Download docx - Asfiksia Forensik

Transcript

BAB IPENDAHULUAN

1.1. Latar BelakangSistem respirasi memainkan peranan penting yang esensial dalam mencegah hipoksia jaringan dengan mengoptimalkan kadar oksigen di dalam darah pada arteri melalui pertukaran gas yang efisien.Sistem pernapasan melaksanakan pertukaran udara antar atmosfer dan paru melalui proses ventilasi. Pertukaran O2dan CO2 dalam paru dan darah dalam kapiler paru berlangsung melalui dinding kantung udara atau alveolus yang sangat tipis. Saluran pernapasan menghantarkan udara dari atmosfer ke bagian paru tempat pertukaran gas berlangsung. Paru terletak dalam kompartemen toraks yang tertutup, yang volumenya dapat diubah-ubah oleh aktivitas kontraksi otot-otot pernapasan.Tiga tahap yang terlibat pada proses pertukaran gas adalah: VentilasiVentilasi atau bernapas adalah proses pergerakan udara masuk-keluar paru secara berkala sehingga udara alveolus yang lama dan telah ikut serta dalam pertukaran O2dan CO2dengan darah kapiler paru diganti oleh udara atmosfer segar. Mekanisme ventilasi: Pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-paru terjadi karena perbedaan tekanan yang disebabkan oleh perubahan dalam volume paru-paru. Udara mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Kita tidak dapat merubah tekanan atmosfer sekitar kita menjadi lebih tinggi dibanding tekanan dalam paru-paru, alternatif yang mungkin adalah menurunkan tekanan dalam paru-paru dengan memperluas rongga thoraks.Ventilasi secara mekanis dilaksanakan dengan mengubah secara berselang-seling arah gradien tekanan untuk aliran udara antara atmosfer dan alveolus melalui ekspansi dan penciutan berkala paru. Kontraksi dan relaksasi otot-otot inspirasi (terutama diafragma) yang berganti-ganti secara tidak langsung menimbulkan inflasi dan deflasi periodik paru dengan secara berkala mengembang-kempiskan rongga toraks dengan paru secara pasif mengikuti gerakannya.Karena kontraksi otot inspirasi memerlukan energi, inspirasi adalah proses aktif, tetapi ekspirasi adalah proses pasif pada bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energi. Untuk ekspirasi aktif yang lebih kuat, kontraksi otot-otot ekspirasi (terutama otot abdomen) semakin memperkecil ukuran rongga toraks dan paru yang semakin meningkatkan gradien tekanan intra-alveolus terhadap atmosfer. Semakin besar gradien antara alveolus dan atmosfer, semakin besar laju aliran udara, karena udara terus mengalir sampai tekanan intra-alveolus seimbang dengan tekanan atmosfer.Selain secara langsung proporsional dengan gradien tekanan, laju aliran udara juga berbanding terbalik dengan resistensi saluran pernapasan. Karena resistensi saluran pernapasan, yang bergantung pada kaliber saluran pernapasan, dalam keadaan normal sangat rendah, laju aliran udara biasanya bergantung pada gradien gradien tekanan yang tercipta antara alveolus dan atmosfer. Apabila resistensi saluran pernapasan meningkat secara patologis akibat penyakit paru obstruktif menahun, gradien tekanan harus juga meningkat melalui peningkatan aktivitas otot pernapasan agar laju aliran udara konstan. PerfusiDinding alveoli mengandung cabang kapiler yang padat yang membawa darah vena dari jantung kanan. Barriernya yang sangat tipis memisahkan darah pada kapiler dan udara di alveoli. Perfusi darah melewati kapiler ini menyebabkan terajdinya difusi dan pertukaran gas.Untuk memperoleh pertukaran gas yang efisien , aliran gas (ventialsi:V) dan aliran darah (perfusi:Q) harus seimbang. Rasio V:Q yang normal sekitar 1:1. Ketidakseimbangan ventilasi:perfusi adalah penyebab umum dari hipoksemia dan mendasari banyak penyakit sistem respirasi. DifusiPada pertukaran gas, difusi terjadi melewati kapiler alveolar membrane. Difusi molekul O2dan CO2terjadi sepanjang gradient tekanan parsial. Udara pada atmosfer dihirup dan dilembabkan mengandung 21 % oksigen. Hal ini berarti 21 % dari total molekul di udara adalah oksigenOksigen bertanggung jawab untuk 21 % dari total tekanan udara; ini yang disebut tekanan parsial, diukur dalam mmHg atau kPa daan disingkat PO2Oksigen dan CO2bergerak melintasi membran tubuh melalui proses difusi pasif mengikuti gradien tekanan parsial. Difusi netto O2mula-mula terjadi antara alveolus dan darah, kemudian antara darah dan jaringan akibat gradien tekanan parsial O2yang tercipta oleh pemakian terus menerus O2oleh sel dan pemasukan teru-menerus O2segar melalui ventilasi. Difusi netto CO2terjadi dalam arah yang berlawanan, pertama-tama antara jaringan dan darah, kemudian antara darah dan alveolus, akibata gradien tekanan parsial CO2yang tercipta oleh produksi terus-menerus CO2oleh sel dan pengeluaran terus-menerus CO2alveolus oleh proses ventilasi. Transportasi gasKarena O2dan CO2tidak terlalu larut dalam darah, keduanya terutama harus diangkut dalam mekanisme selain hanya larut secara fisik. Hanya 1,5% O2yang larut secara fisik dalam darah, dengan 98,5% secara kimiawi berikatan dengan hemoglobin (Hb). Faktor utama yang menentukan seberapa banyak O2yang berikatan dengan Hb adalah PO2darah. Karbon dioksida yang diserap di kapiler sistemik diangkut dalam darah dengan tiga cara : 10% larut secara fisik. 30% terikat ke Hb. 60% dalam bentuk bikarbonat (HCO3)Kondisi-kondisi yang berkaitan dengan asfiksia adalah sebagai berikut: Gangguan pertukaran udara pernapasan. Penurunan kadar oksigen (O2) dalam darah (hipoksia). Peningkatan kadar karbondioksida (CO2) dalam darah (hiperkapnea). Penurunan suplai oksigen (O2) ke jaringan tubuh.Kerusakan akibat asfiksia disebabkan oleh gagalnya sel menerima atau menggunakan oksigen. Kegagalan ini diawali dengan hipoksemia. Hipoksemia adalah penurunan kadar oksigen dalam darah. Manifestasi kliniknya terbagi dua yaitu hipoksia jaringan dan mekanisme kompensasi tubuh. Tingkat kecepatan rusaknya jaringan tubuh bervariasi. Yang paling membutuhkan oksigen adalah sistem saraf pusat dan jantung. Terhentinya aliran darah ke korteks serebri akan menyebabkan kehilangan kesadaran dalam 10-20 detik. Jika PO2jaringan dibawah level kritis, metabolisme aerob berhenti dan metabolisme anaerob berlangsung dengan pembentukan asam laktat.

