasuhan :
Situasi yang menurunkan beban pengasuhan keluarga terhadap pasien
gangguan jiwa ialah kondisi pasien membaik, jangka waktu remisi yang panjang,
hubungan yang baik dan saling menguntungkan, partisipasi pasien dalam program
rehabilitasi, partisipasi keluarga dalam program psikoedukasi terapi kelompok serta
adanya komunikasi yang baik antara keluarga dan pasien gangguan jiwa tersebut.
2.1.7 Dampak Beban Pengasuhan
Beban pengasuhan pada family caregiver menimbulkan konsekuensi negatif
tidak hanya untuk pasien tetapi juga bagi anggota keluarga yang lain dan sistim
pelayanan kesehatan. Beban pengasuhan secara negatif mempengaruhi status fisik,
13
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
emosional dan ekonomi. Jagannathan et al (2014) menyebutkan bahwa kualitas
hidup yang buruk ternyata terkait dengan beratnya beban keluarga.
2.1.8 Pengukuran Beban Pengasuhan
Instrumen-instrumen penilaian telah diciptakan untuk menilai kualitas
hidup caregiver burden. Diantaranya The Subjective and Objective Family Burden
Interview (SOFBI-II), yang dikembangkan dari Family Burden Interview Schedule-
Short Form (Caqueo-Urízar, Urzúa, et al., 2016), Burden Assessment Schedule
(Jagannathan et al., 2014) dan Caregiver Burden Assesment yang sebagian isinya
diadaptasi dari Zarit Burden Scale dan The Montgomery Borgotta Caregiver
Burden Scale. Alat ini terdiri dari 39 item yang mengukur subjective dan objective
burden. Reliabilitas alat ukur CBA dinyatakan dengan nilai alfa Cronbach 0.936
untuk subjective burden dan 0.925 untuk objective burden (Suhita, 2016).
2.2 Konsep Pola Interaksi
2.2.1 Definisi Pola Interaksi
Kinball Young (2009) menyebutkan bahwa interaksi sosial adalah kunci
dari semua kehidupan sosial, oleh karena itu, tanpa interaksi sosial tidak akan
mungkin ada kehidupan bersama.
Pola interaksi adalah suatu pola perilaku, tendensi atau kesiapan antisipatif,
predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana,
sikap adalah respon terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan. Lebih lanjut
soetarno memberikan definisi sikap merupakan pandangan atau perasaan yang
disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap obyek tertentu. Sikap senantiasa
diarahkan kepada sesuatu artinya tidak ada sikap tanpa obyek. Sikap diarahkan
14
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
kepada benda-benda, orang, peristiwa, pandangan, lembaga, norma dan lain-lain
(La Pierre,2011)
2.2.2 Definisi Pola Interaksi Sosial Gangguan Jiwa
Pola interaksi gangguan jiwa adalah suatu pola perilaku, tendensi atau
kesiapan antisipatif seseorang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku
dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala atau perubahan
perilaku dalam situasi sosial terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan ( La
Pierre,2011 ; UU.RI No.18, 2014). Pola interaksi gangguan jiwa adalah suatu
hubungan sosial dinamis antar perorangan yang mengalami gangguan dalam bentuk
gejala yang berhubungan dengan masyarakat ( PPDGJ III ; Young, 2009).
Pola interaksi antara keluarga dengan anggota keluarga yang gangguan jiwa
dimana keluarga mempunyai masalah tidak ada yang memahami dan tidak
mencoba memberikan kesempatan kepada pasien gangguan jiwa tersebut untuk
melakukan interaksi dengan lingkungan maupun keluarga yang ada di rumah
tersebut, di samping itu juga beban yang dimiliki keluarga yang merawat pasien
gangguan jiwa tersebut juga banyak sehingga interaksi antara keluarga dan pasien
gangguan jiwa tersebut terganggu. Akibatnya menimbulkan terjadilah depresi
berat, rasa malu, rasa salah dan akhir- nya perilaku penderita berubah tidak seperti
biasa, suka menyendiri, berbicara sendiri, teriak dan melakukan hal-hal yang tidak
normal lainnya ( Ambarsari,2012).
2.2.3 Bentuk Interaksi Sosial
Berbagai bentuk interaksi sosial. Berdasarkan pendapat menurut maryati
dan suryawati (2003), interaksi sosial dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu:
15
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
1. Interaksi sosial yang bersifat assosiatif, yakni yang mengarah kepada bentuk-
bentuk asosiasi seperti kerja sama, akomodasi, asimilasi, akulturasi.
a. Kerjasama merupakan suatu usaha bersama antara orang perorangan atau
kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
b. Akomodasi adalah suatu proses penyesuaian sosial dalam interaksi antara
pribadi dan kelompok dan kelompok kelompok manusia untuk meredakan
pertentangan.
c. Asimilasi adalah proses sosial yang timbul bila ada kelompok masyarakat
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul secara intensif
dalam jangka waktu yang lama, sehingga lambat laun kebudayaan asli mereka akan
berubah sifat dan wujudnya membentuk kebudayaan baru sebagai kebudayaan
campuran.
d. Akulturasi adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok
masyarakat manusi dengan suatu kebudayaan tertentu diharapkan dengan unsur-
unsur dari suatu kebudyaan asing sedemikian rupa sehingga lambat laun unsur-
unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri.
