PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013
ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYA
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya i
RINGKASAN EKSEKUTIF Latar belakang
Dalam rangka melindungi hak-hak konsumen serta menghindarkannya dari
ekses negatif akibat barang dan jasa yang beredar di pasar, pemerintah telah
menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UU-PK). Berdasarkan UU tersebut, hak-hak konsumen dilindungi
dari penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan produsen,
importir, distributor dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan
barang atau jasa.
Selain peredaran barang dan jasa di pasar, faktor keamanan, keselamatan,
kesehatan dan lingkungan menjadi hal yang sangat penting dalam perlindungan
konsumen. Salah satu produk yang harus mengutamakan faktor K3L tersebut
adalah Bahan Berbahaya (B2). Sehingga mendorong Pemerintah menetapkan
Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 04/M-DAG/PER/2/2006
Tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya, sehingga dampak
penyalahgunaan B2 dapat dikurangi.
Namun demikian, dalam perkembangannya, baik pengadaan,
pendistribusian maupun penggunaan B2 terus meningkat dan bahkan mudah
diperoleh di pasar. Oleh karena itu, lebih lanjut untuk mencegah terjadi
penyimpangan dan penyalahgunaan, Pemerintah mengeluarkan Permendag
Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan
Bahan Berbahaya. Dalam ketentuan ini diatur pengadaan B2, baik yang berasal
dari lokal maupun impor melalui pengaturan jenis, pengadaan, pendistribusian,
perijinan, pelaporan dan larangannya. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan
Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag
Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dalam upaya meningkatkan efektivitas
pengawasan, khususnya B2 yang berasal dari impor, yaitu dengan menetapkan
verifikasi atau penelusuran teknis impor dan penetapan pelabuhan dan bandara
untuk impor B2.
Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan B2 yang tidak tepat
peruntukannya, seperti penggunaan Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B
terutama pada produk pangan. Hasil uji sample Pangan Jajanan Anak Sekolah
(PJAS) dari mobil laboratoriun keliling di DKI Jakarta pada ahun 2012
menunjukkan bahwa 17 % PJAS mengandung B2, berupa boraks, formalin dan
rhodamin B. Kondisi tersebut diatas membuktikan bahwa pengawasan distribusi
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya ii
B2 belum efektif. Untuk mempermudah peredaran/pendistribusian/penjualan B2
dikemas dalam ukuran kecil dan dalam bentuk/gambar kemasan yang serupa
antara bahan baku untuk produk pangan dan non pangan dengan produsen yang
sama (BPOM, 2012).
Penyalahgunaan B2 terutama untuk pangan tersebut diindikasi karena
pendistribusian B2 terutama dari pengecer B2 ke pengguna akhir B2. Sementara
sistem distribusi B2 yang ada sekarang belum terstruktur sehingga menyulitkan
dalam pengawasannya.
Bertitik tolak dari fenomena di atas, maka analisis pengawasan distribusi
B2 penting untuk dilakukan guna menjawab beberapa permasalahan terkait
dengan implementasi kebijakan pengawasan B2 di yaitu bagaimana pelaksanaan
Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag
Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan
B2 dan evaluasi terhadap pelaksanaan Permendag tersebut.
Metodologi Penelitian
Analisis pengawasan distribusi bahan berbahaya menggunakan metode
Regulation Impact Analysis (RIA) untuk mengevaluasi pelaksanaan Permendag
Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-
Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan
Berbahaya.
Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Bahan Berbahaya
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap Permendag Nomor: 23/M-
DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009
tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya perlu direvisi
dan disempurnakan sehingga pelaksanaannya bisa lebih efektif dan tidak terjadi
penyalahgunaan B2, khususnya yang terkait dengan bahan pangan.
Beberapa ketentuan terutama pada Permendag Nomor: 44/M-
DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2
menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan yaitu :
1. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2
(DT-B2) sebagaimana diatur pada Pasal 1 Angka 8 dan PT-B2 ditunjuk oleh
DT-B2 pada Pasal 11 Ayat (2) Hurup d, namun pada pasal 1 Angka 12 diatur
bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen
B2 (P-B2).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya iii
2. Pada Pasal 1 angka 9, ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak
menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan
IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan IT-
B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil.
3. Pada Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan
distribusinya dan Pasal 20 Ayat (1) menyebutkan pengawasan terhadap
distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada Lampiran 1, jenis B2 yang
diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis B2 yang
diatur distribusinya sebanyak 54 , sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan
pengawasan.
4. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada
pasal 1 Angka (3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja.
5. Pasal 8 Ayat (3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang
(repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II), namun
PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan
kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan khususnya
PA-B2 skala kecil.
6. Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi
sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki
persyaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan
tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.
7. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2.
Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2.
Faktor-faktor penyebab implementasi Permendag B2 belum berjalan
dengan baik, yaitu :
1. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan
kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap wilayah
khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow, untuk
mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.
2. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2
tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga
dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir
produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran
3. Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/M-
DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya iv
DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2,
belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam
penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2.
4. Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran distribusi
B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah distribusi.
Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2,
PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2
dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2.
5. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat
propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang
didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya yang
mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang didistribusikan ke
dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada
kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-B2
ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan.
6. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak
dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah
sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya
manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang
beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara
baik. Sementara pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri
makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku
usaha perdagangan B2.
7. Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi
untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan yang memenuhi
syarat K3L sebagai syarat untuk mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2
Rekomendasi 1. Perlu dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendag Nomor: 23/M-
DAG/PER/9/2011 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2
sebagai perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang
Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 agar penyalahgunaan B2 dapat
diminimalkan. Revisi peraturan ini antara lain menyangkut aspek pengadaan,
distribusi dan pengawasan serta penerapan sanksi, sebagai berikut :
Pengadaan:
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya v
a. Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta
perijinan dan pemgetatan pelaporan B2. Dengan memperhatikan
keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti yang
sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT).
Distribusi dan Pengawasan:
a. Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap
peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur, sehingga
mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai berikut: Produsen
(P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2) menyalurkannya ke Distributor
Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar (PT-B2)
menyalurkannya ke PA-B2 .
b. Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2 di
setiap wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang berfungsi
sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani kebutuhan di
wilayahnya dan untuk itu berkewajiban melaporkan realisasi
distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya.
c. PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat langsung
membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan permohonan ijin
khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus diberikan untuk
jumlah dan kurun waktu tertentu.
2. Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan
distribusi B2, dengan melibatkan instansi terkait meliputi koordinasi dan
mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan pembentukan Tim Pemeriksa .
3. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan
menimbulkan efek jera sesuai dengan pelanggarannya dalam upaya
meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi segala kewajiban,
antara lain pelaporan. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran perlu
ditegakkan dan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu
Undang-undang Perlindungan Konsumen.
4. Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan dengan
peredaran B2 secara terkoordinir dan berkesinambungan, dibarengi dengan
upaya untuk menyediakan bahan alternatif yang bisa menggantikan fungsi B2
dengan harga yang relatif murah.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya vi
5. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan B2
untuk pangan kepada para pelaku usaha terutama industri pangan atau
pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas dalam bentuk workshop,
seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi, perlu tetap
melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur di masyarakat
dapat dalam bentuk program konsumen cerdas (KONCER).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan hidayah-Nya, laporan Analisis Pengawasan Distribusi Bahan
Berbahaya dapat diselesaikan. Tujuan dikeluarkannya Peraturan Menteri
Perdagangan (Permendag) Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 yang kemudian
direvisi menjadi Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Pengadaan, Distribusi
dan Pengawasan Bahan Berbahaya adalah upaya untuk meningkatkan
pencegahan penyalahgunaan peruntukan penggunaan bahan berbahaya (B2).
Namun dalam kenya taannya, pada saat ini masih banyak ditemukan
penyalahgunaan jenis B2 tertentu, seperti Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan
Metanil Yellow yang digunakan untuk bahan panganpemgolahan pangan jadi.
Analisis ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan dan sekaligus
mengevaluasi Permendag dimaksud.
Hasil analisis ini merekomendasikan perlu dilakukan penyempurnaan atau
revisi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 t entang atas perubahan dari
Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 t entang Pengadaan, Distribusi dan
Pengawasan Bahan Berbahaya agar pelaksanaannya lebih efisien dan efektif.
Beberapa hal yang perlu penyempurnaan dan kejelasan antara lain 1)
ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan
pelaporan bagi kelembagaan dalam pengadaan, distribusi dan pengawasan B2;
2) pengaturan sistem distribusi B2, , sehingga mudah dalam pengawasan; 3).
komitmen pemerintah pusat dan daerah melibatkan instansi terkait dalam
melakukan pengawasan distribusi B2.
Disadari bahwa hasil analisis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan
penyempurnaan lebih lanjut. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima
kasih kepada semua pihak, yang secara langsung maupun tidak langsung telah
membantu penyelesaian laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat.
Jakarta, April 2013
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya viii
DAFTAR ISI
RINGKASAN EKSEKUTIF ................... ................................................................... i
KATA PENGANTAR ................... ............................................................................. v
DAFTAR ISI ................... ........................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ................... ................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ................... ............................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Tujuan Analisis..................................................................................... 3
1.3. Keluaran Analisis ................................................................................. 4
1.4. Dampak ................................................................................................ 4
1.5. Ruang Lingkup ..................................................................................... 4
1.7. Sistematika Penulisan ......................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 6 2.1. Definisi Bahan Berbahaya .................................................................. 6
2.2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya .................................................... 10
2.3. Gambaran Umum Perdagangan B2 di Indonesia ............................... 12
2.4. Hasil Pengawasan B2 .......................................................................... 16
2.5 Best Practices B2 di Beberapa Negara. .............................................. 16
BAB III METODOLOGI ............................................................................................ 22
3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 22
3.2 Lokasi Kajian dan Responden ............................................................. 23
3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................................... 24
3.4. Metode Analisis .................................................................................... 24
BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN BAHAN BERBAHAYA ......................... 29
4.1. Aspek Pengadaan ................................................................................ 29
4.2. Aspek Distribusi ................................................................................... 31
4.3. Aspek Pengawasan ............................................................................. 32
4.4. Hasil Survey di Daerah Penelitian ....................................................... 33
BAB V EVALUASI PERATURAN BAHAN BERBAHAYA .................................. 43
5.1. Evaluasi Peraturan B2 Menggunakan RIA .......................................... 43
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya ix
5.2. Upaya Peningkatan Efektivitas Pengawasan B2 ................................ 49
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................ 53
6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 53
6.2. Rekomendasi ....................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya x
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Kelas dan Divisi B2 Berdasarkan UN Recomendations on the Transport of Dangerous Goods .............................................................. 8
Tabel 2.2. Penjelasan Masing-masing sifat B2 Yang Tertulis Dalam Federal
Hazardous Substance Act ...................................................................... 10 Tabel 2.3. Daftar IP-B2 di Indonesia Tahun 2012 ................................................... 15 Tabel 3.1. Metodologi dan Analisis Data ................................................................. 28 Tabel 5.1. Usulan Revisi Permendag Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009 ................... 51
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Alur Distribusi B2 ................................................................................ 14 Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 23 Gambar 3.2. Proses RIA ......................................................................................... 25 Gambar 4.1. Rantai Distribusi B2 di Makassar ....................................................... 34 Gambar 4.2. Rantai Distribusi B2 di Medan ............................................................ 37 Gambar 4.3. Rantai Distribusi B2 di Surabaya ....................................................... 41
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9//2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan
Lampiran 2. Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 Tentang Perubahan
atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9//2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, konsumen sebagai pengguna
barang dan jasa menjadi objek aktivitas bisnis para pelaku usaha untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan tidak jarang aktivitas bisnis
tersebut seringkali merugikan konsumen. Padahal seharusnya hak-hak
konsumen dilindungi dari penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang
yang dilakukan oleh pelaku usaha seperti produsen, importir, distributor dan
setiap pihak yang berada dalam rantai perdagangan barang dan jasa
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Selain itu juga dalam peredaran barang dan jasa di pasar, faktor
keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan (K3L) menjadi hal yang
sangat penting dalam perlindungan konsumen. Salah satu produk yang harus
mengutamakan faktor K3L tersebut adalah Bahan Berbahaya (B2). Pada
dasarnya, penggunaan produk B2 dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Namun, apabila tidak digunakan dengan baik dan benar dapat menyebabkan
kerugian dan kerusakan bagi manusia dan lingkungan.
Hal-hal tersebut di atas mendorong Pemerintah pada tahun 2006
menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 04/M-
DAG/PER/2/2006 Tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya,
sehingga dampak penyalahgunaan B2 dapat dikurangi. Namun demikian, dalam
perkembangannya, baik pengadaan, pendistribusian maupun penggunaan B2
terus meningkat dan bahkan mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, untuk
mencegah terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan B2, Pemerintah
mengeluarkan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan,
Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam ketentuan ini diatur
pengadaan B2, baik yang berasal dari lokal maupun impor melalui pengaturan
jenis, pengadaan, pendistribusian, perijinan, pelaporan dan larangannya.
Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011
tentang Perubahan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dalam upaya
meningkatkan efektivitas pengawasan, khususnya B2 yang berasal dari impor,
yaitu dengan menetapkan verifikasi atau penelusuran teknis impor dan
penetapan pelabuhan dan bandara untuk impor B2.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 2
Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan B2 yang tidak tepat
peruntukannya, seperti penggunaan Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B
terutama pada produk pangan olahan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor: 239/Men.Kes/Per/V/85, terdapat 30 jenis zat warna termasuk
Rhodamin-B (C.I. Food Red 15) yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan
dilarang digunakan dalam obat, makanan, dan kosmetika kecuali mendapat izin
dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penggunaan Formalin dan
Boraks sebagai bahan tambahan dalam makanan juga secara tegas dilarang
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1168/Men.Kes/Per/X/1999.
Larangan penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan pada makanan
dengan mempertimbangan dampak jangka pendek dan jangka panjang yang
disebabkan konsumsi bahan kimia yang membahayakan kesehatan.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini penyalahgunaan B2
pada produk pangan semakin banyak terjadi di masyarakat. Dari 251 jenis
minuman yang diambil sebagai contoh di beberapa kota, 8 persen jenis minuman
di Jakarta, 14,5 persen jenis minuman di Bogor, dan 17 persen jenis minuman di
Rangkasbitung terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai pewarna merah
minuman (Winarno, 1994). Hasil penelitian yang dilakukan olef SEAFAST Center
IPB pada tahun 2008 di 4500 Sekolah Dasar dari 79 kabupaten/kota dan 18
propinsi juga menunjukkan bahwa 12,9 persen makanan mengandung formalin
dan 9,7 persen makanan mengandung boraks (Andarwulan, Madanijah &
Zulaikhah, 2011). Lebih lanjut, Andarwulan et.al., (2011) juga menemukan 4
persen sampel minuman mengandung Rhodamin B. Selain Rhodamin-B, survey
juga menemukan penggunaan bahan pewarna buatan lainnya yang dilarang
dalam minuman adalah Methanyl Yellow (3,7 persen) dan Amaranth (5 persen).
Sementara di Bandar Lampung, dari total 90 sampel makanan berupa tahu, mie
basah, ikan dan ikan asin yang diperdagangkan di pasar tradisional dan modern
mengandung formalin (Harian Umum Lampung Post, 13 Januari 2006).
Hasil uji sample Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dari mobil
laboratorium keliling di DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 17
persen PJAS mengandung B2, berupa boraks, formalin dan rhodamin B. Kondisi
tersebut diatas membuktikan bahwa pengawasan distribusi B2 belum efektif.
Untuk mempermudah peredaran/pendistribusian/penjualan, B2 dikemas dalam
ukuran kecil dan dalam bentuk/gambar kemasan yang serupa antara bahan baku
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 3
untuk produk pangan dan non pangan dengan produsen yang sama
(BPOM,2012).
Penyalahagunaan B2 sebagai bahan tambahan pada pangan ini tentunya
sangat memprihatinkan karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Salah
satu penyebab timbulnya penyalahgunaan B2 diduga karena bahan berbahaya
mudah diperoleh di pasar. Kemudahan mendapatkan B2 di pasar diduga
disebabkan adanya rembesan pada pengguna akhir. Dugaan lain adalah adanya
peredaran produk B2 di dalam negeri padahal tidak ada produsennya dan tidak
ada data importasinya yang dilakukan dengan cara pengalihan HS dan
penyelundupan. Disamping itu juga, karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian
sebagian masyarakat (produsen dan konsumen) bahwa penggunaan B2 untuk
pangan membahayakan kesehatan manusia. Jika kondisi ini tidak segera
diantisipasi, maka akan berdampak kepada kesehatan masyarakat dan lebih
lanjut dapat mengancam kualitas generasi muda. Penyalahgunaan peredaran B2
juga dapat mematikan potensi produsen yang jujur dan di sisi lain tidak mendidik
produsen pangan yang tidak bertanggung jawab.
Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka analisis pengawasan
distribusi B2 penting untuk dilakukan guna menjawab beberapa permasalahan
terkait dengan implementasi kebijakan pengawasan B2 di lapangan yaitu
bagaimana pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang
perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,
Distribusi dan Pengawasan B2 dan evaluasi terhadap pelaksanaan Permendag
tersebut.
1.2. Tujuan Analisis
a. Mengetahui gambaran pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-
DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-
Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2;
b. Mengevaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan
Pengawasan B2;
c. Merumuskan usulan pengawasan Bahan Berbahaya.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 4
1.3. Keluaran Analisis
a. Informasi pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang
perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,
distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.
b. Evaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan
Pengawasan Bahan Berbahaya.
c. Rumusan usulan kebijakan pengawasan Bahan Berbahaya.
1.4. Dampak
Berkurangnya penyalahgunaan B2 di masyarakat dan meningkatkannya
pengawasan B2 dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi
pelaku usaha dalam upaya perlindungan bagi konsumen.
1.5. Ruang Lingkup
a. Komoditas
Komoditas B2 yang dianalisis adalah: Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B
dan terdapat indikasi penyalahgunaan.
b. Aspek Kebijakan:
1) Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi
Dan Pengawasan Bahan Berbahaya, khususnya kebijakan yang tertuang
pada Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,
Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya.
2) Kebijakan yang berkaitan dengan B2.
c. Daerah Penelitian:
Penelitian dilakukan di 3 (tiga) daerah yaitu Surabaya (Jawa Timur), Makassar
(Sulawesi Selatan), dan Medan (Sumatera Utara). Adapun dasar
pertimbangan pemilihan daerah tersebut karena merupakan lokasi produsen
B2 dan/atau pelabuhan impor untuk B2 yang ditetapkan dalam Permendag.
d. Responden Penelitian
Responden penelitian adalah: Pelaku usaha yang meliputi produsen, importir
terdaftar (PPI), importir produsen, distributor, pengecer dan pengguna akhir;
dan key person dari Dinas Perindag, Badan POM, Direktorat Impor, Direktorat
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 5
Bahan Pokok dan Barang Strategis, Direktorat Pengawasan Barang Beredar
dan Jasa, YLKI, BPKN, Asosiasi, serta Surveyor impor B2.
1.6. Sistematika Penulisan
Laporan analisis ini terdiri dari enam bab, sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang,
tujuan, keluaran, dampak dan ruang lingkup analisis yang
dilakukan.
BAB II : Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur
yang digunakan sebagai referensi dalam kajian ini meliputi
Definisi B2, Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2,
Permendag, dan best practices.
BAB III : Metodologi Penelitian menjelaskan metode yang
digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran,
metode analisis data, lokasi penelitian dan responden, serta
sumber data dan teknik pengumpulan data.
BAB IV : Pelaksanaan Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011
tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009
tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan
Berbahaya di daerah penelitian.
BAB V : Evaluasi Permendag. Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011
tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009
tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan
Berbahaya, khususnya kebijakan yang tertuang pada
Permendag Nomor:44/M-Dag/Per/9/2009 tentang
Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya
BAB VI : Kesimpulan dan Rekomendasi. Memberikan kesimpulan
dan rekomendasi kebijakan B2.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Bahan Berbahaya
Menurut Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 Tentang Pengadaan,
Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya, yang dimaksud B2 adalah zat,
bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang
dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau
tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik,
teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.
Zat berbahaya umum juga disebut dengan zat adiktif, yaitu obat serta
bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat
menyebabkan kerja biologi terhambat. Dalam hal ini, penggunaan zat tambahan
dalam produk pangan pun menimbulkan beberapa dampak yang mengganggu
sistem kerja organ tubuh dalam proses metabolisme, sehingga zat tambahan
tersebut termasuk adiktif.
Aturan resmi awal yang dimiliki pemerintah Indonesia terkait B2 tercatat
dalam Staatblad Nomor 377 tahun 1949. Dalam aturan tersebut dijelaskan
bahwa B2 adalah obat-obat disinfeksi, obat-obat pembersihan atau obat-obat
pemusnahan, serta bahan-bahan yang bersifat racun dengan berkomposisi yang
berbahaya terhadap kesehatan manusia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
pembuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan,
dan pemakaian sendiri bahan-bahan berbahaya tersebut dilarang, kecuali
dengan izin dari pihak yang berwenang.
Pada tahun 1985, diberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
239/Men.Kes/Per/V/85 yang mengatur tentang zat pewarna tertentu yang
dinyatakan sebagai B2 dan dilarang penggunaannya dalam obat, makanan, dan
kosmetik, karena dapat membahayakan kesehatan konsumen. Dalam aturan
tersebut disebutkan 30 zat pewarna yang dianggap sebagai B2, salah satunya
adalah Rhodamin-B.
Sebelumnya pada tahun 1979, Menteri Kesehatan RI juga mengeluarkan
peraturan terkait bahan tambahan makanan (Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 235/Menkes/Per/VI/79), yang kemudian digantikan oleh Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 772/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan
Makanan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai bahan tambahan
makanan yang dilarang dan digolongkan sebagai B2. Aturan mengenai bahan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 7
tambahan makanan yang digolongkan sebagai B2 ini kemudian diperbaharui
melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
772/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan.Dari sepuluh
bahan tambahan makanan yang digolongkan sebagai B2, dua diantaranya
adalah Asam Borat (Borat Acid) beserta senyawanya dan Formalin
(Formaldehyde).
Saat ini, aturan terkait B2 (berkaitan dengan pengadaan, distribusi, dan
pengawasannya) mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia Nomor 23/M-DAG/PER/9/2011. Dalam aturan tersebut, B2
didefinisikan sebagai:
zat, bahan kima dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. (Pasal 1 ayat 1)
Lebih lanjut dalam peraturan tersebut disebutkan jenis-jenis bahan
berbahaya yang diatur impornya serta distribusi dan pengawasannya. Dalam
pasal 2 ayat 2 peraturan menteri tersebut disebutkan bahwa peninjauan terhadap
jenis-jenis B2 dapat terus dilakukan sesuai dengan perkembangannya.
Bahan berbahaya dikenal juga dengan istilah hazardous materials
(HAZMAT) atau hazardous substances atau dangerous goods di kalangan
internasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Economic
and Social Council (ECOSOC) mengeluarkan suatu rekomendasi terkait praktek
pengangkutan bahan-bahan berbahaya yang lebih dikenal dengan nama UN
Recommendations on the Transport of Dangerous Goods. Dalam rekomendasi
tersebut dijelaskan bahwa B2 adalah zat (termasuk campuran dan larutan) dan
barang-barang yang tergolong ke dalam salah satu dari sembilan kelas bahaya
yang ditimbulkan atau bahaya yang paling utama yang ditimbulkan (Tabel 2.1).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 8
Tabel 2.1. Kelas dan divisi bahan berbahaya berdasarkan UN Recommendations on the Transport of Dangerous Goods
Kelas Divisi 1. Bahan peledak 1.1: Zat dan barang yang memiliki bahaya
ledakan besar 1.2: Zat dan barang yang memiliki bahaya
proyeksi, namun bukan bahaya ledakan besar
1.3: Zat dan bahan yang bisa menimbulkan api dan juga bahaya ledakan kecil atau bahaya proyeksi kecil atau keduanya, tapi tidak memiliki bahaya ledakan besar
1.4: Zat dan barang yang tidak menimbulkan bahaya signifikan
1.5: Barang yang sangat tidak sensitif, namun memiliki bahaya ledakan besar
1.6: Barang yang sangat tidak sensitif serta tidak memiliki bahaya ledakan besar
2. Gas 2.1: Gas mudah terbakar 2.2: Gas tidak mudah terbakar dan tidak
beracun 2.3: Gas beracun
3. Cairan mudah terbakar (flammable liquids)
-
4. Benda padat yang mudah terbakar; zat yang secara tiba-tiba bisa terbakar; zat yang bila bercampur dengan air mengeluarkan gas yang bisa terbakar
4.1: Benda padat yang mudah terbakar, zat yang bisa berekasi sendiri, dan benda padat yang bersifat desentized explosives
4.2: Zat yang secara tiba-tiba bisa terbakar (spontaneous combustion)
4.3: Zat yang bila bercampur dengan air mengeluarkan gas yang bisa terbakar
5. Zat teroksidasi dan peroksida organic
5.1: Zat teroksidasi 5.2: Peroksida organic
6. Zat beracun dan menyebabkan infeksi
6.1: Zat beracun 6.2: Zat yang menyebabkan infeksi
7. Material radioaktif -
8. Zat yang bersifat korosif -
9. Zat dan bahan berbahaya lainnya, termasuk zat yang berbahaya bagi lingkungan
-
Sumber: ECOSOC (2002)
Departemen Transportasi Amerika Serikat yang berwenang untuk
mengatur regulasi terkait pengangkutan bahan berbahaya di negara tersebut,
mengacu pada rekomendasi PBB dalam mendefinisikan B2. Bahan berbahaya
atau hazardous material adalah segala zat yang kemungkinan memiliki resiko
berbahaya terhadap kesehatan dan keamanan personel operasional atau
personel darurat, masyarakat umum, dan/atau lingkungan jika tidak dikontrol
dengan baik selama proses perlakuan, penyimpanan, manufakturing,
pemrosesan, pengemasan, penggunaan, pembuangan, atau pengangkutan.
Seperti halnya rekomendasi PBB, Departemen Transportasi AS mengelompokan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 9
B2 ke dalam sembilan kelas. Selain Amerika Serikat, sejumlah negara lain yang
turut mengadaptasi rekomendasi PBB dalam menyusun aturan pengangkutan
bahan berbahaya adalah Inggris, Australia, New Zealand, dan Malaysia.
Sementara itu, dalam rangka melindungi konsumen (terutama keluarga dan
anak) dari banyaknya risiko bahaya dan kecelakaan akibat produk-produk
konsumen, pemerintah Amerika mengesahkan undang-undang terkait bahan
berbahaya yang dikenal dengan nama Federal Hazardous Act (pertama kali
disahkan pada tahun 1960). Dalam aturan tersebut, bahan berbahaya
(hazardous substance) didefinisikan menjadi lima kelompok:
a. Pertama, bahan berbahaya adalah semua zat yang sifatnya (i) beracun, (ii)
korosif, (iii) menimbulkan iritasi, (iv) sensitizer yang kuat, (v) bahan dan cairan
yang mudah terbakar, (vi) zat yang menimbulkan tekanan akibat dekomposisi,
panas, atau cara lainnya, (vii) serta bahan-bahan lain atau campuran bahan-
bahan yang bisa menimbulkan kecelakaan atau penyakit serius saat
digunakan, termasuk bila tercerna oleh anak-anak.
b. Kedua adalah zat yang menurut United States Consumer Product Safety
Commission (US CPSC) termasuk ke dalam salah satu kategori yang
disebutkan pada definisi pertama sebelumnya.
c. Ketiga, setiap zat radioaktif yang termasuk kelas barang tertentu atau sebagai
kemasan, yang ditetapkan berbahaya oleh CPSC, maka wajib menyampaikan
hal tersebut dalam pelabelannya demi melindungi kesehatan publik.
d. Keempat, setiap mainan atau barang-barang lainnya yang diperuntukkan bagi
anak-anak yang memiliki bahaya listrik, mekanis, dan panas.
e. Kelima, setiap solder dengan kandungan timbal melebihi 0.2 persen. Dalam
aturan tersebut dijelaskan bahwa istilah hazardous substance tersebut tidak
meliputi pestisida (sudah diatur Federal Insecticide, Fungicide, and
Reodenticide Act) serta makanan, obat-obatan, dan kosmetik (sudah diatur
dalam Federal Food, Drug, and Cosmetic Act).
Definisi yang dijelaskan dalam Federal Hazardous Substaces Act (FHSA)
terkait B2 tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan definisi B2 dalam
Peraturan Menteri Perdagangan yang telah disebutkan sebelumnya. Namun
secara lebih terinci, FHSA memberikan penjelasan terkait masing-masing sifat
dari B2 (Tabel 2.2).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 10
Tabel 2.2. Penjelasan masing-masing sifat bahan berbahaya yang tertulis dalam Federal Hazardous Substances Act
Sifat Bahan Berbahaya Definisi
Beracun Setiap zat (selain bahan readioaktif) yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan cedera dan sakit pada individu bila dicerna, dihirup, atau masuk ke dalam tubuh melalui bagian tubuh manapun
Sangat beracun a) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok mencit laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dengan berat antara 2000-3000 gram dalam rentang 14 hari ketika diberikan zat tersebut secara oral pada dosis 15 mg atau kurang per kilogram masa tubuh
b) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok mencit laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dengan berat antara 2000-3000 gram dalam rentang 14 hari ketika diberikan zat tersebut untuk dihirup secara terus menerus selama satu jam atau kurang pada tekanan udara normal
c) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok kelinci laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dalam rentang 14 hari ketika kontak langsung dengan kulit selama 24 jam atau kurang
Korosif Setiap zat yang bila bersentuhan langsung dengan jaringan hidup akan menyebabkan kerusakan jaringan tersebut melalui reaksi kimia
Menyebabkan iritasi Setiap zat yang tidak bersifat korosif, namun dalam seketika, menengah, jangka panjang, atau kontak berulang kali dengan jaringan hidup yang normal akan menyebabkan reaksi radang atau iritasi (inflammatory)
Strong sensitizer Suatu zat yang akan memberi dampak terhadap jaringan hidup yang normal melalui efek alergi atau proses fotodinamik
Cairan mudah terbakar (combustible)
Setiap cairan yang memiliki flash point diatas 80 derajat Fahrenheit
Zat radioaktif Zat yang memancarkan radiasi ionisasi
Sumber: FHSA (2007)
2.2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya
Salah satu penyalahgunaan bahan berbahaya yang umum terjadi dan
menjadi sorotan berbagai pihak adalah penggunaan B2 sebagai bahan
tambahan dalam produk pangan. Sejumlah bahan berbahaya dimanfaatkan oleh
pelaku usaha untuk mengawetkan produk pangan (Formalin dan Boraks),
meningkatkan kualitas fisik (Boraksuntuk kekenyalan), dan juga sebagai pewarna
(Rhodamin-B).
Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B digolongkan sebagai bahan
berbahaya karena berdampak negatif terhadap kesehatan bila dikonsumsi oleh
konsumen. Dampak negatif penggunaan Formalin dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan kanker, selain itu Formalin juga dikaitkan dengan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 11
inflamasi dan keracunan pada saluran pencernaan pada jangka pendek (EPA
2007). Sementara itu, penggunaan Boraks dalam jangka pendek dapat
menyebabkan gangguan, seperti demam, sakit kepala, dan muntah. Sementara
dalam penggunaan jangka panjang, konsumsi Boraks dapat menyebabkan gagal
ginjal dan berujung pada kematian (CDC, 2010). Walaupun belum ada penelitian
yang cukup mendukung terkait konsumsi Rhodamin-B dengan kanker pada
manusia, namun penelitian pada hewan menunjukkan bahwa zat ini bersifat
karsinogenik.
Dalam laporan kinerja kuartal I tahun 2012, BPOM menyebutkan, dari
9.071 sampel produk makanan yang diuji, sekitar 854 diantaranya masuk dalam
kategori tidak memenuhi syarat (TMS). Sekitar 144 TMS formalin, 223 TMS
boraks, dan 290 TMS Rhodamin B (BPOM, 2012).
Anak-anak menjadi korban paling potensial terkait praktek
penyalahgunaan B2 dalam makanan. Hasil penelitian Andarwulan et al. (2009)
mengenai keamanan jajanan anak sekolah di Indonesia menunjukkan bahwa
sekitar 12,9 persen jajanan yang diuji, positif mengandung Formalin dan 9,7
persen mengandung Boraks, sementara 2,2 persen makanan ringan yang diuji,
positif mengandung pewarna Rhodamin B. Sementara itu, penelitian Punvanti et
al. (2009) di 12 sekolah di Surakarta menunjukkan bahwa sekitar 49 persen
jajanan anak sekolah yang diuji mengandung formalin.
Penyalahgunaan B2 dalam produk makanan bukan hanya terjadi di
Indonesia, tapi juga umum terjadi di negara-negara berkembang. Shashi Sareen
dalam pemaparannya pada acara Food Security Conference tahun 2011
menyoroti permasalahan keamanan pangan di wilayah ASEAN. Salah satu isu
yang paling mengemuka adalah masalah residual dan kontaminan pada
makanan akibat pestisida, logam berat, dan zat kimia berbahaya. Setiap negara
memiliki faktor-faktor risiko utama berkaitan dengan keamanan pangan,
diantaranya penggunaan formalin pada produk tahu dan mie serta pewarna
berbahaya pada jajanan jalanan di Indonesia, penggunaan Boraks dan pewarna
pada produk mie di Malaysia, dan penggunaan Boraks pada produk daging dan
olahannya serta ikan di Kamboja.
