Transcript

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2013

ANALISIS PENGEMBANGAN SNI

DALAM RANGKA PENGAWASAN BARANG BEREDAR

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar i

RINGKASAN EKSEKUTIF

Latar belakang

Dalam era perdagangan bebas, peraturan teknis yang terkait dengan

peredaran barang dan/atau jasa yang diberlakukan oleh suatu negara harus

mengacu dan memenuhi standar internasional. Dengan pemenuhan standar, produk

lokal diharapkan bisa menembus pasar luar negeri dengan tingkat daya saing yang

lebih tingi. Selain itu, pemenuhan standar juga dapat menguntungkan konsumen

dalam hal kualitas, harga barang yang kompetitif, serta keamanan penggunaan

barang yang sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar

internasional yang ditetapkan oleh regulator terkait seperti yang diatur dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional.

Instrumen perdagangan non-tariff mengedepankan pemenuhan komitmen

dalam World Trade Organization (WTO) yang disepakati dalam Technical Barriers to

Trade (TBT) yang mengatur 3 (tiga) hal penting, yaitu: peraturan teknis atau

regulasi, standar dan penilaian kesesuaian (Standards and Conformity Assesment

atau SCA). Instrumen tersebut bertujuan memberikan jaminan kepada konsumen

agar memperoleh barang yang tidak hanya terjangkau dari segi harga dan waktu,

namun juga berkualitas dan memenuhi standar kesehatan, keselamatan, keamanan

dan lingkungan (K3L).

Dalam kaitannya dengan pasar dalam negeri, pemerintah telah menetapkan

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang

diturunkan salah satunya melalui penetapan Peraturan Menteri Perdagangan No. 20

tahun 2009 tentang Pengawasan Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar

yang merupakan mandat bagi Kementrian Perdagangan. Dalam peraturan tersebut

dijelaskan bahwa salah satu parameter pengawasannya menggunakan instrumen

Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk dalam negeri atau barang impor.

Penggunaan SNI sebagai instrumen pengawasan barang beredar dan/atau

jasa juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007

Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib

Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan dan Peraturan Menteri

Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia

Bidang Industri.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar ii

Hasil Pengawasan pada tahun 2012, terdapat 621 jenis produk/barang di

pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana 31% dari jumlah

tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan SNI.

Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari impor sebesar 61%

dan produk lokal sebesar 39%. Berdasarkan kategori barang yang melanggar

ketentuan, sebanyak 39% merupakan barang elektronika dan alat listrik, 20%

barang alat rumah tangga, 13% barang suku cadang kendaraan, serta sisanya

adalah barang bahan bangunan, barang makanan minuman dan Tekstil dan Barang

Tekstil (TPT).

Untuk melindungi konsumen dari barang-barang tidak memenuhi unsur K3L,

pemerintah perlu melakukan pengembangan SNI yang mendorong penerapan SNI

Wajib, dengan memperhatikan kepentingan pelaku usaha dalam negeri. Terkait hal

tersebut, Kementerian Perdagangan akan meningkatkan pengawasan barang

beredar di pasar dengan target sebanyak 600 barang setiap tahunnya sebagai

upaya dalam perlindungan sekaligus pemberdayaan konsumen. Hal tersebut juga

bersinergi dengan rencana Kementerian Perindustrian tentang pemberlakuan SNI

secara wajib tahun 2012-2013 sebanyak 521 produk.

Namun, hingga saat ini pemberlakuan SNI secara wajib baru 91 SNI. Fakta

ini dirasakan kurang memadai untuk menghambat laju produk impor, sehingga

untuk mempercepat pelaksanaan pengembangan SNI maka dalam analisis ini akan

difokuskan pada upaya untuk pemberlakuan SNI yang bersifat sukarela menjadi SNI

yang diberlakukan secara wajib.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam analisis ini menggunakan metode deskriptif

kuantitatif dan kualitatif. Analisis deskriptif akan digunakan untuk mengkaji kesiapan

sarana pendukung, khususnya lembaga laboratorium uji serta respon dan penilaian

konsumen terhadap produk yang ber-SNI yang beredar di pasaran. Analisis

kuantitatif akan dipakai secara khusus untuk melihat kesiapan pelaku usaha dalam

nenerapkan SNI wajib dengan menggunakan model penilaian kesiapan

(assessment model of Standard Readiness Survey - SRS). Model ini merupakan

aplikasi model e-Learning Readiness Survey (e-LRS) yang dikembangkan oleh

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar iii

Aydin dan Tasci (2005) yang dipakai untuk melihat kesiapan pelaku usaha dalam

menerapkan e-learning.

Pembahasan dan Kesimpulan

1. Secara keseluruhan terdapat sekitar 400 laboratorium yang tersebar di

berbagai daerah di Indonesia. Dari 400 laboratorium , sebanyak 71 buah

merupakan laboratorium uji produk industri (KAN, 2008) yang terdiri dari

laboratorium uji milik pemerintah, 7 milik BUMN dan 12 dikelola swasta

(BPPKI, 2012). Di sektor industri, lembaga yang membina dan mengawasi

adalah Kementerian Perindusrian c/q Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan

Mutu Industri khususnya untuk standar yaitu pada Pusat Standarisasi Badan

Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri - Kementerian Perindustrian.

Pustan ini mempunyai tugas pokok yaitu penyiapan dan perumusan RSNI,

penerapan dan pengawasan SNI Wajib, pembinaan standarisasi serta

kerjasama standarisasi di bidang industri.

2. Dari 71 buah laboratorium uji, teridentifikasi sebanyak 9 (Sembilan) buah

laboratorium yang memungkinkan dapat menguji dan mensertifikasi produk

Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin yaitu terdiri dari 5 buah milik

pemerintah, 1 buah milik BUMN dan 3 buah dikelola oleh swasta. Dari 9

laboratorium ini hanya dua yang berfungsi hanya sebagai laboratorium uji

yaitu PT. Panasonic Gobel dan PT. Polytron. Namun belum semua

laboratorium tersebut mempunyai fasilitas dan kemampuan untuk menguji

semua parameter uji ketiga produk elektronik yang akan diberlakukan wajib

tersebut. Selain itu, belum semua laboratorium tersebut sudah terakreditasi

oleh KAN untuk produk tersebut, hal ini karena belum diberlakukannya SNI

secara wajib dan menganggap bahwa untuk akreditasi tidak membutuhkan

waktu yang lama.

3. Wilayah keberadaan laboratorium yang mempunyai prospek menguji tiga

produk tersebut berada di beberapa wilayah, namun berpusat di pulau Jawa.

Sementara itu, keberadaan industri Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin

mayoritas berlokasi di Jabodetabek khususnya di wilayah Cikarang-Bekasi.

Berikut ini gambaran mengenai 5 (lima) laboratorium untuk mengetahui

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar iv

kesiapan pemberlakuan SNI secara wajib produk Mesin cuci, AC dan Lemari

Pendingin:

a) Pusat Pengawasan Mutu Barang, Kementerian Perdagangan merupakan

tempat penerbitan sertifikat: pengujian produk ekpor & impor, SNI, serta

tempat pengurusan SPB & NPB (impor produk) dan NRP (lokal produk).

Penetapan SNI Wajib dilakukan oleh Instansi Teknis terkait dalam hal ini

adalah Menteri Perindustrian yang selanjutnya pengawasannya

dilakukan oleh Pusat Pengawasan Mutu Barang, Kementerian

Perdagangan sesuai dengan Permendag No.14/M-DAG/PER/3/2007.

b) Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (P2SMTP-LIPI) memiliki tugas pokok

melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan

pedoman, pemberian bimbingan teknis, penyusunan rencana dan

program Metrology, Standard, Testing and Quality (MSTQ), pelaksanaan

penelitian sistem mutu dan pelayanan pengujian serta evaluasi dan

penyusunan laporan. P2SMTP LIPI juga menyediakan jasa laboratorium

uji produk kepada industri. P2SMTP LIPI telah memiliki akreditasi dari

Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan pengujian terhadap

produk-produk elektronika dan mekanika. Khusus untuk jenis produk

elektronika yang akan diberlakukan SNI wajib, P2SMTP LIPI

menyatakan mampu dan siap untuk mengadakan pengujian terhadap

produk Mesin cuci, namun masih belum mampu untuk melakukan

pengujian terhadap produk Air Conditioner (AC), dikarenakan belum

lengkapnya fasilitas peralatan uji yang dimiliki oleh laboratorium

P2SMTP LIPI, seperti alat double chamber.

c) Balai Besar Bahan dan Barang Teknik ( B4T ) No LPK : LP 007 IDN

sebagai salah satu Institusi Penelitian dan Pengembangan di bawah

Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian

Perindustrian RI. B4T-LSPro telah mendapatkan akreditasi dari Komite

Akreditasi Nasional (KAN). Jumlah seluruh pegawai di B3T sebanyak 70

orang dan di bidang elektronik sebanyak 20 orang yang telah

mempunyai kompetensi dibidangnya, serta jumlah auditor sebanyak 15

orang. Infrastruktur yang dimiliki B4T untuk menguji ke tiga produk Mesin

cuci, AC dan Lemari Pendingin sudah cukup memadai dan siap apabila

diberlakukan wajib. Terkait waktu dan biaya pengujian dan sertfikasi

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar v

adalah mengacu pada ketentuan yang berlaku pada PP N0 47 tahun

2011.

d) PT. Sucofindo merupakan Lembaga Peniliaian Kesesuaian milik BUMN

yang memberikan jasa terhadap pelayanan dalam sertifikasi produk dan

pengujian produk. Lembaga ini mempunyai 7 (tujuh) laboratorium besar,

salah satunya untuk pengujian produk elektronika termasuk produk

Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin. Jumlah produk yang sudah

terakreditasi sebanyak 55 produk termasuk tiga produk elektronik

tersebut. Sucofindo menyatakan kesiapannya jika Produk Mesin cuci

diberlakukan wajib. SDM yang dimiliki berjumlah 20 orang dan memiliki

kompetensi di bidangnya. Waktu yang dibutuhkan dalam pengujian

Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin secara normal masing-masing

berkisar antara 10-15 hari. Proses untuk melakukan sertifikasi produk

untuk mendapatkan SPPT SNI, tergantung pada produk lokal atau

produk impor. Kebijakan pengenakan tariff atau biaya uji dan sertifikasi

pada PT. Sucofindo yag merupakan milik BUMN berbeda dengan milik

pemerintah. LPK milik pemerintah mengacu pada PP N0. 45 Tahun 2010

, sedangkan PT. Sucofindo mempunyai kebijakan sendiri dimana

biayanya relatif lebih mahal dibandingkan milik pemerintah.

e) Laboratorium PT Panasonic telah terakreditasi 17025 merupakan

laboratorium yang dikelola oleh swasta dan berpotensi utuk melakukan

pengujian produk elektronik termasuk Lampu Swabalas dan Balast

elektronik. Dari hasil indept interview, pihak perusahaan telah

mengetahui akan diberlakukan SNI wajib untuk produk Mesin cuci, AC

dan Lemari Pendingin dan menyatakan kesiapannya dalam pengujian

produk tersebut. Walaupun kendalanya adalah belum dimilikinya alat

dual chamber. Disamping itu dari sisi SDM yang kompeten sudah

mencukupi.

4. Kebijakan pemberlakuan dan pengawawan terhadap produk ber-SNI telah

tersedia pengaturannya, namun belum banyak barang yang beredar yang

sudah diberlakukan SNI wajib. Saat ini jumlah SNI wajib yang diawasi oleh

Kementerian Perdagangan sebanyak 91 produk. Untuk produk atau barang

yang beredar di pasaran harus juga di dukung dengan Petunjuk Teknis

setiap produk. Hal ini mengingat setiap produk mempunyai karakteristik yang

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar vi

berbeda-beda sehingga penanganan pengawasan produk yang satu

berbeda dengan komoditi lainnya. Kondisi tersebut masih perlu ditambah

dengan dukungan infrastruktur laboratorium uji, pendanaan dan sumber

daya manusia pelaksana sistem baik di pusat maupun di daerah.

5. Proses pengembangan SNI Wajib bagi produk elektronik seperti mesin cuci,

Pendingin Udara, dan lemari pendingin sudah menerapkan prinsip

transparansi seperti kejelasan parameter dan national differences yang

mengakomodasi kepentingan produsen dalam negeri. Selain itu, rencana

penerapan SNI Wajib juga didasarkan pada kebutuhan pasar dalam negeri

di mana tuntutan konsumen terhadap keamanan, kesehatan, keselamatan,

dan Lingkungan (K3L) produk menjadi hal utama yang telah

dipertimbangkan.

6. Total nilai produk elektronik yang diimpor selama tahun 2008 – 2012

sebesar US$ 76,76 miliar dengan pertumbuhan tren sebesar 6,28% di mana

sebesar 33,67% berasal dari Cina. Lebih rinci, produk elektronik seperti

mesin cuci, Pendingin Udara, dan lemari pendingin memiliki tren impor

antara 0,87% hingga 113% pada periode yang sama.

7. Responden produsen menilai bahwa pemberlakuan SNI Wajib dapat

menjadi media untuk meningkatkan daya saing dan perlindungan terhadap

konsumen dalam negeri karena SNI Wajib akan menetapkan sejumlah

ketentuan yang harus dilakukan oleh produsen dan importir untuk menjamin

keandalan mutu dan pemenuhan unsur K3L bagi konsumen.

8. Faktor penting yang berpengaruh terhadap keputusan konsumen, selain

harga adalah standar mutu produk yang dibeli khususnya produk mesin cuci,

lemari pendingin, dan pendingin ruangan (AC).Konsumen menilai bahwa

produk mesin cuci, lemari pendingin (Lemari Pendingin), dan pendingin

ruangan (AC) perlu SNI wajib. Beberapa atribut yang perlu diperhatikan

dalam penentuan standar mutu pada produk elektronik dimaksud, antara

lain faktor keamanan, keselamatan, kesehatan, dan ramah lingkungan,

kualitas bahan, faktor penggunaan daya listrik, dan faktor model.

9. Konsumen juga berpendapat bahwa standar produk itu penting yang

ditunjukkan dengan skor likert sebesar 3,7. Konsumen juga memperhatikan

keberadaan label pada produk yang sudah mendapatkan SNI yang didukung

dengan hasil perhitungan skor Likert dengan skor 3,7. Kemudian, ada atau

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar vii

tidaknya label SNI pada suatu produk dirasakan cukup penting bagi

konsumen untuk memberikan persepsi mutu atau kualitas tertentu yang

diindikasikan oleh skor 3,7. Konsumen menganggap bahwa ada tidaknya

label SNI pada produk akan mempengaruhi keputusan mereka dalam

membeli. Dengan demikian, label SNI dapat merepresentasikan standar

kualitas yang baik dari suatu produk. Hal ini dibuktikan dengan skor Likert

sebesar 3,7.

10. Produsen sudah menerapkan standar perusahaan dalam sistem produksi

dan inovasinya dimana secara normatif, responden juga memiliki persepsi

bahwa standar yang digunakan dalam pengembangan produknya memiliki

pengakuan di pasar internasional. Sementara itu, SNI dipersepsikan sebagai

standar minimal yang harus dipenuhi produsen yang pada umumnya

merupakan hasil adopsi dari standar internasional. Dengan demikian,

responden produsen mengasosiasikan kepatuhan terhadap standar

internasional akan mudah diterapkan pada SNI.

11. Beberapa aspek yang dianalisa seperti: Penerapan Teknologi, Sumber Daya

Manusia, Self-Development, dan Pengawasan memperoleh nilai likert di atas

4,2, sehingga berdasarkan Assessment Model of Standard Readiness

Survey, responden produsen sudah mengoptimalkan kesiapan

pemberlakuan SNI Wajib. Beberapa langkah untuk optimasi kesiapan antara

lain melalui investasi peralatan yang mendukung produksi dan inovasi,

penentuan supplier komponen yang dapat mendukung penerapan SNI,

peningkatan kemampuan sumber daya manusia, serta optimasi anggaran

terkait pengembangan mutu produk.

12. Namun, dari sisi kemampuan untuk melakukan pengujian masih memiliki

nilai likert 4,1 yang berarti belum sepenuhnya siap dan masih diperlukan

beberapa perbaikan. Ketidaksiapan ini bukan merupakan kelemahan internal

responden produsen mengingat dalam penerapan SNI Wajib, pemerintah

akan menunjuk laboraturium uji yang dapat digunakan dalam pengujian SNI

sehingga sumber daya yang akan melakukan pengujian akan didukung oleh

Laboratorium Uji dan LSPro.

13. Dalam kaitannya dengan pengetahuan terhadap SNI Wajib mesin cuci,

lemari pendingin, dan Pendingin Udara, belum seluruh responden

perusahaan mengetahui kepastian penerapannya, walaupun sudah pernah

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar viii

memperoleh informasi tentang parameter yang harus dipenuhi. Hal ini

sejalan dengan nilai likert pengetahuan responden produsen tentang

penerapan SNI Wajib tersebut yang bernilai 3,5 hal ini dapat diartikan bahwa

responden produsen tidak memperoleh kepastian informasi mengenai

penerapan SNI Wajib tersebut. Berdasarkan hasil survey, sebagian besar

responden produsen sudah tidak mendapatkan informasi mengenai

penerapan SNI Wajib setelah tahun 2010.

14. LSPro dan Laboratorium Uji memiliki tantangan dalam hal biaya, waktu

sertifikasi, dan waktu uji jika diberlakukan SNI Wajib. Sebanyak 75%

responden produsen menyebutkan biaya menjadi kendala dalam proses

Sertifikasi Produk Pengguna Tanda SNI (SPPT-SNI) karena memiliki

dampak terhadap pelayanan proses SPPT-SNI. Kemudian, Waktu Sertifikasi

dan Waktu Uji juga dianggap sebagai permasalahan di mana 62,5%

responden produsen mengeluhkan waktu uji dan sertifikasi. Sementara

untuk lokasi, responden produsen tidak mengeluhkan keberadaan LSPro

dan Laboratorium Uji yang tidak berada dalam satu lokasi atau kawasan

industri.

15. Untuk LSPro dan Laboratorium Uji, beberapa aspek yang diteliti seperti

tenaga penguji, kemampuan untuk melakukan pengujian, manajemen dalam

penerapan SNI dan pengawasan memiliki nilai di atas 4,2 yang dinilai siap

dalam pemberlakuan SNI Wajib. Pemenuhan kebutuhan sumber daya

manusia (SDM) selalu dilakukan melalui proses rekrutmen berkala dan

peningkatan kompetensi yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat oleh

tenaga uji. Selain itu, kemitraan dengan beberapa institusi internasional juga

sudah dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM yang lebih kompeten

dan adaptif terhadap pengetahuan standar internasional. Dukungan pihak

lain seperti pemerintah dalam hal pembinaan dan pengawasan serta

komunikasi antar LSPro dan Laboratorium uji juga sudah dilakukan melalui

pembentukan Forum Komunikasi Standardisasi.

16. Beberapa kriteria dengan nilai likert yang masih di bawah 4,2 yaitu

ketersediaan sarana dan prasarana standar dengan nilai likert 4,0 yang

berarti belum memiliki kesiapan yang optimal dalam penerapan SNI Wajib di

mana perluasan laboratorium dan penambahan alat uji (misal double

chamber untuk uji AC) belum sepenuhnya dilakukan. Menurut responden,

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar ix

kepastian waktu pemberlakuan SNI Wajib akan menjadi landasan keputusan

apakah akan dilakukan investasi penambahan alat uji dan perluasan sarana

laboratorium. Hal tersebut sejalan dengan kesiapan responden terkait

penyediaan anggaran yang belum disesuaikan karena belum mendapat

kepastian tentang pemberlakuan SNI Wajib.

Rekomendasi kebijakan

1. Dari sisi biaya, guna mendukung pemberlakuan SNI wajib atas produk

lemari pendingin, mesin cuci, dan Pendingin Udara, perlu dilakukan

harmonisasi biaya pengujian produk maupun biaya pemrosesan SPPT SNI.

Hal ini dikarenakan tingginya variabilitas biaya pengujian oleh masing-

masing laboratorium uji dan biaya penerbitan SPPT SNI oleh masing-masing

LSPro.

2. Dari sisi waktu uji dan penerbitan SPPT SNI, perlu juga dilakukan

penyeragaman standar waktu pengujian hingga penerbitan SPPT SNI oleh

Laboratorium Uji dan LSPro. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan

produsen agar tidak kehilangan moment penjualan produk.

3. Minimnya ketersediaan sarana dan prasarana pengujian SNI dapat diatasi

melalui kerjasama bantuan dengan pihak lain. Dalam hal ini, skema

pinjaman yang dilakukan oleh P2SMTP LIPI dapat dijakdikan referensi untuk

pengembangan sarana dan prasarana pengujian SNI yang berskala

nasional. Hal ini juga perlu didkukung dengan kejelasan waktu penerapan

SNI wajib, termasuk kepastian penunjukan laboratorium uji.

4. Penyeragaman standar dan persepsi antar laboratorium uji dan LSPro perlu

dillakukan agar tidak menimbulkan bias terhadap hasil uji. Dalam hal ini,

Pemerintah perlu memastikan bahwa forum komunikasi antara LSPro dan

Lab uji berjalan dengan baik.

5. Dari sisi pengawasan, kode produk, tanggal, dan tahun pembuatan harus

dijadikan landasan pengawasan barang beredar agar sesuai dengan waktu

berlakunya peraturan Menteri Perindustrian tentang pemberlakuan SNI wajib

atas produk mesin cuci, lemari pendingin dan Pendingin Udara. Selain itu,

petugas pengawas juga harus memahami juknis mengenai ketentuan produk

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar x

yang akan diawasi SNI-nya berdasarkan kode HS masing-masing produk

agar tidak terjadi kesalahpahaman.

6. Edukasi konsumen terhadap pentingnya mengkonsumsi produk-produk ber-

SNI perlu dilakukan. Hal ini disamping konsumen dapat terlindung dari

produk-produk berbahaya, juga dapat membatasi peredaran produk-produk

illegal, untuk itu produsen perlu untuk mencantumkan tanda logo SNI pada

tempat yang mudah dibaca oleh konsumen

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, sehingga

laporan analisis “Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar”

dapat diselesaikan. Analisis ini dilatarbelakangi bahwa masih banyak ditemukan

barang yang beredar dipasar yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan SNI.

