PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2013
ANALISIS PENGEMBANGAN SNI
DALAM RANGKA PENGAWASAN BARANG BEREDAR
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar i
RINGKASAN EKSEKUTIF
Latar belakang
Dalam era perdagangan bebas, peraturan teknis yang terkait dengan
peredaran barang dan/atau jasa yang diberlakukan oleh suatu negara harus
mengacu dan memenuhi standar internasional. Dengan pemenuhan standar, produk
lokal diharapkan bisa menembus pasar luar negeri dengan tingkat daya saing yang
lebih tingi. Selain itu, pemenuhan standar juga dapat menguntungkan konsumen
dalam hal kualitas, harga barang yang kompetitif, serta keamanan penggunaan
barang yang sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar
internasional yang ditetapkan oleh regulator terkait seperti yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional.
Instrumen perdagangan non-tariff mengedepankan pemenuhan komitmen
dalam World Trade Organization (WTO) yang disepakati dalam Technical Barriers to
Trade (TBT) yang mengatur 3 (tiga) hal penting, yaitu: peraturan teknis atau
regulasi, standar dan penilaian kesesuaian (Standards and Conformity Assesment
atau SCA). Instrumen tersebut bertujuan memberikan jaminan kepada konsumen
agar memperoleh barang yang tidak hanya terjangkau dari segi harga dan waktu,
namun juga berkualitas dan memenuhi standar kesehatan, keselamatan, keamanan
dan lingkungan (K3L).
Dalam kaitannya dengan pasar dalam negeri, pemerintah telah menetapkan
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang
diturunkan salah satunya melalui penetapan Peraturan Menteri Perdagangan No. 20
tahun 2009 tentang Pengawasan Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar
yang merupakan mandat bagi Kementrian Perdagangan. Dalam peraturan tersebut
dijelaskan bahwa salah satu parameter pengawasannya menggunakan instrumen
Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk dalam negeri atau barang impor.
Penggunaan SNI sebagai instrumen pengawasan barang beredar dan/atau
jasa juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007
Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib
Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan dan Peraturan Menteri
Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia
Bidang Industri.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar ii
Hasil Pengawasan pada tahun 2012, terdapat 621 jenis produk/barang di
pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana 31% dari jumlah
tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan SNI.
Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari impor sebesar 61%
dan produk lokal sebesar 39%. Berdasarkan kategori barang yang melanggar
ketentuan, sebanyak 39% merupakan barang elektronika dan alat listrik, 20%
barang alat rumah tangga, 13% barang suku cadang kendaraan, serta sisanya
adalah barang bahan bangunan, barang makanan minuman dan Tekstil dan Barang
Tekstil (TPT).
Untuk melindungi konsumen dari barang-barang tidak memenuhi unsur K3L,
pemerintah perlu melakukan pengembangan SNI yang mendorong penerapan SNI
Wajib, dengan memperhatikan kepentingan pelaku usaha dalam negeri. Terkait hal
tersebut, Kementerian Perdagangan akan meningkatkan pengawasan barang
beredar di pasar dengan target sebanyak 600 barang setiap tahunnya sebagai
upaya dalam perlindungan sekaligus pemberdayaan konsumen. Hal tersebut juga
bersinergi dengan rencana Kementerian Perindustrian tentang pemberlakuan SNI
secara wajib tahun 2012-2013 sebanyak 521 produk.
Namun, hingga saat ini pemberlakuan SNI secara wajib baru 91 SNI. Fakta
ini dirasakan kurang memadai untuk menghambat laju produk impor, sehingga
untuk mempercepat pelaksanaan pengembangan SNI maka dalam analisis ini akan
difokuskan pada upaya untuk pemberlakuan SNI yang bersifat sukarela menjadi SNI
yang diberlakukan secara wajib.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam analisis ini menggunakan metode deskriptif
kuantitatif dan kualitatif. Analisis deskriptif akan digunakan untuk mengkaji kesiapan
sarana pendukung, khususnya lembaga laboratorium uji serta respon dan penilaian
konsumen terhadap produk yang ber-SNI yang beredar di pasaran. Analisis
kuantitatif akan dipakai secara khusus untuk melihat kesiapan pelaku usaha dalam
nenerapkan SNI wajib dengan menggunakan model penilaian kesiapan
(assessment model of Standard Readiness Survey - SRS). Model ini merupakan
aplikasi model e-Learning Readiness Survey (e-LRS) yang dikembangkan oleh
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar iii
Aydin dan Tasci (2005) yang dipakai untuk melihat kesiapan pelaku usaha dalam
menerapkan e-learning.
Pembahasan dan Kesimpulan
1. Secara keseluruhan terdapat sekitar 400 laboratorium yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia. Dari 400 laboratorium , sebanyak 71 buah
merupakan laboratorium uji produk industri (KAN, 2008) yang terdiri dari
laboratorium uji milik pemerintah, 7 milik BUMN dan 12 dikelola swasta
(BPPKI, 2012). Di sektor industri, lembaga yang membina dan mengawasi
adalah Kementerian Perindusrian c/q Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan
Mutu Industri khususnya untuk standar yaitu pada Pusat Standarisasi Badan
Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri - Kementerian Perindustrian.
Pustan ini mempunyai tugas pokok yaitu penyiapan dan perumusan RSNI,
penerapan dan pengawasan SNI Wajib, pembinaan standarisasi serta
kerjasama standarisasi di bidang industri.
2. Dari 71 buah laboratorium uji, teridentifikasi sebanyak 9 (Sembilan) buah
laboratorium yang memungkinkan dapat menguji dan mensertifikasi produk
Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin yaitu terdiri dari 5 buah milik
pemerintah, 1 buah milik BUMN dan 3 buah dikelola oleh swasta. Dari 9
laboratorium ini hanya dua yang berfungsi hanya sebagai laboratorium uji
yaitu PT. Panasonic Gobel dan PT. Polytron. Namun belum semua
laboratorium tersebut mempunyai fasilitas dan kemampuan untuk menguji
semua parameter uji ketiga produk elektronik yang akan diberlakukan wajib
tersebut. Selain itu, belum semua laboratorium tersebut sudah terakreditasi
oleh KAN untuk produk tersebut, hal ini karena belum diberlakukannya SNI
secara wajib dan menganggap bahwa untuk akreditasi tidak membutuhkan
waktu yang lama.
3. Wilayah keberadaan laboratorium yang mempunyai prospek menguji tiga
produk tersebut berada di beberapa wilayah, namun berpusat di pulau Jawa.
Sementara itu, keberadaan industri Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin
mayoritas berlokasi di Jabodetabek khususnya di wilayah Cikarang-Bekasi.
Berikut ini gambaran mengenai 5 (lima) laboratorium untuk mengetahui
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar iv
kesiapan pemberlakuan SNI secara wajib produk Mesin cuci, AC dan Lemari
Pendingin:
a) Pusat Pengawasan Mutu Barang, Kementerian Perdagangan merupakan
tempat penerbitan sertifikat: pengujian produk ekpor & impor, SNI, serta
tempat pengurusan SPB & NPB (impor produk) dan NRP (lokal produk).
Penetapan SNI Wajib dilakukan oleh Instansi Teknis terkait dalam hal ini
adalah Menteri Perindustrian yang selanjutnya pengawasannya
dilakukan oleh Pusat Pengawasan Mutu Barang, Kementerian
Perdagangan sesuai dengan Permendag No.14/M-DAG/PER/3/2007.
b) Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2SMTP-LIPI) memiliki tugas pokok
melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan
pedoman, pemberian bimbingan teknis, penyusunan rencana dan
program Metrology, Standard, Testing and Quality (MSTQ), pelaksanaan
penelitian sistem mutu dan pelayanan pengujian serta evaluasi dan
penyusunan laporan. P2SMTP LIPI juga menyediakan jasa laboratorium
uji produk kepada industri. P2SMTP LIPI telah memiliki akreditasi dari
Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan pengujian terhadap
produk-produk elektronika dan mekanika. Khusus untuk jenis produk
elektronika yang akan diberlakukan SNI wajib, P2SMTP LIPI
menyatakan mampu dan siap untuk mengadakan pengujian terhadap
produk Mesin cuci, namun masih belum mampu untuk melakukan
pengujian terhadap produk Air Conditioner (AC), dikarenakan belum
lengkapnya fasilitas peralatan uji yang dimiliki oleh laboratorium
P2SMTP LIPI, seperti alat double chamber.
c) Balai Besar Bahan dan Barang Teknik ( B4T ) No LPK : LP 007 IDN
sebagai salah satu Institusi Penelitian dan Pengembangan di bawah
Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian
Perindustrian RI. B4T-LSPro telah mendapatkan akreditasi dari Komite
Akreditasi Nasional (KAN). Jumlah seluruh pegawai di B3T sebanyak 70
orang dan di bidang elektronik sebanyak 20 orang yang telah
mempunyai kompetensi dibidangnya, serta jumlah auditor sebanyak 15
orang. Infrastruktur yang dimiliki B4T untuk menguji ke tiga produk Mesin
cuci, AC dan Lemari Pendingin sudah cukup memadai dan siap apabila
diberlakukan wajib. Terkait waktu dan biaya pengujian dan sertfikasi
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar v
adalah mengacu pada ketentuan yang berlaku pada PP N0 47 tahun
2011.
d) PT. Sucofindo merupakan Lembaga Peniliaian Kesesuaian milik BUMN
yang memberikan jasa terhadap pelayanan dalam sertifikasi produk dan
pengujian produk. Lembaga ini mempunyai 7 (tujuh) laboratorium besar,
salah satunya untuk pengujian produk elektronika termasuk produk
Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin. Jumlah produk yang sudah
terakreditasi sebanyak 55 produk termasuk tiga produk elektronik
tersebut. Sucofindo menyatakan kesiapannya jika Produk Mesin cuci
diberlakukan wajib. SDM yang dimiliki berjumlah 20 orang dan memiliki
kompetensi di bidangnya. Waktu yang dibutuhkan dalam pengujian
Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin secara normal masing-masing
berkisar antara 10-15 hari. Proses untuk melakukan sertifikasi produk
untuk mendapatkan SPPT SNI, tergantung pada produk lokal atau
produk impor. Kebijakan pengenakan tariff atau biaya uji dan sertifikasi
pada PT. Sucofindo yag merupakan milik BUMN berbeda dengan milik
pemerintah. LPK milik pemerintah mengacu pada PP N0. 45 Tahun 2010
, sedangkan PT. Sucofindo mempunyai kebijakan sendiri dimana
biayanya relatif lebih mahal dibandingkan milik pemerintah.
e) Laboratorium PT Panasonic telah terakreditasi 17025 merupakan
laboratorium yang dikelola oleh swasta dan berpotensi utuk melakukan
pengujian produk elektronik termasuk Lampu Swabalas dan Balast
elektronik. Dari hasil indept interview, pihak perusahaan telah
mengetahui akan diberlakukan SNI wajib untuk produk Mesin cuci, AC
dan Lemari Pendingin dan menyatakan kesiapannya dalam pengujian
produk tersebut. Walaupun kendalanya adalah belum dimilikinya alat
dual chamber. Disamping itu dari sisi SDM yang kompeten sudah
mencukupi.
4. Kebijakan pemberlakuan dan pengawawan terhadap produk ber-SNI telah
tersedia pengaturannya, namun belum banyak barang yang beredar yang
sudah diberlakukan SNI wajib. Saat ini jumlah SNI wajib yang diawasi oleh
Kementerian Perdagangan sebanyak 91 produk. Untuk produk atau barang
yang beredar di pasaran harus juga di dukung dengan Petunjuk Teknis
setiap produk. Hal ini mengingat setiap produk mempunyai karakteristik yang
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar vi
berbeda-beda sehingga penanganan pengawasan produk yang satu
berbeda dengan komoditi lainnya. Kondisi tersebut masih perlu ditambah
dengan dukungan infrastruktur laboratorium uji, pendanaan dan sumber
daya manusia pelaksana sistem baik di pusat maupun di daerah.
5. Proses pengembangan SNI Wajib bagi produk elektronik seperti mesin cuci,
Pendingin Udara, dan lemari pendingin sudah menerapkan prinsip
transparansi seperti kejelasan parameter dan national differences yang
mengakomodasi kepentingan produsen dalam negeri. Selain itu, rencana
penerapan SNI Wajib juga didasarkan pada kebutuhan pasar dalam negeri
di mana tuntutan konsumen terhadap keamanan, kesehatan, keselamatan,
dan Lingkungan (K3L) produk menjadi hal utama yang telah
dipertimbangkan.
6. Total nilai produk elektronik yang diimpor selama tahun 2008 – 2012
sebesar US$ 76,76 miliar dengan pertumbuhan tren sebesar 6,28% di mana
sebesar 33,67% berasal dari Cina. Lebih rinci, produk elektronik seperti
mesin cuci, Pendingin Udara, dan lemari pendingin memiliki tren impor
antara 0,87% hingga 113% pada periode yang sama.
7. Responden produsen menilai bahwa pemberlakuan SNI Wajib dapat
menjadi media untuk meningkatkan daya saing dan perlindungan terhadap
konsumen dalam negeri karena SNI Wajib akan menetapkan sejumlah
ketentuan yang harus dilakukan oleh produsen dan importir untuk menjamin
keandalan mutu dan pemenuhan unsur K3L bagi konsumen.
8. Faktor penting yang berpengaruh terhadap keputusan konsumen, selain
harga adalah standar mutu produk yang dibeli khususnya produk mesin cuci,
lemari pendingin, dan pendingin ruangan (AC).Konsumen menilai bahwa
produk mesin cuci, lemari pendingin (Lemari Pendingin), dan pendingin
ruangan (AC) perlu SNI wajib. Beberapa atribut yang perlu diperhatikan
dalam penentuan standar mutu pada produk elektronik dimaksud, antara
lain faktor keamanan, keselamatan, kesehatan, dan ramah lingkungan,
kualitas bahan, faktor penggunaan daya listrik, dan faktor model.
9. Konsumen juga berpendapat bahwa standar produk itu penting yang
ditunjukkan dengan skor likert sebesar 3,7. Konsumen juga memperhatikan
keberadaan label pada produk yang sudah mendapatkan SNI yang didukung
dengan hasil perhitungan skor Likert dengan skor 3,7. Kemudian, ada atau
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar vii
tidaknya label SNI pada suatu produk dirasakan cukup penting bagi
konsumen untuk memberikan persepsi mutu atau kualitas tertentu yang
diindikasikan oleh skor 3,7. Konsumen menganggap bahwa ada tidaknya
label SNI pada produk akan mempengaruhi keputusan mereka dalam
membeli. Dengan demikian, label SNI dapat merepresentasikan standar
kualitas yang baik dari suatu produk. Hal ini dibuktikan dengan skor Likert
sebesar 3,7.
10. Produsen sudah menerapkan standar perusahaan dalam sistem produksi
dan inovasinya dimana secara normatif, responden juga memiliki persepsi
bahwa standar yang digunakan dalam pengembangan produknya memiliki
pengakuan di pasar internasional. Sementara itu, SNI dipersepsikan sebagai
standar minimal yang harus dipenuhi produsen yang pada umumnya
merupakan hasil adopsi dari standar internasional. Dengan demikian,
responden produsen mengasosiasikan kepatuhan terhadap standar
internasional akan mudah diterapkan pada SNI.
11. Beberapa aspek yang dianalisa seperti: Penerapan Teknologi, Sumber Daya
Manusia, Self-Development, dan Pengawasan memperoleh nilai likert di atas
4,2, sehingga berdasarkan Assessment Model of Standard Readiness
Survey, responden produsen sudah mengoptimalkan kesiapan
pemberlakuan SNI Wajib. Beberapa langkah untuk optimasi kesiapan antara
lain melalui investasi peralatan yang mendukung produksi dan inovasi,
penentuan supplier komponen yang dapat mendukung penerapan SNI,
peningkatan kemampuan sumber daya manusia, serta optimasi anggaran
terkait pengembangan mutu produk.
12. Namun, dari sisi kemampuan untuk melakukan pengujian masih memiliki
nilai likert 4,1 yang berarti belum sepenuhnya siap dan masih diperlukan
beberapa perbaikan. Ketidaksiapan ini bukan merupakan kelemahan internal
responden produsen mengingat dalam penerapan SNI Wajib, pemerintah
akan menunjuk laboraturium uji yang dapat digunakan dalam pengujian SNI
sehingga sumber daya yang akan melakukan pengujian akan didukung oleh
Laboratorium Uji dan LSPro.
13. Dalam kaitannya dengan pengetahuan terhadap SNI Wajib mesin cuci,
lemari pendingin, dan Pendingin Udara, belum seluruh responden
perusahaan mengetahui kepastian penerapannya, walaupun sudah pernah
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar viii
memperoleh informasi tentang parameter yang harus dipenuhi. Hal ini
sejalan dengan nilai likert pengetahuan responden produsen tentang
penerapan SNI Wajib tersebut yang bernilai 3,5 hal ini dapat diartikan bahwa
responden produsen tidak memperoleh kepastian informasi mengenai
penerapan SNI Wajib tersebut. Berdasarkan hasil survey, sebagian besar
responden produsen sudah tidak mendapatkan informasi mengenai
penerapan SNI Wajib setelah tahun 2010.
14. LSPro dan Laboratorium Uji memiliki tantangan dalam hal biaya, waktu
sertifikasi, dan waktu uji jika diberlakukan SNI Wajib. Sebanyak 75%
responden produsen menyebutkan biaya menjadi kendala dalam proses
Sertifikasi Produk Pengguna Tanda SNI (SPPT-SNI) karena memiliki
dampak terhadap pelayanan proses SPPT-SNI. Kemudian, Waktu Sertifikasi
dan Waktu Uji juga dianggap sebagai permasalahan di mana 62,5%
responden produsen mengeluhkan waktu uji dan sertifikasi. Sementara
untuk lokasi, responden produsen tidak mengeluhkan keberadaan LSPro
dan Laboratorium Uji yang tidak berada dalam satu lokasi atau kawasan
industri.
15. Untuk LSPro dan Laboratorium Uji, beberapa aspek yang diteliti seperti
tenaga penguji, kemampuan untuk melakukan pengujian, manajemen dalam
penerapan SNI dan pengawasan memiliki nilai di atas 4,2 yang dinilai siap
dalam pemberlakuan SNI Wajib. Pemenuhan kebutuhan sumber daya
manusia (SDM) selalu dilakukan melalui proses rekrutmen berkala dan
peningkatan kompetensi yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat oleh
tenaga uji. Selain itu, kemitraan dengan beberapa institusi internasional juga
sudah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM yang lebih kompeten
dan adaptif terhadap pengetahuan standar internasional. Dukungan pihak
lain seperti pemerintah dalam hal pembinaan dan pengawasan serta
komunikasi antar LSPro dan Laboratorium uji juga sudah dilakukan melalui
pembentukan Forum Komunikasi Standardisasi.
16. Beberapa kriteria dengan nilai likert yang masih di bawah 4,2 yaitu
ketersediaan sarana dan prasarana standar dengan nilai likert 4,0 yang
berarti belum memiliki kesiapan yang optimal dalam penerapan SNI Wajib di
mana perluasan laboratorium dan penambahan alat uji (misal double
chamber untuk uji AC) belum sepenuhnya dilakukan. Menurut responden,
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar ix
kepastian waktu pemberlakuan SNI Wajib akan menjadi landasan keputusan
apakah akan dilakukan investasi penambahan alat uji dan perluasan sarana
laboratorium. Hal tersebut sejalan dengan kesiapan responden terkait
penyediaan anggaran yang belum disesuaikan karena belum mendapat
kepastian tentang pemberlakuan SNI Wajib.
Rekomendasi kebijakan
1. Dari sisi biaya, guna mendukung pemberlakuan SNI wajib atas produk
lemari pendingin, mesin cuci, dan Pendingin Udara, perlu dilakukan
harmonisasi biaya pengujian produk maupun biaya pemrosesan SPPT SNI.
Hal ini dikarenakan tingginya variabilitas biaya pengujian oleh masing-
masing laboratorium uji dan biaya penerbitan SPPT SNI oleh masing-masing
LSPro.
2. Dari sisi waktu uji dan penerbitan SPPT SNI, perlu juga dilakukan
penyeragaman standar waktu pengujian hingga penerbitan SPPT SNI oleh
Laboratorium Uji dan LSPro. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan
produsen agar tidak kehilangan moment penjualan produk.
3. Minimnya ketersediaan sarana dan prasarana pengujian SNI dapat diatasi
melalui kerjasama bantuan dengan pihak lain. Dalam hal ini, skema
pinjaman yang dilakukan oleh P2SMTP LIPI dapat dijakdikan referensi untuk
pengembangan sarana dan prasarana pengujian SNI yang berskala
nasional. Hal ini juga perlu didkukung dengan kejelasan waktu penerapan
SNI wajib, termasuk kepastian penunjukan laboratorium uji.
4. Penyeragaman standar dan persepsi antar laboratorium uji dan LSPro perlu
dillakukan agar tidak menimbulkan bias terhadap hasil uji. Dalam hal ini,
Pemerintah perlu memastikan bahwa forum komunikasi antara LSPro dan
Lab uji berjalan dengan baik.
5. Dari sisi pengawasan, kode produk, tanggal, dan tahun pembuatan harus
dijadikan landasan pengawasan barang beredar agar sesuai dengan waktu
berlakunya peraturan Menteri Perindustrian tentang pemberlakuan SNI wajib
atas produk mesin cuci, lemari pendingin dan Pendingin Udara. Selain itu,
petugas pengawas juga harus memahami juknis mengenai ketentuan produk
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar x
yang akan diawasi SNI-nya berdasarkan kode HS masing-masing produk
agar tidak terjadi kesalahpahaman.