1.2. Tujuan PembahasanAgar Mahasiswa mengetahui dan memahami tentang asfiksia dan penulisan Visum et Repertum sesuai tingkat kompetensi yang telah ditentukan Standar Kompetensi Kedokteran Indonesia (SKDI) 2012.

Modul XXII Medikolegal Skenario 3 27

1.3. Rumusan MasalahAdapun skenario yang kami dapatkan sebagai berikut:

SKENARIO 3MATI TENGGELAM (DROWNING)Dijumpai sesosok mayat wanita terapung di sungai. Masyarakat setempat melaporkan temuan tersebut ke polisi dan kemudian mayat dibawa ke kamar mayat suatu rumah sakit. Pada mayat dijumpai tanda-tanda asfiksia seperti sianosis pada kuku dan bibir , perdarahan pada subconjunctiva, terdapat buih hallus yang sukar pecah di hidung , juga dijumpai cadaveric spasme, women washers hand, dan cutis anserina. Polisi mencurigai kematian korban akibat tindakan pidana., dimana korban dibunuh terlebih dahulu baru ditenggelamkan, sehingga polisi meminta kepada dokter di rumah sakit tersebut untuk membuatkan VeR.

Dari skenario tersebut, kami merumuskan beberapa learning objectives diantaranya:Mengetahui dan memahami tentang asfiksia dan visum et repertum:1) Definisi asfiksia2) Klasifikasi asfiksia3) Etiologi asfiksia4) Patofisiologi asfiksia5) Gejala dan tanda post mortem6) Definisi VeR7) Manfaat VeR8) Bentuk dan Susunan VeR9) Aspek Hukuum VeR

1.4. Metode dan TeknikDalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang sering digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, dimana kami menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari sumber data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis sehingga diperoleh informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu berbagai referensi yang didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai dengan pembahasan yang akan dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan dengan tujuan pembuatan makalah ini.Itulah sekilas tentang metode dan teknik yang digunakan dalam penyusunan makalah ini.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1. Asfiksia 2.1.1. DefinisiAsfiksia adalah kumpulan dari berbagai keadaan dimana terjadi gangguan dalam pertukaran udara pernapasan yang normal. Gangguan tersebut dapat disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan dan gangguan yang diakibatkan karena terhentinya sirkulasi. Kedua gangguan tersebut akan menimbulkan suatu keadaan dimana oksigen dalam darah berkurang (hipoksia) yang disertai dengan peningkatan kadar karbondioksida (hiperkapnea) (Idries, 1997).Asfiksia dalam bahasa Indonesia disebut dengan mati lemas. Sebenarnya pemakaian kata asfiksia tidaklah tepat, sebab kata asfiksia ini berasal dari bahasa Yunani, menyebutkan bahwa asfiksia berarti absence of pulse (tidak berdenyut), sedangkan pada kematian karena asfiksia, nadi sebenarnya masih dapat berdenyut untuk beberapa menit setelah pernapasan berhenti. Istilah yang tepat secara terminologi kedokteran ialah anoksia atau hipoksia (Knight, 2001).