2. Interaksi sosial yang bersifat disosiatif, yakni mengarah pada bentuk-bentuk
pertentangan atau konflik seperti persaingan, kontroversi, konflik.
a. Persaingan adalah suatu perjuangan yang dilakukan perorangan atau
kelompok sosial tertentu, agar memperoleh kemenangan atau hasil secara
kompetitif, tanpa menimbulkan ancaman atau benturan fisik di pihak lawannya
b. Kontroversi adalah bentuk proses sosial yang berada diantara persaingan
atau konflik. Wujud kontroversi antara lain sikap tidak senang, baik secara
16
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
tersembunyi maupun secara terang-terangan yang ditujukan terhadap perorangan
atau kelompok atau terhadap unsur-unsur kebudayaan golongan tertentu. Sifat
tersebut dapat berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai menjadi
pertentangan atau konflik. Konflik adalah proses sosial antar perongan atau
kelompok masyarakat tertentu, akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan
yang sangat mendasar, sehingga menimbulkan adanya semacam gap atau jurang
pemisah yang mengganjal interaksi sosial diantara mereka yang bertikai tersebut
2.3 Konsep Gangguan Jiwa
2.3.1 Definisi Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami
gangguan dalam pikiran,perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk
sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia ( UU.RI No.18, 2014)
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seseorang
yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik,
perilaku, biologic, dan gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara
orang itu tetapi juga dengan masyarakat
2.3.2 Klasifikasi Gangguan Jiwa
Klasifikasi gangguan jiwa telah mengalami berbagai penyempurnaan mulai
PPDGJ 1 sampai PPDGJ III, sebagian menganut klasifikasi ICD (International
Classification of Desease), DSM (Data Statistic of Mental Disorder), ataupun NIC-
17
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
NOC. Indonesia sendiri menggunakan PPDGJ, pengelompokan diagnosis
menggunakan pendekatan ateoritik dan deskriptif (Maslim,2002).
Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007 (Keliat,2009) secara umum
gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
1. Gangguan jiwa berat dalam kelompok psikososial
2. Gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang
berupa kecemasan, panik, gangguan alam perasaan dan sebagainya
2.3.3 Faktor Yang Menyebabkan Gangguan Jiwa
Gejala yang paling utama pada gangguan jiwa terdapat pada unsur kejiwaan,
biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi terdapat beberapa penyebab
dari beragai unsur yang saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu
muncul gangguan kejiwaan.
Menurut Maramis 2010 dalam Buku Ajar Keperawatan Jiwa, sumber
penyebab gangguan jiwa dapat dibedakan atas :
1. Faktor Somatik (Somatogenik),yaitu akibat gangguan pada neuroanatomi,
neurofisiologi,dan nerokimia, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan
organik, serta faktorpranatal dan perinatal.
2. Faktor Psikologik (Psikogenik), yaitu keterkaitan interaksi ibu dan anak, peranan
ayah,persaingan antara saudara kandung, hubungan dalam keluarga,pekerjaan,
permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosi,
konsep diri, dan pola adaptasi juga akan mempengaruhi kemampuan untuk
menghadapi masalah. Apabila keadaan tersebut kurang baik, maka dapat
menyebabkan kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa bersalah yang berlebihan.
18
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
3. Faktor Sosial Budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh
anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok minoritas yang meliputi
prasangka, fasilitas kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta
pengaruh mengenai keagamaan
Sedangkan Menurut Faris tahun 2016 faktor-faktor penyebab gangguan jiwa
diantaranya :
a. Usia
Pada usia menginjak dewasa,dimana pada usia ini merupakan usia yang
produktif, dimana seseorang dituntut untuk menghadapi dirinya sendiri
secara mandiri, masalah yang dihadapi juga semakin banyak, bukan hanya
masalah dirinya sendiri tetapi juga harus memikirkan anggota keluarganya.
b. Tidak Bekerja
Tidak mempunyai pekerjaan mengakibatkan seseorang tidak
mempunyai penghasilan dan gagal dalam menunjukan aktualisasi dirinya,
sehingga seseorang tidak bekerja tdak mempunyai kegiatan dan
memungkinkan mengalami harga diri rendah yang berdampak pada
gangguan jiwa.
c. Kepribadian yang tertutup
Seseorang yang memiliki kepribadian tertutup cenferung menyimpan
permasalahannya sendiri sehingga masalah yang dihadapi akan semakin
menumpuk. Hal ini yang membuat seseorang tidak bisa menyelesaikan
permasalahan dan enggan mengungkapkan sehingga menimbulkan depresi
dan mengalami gagguan jiwa.
19
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
d. Putus Obat
Pada beberapa penelitian menunjukan bahwa seseorang dengan
gangguan jiwa harus minum obat seumur hidup, terkadang klien merasa
bosan, dan kurang pengetahuan akan menghentikan minum obat dan merasa
sudah sembuh.
e. Pengalaman yang tidak menyenangkan
Pengalaman tidak menyenangkan yang daialami misalnya adanya
aniaya seksual, aniaya fisik, dikucilkan oleh masyarakat atau kejadian lain
akan memicu seseorang mudah mengalami ganguan jiwa
f. Konflik dengan teman atau keluarga
Seseorang yang memepunyai konflik dengan keluarga misalnya karena
harta warisan juga dapat membuat seseorang mengalami gangguan jiwa.