6. Edukasi konsumen terhadap pentingnya mengkonsumsi produk-produk ber-
SNI perlu dilakukan. Hal ini disamping konsumen dapat terlindung dari
produk-produk berbahaya, juga dapat membatasi peredaran produk-produk
illegal, untuk itu produsen perlu untuk mencantumkan tanda logo SNI pada
tempat yang mudah dibaca oleh konsumen
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga
laporan analisis “Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar”
dapat diselesaikan. Analisis ini dilatarbelakangi bahwa masih banyak ditemukan
barang yang beredar dipasar yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan SNI.
Hasil Pengawasan yang telah dilakukan pada tahun 2012, terdapat 621 jenis
produk/barang di pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana 31%
dari jumlah tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan
teknis dan SNI. Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari
impor sebesar 61% dan produk lokal sebesar 39%.
Terkait masih banyaknya produk yang beredar di pasar, baik produk dalam
negeri maupun impor yang tidak memenuhi ketentuan, maka perlu diupayakan
langkah-langkah yang bertujuan melindungi konsumen dari gangguan kesehatan,
keamanan, keselamatan, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L) dimana
salah satunya melalui pengembangan SNI.
Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim penelitian yang terdiri dari Bagus
Wicaksena sebagai koordinator dan peneliti terdiri dari Heny Sukesi, Yudha Hadian
Nur dan Budi Kristiyanto
Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau
dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung, oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam
kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang
membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini
dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di
bidang pengawasan distribusi bahan berbahaya.
Jakarta, Juli 2013 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xii
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF .................................................................................................. i KATA PENGANTAR............................................................................................................. vii DAFTAR ISI ......................................................................................................................... viii DAFTAR TABEL.................................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1
1.2 Tujuan Analisis ............................................................................................................. 4
1.3 Keluaran Analisis ......................................................................................................... 4
1.4 Ruang Lingkup ............................................................................................................. 4
1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 8
2.1 Pengertian SNI ............................................................................................................. 8
2.2 Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) ............................................... 8
2.3 Kebijakan Terkait Pemberlakuan SNI ..................................................................... 16
2.4.Pengawasan Terhadap Produk Ber-SNI ................................................................ 22
2.5 Perkembangan Impor Produk Elektronik ............................................................... 25
2.6 Parameter Pengujian SNI Produk Elektronik ........................................................ 26
2.7 Kajian Terdahulu ........................................................................................................ 29
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 32
3.1 Kerangka Pemikiran...................................................................................... 32
3.2 Metodologi ................................................................................................................. 33
3.2.1 Metode Pengumpulan Data ............................................................................... 33
3.2.2 Rancangan Penelitian ........................................................................................ 34
3.2.3 Lokasi Penelitian ................................................................................................. 34
3.3 Metode Analisis .......................................................................................................... 34
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 38
4. 1 Pemahaman Konsumen Terhadap Standard dan SNI ........................................ 38
4.1.1 Penilaian Tentang Penerapan SNI Wajib Untuk Produk Mesin
Cuci, Pengatur Udara, dan Lemari Pendingin ................................................. 39
4.1.2 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Mesin Cuci
Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar ............................................................. 39
4.1.3 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Pengatur
Udara Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar ................................................. 40
4.1.4 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Lemari
Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar .......................................... 41
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xiii
4.2 Kesiapan Pelaku Usaha Terhadap Pemberlakuan SNI ....................................... 42
4.2.1 Pandangan Produsen Terhadap Konsumen Tentang Standard ................ 42
4.2.2 Kesiapan Produsen Terhadap Pemberlakuan SNI Wajib ............................ 44
4.2.3 Pandangan Produsen Terhadap Pihak Pendukung Dalam
Pemberlakuan SNI Wajib .................................................................................... 47
4.3 Kesiapan LsPro dan Laboratorium Pengujian ...................................................... 51
4.3.1 Ketersedian Laboratorium dan Kemampuan Uji ............................................ 52
4.3.2 Kesiapan LSPro dan Laboratorium Uji Terhadap Pemberlakuan
SNI Secara Wajib ............................................................................................... 58
4.4. Kebijakan Pemberlakuan dan Pengawasan Terhadap SNI .............................. 60
4.4.1 Kebijakan Pengawasan Terhadap Produk ber-SNI ....................................... 60
4.4.2 Pengawasan Produk Elektronik ........................................................................ 62
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................ 64
5. 1 Kesimpulan ................................................................................................................ 64
5.2 Rekomendasi .............................................................................................................. 67
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 69
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xiv
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tarif Sertifikasi Produk di Kementerian Perindustrian .......................... . 20
Tabel 2.2 Perkembangan Impor Produk Pendingin Udara, Mesin Cuci, dan Lemari
Pendingin.................................................................................................. 26
Tabel 2.3 Parametr Pengujian dan Alat Ukur SNI Produk Elektronik ……………… 28
Tabel 3.1 Analsis Data.............................................................................................. 35
Tabel 3.2 Faktor dan Item Penyusun (Construct) dalam Penilaian Kesiapan
Penerapan SNI (Perusahaan dan Laboratorium Uji)............................. ..... 36
Tabel 3.3 Faktor dan Item Penyusun (Construct) Konsumen dalam Menilai
Produk yang ber-SNI....................................................................... ........... 36
Tabel 4.1 Pemahaman dan Pengetahuan Konsumen tentang SNI ..................... ..... 39
Tabel 4.2 Penilaian Konsumen Mengenai Penerapan SNI Secara Wajib............... ... 39
Tabel 4.3 Kriteria Utama Pada Mesin Cuci Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen................................................................................. 40
Tabel 4.4 Kriteria Utama Pada Pengatur Udara Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen.................................................................... 41
Tabel 4.5 Kriteria Utama Pada Lemari Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen.................................................................... 42
Tabel 4.6 Persepsi Responden Produsen Tentang Pemahaman Konsumen Terhada Standar...................................................................................... 44
Tabel 4.7 Nilai Kesiapan Responden Terhadap Penerapan SNI Wajib Mesin Cuci,
Pendingin Udara dan Lemari Pendingin ................................................ 45
Tabel 4.8 Pengetahuan Tentang Penerapan SNI Wajib......................................... 47
Tabel 4.9 Laboratorium Uji dan LsPro Untuk Produk Mesin Cuci, AC, dan Lemari Pendingin …………………………………………………………… 58
Tabel 4.10 Kesiapan Laboratorium Uji Dalam Penerapan SNI................................ 59
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xv
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Pilar-Pilar Standarisasi Nasional ....................................................... 12
Gambar 2.2. Alur Pengembangan SNI ................................................................... 13
Gambar 2.3. Mekanisme Pelaksanaan Penilaian Kesusaian SNI ......................... 16
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 33
Gambar 3.2. Assesment Model of Standard Readiness Survey ............................ 37
Gambar 4.1. Skema Umum Sertifikasi Produk ....................................................... 48
Gambar 4.2. Permasalahan Dalam Kemitraan Dengan LSPro dan Laboratorium
Uji ....................................................................................................... 50
Gambar 4.3. Pengawasan Terhadap Produk Yang Ber SNI Wajib ....................... 61
Gambar 4.4. Pelaksanaan Pengawasan Pada Produk Elektronik ......................... 62
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam era perdagangan bebas, aliran barang dan/atau jasa tidak lagi dapat
dibatasi oleh letak geografis suatu negara. Bahkan, peraturan teknis yang terkait
dengan peredaran barang dan/atau jasa yang diberlakukan oleh suatu negara harus
mengacu dan memenuhi standar internasional. Hal tersebut akan berdampak pada
meningkatnya akses pasar barang dan/atau jasa impor ke dalam pasar domestik
seiring dengan penurunan atau penghapusan hambatan perdagangan seperti tariff
impor yang merupakan salah satu komitmen yang berlaku dalam perdagangan
bebas. Di sisi lain dengan pemenuhan standar, produk kita juga diharapkan bisa
menembus pasar luar negeri dengan tingkat daya saing yang lebih tingi. Secara
umum, kondisi yang demikian pada satu sisi akan menguntungkan konsumen dalam
hal kebebasan untuk memilih jenis, kualitas dan harga barang sesuai dengan
kebutuhan (needs) (Herjanto, 2008).
Konsumen juga akan diuntungkan dengan memperoleh manfaat ekonomis
berupa harga yang kompetitif dan sesuai dengan kemampuan daya belinya (Pugel,
2008). Namun demikian, konsumen tetap harus memperoleh perlindungan dengan
jaminan bahwa barang yang dikonsumsinya sudah sesuai dengan kebutuhan dan
tidak menimbulkan kerugian. Konsumen tidak hanya mendapatkan keuntungan
secara ekonomis berupa harga yang kompetetif namun juga keamanan
penggunaan barang yang sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau
standar internasional yang ditetapkan oleh regulator terkait seperti yang diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional.
Terkait dengan pengawasan barang beredar di beberapa negara, instrumen
perdagangan non-tariff (non-tariff measures) sudah menjadi prioritas mengingat
pada saat ini semua tariff perdagangan bebas akan mengarah menjadi nol (Zero
Tax), seperti pada Free Trade Area Agreements ASEAN – China, ASEAN-India,
ASEAN-Korea, ASEAN-Australia-New Zealand (AANZ), Indonesia-European Union
(EU) dan FTA yang lainnya. Instrumen perdagangan non-tariff akan
mengedepankan pemenuhan komitmen dalam World Trade Organization (WTO)
yang disepakati dalam Technical Barriers to Trade (TBT) yang mengatur 3 (tiga) hal
penting, yaitu: peraturan teknis atau regulasi, standar dan penilaian kesesuaian
(Standards and Conformity Assesment atau SCA). Pada sisi lain, ketentuan dalam
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 2
WTO juga mengatur Sanitary and Phyto-sanitary (SPS) sebagai bagian yangtak
terpisahkan atas standar mutu untuk produk pertanian dan olahannya. Instrumen
tersebut secara jelas bertujuan memberikan jaminan kepada konsumen agar
memperoleh barang yang tidak hanya terjangkau dari segi harga dan waktu, namun
juga berkualitas dan memenuhi standar kesehatan , keselamatan, keamanan dan
lingkungan (K3L).
Dalam kaitannya dengan pasar dalam negeri, pemerintah telah menetapkan
Undangan-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
yang diturunkan salah satunya melalui penetapan Peraturan Menteri Perdagangan
No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di
Pasar yang merupakan mandat bagi Kementrian Perdagangan. Dalam peraturan
tersebut dijelaskan bahwa salah satu parameter pengawasannya menggunakan
instrumen Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk dalam negeri atau barang
impor. Penggunaan SNI sebagai instrumen pengawasan barang beredar dan/atau
jasa juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007
Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib
Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan dan Peraturan Menteri
Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia
Bidang Industri.
Dari hasil pelaksanaan pengawasan terhadap barang yang beredar dipasar,
ditemukan adanya pelanggaran yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan
SNI. Hasil Pengawasan yang telah dilakukan pada tahun 2012, terdapat 621 jenis
produk/barang di pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana 31%
dari jumlah tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan
teknis dan SNI. Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari
impor sebesar 61% dan produk lokal sebesar 39%. Berdasarkan kategori barang
yang melanggar ketentuan, sebanyak 39% merupakan barang elektronika dan alat
listrik, 20% barang alat rumah tangga, 13% barang suku cadang kendaraan, serta
sisanya adalah barang bahan bangunan, barang makanan minuman dan Tekstil dan
Barang Tekstil (TPT).
Melihat dominasi produk impor yang belum sesuai dengan ketentuan,
Herjanto (2008) menjelaskan bahwa, standarisasi yang dalam konteks lain disebut
sebagai standar dan penilaian kesesuaian (standards and conformity assessment),
dapat juga berfungsi sebagai alat kontrol teknis dalam melindungi kepentingan
domestik. Standar dapat dipergunakan sebagai persyaratan teknis (spesifikasi
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 3
teknis) minimum yang harus dipenuhi oleh barang impor untuk memasuki pasar
domestik, sekaligus berfungsi sebagai alat perlindungan konsumen, khususnya bagi
barang-barang yang menyangkut kesehatan, keamanan, keselamatan, dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L).
Untuk melindungi konsumen dari barang-barang tidak memenuhi unsur K3L,
pemerintah perlu melakukan pengembangan SNI yang mendorong penerapan SNI
Wajib. Namun dalam pelaksanaannya juga harus memperhatikan kepentingan
pelaku usaha dalam negeri, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), mengingat
ketentuan terkait standar tidak boleh melanggar ketentuan national treatment dalam
the World Trade Organization (WTO), dimana standar tidak boleh bersifat
diskriminatif antara industri dalam negeri dan importir.
Terkait hal tersebut, Kementerian Perdagangan akan meningkatkan
pengawasan barang beredar di pasar dengan target sebanyak 600 barang setiap
tahunnya sebagai upaya dalam perlindungan sekaligus pemberdayaan konsumen.
Hal tersebut juga bersinergi dengan rencana Kementerian Perindustrian tentang
pemberlakuan SNI secara wajib tahun 2012-2013 sebanyak 521 produk. Sebagai
dasar hukum untuk mendorong pengembangan SNI, pemerintah telah menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 dimana dalam Pasal 12 ayat (3)
dijelaskan “Dalam hal Standar Nasional Indonesia berkaitan dengan kepentingan
keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan
hidup (K3L) dan atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan
secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam
Standar Nasional Indonesia.”
Berdasarkan latar belakang tersebut, yaitu masih banyaknya produk yang
beredar di pasar, baik produk dalam negeri maupun impor yang tidak memenuhi
ketentuan, maka perlu diupayakan langkah-langkah yang bertujuan melindungi
konsumen dari K3L dimana salah satunya melalui pengembangan SNI antara lain
pemberlakuan SNI secara wajib.
Oleh karena itu, dengan menurunnya bea masuk impor sebagai dampak FTA,
hambatan teknis melalui pemberlakuan SNI secara wajib merupakan salah satu
cara untuk menghambat laju produk impor. Namun, sampai saat ini pemberlakuan
SNI secara wajib baru 91 SNI. Fakta ini dirasakan kurang memadai untuk
menghambat laju produk impor, sehingga untuk mempercepat pelaksanaan
pengembangan SNI maka dalam analisis ini akan difokuskan pada upaya untuk
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 4
pemberlakuan SNI yang bersifat sukarela menjadi SNI yang diberlakukan secara
wajib.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian tentang pengembangan
SNI ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:
a. Bagaimana pemahaman dan penilaian konsumen terhadap penerapan SNI
suatu produk secara wajib?
b. Bagaimana kemampuan dan kesiapan industri dalam negeri dalam memenuhi
parameter-parameter yang akan diwajibkan dalam SNI?
c. Bagaimana kesiapan sarana pendukung dalam pemberlakuan SNI secara
wajib?
1.2 Tujuan Analisis
a. Mengidentifikasi pemahaman dan penilaian konsumen terhadap pemberlakuan
SNI pada produk yang beredar di pasaran.
b. Mengidentifikasi kemampuan industri dalam negeri dalam memenuhi
parameter-parameter yang akan diwajibkan dalam SNI
c. Mengidentifikasi kesiapan Lembaga sertifikasi Produk (LsPro) dan
Laboratorium pengujian dalam pemberlakuan SNI secara wajib.
d. Merumuskan kebijakan pengembangan SNI dalam rangka pengawasan barang
beredar.
1.3 Keluaran Analisis
a. Gambaran pemahaman dan penilaian konsumen terhadap produk yang ber-
SNI.
b. Gambaran tentang kemampuan industri dalam negeri dalam memenuhi
parameter-parameter yang akan diwajibkan dalam SNI
c. Kesiapan Lembaga sertifikasi Produk (LsPro) dan Laboratorium pengujian
dalam pemberlakuan SNI secara wajib
d. Rumusan kebijakan pengembangan SNI dalam rangka pengawasan barang
beredar
1.4 Ruang Lingkup
a. Produk yang diteliti :
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 5
Peralatan listrik rumah tangga dan peralatan listrik serupa tentang persyaratan
khusus untuk Pengatur Udara dan mesin cuci dengan SNI sebagai berikut :
SNI IEC 60335-2-40:2009 Peralatan listrik rumah tangga dan peralatan listrik serupa-keselamatan-bagian 2-40: Persyaratan khusus untuk Pengatur Udara
SNI IEC 60335-2-7:2009 Peranti listrik rumah tangga dan sejenis - Keselamatan - Bagian 2-7: Persyaratan khusus untuk mesin cuci
SNI IEC 60335-2- 24-2009
Peranti listrik rumah tangga dan sejenisnya - Keselamatan - Bagian 2-24: Persyaratan khusus untuk peranti pendingin, peranti es krim dan pembuat es
Alasan pemilihan komoditi adalah (1) Produk-produk tersebut mengandung unsur
K3L; (2) meningkatnya impor produk elektronik; dan (3) Kebutuhan masyarakat
banyak. Berikut justifikasi lainnya terkait produk yang dianalisis.
1) Impor produk elektronika selama tahun 2008 – 2012 meningkat dengan
tren sebesar 6,28% dan nilai total mencapai US$ 76 miliar. Jika diperinci,
produk elektronik dengan kode Harmonized System (HS) yang tercantum
dalam konsep Peraturan Menteri Perindustrian tentang Pemberlakuan
SNI Pendingin Ruangan, Lemari Pendingin, dan Mesin Cuci Secara
Wajib, tren impor produk elektronik seperti mesin cuci, lemari pendingin,
dan Pendingin Udara memiliki rentang dari hanya 5,03% hingga 95,32%
(BPS, 2013).
2) Sebanyak 33,67% produk impor tersebut berasal dari Cina yang
dikhawatirkan belum memenuhi ketentuan di Indonesia.
b. Aspek Kebijakan: peraturan dan kebijakan yang terkait dengan standardisasi
dan pengawasan barang beredar di pasar, antara lain :
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
2) Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi
Nasional
3) Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang
Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib
Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan
4) Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan
Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar.
5) Peraturan Menteri Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang
Standar Nasional Indonesia Bidang Industri
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 6
6) Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2012 tentang Jenis Jenis Tarif
atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian
Perdagangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2011 Tentang
Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Kementerian Perindustrian
c. Aspek kinerja standar termasuk infrastruktur meliputi antara lain prosedur,
parameter-parameter SNI, kompetensi SDM, ketersediaan dan kemampuan
laboratorium penguji, lembaga sertifikasi produk.
d. Aspek Kelembagaan: instansi dan lembaga yang terlibat dalam perumusan dan
pengawasan SNI, pelaku usaha dan asosiasi.
e. Daerah Kajian akan dilakukan di 3 (tiga) daerah yaitu Tangerang, Bandung dan
Bekasi. Pertimbangan pemilihan daerah penelitian adalah keberadaan
produsen elektronik, LsPro, Laboratorium pengujian dan konsumen.
f. Responden Penelitian
Responden penelitian adalah: Pelaku usaha/produsen, konsumen, laboratorium
uji, LsPro dan key person dari Dinas Perindag, Direktorat Standardisasi, Badan
Standardisasi Nasional, dan Komite Akreditasi Nasional.
1.5 Sistematika Penulisan
Laporan analisis ini terdiri dari lima bab sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang,
tujuan, keluaran, dampak dan ruang lingkup analisis yang
dilakukan.
BAB II : Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur
yang akan digunakan sebagai referensi dalam analisis ini
meliputi Pengertian standar, Pengembangan standar di
Indonesia, Pengawasan SNI pada Barang Beredar di Pasar
dan best practices.
BAB III : Metodologi Penelitian menjelaskan metode yang
digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran,
metode analisis data, serta sumber data dan teknik
pengumpulan data.
BAB IV : Hasil dan Pembahasan. Pada bab ini memuat hasil
temuan lapangan, analisis deskriptif dan assessment model
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 7
of standard readiness survey.
BAB V : Kesimpulan dan Rekomendasi. Memberikan kesimpulan
dan saran untuk usulan kebijakan pengembangan SNI
dalam hal pemberlakuan SNI Wajib bagi produk mesin cuci,
Pendingin Udara, dan lemari pendingin.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian SNI
Standar adalah dokumen yang memuat ketentuan dan/atau karakteristik dari
suatu produk yang dibuat secara konsensus dan ditetapkan oleh lembaga
berwenang (BSN, 2000). Sedangkan dalam PP No. 102 Tahun 2000, yang
dimaksud standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk
tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang
terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan,
lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk
memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standar Nasional Indonesia (SNI)
dibuat oleh pemerintah Indonesia sebagai standar nasional hasil consensus para
pemangku kepentingan. SNI ini ditetapkan oleh Badan Standar Nasional (BSN).
Pada prinsipnya standar dilakukan secara sukarela, khususnya
dipergunakan oleh produsen sebagai acuan dalam pengendalian mutu internal atau
untuk kepentingan promosi bahwa produk yang diproduksi memiliki kualitas baik
dan terjamin. Penerapan dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia adalah
keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang untuk memberlakukan Standar
Nasional Indonesia secara wajib terhadap produk apabila dipandang bahwa produk
menyangkut dengan keselamatan, keamanan, kesehatan dan kelestarian
lingkungan (K3l) .
SNI bertujuan untuk memperlancar transaksi perdagangan dan melindungi
kepentingan konsumen serta meningkatan daya saing produk Indonesia di pasar
global, karena pasar global menekankan pentingnya menerapkan standar mutu
produk (BSN, 2005).
2.2 Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI)
Adanya kerjasama di bidang ekonomi antara negara-negara di dunia, seperti
ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan
World Trade Organization (WTO), telah menciptakan sistem perdagangan dunia
yang bebas (free trade). Sistem ini nantinya akan memperluas dan mempermudah
gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 9
negara. Sehingga pasar nasional nantinya akan bersifat terbuka terhadap barang
dan atau jasa impor.
