BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Baja Karbon
Baja karbon merupakan paduan antara besi (Fe) dan karbon (C) dengan
sedikit unsur tambahan berupa belerang, fosfor, mangan dan silikon.Baja karbon
mempunyai kandungan karbon maksimal sebesar 1,7%. Sifat baja karbon tergantung
pada besarnya kadar karbon, semakin tinggi kadar karbonnya maka kekuatan dan
kekerasannya akan semakin tinggi, karena itu baja ini dapat dikelompokkan
berdasarkan kadar karbonnya. Berdasarkan kegunaannya ataupun kepentingan
pabrikasi dan disesuaikan berdasarkan standar ASTM (American Society for Testing
and Material) paduan besi (Fe) –karbon (C) merupakan unsur utama pembentuk
baja. Disamping itu baja juga bisa mengandung unsur campuran lain yang disebut
paduan, misalnya karbon (C), sulfur (S), posfor (P), silikon (Si) dan mangan (Mn)
yang jumlahnya dibatasi. Berdasarkan kandungan karbonnya baja terbagi menjadi
menjadi tiga macam, yaitu :
1. Low carbon steel (C<0,3%)
Baja karbon rendah (low carbon steel) mempunyai kandungan
karbon kurang dari 0,3%C sehingga bukan tergolong baja yang keras. Baja
karbon rendah mempunyai kemungkinan kecil untuk dapat dikeraskan
karena kandungan karbonnya tidak cukup untuk membentuk struktur
martensite.
2. Medium carbon steel (0,3<0,6C%)
Baja karbon sedang (medium carbon steel) yang memiliki
kandungan karbon sebesar 0,3%C –0,6%C sehingga mempunyai
kemungkinan untuk dapat dilakukan pengerasan dengan menggunakan
perlakuan panas yang sesuai.
3. High carbon steel (0,6–1,7%C)
Baja karbon tinggi (High carbon steel) mempunyai kandungan
karbon sebanyak 0,6%C –1,7%C sehingga memiliki sifat mekanik yang
tinggi namun keuletannya rendah. Berkebalikan dengan baja karbon rendah,
pengerasan dengan menggunakan laku panas tidak terlalu berpengaruh
dikarenakan banyak terdapat martensite yang membuat baja akan semakin
getas.
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
6
Pemilihan baja AISI 1020 karena baja ini banyak dipakai dalam pembuatan
komponen-komponen permesinan dan mudah diperoleh di pasaran. Data-data yang
dapat diperoleh dari baja AISI 1020 (matweb.com, 2016) adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Komposisi material gear spraket
Nama unsur Nama Material
Gear spraket ( Baja AISI 1020 )
Karbon ( C ) ( 0,20 - 0,30 )%
Silikon ( Si ) ( 0,15 - 0,35 )%
Mangan ( Mn ) ( 0,50 - 0,70 )%
Pospor ( P ) ( 0,035 )%
Sulfur ( S ) ( 0,035 )%
Nikel ( Ni ) ( 1,40 - 1,70 )%
Chromium ( Cr ) ( 0,90 - 1,40 )%
Molybdenum ( Mo ) ( 0,20 - 0,30 )%
Tabel 2.2 Sifat mekanik Baja AISI 1020
AISI 1020 diberi nama menurut standar American Iron and Steel Institude
(AISI) dimana angka 1xxx menyatakan baja, angka 10xx menyatakan jenis baja,
sedangkan angka 20 menyatakan kadar kandungan karbon dalam seperseratus persen
(0,20%). Jadi dapat disimpulkan bahwa material SAE AISI 1020 merupakan baja
karbon dengan kandungan karbon 0,20%.
2.1.2 Heat Treatment
Proses perlakuan panas (Heat Treatment) adalah suatu proses mengubah
sifat logam dengan cara mengubah struktur mikro melalui proses pemanasan dan
pengaturan kecepatan pendinginan dengan atau tanpa merubah komposisi kimia
logam yang bersangkutan. Tujuan proses perlakuan panas untuk menghasilkan sifat-
sifat logam yang diinginkan. Perubahan sifat logam akibat proses perlakuan panas
dapat mencakup keseluruhan bagian dari logam atau sebagian dari logam.