Konflik yang tidak terselesaikan dengan teman atau keluarga akan memicu
stressor yang berlebihan. Apabila seseorang mengalami stressor yang
berlebihan namun mekanisme kopingnya buruk, maka kemungkinan besar
sesorang akan mengalami gangguan jiwa.
2.4 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan gangguan jiwa menurut
Maramis tahun 2010 diantaranya :
1. Normal dan Abnormal
Abnormal berarti menyimpang dari yang normal. Sesuatu dikatakan
abnormal apabila terdapat suat norma, dan seseorang tersebut telah menyimpang
dari batas-batas norma
20
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
2. Gangguan Kesadaran
Kesadaran merupakan kemampuan individu dalam mengadakan
pembatasan terhadap lingkungannya serta dengan dirinya sendiri (melalui panca
inderanya).apabila kesadaran tersebut baik maka orientasi (waktu, tempat, dan
orang) dan pengertian yang baik serta pemakaian informasi yang masuk secara
efektfif (melalui ingatan dan pertimbangan). Kesadaran menurun adalah suatu
keadaan dengan kemampuan persepsi, perhatian dan pemikiran yang berkurang
secara keseluruhan (secara kwantitatif). Kesadaran yang berubah atau tidak normal
merupakan kemampuan dalam mengadakan hubungan dengan dunia luar dan
dirinya sendiri sudah terganggu dalam taraf tidak sesuai kenyataan.
3. Gangguan Ingatan
Ingatan berdasarkan tiga proses yaitu, pencatatan atau regristasi (mencatat
atau meregristasi sesuatu pengalaman didalam susunan saraf pusat); penahanan atau
retensi (menyimpan atau menahan catatan tersebut) ; dan pemanggilan kembali atau
“recall” (mengigat atau mengeluarkan kembali catatan itu). Gangguan ingatan
terjadi apabila terdapat gangguan pada salah satu atau lebih dari ketiga unsur diatas.
4. Gangguan Orientasi
Gangguan orientasi atau Disorientasi timbul sebagai akibat gangguan
kesadarandan dapat menyangkut waktu, tempat, atau orang. Gangguan Afek dan
Emosi. Afek ialah nada perasaan, menyenangkan atau tidak (seperti kebanggan,
kekecewaan, kasih sayang) yang menyertai suatu pikiran dan biasanya
bermanifestasi afek ke luar dan disertai oleh banyak komponen fisiologik. Emosi
adalah manifestasi fek ke luar dan dsertai oleh banyak komponen fisiologi dan
berlansung relatif tidak lama. Seseorang dikatakan telah mengalami gangguan afek
21
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
atau emosi yaitu dapat berupa depresi, kecemasan, eforia, anhedonia, kesepian,
kedangkalan, labil, dan ambivalensi.
5. Gangguan Psikomotor
Psikomotor merupakan gerakan badan yang dipengaruhi oleh keadaan jiwa,
gangguan psikomotor dapat berupa :
a. Hipokinesia atau hipoaktivitas : gerakan atau aktivitas berkurang
b. Stupor Katatonic : reaksi terhadap lingkungan sangat berkurang, gerakan
dan aktivitas menjadi sangat lambat.
c. Katalepsi : mempertahankan posisi tubuh secara kaku posisi badan
tertentu.
d. Fleksibilitas serea : memetahankan posisi badan yang dibuat padanya
oleh orang lain.
e. Hiperkinesia : pergerakan atau aktivitas yang berlebihan
f. Gaduh gelisah katatonik : aktivtas motorik yang kelihatannya tidak
bertujuan, yang berkali-kali dan seakan-akan tidak dipengaruhi oelh
rangsangan dari luar
g. Berisikap aneh : dengan sengaja mengambil sikap atau posisi badan yang
tidak wajar
h. Grimas : mimik yang aneh dan berulang-ulang
i. Stereotype : gerakan salah satu anggota badan yang berkali-kali dan tidak
bertujuan.
2.5 Peran Perawat dalam Merawat Pasien Gangguan Jiwa
Dalam merawat pasien gangguan jiwa membutuhkan tenaga yang ekstra
1. Memberikan Asuhan Keperawatan Jiwa
22
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
Memberikan asuhan keperawatan jiwa kepada pasien merupakan
kompetensi yang dilakukan perawat RSJ terdiri dari tahapan asuhan keperawatan
dan format dokumentasi askep. Tahapan dalam memberikan asuhan keperawatan
meliputi pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Pengkajian yang
dilakukan dibedakan berdasarkan lokasi pasien dirawat, seperti pengkajian untuk
pasien gangguan jiwa dewasa, NAPZA, anak atau geriatric. Aspek yang dikaji
meliputi alasan masuk, predisposisi, presipitasi, psikososial, status mental,
mekanisme koping dan kebutuhan persiapan pulang. Seperti yang dinyatakan oleh
informan di bawah ini. Perencanan asuhan keperawatan dilakukan secara manual
berdasarkan 10 standar asuhan keperawatan yang meliputi masalah keperawatan
Halusinasi, Waham, Isolasi Sosial, Harga Diri Rendah, Resiko Bunuh Diri, Perilaku
Kekerasan, Defisit perawatan Diri: Mandi, Makan, Eliminasi, Berhias.
