BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ensefalitis adalah inflamasi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, protozoa atau parasit) dan
disertai disfungsi dari neurofisiologi fokal. Penyakit ini berhubungan dengan
gejala-gejala serebral seperti kejang dan penurunan kesadaran atau tanda-tanda
neurologis lain.1
Angka kematian ensefalitis masih tinggi, berkisar antara 35-50%.
Penderita yang hidup 20-40% mempunyai komplikasi atau gejala sisa yang
melibatkan saraf pusat yang dapat mengenai kecerdasan, motorik, psikiatrik,
epilepsi, penglihatan atau pendengaran bahkan sampai kardiovaskuler. 2
Penyebab tersering dan terpenting pada inflamasi jaringan otak ini adalah
virus. Ensefalitis Herpes Simpleks (EHS) adalah penyebab ensefalitis virus yang
paling sering. EHS dapat mengakibatkan terjadinya ensefalitis akut yang
merupakan kegawatdaruratan dalam bidang medis.2,3
Diagnosis dan tatalaksana merupakan hal yang sangat penting dalam usaha
mengurangi angka kematian dan kesakitan yang tinggi. Keberhasilan pengobatan
tergantung pada diagnosis dini dan waktu memulai pengobatan. Diagnosis yang
terlambat dan penatalaksanaan yang tidak sesuai akan berakhir dengan kematian
atau disabilitas yang serius. Diagnosis yang ditegakkan sedini mungkin serta
terapi yang cepat dan tepat dapat membantu mengurangi angka kematian.1,2
Pada ensefalitis gejalanya berupa demam tinggi, sakit kepala yang berat,
mual, muntah, penurunan kesadaran dan berhubungan dengan kejang dan deficit
neurologi fokal. Gejala-gejala inijuga ditemukan pada meningitis sehingga sulit
untuk membedakan meningitis dan ensefalitis. Hal ini juga sering menyebabkan
kesalahan tatalaksana pasien.3 Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut mengenai diagnosis dan penatalaksanaan ensefalitis pada anak.
1
1.2 Batasan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai definisi, epidemiologi,
patogenesis, diagnosis dan tatalaksana ensefalitis pada anak.
1.3 Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Menjelaskan pengertian, epidemiologi, etiologi dan patogenesis ensefalitis.
2. Menjelaskan cara menegakkan diagnosis ensefalitis pada anak.
3. Menjelaskan penatalaksanaan ensefalitis pada anak.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan makalah ini disusun berdasarkan metode tinjauan kepustakaan
dari beberapa literatur.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Ensefalitis adalah inflamasi jaringan otak oleh berbagai macam
mikroorganisme seperti virus, bakteri, jamur, protozoa atau parasit yang disertai
disfungsi dari neurofisiologi fokal. Penyakit ini berhubungan dengan gejala-gejala
serebral seperti kejang dan penurunan kesadaran atau tanda-tanda neurologis
lain.1,3
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian ensefalitis sekitar 0,5 per 100.000 individu. Penyakit ini
paling banyak menyerang anak-anak, orang tua dan orang-orang dengan defisiensi
imun. Insiden ensefalitis di seluruh dunia sulit untuk ditentukan, namun
berdasarkan laporan diperkirakan insiden ensefalitis akut meningkat dari 3,5
sampai 7,4 per 100.000 anak menjadi 16 per 100.000 anak. Diperkirakan sekitar
150 sampai 3000 kasus terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, sedangkan di
Inggris insiden ensefalitis pertahunnya mencapai 4 orang per 100.000 penduduk.1,3
Di Indonesia sendiri belum terdapat angka yang pasti mengenai kejadian
ensefalitis secara umum pada anak. Penelitian Hardiono D di RS
Ciptomangunkusumo, pada tahun 1991 sampai dengan 1994 menemukan 11 kasus ensefalitis, dengan kasus terbanyak pada usia lebih dari 3 tahun.4
2.3 Etiologi
Penyebab ensefalitis paling sering karena infeksi virus, namun dapat
disebabkan juga oleh noninfeksi misalnya karena proses demielinasi pada
ensefalitis akut. Ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok, yaitu: 1) Ensefalitis
primer yang biasa disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes simpleks, virus
3
influenza, ECHO, Coxackie dan arbovirus, 2) Ensefalitis primer yang belum
diketahui penyebabnya, 3) Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang
timbul sebagai komplikasi penyakit virus, seperti rubeola, varisela, herpes zoster,
parotitis epidemika, mononucleosis infeksiosa dan vaksinasi. Selain karena virus,
ensefalitis juga dapat disebabkan oleh bakteri yang patogen seperti Mycoplasma
sp, parasit dan jamur seperti Toxoplasma gondii. 1,5
2.4 Patogenesis
Patogenesis ensefalitis hamper sama dengan patogenesis dari meningitis
virus yaitu virus mencapai saraf pusat melalui limfatik, darah (hematogen), atau
melalui saraf (neuronal spread)5. Pada umumnya virus ensefalitis terlebih dahulu
masuk melalui limfatik. Di dalam limfatik ini, terjadi perkembangbiakan dan
penyebaran ke dalam aliran darah dan mengakibatkan infeksi pada beberapa
organ.6 Penyebaran secara hematogen dapat terjadi secara langsung dan secara
tidak langsung. Penyebaran secara langsung terjadi ketika virus menyebar melalui
arteri intraserebral kemudian menyebabkan radang pada otak. Penyebaran
hematogen dapat juga terjadi secara tidak langsung dimana terjadi peradangan
pada arteri meningeal terlebih dahulu, kemudian dari arteri tersebut itu kuman
masuk ke cairan serebrospinal dan menginvasi ke dalam otak setelah menerobos
piamater.5
Selain penyebaran secara hematogen dan limfogen, dapat juga terjadi
penyebaran melalui saraf, misalnya pada ensefalitis karena herpes simpleks dan
rabies. Pada dua penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris yang
menginnervasi port d’entry dan bergerak secara retrograd mengikuti axon-axon
menuju ke nukleus dari ganglion sensoris. 5
Di dalam sistem saraf pusat, virus menyebar secara langsung atau melalui
ruang ekstraseluler. Infeksi virus dalam otak menyebabkan meningitis aseptik dan
ensefalitis (kecuali rabies). Pada ensefalitis terdapat kerusakan neuron dan glia
dimana terjadi intraceluler inclusion bodies, peradangan otak dan medulla spinalis
serta edema otak, selain itu juga terdapat peradangan pada pembuluh-pambuluh
darah kecil, thrombosis dan proliferasi astrosit dan microglia. Neuron-neuron
4
yang rusak dimakan oleh makrofag atau microglia yang disebut sebagai
neuronofagia merupakan gambaran khas bagi ensefalitis primer.3,5
Di dalam medulla spinalis, virus menyebar melalui endoneurium dalam
ruang intersisial pada saraf-saraf seperti yang terjadi pada rabies dan herpes
simpleks. Pada ensefalitis sel-sel neuron dan glia mengalami kerusakan.
Kerusakan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh invasi langsung dan
destruksi jaringan saraf oleh virus yang berproliferasi aktif dan atau reaksi
jaringan saraf terhadap antigen-antigen virus.5
Proses replikasi yang berjalan terus menyebabkan sel host dihancurkan.
Setelah itu partikel-partikel viral tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi,
replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi
toksemia yang kemudian disususl oleh manifestasli lokalisatorik. Gejala-gejala
toksemia terdiri dari sakit kepala, demam, dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedang
manifestasi lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat berupa gannguan
sensorik dan motorik (gangguan penglihatan, gangguan berbicara, gangguan
pendengaran dan kelemahan anggota gerak), serta gangguan neurologis seperti
nyeri kepala, mual dan muntah sehinga terjadi penurunan berat badan.5
2.5 Diagnosis
Ensefalitis dapat bermanifestasi akut atau subakut. Manifestasi ensefalitis
dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan personalitas dan gangguan daya
ingat yang sangat sulit dideteksi terutama pada anak kecil, kemudian pasien dapat
mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa kejang fokal
atau umum. 6,7,8
Empat puluh persen pasien datang ke rumah sakit dalam keadaan koma
sedangkan sisanya dalam keadaan letargi. Pemeriksaan neurologis seringkali
menunjukkan adanya hemiparesis. Hemiparesis adalah manifestasi fokal
terpenting. Beberapa kasus dapat menunjukkan disfasia, ataksia, gangguan
otonom, paresis saraf kranialis, dan edema papil N II. Kadang-kadang manifestasi
klinis menyerupai meningitis aseptik tanpa manifestasi ensefalitis yang jelas.