2.1.2. Etiologi2.1.2.1. AlamiahMisalnya penyakit yang menyumbat saluran pernafasan seperti laringitis difteri, atau menimbulkan gangguan pergerakan paru seperti fibrosis paru.2.1.2.2. MekanikKerusakan akibat asfiksia (asphyxial injuries) dapat disebabkan oleh kegagalan sel-sel untuk menerima atau menggunakan oksigen. Kehilangan oksigen dapat terjadi parsial (hipoksia) atau total (anoksia). Asphyxial injuries dapat dibagi menjadi empat kategori umum, yaitu:a. Penutupan saluran pernafasan bagian atas: SuffocationPeristiwa suffokasi dapat terjadi jika oksigen yang ada di udara lokal kurang memadai, seperti misalnya di dalam satu ruang kecil tanpa ventilasi cukup berdesak-desakan dengan banyak orang, pertambangan yang mengalami keruntuhan, ataupun terjebak di dalam ruang yang tertutup rapat. Kematian dalat terjadi dalam beberapa jam, tergantung dari luasnya ruangan serta kebutuhan oksigen bagi orang yang berada di dalamnya. Sebab kematian pada peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari hipoksia, keracunan CO2, hawa panas dan kemungkinan juga cedera yang terjadi, misalnya pada saat peristiwa kebakaran gedung. SmotheringSmothering (pembekapan) adalah bentuk safiksia yang disebabkan oleh penutupan lubang hidung dan mulut. Penutupan dpat dilakukan dengan mengguankan tangan atau suatu benda yang lunak, misalnya bantal atau selimut yang dilipat. Peristiwa pembekapan dapat terjadi karena pembunuhan, kecelakaan atau bunuh diri. Kecelakaan dapat terjadi ketika anak-anak bermain dengan memasukkan kepala ke dalam kantong plastik dan mengikatnya di leher, meskipun cara ini juga dapat digunakan oleh orang dewasa untuk melakan pembunuhan atau bunuh diri. Gangging & chokingKeduanya merupakan jenis asfiksia yang disebabkan blokade jalan nafas oleh benda asing yang datangnya dari luar ataupun dari dalam tubuh, misalnya seperti inhalasi mutahan (aspirasi), tersedak makanan, tumor, jatuhnya lidah ke belakang ketika dalam keadaan tidak sadar, bekuan darah atau lepasnya gigi palsu. Gejalanya sangat khas, yakni dimulai dengan batuk-batuk yang terjadi secara tiba-tiba, kemudian disusul sianosis dan akhirnya meninggal.Peristiwa ini dapat karena bunuh diri (meskipun sulit untuk memasukkan benda asing ke dalam mulutnya sendiri, karena akan ada reflek batuk atau muntah), pembunuhan (umumnya korban adalah bayi, orang dengan fisik lemah atau tak berdaya) dan kecelakaan (misalnya tersedak makanan hingga menyumbat saluran nafas).Mekanisme kematian yang mungkin terjadi adalah asfiksia atau refleks vagal akibat rangsangan pada reseptor nervus vagus di arkus faring yang menimbulkan inhibisi kerja jantung dengan akibat cardiac arrest dan kematian. Pada gangging, sumbatan terdapat dalam orofaring, sedangkan pada choking sumbatan terdapat lebih dalam, yakni pada laringofaring.b. Penekanan dinding saluran pernafasan StrangulationPenjeratan, adalah penekanan benda asing yang permukaannya relatif sempit dan panjang, dapat berupa tali, ikat pinggang, rantai, stagen, dan sebagainya, melingkari atau mengikat leher yang makin lama makin kuat di mana kekauatan jeratan berasal dari tarikan keua ujungnya, sehingga secara berturutan pembuluh darah balik, arteri superfisial dan saluran nafas tertutup. Biasanya arteri vertebralis tetap paten, hal ini disebabkan karena kekuatan atau beban yang menekan pada penjeratan biasanya tidak besar. Mekanisme matinya bisa karena tertutupnya jalan nafas hingga terjadi asfikisa, atau tertutupnya vena hingga anoksia otak, atau refleks vagal atau karena tertutupnya arteri karotis sehingga otak kekurangan darah.Penjeratan biasanya merupakan peristiwa pembunuhan, meskipun dapat karena bunuh diri maupun kecelakaan (misalnya selendang yang dililitkan di leher tertarik roda saat mengendari motor). Manual strangulation/throttlingPencekikkan adalah penekanan leher dengan tangan yang menyebabkan dinding saluran nafas bagian atas tertekan dan terjadi penyempitan saluran nafas, sehingga udara pernafasan tidak dapat lewat. Mekanisme matinya adalah karena asfiksia ataupun refleks vagal yang terjadi akibat rangsang pada reseptor nervus vagus pada corpus caroticus di percabangan arteri karotis interna dan eksterna. Cekikan merupakan jenis strangulasi yang hampir selalu disebabkan oleh pembunuhan. Dapat disebabkan kecelakaan, misal pada saat latihan bela diri atau pembuatan film, meskipun sangat jarang dan tidak mungkin digunakan untuk bunuh diri, sebab cekikkan akan lepas begitu orang yang melakukan bunuh diri itu muali kehilangan kesadaran. HangingPenggantungan / peristiwa gantung adalah peristiwa di mana seluruh atau sebagian dari berat tubuh seseorang ditahan di bagian lehernya oleh sesuatu benda dengan permukaan yang relatif sempit dan panjang (biasanya tali) sehingga daerah tersebut mengalami tekanan. Kasus ini hampir sama dengan penjeratan, bedanya adalah asal tenaga yang dibutuhkan untuk memperkecil jeratan. Pada penjeratan, tenaga datang dari luar, sedangkan pada penggantungan, tenaga bersal dari berat badan korban sendiri, meskipun tidak perlu seluruh berat badan digunakan.Pada penggantungan tidak harus seluruh tubuh berada di atas lantai, sebab dengan tekanan berkekuatan 10 pon pada leher sudah cukup menghentikan aliran darah di daerah itu. Sehingga tindakan gantung diri dapat saja dilakukan dengan sebagian tubuh tetap berada/menempel lantai.Peristiwa penggantungan tidak identik dengan bunuh diri, karena bisa saja karena pembunuhan maupun kecelakaan. Mekanisme kematian pada peristiwa penggantungan bisa karena asfiksia, gangguan sirkulasi darah ke otak (akibat terhambatnya aliran arteri-arteri leher), refleks vagal ataupun karena kerusakan medulla spinalis akibat dislokasi/fraktur vertebra cervicalis (bisa pada sendi atlantoaxial).c. Penekanan dinding dada dari luar (asfiksia traumatik)Terjadi akibat penekanan dari luar pada dinding dada yang menyebabkan dada terfiksasi, kadang hingga perut, hingga menimbulkan gangguan gerak pernafasan, misalnya saat dada atau seluruh badan tertimbun pasir, tanah, runtuhan tembok, tergencet saat saling berdesakan, ataupun tergencet stir mobil. Akibatnya gerakan pernafasan tidak mungkin terjadi sehingga tubuh mengalami asfiksia. Istilah lain untuk asfiksia jenis ini adalah crush asphyxia.d. Saluran pernafasan terisi air (tenggelam/drowning)Kematian karena tenggelam biasanya didefinisikan sebagai kematian akibat mati lemas disebabkan masuknya cairan ke dalam saluran pernafasan. Istilah tenggelam sebenarnya harus pula mencakup proses yang terjadi akibat terbenamnya korban dalam air yang menyebabkan kehilangan kesadaran dan mengancam jiwa, meskipun pada peristiwa tenggelam tidak seluruh tubuh harus masuk dalam air. Asalkan lubang hidung dan mulut berada di bawah permukaan air, maka hal itu sudah cukup memenuhi kriteria peristiwa tenggelam. Berdasarkan pengertian tersebut, maka peristiwa tenggelam tidak hanya terjadi di laut atau sungai tetapi juga dapat terjadi di dalam wastafel atau ember berisi air.