Hasil Pengawasan yang telah dilakukan pada tahun 2012, terdapat 621 jenis

produk/barang di pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana 31%

dari jumlah tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan

teknis dan SNI. Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari

impor sebesar 61% dan produk lokal sebesar 39%.

Terkait masih banyaknya produk yang beredar di pasar, baik produk dalam

negeri maupun impor yang tidak memenuhi ketentuan, maka perlu diupayakan

langkah-langkah yang bertujuan melindungi konsumen dari gangguan kesehatan,

keamanan, keselamatan, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L) dimana

salah satunya melalui pengembangan SNI.

Analisis ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan

Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim penelitian yang terdiri dari Bagus

Wicaksena sebagai koordinator dan peneliti terdiri dari Heny Sukesi, Yudha Hadian

Nur dan Budi Kristiyanto

Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan baik ditinjau

dari aspek substansi, analisa, maupun data-data yang sifatnya pendukung, oleh

karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam

kesempatan ini tim peneliti mengucapkan terima kasih terhadap semua pihak yang

membantu terselesaikannya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga penelitian ini

dapat menjadi bahan masukan bagi pimpinan dalam merumuskan kebijakan di

bidang pengawasan distribusi bahan berbahaya.

Jakarta, Juli 2013 Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xii

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF .................................................................................................. i KATA PENGANTAR............................................................................................................. vii DAFTAR ISI ......................................................................................................................... viii DAFTAR TABEL.................................................................................................................. x DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................. 1

1.2 Tujuan Analisis ............................................................................................................. 4

1.3 Keluaran Analisis ......................................................................................................... 4

1.4 Ruang Lingkup ............................................................................................................. 4

1.5 Sistematika Penulisan ................................................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 8

2.1 Pengertian SNI ............................................................................................................. 8

2.2 Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI) ............................................... 8

2.3 Kebijakan Terkait Pemberlakuan SNI ..................................................................... 16

2.4.Pengawasan Terhadap Produk Ber-SNI ................................................................ 22

2.5 Perkembangan Impor Produk Elektronik ............................................................... 25

2.6 Parameter Pengujian SNI Produk Elektronik ........................................................ 26

2.7 Kajian Terdahulu ........................................................................................................ 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................... 32

3.1 Kerangka Pemikiran...................................................................................... 32

3.2 Metodologi ................................................................................................................. 33

3.2.1 Metode Pengumpulan Data ............................................................................... 33

3.2.2 Rancangan Penelitian ........................................................................................ 34

3.2.3 Lokasi Penelitian ................................................................................................. 34

3.3 Metode Analisis .......................................................................................................... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 38

4. 1 Pemahaman Konsumen Terhadap Standard dan SNI ........................................ 38

4.1.1 Penilaian Tentang Penerapan SNI Wajib Untuk Produk Mesin

Cuci, Pengatur Udara, dan Lemari Pendingin ................................................. 39

4.1.2 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Mesin Cuci

Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar ............................................................. 39

4.1.3 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Pengatur

Udara Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar ................................................. 40

4.1.4 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Lemari

Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar .......................................... 41

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xiii

4.2 Kesiapan Pelaku Usaha Terhadap Pemberlakuan SNI ....................................... 42

4.2.1 Pandangan Produsen Terhadap Konsumen Tentang Standard ................ 42

4.2.2 Kesiapan Produsen Terhadap Pemberlakuan SNI Wajib ............................ 44

4.2.3 Pandangan Produsen Terhadap Pihak Pendukung Dalam

Pemberlakuan SNI Wajib .................................................................................... 47

4.3 Kesiapan LsPro dan Laboratorium Pengujian ...................................................... 51

4.3.1 Ketersedian Laboratorium dan Kemampuan Uji ............................................ 52

4.3.2 Kesiapan LSPro dan Laboratorium Uji Terhadap Pemberlakuan

SNI Secara Wajib ............................................................................................... 58

4.4. Kebijakan Pemberlakuan dan Pengawasan Terhadap SNI .............................. 60

4.4.1 Kebijakan Pengawasan Terhadap Produk ber-SNI ....................................... 60

4.4.2 Pengawasan Produk Elektronik ........................................................................ 62

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................ 64

5. 1 Kesimpulan ................................................................................................................ 64

5.2 Rekomendasi .............................................................................................................. 67

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 69

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xiv

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Tarif Sertifikasi Produk di Kementerian Perindustrian .......................... . 20

Tabel 2.2 Perkembangan Impor Produk Pendingin Udara, Mesin Cuci, dan Lemari

Pendingin.................................................................................................. 26

Tabel 2.3 Parametr Pengujian dan Alat Ukur SNI Produk Elektronik ……………… 28

Tabel 3.1 Analsis Data.............................................................................................. 35

Tabel 3.2 Faktor dan Item Penyusun (Construct) dalam Penilaian Kesiapan

Penerapan SNI (Perusahaan dan Laboratorium Uji)............................. ..... 36

Tabel 3.3 Faktor dan Item Penyusun (Construct) Konsumen dalam Menilai

Produk yang ber-SNI....................................................................... ........... 36

Tabel 4.1 Pemahaman dan Pengetahuan Konsumen tentang SNI ..................... ..... 39

Tabel 4.2 Penilaian Konsumen Mengenai Penerapan SNI Secara Wajib............... ... 39

Tabel 4.3 Kriteria Utama Pada Mesin Cuci Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen................................................................................. 40

Tabel 4.4 Kriteria Utama Pada Pengatur Udara Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen.................................................................... 41

Tabel 4.5 Kriteria Utama Pada Lemari Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen.................................................................... 42

Tabel 4.6 Persepsi Responden Produsen Tentang Pemahaman Konsumen Terhada Standar...................................................................................... 44

Tabel 4.7 Nilai Kesiapan Responden Terhadap Penerapan SNI Wajib Mesin Cuci,

Pendingin Udara dan Lemari Pendingin ................................................ 45

Tabel 4.8 Pengetahuan Tentang Penerapan SNI Wajib......................................... 47

Tabel 4.9 Laboratorium Uji dan LsPro Untuk Produk Mesin Cuci, AC, dan Lemari Pendingin …………………………………………………………… 58

Tabel 4.10 Kesiapan Laboratorium Uji Dalam Penerapan SNI................................ 59

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar xv

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Pilar-Pilar Standarisasi Nasional ....................................................... 12

Gambar 2.2. Alur Pengembangan SNI ................................................................... 13

Gambar 2.3. Mekanisme Pelaksanaan Penilaian Kesusaian SNI ......................... 16

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 33

Gambar 3.2. Assesment Model of Standard Readiness Survey ............................ 37

Gambar 4.1. Skema Umum Sertifikasi Produk ....................................................... 48

Gambar 4.2. Permasalahan Dalam Kemitraan Dengan LSPro dan Laboratorium

Uji ....................................................................................................... 50

Gambar 4.3. Pengawasan Terhadap Produk Yang Ber SNI Wajib ....................... 61

Gambar 4.4. Pelaksanaan Pengawasan Pada Produk Elektronik ......................... 62

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam era perdagangan bebas, aliran barang dan/atau jasa tidak lagi dapat

dibatasi oleh letak geografis suatu negara. Bahkan, peraturan teknis yang terkait

dengan peredaran barang dan/atau jasa yang diberlakukan oleh suatu negara harus

mengacu dan memenuhi standar internasional. Hal tersebut akan berdampak pada

meningkatnya akses pasar barang dan/atau jasa impor ke dalam pasar domestik

seiring dengan penurunan atau penghapusan hambatan perdagangan seperti tariff

impor yang merupakan salah satu komitmen yang berlaku dalam perdagangan

bebas. Di sisi lain dengan pemenuhan standar, produk kita juga diharapkan bisa

menembus pasar luar negeri dengan tingkat daya saing yang lebih tingi. Secara

umum, kondisi yang demikian pada satu sisi akan menguntungkan konsumen dalam

hal kebebasan untuk memilih jenis, kualitas dan harga barang sesuai dengan

kebutuhan (needs) (Herjanto, 2008).

Konsumen juga akan diuntungkan dengan memperoleh manfaat ekonomis

berupa harga yang kompetitif dan sesuai dengan kemampuan daya belinya (Pugel,

2008). Namun demikian, konsumen tetap harus memperoleh perlindungan dengan

jaminan bahwa barang yang dikonsumsinya sudah sesuai dengan kebutuhan dan

tidak menimbulkan kerugian. Konsumen tidak hanya mendapatkan keuntungan

secara ekonomis berupa harga yang kompetetif namun juga keamanan

penggunaan barang yang sudah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) atau

standar internasional yang ditetapkan oleh regulator terkait seperti yang diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional.

Terkait dengan pengawasan barang beredar di beberapa negara, instrumen

perdagangan non-tariff (non-tariff measures) sudah menjadi prioritas mengingat

pada saat ini semua tariff perdagangan bebas akan mengarah menjadi nol (Zero

Tax), seperti pada Free Trade Area Agreements ASEAN – China, ASEAN-India,

ASEAN-Korea, ASEAN-Australia-New Zealand (AANZ), Indonesia-European Union

(EU) dan FTA yang lainnya. Instrumen perdagangan non-tariff akan

mengedepankan pemenuhan komitmen dalam World Trade Organization (WTO)

yang disepakati dalam Technical Barriers to Trade (TBT) yang mengatur 3 (tiga) hal

penting, yaitu: peraturan teknis atau regulasi, standar dan penilaian kesesuaian

(Standards and Conformity Assesment atau SCA). Pada sisi lain, ketentuan dalam

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 2

WTO juga mengatur Sanitary and Phyto-sanitary (SPS) sebagai bagian yangtak

terpisahkan atas standar mutu untuk produk pertanian dan olahannya. Instrumen

tersebut secara jelas bertujuan memberikan jaminan kepada konsumen agar

memperoleh barang yang tidak hanya terjangkau dari segi harga dan waktu, namun

juga berkualitas dan memenuhi standar kesehatan , keselamatan, keamanan dan

lingkungan (K3L).

Dalam kaitannya dengan pasar dalam negeri, pemerintah telah menetapkan

Undangan-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

yang diturunkan salah satunya melalui penetapan Peraturan Menteri Perdagangan

No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di

Pasar yang merupakan mandat bagi Kementrian Perdagangan. Dalam peraturan

tersebut dijelaskan bahwa salah satu parameter pengawasannya menggunakan

instrumen Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk dalam negeri atau barang

impor. Penggunaan SNI sebagai instrumen pengawasan barang beredar dan/atau

jasa juga diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007

Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib

Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan dan Peraturan Menteri

Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia

Bidang Industri.

Dari hasil pelaksanaan pengawasan terhadap barang yang beredar dipasar,

ditemukan adanya pelanggaran yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis dan

SNI. Hasil Pengawasan yang telah dilakukan pada tahun 2012, terdapat 621 jenis

produk/barang di pasar domestik yang tidak sesuai dengan ketentuan dimana 31%

dari jumlah tersebut merupakan produk yang tidak sesuai dengan persyaratan

teknis dan SNI. Pelanggaran tersebut didominasi oleh barang yang berasal dari

impor sebesar 61% dan produk lokal sebesar 39%. Berdasarkan kategori barang

yang melanggar ketentuan, sebanyak 39% merupakan barang elektronika dan alat

listrik, 20% barang alat rumah tangga, 13% barang suku cadang kendaraan, serta

sisanya adalah barang bahan bangunan, barang makanan minuman dan Tekstil dan

Barang Tekstil (TPT).

Melihat dominasi produk impor yang belum sesuai dengan ketentuan,

Herjanto (2008) menjelaskan bahwa, standarisasi yang dalam konteks lain disebut

sebagai standar dan penilaian kesesuaian (standards and conformity assessment),

dapat juga berfungsi sebagai alat kontrol teknis dalam melindungi kepentingan

domestik. Standar dapat dipergunakan sebagai persyaratan teknis (spesifikasi

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 3

teknis) minimum yang harus dipenuhi oleh barang impor untuk memasuki pasar

domestik, sekaligus berfungsi sebagai alat perlindungan konsumen, khususnya bagi

barang-barang yang menyangkut kesehatan, keamanan, keselamatan, dan

pelestarian fungsi lingkungan hidup (K3L).

Untuk melindungi konsumen dari barang-barang tidak memenuhi unsur K3L,

pemerintah perlu melakukan pengembangan SNI yang mendorong penerapan SNI

Wajib. Namun dalam pelaksanaannya juga harus memperhatikan kepentingan

pelaku usaha dalam negeri, terutama usaha kecil dan menengah (UKM), mengingat

ketentuan terkait standar tidak boleh melanggar ketentuan national treatment dalam

the World Trade Organization (WTO), dimana standar tidak boleh bersifat

diskriminatif antara industri dalam negeri dan importir.

Terkait hal tersebut, Kementerian Perdagangan akan meningkatkan

pengawasan barang beredar di pasar dengan target sebanyak 600 barang setiap

tahunnya sebagai upaya dalam perlindungan sekaligus pemberdayaan konsumen.

Hal tersebut juga bersinergi dengan rencana Kementerian Perindustrian tentang

pemberlakuan SNI secara wajib tahun 2012-2013 sebanyak 521 produk. Sebagai

dasar hukum untuk mendorong pengembangan SNI, pemerintah telah menetapkan

Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 dimana dalam Pasal 12 ayat (3)

dijelaskan “Dalam hal Standar Nasional Indonesia berkaitan dengan kepentingan

keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan

hidup (K3L) dan atau pertimbangan ekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan

secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam

Standar Nasional Indonesia.”

Berdasarkan latar belakang tersebut, yaitu masih banyaknya produk yang

beredar di pasar, baik produk dalam negeri maupun impor yang tidak memenuhi

ketentuan, maka perlu diupayakan langkah-langkah yang bertujuan melindungi

konsumen dari K3L dimana salah satunya melalui pengembangan SNI antara lain

pemberlakuan SNI secara wajib.

Oleh karena itu, dengan menurunnya bea masuk impor sebagai dampak FTA,

hambatan teknis melalui pemberlakuan SNI secara wajib merupakan salah satu

cara untuk menghambat laju produk impor. Namun, sampai saat ini pemberlakuan

SNI secara wajib baru 91 SNI. Fakta ini dirasakan kurang memadai untuk

menghambat laju produk impor, sehingga untuk mempercepat pelaksanaan

pengembangan SNI maka dalam analisis ini akan difokuskan pada upaya untuk

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 4

pemberlakuan SNI yang bersifat sukarela menjadi SNI yang diberlakukan secara

wajib.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penelitian tentang pengembangan

SNI ini dilakukan untuk menjawab beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:

a. Bagaimana pemahaman dan penilaian konsumen terhadap penerapan SNI

suatu produk secara wajib?

b. Bagaimana kemampuan dan kesiapan industri dalam negeri dalam memenuhi

parameter-parameter yang akan diwajibkan dalam SNI?

c. Bagaimana kesiapan sarana pendukung dalam pemberlakuan SNI secara

wajib?

1.2 Tujuan Analisis

a. Mengidentifikasi pemahaman dan penilaian konsumen terhadap pemberlakuan

SNI pada produk yang beredar di pasaran.

b. Mengidentifikasi kemampuan industri dalam negeri dalam memenuhi

parameter-parameter yang akan diwajibkan dalam SNI

c. Mengidentifikasi kesiapan Lembaga sertifikasi Produk (LsPro) dan

Laboratorium pengujian dalam pemberlakuan SNI secara wajib.

d. Merumuskan kebijakan pengembangan SNI dalam rangka pengawasan barang

beredar.

1.3 Keluaran Analisis

a. Gambaran pemahaman dan penilaian konsumen terhadap produk yang ber-

SNI.

b. Gambaran tentang kemampuan industri dalam negeri dalam memenuhi

parameter-parameter yang akan diwajibkan dalam SNI

c. Kesiapan Lembaga sertifikasi Produk (LsPro) dan Laboratorium pengujian

dalam pemberlakuan SNI secara wajib

d. Rumusan kebijakan pengembangan SNI dalam rangka pengawasan barang

beredar

1.4 Ruang Lingkup

a. Produk yang diteliti :

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 5

Peralatan listrik rumah tangga dan peralatan listrik serupa tentang persyaratan

khusus untuk Pengatur Udara dan mesin cuci dengan SNI sebagai berikut :

SNI IEC 60335-2-40:2009 Peralatan listrik rumah tangga dan peralatan listrik serupa-keselamatan-bagian 2-40: Persyaratan khusus untuk Pengatur Udara

SNI IEC 60335-2-7:2009 Peranti listrik rumah tangga dan sejenis - Keselamatan - Bagian 2-7: Persyaratan khusus untuk mesin cuci

SNI IEC 60335-2- 24-2009

Peranti listrik rumah tangga dan sejenisnya - Keselamatan - Bagian 2-24: Persyaratan khusus untuk peranti pendingin, peranti es krim dan pembuat es

Alasan pemilihan komoditi adalah (1) Produk-produk tersebut mengandung unsur

K3L; (2) meningkatnya impor produk elektronik; dan (3) Kebutuhan masyarakat

banyak. Berikut justifikasi lainnya terkait produk yang dianalisis.

1) Impor produk elektronika selama tahun 2008 – 2012 meningkat dengan

tren sebesar 6,28% dan nilai total mencapai US$ 76 miliar. Jika diperinci,

produk elektronik dengan kode Harmonized System (HS) yang tercantum

dalam konsep Peraturan Menteri Perindustrian tentang Pemberlakuan

SNI Pendingin Ruangan, Lemari Pendingin, dan Mesin Cuci Secara

Wajib, tren impor produk elektronik seperti mesin cuci, lemari pendingin,

dan Pendingin Udara memiliki rentang dari hanya 5,03% hingga 95,32%

(BPS, 2013).

2) Sebanyak 33,67% produk impor tersebut berasal dari Cina yang

dikhawatirkan belum memenuhi ketentuan di Indonesia.

b. Aspek Kebijakan: peraturan dan kebijakan yang terkait dengan standardisasi

dan pengawasan barang beredar di pasar, antara lain :

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

2) Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi

Nasional

3) Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang

Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib

Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan

4) Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan

Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar.

5) Peraturan Menteri Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang

Standar Nasional Indonesia Bidang Industri

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 6

6) Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2012 tentang Jenis Jenis Tarif

atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian

Perdagangan dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2011 Tentang

Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang

Berlaku Pada Kementerian Perindustrian

c. Aspek kinerja standar termasuk infrastruktur meliputi antara lain prosedur,

parameter-parameter SNI, kompetensi SDM, ketersediaan dan kemampuan

laboratorium penguji, lembaga sertifikasi produk.

d. Aspek Kelembagaan: instansi dan lembaga yang terlibat dalam perumusan dan

pengawasan SNI, pelaku usaha dan asosiasi.

e. Daerah Kajian akan dilakukan di 3 (tiga) daerah yaitu Tangerang, Bandung dan

Bekasi. Pertimbangan pemilihan daerah penelitian adalah keberadaan

produsen elektronik, LsPro, Laboratorium pengujian dan konsumen.

f. Responden Penelitian

Responden penelitian adalah: Pelaku usaha/produsen, konsumen, laboratorium

uji, LsPro dan key person dari Dinas Perindag, Direktorat Standardisasi, Badan

Standardisasi Nasional, dan Komite Akreditasi Nasional.

1.5 Sistematika Penulisan

Laporan analisis ini terdiri dari lima bab sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang,

tujuan, keluaran, dampak dan ruang lingkup analisis yang

dilakukan.

BAB II : Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur

yang akan digunakan sebagai referensi dalam analisis ini

meliputi Pengertian standar, Pengembangan standar di

Indonesia, Pengawasan SNI pada Barang Beredar di Pasar

dan best practices.

BAB III : Metodologi Penelitian menjelaskan metode yang

digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran,

metode analisis data, serta sumber data dan teknik

pengumpulan data.

BAB IV : Hasil dan Pembahasan. Pada bab ini memuat hasil

temuan lapangan, analisis deskriptif dan assessment model

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 7

of standard readiness survey.

BAB V : Kesimpulan dan Rekomendasi. Memberikan kesimpulan

dan saran untuk usulan kebijakan pengembangan SNI

dalam hal pemberlakuan SNI Wajib bagi produk mesin cuci,

Pendingin Udara, dan lemari pendingin.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian SNI

Standar adalah dokumen yang memuat ketentuan dan/atau karakteristik dari

suatu produk yang dibuat secara konsensus dan ditetapkan oleh lembaga

berwenang (BSN, 2000). Sedangkan dalam PP No. 102 Tahun 2000, yang

dimaksud standar adalah spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan termasuk

tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak yang

terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan,

lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta

pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk

memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Standar Nasional Indonesia (SNI)

dibuat oleh pemerintah Indonesia sebagai standar nasional hasil consensus para

pemangku kepentingan. SNI ini ditetapkan oleh Badan Standar Nasional (BSN).

Pada prinsipnya standar dilakukan secara sukarela, khususnya

dipergunakan oleh produsen sebagai acuan dalam pengendalian mutu internal atau

untuk kepentingan promosi bahwa produk yang diproduksi memiliki kualitas baik

dan terjamin. Penerapan dan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia adalah

keputusan pimpinan instansi teknis yang berwenang untuk memberlakukan Standar

Nasional Indonesia secara wajib terhadap produk apabila dipandang bahwa produk

menyangkut dengan keselamatan, keamanan, kesehatan dan kelestarian

lingkungan (K3l) .

SNI bertujuan untuk memperlancar transaksi perdagangan dan melindungi

kepentingan konsumen serta meningkatan daya saing produk Indonesia di pasar

global, karena pasar global menekankan pentingnya menerapkan standar mutu

produk (BSN, 2005).

2.2 Pengembangan Standar Nasional Indonesia (SNI)

Adanya kerjasama di bidang ekonomi antara negara-negara di dunia, seperti

ASEAN Free Trade Area (AFTA), Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) dan

World Trade Organization (WTO), telah menciptakan sistem perdagangan dunia

yang bebas (free trade). Sistem ini nantinya akan memperluas dan mempermudah

gerak arus transaksi barang dan atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 9

negara. Sehingga pasar nasional nantinya akan bersifat terbuka terhadap barang

dan atau jasa impor.