Untuk mendukung pasar nasional dalam menghadapi proses globalisasi
perdagangan tersebut, maka dipersiapkan perangkat hukum nasional di bidang
standardisasi (PP No 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional) yang tidak
saja mampu menjamin perlindungan terhadap masyarakat khususnya di bidang
keselamatan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan hidup, tetapi juga
meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih lanjut, di dalam Perjanjian
World Trade Organization (WTO), sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah
Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, khususnya mengenai
Agreement on Technical Barrier to Trade (TBT) yang mengatur mengenai
standardisasi ditegaskan bahwa negara anggota, dalam hal ini Pemerintah
Indonesia, diwajibkan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan
nasional di bidang standardisasi.
Standardisasi dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan kepada
konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk
keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup,
serta untuk membantu kelancaran perdagangan dan mewujudkan persaingan usaha
yang sehat dalam perdagangan. Di samping itu, Drajad Irianto (2013), juga
mengemukakan bahwa penerapan standardisasi juga dimaksudkan untuk
membendung arus barang impor yang masuk ke Indonesia. Menurut Drajad, jumlah
SNI untuk produk-produk yang diterapkan di Indonesia masih sangat terbatas jika
dibandingkan dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Jepang, dan
Singapura yang cenderung lebih ketat dalam masalah standardisasi. Akibatnya,
barang-barang Indonesia sulit masuk ke luar negeri (ekspor), sementara barang-
barang luar negeri lebih mudah untuk masuk ke Indonesia, terlebih barang-barang
tersebut adalah produk tidak berkualitas.
Sasaran utama dalam pelaksanaan standardisasi adalah meningkatnya
ketersediaan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mampu memenuhi kebutuhan
industri dan pekerjaan instalasi guna mendorong daya saing produk dan jasa dalam
negeri. Dengan adanya standardisasi nasional maka akan ada acuan tunggal dalam
mengukur mutu produk dan/atau jasa di dalam perdagangan, yaitu Standar
Nasional Indonesia (SNI), sehingga dapat meningkatkan perlindungan kepada
konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk
keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 10
Hal serupa juga dikemukakan oleh Bambang Prasetya (2013),. Menurut Bambang,
SNI membuat produk yang dihasilkan menjadi efisien dan proses produksi yang
optimal seperti mereduksi limbah serta menghemat biaya. Cara ini membuat produk
yang dihasilkan berkualitas dan berdaya saing tinggi.
Setiadi (2011), juga menambahkan bahwa standard juga membantu
perusahaan melalui: (1) penghubung penting rantai pasokan global, (2) underpin
international trade and access to market, (3) mengurangi hambatan dan mendukung
perdagangan internasional, (4) membangkitkan kepercayaan nasional dalam
pemulihan ekonomi, (5) mempengaruhi budaya bisnis, (6) membantu perusahaan
mengadopsi environmental management, social responsibility, life cycle assessment
for products, energy efficiency and management, etc, (7) membantu alokasi sumber
daya lebih efisien, serta (8) menjadi jembatan untuk kesenjangan pengetahuan dan
inovasi.
Terkait dengan besarnya peranan penerapan standardisasi bagi
pembangunan nasional tersebut, Dewi Odjar Ratna Komala mengatakan bahwa
menerapkan standardisasi bukan diharuskan, tapi dibutuhkan. Oleh karena itu,
industri yang ada di Indonesia harus menyadari betapa dibutuhkannya standar
untuk meningkatkan kualitas mutu dari produk. Hal ini dilakukan agar produk industri
tersebut bisa bersaing dengan negara lain.
Dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas dan melindungi produk
lokal, Gerakan Nasional Penerapan SNI (GENAP SNI) diluncurkan. Program yang
diprakarsai oleh lembaga pemerintah non kementerian, Badan Standardisasi
Nasional (BSN), ini berwujud pencantuman sertifikasi produk tanda SNI pada suatu
produk, termasuk produk pelayanan jasa dan proses. Sertifikasi produk tanda SNI
adalah kegiatan oleh pihak ketiga yang independen dalam memberikan jaminan
tertulis yang menyatakan bahwa suatu produk (termasuk proses dan jasa) telah
memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI). Tanda ini dibubuhkan
pada barang, kemasan barang dan/atau label (Kemenristek, 2010).
BSN menyatakan bahwa pembubuhan tanda SNI pada sebuah produk
memberikan manfaat tak hanya bagi produsen saja tetapi juga bagi konsumen,
pelaku bisnis dan pemerintah yang antara lain sebagai berikut:
Memberi informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu
produk bahwa produk tersebut telah memenuhi SNI;
Untuk mengatasi kekhawatiran konsumen, pengguna dan semua pihak yang
berkepentingan akan kualitas suatu produk;
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 11
Meningkatkan keberterimaan produk oleh konsumen; serta
Meningkatkan daya saing suatu produk karena kualitas produk tersebut lebih
terjamin
Penerapan SNI, seperti halnya standar lain, pada prinsipnya dilakukan
secara sukarela, khususnya dipergunakan oleh produsen sebagai acuan dalam
pengendalian mutu internasional, atau untuk kepentingan promosi bahwa produk
terkait memiliki kualitas yang baik/terjamin. Penerapan standar dapat bersifat wajib
manakala menyangkut keselamatan, kesehatan, keamanan, atau kelestarian fungsi
lingkungan hidup. Pemberlakuan standar secara wajib ditetapkan oleh Menteri
teknis terkait dengan mempertimbangkan berbagai factor, yaitu kesiapan standar
yang bersangkutan, kesiapan industri dalam negeri, kesiapan infrastruktur teknis
penilaian kesesuaian, dan kesiapan pengawasan oleh pemerintah, serta tidak
bertentangan dengan kesepakatan internasional (Herjanto dan Rahmi, 2010).
Proses perumusan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan
terutama yang terkait dengan kepentingan public tidak lepas dari peran pemerintah,
baik pusat maupun daerah, serta berbagai pihak yang terikat dan merasakan
dampak penerapan SNI Wajib. Peran masing-masing stakeholders yang terlibat
dalam standardisasi secara garis besar dibagi beberapa fungsi utama, yaitu: (1)
Fungsi Regulator, yaitu lembaga perumus berbagai kebijakan nasional maupun
lembaga yang menyusun regulasi teknis terkait dengan aturan dan prosedur
pelaksanaan kebijakan, contoh: Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Komite
Akreditasi Nasional (KAN); (2) Fungsi Implementor, yaitu pelaksana kebijakan baik
untuk instansi teknis maupun produsen dan berbagai pihak terkait untuk
melaksanakan kebijakan standardisasi, contoh: Pusat Standardisasi Kementerian
Teknis dan Ditjen Bea dan Cukai; (3) Fungsi Pembina, yaitu lembaga atau berbagai
pihak yang terlibat dalam pembinaan, pengawasan, maupun bertugas untuk
mengevaluasi kebijakan yang diterapkan, contoh: Instansi Teknis dan Lembaga
Pelatihan (Herjanto dan Rahmi, 2010).
Sementara itu, untuk mendukung peningkatan daya saing produk nasional,
sistem standardisasi nasional harus terus dikembangkan mengikuti standar
internasional yang juga terus berkembang. Setiadi (2011) menjelaskan bahwa
pengembangan sistem standardisasi nasional tersebut meliputi tiga pilar dasar
infrastruktur mutu, yaitu metrologi, standardisasi, dan penilaian kesesuaian. Pilar
metrologi antara lain meliputi metrologi ilmiah, terapan, dan legal. Sementara itu
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 12
pilar standardisasi meliputi pengembangan dan penerapan SNI. Sedangkan pilar
penilaian kesesuaian mencangkup akreditasi, sertifikasi, pengujian, dan inspeksi.
Dalam penerapannya, pengembangan ketiga pilar tersebut membutuhkan
adanya kerjasama antar stakeholders, sosialisasi kepada pelaku usaha, serta
adanya penelitian dan pengembangan mengenai standar produk tersebut yang juga
didukung oleh peraturan perundangan yang berlaku untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan, baik itu tujuan bisnis (perdagangan, mutu, keuntungan, distribusi,
pembelian, penggunaan, spesifikasi, dan kontrak) maupun tujuan sosial (kesehatan,
keamanan, keselamatan, kelestarian lingkungan hidup, ekonomi yang maju,
perdagangan yang adil, serta perlindungan konsumen). Pilar-pilar pengembangan
infrastruktur mutu tersebut digambarkan dalam gambar 2.1 berikut ini.
Gambar 2.1.
Pilar-Pilar Infrastruktur Mutu Nasional
Sumber: Setiadi, 2011
Dalam Gambar 2.1 terlihat bahwa pilar standardisasi merupakan pilar utama
dalam hal pengembangan dan penerapan standard. Menurut Setiadi (2011), proses
pengembangan standardisasi meliputi lima tahapan, yakni dimulai dari
pemrograman, perancangan, konsensus nasional dan finalisasi, penetapan, dan
pemeliharaan. Pada tahapan pemrograman meliputi kegiatan melihat kebutuhan
pasar, mengajukan usulan program SNI, serta penetapan program SNI. Tahap
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 13
drafting meliputi kegiatan verifikasi data dan perumusan program yang kemudian
akan dilakukan kegiatan konsensus nasional dan perumusan final. Selanjutnya,
akan dilakukan kegiatan penetapan SNI dan publikasi kepada masyarakat. Pada
tahap akhir (pemeliharaan), akan dilakukan kaji ulang terhadap SNI yang telah
diterapkan oleh para pelaku usaha untuk mengetahui kelemahan maupun
keunggulan produk yang telah beredar di masyarakat. Alur pengembangan SNI
dapat dilihat berdasarkan gambar 2.2 berikut ini.
Gambar 2.2.
Alur Pengembangan SNI
Sumber: Setiadi (2011)
Sesuai dengan PP Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional,
pengembangan SNI yang juga mencakup kelembagaan dan proses yang berkaitan
dengan perumusan, penetapan, publikasi dan pemeliharaan SNI harus memenuhi
kaidah dalam WTO code of good practice agar memperoleh keberterimaan yang
luas diantara para stakeholder. Kaidah-kaidah tersebut meliputi dimensi:
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 14
Keterbukaan:
Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat
berpartisipasi dalam pengembangan SNI;
Transparansi :
Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti
perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai
ke tahap penetapannya. Selain itu, semua stakeholder juga dapat dengan
mudah memperoleh semua informasi yang berkaitan dengan
pengembangan SNI;
Konsensus dan tidak memihak :
Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan
kepentingannya dan diperlakukan secara adil;
Efektif dan Relevan :
Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena
memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
Koheren :
Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan
pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan
memperlancar perdagangan internasional; serta
Dimensi Pembangunan :
Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan
kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian
nasional. Selain itu, dalam perumusan SNI juga harus mempertimbangkan
kepentingan usaha kecil dan menengah dan juga daerah dengan
memberikan peluang untuk dapat ikut berpartisipasi di dalamnya.
Pengembangan SNI akan berhasil jika standar tersebut diterapkan oleh
pelaku usaha. Dewasa ini, penerapan standar menjadi sangat penting guna
mendukung terwujudnya jaminan mutu barang, jasa, proses, sistem atau personil
sehingga memberi kepercayaan pelanggan dan pihak terkait bahwa suatu
organisasi, individu, barang dan/atau jasa yang diberikan telah memenuhi standar
yang telah ditetapkan. Selain itu, penerapan standar juga dilakukan untuk menjamin
peningkatan produktivitas, daya guna dan hasil guna serta perlindungan terhadap
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 15
konsumen, tenaga kerja, dan masyarakat dalam hal keselamatan, keamanan,
kesehatan, lingkungan (BSN, 2013).
Setiadi (2012), juga menjelaskan bahwa pengembangan dan penerapan SNI
perlu didukung oleh pilar penilaian kesesuaian yang mencakup kelembagaan dan
proses penilaian untuk menyatakan kesesuaian suatu kegiatan atau suatu produk
terhadap SNI tertentu. Penilaian kesesuaian dapat dilakukan oleh pihak pertama
(produsen), pihak kedua (konsumen), atau pihak ketiga (pihak selain produsen dan
konsumen), sejauh pihak tersebut memiliki kompetensi untuk memenuhi
persyaratan yang ditetapkan oleh BSN.
Sesuai dengan PP No. 102 tahun 2000, pelaksanaan tugas BSN di bidang
penilaian kesesuaian ditangani oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang
dibentuk oleh pemerintah untuk keperluan menjamin kompetensi pelaksana
penilaian kesesuaian melalui proses akreditasi. KAN sebagai Badan Akreditasi
Nasional mempunyai tugas untuk memberikan akreditasi kepada lembaga penilaian
kesesuaian (Lembaga Inspeksi, Laboratorium Penguji dan Laboratorium Kalibrasi
dan Lembaga Sertifikasi). Lembaga Penilaian Kesesuaian yang telah diakreditasi
oleh KAN mempunyai hak untuk menerbitkan sertifikat sesuai dengan lingkup
akreditasinya, yaitu yang berkaitan dengan sistem manajemen, produk, dan
personel. Laboratorium penguji dan laboratorium kalibrasi mempunyai wewenang
untuk melakukan pengujian terhadap sampel/peralatan. Sementara itu, Lembaga
Inspeksi akan melakukan pengawasan terhadap barang, jasa, proses, dan sistem.
Mekanisme pelaksanaan penilaian kesesuaian yang ditangani oleh Komite
Akreditasi Nasional (KAN) dapat dilihat melalui gambar 2.4 di bawah ini.
Seperti halnya dengan pengembangan SNI, penilaian kesesuaian juga harus
memenuhi sejumlah norma sebagai berikut (BSN, 2013):
a. terbuka bagi semua pihak yang berkeinginan menjadi lembaga pelaksana
penilaian kesesuaian;
b. transparan agar semua persyaratan dan proses yang diterapkan dapat
diketahui dan ditelusuri oleh pemangku kepentingan;
c. tidak memihak dan kompeten agar pelaksanaan penilaian kesesuaian dapat
dipercaya dan berwibawa;
d. efektif karena memperhatikan kebutuhan pasar dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku; dan
e. konvergen dengan pengembangan penilaian kesesuaian internasional.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 16
Gambar 2.3.
Mekanisme Pelaksanaan Penilaian Kesesuaian SNI
Sumber: Setiadi, 2011
Suatu produk atau komoditi dianggap siap untuk diberlakukannya penerapan
SNI secara wajib jika memenuhi kriteria sebagai berikut (Herjanto dan Rahmi,
2010).
a. Standar (atau dokumen teknis) yang akan diacu telah ada, tersedia dalam
Bahasa Indonesia, dan mudah untuk diakses.
b. Mayoritas produsen domestik mampu menghasilkan produk yang sesuai
dengan spesifikasi yang terdapat dalam dokumen yang diacu.
c. Lembaga Penilaian Kesesuaian, khususnya laboratorium uji, lembaga
sertifikasi, lembaga penilaian system mutu, dan lembaga sertifikasi produk
tersedia dan diperkirakan mampu untuk memenuhi permintaan industri.
2.3 Kebijakan Terkait Pemberlakuan SNI
Regulasi teknis dibuat oleh suatu Negara agar persyaratan yang mencakup
suatu produk atau ketentuan teknis yang berhubungan dengan suatu produk
diterapkan secara efektif di suatu Negara. Regulasi teknis dapat dibuat oleh
Pemerintah atau berdasarkan suatu standar nasional yang telah disepakati oleh
pelaku usaha terkait. Artikel 20 GATT (General Agreement on Tariff and Trade)
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 17
mengijinkan Pemerintah menggunakan standar dalam regulasi teknis dalam rangka
melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan, dengan
tidak membeda-bedakannya dengan produk yang berasal dari luar negeri (Herjanto
dan Rahmi, 2010).
Berdasarkan ketentuan di atas, maka pokok-pokok pikiran penerapan SNI
secara wajib dapat diuraikan sebagai berikut (Herjanto dan Rahmi, 2010).
a. Suatu kebijakan yang mengikat banyak pihak akan berlaku efektif bila
kebijakan tersebut dirumuskan dalam suatu aturan yang jelas dan pasti tidak
berpihak pada kepentingan tertentu.
b. Hukum dan peraturan yang mengikat sangat penting sebagai dasar untuk
pijakan semua pihak dalam mengemban sebuah tugas serta membagi hak
dan wewenang sebagai pihak yang terikat dalam peraturan tersebut. Hal
yang sama juga berlaku untuk kebijakan penerapan dan pemberlakuan SNI
Wajib terhadap suatu produk.
Kebijakan standardisasi nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah No
102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional dan implementasinya diatur melalui
Peraturan Menteri Perdagangan RI No: 14/M-DAG/PER/3/2007 Tentang
Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional
Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Kebijakan
pengawasan terhadap standar barang yang beredar atas dasar pertimbangan
kesehatan, keselamatan, keamanan serta lingkungan (K3L). Dengan demikian
pelaksanaan pengawasan tersebut didasarkan pada UU perlindungan konsumen,
serta UU lainnya seperti UU pangan, UU kesehatan, UU Jasa Kelistrikan, UU
Pertanian, UU Jasa Telekomunikasi dan lainnya.
Peraturan dan kebijakan yang terkait dengan standardisasi dan
pengawasan barang beredar di pasar, antara lain :
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
UU No. 8 Tahun 1999 ini mengatur tentang segala upaya yang menjamin
adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. UU ini
lahir bahwa meskipun pasar nasional semakin terbuka sebagai akibat dari adanya
proses globalisasi ekonomi, namun harus tetap menjamin peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang
dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar. Dengan demikian, perlindungan
konsumen ini bertujuan untuk (1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 18
kemandirian konsumen untuk melindungi diri; (2) mengangkat harkat dan martabat
konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa; (3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; (4) menciptakan sistem
perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; (5) menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; serta (6)
meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan konsumen.
Sehubungan dengan berbagai tujuan dalam rangka perlindungan
konsumen tersebut, disamping membahas mengenai poin-poin yang menjadi hak
dan kewajiban bagi konsumen serta pelaku usaha, UU ini juga membahas
mengenai larangan bagi pelaku usaha, berbagai ketentuan yang menjadi tanggung
jawab dan kewajiban pelaku usaha, dan juga kewajiban pemerintah untuk
menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.
PP No. 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi pada dasarnya mengatur
tentang kelembagaan yang melakukan pengembangan dan pembinaan
standardisasi, perumusan, penerapan dan pengawasan SNI untuk mencapai tujuan:
(i) Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan
masyarakat lainnya untuk kesehatan, keselamatan, keamanan serta lingkungan; (ii)
Membantu kelancaran perdagangan; (iii) Mewujudkan persaingan usaha yang sehat
dalam perdagangan.
Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga yang dibentuk
dengan Keppres bertanggung jawab dalam pengembangan dan pembinaan
dibidang standardisasi nasional. Perumusan rancangan standar nasional maupun
revisi dilakukan oleh Panitia Teknis dan konsensus standar yang disepakati
ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia oleh BSN.
Standar Nasional Indonesia yang telah ditetapkan berlaku untuk seluruh
Indonesia. SNI yang berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan,
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 19
kesehatan, lingkungan hidup dan pertimbangan ekonomis dapat diberlakukan
secara wajib oleh instansi teknis. Pemberlakuan SNI wajib dinotifikasikan BSN
kepada organisasi Perdagangan Dunia setelah memperoleh persetujuan instansi
teknis. SNI yang diberlakukan secara wajib dikenakan sama terhadap barang atau
jasa produksi dalam negeri maupun impor. Kemudian SNI yang bersifat sukarela
diterapkan oleh pelaku usaha.
Pembinaan terhadap pelaku usaha yang menyangkut konsultasi,
pendidikan, pelatihan dan pemasyarakatan standardisasi dan pengawasan pelaku
usaha yang memperoleh SNI dilakukan oleh pimpinan instansi teknis atau
Pemerintah Daerah. Kemudian pengawasan terhadap unjuk kerja pelaku usaha
yang telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI dilakukan oleh
lembaga sertifikat produk yang menerbitkan sertifikat dimaksud.
3) Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang
Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap
Barang dan Jasa yang Diperdagangkan.
Permendag ini mengatur tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan
dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan
Jasa yang Diperdagangkan. Dalam kebijakan tersebut pada dasarnya mengatur
tentang pengawasan, lembaga kesesuaian, pembinaan dan sanksi. Pengawasan
SNI wajib terhadap barang yang diperdagangkan dilakukan terhadap barang
produksi dalam negeri maupun impor. Pengawasan terhadap barang tersebut
dilakukan melalui pengawasan pra pasar dan di pasar. Pengawasan pra pasar
dilakukan terhadap barang yang telah diberlakukan SNI wajib dan telah
dinotifikasikan ke organisasi perdagangan dunia.
Pengawasan prapasar dilakukan terhadap barang sebelum beredar di pasar
dan pengawasan di pasar dilakukan pada saat barang beredar di pasar.
Pengawasan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q.
Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang.
Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang menerbitkan sertifikat
kesesuaian merupakan Lembaga Sertifikasi Produk di dalam negeri maupun di luar
negeri yang didukung oleh laboratorium penguji dan/atau lembaga inspeksi
terakreditasi. LPK di dalam negeri diakreditasi oleh KAN. LPK yang belum
terakreditasi oleh KAN, dapat melakukan Penilaian Kesesuaian apabila ditunjuk
oleh Pimpinan Instansi Teknis.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 20
4) Peraturan Pemerintah N0. 47 Tahun 2011 Tentang Jenis tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Perindustrian
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada
Kementerian Perindustrian meliputi penerimaan dari jasa pelayanan meliputi jasa
pelayanan: teknis pengujian dan kalibrasi; pelatihan teknis; inspeksi teknik; teknis
mesin; teknis sertifikasi; dan teknis konsultansi. Berikut beberapa ketentuan dalam
Permen dimaksud.