Secara praktis, kita harus selalu memikirkan kemungkinan Ensefalitis Herpes
5
Simpleks ( EHS ) bila menjumpai seorang anak dengan demam, kejang terutama
kejang fokal dan gejala neurologis fokal lain seperti hemiparesis atau disfasia
dengan penurunan kesadaran yang progresif.9,10
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis : 1
1. Demam
2. Kejang
3. Penurunan kesadaran
Gejala-gejala infeksi umum dapat berkembang menjadi abses serebri yang
akan menimbulkan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial yaitu nyeri
kepala yang kronik dan progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang dan
kesadaran menurun. Pada pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-
tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luasnya abses.1
Pada ensefalitis, kadang-kadang ditemukan inflamasi pada leptomeningen
dan tanda-tanda patologis yang difus dan fokal seperti meningitis (demam, sakit
kepala,dan tanda-tanda rangsangan meningeal). Kejang mulai dari kejang fokal
sampai kejang umum. Gejala-gejala neuropsikiatri cenderung terjadi pada
ensefalitis seperti halusinasi, psikosis, parubahan personaliti, dan gelisah. Kadang
juga disertai dengan muntah, kelemahan otot fokal, hilangnya memori, dan
gangguan gerakan.2, 11
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan gangguan kesadaran (97%),
demam (92%), disfasia (76%), ataksia (40%), kejang (38%), hemiparesis (38%),
defek saraf otak (32%), hilangnya lapangan pandang (14%), dan papil edema
(14%). Kejang yang terjadi pada ensefalitis bisa berupa kejang fokal atau kejang
umum.12 Pada ensefalitis dapat juga ditemukan skin rush. Skin rush pada
umumnya terdapat pada riketsia, varicella zoster. Parotitis sering terjadi pada
gondongan dan eritema nodosum mungkin berhubungan dengan infeksi
granulomatous ( tuberkulosis dan histoplasmosis ).2
6
Pada pemeriksaan neurologi didapat kelainan-kelainan neurologi fokal
yang sering ditemukan seperti hemiparese, afasia, ataksia, tanda – tanda piramidal
( brisk tendon refleks dan respon ekstensor plantar), defisit saraf kranial ( saraf
oculomotorius dan saraf fasialis ), gerakan involuntar ( myoclonus dan tremor )
dan kejang parsial.2
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin pada ensefalitis tidak spesifik. Pada
ensefalitis virus, pemeriksaan darah menunjukkan limfositosis. Pada Eipstein Barr
Virus (EBV) dan Cytomegaovirus (CMV) dapat ditemukan peningkatan enzim
hepar sedangkan pada Mumps dapat terjadi peningkatan enzim amilase. Jumlah leukosit darah tepi dapat normal atau sedikit meningkat, kadang-kadang dengan pergeseran ke kiri13.
Kultur darah dapat dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab ensefalitis
bakteri atau jamur, selain itu dapat juga diperiksa swab nasofaring, urin, feses.
Swab tenggorok dapat digunakan untuk mengidentifikasi virus di saluran nafas
( seperti virus influenza A, parainfluenza, adenovirus) ,campak, enterovirus,
Chlamydia Pneumonia, dan Mycoplasma Pneumonia dengan menggunakan PCR.
Pemeriksaan feses dapat dilakukan untuk mengetahui infeksi yang disebabkan
enterovirus, mumps atau virus campak. Jika ditemukan vesikel, swab virus dapat
diambil dari vesikel untuk mendeteksi Varicella Zoster Virus atau HSV dengan
imunofloresense atau PCR. Pemeriksaan urin dapat digunakan untuk kultur
CMV , mumps, dan virus campak13.