2. Melaksanakan Standar Prosedur Operasional
Perawat di RSJ menjalankan sejumlah SPO dalam merawat pasien
gangguan jiwa. Beberapa jenis SPO menjadi wajib untuk dipahami dan dijalankan
seluruh perawat melalui proses sosialisasi secara bertahap dari kepala ruangan ke
perawat ruangan. SPO yang sudah tersedia meliputi SPO tentang pengisian format
dokumentasi keperawatan dan ditambahkan SPO sesuai dengan kebutuhan
akreditasi rumah sakit dan saat ini sedang dikembangkan SPO untuk keamanan
pasien dan perawat.
3. Melakukan Terapi Modalitas Keperawatan Jiwa
Kompetensi melaksanakan terapi modalitas keperawatan disampaikan
berdasarkan jenis, pelaksana, waktu, fasilitas, tempat dan metode. Jenis yang paling
23
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
sering dilaksanakan adalah Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) dengan berbagai
topik dan Pendidikan Kesehatan Keluarga di Rumah Sakit (PKRS) dan di
masyarakat. Kedua jenis terapi modalitas tersebut dilakanakan baik oleh perawat
ruangan maupun mahasiswa perawat yang telah terjadwal secara rutin. Fasilitas
pendukung untuk kedua terapi modalitasi ini sudah cukup memadai seperti adanya
SPO, format dokumentasi, leaflet dan alat terapi. TAK dilaksanakan di ruangan
maupun ruang rehabilitasi, sementara PKRS dilakukan di ruang yang terdapat
keluarga diijinkan untuk menunggu seperti rawat jalan, ruang akut dan juga di
lingkungan masyarakat yang menjadi wilayah kerja RSJ. Metode yang
dikembangkan dalam pemberian terapi modalitas berdasarkan tujuan, modifikasi
cara, tahapan dan bentuk terapi. TAK dapat diberikan dengan tujuan menciptakan
lingkungan yang terapeutik atau mengajarkan life skill pada pasien, sehingga
bentuk kegiatan TAK di modifikasi untuk mencapai tujuan dan diberikan bertahap
sesuai dengan kemampuan yang dicapai oleh pasien.
2.6 Konsep Keluarga
2.6.1 Pengertian Keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan
langsung pada setiap keadaan sehat maupun sakit pada klien. Keluarga berperan
dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan
perawat di rumah sakit dapat siasia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian
mengakibatkan klien harus dirawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak
awal asuhan di rumah sakit akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat
klien di rumah, sehingga kemungkinan kekambuhan dapat dicegah (Videbeck,
2008).
24
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat, ia memiliki peran serta
dalam proses kesembuhan pasien skizofrenia. Sangat penting maknanya dalam
memberikan asuhan, tempat pertama kali pasien belajar dan mengembangkan nilai,
keyakinan, sikap dan perilakunya. Beberapa studi menunjukan bahwa program
perawatan penderita skizofrenia yang melibatkan peran serta aktif keluarga secara
signifikan dapat mengurangi angka kekambuhan skizofrenia. Kombinasi terapi
akan efektif jika disertai dengan dukungan keluarga sehingga dapat mengurangi
angka kekambuhan dibandingkan jika hanya dengan terapi medikamentosa saja
(Ibrahim, 2005).
Tugas keluarga menurut Effendy (2009) menyatakan bahwa keluarga
mempunyai fungsi dalam merawat anggotanya yang sakit hal ini menandakan
bahwa keluarga memiliki peran yang besar dalam upaya pemberian asuhan
keperawatan kepada anggota keluarganya terutama anggota keluarga yang
mengalami kondisi yang tidak baik atau mengalami keterbatasan.
2.6.2 Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) meliputi fungsi afektif, fungsi
sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomis, dan fungsi perawatan kesehatan.
Berikut ini dijabarkan kaitan beberapa fungsi keluarga dengan kepatuhan anggota
keluarga yang mengalami skizofrenia.
1. Fungsi Afektif
Melalui pelaksanaan fungsi ini, keluarga menjalankan tujuan psikososial
yang utama yaitu kemampuan stabilitas kepribadian dan tingkah laku, kemampuan
menjalin hubungan akrab dan harga diri (Friedman, 1998). Untuk mencapai
kepatuhan pada pasien skizofrenia, fungsi afektif harus dipenuhi dengan cara
25
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
menghindari paksaan, membujuk dengan penuh kasih sayang, mendampingi saat
anggota keluarga menjalani pengobatan dan memberikan penghargaan pada pasien
akan kepatuhan.
2. Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi ini bertujuan untuk mengembangkan peran sosial anak di
dalam lingkungan sekitar . Keluarga dengan anggota keluarga mengalami
skizofrenia diharapkan dapat membantu klien skizofrenia agar mampu melakukan
hubungan sosial baik di dalam lingkungan keluarga itu sendiri maupun di luar
lingkungan seperti berinteraksi dengan tetangga sekitarnya, berbelanja,
memanfatkan transportasi umum ataupun melakukan interaksi dalam kelompok
yang ada di wilayah tempat tinggalnya (Utami, 2008).