Penggunaan formalin untuk produk perikanan juga menjadi fokus
tersendiri di Bangladesh. Penelitian pada tahun 2010 di sejumlah pusat
perbelanjaan di negara tersebut menunjukkan bahwa 42 persen dari 100 sampel
ikan yang diteliti mengandung formalin; sementara penelitian pada tahun 2012 di
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 12
lima pasar tradisional mengungkap bahwa terdapat sekitar 17 persen sampel
ikan yang mengandung formalin (Sabet 2012).
Konsumen di negara berkembang cenderung menginginkan produk
(terutama makanan) dalam kuantitas yang besar dengan harga yang relatif lebih
murah. Adanya sikap tersebut ditambah dengan pengetahuan konsumen yang
kurang dan semakin diperparah dengan keberadaan sejumlah pelaku usaha
yang menginginkan keuntungan yang lebih melalui cara-cara yang tidak fair.
Hasil penelitian Wikanta (2010) di Surabaya menunjukkan bahwa hampir seluruh
responden menyetujui jika formalin merupakan bahan yang berbahaya dan harus
dilarang untuk pengawetan makanan. Namun, sekitat 72 persen responden
mengaku tidak melakukan apapun untuk mengantisipasi kandungan formalin
dalam makanan. Hal tersebut diakui responden karena minimnya pengetahuan
penggunaan formalin dan B2 lainnya.
Sementara itu dari sisi kebijakan, maraknya kasus penyalahgunaan
formalin pada produk makanan di Bangladesh dianggap sebagai kegagalan
pasar. Kegagalan tersebut sebagai buntut dari tidak efektifnya pemerintah dalam
menjalankan tugas sebagai regulator (Sebet 2012). Senada dengan penjelasan
tersebut, Chuangchote (2003) menyatakan bahwa tidak adanya harmonisasi
antar pihak yang berwenang dalam menangani masalahan keamanan pangan di
Thailand, menjadi salah satu pokok permasalahan.
2.3. Gambaran Umum Perdagangan B2 di Indonesia
Secara teknis, Formalin (HS 2912.11.00.00) merupakan larutan yang tidak
berwarna dengan bau yang sangat tajam. Di dalam formalin terkandung sekitar
37persen formaldehyde dalam air sebagai pelarut. Biasanya di dalam formalin
juga terdapat bahan tambahan berupa methanol hingga 15 persen sebagai
pengawet. Formalin dikenal luas sebagai bahan antimikrobial atau pembunuh
hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Sementara Boraks (
HS 2840.19.00.00) merupakan senyawa kimia dengan nama Natrium Tetraborat
yang berbentuk kristal lunak. Boraks bila dilarutkan dalam air akan terurai
menjadi natrium hidroksida serta asam borat. Baik boraks maupun asam borat
memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai
ramuan obat misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan
obat pencuci mata. Secara lokal boraks dikenal sebagai 'bleng' dengan bentuk
larutan atau padatan. Sedangkan Rhodamin B (HS 3204.13.00.00) atau yang
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 13
biasa dikenal dengan pewarna buatan adalah senyawa kimia yang bersifat toksik
dan karsinogenik atau dapat memicu kanker.
Pengadaan dan distribusi B2 diatur dalam Permendag Nomor:23/M-
DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009
tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam
peraturan tersebut dijelaskan bahwa segala bentuk zat, bahan kimia dan biologi,
baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan
kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang
mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif,
dan iritasi diatur pengadaan dan distribusinya secara ketat oleh pemerintah.
Secara jelas disebutkan bahwa importir, distributor, pengecer, dan perusahaan
pengguna akhir harus memiliki izin dari instansi yang berwenang sehingga
peredaran B2 tidak bisa dilakukan secara bebas.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha B2 meliputi
Produsen (P-B2), importir Terdaftar (IT-B2), Importir Produsen Terdaftar (IP-B2),
Distributor Terdaftar (DT-B2), Pengecer Terdaftar (PT-B2), dan Pengguna Akhir
Terdaftar (PA-B2). Dalam mekanismenya, IT-B2 mengimpor formalin untuk
kemudian mendistribusikannya kepada pengguna akhir dalam hal ini pengguna
yang membutuhkan formalin sebagai bahan baku industrinya, yaitu kepada DT-
B2, PT-B2, dan PA-B2 . Perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 berdasarkan
Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 adalah PT Perusahaan Perdagangan
Indonesia (PPI). Sementara IP-B2 mengimpor formalin untuk digunakan sendiri
sebagai bahan baku industrinya dan hanya diperuntukkan bagi kebutuhan
produksinya sendiri serta tidak dapat diperjual-belikan maupun dipindah-
tangankan.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 14
Gambar 2.1. Alur Distribusi B2
Sumber: Kementerian Perdagangan (2012)
Pengaturan tataniaga B2 tidak menjamin keamanan distribusi B2 di
pasaran karena diindikasikan sekitar 3-4 persen dari produksi B2 (formalin)
masuk ke pasar konsumen, terutama industri makanan skala kecil. Kebocoran
formalin ke pasar konsumen dapat dipicu oleh beberapa faktor seperti
pemanfaatan kelebihan produksi, ketidakpastian biaya usaha penyimpanan di
sektor usaha kecil (UKM) dan lemahnya pengawasan. Dari sisi hulu, P-B2
merupakan produsen yang tidak hanya memproduksi formalin, melainkan
beberapa produk turunan seperti perekat. Namun, P-B2 bisa menyalurkan
produknya ke distributor jika terdapat kelebihan produksi formalin yang tidak
terpakai. Di sektor UKM, insiden kenaikan BBM dinilai dapat memicu
penyalahgunaan formalin karena naiknya biaya produksi es untuk penyimpanan
produk (Media, Industri 2006).
Pada tahun 2005, hanya terdapat 2 (dua) perusahaan yang mendapatkan
pengakuan sebagai IP-B2 adalah PT Chang Chun DPN Chemical Industry dan
PT Resource Alam Indonesia. Sementara pada tahun 2012 terdapat 20
perusahaan yang diakui sebagai IP-B2 seperti pada Tabel 2.3.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 15
Tabel 2.3. Daftar IP-B2 di Indonesia, 2012
IP-B2 Kapasitas Produksi
(Ton)
PT Arjuna Utama Kimia 23.000
PT Pamolite Adhesive Industry 36.000
PT Superin 36.000
PT Lakosta Indah 28.000
PT Dyno Mugi Indonesia 29.400
PT Batu Penggal Chemical Industry 28.000
PT Kurnia Kapuas Utama Glue Industry 38.000
PT Intan Wijaya Chemical Industry 61.500
PT Dofer Chemical 60.000
PT Sabak Indah 72.000
PT Duta Pertiwi Nusantara 50.000
PT Kayulapis Indonesia (Jateng) 20.000
PT Gelora Citra Kimia Abadi 48.000
PT Kayulapis Indonesia (Irja), 40.000
PT Duta Rendra Mulia 33.500
PT Binajaya Roda Karya 45.000
PT Perawang Perkasa Industry 48.000
PT Belawandeli Chemical 30.000
PT Putra Sumber Kimindo 45.000
PT Orica Resindo Mahakam 35.000
Sumber: Kementerian Perindustrian (2012)
Sementara untuk produksi dalam negeri, produk B2 yang umum
diperdagangkan adalah formalin yang dijual dalam berbagai merek seperti
formol, morbicid, methanal, formic aldehyde, methyl oxide, oxymethylene,
methylene aldehyde, oxomethane, formoform, formalith, karsan, methylene
glycol, paraforin, polyxymethylene glycols, superlysoform, tetraoxymethylene dan
rioxane. Kapasitas produksi formalin dalam negeri mencapai 800 ribu ton per
tahun namun utilisasinya baru mencapai 40persen atau sekitar 350 ribu ton per
tahun. Beberapa Produsen B2 (P-B2) yang terdaftar pada tahun 2005 antara lain
PT Resource Alam Indonesia, PT Arjuna Kimia, PT Armolaid, PT Sprint, PT Dino
Jaya, PT Dover, PT Uporin, PT Lakobin dan PT Intan Injaya (Media, Industri
2006).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 16
2.4. Hasil Pengawasan B2
Berdasarkan pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait
menunjukkan banyak terjadi permasalahan dalam perdagangan B2. Salah
satunya adalah pelaku usaha mengalami kendala untuk memperoleh SIUP B2
dikarenakan belum terbentuknya tim terpadu di daerah yang bertugas
memberikan rekomendasi untuk penerbitas SIUP B2. Hal ini diduga menjadi
salah satu penyebab terjadinya perdagangan B2 secara ilegal. Di dalam
Permendag diatur sanksi pencabutan ijin bagi pelaku usaha yang
memperdagangkan B2 secara ilegal. Namun pada kenyataan sanksi tidak dapat
diterapkan dikarenakan pelaku usaha yang memperdagangan B2 tidak memiliki
ijin atau kesulitan memperoleh ijin sehingga sanksi yang diberikan hanya BRO
(menjalankan usaha tanpa ijin) atau teguran lisan saja. Permasalah lain adalah
pengelompokan B2, B3 (barang berbahaya dan beracun), dan bahan kimia biasa
yang kurang jelas sehinggga diperlukan penjelasan secara rinci terkait definisi
yang tepat (bentuk, warna, sifat, dan lain-lain). Hasil pengawasan juga
menemukan masih banyak tempat penjualan B2 yang melakukan pengemasan
ulang (re-package) yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai
contoh: minimum kemasan untuk formalin 10 liter, sementara kebutuhan untuk
kremasi hanya 2 liter, sisanya 8 liter tidak jelas penggunaannya. Menurut
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009, yang diperbolehkan untuk melakukan
kemas ulang hanya distributor dan importir.
2.5. Best Practices Pengaturan B2 di Beberapa Negara
2.5.1 Amerika Serikat
Beberapa negara juga menerapkan aturan ketat terkait dengan pengadaan,
produksi, dan pendistribusian B2. Salah satu negara yang menjadi rujukan
pengawasan B2 adalah Amerika Serikat, mengingat Amerika Serikat merupakan
negara yang menerapkan kebijakan yang komprehensif terkait B2. Cahya et al
(2012) menjelaskan bahwa dalam pengaturannya, Pemerintah Amerika
mengelompokkan pengawasan di sisi produksi, distribusi, dan petuntukannya.
Produksi
Dalam pengaturan B2 seperti pewarna, FDA (Food and Drug
Administration atau Badan Pengawas Makanan dan Obat di Amerika Serikat)
merupakan pihak yang berwenang dalam mengatur penggunaan bahan pewarna
dalam makanan dan suplemen makanan, obat-obatan, kosmetik, dan alat-alat
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 17
medis. Bahan pewarna hanya boleh digunakan sesuai dengan jenis penggunaan
yang telah disetujui, termasuk spesifikasinya serta batasan penggunaannya. FDA
(Food and Drug Administration atau Badan Pengawas Makanan dan Obat di
Amerika Serikat) membedakan bahan pewarna ke dalam dua golongan, yaitu
golongan bahan pewarna yang memerlukan sertifikasi dan golongan bahan
pewarna yang dikecualikan dari sertifikasi (tidak memerlukan
sertifikasi/dibebaskan dari sertifikasi).
Dalam proses sertifikasi, FDA mengevaluasi data keamanan pemakaian
untuk memastikan bahwa bahan pewarna yang digunakan telah sesuai dengan
persetujuan yang dikeluarkan. Bahan pewarna tambahan yang dapat
membahayakan hewan, manusia, dan lingkungan tidak dapat digunakan dalam
produk yang dijual di pasar umum. Dalam menjamin keamanan bahan pewarna
yang digunakan dalam makanan, obat, kosmetik, dan alat medis yang dijual di
pasaran, FDA mewajibkan mewajibkan batch sertifikasi untuk semua bahan
pewarna yang tercantum dalam 21 CFR bagian 74 dan 21 CFR bagian 82.
Sementara pengecualian kewajiban batch sertifikasi diberlakukan bagi bahan
pewarna yang tercantum dalam 21 CFR 73.
Berkaitan dengan hal tersebut, bahan pewarna yang memerlukan sertifikasi
adalah pewarna sintetik yang diproduksi melalui reaksi kimia. Bahan pewarna
golongan ini harus diuji kemurniannya melalui sertifikasi setiap batch-nya,
sebelum mendapat izin untuk dijual ke pasar. Dalam implementasinya, produsen
bahan pewarna mengirimkan contoh dari batch yang akan disertifikasi oleh FDA
untuk dianalisis komposisi dan kemurniannya. Jika memenuhi persyaratan, maka
FDA akan megeluarkan sertifikat dengan kode nomornya dan diberikan nama
baru sesuai dengan penggunaannya. Berdasarkan Federal Food, Drug &
Cosmetic (FD & C) Act of 1938, FDA menetapkan tiga kategori sertifikasi bahan
pewarna, yaitu:
a. FD & C untuk makanan, obat dan kosmetika
b. D & C untuk obat-obatan dan kosmetika
c. External D & C untuk obat-obatan dan Kosmetika untuk pemakaian luar.
Menurut Nutrition Labeling & Education Act tahun 1990, bahan pewarna
bersertifikat tersebut harus dicantumkan dalam penandaan atau label dengan
menggunakan nama yang umum digunakan. itu, menurut Cahya et al (2012),
bahan tambahan pewarna dapat dikecualikan dari sertifikasi jika diperoleh dari
tanaman atau bahan mineral, seperti:
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 18
a. Bahan pewarna alami (natural color). Dalam implementasinya, FDA
menyerahkan sepenuhnya kepada produsen untuk menjelaskan bahwa
bahan pewarna produksinya adalah bahan pewarna alami.
b. Bahan pewarna identik alami (natural identical color) yaitu bahan pewarna
yang diproduksi melalui sintesis kimia, namun tidak diwajibkan sertifikasi oleh
FDA karena dianggap tidak dapat dibedakan dengan bahan pewarna asli
yang diperoleh dari alam, baik perbedaan secara kimia maupun perbedaan
fungsi pemakaiannya. Beberapa contoh bahan pewarna tersebut antara lain:
Beta-carotene yang dibuat secara sintetik dari acetone tidak dapat dibedakan
dengan bahan pewarna Beta-carotene yang diperoleh dari alam seperti
wortel.
Distribusi B2
Pengaturan distribusi B2 tidak terpisah dari pengaturan Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3) yang meliputi limbah B3 dan produk B3. Namun terlihat bahwa
pengaturan limbah B3 terkesan lebih ketat dibandingkan pengaturan B3, karena
pengaturan B3 sudah dilaksanakan sejak lama, dan menjadi standar baku secara
universal, khususnya dalam menangani bahan kimia dan bahan bakar.
Damanhuri (2009) menjelaskan bahwa transportasi B2 di Amerika Serikat diatur
dalam Hazardous Materials Transportation Act yang menjadi wewenang
Kementerian Transportasi (US Department of Transportation). Dalam ketentuan
tersebut diatur bahwa distribusi B2 harus dilengkapi dengan dokumen resmi yang
merupakan legalitas kegiatan pengelolaan, sehingga dokumen ini akan
merupakan sarana atau alat pengawasan dalam konsep cradle-to-grave. Dalam
istilah umum, dokumen tersebut dikenal sebagai shipping papers yang antara
lain terdiri dari:
a. Bagian yang harus diisi oleh penghasil atau pengumpul limbah B3, antara lain
berisi:
Nama dan alamat penghasil atau pengumpul limbah B3 yang
menyerahkan limbah B3 Nomor identifikasi (identification number) UN/NA
Kelompok kemasan (packing group),
Kuantitas (berat, volume dan sebagainya)
Kelas „bahaya‟ dari bahan itu (hazard class),
Tanggal penyerahan limbah
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 19
Tanda tangan pejabat penghasil atau pengumpul, dilengkapi tanggal,
untuk menyatakan bahwa limbahnya telah sesuai dengan keterangan
yang ditulis serta telah dikemas sesuai peraturan yang berlaku.