Pemer4iksaan cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk mengidentifikasi
infeksi virus, bakteri, jamur dan mikrobacteria. Pemeriksaan cairan serebrospinal
merupakan baku emas untuk menegakkan diagnosis ensefalitis. Pengambilan
cairan serebrospinal dilakukan dengan Lumbal pungsi yaitu pada daerah antara
Lumbal 3 sampai dengan Lumbal 5. Pada ensefalitis dapat ditemukan sedikit
sampai beberapa ribu sel per millimeter kubik. 6 Pada ensefalitis virus, umumnya
didapatkan jumlah sel <1000/mm3 dengan limfosit predominan dan tidak
ditemukan patogen lain seperti bakteri dan parasit. Pada ensefalitis bakterial
7
ditemukan tanda-tanda Acute Encelophaty Sindrom (AES) dan ditemukan sel
>1000 sel / mm3 atau pleositosis dengan polimorfositik yang predominan.9,23
Kadar protein cenderung normal atau sedikit naik, atau sangat naik apabila terjadi
kerusakan otak yang luas seperti pada ensefalitis Herpes SimpleksVirus ( HSV).
Kadar glukosa biasanya normal, walaupun pada virus tertentu seperti parotitis
terjadi penurunan glukosa.5
Pemeriksaan pencitraan tidak dilakukan secara rutin, dan hanya dilakukan
bila terdapat ketidakjelasan diagnosis, perburukan gejala neurologik akibat
peningkatan tekanan intrakranial, panas berkepanjangan, kejang berulang,
kelainan neurologik fokal, proses penyembuhan yang lambat, atau untuk
mendeteksi komplikasi lainnya.14
Pada ensefalitis, CT scan kepala dapat menunjukkan : 14
1. Gambaran hipodens pada pre kontras-hiperdensitas pada post kontras salah
satu atau kedua lobus temporal, edema / massa dan kadang-kadang
peningkatan kontras.
2. Lesi isodens atau hipodens berbentuk bulat cincin, noduler atau pola
homogeny dan menyangat dengan kontras, tempat predileksi pada hemisfer
(grey-white junction).
3. Bias ditemukan edema cerebri.
4. Kadang disertai tanda-tanda perdarahan.
Pada ensefalitis herpes simpleks MRI lebih sensitif dibandingkan CT Scan
dalam menunjukan kelainan lobus mediotemporal, daerah orbitofrontal, atau
daerah girus Singuli.15
Gambaran ensefalitis pada MRI dapat berupa :15
1. Perubahan patologis yang biasanya bilateral pada bagian medial lobus
temporalis dan bagian inferior lobus frontalis ( adanya lesi ).
8
2. Lesi isointens atau hipointens berbentuk bulat cincin, noduler atau pola
homogen dan menyangat dengan kontras, tempat predileksi pada hemisfer
(grey-white junction), pada T1WI
3. Hiperintens lesi pada T2WI dan pada flair tampak hiperintens.
2.6 Penatalaksanaan
Terapi Suportif
Pasien ensefalitis memerlukan perawatan di rumah sakit untuk
mendapatkan pengobatan dan pemulihan dari gejala sisa. 5 Tujuan pengobatan
adalah memperpendek perjalanan klinis penyakit, mencegah komplikasi dan
mencegah berkembangnya rekurensi penyakit. 16 Terapi suportif perlu diberikan
untuk mencegah komplikasi segera seperti penurunan kesadaran, kejang,
peningkatan tekanan intrakranial, kontrol sirkulasi dan penatalaksanaan aspirasi
pneumonia.17 Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena,
obat anti kejang untuk mencegah kejang berulang.27 Semua cairan, elektrolit dan
obat-obatan pada mulanya diberikan secara parenteral. Kadar glukosa darah
normal, magnesium dan kalsium harus dipertahankan agar ancaman kejang
berkurang.6 Apabila terjadi edema serebri dapat diberikan deksametason 0,1-0,2
mg/kg intravena sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 0,05- 0,1 mg/kg intravena
setiap 4-6 jam. Dosis harus dikurangi secra bertahap setelah beberapa hari jika