3. Fungsi Ekonomi
Kemampuan keluarga untuk mengalokasikan sumber-sumber untuk
memenuhi kebutuhan seperti sandang, pangan, papan dan perawatan kesehatan
yang memadai merupakan suatu persfektif tentang sistim nilai keluarga itu sendiri.
Salah satu beban yang dialami oleh keluarga dengan skizofrenia adalah beban
ekonomi yang harus dikeluarkan untuk pengobatan dan terapi pasien skizofrenia.
Kemampuan keluarga juga harus mendukung anggota keluarga untuk
memanfaatkan sumber-sumber finansial yang tersedia baik dari keluarga itu sendiri
maupun pemerintah seperti jaminan kesehatan masyarakat agar pengobatan klien
tetap berkelanjutan.
4. Fungsi Reproduksi
Keluarga berfungsi untuk meneruskan kelangsungan dan menambah
sumber daya manusia. Dengan adanya program keluarga berencana maka fungsi ini
26
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
sedikit terkontrol. Di sisi lain, banyak kelahiran yang tidak diharapkan atau di luar
ikatan pernikahan sehingga lahirlah keluarga baru dengan satu orang tua.
5. Fungsi Perawatan Kesehatan Keluarga
Kekambuhan pasien skizofrenia sangat berhubungan dengan kemampuan
keluarga menjalankan fungsi ini. Perawatan yang berkesinambungan melalui
kontrol secara teratur dengan menggunakan fasilitas pelayanan terdekat akan
mengurangi angka kekambuhan bagi pasien skizofrenia. Memberikan pendidikan
kesehatan pada keluarga tentang tujuan dan efek samping terapi psikofarmaka akan
memudahkan keluarga untuk mencapai kepatuhan pasien. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa menambahkan pengetahuan tentang terapi psikofarmaka
pada terapi psikososial.
27
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
2.6.3 Peran Keluarga
Murty (2003) menyebutkan bahwa peran keluarga dalam merawat pasien
skizofrenia terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, keluarga harus mampu melihat
kebutuhan- kebutuhan klien dan mempertahankan kekohesifan dalam keluarga
dengan cara belajar keterampilan merawat klien, memenuhi kebutuhan istirahat dan
kebutuhan emergensi disaat krisis, serta memberi dukungan emosional. Kedua,
keluarga harus mampu memberikan dukungan finansial untuk perawatan klien dan
terlibat dalam kelompok yang dapat memberikan bantuan seperti terapi suportif.
Ketiga, keluarga harus mengembangkan hubungan secara benar untuk membantu
klien skizofrenia merubah sikap dan keterampilan pada keluarga akan menurunkan
angka kekambuhan (Mc Gaslan, 1994; Huxlery, Rendal, & Sederer, 2000 dalam
Frisch & Frisch 2006)
2.7 Konsep Teori Roy
Dalam asuhan keperawatan, menurut Roy yang berfokus pada adaptasi
manusia. Konsep-konsepnya mengenai keperawatan manusia, kesehatan, dan
lingkungan saling berhubungan dengan adaptasi sebagai konsep sentralnya.
Manusia mengalami stimulus lingkungan secara terus-menerus. Pada akhirnya,
manusia memberikan respon dan adaptasi pun terjadi. Respons ini dapat berupa
respons adaptif ataupun respons inefektif. Respons adaptif meningkatkan integritas
dan membantu manusia dalam mencapai tujuan adaptasi, yaitu untuk bertahan
hidup, tumbuh, berkembangbiak, menguasai, serta transformasi seseorang dan
lingkungannya. Respons inefektif gagal meraih tujuan adaptasi tersebut atau
bahkan mengancam pencapaian tujuan. Keperawatan memiliki tujuan yang unik
untuk membantu upaya adaptasi seseorang dengan mengelola lingkunganya.
28
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
Hasilnya adalah pencapaian tingkat kesejahteraan optimal seseorang (Alligood,
2017). Sebagai suatu sistem terbuka, manusia menerima input atau stimulus baik
dari lingkungan atau dalam diri sendiri. Tingkat adaptasi ditentukan oleh
kombinasi efek stimulus fokal, konstektual, dan residual. Adaptasi terjadi pada saat
seseorang berespon secara positif terhadap lingkungan. Respons adaptif ini
meningkatkan integritas seseorang, yang akan membawanya menuju sehat. Di sisi
lain, respons inefektif akan mengarah pada gangguan integritas seseorang
(Alligood, 2017).
Sistem terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan balik.
A. Input
Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan kesatuan
informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan
respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu :
1. Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang,
efeknya segera, misalnya infeksi.
2. Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik
internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi,
diukur dan secara subyektif dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan
dimana dapat menimbulkan respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia,
isolasi sosial.
3. Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi
yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi kepercayan, sikap, sifat individu
berkembang sesuai pengalaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk
29
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
toleransi. Misalnya pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada
yang tidak.
B. Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme koping yang di
gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan kognator yang
merupakan subsistem.