Bila pengisi dokumen adalah pengumpul yang berbeda dengan penghasil,
maka dokumen tersebut dilengkapi dengan salinan penyerahan limbah
tersebut dari penghasil limbah.
b. Bagian yang harus diisi oleh pengangkut limbah B3, antara lain berisi:
Nama dan alamat pengangkut limbah B3
Tanggal pengangkutan limbah
Tanda tangan pejabat pengangkut limbah
c. Bagian yang harus diisi oleh pengolah, pengumpul atau pemanfaat limbah
B3, antara lain berisi:
Nama dan alamat pengolah atau pengumpul atau pemanfaat limbah B3
Tanda tangan pejabat pengolah, pengumpul atau pemanfaaat, dilengkapi
tanggal, untuk menyatakan bahwa limbah yang diterima sesuai dengan
keterangan dari penghasil dan akan diproses sesuai peraturan yang
berlaku
Jenis limbah dan jumlahnya
Alasan penolakan
Tanda tangan pejabat pengolah atau pemanfaat dan tanggal
pengembalian
d. Apabila limbah yang diterima ternyata tidak sesuai dan tidak memenuhi
syarat, maka limbah tersebut dikembalikan kepada penghasil, disertai
keterangan bahwa surat-surat dokumentasi pengangkutan tersebut
ditempatkan di kendaraan angkut sedemikian rupa sehingga mudah didapat
dan tidak tercampur dengan surat-surat lain. Penghasil limbah B3 akan
menerima kembali dokumen limbah B3 tersebut dari pengumpul atau
pengolah paling lambat dalam 120 hari sejak limbah tersebut diangkut untuk
dibawa ke pengumpul atau pengolah.
1.5.2 Thailand
Pengawasan peredaran B2 di Thailand diatur dalam undang-undang
Kerajaan Thailand tahun 2535 BE (1991 M) yang ditetapkan oleh Raja Bhumibiiol
Adulyadej Rex tanggal 29 Maret 2535 BE (1991 M). Dalam UU tersebut
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bahan berbahaya (B2) mencakup
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 20
berbagai bahan, yaitu: (1) bahan eksplosif, (2) bahan mudah terbakar
(flammable), (3) peroksida dan agen oksidising (oxidizing agent), (4) bahan
toksik, (5) bahan penyebab penyakit, (6) bahan radioaktif, (7) bahan penyebab
mutant, (8) bahan korosif, (9) bahan iritatif, dan (10) bahan lainnya baik kimia
ataupun lainnya yang menyebabkan bahaya bagi manusia, hewan, tanaman,
property, atau lingkungan.
Dalam UU tersebut pasal 6, dibentuk sebuah komite yang disebut
Committee on Hazardous Subtance yang terdiri dari: sekretaris tetap dari
Kementerian Industri sebagai Ketua Komite, Direktorat Jenderal pada
Departemen Perdagangan dalam Negeri, Direktorat Jenderal pada Departemen
Pelayanan Kesehatan, Direktorat Jenderal pada Departemen Pekerjaan Umum,
Direktorat Jenderal pada Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal pada
Departemen Penyuluhan Pertanian, Sekretaris Jenderal dari Badan Lingkungan
Nasional, Sekretaris Jenderal dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan,
Sekretaris Jenderal dari Kantor Tenaga Atom untuk Perdamaian, Sekretaris
Jenderal dari Kantor Lembaga Standardisasi Industri dan perwakilan dari
Kementerian Pertahanan, serta tidak lebih dari tujuh orang tenaga ahli (pakar)
yang ditugaskan oleh Kabinet. Ketujuh tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kabinet
harus memiliki ekpertise, bekerja, dan memiliki pengalaman dalam bidang
cabang ilmu kimia, sains, rekayasa, ilmu pertanian, atau hukum, dan paling tidak
dua di antaranya yanag ditunjuk bekerja pada lembaga yang memiliki
kepentingan dalam perlindungan kesehatan atau lingkungan. Sekretariat dari
Komisi Bahan Berbahaya ini bekerja di bawah kontrol, dukungan, dan
pengawasan dari menteri-menteri terkait, yaitu Menteri Pertanahan, Menteri
Pertanian dan Koperasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan Publik,
Menteri Sains, Teknologi, dan Lingkungan, serta Menteri Perindustrian.
Secara umum, kewenangan dan tugas dari Komisi Bahan Berbahaya ini
adalah untuk memberikan pendapat, nasehat dan pertimbangan kepada
kementerian perindustrian dan/atau instansi lainnya terkait produksi, impor,
ekspor dan kepemilikan jenis-jenis B2, penyediaan informasi, pendaftaran dan
penerbitan ijin, pengawasan, dan hal-hal lain terkait dengan B2 yang sesuai
dengan tugas dan kewenangan sesuai dengan undang-undang. Keberadaan
komisi ini tentunya lebih bersifat pemberian nasehat dan pertimbangan kepada
kementerian atau lembaga terkait sebagai pelaksana di lapang. Sebagai contoh,
Kementerian Perindustrian dengan pertimbangan dari Komisi B2 harus
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 21
menerbitkan dalam lembaran negara secara jelas daftar B2 yang dalam proses
produksinya dan sifatnya dapat menyebabkan kecelakaan yang membahayakan.
Bahan berbahaya dikelompokkan dalam 4 (empat) jenis, yaitu (1) B2 yang
produksi, impor, ekspor atau kepemilikannya harus memenuhi criteria dan
prosedur spesifik; (2) B2 yang produksi, impor, ekspor atau kepemilikkannya
harus sebelumnya diberitahukan kepada instansi berwenang dan harus
memenuhi criteria dan prosedur spesifik; (3) B2 yang produksi, impor, ekspor,
atau kepemilikannya harus mendapatkan ijin; dan (4) B2 yang produksi, impor,
ekspor, atau kepemilikannya dilarang. Kementerian Perindustrian dengan
pertimbangan dari Komisi Bahan Berbahaya memiliki kewenangan untuk
mempublikasikan dalam lembaran negara mengenai nama-nama atau kualifikasi
dan jenis bahan berbahaya, cara mendapatkan ijin dan lembaga yang
bertanggungjawab dalam pengawasannya.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 22
BAB III METODOLOGI
3.1 Kerangka Pemikiran
Pengadaan, peredaran dan penggunaan B2 dewasa ini semakin meningkat
baik jenis maupun jumlahnya serta mudah diperoleh di pasaran. Kondisi tersebut
menyebabkan terjadi penyalahgunaan yang dapat menimbulkan gangguan
terhadap kesehatan, keamanan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhan-
tumbuhan serta lingkungan hidup. Sebagai upaya untuk meningkatkan
pencegahan penyalahgunaan B2, diperlukan kebijakan yang berkaitan dengan
aspek pengadaan, pengedaran, penjualan dan pengawasan bahan berbahaya
yang berasal dari dalam negeri dan impor.
Berdasarkan pertimbangan tersebut pemerintah menetapkan Peraturan
Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang pengadaan, distribusi dan
pengawasan bahan berbahaya dan dirubahn dengan Pemendag Nomor 23/M-
Dag/Per/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009.
Berdasarkan kedua Permendag ini dan ketentuan peraturan turunannya,
dilakukan pengaturan pengadaan, distribusi dan pengawasan bahan berbahaya.
Namun demikian, ada indikasi bahwa pelaksanaan ketentuan peraturan ini belum
bisa menjamin sepenuhnya pengurangan penyalahgunaan bahan berbahaya,
khususnya Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B untuk pangan.
Penyalahgunaan B2 untuk keperluan pangan berkaitan dengan aspek
ketersediaan dan aspek permintaan. Kemudahan untuk mendapatkan B2 yang
murah untuk keperluan industri pangan, khususnya industri mikro dan kecil, ada
kaitannya dengan sistem pengadaan dan distribusi yang masih memiliki
kelemahan. Pengawasan terkait dengan pengadaan dan distribusi B2 masih
belum bisa dilaksanakan secara efektif, karena sistem pengadaan dan distribusi
yang masih kurang baik, serta tingkat kepatuhan pelaku usaha dalam
melaporkan jumlah pengadaan dan penjualannya yang masih relatif rendah.
Sementara itu, industri pangan terdorong untuk menggunakan B2 secara
ilegal karena harga yang relatif terjangkau dan ketidakpedulian akan dampak
buruk penggunaan dan konsumsi bahan pangan yang mengandung B2.
Pengguna akhir lebih mementingkan keuntungan dan kurang mengindahkan
dampak kesehatan dan keselamatan konsumennya.
Berkembangannya perdagangan B2 dewasa ini mendorong diperlukannya
revisi peraturan yang ada dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 23
pengadaan, distribusi dan pengawasan B2, serta memperkecil kemungkinan
penggunaan B2 untuk keperluan yang tidak semestinya. Dengan menggunakan
Regulatory Impact Anaysis (RIA) yang menganalisis dampak Sosial Ekonomi dan
Kelembagaan dan dampak Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan serta melihat
manfaat dan Biaya Langsung diharapkan menghasilkann rekomendasi kebijakan
B2 yang lebih komprehensif (Gambar 3.1).
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran
3.2 Lokasi Kajian dan Responden
Untuk menggali data dan informasi tentang pengadaan,
pendistribusian dan pengawasan B2 dilakukan survey kepada pelaku usaha
dan instansi yang terkait. Lokasi kajian dilakukan di Medan, Surabaya,
Makassar dengan pertimbangan daerah-daerah tersebut merupakan pusat
distribusi, perdagangan dan industri B2.
pengadaan, peredaran dan penggunaan B2 terus meningka serta mudah
diperoleh di pasaran;
penyalahgunaan peruntukan yang dapat menimbulkan gangguan
terhadap K3L
Permendag No.44/M-DAG/PER/9/2009
PENGADAAN DISTRIBUSI PENGGUNAAN
PENGAWASAN
RIA
RIA
EVALUASI PERMENDAG
REKOMENDASI KEBIJAKAN B2
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 24
Selanjutnya, pemilihan responden dilakukan dengan mengikuti teknik
snowball dengan menelusuri simpul pemasaran mulai dari pelaku sampai
simpul ke pedagang pengecar dan pengguna akhir B2.
3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam analisis ini dilakukan dengan cara
survei dan observasi lapangan kepada responden di daerah penelitian
dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan serta melakukan
wawancara langsung secara mendalam (in depth). Pertanyaan dikembangkan
untuk mendalami berbagai hal yang belum tertangkap melalui kuesioner.
Selain survey, pengambilan data dan informasi juga akan dilakukan melalui
Diskusi Terbatas (konsultasi publik) untuk menggali dan mencari solusi dari
permasalahan yang ada dalam penerapan kebijakan pengawasan B2. Dalam
Diskusi Terbatas ini akan diundang para pemangku kepentingan yang terkait
dengan B2.
Metode yang digunakan dalam penentuan responden adalah
purposive sampling (metode pemilihan dengan cara sengaja memilih sampel-
sampel tertentu karena memilki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki sampel
lainnya) pada pelaku usaha yang memperdagangkan Formalin, Boraks dan
Rhodamin-B.
Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data primer dan
sekunder. Data primer terdiri dari harga B2 dari setiap simpul pemasaran,
biaya pemasaran, jumlah pelaku usaha pada saluran pemasaran dan
implementasi Permendag. Data Primer diperoleh dari wawancara langsung
dengan responden yaitu produsen, distributor, pengecer, industri pengolahan
B2. Data sekunder yang dikumpulkan adalah produksi serta kebijakan terkait
komoditas tersebut. Sumber data Sekunder tersebut diperoleh melalui
pendekatan Desk Study (review dokumenter) dan data dari instansi yang
terkait, seperti BPS, BPOM, Kementerian Perindustrian dan lainnya.
3.4 Metode Analisis
Analisis data dan informasi permasalahan terkait kebijakan B2
merupakan bagian penting dari suatu analisis kebijakan. Selanjutnya, analisis
kajian ini menggunakan metode Regulation Impact Analysis (RIA) untuk
mereview Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 25
atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan
Pengawasan Bahan Berbahaya.
Bappenas (2011) menyatakan bahwa metode RIA merupakan salah
satu alat atau pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas suatu kebijakan pemerintah. Metode RIA ini merupakan proses
analisis dan pengkomunikasian secara sistematis berbagai aspek dalam
penetapan dan pelaksanaan sebuah kebijakan, baik yang berbentuk
peraturan maupun non-peraturan, yang sudah ada maupun kebijakan baru.
Dalam kajian ini, kebijakan yang akan dianalisis merupakan kebijakan yang
sudah ada berupa Peraturan-Peraturan Menteri Perdagangan tentang
Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya (Nomor: 44/M-
DAG/PER/9/2009 dan Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011). Proses dalam
pelaksanaan metode RIA dijelaskan pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Proses Pelaksanaan Regulatory Impact Assessment (RIA)
Sumber: Kementerian PPN/BAPPENAS (2009)
Sebagai suatu proses, pelaksanaan metode RIA dilakukan melalui
berbagai tahapan (langkah), yaitu:
1. Identifikasi dan analisis masalah terkait dengan kebijakan
Dalam tahapan identifikasi dan analisis masalah ini, pengambil kebijakan
diharapkan dapat melihat dengan jelas permasalahan yang sebenarnya
Identifikasi dan Analisis Masalah
Penetapan Tujuan
Pengembangan Berbagai Alternatif Kebijakan
Penilaian terhadap Pilihan Alternatif Kebijakan
Pemilihan Kebijakan Terbaik
Penyusunan Strategi Implementasi
Ko
nsu
ltasi S
takeh
old
ers
(Pu
blik
)
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 26
dihadapi dan hendak dipecahkan dengan melalui penetapan kebijakan.
Pada tahap ini, perlu dibedakan antara masalah (problem) dengan gejala
(symptom), karena penetapan kebijakan haruslah diarahkan untuk
memecahkan masalah, bukan gejalanya. Dengan demikian, kebijakan
haruslah menyentuh kepada masalah dan penyebab (akar) masalahnya.
2. Penetapan Tujuan
Setelah masalah dan akar masalah teridentifikasi, pengambil kebijakan
perlu menetapkan tujuan dari kebijakan yang akan diambil atau telah
diambil. Tujuan dari kebijakan ini sangat penting dirumuskan dengan jelas
karena akan terkait dengan penilaian terhadap efektivitas suatu kebijakan
yang ditetapkan. Efektivitas dari suatu kebijakan menyangkut kepada
suatu kondisi apakah kebijakan yang ditetapkan dan diimplementasikan
dapat mencapai tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut.
3. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan
Setelah menetapkan tujuan dengan jelas, langkah selanjutnya adalah
mencari berbagai alternatif atau pilihan yang bisa diambil untuk
memecahkan masalah tersebut. Untuk analisis dampak dari suatu
kebijakan yang sudah dilakukan, maka alternatif pertama adalah tetap
membiarkannya dan tidak melakukan apa-apa (kondisi baseline).
Pilihan/alternatif kebijakan harus dapat digali dengan seluas-luasnya dan
dengan melibatkan seluruh stakeholders dari berbagai latar belakang dan
kepentingan, sehingga diperoleh beragam alternatif yang
dipertimbangkan untuk kebijakan.
4. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan
Penilaian terhadap alternatif pilihan kebijakan dilakukan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek, seperti legalitas, biaya, dan manfaat.
Suatu pilihan kebijakan harus tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, penilaian pilihan
berdasarkan aspek legalitas ini merupakan awal dalam melakukan
penilaian alternatif kebijakan. Terhadap masing-masing alternatif
kebijakan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan ini,
kemudian dilakukan penilaian biaya dan manfaat. Penilaian biaya dan
manfaat ini tidak harus berarti dalam bentuk biaya dan manfaat finansial
(yang diukur dengan uang), namun dapat berupa apa dan siapa yang
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 27
terkena atau mendapat dampak (biaya) dan manfaat akibat dari alternatif
kebijakan, termasuk pilihan kebijakan tidak melakukan apa-apa..
5. Pemilihan kebijakan terbaik
Pemilihan kebijakan terbaik dilakukan dengan melakukan analisis
manfaat dan biaya. Pada tahap pemilihan kebijakan terbaik dapat
dilakukan berbagai kaidah pemilihan. Namun pada umumnya, pemilihan
kebijakan terbaik berdasarkan manfaat bersih, yaitu jumlah semua
manfaat dikurangi dengan jumlah semua biaya yang terbesar.
6. Penyusunan strategi implementasi
Penerapan suatu kebijakan seperti yang dikemukakan sebelumnya akan
memberi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan tidak secara
otomatis dapat mencapai tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut.
Oleh karenanya, perlu disusun strategi dalam implementasi sehingga
penerapan suatu kebijakan mencapai yang menjadi tujuan ditetapkannya
kebijakan tersebut dan tidak menimbulkan hasil yang tidak diharapkan.
7. Partisipasi masyarakat di semua proses
Pada setiap tahapan dari proses analisis RIA ini harus melibatkan
berbagai komponen masyarakat (stakeholders) yang baik secara
langsung maupun tidak langsung terdampak oleh suatu kebijakan yang
sedang disusun. Dengan melibatkan stakeholders dalam setiap tahapan
akan didapat data dan informasi yang akurat dalam mempertimbangkan
sebuah kebijakan.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 28
Tabel 3.1. Metodologi dan Analisis Data
Tujuan Kajian Metode analisis
Data Sumber Output
1. Gambaran pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang atas perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan B2.