Nama Satuan
Tensile strength 420 Mpa
Yield strength 350 Mpa
Elongation 15 %
Modulus elastisitas 200 Gpa
hardness 111 HB
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
7
Adanya sifat alotropik dari besi menyebabkan timbulnya variasi struktur
mikro dari berbagai jenis logam. Alotropik itu sendiri adalah merupakan
transformasi dari satu bentuk susunan atom (sel satuan) ke bentuk susunan atom
yang lain. Pada temperatur dibawah 910°C sel satuannya Body Center Cubic (BCC),
temperatur antara 910°C dan 1392°C sel satuannya Face Center Cubic (FCC)
sedangkan temperatur diatas 1392°C sel satuannya kembali menjadi BCC.
Proses perlakuan panas ada dua kategori, yaitu :
Softening (Pelunakan) : Adalah usaha untuk menurunkan sifat mekanik agar
menjadi lunak dengan cara mendinginkan material yang sudah dipanaskan
didalam tungku (annealing) atau mendinginkan dalam udara terbuka
(normalizing).
Hardening (Pengerasan) : Adalah usaha untuk meningkatkan sifat material
terutama kekerasan dengan cara dicelup cepat (quenching) material yang
sudah dipanaskan ke dalam suatu media quenching berupa air, air garam,
maupun oli.
Tujuan dari heat treatment adalah :
Mempersiapkan material untuk pengolahan berikutnya.
Mempermudah proses machining.
Mengurangi kebutuhan daya pembentukan dan kebutuhan energi.
Memperbaiki keuletan dan kekuatan material.
Mengeraskan logam sehingga tahan aus dan kemampuan memotong
meningkat.
Menghilangkan tegangan dalam.
Memperbesar atau memperkecil ukuran butiran agar seragam.
Menghasilkan pemukaan yang keras disekeliling inti yang ulet.
Kekerasan yang diperoleh bergantung pada kadar karbon baja yang diproses
Heat Treatment merupakan proses pengubahan sifat logam, terutama baja, melalui
pengubahan struktur mikro dengan cara pemanasan dan pengaturan laju
pendinginan. Heat treatment merupakan mekanisme penguatan logam dimana logam
yang akan kita ubah sifatnya sudah berada dalam kondisi solid. Dalam heat
treatment kita memanaskan specimen sampai dengan temperature austenisasinya.
Berikut adalah macam-macam proses Heat Treatment yang biasanya dilakukan :
2.1.3 Hardening
Pengerasan merupakan salah satu laku panas dengan kondisi non
equilibrium, laku panas yang pendinginannya berlangsung pada kondisi non
equilibrium, pendinginan yang sangat cepat sehingga struktur mikro yang diperoleh
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
8
adalah struktur mikro yang tidak equilibrium, terutama bila diperlukan sifat tahan
aus dari suatu bagian, maka sifat kekerasan akan sangat menentukan. Kekerasan baja
memang juga tergantung pada komposisi kimianya, terutama pada kadar karbonnya,
makin tinggi kadar karbon maka semakin keras tetapi kekerasan baja masih dapat
diubah struktur mikronya sehingga proses laku panas akan memperoleh kekerasan
yang tinggi untuk memperoleh martensite yang tinggi, dengan demikian dinamakan
sebagai proses pengerasan.
Setelah proses pengerasan kekerasan maksimum banyak tergantung pada
kadar karbon yang dimiliki oleh baja, makin tinggi kadar karbonnnya maka makin
tinggi kekerasan yang akan dicapai. Pada baja dengan kadar karbon rendah
kekerasan yang dihasilkan tidak akan maksimal setelah dilakukan pengerasan, oleh
karena itu proses pengerasan yang paling tepat adalah yang mempunyai kadar
karbon kurang dari 0.3%C. Makin tinggi kadar karbonnya makin tinggi juga
kekerasannya (dibandingkan dengan kekerasan sebelum pengerasan) tetapi pada
batas tertentu kenaikan kekerasan mulai menurun. Hal ini dapat terjadi karena kadar
karbon (dalam austenite) yang makin tinggi akan mengakibatkan retained austenite
yang banyak sehingga dapat mengurangi kenaikan kekerasan.
