Transcript
Page 1: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013

ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYA

Page 2: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya i

RINGKASAN EKSEKUTIF Latar belakang

Dalam rangka melindungi hak-hak konsumen serta menghindarkannya dari

ekses negatif akibat barang dan jasa yang beredar di pasar, pemerintah telah

menetapkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UU-PK). Berdasarkan UU tersebut, hak-hak konsumen dilindungi

dari penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan produsen,

importir, distributor dan setiap pihak yang berada dalam jalur perdagangan

barang atau jasa.

Selain peredaran barang dan jasa di pasar, faktor keamanan, keselamatan,

kesehatan dan lingkungan menjadi hal yang sangat penting dalam perlindungan

konsumen. Salah satu produk yang harus mengutamakan faktor K3L tersebut

adalah Bahan Berbahaya (B2). Sehingga mendorong Pemerintah menetapkan

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 04/M-DAG/PER/2/2006

Tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya, sehingga dampak

penyalahgunaan B2 dapat dikurangi.

Namun demikian, dalam perkembangannya, baik pengadaan,

pendistribusian maupun penggunaan B2 terus meningkat dan bahkan mudah

diperoleh di pasar. Oleh karena itu, lebih lanjut untuk mencegah terjadi

penyimpangan dan penyalahgunaan, Pemerintah mengeluarkan Permendag

Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan

Bahan Berbahaya. Dalam ketentuan ini diatur pengadaan B2, baik yang berasal

dari lokal maupun impor melalui pengaturan jenis, pengadaan, pendistribusian,

perijinan, pelaporan dan larangannya. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan

Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag

Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dalam upaya meningkatkan efektivitas

pengawasan, khususnya B2 yang berasal dari impor, yaitu dengan menetapkan

verifikasi atau penelusuran teknis impor dan penetapan pelabuhan dan bandara

untuk impor B2.

Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan B2 yang tidak tepat

peruntukannya, seperti penggunaan Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B

terutama pada produk pangan. Hasil uji sample Pangan Jajanan Anak Sekolah

(PJAS) dari mobil laboratoriun keliling di DKI Jakarta pada ahun 2012

menunjukkan bahwa 17 % PJAS mengandung B2, berupa boraks, formalin dan

rhodamin B. Kondisi tersebut diatas membuktikan bahwa pengawasan distribusi

Page 3: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya ii

B2 belum efektif. Untuk mempermudah peredaran/pendistribusian/penjualan B2

dikemas dalam ukuran kecil dan dalam bentuk/gambar kemasan yang serupa

antara bahan baku untuk produk pangan dan non pangan dengan produsen yang

sama (BPOM, 2012).

Penyalahgunaan B2 terutama untuk pangan tersebut diindikasi karena

pendistribusian B2 terutama dari pengecer B2 ke pengguna akhir B2. Sementara

sistem distribusi B2 yang ada sekarang belum terstruktur sehingga menyulitkan

dalam pengawasannya.

Bertitik tolak dari fenomena di atas, maka analisis pengawasan distribusi

B2 penting untuk dilakukan guna menjawab beberapa permasalahan terkait

dengan implementasi kebijakan pengawasan B2 di yaitu bagaimana pelaksanaan

Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag

Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan

B2 dan evaluasi terhadap pelaksanaan Permendag tersebut.

Metodologi Penelitian

Analisis pengawasan distribusi bahan berbahaya menggunakan metode

Regulation Impact Analysis (RIA) untuk mengevaluasi pelaksanaan Permendag

Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-

Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan

Berbahaya.

Evaluasi Pelaksanaan Peraturan Bahan Berbahaya

Berdasarkan hasil evaluasi terhadap Permendag Nomor: 23/M-

DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009

tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya perlu direvisi

dan disempurnakan sehingga pelaksanaannya bisa lebih efektif dan tidak terjadi

penyalahgunaan B2, khususnya yang terkait dengan bahan pangan.

Beberapa ketentuan terutama pada Permendag Nomor: 44/M-

DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2

menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan yaitu :

1. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2

(DT-B2) sebagaimana diatur pada Pasal 1 Angka 8 dan PT-B2 ditunjuk oleh

DT-B2 pada Pasal 11 Ayat (2) Hurup d, namun pada pasal 1 Angka 12 diatur

bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen

B2 (P-B2).

Page 4: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya iii

2. Pada Pasal 1 angka 9, ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak

menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan

IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan IT-

B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil.

3. Pada Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan

distribusinya dan Pasal 20 Ayat (1) menyebutkan pengawasan terhadap

distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada Lampiran 1, jenis B2 yang

diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis B2 yang

diatur distribusinya sebanyak 54 , sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan

pengawasan.

4. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada

pasal 1 Angka (3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja.

5. Pasal 8 Ayat (3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang

(repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II), namun

PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan

kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan khususnya

PA-B2 skala kecil.

6. Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi

sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki

persyaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan

tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.

7. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2.

Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2.

Faktor-faktor penyebab implementasi Permendag B2 belum berjalan

dengan baik, yaitu :

1. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan

kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap wilayah

khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow, untuk

mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.

2. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2

tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga

dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir

produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran

3. Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/M-

DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-

Page 5: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya iv

DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2,

belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam

penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2.

4. Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran distribusi

B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah distribusi.

Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2,

PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2

dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2.

5. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat

propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang

didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya yang

mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang didistribusikan ke

dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada

kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-B2

ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan.

6. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak

dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah

sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya

manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang

beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara

baik. Sementara pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri

makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku

usaha perdagangan B2.

7. Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi

untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan yang memenuhi

syarat K3L sebagai syarat untuk mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2

Rekomendasi 1. Perlu dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendag Nomor: 23/M-

DAG/PER/9/2011 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2

sebagai perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang

Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 agar penyalahgunaan B2 dapat

diminimalkan. Revisi peraturan ini antara lain menyangkut aspek pengadaan,

distribusi dan pengawasan serta penerapan sanksi, sebagai berikut :

Pengadaan:

Page 6: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya v

a. Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta

perijinan dan pemgetatan pelaporan B2. Dengan memperhatikan

keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti yang

sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT).

Distribusi dan Pengawasan:

a. Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap

peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur, sehingga

mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai berikut: Produsen

(P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2) menyalurkannya ke Distributor

Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar (PT-B2)

menyalurkannya ke PA-B2 .

b. Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2 di

setiap wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang berfungsi

sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani kebutuhan di

wilayahnya dan untuk itu berkewajiban melaporkan realisasi

distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya.

c. PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat langsung

membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan permohonan ijin

khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus diberikan untuk

jumlah dan kurun waktu tertentu.

2. Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan

distribusi B2, dengan melibatkan instansi terkait meliputi koordinasi dan

mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan pembentukan Tim Pemeriksa .

3. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan

menimbulkan efek jera sesuai dengan pelanggarannya dalam upaya

meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi segala kewajiban,

antara lain pelaporan. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran perlu

ditegakkan dan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu

Undang-undang Perlindungan Konsumen.

4. Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan dengan

peredaran B2 secara terkoordinir dan berkesinambungan, dibarengi dengan

upaya untuk menyediakan bahan alternatif yang bisa menggantikan fungsi B2

dengan harga yang relatif murah.

Page 7: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya vi

5. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan B2

untuk pangan kepada para pelaku usaha terutama industri pangan atau

pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas dalam bentuk workshop,

seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi, perlu tetap

melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur di masyarakat

dapat dalam bentuk program konsumen cerdas (KONCER).

Page 8: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya vii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat dan hidayah-Nya, laporan Analisis Pengawasan Distribusi Bahan

Berbahaya dapat diselesaikan. Tujuan dikeluarkannya Peraturan Menteri

Perdagangan (Permendag) Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 yang kemudian

direvisi menjadi Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang Pengadaan, Distribusi

dan Pengawasan Bahan Berbahaya adalah upaya untuk meningkatkan

pencegahan penyalahgunaan peruntukan penggunaan bahan berbahaya (B2).

Namun dalam kenya taannya, pada saat ini masih banyak ditemukan

penyalahgunaan jenis B2 tertentu, seperti Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan

Metanil Yellow yang digunakan untuk bahan panganpemgolahan pangan jadi.

Analisis ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pelaksanaan dan sekaligus

mengevaluasi Permendag dimaksud.

Hasil analisis ini merekomendasikan perlu dilakukan penyempurnaan atau

revisi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 t entang atas perubahan dari

Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 t entang Pengadaan, Distribusi dan

Pengawasan Bahan Berbahaya agar pelaksanaannya lebih efisien dan efektif.