• Analisis isi Sekunder: peraturan Menteri Perdagangan
Kementerian Perdagangan
Hasil implementasi Permendag
2. Mengevaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang atas perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan B2.
• Metode RIA Primer: Survey dan Diskusi terbatas
Produsen, importir terdaftar (PPI), importir produsen, distributor, pengecer dan pengguna akhir, Dinas Perindag, Badan POM, Direktorat Impor, Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis, Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, YLKI, BPKN, Asosiasi, dan Surveyor impor B2
Informasi dampak Permendag
3. Merumuskan usulan kebijakan B2
• Sintesa tujuan 1 dan 2 serta hasil diskusi
Rumusan usulan kebijakan B2
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 29
BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN BAHAN BERBAHAYA
Berdasarkan hasil survey dan pengamatan di lapangan khususnya di
Makassar, Medan dan Surabaya dapat dilihat bahwa perdagangan B2 belum
dilaksanakan sesuai dengan Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang
perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi
Dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Pengamatan terkait pelaksanaan kebijakan
perdagangan B2 di lapangan melihat dari tiga aspek yaitu aspek pengadaan,
aspek distribusi dan aspek pengawasan yang bertujuan untuk mengevaluasi
pelaksaaan Permendag tersebut.
4.1. Aspek Pengadaan
Pengadaan B2 dapat dilakukan melalui dua cara yaitu produksi dalam
negeri dan importasi. B2 yang diproduksi di dalam negeri dilakukan oleh
perusahaan di dalam negeri yang mempunyai Izin Usaha Industri dari Instansi
yang berwenang. Sedangkan importasi dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) B2
yang ditetapkan dalam Permendag yaitu PT. Perusahaan Perdagangan
Indonesia (PT. PPI) (pasal 4 ayat 1) dan Produsen B2 yang mendapatkan
pengakuan sebagai Importir Produsen B2 dari Menteri Perdagangan dalam hal
ini Dirjen Perdagangan Luar Negeri (pasal 3 ayat 1). Bahan Berbahaya yang
diimpor oleh Importir Produsen (IP) B2 hanya untuk kebutuhan proses produksi
dan dilarang diperjualbelikan atau diperdagangkan maupun dipindahtangankan
ke orang lain (pasal 3 ayat 4).
PT. PPI yang ditunjuk pemerintah sebagai IT belum mampu memenuhi
kebutuhan distributor dan pengecer. Selama ini PT. PPI melalui Kantor Cabang
PPI di daerah lebih banyak menjual B2 langsung kepada pengguna akhir.
Sebagai contoh adalah B2 jenis Boraks Pentahidrat yang berasal dari Turki yang
dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi tanaman yang digunakan
bersamaan dengan pupuk. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan
melihat realisasi penjualan oleh kantor cabang. Selain itu PT.PPI sangat
membatasi dan selektif dalam mendistribusikan B2 terutama B2 yang rentan
untuk dapat disalahgunakan penggunaannya. Kondisi ini cenderung merugikan
pelaku usaha seperti distributor dan pengecer padahal idealnya PT. PPI sebagai
satu-satunya importir yang memiliki kewenangan dalam pengadaan B2
seharusnya dapat menyediakan kebutuhan B2 dalam negeri.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 30
Pengadaan B2 oleh perusahaan dalam negeri hanya untuk jenis formalin
saja. Selama ini belum ditemukan permasalahan dalam pengadaan karena
umumnya produksi formalin lebih banyak digunakan oleh industri hilir
perusahaan itu sendiri seperti industri kayu lapis dan cat, hanya sebagian kecil
saja yang didistribusikan kepada distributor untuk memenuhi kebutuhan Rumah
Sakit, Laboratorium Kimia, dan Peternakan. Namun yang perlu dicermati adalah
peningkatan kapasitas produksi formalin dalam negeri. Penyalahgunaan formalin
yang digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan terjadi di tingkat
pengecer ke pengguna akhir. Penyalahgunaan itu dilakukan oleh pengecer yang
tidak memilki SIUP-B2 dengan cara merubah kemasan menjadi kemasan kecil.
Hal ini bertentangan dengan pasal 9 ayat (3) bahwa yang berhak melakukan
pengemasan ulang (repacking) adalah IT dan Distributor B2 yang memiliki SIUP-
B2 baik untuk B2 produksi dalam negeri maupun impor.
Kegiatan usaha perdagangan khusus B2 harus dilakukan oleh pelaku
usaha yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan B2 (SIUP B2) sebagaimana
diatur dalam pasal 10, 11, dan 12. Namun sampai saat ini masih banyak pelaku
usaha yang menganggap SIUP umum sudah cukup untuk berdagang B2.
Walaupun telah dilakukan sosialisasi terkait SIUP B2 namun masih ada pelaku
usaha yang enggan mengajukan SIUP B2. Kendala lain yang dihadapi untuk
memperoleh SIUP B2 karena belum terbentuknya Tim Terpadu di Tingkat
Kab/Kota dan Tim Terpadu Tingkat Provinsi. Untuk memperoleh SIUP B2 baik
pengecer maupun distributor harus melalui pemeriksaan fisik sarana seperti
tempat penyimpanan, fasilitas pengemasan ulang, dan alat transportasi yang
memenuhi K3L yang dilakukan oleh Tim Terpadu Tingkat Kab/Kota dan Tim
Terpadu Tingkat Provinsi (pasal 11 ayat (1) dan (2))
Dalam pasal 13 ayat (2), IT B2 dan IP B2 wajib melaporkan realisasi impor
kepada Dirjen Daglu, Dirjen Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian,
dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
BPOM paling lambat 15 hari kalender terhitung sejak tanggal B2 tiba di
pelabuhan bongkar. IP B2 wajib melaporkan realisasi penggunaan kepada Dirjen
Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian, dengan tembusan kepada
Dirjen PDN dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya BPOM (pasal 13 ayat (3)). Sedangkan IT B2 wajib melaporkan
realisasi distribusi ke distributor, pengecer dan penggunan akhir kepada Dirjen
PDN dengan tembusan kepada Dirjen Daglu, Dirjen Industri Agro dan Kimia
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 31
Kementerian Perindustrian dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan
dan Bahan Berbahaya BPOM (pasal 13 ayat (3)). Penyampaian laporan oleh IT
B2 dilaksanakan setiap 3 bulan terhitung sejak ditebitkannya penetapan sebagai
IT B2 (pasal 13 ayat (6)).
Distributor B2, Pengecer B2 dan Pengguna Akhir wajib melaporkan data
perolehan dari IT B2 atau Produsen B2 serta pendistribusiannya kepada Dirjen
PDN dengan tembusan Dirjen Industri Agro dan Kimia Kementerian
Perindustrian, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan
Berbahaya BPOM dan Kepala Dinas Provinsi setiap triwulan tahun kalender
berjalan (pasal 14 ayat (1), (3), (5) dan (7)). Pelaporan dari pelaku usaha belum
berjalan dengan baik khususnya dari Pengecer B2 dan Pengguna Akhir.
Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 juga perlu penyempurnaan seperti
laporan tersebut ditembuskan kepada instansi seperti BPOM dan Dinas
Kesehatan setempat di daerah. Kebutuhan dan peruntukan B2 di daerah tidak
diketahui dengan pasti terutama dari pengecer ke pengguna akhir. Hal ini
disebabkan laporan dari pengecer yang kurang lengkap dan belum adanya
laporan dari pengguna akhir B2. Selain itu juga disebabkan lemahnya koordinasi
instansi-instansi yang melakukan pengawasan B2 di daerah.
4.2. Aspek Distribusi
Pendistribusian B2 adalah penyaluran atau peredaran dan penjualan B2
dari IT B2 dan/atau Produsen B2 kepada Distributor Terdaftar B2, dari Distributor
Terdaftar B2 kepada Pengecer Terdaftar B2, dari Pengecer Terdaftar B2 kepada
Pengguna Akhir B2, atau Importir Terdaftar B2 dan/atau Produsen B2 langsung
kepada Pengecer Terdaftar B2, atau Importir Terdaftar B2 dan/atau Produsen B2
langsung kepada Pengguna Akhir B2. Distributor Terdaftar B2 kepada Pengecer
Terdaftar B2 atau Distributor Terdaftar B2 langsung kepada Pengguna Akhir B2
(pasal 7 ayat (20)). Hal ini menyebabkan sulit untuk melakukan pengawasan B2
terutama di tingkat pengecer ke pengguna akhir karena individu/industri yang
tidak memiliki ijin dapat membeli dengan bebas, padahal dalam peraturan diatur
bahwa pengguna B2 harus memiliki ijin.
Pengaturan wilayah distribusi diperlukan untuk mempermudah
pengawasan terhadap distribusi B2. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak
terjadi di pengecer ke pengguna akhir. Pengecer menjual B2 langsung kepada
perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak menanyakan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 32
penggunaan B2 lebih lanjut. Pengecer keberatan jika harus menjual kepada
pengguna akhir yang memiliki ijin dengan alasan kesulitan menjual B2.
Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan
B2 dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga
permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar
BPOM di Tingkat Provinsi, kebanyakan industri rumah tangga tidak menyadari
bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti Rhodamin B dan
„bleng‟ (garam mengandung pengawet) yang digunakan sebagai pewarna dan
pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan banyak ditemukan karena
mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya murah. Selain itu juga ada
beberapa industri rumah tangga yang mengetahui bahaya penggunaan B2
namun tetap saja menggunakan sebagai bahan tambahan pada makanan.
4.3. Aspek Pengawasan
Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan
Bahan Berbahaya dan PA-B2 dalam menggunakan/memanfaatkan Bahan
Berbahaya dilakukan oleh Kementerian Perdagangan berkoordinasi dengan
Kementerian/ Instansi Teknis terkait. IP-B2, IT-B2, P-B2, DT-B2, PT-B2, dan PA-
B2 wajib memberikan akses dan informasi yang seluas-luasnya mengenai
kebenaran pendistribusian B2 kepada Pejabat/Pegawai yang melakukan
pengawasan. Pengawasan distribusi, pengemasan, dan pelabelan B2 meliputi:
aspek perizinan/legalitas perusahaan; pendistribusian B2 (jenis, realisasi
distribusi, dan stok B2); sarana distribusi untuk kelancaran pelaksanaan
distribusi B2; peralatan Sistem Tanggap Darurat dan Tenaga Ahli di bidang
pengelolaan B2; pelaporan pendistribusian B2; label dan kemasan B2; dan
Lembar Data Keamanan (LDK)/Safety Data Sheet (SDS) yang juga meliputi
aspek pemanfaatan/penggunaan B2 sesuai dengan peruntukannya.
Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di
pasaran belum berjalan optimal. Perijinan dan pelaporan merupakan indikator
pengawasan. Tanpa adanya dua hal tersebut sangat sulit untuk melakukan
pengawasan termasuk B2. Masih lemahnya penerapan sanksi pada produk B2
yang tidak mengindahkan peraturan. Sanksi bagi pelaku usaha yang
memperdagangkan B2 sulit untuk diterapkan karena pelaku usaha B2 belum
memilki SIUP B2. Jika pun ada penerapan sanksi hanya sebatas pencabutan
SIUP umum saja tetapi hal ini sulit untuk dilakukan dengan pertimbangan-
pertimbangan hukum. Hal ini dapat menimbulkan kritik bagi pemerintah karena
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 33
pelaku usaha yang memiliki SIUP B2 dan yang tidak memiliki SIUP B2 mendapat
perlakuan yang sama dalam memperdagangkan B2 sehingga akan mendorong
pelaku usaha memperdagangankan B2 tanpa SIUP B2 dengan pertimbangan
pembuatan SIUP B2 memerlukan biaya yang tinggi.
4.4. Hasil Survey Di Daerah Penelitian
4.4.1 Makassar
Aspek Pengadaan
a. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 belum berjalan baik. Di dalam
Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 diatur bahwa pelaporan dilakukan per
triwulan. Namun sampai saat ini Dinas Perindag Provinsi Sulawesi Selatan
belum pernah menerima laporan dari pelaku usaha B2 termasuk kantor
Cabang PPI Makassar. Saat ini hanya ada satu Pengecer B2 yang memiliki
SIUP B2 yaitu CV Duta Gemini tetapi pelaporannya tidak rutin per triwulan.
CV Duta Gemini memperoleh SIUP B2 sebelum diterbitkannya Permendag
44/M-Dag/Per/9/2009. Secara umum kendala yang dihadapi oleh pelaku
usaha B2 di Sulawesi Selatan dalam pengajuan SIUP B2 karena belum
terbentuknya Tim Terpadu di Tingkat Kab/Kota yang memberikan
rekomendasi kepada Tim Terpadu Tingkat Provinsi. Berdasakan informasi
dari Dinas Perindag provinsi Sulawesi Selatan ada beberapa pelaku usaha B2
dari Kota Makassar dan Kab Pare-Pare yang mengajukan ijin SIUP B2 namun
belum bisa diterbitkan karena kendala tersebut.
b. Pelaku usaha “menganggap” SIUP umum sudah cukup untuk menjual B2.
Walaupun telah dilakukan sosialisasi terkait SIUP B2 namun masih ada
pelaku usaha yang enggan mengajukan SIUP B2 karena menganggap SIUP
umum saja sudah cukup untuk menjual B2.
c. Mekanisme pengadaan B2 oleh Kantor Cabang PPI Makassar. Kantor
Cabang PPI Makassar menjual B2 jenis Boraks Pentahidrat yang berasal dari
Turki. Boraks tersebut dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi
tanaman. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat
realisasi penjualan oleh kantor cabang. Saat ini rata-rata penjualan boraks
pentahidrat yang dilakukan Kantor Cabang PPI Makassar sebesar 2-3 ton per
bulan. Kantor Cabang PPI pernah memberikan rekomendasi ke pengecer B2
yang ada di kota Makassar untuk memperoleh SIUP B2.
d. Kebutuhan dan peruntukan B2 di Sulawesi Selatan tidak diketahui dengan
pasti. Hal ini disebabkan belum adanya laporan dari pelaku usaha B2.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 34
Aspek Distribusi
a. Pengaturan wilayah distribusi yang tidak diatur. Berdasarkan hasil diskusi
diperlukan pengaturan wilayah distribusi untuk mempermudah pengawasan
terhadap distribusi B2.
b. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna
akhir. Pengecer B2 yang ada di Kota Makassar menjual B2 langsung kepada
perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak
menanyakan penggunaan B2 lebih lanjut. Pengecer keberatan jika harus
menjual kepada pengguna akhir yang memiliki ijin sebagaimana diatur dalam
Permendag 44 dengan alasan kesulitan menjual B2.
c. Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan B2
dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga
permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar
BPOM di Provinsi Sulawesi Selatan, kebanyakan industri rumah tangga tidak
menyadari bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti
Rhodamin B yang dikenal dengan nama daerah „kasumba lango-lanngo” dan
“bleng (garam mengandung pengawet)” digunakan turun temurun sebagai
pewarna dan pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan banyak
ditemukan karena mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya murah.
Gambar 4.1. Rantai pemasaran B2 di Makassar
Sumber: Hasil Survey, 2013
Importir/Produsen (Surabaya)
Distributor (Surabaya)
Pengecer
(Makassar)
Pengguna Akhir:
Perkebunan,
Apotik,
Laboratorium,
Toko Kimia,
Perorangan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 35
Aspek Pengawasan
a. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran
belum berjalan optimal. Perijinan dan pelaporan merupakan indikator
pengawasan. Tanpa adanya dua hal tersebut sangat sulit untuk melakukan
pengawasan termasuk B2.
b. Masih lemahnya penerapan sanksi pada produk B2 yang tidak mengindahkan
peraturan. Sanksi bagi pelaku usaha yang memperdagangkan B2 sulit untuk
diterapkan karena pelaku usaha B2 belum memilki SIUP B2. Jika pun ada
penerapan sanksi hanya sebatas pencabutan SIUP umum saja tetapi hal ini
sulit untuk dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum.
Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di
Propinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pengawasan distribusi B2, ada
beberapa masukan antara lain sebagai berikut:
a. Jika Tim Terpadu di tingkat Kab/Kota belum terbentuk perlu diatur di dalam
Permendag tentang pelimpahan wewenang kepada Tim Terpadu Provinsi
guna menindaklanjuti pengajuan ijin dari pelaku usaha B2.
b. Pelaku usaha yang belum memiliki ijin sebaiknya melaporkan perdagangan
B2-nya.
c. Regulasi yang lebih detail untuk pengguna akhir perorangan (diperlukan
identitas lengkap) di dalam Permendag agar penjualan di hilir dapat
diperketat.
d. Pengguna akhir juga harus memberikan laporan penggunaan B2.
e. Pengaturan wilayah diperlukan dengan pertimbangan untuk pengawasan
pengadaan dan distribusi.
f. Pelaporan dilakukan secara on-line untuk mencegah penyalahgunaan B2 di
masyarakat.
g. Peningkatan kesejahteraan bagi penyidik B2.
h. Perlu penerapan sanksi bagi yang tidak melaporkan seperti tidak diberikan
SIUP.
i. Laporan sebaiknya dilakukan per-bulan tidak per triwulan sebagaimana diatur
dalam Permendag 44 dengan pertimbangan B2 merupakan produk yang
memiliki dampak berbahaya bagi masyarakat.
j. Importir/Distributor jangan langsung mendistribusikan B2 ke pengguna akhir
tetapi sebaiknya melalui pengecer B2.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 36
4.4.2 Medan
Aspek Pengadaan
a. Dalam survey, aspek pengadaan yang termasuk dalam cakupan penelitian
adalah mekanisme impor B2 oleh Importir Terdaftar (IT-B2) dan produksi B2
oleh Produsen Terdaftar (P-B2). Beberapa catatan antara lain:
b. Kantor Cabang PPI Medan menjual B2 jenis Boraks Pentahidrat dan Boraks
Dekahidrat yang diimpor dari Turki. Boraks tersebut dijual kepada perkebunan
sawit sebagai nutrisi tanaman yang digunakan bersamaan dengan pupuk.
Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat realisasi
penjualan oleh kantor cabang. Saat ini rata-rata penjualan boraks yang
dilakukan Kantor Cabang PPI Medan hanya sebesar 30.000 liter per bulan.
c. Berdasarkan hasil wawancara, PPI Medan merupakan DT-B2 karena
kewenangan mengimpor hanya dilakuka oleh PPI Pusat. Oleh karena itu,
Pengecer Terdaftar (PT-B2) seperti perusahaan pupuk dapat membeli produk
B2 (boraks) secara langsung ke PPI Medan dengan melampirkan jumlah dan
peruntukannya.
d. Pengadaan formalin dilakukan oleh Distributor Terdaftar (DT-B2) karena tidak
terdapat produsen B2 (P-B2) di Sumatera Utara. Pada umumnya, formalin
didatangkan dari Jakarta yang merupakan lokasi perusahaan induk (Head
Office) DT-B2 di Medan. Sebagai contoh, PT Brataco yang merupakan DT-B2
di Propinsi Sumatera Utara membeli formalin dari PT Dover yang merupakan
produsen formalin di Jakarta. Kebutuhan pengadaan formalin didasarkan
pada permintaan dari Pengecer Terdaftar (PT-B2) yang umumnya Rumah
Sakit, Laboraturium Kimia, dan Industri Peternakan.
Aspek Distribusi
a. Aspek distribusi yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah penyaluran
B2 oleh DT-B2 dan PT-B2 serta cakupan wilayah distribusi B2. Beberapa
catatan antara lain:
b. Pengaturan wilayah distribusi tidak diatur, sehingga DT-B2 dapat menyalurkan
produknya ke luar wilayah Sumatera Utara. Sebagai contoh, PT Brataco (DT-
B2) dan PT Meroke (PT-B2) dapat menyalurkan produk formalin dan boraks
ke wilayah Sumatera Barat.
c. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi terbatas, pola distribusi B2 di
Sumatera Utara tidak berjenjang. Dalam hal ini, PA-B2 dapat membeli B2
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 37
langsung dari DT-B2. Bahkan, PA-B2 seperti perusahaan perkebunan dapat
membeli produk B2 melalui PPI Medan. Padahal dalam peraturan disebutkan
bahwa PT-B2 menjual produk B2 kepada PA-B2 yang ditunjuk, sehingga PA-
B2 hanya dapat membeli B2 dari PT-B2.
Gambar 4.2. Rantai pemasaran B2 di Medan
Sumber: Hasil Survey, 2013
Aspek Pengawasan
a. Aspek pengawasan yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah
mekanisme pelaporan, penerapan sanksi, nama dagang B2 di Sumatera
Utara, serta pemahaman pelaku usaha dan konsumen terhadap B2. Beberapa
catatan antara lain:
b. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran
belum berjalan optimal. Dinas Perindag menilai koordinasi antara Dinas
Perindag, Balai POM, dan Dinas Kesehatan masih lemah. Saat ini,
pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindag hanya terbatas pada
produk-produk yang tidak sesuai dengan SNI dan peraturan label berbahasa
Indonesia. Sedangkan untuk produk pangan, baik terkait dengan B2 atau
bukan B2, masih menjadi wilayah BPOM dan Dinas Kesehatan. Selain itu,
keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan dana dinilai menjadi masalah
utama. Sebagai contoh, Petugas Pengawas dari Dinas Perindag tidak
mengetahui bentuk fisik produk B2 yang berpotensi disalahgunakan dan
beredar di pasaran. Hal ini berbeda dengan produk ber- SNI yang dijelaskan
Importir/Produsen (Jakarta)
Distributor
(Medan)
Pengecer
(Medan)
Pengguna Akhir:
Perkebunan, Rumah
Sakit, Apotek,
Laboratorium, Toko
Kimia, Perorangan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 38
dengan baik dalam Petunjuk Teknis (Juknis) Pengawasan. Alokasi dana
khusus untuk B2 juga belum tersedia seperti yang telah dilakukan untuk
pengawasan produk ber-SNI dan label bahasa Indonesia.
c. Mekanisme pelaporan oleh PT-B2 kepada Dinas Perindag Propinsi belum
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Permendag. Berdasarkan hasil
wawancara, Dinas Perindag sulit menerapkan sanksi administrasi bagi PT-B2
yang tidak melaksanakan mekanisme pelaporan sesuai dengan ketentuan.
Hal ini dikarenakan proses pemberian sanksi dilakukan berjenjang, seperti
pemberian Surat Peringatan (SP) hingga pencabutan SIUP. Dalam
pelaksanaanya, PT-B2 dapat melaporkan mekanisme tataniaga B2 setelah
mendapatkan SP ke-2, sehingga SIUP tidak jadi dicabut.
d. Pengawasan relatif sulit dilakukan karena B2 yang beredar di pasaran
menggunakan nama dagang. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat produk
pengawet sayuran berupa “Air Abu”, “Abu Cina”, dan “Garam Pengembang
Serumpun Ayam” yang menurut Balai POM merupakan produk mengandung
boraks.
e. Pengawasan yang dilakukan oleh DT-B2 kepada PT-B2, atau PT-B2 kepada
PA-B2 juga sulit dilakukan. Sebagai contoh, PT Brataco (DT-B2) sulit
mengawasi penggunaan B2 oleh Rumah Sakit/Apotek (PA-B2) walaupun
jumlah penjualan didasarkan pada kebutuhan. PA-B2 umumnya membeli
formalin dari DT-B2 dalam bentuk eceran sebanyak 10 - 30 liter/bulan,
padahal penggunaan formalin untuk Rumah Sakit diasumsikan hanya berkisar
4 – 10 liter/bulan untuk keperluan pengawetan jenazah dan perawatan medis
lainnya. Hal serupa juga dialami oleh PPI Medan yang menjual B2 kepada
PA-B2 yang umumnya perusahaan perkebunan.
f. Tingkat pemahaman konsumen dan pelaku usaha terhadap dampak negatif
penyalahgunaan B2 dinilai sudah baik. Hal ini dikarenakan budaya
masyarakat di Sumatera Utara yang sudah mengenal formalin sebagai bahan
kimia pengawet jenazah sehingga tidak boleh digunakan untuk produk
pangan. Namun, kesadaran masyarakat menjadi rendah ketika
penyalahgunaan B2 dilakukan dengan menggunakan nama dagang.
Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di
Medan terkait dengan pengawasan distribusi B2, ada beberapa masukan antara
lain sebagai berikut:
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 39
a. PT PPI mengandalkan Kartu Kendali untuk mengontrol jumlah produk B2
yang diimpor sesuai dengan kebutuhan sehingga kemungkinan
penyalahgunaan B2 dapat dicegah. Sedangakan pengawasan terhadap
produk B2 yang diimpor dilakukan dengan ketat oleh petugas dengan
berpedoman pada kode HS.
b. Pengenaan pajak impor B2 perlu dipertimbangkan karena belum tentu
menyelesaikan masalah penyalahgunaan B2, mengingat sebagian besar
penyalahgunaan B2 terjadi di sektor distribusi.
c. Dinas Perindag mengusulkan agar sistem monopoli impor tidak diterapkan
karena PT PPI sebagai IT-B2 dinilai belum memiliki kapasitas yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan impor bagi DT-B2 sekaligus IP-B2. Selain itu,
monopoli impor B2 akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan B2 di
tingkat produsen (IP-B2) dan distributor (DT-B2).
d. Usulan terkait pengaturan wilayah distribusi ditanggapi beragam. Sebagian
stakeholder seperti Dinas Perindag, DT-B2, dan PT-B2 menilai pembatasan
wilayah distribusi akan sulit dilakukan karena ada beberapa wilayah tertentu
yang tidak memiliki DT-B2. Sedangkan menurut PPI, peran PPI Cabang dapat
dimaksimalkan sebagai DT-B2 (produk boraks) sehingga pengawasan
distribusi bisa lebih optimal.
e. Pengaturan distribusi harus diperketat dengan ketentuan bahwa PA-B2 hanya
dapat membeli B2 dari PT-B2 dan PT-B2 hanya dapat membeli B2 dari DT-
B2.
f. Perlu dibentuk Tim Pengawas B2 yang berada di tingkat Propinsi dan diatur
dalam Peraturan Gubernur. Tim Pengawas terdiri dari PPNS Dinas Perindag,
Dinas Kesehatan, dan Balai POM. Tim Pengawas perlu didukung pendanaan
dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
g. Perlu dilakukan sosialisasi terkait mekanisme pelaporan B2 kepada PA-B2,
PT-B2, dan DT-B2 kepada aparat pemerintah dan pelaku usaha.Selain itu,
Juknis Pengawasan B2 harus memuat informasi yang jelas bagi petugas
pengawas B2 di daerah.
h. Perlu sosialisasi terkait bahaya B2 yang disalahgunakan dan yang beredar di
pasaran. Masyarakat dan pelaku usaha perlu dibina bahwa pengawet
makanan mengandung B2 yang selama ini beredar dengan nama “Air Abu”,
“Abu Cina”, dan “Garam Pengembang Serumpun Ayam” adalah produk
berbahaya yang dilarang beredar di pasar. Pelaksanaan pengawasan harus
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 40
berimbang sesuai dengan risiko yang ditimbulkan. Sebagai contoh,
pengawasan B2 untuk sektor perkebunan seyogyanya berbeda dari
pengawasan B2 untuk sektor non perkebunan. Hal ini bertujuan agar
pengawasan bisa berjalan efektif.
i. Perlu pembentukan Asosiasi pelaku usaha impor/produsen/distributor B2
untuk membantu mengidentifikasi besaran kebutuhan dan peruntukan B2.
j. Perlu penerapan sanksi yang lebih tegas dan harus mendapat dukungan dari
berbagai pihak. Kemendag harus dapat berkoordinasi dengan pihak berwajib
seperti kepolisian sehingga pelaksanaan pengawasan di daerah dapat lebih
efektif.
4.4.3 Surabaya
Aspek Pengadaan
a. PT. PPI sebagai IT yang ditunjuk pemerintah mengimpor B2 jenis Boraks
Pentahidrat dan Sodium Sianida. Jumlah yang diimpor oleh PT. PPI belum
mampu memenuhi kebutuhan distributor dan pengecer karena PT. PPI juga
menjual langsung kepada pengguna akhir.
b. Produsen B2 (formalin) menjual formalin hanya kepada distributor atau
pengecer yang memiliki SIUP-B2. Jumlah penyalurannya dilaporkan per
triwulan kepada Kementerian Perindustrian.
c. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 (pengecer) sudah berjalan
dengan baik namun perlu penyempurnaan seperti laporan tersebut
ditembuskan kepada instansi seperti BPOM dan Dinas Kesehatan setempat di
daerah.
d. Kebutuhan dan peruntukan B2 di Jawa Timur tidak diketahui dengan pasti
terutama dari pengecer ke pengguna akhir. Hal ini dise babkan laporan dari
pengecer yang kurang lengkap dan belum adanya laporan dari pengguna
akhir B2. Selain itu juga disebabkan lemahnya koordinasi instansi-instansi
yang melakukan pengawasan B2 di daerah
Aspek Distribusi
a. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna
akhir. Pengecer B2 yang ada di Kota Suarabaya menjual B2 langsung kepada
perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak
menanyakan penggunaan B2 lebih lanjut.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 41
b. Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan B2
dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga
permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar
BPOM di Provinsi Jawa Timur, kebanyakan industri rumah tangga tidak
menyadari bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti
Rhodamin B dan “bleng” (garam mengandung pengawet)” yang digunakan
sebagai pewarna dan pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan
banyak ditemukan karena mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya
murah. Selain itu juga ada beberapa industri rumah tangga yang mengetahui
bahaya penggunaan B2 namun tetap saja mengguna kan sebagai bahan
tambahan pada makanan.
Gambar 4.3. Rantai pemasaran B2 di Surabaya
Sumber: Hasil Survey, 2013
Aspek Pengawasan
a. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran
belum berjalan optimal.
b. Masih lemahnya penerapan sanksi bagi pelaku usaha yang
memperdagangkan B2 tanpa SIUP B2. Hal ini dapat menimbulkan kritik bagi
pemerintah karena pelaku usaha yang memiliki SIUP B2 dan yang tidak
memiliki SIUP B2 mendapat perlakuan yang sama dalam memperdagangkan
B2 sehingga akan mendorong pelaku usaha memperdagangankan B2 tanpa
Importir/Produsen
Distributor
Pengecer
Pengguna Akhir:
Perkebunan,
Apotik,
Laboratorium,
Toko Kimia,
Perorangan
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 42
SIUP B2 dengan pertimbangan pembuatan SIUP B2 memerlukan biaya yang
tinggi.
Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di
Propinsi Jawa Timur terkait dengan pengawasan distribusi distribusi B2, ada
beberapa masukan antara lain sebagai berikut:
a. Laporan dari pelaku usaha (PT-B2) ke Dinas Perindag Provinsi ditembuskan
ke Instansi terkait di daerah seperti Balai/Balai Besar POM setempat
(penambahan poin (e) pada pasal 14 ayat (4)).
b. Perlu review Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan,
Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya terkait Pengecer tidak boleh
beli langsung ke Produsen (Pasal 7).
c. Penyalahgunaan ukuran kemasan B2 tidak sesuai Permendag Nomor: 44/M-
DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan
Berbahaya
d. Pengaturan ukuran kemasan B2 dalam Permendag Nomor: 44/M-
DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan
Berbahaya perlu diatur secara detail baik untuk IT/DT/PT.
e. Sosialisasi intensif harus dilakukan secara rutin terkait untuk meminimalkan
penyalahgunaan B2 untuk pangan .
f. Laporan PA-B2 masih minim.
g. Pengaturan wilayah distribusi tidak tepat diterapkan untuk B2.
h. Edukasi pelaku usaha dan konsumen diperlukan untuk mencegah
penyalahgunaan B2.
i. Peraturan sebaiknya tidak mengatur perdagangan B2 secara general, hanya
mengatur hal-hal yang cenderung menimbulkan penyalahgunaan B2 untuk
makanan saja.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 43
BAB V EVALUASI PERATURAN BAHAN BERBAHAYA
Kebijakan yang menjadi fokus dalam analisis ini adalah peraturan
mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan B2 yang ditetapkan
berdasarkan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan
Pengawasan Bahan Berbahaya. Berdasarkan hasil pengamatan pelaksanaan
Permendag tersebut di lapangan seperti yang telah disajikan pada bab
sebelumnya, maka peraturan mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan
B2 perlu dievaluasi yang selanjutnya direvisi atau disempurnakan terutama untuk
pasal-pasal yang tertuang dalam Permendag No. 44/M-Dag/Per/9/2009 sehingga
pelaksanaannya bisa lebih efektif mencegah terjadinya penyalahgunaan B2.
Untuk melakukan penyempurnaan peraturan tersebut maka digunakan
pendekatan dengan metode Regulatory Impact Analysis (RIA).
5.1. Evaluasi Peraturan Bahan Berbahaya Menggunakan Regulatory Impact Analysis (RIA)
5.1.1. Identifikasi masalah
Permasalahan penyalahgunaan B2 seperti Boraks, Formalin, dan
Rhodamin-B untuk pangan masih banyak ditemukan terjadi di masyarakat.