Pada suatu kondisi pemanasan belum tentu semua karbon dalam baja akan
larut dalam austenite, tergantung pada ketinggian temperatur pemanasan. Karena itu
kekerasan yang terjadi setelah proses pengerasan yang tergantung dari beberapa
faktor yaitu tingginya temperatur austenite, terhomogennya austenite, laju
pendinginan, kondisi permukaan benda kerja
Gambar 2.1. Diagram Fasa Fe-c
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
9
2.1.4 Holding Time
Holding time dilakukan untuk mendapatkan kekerasan maksimum dari suatu
bahan pada proses hardening dengan menahan pada temperatur pengerasan untuk
memperoleh pemanasan yang homogen sehingga struktur austenitenya homogen
atau terjadi kelarutan karbida ke dalam austenite, difusi karbon dan unsur
paduannya. Pedoman untuk menentukan holding time dari berbagai jenis baja pada
yang umum diantaranya sebagai berikut.
Baja Konstruksi dari Baja Karbon dan Baja Paduan Rendah; yang
mengandung karbida yang mudah larut, diperlukan holding time yang
singkat, 5 – 15 menit setelah mencapai temperatur pemanasannya dianggap
sudah memadai.
Baja Konstruksi dari Baja Paduan Menengah dianjurkan menggunakan
holding time 15 – 25 menit, tidak tergantung ukuran benda kerja.
Low Alloy Tool Steel; memerlukan holding time yang tepat agar kekerasan
yang diinginkan dapat tercapai. Dianjurkan menggunakan 0,5 menit per
millimeter tebal benda, atau 10 – 30 menit.
High Alloy Chrome Steel; Membutuhkan holding time yang paling panjang
diantara semua baja perkakas, juga tergantung pada temperatur
pemanasannya. Juga diperlukan kombinasi temperatur dan holding time
yang tepat. Biasanya dianjurkan menggunakan 0,5 menit per millimeter
tebal benda dengan minimum 10 menit, maksimum 3 jam.
Hot Work Tool Steel; mengandung karbida yang sulit larut, baru akan larut
pada suhu 1000°C. Pada temperatur ini kemungkinan terjadinya
pertumbuhan butir sangat besar, karena itu holding time harus dibatasi, 15 –
30 menit.
High Speed Steel; memerlukan temperatur pemanasan yang sangat tinggi
1200ºC - 1300ºC. Untuk mencegah terjadinya pertumbuhan holding time
diambil hanya beberapa menit saja. (jurnal, 2008)
2.1.5 Quenching
Proses quenching melibatkan beberapa faktor yang saling berhubungan.
Pertama yaitu jenis media pendingin dan kondisi proses yang digunakan, yang kedua
adalah komposisi kimia dan hardenbility dari logam tersebut. Hardenbility
merupakan fungsi dari komposisi kimia dan ukuran butir pada temperatur tertentu.
Selain itu, dimensi dari logam juga berpengaruh terhadap hasil proses quenching.
A. Pendinginan tidak menerus
Jika suatu baja didinginkan dari suhu yang lebih tinggi dan
kemudian ditahan pada suhu yang lebih rendah selama waktu tertentu, maka
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
10
akan menghasilkan struktur mikro yang berbeda. Hal ini dapat dilihat pada
diagram Isothermal Tranformation Diagram dibawah ini.
Gambar 2.2 Isothermal Tranformation Diagram
Berikut beberapa penjelasan tentang diagram diatas :
a) Bentuk diagram tergantung dengan komposisi kimia terutama kadar karbon
dalam baja tersebut
b) Untuk baja dengan kadar karbon kurang dari 0.83% yang ditahan suhunya
dititik tertentu dan letaknya dibagian atas dari kurva C, akan menghasilkan
struktur perlite dan ferrite.
c) Jika ditahan suhunya pada titik tertentu bagian bawah kurva C tapi masih
disisi sebelah atas garis horizontal, maka akan mendapatkan struktur mikro
Bainit (lebih keras dari perlite).
d) Bila ditahan suhunya pada titik tertentu dibawah garis horizontal, maka akan
mendapat struktur Martensite (sangat keras dan getas).
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
11
e) Semakin tinggi kadar karbon, maka kedua buah kurva C tersebut akan
bergeser kekanan.
f) Ukuran butir sangat dipengaruhi oleh tingginya suhu pemanasan, lamanya
pemanasan dan semakin lama pemanasannya akan timbul butiran yang lebih
besar. Semakin cepat pendinginan akan menghasilkan ukuran butir yang
lebih kecil.