terbukti terjadi penyembuhan atau perbaikan. Deksametason tidak digunakan pada
penyakit virus akut karena steroid bisa meningkatkan potensi dari infeksi virus.18
Pengobatan dengan antivirus harus dimulai sedini mungkin untuk
mencegah terjadinya nekrosis hemoragik yang ireversibel yang biasanya terjadi 4
hari setelah awitan ensefalitis. Hal ini menimbulkan kesulitan besar karena pada
fase awal tidak ada cara untuk membuktikan diagnosis. Patokan yang dianut
sekarang adalah pengobatan segera diberikan kepada pasien yang dicurigai
menderita EHS, kemudian pengobatan dapat dilanjutkan atau dihentikan sesuai
konfirmasi laboratorium atau atau hasil biopsi otak.16
9
Terapi Spesifik
Pengobatan yang diberikan harus sesuai dengan etiologinya. Apabila
manifestasi klinisnya tidak terlalu jelas, pengobatan dapat dimulai dengan
memberikan antivirus dan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil
pemeriksaan lainnya. 19
Herpes Simpleks Virus
Pada 20-30 tahun terakhir,pemberian asiklovir dapat menurunkan
mortalitas dan morbiditas yang signifikan pada ensefalitis HSV. Sebelum
digunakannya asiklovir, diperkirakan 70% pasien dengan HSV ensefalitis
meninggal, terjadi penurunan sampai 19% sejak penggunaan asiklovir. Asiklovir
adalah terapi pilihan untuk ensefalitis yang disebabkan oleh HSV. Asiklovir
merupakan inhibitor yang selektif dan spesifik untuk replikasi virus dengan
efektivitas yang lebih baik dari vidarabine, namun tidak menurunkan angka
morbiditas, perkembangan penyakit selama pengobatan dan relaps setelah
penghentian pengobatan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa dengan
pemberian asiklovir dosis tinggi ( 60mg/kgBB/hari intravena ) selama 21 hari
pada neonatus akan mengurangi angka relaps dan mengurangi defek neurologik.
The British Formulary menganjurkan pemberian asiklovir untuk anak usia
3 bulan sampai 12 tahun dengan dosis 500mg/m2 setiap 8 jam secara intravena.
Angka relaps herpes ensefalitis dapat mencapai 26%, namun dengan pemberian
asiklovir lebih dari 14 hari dengan dosis lebih atau sama dengan 30mg/kgBB/hari,
relaps tiodak terjadi. Berdasarkan hal tersebut beberapa ahli menyarankan untuk
menggunakan dosis tinggi dan pengobatan yang lebih lama untuk semua umur.
Hasil negatif pada pemeriksaan PCR CSF diakhir pengobatan menunjukkan hasil
yang baik dan pemberian antivirus harus tetap dilanjutkan pada hasil PCR yang
positif.12
Valasiklovir (valene ester dari yang dikonversi menjadi setelah absorpsi)
memiliki bioavaibilitas yang bagus dan dalam keadaan tertentu dapat digunakan
10
untuk mengobati HSV ensefalitis. Valasiklovir disarankan apabila setelah 10 hari
pemberian intravena tidak memberikan hasil yang baik.20
Panduan Terapi Asiklovir pada anak-anak
Pemberian asiklovir harus segera dimulai pada semua pasien yang
dicurigai ensefalitis sambil menunggu hasil pemeriksaan lainnya.
Diagnosis herpes simpleks ensefalitis ( HSE ) harus dipertimbangkan pada
pasien yang mengalami penurunan kesadaran dengan demam, kejang fokal
dan kelainan neurologi fokal tanpa ada penyebab lainnya
Jika tidak ada kecurigaan klinis HSE ( diagnosa definitif sudah sangat
jelas atau sangat tidak mungkin pasien menderita ensefalitis virus ).
Asiklovir dapat dihentikan jika > 72 jam setelah gejala neurologi
ditemukan dilakukan pemeriksaan PCR CSF hasilnya negatif dan
kecurigaan klinis rendah untuk HSE ( misalnya adanya pemulihan klinis,
kesadaran normal, gambaran radiologi normal, dan pada pemeriksaan CSF
jumlah sel <5 / mm3.