Berdasarkan hasil monitoring BPOM, pada tahun 2012, di DKI Jakarta
ditemukan 17persen makanan jajanan anak sekolah (JAS) mengandung B2,
lebih tinggi dari angka nasional (9persen). Sementara itu, proporsi makanan
lainnya (non-JAS) yang mengandung B2 belum ada data yang secara
nasional, namun diduga banyak jenis makanan lainnya seperti tahu, mie
basah, dan bakso yang diduga menggunakan formalin dan boraks sebagai
bahan pengawet dan pengembang. Hasil penelitian (Winarno,1994) dari 251
jenis minuman yang diteliti di beberapa kota antara lain di Jakarta sebesar
8persen, Bogor sebesar 14,5persen, di Rangkas Bitung sebesar 17persen
terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai bahan pewarna merah pada
minuman. Lebih lanjut, berdasarkan survey yang dilakukan di 4500 sekolah
dasar tahun 2008, SEAFAST Center IPB menemukan sekitar 12,9persen
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) mengandung formalin, 9,7persen
mengandung Boraks, 4persen mengandung Rhodamin B, 3,7persen
mengandung dan 5persen mengandung Amaranth (Andarwulan, Madanijah &
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 44
Zulaikhah, 2011). Hasil uji sample PJAS dari mobil laboratorium keliling di
DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 17 persen mengandung
B2, berupa Boraks, Formalin dan Rhodamin B. Fakta ini menunjukkan bahwa
Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag
Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan
Bahan Berbahaya belum mengatur secara efektif untuk mencegah
penyalahgunaan B2 dalam bahan pangan.
Berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi dengan steakeholders yang
terlibat dengan B2, dapat diidentifikasi permasalahan terkait dengan
pengaturan B2 sebagai berikut:
1. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan
kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap
wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow,
untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.
2. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2
tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga
dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir
produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran
3. Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/M-
DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-
DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan
B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam
penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2.
4. Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran
distribusi B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah
distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2
kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2
kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada
PA-B2.
5. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat
propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang
didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya yang
mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang didistribusikan ke
dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 45
kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-
B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan.
6. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak
dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah
sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya
manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang
beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara
baik. Sementara pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri
makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku
usaha perdagangan B2.
7. Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang
berfungsi untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan
yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk mendapatkan SIUP-B2
bagi PT-B2
5.1.2. Penetapan Tujuan
Secara umum, tujuan revisi peraturan mengenai pengadaan, distribusi,
dan pengawasan B2 dilakukan untuk mencegah beredarnya B2 secara ilegal dan
untuk mencegah penyalahgunaan B2 yang dapat menimbulkan kerugian bagi
masyarakat. Secara khusus, revisi peraturan mengenai B2 bertujuan untuk: (1)
memperbaiki ketentuan pengadaan B2 sehingga memenuhi kebutuhan secara
akurat; (2) menyempurnakan sistem distribusi B2 sehingga mudah dikendalikan
dan diawasi; (3) memperbaiki sistem pengawasan B2 dan sanksi atas
pelanggaran; dan (4) mengintegrasikan pengaturan penggunaan B2.
5.1.3. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan
Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa pilihan perbaikan kebijakan
sebagai berikut :
1. Perbaikan ketentuan pengadaan B2
Dalam hal pengadaan B2, perlu adanya revisi peraturan yang
menyangkut tiga hal, yaitu: (1) jenis B2 sebaiknya tidak dikelompokkan atas
dasar yang pengaturan pengadaan impornya atau pengaturan tataniaganya.
Harusnya segala jenis B2 diatur pengadaan, impor, ekspor, distribusi,
pemilikan atau penggunaannya, hanya saja ada jenis B2 yang diatur
menggunakan kriteria dan prosedur yang spesifik, jenis B2 yang diatur
dengan perijinan, atau Jenis B2 yang dilarang, (2) pengaturan mekanisme
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 46
perencanaan kebutuhan dan pengadaan secara nasional dan wilayah, dan (3)
pengaturan kembali ijin impor.
Berkaitan dengan pengaturan kembali ijin impor, ada beberapa
alternatif, di antaranya: (1) pemberian ijin pengadaan impor tetap diberikan
kepada IP-B2 dan IT-B2, dimana IP-B2 mendistribusikan untuk proses
produksinya sendiri (tidak boleh mendistribusikan ke pasar) dan IT-B2 dapat
mendistribusikan kepada DT-B2, PT-B2, atau PA-B2 dan ditunjuk sebagai IT-
B2 adalah PPI (alternatif 1, tidak ada perubahan); (2) pemberian ijin
pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada IT-B2 dan sebagai IT-B2
ditunjuk satu BUMN (alternatif 2); dan (3) pemberian iijin pengadaan impor
B2 hanya diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat sebagai IT-B2
(alternatif 3).
2. Penyempurnaan sistem distribusi B2
Penyempurnaan sistem distribusi dilakukan agar penyaluran B2 dapat
dilakukan dengan baik, serta pengendalian dan pengawasannya dapat
dilakukan secara efektif. Beberapa alternatif penyempurnaan sistem
distribusi, di antaranya: (1) pengaturan sistem distribusi B2 yang jelas dan dan
mudah dikendalikan; dan (2) Pengaturan cabang dari IT-B2/DT-B2/PT-B2
yang jelas menurut wilayah.
Dalam pengaturan sistem distribusi, ada dua piilihan sistem distribusi:
(1) sistem distribusinya seperti yang sekarang ada, dimana IT-B2 atau P-B2
dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2, dan/atau PA-B2; DT-B2
dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 dapat
mendistribusikan kepada PA-B2 (alternatif 1) dan (2) sistem distribusi yang
baru dimana IT-B2 atau P-B2 menditribusikan B2 kepada DT-B2 atau kantor
cabang IT-B2 di suatu wilayah; DT-B2 atau Kantor Cabang IT-B2
mendistribusikan B2 kepada PT-B2 di wilayahnya; dan PT-B2
mendistribusikan B2 kepada PA-B2 di wilayahnya (alternatif 2).
3. Perbaikan sistem pengawasan B2 dan sanksi atas pelanggaran
Pengaturan mekanisme pengawasan harus lebih jelas dengan sanksi
yang tegas tidak hanya sanksi administratif. Dalam sistem pemerintahan yang
sekarang, mekanisme pengawasan harus mempertimbangkan kewenangan
pemerintah daerah. Harus ada komitmen bahwa pengawasan B2 menjadi
kewajiban dari pemerintah daerah dan bukan semata-mata menjadi
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 47
tanggungjawab pemerintah pusat. Oleh karenanya, perlu dibentuk dan
diefektifkan kinerja Tim B2 di tingkat pusat dan Tim Terpadu B2 di tingkat
propinsi atau kabupaten/kota.
Pelaku usaha yang memiliki usaha B2 di suatu wilayah memiliki
kewajiban untuk melaporkan langsung pengadaan dan distribusi B2 kepada
Tim Terpadu atau instansi terkait di wilayahnya, selain melalui kantor
pusatnya. Ketidakpatuhan pelaku usaha B2 terhadap kewajiban melapor
secara rutin dapat dikenakan sanksi administratif tidak hanya pencabutan
SIUP tetapi juga denda dan/atau penggantian kerugian sesuai dengan
ketentuan perundangan yang ada (misalnya: UU No 18/2012 tentang
Pangan).
4. Pengintegrasian pengaturan penggunaan B2.
Ketentuan mengenai penggunaan B2 oleh PA-B2 secara umum
sebaiknya perlu dicantumkan dalam peraturan mengenai pengadaan,
distribusi dan pengawasan B2, termasuk di antaranya perlunya PA-B2
mengajukan perencanaan kebutuhan secara rutin selain melaporkan
penggunaan B2 yang diperolehnya.
5.1.4. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan
Peraturan mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan B2 secara
umum perlu direvisi. Selain untuk menyempurnakan ketentuan yang ada, revisi
dilakukan untuk mengantisipasi dan sebagai konsekuensi dari adanya ketentuan
lain seperti adanya ketentuan baru (misalnya: KTBI, 2012) atau undang-undang
baru (misalnya: UU No 18/2012).
Berkaitan dengan penilaian alternatif kebijakan menyangkut pengaturan
pengadaan impor, maka berdasarkan diskusi dengan stakeholders penilaian
keuntungan dan kerugian secara kualitatif, sebagai berikut:
1. Alternatif 1: pemberian ijin pengadaan impor tetap diberikan kepada IP-B2 dan
IT-B2
Keuntungan:
a. Tidak perlu ada sosialisasi dan “regulatory arrangement” yang baru
b. Memperbaiki mekanisme pelaksanaan dari peraturan tersebut
c. Hanya perlu mengoptimalkan mekanisme pelaporan.
Kerugian:
a. Masalah pengadaan impor mungkin bisa saja tetap muncul
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 48
b. Kemungkinan adanya „kebocoran‟ dari IP-B2 ke pasar
c. Belum-mampunya IT-B2 mengadakan semua jenis B2 memunculkan
peluang pengadaan melalui impor ilegal
2. Alternatif 2: pemberian ijin pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada IT-B2
dan sebagai IT-B2 ditunjuk satu BUMN
Keuntungan:
a. Mudah mengawasi dan mengontrol pengadaan B2 dari impor
b. Menghilangkan kemungkinan „kebocoran‟ dari IP-B2
Kerugian:
a. Bersifat „monopoli‟
b. Kebutuhan IP-B2 akan tergantung pada IT-B2 (dan tentunya IP-B2 yang
membutuhkan B2 untuk proses produksinya akan menerima harga yang
lebih tinggi)
c. Perlu peningkatan kemampuan IT-B2 dalam memenuhi seluruh kebutuhan
B2
3. Alternatif 3: pemberian iijin pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada
perusahaan yang memenuhi syarat sebagai IT-B2
Keuntungan:
a. Tidak menimbulkan perbedaan perlakuan antar pengimpor, sehingga
memungkinkan untuk membentuk asosiasi pengimpor B2
b. Pengawasan dan pengendalian dapat relatif mudah dilakukan apabila
mereka membentuk asosiasi pengimpor B2
c. Menghilangkan kemungkinan „kebocoran‟ dari IP-B2
Kerugian:
a. IP-B2 akan menerima harga yang lebih tinggi karena dianggap sebagai PA-
B2 dan akan tergantung pada IT-B2
Sementara itu, berkaitan dengan penilaian alternatif kebijakan
menyangkut pengaturan distribusi B2, maka berdasarkan diskusi dengan
stakeholders penilaian keuntungan dan kerugian secara kualitatif, sebagai
berikut:
1. Alternatif 1: Sistem distribusi tetap seperti sekarang dilakukan
Keuntungan:
a. Tidak memerlukan adanya upaya sosialisasi peraturan yang baru
b. PA-B2 dapat memperoleh B2 lebih mudah dari berbagai pelaku usaha
Kerugian:
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 49
a. Menyulitkan pengawasan dan pengendalian, karena sistem distribusi tidak
terstruktur dengan jelas
b. Penyalah-gunaan B2 bisa lebih marak karena mudah didapat dengan
harga murah
2. Alternatif 2: Perubahan sistem distribusi
Keuntungan:
a. Relatif memudahkan dalam pengawasan dan pengendalian B2
b. Keberadaan kantor cabang IT-B2 atau DT-B2 dapat memperpendek rantai
tata niaga B2
c. Dapat diketahui dengan baik kebutuhan dan penyaluran B2
Kerugian:
a. PA-B2 hanya akan dapat memperoleh B2 dari PT-B2, sehingga akan
menerima harga relatif lebih mahal (merugikan PA-B2 yang besar).
5.1.5. Pemilihan kebijakan terbaik
Berdasarkan hasil diskusi, dengan mempertimbangkan keuntungan dan
kerugiannya, maka dapat diambil keputusan bahwa:
1. Pengaturan mengenai pengadaan ijin impor tetap seperti yang sekarang
diberlakukan (alternatif 1). Ijin pengadaan impor diberikan kepada IP-B2
untuk keperluan proses produksi sendiri dan kepada IT-B2 untuk
didistribusikan ke pasar. Perusahaan BUMN (PT PPI) ditunjuk sebagai IT-B2.
Namun demikian, perusahaan IP-B2 tidaklah merangkap sebagai P-B2,
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran B2 yang diimpornya
ke pasar.
2. Pengaturan mengenai distribusi B2 dipilih alternatif 2 dimana adanya
pengaturan distribusi yang lebih terstruktur dan membatasi wilayah distribusi.
Dalam konsultasi, tidak ada stakeholders yang merasa keberatan dengan
pengaturan distribusi yang baru. Hanya saja untuk pengguna akhir B2 (PA-
B2) yang membutuhkan B2 dalam jumlah besar dapat mengajukan ijin untuk
bisa mendapatkannya dari IT-B2 atau P-B2 agar mereka tidak merasa
dirugikan dengan menerima harga yang lebih tinggi jika pengaturan ini
diberlakukan.
5.2. Upaya Peningkatan Efektifitas Pengawasan Distribusi B2
Penyalahagunaan B2 terutama sebagai bahan tambahan untuk pangan
dapat membahayakan kesehatan manusia dan juga lingkungan. Salah satu
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 50
penyebab timbulnya penyalahgunaan B2 diduga karena bahan berbahaya
mudah diperoleh di pasar. Padahal Pemerintah telah menerbitkan peraturan-
peraturan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan
penyalahgunaan B2. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih belum
sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari peraturan tersebut. Pengadaan,
pendistribusian maupun penggunaan B2 terus meningkat dan bahkan semakin
mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, peraturan mengenai pengadaan,
distribusi dan pengawasan B2 perlu dievaluasi.
Beberapa ketentuan terutama dalam Permendag Nomor: 44/M-
DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2
menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan, yaitu :
a. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2
(DT-B2) sebagaimana diatur pada Pasal 1 Angka 8 dan PT-B2 ditunjuk
oleh DT-B2 pada Pasal 11 Ayat (2) Hurup d, namun pada pasal 1 Angka 12
diatur bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau
Produsen B2 (P-B2).
b. Pada Pasal 1 Angka 9, ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak
menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan
IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan IT-
B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil.
c. Pada Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan
distribusinya dan Pasal 20 Ayat (1) menyebutkan pengawasan terhadap
distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada Lampiran 1, jenis B2 yang
diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis B2 yang
diatur distribusinya sebanyak 54, sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan
pengawasan.
d. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada
pasal 1 Angka (3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja.
e. Pasal 8 Ayat (3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang
(repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II). Namun
PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan
kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan khususnya
PA-B2 skala kecil.
f. Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi
sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 51
persyaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan
tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.
g. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2.
Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2.
Tabel 5.1. Usulan Revisi Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009
No Pasal Bunyi Pasal Usulan Revisi
1 Pasal 1 Angka 8
Pengecer Terdaftar Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PT-B2 adalah perusahaan yang ditunjuk oleh DT-B2 dan mendapatkan izin usaha perdagangan khusus B2 dari Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Provinsi untuk menjual B2 kepada PAB2.
Sebaiknya PT –B2 hanya ditunjuk DT-B2 tidak ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2) seperti pasal 1 (ayat 12).
2 Pasal 1 Angka 9
Pengguna Akhir Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PA-B2 adalah perusahaan industri yang menggunakan B2 sebagai bahan baku/penolong yang diproses secara kimia fisika, sehingga terjadi perubahan sifat fisika dan kimianya serta memperoleh nilai tambah, dan badan usaha atau lembaga yang menggunakan B2 sebagai bahan penolong sesuai peruntukannya yang memiliki izin dari Instansi yang berwenang.
Pada ketentuan PA-B2 perlu dijelaskan tentang besar-kecilnya skala usaha, hal ini karena baik P-B2 dan IT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2 termasuk pada skala usaha kecil.
3 Pasal 2 Ayat (1)
Jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak kelestarian lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini
Perlu pengawasan pada semua jenis B2 baik yang diatur tataniaganya (Lampiran 1 : 351 jenis B2) maupun distribusinya (Lampiran II : 54 jenis), sehingga tidak ada perbedaan dalam pengawasan
4 Pasal 3 Ayat (1)
P-B2 yang akan melakukan impor B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib mendapat pengakuan sebagai IP-B2 dari Menteri dalam hal ini Dirjen Daglu
Sebaiknya produsen B2 tidak boleh mengimpor maka pasal 3 (ayat 1) ini dihapus
5 Pasal 8 Ayat (3)
Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan label yang memuat nama/jenis B2, nama dan alamat P-B2 atau IT-B2 atau DT-B2 yang mengemas ulang, berat/volume netto, peruntukan, piktogram/simbol bahaya, kata sinyal, dan pernyataan bahaya yang mengacu pada panduan umum, sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
Ketentuan tersebut belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan (Lampiran II), karena PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Pada pasal ini perlu ditambahkan ayat yang peruntukannya kepada PA-B2. Berat/volumenya diatur pada Lampiran IV.
6 Pasal 12 Ayat (2)
Kantor Cabang Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika tidak
Sebaiknya Kantor cabang hanya sampai DT-B2
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 52
pendistribusikan B2 dari Kantor Pusat Perusahaan dapat berfungsi sebagai pengecer untuk mendistribusikan B2 kepada PA-B2, dengan kewajiban memiliki SIUP-B2 sebagai PT-B2.
karena harus memiliki pesryaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2, sementara PT-B2 tidak diharuskan memiliki persyaratan tersebut.
