Download doc - Bab 1

Transcript

TINJAUAN HUKUM PERJANJIAN KREDIT RUMAH

PAGE

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang MasalahPada era globalisasi, aktivitas kehidupan manusia seakan tidak mengenal batas ruang dan waktu dimana dengan didukung oleh derasnya arus informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi, kualitas dan kuantitas kejahatan semakin meningkat dengan modus operandi yang lebih bervariasi dan canggih serta sulit pembuktiannya mulai dari kejahatan yang bersifat konvensional, kejahatan terorganisir, kejahatan kerah putih sampai pada kejahatan yang aktivitasnya lintas negara (kejahatan transnasional).Kejahatan sebagai salah satu bentuk tingkah laku manusia yang sangat merugikan masyarakat, karena mengancam norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, dapat menimbulkan ketegangan individual maupun ketegangan-ketegangan sosial.

Kejahatan tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus kejahatan semakin sering terjadi. Demikian halnya dengan kejahatan terhadap harta benda akan tampak meningkat di negara-negara sedang berkembang. Kenaikan ini sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi. Di setiap negara tidak terkecuali negara yang paling maju sekalipun, pasti akan menghadapi masalah kejahatan yang mengancam dan mengganggu ketentraman dan kesejahteraan penduduknya. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan tidak hanya tumbuh subur di negara miskin dan berkembang, tetapi juga di negara-negara yang sudah maju.

Seiring dengan adanya perkembangan kejahatan seperti diuraikan di atas, maka hukum menempati posisi yang penting untuk mengatasi adanya persoalan kejahatan ini. Perangkat hukum diperlukan untuk menyelesaikan konflik atau kejahatan yang ada dalam masyarakat. Salah satu usaha pencegahannya dan pengendalian kejahatan itu ialah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.Pertanggungjawaban pidana, tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan. Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah kesalahan (schuld). Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.Menurut Sudarto, pertanggungjawaban pidana berkaitan erat dengan kesalahan. Serhubungan dengan hal itu Sudarto lebih lanjut menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Meskipun pembuatnya memenuhi unsur delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus bisa dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Disinilah berlaku apa yang disebut asas tiada pidana tanpa kesalahan (keine strafe ohne schuld) Kesalahan yang dimaksud adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang tersebut patut dicela.

Salah satu tindak pidana yang meresahkan masyarakat adalah tindak pidana pembunuhan. Apalagi tindak pidana pembunuhan dilakukan secara bersekutu, artinya ada pihak pelaku dan pihak yang membantu atau yang turut serta. Tindak pidana pembunuhan telah ditentukan dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.Jika pembunuhan dilakukan dengan adanya rencana terlebih dahulu diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 340 KUHP.

Pasal 340 KUHP berbunyi sebagai berikut :Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.Apabila pembunuhan dilakukan adanya pihak yang menyertai atau turut serta melakukan pembunuhan, hal ini diatur dalam Pasal. 55 khususnya ayat (1) ke 1 KUHP, sebagai berikut : (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana

1. mereka yang melakukan, yang menyuruh dan yang turut serta melakukan perbuatan

Berdasarkan Pasal tersebut turut serta dalam melakukan tindak pidana dikenakan pidana.

Penyertaan dapat dilakukan apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh 2 orang atau lebih, seperti salah satu kasus pada terdapat pada Putusan No. 253/Pid.B/2011/PN.Smg yang menyebutkan secara kronologis bahwa terdakwa AP membangunkan terdakwa SH.pada hari Kamis 10 Maret 2011 sekitar pukul 04.30 untuk membunuh Bayu P, yang masih dalam keadaan tidur akibat pengaruh minuman keras, Ap membawa golok duduk jongkok di samping kanan korban Bayu P dan terdakwa SH memegangi kedua kaki korban, selanjutnya AP langsung membacok dengan tangan kanan secara berulang-ulang ke arah lehar dan kepala korban kemudian tangan AP mencekik leher korban Bayu P hingga meninggal dunia.Berdasarkan kronologis peristiwa tersebut terdapat unsur terjadinya tindak pidana pembunuhan. Turut serta itu dilakukan oleh terdakwa SH. Dalam Putusan No. 253/Pid.B/2011/PN.Smg, terdakwa AP sebagai terdakwa yang mempunyai pertanggungjawaban atas tindak pidana pembunuhan, sedangkan terdakwa SH merupakan yang turut serta dalam tindak pidana pembunuhan tersebut. Sanksi terhadap SH diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke 2 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.

Putusan Pengadilan Negeri Semarang tersebut layak untuk diteliti mengingat bahwa SH diancam Pasal 365 ayat (2) ke 2 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, padahal dari kronologis peristiwa sejak awal AP mengajak SH bermaksud untuk membunuh Bayu. Bermaksud membunuh merupakan unsure kesengajaan. Sudarto mengartikan kesengajaan adalah dengan sadar berkehendak untuk melakukan suatu kejahatan tertentu. Dalam kesengajaan dikenal teori kehendak, yang menyatakan kesengajaan adalah kehendak membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat dari tindakan itu. Akibat dikehendaki apabila akibat itu yang menjadi maksud dari tindakan tersebut.

Maksud membunuh ini seharusnya yang dipertanggungjawabkan secara hukum kepada SH sebagai pihak yang turut serta melakukan pembunuhan terhadap Bayu. Dalam hukum pidana unsur kesalahan yang berupa melakukan tindak pidana merupakan unsur pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, diharuskan tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur delik yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.