1. Subsistem regulator
Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen : input-proses dan output.
Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter regulator sistem adalah
kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural dan brain sistem
dan spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem.
Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator subsistem.
2. Subsistem kognator
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal. Perilaku
output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk kognator
subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan dengan fungsi otak dalam
memproses informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi
berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan
mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan)
dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan
keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau analisa.
Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan
penilaian dan kasih sayang.
30
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
Dalam memelihara integritas seseorang, regulator dan kognator subsistem
diperkirakan sering bekerja sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem
adaptasi dipengaruhi oleh perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan
mekanisme koping. Penggunaan mekanisme koping yang maksimal
mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus
agar dapat berespon secara positif. Untuk subsistem kognator, Roy tidak membatasi
konsep proses kontrol, sehingga sangat terbuka untuk melakukan riset tentang
proses kontrol dari subsitem kognator sebagai pengembangan dari konsep adaptasi
Roy.
Selanjutnya Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai sistem
adaptasi dengan menetapkan sistem efektor, yaitu 4 mode adaptasi meliputi
fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.
a) Mode Fungsi Fisiologi
Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya. Roy
mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus dipenuhi untuk
mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua bagian, mode fungsi fisiologis
tingkat dasar yang terdiri dari 5 kebutuhan dan fungsi fisiologis dengan proses yang
kompleks terdiri dari 4 bagian yaitu:
1. Oksigenasi : Kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya, yaitu ventilasi,
pertukaran gas dan transpor gas.
2. Nutrisi : Mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk mempertahankan
fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti jaringan yang injuri.
3. Eliminasi : Yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal dan ginjal.
31
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
4. Aktivitas dan istirahat : Kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik dan istirahat
yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi fisiologis dalam memperbaiki dan
memulihkan semua komponen-komponen tubuh.
5. Proteksi/perlindungan : Sebagai dasar defens tubuh termasuk proses imunitas
dan struktur integumen ( kulit, rambut dan kuku) dimana hal ini penting sebagai
fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan perubahan suhu.
b) Mode Konsep Diri
Mode konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan penekanan spesifik pada
aspek psikososial dan spiritual manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini
berhubungan dengan integritas psikis antara lain persepsi, aktivitas mental dan
ekspresi perasaan. Konsep diri menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the
physical self dan the personal self.
1. The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya berhubungan
dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Kesulitan pada area ini sering
terlihat pada saat merasa kehilangan, seperti setelah operasi, amputasi atau hilang
kemampuan seksualitas.
2. The personal self, yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral- etik
dan spiritual diri orang tersebut. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut
merupakan hal yang berat dalam area ini.
c) Mode Fungsi Peran
Mode fungsi peran mengenal pola-pola interaksi sosial seseorang dalam
hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran primer, sekunder
dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat memerankan dirinya
dimasyarakat sesuai kedudukannya.
32
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
d) Mode Interdependensi
Mode interdependensi adalah bagian akhir dari mode yang dijabarkan oleh Roy.
Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan menerima cinta/ kasih sayang,
perhatian dan saling menghargai.Interdependensi yaitu keseimbangan antara
ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya.
Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain.
Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan tindakan
bagi dirinya. Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan antara dua nilai
ekstrim, yaitu memberi dan menerima.
C. Output
Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat di amati, diukur atau secara
subyektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam maupun dari luar . Perilaku ini
merupakan umpan balik untuk sistem. Roy mengkategorikan output sistem sebagai
respon yang adaptif atau respon yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat
meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila
seseorang tersebut mampu melaksanakan
33
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
2.7.1 Kerangka Konsep Teori Roy
Gambar 2.1 Kerangka Teori Adaptasi Roy (Alligood, 2017)
2.8 Keaslian Penelitian
Pencarian jurnal dalam penelitian ini menggunakan kata kunci “beban pengasuhan”
dan “gangguan jiwa ” atau “caregiver burden” dan “mental disorder” dan “pola
interaksi” atau “communication pattern” pada database Scopus dan publisher
terkait, Science Direct, repository Universitas Airlangga, situs Neliti, Journal of
Universitas Airlangga serta e-resources Perpustakan Nasional Republik Indonesia.
Tabel. 2.1 Keaslian penelitian hubungan beban pengasuhan dengan pola interaksi
keluarga ODGJ di rumah
No JudulArtikel;
Penulis; Tahun Metode Hasil
1 Penurunan Beban
Dan Peningkatan
Kemampuan
Merawat Keluarga
Dengan Klien
Halusinasi Melalui
Family
Psychoeducation
(Wardaningsih, Keliat, & Susanti,
2008)
D : Quasi Eksperimen
S: Simple Random sampling
V : beban dan kemampuan
keluarga
I : Kuesioner Caregiver
Strain Index dan Modul
intervensi Family
Psychoeducation
A :
Hasil penelitian mengindikasikan bahwa
klien yang mendapatkan terapi individu
dan medis serta keluarga mereka yang
mendapatkan family psychoeducation ini
kemungkinan kekambuhannya adalah
15%, sedangkan yang hanya mendapatkan
terapi medis dan individu saja
kemungkinan kambuh 30–40%.