7 Pasal 19
Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan B2 dan PA-B2 dalam menggunakan/ memanfaatkan B2 dilakukan oleh Departemen Perdagangan berkoordinasi dengan Departemen/ Instansi Teknis terkait
Perlu juga dilakukan pembinaan terhadap P-B2 dan usulan ini dapat dimasukan pada pasal 9
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 53
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan
a. Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan
Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi
dan Pengawasan Bahan Berbahaya belum komprehensif dan
implementasinya belum efektif. Tujuan dari Permendag ini adalah upaya
untuk meningkatkan pencegahan penyalahgunaan peruntukan B2.
Namun dalam kenyaataan pada saat ini masih banyak ditemukan
penyalahgunaan jenis B2 tertentu seperti Boraks, Formalin, dan
Rhodamin-B dan yang digunakan untuk bahan pangan.
b. Hasil temuan menunjukkan masih banyak penyalahgunaan B2 untuk
pangan. Berdasarkan hasil penelitian, dari total 251 jenis minuman di
beberapa kota antara lain di Jakarta sebesar 8persen, Bogor sebesar
14,5persen; di Rangkas Bitung sebesar 17persen terbukti mengandung
Rhodamin-B sebagai bahan pewarna merah pada minuman (Winarno,
1994). Lebih lanjut, berdasarkan survey yang dilakukan di 4500 sekolah
dasar tahun 2008, SEAFAST Center IPB menemukan sekitar 12,9persen
Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) mengandung formalin, 9,7persen
mengandung Boraks, 4persen mengandung Rhodamin B, 3,7persen
mengandung dan 5persen mengandung Amaranth (Andarwulan,
Madanijah & Zulaikhah, 2011). Hasil uji sample PJAS dari mobil
laboratorium keliling di DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa
17 persen mengandung B2, berupa Boraks, Formalin dan Rhodamin B.
Laporan BPOM tahun 2012 menunjukkan bahwa secara nasional sekitar
9persen PJAS mengandung B2.
c. Beberapa ketentuan terutama dalam Permendag Nomor: 44/M-
DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2
menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan yaitu :
1) Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor
Terdaftar B2 (DT-B2) pada pasal 1 (ayat 8) dan PT-B2 ditunjuk oleh
DT-B2 pada pasal 11 (ayat 2d), namun pada pasal 1 (ayat 12) bahwa
PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen
B2 (P-B2).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 54
2) Pada pasal 1 (ayat 9), ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2)
tidak menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik
P-B2 dan IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2,
maka P-B2 dan IT-B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil.
3) Pada Pasal 2 (ayat 1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga
impor dan distribusinya dan pasal 20 (ayat 1) menyebutkan
pengawasan terhadap distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada
Lampiran 1, jenis B2 yang diatur tata niaga impornya sebanyak 351
jenis, sedangkan jenis B2 yang diatur distribusinya sebanyak 54,
sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan pengawasan.
4) Pasal 3 (ayat 1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2,
sedangkan pada pasal 1 (butir 3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja.
5) Pasal 8 (ayat 3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang
(repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II),
namun PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2
dalam kemasan kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan
kebutuhan khususnya PA-B2 skala kecil.
6) Pasal 12 (ayat 2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat
berfungsi sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak
diwajibkan memiliki persyaratan, salah satunya memiliki peralatan
sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.
7) Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2,
PT-B2 . Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2.
d. Implementasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai
Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang
Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum berjalan dengan baik
yang disebabkan:
Pengadaan
1) Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan
kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap
wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow,
untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.
2) PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai
IT-B2 tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 55
dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir
produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran
3) Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/M-
DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-
DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan
Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada
kesulitan dalam penyesuaian Harmonized System (HS) dalam
importasi B2.
Distribusi
1) Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran
distribusi B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah
distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan
B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat
mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2
mendistribusikan B2 kepada PA-B2.
2) Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di
tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2
yang didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya
yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang
didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi.
Disamping itu, tidak ada kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi
kebocoran berasal dari PT-B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan
peruntukan.
Pengawasan
1) Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum
banyak dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif
rendah sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh
sumber daya manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada
pengawasan barang beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk
B2 belum berjalan secara baik. Sementara pengawasan oleh BPOM
lebih kepada industri makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi
bukan kepada pelaku usaha perdagangan B2.
2) Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang
berfungsi untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 56
penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk
mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2
6.2 Rekomendasi Kebijakan
a. Perlu dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendag Nomor: 23/M-
DAG/PER/9/2011 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2
sebagai perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009
Tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 agar
penyalahgunaan B2 dapat diminimalkan. Revisi peraturan ini antara lain
menyangkut aspek pengadaan, distribusi dan pengawasan serta
penerapan sanksi, sebagai berikut :
Pengadaan:
a) Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan,
serta perijinan dan pemgetatan pelaporan B2. Dengan memperhatikan
keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti
yang sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar
(IT).
Distribusi dan Pengawasan:
a) Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap
peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur,
sehingga mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai
berikut: Produsen (P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2)
menyalurkannya ke Distributor Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke
Pengecer Terdaftar (PT-B2) menyalurkannya ke PA-B2 .
b) Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2
di setiap wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang
berfungsi sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani
kebutuhan di wilayahnya dan untuk itu berkewajiban melaporkan
realisasi distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya.
c) PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat
langsung membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan
permohonan ijin khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus
diberikan untuk jumlah dan kurun waktu tertentu.
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 57
b. Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan
pengawasan distribusi B2, dengan melibatkan instansi terkait meliputi
koordinasi dan mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan pembentukan
Tim Pemeriksa .
c. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan
menimbulkan efek jera sesuai dengan pelanggarannya dalam upaya
meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi segala
kewajiban, antara lain pelaporan. Penerapan sanksi terhadap
pelanggaran perlu ditegakkan dan mengacu pada peraturan perundangan
yang berlaku yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen.
d. Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan
dengan peredaran B2 secara terkoordinir dan berkesinambungan,
dibarengi dengan upaya untuk menyediakan bahan alternatif yang bisa
menggantikan fungsi B2 dengan harga yang relatif murah.
e. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan
B2 untuk pangan kepada para pelaku usaha terutama industri pangan
atau pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas dalam bentuk
workshop, seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi,
perlu tetap melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur
di masyarakat dapat dalam bentuk program konsumen cerdas
(KONCER).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 58
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan N, Madanijah S, Zulaikhah. 2009. Safety of school children foods in
Indonesia. Di dalam: Dewanti-Hariyadi et al. Editor. Proceeding of International Seminar Current Issue and Challenges in Food Safety. Bogor: Seafast Center.
[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Kajian
Ringkas Pengembangan dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) di Kementerian PPN/BAPPENAS. Jakarta: Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS
[BPOM]. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2012. Report to the Nation:
Laporan Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan RI kwartal I Tahun 2012. Jakarta: BPOM
[CDC]. Centre for Disease Control. 2010. Borax (Boric Acid) sold or represented
as food. Food Safety Notes Chuangchote C. 2003. Food safety strategy.
http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/Resources/Topics/Standards/standards_training_challenges_thailand.pdf [11 Februari 2013]
Cahya et al (2012). Standar Bahan Pewarna Makanan. Universitas Diponegoro.
Damanhuri, Enri. 2009. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Diktat
Kuliah. ITB
[EPA]. Environmental Protection Agency. 2007. Formaldehyde. TEACH Chemical
Summary. Punvanti IT, Wulandari YW, Rahayu K. 2009. Formalin contamination in
children‟s street food at school in Surakarta, Central Java, Indonesia. Di dalam: Dewanti-Hariyadi et al. Editor. Proceeding of International Seminar Current Issue and Challenges in Food Safety. Bogor: Seafast Center.
Sabet D. 2012. Formalin: How to address a market failure? Monthly Current
Event Analysis Series. University of Liberal Arts Bangladesh. Wikanta W. 2010. Persepsi masyarakat tentang penggunaan formalin dalam
bahan makanan dan pelaksanaan pendidikan gizi dan keamanan pangan. Jurnal Biologi dan Pembelajarannya. Vol 1 (2).
Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 59
MEMO KEBIJAKAN
UPAYA PENINGKATAN PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYA
Isu Kebijakan
1. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 yang kemudian
direvisi menjadi Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 mengatur tentang Pengadaan, Distribusi dan
Pengawasan Bahan Berbahaya (B2). Tujuan dari Permendag ini adalah upaya untuk meningkatkan
pencegahan penyalahgunaan peruntukan B2. Dalam kenyataan, pada saat ini masih banyak
ditemukan penyalahgunaan jenis B2 tertentu, seperti Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil
Yellow yang biasa digunakan untuk pengolahan pangan.
2. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa 8 – 17% dari total 251 jenis minuman di beberapa
kota, seperti Jakarta, Bogor Rangkas Bitung, rata-rata terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai
bahan pewarna merah pada minuman (Winarno, 1994). Survey yang dilakukan oleh SEAFAST
Center IPB di 4500 sekolah dasar tahun 2008, juga menemukan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)
mengandung formalin sebesar 12,9%, Boraks 9,7%, Rhodamin B 4%, Metanil yellow 3,7%, dan
Amaranth 5% (Andarwulan, Madanijah & Zulaikhah, 2011). Selain itu, pada tahun 2012 hasil uji
sample mobil laboratorium keliling terhadap PJAS di DKI Jakarta menunjukkan bahwa 17 %
mengandung B2, berupa Boraks, Formalin dan Rhodamin B dan laporan BPOM pada tahun yang
sama menunjukkan bahwa secara nasional sekitar 9% PJAS mengandung B2.
Evaluasi Terhadap Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag
Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2
3. Beberapa ketentuan terutama dalam Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang
Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan
ketidakjelasan yaitu :
a. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2 (DT-B2) pada pasal 1
(ayat 8) dan PT-B2 ditunjuk oleh DT-B2 pada pasal 11 (ayat 2d), namun pada pasal 1 (ayat 12)
bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2).
b. Pada pasal 1 (ayat 9), ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak menjelaskan batasan
besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung
menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan IT-B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil.
c. Pada Pasal 2 (ayat 1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya dan
pasal 20 (ayat 1) menyebutkan pengawasan terhadap distribusi, pengemasan dan pelabelan B2.
Pada Lampiran 1, jenis B2 yang diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis
B2 yang diatur distribusinya sebanyak 54 , sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan pengawasan.
d. Pasal 3 (ayat 1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada pasal 1 (butir 3) P-B2
hanya memproduksi B2 saja.
e. Pasal 8 (ayat 3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang (repacking) yang dilakukan
oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II), namun PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual
kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan
khususnya PA-B2 skala kecil.
f. Pasal 12 (ayat 2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi sebagai PT-B2. Jika
kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki persyaratan, salah satunya memiliki
peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.
g. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 . Pada pasal ini
belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2.
4. Implementasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag
Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum
berjalan dengan baik, disebabkan :
Pengadaan a. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan kebutuhan setiap jenis B2
secara jelas, baik nasional maupun setiap wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan
Metanil Yellow, untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.
b. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 tidak mampu
melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran
yang berasal dari Importir produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran
c. Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai
Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi
dan Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam
penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2.
Distribusi a. Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran distribusi B2 yang kurang
terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat
mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2
kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2.
b. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat propinsi dan
kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang didistribusikan di suatu wilayah
dilakukan melalui kantor pusatnya yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang
didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada
kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-B2 ke PA-B2 yang
dapat disalahgunakan peruntukan.
Pengawasan a. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak dilakukan di daerah.
Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum
didukung oleh sumber daya manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan
barang beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara baik.
Sementara pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri makanan/minuman yang
menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku usaha perdagangan B2.
b. Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi untuk melakukan
verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk
mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2
Rekomendasi Kebijakan
5. Perlu dilakukan revisi Permendag terutama pada pasal-pasal yang tertuang pada Permendag
Nomor : 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 (lampiran 1 ).
Selain revisi pada pasal-pasalnya maka yang menyangkut aspek pengadaan, distribusi dan
pengawasan serta penerapan sanksi, perlu ada penyempurnaan, sebagai berikut :
Pengadaan :
a. Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan pengetatan pelaporan B2. Dengan memperhatikan keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti yang sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT).
Distribusi dan Pengawasan :
a. Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur, sehingga mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai berikut: Produsen (P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2) menyalurkannya ke Distributor Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar (PT-B2) menyalurkannya ke PA-B2 .
b. Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2 di setiap wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang berfungsi sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani kebutuhan di wilayahnya dan untuk itu berkewajiban melaporkan realisasi distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya.
c. PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat langsung membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan permohonan ijin khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus diberikan untuk jumlah dan kurun waktu tertentu.
6. Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan distribusi B2, dengan
melibatkan instansi terkait meliputi koordinasi dan mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan
pembentukan Tim Pemeriksa .
7. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan menimbulkan efek jera sesuai
dengan pelanggarannya dalam upaya meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi
segala kewajiban, antara lain pelaporan. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran perlu ditegakkan
dan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-undang Perlindungan
Konsumen.
8. Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan dengan peredaran B2 secara
terkoordinir dan berkesinambungan, dibarengi dengan upaya untuk menyediakan bahan alternatif
yang bisa menggantikan fungsi B2 dengan harga yang relatif murah.
9. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan B2 untuk pangan kepada
para pelaku usaha terutama industri pangan atau pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas
dalam bentuk workshop, seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi, perlu tetap
melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur di masyarakat dapat dalam bentuk
program konsumen cerdas (KONCER).
Lampiran 1 : Usulan Revisi Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2
No Pasal Bunyi Pasal Usulan Revisi
1 Pasal 1 (ayat 8)
Pengecer Terdaftar Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PT-B2 adalah perusahaan yang ditunjuk oleh DT-B2 dan mendapatkan izin usaha perdagangan khusus B2 dari Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Provinsi untuk menjual B2 kepada PAB2.
Sebaiknya PT –B2 hanya ditunjuk DT-B2 tidak ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2) seperti pasal 1 (ayat 12).
2 Pasal 1 (ayat 9)
Pengguna Akhir Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PA-B2 adalah perusahaan industri yang menggunakan B2 sebagai bahan baku/penolong yang diproses secara kimia fisika, sehingga terjadi perubahan sifat fisika dan kimianya serta memperoleh nilai tambah, dan badan usaha atau lembaga yang menggunakan B2 sebagai bahan penolong sesuai peruntukannya yang memiliki izin dari Instansi yang berwenang.
Pada ketentuan PA-B2 perlu dijelaskan tentang besar-kecilnya skala usaha, hal ini karena baik P-B2 dan IT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2 termasuk pada skala usaha kecil.
3 Pasal 2 (ayat 1) Jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak kelestarian lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini
Perlu pengawasan pada semua jenis B2 baik yang diatur tataniaganya (Lampiran 1 : 351 jenis B2) maupun distribusinya (Lampiran II : 54 jenis), sehingga tidak ada perbedaan dalam pengawasan
4 Pasal 3 (ayat1) P-B2 yang akan melakukan impor B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib mendapat pengakuan sebagai IP-B2 dari Menteri dalam hal ini Dirjen Daglu
Sebaiknya produsen B2 tidak boleh mengimpor maka pasal 3 (ayat 1) ini dihapus
5 Pasal 8 (ayat 3)
Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan label yang memuat nama/jenis B2, nama dan alamat P-B2 atau IT-B2 atau DT-B2 yang mengemas ulang, berat/volume netto, peruntukan, piktogram/simbol bahaya, kata sinyal, dan pernyataan bahaya yang mengacu pada panduan umum, sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.
Ketentuan tersebut belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan (Lampiran II), karena PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Pada pasal ini perlu ditambahkan ayat yang peruntukannya kepada PA-B2. Berat/volumenya diatur pada Lampiran IV.
6 Pasal 12 (ayat 2).
Kantor Cabang Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika tidak pendistribusikan B2 dari Kantor Pusat Perusahaan dapat berfungsi sebagai pengecer untuk mendistribusikan B2 kepada PA-B2, dengan kewajiban memiliki SIUP-B2 sebagai PT-
B2.
Sebaiknya Kantor cabang hanya sampai DT-B2 karena harus memiliki pesryaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2, sementara PT-B2 tidak diharuskan memiliki persyaratan tersebut.
7 Pasal 19
Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan B2 dan PA-B2 dalam menggunakan/ memanfaatkan B2 dilakukan oleh Departemen Perdagangan berkoordinasi dengan Departemen/ Instansi Teknis terkait
Perlu juga dilakukan pembinaan terhadap P-B2 dan usulan ini dapat dimasukan pada pasal 9