2.1.3. Jenis AsfiksiaSecara fisiologi dapat dibedakan 4 bentuk anoksia (Amir, 2008), yaitu: 2.1.3.1. Anoksia Anoksik (Anoxic anoxia) Pada tipe ini O2 tidak dapat masuk ke dalam paru-paru karena: Tidak ada atau tidak cukup O2. Bernafas dalam ruangan tertutup, kepala di tutupi kantong plastik, udara yang kotor atau busuk, udara lembab, bernafas dalam selokan tetutup atau di pegunungan yang tinggi. Ini di kenal dengan asfiksia murni atau sufokasi. Hambatan mekanik dari luar maupun dari dalam jalan nafas seperti pembekapan, gantung diri, penjeratan, pencekikan, pemitingan atau korpus alienum dalam tenggorokan. Ini di kenal dengan asfiksia mekanik. 2.1.3.2. Anoksia Anemia (Anemia anoxia) Di mana tidak cukup hemoglobin untuk membawa oksigen. Ini didapati pada anemia berat dan perdarahan yang tiba-tiba. Keadaan ini diibaratkan dengan sedikitnya kendaraan yang membawa bahan bakar ke pabrik. Darah (hemoglobin) tidak dapat mengikat atau membawa oksigen yang cukup untuk metabolisme seluler, seperti pada keracunan karbon monoksida, karena afinitas CO terhadap hemoglobin jauh lebih tinggi dibandingkan afinitas oksigen dengan hemaoglobin (teori pertukaran / difusi O2 dan CO2 serta kurva disosiasi).2.1.3.3. Anoksia Hambatan (Stagnant anoxia) Tidak lancarnya sirkulasi darah yang membawa oksigen. Ini bisa karena gagal jantung, syok dan sebagainya. Dalam keadaan ini tekanan oksigen cukup tinggi, tetapi sirkulasi darah tidak lancar. Keadaan ini diibaratkan lalu lintas macet tersendat jalannya.

2.1.3.4. Anoksia Jaringan (Hystotoxic anoxia) Gangguan terjadi di dalam jaringan sendiri, sehingga jaringan atau tubuh tidak dapat menggunakan oksigen secara efektif. Tipe ini dibedakan atas: Ekstraseluler Anoksia yang terjadi karena gangguan di luar sel. Pada keracunan Sianida terjadi perusakan pada enzim sitokrom oksidase, yang dapat menyebabkan kematian segera. Pada keracunan Barbiturat dan hipnotik lainnya, sitokrom dihambat secara parsial sehingga kematian berlangsung perlahan. Intraselular Di sini oksigen tidak dapat memasuki sel-sel tubuh karena penurunan permeabilitas membran sel, misalnya pada keracunan zat anastetik yang larut dalam lemak seperti kloform, eter dan sebagainya. MetabolikDi sini asfiksia terjadi karena hasil metabolik yang mengganggu pemakaian O2 oleh jaringan seperti pada keadaan uremia. Substrat Dalam hal ini makanan tidak mencukupi untuk metabolisme yang efisien, misalnya pada keadaan hipoglikemia.