Tabel 2.1 Tarif Sertfikasi Produk di Kementerian Perindustrian
Jenis Penerimaan Satuan Tarif
Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu 1. Dalam negeri a. Permohonan b. Jasa auditor untuk audit stage I 1) Komoditi umum (diluar komoditi khusus) 2) Komoditi khusus (baja canai panas, baja canai dingin, tron dan hous) c. Jasa auditor untuk audit stage II 1) Jasa auditor/tenaga ahli/Petugas Pengambil Contoh (PPC) : a) Auditor Kepala b) Auditor c) Tenaga ahli d) Petugas pengambil contoh (khusus untuk Sertifikasi produk penggunaan tanda SNI) 2) Jasa perdiem untuk auditor kepala, auditor, tenaga ahli dan PPC
per permohonan per permohonan per permohonan per orang/hari per orang/hari per orang/hari per orang/hari
per orang/hari
Rp 500.000,00 Rp 1.000.000,00 Rp 2.000.000,00 Rp 2.000.000,00 Rp 1.500.000,00 Rp 1.500.000,00 Rp 1.000.000,00
Rp 200.000,00
Sumber: PP No 47 (2011)
5) Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan
Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar.
Pengawasan, menurut Permendag No.20/M-DAG/ PER/5/2009 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa adalah serangkaian
kegiatan yang diawali pengamatan kasat mata, pengujian, penelitian dan survei
terhadap barang atau jasa, pemenuhan ketentuan standar, pencantuman label,
klausula baku, cara menjual, pengiklanan, serta pelayanan purna jual barang dan
jasa beredar di pasar adalah barang atau jasa yang ditawarkan, dipromosikan,
diiklankan, diperdagangkan, dipergunakan, atau dimanfaatkan konsumen di
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 21
wilayah Indonesia baik produksi dalam negeri maupun luar negeri. Ruang lingkup
pengawasan yang dilakukan meliputi barang dan/atau jasa yang beredar di pasar,
barang yang dilarang beredar di pasar, barang yang diatur tata niaganya,
perdagangan barang-barang dalam pengawasan, serta distribusi.
Pengawasan pemenuhan ketentuan standar dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar, yang telah diberlakukan SNI wajib, SNI yang
diterapkan oleh pelaku usaha, atau persyaratan teknis lain yang diberlakukan wajib
oleh instansi teknis yang berwenang. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
pelanggaran tersebut dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),
yang tugasnya selain menyelesaikan sengketa, juga melakukan pengawasan
terhadap pencantuman klausula baku.
6) Peraturan Menteri Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar
Nasional Indonesia Bidang Industri.
Permenperin tentang SNI bidang Industri ini membahas mengenai
perumusan dan penerapan SNI, pemberlakuan SNI/spesifikasi teknis secara wajib,
penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), pembinaan dan pengawasan
SNI, serta sanksi yang diberikan terhadap LSPro dan pelaku usaha yang melanggar
ketentuan yang telah ditetapkan. Terkait dengan hal tersebut, pemberlakuan SNI
secara wajib atas barang dan atau jasa di bidang industri (produksi dalam negeri
atau import yang diperdagangkan dalam wilayah Indonesia) harus terkait dengan
aspek keselamatan, keamanan, dan kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan
hidup, pertimbangan ekonomis dan atau kepentingan nasional lainnya serta
mengacu pada SSN, pedoman yang ditetapkan oleh BSN, peraturan perundang-
undangan dan perjanjian internasional bidang standardisasi yang telah diratifikasi
Pemerintah, serta ditetapkan dengan peraturan menteri.
BPPI juga melaksanakan pembinaan dan pengembangan terhadap LPK
dalam rangka pengujian, inspeksi, sertifikasi, dan akreditasi. Pembinaan tersebut
meliputi bantuan teknis, konsultasi, pendidikan dan pelatihan, fasilitasi, serta
pemasyarakatan standadisasi. Selain itu, Pemerintah (dalam hal ini Direktorat
Jenderal Pembina Industri) juga melakukan pengawasan barang atau jasa yang
diberlakukan SNI wajib secara berkala dan atau secara khusus di lokasi produksi
dan di luar lokasi produksi sekurang-kurangnya sebanyak satu kali dalam dua
tahun.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 22
2.4. Pengawasan Terhadap Produk Ber-SNI
Pengawasan, menurut Permendag No.20/M-DAG/ PER/5/2009 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa adalah serangkaian
kegiatan yang diawali pengamatan kasat mata, pengujian, penelitian dan survei
terhadap barang atau jasa, pencantuman label, klausula baku, cara menjual,
pengiklanan, serta pelayanan purna jual barang dan jasa beredar di pasar adalah
barang atau jasa yang ditawarkan, dipromosikan, diiklankan, diperdagangkan,
dipergunakan, atau dimanfaatkan konsumen di wilayah Indonesia baik produksi
dalam negeri maupun luar negeri.
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut dibentuk Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang tugasnya selain menyelesaikan
sengketa, juga melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan, pengawasan terhadap
penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangannya diselenggarakan pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan pemerintah
dilaksanakan menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pengawasan masyarakat dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang beredar di pasar.
Tanggung jawab hukum yang dikenakan bagi pelaku usaha yang berkaitan
dengan pengenaan beberapa sanksi, yang meliputi sanksi perdata, pidana,
administrasi, ataupun sosial. Secara teoritis, sanksi pidana merupakan ultimum
remidium. Namun, bagi pelaku usaha yang membandel, bahkan melakukan
perlawanan, sebaiknya sanksi pidana lebih diprioritaskan.
Kewajiban pelaku usaha antara lain adalah memberikan informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Namun,
ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut.
Sanksi pidana dalam UUPK adalah penjara paling lama lima tahun atau
denda paling banyak dua miliar rupiah. Dapat pula dijatuhkan hukuman tambahan,
berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 23
ganti rugi, perintah penghentian kegiatan yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabutan izin
usaha. Selain itu, ketentuan pasal 202, 203, 204, 205, 263, 364, 266, 382 bis, 383,
388 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur pemidanaan terhadap
perbuatan-perbuatan pelaku usaha terhadap konsumen.
Pada dasarnya pengawasan barang beredar bukan untuk mematikan usaha
pelaku usaha. Sebaliknya, pengawasan dapat mendorong iklim berusaha yang
sehat dan melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan
melalui penyediaan barang dan/jasa berkualitas. Upaya pengawasan penting
dioptimalkan karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha.
Pengawasan terhadap standar barang yang beredar di pasar maupun
terhadap barang yang belum dipasarkan (pra-pasar) diatur dalam Permendag 14
Tahun 2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan
SNI Wajib Terhadap Barang dan jasa yang Diperdagangkan. Dalam pasal 7
disebutkan bahwa pengawasan SNI wajib terhadap barang produksi dalam negeri
atau impor yang diperdagangkan di dalam negeri, dilakukan melalui pengawasan
pra pasar dan pengawasan di pasar. Pengawasan pra pasar dilakukan terhadap
barang yang telah diberlakukan SNI wajib dan telah dinotifikasi kepada Organisasi
Perdagangan Dunia. Pengawasan pra pasar dilakukan sebelum barang beredar di
pasar. Pengawasan di pasar dilakukan pada saat barang beredar di pasar.
Pengawasan pra pasar terhadap barang produksi dalam negeri yang
diperdagangkan dilakukan melalui NRP. Pengawasan pra pasar terhadap barang
impor dilakukan melalui SPB yang di dalamnya terdapat NPB. NRP dan SPB
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q. Direktur
Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang. Pengawasan pra pasar dikecualikan
terhadap pangan olahan, obat, kosmetik, dan alat kesehatan.
Pengawasan mutu barang produksi dalam negeri yang akan diperdagangkan
yang telah diberlakukan SNI wajib, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan
Luar Negeri c.q. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang melalui
NRP. Pengawasan mutu barang impor yang telah diberlakukan SNI wajib
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q. Direktorat
Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang melalui SPB sebagai dokumen impor
yang di dalamnya terdapat NPB.
Pelaksanaan pengawasan terhadap barang beredar di pasar yang telah
diberlakukan SNI wajib dilakukan oleh Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ)
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 24
dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK).
Pengawasan dilakukan terhadap kewajiban pelaku usaha antara lain dalam
pemenuhan kesesuaian standar terhadap barang dan/atau jasa. Ketentuan dan tata
cara pengawasan dilakukan berdasarkan peraturan Menteri yang mengatur tentang
ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar.
Pelaksanaan pengawasan terhadap barang beredar di pasar yang telah
diberlakukan SNI wajib dilakukan oleh Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ)
dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK).
Pengawasan dilakukan terhadap kewajiban pelaku usaha antara lain dalam
pemenuhan kesesuaian standar terhadap barang dan/atau jasa. Ketentuan dan tata
cara pengawasan dilakukan berdasarkan peraturan Menteri yang mengatur tentang
ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar.
Pejabat yang berwenang untuk memerintahkan penarikan barang dari
peredaran adalah Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri atas nama Menteri
Perdagangan. Penarikan barang dari peredaran oleh Pelaku Usaha dilakukan
dengan batasan waktu penarikan yang disesuaikan dengan kondisi dan geografis
masing-masing daerah. Sejak tanggal penerbitan surat perintah penarikan barang
dari peredaran, Pelaku Usaha dilarang untuk memperdagangkan barang. Kepala
Dinas yang mempunyai tugas dan tanggungjawab di bidang perdagangan
Propinsi/Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan instansi teknis terkait melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaan penarikan barang dari peredaran. Pelaku Usaha
yang tidak melaksanakan penarikan barang dari peredaran dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan ijin usaha dan/atau tanda pendaftaran yang
diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang di bidang perdagangan. Pelaku usaha
yang tidak melaksanakan re-ekspor atau pemusnahan barang dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan ijin usaha dan/atau tanda pendaftaran yang
diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang di bidang perdagangan. Pencabutan ijin
usaha dilakukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan ijin. Pelaku usaha yang
memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak memenuhi kesesuaian
standar dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Undang – Undang yang
berlaku.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 25
2.5 Perkembangan Impor Produk Elektronik
Seiring dengan adanya globalisasi ekonomi, serbuan produk impor yang
masuk ke Indonesia seakan semakin tak terbendung lagi. Tercatat selama periode
lima tahun terakhir saja (2008-2012), laju peningkatan impor akan produk elektronik
mencapai 26 persen atau sebesar US$ 3.853.260.127. Tingginya impor produk
elektronika ini didominasi oleh enam Negara, yaitu Republik Rakyat China (RRC),
Singapura, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan yang secara
keseluruhan menguasai sekitar 74 persen pangsa impor produk elektronika
Indonesia pada tahun 2012.
Bahkan, meskipun juga mengalami peningkatan di atas 20 persen, nilai
ekspor produk elektronik Indonesia masih lebih kecil dari nilai impornya. Pada tahun
2012 misalnya, nilai ekspor untuk produk elektronika Indonesia adalah sebesar US$
10.727.404.037 (722 HS) berada jauh di bawah nilai impornya yang sebesar US$
18.642.945.452 (730 HS), atau secara keseluruhan berarti nett ekspor produk
elektronika Indonesia adalah minus (-) US$ 7.915.541.415. Dengan demikian, rasio
antara nett ekspor produk elektronika Indonesia terhadap total nilai ekspornya pada
tahun 2012 adalah sebesar minus (-) 74 persen. Adapun Negara tujuan ekspor
utama produk elektronika Indonesia adalah Singapura, Amerika Serikat, Jepang,
dan Hongkong.
Sementara itu, terdapat beberapa kode Harmonized System (HS) yang
dicantumkan dalam konsep Peraturan Menteri Perindustrian Tentang Pemberlakuan
SNI Pendingin Ruangan, Lemari Pendingin, dan Mesin Cuci secara Wajib, antara
lain HS 8415100000, 8450120020, 8450119000, 8418101090, 8418300000,
8418101010, 8450120010, 8450111000, 8418210090, 8418400000, 8418210010,
8418290010, 8418290090, 8450190020, serta 8450190010. Selama tahun 2008
hingga tahun 2013, trend pertumbuhan nilai dan volume impor untuk pendingin
ruangan masing-masing sebesar 25,54% dan 20,42%. Untuk produk mesin cuci,
trend pertumbuhan nilai dan volume impor lima tahun terakhir masing-masing
sebesar 20,96% dan 14,81%. Sedangkan untuk produk lemari pendingin, trend
pertumbuhan nilai dan volume impor masing-masing sebesar 15,92% dan 12,46%.
Secara lebih detail, perkembangan impor produk Pendingin Udara, mesin cuci, dan
lemari pendingin dapat dilihat berdasarkan tabel 2.2 berikut ini.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 26
Tabel 2.2 Perkembangan Impor Produk Pendingin Udara, Mesin Cuci,
dan Lemari Pendingin
URAIAN
NILAI : US$
2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Mar
2013
Pendingin Udara
178.861.815
199.411.352
283.903.297
327.986.513
434.841.230
90.880.705
Mesin Cuci
91.126.571
69.222.073
88.763.924
135.658.993
168.532.447
40.226.041
Lemari Pendingin
44.653.156
38.678.403
54.009.565
64.808.251
72.205.419
16.260.816
URAIAN
VOLUME : KG
2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Mar
2013
Pendingin Udara
34.888.467
34.856.228
49.732.981
53.668.948
71.193.699
90.880.705
Mesin Cuci
26.093.595
19.368.705
23.098.443
31.551.775
40.777.485
9.289.960
Lemari Pendingin
10.967.232
9.235.639
12.618.177
14.244.073
15.882.387
3.465.609
Sumber : BPS 2013 (diolah)
2.6 Parameter Pengujian SNI Produk Elektronik
SNI yang diterapkan pada masing-masing produk elektronik berbeda-beda
satu sama lain, tergantung pada jenis produknya. Untuk produk Pengatur Udara
misalnya, SNI yang dipergunakan adalah SNI IEC 60335-2-40:2009, berbeda
dengan SNI IEC 60335-2-7:2009 yang dipergunakan pada produk mesin cuci serta
SNI IEC 60335-2- 24-2009 yang dipergunakan pada produk lemari pendingin.
Namun, meski standar yang diterapkan pada masing-masing produk elektronik
berbeda-beda, parameter yang diujikan tetaplah sama.
Dalam SNI produk elektronik, terdapat 25 klausul yang menjadi parameter
pengujian. Diantara ke-25 parameter tersebut, sebanyak 17 parameter harus diuji
dengan menggunakan alat ukur dan sebanyak 8 parameter sisanya tidak perlu diuji
menggunakan alat ukur. Parameter yang harus diuji menggunakan alat ukur antara
lain parameter perlindungan bagian bertegangan, pengukuran arus dan adaya input,
pemanasan/kenaikan temperatur, pengukuran arus bocor dan kekuatan dielektrik
pada operasi normal, pengujian transien beban lebih, pengujian ketahanan terhadap
suhu dan kelembaban, pengukuran arus bocor dan kekuatan dielektrik, pengukuran
beban lebih pada trafo dan sirkuit terkait, operasi abnormal, kestabilan dan bahaya
mekanis, kuat mekanis, hubungan supply dan kabel senur fleksibel, terminal,
ketentuan pembumian, sekrup dan sambungan, jarak rambat, jarak bebas, dan
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 27
jarak melalui insulasi, serta ketahanan terhadap panas dan api. Total alat ukur yang
dipergunakan untuk melakukan pengujian SNI produk elektronik ini adalah sejumlah
60 alat ukur. Sementara itu parameter yang tidak perlu diuji menggunakan alat uji
antara lain klasifikasi, penandaan/marking, daya tahan, konstruksi, pengawatan
internal, komponen, ketahanan terhadap karat, serta ketahanan terhadap bahaya
radiasi, racun, dan sejenisnya.
Berbagai parameter serta alat ukur yang dipergunakan dalam pengujian SNI
produk elektronik (Pengatur Udara, mesin cuci, dan lemari pendingin) ini diuraikan
lebih lengkap dalam tabel 2.3 berikut ini.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 28
Tabel 2.3 Parameter Pengujian dan Alat Ukur SNI Produk Elektronik No.
Parameter Pengujian Spesifikasi
Metode
Pengujian
Nama Standar/Alat Ukur Karakteristik
Yang
Dikendalikan
Batas
Keberterimaan
1. Klasifikasi Klausul 6 - - -
2. Penandaan/Marking Klausul 7 - - -
3. Perlindungan bagian
bertegangan
Klausul 8 Test Finger Set, Push Pull,
Gauge
- -
4. Pengukuran arus dan
daya input
Klausul 10 Digital Power Meter, Stavol
Regulator, Stabilizer
Arus (A), Daya
(W)
Limit standar
5. Pemanasan/Kenaikan
temperatur
Klausul 11 Digital Thermorecorder,
Thermocopel, Hi Looger
Suhu (oC) Limit standar
6. Pengukuran arus bocor
dan kekuatan dielektrik
pada operasi normal
Klausul 13 WI Tester, CE Multitester,
Leakage Current Tester
Arus Bocor (mA) Limit standar
7. Pengujian transien beban
lebih
Klausul 14 EFT Fast Transient, Surge
Test
-
8. Pengujian ketahanan
terhadap suhu dan
kelembaban
Klausul 15 Walk In Chamber, Temp &
Hum Chamber
Suhu (oC) Limit standar
9. Pengukuran arus bocor
dan kekuatan dielektrik
Klausul 16 WI Tester, CE Multitester,
Leakage Current Tester
Arus Bocor (mA) Limit standar
10. Pengukuran beban lebih
pada trafo dan sirkit terkait
Klausul 17 Digital Multimeter, Sort
Circuit Machine
- -
11. Daya tahan Klausul 18 - - -
12. Operasi abnormal Klausul 19 Digital Multimeter, Sort
Circuit Machine, Hi Looger
Suhu (oC) Limit standar
13. Kestabilan dan bahaya
mekanis
Klausul 20 Inclined Table - -
14. Kuat mekanis Klausul 21 Impact Spring Tester, Push
Pull, Torque Wrench
- -
15. Konstruksi Klausul 22 - - -
16. Pengkawatan internal Klausul 23 - - -
17. Komponen Klausul 24 - - -
18. Hubungan Suplai dan
kabel senur fleksibel
Klausul 25 Flexing Cable Tester, Plug
Flexing
- -
19. Terminal Klausul 26 Push Pull, Torque Wrench - -
20. Ketentuan pembumian Klausul 27 Earth Continuity Tester - -
21. Sekrup dan sambungan Klausul 28 Torque Wrench - -
22. Jarak rambat, jarak bebas,
dan jarak melalui insulasi
Klausul 29 Thickness Gauge, Pocket
Comparator
Jarak (mm) Limit standar
23. Ketahanan terhadap
panas dan api
Klausul 30 Bal Pressure Tester, Oven,
Glow Wire
Ball pressure
(mm)
Limit standar
24. Ketahanan terhadap karat Klausul 31 - - -
25. Ketahanan terhadap
bahaya radiasi, racun, dan
sejenisnya
Klausul 32 - - -
Sumber : PT Sucofindo (Persero) Unit Laboratorium Cibitung
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 29
Pengujian terhadap berbagai parameter SNI tersebut dilakukan oleh beberapa
orang tenaga penguji. Pada unit laboratorium PT Sucofindo yang berlokasi di
Cibitung misalnya, pengujian terhadap produk Pengatur Udara ini dilakukan oleh 9
orang tenaga penguji yang memiliki keahlian (kompetensi) di bidang listrik dan
mekanik. Untuk itu, tenaga penguji laboratorium tersebut harus memiliki kualifikasi
latar belakang pendidikan minimal STM atau D3 Teknik Elektro.
2.7 Kajian Terdahulu
Kajian mengenai kesiapan pemberlakuan SNI secara wajib telah dilakukan
oleh Eddy Herjanto dan Dwinna Rahmi pada tahun 2010. Berbeda dengan studi
yang saat ini tengah dilakukan, kajian yang dilakukan oleh Herjanto dan Rahmi ini
menitikberatkan pada pemberlakuan SNI wajib pada produk mainan anak-anak.
Permasalahan yang melatarbelakangi adanya kajian ini adalah karena tingginya
kecelakaan pada anak-anak yang disebabkan produk mainan yang mengandung
bahan berbahaya untuk kesehatan. Di samping itu, produsen juga banyak yang
tidak menyadari penggunaan bahan dasar dan bahan pembantu yang berpotensi
berbahaya bagi keselamatan anak. Selain itu, banyaknya produk impor yang
menguasai pasar domestik, berharga rendah, namun diragukan kualitasnya serta
tidak diketahuinya kesiapan infrastruktur standarisasi dalam pemberlakuan
penerapan standar produk mainan anak secara wajib juga melatarbelakangi kajian
yang dilakukan oleh Herjanto dan Rahmi tersebut.
Dampak bahaya mainan anak terhadap penggunanya dapat terjadi baik
karena bentuknya yang kecil, tajam, lancip, mudah terbakar, maupun akibat bahan
pewarna atau bahan kimia lain yang terkandung dalam mainan tersebut.
Sehubungan dengan bahaya tersebut, berbagai Negara telah melakukan tindakan
pencegahan dan bahkan menarik dari peredaran produk mainan yang diketahui
menimbulkan masalah, seperti produk mainan dari China yang memiliki kandungan
timbal dalam kadar yang sangat tinggi dalam cat mainan tersebut (detikfinance,
2009). Tingginya kandungan timbal tersebut berbahaya bagi anak-anak karena
dapat menyebabkan kelainan otak dan darah.