B. Pendinginan Terus menerus
Dalam prakteknya proses pendinginan pada pembuatan material
baja dilakukan secara menerus mulai dari suhu yang lebih tinggi sampai
dengan suhu rendah. Pengaruh kecepatan pendinginan terus menerus
terhadap struktur mikro yang terbentuk dapat dilihat dari diagram Continuos
Cooling Transformation Diagram.
Gambar 2.3 Continuos Cooling Transformation Diagram.
Penjelasan diagram:
- Kurva pendinginan (a) menunjukkan pendinginan secara kontinyu yang
sangat cepat dari temperatur austenite sekitar 920°C ke temperature 200°C.
Laju pendinginan cepat ini menghasilkan dekomposisi fasa austenite
menjadi martensite. Fasa Austenite akan mulai terdekomposisi menjadi
martensite pada temperatur Ms, martensite start. Sedangkan akhir
pembentukan martensite akan berakhir ketika pendinginan mencapai
temperatur Mf, martensite finish.
- Kurva pendinginan (b) menunjukkan pendinginan kontinyu dengan laju
sedang/medium dari temperatur 920°C ke 250°C. Dengan laju pendinginan
kontinyu ini fasa austenite terdekomposisi menjadi struktur bainit.
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
12
- Kurva pendinginan (c) menunjukkan pendinginan kontinyu dengan laju
pendinginan lambat dari temparatur 920°C ke 250°C. Pendinginan lambat
ini menyebabkan fasa austenite terdekomposisi manjadi fasa ferrite dan
perlite.
2.1.6 Kekerasan
Menurut Harun (1986) penunjukan kekerasan bisa diketahui dengan jalan
mengukur ketahanan suatu logam terhadap penekanan, yaitu dengan jalan
penekanan bola baja yang dikeraskan atau suatu piramida intan pada permukaannya,
lalu ukuran bekasnya diukur. Dalam sistem test kekerasan rockwell, yang biasa
digunakan adalah intan konis untuk logam yang keras dan bola untuk yang lebih
lunak. Menurut Sutjino dan Mujiman (1996 :1) kekerasan didefinisikan sebagai
ketahanan bahan terhadap deformasi plastis, sedangkan angka kekerasannya sebagai
beban terpasang ( gf = gram force ) dibagi dengan luas permukaan jejak (mm2).
Menurut Sudira dan Saito (1992:31) pengujian kekerasan adalah satu dari sekian
banyak pengujian yang dipakai, karena dapat dilaksanakan pada benda uji yang kecil
tanpa kesukaran mengenai spesifikasi. Kekerasan adalah kriteria untuk menyatakan
intensitas tahanan suatu bahan terhadap deformasi yang disebabkan oleh objek lain.
Ada 3 macam pengujian kekerasan yaitu :
a) Pengujian penekanan
b) Pengujian goresan
c) Pengujian resilience yang pada umumnya ditentukan dengan cara tidak
merusak. Untuk logam pengujian yang sering digunakan adalah pengujian
penekanan. Pengujian kekerasan rockwell cocok untuk semua material yang
keras dan lunak.
2.1.7 Uji Kekerasan Rockwell
Pengujian kekerasan diperlukan untuk mengetahui seberapa keras material
yang kita treatment. Djaprie, (1987 : 335) berpendapat : Uji kekerasan yang paling
banyak dipergunakan di Amerika Serikat adalah uji kekerasan rockwell. Hal ini
disebabkan oleh sifat-sifatnya yaitu cepat, bebas dari kesalahan manusia, mampu
untuk membedakan perbedaan kekerasan yang kecil pada baja yang diperkeras, dan
ukuran lekukannya kecil, sehingga bagian yang mendapat perlakuan panas yang
lengkap, dapat diuji kekerasannya tanpa menimbulkan kerusakan. Uji kekerasan
rockwell sangat berguna dan mempunyai kemampuan ulang (reproducible) asalkan
sejumlah kondisi sederhana yang diperlukan dapat dipenuhi.