Beberapa hal yang perlu penyempurnaan dan kejelasan antara lain 1)

ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan

pelaporan bagi kelembagaan dalam pengadaan, distribusi dan pengawasan B2;

2) pengaturan sistem distribusi B2, , sehingga mudah dalam pengawasan; 3).

komitmen pemerintah pusat dan daerah melibatkan instansi terkait dalam

melakukan pengawasan distribusi B2.

Disadari bahwa hasil analisis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan

penyempurnaan lebih lanjut. Pada kesempatan ini kami menyampaikan terima

kasih kepada semua pihak, yang secara langsung maupun tidak langsung telah

membantu penyelesaian laporan ini. Semoga laporan ini bisa bermanfaat.

Jakarta, April 2013

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Page 9: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya viii

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF ................... ................................................................... i

KATA PENGANTAR ................... ............................................................................. v

DAFTAR ISI ................... ........................................................................................... vi

DAFTAR TABEL ................... ................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ................... ............................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2. Tujuan Analisis..................................................................................... 3

1.3. Keluaran Analisis ................................................................................. 4

1.4. Dampak ................................................................................................ 4

1.5. Ruang Lingkup ..................................................................................... 4

1.7. Sistematika Penulisan ......................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 6 2.1. Definisi Bahan Berbahaya .................................................................. 6

2.2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya .................................................... 10

2.3. Gambaran Umum Perdagangan B2 di Indonesia ............................... 12

2.4. Hasil Pengawasan B2 .......................................................................... 16

2.5 Best Practices B2 di Beberapa Negara. .............................................. 16

BAB III METODOLOGI ............................................................................................ 22

3.1. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 22

3.2 Lokasi Kajian dan Responden ............................................................. 23

3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data ..................................... 24

3.4. Metode Analisis .................................................................................... 24

BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN BAHAN BERBAHAYA ......................... 29

4.1. Aspek Pengadaan ................................................................................ 29

4.2. Aspek Distribusi ................................................................................... 31

4.3. Aspek Pengawasan ............................................................................. 32

4.4. Hasil Survey di Daerah Penelitian ....................................................... 33

BAB V EVALUASI PERATURAN BAHAN BERBAHAYA .................................. 43

5.1. Evaluasi Peraturan B2 Menggunakan RIA .......................................... 43

Page 10: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya ix

5.2. Upaya Peningkatan Efektivitas Pengawasan B2 ................................ 49

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ........................................................ 53

6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 53

6.2. Rekomendasi ....................................................................................... 56

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Page 11: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya x

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kelas dan Divisi B2 Berdasarkan UN Recomendations on the Transport of Dangerous Goods .............................................................. 8

Tabel 2.2. Penjelasan Masing-masing sifat B2 Yang Tertulis Dalam Federal

Hazardous Substance Act ...................................................................... 10 Tabel 2.3. Daftar IP-B2 di Indonesia Tahun 2012 ................................................... 15 Tabel 3.1. Metodologi dan Analisis Data ................................................................. 28 Tabel 5.1. Usulan Revisi Permendag Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009 ................... 51

Page 12: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Alur Distribusi B2 ................................................................................ 14 Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran ........................................................................... 23 Gambar 3.2. Proses RIA ......................................................................................... 25 Gambar 4.1. Rantai Distribusi B2 di Makassar ....................................................... 34 Gambar 4.2. Rantai Distribusi B2 di Medan ............................................................ 37 Gambar 4.3. Rantai Distribusi B2 di Surabaya ....................................................... 41

Page 13: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9//2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan

Lampiran 2. Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 Tentang Perubahan

atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9//2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan

Page 14: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 1

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam era globalisasi ekonomi sekarang ini, konsumen sebagai pengguna

barang dan jasa menjadi objek aktivitas bisnis para pelaku usaha untuk

memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dan tidak jarang aktivitas bisnis

tersebut seringkali merugikan konsumen. Padahal seharusnya hak-hak

konsumen dilindungi dari penyalahgunaan atau tindakan sewenang-wenang

yang dilakukan oleh pelaku usaha seperti produsen, importir, distributor dan

setiap pihak yang berada dalam rantai perdagangan barang dan jasa

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen.

Selain itu juga dalam peredaran barang dan jasa di pasar, faktor

keamanan, keselamatan, kesehatan dan lingkungan (K3L) menjadi hal yang

sangat penting dalam perlindungan konsumen. Salah satu produk yang harus

mengutamakan faktor K3L tersebut adalah Bahan Berbahaya (B2). Pada

dasarnya, penggunaan produk B2 dapat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Namun, apabila tidak digunakan dengan baik dan benar dapat menyebabkan

kerugian dan kerusakan bagi manusia dan lingkungan.

Hal-hal tersebut di atas mendorong Pemerintah pada tahun 2006

menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 04/M-

DAG/PER/2/2006 Tentang Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya,

sehingga dampak penyalahgunaan B2 dapat dikurangi. Namun demikian, dalam

perkembangannya, baik pengadaan, pendistribusian maupun penggunaan B2

terus meningkat dan bahkan mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, untuk

mencegah terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan B2, Pemerintah

mengeluarkan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan,

Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam ketentuan ini diatur

pengadaan B2, baik yang berasal dari lokal maupun impor melalui pengaturan

jenis, pengadaan, pendistribusian, perijinan, pelaporan dan larangannya.

Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011

tentang Perubahan Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dalam upaya

meningkatkan efektivitas pengawasan, khususnya B2 yang berasal dari impor,

yaitu dengan menetapkan verifikasi atau penelusuran teknis impor dan

penetapan pelabuhan dan bandara untuk impor B2.

Page 15: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 2

Pada saat ini masih banyak ditemukan penggunaan B2 yang tidak tepat

peruntukannya, seperti penggunaan Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B

terutama pada produk pangan olahan. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor: 239/Men.Kes/Per/V/85, terdapat 30 jenis zat warna termasuk

Rhodamin-B (C.I. Food Red 15) yang dinyatakan sebagai bahan berbahaya dan

dilarang digunakan dalam obat, makanan, dan kosmetika kecuali mendapat izin

dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Penggunaan Formalin dan

Boraks sebagai bahan tambahan dalam makanan juga secara tegas dilarang

sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor: 1168/Men.Kes/Per/X/1999.

Larangan penggunaan bahan kimia sebagai bahan tambahan pada makanan

dengan mempertimbangan dampak jangka pendek dan jangka panjang yang

disebabkan konsumsi bahan kimia yang membahayakan kesehatan.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa saat ini penyalahgunaan B2

pada produk pangan semakin banyak terjadi di masyarakat. Dari 251 jenis

minuman yang diambil sebagai contoh di beberapa kota, 8 persen jenis minuman

di Jakarta, 14,5 persen jenis minuman di Bogor, dan 17 persen jenis minuman di

Rangkasbitung terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai pewarna merah

minuman (Winarno, 1994). Hasil penelitian yang dilakukan olef SEAFAST Center

IPB pada tahun 2008 di 4500 Sekolah Dasar dari 79 kabupaten/kota dan 18

propinsi juga menunjukkan bahwa 12,9 persen makanan mengandung formalin

dan 9,7 persen makanan mengandung boraks (Andarwulan, Madanijah &

Zulaikhah, 2011). Lebih lanjut, Andarwulan et.al., (2011) juga menemukan 4

persen sampel minuman mengandung Rhodamin B. Selain Rhodamin-B, survey

juga menemukan penggunaan bahan pewarna buatan lainnya yang dilarang

dalam minuman adalah Methanyl Yellow (3,7 persen) dan Amaranth (5 persen).

Sementara di Bandar Lampung, dari total 90 sampel makanan berupa tahu, mie

basah, ikan dan ikan asin yang diperdagangkan di pasar tradisional dan modern

mengandung formalin (Harian Umum Lampung Post, 13 Januari 2006).

Hasil uji sample Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) dari mobil

laboratorium keliling di DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 17

persen PJAS mengandung B2, berupa boraks, formalin dan rhodamin B. Kondisi

tersebut diatas membuktikan bahwa pengawasan distribusi B2 belum efektif.

Untuk mempermudah peredaran/pendistribusian/penjualan, B2 dikemas dalam

ukuran kecil dan dalam bentuk/gambar kemasan yang serupa antara bahan baku

Page 16: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 3

untuk produk pangan dan non pangan dengan produsen yang sama

(BPOM,2012).