2.1.4. Patofisiologi dan Patogenesis2.1.4.1. PrimerKekurangan oksigen ditemukan di seluruh tubuh, tidak tergantung pada tipe dari asfiksia. Sel - sel otak sangat sensitif terhadap kekurangan O2. Apa yang terjadi pada sel yang kekurangan O2belum dapat diketahui, tapi yang dapat diketahui adanya perubahan elektrolit dimana kalium meninggalkan sel dan diganti natrium mengakibatkan terjadinya retensi air dan gangguan metabolisme. Di sini sel - sel otak yang mati akan digantikan oleh jaringan glial.Akson yang rusak akan mengalami pertumbuhan(sprouting)pada kedua ujung yang terputus oleh jaringan parut tersebut. Akan tetapi hal ini tidak mengakibatkan tersambungnya kembali akson yang terputus, karena terhalang oleh jaringan parut yang terdiri dari sel glia. Bila orang yang mengalami kekurangan anoksia dapat hidup beberapa hari sebelum meninggal perubahan tersebut sangat khas pada sel - sel serebrum, serebelum dan ganglia basalis. Akan tetapi bila orangnya meninggal cepat, maka perubahannya tidak spesifik dan dapat dikaburkan dengan gambaran postmortem autolisis. Pada organ tubuh yang lain yakni jantung, paru - paru, hati, ginjal dan yang lainnya perubahan akibat kekurangan O2langsung atau primer tidak jelas.2.1.4.2. SekunderJantung berusaha mengkompensasi keadaan tekanan oksigen yang rendah dengan mempertinggi outputnya, akibatnya tekanan arteri dan vena meninggi. Karena oksigen dalam darah berkurang terus dan tidak cukup untuk kerja jantung maka terjadi gagal jantung dan kematian berlangsung dengan cepat. Keadaan ini didapati pada:a. Penutupan mulut dan hidung ( pembekapan )b. Obstruksi jalan nafasseperti pada mati gantung, penjeratan, pencekikan dan korpus alienum dalam saluran nafas atau pada tenggelam karena cairan menghalangi udara masuk ke paru paruc. Gangguan gerakan pernafasan karena terhimpit atau berdesakan (traumatic asphyxia)d. Penghentian primer dari pernafasanakibat kegagalan pada pusat pernafasan, misalnya pada keracunan.

2.1.5. Tanda-Tanda Asfiksia2.1.5.1. Stadium AsfiksiaPada orang yang mengalami asfiksia akan timbul gejala yang dapat dibedakan dalam 4 stadium (Amir, 2008), yaitu: a. Stadium Dispnea Terjadi karena kekurangan O2 disertai meningkatnya kadar CO2 akan merangsang pusat pernafasan, gerakan pernafasan (inspirasi dan ekspirasi) bertambah dalam dan cepat disertai bekerjanya otot-otot pernafasan tambahan. Wajah cemas, bibir mulai kebiruan, mata menonjol, denyut nadi dan tekanan darah meningkat. Bila keadaan ini berlanjut, maka masuk ke stadium kejang. b. Stadium Kejang Berupa gerakan klonik yang kuat pada hampir seluruh otot tubuh, kesadaran hilang dengan cepat, dan akhirnya timbul spasme opistotonik. Pupil mengalami dilatasi, denyut jantung menurun, tekanan darah juga menurun. Efek ini berkaitan dengan paralisis pusat yang lebih tinggi dalam otak akobat kekurangan O2.. Denyut nadi dan tekanan darah masih tinggi, sianosis makin jelas. Bila kekurangan O2 ini terus berlanjut, maka penderita akan masuk ke stadium apnoe.c. Stadium Apnea Korban kehabisan nafas karena depresi pusat pernafasan, otot menjadi lemah, hilangnya refleks, dilatasi pupil, tekanan darah menurun, pernafasan dangkal dan semakin memanjang, akhirnya berhenti bersamaan dengan lumpuhnya pusat-pusat kehidupan dan akibat dari relaksasi sfingter dapat terjadi pengeluaran cairan sperma, urine, dan tinja. Walaupun nafas telah berhenti dan denyut nadi hampir tidak teraba, pada stadium ini bisa dijumpai jantung masih berdenyut beberapa saat lagi. d. Fase AkhirTerjadi paralisis pusat pernapasan yang lengkap. Pernapasan berhenti setelah kontraksi otomatis otot pernapasan kecil pada leher. Jantung masih berdenyut beberapa saat setelah pernapasan berhenti. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 4-5 menit.Fase 1 dan 2 berlangsung 3-4 menit. Hal ini tergantung dari tingkat penghalangan O2. Bila penghalangan O2tidak 100 %, maka waktu kematian akan lebih lama dan tanda-tanda asfiksia akan lebih jelas dan lengkap. Masa dari saat asfiksia timbul sampai terjadinya kematian sangat bervariasi. Umumnya berkisar antara 3-5 menit.2.1.5.2. Tanda Kardinal Asfiksia Selama beberapa tahun dilakukan autopsi untuk mendiagnosis kematian akibat asfiksia, telah ditetapkan beberapa tanda klasik (Knight, 1996), yaitu: a. Tardieus spot (Petechial hemorrages) Tardieus spot terjadi karena peningkatan tekanan vena secara akut yang menyebabkan overdistensi dan rupturnya dinding perifer vena, terutama pada jaringan longgar, seperti kelopak mata, dibawah kulit dahi, kulit dibagian belakang telinga, circumoral skin, konjungtiva dan sklera mata. Selain itu juga bisa terdapat dipermukaan jantung, paru dan otak. Bisa juga terdapat pada lapisan viseral dari pleura, perikardium, peritoneum, timus, mukosa laring dan faring, jarang pada mesentrium dan intestinum.