Saat ini, jumlah standar terkait mainan anak berjumlah 3 buah, yaitu ISO
8124-3:2009 mengenai spesifikasi sifat fisik dan mekanik, ISO 8124-2:2007 untuk
sifat mudah terbakar, serta ISO 8124-1:1997 untuk perpindahan unsur/elemen-
elemen tertentu. Selain itu, di tingkat internasional juga ada beberapa standar atau
regulasi teknis tentang mainan anak yang banyak digunakan dalam produksi dan
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 30
perdagangan, seperti US Consumer Product Safety Commission (US-CPSC), versi
14 Oct 2008; American Society for Testing and Material (ASTM) F963-08, A Standar
Consumer Safety Spesification on Toys; European Standard (EN) 71, Toy Safety
Standards; EU Safety of toys directive, 2009/48/EC; serta Canadian Hazardouz
Products (Toys) Regulations, CRC c931. Sementara itu, saat ini SNI khusus mainan
anak terdapat sebanyak 4 buah, yaitu SNI 12-6527.1-2001 (Spesifikasi sifat fisis
dan mekanis), SNI 12-6527.2-2001 (Spesifikasi sifat mudah terbakar), SNI 12-
6527.3-2001 (Spesifikasi perpindahan unsur/elemen-elemen tertentu), serta SNI 12-
6527.4-2001 (Spesifikasi peralatan percobaan kimia dan aktivitas terkait).
Metode yang dipergunakan oleh Herjanto dan Rahmi (2010) untuk
menganalisis kesiapan SNI adalah dengan membandingkan ketersediaan SNI
dengan mengacu pada standar internasional. Kesiapan produsen dianalisis dari
jawaban kuesioner yang disebarkan pada 75 perusahaan mainan anak, dilengkapi
dengan hasil uji terhadap 20 jenis produk mainan anak, dari berbagai tipe mainan
dan skala industry, terhadap persyaratan standar. Sementara itu, kesiapan LPK
ditinjau dari data KAN dan kuesioner yang disebarkan kepada 50 lembaga sertifikasi
dan laboratorium uji.
Hasil penelitian Herjanto dan Rahmi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
siap menerapkan SNI mainan anak secara wajib, meskipun harus menunggu
selesainya revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang saat ini berlaku. Revisi SNI
tersebut lebih sesuai dengan persyaratan internasional dan tersedia dalam Bahasa
Indonesia sehingga mudah dipahami dan diakses. Hasil uji produk menunjukkan
sebagian besar produsen memiliki kesiapan dalam menerapkan standar, meskipun
diperlukan pembinaan bagi kalangan industri kecil. Dari sisi LPK, terdapat 2
laboratorium uji yang mampu menguji semua elemen dalam standar serta beberapa
laboratorium uji lainnya mampu melakukannya secara parsial. Namun pada saat ini
belum ada lembaga sertifikasi produk untuk mainan anak yang terakreditasi.
Saran dari hasil penelitian tersebut, masih ada beberapa hal yang perlu
dilakukan dalam rangka pemberlakuan secara wajib SNI mainan anak, yaitu: (1)
perlu dilakukannya pembinaan yang lebih intensif dan berkelanjutan terhadap
industri skala kecil dan menengah untuk peningkatan kemampuan secara teknis
dalam memenuhi persyaratan mutu; (2) perlu dilakukannya sosialisasi yang luas
kepada para produsen mengingat produsen yang telah menerapkan sistem
manajemen mutu relative masih rendah; (3) perlu dipertimbangkannya bantuan
fasilitas peralatan uji bagi beberapa laboratorium; serta (4) perlu informasi ke
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 31
lembaga penilaian kesesuaian agar menyiapkan diri menjadi lembaga terakreditasi,
khususnya LSPro yang saat ini belum ada.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Kerangka Pemikiran
Kebijakan pemerintah dalam pengembangan SNI diharapkan dapat
memberikan keuntungan ekonomi dan manfaat sebesar mungkin pada pelaku
usaha maupun dalam melindungi keamanan, kesehatan, keselamatan serta
lingkungan hidup bagi masyarakat. Berdasarkan arah kebijakan dan strategi Badan
Standardisasi Nasional, pengembangan SNI diharapkan dapat menjadi solusi yang
mendorong pelaku usaha untuk menerapkan SNI pada produk mereka yang berarti
pemberlakuan SNI secara Wajib (Indepth interview dengan Badan Standardisasi
Nasional, 2013).
Saat ini, pengembangan SNI yang menjadi fokus pemerintah adalah
pemberlakuan SNI Wajib dimana Kementerian Perindustrian akan memberlakukan
SNI Wajib bagi sejumlah produk elektronik dari yang sebelumnya hanya bersifat
sukarela dengan tujuan peningkatan daya saing produk lokal, pembendungan
produk impor, sekaligus sebagai sarana optimalisasi perlindungan dan
pemberdayaan konsumen dalam kaidah K3L. Untuk mendukung langkah tersebut,
Kementerian Perdagangan semakin meningkatkan pengawasan barang beredar
dengan parameter penerapan SNI Wajib pada produk sebagai landasan
pengawasan.
Namun demikian, untuk mendukung langkah tersebut, diperlukan kesiapan
pelaku usaha dalam penerapan SNI Wajib tersebut sekaligus dukungan infrastruktur
SNI seperti lembaga sertifikasi dan laboraturium uji. Selain itu, informasi mengenai
kebutuhan konsumen atas pemberlakuan SNI Wajib terhadap produk juga
diperlukan sehingga pelaku usaha mendapat gambaran yang jelas tentang
pentingnya penerapan SNI Wajib dalam memenuhi kebutuhan konsumen.
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri (2012) melakukan analisis
penerapan SNI sukarela pada produk makanan dimana dalam penjelasannya
disebutkan bahwa beberapa perusahaan belum memahami pentingnya penerapan
SNI walaupun masih bersifat sukarela. Hasil analisis menunjukkan bahwa baru
perusahaan skala besar yang menerapkan SNI Sukarela. Hal ini dikarenakan
beberapa faktor penentu seperti pemahaman pelaku usaha akan materi SNI dan
lembaga penunjang seperti lembaga sertifikasi produk dan pengawas mutu sudah
dimiliki oleh perusahaan skala besar. Hasil analisis juga menjelaskan bahwa
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 33
perusahaan pada dasarnya menyadari pentingnya SNI dalam meningkatkan
corporate profile yang pada akhirnya akan berdampak pada baiknya image produk
dan perusahaan di mata konsumen. Berikut ini pada Gambar 3.1 menggambarkan
kerangka atau alur analisis ini.
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
3.2 Metodologi
3.2.1 Metode Pengumpulan Data
Dalam analisis ini digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder
diperoleh dari instansi terkait yaitu Badan Standardisasi Nasional (BSN), Pusat
Standardisasi Kementerian Perindustrian, Direktorat Standardisasi Kementerian
Kebijakan Standardisasi Pengembangan SNI :
Pemberlakuan SNI secara Wajib
Tuntutan Pasar (Konsumen)
Kemampuan Pelaku Usaha
Kesiapan Insfrastruktur
Kebijakan Pemerintah: Pemberlakuan SNI secara Wajib
Daya Saing dan Kebutuhan Konsumen
Pengawasan Barang Beredar
Untuk Perlindungan Konsumen
Analisis Deskriptif dan
Assessment model of Standard Readiness Survey
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 34
Perdagangan, BPS, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, studi pustaka, hasil
kajian terkait SNI dan lain sebagainya, sedangkan data primer diperoleh dari hasil
survei lapangan dengan responden pelaku usaha elektronik dan konsumen di tiga
daerah survey yaitu Bandung, Tangerang, dan Bekasi. Di samping itu, data primer
menyangkut kesiapan sarana pendukung (dalam penelitian ini akan melihat
kesiapan laboratorium uji) akan diukumpulkan dengan melakukan wawancara
dengan key person yang ada di dalam laboratorium uji. Metode pengumpulan data
secara purposive sampling melalui penyebaran kuesioner dan wawancara (indepth
interview) dengan menggunakan kuesioner.
3.2.2 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan inventarisasi SNI sukarela pada
produk elektronika, yaitu pegatur udara, mesin cuci, dan Lemari Pendingin untuk
selanjutnya ditentukan SNI yang akan menjadi lingkup analisis berdasarkan rencana
pemberlakuan SNI Wajib pada produk tersebutci. Kemudian, dilakukan identifikasi
kesiapan pelaku usaha produk tersebut terhadap pemberlakuan SNI Wajib,
pemahaman dan penilaian konsumen terhadap produk yang ber-SNI, serta
kesiapan sarana pendukung SNI seperti laboraturium penguji dan lembaga
sertifikasi produk dalam penerapan SNI Wajib.
3.2.3 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan mengambil sampel produsen yang memproduksi mesin
cuci, AC dan Lemari Pendingin serta lembaga pendukung infrastruktur SNI yang
berlokasi di Tangerang, Bekasi dan Bandung.
3.3 Metode Analisis
Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode deskriptif
kuantitatif dan kualitatif. Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan metode
deskriptif análisis ini adalah karena dalam penelitian tersebut ingin memperoleh
gambaran langsung dari pelaku usaha mengenai kesiapan mereka dalam
penerapan SNI Sukarela menjadi Wajib.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 35
Tabel 3.1. Analisis Data
Tujuan Analisis Metode Analisis
Metode Pengumpul
an dan Jenis Data
Sumber Output
Mengidentifikasi pemahaman
dan penilaian konsumen
terhadap produk yang ber-
SNI
kuesioner, analisis
deskriptif kualitatif
dan kuantitatif
Survey
lapangan,
data primer
dan
sekunder
Primer:
konsumen
Pemahaman
konsumen
Mengidentifikasi kemampuan
industri dalam negeri dalam
memenuhi parameter-
parameter yang akan
diwajibkan dalam SNI
analisis deskriptif
kualitatif dan
kuantitatif:
assessment model of
Standard Readiness
Survey
Survey
lapangan
data primer
dan
sekunder
Primer: Pelaku
usaha
Sekunder: BSN,
Kemenperin,
Kemendag, BPS,
kemampuan
industri dalam
memenuhi
parameter yang
akan diwajibkan
dalam SNI
Mengidentifikasi kesiapan
Lembaga sertifikasi Produk
(LsPro) dan Laboratorium
pengujian dalam
pemberlakuan SNI secara
wajib.
analisis deskriptif
kualitatif dan
kuantitatif
Survey
lapangan,
data primer
dan
sekunder
Primer:
Infrastruktur SNI
Sekunder: BSN,
Kemenperin,
Kemendag, BPS
Kesiapan
infrastruktur SNI
dan Sumber
Daya Manusia
Merumuskan kebijakan
pengembangan SNI dalam
rangka pengawasan barang
beredar
Sintesa 1 dan 2 Primer dan
sekunder
PasarIndustri
Lembaga
Pendukung
Rumusan
kebijakan dalam
Pemberlakuan
SNI secara wajib
Di samping itu, analisis deskriptif juga akan digunakan untuk mengetahui
kesiapan sarana pendukung, khususnya lembaga laboratorium uji serta penilaian
konsumen terhadap produk yang ber-SNI yang beredar di pasaran sebagai acuan
kebutuhan standard. Analisis kuantitatif akan digunakan secara khusus untuk
melihat kesiapan pelaku usaha dalam menerapkan SNI wajib dengan menggunakan
model penilaian kesiapan (assessment model of Standard Readiness Survey -
SRS). Model ini merupakan aplikasi model e-Learning Readiness Survey (e-LRS)
yang dikembangkan oleh Aydin dan Tasci (2005) yang dipakai untuk melihat
kesiapan pelaku usaha dalam menerapkan e-learning dengan menggunakan skala
likert. Secara umum, penilaian dilakukan secara kuantitatif dengan menghitung nilai
tengah (mean) atau nilai rata-rata faktor kesiapan yang diperoleh berdasarkan
penilaian persepsi individu yang memiliki kewenangan dalam pengambilan
keputusan di organisasi atau institusinya.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 36
Tabel 3.2 Faktor dan Item Penyusun (Construct) dalam Penilaian Kesiapan Penerapan SNI (Perusahaan dan Laboratorium Uji)
Resources Skill Attitude
Technology Ketersedian sarana dan prasarana standar
Penguasaan standard dan penerapannya
Sikap terhadap penggunaan sarana dan prasarana
Kelengkapan Sarana Pengujian
Keberadaan dan kelengkapan sarana lab uji :
- Akreditasi
Kemampuan lab uji Jangka waktu pengujian
Sikap terhadap lab uji
Human Resources
- Tenaga penguji dalam perusahaan
- Pihak luar (pendukung)
Kemampuan untuk melakukan pengujian
Sikap terhadap pengujian barang
Self-Development Anggaran (untuk penerapan SNI) Management
Kemampuan alokasi anggaran Kemampuan management
Sikap terhadap pengalokasian anggaran Sikap manajemen terhadap SNI wajib
Pengawasan
SDM
Kemampuan lembaga pengawas
Sikap terhadap pengawasan barang
Tabel 3.3 Faktor dan Item Penyusun (Construct) Konsumen dalam menilai Produk yang ber-SNI
Resources Attitude
Pengetahuan tentang standar
Informasi public tentang SNI, sosialisasi produk ber-SNI
Sikap terhadap produk yang ber-SNI
Self-Development Daya beli (untuk belanja produk ber-SNI dan kompetitornya)
Sikap terhadap pengalokasian anggaran
Dalam menilai kesiapan penerapan SNI wajib, maka digunakan angka
dengan skala Likert antara 1 dan 5. Di mana angka 1 (sangat tidak siap) dan 5
(sangat siap). Sebagai angka rata-rata kesiapan, maka nilai tingkat kesiapan adalah
3.4. Angka 3.4 ini adalah angka minimal yang diperlukan untuk mengatakan bahwa
perusahaan, laboratorium uji, termasuk konsumen siap dengan adanya penerapan
SNI.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 37
Gambar 3.2 Assessment Model of Standard Readiness Survey - SRS
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Pemahaman Konsumen Terhadap Standard dan SNI
Standar (SNI) merupakan jaminan bagi konsumen mengenai mutu dan
kualitas barang yang tersedia di pasar. Dengan adanya SNI, konsumen dapat
melakukan evaluasi terhadap barang yang akan dibeli sehingga dapat melindungi
dirinya dari bahaya yang mengancam keamanan, keselamatan, serta kesehatan.
Saat ini, pemahaman dan pengetahuan konsumen, khususnya untuk produk
mesin cuci, Pengatur Udara, dan lemari pendingin, mengenai standar produk dan
juga SNI cukup baik yang ditunjukkan oleh skor Likert sebesar 3,4. Seiring dengan
itu, konsumen juga berpendapat bahwa standar produk itu penting yang ditunjukkan
dengan skor sebesar 3,7. Penilaian terhadap kriteria selanjutnya menunjukkan
bahwa konsumen cukup memperhatikan keberadaan label pada produk yang sudah
mendapatkan SNI yang didukung dengan hasil perhitungan skor Likert dengan skor
3,7. Kemudian, ada atau tidaknya label SNI pada suatu produk dirasakan cukup
penting bagi konsumen untuk memberikan persepsi mutu atau kualitas tertentu
yang diindikasikan oleh skor 3,7 untuk kriteria nomor 4.
Lebih lanjut, konsumen menganggap bahwa ada tidaknya label SNI pada
produk akan mempengaruhi keputusan mereka dalam membeli. Dengan demikian,
label SNI dapat merepresentasikan standar kualitas yang baik dari suatu produk.
Hal ini dibuktikan dengan skor Likert sebesar 3,7 pada kriteria nomor 5. Hasil ini
dapat berbeda dengan persepsi produsen dimana pada umumnya produsen
memiliki persepsi bahwa SNI belum menjadi preferensi konsumen dan
mempengaruhi keputusan konsumen untuk melakukan pembelian. Hasil
perhitungan skor Likert pada kriteria terakhir yang sebesar 3,7 mengindikasikan
bahwa konsumen setuju harga dapat menunjukkan kualitas atau standar mutu
produk. Jika suatu produk bermutu baik yang ditandai dengan SNI, maka harganya
relatif lebih mahal daripada produk sejenis yang belum atau tidak ber-SNI. Dengan
demikian, standar mutu atau kualitas merupakan salah satu faktor penting dalam
mempengaruhi keputusan konsumen untuk memilih dan membeli suatu produk.
Tidak hanya melalui brand image yang diciptakan oleh produsen, konsumen juga
dapat memperoleh persepsi tertentu tentang standar mutu atau kualitas melalui
label SNI yang terdapat pada produk.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 39
Tabel 4.1 Pemahaman dan pengetahuan konsumen tentang SNI
No Kriteria Skor Likert
1 Pengetahuan konsumen tentang standar dan SNI (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)
3,4
2 Persepsi konsumen tentang pentingnya standar (1=sangat tidak penting; 5=sangat penting)
3,7
3 Perhatian konsumen terhadap label pada produk yang sudah mendapat SNI (1=sangat tidak memperhatikan; 5=sangat memperhatikan)
3,7
4 Persepsi konsumen tentang pentingnya pencantuman label standar pada produk (1=sangat tidak penting; 5=sangat penting)
3,7
5 Pendapat konsumen apakah produk yang ber-SNI akan lebih dipilih dibanding yang tidak (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)
3,7
6 Pendapat konsumen apakah produk yang mendapat SNI harganya lebih mahal dibanding produk sejenis yang belum/tidak mendapat SNI (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)
3,7
Sumber : Data Primer (2013), diolah 4.1.1 Penilaian Tentang Penerapan SNI Wajib Untuk Produk Mesin Cuci,
Pengatur Udara, dan Lemari Pendingin
Pada bagian ini, dilakukan penilaian bagaimana persepsi konsumen jika SNI
untuk produk mesin cuci, Pengatur Udara, dan lemari pendingin diberlakukan
secara wajib. Hasilnya menunjukkan bahwa konsumen setuju jika SNI ketiga
produk tersebut menjadi SNI wajib dengan skor masing-masing 3,7, 3,7, dan 3,6.
Dengan kata lain, konsumen merasa siap dengan pemberlakuan SNI secara wajib
karena konsumen merasa perlu ada jaminan mengenai mutu atau kualitas untuk
barang-barang elektronik tersebut.
Tabel 4.2 Penilaian Konsumen Mengenai Penerapan SNI Secara Wajib
Kriteria Skor Likert
Pendapat konsumen apakah produk Mesin Cuci perlu diberlakukan SNI wajib
(1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju) 3,7
Pendapat konsumen apakah produk Pengatur Udara (AC) perlu diberlakukan SNI wajib (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)
3,7
Pendapat konsumen apakah produk Lemari Pendingin (Lemari Pendingin) perlu diberlakukan SNI wajib (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)
3,6
Sumber : Data Primer (2013), diolah
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 40
4.1.2 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Mesin Cuci Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar
Pada dasarnya, konsumen menilai bahwa masing-masing kriteria utama
yaitu K3L, kualitas bahan, penggunaaan daya listrik dan model harus dimasukkan
dalam penetapan SNI secara wajib dan menganggap semua kriteria sama
pentingnya. Hal tersebut terbukti dari nilai skor yang sama untuk tiap kriteria pada
produk mesin cuci yaitu sebesar 3,7 (Tabel 3). Kriteria K3L mencakup hal-hal yang
dapat melindungi konsumen dari bahaya, sedangkan kualitas bahan
merepresentasikan durabilitas pemakaian suatu produk. Sebagai alat rumah tangga
dengan frekuensi pemakaian yang cukup tinggi, dua kriteria tadi dirasa penting.
Penggunaan daya listrik merupakan salah satu kriteria dalam mendukung kriteria
K3L dan menjadi unsur daya saing suatu produk dalam hal keekonomisan biaya
pakai.
Terakhir, konsumen setuju model produk dimasukkan dalam kriteria yang
perlu diwajibkan dalam standar karena model yang baik atau sesuai standar dapat
memberikan kemudahan bagi konsumen dalam hal pemakaian (ergonomis).
Dengan demikian, berdasarkan assessment model of standard readiness survey,
maka dapat disimpulkan bahwa nilai 3,7 tersebut berarti konsumen menganggap
keempat kriteria tersebut sama penting dan perlu untuk diwajibkan dalam standar.
Tabel 4.3 Kriteria Utama Pada Mesin Cuci Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen
Kriteria utama pada produk mesin cuci yang perlu diwajibkan dalam standar? (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)
Skor Likert
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan (K3L) 3,7
Kualitas bahan 3,7
Penggunaan daya listrik 3,7
Model 3,7
Sumber : Data Primer (2013), diolah
4.1.3 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Pengatur Udara Yang
Perlu Diwajibkan Dalam Standar
Pada penilaian selanjutnya untuk produk Pengatur Udara, konsumen setuju
bahwa semua kriteria harus diwajibkan dalam penetapan standar dan menganggap
kriteria yang pertama yaitu keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan
paling penting sehingga mendapatkan skor paling tinggi yaitu 3,8 (Tabel 4). Hal ini
karena penggunaan Pengatur Udara diasosiasikan dengan penggunaan zat freon
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 41
yang dapat merusak lapisan ozon di udara, sehingga dipandang perlu
menstandarisasikan kriteria tersebut dalam rangka pelestarian lingkungan.
Konsumen juga setuju penggunaan daya listrik untuk produk Pengatur Udara harus
distandarkan dengan skor 3,7, dan urutan selanjutnya adalah kualitas bahan dan
model produk dengan skor masing-masing 3,6 dan 3,5.