Untuk mendukung pasar nasional dalam menghadapi proses globalisasi

perdagangan tersebut, maka dipersiapkan perangkat hukum nasional di bidang

standardisasi (PP No 102 tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional) yang tidak

saja mampu menjamin perlindungan terhadap masyarakat khususnya di bidang

keselamatan, keamanan, kesehatan, dan lingkungan hidup, tetapi juga

meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih lanjut, di dalam Perjanjian

World Trade Organization (WTO), sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah

Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994, khususnya mengenai

Agreement on Technical Barrier to Trade (TBT) yang mengatur mengenai

standardisasi ditegaskan bahwa negara anggota, dalam hal ini Pemerintah

Indonesia, diwajibkan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan

nasional di bidang standardisasi.

Standardisasi dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan kepada

konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk

keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup,

serta untuk membantu kelancaran perdagangan dan mewujudkan persaingan usaha

yang sehat dalam perdagangan. Di samping itu, Drajad Irianto (2013), juga

mengemukakan bahwa penerapan standardisasi juga dimaksudkan untuk

membendung arus barang impor yang masuk ke Indonesia. Menurut Drajad, jumlah

SNI untuk produk-produk yang diterapkan di Indonesia masih sangat terbatas jika

dibandingkan dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Jepang, dan

Singapura yang cenderung lebih ketat dalam masalah standardisasi. Akibatnya,

barang-barang Indonesia sulit masuk ke luar negeri (ekspor), sementara barang-

barang luar negeri lebih mudah untuk masuk ke Indonesia, terlebih barang-barang

tersebut adalah produk tidak berkualitas.

Sasaran utama dalam pelaksanaan standardisasi adalah meningkatnya

ketersediaan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mampu memenuhi kebutuhan

industri dan pekerjaan instalasi guna mendorong daya saing produk dan jasa dalam

negeri. Dengan adanya standardisasi nasional maka akan ada acuan tunggal dalam

mengukur mutu produk dan/atau jasa di dalam perdagangan, yaitu Standar

Nasional Indonesia (SNI), sehingga dapat meningkatkan perlindungan kepada

konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya baik untuk

keselamatan, keamanan, kesehatan maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 10

Hal serupa juga dikemukakan oleh Bambang Prasetya (2013),. Menurut Bambang,

SNI membuat produk yang dihasilkan menjadi efisien dan proses produksi yang

optimal seperti mereduksi limbah serta menghemat biaya. Cara ini membuat produk

yang dihasilkan berkualitas dan berdaya saing tinggi.

Setiadi (2011), juga menambahkan bahwa standard juga membantu

perusahaan melalui: (1) penghubung penting rantai pasokan global, (2) underpin

international trade and access to market, (3) mengurangi hambatan dan mendukung

perdagangan internasional, (4) membangkitkan kepercayaan nasional dalam

pemulihan ekonomi, (5) mempengaruhi budaya bisnis, (6) membantu perusahaan

mengadopsi environmental management, social responsibility, life cycle assessment

for products, energy efficiency and management, etc, (7) membantu alokasi sumber

daya lebih efisien, serta (8) menjadi jembatan untuk kesenjangan pengetahuan dan

inovasi.

Terkait dengan besarnya peranan penerapan standardisasi bagi

pembangunan nasional tersebut, Dewi Odjar Ratna Komala mengatakan bahwa

menerapkan standardisasi bukan diharuskan, tapi dibutuhkan. Oleh karena itu,

industri yang ada di Indonesia harus menyadari betapa dibutuhkannya standar

untuk meningkatkan kualitas mutu dari produk. Hal ini dilakukan agar produk industri

tersebut bisa bersaing dengan negara lain.

Dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas dan melindungi produk

lokal, Gerakan Nasional Penerapan SNI (GENAP SNI) diluncurkan. Program yang

diprakarsai oleh lembaga pemerintah non kementerian, Badan Standardisasi

Nasional (BSN), ini berwujud pencantuman sertifikasi produk tanda SNI pada suatu

produk, termasuk produk pelayanan jasa dan proses. Sertifikasi produk tanda SNI

adalah kegiatan oleh pihak ketiga yang independen dalam memberikan jaminan

tertulis yang menyatakan bahwa suatu produk (termasuk proses dan jasa) telah

memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI). Tanda ini dibubuhkan

pada barang, kemasan barang dan/atau label (Kemenristek, 2010).

BSN menyatakan bahwa pembubuhan tanda SNI pada sebuah produk

memberikan manfaat tak hanya bagi produsen saja tetapi juga bagi konsumen,

pelaku bisnis dan pemerintah yang antara lain sebagai berikut:

Memberi informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan suatu

produk bahwa produk tersebut telah memenuhi SNI;

Untuk mengatasi kekhawatiran konsumen, pengguna dan semua pihak yang

berkepentingan akan kualitas suatu produk;

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 11

Meningkatkan keberterimaan produk oleh konsumen; serta

Meningkatkan daya saing suatu produk karena kualitas produk tersebut lebih

terjamin

Penerapan SNI, seperti halnya standar lain, pada prinsipnya dilakukan

secara sukarela, khususnya dipergunakan oleh produsen sebagai acuan dalam

pengendalian mutu internasional, atau untuk kepentingan promosi bahwa produk

terkait memiliki kualitas yang baik/terjamin. Penerapan standar dapat bersifat wajib

manakala menyangkut keselamatan, kesehatan, keamanan, atau kelestarian fungsi

lingkungan hidup. Pemberlakuan standar secara wajib ditetapkan oleh Menteri

teknis terkait dengan mempertimbangkan berbagai factor, yaitu kesiapan standar

yang bersangkutan, kesiapan industri dalam negeri, kesiapan infrastruktur teknis

penilaian kesesuaian, dan kesiapan pengawasan oleh pemerintah, serta tidak

bertentangan dengan kesepakatan internasional (Herjanto dan Rahmi, 2010).

Proses perumusan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi kebijakan

terutama yang terkait dengan kepentingan public tidak lepas dari peran pemerintah,

baik pusat maupun daerah, serta berbagai pihak yang terikat dan merasakan

dampak penerapan SNI Wajib. Peran masing-masing stakeholders yang terlibat

dalam standardisasi secara garis besar dibagi beberapa fungsi utama, yaitu: (1)

Fungsi Regulator, yaitu lembaga perumus berbagai kebijakan nasional maupun

lembaga yang menyusun regulasi teknis terkait dengan aturan dan prosedur

pelaksanaan kebijakan, contoh: Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Komite

Akreditasi Nasional (KAN); (2) Fungsi Implementor, yaitu pelaksana kebijakan baik

untuk instansi teknis maupun produsen dan berbagai pihak terkait untuk

melaksanakan kebijakan standardisasi, contoh: Pusat Standardisasi Kementerian

Teknis dan Ditjen Bea dan Cukai; (3) Fungsi Pembina, yaitu lembaga atau berbagai

pihak yang terlibat dalam pembinaan, pengawasan, maupun bertugas untuk

mengevaluasi kebijakan yang diterapkan, contoh: Instansi Teknis dan Lembaga

Pelatihan (Herjanto dan Rahmi, 2010).

Sementara itu, untuk mendukung peningkatan daya saing produk nasional,

sistem standardisasi nasional harus terus dikembangkan mengikuti standar

internasional yang juga terus berkembang. Setiadi (2011) menjelaskan bahwa

pengembangan sistem standardisasi nasional tersebut meliputi tiga pilar dasar

infrastruktur mutu, yaitu metrologi, standardisasi, dan penilaian kesesuaian. Pilar

metrologi antara lain meliputi metrologi ilmiah, terapan, dan legal. Sementara itu

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 12

pilar standardisasi meliputi pengembangan dan penerapan SNI. Sedangkan pilar

penilaian kesesuaian mencangkup akreditasi, sertifikasi, pengujian, dan inspeksi.

Dalam penerapannya, pengembangan ketiga pilar tersebut membutuhkan

adanya kerjasama antar stakeholders, sosialisasi kepada pelaku usaha, serta

adanya penelitian dan pengembangan mengenai standar produk tersebut yang juga

didukung oleh peraturan perundangan yang berlaku untuk mencapai tujuan yang

telah ditetapkan, baik itu tujuan bisnis (perdagangan, mutu, keuntungan, distribusi,

pembelian, penggunaan, spesifikasi, dan kontrak) maupun tujuan sosial (kesehatan,

keamanan, keselamatan, kelestarian lingkungan hidup, ekonomi yang maju,

perdagangan yang adil, serta perlindungan konsumen). Pilar-pilar pengembangan

infrastruktur mutu tersebut digambarkan dalam gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1.

Pilar-Pilar Infrastruktur Mutu Nasional

Sumber: Setiadi, 2011

Dalam Gambar 2.1 terlihat bahwa pilar standardisasi merupakan pilar utama

dalam hal pengembangan dan penerapan standard. Menurut Setiadi (2011), proses

pengembangan standardisasi meliputi lima tahapan, yakni dimulai dari

pemrograman, perancangan, konsensus nasional dan finalisasi, penetapan, dan

pemeliharaan. Pada tahapan pemrograman meliputi kegiatan melihat kebutuhan

pasar, mengajukan usulan program SNI, serta penetapan program SNI. Tahap

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 13

drafting meliputi kegiatan verifikasi data dan perumusan program yang kemudian

akan dilakukan kegiatan konsensus nasional dan perumusan final. Selanjutnya,

akan dilakukan kegiatan penetapan SNI dan publikasi kepada masyarakat. Pada

tahap akhir (pemeliharaan), akan dilakukan kaji ulang terhadap SNI yang telah

diterapkan oleh para pelaku usaha untuk mengetahui kelemahan maupun

keunggulan produk yang telah beredar di masyarakat. Alur pengembangan SNI

dapat dilihat berdasarkan gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2.

Alur Pengembangan SNI

Sumber: Setiadi (2011)

Sesuai dengan PP Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi Nasional,

pengembangan SNI yang juga mencakup kelembagaan dan proses yang berkaitan

dengan perumusan, penetapan, publikasi dan pemeliharaan SNI harus memenuhi

kaidah dalam WTO code of good practice agar memperoleh keberterimaan yang

luas diantara para stakeholder. Kaidah-kaidah tersebut meliputi dimensi:

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 14

Keterbukaan:

Terbuka bagi agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat

berpartisipasi dalam pengembangan SNI;

Transparansi :

Transparan agar semua stakeholder yang berkepentingan dapat mengikuti

perkembangan SNI mulai dari tahap pemrograman dan perumusan sampai

ke tahap penetapannya. Selain itu, semua stakeholder juga dapat dengan

mudah memperoleh semua informasi yang berkaitan dengan

pengembangan SNI;

Konsensus dan tidak memihak :

Tidak memihak dan konsensus agar semua stakeholder dapat menyalurkan

kepentingannya dan diperlakukan secara adil;

Efektif dan Relevan :

Efektif dan relevan agar dapat memfasilitasi perdagangan karena

memperhatikan kebutuhan pasar dan tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

Koheren :

Koheren dengan pengembangan standar internasional agar perkembangan

pasar negara kita tidak terisolasi dari perkembangan pasar global dan

memperlancar perdagangan internasional; serta

Dimensi Pembangunan :

Berdimensi pembangunan agar memperhatikan kepentingan publik dan

kepentingan nasional dalam meningkatkan daya saing perekonomian

nasional. Selain itu, dalam perumusan SNI juga harus mempertimbangkan

kepentingan usaha kecil dan menengah dan juga daerah dengan

memberikan peluang untuk dapat ikut berpartisipasi di dalamnya.

Pengembangan SNI akan berhasil jika standar tersebut diterapkan oleh

pelaku usaha. Dewasa ini, penerapan standar menjadi sangat penting guna

mendukung terwujudnya jaminan mutu barang, jasa, proses, sistem atau personil

sehingga memberi kepercayaan pelanggan dan pihak terkait bahwa suatu

organisasi, individu, barang dan/atau jasa yang diberikan telah memenuhi standar

yang telah ditetapkan. Selain itu, penerapan standar juga dilakukan untuk menjamin

peningkatan produktivitas, daya guna dan hasil guna serta perlindungan terhadap

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 15

konsumen, tenaga kerja, dan masyarakat dalam hal keselamatan, keamanan,

kesehatan, lingkungan (BSN, 2013).

Setiadi (2012), juga menjelaskan bahwa pengembangan dan penerapan SNI

perlu didukung oleh pilar penilaian kesesuaian yang mencakup kelembagaan dan

proses penilaian untuk menyatakan kesesuaian suatu kegiatan atau suatu produk

terhadap SNI tertentu. Penilaian kesesuaian dapat dilakukan oleh pihak pertama

(produsen), pihak kedua (konsumen), atau pihak ketiga (pihak selain produsen dan

konsumen), sejauh pihak tersebut memiliki kompetensi untuk memenuhi

persyaratan yang ditetapkan oleh BSN.

Sesuai dengan PP No. 102 tahun 2000, pelaksanaan tugas BSN di bidang

penilaian kesesuaian ditangani oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) yang

dibentuk oleh pemerintah untuk keperluan menjamin kompetensi pelaksana

penilaian kesesuaian melalui proses akreditasi. KAN sebagai Badan Akreditasi

Nasional mempunyai tugas untuk memberikan akreditasi kepada lembaga penilaian

kesesuaian (Lembaga Inspeksi, Laboratorium Penguji dan Laboratorium Kalibrasi

dan Lembaga Sertifikasi). Lembaga Penilaian Kesesuaian yang telah diakreditasi

oleh KAN mempunyai hak untuk menerbitkan sertifikat sesuai dengan lingkup

akreditasinya, yaitu yang berkaitan dengan sistem manajemen, produk, dan

personel. Laboratorium penguji dan laboratorium kalibrasi mempunyai wewenang

untuk melakukan pengujian terhadap sampel/peralatan. Sementara itu, Lembaga

Inspeksi akan melakukan pengawasan terhadap barang, jasa, proses, dan sistem.

Mekanisme pelaksanaan penilaian kesesuaian yang ditangani oleh Komite

Akreditasi Nasional (KAN) dapat dilihat melalui gambar 2.4 di bawah ini.

Seperti halnya dengan pengembangan SNI, penilaian kesesuaian juga harus

memenuhi sejumlah norma sebagai berikut (BSN, 2013):

a. terbuka bagi semua pihak yang berkeinginan menjadi lembaga pelaksana

penilaian kesesuaian;

b. transparan agar semua persyaratan dan proses yang diterapkan dapat

diketahui dan ditelusuri oleh pemangku kepentingan;

c. tidak memihak dan kompeten agar pelaksanaan penilaian kesesuaian dapat

dipercaya dan berwibawa;

d. efektif karena memperhatikan kebutuhan pasar dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku; dan

e. konvergen dengan pengembangan penilaian kesesuaian internasional.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 16

Gambar 2.3.

Mekanisme Pelaksanaan Penilaian Kesesuaian SNI

Sumber: Setiadi, 2011

Suatu produk atau komoditi dianggap siap untuk diberlakukannya penerapan

SNI secara wajib jika memenuhi kriteria sebagai berikut (Herjanto dan Rahmi,

2010).

a. Standar (atau dokumen teknis) yang akan diacu telah ada, tersedia dalam

Bahasa Indonesia, dan mudah untuk diakses.

b. Mayoritas produsen domestik mampu menghasilkan produk yang sesuai

dengan spesifikasi yang terdapat dalam dokumen yang diacu.

c. Lembaga Penilaian Kesesuaian, khususnya laboratorium uji, lembaga

sertifikasi, lembaga penilaian system mutu, dan lembaga sertifikasi produk

tersedia dan diperkirakan mampu untuk memenuhi permintaan industri.

2.3 Kebijakan Terkait Pemberlakuan SNI

Regulasi teknis dibuat oleh suatu Negara agar persyaratan yang mencakup

suatu produk atau ketentuan teknis yang berhubungan dengan suatu produk

diterapkan secara efektif di suatu Negara. Regulasi teknis dapat dibuat oleh

Pemerintah atau berdasarkan suatu standar nasional yang telah disepakati oleh

pelaku usaha terkait. Artikel 20 GATT (General Agreement on Tariff and Trade)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 17

mengijinkan Pemerintah menggunakan standar dalam regulasi teknis dalam rangka

melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan, dengan

tidak membeda-bedakannya dengan produk yang berasal dari luar negeri (Herjanto

dan Rahmi, 2010).

Berdasarkan ketentuan di atas, maka pokok-pokok pikiran penerapan SNI

secara wajib dapat diuraikan sebagai berikut (Herjanto dan Rahmi, 2010).

a. Suatu kebijakan yang mengikat banyak pihak akan berlaku efektif bila

kebijakan tersebut dirumuskan dalam suatu aturan yang jelas dan pasti tidak

berpihak pada kepentingan tertentu.

b. Hukum dan peraturan yang mengikat sangat penting sebagai dasar untuk

pijakan semua pihak dalam mengemban sebuah tugas serta membagi hak

dan wewenang sebagai pihak yang terikat dalam peraturan tersebut. Hal

yang sama juga berlaku untuk kebijakan penerapan dan pemberlakuan SNI

Wajib terhadap suatu produk.

Kebijakan standardisasi nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah No

102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional dan implementasinya diatur melalui

Peraturan Menteri Perdagangan RI No: 14/M-DAG/PER/3/2007 Tentang

Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan Standar Nasional

Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan. Kebijakan

pengawasan terhadap standar barang yang beredar atas dasar pertimbangan

kesehatan, keselamatan, keamanan serta lingkungan (K3L). Dengan demikian

pelaksanaan pengawasan tersebut didasarkan pada UU perlindungan konsumen,

serta UU lainnya seperti UU pangan, UU kesehatan, UU Jasa Kelistrikan, UU

Pertanian, UU Jasa Telekomunikasi dan lainnya.

Peraturan dan kebijakan yang terkait dengan standardisasi dan

pengawasan barang beredar di pasar, antara lain :

1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

UU No. 8 Tahun 1999 ini mengatur tentang segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. UU ini

lahir bahwa meskipun pasar nasional semakin terbuka sebagai akibat dari adanya

proses globalisasi ekonomi, namun harus tetap menjamin peningkatan

kesejahteraan masyarakat serta kepatian atas mutu, jumlah dan keamanan barang

dan/ atau jasa yang diperolehnya di pasar. Dengan demikian, perlindungan

konsumen ini bertujuan untuk (1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 18

kemandirian konsumen untuk melindungi diri; (2) mengangkat harkat dan martabat

konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang

dan/atau jasa; (3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; (4) menciptakan sistem

perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hokum dan

keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; (5) menumbuhkan

kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga

tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; serta (6)

meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha

produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan

keselamatan konsumen.

Sehubungan dengan berbagai tujuan dalam rangka perlindungan

konsumen tersebut, disamping membahas mengenai poin-poin yang menjadi hak

dan kewajiban bagi konsumen serta pelaku usaha, UU ini juga membahas

mengenai larangan bagi pelaku usaha, berbagai ketentuan yang menjadi tanggung

jawab dan kewajiban pelaku usaha, dan juga kewajiban pemerintah untuk

menyelenggarakan pembinaan dan pengawasan yang menjamin diperolehnya hak

konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan

pelaku usaha.

2) Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional.

PP No. 102 Tahun 2000 Tentang Standardisasi pada dasarnya mengatur

tentang kelembagaan yang melakukan pengembangan dan pembinaan

standardisasi, perumusan, penerapan dan pengawasan SNI untuk mencapai tujuan:

(i) Meningkatkan perlindungan kepada konsumen, pelaku usaha, tenaga kerja dan

masyarakat lainnya untuk kesehatan, keselamatan, keamanan serta lingkungan; (ii)

Membantu kelancaran perdagangan; (iii) Mewujudkan persaingan usaha yang sehat

dalam perdagangan.

Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai lembaga yang dibentuk

dengan Keppres bertanggung jawab dalam pengembangan dan pembinaan

dibidang standardisasi nasional. Perumusan rancangan standar nasional maupun

revisi dilakukan oleh Panitia Teknis dan konsensus standar yang disepakati

ditetapkan menjadi Standar Nasional Indonesia oleh BSN.

Standar Nasional Indonesia yang telah ditetapkan berlaku untuk seluruh

Indonesia. SNI yang berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan,

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 19

kesehatan, lingkungan hidup dan pertimbangan ekonomis dapat diberlakukan

secara wajib oleh instansi teknis. Pemberlakuan SNI wajib dinotifikasikan BSN

kepada organisasi Perdagangan Dunia setelah memperoleh persetujuan instansi

teknis. SNI yang diberlakukan secara wajib dikenakan sama terhadap barang atau

jasa produksi dalam negeri maupun impor. Kemudian SNI yang bersifat sukarela

diterapkan oleh pelaku usaha.

Pembinaan terhadap pelaku usaha yang menyangkut konsultasi,

pendidikan, pelatihan dan pemasyarakatan standardisasi dan pengawasan pelaku

usaha yang memperoleh SNI dilakukan oleh pimpinan instansi teknis atau

Pemerintah Daerah. Kemudian pengawasan terhadap unjuk kerja pelaku usaha

yang telah memperoleh sertifikat produk dan atau tanda SNI dilakukan oleh

lembaga sertifikat produk yang menerbitkan sertifikat dimaksud.

3) Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang

Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap

Barang dan Jasa yang Diperdagangkan.

Permendag ini mengatur tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan

dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan

Jasa yang Diperdagangkan. Dalam kebijakan tersebut pada dasarnya mengatur

tentang pengawasan, lembaga kesesuaian, pembinaan dan sanksi. Pengawasan

SNI wajib terhadap barang yang diperdagangkan dilakukan terhadap barang

produksi dalam negeri maupun impor. Pengawasan terhadap barang tersebut

dilakukan melalui pengawasan pra pasar dan di pasar. Pengawasan pra pasar

dilakukan terhadap barang yang telah diberlakukan SNI wajib dan telah

dinotifikasikan ke organisasi perdagangan dunia.

Pengawasan prapasar dilakukan terhadap barang sebelum beredar di pasar

dan pengawasan di pasar dilakukan pada saat barang beredar di pasar.

Pengawasan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q.

Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang.

Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK) yang menerbitkan sertifikat

kesesuaian merupakan Lembaga Sertifikasi Produk di dalam negeri maupun di luar

negeri yang didukung oleh laboratorium penguji dan/atau lembaga inspeksi

terakreditasi. LPK di dalam negeri diakreditasi oleh KAN. LPK yang belum

terakreditasi oleh KAN, dapat melakukan Penilaian Kesesuaian apabila ditunjuk

oleh Pimpinan Instansi Teknis.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 20

4) Peraturan Pemerintah N0. 47 Tahun 2011 Tentang Jenis tarif atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Perindustrian

Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada

Kementerian Perindustrian meliputi penerimaan dari jasa pelayanan meliputi jasa

pelayanan: teknis pengujian dan kalibrasi; pelatihan teknis; inspeksi teknik; teknis

mesin; teknis sertifikasi; dan teknis konsultansi. Berikut beberapa ketentuan dalam

Permen dimaksud.

Tabel 2.1 Tarif Sertfikasi Produk di Kementerian Perindustrian

Jenis Penerimaan Satuan Tarif

Sertifikasi Produk Penggunaan Tanda Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Sertifikasi Sistem Manajemen Mutu 1. Dalam negeri a. Permohonan b. Jasa auditor untuk audit stage I 1) Komoditi umum (diluar komoditi khusus) 2) Komoditi khusus (baja canai panas, baja canai dingin, tron dan hous) c. Jasa auditor untuk audit stage II 1) Jasa auditor/tenaga ahli/Petugas Pengambil Contoh (PPC) : a) Auditor Kepala b) Auditor c) Tenaga ahli d) Petugas pengambil contoh (khusus untuk Sertifikasi produk penggunaan tanda SNI) 2) Jasa perdiem untuk auditor kepala, auditor, tenaga ahli dan PPC

per permohonan per permohonan per permohonan per orang/hari per orang/hari per orang/hari per orang/hari

per orang/hari

Rp 500.000,00 Rp 1.000.000,00 Rp 2.000.000,00 Rp 2.000.000,00 Rp 1.500.000,00 Rp 1.500.000,00 Rp 1.000.000,00

Rp 200.000,00

Sumber: PP No 47 (2011)

5) Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan

Barang dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar.

Pengawasan, menurut Permendag No.20/M-DAG/ PER/5/2009 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa adalah serangkaian

kegiatan yang diawali pengamatan kasat mata, pengujian, penelitian dan survei

terhadap barang atau jasa, pemenuhan ketentuan standar, pencantuman label,

klausula baku, cara menjual, pengiklanan, serta pelayanan purna jual barang dan

jasa beredar di pasar adalah barang atau jasa yang ditawarkan, dipromosikan,

diiklankan, diperdagangkan, dipergunakan, atau dimanfaatkan konsumen di

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 21

wilayah Indonesia baik produksi dalam negeri maupun luar negeri. Ruang lingkup

pengawasan yang dilakukan meliputi barang dan/atau jasa yang beredar di pasar,

barang yang dilarang beredar di pasar, barang yang diatur tata niaganya,

perdagangan barang-barang dalam pengawasan, serta distribusi.

Pengawasan pemenuhan ketentuan standar dilakukan terhadap barang

dan/atau jasa yang beredar di pasar, yang telah diberlakukan SNI wajib, SNI yang

diterapkan oleh pelaku usaha, atau persyaratan teknis lain yang diberlakukan wajib

oleh instansi teknis yang berwenang. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya

pelanggaran tersebut dibentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),

yang tugasnya selain menyelesaikan sengketa, juga melakukan pengawasan

terhadap pencantuman klausula baku.

6) Peraturan Menteri Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar

Nasional Indonesia Bidang Industri.

Permenperin tentang SNI bidang Industri ini membahas mengenai

perumusan dan penerapan SNI, pemberlakuan SNI/spesifikasi teknis secara wajib,

penunjukan Lembaga Penilaian Kesesuaian (LPK), pembinaan dan pengawasan

SNI, serta sanksi yang diberikan terhadap LSPro dan pelaku usaha yang melanggar

ketentuan yang telah ditetapkan. Terkait dengan hal tersebut, pemberlakuan SNI

secara wajib atas barang dan atau jasa di bidang industri (produksi dalam negeri

atau import yang diperdagangkan dalam wilayah Indonesia) harus terkait dengan

aspek keselamatan, keamanan, dan kesehatan masyarakat, pelestarian lingkungan

hidup, pertimbangan ekonomis dan atau kepentingan nasional lainnya serta

mengacu pada SSN, pedoman yang ditetapkan oleh BSN, peraturan perundang-

undangan dan perjanjian internasional bidang standardisasi yang telah diratifikasi

Pemerintah, serta ditetapkan dengan peraturan menteri.

BPPI juga melaksanakan pembinaan dan pengembangan terhadap LPK

dalam rangka pengujian, inspeksi, sertifikasi, dan akreditasi. Pembinaan tersebut

meliputi bantuan teknis, konsultasi, pendidikan dan pelatihan, fasilitasi, serta

pemasyarakatan standadisasi. Selain itu, Pemerintah (dalam hal ini Direktorat

Jenderal Pembina Industri) juga melakukan pengawasan barang atau jasa yang

diberlakukan SNI wajib secara berkala dan atau secara khusus di lokasi produksi

dan di luar lokasi produksi sekurang-kurangnya sebanyak satu kali dalam dua

tahun.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 22

2.4. Pengawasan Terhadap Produk Ber-SNI

Pengawasan, menurut Permendag No.20/M-DAG/ PER/5/2009 tentang

Ketentuan dan Tata Cara Pengawasan Barang dan/atau Jasa adalah serangkaian

kegiatan yang diawali pengamatan kasat mata, pengujian, penelitian dan survei

terhadap barang atau jasa, pencantuman label, klausula baku, cara menjual,

pengiklanan, serta pelayanan purna jual barang dan jasa beredar di pasar adalah

barang atau jasa yang ditawarkan, dipromosikan, diiklankan, diperdagangkan,

dipergunakan, atau dimanfaatkan konsumen di wilayah Indonesia baik produksi

dalam negeri maupun luar negeri.

Untuk mencegah terjadinya pelanggaran tersebut dibentuk Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang tugasnya selain menyelesaikan

sengketa, juga melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan, pengawasan terhadap

penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan peraturan

perundang-undangannya diselenggarakan pemerintah, masyarakat, dan lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Pengawasan pemerintah

dilaksanakan menteri dan/atau menteri teknis terkait. Pengawasan masyarakat dan

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang

dan/atau jasa yang beredar di pasar.

Tanggung jawab hukum yang dikenakan bagi pelaku usaha yang berkaitan

dengan pengenaan beberapa sanksi, yang meliputi sanksi perdata, pidana,

administrasi, ataupun sosial. Secara teoritis, sanksi pidana merupakan ultimum

remidium. Namun, bagi pelaku usaha yang membandel, bahkan melakukan

perlawanan, sebaiknya sanksi pidana lebih diprioritaskan.

Kewajiban pelaku usaha antara lain adalah memberikan informasi yang

benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta

memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, memberi

kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,

pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Namun,

ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana

berdasarkan pembuktian lebih lanjut.

Sanksi pidana dalam UUPK adalah penjara paling lama lima tahun atau

denda paling banyak dua miliar rupiah. Dapat pula dijatuhkan hukuman tambahan,

berupa perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 23

ganti rugi, perintah penghentian kegiatan yang menyebabkan timbulnya kerugian

konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabutan izin

usaha. Selain itu, ketentuan pasal 202, 203, 204, 205, 263, 364, 266, 382 bis, 383,

388 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur pemidanaan terhadap

perbuatan-perbuatan pelaku usaha terhadap konsumen.

Pada dasarnya pengawasan barang beredar bukan untuk mematikan usaha

pelaku usaha. Sebaliknya, pengawasan dapat mendorong iklim berusaha yang

sehat dan melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan

melalui penyediaan barang dan/jasa berkualitas. Upaya pengawasan penting

dioptimalkan karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha.

Pengawasan terhadap standar barang yang beredar di pasar maupun

terhadap barang yang belum dipasarkan (pra-pasar) diatur dalam Permendag 14

Tahun 2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan

SNI Wajib Terhadap Barang dan jasa yang Diperdagangkan. Dalam pasal 7

disebutkan bahwa pengawasan SNI wajib terhadap barang produksi dalam negeri

atau impor yang diperdagangkan di dalam negeri, dilakukan melalui pengawasan

pra pasar dan pengawasan di pasar. Pengawasan pra pasar dilakukan terhadap

barang yang telah diberlakukan SNI wajib dan telah dinotifikasi kepada Organisasi

Perdagangan Dunia. Pengawasan pra pasar dilakukan sebelum barang beredar di

pasar. Pengawasan di pasar dilakukan pada saat barang beredar di pasar.

Pengawasan pra pasar terhadap barang produksi dalam negeri yang

diperdagangkan dilakukan melalui NRP. Pengawasan pra pasar terhadap barang

impor dilakukan melalui SPB yang di dalamnya terdapat NPB. NRP dan SPB

diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q. Direktur

Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang. Pengawasan pra pasar dikecualikan

terhadap pangan olahan, obat, kosmetik, dan alat kesehatan.

Pengawasan mutu barang produksi dalam negeri yang akan diperdagangkan

yang telah diberlakukan SNI wajib, dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan

Luar Negeri c.q. Direktorat Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang melalui

NRP. Pengawasan mutu barang impor yang telah diberlakukan SNI wajib

dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri c.q. Direktorat

Pengawasan dan Pengendalian Mutu Barang melalui SPB sebagai dokumen impor

yang di dalamnya terdapat NPB.

Pelaksanaan pengawasan terhadap barang beredar di pasar yang telah

diberlakukan SNI wajib dilakukan oleh Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ)

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 24

dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK).

Pengawasan dilakukan terhadap kewajiban pelaku usaha antara lain dalam

pemenuhan kesesuaian standar terhadap barang dan/atau jasa. Ketentuan dan tata

cara pengawasan dilakukan berdasarkan peraturan Menteri yang mengatur tentang

ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar.

Pelaksanaan pengawasan terhadap barang beredar di pasar yang telah

diberlakukan SNI wajib dilakukan oleh Petugas Pengawas Barang dan Jasa (PPBJ)

dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Konsumen (PPNS-PK).

Pengawasan dilakukan terhadap kewajiban pelaku usaha antara lain dalam

pemenuhan kesesuaian standar terhadap barang dan/atau jasa. Ketentuan dan tata

cara pengawasan dilakukan berdasarkan peraturan Menteri yang mengatur tentang

ketentuan dan tata cara pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar.

Pejabat yang berwenang untuk memerintahkan penarikan barang dari

peredaran adalah Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri atas nama Menteri

Perdagangan. Penarikan barang dari peredaran oleh Pelaku Usaha dilakukan

dengan batasan waktu penarikan yang disesuaikan dengan kondisi dan geografis

masing-masing daerah. Sejak tanggal penerbitan surat perintah penarikan barang

dari peredaran, Pelaku Usaha dilarang untuk memperdagangkan barang. Kepala

Dinas yang mempunyai tugas dan tanggungjawab di bidang perdagangan

Propinsi/Kabupaten/Kota berkoordinasi dengan instansi teknis terkait melakukan

pemantauan terhadap pelaksanaan penarikan barang dari peredaran. Pelaku Usaha

yang tidak melaksanakan penarikan barang dari peredaran dikenakan sanksi

administratif berupa pencabutan ijin usaha dan/atau tanda pendaftaran yang

diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang di bidang perdagangan. Pelaku usaha

yang tidak melaksanakan re-ekspor atau pemusnahan barang dikenakan sanksi

administratif berupa pencabutan ijin usaha dan/atau tanda pendaftaran yang

diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang di bidang perdagangan. Pencabutan ijin

usaha dilakukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan ijin. Pelaku usaha yang

memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak memenuhi kesesuaian

standar dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Undang – Undang yang

berlaku.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 25

2.5 Perkembangan Impor Produk Elektronik

Seiring dengan adanya globalisasi ekonomi, serbuan produk impor yang

masuk ke Indonesia seakan semakin tak terbendung lagi. Tercatat selama periode

lima tahun terakhir saja (2008-2012), laju peningkatan impor akan produk elektronik

mencapai 26 persen atau sebesar US$ 3.853.260.127. Tingginya impor produk

elektronika ini didominasi oleh enam Negara, yaitu Republik Rakyat China (RRC),

Singapura, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Korea Selatan yang secara

keseluruhan menguasai sekitar 74 persen pangsa impor produk elektronika

Indonesia pada tahun 2012.

Bahkan, meskipun juga mengalami peningkatan di atas 20 persen, nilai

ekspor produk elektronik Indonesia masih lebih kecil dari nilai impornya. Pada tahun

2012 misalnya, nilai ekspor untuk produk elektronika Indonesia adalah sebesar US$

10.727.404.037 (722 HS) berada jauh di bawah nilai impornya yang sebesar US$

18.642.945.452 (730 HS), atau secara keseluruhan berarti nett ekspor produk

elektronika Indonesia adalah minus (-) US$ 7.915.541.415. Dengan demikian, rasio

antara nett ekspor produk elektronika Indonesia terhadap total nilai ekspornya pada

tahun 2012 adalah sebesar minus (-) 74 persen. Adapun Negara tujuan ekspor

utama produk elektronika Indonesia adalah Singapura, Amerika Serikat, Jepang,

dan Hongkong.

Sementara itu, terdapat beberapa kode Harmonized System (HS) yang

dicantumkan dalam konsep Peraturan Menteri Perindustrian Tentang Pemberlakuan

SNI Pendingin Ruangan, Lemari Pendingin, dan Mesin Cuci secara Wajib, antara

lain HS 8415100000, 8450120020, 8450119000, 8418101090, 8418300000,

8418101010, 8450120010, 8450111000, 8418210090, 8418400000, 8418210010,

8418290010, 8418290090, 8450190020, serta 8450190010. Selama tahun 2008

hingga tahun 2013, trend pertumbuhan nilai dan volume impor untuk pendingin

ruangan masing-masing sebesar 25,54% dan 20,42%. Untuk produk mesin cuci,

trend pertumbuhan nilai dan volume impor lima tahun terakhir masing-masing

sebesar 20,96% dan 14,81%. Sedangkan untuk produk lemari pendingin, trend

pertumbuhan nilai dan volume impor masing-masing sebesar 15,92% dan 12,46%.

Secara lebih detail, perkembangan impor produk Pendingin Udara, mesin cuci, dan

lemari pendingin dapat dilihat berdasarkan tabel 2.2 berikut ini.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 26

Tabel 2.2 Perkembangan Impor Produk Pendingin Udara, Mesin Cuci,

dan Lemari Pendingin

URAIAN

NILAI : US$

2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Mar

2013

Pendingin Udara

178.861.815

199.411.352

283.903.297

327.986.513

434.841.230

90.880.705

Mesin Cuci

91.126.571

69.222.073

88.763.924

135.658.993

168.532.447

40.226.041

Lemari Pendingin

44.653.156

38.678.403

54.009.565

64.808.251

72.205.419

16.260.816

URAIAN

VOLUME : KG

2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Mar

2013

Pendingin Udara

34.888.467

34.856.228

49.732.981

53.668.948

71.193.699

90.880.705

Mesin Cuci

26.093.595

19.368.705

23.098.443

31.551.775

40.777.485

9.289.960

Lemari Pendingin

10.967.232

9.235.639

12.618.177

14.244.073

15.882.387

3.465.609

Sumber : BPS 2013 (diolah)

2.6 Parameter Pengujian SNI Produk Elektronik

SNI yang diterapkan pada masing-masing produk elektronik berbeda-beda

satu sama lain, tergantung pada jenis produknya. Untuk produk Pengatur Udara

misalnya, SNI yang dipergunakan adalah SNI IEC 60335-2-40:2009, berbeda

dengan SNI IEC 60335-2-7:2009 yang dipergunakan pada produk mesin cuci serta

SNI IEC 60335-2- 24-2009 yang dipergunakan pada produk lemari pendingin.

Namun, meski standar yang diterapkan pada masing-masing produk elektronik

berbeda-beda, parameter yang diujikan tetaplah sama.

Dalam SNI produk elektronik, terdapat 25 klausul yang menjadi parameter

pengujian. Diantara ke-25 parameter tersebut, sebanyak 17 parameter harus diuji

dengan menggunakan alat ukur dan sebanyak 8 parameter sisanya tidak perlu diuji

menggunakan alat ukur. Parameter yang harus diuji menggunakan alat ukur antara

lain parameter perlindungan bagian bertegangan, pengukuran arus dan adaya input,

pemanasan/kenaikan temperatur, pengukuran arus bocor dan kekuatan dielektrik

pada operasi normal, pengujian transien beban lebih, pengujian ketahanan terhadap

suhu dan kelembaban, pengukuran arus bocor dan kekuatan dielektrik, pengukuran

beban lebih pada trafo dan sirkuit terkait, operasi abnormal, kestabilan dan bahaya

mekanis, kuat mekanis, hubungan supply dan kabel senur fleksibel, terminal,

ketentuan pembumian, sekrup dan sambungan, jarak rambat, jarak bebas, dan

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 27

jarak melalui insulasi, serta ketahanan terhadap panas dan api. Total alat ukur yang

dipergunakan untuk melakukan pengujian SNI produk elektronik ini adalah sejumlah

60 alat ukur. Sementara itu parameter yang tidak perlu diuji menggunakan alat uji

antara lain klasifikasi, penandaan/marking, daya tahan, konstruksi, pengawatan

internal, komponen, ketahanan terhadap karat, serta ketahanan terhadap bahaya

radiasi, racun, dan sejenisnya.

Berbagai parameter serta alat ukur yang dipergunakan dalam pengujian SNI

produk elektronik (Pengatur Udara, mesin cuci, dan lemari pendingin) ini diuraikan

lebih lengkap dalam tabel 2.3 berikut ini.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 28

Tabel 2.3 Parameter Pengujian dan Alat Ukur SNI Produk Elektronik No.

Parameter Pengujian Spesifikasi

Metode

Pengujian

Nama Standar/Alat Ukur Karakteristik

Yang

Dikendalikan

Batas

Keberterimaan

1. Klasifikasi Klausul 6 - - -

2. Penandaan/Marking Klausul 7 - - -

3. Perlindungan bagian

bertegangan

Klausul 8 Test Finger Set, Push Pull,

Gauge

- -

4. Pengukuran arus dan

daya input

Klausul 10 Digital Power Meter, Stavol

Regulator, Stabilizer

Arus (A), Daya

(W)

Limit standar

5. Pemanasan/Kenaikan

temperatur

Klausul 11 Digital Thermorecorder,

Thermocopel, Hi Looger

Suhu (oC) Limit standar

6. Pengukuran arus bocor

dan kekuatan dielektrik

pada operasi normal

Klausul 13 WI Tester, CE Multitester,

Leakage Current Tester

Arus Bocor (mA) Limit standar

7. Pengujian transien beban

lebih

Klausul 14 EFT Fast Transient, Surge

Test

-

8. Pengujian ketahanan

terhadap suhu dan

kelembaban

Klausul 15 Walk In Chamber, Temp &

Hum Chamber

Suhu (oC) Limit standar

9. Pengukuran arus bocor

dan kekuatan dielektrik

Klausul 16 WI Tester, CE Multitester,

Leakage Current Tester

Arus Bocor (mA) Limit standar

10. Pengukuran beban lebih

pada trafo dan sirkit terkait

Klausul 17 Digital Multimeter, Sort

Circuit Machine

- -

11. Daya tahan Klausul 18 - - -

12. Operasi abnormal Klausul 19 Digital Multimeter, Sort

Circuit Machine, Hi Looger

Suhu (oC) Limit standar

13. Kestabilan dan bahaya

mekanis

Klausul 20 Inclined Table - -

14. Kuat mekanis Klausul 21 Impact Spring Tester, Push

Pull, Torque Wrench

- -

15. Konstruksi Klausul 22 - - -

16. Pengkawatan internal Klausul 23 - - -

17. Komponen Klausul 24 - - -

18. Hubungan Suplai dan

kabel senur fleksibel

Klausul 25 Flexing Cable Tester, Plug

Flexing

- -

19. Terminal Klausul 26 Push Pull, Torque Wrench - -

20. Ketentuan pembumian Klausul 27 Earth Continuity Tester - -

21. Sekrup dan sambungan Klausul 28 Torque Wrench - -

22. Jarak rambat, jarak bebas,

dan jarak melalui insulasi

Klausul 29 Thickness Gauge, Pocket

Comparator

Jarak (mm) Limit standar

23. Ketahanan terhadap

panas dan api

Klausul 30 Bal Pressure Tester, Oven,

Glow Wire

Ball pressure

(mm)

Limit standar

24. Ketahanan terhadap karat Klausul 31 - - -

25. Ketahanan terhadap

bahaya radiasi, racun, dan

sejenisnya

Klausul 32 - - -

Sumber : PT Sucofindo (Persero) Unit Laboratorium Cibitung

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 29

Pengujian terhadap berbagai parameter SNI tersebut dilakukan oleh beberapa

orang tenaga penguji. Pada unit laboratorium PT Sucofindo yang berlokasi di

Cibitung misalnya, pengujian terhadap produk Pengatur Udara ini dilakukan oleh 9

orang tenaga penguji yang memiliki keahlian (kompetensi) di bidang listrik dan

mekanik. Untuk itu, tenaga penguji laboratorium tersebut harus memiliki kualifikasi

latar belakang pendidikan minimal STM atau D3 Teknik Elektro.

2.7 Kajian Terdahulu

Kajian mengenai kesiapan pemberlakuan SNI secara wajib telah dilakukan

oleh Eddy Herjanto dan Dwinna Rahmi pada tahun 2010. Berbeda dengan studi

yang saat ini tengah dilakukan, kajian yang dilakukan oleh Herjanto dan Rahmi ini

menitikberatkan pada pemberlakuan SNI wajib pada produk mainan anak-anak.

Permasalahan yang melatarbelakangi adanya kajian ini adalah karena tingginya

kecelakaan pada anak-anak yang disebabkan produk mainan yang mengandung

bahan berbahaya untuk kesehatan. Di samping itu, produsen juga banyak yang

tidak menyadari penggunaan bahan dasar dan bahan pembantu yang berpotensi

berbahaya bagi keselamatan anak. Selain itu, banyaknya produk impor yang

menguasai pasar domestik, berharga rendah, namun diragukan kualitasnya serta

tidak diketahuinya kesiapan infrastruktur standarisasi dalam pemberlakuan

penerapan standar produk mainan anak secara wajib juga melatarbelakangi kajian

yang dilakukan oleh Herjanto dan Rahmi tersebut.