b. Kongesti dan Oedema Ini merupakan tanda yang lebih tidak spesifik dibandingkan dengan ptekie. Kongesti adalah terbendungnya pembuluh darah, sehingga terjadi akumulasi darah dalam organ yang diakibatkan adanya gangguan sirkulasi pada pembuluh darah. Pada kondisi vena yang terbendung, terjadi peningkatan tekanan hidrostatik intravaskular (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam vaskular oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi oedema). c. Sianosis Merupakan warna kebiru-biruan yang terdapat pada kulit dan selaput lendir yang terjadi akibat peningkatan jumlah absolut Hb tereduksi (Hb yangtidak berikatan dengan O2). Ini tidak dapat dinyatakan sebagai anemia, harus ada minimal 5 gram hemoglobin per 100 ml darah yang berkurang sebelum sianosis menjadi bukti, terlepas dari jumlah total hemoglobin. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah. d. Lebam Mayat yang KhasWarna lebam mayat merah kebiruan gelap dan terbentuk lebih cepat. Distribusi lebam lebih luas dan warna lebih gelapakibat kadar CO2 yang tinggi dan aktivitas fibrinolisin dalam darah sehingga darah sukar membeku dan mudah mengalir. Pada kasus keracunan sianida dan CO, lebam jenazah berwarna merah terang meskipun tidak selalu demikian, sebab masing-masing mempunyai kadar oskihemoglobin dan CO-Hb yang tinggi.

e. Tetap cairnya darah Terjadi karena peningkatan fibrinolisin paska kematian. Gambaran tentang tetap cairnya darah yang dapat terlihat pada saat autopsi pada kematian akibat asfiksia adalah bagian dari mitologi forensik. Pembekuan yang terdapat pada jantung dan sistem vena setelah kematian adalah sebuah proses yang tidak pasti, seperti akhirnya pencairan bekuan tersebut diakibatkan oleh enzim fibrinolitik. Hal ini tidak relevan dalam diagnosis asfiksia 2.1.5.3. Tanda Khusus Asfiksia Didapati sesuai dengan jenis asfiksia (Amir, 2007), yaitu: a. PembekapanPada pembekapan, kelainan terdapat disekitar lobang hidung dan mulut. Dapat berupa luka memar atau lecet. Perhatikan bagian di belakang bibir luka akibat penekanan pada gigi, begitu pula di belakang kepala atau tengkuk akibat penekanan. Biasanya korban anak-anak atau orang yang tidak berdaya. Bila dilakukan dengan bahan halus, kadang-kadang sulit mendapatkan tanda-tanda kekerasan. b. Mati tergantungKematian terjadi akibat tekanan di leher oleh pengaruh berat badan sendiri. Kesannya leher sedikit memanjang, dengan bekas jeratan di leher. Ada garis ludah di pinggir salah satu sudut mulut. Bila korban cukup lama tergantung, maka lebam mayat didapati di kedua kaki dan tangan. Namun bila segera diturunkan, maka lebam mayat akan didapati pada bagian terendah tubuh. Muka korban lebih sering pucat. Pada kebanyakan kasus forensik dengan konstriksi leher, sianosis hampir selalu diikuti dengan kongesti pada wajah, seperti darah vena yang kandungan hemoglobinnya berkurang setelah perfusi kepala dan leher dibendung kembali dan menjadi lebih biru karena akumulasi darah. Resapan darah pada jaringan bawah kulit dan otot. Tanda ini merupakan salah satu tanda intravital, yakni adanya proses reaksi inflamasi / ekstravasasi sel-sel darah pada jaringan yang menunjukkan bahwa trauma / jeratan terjadi sebelum korban meninggal.c. Gagging dan ChockingDalam rongga mulut ditemukan sumbatan benda asing.d. PenjeratanJejas jerat biasanya mendatar, melingkari leher dan umumnya terdapat lebih rendah daripada jejas jerat pada gantung. Jejas jerat biasanya terletak setinggi atau di bawah rawan gondok. Bila jerat kasar seperti tali dan tekanan kuat, maka dapat meninggalkan luka lecet yang tampak jelas berupa kulit yang mencekung berwarna coklat yang dengan perabaan teraba kaku seperti kertas perkamen. Pada peristiwa pembunuhan sering ditemukan adanya lecet-lecet atau memar di sekitar jejas jerat, biasanya terjadi karena korban berusaha membuka jeratan. Pada pemeriksaan dalam leher di sekitar jeratan, bisa tampak resapan darah pada otot dan jaringan ikat, fraktur dari tulang rawan reutama rawan gondok, dan kongesti jaringan ikat, kelenjar limnfe dan pangkal lidah. Sering ditemukan adanya buih halus kemerahan pada jalan nafas.e. PencekikanPada pemeriksaan luar, tampak pembendungan pada kepala dan muka karena tertekannya pembuluh vena dan arteries superficial, sedangkan arteri vertebrallis tidak terganggu. Tanda kekerasan pada leher ditemukan dengan distribusi berbeda-beda, tergantung cara mencekik. Luka lecet / memar di daerah leher berupa luka lecet kecil, dangkal berbentuk bulan sabit akibat penekanan kuku jari. Resapan darah di bagian dalam leher, terutama di belakang kerongkongan, dasar lidah dan kelenjar thyroid. Fraktur tulang rawan thyroid, crycoid dan hyoid. Buih halus lubang mulut dan hidung.