Tabel 4.4 Kriteria Utama Pada Pengatur Udara Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen
Kriteria utama pada produk Pengatur Udara yang perlu diwajibkan dalam standar (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)
Skor Likert
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan 3.8
Kualitas bahan 3.6
Penggunaan daya listrik 3.7
Model 3.5
Sumber : Data Primer (2013), diolah
4.1.4 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Lemari Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar
Selanjutnya untuk produk lemari pendingin atau Lemari Pendingin, kriteria
K3L dan kualitas bahan memiliki skor yang sama yaitu sebesar 3,7 (Tabel 5). Hal
ini berarti dua kriteria tersebut dianggap lebih perlu diwajibkan dalam standar
menurut konsumen dibandingkan dengan penggunaan daya listrik yang skornya
sebesar 3,6. Kemudian, serupa dengan hasil penilaian unutk produk Pengatur
Udara, kriteria model untuk lemari pendingin menempati urutan terakhir dalam hal
kepentingannya untuk diwajibkan dalam standar. Berdasarkan assessment model of
standard readiness survey, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum
konsumen menganggap keempat kriteria tersebut penting dan perlu dimasukkan
dalam standar, namun demikian perbedaan skor antara satu kriteria dengan kriteria
lainnya menunjukkan adanya perbedaan dalam persepsi mana kriteria yang lebih
perlu dan penting dibandingkan dengan yang lainnya.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 42
Tabel 4.5 Kriteria Utama Pada Lemari Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen
Kriteria utama pada produk Lemari Pendingin yang perlu diwajibkan dalam standar (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)
Skor Likert
Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan 3.7
Kualitas bahan 3.7
Penggunaan daya listrik 3.6
Model 3.5
Sumber : Data Primer (2013), diolah
4.2 Kesiapan Pelaku Usaha Terhadap Pemberlakuan SNI
Industri elektronik untuk produk Pendingin Udara, Lemari Pendingin, dan
mesin cuci didominasi oleh perusahaan besar dengan kapasitas produksi yang
sudah memenuhi skala ekonomi dan memiliki daya saing yang baik. Hal ini
dikarenakan setiap perusahaan telah menerapkan standar perusahaan (private
standard) pada proses produksi dan inovasi produk. Dalam pengembangan
produksinya di Indonesia, perusahaan elektronik yang memproduksi Pendingin
Udara, Lemari Pendingin, dan mesin cuci merupakan perusahaan asing yang
berinvestasi di Indonesia.
Dalam kaitannya dengan penerapan SNI Wajib bagi produk mesin cuci,
Pendingin Udara, dan Lemari Pendingin, pelaku usaha juga mempertimbangkan
beberapa hal seperti kebutuhan pasar, ketersediaan sarana dan prasarana yang
berhubungan langsung dengan kegiatan industri, serta kesiapan sumberdaya
manusia yang bertanggung jawab terhadap pengawasan mutu produk dan
kesesuaian terhadap peraturan standard di Indonesia.
4.2.1 Pandangan Produsen Terhadap Konsumen Tentang Standard Kebutuhan pasar merupakan aspek yang penting bagi perusahaan dalam
menentukan strategi untuk pengembangan produk. Sebagai perusahaan besar,
produsen elektronik khususnya bagi produk mesin cuci, Pendingin Udara, dan
Lemari Pendingin, sangat memperhatikan aspek kualitas produk yang meliputi
keamanan dan keselamatan (safety needs) dan keunggulan produknya
(performance needs) bagi konsumen. Hal ini sesuai dengan nilai persepsi
responden produsen terhadap pentingnya standard bagi produk mereka dimana
nilai skala likert menunjukkan nilai 4,8. Artinya, responden produsen memandang
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 43
bahwa standard merupakan hal yang penting bagi produk mereka. Selama ini,
standard yang diacu oleh responden produsen disesuaikan dengan pabrikan negara
asal seperti standard yang diberlakukan oleh Thai Industrial Standard Institute (TISI)
dalam ISO/TC di Thailand, standard acuan yang disesuaikan dengan Semco di Uni
Eropa, dan China Compulsory Certificate (CCC mark) untuk produk yang berasal
dari Cina. Selain standard negara acuan, responden produsen juga menerapkan
standard produk yang dikembangkan dalam skala korporasi yang pada umumnya
bersifat private.
Dalam kaitannya dengan pemahaman konsumen terhadap standard dan
SNI, responden produsen mempersepsikan bahwa selama ini konsumen lebih
memperhatikan merk produk yang mereka beli (brand image perception) yang
umumnya diasosiasikan dengan kualitas. Responden produsen tidak terlalu yakin
bahwa konsumen sudah memperhatikan keberadaan standard yang biasanya
dikomunikasikan melalui label standard, baik ISO maupun SNI, pada produk. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai skala likert sebesar 2,9 dalam hal pentingnya label
standard pada produk dan perhatian konsumen terhadap label standard yang
sebesar 3,1. Hal ini dapat diartikan bahwa persepsi responden produsen tentang
perhatian konsumen dan pentingnya label standard pada produk menurut
konsumen masih rendah.
Sementara itu dalam kaitannya dengan SNI, responden produsen juga
berpersepsi bahwa produk yang sudah ber-SNI belum menjadi preferensi konsumen
dinama nilai likert hanya sebesar 3,1. Pertimbangan responden produsen sejalan
dengan pemahaman bahwa penerapan standard akan berdampak pada biaya yang
pada akhirnya akan mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu
produk. Terkait dengan penerapan SNI Wajib, responden produsen memiliki
persepsi bahwa akan ada biaya tambahan yang pada akhirnya juga akan
dibebankan kepada konsumen, dimana nilai skala likert sebesar 4,4.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 44
Tabel 4.6 Persepsi Responden Produsen
Tentang Pemahaman Konsumen Terhadap Standar
Kriteria Skor Likert
Pengetahuan Produsen tentang standar dan SNI? (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)
4,3
Pendapat Produsen tentang pentingnya standar (1=sangat tidak penting; 5=sangat penting)
4,8
Pendapat produsen tentang perhatian konsumen terhadap label pada produk yang sudah mendapat SNI (1=sangat tidak memperhatikan; 5=sangat memperhatikan)
3,1
Pendapat produsen apakah konsumen sangat mementingkan pencantuman label standar pada produk (1=sangat tidak penting; 5=sangat penting)
2,9
Pendapat produsen apakah konsumen lebih memilih produk yang sudah mendapat SNI dibanding yang tidak (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)
2,9
Pendapat produsen tentang produk yang mendapat SNI harganya lebih mahal dibanding produk sejenis yang belum/tidak mendapat SNI? (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)
4,4
Sumber : Data Primer (2013), diolah
4.2.2 Kesiapan Produsen Terhadap Pemberlakuan SNI Wajib
Pada dasarnya responden produsen sudah menerapkan standard
perusahaan dalam sistem produksi dan inovasinya dimana secara normatif,
responden juga memiliki persepsi bahwa standard yang digunakan dalam
pengembangan produknya memiliki pengakuan di pasar internasional. Sementara
itu, SNI dipersepsikan sebagai standard minimal yang harus dipenuhi produsen
yang pada umumnya merupakan hasil adopsi dari standard internasional. Dengan
demikian, responden produsen mengasosiasikan kepatuhan terhadap standard
internasional akan mudah diterapkan pada SNI. Beberapa standard internasional
yang diacu bahkan bersifat spesifik berdasarkan komponen yang digunakan.
Sebagai contoh, untuk beberapa komponen yang digunakan dalam produk
Pendingin Udara, Lemari Pendingin, dan mesin cuci sudah memenuhi standard UL,
CB, CE marking, dan SAA yang merupakan standard yang diadopsi dari negara-
negara pasar elektronik seperti Uni Eropa, Asia (Jepang, Korea, dan Cina), dan
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 45
Australia. Sementara untuk standard tambahan yang berkaitan dengan performance
seperti ramah lingkungan dan hemat energi, beberapa perusahaan telah
mengadopsi standard internasional seperti Semco di Uni Eropa, CCC Marking di
Cina, dan CQC di Inggris.
Dengan pertimbangan tersebut, respnden produsen menilai bahwa kesiapan
pemberlakuan SNI Wajib untuk produk mesin cuci, Pendingin Udara, dan Lemari
Pendingin sudah dapat dipenuhi dengan peningkatan kemampuan sumber daya
manusia dan penyesuaian sistem kepatuhan (conformity system) dengan pabrik di
negara produsen. Hal ini sesuai dengan hasil nilai likert di mana responden
produsen menilai kesiapan dalam menghadapi pemberlakuan SNI Wajib sudah
optimal.
Tabel 4.7 Nilai Kesiapan Responden Produsen Terhadap Penerapan SNI Wajib Mesin Cuci, Pendingin Udara, dan Lemari Pendingin
Kriteria Kesiapan Skor Likert
Penerapan Teknologi
Ketersedian sarana dan prasarana standar 4,3
Penguasaan standar dan penerapannya 4,4
Sumber Daya Manusia
Tenaga penguji dalam perusahaan 4,4
Pihak luar pendukung 4,5
Kemampuan untuk melakukan pengujian 4,1
Self-Development
Anggaran untuk menerapkan SNI 4,4
Manajemen dalam penerapan SNI 4,4
Pengawasan
SDM di bidang pengawasan 4,4
Kemampuan lembaga pengawas 4,4
Sumber : Data Primer (2013), diolah
Dalam Tabel 4.7 telihat bahwa beberapa aspek yang dianalisa seperti:
Penerapan Teknologi, Sumber Daya Manusia, Self-Development, dan Pengawasan
memperoleh nilai likert yang cukup tinggi. Berdasarkan Assessment Model of
Standard Readiness Survey, jika nilai likert lebih tinggi dari 4,2 maka dapat
disimpulkan bahwa responden produsen sudah mengoptimalkan kesiapan
pemberlakuan SNI Wajib. Beberapa langkah untuk optimasi kesiapan antara lain
melalui investasi peralatan yang mendukung produksi dan inovasi, penentuan
supplier komponen yang dapat mendukung penerapan SNI, peningkatan
kemampuan sumber daya manusia, serta optimasi anggaran terkait pengembangan
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 46
mutu produk. Namun, dari sisi kemampuan untuk melakukan pengujian masih
memiliki nilai likert 4,1 yang berarti belum sepenuhnya siap dan masih diperlukan
beberapa perbaikan. Ketidaksiapan ini bukan merupakan kelemahan internal
responden produsen mengingat dalam penerapan SNI Wajib, pemerintah akan
menunjuk laboraturium uji yang dapat digunakan dalam pengujian SNI. Dengan
demikian, pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia yang khusus menangani
SNI tidak sepenuhnya dilakukan oleh produsen. Oleh karena itu, responden
produsen akan mengoptimasi kesiapan sarana dan prasara serta penguasaan
standar dan penerapannya. Terkait dengan dukungan pihak luar pendukung,
responden produsen memiliki persepsi kesiapan yang tinggi dengan nilai likert
sebesar 4,5 karena kemitraan dengan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dan
supplier yang selama ini telah terjalin, walaupun masih terdapat beberapa hal yang
harus diperbaiki.
Dalam kaitannya dengan pengetahuan terhadap SNI Wajib mesin cuci,
Lemari Pendingin, dan Pendingin Udara yang masing-masing berupa SNI IEC
60335-2-7-2009 peralatan listrik serupa Keselamatan - Bagian 2-7: Persyaratan
khusus untuk Mesin Cuci, SNI IEC 60335-2- 24-2009 Peranti listrik rumah tangga
dan sejenisnya - Keselamatan - Bagian 2-24: Persyaratan khusus untuk peranti
pendingin, peranti es krim dan pembuat es, serta SNI IEC 60335-2- 40-2009
peralatan listrik rumah tangga dan peralatan serupa - keselamatan - Bagian 2-40:
Persyaratan Khusus untuk pompa kalor listrik, pengkondensi udara dan pengering
udara, belum seluruh responden perusahaan mengetahui kepastian penerapannya,
walaupun sudah pernah memperoleh informasi tentang parameter yang harus
dipenuhi. Hal ini sejalan dengan nilai likert pengetahuan responden produsen
tentang penerapan SNI Wajib tersebut yang bernilai 3,5 yang dapat diartikan bahwa
responden produsen tidak memperoleh kepastian informasi mengenai penerapan
SNI Wajib tersebut. Berdasarkan hasil survey, sebagian besar responden produsen
sudah tidak mendapatkan informasi mengenai penerapan SNI Wajib setelah tahun
2010.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 47
Tabel 4.8 Pengetahuan Tentang Penerapan SNI Wajib
Kriteria Skor Likert
Pengetahuan Produsen tentang penerapan SNI IEC 60335-2-7:2009 (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)
3,5
Pendapat Produsen tentang penerapan SNI IEC 60335-2-40: 2009 (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)
3,5
Pendapat Produsen tentang penerapan SNI IEC 60335-2-24: 2009 (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)
3,5
Sumber : Data Primer (2013), diolah
4.2.3 Pandangan Produsen Terhadap Pihak Pendukung Dalam Pemberlakuan SNI Wajib
Dalam penerapan SNI Wajib, produsen tidak hanya mengandalkan kesiapan
internalnya namun juga bergantung pada peran pihak pendukung mengingat dalam
peraturannya diperlukan pihak ketiga (third party) yang bersifat independen.
Beberapa pihak pendukung bagi produsen yang terlibat dalam penerapan SNI Wajib
antara lain Kementerian Teknis sebagai regulator, Badan Akreditasi yang
mengawasi Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro), Laboraturium Uji maupun
Kalibrasi, dan Distributor.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 48
Gambar 4.1 Skema Umum Sertifikasi Produk
Seperti pada Gambar 4.1, standard termasuk SNI Wajib, akan melekat pada
pabrik atau produsen sehingga pihak yang paling berhak dan bertanggung jawab
terhadap kepatuhan standard adalah produsen atau Importir Produsen (IP). Namun
dalam penerapannya, produsen berhubungan dengan pemerintah sebagai pembuat
kebijakan standard di mana akan ditentukan Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK)
dan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang akan diatur dalam Peraturan Menteri.
Dengan demikian, produsen akan memerlukan dukungan LSPro dan LPK atau
laboraturium uji agar pelaksanaan penerapan SNI Wajib dapat berjalan sesuai
dengan ketentuan. Selain itu, kemitraan dengan distributor dan mitra kerja juga
menjadi perhatian produsen dalam penerapan SNI Wajib.
4.2.3.1 Pandangan Produsen Terhadap Kementerian Teknis
Pada prinsipnya, responden produsen sangat mendukung penerapan SNI
Wajib yang diinisiasi oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) selaku
LAB UJI
TESTING
LAB
KALIBRASI
KALIBRASI
KALIBRASI
DISTRIBUTOR
PRODUK
AKREDITASI
BADAN AKREDITASI
Pabrik
SERTIFIKASI
STANDAR
INSTANSI
TEKNIS
OPERASI
INFORMASI Konsumen
PRODUK
Sumber : Data Primer (2013), diolah
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 49
kementerian teknis. Hal ini dikarenakan semangat penerapan SNI Wajib sudah
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standar
Nasional Indonesia yaitu dalam rangka peningkatan daya saing dan perlindungan
konsumen. Tahapan pemberlakuan SNI Wajib dinilai sudah memenuhi aspek
transparansi dan national differences dimana aspek kejelasan informasi mengenai
tujuan pemberlakuan standard dan kemampuan produsen sudah dipertimbangkan.
Selain itu, parameter SNI Wajib yang akan diberlakukan untuk produk mesin cuci,
Pendingin Udara, dan Lemari Pendingin sudah mempertimbangkan kondisi pasar
dalam negeri sehingga pemenuhannya tidak akan memberatkan produsen.
Namun demikian, responden produsen mengharapkan agar waktu
pelaksanaan penerapan SNI Wajib dapat diperjelas, mengingat produsen perlu
melakukan penyesuaian dalam proses bisnisnya agar penerapan SNI dapat
berjalan dengan baik. Selain itu, kejelasan tentang periode penyesuaian selama
masa “uji coba” juga diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam
pengawasan.
4.2.3.2 Pandangan Produsen Terhadap LSPro dan Laboratorium Uji
Kemitraan antara reponden produsen dengan LSPro dan Laboratorium Uji
sudah berlangsung sejak diterapkannya SNI Wajib bagi beberapa produk elektronik
seperti TV Tabung, seterika, lampu swaballast, dan pompa air. Hal ini dikarenakan
beberapa responden produsen mesin cuci, Pendingin Udara, dan Lemari Pendingin
juga merupakan produsen elektronik yang produknya sudah diberlakukan SNI
Wajib. Secara deskriptif, terdapat beberapa hal yang dianggap sebagai
permasalahan yang harus diatasi dalam menjalin kemitraan dengan LSPro dan
Laboratorium Uji seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 50
Gambar 4.2 Permasalahan Dalam Kemitraan Dengan LSPro dan Laboratorium
Uji
Dalam Gambar 4.2 terlihat bahwa hal yang menjadi permasalahan bagi
responden produsen dalam menjalankan kemitraan dengan LSPro dan
Laboratorium Uji adalah biaya, waktu sertifikasi, dan waktu uji. Sebanyak 75%
responden produsen menyebutkan biaya menjadi kendala dalam proses Sertifikai
Produk Pengguna Tanda SNI (SPPT-SNI) karena memiliki dampak terhadap
pelayanan proses SPPT-SNI. Sebagai contoh, bagi responden produsen yang
menggunakan jasa LSPro dan laboratorium uji milik pemerintah membayar biaya
yang relatif lebih murah dibandingkan dengan jasa LSPro dan laboratorium non
pemerintah. Namun, pada umumnya hal tersebut akan berdampak pada lamanya
waktu uji dan pelayanan purna jual yang diperoleh responden produsen. Dengan
demikian, prinsip “price equals quality” berlaku bagi responden produsen dalam
memilih jasa LSPro dan Laboratorium Uji. Bagi produsen, penambahan biaya dalam
pengurusan SNI akan berdampak pada harga jual produk.
Kemudian, Waktu Sertifikasi dan Waktu Uji juga dianggap sebagai
permasalahan karena beberapa LSPro dan Laboratorium Uji memerlukan waktu
yang melebihi dari ketentuan yang seharusnya. Sebagai contoh, dalam kondisi
normal disebutkan bahwa waktu uji yang diperlukan bagi produk tertentu adalah 21
hari kerja, namun dalam beberapa kasus diperlukan waktu hingga 2 (dua) bulan
hanya untuk pengujian. Dampaknya, waktu yang diperlukan dalam proses sertifikasi
Sumber : Data Primer (2013), diolah
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 51
akan bertambah menjadi hingga 3 (tiga) bulan. Hal ini ditunjukkan dalam Gambar
4.2 dimana 62,5% responden produsen mengeluhkan waktu uji dan sertifikasi.
Sementara untuk lokasi, responden produsen tidak mengeluhkan keberadaan
LSPro dan Laboratorium Uji yang tidak berada dalam satu lokasi atau kawasan
industri. Hal tersebut dikarenakan proses pengambilan sampel dan hasil uji tidak
terlalu sulit.
4.2.3.2 Pandangan Produsen Terhadap Distributor dan Supplier
Distributor dan supplier merupakan bagian yang tidak kalah penting dalam
penerapan SNI Wajib. Hal ini dikarenakan dalam proses pengembangan produk,
produsen akan melibatkan supplier dalam pengadaan komponen (parts) pendukung
serta distributor untuk menjual produknya ke konsumen. Secara teknis, penerapan
standard oleh produsen pada proses produksi sudah dimulai sejak penentuan
penggunaan komponen pendukung. Sebagai ilustrasi, untuk memproduksi mesin
cuci, diperlukan beberapa komponen elektronika dasar yang umumnya diperoleh
dari supplier, baik lokal maupun impor. Dengan demikian, produsen harus
memastikan bahwa komponen yang diperoleh dari supplier sudah memenuhi
standard yang ditetapkan. Dengan demikian, responden produsen juga akan
memastikan bahwa supplier dapat memenuhi ketentuan dalam SNI Wajib.
Sementara untuk distributor, dukungan kesiapan dalam penerapan SNI
Wajib lebih difokuskan pada peredaran produk di pasar. Mengacu pada konsep
(draft) Peraturan Menteri Perindustrian Tentang Pemberlakuan SNI Pendingin
Ruangan, Lemari Pendingin, dan Mesin Cuci Secara Wajib, dalam Pasal 4 dan 5
dijelaskan bahwa penandaan tanda SNI pada produk yang juga dicantumkan
tanggal, bulan, dan tahun produksi menjadi aspek penting bagi pengawasan. Dalam
peraturan juga disebutkan bahwa SNI Wajib akan berlaku mulai 9 (sembilan) bulan
sejak tanggal diundangkan yang berarti pihak distributor juga harus memperhatikan
stok dan aliran barang. Dengan demikian, produk yang dijual sudah sesuai dengan
ketentuan dan memudahkan pelaksanaan pengawasan.
4.3 Kesiapan LsPro dan Laboratorium Pengujian
Pada dasarnya, SNI tidak wajib dan bersifat sukarela, namun bila regulator
mengadopsi ke dalam spesifikasi teknis regulasi, maka SNI menjadi wajib dan
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 52
mengikat bagi industri yang ingin mencantumkan tanda SNI pada produknya. Untuk
bisa memperoleh SNI, perusahaan harus lulus uji pemeriksaan pemilihan bahan
baku, proses produksi, standar mutu, termasuk aspek keamanan, kesehatan, dan
lingkungan yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk yang telah diakreditasi
oleh Komite Akreditasi Nasional - KAN (BSN, 2010).