Dampak bahaya mainan anak terhadap penggunanya dapat terjadi baik

karena bentuknya yang kecil, tajam, lancip, mudah terbakar, maupun akibat bahan

pewarna atau bahan kimia lain yang terkandung dalam mainan tersebut.

Sehubungan dengan bahaya tersebut, berbagai Negara telah melakukan tindakan

pencegahan dan bahkan menarik dari peredaran produk mainan yang diketahui

menimbulkan masalah, seperti produk mainan dari China yang memiliki kandungan

timbal dalam kadar yang sangat tinggi dalam cat mainan tersebut (detikfinance,

2009). Tingginya kandungan timbal tersebut berbahaya bagi anak-anak karena

dapat menyebabkan kelainan otak dan darah.

Saat ini, jumlah standar terkait mainan anak berjumlah 3 buah, yaitu ISO

8124-3:2009 mengenai spesifikasi sifat fisik dan mekanik, ISO 8124-2:2007 untuk

sifat mudah terbakar, serta ISO 8124-1:1997 untuk perpindahan unsur/elemen-

elemen tertentu. Selain itu, di tingkat internasional juga ada beberapa standar atau

regulasi teknis tentang mainan anak yang banyak digunakan dalam produksi dan

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 30

perdagangan, seperti US Consumer Product Safety Commission (US-CPSC), versi

14 Oct 2008; American Society for Testing and Material (ASTM) F963-08, A Standar

Consumer Safety Spesification on Toys; European Standard (EN) 71, Toy Safety

Standards; EU Safety of toys directive, 2009/48/EC; serta Canadian Hazardouz

Products (Toys) Regulations, CRC c931. Sementara itu, saat ini SNI khusus mainan

anak terdapat sebanyak 4 buah, yaitu SNI 12-6527.1-2001 (Spesifikasi sifat fisis

dan mekanis), SNI 12-6527.2-2001 (Spesifikasi sifat mudah terbakar), SNI 12-

6527.3-2001 (Spesifikasi perpindahan unsur/elemen-elemen tertentu), serta SNI 12-

6527.4-2001 (Spesifikasi peralatan percobaan kimia dan aktivitas terkait).

Metode yang dipergunakan oleh Herjanto dan Rahmi (2010) untuk

menganalisis kesiapan SNI adalah dengan membandingkan ketersediaan SNI

dengan mengacu pada standar internasional. Kesiapan produsen dianalisis dari

jawaban kuesioner yang disebarkan pada 75 perusahaan mainan anak, dilengkapi

dengan hasil uji terhadap 20 jenis produk mainan anak, dari berbagai tipe mainan

dan skala industry, terhadap persyaratan standar. Sementara itu, kesiapan LPK

ditinjau dari data KAN dan kuesioner yang disebarkan kepada 50 lembaga sertifikasi

dan laboratorium uji.

Hasil penelitian Herjanto dan Rahmi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia

siap menerapkan SNI mainan anak secara wajib, meskipun harus menunggu

selesainya revisi Standar Nasional Indonesia (SNI) yang saat ini berlaku. Revisi SNI

tersebut lebih sesuai dengan persyaratan internasional dan tersedia dalam Bahasa

Indonesia sehingga mudah dipahami dan diakses. Hasil uji produk menunjukkan

sebagian besar produsen memiliki kesiapan dalam menerapkan standar, meskipun

diperlukan pembinaan bagi kalangan industri kecil. Dari sisi LPK, terdapat 2

laboratorium uji yang mampu menguji semua elemen dalam standar serta beberapa

laboratorium uji lainnya mampu melakukannya secara parsial. Namun pada saat ini

belum ada lembaga sertifikasi produk untuk mainan anak yang terakreditasi.

Saran dari hasil penelitian tersebut, masih ada beberapa hal yang perlu

dilakukan dalam rangka pemberlakuan secara wajib SNI mainan anak, yaitu: (1)

perlu dilakukannya pembinaan yang lebih intensif dan berkelanjutan terhadap

industri skala kecil dan menengah untuk peningkatan kemampuan secara teknis

dalam memenuhi persyaratan mutu; (2) perlu dilakukannya sosialisasi yang luas

kepada para produsen mengingat produsen yang telah menerapkan sistem

manajemen mutu relative masih rendah; (3) perlu dipertimbangkannya bantuan

fasilitas peralatan uji bagi beberapa laboratorium; serta (4) perlu informasi ke

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 31

lembaga penilaian kesesuaian agar menyiapkan diri menjadi lembaga terakreditasi,

khususnya LSPro yang saat ini belum ada.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 32

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Kebijakan pemerintah dalam pengembangan SNI diharapkan dapat

memberikan keuntungan ekonomi dan manfaat sebesar mungkin pada pelaku

usaha maupun dalam melindungi keamanan, kesehatan, keselamatan serta

lingkungan hidup bagi masyarakat. Berdasarkan arah kebijakan dan strategi Badan

Standardisasi Nasional, pengembangan SNI diharapkan dapat menjadi solusi yang

mendorong pelaku usaha untuk menerapkan SNI pada produk mereka yang berarti

pemberlakuan SNI secara Wajib (Indepth interview dengan Badan Standardisasi

Nasional, 2013).

Saat ini, pengembangan SNI yang menjadi fokus pemerintah adalah

pemberlakuan SNI Wajib dimana Kementerian Perindustrian akan memberlakukan

SNI Wajib bagi sejumlah produk elektronik dari yang sebelumnya hanya bersifat

sukarela dengan tujuan peningkatan daya saing produk lokal, pembendungan

produk impor, sekaligus sebagai sarana optimalisasi perlindungan dan

pemberdayaan konsumen dalam kaidah K3L. Untuk mendukung langkah tersebut,

Kementerian Perdagangan semakin meningkatkan pengawasan barang beredar

dengan parameter penerapan SNI Wajib pada produk sebagai landasan

pengawasan.

Namun demikian, untuk mendukung langkah tersebut, diperlukan kesiapan

pelaku usaha dalam penerapan SNI Wajib tersebut sekaligus dukungan infrastruktur

SNI seperti lembaga sertifikasi dan laboraturium uji. Selain itu, informasi mengenai

kebutuhan konsumen atas pemberlakuan SNI Wajib terhadap produk juga

diperlukan sehingga pelaku usaha mendapat gambaran yang jelas tentang

pentingnya penerapan SNI Wajib dalam memenuhi kebutuhan konsumen.

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri (2012) melakukan analisis

penerapan SNI sukarela pada produk makanan dimana dalam penjelasannya

disebutkan bahwa beberapa perusahaan belum memahami pentingnya penerapan

SNI walaupun masih bersifat sukarela. Hasil analisis menunjukkan bahwa baru

perusahaan skala besar yang menerapkan SNI Sukarela. Hal ini dikarenakan

beberapa faktor penentu seperti pemahaman pelaku usaha akan materi SNI dan

lembaga penunjang seperti lembaga sertifikasi produk dan pengawas mutu sudah

dimiliki oleh perusahaan skala besar. Hasil analisis juga menjelaskan bahwa

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 33

perusahaan pada dasarnya menyadari pentingnya SNI dalam meningkatkan

corporate profile yang pada akhirnya akan berdampak pada baiknya image produk

dan perusahaan di mata konsumen. Berikut ini pada Gambar 3.1 menggambarkan

kerangka atau alur analisis ini.

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran

3.2 Metodologi

3.2.1 Metode Pengumpulan Data

Dalam analisis ini digunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder

diperoleh dari instansi terkait yaitu Badan Standardisasi Nasional (BSN), Pusat

Standardisasi Kementerian Perindustrian, Direktorat Standardisasi Kementerian

Kebijakan Standardisasi Pengembangan SNI :

Pemberlakuan SNI secara Wajib

Tuntutan Pasar (Konsumen)

Kemampuan Pelaku Usaha

Kesiapan Insfrastruktur

Kebijakan Pemerintah: Pemberlakuan SNI secara Wajib

Daya Saing dan Kebutuhan Konsumen

Pengawasan Barang Beredar

Untuk Perlindungan Konsumen

Analisis Deskriptif dan

Assessment model of Standard Readiness Survey

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 34

Perdagangan, BPS, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, studi pustaka, hasil

kajian terkait SNI dan lain sebagainya, sedangkan data primer diperoleh dari hasil

survei lapangan dengan responden pelaku usaha elektronik dan konsumen di tiga

daerah survey yaitu Bandung, Tangerang, dan Bekasi. Di samping itu, data primer

menyangkut kesiapan sarana pendukung (dalam penelitian ini akan melihat

kesiapan laboratorium uji) akan diukumpulkan dengan melakukan wawancara

dengan key person yang ada di dalam laboratorium uji. Metode pengumpulan data

secara purposive sampling melalui penyebaran kuesioner dan wawancara (indepth

interview) dengan menggunakan kuesioner.

3.2.2 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan melakukan inventarisasi SNI sukarela pada

produk elektronika, yaitu pegatur udara, mesin cuci, dan Lemari Pendingin untuk

selanjutnya ditentukan SNI yang akan menjadi lingkup analisis berdasarkan rencana

pemberlakuan SNI Wajib pada produk tersebutci. Kemudian, dilakukan identifikasi

kesiapan pelaku usaha produk tersebut terhadap pemberlakuan SNI Wajib,

pemahaman dan penilaian konsumen terhadap produk yang ber-SNI, serta

kesiapan sarana pendukung SNI seperti laboraturium penguji dan lembaga

sertifikasi produk dalam penerapan SNI Wajib.

3.2.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan mengambil sampel produsen yang memproduksi mesin

cuci, AC dan Lemari Pendingin serta lembaga pendukung infrastruktur SNI yang

berlokasi di Tangerang, Bekasi dan Bandung.

3.3 Metode Analisis

Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode deskriptif

kuantitatif dan kualitatif. Sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan metode

deskriptif análisis ini adalah karena dalam penelitian tersebut ingin memperoleh

gambaran langsung dari pelaku usaha mengenai kesiapan mereka dalam

penerapan SNI Sukarela menjadi Wajib.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 35

Tabel 3.1. Analisis Data

Tujuan Analisis Metode Analisis

Metode Pengumpul

an dan Jenis Data

Sumber Output

Mengidentifikasi pemahaman

dan penilaian konsumen

terhadap produk yang ber-

SNI

kuesioner, analisis

deskriptif kualitatif

dan kuantitatif

Survey

lapangan,

data primer

dan

sekunder

Primer:

konsumen

Pemahaman

konsumen

Mengidentifikasi kemampuan

industri dalam negeri dalam

memenuhi parameter-

parameter yang akan

diwajibkan dalam SNI

analisis deskriptif

kualitatif dan

kuantitatif:

assessment model of

Standard Readiness

Survey

Survey

lapangan

data primer

dan

sekunder

Primer: Pelaku

usaha

Sekunder: BSN,

Kemenperin,

Kemendag, BPS,

kemampuan

industri dalam

memenuhi

parameter yang

akan diwajibkan

dalam SNI

Mengidentifikasi kesiapan

Lembaga sertifikasi Produk

(LsPro) dan Laboratorium

pengujian dalam

pemberlakuan SNI secara

wajib.

analisis deskriptif

kualitatif dan

kuantitatif

Survey

lapangan,

data primer

dan

sekunder

Primer:

Infrastruktur SNI

Sekunder: BSN,

Kemenperin,

Kemendag, BPS

Kesiapan

infrastruktur SNI

dan Sumber

Daya Manusia

Merumuskan kebijakan

pengembangan SNI dalam

rangka pengawasan barang

beredar

Sintesa 1 dan 2 Primer dan

sekunder

PasarIndustri

Lembaga

Pendukung

Rumusan

kebijakan dalam

Pemberlakuan

SNI secara wajib

Di samping itu, analisis deskriptif juga akan digunakan untuk mengetahui

kesiapan sarana pendukung, khususnya lembaga laboratorium uji serta penilaian

konsumen terhadap produk yang ber-SNI yang beredar di pasaran sebagai acuan

kebutuhan standard. Analisis kuantitatif akan digunakan secara khusus untuk

melihat kesiapan pelaku usaha dalam menerapkan SNI wajib dengan menggunakan

model penilaian kesiapan (assessment model of Standard Readiness Survey -

SRS). Model ini merupakan aplikasi model e-Learning Readiness Survey (e-LRS)

yang dikembangkan oleh Aydin dan Tasci (2005) yang dipakai untuk melihat

kesiapan pelaku usaha dalam menerapkan e-learning dengan menggunakan skala

likert. Secara umum, penilaian dilakukan secara kuantitatif dengan menghitung nilai

tengah (mean) atau nilai rata-rata faktor kesiapan yang diperoleh berdasarkan

penilaian persepsi individu yang memiliki kewenangan dalam pengambilan

keputusan di organisasi atau institusinya.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 36

Tabel 3.2 Faktor dan Item Penyusun (Construct) dalam Penilaian Kesiapan Penerapan SNI (Perusahaan dan Laboratorium Uji)

Resources Skill Attitude

Technology Ketersedian sarana dan prasarana standar

Penguasaan standard dan penerapannya

Sikap terhadap penggunaan sarana dan prasarana

Kelengkapan Sarana Pengujian

Keberadaan dan kelengkapan sarana lab uji :

- Akreditasi

Kemampuan lab uji Jangka waktu pengujian

Sikap terhadap lab uji

Human Resources

- Tenaga penguji dalam perusahaan

- Pihak luar (pendukung)

Kemampuan untuk melakukan pengujian

Sikap terhadap pengujian barang

Self-Development Anggaran (untuk penerapan SNI) Management

Kemampuan alokasi anggaran Kemampuan management

Sikap terhadap pengalokasian anggaran Sikap manajemen terhadap SNI wajib

Pengawasan

SDM

Kemampuan lembaga pengawas

Sikap terhadap pengawasan barang

Tabel 3.3 Faktor dan Item Penyusun (Construct) Konsumen dalam menilai Produk yang ber-SNI

Resources Attitude

Pengetahuan tentang standar

Informasi public tentang SNI, sosialisasi produk ber-SNI

Sikap terhadap produk yang ber-SNI

Self-Development Daya beli (untuk belanja produk ber-SNI dan kompetitornya)

Sikap terhadap pengalokasian anggaran

Dalam menilai kesiapan penerapan SNI wajib, maka digunakan angka

dengan skala Likert antara 1 dan 5. Di mana angka 1 (sangat tidak siap) dan 5

(sangat siap). Sebagai angka rata-rata kesiapan, maka nilai tingkat kesiapan adalah

3.4. Angka 3.4 ini adalah angka minimal yang diperlukan untuk mengatakan bahwa

perusahaan, laboratorium uji, termasuk konsumen siap dengan adanya penerapan

SNI.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 37

Gambar 3.2 Assessment Model of Standard Readiness Survey - SRS

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. 1 Pemahaman Konsumen Terhadap Standard dan SNI

Standar (SNI) merupakan jaminan bagi konsumen mengenai mutu dan

kualitas barang yang tersedia di pasar. Dengan adanya SNI, konsumen dapat

melakukan evaluasi terhadap barang yang akan dibeli sehingga dapat melindungi

dirinya dari bahaya yang mengancam keamanan, keselamatan, serta kesehatan.

Saat ini, pemahaman dan pengetahuan konsumen, khususnya untuk produk

mesin cuci, Pengatur Udara, dan lemari pendingin, mengenai standar produk dan

juga SNI cukup baik yang ditunjukkan oleh skor Likert sebesar 3,4. Seiring dengan

itu, konsumen juga berpendapat bahwa standar produk itu penting yang ditunjukkan

dengan skor sebesar 3,7. Penilaian terhadap kriteria selanjutnya menunjukkan

bahwa konsumen cukup memperhatikan keberadaan label pada produk yang sudah

mendapatkan SNI yang didukung dengan hasil perhitungan skor Likert dengan skor

3,7. Kemudian, ada atau tidaknya label SNI pada suatu produk dirasakan cukup

penting bagi konsumen untuk memberikan persepsi mutu atau kualitas tertentu

yang diindikasikan oleh skor 3,7 untuk kriteria nomor 4.

Lebih lanjut, konsumen menganggap bahwa ada tidaknya label SNI pada

produk akan mempengaruhi keputusan mereka dalam membeli. Dengan demikian,

label SNI dapat merepresentasikan standar kualitas yang baik dari suatu produk.

Hal ini dibuktikan dengan skor Likert sebesar 3,7 pada kriteria nomor 5. Hasil ini

dapat berbeda dengan persepsi produsen dimana pada umumnya produsen

memiliki persepsi bahwa SNI belum menjadi preferensi konsumen dan

mempengaruhi keputusan konsumen untuk melakukan pembelian. Hasil

perhitungan skor Likert pada kriteria terakhir yang sebesar 3,7 mengindikasikan

bahwa konsumen setuju harga dapat menunjukkan kualitas atau standar mutu

produk. Jika suatu produk bermutu baik yang ditandai dengan SNI, maka harganya

relatif lebih mahal daripada produk sejenis yang belum atau tidak ber-SNI. Dengan

demikian, standar mutu atau kualitas merupakan salah satu faktor penting dalam

mempengaruhi keputusan konsumen untuk memilih dan membeli suatu produk.

Tidak hanya melalui brand image yang diciptakan oleh produsen, konsumen juga

dapat memperoleh persepsi tertentu tentang standar mutu atau kualitas melalui

label SNI yang terdapat pada produk.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 39

Tabel 4.1 Pemahaman dan pengetahuan konsumen tentang SNI

No Kriteria Skor Likert

1 Pengetahuan konsumen tentang standar dan SNI (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)

3,4

2 Persepsi konsumen tentang pentingnya standar (1=sangat tidak penting; 5=sangat penting)

3,7

3 Perhatian konsumen terhadap label pada produk yang sudah mendapat SNI (1=sangat tidak memperhatikan; 5=sangat memperhatikan)

3,7

4 Persepsi konsumen tentang pentingnya pencantuman label standar pada produk (1=sangat tidak penting; 5=sangat penting)

3,7

5 Pendapat konsumen apakah produk yang ber-SNI akan lebih dipilih dibanding yang tidak (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)

3,7

6 Pendapat konsumen apakah produk yang mendapat SNI harganya lebih mahal dibanding produk sejenis yang belum/tidak mendapat SNI (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)

3,7

Sumber : Data Primer (2013), diolah 4.1.1 Penilaian Tentang Penerapan SNI Wajib Untuk Produk Mesin Cuci,

Pengatur Udara, dan Lemari Pendingin

Pada bagian ini, dilakukan penilaian bagaimana persepsi konsumen jika SNI

untuk produk mesin cuci, Pengatur Udara, dan lemari pendingin diberlakukan

secara wajib. Hasilnya menunjukkan bahwa konsumen setuju jika SNI ketiga

produk tersebut menjadi SNI wajib dengan skor masing-masing 3,7, 3,7, dan 3,6.

Dengan kata lain, konsumen merasa siap dengan pemberlakuan SNI secara wajib

karena konsumen merasa perlu ada jaminan mengenai mutu atau kualitas untuk

barang-barang elektronik tersebut.

Tabel 4.2 Penilaian Konsumen Mengenai Penerapan SNI Secara Wajib

Kriteria Skor Likert

Pendapat konsumen apakah produk Mesin Cuci perlu diberlakukan SNI wajib

(1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju) 3,7

Pendapat konsumen apakah produk Pengatur Udara (AC) perlu diberlakukan SNI wajib (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)

3,7

Pendapat konsumen apakah produk Lemari Pendingin (Lemari Pendingin) perlu diberlakukan SNI wajib (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)

3,6

Sumber : Data Primer (2013), diolah

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 40

4.1.2 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Mesin Cuci Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar

Pada dasarnya, konsumen menilai bahwa masing-masing kriteria utama

yaitu K3L, kualitas bahan, penggunaaan daya listrik dan model harus dimasukkan

dalam penetapan SNI secara wajib dan menganggap semua kriteria sama

pentingnya. Hal tersebut terbukti dari nilai skor yang sama untuk tiap kriteria pada

produk mesin cuci yaitu sebesar 3,7 (Tabel 3). Kriteria K3L mencakup hal-hal yang

dapat melindungi konsumen dari bahaya, sedangkan kualitas bahan

merepresentasikan durabilitas pemakaian suatu produk. Sebagai alat rumah tangga

dengan frekuensi pemakaian yang cukup tinggi, dua kriteria tadi dirasa penting.

Penggunaan daya listrik merupakan salah satu kriteria dalam mendukung kriteria

K3L dan menjadi unsur daya saing suatu produk dalam hal keekonomisan biaya

pakai.

Terakhir, konsumen setuju model produk dimasukkan dalam kriteria yang

perlu diwajibkan dalam standar karena model yang baik atau sesuai standar dapat

memberikan kemudahan bagi konsumen dalam hal pemakaian (ergonomis).

Dengan demikian, berdasarkan assessment model of standard readiness survey,

maka dapat disimpulkan bahwa nilai 3,7 tersebut berarti konsumen menganggap

keempat kriteria tersebut sama penting dan perlu untuk diwajibkan dalam standar.

Tabel 4.3 Kriteria Utama Pada Mesin Cuci Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen

Kriteria utama pada produk mesin cuci yang perlu diwajibkan dalam standar? (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)

Skor Likert

Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan (K3L) 3,7

Kualitas bahan 3,7

Penggunaan daya listrik 3,7

Model 3,7

Sumber : Data Primer (2013), diolah

4.1.3 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Pengatur Udara Yang

Perlu Diwajibkan Dalam Standar

Pada penilaian selanjutnya untuk produk Pengatur Udara, konsumen setuju

bahwa semua kriteria harus diwajibkan dalam penetapan standar dan menganggap

kriteria yang pertama yaitu keamanan, keselamatan, kesehatan, dan lingkungan

paling penting sehingga mendapatkan skor paling tinggi yaitu 3,8 (Tabel 4). Hal ini

karena penggunaan Pengatur Udara diasosiasikan dengan penggunaan zat freon

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 41

yang dapat merusak lapisan ozon di udara, sehingga dipandang perlu

menstandarisasikan kriteria tersebut dalam rangka pelestarian lingkungan.