Penyalahagunaan B2 sebagai bahan tambahan pada pangan ini tentunya

sangat memprihatinkan karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Salah

satu penyebab timbulnya penyalahgunaan B2 diduga karena bahan berbahaya

mudah diperoleh di pasar. Kemudahan mendapatkan B2 di pasar diduga

disebabkan adanya rembesan pada pengguna akhir. Dugaan lain adalah adanya

peredaran produk B2 di dalam negeri padahal tidak ada produsennya dan tidak

ada data importasinya yang dilakukan dengan cara pengalihan HS dan

penyelundupan. Disamping itu juga, karena ketidaktahuan dan ketidakpedulian

sebagian masyarakat (produsen dan konsumen) bahwa penggunaan B2 untuk

pangan membahayakan kesehatan manusia. Jika kondisi ini tidak segera

diantisipasi, maka akan berdampak kepada kesehatan masyarakat dan lebih

lanjut dapat mengancam kualitas generasi muda. Penyalahgunaan peredaran B2

juga dapat mematikan potensi produsen yang jujur dan di sisi lain tidak mendidik

produsen pangan yang tidak bertanggung jawab.

Bertitik tolak dari permasalahan di atas, maka analisis pengawasan

distribusi B2 penting untuk dilakukan guna menjawab beberapa permasalahan

terkait dengan implementasi kebijakan pengawasan B2 di lapangan yaitu

bagaimana pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang

perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,

Distribusi dan Pengawasan B2 dan evaluasi terhadap pelaksanaan Permendag

tersebut.

1.2. Tujuan Analisis

a. Mengetahui gambaran pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-

DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor: 44/M-

Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2;

b. Mengevaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan

Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan

Pengawasan B2;

c. Merumuskan usulan pengawasan Bahan Berbahaya.

Page 17: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 4

1.3. Keluaran Analisis

a. Informasi pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang

perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,

distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

b. Evaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan

Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan

Pengawasan Bahan Berbahaya.

c. Rumusan usulan kebijakan pengawasan Bahan Berbahaya.

1.4. Dampak

Berkurangnya penyalahgunaan B2 di masyarakat dan meningkatkannya

pengawasan B2 dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi

pelaku usaha dalam upaya perlindungan bagi konsumen.

1.5. Ruang Lingkup

a. Komoditas

Komoditas B2 yang dianalisis adalah: Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B

dan terdapat indikasi penyalahgunaan.

b. Aspek Kebijakan:

1) Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas

Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi

Dan Pengawasan Bahan Berbahaya, khususnya kebijakan yang tertuang

pada Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,

Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya.

2) Kebijakan yang berkaitan dengan B2.

c. Daerah Penelitian:

Penelitian dilakukan di 3 (tiga) daerah yaitu Surabaya (Jawa Timur), Makassar

(Sulawesi Selatan), dan Medan (Sumatera Utara). Adapun dasar

pertimbangan pemilihan daerah tersebut karena merupakan lokasi produsen

B2 dan/atau pelabuhan impor untuk B2 yang ditetapkan dalam Permendag.

d. Responden Penelitian

Responden penelitian adalah: Pelaku usaha yang meliputi produsen, importir

terdaftar (PPI), importir produsen, distributor, pengecer dan pengguna akhir;

dan key person dari Dinas Perindag, Badan POM, Direktorat Impor, Direktorat

Page 18: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 5

Bahan Pokok dan Barang Strategis, Direktorat Pengawasan Barang Beredar

dan Jasa, YLKI, BPKN, Asosiasi, serta Surveyor impor B2.

1.6. Sistematika Penulisan

Laporan analisis ini terdiri dari enam bab, sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang,

tujuan, keluaran, dampak dan ruang lingkup analisis yang

dilakukan.

BAB II : Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur

yang digunakan sebagai referensi dalam kajian ini meliputi

Definisi B2, Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2,

Permendag, dan best practices.

BAB III : Metodologi Penelitian menjelaskan metode yang

digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran,

metode analisis data, lokasi penelitian dan responden, serta

sumber data dan teknik pengumpulan data.

BAB IV : Pelaksanaan Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011

tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009

tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan

Berbahaya di daerah penelitian.

BAB V : Evaluasi Permendag. Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011

tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009

tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan

Berbahaya, khususnya kebijakan yang tertuang pada

Permendag Nomor:44/M-Dag/Per/9/2009 tentang

Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya

BAB VI : Kesimpulan dan Rekomendasi. Memberikan kesimpulan

dan rekomendasi kebijakan B2.

Page 19: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Bahan Berbahaya

Menurut Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 Tentang Pengadaan,

Distribusi Dan Pengawasan Bahan Berbahaya, yang dimaksud B2 adalah zat,

bahan kimia dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang

dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau

tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik,

teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.

Zat berbahaya umum juga disebut dengan zat adiktif, yaitu obat serta

bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup dapat

menyebabkan kerja biologi terhambat. Dalam hal ini, penggunaan zat tambahan

dalam produk pangan pun menimbulkan beberapa dampak yang mengganggu

sistem kerja organ tubuh dalam proses metabolisme, sehingga zat tambahan

tersebut termasuk adiktif.

Aturan resmi awal yang dimiliki pemerintah Indonesia terkait B2 tercatat

dalam Staatblad Nomor 377 tahun 1949. Dalam aturan tersebut dijelaskan

bahwa B2 adalah obat-obat disinfeksi, obat-obat pembersihan atau obat-obat

pemusnahan, serta bahan-bahan yang bersifat racun dengan berkomposisi yang

berbahaya terhadap kesehatan manusia. Lebih lanjut dijelaskan bahwa

pembuatan, pengangkutan, persediaan, penjualan, penyerahan, penggunaan,

dan pemakaian sendiri bahan-bahan berbahaya tersebut dilarang, kecuali

dengan izin dari pihak yang berwenang.

Pada tahun 1985, diberlakukan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

239/Men.Kes/Per/V/85 yang mengatur tentang zat pewarna tertentu yang

dinyatakan sebagai B2 dan dilarang penggunaannya dalam obat, makanan, dan

kosmetik, karena dapat membahayakan kesehatan konsumen. Dalam aturan

tersebut disebutkan 30 zat pewarna yang dianggap sebagai B2, salah satunya

adalah Rhodamin-B.

Sebelumnya pada tahun 1979, Menteri Kesehatan RI juga mengeluarkan

peraturan terkait bahan tambahan makanan (Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 235/Menkes/Per/VI/79), yang kemudian digantikan oleh Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 772/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan

Makanan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai bahan tambahan

makanan yang dilarang dan digolongkan sebagai B2. Aturan mengenai bahan

Page 20: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 7

tambahan makanan yang digolongkan sebagai B2 ini kemudian diperbaharui

melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1168/MENKES/PER/X/1999

Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

772/MENKES/PER/IX/88 Tentang Bahan Tambahan Makanan.Dari sepuluh

bahan tambahan makanan yang digolongkan sebagai B2, dua diantaranya

adalah Asam Borat (Borat Acid) beserta senyawanya dan Formalin

(Formaldehyde).

Saat ini, aturan terkait B2 (berkaitan dengan pengadaan, distribusi, dan

pengawasannya) mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik

Indonesia Nomor 23/M-DAG/PER/9/2011. Dalam aturan tersebut, B2

didefinisikan sebagai:

zat, bahan kima dan biologi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi. (Pasal 1 ayat 1)

Lebih lanjut dalam peraturan tersebut disebutkan jenis-jenis bahan

berbahaya yang diatur impornya serta distribusi dan pengawasannya. Dalam

pasal 2 ayat 2 peraturan menteri tersebut disebutkan bahwa peninjauan terhadap

jenis-jenis B2 dapat terus dilakukan sesuai dengan perkembangannya.

Bahan berbahaya dikenal juga dengan istilah hazardous materials

(HAZMAT) atau hazardous substances atau dangerous goods di kalangan

internasional. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Economic

and Social Council (ECOSOC) mengeluarkan suatu rekomendasi terkait praktek

pengangkutan bahan-bahan berbahaya yang lebih dikenal dengan nama UN

Recommendations on the Transport of Dangerous Goods. Dalam rekomendasi

tersebut dijelaskan bahwa B2 adalah zat (termasuk campuran dan larutan) dan

barang-barang yang tergolong ke dalam salah satu dari sembilan kelas bahaya

yang ditimbulkan atau bahaya yang paling utama yang ditimbulkan (Tabel 2.1).