Pemberian asiklovir tidak dilakukan pada anak-anak dengan gejala
neurologis seperti :
Anak dengan kejang demam sederhana
Kejang tanpa demam atau tanpa riwayat demam (kecuali
imunokompromise)
Gejala yang jelas untuk penyebab yang lain misalnya blok VP shunt,
anak dengan epilepsi ( kejang akan meningkat dengan adanya
demam ), cedera kepala akut, overdosis obat
CSF dan gejala klinis yang mendukung untuk adanya meningitis
bakteri
Pemberian asiklovir tidak dihentikan pada anak yang dicurigai HSV
ensefalitis jika
Hasil CSF HSV PCR negatif tetapi keadaan lain menunjukkan HSE
(terutama jika CSF dan temuan MRI abnormal)
Pleositosis pada CSF mungkin tidak ditemukan dan false negatif
HSV PCR dapat terjadi terutama pada awal penyakit.16
11
Varicella Zoster Virus
Asiklovir juga efektif untuk mengobati Varicella Zoster Virus. Dosis yang
direkomendasikan adalah 10mg/kgBB setiap 8 jam selama 10-14 hari.16
Cytomegalovirus
CMV yang didapatkan secara kongenital menyebabkan kerusakan otak
yang berat dan permanen. Tetapi ensefalitis yang disebabkan oleh CMV jarang
ditemukan, kecuali pada anak dengan penurunan sistem imun dan diobati dengan
pemberian gansiklovir.16
Virus Rabies
Pengobatan spesifik tidak tersedia pada rabies yang telah menimbulkan
gejala, tetapi vaksin presimptomatik postexposure yang dikombinasikan dengan
immunoglobulin sangat efektif jika diberikan dalam 24 jam setelah terpapar dan
mungkin masih efektif dalam 72 jam setelah terpapar pada beberapa kasus.
Pengobatan yang diberikan yaitu Ribavirin dengan dosis 33 mg/kgBB dan
amantidine dengan dosis 200 mg/kgBB diberikan selama 1 minggu.16
Flu
Penelitian dan data sangat sedikit mengenai pengobatan ensefalitis yang
disebabkan oleh influenza A atau B. Pengobatan ensefalitis karena virus influenza
yaitu oseltamivir selama 5 hari.12
Mycoplasma Pneumoniae
Terapi antibiotik menunjukkan perbaikan klinis pada beberapa kasus
Mycoplasma pneumoniae ensefalitis Pedoman saat ini menunjukkan bahwa
pengobatan dengan antibiotik empiris dapat dilakukan seperti dengan pemberian
azitromycyn dan doksisiklin untuk semua anak.12
12
Upaya pendukung dan rehabilitatif amat penting sesudah penderita
sembuh. Inkoordinasi motorik, gangguan konvulsif, strabismus, ketulian total atau
parsial dan gangguan perilaku dapat muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu.
Beberapa sekuele infeksi dapat amat tidak kentara. Karenanya evaluasi
perkembangan saraf dan audiologi harus merupakan bagian dari pemantauan rutin
anak yang telah sembuh, walaupun mereka tampak normal.5
2.7 Komplikasi
Angka kematian untuk ensefalitis masih tinggi berkisar antara 35-50%.
Pasien yang terlambat pengobatannya atau tidak diberikan antivirus (pada
ensefalitis Herpes Simpleks) angka kematiannya tinggi bisa mencapai 70-80%.
Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurukan mortalitas menjadi 28%.1
Sekitar 25% pasien ensefalitis meninggal pada stadium akut. Penderita
yang hidup 20-40%nya akan mempunyai komplikasi atau gejala sisa. Gejala sisa
lebih sering ditemukan dan lebih berat pada ensefalitis yang tidak diobati.
Keterlambatan pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk,
demikian juga koma. Pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau
sembuh dengan gejala sisa yang berat. 1
Menurut lazoff M, kasus terbanyak ensefalitis adalah infeksi dan
pemulihan biasanya cepat tanpa residu masalah neurologi. Dan semuanya 10%
dari kematian ensefalitis dari infeksinya atau komplikasi dari infeksi sekunder.
Beberapa bentuk ensefalitis mempunyai bagian berat termasuk herpes ensefalitis
dimana mortality 15-20% dengan treatment dan 70-80% tanpa treatment.1
Hal ini mengakibatkan
Peningkatan tekanan intrakranial disebabkan oleh kejang yang tidak terkontrol
Infark serebral disebabkan karena pada pasien ensefalitis terjadi immobilitas
dalam waktu yang lama sehingga terbentuk trombosis vena dalam.