Konsumen juga setuju penggunaan daya listrik untuk produk Pengatur Udara harus

distandarkan dengan skor 3,7, dan urutan selanjutnya adalah kualitas bahan dan

model produk dengan skor masing-masing 3,6 dan 3,5.

Tabel 4.4 Kriteria Utama Pada Pengatur Udara Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen

Kriteria utama pada produk Pengatur Udara yang perlu diwajibkan dalam standar (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)

Skor Likert

Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan 3.8

Kualitas bahan 3.6

Penggunaan daya listrik 3.7

Model 3.5

Sumber : Data Primer (2013), diolah

4.1.4 Penilaian Konsumen Tentang Kriteria Utama Pada Lemari Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar

Selanjutnya untuk produk lemari pendingin atau Lemari Pendingin, kriteria

K3L dan kualitas bahan memiliki skor yang sama yaitu sebesar 3,7 (Tabel 5). Hal

ini berarti dua kriteria tersebut dianggap lebih perlu diwajibkan dalam standar

menurut konsumen dibandingkan dengan penggunaan daya listrik yang skornya

sebesar 3,6. Kemudian, serupa dengan hasil penilaian unutk produk Pengatur

Udara, kriteria model untuk lemari pendingin menempati urutan terakhir dalam hal

kepentingannya untuk diwajibkan dalam standar. Berdasarkan assessment model of

standard readiness survey, maka dapat disimpulkan bahwa secara umum

konsumen menganggap keempat kriteria tersebut penting dan perlu dimasukkan

dalam standar, namun demikian perbedaan skor antara satu kriteria dengan kriteria

lainnya menunjukkan adanya perbedaan dalam persepsi mana kriteria yang lebih

perlu dan penting dibandingkan dengan yang lainnya.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 42

Tabel 4.5 Kriteria Utama Pada Lemari Pendingin Yang Perlu Diwajibkan Dalam Standar Menurut Konsumen

Kriteria utama pada produk Lemari Pendingin yang perlu diwajibkan dalam standar (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)

Skor Likert

Keamanan, Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan 3.7

Kualitas bahan 3.7

Penggunaan daya listrik 3.6

Model 3.5

Sumber : Data Primer (2013), diolah

4.2 Kesiapan Pelaku Usaha Terhadap Pemberlakuan SNI

Industri elektronik untuk produk Pendingin Udara, Lemari Pendingin, dan

mesin cuci didominasi oleh perusahaan besar dengan kapasitas produksi yang

sudah memenuhi skala ekonomi dan memiliki daya saing yang baik. Hal ini

dikarenakan setiap perusahaan telah menerapkan standar perusahaan (private

standard) pada proses produksi dan inovasi produk. Dalam pengembangan

produksinya di Indonesia, perusahaan elektronik yang memproduksi Pendingin

Udara, Lemari Pendingin, dan mesin cuci merupakan perusahaan asing yang

berinvestasi di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan penerapan SNI Wajib bagi produk mesin cuci,

Pendingin Udara, dan Lemari Pendingin, pelaku usaha juga mempertimbangkan

beberapa hal seperti kebutuhan pasar, ketersediaan sarana dan prasarana yang

berhubungan langsung dengan kegiatan industri, serta kesiapan sumberdaya

manusia yang bertanggung jawab terhadap pengawasan mutu produk dan

kesesuaian terhadap peraturan standard di Indonesia.

4.2.1 Pandangan Produsen Terhadap Konsumen Tentang Standard Kebutuhan pasar merupakan aspek yang penting bagi perusahaan dalam

menentukan strategi untuk pengembangan produk. Sebagai perusahaan besar,

produsen elektronik khususnya bagi produk mesin cuci, Pendingin Udara, dan

Lemari Pendingin, sangat memperhatikan aspek kualitas produk yang meliputi

keamanan dan keselamatan (safety needs) dan keunggulan produknya

(performance needs) bagi konsumen. Hal ini sesuai dengan nilai persepsi

responden produsen terhadap pentingnya standard bagi produk mereka dimana

nilai skala likert menunjukkan nilai 4,8. Artinya, responden produsen memandang

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 43

bahwa standard merupakan hal yang penting bagi produk mereka. Selama ini,

standard yang diacu oleh responden produsen disesuaikan dengan pabrikan negara

asal seperti standard yang diberlakukan oleh Thai Industrial Standard Institute (TISI)

dalam ISO/TC di Thailand, standard acuan yang disesuaikan dengan Semco di Uni

Eropa, dan China Compulsory Certificate (CCC mark) untuk produk yang berasal

dari Cina. Selain standard negara acuan, responden produsen juga menerapkan

standard produk yang dikembangkan dalam skala korporasi yang pada umumnya

bersifat private.

Dalam kaitannya dengan pemahaman konsumen terhadap standard dan

SNI, responden produsen mempersepsikan bahwa selama ini konsumen lebih

memperhatikan merk produk yang mereka beli (brand image perception) yang

umumnya diasosiasikan dengan kualitas. Responden produsen tidak terlalu yakin

bahwa konsumen sudah memperhatikan keberadaan standard yang biasanya

dikomunikasikan melalui label standard, baik ISO maupun SNI, pada produk. Hal ini

ditunjukkan dengan nilai skala likert sebesar 2,9 dalam hal pentingnya label

standard pada produk dan perhatian konsumen terhadap label standard yang

sebesar 3,1. Hal ini dapat diartikan bahwa persepsi responden produsen tentang

perhatian konsumen dan pentingnya label standard pada produk menurut

konsumen masih rendah.

Sementara itu dalam kaitannya dengan SNI, responden produsen juga

berpersepsi bahwa produk yang sudah ber-SNI belum menjadi preferensi konsumen

dinama nilai likert hanya sebesar 3,1. Pertimbangan responden produsen sejalan

dengan pemahaman bahwa penerapan standard akan berdampak pada biaya yang

pada akhirnya akan mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli suatu

produk. Terkait dengan penerapan SNI Wajib, responden produsen memiliki

persepsi bahwa akan ada biaya tambahan yang pada akhirnya juga akan

dibebankan kepada konsumen, dimana nilai skala likert sebesar 4,4.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 44

Tabel 4.6 Persepsi Responden Produsen

Tentang Pemahaman Konsumen Terhadap Standar

Kriteria Skor Likert

Pengetahuan Produsen tentang standar dan SNI? (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)

4,3

Pendapat Produsen tentang pentingnya standar (1=sangat tidak penting; 5=sangat penting)

4,8

Pendapat produsen tentang perhatian konsumen terhadap label pada produk yang sudah mendapat SNI (1=sangat tidak memperhatikan; 5=sangat memperhatikan)

3,1

Pendapat produsen apakah konsumen sangat mementingkan pencantuman label standar pada produk (1=sangat tidak penting; 5=sangat penting)

2,9

Pendapat produsen apakah konsumen lebih memilih produk yang sudah mendapat SNI dibanding yang tidak (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)

2,9

Pendapat produsen tentang produk yang mendapat SNI harganya lebih mahal dibanding produk sejenis yang belum/tidak mendapat SNI? (1=sangat tidak setuju; 5=sangat setuju)

4,4

Sumber : Data Primer (2013), diolah

4.2.2 Kesiapan Produsen Terhadap Pemberlakuan SNI Wajib

Pada dasarnya responden produsen sudah menerapkan standard

perusahaan dalam sistem produksi dan inovasinya dimana secara normatif,

responden juga memiliki persepsi bahwa standard yang digunakan dalam

pengembangan produknya memiliki pengakuan di pasar internasional. Sementara

itu, SNI dipersepsikan sebagai standard minimal yang harus dipenuhi produsen

yang pada umumnya merupakan hasil adopsi dari standard internasional. Dengan

demikian, responden produsen mengasosiasikan kepatuhan terhadap standard

internasional akan mudah diterapkan pada SNI. Beberapa standard internasional

yang diacu bahkan bersifat spesifik berdasarkan komponen yang digunakan.

Sebagai contoh, untuk beberapa komponen yang digunakan dalam produk

Pendingin Udara, Lemari Pendingin, dan mesin cuci sudah memenuhi standard UL,

CB, CE marking, dan SAA yang merupakan standard yang diadopsi dari negara-

negara pasar elektronik seperti Uni Eropa, Asia (Jepang, Korea, dan Cina), dan

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 45

Australia. Sementara untuk standard tambahan yang berkaitan dengan performance

seperti ramah lingkungan dan hemat energi, beberapa perusahaan telah

mengadopsi standard internasional seperti Semco di Uni Eropa, CCC Marking di

Cina, dan CQC di Inggris.

Dengan pertimbangan tersebut, respnden produsen menilai bahwa kesiapan

pemberlakuan SNI Wajib untuk produk mesin cuci, Pendingin Udara, dan Lemari

Pendingin sudah dapat dipenuhi dengan peningkatan kemampuan sumber daya

manusia dan penyesuaian sistem kepatuhan (conformity system) dengan pabrik di

negara produsen. Hal ini sesuai dengan hasil nilai likert di mana responden

produsen menilai kesiapan dalam menghadapi pemberlakuan SNI Wajib sudah

optimal.

Tabel 4.7 Nilai Kesiapan Responden Produsen Terhadap Penerapan SNI Wajib Mesin Cuci, Pendingin Udara, dan Lemari Pendingin

Kriteria Kesiapan Skor Likert

Penerapan Teknologi

Ketersedian sarana dan prasarana standar 4,3

Penguasaan standar dan penerapannya 4,4

Sumber Daya Manusia

Tenaga penguji dalam perusahaan 4,4

Pihak luar pendukung 4,5

Kemampuan untuk melakukan pengujian 4,1

Self-Development

Anggaran untuk menerapkan SNI 4,4

Manajemen dalam penerapan SNI 4,4

Pengawasan

SDM di bidang pengawasan 4,4

Kemampuan lembaga pengawas 4,4

Sumber : Data Primer (2013), diolah

Dalam Tabel 4.7 telihat bahwa beberapa aspek yang dianalisa seperti:

Penerapan Teknologi, Sumber Daya Manusia, Self-Development, dan Pengawasan

memperoleh nilai likert yang cukup tinggi. Berdasarkan Assessment Model of

Standard Readiness Survey, jika nilai likert lebih tinggi dari 4,2 maka dapat

disimpulkan bahwa responden produsen sudah mengoptimalkan kesiapan

pemberlakuan SNI Wajib. Beberapa langkah untuk optimasi kesiapan antara lain

melalui investasi peralatan yang mendukung produksi dan inovasi, penentuan

supplier komponen yang dapat mendukung penerapan SNI, peningkatan

kemampuan sumber daya manusia, serta optimasi anggaran terkait pengembangan

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 46

mutu produk. Namun, dari sisi kemampuan untuk melakukan pengujian masih

memiliki nilai likert 4,1 yang berarti belum sepenuhnya siap dan masih diperlukan

beberapa perbaikan. Ketidaksiapan ini bukan merupakan kelemahan internal

responden produsen mengingat dalam penerapan SNI Wajib, pemerintah akan

menunjuk laboraturium uji yang dapat digunakan dalam pengujian SNI. Dengan

demikian, pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia yang khusus menangani

SNI tidak sepenuhnya dilakukan oleh produsen. Oleh karena itu, responden

produsen akan mengoptimasi kesiapan sarana dan prasara serta penguasaan

standar dan penerapannya. Terkait dengan dukungan pihak luar pendukung,

responden produsen memiliki persepsi kesiapan yang tinggi dengan nilai likert

sebesar 4,5 karena kemitraan dengan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) dan

supplier yang selama ini telah terjalin, walaupun masih terdapat beberapa hal yang

harus diperbaiki.

Dalam kaitannya dengan pengetahuan terhadap SNI Wajib mesin cuci,

Lemari Pendingin, dan Pendingin Udara yang masing-masing berupa SNI IEC

60335-2-7-2009 peralatan listrik serupa Keselamatan - Bagian 2-7: Persyaratan

khusus untuk Mesin Cuci, SNI IEC 60335-2- 24-2009 Peranti listrik rumah tangga

dan sejenisnya - Keselamatan - Bagian 2-24: Persyaratan khusus untuk peranti

pendingin, peranti es krim dan pembuat es, serta SNI IEC 60335-2- 40-2009

peralatan listrik rumah tangga dan peralatan serupa - keselamatan - Bagian 2-40:

Persyaratan Khusus untuk pompa kalor listrik, pengkondensi udara dan pengering

udara, belum seluruh responden perusahaan mengetahui kepastian penerapannya,

walaupun sudah pernah memperoleh informasi tentang parameter yang harus

dipenuhi. Hal ini sejalan dengan nilai likert pengetahuan responden produsen

tentang penerapan SNI Wajib tersebut yang bernilai 3,5 yang dapat diartikan bahwa

responden produsen tidak memperoleh kepastian informasi mengenai penerapan

SNI Wajib tersebut. Berdasarkan hasil survey, sebagian besar responden produsen

sudah tidak mendapatkan informasi mengenai penerapan SNI Wajib setelah tahun

2010.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 47

Tabel 4.8 Pengetahuan Tentang Penerapan SNI Wajib

Kriteria Skor Likert

Pengetahuan Produsen tentang penerapan SNI IEC 60335-2-7:2009 (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)

3,5

Pendapat Produsen tentang penerapan SNI IEC 60335-2-40: 2009 (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)

3,5

Pendapat Produsen tentang penerapan SNI IEC 60335-2-24: 2009 (1=sangat tidak tahu; 5=sangat tahu)

3,5

Sumber : Data Primer (2013), diolah

4.2.3 Pandangan Produsen Terhadap Pihak Pendukung Dalam Pemberlakuan SNI Wajib

Dalam penerapan SNI Wajib, produsen tidak hanya mengandalkan kesiapan

internalnya namun juga bergantung pada peran pihak pendukung mengingat dalam

peraturannya diperlukan pihak ketiga (third party) yang bersifat independen.

Beberapa pihak pendukung bagi produsen yang terlibat dalam penerapan SNI Wajib

antara lain Kementerian Teknis sebagai regulator, Badan Akreditasi yang

mengawasi Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro), Laboraturium Uji maupun

Kalibrasi, dan Distributor.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 48

Gambar 4.1 Skema Umum Sertifikasi Produk

Seperti pada Gambar 4.1, standard termasuk SNI Wajib, akan melekat pada

pabrik atau produsen sehingga pihak yang paling berhak dan bertanggung jawab

terhadap kepatuhan standard adalah produsen atau Importir Produsen (IP). Namun

dalam penerapannya, produsen berhubungan dengan pemerintah sebagai pembuat

kebijakan standard di mana akan ditentukan Lembaga Penilai Kesesuaian (LPK)

dan Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro) yang akan diatur dalam Peraturan Menteri.

Dengan demikian, produsen akan memerlukan dukungan LSPro dan LPK atau

laboraturium uji agar pelaksanaan penerapan SNI Wajib dapat berjalan sesuai

dengan ketentuan. Selain itu, kemitraan dengan distributor dan mitra kerja juga

menjadi perhatian produsen dalam penerapan SNI Wajib.

4.2.3.1 Pandangan Produsen Terhadap Kementerian Teknis

Pada prinsipnya, responden produsen sangat mendukung penerapan SNI

Wajib yang diinisiasi oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) selaku

LAB UJI

TESTING

LAB

KALIBRASI

KALIBRASI

KALIBRASI

DISTRIBUTOR

PRODUK

AKREDITASI

BADAN AKREDITASI

Pabrik

SERTIFIKASI

STANDAR

INSTANSI

TEKNIS

OPERASI

INFORMASI Konsumen

PRODUK

Sumber : Data Primer (2013), diolah

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 49

kementerian teknis. Hal ini dikarenakan semangat penerapan SNI Wajib sudah

sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 Tentang Standar

Nasional Indonesia yaitu dalam rangka peningkatan daya saing dan perlindungan

konsumen. Tahapan pemberlakuan SNI Wajib dinilai sudah memenuhi aspek

transparansi dan national differences dimana aspek kejelasan informasi mengenai

tujuan pemberlakuan standard dan kemampuan produsen sudah dipertimbangkan.

Selain itu, parameter SNI Wajib yang akan diberlakukan untuk produk mesin cuci,

Pendingin Udara, dan Lemari Pendingin sudah mempertimbangkan kondisi pasar

dalam negeri sehingga pemenuhannya tidak akan memberatkan produsen.

Namun demikian, responden produsen mengharapkan agar waktu

pelaksanaan penerapan SNI Wajib dapat diperjelas, mengingat produsen perlu

melakukan penyesuaian dalam proses bisnisnya agar penerapan SNI dapat

berjalan dengan baik. Selain itu, kejelasan tentang periode penyesuaian selama

masa “uji coba” juga diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam

pengawasan.

4.2.3.2 Pandangan Produsen Terhadap LSPro dan Laboratorium Uji

Kemitraan antara reponden produsen dengan LSPro dan Laboratorium Uji

sudah berlangsung sejak diterapkannya SNI Wajib bagi beberapa produk elektronik

seperti TV Tabung, seterika, lampu swaballast, dan pompa air. Hal ini dikarenakan

beberapa responden produsen mesin cuci, Pendingin Udara, dan Lemari Pendingin

juga merupakan produsen elektronik yang produknya sudah diberlakukan SNI

Wajib. Secara deskriptif, terdapat beberapa hal yang dianggap sebagai

permasalahan yang harus diatasi dalam menjalin kemitraan dengan LSPro dan

Laboratorium Uji seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.2.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 50

Gambar 4.2 Permasalahan Dalam Kemitraan Dengan LSPro dan Laboratorium

Uji

Dalam Gambar 4.2 terlihat bahwa hal yang menjadi permasalahan bagi

responden produsen dalam menjalankan kemitraan dengan LSPro dan

Laboratorium Uji adalah biaya, waktu sertifikasi, dan waktu uji. Sebanyak 75%

responden produsen menyebutkan biaya menjadi kendala dalam proses Sertifikai

Produk Pengguna Tanda SNI (SPPT-SNI) karena memiliki dampak terhadap

pelayanan proses SPPT-SNI. Sebagai contoh, bagi responden produsen yang

menggunakan jasa LSPro dan laboratorium uji milik pemerintah membayar biaya

yang relatif lebih murah dibandingkan dengan jasa LSPro dan laboratorium non

pemerintah. Namun, pada umumnya hal tersebut akan berdampak pada lamanya

waktu uji dan pelayanan purna jual yang diperoleh responden produsen. Dengan

demikian, prinsip “price equals quality” berlaku bagi responden produsen dalam

memilih jasa LSPro dan Laboratorium Uji. Bagi produsen, penambahan biaya dalam

pengurusan SNI akan berdampak pada harga jual produk.

Kemudian, Waktu Sertifikasi dan Waktu Uji juga dianggap sebagai

permasalahan karena beberapa LSPro dan Laboratorium Uji memerlukan waktu

yang melebihi dari ketentuan yang seharusnya. Sebagai contoh, dalam kondisi

normal disebutkan bahwa waktu uji yang diperlukan bagi produk tertentu adalah 21

hari kerja, namun dalam beberapa kasus diperlukan waktu hingga 2 (dua) bulan

hanya untuk pengujian. Dampaknya, waktu yang diperlukan dalam proses sertifikasi

Sumber : Data Primer (2013), diolah

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 51

akan bertambah menjadi hingga 3 (tiga) bulan. Hal ini ditunjukkan dalam Gambar

4.2 dimana 62,5% responden produsen mengeluhkan waktu uji dan sertifikasi.

Sementara untuk lokasi, responden produsen tidak mengeluhkan keberadaan

LSPro dan Laboratorium Uji yang tidak berada dalam satu lokasi atau kawasan

industri. Hal tersebut dikarenakan proses pengambilan sampel dan hasil uji tidak

terlalu sulit.

4.2.3.2 Pandangan Produsen Terhadap Distributor dan Supplier

Distributor dan supplier merupakan bagian yang tidak kalah penting dalam

penerapan SNI Wajib. Hal ini dikarenakan dalam proses pengembangan produk,

produsen akan melibatkan supplier dalam pengadaan komponen (parts) pendukung

serta distributor untuk menjual produknya ke konsumen. Secara teknis, penerapan

standard oleh produsen pada proses produksi sudah dimulai sejak penentuan

penggunaan komponen pendukung. Sebagai ilustrasi, untuk memproduksi mesin

cuci, diperlukan beberapa komponen elektronika dasar yang umumnya diperoleh

dari supplier, baik lokal maupun impor. Dengan demikian, produsen harus

memastikan bahwa komponen yang diperoleh dari supplier sudah memenuhi

standard yang ditetapkan. Dengan demikian, responden produsen juga akan

memastikan bahwa supplier dapat memenuhi ketentuan dalam SNI Wajib.

Sementara untuk distributor, dukungan kesiapan dalam penerapan SNI

Wajib lebih difokuskan pada peredaran produk di pasar. Mengacu pada konsep

(draft) Peraturan Menteri Perindustrian Tentang Pemberlakuan SNI Pendingin

Ruangan, Lemari Pendingin, dan Mesin Cuci Secara Wajib, dalam Pasal 4 dan 5

dijelaskan bahwa penandaan tanda SNI pada produk yang juga dicantumkan

tanggal, bulan, dan tahun produksi menjadi aspek penting bagi pengawasan. Dalam

peraturan juga disebutkan bahwa SNI Wajib akan berlaku mulai 9 (sembilan) bulan

sejak tanggal diundangkan yang berarti pihak distributor juga harus memperhatikan

stok dan aliran barang. Dengan demikian, produk yang dijual sudah sesuai dengan

ketentuan dan memudahkan pelaksanaan pengawasan.

4.3 Kesiapan LsPro dan Laboratorium Pengujian

Pada dasarnya, SNI tidak wajib dan bersifat sukarela, namun bila regulator

mengadopsi ke dalam spesifikasi teknis regulasi, maka SNI menjadi wajib dan

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 52

mengikat bagi industri yang ingin mencantumkan tanda SNI pada produknya. Untuk

bisa memperoleh SNI, perusahaan harus lulus uji pemeriksaan pemilihan bahan

baku, proses produksi, standar mutu, termasuk aspek keamanan, kesehatan, dan

lingkungan yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi produk yang telah diakreditasi

oleh Komite Akreditasi Nasional - KAN (BSN, 2010).