Page 21: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 8

Tabel 2.1. Kelas dan divisi bahan berbahaya berdasarkan UN Recommendations on the Transport of Dangerous Goods

Kelas Divisi 1. Bahan peledak 1.1: Zat dan barang yang memiliki bahaya

ledakan besar 1.2: Zat dan barang yang memiliki bahaya

proyeksi, namun bukan bahaya ledakan besar

1.3: Zat dan bahan yang bisa menimbulkan api dan juga bahaya ledakan kecil atau bahaya proyeksi kecil atau keduanya, tapi tidak memiliki bahaya ledakan besar

1.4: Zat dan barang yang tidak menimbulkan bahaya signifikan

1.5: Barang yang sangat tidak sensitif, namun memiliki bahaya ledakan besar

1.6: Barang yang sangat tidak sensitif serta tidak memiliki bahaya ledakan besar

2. Gas 2.1: Gas mudah terbakar 2.2: Gas tidak mudah terbakar dan tidak

beracun 2.3: Gas beracun

3. Cairan mudah terbakar (flammable liquids)

-

4. Benda padat yang mudah terbakar; zat yang secara tiba-tiba bisa terbakar; zat yang bila bercampur dengan air mengeluarkan gas yang bisa terbakar

4.1: Benda padat yang mudah terbakar, zat yang bisa berekasi sendiri, dan benda padat yang bersifat desentized explosives

4.2: Zat yang secara tiba-tiba bisa terbakar (spontaneous combustion)

4.3: Zat yang bila bercampur dengan air mengeluarkan gas yang bisa terbakar

5. Zat teroksidasi dan peroksida organic

5.1: Zat teroksidasi 5.2: Peroksida organic

6. Zat beracun dan menyebabkan infeksi

6.1: Zat beracun 6.2: Zat yang menyebabkan infeksi

7. Material radioaktif -

8. Zat yang bersifat korosif -

9. Zat dan bahan berbahaya lainnya, termasuk zat yang berbahaya bagi lingkungan

-

Sumber: ECOSOC (2002)

Departemen Transportasi Amerika Serikat yang berwenang untuk

mengatur regulasi terkait pengangkutan bahan berbahaya di negara tersebut,

mengacu pada rekomendasi PBB dalam mendefinisikan B2. Bahan berbahaya

atau hazardous material adalah segala zat yang kemungkinan memiliki resiko

berbahaya terhadap kesehatan dan keamanan personel operasional atau

personel darurat, masyarakat umum, dan/atau lingkungan jika tidak dikontrol

dengan baik selama proses perlakuan, penyimpanan, manufakturing,

pemrosesan, pengemasan, penggunaan, pembuangan, atau pengangkutan.

Seperti halnya rekomendasi PBB, Departemen Transportasi AS mengelompokan

Page 22: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 9

B2 ke dalam sembilan kelas. Selain Amerika Serikat, sejumlah negara lain yang

turut mengadaptasi rekomendasi PBB dalam menyusun aturan pengangkutan

bahan berbahaya adalah Inggris, Australia, New Zealand, dan Malaysia.

Sementara itu, dalam rangka melindungi konsumen (terutama keluarga dan

anak) dari banyaknya risiko bahaya dan kecelakaan akibat produk-produk

konsumen, pemerintah Amerika mengesahkan undang-undang terkait bahan

berbahaya yang dikenal dengan nama Federal Hazardous Act (pertama kali

disahkan pada tahun 1960). Dalam aturan tersebut, bahan berbahaya

(hazardous substance) didefinisikan menjadi lima kelompok:

a. Pertama, bahan berbahaya adalah semua zat yang sifatnya (i) beracun, (ii)

korosif, (iii) menimbulkan iritasi, (iv) sensitizer yang kuat, (v) bahan dan cairan

yang mudah terbakar, (vi) zat yang menimbulkan tekanan akibat dekomposisi,

panas, atau cara lainnya, (vii) serta bahan-bahan lain atau campuran bahan-

bahan yang bisa menimbulkan kecelakaan atau penyakit serius saat

digunakan, termasuk bila tercerna oleh anak-anak.

b. Kedua adalah zat yang menurut United States Consumer Product Safety

Commission (US CPSC) termasuk ke dalam salah satu kategori yang

disebutkan pada definisi pertama sebelumnya.

c. Ketiga, setiap zat radioaktif yang termasuk kelas barang tertentu atau sebagai

kemasan, yang ditetapkan berbahaya oleh CPSC, maka wajib menyampaikan

hal tersebut dalam pelabelannya demi melindungi kesehatan publik.

d. Keempat, setiap mainan atau barang-barang lainnya yang diperuntukkan bagi

anak-anak yang memiliki bahaya listrik, mekanis, dan panas.

e. Kelima, setiap solder dengan kandungan timbal melebihi 0.2 persen. Dalam

aturan tersebut dijelaskan bahwa istilah hazardous substance tersebut tidak

meliputi pestisida (sudah diatur Federal Insecticide, Fungicide, and

Reodenticide Act) serta makanan, obat-obatan, dan kosmetik (sudah diatur

dalam Federal Food, Drug, and Cosmetic Act).

Definisi yang dijelaskan dalam Federal Hazardous Substaces Act (FHSA)

terkait B2 tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan definisi B2 dalam

Peraturan Menteri Perdagangan yang telah disebutkan sebelumnya. Namun

secara lebih terinci, FHSA memberikan penjelasan terkait masing-masing sifat

dari B2 (Tabel 2.2).

Page 23: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 10

Tabel 2.2. Penjelasan masing-masing sifat bahan berbahaya yang tertulis dalam Federal Hazardous Substances Act

Sifat Bahan Berbahaya Definisi

Beracun Setiap zat (selain bahan readioaktif) yang memiliki kemampuan untuk menyebabkan cedera dan sakit pada individu bila dicerna, dihirup, atau masuk ke dalam tubuh melalui bagian tubuh manapun

Sangat beracun a) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok mencit laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dengan berat antara 2000-3000 gram dalam rentang 14 hari ketika diberikan zat tersebut secara oral pada dosis 15 mg atau kurang per kilogram masa tubuh

b) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok mencit laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dengan berat antara 2000-3000 gram dalam rentang 14 hari ketika diberikan zat tersebut untuk dihirup secara terus menerus selama satu jam atau kurang pada tekanan udara normal

c) menyebabkan kematian setengah atau lebih dari setengah kelompok kelinci laboratorium yang terdiri dari 10 ekor atau lebih dalam rentang 14 hari ketika kontak langsung dengan kulit selama 24 jam atau kurang

Korosif Setiap zat yang bila bersentuhan langsung dengan jaringan hidup akan menyebabkan kerusakan jaringan tersebut melalui reaksi kimia

Menyebabkan iritasi Setiap zat yang tidak bersifat korosif, namun dalam seketika, menengah, jangka panjang, atau kontak berulang kali dengan jaringan hidup yang normal akan menyebabkan reaksi radang atau iritasi (inflammatory)

Strong sensitizer Suatu zat yang akan memberi dampak terhadap jaringan hidup yang normal melalui efek alergi atau proses fotodinamik

Cairan mudah terbakar (combustible)

Setiap cairan yang memiliki flash point diatas 80 derajat Fahrenheit

Zat radioaktif Zat yang memancarkan radiasi ionisasi

Sumber: FHSA (2007)

2.2. Penyalahgunaan Bahan Berbahaya

Salah satu penyalahgunaan bahan berbahaya yang umum terjadi dan

menjadi sorotan berbagai pihak adalah penggunaan B2 sebagai bahan

tambahan dalam produk pangan. Sejumlah bahan berbahaya dimanfaatkan oleh

pelaku usaha untuk mengawetkan produk pangan (Formalin dan Boraks),

meningkatkan kualitas fisik (Boraksuntuk kekenyalan), dan juga sebagai pewarna

(Rhodamin-B).

Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B digolongkan sebagai bahan

berbahaya karena berdampak negatif terhadap kesehatan bila dikonsumsi oleh

konsumen. Dampak negatif penggunaan Formalin dalam jangka waktu yang

lama dapat menyebabkan kanker, selain itu Formalin juga dikaitkan dengan

Page 24: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 11

inflamasi dan keracunan pada saluran pencernaan pada jangka pendek (EPA

2007). Sementara itu, penggunaan Boraks dalam jangka pendek dapat

menyebabkan gangguan, seperti demam, sakit kepala, dan muntah. Sementara

dalam penggunaan jangka panjang, konsumsi Boraks dapat menyebabkan gagal

ginjal dan berujung pada kematian (CDC, 2010). Walaupun belum ada penelitian

yang cukup mendukung terkait konsumsi Rhodamin-B dengan kanker pada

manusia, namun penelitian pada hewan menunjukkan bahwa zat ini bersifat

karsinogenik.

Dalam laporan kinerja kuartal I tahun 2012, BPOM menyebutkan, dari

9.071 sampel produk makanan yang diuji, sekitar 854 diantaranya masuk dalam

kategori tidak memenuhi syarat (TMS). Sekitar 144 TMS formalin, 223 TMS

boraks, dan 290 TMS Rhodamin B (BPOM, 2012).

Anak-anak menjadi korban paling potensial terkait praktek

penyalahgunaan B2 dalam makanan. Hasil penelitian Andarwulan et al. (2009)

mengenai keamanan jajanan anak sekolah di Indonesia menunjukkan bahwa

sekitar 12,9 persen jajanan yang diuji, positif mengandung Formalin dan 9,7

persen mengandung Boraks, sementara 2,2 persen makanan ringan yang diuji,

positif mengandung pewarna Rhodamin B. Sementara itu, penelitian Punvanti et

al. (2009) di 12 sekolah di Surakarta menunjukkan bahwa sekitar 49 persen

jajanan anak sekolah yang diuji mengandung formalin.