13
Trombosis vena serebral disebabkan adanya penyempitan aliran balik vena
dan terjadinya peningkatan PCO 2 pada arteri.
Aspirasi pneumonia diakibatkan penurunan refleks batuk pada pasien dengan
penurunan kesadaran.3
14
BAB III
KESIMPULAN
Ensefalitis adalah peradangan pada otak berhubungan dengan gejala-
gejala serebral seperti kejang dan penurunan kesadaran atau tanda-tanda
neurologis lain.
Diagnosis ensefalitis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik ditemukan
adanya penurunan kesadaran, demam, dan kejang. Pemeriksaan penunjang
meliputi kultur darah untuk mengidentifikasi penyebab ensefalitis bakteri atau
jamur, pemeriksaan cairan serebrospinal dimana akan didapatkan hasil adanya
beberapa ribu sel per millimeter kubik. Pemeriksaan radiologi dapat dilakukan
MRI dan CT Scan.
Pengobatan yang diberikan dapat berupa terapi suportif dan terapi empiris.
Terapi empiris yang diberikan harus sesuai dengan etiologinya.harus sesuai
dengan etiologinya.
15
DAFTAR PUSTAKA
1. Lazoff M.2010 Ensefalitis. Diakses dari
www.emedicine.medscape.com/article/791896/overview/htm pada 30 Mei
2011.
2. Chauduri, A., P.G.E Kennedy.2002.Diagnosis and treatment of viral
ensefalitis. Diakses dari pmj.bmj.com/content/78/924/575.full diakses pada
30 Mei 2012.
3. Solomon ,Tom,et al.2007. Viral Ensefalitis : a Clinician’s Guide. diakses
dari http://Journals.BMJ.com/CGL/Reprintform pada 30 Mei 2012
4. Pusponegoro, Hardiono D.2000. Ensefalitis Herpes Simplex pada Anak.
Diakses dari www.idai.or.id/saripediatri/fulltext.asp?q=142 pada 13 Juni
2012.
5. Behrman, Kliegman.2000. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC
6. Whitley RJ. Herpes simplex virus infections of the central nervous system.
A review. Am J Med 1988; 85 (Supp 2A):61-7.
7. Oxman MN. Herpes simplex encephalitis and meningitis. Dalam Braude
Al, Davis CE, Fierer J penyunting. Infectious diseases and medical
microbiology, 2nd ed. Philadelphia: Saunders 1986:h.1114-30.
8. Brett EM. Herpes simplex virus encephalitis in children. Br Med J 1986;
293:1388-9.
9. Braun P. The clinical management of suspected herpes virus encephalitis. A
decision-analytic view. Am J Med
10. Pudjiadi, dkk.2010. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Jakarta : IDAI
11. Mardjono M, Sidharta P. Mekanisme infeksi susunan syaraf. Neurologi
Klinis Dasar. Dian Rakyat.Jakarta.2010, p303-15
12. Suharso, Darto, erny. 2005. Ensefalitis Herpes simpleks. Diakses dari
http://www.pediatrik.com/pkb/20060220-ed4ayk-pkb.pdf pada 27 Juni
2012
13. Kneen, dkk. 2012.Ensefalitis in Children. Diakses dari
http://www.medscape.com/viewarticle/757590 pada 18 Mei 201216
14. Sutton D, Stevens J, Mizklel K. 2003. Text book of radiology and imaging
7th ed. London : Churchill Livingstone ; p. 1726
15. Moritani T, Ekhlom S, Westesson PL. Pediatrics. In : Diffusion-weighted
MR imaging of the brain. New York : Springer ; p. 191
16. Rayamajhi, dkk. 2011. Clinical and prognostic features among
childrenwith acute ensefalitis syndrome in Nepal;a retrospective study. Di
akses dari http://www.biomedcentral.com/1471-2334/11/294 pada 2 Juni
2012
17. Saharso, Darto. 2000. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI
18. Bergelson.2009.Pedriatric Practise Infectious Disease.
Philadelphia:Evesier
19. Shah, Samir.2009. Infection of Pediatric. United States: McGraw
20. Mindel A. Herpes simplex virus. London: Springer- Verlag, 1989.
17
Recommended