Disimpulkan juga bahwa Family Psychoeducation dapat meningkatkan
kesejahteraan keluarga serta menurunkan
beban subyektif keluarga
2
Quality of life in
family caregivers of
schizophrenia
patients in Spain
Unpaired t-tests : compare
differences between groups.
Pearson’s correlations :
bivariate association
Family APGAR and Escala de Apoyo
Profesional showed higher QoL. Many of
these variables made a unique
contribution in the multivariate analysis
34
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
No JudulArtikel;
Penulis; Tahun Metode Hasil
caregiver
characteristics,
caregiving burden,
family functioning,
and social and
professional support
(Ribé et al., 2017)
between variables. To
assess the unique
contribution in predicting
QoL : multivariate linear
regression
3 Quality of Life,
Stigma and Burden
Perception Among
Family Caregivers
and Patients with
Psychiatric Illnesses
in Jordan; (Dalky,
Qandil, Sh, & Meininger, 2017)
D : Descriptive
correlational
S : Purposive sampling
V :
1. Quality of Life
2. Stigma
3. Burden Perception
I : Arabic Stigma-Devaluation Scale (SDS),
Arabic Caregiver Strain
Index (Robinson), and
Arabic WHOQOL-BREF
A : multivariate regression
Family caregivers perceived low to
moderate QOL. Patients’ and family
caregivers’ stigma perception correlated
negatively and significantly with
WHOQOL-BREF. Family caregiv ers’
burden correlated negatively and
significantly with all domains of
WHOQOL-BREF
4 Penyesuaian Diri
Caregiver Orang
Dengan Skizofrenia;
(Ambarsari & Sari,
2012)
D : Kualitatif
S : Purposive Sampling
V : Penyesuaian diri
I : Wawancara mendalam
A : -
Responden memiliki beban pribadi dan
sosial sebagai pengasuh penderita
skizofrenia. Beberapa faktor juga
mempengaruhi keberhasilan pengasuh
penderita skizofrenia dalam proses
penyesuaian diri yang positif. Faktor
internal yang terkena dampak adalah perkembangan kedewasaan emosional,
intelektual dan spiritual, fisik dan status
psikologis. Faktor eksternal yang terkena
dampak adalah lingkungan, baik itu
lingkungan keluarga atau masyarakat
5 Perceived Stress in
Family Caregivers of
Individuals With
Mental Illness
(Masa’Deh, 2017)
D : Descriptive comparative
S : Convenience sampling
V :
1. Total Stress level
2. Time of diagnosis
I : Questionaire, Arabic
Version of the Perceived
Stress Scale 10-Item A : Pearson product-
moment correlation
coefficien, One-way
analysis of variance
A significant difference was found in PSS-
10 levels among family caregivers
according to gender, diagnosis of their
family member, and time since diagnosis.
Female caregivers reported sig- nificantly
higher stress levels than male caregivers.
Family members of individu- als with
schizophrenia reported the highest stress levels (p < 0.001). Also indicated that
there was a significant negative
correlation between PSS-10 levels of
family caregivers and time since
diagnosis
6 Effect of living with
patients on caregiver
burden of individual
D : Descriptive comparative
S : purposive sampling
V :
1. Patient symptoms
Caregiver burden was greater among
caregivers living with patient kin on three
factors, caregiver distress, disrupted
routines and assistance provided by
35
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
No JudulArtikel;
Penulis; Tahun Metode Hasil
with schizophrenia in
China;
(Zhou et al., 2016)
2. Insight
3. Psychological
distress
4. Attitude toward
medication
5. Quality of life
6. Caregiver burden
I : Positive and Negative
Syndrome Scale (PANSS), Insight and Treatment
Attitudes Questionnaire
(ITAQ), self-reported
Symptom Checklist 90
(SCL-90), Drug Attitude
Inventory (DAI), Short-
Form Health Survey (SF-
36), Family Experience
Interview Schedule (FEIS)
A : two sample independent
t-tests for continuous
variables and Chi-square tests for categorical
variables., analysis of
covariance (ANCOVA) :
compare burden factors
between the cohabiting and
living apart patient-
caregiver groups, t-test and
one-way analysis of
variance (ANOVA) :
relationship between
burden factors and categorical patient and
caregiver characteristics,
linear regression :identify
associations of each burden
factor in order to identify
measures that might
account for observed
differences in family burden
caregivers, but not on caregiver
perceptions of behavioral problems or
suicidality. Multiple regression analysis
showed that living with
caregiver explained 6.7%, 8.3% and 6.7%
of the variance in distress, disrupted
routines and helpfulness. Living with a
patient was by far the strongest correlate
of increased burden experienced by schizophrenia caregivers in this study and
these caregivers should be offered
community-based support
7 Comparison of
Caregiver Burden in
First Episode Versus
Chronic Psychosis;
(Sagut & Çetinkaya Duman, 2016)
D : descriptive comparative
S : purposive sampling
V :
1. Dependence burden
2. Development burden 3. Physical burden
4. Social burden
5. Emotional burden
I : Caregiver Burden
Inventory
A : For categorical data,
chi-square and Fisher's
exact test were used, while t-
test for independent groups
: numerical data
conforming to normal
There was a significantly higher level of
burden in termsof time dependence,
development, physical burden, and social
burden in caregivers of patientswith
chronicpsychosis than in caregivers of patients with first episode psychosis,
while no such difference could be detected
for the emotional burden. The absence of
a difference in emotional burden suggests
that caregivers offirst episode
psychosismay begoing throughanintense
emotional experience, placing a high-risk
status, despite an average caregiving
experience duration of 11months
significantly more likely to report
symptoms of depression whilst those who
36
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
No JudulArtikel;
Penulis; Tahun Metode Hasil
distribution. T-test for
independent groups :
comparison of the burden
scores between care- givers
of patients with first episode
psychosis or chronic
psychosis
cared for their son/daughter were less
likely to be associated with symptoms of
depression. Primary caregivers who had
lower education, were living with others,
were single or divorced/ separated, were
unemployed and with higher FIS scores
were associated with lower QOL domain
scores. Those with symptoms of
depression were significantly associated with low QOL across all four domains,
whilst those with symptoms of anxiety
were significantly associated with low
QOL in the social relationships domain
8 Caregiver’s quality of
life and its positive
impact on
symptomatology and
quality of life of
patients with
schizophrenia
(Caqueo-Urizar et al.,
2017)
D : cross-sectional study,
corelation
S : purposive sampling
V :
1. Patient’s quality of
life
2. Pationt’s ilness
3. Schizophrenia
caregiver quality of life
I : Schizophrenia quality of
life questionnaire
(SQoL18), Positive and
negative syndrome scale for
schizophrenia (PANSS),
Schizophrenia caregiver
quality of life questionnaire
(S-CGQoL).