Penyalahgunaan B2 dalam produk makanan bukan hanya terjadi di

Indonesia, tapi juga umum terjadi di negara-negara berkembang. Shashi Sareen

dalam pemaparannya pada acara Food Security Conference tahun 2011

menyoroti permasalahan keamanan pangan di wilayah ASEAN. Salah satu isu

yang paling mengemuka adalah masalah residual dan kontaminan pada

makanan akibat pestisida, logam berat, dan zat kimia berbahaya. Setiap negara

memiliki faktor-faktor risiko utama berkaitan dengan keamanan pangan,

diantaranya penggunaan formalin pada produk tahu dan mie serta pewarna

berbahaya pada jajanan jalanan di Indonesia, penggunaan Boraks dan pewarna

pada produk mie di Malaysia, dan penggunaan Boraks pada produk daging dan

olahannya serta ikan di Kamboja.

Penggunaan formalin untuk produk perikanan juga menjadi fokus

tersendiri di Bangladesh. Penelitian pada tahun 2010 di sejumlah pusat

perbelanjaan di negara tersebut menunjukkan bahwa 42 persen dari 100 sampel

ikan yang diteliti mengandung formalin; sementara penelitian pada tahun 2012 di

Page 25: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 12

lima pasar tradisional mengungkap bahwa terdapat sekitar 17 persen sampel

ikan yang mengandung formalin (Sabet 2012).

Konsumen di negara berkembang cenderung menginginkan produk

(terutama makanan) dalam kuantitas yang besar dengan harga yang relatif lebih

murah. Adanya sikap tersebut ditambah dengan pengetahuan konsumen yang

kurang dan semakin diperparah dengan keberadaan sejumlah pelaku usaha

yang menginginkan keuntungan yang lebih melalui cara-cara yang tidak fair.

Hasil penelitian Wikanta (2010) di Surabaya menunjukkan bahwa hampir seluruh

responden menyetujui jika formalin merupakan bahan yang berbahaya dan harus

dilarang untuk pengawetan makanan. Namun, sekitat 72 persen responden

mengaku tidak melakukan apapun untuk mengantisipasi kandungan formalin

dalam makanan. Hal tersebut diakui responden karena minimnya pengetahuan

penggunaan formalin dan B2 lainnya.

Sementara itu dari sisi kebijakan, maraknya kasus penyalahgunaan

formalin pada produk makanan di Bangladesh dianggap sebagai kegagalan

pasar. Kegagalan tersebut sebagai buntut dari tidak efektifnya pemerintah dalam

menjalankan tugas sebagai regulator (Sebet 2012). Senada dengan penjelasan

tersebut, Chuangchote (2003) menyatakan bahwa tidak adanya harmonisasi

antar pihak yang berwenang dalam menangani masalahan keamanan pangan di

Thailand, menjadi salah satu pokok permasalahan.

2.3. Gambaran Umum Perdagangan B2 di Indonesia

Secara teknis, Formalin (HS 2912.11.00.00) merupakan larutan yang tidak

berwarna dengan bau yang sangat tajam. Di dalam formalin terkandung sekitar

37persen formaldehyde dalam air sebagai pelarut. Biasanya di dalam formalin

juga terdapat bahan tambahan berupa methanol hingga 15 persen sebagai

pengawet. Formalin dikenal luas sebagai bahan antimikrobial atau pembunuh

hama (desinfektan) dan banyak digunakan dalam industri. Sementara Boraks (

HS 2840.19.00.00) merupakan senyawa kimia dengan nama Natrium Tetraborat

yang berbentuk kristal lunak. Boraks bila dilarutkan dalam air akan terurai

menjadi natrium hidroksida serta asam borat. Baik boraks maupun asam borat

memiliki sifat antiseptik dan biasa digunakan oleh industri farmasi sebagai

ramuan obat misalnya dalam salep, bedak, larutan kompres, obat oles mulut dan

obat pencuci mata. Secara lokal boraks dikenal sebagai 'bleng' dengan bentuk

larutan atau padatan. Sedangkan Rhodamin B (HS 3204.13.00.00) atau yang

Page 26: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 13

biasa dikenal dengan pewarna buatan adalah senyawa kimia yang bersifat toksik

dan karsinogenik atau dapat memicu kanker.

Pengadaan dan distribusi B2 diatur dalam Permendag Nomor:23/M-

DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009

tentang Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Dalam

peraturan tersebut dijelaskan bahwa segala bentuk zat, bahan kimia dan biologi,

baik dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat membahayakan

kesehatan dan lingkungan hidup secara langsung atau tidak langsung, yang

mempunyai sifat racun (toksisitas), karsinogenik, teratogenik, mutagenik, korosif,

dan iritasi diatur pengadaan dan distribusinya secara ketat oleh pemerintah.

Secara jelas disebutkan bahwa importir, distributor, pengecer, dan perusahaan

pengguna akhir harus memiliki izin dari instansi yang berwenang sehingga

peredaran B2 tidak bisa dilakukan secara bebas.

Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa pelaku usaha B2 meliputi

Produsen (P-B2), importir Terdaftar (IT-B2), Importir Produsen Terdaftar (IP-B2),

Distributor Terdaftar (DT-B2), Pengecer Terdaftar (PT-B2), dan Pengguna Akhir

Terdaftar (PA-B2). Dalam mekanismenya, IT-B2 mengimpor formalin untuk

kemudian mendistribusikannya kepada pengguna akhir dalam hal ini pengguna

yang membutuhkan formalin sebagai bahan baku industrinya, yaitu kepada DT-

B2, PT-B2, dan PA-B2 . Perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 berdasarkan

Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 adalah PT Perusahaan Perdagangan

Indonesia (PPI). Sementara IP-B2 mengimpor formalin untuk digunakan sendiri

sebagai bahan baku industrinya dan hanya diperuntukkan bagi kebutuhan

produksinya sendiri serta tidak dapat diperjual-belikan maupun dipindah-

tangankan.

Page 27: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 14

Gambar 2.1. Alur Distribusi B2

Sumber: Kementerian Perdagangan (2012)

Pengaturan tataniaga B2 tidak menjamin keamanan distribusi B2 di

pasaran karena diindikasikan sekitar 3-4 persen dari produksi B2 (formalin)

masuk ke pasar konsumen, terutama industri makanan skala kecil. Kebocoran

formalin ke pasar konsumen dapat dipicu oleh beberapa faktor seperti

pemanfaatan kelebihan produksi, ketidakpastian biaya usaha penyimpanan di

sektor usaha kecil (UKM) dan lemahnya pengawasan. Dari sisi hulu, P-B2

merupakan produsen yang tidak hanya memproduksi formalin, melainkan

beberapa produk turunan seperti perekat. Namun, P-B2 bisa menyalurkan

produknya ke distributor jika terdapat kelebihan produksi formalin yang tidak

terpakai. Di sektor UKM, insiden kenaikan BBM dinilai dapat memicu

penyalahgunaan formalin karena naiknya biaya produksi es untuk penyimpanan

produk (Media, Industri 2006).

Pada tahun 2005, hanya terdapat 2 (dua) perusahaan yang mendapatkan

pengakuan sebagai IP-B2 adalah PT Chang Chun DPN Chemical Industry dan

PT Resource Alam Indonesia. Sementara pada tahun 2012 terdapat 20

perusahaan yang diakui sebagai IP-B2 seperti pada Tabel 2.3.

Page 28: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 15

Tabel 2.3. Daftar IP-B2 di Indonesia, 2012

IP-B2 Kapasitas Produksi

(Ton)

PT Arjuna Utama Kimia 23.000

PT Pamolite Adhesive Industry 36.000

PT Superin 36.000

PT Lakosta Indah 28.000

PT Dyno Mugi Indonesia 29.400

PT Batu Penggal Chemical Industry 28.000

PT Kurnia Kapuas Utama Glue Industry 38.000

PT Intan Wijaya Chemical Industry 61.500

PT Dofer Chemical 60.000

PT Sabak Indah 72.000

PT Duta Pertiwi Nusantara 50.000

PT Kayulapis Indonesia (Jateng) 20.000

PT Gelora Citra Kimia Abadi 48.000

PT Kayulapis Indonesia (Irja), 40.000

PT Duta Rendra Mulia 33.500

PT Binajaya Roda Karya 45.000

PT Perawang Perkasa Industry 48.000

PT Belawandeli Chemical 30.000

PT Putra Sumber Kimindo 45.000

PT Orica Resindo Mahakam 35.000

Sumber: Kementerian Perindustrian (2012)

Sementara untuk produksi dalam negeri, produk B2 yang umum

diperdagangkan adalah formalin yang dijual dalam berbagai merek seperti

formol, morbicid, methanal, formic aldehyde, methyl oxide, oxymethylene,

methylene aldehyde, oxomethane, formoform, formalith, karsan, methylene

glycol, paraforin, polyxymethylene glycols, superlysoform, tetraoxymethylene dan

rioxane. Kapasitas produksi formalin dalam negeri mencapai 800 ribu ton per

tahun namun utilisasinya baru mencapai 40persen atau sekitar 350 ribu ton per

tahun. Beberapa Produsen B2 (P-B2) yang terdaftar pada tahun 2005 antara lain

PT Resource Alam Indonesia, PT Arjuna Kimia, PT Armolaid, PT Sprint, PT Dino

Jaya, PT Dover, PT Uporin, PT Lakobin dan PT Intan Injaya (Media, Industri

2006).