Jika produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin akan diberlakukan secara

wajib tentunya perlu memenuhi kriteria kesiapan dari industri/produsen juga

lembaga penilaian kesesuaian khususnya laboratorium uji, lembaga sertikasi,

lembaga penilaian system mutu dan lembaga sertifikasi produk yang mampu

memenuhi permintaan industri/produsen. Hal ini untuk menghindari dari tidak

efektifnya penerapan standar karena terganggunya arus masuk barang impor

karena keterbatasan laboratorium uji, mahalnya biaya sertifikasi karena terbatasnya

lembaga yang berwenang mengeluarkan sertikasi dan lain-lainnya.

Secara keseluruhan terdapat sekitar 400 laboratorium yang tersebar di

berbagai daerah di Indonesia. Dari 400 laboratorium , sebanyak 71 buah

merupakan laboratorium uji produk industri (KAN, 2008) yang terdiri dari

laboratorium uji milik pemerintah, 7 milik BUMN dan 12 dikelola swasta

(BPPKI,2012). Di sektor industri, lembaga yang membina dan mengawasi adalah

Kementerian Perindusrian c/q Badan Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri

khususnya untuk standar yaitu pada Pusat Standarisasi Badan Pengkajian

Kebijakan Iklim dan Mutu Industri - Kementerian Perindustrian. Pustan ini

mempunyai tugas pokok yaitu penyiapan dan perumusan RSNI, penerapan dan

pengawasan SNI Wajib, pembinaan standarisasi serta kerjasama standarisasi di

bidang industri.

4.3.1 Ketersedian Laboratorium dan Kemampuan Uji

Dari 71 buah laboratorium uji maka teridentifikasi sebanyak 9 (Sembilan)

buah laboratorium yang memungkinkan dapat menguji dan mensertifikasi produk

Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin yaitu terdiri dari 5 buah milik pemerintah, 1

buah milik BUMN dan 3 buah dikelola oleh swasta (Tabel 4.8). Dari 8 laboratorium

ini hanya dua yang hanya sebagai laboratorium uji yaitu PT. Panasonic Gobel dan

PT. Polytron. Namun belum semua laboratorium tersebut mempunyai fasilitas dan

kemampuan untuk menguji semua parameter uji ketiga produk elektronik yang akan

diberlakukan wajib. Disamping itu, belum semua laboratorium tersebut sudah

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 53

terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk produk tersebut, hal ini

karena belum diberlakukannya SNI secara wajib dan dianggap bahwa untuk

akreditasi tidak membutuhkan waktu yang lama. Seperti diketahui bahwa SNI untuk

produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin selama ini masih bersifat sukarela

sehingga permintaan untuk pengujian produk tersebut belum diminati sehingga

beberapa laboratorium belum melengkapi fasilitas ujinya. Sebagai contoh,

Laboratorium di Pusat Pengujian Mutu Barang (PPMB) Kementerian Perdagangan

belum memiliki alat uji double chamber untuk pengujian AC yang harganya relatif

mahal.

Dari peta lokasi keberadaan laboratorium yang mempunyai prospek menguji

tiga produk tersebut adalah menyebar di beberapa wilayah walaupun semua masih

berlokasi di pulau Jawa, namun sebaliknya keberadaan industri Mesin cuci, AC dan

Lemari Pendingin mayoritas berlokasi di Kawasan Industri di Jabodetabek

khususnya di wilayah Cikarang-Bekasi. Hanya PT. Sucofindo yang berlokasi relatif

dekat dengan lokasi produsen. Berikut analisis deskriptif 5 (lima) laboratorium uji

sebagai responden untuk mengetahui kesiapan pemberlakuan SNI secara wajib

produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin.

b. Pusat Pengawasan Mutu Barang (PPMB)

Pusat Pengawasan Mutu Barang, Kementerian Perdagangan merupakan

tempat penerbitan sertifikat: pengujian produk ekpor & impor, SNI, serta tempat

pengurusan SPB & NPB (impor produk) dan NRP (lokal produk). Penetapan SNI

Wajib untuk produk elektronik dilakukan oleh Instansi Teknis terkait dalam hal ini

adalah Menteri Perindustrian yang selanjutnya pengawasan dilakukan oleh Pusat

Pengawasan Mutu Barang, Kementerian Perdagangan sesuai dengan Permendag

N0 30/M-DAG/PER/7/2007 tentang perubahan Permendag No 14/M-

DAG/PER/3/2007 tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan

Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang dan Jasa

yang Diperdagangkan. PPMB sebagai LPK khususnya untuk laboratorium

Pengujian dan Laboratorium sertfikasi produk untuk produk elektronik mempunyai

SDM sejumlah 17 orang yang dapat menguji berbagai produk eletronika yang

menjadi ruang lingkup uji.

c. Laboratorium Uji P2SMTP LIPI

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 54

Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia (P2SMTP-LIPI) memiliki tugas pokok melaksanakan

penyiapan bahan perumusan kebijakan, penyusunan pedoman, pemberian

bimbingan teknis, penyusunan rencana dan program Metrology, Standard, Testing

and Quality (MSTQ), pelaksanaan penelitian sistem mutu dan pelayanan pengujian

serta evaluasi dan penyusunan laporan. Namun di sisi lain, dengan kelengkapan

fasilitas laboratorium yang dimilikinya, P2SMTP LIPI juga menyediakan jasa

laboratorium uji produk kepada industri.

Sehubungan dengan fungsi tersebut, P2SMTP LIPI telah memiliki akreditasi

dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk melakukan pengujian terhadap produk-

produk elektronika dan mekanika. Khusus untuk jenis produk elektronika yang akan

diberlakukan SNI wajib, P2SMTP LIPI menyatakan mampu dan siap untuk

mengadakan pengujian terhadap produk Mesin cuci, namun masih belum mampu

untuk melakukan pengujian terhadap produk Air Conditioner (AC). Hal ini

dikarenakan belum lengkapnya fasilitas peralatan uji yang dimiliki oleh laboratorium

P2SMTP LIPI. Jenis peralatan yang masih belum dimiliki untuk melakukan

pengujian produk AC tersebut adalah alat Dual Chamber. Adapun pengadaan alat

tersebut masih belum dimungkinkan karena harganya yang sangat mahal, yaitu

mencapai milyaran rupiah.

Dari sisi SDM, jumlah tenaga penguji laboratorium P2SMTP LIPI berjumlah

empat (4) orang. Jumlah yang terbatas ini diakui masih mencukupi untuk menguji

produk-produk dalam laboratorium uji. Kendalanya justru terjadi salah satunya

berkaitan dengan tupoksi dari P2SMTP yang berkaitan dengan penelitian dan

pengembangan, bukan sebagai jasa pengujian produk. Akibatnya, petugas penguji

cenderung lebih concern untuk melakukan penelitian ketimbang memberikan jasa

kepada industri.

Biaya yang dibutuhkan untuk melakukan pengujian terhadap produk mesin

cuci adalah sebesar Rp 6 juta. Jumlah ini diakui cukup rendah jika dibandingkan

dengan laboratorium uji lainnya. Hal ini dikarenakan rendahnya biaya modal terkait

pembelian alat pengujian. Pengadaan alat pengujian selain menggunakan dana

APBN, juga diperoleh dari Asian Development Bank (ADB) melalui skema

peminjaman. Selain itu, P2SMTP LIPI juga membuat sendiri beberapa alat

pengujian yang dipergunakan untuk menguji produk.

Terkait dengan waktu pengujian, waktu yang dibutuhkan oleh P2SMTP LIPI

untuk melakukan pengujian produk Mesin cuci biasanya mencapai 6 bulan (hanya

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 55

pengujian saja). Hal ini dikarenakan proses pengujian yang harus dilaksanakan

secara step by step, konfirmasi kepada produsen untuk melakukan improvement

terhadap produk yang diuji apabila gagal di pengujian, serta juga karena adanya

kendala akibat keterbatasan SDM yang melakukan pengujian

d. Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T)

Balai Besar Bahan dan Barang Teknik ( B4T ) No LPK: LP 007 IDN sebagai

salah satu Institusi Penelitian dan Pengembangan di bawah Badan Pengkajian

Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian RI, telah

berpengalaman lebih dari 95 tahun di bidang Pengujian dan Kepastian Mutu Bahan

dan Barang Teknik .

Lembaga sertifikasi produk atau B4T-LSPro telah mendapatkan akreditasi

dari Komite Akreditasi Nasional (KAN). Sertifikasi produk ditujukan untuk

memberikan jaminan kepastian mutu produk kepada konsumen sesuai persyaratan

dan spesifikasi teknik yang berlaku. Berdasarkan indept interview dengan kepala

bidang sertifikasi, di B4T yang bertugas menangani pengujian dan sertifikasi adalah

bidang standardisasi dan bidang sertifkasi. Jumlah seluruh pegawai di B3T

sebanyak 70 orang dan di bidang elektronik sebanyak 20 orang yang telah

mempunyai kompetensi dibidangnya. Untuk meningkatkan kompetensi telah dididik

melalui berbagai pendidikan, pelatihan, workshop dll, seperti pelatihan ke PT

Panasonic, dikirim ke Jepang dan Eropa. Sedangkan jumlah auditor sebanyak 15

orang.

Infrastruktur yang dimiliki B4T untuk menguji ke tiga produk Mesin cuci, AC

dan Lemari Pendingin sudah cukup memadai dan siap apabila diberlakukan wajib.

Kesiapan inipun sejak 2 tahun lalu bahwa produk tersebut akan diberlakukan wajib

mulai dari prosedur sampai sertifikasinya. Terkait waktu dan biaya pengujian dan

sertfikasi adalah mengacu pada ketentuan yang berlaku pada PP N0 47 tahun

2011. Waktu yang diperlukan untuk pengujian pada kondisi normal adalah dua

bulan dan untuk sertifikasi 41 hari. Namun apabila ditemukan masalah dalam

pengujian seperti bahan dan tidak sesuai spesifikasi, kabel, tusuk kontak tidak ber

SNI maka waktu pengujian membutuhkan waktu yang lama, bahkan bisa sampai

enam bulan. Untuk itu perlu ada kerjasama produsen untuk memenuhi ketentuan

SNI. Sedangkan tariff/biaya uji berdasarkan ketentuan, ada perbedaan untuk produk

impor lebih mahal dibandingkan produk lokal. Besarnya tarif sertifikasi yaitu sekitar

Rp. 22,5 juta untuk produk lokal dan Rp. 150 juta untuk produk ex-impor. Tarif ini

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 56

diluar biaya pengujian dimana biaya pengujian dikenakan berdasarkan tipe dan

varian dari produknya.

Adanya kekhawatiran dari para produsen terhadap kesiapan LPK terutama

dari sisi waktu memang diakui tetapi hal seperti ini adalah biasa pada produk yang

baru diberlakukan wajib. Pada awalnya akan membutuhkan waktu antrian namun

untuk tahap selanjutnya apabila produk-produk tersebut sudah sesuai SNI akan

kembali normal. Usulan atau saran untuk mencegah terjadinya over load tersebut

adalah kerjasama antar LsPro untuk mendistribusikan produk ke laboratorium

penguji yang lain yang tidak over load. Selain itu, perlunya mendorong Forum

Komunikasi LPK untuk meningkatkan kompetensi dan keakuratan hasil pengujian.

e. PT. Sucofindo

PT. Sucofindo merupakan Lembaga Peniliaian Kesesuaian milik BUMN yang

memberikan jasa terhadap pelayanan dalam sertifikasi produk dan pengujian

produk. Lembaga ini mempunyai 7 (tujuh) laboratorium besar, salah satunya untuk

pengujian produk elektronika termasuk produk Mesin cuci, AC dan Lemari

Pendingin. Jumlah produk yang sudah terakreditasi sebanyak 55 produk termasuk

tiga produk elektronik tersebut.

Jika Produk Mesin cuci dengan SNI IEC 60335-2-7:2009, AC SNI IEC

60335-2-40:2009 dan Lemari Pendingin SNI IEC 60335-2-24 : 2009 diberlakukan

wajib, maka PT. Sucofindo menyatakan kesiapannya, hal ini ditunjukkan dengan

keseriusan dengan mempersiapkan baik dari sisi SDM maupun sarana

laboratorium. Pada bagian laboratorium listrik dan elektronik, SDM yang sudah ada

berjumlah 20 orang dengan memiliki kompetensi di bidangnya. Untuk alat uji sudah

dapat menguji ketiga produk tersebut bahkan telah ditambah alat double chamber

sehingga berjumlah dua buah, sedangkan ruang labaoratorium diperluas tiga kali

lipat yang ditargetkan pada bulan Juli 2013 selesai.

Waktu yang dibutuhkan dalam pengujian Mesin cuci, AC dan Lemari

Pendingin secara normal masing-masing berkisar antara 10-15 hari, namun hal ini

juga perlu ada kerjasama dari pihak produsen dalam merespon jika terdapat part

yang tidak memenuhi parameter SNI. Lamanya pengujian dari sisi PT. Sucofindo

tidak merupakan masalah karena kapasitas SDM dalam pengujian rata-rata 1 orang

mampu menyelesaikan 15 jenis produk pada tahapan proses uji yang dilakukan

secara parallel. PT. Sucofindo yang berinisiatif mencoba melakukan pengujian

produk PT. LG, PT. Sharp, PT. Shanken dan PT. Denpoo. Sebagian sudah dapat

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 57

memenuhi SNI dan sebagian belum seperti PT. Denpoo untuk Mesin cuci yaitu

pada kabel stop kontaknya yang perlu dipenuhi.

Biaya uji produk baik Mesin cuci, AC maupun Lemari Pendingin sama

tergantung banyaknya .

Varian dari produk tersebut. Sebagai contoh Mesin cuci dua tabung, untuk typenya

(base unit) sebesar Rp. 3.500.000,-ditambah dengan setiap varian 1 (25%), varian 2

(25%) sehingga biaya uji sebesar Rp.3.500.000,-+ 25%+25% = Rp. Rp.5.250.000,-

Selanjutnya proses untuk melakukan sertifikasi produk untuk mendapatkan

SPPT SNI, tergantung pada produk lokal atau produk impor. Kebijakan pengenakan

tariff atau biaya uji dan sertifikasi pada PT. Sucofindo yag merupakan milik BUMN

berbeda dengan milik pemerintah. LPK milik pemerintah mengacu pada PP N0. 45

Tahun 2010 , sedangkan PT. Sucofindo mempunyai kebijakan sendiri dimana

biayanya relatif lebih mahal dibandingkan milik pemerintah. Namun berdasarkan

hasil wawancara dengan beberapa produsen bahwa perbedaan biaya yang tidak

tinggi bukan menjadi masalah tetapi dari sisi waktu maupun kapastian PT,

Sucofindo mempunyai kelebihan. Beberapa kelebihan dari PT.. Sucofindo antara

lain : (1) letaknya tidak jauh dari industrinya, (2), waktu relatif tidak lama, (3).

Terbuka dan akomodatif, (4) lebih teliti.

Waktu yang dibutuhkan untuk menerbitkan sertifikat SNI baik Mesin cuci ,

AC dan Lemari Pendingin untuk produk ex-impor berkisar antara 2-3 bulan,

sedangkan produk local waktunya berkisar 2 bulan. Hal ini karena produk ex-impor

diperlukan waktu untuk melakukan audit ke negara asal, Lamanya waktu inipun

tergantung dari respond an kerjasama dengan produsen dalam memenuhi

kesesuaian dengan persyaratan SNI. Biaya atau tariff untuk sertifikasi ini pihak PT.

Sucofindo belum menetapkan besarannya namun diperkirakan antara Rp. 20 juta

sampai dengan Rp.25 juta. SDM untuk mengaudit (auditor) sebanyak 80 orang yang

dinyatakan sudah cukup dan mampu karena memiliki kompetensi dibidangnya.

f. PT. Panasonic Manufacturing Indonesia

Laboratorium PT Panasonic telah terakreditasi 17025 merupakan

laboratorium yang dikelola oleh swasta dan berpotensi utuk melakukan pengujian

produk elektronik termasuk Lampu Swabalas dan Balast elektronik. Dari hasil indept

interview, pihak perusahaan telah mengetahui akan diberlakukan SNI wajib untuk

produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin dan menyatakan kesiapannya dalam

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 58

pengujian produk tersebut. Walaupun kendalanya adalah belum dimilikinya alat

dual chamber. Disamping itu dari sisi SDM yang kompeten sudah mencukupi.

Tabel 4.9 Laboratorium Uji dan LsPro Untuk Produk Mesin Cuci, AC dan

Lemari Pendingin

No Nama LPK Produk Laboratorium Lama uji & sertifikasi

SDM Keterangan

1 Pusat Pengawasan Mutu Barang

Mesin Cuci Lab uji

LsPro

2 minggu 3 bulan

22 orang 50 orang

Jl. Raya Bogor Ciracas

2

Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2SMTP-LIPI)

Mesin cuci Lab Uji

LsPro

6 bulan sampai mendapat sertifikasi

Serpong

3 Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T)

Mesin cuci AC Lemari Pendingin

Lab Uji

Lspro

2 - 6 bln 41 hari

20 org 15 org

Jl. Sangkuriang No. 14, Kotak Pos 32.Bandung, Jawa Barat40135

4 Balai Riset dan Standardisasi Industri dan Perdagangan Surabaya

Lab Uji

LsPro

Jl. Jagir Wonokromo 360Surabaya, Jawa Timur

5 PT. Sucofindo

Mesin Cuci, AC dan Lemari Pendingin

Lab Uji

LsPro

10 hari 2 bulan

17 org

Cibitung

6 PT. TUV Lab Uji

LsPro

Pasar Minggu

7 PT. Panasonic Manufacturing Indonesia

Mesin Cuci dan Lemari Pendingin

Lab Uji 5 orang Jl. Raya Bogor

8 PT. Polytron/ HIT (Hartomo Istana)

Mesin cuci Lab Uji Kudus Semarang

Sumber : Data Primer (2013), diolah

4.3.2 Kesiapan LSPro dan Laboratorium Uji Terhadap Pemberlakuan SNI

Secara Wajib

Analisis kesiapan Laboratorium Uji dan LSPro juga dilakukan secara

kuantitatif dengan menggunakan assessment model of Standard Rreadiness Survey

di mana beberapa kriteria seperti penerapan teknologi, sumberdaya manusia

(SDM), self-development dan dan pengawasan yang diterapkan oleh LSPro dan

Laboratorium Uji dinilai dengan menggunakan skala likert. Dalam analisis, nilai likert

yang diharapkan adalah minimal 3,4 dan jika nilai likert mencapai 4,2 maka dapat

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 59

disimpulkan bahwa institusi telah memiliki tingkat kesiapan yang optimal

berdasarkan persepsi mereka.

Tabel 4.10 Kesiapan Laboratorium Uji Dalam Penerapan SNI

Kriteria Kesiapan Skor Likert

Penerapan Teknologi

Ketersedian sarana dan prasarana standar 4,0

Penguasaan standar dan penerapannya 4,4

Sumber Daya Manusia

Tenaga penguji dalam perusahaan 4,4

Pihak luar pendukung 4,4

Kemampuan untuk melakukan pengujian 4,6

Self-Development

Anggaran untuk menerapkan SNI 4,2

Manajemen dalam penerapan SNI 4,4 Pengawasan

SDM di bidang pengawasan 4,4

Kemampuan lembaga pengawas 4,4

Sumber : Data Primer (2013), diolah

Dalam Tabel 4.9 telihat bahwa beberapa aspek yang seluruh kriteria yang

diteliti memperoleh nilai likert yang cukup tinggi. Bahkan kriteria seperti tenaga

penguji, kemampuan untuk melakukan pengujian, manajemen dalam penerapan

SNI dan pengawasan memiliki nilai di atas 4,2 yang dinilai siap dalam penerapan

SNI Wajib. Hal ini, menurut responden LSPro dan Laboratorium Uji pemenuhan

SDM selalu dilakukan melalui proses rekrutmen berkala dan peningkatan

kompetensi yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat oleh tenaga uji. Selain itu,

kemitraan dengan beberapa institusi internasional juga sudah dilakukan untuk

meningkatkan kapasitas SDM yang lebih kompeten dan adaptif terhadap

pengetahuan standard internasional. Dukungan pihak lain seperti pemerintah dalam

hal pembinaan dan pengawasan serta komunikasi antar LSPro dan Laboratorium uji

juga sudah dilakukan melalui pembentukan Forum Komunikasi.

Namun ada beberapa kriteria dengan nilai likert di bawah 4,2 yaitu

ketersediaan sarana dan prasarana standard dengan nilai likert 4,0. Beberapa

responden belum melakukan persiapan terkait dengan penerapan SNI Wajib seperti

perluasan laboratorium dan penambahan alat uji. Menurut responden, kepastian

waktu pemberlakuan SNI Wajib akan menjadi landasan keputusan apakan akan

dilakukan investasi penambahan alat uji dan perluasan sarana laboratorium. Hal

tersebut sejalan dengan kesiapan responden terkait penyediaan anggaran yang

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 60

belum disesuaikan karena belum mendapat kepastian tentang pemberlakuan SNI

Wajib.

4.4. Kebijakan Pemberlakuan dan Pengawasan Terhadap SNI

Pengawasan barang beredar merupakan bagian yang tidak dapat

dipisahkan dalam penerapan SNI Wajib karena penerapan SNI Wajib tidak akan

efektif tanpa dukungan pengawasan yang efektif. Pada prinsipnya, responden

produsen, LSPro, dan Laboratorium Uji lebih menitikberatkan kebijakan dan

pelaksanaan pengawasan SNI Wajib terhadap barang yang beredar di pasaran agar

dapat dipastikan bahwa ketentuan dalam SNI Wajib sudah dipatuhi oleh seluruh

pemangku kepentingan.

4.4.1 Kebijakan Pengawasan Terhadap Produk ber-SNI

Sistem pengawasan barang dan/atau jasa yang beredar di pasar yang diatur

melalui Peraturan Menteri Perindag No. 20/M-DAG/PER/5/2009 Tentang Ketentuan

dan Tatacara Pengawasan Barang dan Jasa sudah relatif baik, namun belum

efektif dilaksanakan di lapangan. Penyebab tidak efektifnya sistem adalah belum

lengkapnya pengaturan tindak lanjut dari Undang-undang Perlindungan Konsumen

seperti pengaturan klausula baku, cara menjual, dan Pengiklanan. Sedangkan

pengawasan SNI sudah ada pengaturannya, namun belum banyak barang yang

beredar yang sudah diberlakukan SNI wajib, jumlah SNI wajib yang diawasi oleh

Kementerian Perdagangan sebanyak 91 produk. Untuk produk atau barang yang

beredar di pasaran harus juga di dukung dengan Petunjuk Teknis setiap komoditi.