A : Spearman’scorrelation
tests, Multiple linear regression,
The caregivers’ QoL was not significantly
associated with the patients’ QoL, except
for one QoL dimension about relationship
with family (Beta = 0.23). Among
patients’ characteristics, being a woman
and Aymara, having lower educational
level, unemployment and severity of
symptoms was significantly associated to
a lower QoL. The SEM revealed a moderate significant association between
caregivers’ QoL and psychotic symptoms
severity (path coefficient = −0.32) and a
significant association between psychotic
symptoms severity and patients QoL (path
coefficient = −0.40). The indirect effect of
caregivers’ QoL on patients’ QoL was
significant (mediated effect coefficient =
0.13)
9 Economic Burden of
caregiving for
persons with severe
mental illness in
subharan Africa : A
Systematic Review
D : case study
S : Purposive Sampling
V : Economic burden of
caregiving and severe
mental illness in subharan
africa
I : Semi structured review
A : Extracted data were then
entered and analysed in
Microsoft Excel 2016. We
employed qualitative
methods in synthesising the data extracted. The
extracted data were
critically appraised
qualitatively under two
main headings: the
characteristics of studies
and the economic burden of
caregivers of persons with
severe mental illness
The systematic search identified 1105
papers : after the deletion of duplicates,
939 remained of which 917 were
excluded after initial screening because
they did not satisfy the inclusion criteria
of the study. Studies that did not address
mental illness but that were conducted in
a SSA country were also excluded. Of the
22 studies whose full-text articles were
assessed for eligibility, seven (n-7) were
included for the review
37
IR – PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SKRIPSI HUBUNGAN BEBAN PENGASUHAN ODGJ YOSEFIN K N
No JudulArtikel;
Penulis; Tahun Metode Hasil
10
Religion involvement
and quality of life in
caregivers of patients
with schizophrenia in
Latin-America
(Caqueo-Urízar et al.,
2016)
D : confirmatory cross-
sectional study
S : purposive sampling
1. Religious
Involvement
2. Caregiver Quality
of Life
I : Religious Involvement (RI) was assessed with a
semistructured interview
administered,
Schizophrenia Caregiver
Quality of Life
Questionnaire (s- CGQoL)
A : A multivariate analysis
using multiple linear
regressions
Caregivers’ RI was not significantly
associated with overall QoL nor its
individual components. The only
exception was an unexpected modest
inverse association between RI and one
QoL dimension (psychological and
physical well-being). In contrast, the
following caregivers’ socio-cultural and economic factors were significantly
associated with low QoL level of
caregivers: being a mother, identifying
with Aymara ethnicity and having lower
family income. Among patients, the
clinical characteristics of being woman,
younger, and having lower age of onset
and more severe symptoms was
associated with lower QoL. Our study
found that socio-cultural, economic and
clinical factors were associated with
caregivers’ QoL.
11.
The Relationship
between family
communication
patterns and mental
health (Maryam.Mina.,
2013)
D : Descriptive Study
S : A Cluster Random
Sampling
V : Family communication
pattern and Mental health I : Tools of communication
patterns (Fitzpark &
Ritchie, 1994 ; cited in
Koerner & Fitzpatrick,
2002)
A : General health
questionnaire has been
invented by Goldberg
(1972) and it has been
aimed to design, discover
and identify mental disorder
in several centers and environments. The
questions of this
questionnaire investigate
the mental status of an
individual during the past
month and it includes
symptoms such as abnormal
GHQ.
The results of the table revealed that there
is a significant relationship between
mental health and communication
patterns. Thes two variables should be
investigated separately together with other issues. Former studies on family
communication patterns and indicators of
mental health show that there is a
negative relationship between conformity
orientation and depression