2.2. Visum et Repertum (VeR)2.2.1. DefinisiVisum et repertum adalah laporan tertulis untuk peradilan yang dibuat dokter berdasarkan sumpah/janji yang diucapkan pada waktu menerima jabatan dokter, memuat berita tentang segala hal yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti berupa tubuh manusia/benda yang berasal dari tubuh manusia yang diperiksa sesuai pengetahuan dengan sebaik-baiknya atas permintaan penyidik untuk kepentingan peradilan. (Amir, 1995) Visum et repertum merupakan pengganti barang bukti,Oleh karena barang bukti tersebut berhubungan dengan tubuh manusia (luka, mayat atau bagian tubuh). KUHAP tidak mencantum kata visum et repertum. Namun visum et repertum adalah alat bukti yang sah. Bantuan dokter pada penyidik: Pemeriksaan Tempat Kejadian Perkara (TKP), pemeriksaan korban hidup, pemeriksaan korban mati. Penggalian mayat, menentukan umur seorang korban / terdakwa, pemeriksaan jiwa seorang terdakwa, pemeriksaan barang bukti lain (trace evidence). (Idries, 1997)

2.2.2. Manfaat VeRManfaat dari visum et repertum ini adalah untuk menjernihkan suatu perkara pidana, bagi proses penyidikan dapat bermanfaat untuk pengungkapan kasus kejahatan yang terhambat dan belum mungkin diselesaikan secara tuntas. (Soeparmono, 2002) Visum et repertum juga berguna untuk membantu pihak tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi ahli dan atau seseorang yang memiliki keahlian khusus untuk memberikan keterangn yang meringankan atau menguatkan bagi dirinya yaitu saksi ahli. (Soeparmono, 2002)Visum et repertum ini juga dapat bermanfaat sebagai petunjuk, dimana petunjuk itu adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaianya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (Hamzah, 1996)

2.2.3. Jenis-Jenis VeR2.2.3.1. VeR Orang HidupJenis visum et repertum pada orang hidup terdiri dari (Idries, 2009) a. Visum seketika adalah visum yang dibuat seketika oleh karena korban tidak memerlukan tindakan khusus atau perawatan dengan perkataan lain korban mengalami luka - luka ringan b. Visum sementara adalah visum yang dibuat untuk sementara berhubung korban memerlukan tindakan khusus atau perawatan. Dalam hal ini dokter membuat visum tentang apa yang dijumpai pada waktu itu agar penyidik dapat melakukan penyidikan walaupun visum akhir menyusul kemudian c. Visum lanjutan adalah visum yang dibuat setelah berakhir masa perawatan dari korban oleh dokter yang merawatnya yang sebelumnya telah dibuat visum sementara untuk awal penyidikan. Visum tersebut dapat lebih dari satu visum tergantung dari dokter atau rumah sakit yang merawat korban. 2.2.3.2. VeR Orang Mati (Jenazah)Jenis visum et repertum pada orang mati atau mayat a. Pemeriksaan luar adalah dapat diminta oleh penyidik tanpa pemeriksaan dalam atau otopsi berdasarkan KUHP pasal 133. b. Pemeriksaan luar dan dalam adalah jenazah : sesuai dengan KUHAP pasal 134 ayat 1 Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. Ayat 2 Dalam hal keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan dilakukan pembedahan tersebut. Ayat 3 Apabila dalam waktu 2 hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.

2.2.4. Bentuk dan Susunan VeRKerangka dasar VeR terdiri dari 5 bagian yaitu:a. Pro justisia, pada bagian atas, untuk memenuhi persyaratan yuridis, pengganti materai. Penulisan kata pro justitia lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan.b. Pendahuluan, memuat identitas dokter pemeriksa pembuat visum et repertum, identitas peminta visum et repertum, saat dan tempat dilakukanya pemeriksaan dan identitas barang bukti (manusia), sesuai dengan identitas yang tertera di dalam surat permintaan visum et repertum dari pihak penyidik dan lebel atau segel. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum dalam permintaan visum.c. Pemberitaan atau hasil pemeriksaan, memuat segala sesuatu yang di lihat dan ditemukan pada barang bukti yang di periksa oleh dokter, dengan atau tanpa pemeriksaan lanjutan (pemeriksaan laboratorium), yakni bila dianggap perlu, sesuai dengan kasus dan ada tidaknya indikasi untuk itu. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara obyektif. Dapat disertai lampiran foto atau sketsa.d. Kesimpulan, memuat inti sari dari bagian pemberitaan atau hasil pemeriksaan, yang disertai dengan pendapat dokter yang bersangkutan sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya (subyektif). e. Penutup, bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat sejujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan hal itu, dokter mencantumkan Staatsblad 1937 no. 350 atau dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai KUHAP.

2.2.5. Landasan Hukum VeRVisum et Repertumadalah keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik tentang pemeriksaan medis terhadap seseorang manusia baik hidup maupun mati ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Menurut Budiyanto dkk (Ilmu Kedokteran Forensik,1997) , dasar hukumVisum et Repertumadalah sebagai berikut :Pasal 133 KUHAP menyebutkan:(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.Selanjutnya,keberadaanVisum et Repertum tidak hanya diperuntukkan kepada seorang korban (baik korban hidup maupun tidak hidup) semata, akan tetapi untuk kepentingan penyidikan juga dapat dilakukan terhadap seorang tersangka sekalipun seperti VR Psikiatris. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan dalam KUHAP yaitu :Pasal 120 (1) KUHAPDalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.Apabila pelaku perbuatan pidana tidak dapat bertanggung jawab, maka pelaku dapat dikenai pidana. Sebagai perkecualian dapat dibaca dalam Pasal 44 KUHP sebagai berikut:a. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana.b. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan dalam Rumah Sakit Jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.c. Ketentuan tersebut dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.Dalam menentukan adanya jiwa yang cacat dalam tumbuhnya dan jiwa yang terganggu karena penyakit, sangat dibutuhkan kerjasama antar pihak yang terkait, yaitu ahli dalam ilmu jiwa (dokter jiwa atau kesehatan jiwa), yang dalam persidangan nanti muncul dalam bentukVisum et Repertum Psychiatricum,digunakan untuk dapat mengungkapkan keadaan pelaku perbuatan (tersangka) sebagai alat bukti surat yang dapat dipertanggungjawabkan.Yang berwenang meminta keterangan ahli adalah penyidik dan penyidik pembantu sebagaimana bunyi pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP. Penyidik yang dimaksud di sini adalah penyidik sesuai dengan pasal 6(1) butir a, yaitu penyidik yang pejabat Polisi Negara RI. Penyidik ini adalah penyidik tunggal bagi pidana umum, termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena Visum et Repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan jiwa manusia, maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta Visum et Repertum , karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7(2) KUHAP). Sanksi hukum bila dokter menolak permintaan penyidik, dapat dikenakan sanksi pidana:Pasal 216 KUHP :Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasar- kan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau mengga-galkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah.