Pengujian kekerasan rockwell menggunakan indentor berupa bola baja yang
dikeraskan atau dapat juga menggunakan indentor berupa kerucut intan. Beban atau
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
13
gaya yang digunakan untuk penekan adalah bervariasi tergantung pada logam yang
diuji. Nilai kekerasannya didasarkan pada kedalaman indentasi yang terjadi. Nilai
kekerasan metode rockwell dibagi dalam skala kekerasan yaitu : kekerasan rockwell
skala C, biasa ditulis dengan HRC. Kekerasan rockwell skala B ditulis dengan HRB.
Kekerasan rockwell skala B digunakan untuk bahan atau logam yang relative lunak,
sedangkan rockwell skala C digunakan untuk logam yang relative keras.
Kekerasan rockwell B menggunakan indentor bola baja berdiamter 1,6 mm
dengan beban 100 kiligram. Sedangkan kekerasan rockwell skala C menggunakan
indentor kerucut intan dengan beban penekan sebesar 150 kilogram.
Tabel 2.3 Beban, Indentor, dan Skala Kekerasan
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
14
Berikut ini gambar pengujian kekerasan rockwell :
Gambar 2.4 Kekerasan rockwell
Sebagian besar hal-hal yang disusun berikut dapat diterapkan dengan baik
pada uji kekerasan rockwell yaitu : Penumbuk dan landasan harus bersih dan
terpasang dengan baik. Permukaan yang akan diuji harus bersih dan kering, halus,
dan bebas dari oksida. Permukaan yang agak kasar biasanya dapat menggunakan uji
rockwell. Permukaan harus datar dan tegak lurus terhadap penumbuk. Uji untuk
permukaan silinder akan memberikan hasil pembacaan yang rendah, kesalahan yang
terjadi tergantung pada lengkungan, beban,penumbuk dan kekerasan bahan.
Tebal benda uji harus sedemikian hingga tidak terjadi gembung (bulge) pada
permukaan dibaliknya. Tebal benda uji dianjurkan 10 kali kedalaman lekukan.
Pengujian dilakukan pada bahan yang tebalnya satu macam. Daerah diantara
lekukan-lekukan harus 3 hingga 5 kali diameter lekukan. Kecepatan penerapan
beban harus dibakukan, hal ini dilakukan dengan cara mengatur daspot pada mesin
uji rockwell. Tanpa pengontrolan beban secara hati-hati dapat terjadi variasi nilai
kekerasan yang cukup besar pada bahan yang sangat lunak. Peruntukkan bahan
demikian gagang pengoperasian mesin uji rockwell harus dikembalikan ke posisi
semula segera setelah beban besar telah diterapkan secara penuh.
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
15
2.1.8 Struktur mikro
Menurut Lely Susita R.M., dkk (1996) struktur mikro adalah struktur yang
hanya bisa diamati melalui mikroskop baik itu mikroskop optik maupun mikroskop
elektron. Informasi yang bisa diperoleh dari struktur mikro antara lain identifikasi
fasa-fasa yang ada, presentase fasa, distribusi fasa, inklusi (pengotor), presipitat
maupun ukuran butir. Perubahan struktur suatu sistem pencampuran logam hanya
akan terjadi apabila suatu campuran didinginkan secara perlahan lahan (Amanto dan
Daryanto, 1999: 67). Pada cairan logam yang telah mencapai temperatur tertinggi
kemudian didinginkan sampai mencapai titik beku, maka akan terjadi perubahan-
perubahan struktur (Arifin, 2010 : 73). Perubahan yang terjadi pada suatu logam
adalah berhubungan dengan letak atom-atom di dalam balur-balur jarak antara tiap-
tiap balur dan besarnya suatu balur yang terjadi. Struktur mikro dapat diubah dengan
suatu perlakuan panas. Ini berarti untuk material dengan komposisi yang sama dapat
mempunyai sifat-sifat yang berbeda dan ini bisa diperoleh dengan cara mengubah
struktur mikronya. Dengan kata lain, untuk memperbaiki sifat-sifat suatu material
sesuai dengan yang dikehendaki dapat diperoleh dengan cara mengubah struktur
mikronya.
Dalam mengetahui struktur mikro suatu material perlu dilakukan pengujian
struktur mikro. Pengujian struktur mikro bertujuan untuk mengetahui struktur
sebelum perlakuan panas dan sesudah perlakuan panas suatu material.