Jika produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin akan diberlakukan secara
wajib tentunya perlu memenuhi kriteria kesiapan dari industri/produsen juga
lembaga penilaian kesesuaian khususnya laboratorium uji, lembaga sertikasi,
lembaga penilaian system mutu dan lembaga sertifikasi produk yang mampu
memenuhi permintaan industri/produsen. Hal ini untuk menghindari dari tidak
efektifnya penerapan standar karena terganggunya arus masuk barang impor
karena keterbatasan laboratorium uji, mahalnya biaya sertifikasi karena terbatasnya
lembaga yang berwenang mengeluarkan sertikasi dan lain-lainnya.
Secara keseluruhan terdapat sekitar 400 laboratorium yang tersebar di
berbagai daerah di Indonesia. Dari 400 laboratorium , sebanyak 71 buah
merupakan laboratorium uji produk industri (KAN, 2008) yang terdiri dari
laboratorium uji milik pemerintah, 7 milik BUMN dan 12 dikelola swasta
(BPPKI,2012). Di sektor industri, lembaga yang membina dan mengawasi adalah
Kementerian Perindusrian c/q Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri
khususnya untuk standar yaitu pada Pusat Standarisasi Badan Pengkajian
Kebijakan Iklim dan Mutu Industri - Kementerian Perindustrian. Pustan ini
mempunyai tugas pokok yaitu penyiapan dan perumusan RSNI, penerapan dan
pengawasan SNI Wajib, pembinaan standarisasi serta kerjasama standarisasi di
bidang industri.
4.3.1 Ketersedian Laboratorium dan Kemampuan Uji
Dari 71 buah laboratorium uji maka teridentifikasi sebanyak 9 (Sembilan)
buah laboratorium yang memungkinkan dapat menguji dan mensertifikasi produk
Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin yaitu terdiri dari 5 buah milik pemerintah, 1
buah milik BUMN dan 3 buah dikelola oleh swasta (Tabel 4.8). Dari 8 laboratorium
ini hanya dua yang hanya sebagai laboratorium uji yaitu PT. Panasonic Gobel dan
PT. Polytron. Namun belum semua laboratorium tersebut mempunyai fasilitas dan
kemampuan untuk menguji semua parameter uji ketiga produk elektronik yang akan
diberlakukan wajib. Disamping itu, belum semua laboratorium tersebut sudah
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 53
terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk produk tersebut, hal ini
karena belum diberlakukannya SNI secara wajib dan dianggap bahwa untuk
akreditasi tidak membutuhkan waktu yang lama. Seperti diketahui bahwa SNI untuk
produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin selama ini masih bersifat sukarela
sehingga permintaan untuk pengujian produk tersebut belum diminati sehingga
beberapa laboratorium belum melengkapi fasilitas ujinya. Sebagai contoh,
Laboratorium di Pusat Pengujian Mutu Barang (PPMB) Kementerian Perdagangan
belum memiliki alat uji double chamber untuk pengujian AC yang harganya relatif
mahal.
Dari peta lokasi keberadaan laboratorium yang mempunyai prospek menguji
tiga produk tersebut adalah menyebar di beberapa wilayah walaupun semua masih
berlokasi di pulau Jawa, namun sebaliknya keberadaan industri Mesin cuci, AC dan
Lemari Pendingin mayoritas berlokasi di Kawasan Industri di Jabodetabek
khususnya di wilayah Cikarang-Bekasi. Hanya PT. Sucofindo yang berlokasi relatif
dekat dengan lokasi produsen. Berikut analisis deskriptif 5 (lima) laboratorium uji
sebagai responden untuk mengetahui kesiapan pemberlakuan SNI secara wajib
produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin.
b. Pusat Pengawasan Mutu Barang (PPMB)
Pusat Pengawasan Mutu Barang, Kementerian Perdagangan merupakan
tempat penerbitan sertifikat: pengujian produk ekpor & impor, SNI, serta tempat
pengurusan SPB & NPB (impor produk) dan NRP (lokal produk). Penetapan SNI
Wajib untuk produk elektronik dilakukan oleh Instansi Teknis terkait dalam hal ini
adalah Menteri Perindustrian yang selanjutnya pengawasan dilakukan oleh Pusat
Pengawasan Mutu Barang, Kementerian Perdagangan sesuai dengan Permendag
N0 30/M-DAG/PER/7/2007 tentang perubahan Permendag No 14/M-
DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan
Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa
yang Diperdagangkan. PPMB sebagai LPK khususnya untuk laboratorium
Pengujian dan Laboratorium sertfikasi produk untuk produk elektronik mempunyai
SDM sejumlah 17 orang yang dapat menguji berbagai produk eletronika yang
menjadi ruang lingkup uji.
c. Laboratorium Uji P2SMTP LIPI
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 54
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (P2SMTP-LIPI) memiliki tugas pokok melaksanakan
penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, pemberian
bimbingan teknis, penyusunan rencana dan program Metrology, Standard, Testing
and Quality (MSTQ), pelaksanaan penelitian sistem mutu dan pelayanan pengujian
serta evaluasi dan penyusunan laporan. Namun di sisi lain, dengan kelengkapan
fasilitas laboratorium yang dimilikinya, P2SMTP LIPI juga menyediakan jasa
laboratorium uji produk kepada industri.
Sehubungan dengan fungsi tersebut, P2SMTP LIPI telah memiliki akreditasi
dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan pengujian terhadap produk-
produk elektronika dan mekanika. Khusus untuk jenis produk elektronika yang akan
diberlakukan SNI wajib, P2SMTP LIPI menyatakan mampu dan siap untuk
mengadakan pengujian terhadap produk Mesin cuci, namun masih belum mampu
untuk melakukan pengujian terhadap produk Air Conditioner (AC). Hal ini
dikarenakan belum lengkapnya fasilitas peralatan uji yang dimiliki oleh laboratorium
P2SMTP LIPI. Jenis peralatan yang masih belum dimiliki untuk melakukan
pengujian produk AC tersebut adalah alat Dual Chamber. Adapun pengadaan alat
tersebut masih belum dimungkinkan karena harganya yang sangat mahal, yaitu
mencapai milyaran rupiah.
Dari sisi SDM, jumlah tenaga penguji laboratorium P2SMTP LIPI berjumlah
empat (4) orang. Jumlah yang terbatas ini diakui masih mencukupi untuk menguji
produk-produk dalam laboratorium uji. Kendalanya justru terjadi salah satunya
berkaitan dengan tupoksi dari P2SMTP yang berkaitan dengan penelitian dan
pengembangan, bukan sebagai jasa pengujian produk. Akibatnya, petugas penguji
cenderung lebih concern untuk melakukan penelitian ketimbang memberikan jasa
kepada industri.
Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengujian terhadap produk mesin
cuci adalah sebesar Rp 6 juta. Jumlah ini diakui cukup rendah jika dibandingkan
dengan laboratorium uji lainnya. Hal ini dikarenakan rendahnya biaya modal terkait
pembelian alat pengujian. Pengadaan alat pengujian selain menggunakan dana
APBN, juga diperoleh dari Asian Development Bank (ADB) melalui skema
peminjaman. Selain itu, P2SMTP LIPI juga membuat sendiri beberapa alat
pengujian yang dipergunakan untuk menguji produk.
Terkait dengan waktu pengujian, waktu yang dibutuhkan oleh P2SMTP LIPI
untuk melakukan pengujian produk Mesin cuci biasanya mencapai 6 bulan (hanya
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 55
pengujian saja). Hal ini dikarenakan proses pengujian yang harus dilaksanakan
secara step by step, konfirmasi kepada produsen untuk melakukan improvement
terhadap produk yang diuji apabila gagal di pengujian, serta juga karena adanya
kendala akibat keterbatasan SDM yang melakukan pengujian
d. Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T)
Balai Besar Bahan dan Barang Teknik ( B4T ) No LPK: LP 007 IDN sebagai
salah satu Institusi Penelitian dan Pengembangan di bawah Badan Pengkajian
Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian RI, telah
berpengalaman lebih dari 95 tahun di bidang Pengujian dan Kepastian Mutu Bahan
dan Barang Teknik .
Lembaga sertifikasi produk atau B4T-LSPro telah mendapatkan akreditasi
dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Sertifikasi produk ditujukan untuk
memberikan jaminan kepastian mutu produk kepada konsumen sesuai persyaratan
dan spesifikasi teknik yang berlaku. Berdasarkan indept interview dengan kepala
bidang sertifikasi, di B4T yang bertugas menangani pengujian dan sertifikasi adalah
bidang standardisasi dan bidang sertifkasi. Jumlah seluruh pegawai di B3T
sebanyak 70 orang dan di bidang elektronik sebanyak 20 orang yang telah
mempunyai kompetensi dibidangnya. Untuk meningkatkan kompetensi telah dididik
melalui berbagai pendidikan, pelatihan, workshop dll, seperti pelatihan ke PT
Panasonic, dikirim ke Jepang dan Eropa. Sedangkan jumlah auditor sebanyak 15
orang.
Infrastruktur yang dimiliki B4T untuk menguji ke tiga produk Mesin cuci, AC
dan Lemari Pendingin sudah cukup memadai dan siap apabila diberlakukan wajib.
Kesiapan inipun sejak 2 tahun lalu bahwa produk tersebut akan diberlakukan wajib
mulai dari prosedur sampai sertifikasinya. Terkait waktu dan biaya pengujian dan
sertfikasi adalah mengacu pada ketentuan yang berlaku pada PP N0 47 tahun
2011. Waktu yang diperlukan untuk pengujian pada kondisi normal adalah dua
bulan dan untuk sertifikasi 41 hari. Namun apabila ditemukan masalah dalam
pengujian seperti bahan dan tidak sesuai spesifikasi, kabel, tusuk kontak tidak ber
SNI maka waktu pengujian membutuhkan waktu yang lama, bahkan bisa sampai
enam bulan. Untuk itu perlu ada kerjasama produsen untuk memenuhi ketentuan
SNI. Sedangkan tariff/biaya uji berdasarkan ketentuan, ada perbedaan untuk produk
impor lebih mahal dibandingkan produk lokal. Besarnya tarif sertifikasi yaitu sekitar
Rp. 22,5 juta untuk produk lokal dan Rp. 150 juta untuk produk ex-impor. Tarif ini
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 56
diluar biaya pengujian dimana biaya pengujian dikenakan berdasarkan tipe dan
varian dari produknya.
Adanya kekhawatiran dari para produsen terhadap kesiapan LPK terutama
dari sisi waktu memang diakui tetapi hal seperti ini adalah biasa pada produk yang
baru diberlakukan wajib. Pada awalnya akan membutuhkan waktu antrian namun
untuk tahap selanjutnya apabila produk-produk tersebut sudah sesuai SNI akan
kembali normal. Usulan atau saran untuk mencegah terjadinya over load tersebut
adalah kerjasama antar LsPro untuk mendistribusikan produk ke laboratorium
penguji yang lain yang tidak over load. Selain itu, perlunya mendorong Forum
Komunikasi LPK untuk meningkatkan kompetensi dan keakuratan hasil pengujian.
e. PT. Sucofindo
PT. Sucofindo merupakan Lembaga Peniliaian Kesesuaian milik BUMN yang
memberikan jasa terhadap pelayanan dalam sertifikasi produk dan pengujian
produk. Lembaga ini mempunyai 7 (tujuh) laboratorium besar, salah satunya untuk
pengujian produk elektronika termasuk produk Mesin cuci, AC dan Lemari
Pendingin. Jumlah produk yang sudah terakreditasi sebanyak 55 produk termasuk
tiga produk elektronik tersebut.
Jika Produk Mesin cuci dengan SNI IEC 60335-2-7:2009, AC SNI IEC
60335-2-40:2009 dan Lemari Pendingin SNI IEC 60335-2-24 : 2009 diberlakukan
wajib, maka PT. Sucofindo menyatakan kesiapannya, hal ini ditunjukkan dengan
keseriusan dengan mempersiapkan baik dari sisi SDM maupun sarana
laboratorium. Pada bagian laboratorium listrik dan elektronik, SDM yang sudah ada
berjumlah 20 orang dengan memiliki kompetensi di bidangnya. Untuk alat uji sudah
dapat menguji ketiga produk tersebut bahkan telah ditambah alat double chamber
sehingga berjumlah dua buah, sedangkan ruang labaoratorium diperluas tiga kali
lipat yang ditargetkan pada bulan Juli 2013 selesai.
Waktu yang dibutuhkan dalam pengujian Mesin cuci, AC dan Lemari
Pendingin secara normal masing-masing berkisar antara 10-15 hari, namun hal ini
juga perlu ada kerjasama dari pihak produsen dalam merespon jika terdapat part
yang tidak memenuhi parameter SNI. Lamanya pengujian dari sisi PT. Sucofindo
tidak merupakan masalah karena kapasitas SDM dalam pengujian rata-rata 1 orang
mampu menyelesaikan 15 jenis produk pada tahapan proses uji yang dilakukan
secara parallel. PT. Sucofindo yang berinisiatif mencoba melakukan pengujian
produk PT. LG, PT. Sharp, PT. Shanken dan PT. Denpoo. Sebagian sudah dapat
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 57
memenuhi SNI dan sebagian belum seperti PT. Denpoo untuk Mesin cuci yaitu
pada kabel stop kontaknya yang perlu dipenuhi.
Biaya uji produk baik Mesin cuci, AC maupun Lemari Pendingin sama
tergantung banyaknya .
Varian dari produk tersebut. Sebagai contoh Mesin cuci dua tabung, untuk typenya
(base unit) sebesar Rp. 3.500.000,-ditambah dengan setiap varian 1 (25%), varian 2
(25%) sehingga biaya uji sebesar Rp.3.500.000,-+ 25%+25% = Rp. Rp.5.250.000,-
Selanjutnya proses untuk melakukan sertifikasi produk untuk mendapatkan
SPPT SNI, tergantung pada produk lokal atau produk impor. Kebijakan pengenakan
tariff atau biaya uji dan sertifikasi pada PT. Sucofindo yag merupakan milik BUMN
berbeda dengan milik pemerintah. LPK milik pemerintah mengacu pada PP N0. 45
Tahun 2010 , sedangkan PT. Sucofindo mempunyai kebijakan sendiri dimana
biayanya relatif lebih mahal dibandingkan milik pemerintah. Namun berdasarkan
hasil wawancara dengan beberapa produsen bahwa perbedaan biaya yang tidak
tinggi bukan menjadi masalah tetapi dari sisi waktu maupun kapastian PT,
Sucofindo mempunyai kelebihan. Beberapa kelebihan dari PT.. Sucofindo antara
lain : (1) letaknya tidak jauh dari industrinya, (2), waktu relatif tidak lama, (3).
Terbuka dan akomodatif, (4) lebih teliti.
Waktu yang dibutuhkan untuk menerbitkan sertifikat SNI baik Mesin cuci ,
AC dan Lemari Pendingin untuk produk ex-impor berkisar antara 2-3 bulan,
sedangkan produk local waktunya berkisar 2 bulan. Hal ini karena produk ex-impor
diperlukan waktu untuk melakukan audit ke negara asal, Lamanya waktu inipun
tergantung dari respond an kerjasama dengan produsen dalam memenuhi
kesesuaian dengan persyaratan SNI. Biaya atau tariff untuk sertifikasi ini pihak PT.
Sucofindo belum menetapkan besarannya namun diperkirakan antara Rp. 20 juta
sampai dengan Rp.25 juta. SDM untuk mengaudit (auditor) sebanyak 80 orang yang
dinyatakan sudah cukup dan mampu karena memiliki kompetensi dibidangnya.
f. PT. Panasonic Manufacturing Indonesia
Laboratorium PT Panasonic telah terakreditasi 17025 merupakan
laboratorium yang dikelola oleh swasta dan berpotensi utuk melakukan pengujian
produk elektronik termasuk Lampu Swabalas dan Balast elektronik. Dari hasil indept
interview, pihak perusahaan telah mengetahui akan diberlakukan SNI wajib untuk
produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin dan menyatakan kesiapannya dalam
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 58
pengujian produk tersebut. Walaupun kendalanya adalah belum dimilikinya alat
dual chamber. Disamping itu dari sisi SDM yang kompeten sudah mencukupi.
Tabel 4.9 Laboratorium Uji dan LsPro Untuk Produk Mesin Cuci, AC dan
Lemari Pendingin
No Nama LPK Produk Laboratorium Lama uji & sertifikasi
SDM Keterangan
1 Pusat Pengawasan Mutu Barang
Mesin Cuci Lab uji
LsPro
2 minggu 3 bulan
22 orang 50 orang
Jl. Raya Bogor Ciracas
2
Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SMTP-LIPI)
Mesin cuci Lab Uji
LsPro
6 bulan sampai mendapat sertifikasi
Serpong
3 Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T)
Mesin cuci AC Lemari Pendingin
Lab Uji
Lspro
2 - 6 bln 41 hari
20 org 15 org
Jl. Sangkuriang No. 14, Kotak Pos 32.Bandung, Jawa Barat40135
4 Balai Riset dan Standardisasi Industri dan Perdagangan Surabaya
Lab Uji
LsPro
Jl. Jagir Wonokromo 360Surabaya, Jawa Timur
5 PT. Sucofindo
Mesin Cuci, AC dan Lemari Pendingin
Lab Uji
LsPro
10 hari 2 bulan
17 org
Cibitung
6 PT. TUV Lab Uji
LsPro
Pasar Minggu
7 PT. Panasonic Manufacturing Indonesia
Mesin Cuci dan Lemari Pendingin
Lab Uji 5 orang Jl. Raya Bogor
8 PT. Polytron/ HIT (Hartomo Istana)
Mesin cuci Lab Uji Kudus Semarang
Sumber : Data Primer (2013), diolah
4.3.2 Kesiapan LSPro dan Laboratorium Uji Terhadap Pemberlakuan SNI
Secara Wajib
Analisis kesiapan Laboratorium Uji dan LSPro juga dilakukan secara
kuantitatif dengan menggunakan assessment model of Standard Rreadiness Survey
di mana beberapa kriteria seperti penerapan teknologi, sumberdaya manusia
(SDM), self-development dan dan pengawasan yang diterapkan oleh LSPro dan
Laboratorium Uji dinilai dengan menggunakan skala likert. Dalam analisis, nilai likert
yang diharapkan adalah minimal 3,4 dan jika nilai likert mencapai 4,2 maka dapat
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 59
disimpulkan bahwa institusi telah memiliki tingkat kesiapan yang optimal
berdasarkan persepsi mereka.
Tabel 4.10 Kesiapan Laboratorium Uji Dalam Penerapan SNI
Kriteria Kesiapan Skor Likert
Penerapan Teknologi
Ketersedian sarana dan prasarana standar 4,0
Penguasaan standar dan penerapannya 4,4
Sumber Daya Manusia
Tenaga penguji dalam perusahaan 4,4
Pihak luar pendukung 4,4
Kemampuan untuk melakukan pengujian 4,6
Self-Development
Anggaran untuk menerapkan SNI 4,2
Manajemen dalam penerapan SNI 4,4 Pengawasan
SDM di bidang pengawasan 4,4
Kemampuan lembaga pengawas 4,4
Sumber : Data Primer (2013), diolah
Dalam Tabel 4.9 telihat bahwa beberapa aspek yang seluruh kriteria yang
diteliti memperoleh nilai likert yang cukup tinggi. Bahkan kriteria seperti tenaga
penguji, kemampuan untuk melakukan pengujian, manajemen dalam penerapan
SNI dan pengawasan memiliki nilai di atas 4,2 yang dinilai siap dalam penerapan
SNI Wajib. Hal ini, menurut responden LSPro dan Laboratorium Uji pemenuhan
SDM selalu dilakukan melalui proses rekrutmen berkala dan peningkatan
kompetensi yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat oleh tenaga uji. Selain itu,
kemitraan dengan beberapa institusi internasional juga sudah dilakukan untuk
meningkatkan kapasitas SDM yang lebih kompeten dan adaptif terhadap
pengetahuan standard internasional. Dukungan pihak lain seperti pemerintah dalam
hal pembinaan dan pengawasan serta komunikasi antar LSPro dan Laboratorium uji
juga sudah dilakukan melalui pembentukan Forum Komunikasi.
Namun ada beberapa kriteria dengan nilai likert di bawah 4,2 yaitu
ketersediaan sarana dan prasarana standard dengan nilai likert 4,0. Beberapa
responden belum melakukan persiapan terkait dengan penerapan SNI Wajib seperti
perluasan laboratorium dan penambahan alat uji. Menurut responden, kepastian
waktu pemberlakuan SNI Wajib akan menjadi landasan keputusan apakan akan
dilakukan investasi penambahan alat uji dan perluasan sarana laboratorium. Hal
tersebut sejalan dengan kesiapan responden terkait penyediaan anggaran yang
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 60
belum disesuaikan karena belum mendapat kepastian tentang pemberlakuan SNI
Wajib.
4.4. Kebijakan Pemberlakuan dan Pengawasan Terhadap SNI
Pengawasan barang beredar merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dalam penerapan SNI Wajib karena penerapan SNI Wajib tidak akan
efektif tanpa dukungan pengawasan yang efektif. Pada prinsipnya, responden
produsen, LSPro, dan Laboratorium Uji lebih menitikberatkan kebijakan dan
pelaksanaan pengawasan SNI Wajib terhadap barang yang beredar di pasaran agar
dapat dipastikan bahwa ketentuan dalam SNI Wajib sudah dipatuhi oleh seluruh
pemangku kepentingan.