Hal ini mengingat setiap produk mempunyai karakteristik yang berbeda-beda

sehingga penanganan pengawasan produk yang satu berbeda dengan komoditi

lainnya. Kondisi tersebut masih ditambah dengan belum cukupnya dukungan

infrastruktur laboratorium uji, pendanaan dan sumber daya manusia pelaksana

sistem baik di pusat maupun di daerah (Puslibang PDN, 2009).

Salah satu parameter pengawasan barang beredar adalah pengawasan

produk yang ber SNI. Jika produk Mesin cuci, AC dan Lemari Pendingin ditetapkan

dan diberlakukan secara wajib maka pengawasan juga perlu dilakukan. Industri

ketiga produk tersebut akan diberi tenggang waktu untuk melakukan persiapan

penyesuaian produknya dalam memenuhi SNI. Berdasarkan informasi dari ketua

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 61

Asosiasi Gabungan Pengusaha Elektronik, dari hasil konsensus rapat direncanakan

waktu yang akan diberikan selama 27 bulan dengan perincian 9 bulan untuk produk

ex-impor yang sudah diproses impornya dan produk lokal yang sudah proses

produksi dan 18 bulan untuk produk yang beredar di pasaran.

Dalam rangka perlindungan konsumen, selain parameter pengawasan

barang elektronik yang ber SNI, juga dilakukan terhadap parameter label berbahasa

Indonesia melalui pemberian informasi tentang produk elektronika, telah

dikeluarkan kebijakan “kewajiban pencantuman petunjuk penggunaan (manual) dan

kartu garansi dalam bahasa Indonesia. Kebijakan tersebut tertuang dalam

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 547 tahun 2001 tentang

Pedoman Pendaftaran Petunjuk Penggunaan (Manual) dan Kartu Jaminan/Garansi

Dalam Bahasa Indonesia bagi Produk Teknologi Informasi dan Elektronika.

Kebijakan tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan untuk melindungi industri

elektronika dalam negeri dari masuknya barang elektronika impor yang membanjir

di pasar.

Sumber : Dit Pengawasan Barang Beredar, 2012

Gambar 4.3 Pengawasan Terhadap Produk Yang Ber SNI Wajib

Wilayah Pabean RI : • Label berbahasaIndonesia • Harus ada SPPT SNI dari Lembaga

Sertifikasi Produk(LS Pro)

• Ada Surat Pendaftaran Barang (SPB) dan Nomor Pendaftaran Barang (NPB) dari PPMB, SetjenKemendag

ProduksiDalamNegeri : • Label berbahasaIndonesia

• Harus ada SPPT SNI dari Lembaga Sertifikasi Produk (LS Pro)

• Ada Nomor Registrasi Produk(NRP) dariPPMB, SetjenKemendag

Barang Produk Luar Negeri

Barang Produksi Dalam Negeri

Produk Beredar Di Pasaran

Dit. Pengawasan Barang dan Jasa

Beredar

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 62

4.4.2 Pengawasan Produk Elektronik

Bagi responden produsen, pengawasan baik pra- dan pasca- pasar memiliki

peranan yang strategis untuk memastikan sejauh mana penerapan SNI Wajib sudah

memiliki fungsi sebagai instrumen perdagangan yang dapat melindungi sekaligus

meningkatkan daya saing produk lokal terhadap produk impor. Gambar 4.3 secara

deskriptif menunjukkan pandangan responden produsen terhadap pelaksanaan

pengawasan barang beredar terhadap produk yang sudah ber-SNI Wajib seperti TV

Tabung, seterika, lampu swaballast, dan pompa air.

Sumber : Data Primer (2013), diolah Gambar 4.4 Pelaksaan Pengawasan Pada Produsen Elektronik

Pada Gambar 4.4 bagian A terlihat bahwa responden produsen mendapat

pengawasan dari dua institusi yaitu pemerintah dan asosiasi produsen. Berdasarkan

hasil survey, 87,5% responden produsen menerima pengawasan dari pemerintah

yang meliputi pengawasan pra-pasar dan pasca-pasar. Pengawasan pra-pasar

biasanya berupa inspeksi oleh Kementerian Perindustrian untuk memastikan proses

produksi tetap memperhatikan ketentuan dalam SNI Wajib sedangkan pengawasan

pasca-pasar dilakukan oleh Kementerian Perdagangan dan Dinas terkait di daerah

Kurang 50%

Ya 37,5%

Tidak 12,5% 50%

Satu Kali (12,5%)

Dua Kali (12,5%)

> Dua Kali (75%)

A. Pihak Pengawas

B. Kesan Terhadap Pelaksanaan Pengawasan

C. Peran Pemerintah Dalam Pembinaan Standar

D. Pelaksanaan Pengawasan

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 63

dalam hal pemantauan barang di pasaran agar sesuai dengan ketentuan SNI Wajib.

Sementara pengawasan oleh asosiasi lebih bersifat pembinaan, penyampaian

informasi terkait SNI, dan pendampingan.

Pada Gambar 4.4 bagian B, sebanyak 87,5% responden produsen

menganggap pelaksanaan pengawasan oleh institusi yang bersangkutan sudah

baik. Hanya 12,5% responden produsen yang menganggap pengawasan belum

berjalan dengan baik. Beberapa alasan antara lain:

a. Petugas pengawas pasca-pasar dari pemerintah belum sepenuhnya mengikuti

Petunjuk Teknis (Juknis) yang sudah ditetapkan. Sebagai contoh, penerapan

SNI Wajib untuk TV hanya berlaku untuk TV Tabung dan belum berlaku bagi

TV LCD atau layar datar. Namun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa

kasus dimana responden produsen harus menghadapi tuntutan sanksi atas

pelanggaran ketentuan terhadap produknya. Hal serupa juga terjadi pada DVD

dan lampu.

b. Petugas pengawas belum memperhatikan kode Harmonized System (HS)

dalam menindak pelanggaran, sehingga kesalahan dalam pengawasan masih

kerap terjadi.

c. Pengawasan belum sepenuhnya optimal karena masih ditemukan beberapa

produk elektronik yang sudah ber-SNI Wajib masih beredar di pasaran, seperti

pompa air dan beberapa alat kelistrikan.

Terkait dengan peran pemerintah dalam pembinaan standard, responden

produsen menganggap bahwa usaha pembinaan standard sangat diperlukan agar

keselarasan antara produsen dan pemerintah dapat optimal. Gambar 4.4 bagian C

menunjukkan 37,5% responden produsen menganggap pemerintah berkontribusi

dalam pembinaan standard seperti antara lain pengenalan dan pendidikan sistem

mutu yang baik termasuk SNI, bantuan alat bagi laboratorium uji yang pada

akhirnya diharapkan dapat menurunkan biaya uji bagi produsen, dan kemudahan

pelayanan yang semakin baik di beberapa LSPro dan laboratorium milik

pemerintah. Namun perlu diperhatikan bahwa masih terdapat 50% responden

produsen yang menganggap pembinaan pemerintah masih kurang. Bahkan, 12,5%

menganggap pemerintah tidak melakukan pembinaan, sehingga jika dijumlahkan

masih terdapat 62,5% responden produsen merasa belum puas dengan pembinaan

pemerintah. Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah petugas pengawas yang

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 64

lebih mengedepankan sanksi dari pada pembinaan. Hal tersebut juga berkaitan

dengan waktu pengawasan yang dihadapi oleh responden produsen di mana

pengawasan bisa mencapai lebih dari 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. Walaupun

hal tersebut tidak menyalahi peraturan, namun pelaksanaannya dapat berdampak

pada kegiatan bisnis produsen.

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5. 1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka dapat diperoleh

kesimpulan antara lain sebagai berikut:

1. Proses pengembangan SNI Wajib bagi produk elektronik seperti mesin cuci,

Pendingin Udara, dan lemari pendingin sudah menerapkan prinsip transparansi

seperti kejelasan parameter dan national differences yang mengakomodasi

kepentingan produsen dalam negeri. Selain itu, rencana penerapan SNI Wajib

juga didasarkan pada kebutuhan pasar dalam negeri di mana tuntutan

konsumen terhadap keamanan, kesehatan, keselamatan, dan Lingkungan

(K3L) produk menjadi hal utama yang telah dipertimbangkan.

2. Total nilai produk elektronik yang diimpor selama tahun 2008 – 2012 sebesar

US$ 76,76 miliar dengan pertumbuhan tren sebesar 6,28% di mana sebesar

33,67% berasal dari Cina. Lebih rinci, produk elektronik seperti mesin cuci,

Pendingin Udara, dan lemari pendingin memiliki tren impor antara 0,87%

hingga 113% pada periode yang sama.

3. Responden produsen menilai bahwa pemberlakuan SNI Wajib dapat menjadi

media untuk meningkatkan daya saing dan perlindungan terhadap konsumen

dalam negeri karena SNI Wajib akan menetapkan sejumlah ketentuan yang

harus dilakukan oleh produsen dan importir untuk menjamin keandalan mutu

dan pemenuhan unsur K3L bagi konsumen.

4. Faktor penting yang berpengaruh terhadap keputusan konsumen, selain harga

adalah standar mutu produk yang dibeli khususnya produk mesin cuci, lemari

pendingin, dan pendingin ruangan (AC).Konsumen menilai bahwa produk

mesin cuci, lemari pendingin (Lemari Pendingin), dan pendingin ruangan (AC)

perlu SNI wajib. Beberapa atribut yang perlu diperhatikan dalam penentuan

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 65

standar mutu pada produk elektronik dimaksud, antara lain faktor keamanan,

keselamatan, kesehatan, dan ramah lingkungan, kualitas bahan, faktor

penggunaan daya listrik, dan faktor model.

5. Konsumen juga berpendapat bahwa standar produk itu penting yang

ditunjukkan dengan skor likert sebesar 3,7. Konsumen juga memperhatikan

keberadaan label pada produk yang sudah mendapatkan SNI yang didukung

dengan hasil perhitungan skor Likert dengan skor 3,7. Kemudian, ada atau

tidaknya label SNI pada suatu produk dirasakan cukup penting bagi konsumen

untuk memberikan persepsi mutu atau kualitas tertentu yang diindikasikan oleh

skor 3,7. Konsumen menganggap bahwa ada tidaknya label SNI pada produk

akan mempengaruhi keputusan mereka dalam membeli. Dengan demikian,

label SNI dapat merepresentasikan standar kualitas yang baik dari suatu

produk. Hal ini dibuktikan dengan skor Likert sebesar 3,7.

6. Produsen sudah menerapkan standar perusahaan dalam sistem produksi dan

inovasinya dimana secara normatif, responden juga memiliki persepsi bahwa

standar yang digunakan dalam pengembangan produknya memiliki pengakuan

di pasar internasional. Sementara itu, SNI dipersepsikan sebagai standar

minimal yang harus dipenuhi produsen yang pada umumnya merupakan hasil

adopsi dari standar internasional. Dengan demikian, responden produsen

mengasosiasikan kepatuhan terhadap standar internasional akan mudah

diterapkan pada SNI.

7. Beberapa aspek yang dianalisa seperti: Penerapan Teknologi, Sumber Daya

Manusia, Self-Development, dan Pengawasan memperoleh nilai likert di atas

4,2, sehingga berdasarkan Assessment Model of Standard Readiness Survey,

responden produsen sudah mengoptimalkan kesiapan pemberlakuan SNI

Wajib. Beberapa langkah untuk optimasi kesiapan antara lain melalui investasi

peralatan yang mendukung produksi dan inovasi, penentuan supplier

komponen yang dapat mendukung penerapan SNI, peningkatan kemampuan

sumber daya manusia, serta optimasi anggaran terkait pengembangan mutu

produk.

8. Namun, dari sisi kemampuan untuk melakukan pengujian masih memiliki nilai

likert 4,1 yang berarti belum sepenuhnya siap dan masih diperlukan beberapa

perbaikan. Ketidaksiapan ini bukan merupakan kelemahan internal responden

produsen mengingat dalam penerapan SNI Wajib, pemerintah akan menunjuk

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 66

laboraturium uji yang dapat digunakan dalam pengujian SNI sehingga sumber

daya yang akan melakukan pengujian akan didukung oleh Laboratorium Uji dan

LSPro.

9. Dalam kaitannya dengan pengetahuan terhadap SNI Wajib mesin cuci, lemari

pendingin, dan Pendingin Udara, belum seluruh responden perusahaan

mengetahui kepastian penerapannya, walaupun sudah pernah memperoleh

informasi tentang parameter yang harus dipenuhi. Hal ini sejalan dengan nilai

likert pengetahuan responden produsen tentang penerapan SNI Wajib tersebut

yang bernilai 3,5 hal ini dapat diartikan bahwa responden produsen tidak

memperoleh kepastian informasi mengenai penerapan SNI Wajib tersebut.

Berdasarkan hasil survey, sebagian besar responden produsen sudah tidak

mendapatkan informasi mengenai penerapan SNI Wajib setelah tahun 2010.

10. LSPro dan Laboratorium Uji memiliki tantangan dalam hal biaya, waktu

sertifikasi, dan waktu uji jika diberlakukan SNI Wajib. Sebanyak 75% responden

produsen menyebutkan biaya menjadi kendala dalam proses Sertifikasi Produk

Pengguna Tanda SNI (SPPT-SNI) karena memiliki dampak terhadap pelayanan

proses SPPT-SNI. Kemudian, Waktu Sertifikasi dan Waktu Uji juga dianggap

sebagai permasalahan di mana 62,5% responden produsen mengeluhkan

waktu uji dan sertifikasi. Sementara untuk lokasi, responden produsen tidak

mengeluhkan keberadaan LSPro dan Laboratorium Uji yang tidak berada dalam

satu lokasi atau kawasan industri.

11. Untuk LSPro dan Laboratorium Uji, beberapa aspek yang diteliti seperti tenaga

penguji, kemampuan untuk melakukan pengujian, manajemen dalam

penerapan SNI dan pengawasan memiliki nilai di atas 4,2 yang dinilai siap

dalam pemberlakuan SNI Wajib. Pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia

(SDM) selalu dilakukan melalui proses rekrutmen berkala dan peningkatan

kompetensi yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat oleh tenaga uji.

Selain itu, kemitraan dengan beberapa institusi internasional juga sudah

dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM yang lebih kompeten dan adaptif

terhadap pengetahuan standar internasional. Dukungan pihak lain seperti

pemerintah dalam hal pembinaan dan pengawasan serta komunikasi antar

LSPro dan Laboratorium uji juga sudah dilakukan melalui pembentukan Forum

Komunikasi Standardisasi.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 67

12. Beberapa kriteria dengan nilai likert yang masih di bawah 4,2 yaitu ketersediaan

sarana dan prasarana standar dengan nilai likert 4,0 yang berarti belum

memiliki kesiapan yang optimal dalam penerapan SNI Wajib di mana perluasan

laboratorium dan penambahan alat uji (misal double chamber untuk uji AC)

belum sepenuhnya dilakukan. Menurut responden, kepastian waktu

pemberlakuan SNI Wajib akan menjadi landasan keputusan apakah akan

dilakukan investasi penambahan alat uji dan perluasan sarana laboratorium.

Hal tersebut sejalan dengan kesiapan responden terkait penyediaan anggaran

yang belum disesuaikan karena belum mendapat kepastian tentang

pemberlakuan SNI Wajib.

5.2 Rekomendasi

Dengan demikian, beberapa rekomendasi yang diusulkan antara lain:

1. Dari sisi biaya, guna mendukung pemberlakuan SNI wajib atas produk lemari

pendingin, mesin cuci, dan Pendingin Udara, perlu dilakukan harmonisasi biaya

pengujian produk maupun biaya pemrosesan SPPT SNI. Hal ini dikarenakan

tingginya disparitas biaya pengujian oleh masing-masing laboratorium uji dan

biaya penerbitan SPPT SNI oleh masing-masing LSPro yang ditunjuk, terutama

antara laboratorium milik pemerintah, BUMN, dan swasta.

2. Dari sisi waktu uji dan penerbitan SPPT SNI, perlu juga dilakukan

penyeragaman standar waktu pengujian hingga penerbitan SPPT SNI oleh

Laboratorium Uji dan LSPro. Hal ini perlu dilakukan untuk memudahkan

produsen agar tidak kehilangan moment penjualan produk.

3. Minimnya ketersediaan sarana dan prasarana pengujian SNI dapat diatasi

melalui kerjasama bantuan dengan pihak lain. Dalam hal ini, skema pinjaman

yang dilakukan oleh P2SMTP LIPI dapat dijadikan referensi untuk

pengembangan sarana dan prasarana pengujian SNI yang berskala nasional.

Hal ini juga perlu didukung dengan kejelasan waktu penerapan SNI wajib,

termasuk kepastian penunjukan laboratorium uji.

4. Penyeragaman standar dan persepsi antar laboratorium uji dan LSPro perlu

dilakukan agar tidak menimbulkan bias terhadap hasil uji. Dalam hal ini,

Pemerintah perlu memastikan bahwa forum komunikasi antar LSPro dan Lab uji

berjalan dengan baik.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 68

5. Dari sisi pengawasan, kode produk, tanggal, dan tahun pembuatan harus

dijadikan landasan pengawasan barang beredar agar sesuai dengan waktu

berlakunya peraturan Menteri Perindustrian tentang pemberlakuan SNI wajib

atas produk mesin cuci, lemari pendingin dan Pendingin Udara.

6. Selain itu, petugas pengawas juga harus memahami Petunjuk Teknis (Juknis)

mengenai ketentuan produk yang akan diawasi SNI-nya berdasarkan kode HS

masing-masing produk agar tidak terjadi kesalahpahaman.

7. Edukasi konsumen terhadap pentingnya membeli produk-produk ber-SNI perlu

dilakukan. Hal ini disamping konsumen dapat terlindungi dari produk-produk

berbahaya, juga dapat membatasi peredaran produk-produk illegal.

8. Untuk mendukung edukasi terhadap konsumen, produsen perlu untuk

mencantumkan tanda logo SNI pada tempat yang mudah dibaca oleh

konsumen.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 69

DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Syamsir. 2012. Partisipasi Masyarakat Dalam Perumusan Dan Penerapan

SNI. Disampaikan pada Workshop The Role of Young Professional in Standardization Tanggal 22 Maret 2012. Jakarta.

Aydin, C. H., & Tasci, D. (2005). Measuring Readiness for e-Learning: Reflections

from an Emerging Country. Educational Technology & Society, 8 (4), 244-257

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2009. SNI Peranti Listrik Rumah Tangga dan

Sejenis – Keselamatan – Bagian 2 – 7: Persyaratan Khusus Untuk Mesin Cuci (IEC 60335-2-7 (2004-11), IDT). Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2009. SNI Peralatan Listrik Rumah Tangga

dan Peralatan Listrik Serupa – Keselamatan – Bagian 2 – 40: Persyaratan Khusus Untuk Pompa Kalor Listrik, Pengatur Udara, dan Pengering Udara (IEC 60335-2-40 Edition 4.2 (2005-07), IDT). Jakarta.

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2013. Penerapan SNI.

http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/17

Badan Standardisasi Nasional (BSN). 2013. Perumusan SNI. http://www.bsn.go.id/main/bsn/isi_bsn/28

Herjanto, Eddy. 2008. Standardisasi: Peran dan Perkembangannya Dalam

Memfasilitasi Perdagangan di Indonesia. http://pascasarjana.esaunggul.ac.id/artikel/122-standardisasi-peran-dan-perkembangannya-dalam-memfasilitasi-perdagangan-di-indonesia.html. Diunduh pada tanggal 10 April 2013.

Herjanto, Eddy dan Rahmi, Dwinna. 2010. Kajian Kesiapan Pemberlakuan Secara

Wajib Standar Mainan Anak-Anak. Jurnal Riset Industri Vol. IV No. 1, 2010:1-16

Kementerian Perdagangan. 2013. Pengawasan Tahap VI: Kemendag Temukan 100

Produk Langgar Ketentuan. Siaran Pers. Jakarta Kementerian Perindustrian. 2012. Arah Kebijakan Pemberlakuan SNI Produk

Industri Non Pangan Secara Wajib. Disampaikan pada Seminar Nasional Bidang Perdagangan Tanggal 09 Oktober. Jakarta.

Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). 2010. GENAP SNI Untuk

Meningkatkan Daya Saing Bangsa. http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=7272. Diunduh pada tanggal 2 Agustus 2013.

Neraca.co.id. Penerapan Standarisasi Produk Belum Maksimal. 29 Januari 2013.

Analisis Pengembangan SNI Dalam Rangka Pengawasan Barang Beredar 70

Peraturan Menteri Perdagangan N0.30/M-DAG/PER/7/2007 Tentang Standardisasi Jasa Bidang Perdagangan dan Pengawasan SNI Wajib Terhadap Barang dan Jasa yang Diperdagangkan.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 20 tahun 2009 tentang Pengawasan Barang

dan/atau Jasa Yang Beredar Di Pasar.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 86/M-IND/PER/9/2009 tentang Standar Nasional Indonesia Bidang Industri.

Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standarisasi Nasional. Pugel, Thomas. 2008. International Economics (Mcgraw-Hill Series Economics) 14th

edition. McGraw-Hill Companies Incorporated. New York. Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri. 2012. Analisis Penerapan Standar

Nasional Indonesia (SNI) Sukarela. Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (BP2KP) – Kementerian Perdagangan.

Setiadi, Bambang. 2011. Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Young Professional.

Disampaikan pada Workshop The Role of Young Professional in Standardization Tanggal 08 November 2011. Jakarta.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Universitas Surabaya. 2011. Dukung GENAP SNI Demi Meningkatkan Daya Saing Industri Nasional. http://www.ubaya.ac.id/ubaya/news_detail/682/Dukung-Genap-SNI-demi-Meningkatkan-Daya-Saing-Industri-Nasional.html. Diunduh pada tanggal 2 Agustus 2013.


Recommended