Page 29: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 16

2.4. Hasil Pengawasan B2

Berdasarkan pengawasan yang dilakukan oleh instansi terkait

menunjukkan banyak terjadi permasalahan dalam perdagangan B2. Salah

satunya adalah pelaku usaha mengalami kendala untuk memperoleh SIUP B2

dikarenakan belum terbentuknya tim terpadu di daerah yang bertugas

memberikan rekomendasi untuk penerbitas SIUP B2. Hal ini diduga menjadi

salah satu penyebab terjadinya perdagangan B2 secara ilegal. Di dalam

Permendag diatur sanksi pencabutan ijin bagi pelaku usaha yang

memperdagangkan B2 secara ilegal. Namun pada kenyataan sanksi tidak dapat

diterapkan dikarenakan pelaku usaha yang memperdagangan B2 tidak memiliki

ijin atau kesulitan memperoleh ijin sehingga sanksi yang diberikan hanya BRO

(menjalankan usaha tanpa ijin) atau teguran lisan saja. Permasalah lain adalah

pengelompokan B2, B3 (barang berbahaya dan beracun), dan bahan kimia biasa

yang kurang jelas sehinggga diperlukan penjelasan secara rinci terkait definisi

yang tepat (bentuk, warna, sifat, dan lain-lain). Hasil pengawasan juga

menemukan masih banyak tempat penjualan B2 yang melakukan pengemasan

ulang (re-package) yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sebagai

contoh: minimum kemasan untuk formalin 10 liter, sementara kebutuhan untuk

kremasi hanya 2 liter, sisanya 8 liter tidak jelas penggunaannya. Menurut

Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009, yang diperbolehkan untuk melakukan

kemas ulang hanya distributor dan importir.

2.5. Best Practices Pengaturan B2 di Beberapa Negara

2.5.1 Amerika Serikat

Beberapa negara juga menerapkan aturan ketat terkait dengan pengadaan,

produksi, dan pendistribusian B2. Salah satu negara yang menjadi rujukan

pengawasan B2 adalah Amerika Serikat, mengingat Amerika Serikat merupakan

negara yang menerapkan kebijakan yang komprehensif terkait B2. Cahya et al

(2012) menjelaskan bahwa dalam pengaturannya, Pemerintah Amerika

mengelompokkan pengawasan di sisi produksi, distribusi, dan petuntukannya.

Produksi

Dalam pengaturan B2 seperti pewarna, FDA (Food and Drug

Administration atau Badan Pengawas Makanan dan Obat di Amerika Serikat)

merupakan pihak yang berwenang dalam mengatur penggunaan bahan pewarna

dalam makanan dan suplemen makanan, obat-obatan, kosmetik, dan alat-alat

Page 30: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 17

medis. Bahan pewarna hanya boleh digunakan sesuai dengan jenis penggunaan

yang telah disetujui, termasuk spesifikasinya serta batasan penggunaannya. FDA

(Food and Drug Administration atau Badan Pengawas Makanan dan Obat di

Amerika Serikat) membedakan bahan pewarna ke dalam dua golongan, yaitu

golongan bahan pewarna yang memerlukan sertifikasi dan golongan bahan

pewarna yang dikecualikan dari sertifikasi (tidak memerlukan

sertifikasi/dibebaskan dari sertifikasi).

Dalam proses sertifikasi, FDA mengevaluasi data keamanan pemakaian

untuk memastikan bahwa bahan pewarna yang digunakan telah sesuai dengan

persetujuan yang dikeluarkan. Bahan pewarna tambahan yang dapat

membahayakan hewan, manusia, dan lingkungan tidak dapat digunakan dalam

produk yang dijual di pasar umum. Dalam menjamin keamanan bahan pewarna

yang digunakan dalam makanan, obat, kosmetik, dan alat medis yang dijual di

pasaran, FDA mewajibkan mewajibkan batch sertifikasi untuk semua bahan

pewarna yang tercantum dalam 21 CFR bagian 74 dan 21 CFR bagian 82.

Sementara pengecualian kewajiban batch sertifikasi diberlakukan bagi bahan

pewarna yang tercantum dalam 21 CFR 73.

Berkaitan dengan hal tersebut, bahan pewarna yang memerlukan sertifikasi

adalah pewarna sintetik yang diproduksi melalui reaksi kimia. Bahan pewarna

golongan ini harus diuji kemurniannya melalui sertifikasi setiap batch-nya,

sebelum mendapat izin untuk dijual ke pasar. Dalam implementasinya, produsen

bahan pewarna mengirimkan contoh dari batch yang akan disertifikasi oleh FDA

untuk dianalisis komposisi dan kemurniannya. Jika memenuhi persyaratan, maka

FDA akan megeluarkan sertifikat dengan kode nomornya dan diberikan nama

baru sesuai dengan penggunaannya. Berdasarkan Federal Food, Drug &

Cosmetic (FD & C) Act of 1938, FDA menetapkan tiga kategori sertifikasi bahan

pewarna, yaitu:

a. FD & C untuk makanan, obat dan kosmetika

b. D & C untuk obat-obatan dan kosmetika

c. External D & C untuk obat-obatan dan Kosmetika untuk pemakaian luar.

Menurut Nutrition Labeling & Education Act tahun 1990, bahan pewarna

bersertifikat tersebut harus dicantumkan dalam penandaan atau label dengan

menggunakan nama yang umum digunakan. itu, menurut Cahya et al (2012),

bahan tambahan pewarna dapat dikecualikan dari sertifikasi jika diperoleh dari

tanaman atau bahan mineral, seperti:

Page 31: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 18

a. Bahan pewarna alami (natural color). Dalam implementasinya, FDA

menyerahkan sepenuhnya kepada produsen untuk menjelaskan bahwa

bahan pewarna produksinya adalah bahan pewarna alami.

b. Bahan pewarna identik alami (natural identical color) yaitu bahan pewarna

yang diproduksi melalui sintesis kimia, namun tidak diwajibkan sertifikasi oleh

FDA karena dianggap tidak dapat dibedakan dengan bahan pewarna asli

yang diperoleh dari alam, baik perbedaan secara kimia maupun perbedaan

fungsi pemakaiannya. Beberapa contoh bahan pewarna tersebut antara lain:

Beta-carotene yang dibuat secara sintetik dari acetone tidak dapat dibedakan

dengan bahan pewarna Beta-carotene yang diperoleh dari alam seperti

wortel.

Distribusi B2

Pengaturan distribusi B2 tidak terpisah dari pengaturan Bahan Berbahaya

dan Beracun (B3) yang meliputi limbah B3 dan produk B3. Namun terlihat bahwa

pengaturan limbah B3 terkesan lebih ketat dibandingkan pengaturan B3, karena

pengaturan B3 sudah dilaksanakan sejak lama, dan menjadi standar baku secara

universal, khususnya dalam menangani bahan kimia dan bahan bakar.

Damanhuri (2009) menjelaskan bahwa transportasi B2 di Amerika Serikat diatur

dalam Hazardous Materials Transportation Act yang menjadi wewenang

Kementerian Transportasi (US Department of Transportation). Dalam ketentuan

tersebut diatur bahwa distribusi B2 harus dilengkapi dengan dokumen resmi yang

merupakan legalitas kegiatan pengelolaan, sehingga dokumen ini akan

merupakan sarana atau alat pengawasan dalam konsep cradle-to-grave. Dalam

istilah umum, dokumen tersebut dikenal sebagai shipping papers yang antara

lain terdiri dari:

a. Bagian yang harus diisi oleh penghasil atau pengumpul limbah B3, antara lain

berisi:

Nama dan alamat penghasil atau pengumpul limbah B3 yang

menyerahkan limbah B3 Nomor identifikasi (identification number) UN/NA

Kelompok kemasan (packing group),

Kuantitas (berat, volume dan sebagainya)

Kelas „bahaya‟ dari bahan itu (hazard class),

Tanggal penyerahan limbah

Page 32: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 19

Tanda tangan pejabat penghasil atau pengumpul, dilengkapi tanggal,

untuk menyatakan bahwa limbahnya telah sesuai dengan keterangan

yang ditulis serta telah dikemas sesuai peraturan yang berlaku.