4.4.1 Kebijakan Pengawasan Terhadap Produk ber-SNI
Sistem pengawasan barang dan/atau jasa yang beredar di pasar yang diatur
melalui Peraturan Menteri Perindag No. 20/M-DAG/PER/5/2009 Tentang Ketentuan
dan Tatacara Pengawasan Barang dan Jasa sudah relatif baik, namun belum
efektif dilaksanakan di lapangan. Penyebab tidak efektifnya sistem adalah belum
lengkapnya pengaturan tindak lanjut dari Undang-undang Perlindungan Konsumen
seperti pengaturan klausula baku, cara menjual, dan Pengiklanan. Sedangkan
pengawasan SNI sudah ada pengaturannya, namun belum banyak barang yang
beredar yang sudah diberlakukan SNI wajib, jumlah SNI wajib yang diawasi oleh
Kementerian Perdagangan sebanyak 91 produk. Untuk produk atau barang yang
beredar di pasaran harus juga di dukung dengan Petunjuk Teknis setiap komoditi.
Hal ini mengingat setiap produk mempunyai karakteristik yang berbeda-beda
sehingga penanganan pengawasan produk yang satu berbeda dengan komoditi
lainnya. Kondisi tersebut masih ditambah dengan belum cukupnya dukungan
infrastruktur laboratorium uji, pendanaan dan sumber daya manusia pelaksana
sistem baik di pusat maupun di daerah (Puslibang PDN, 2009).
Salah satu parameter pengawasan barang beredar adalah pengawasan
produk yang ber SNI. Jika produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin ditetapkan
dan diberlakukan secara wajib maka pengawasan juga perlu dilakukan. Industri
ketiga produk tersebut akan diberi tenggang waktu untuk melakukan persiapan
penyesuaian produknya dalam memenuhi SNI. Berdasarkan informasi dari ketua
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 61
Asosiasi Gabungan Pengusaha Elektronik, dari hasil konsensus rapat direncanakan
waktu yang akan diberikan selama 27 bulan dengan perincian 9 bulan untuk produk
ex-impor yang sudah diproses impornya dan produk lokal yang sudah proses
produksi dan 18 bulan untuk produk yang beredar di pasaran.
Dalam rangka perlindungan konsumen, selain parameter pengawasan
barang elektronik yang ber SNI, juga dilakukan terhadap parameter label berbahasa
Indonesia melalui pemberian informasi tentang produk elektronika, telah
dikeluarkan kebijakan “kewajiban pencantuman petunjuk penggunaan (manual) dan
kartu garansi dalam bahasa Indonesia. Kebijakan tersebut tertuang dalam
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 547 tahun 2001 tentang
Pedoman Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi
Dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Teknologi Informasi dan Elektronika.
Kebijakan tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan untuk melindungi industri
elektronika dalam negeri dari masuknya barang elektronika impor yang membanjir
di pasar.
Sumber : Dit Pengawasan Barang Beredar, 2012
Gambar 4.3 Pengawasan Terhadap Produk Yang Ber SNI Wajib
Wilayah Pabean RI : • Label berbahasaIndonesia • Harus ada SPPT SNI dari Lembaga
Sertifikasi Produk(LS Pro)
• Ada Surat Pendaftaran Barang (SPB) dan Nomor Pendaftaran Barang (NPB) dari PPMB, SetjenKemendag
ProduksiDalamNegeri : • Label berbahasaIndonesia
• Harus ada SPPT SNI dari Lembaga Sertifikasi Produk (LS Pro)
• Ada Nomor Registrasi Produk(NRP) dariPPMB, SetjenKemendag
Barang Produk Luar Negeri
Barang Produksi Dalam Negeri
Produk Beredar Di Pasaran
Dit. Pengawasan Barang dan Jasa
Beredar
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 62
4.4.2 Pengawasan Produk Elektronik
Bagi responden produsen, pengawasan baik pra- dan pasca- pasar memiliki
peranan yang strategis untuk memastikan sejauh mana penerapan SNI Wajib sudah
memiliki fungsi sebagai instrumen perdagangan yang dapat melindungi sekaligus
meningkatkan daya saing produk lokal terhadap produk impor. Gambar 4.3 secara
deskriptif menunjukkan pandangan responden produsen terhadap pelaksanaan
pengawasan barang beredar terhadap produk yang sudah ber-SNI Wajib seperti TV
Tabung, seterika, lampu swaballast, dan pompa air.
Sumber : Data Primer (2013), diolah Gambar 4.4 Pelaksaan Pengawasan Pada Produsen Elektronik
Pada Gambar 4.4 bagian A terlihat bahwa responden produsen mendapat
pengawasan dari dua institusi yaitu pemerintah dan asosiasi produsen. Berdasarkan
hasil survey, 87,5% responden produsen menerima pengawasan dari pemerintah
yang meliputi pengawasan pra-pasar dan pasca-pasar. Pengawasan pra-pasar
biasanya berupa inspeksi oleh Kementerian Perindustrian untuk memastikan proses
produksi tetap memperhatikan ketentuan dalam SNI Wajib sedangkan pengawasan
pasca-pasar dilakukan oleh Kementerian Perdagangan dan Dinas terkait di daerah
Kurang 50%
Ya 37,5%
Tidak 12,5% 50%
Satu Kali (12,5%)
Dua Kali (12,5%)
> Dua Kali (75%)
A. Pihak Pengawas
B. Kesan Terhadap Pelaksanaan Pengawasan
C. Peran Pemerintah Dalam Pembinaan Standar
D. Pelaksanaan Pengawasan
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 63
dalam hal pemantauan barang di pasaran agar sesuai dengan ketentuan SNI Wajib.
Sementara pengawasan oleh asosiasi lebih bersifat pembinaan, penyampaian
informasi terkait SNI, dan pendampingan.
Pada Gambar 4.4 bagian B, sebanyak 87,5% responden produsen
menganggap pelaksanaan pengawasan oleh institusi yang bersangkutan sudah
baik. Hanya 12,5% responden produsen yang menganggap pengawasan belum
berjalan dengan baik. Beberapa alasan antara lain:
a. Petugas pengawas pasca-pasar dari pemerintah belum sepenuhnya mengikuti
Petunjuk Teknis (Juknis) yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, penerapan
SNI Wajib untuk TV hanya berlaku untuk TV Tabung dan belum berlaku bagi
TV LCD atau layar datar. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa
kasus dimana responden produsen harus menghadapi tuntutan sanksi atas
pelanggaran ketentuan terhadap produknya. Hal serupa juga terjadi pada DVD
dan lampu.
b. Petugas pengawas belum memperhatikan kode Harmonized System (HS)
dalam menindak pelanggaran, sehingga kesalahan dalam pengawasan masih
kerap terjadi.
c. Pengawasan belum sepenuhnya optimal karena masih ditemukan beberapa
produk elektronik yang sudah ber-SNI Wajib masih beredar di pasaran, seperti
pompa air dan beberapa alat kelistrikan.
Terkait dengan peran pemerintah dalam pembinaan standard, responden
produsen menganggap bahwa usaha pembinaan standard sangat diperlukan agar
keselarasan antara produsen dan pemerintah dapat optimal. Gambar 4.4 bagian C
menunjukkan 37,5% responden produsen menganggap pemerintah berkontribusi
dalam pembinaan standard seperti antara lain pengenalan dan pendidikan sistem
mutu yang baik termasuk SNI, bantuan alat bagi laboratorium uji yang pada
akhirnya diharapkan dapat menurunkan biaya uji bagi produsen, dan kemudahan
pelayanan yang semakin baik di beberapa LSPro dan laboratorium milik
pemerintah. Namun perlu diperhatikan bahwa masih terdapat 50% responden
produsen yang menganggap pembinaan pemerintah masih kurang. Bahkan, 12,5%
menganggap pemerintah tidak melakukan pembinaan, sehingga jika dijumlahkan
masih terdapat 62,5% responden produsen merasa belum puas dengan pembinaan
pemerintah. Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah petugas pengawas yang
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 64
lebih mengedepankan sanksi dari pada pembinaan. Hal tersebut juga berkaitan
dengan waktu pengawasan yang dihadapi oleh responden produsen di mana
pengawasan bisa mencapai lebih dari 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. Walaupun
hal tersebut tidak menyalahi peraturan, namun pelaksanaannya dapat berdampak
pada kegiatan bisnis produsen.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5. 1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh
kesimpulan antara lain sebagai berikut:
1. Proses pengembangan SNI Wajib bagi produk elektronik seperti mesin cuci,
Pendingin Udara, dan lemari pendingin sudah menerapkan prinsip transparansi
seperti kejelasan parameter dan national differences yang mengakomodasi
kepentingan produsen dalam negeri. Selain itu, rencana penerapan SNI Wajib
juga didasarkan pada kebutuhan pasar dalam negeri di mana tuntutan
konsumen terhadap keamanan, kesehatan, keselamatan, dan Lingkungan
(K3L) produk menjadi hal utama yang telah dipertimbangkan.
2. Total nilai produk elektronik yang diimpor selama tahun 2008 – 2012 sebesar
US$ 76,76 miliar dengan pertumbuhan tren sebesar 6,28% di mana sebesar
33,67% berasal dari Cina. Lebih rinci, produk elektronik seperti mesin cuci,
Pendingin Udara, dan lemari pendingin memiliki tren impor antara 0,87%
hingga 113% pada periode yang sama.
3. Responden produsen menilai bahwa pemberlakuan SNI Wajib dapat menjadi
media untuk meningkatkan daya saing dan perlindungan terhadap konsumen
dalam negeri karena SNI Wajib akan menetapkan sejumlah ketentuan yang
harus dilakukan oleh produsen dan importir untuk menjamin keandalan mutu
dan pemenuhan unsur K3L bagi konsumen.
4. Faktor penting yang berpengaruh terhadap keputusan konsumen, selain harga
adalah standar mutu produk yang dibeli khususnya produk mesin cuci, lemari
pendingin, dan pendingin ruangan (AC).Konsumen menilai bahwa produk
mesin cuci, lemari pendingin (Lemari Pendingin), dan pendingin ruangan (AC)
perlu SNI wajib. Beberapa atribut yang perlu diperhatikan dalam penentuan
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 65
standar mutu pada produk elektronik dimaksud, antara lain faktor keamanan,
keselamatan, kesehatan, dan ramah lingkungan, kualitas bahan, faktor
penggunaan daya listrik, dan faktor model.
5. Konsumen juga berpendapat bahwa standar produk itu penting yang
ditunjukkan dengan skor likert sebesar 3,7. Konsumen juga memperhatikan
keberadaan label pada produk yang sudah mendapatkan SNI yang didukung
dengan hasil perhitungan skor Likert dengan skor 3,7. Kemudian, ada atau
tidaknya label SNI pada suatu produk dirasakan cukup penting bagi konsumen
untuk memberikan persepsi mutu atau kualitas tertentu yang diindikasikan oleh
skor 3,7. Konsumen menganggap bahwa ada tidaknya label SNI pada produk
akan mempengaruhi keputusan mereka dalam membeli. Dengan demikian,
label SNI dapat merepresentasikan standar kualitas yang baik dari suatu
produk. Hal ini dibuktikan dengan skor Likert sebesar 3,7.
6. Produsen sudah menerapkan standar perusahaan dalam sistem produksi dan
inovasinya dimana secara normatif, responden juga memiliki persepsi bahwa
standar yang digunakan dalam pengembangan produknya memiliki pengakuan
di pasar internasional. Sementara itu, SNI dipersepsikan sebagai standar
minimal yang harus dipenuhi produsen yang pada umumnya merupakan hasil
adopsi dari standar internasional. Dengan demikian, responden produsen
mengasosiasikan kepatuhan terhadap standar internasional akan mudah
diterapkan pada SNI.
7. Beberapa aspek yang dianalisa seperti: Penerapan Teknologi, Sumber Daya
Manusia, Self-Development, dan Pengawasan memperoleh nilai likert di atas
4,2, sehingga berdasarkan Assessment Model of Standard Readiness Survey,
responden produsen sudah mengoptimalkan kesiapan pemberlakuan SNI
Wajib. Beberapa langkah untuk optimasi kesiapan antara lain melalui investasi
peralatan yang mendukung produksi dan inovasi, penentuan supplier
komponen yang dapat mendukung penerapan SNI, peningkatan kemampuan
sumber daya manusia, serta optimasi anggaran terkait pengembangan mutu
produk.
8. Namun, dari sisi kemampuan untuk melakukan pengujian masih memiliki nilai
likert 4,1 yang berarti belum sepenuhnya siap dan masih diperlukan beberapa
perbaikan. Ketidaksiapan ini bukan merupakan kelemahan internal responden
produsen mengingat dalam penerapan SNI Wajib, pemerintah akan menunjuk
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 66
laboraturium uji yang dapat digunakan dalam pengujian SNI sehingga sumber
daya yang akan melakukan pengujian akan didukung oleh Laboratorium Uji dan
LSPro.
9. Dalam kaitannya dengan pengetahuan terhadap SNI Wajib mesin cuci, lemari
pendingin, dan Pendingin Udara, belum seluruh responden perusahaan
mengetahui kepastian penerapannya, walaupun sudah pernah memperoleh
informasi tentang parameter yang harus dipenuhi. Hal ini sejalan dengan nilai
likert pengetahuan responden produsen tentang penerapan SNI Wajib tersebut
yang bernilai 3,5 hal ini dapat diartikan bahwa responden produsen tidak
memperoleh kepastian informasi mengenai penerapan SNI Wajib tersebut.
Berdasarkan hasil survey, sebagian besar responden produsen sudah tidak
mendapatkan informasi mengenai penerapan SNI Wajib setelah tahun 2010.
10. LSPro dan Laboratorium Uji memiliki tantangan dalam hal biaya, waktu
sertifikasi, dan waktu uji jika diberlakukan SNI Wajib. Sebanyak 75% responden
produsen menyebutkan biaya menjadi kendala dalam proses Sertifikasi Produk
Pengguna Tanda SNI (SPPT-SNI) karena memiliki dampak terhadap pelayanan
proses SPPT-SNI. Kemudian, Waktu Sertifikasi dan Waktu Uji juga dianggap
sebagai permasalahan di mana 62,5% responden produsen mengeluhkan
waktu uji dan sertifikasi. Sementara untuk lokasi, responden produsen tidak
mengeluhkan keberadaan LSPro dan Laboratorium Uji yang tidak berada dalam
satu lokasi atau kawasan industri.
11. Untuk LSPro dan Laboratorium Uji, beberapa aspek yang diteliti seperti tenaga
penguji, kemampuan untuk melakukan pengujian, manajemen dalam
penerapan SNI dan pengawasan memiliki nilai di atas 4,2 yang dinilai siap
dalam pemberlakuan SNI Wajib. Pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia
(SDM) selalu dilakukan melalui proses rekrutmen berkala dan peningkatan
kompetensi yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat oleh tenaga uji.
Selain itu, kemitraan dengan beberapa institusi internasional juga sudah
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM yang lebih kompeten dan adaptif
terhadap pengetahuan standar internasional. Dukungan pihak lain seperti
pemerintah dalam hal pembinaan dan pengawasan serta komunikasi antar
LSPro dan Laboratorium uji juga sudah dilakukan melalui pembentukan Forum
Komunikasi Standardisasi.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 67
12. Beberapa kriteria dengan nilai likert yang masih di bawah 4,2 yaitu ketersediaan
sarana dan prasarana standar dengan nilai likert 4,0 yang berarti belum
memiliki kesiapan yang optimal dalam penerapan SNI Wajib di mana perluasan
laboratorium dan penambahan alat uji (misal double chamber untuk uji AC)
belum sepenuhnya dilakukan. Menurut responden, kepastian waktu
pemberlakuan SNI Wajib akan menjadi landasan keputusan apakah akan
dilakukan investasi penambahan alat uji dan perluasan sarana laboratorium.
Hal tersebut sejalan dengan kesiapan responden terkait penyediaan anggaran
yang belum disesuaikan karena belum mendapat kepastian tentang
pemberlakuan SNI Wajib.
5.2 Rekomendasi
Dengan demikian, beberapa rekomendasi yang diusulkan antara lain:
1. Dari sisi biaya, guna mendukung pemberlakuan SNI wajib atas produk lemari
pendingin, mesin cuci, dan Pendingin Udara, perlu dilakukan harmonisasi biaya
pengujian produk maupun biaya pemrosesan SPPT SNI. Hal ini dikarenakan
tingginya disparitas biaya pengujian oleh masing-masing laboratorium uji dan
biaya penerbitan SPPT SNI oleh masing-masing LSPro yang ditunjuk, terutama
antara laboratorium milik pemerintah, BUMN, dan swasta.
2. Dari sisi waktu uji dan penerbitan SPPT SNI, perlu juga dilakukan
penyeragaman standar waktu pengujian hingga penerbitan SPPT SNI oleh
Laboratorium Uji dan LSPro. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan
produsen agar tidak kehilangan moment penjualan produk.
3. Minimnya ketersediaan sarana dan prasarana pengujian SNI dapat diatasi
melalui kerjasama bantuan dengan pihak lain. Dalam hal ini, skema pinjaman
yang dilakukan oleh P2SMTP LIPI dapat dijadikan referensi untuk
pengembangan sarana dan prasarana pengujian SNI yang berskala nasional.
Hal ini juga perlu didukung dengan kejelasan waktu penerapan SNI wajib,
termasuk kepastian penunjukan laboratorium uji.
4. Penyeragaman standar dan persepsi antar laboratorium uji dan LSPro perlu
dilakukan agar tidak menimbulkan bias terhadap hasil uji. Dalam hal ini,
Pemerintah perlu memastikan bahwa forum komunikasi antar LSPro dan Lab uji
berjalan dengan baik.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 68
5. Dari sisi pengawasan, kode produk, tanggal, dan tahun pembuatan harus
dijadikan landasan pengawasan barang beredar agar sesuai dengan waktu
berlakunya peraturan Menteri Perindustrian tentang pemberlakuan SNI wajib
atas produk mesin cuci, lemari pendingin dan Pendingin Udara.
6. Selain itu, petugas pengawas juga harus memahami Petunjuk Teknis (Juknis)
mengenai ketentuan produk yang akan diawasi SNI-nya berdasarkan kode HS
masing-masing produk agar tidak terjadi kesalahpahaman.
7. Edukasi konsumen terhadap pentingnya membeli produk-produk ber-SNI perlu
dilakukan. Hal ini disamping konsumen dapat terlindungi dari produk-produk
berbahaya, juga dapat membatasi peredaran produk-produk illegal.
8. Untuk mendukung edukasi terhadap konsumen, produsen perlu untuk
mencantumkan tanda logo SNI pada tempat yang mudah dibaca oleh
konsumen.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 69
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, Syamsir. 2012. Partisipasi Masyarakat Dalam Perumusan Dan Penerapan
SNI. Disampaikan pada Workshop The Role of Young Professional in Standardization Tanggal 22 Maret 2012. Jakarta.
Aydin, C. H., & Tasci, D. (2005). Measuring Readiness for e-Learning: Reflections
from an Emerging Country. Educational Technology & Society, 8 (4), 244-257
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2009. SNI Peranti Listrik Rumah Tangga dan
Sejenis – Keselamatan – Bagian 2 – 7: Persyaratan Khusus Untuk Mesin Cuci (IEC 60335-2-7 (2004-11), IDT). Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2009. SNI Peralatan Listrik Rumah Tangga
dan Peralatan Listrik Serupa – Keselamatan – Bagian 2 – 40: Persyaratan Khusus Untuk Pompa Kalor Listrik, Pengatur Udara, dan Pengering Udara (IEC 60335-2-40 Edition 4.2 (2005-07), IDT). Jakarta.
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2013. Penerapan SNI.
http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/17
Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2013. Perumusan SNI. http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/28
Herjanto, Eddy. 2008. Standardisasi: Peran dan Perkembangannya Dalam
Memfasilitasi Perdagangan di Indonesia. http://pascasarjana.esaunggul.ac.id/artikel/122-standardisasi-peran-dan-perkembangannya-dalam-memfasilitasi-perdagangan-di-indonesia.html. Diunduh pada tanggal 10 April 2013.
Herjanto, Eddy dan Rahmi, Dwinna. 2010. Kajian Kesiapan Pemberlakuan Secara
Wajib Standar Mainan Anak-Anak. Jurnal Riset Industri Vol. IV No. 1, 2010:1-16
Kementerian Perdagangan. 2013. Pengawasan Tahap VI: Kemendag Temukan 100
Produk Langgar Ketentuan. Siaran Pers. Jakarta Kementerian Perindustrian. 2012. Arah Kebijakan Pemberlakuan SNI Produk
Industri Non Pangan Secara Wajib. Disampaikan pada Seminar Nasional Bidang Perdagangan Tanggal 09 Oktober. Jakarta.
Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). 2010. GENAP SNI Untuk
Meningkatkan Daya Saing Bangsa. http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=7272. Diunduh pada tanggal 2 Agustus 2013.
Neraca.co.id. Penerapan Standarisasi Produk Belum Maksimal. 29 Januari 2013.
Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 70
Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan.
Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan Barang
dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar.
Peraturan Menteri Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri.
Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional. Pugel, Thomas. 2008. International Economics (Mcgraw-Hill Series Economics) 14th
edition. McGraw-Hill Companies Incorporated. New York. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri. 2012. Analisis Penerapan Standar
Nasional Indonesia (SNI) Sukarela. Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP) – Kementerian Perdagangan.
Setiadi, Bambang. 2011. Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Young Professional.
Disampaikan pada Workshop The Role of Young Professional in Standardization Tanggal 08 November 2011. Jakarta.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Universitas Surabaya. 2011. Dukung GENAP SNI Demi Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional. http://www.ubaya.ac.id/ubaya/news_detail/682/Dukung-Genap-SNI-demi-Meningkatkan-Daya-Saing-Industri-Nasional.html. Diunduh pada tanggal 2 Agustus 2013.