Beberapa fasa yang sering ditemukan dalam baja karbon :
a) Austenite
Austenite adalah campuran besi dan karbon yang terbentuk pada
pembekuan, pada proses pendingin selanjutnya austenite berubah menjadi
ferrite dan pearlite dan sementite. Sifat austenite adalah lunak, tidak
magnetis dan dapat ditempa. Kadar karbon maksimum sebesar 2,14%.
Berikut struktur austenite :
Gambar 2.5 Struktur Austenite
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
16
b) Ferrite
Fasa ini disebut alpha (α), ruang antar atomnya kecil dan rapat
sehingga hanya sedikit menampung atom karbon oleh sebab itu daya larut
karbon dalam ferrite rendah < 1 atom C per 1000 atom besi. Pada suhu
ruang, kadar karbonnya 0,008%, sehingga dapat dianggap besi murni. Kadar
maksimum karbon sebesar 0,025% pada suhu 723°C. Ferrite bersifat
magnetik sampai suhu 768° C. Sifat ferrite lainnya adalah lunak dan liat.
Ferrite berwarna putih.
c) Pearlit
Fasa ini merupakan campuran mekanis yang terdiri dari dua fasa,
yaitu ferrite dengan kadar karbon 0,025% dan sementite dalam bentuk
lamellar (lapisan) dengan kadar karbon 6, 67% yang berselang-seling rapat
terletak bersebelahan. Pearlite merupkan struktur mikro dari reaksi
eutektoid lamellar. Sifat pearlite adalah lebih keras dan lebih kuat dari pada
ferrite tetapi kurang liat dan tidak magnetis. Pearlite berwarna hitam.
Berikut ini gambar struktur ferrite dan pearlite :
Gambar 2.6 Struktur Pearlit dan Ferrit
d) Bainit
Bainit merupakan fasa yang terjadi akibat transformasi pendinginan
yang sangat cepat pada fasa austenite ke suhu antara 250°C-550°C dan
ditahan pada suhu tersebut (ishotermal). Bainit adalah struktur mikro dari
reaksi eutektoid (γ→α +Fe3C) non lamellar (tidak berupa lapisan). Bainit
merupakan struktur mikro campuran fasa ferrite dan sementite (Fe3C). Sifat
dari bainit adalah lunak. Berikut gambar struktur bainit:
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
17
Gambar 2.7 Struktur Bainit
e) Martensite
Martensite merupakan fasa dimana ferrite dan sementite bercampur,
tetapi bukan dalam lamellar, melainkan jarum-jarum sementite. Fasa ini
terbentuk dari austenite meta stabil didinginkan dengan laju pendinginan
cepat tertentu. Terjadinya hanya prespitasi Fe3C unsur paduan lainnya tetapi
larut transformasi ishotermal pada 260°C untuk membentuk dispersi karbida
yang halus dalam metriks ferrite. Martensite bilah (lath martensite)
terbentuk jika kadar C dalam baja sampai 0,6% sedangkan di atas 1%C akan
terbentuk martensite pelat (plate martensite). Perubahan dari tipe bilah ke
pelat terjadi pada interval 0,6% < C < 1,08%. Sifat dari martensite adalah
rapuh dan keras, kekerasan tergantung dari komposisi karbon. Martensite
berbentuk seperti jarum. Berikut ini adalah struktur martensite:
Gambar 2.8 Struktur Martensite
Program Studi Teknik Mesin
Fakultas Teknik UNTAG Surabaya
18
f) Sementite (karbida besi)
Pada paduan besi melebihi batas daya larut membentuk fasa kedua
yang disebut karbida besi (sementite). Karbida besi mempunyai komposisi
kimia Fe3C. Dibandingkan dengan ferrite, sementite sangat keras. Karbida
besi dalam ferrite akan meningkatkan kekerasan baja, tetapi karbida besi
murni tidak liat. Karbida ini tidak dapat menyesuaikan diri dengan adanya
konsentrasi tegangan, oleh karena itu kurang kuat. Sifat sementite adalah
keras, rapuh dan magnetis. Berikut ini struktur dari sementite (karbida besi)
Gambar 2.9 Struktur Sementite