Menurut Pompe kemampuan bertanggungjawab pidana harus mempunyai unsur-unsur sebagai berikut:

1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya.

2. Oleh sebab itu , ia dapat menentukan akibat perbuatannya;

3. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah ( subjective quilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan, kepada orang tersebut. Disini berlaku apa yang disebut dengan asas tiada pidana tanpa kesalahan (keine strafe ohne schuld atau green straf zonder schuld atau nulla poene sine culpa). Culpa disini dalam arti luas.meliputi juga kesengajaan.

Kesalahan yang dimaksud adalah keadaan jiwa seseorang yang melakukan perbuatan dan perbuatan yang dilakukan itu sedemikian rupa, sehingga orang tersebut patut dicela

Asas ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dalam peraturan lain, namun berlakunya asas tersebut sekarang tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apabila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah, Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (UU No. 4 / 2004) berbunyi :Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat juga dikenal dari pepatah (Jawa) sing salah, seleh (yang bersalah pasti salah). Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada sipelaku. Asas tiada pidana tanpa kesalahan yang telah disebutkan di atas mempunyai sejarahnya sendiri

Menurut Simons kemampuan bertanggungjawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemiikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya. Dikatakan selanjutnya bahwa seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat., yakni apabila :ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.Van Hamel menyatakan bahwa kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan yang membawa tiga kemampuan :

a. Mampu.untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri

b. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak boleh

c. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya itu.

Dalam hukum pidana terutama dalam putusan pengadilan yang berupa penjatuhan pidana harus disertai pula fakta-fakta yang digunakan, untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana, sebagaimana ditentukan dalam pasal 197 ayat (1) huruf f Kitab Undang-undang Hukum Acara PidanaBerdasar uraian di atas maka menarik untuk dilakukan sebuah penelitian dengan judul : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PENYERTAAN DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN (Studi Kasus No. 253 / Pid.B/2011/PN.Smg)1.2 Perumusan MasalahBerdasarkan latar belakang penelitian, maka peneliti dapat mengemukakan pemasalahan sebagai berikut

1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan (Studi Kasus No. 253Pid.B/2011/PN.Smg) ?2. Bagaimana pertimbangan hakim tentang pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan (Studi Kasus No. 253Pid.B/2011/PN.Smg) ?1.3 Kerangka Pemikiran

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah :

1) Untuk menjelaskan pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan (Studi Kasus No. 253Pid.B/2011/PN.Smg).

2) Untuk menjelaskan pertimbangan Hakim tentang pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan (Studi Kasus No. 253Pid.B/2011/PN.Smg

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ditinjau secara teoritis dan praktis adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

a) Membantu penerapan teori hukum yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan..

b) Dapat memberikan sumbangan pemikiran yang berupa teori-teori dalam kaitannya dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan serta usaha penegakannya dalam kajian perpektif hukum, yang terkait dengan masalah pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan.c) Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan hukum yang diperoleh dari perkuliahan yang bersifat teoritis dengan kenyataan yang ada di dalam masyarakat.2. Secara Praktis

a) Memberikan informasi serta masukan pada pihak-pihak yang terkait dengan pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan.b) Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberi jawaban mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan.

c) Bagi peneliti sendiri adalah sebagai wahana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah didapat.1.6 Sistematika PenulisanDalam penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasannya ke dalam lima bab. Dimana untuk tiap bab berisi beberapa sub bab. Untuk lebih jelasnya, maka dapat dilihat sistematika berikut :

Bab 1 berisi pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah, kerangka pemikiran, tujuan penelitian dan sistematika penulisan.Bab II tentang tinjauan pustaka menguraikan tinjauan umum tindak pidana, tindak pidana pembunuhan, tinjauan khusus penyertaan dalam tindak pidana, pertanggungjawaban pidana.

Bab III tentang metode penelitian menguraikan metode pendekatan yuridis normatif, spesifikasi penelitian deskriptif analisis, sumber data sekunder, metode pengumpulan data secara kepustakaan, penyajian data dengan cara deskriptif dan analisis data secara kualitatif.

Bab IV tentang hasil penelitian dan analisis data yang menguraikan dan menjelaskan.pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan dan menjelaskan pertimbangan Hakim tentang pertanggungjawaban pidana terhadap penyertaan dalam tindak pidana pembunuhan (Studi Kasus No. 253Pid.B/2011/PN.Smg

Bab V tentang penutup berisi kesimpulan dan saranKasus Tindak Pidana Pembunuhan

Penyertaan dalam tindak pidana pembnuhan

Putusan Hakim

Pertanggungjawaban Pidana

Shafrudin, Pelaksanaan Politik Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan, Jurnal, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal. 1

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto FH Universitas Diponegoro, 1990), hal. 85

Ibid., hal. 86

P.A.F. Lamintang,Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990, hlm. 594-595, diakses dari www.wordpress .com kuliah hukum pidana, tanggal 1 Desember 2014

Sudarto, Op. Cit., hal. 102

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana., (Bandung : Eresco, 2008), hal. 55

Sudarto, Op. Cit., hal. 104

Ibid., hal. 85-86

Ibid., hal. 86

Ibid., hal. 87

Ibid., hal. 93

Ibid., hal. 94

9