BAB IIIPENUTUP

3.1. Pembahasan SkenarioTenggelam atau drowning adalah bentuk kematian akibat asfiksia karena terhalangnya udara masuk ke dalam saluran pernafasan/ sufokasi akibat tersumbat oleh cairan. Aspirasi cairan ke dalam trakea dan bronkus menyebabkan obstruksi jalan nafas, bronkokonstriksi, hilangnya surfaktan, kerusakan alveolar dan endotel kapiler. Tanda post mortem yang menjadi petunjuk seseorang mati tenggelam yaitu: Pakaian / mayat basah, kadang bercampur pasir, lumur dan benda-benda asing lain yang terdapat dalam air. Cutis anserina pada kulit permukaan anterior tubuh, terutama pada ekstremitas akibat kontraksi otot errector pilli yang dapat terjadi karena rangsang dinginnya air (sebagai gambaran seperti saat seseorang berdiri bulu kuduknya / merinding) Kulit telapak tangan dan kaki, kadang menyerupai washer woman hand/skin, yakni berwarna keputihan dan berkeriput yang disebabkan imbibisi cairan ke dalam kulit dan biasanya membutuhkan waktu kurang lebih 12 jam Cadaveric spasm, merupakan tanda intravital yang terjadi pada waktu korban berusaha menyelamatkan diri dengan memegang apa saja benda-benda disekitarnya, seperti rumput atau benda lain dalam air. Menurut eori, terjadinya kejang yang instan pasca kematian ini akibat kekakuan saraf. Cadaveric spasme tidak akan hilang setelah kematian, beda halnya dengan rigor mortis Buih halus dari mulut dan hidung berbentuk seperti jamur (mushroom-like mass) yang terbentuk akibat edema pulmo akut, berwarna putih dan persisten (tetap diproduksi terus, meskipun korban sudah meninggal). Buih semakin banyak jika dada ditekan. Buih sukar pecah kemungkinan karena telah tercampur surfaktan pada pengocokan sewaktu refleks batuk.Korban ditemukan telah mengapung, ini menandakan korban telah tenggelam selama setidaknya 2-3 hari, dimana terbentuknya gas pembusukan dan membuat berat jenisnya lebih riengan dari berat jenis air.Dari tanda-tanda tersebut dapat disimpulkan bahwa korban sesungguhnya mati karena tenggelam bukan dibunuh baru kemudian ditenggelamkan seperti perkiraan polisi pada skenario.

3.2. SaranUntuk memastikan kematian akibat tenggelam beberapa pemeriksaan dapat dilakukan.Pemeriksaan Dalam Korban Tenggelam: Pada saluran nafas (trakhea & bronkhus) terdapat buih. Emphysema aquosum, yakni keadaan paru-paru membesar dan pucat seperti paru-paru penderita asma tetapi lebih berat dan basah, di banyak bagian terlihat gambaran seperti marmer, bila permukaannya ditekan meninggalkan lekukan dan bila diiris terlihat buih berair. Bercak hemolisis pada dinding aorta. Bercak paltauf yaitu bercak perdarahan yang besar (diameter 3-5 cm), terjadi karena robeknya partisi inter alveolar dan sering terlihat di bawah pleura. Pemeriksaan berat jenis dan kadar elektrolit pada darah yang berasal dari bilik jantung kiri dan kanan. Bila tenggelam di air tawar, berat jenis dan kadar elektrolit dalam darah jantung kiri lebih rendah dari jantung kanan, sedangkan pada tenggelam di air asin terjadi sebaliknya Lambung dan esofagus terisi air beserta pasir dan benda air lain. Tes diatom yang positif yaitu didapati benda air (diatom) di jaringan paru, darah, ginjal, tulang.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Amri. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. FK USU: Medan. 2010Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.p: 170Leonardo. Asfiksia Forensik. Bagian Ilmu Forensik RSU Dr. Pirngadi Medan. [cited July 2008][online April 2008]. Available at:www.kabarindonesia.comKnight B. Asphyxia and pressure on the neck and chest. In: Simpsons forensic medicine, eleventh ed. London, Oxford University Press,Inc. 2001. p:87-90Apuranto H, Asphyxia. In: Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Surabaya: Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.2007.p:71-99Chadha PV. Catatan Kuliah Ilmu Forensik dan Toksikologi. Jakarta: Widya Medika. 1995.p: 47-8