Bila pengisi dokumen adalah pengumpul yang berbeda dengan penghasil,

maka dokumen tersebut dilengkapi dengan salinan penyerahan limbah

tersebut dari penghasil limbah.

b. Bagian yang harus diisi oleh pengangkut limbah B3, antara lain berisi:

Nama dan alamat pengangkut limbah B3

Tanggal pengangkutan limbah

Tanda tangan pejabat pengangkut limbah

c. Bagian yang harus diisi oleh pengolah, pengumpul atau pemanfaat limbah

B3, antara lain berisi:

Nama dan alamat pengolah atau pengumpul atau pemanfaat limbah B3

Tanda tangan pejabat pengolah, pengumpul atau pemanfaaat, dilengkapi

tanggal, untuk menyatakan bahwa limbah yang diterima sesuai dengan

keterangan dari penghasil dan akan diproses sesuai peraturan yang

berlaku

Jenis limbah dan jumlahnya

Alasan penolakan

Tanda tangan pejabat pengolah atau pemanfaat dan tanggal

pengembalian

d. Apabila limbah yang diterima ternyata tidak sesuai dan tidak memenuhi

syarat, maka limbah tersebut dikembalikan kepada penghasil, disertai

keterangan bahwa surat-surat dokumentasi pengangkutan tersebut

ditempatkan di kendaraan angkut sedemikian rupa sehingga mudah didapat

dan tidak tercampur dengan surat-surat lain. Penghasil limbah B3 akan

menerima kembali dokumen limbah B3 tersebut dari pengumpul atau

pengolah paling lambat dalam 120 hari sejak limbah tersebut diangkut untuk

dibawa ke pengumpul atau pengolah.

1.5.2 Thailand

Pengawasan peredaran B2 di Thailand diatur dalam undang-undang

Kerajaan Thailand tahun 2535 BE (1991 M) yang ditetapkan oleh Raja Bhumibiiol

Adulyadej Rex tanggal 29 Maret 2535 BE (1991 M). Dalam UU tersebut

dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan bahan berbahaya (B2) mencakup

Page 33: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 20

berbagai bahan, yaitu: (1) bahan eksplosif, (2) bahan mudah terbakar

(flammable), (3) peroksida dan agen oksidising (oxidizing agent), (4) bahan

toksik, (5) bahan penyebab penyakit, (6) bahan radioaktif, (7) bahan penyebab

mutant, (8) bahan korosif, (9) bahan iritatif, dan (10) bahan lainnya baik kimia

ataupun lainnya yang menyebabkan bahaya bagi manusia, hewan, tanaman,

property, atau lingkungan.

Dalam UU tersebut pasal 6, dibentuk sebuah komite yang disebut

Committee on Hazardous Subtance yang terdiri dari: sekretaris tetap dari

Kementerian Industri sebagai Ketua Komite, Direktorat Jenderal pada

Departemen Perdagangan dalam Negeri, Direktorat Jenderal pada Departemen

Pelayanan Kesehatan, Direktorat Jenderal pada Departemen Pekerjaan Umum,

Direktorat Jenderal pada Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal pada

Departemen Penyuluhan Pertanian, Sekretaris Jenderal dari Badan Lingkungan

Nasional, Sekretaris Jenderal dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan,

Sekretaris Jenderal dari Kantor Tenaga Atom untuk Perdamaian, Sekretaris

Jenderal dari Kantor Lembaga Standardisasi Industri dan perwakilan dari

Kementerian Pertahanan, serta tidak lebih dari tujuh orang tenaga ahli (pakar)

yang ditugaskan oleh Kabinet. Ketujuh tenaga ahli yang ditunjuk oleh Kabinet

harus memiliki ekpertise, bekerja, dan memiliki pengalaman dalam bidang

cabang ilmu kimia, sains, rekayasa, ilmu pertanian, atau hukum, dan paling tidak

dua di antaranya yanag ditunjuk bekerja pada lembaga yang memiliki

kepentingan dalam perlindungan kesehatan atau lingkungan. Sekretariat dari

Komisi Bahan Berbahaya ini bekerja di bawah kontrol, dukungan, dan

pengawasan dari menteri-menteri terkait, yaitu Menteri Pertanahan, Menteri

Pertanian dan Koperasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kesehatan Publik,

Menteri Sains, Teknologi, dan Lingkungan, serta Menteri Perindustrian.

Secara umum, kewenangan dan tugas dari Komisi Bahan Berbahaya ini

adalah untuk memberikan pendapat, nasehat dan pertimbangan kepada

kementerian perindustrian dan/atau instansi lainnya terkait produksi, impor,

ekspor dan kepemilikan jenis-jenis B2, penyediaan informasi, pendaftaran dan

penerbitan ijin, pengawasan, dan hal-hal lain terkait dengan B2 yang sesuai

dengan tugas dan kewenangan sesuai dengan undang-undang. Keberadaan

komisi ini tentunya lebih bersifat pemberian nasehat dan pertimbangan kepada

kementerian atau lembaga terkait sebagai pelaksana di lapang. Sebagai contoh,

Kementerian Perindustrian dengan pertimbangan dari Komisi B2 harus

Page 34: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 21

menerbitkan dalam lembaran negara secara jelas daftar B2 yang dalam proses

produksinya dan sifatnya dapat menyebabkan kecelakaan yang membahayakan.

Bahan berbahaya dikelompokkan dalam 4 (empat) jenis, yaitu (1) B2 yang

produksi, impor, ekspor atau kepemilikannya harus memenuhi criteria dan

prosedur spesifik; (2) B2 yang produksi, impor, ekspor atau kepemilikkannya

harus sebelumnya diberitahukan kepada instansi berwenang dan harus

memenuhi criteria dan prosedur spesifik; (3) B2 yang produksi, impor, ekspor,

atau kepemilikannya harus mendapatkan ijin; dan (4) B2 yang produksi, impor,

ekspor, atau kepemilikannya dilarang. Kementerian Perindustrian dengan

pertimbangan dari Komisi Bahan Berbahaya memiliki kewenangan untuk

mempublikasikan dalam lembaran negara mengenai nama-nama atau kualifikasi

dan jenis bahan berbahaya, cara mendapatkan ijin dan lembaga yang

bertanggungjawab dalam pengawasannya.

Page 35: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 22

BAB III METODOLOGI

3.1 Kerangka Pemikiran

Pengadaan, peredaran dan penggunaan B2 dewasa ini semakin meningkat

baik jenis maupun jumlahnya serta mudah diperoleh di pasaran. Kondisi tersebut

menyebabkan terjadi penyalahgunaan yang dapat menimbulkan gangguan

terhadap kesehatan, keamanan dan keselamatan manusia, hewan, tumbuhan-

tumbuhan serta lingkungan hidup. Sebagai upaya untuk meningkatkan

pencegahan penyalahgunaan B2, diperlukan kebijakan yang berkaitan dengan

aspek pengadaan, pengedaran, penjualan dan pengawasan bahan berbahaya

yang berasal dari dalam negeri dan impor.

Berdasarkan pertimbangan tersebut pemerintah menetapkan Peraturan

Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang pengadaan, distribusi dan

pengawasan bahan berbahaya dan dirubahn dengan Pemendag Nomor 23/M-

Dag/Per/9/2011 tentang perubahan Permendag Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009.

Berdasarkan kedua Permendag ini dan ketentuan peraturan turunannya,

dilakukan pengaturan pengadaan, distribusi dan pengawasan bahan berbahaya.

Namun demikian, ada indikasi bahwa pelaksanaan ketentuan peraturan ini belum

bisa menjamin sepenuhnya pengurangan penyalahgunaan bahan berbahaya,

khususnya Formalin, Boraks, dan Rhodamin-B untuk pangan.

Penyalahgunaan B2 untuk keperluan pangan berkaitan dengan aspek

ketersediaan dan aspek permintaan. Kemudahan untuk mendapatkan B2 yang

murah untuk keperluan industri pangan, khususnya industri mikro dan kecil, ada

kaitannya dengan sistem pengadaan dan distribusi yang masih memiliki

kelemahan. Pengawasan terkait dengan pengadaan dan distribusi B2 masih

belum bisa dilaksanakan secara efektif, karena sistem pengadaan dan distribusi

yang masih kurang baik, serta tingkat kepatuhan pelaku usaha dalam

melaporkan jumlah pengadaan dan penjualannya yang masih relatif rendah.

Sementara itu, industri pangan terdorong untuk menggunakan B2 secara

ilegal karena harga yang relatif terjangkau dan ketidakpedulian akan dampak

buruk penggunaan dan konsumsi bahan pangan yang mengandung B2.

Pengguna akhir lebih mementingkan keuntungan dan kurang mengindahkan

dampak kesehatan dan keselamatan konsumennya.

Berkembangannya perdagangan B2 dewasa ini mendorong diperlukannya

revisi peraturan yang ada dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam

Page 36: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 23

pengadaan, distribusi dan pengawasan B2, serta memperkecil kemungkinan

penggunaan B2 untuk keperluan yang tidak semestinya. Dengan menggunakan

Regulatory Impact Anaysis (RIA) yang menganalisis dampak Sosial Ekonomi dan

Kelembagaan dan dampak Kesehatan, Keamanan, dan Lingkungan serta melihat

manfaat dan Biaya Langsung diharapkan menghasilkann rekomendasi kebijakan

B2 yang lebih komprehensif (Gambar 3.1).

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran

3.2 Lokasi Kajian dan Responden

Untuk menggali data dan informasi tentang pengadaan,

pendistribusian dan pengawasan B2 dilakukan survey kepada pelaku usaha

dan instansi yang terkait. Lokasi kajian dilakukan di Medan, Surabaya,

Makassar dengan pertimbangan daerah-daerah tersebut merupakan pusat

distribusi, perdagangan dan industri B2.

pengadaan, peredaran dan penggunaan B2 terus meningka serta mudah

diperoleh di pasaran;

penyalahgunaan peruntukan yang dapat menimbulkan gangguan

terhadap K3L

Permendag No.44/M-DAG/PER/9/2009

PENGADAAN DISTRIBUSI PENGGUNAAN

PENGAWASAN

RIA

RIA

EVALUASI PERMENDAG

REKOMENDASI KEBIJAKAN B2

Page 37: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 24

Selanjutnya, pemilihan responden dilakukan dengan mengikuti teknik

snowball dengan menelusuri simpul pemasaran mulai dari pelaku sampai

simpul ke pedagang pengecar dan pengguna akhir B2.

3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam analisis ini dilakukan dengan cara

survei dan observasi lapangan kepada responden di daerah penelitian

dengan menggunakan kuesioner yang telah dipersiapkan serta melakukan

wawancara langsung secara mendalam (in depth). Pertanyaan dikembangkan

untuk mendalami berbagai hal yang belum tertangkap melalui kuesioner.

Selain survey, pengambilan data dan informasi juga akan dilakukan melalui

Diskusi Terbatas (konsultasi publik) untuk menggali dan mencari solusi dari

permasalahan yang ada dalam penerapan kebijakan pengawasan B2. Dalam

Diskusi Terbatas ini akan diundang para pemangku kepentingan yang terkait

dengan B2.

Metode yang digunakan dalam penentuan responden adalah

purposive sampling (metode pemilihan dengan cara sengaja memilih sampel-

sampel tertentu karena memilki ciri-ciri khusus yang tidak dimiliki sampel

lainnya) pada pelaku usaha yang memperdagangkan Formalin, Boraks dan

Rhodamin-B.

Data yang digunakan dalam kajian ini terdiri dari data primer dan

sekunder. Data primer terdiri dari harga B2 dari setiap simpul pemasaran,

biaya pemasaran, jumlah pelaku usaha pada saluran pemasaran dan

implementasi Permendag. Data Primer diperoleh dari wawancara langsung

dengan responden yaitu produsen, distributor, pengecer, industri pengolahan

B2. Data sekunder yang dikumpulkan adalah produksi serta kebijakan terkait

komoditas tersebut. Sumber data Sekunder tersebut diperoleh melalui

pendekatan Desk Study (review dokumenter) dan data dari instansi yang

terkait, seperti BPS, BPOM, Kementerian Perindustrian dan lainnya.

3.4 Metode Analisis

Analisis data dan informasi permasalahan terkait kebijakan B2

merupakan bagian penting dari suatu analisis kebijakan. Selanjutnya, analisis

kajian ini menggunakan metode Regulation Impact Analysis (RIA) untuk

mereview Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan

Page 38: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 25

atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan

Pengawasan Bahan Berbahaya.

Bappenas (2011) menyatakan bahwa metode RIA merupakan salah

satu alat atau pendekatan yang dapat digunakan untuk meningkatkan

kualitas suatu kebijakan pemerintah. Metode RIA ini merupakan proses

analisis dan pengkomunikasian secara sistematis berbagai aspek dalam

penetapan dan pelaksanaan sebuah kebijakan, baik yang berbentuk

peraturan maupun non-peraturan, yang sudah ada maupun kebijakan baru.

Dalam kajian ini, kebijakan yang akan dianalisis merupakan kebijakan yang

sudah ada berupa Peraturan-Peraturan Menteri Perdagangan tentang

Pengadaan, Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya (Nomor: 44/M-

DAG/PER/9/2009 dan Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011). Proses dalam

pelaksanaan metode RIA dijelaskan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Proses Pelaksanaan Regulatory Impact Assessment (RIA)

Sumber: Kementerian PPN/BAPPENAS (2009)

Sebagai suatu proses, pelaksanaan metode RIA dilakukan melalui

berbagai tahapan (langkah), yaitu:

1. Identifikasi dan analisis masalah terkait dengan kebijakan

Dalam tahapan identifikasi dan analisis masalah ini, pengambil kebijakan

diharapkan dapat melihat dengan jelas permasalahan yang sebenarnya

Identifikasi dan Analisis Masalah

Penetapan Tujuan

Pengembangan Berbagai Alternatif Kebijakan

Penilaian terhadap Pilihan Alternatif Kebijakan

Pemilihan Kebijakan Terbaik

Penyusunan Strategi Implementasi

Ko

nsu

ltasi S

takeh

old

ers

(Pu

blik

)

Page 39: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 26

dihadapi dan hendak dipecahkan dengan melalui penetapan kebijakan.

Pada tahap ini, perlu dibedakan antara masalah (problem) dengan gejala

(symptom), karena penetapan kebijakan haruslah diarahkan untuk

memecahkan masalah, bukan gejalanya. Dengan demikian, kebijakan

haruslah menyentuh kepada masalah dan penyebab (akar) masalahnya.

2. Penetapan Tujuan

Setelah masalah dan akar masalah teridentifikasi, pengambil kebijakan

perlu menetapkan tujuan dari kebijakan yang akan diambil atau telah

diambil. Tujuan dari kebijakan ini sangat penting dirumuskan dengan jelas

karena akan terkait dengan penilaian terhadap efektivitas suatu kebijakan

yang ditetapkan. Efektivitas dari suatu kebijakan menyangkut kepada

suatu kondisi apakah kebijakan yang ditetapkan dan diimplementasikan

dapat mencapai tujuan ditetapkannya kebijakan tersebut.

3. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan

Setelah menetapkan tujuan dengan jelas, langkah selanjutnya adalah

mencari berbagai alternatif atau pilihan yang bisa diambil untuk

memecahkan masalah tersebut. Untuk analisis dampak dari suatu

kebijakan yang sudah dilakukan, maka alternatif pertama adalah tetap

membiarkannya dan tidak melakukan apa-apa (kondisi baseline).

Pilihan/alternatif kebijakan harus dapat digali dengan seluas-luasnya dan

dengan melibatkan seluruh stakeholders dari berbagai latar belakang dan

kepentingan, sehingga diperoleh beragam alternatif yang

dipertimbangkan untuk kebijakan.

4. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan

Penilaian terhadap alternatif pilihan kebijakan dilakukan dengan

mempertimbangkan berbagai aspek, seperti legalitas, biaya, dan manfaat.

Suatu pilihan kebijakan harus tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, penilaian pilihan

berdasarkan aspek legalitas ini merupakan awal dalam melakukan

penilaian alternatif kebijakan. Terhadap masing-masing alternatif

kebijakan yang tidak bertentangan dengan perundang-undangan ini,

kemudian dilakukan penilaian biaya dan manfaat. Penilaian biaya dan

manfaat ini tidak harus berarti dalam bentuk biaya dan manfaat finansial

(yang diukur dengan uang), namun dapat berupa apa dan siapa yang

Page 40: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 27

terkena atau mendapat dampak (biaya) dan manfaat akibat dari alternatif

kebijakan, termasuk pilihan kebijakan tidak melakukan apa-apa..

5. Pemilihan kebijakan terbaik

Pemilihan kebijakan terbaik dilakukan dengan melakukan analisis

manfaat dan biaya. Pada tahap pemilihan kebijakan terbaik dapat

dilakukan berbagai kaidah pemilihan. Namun pada umumnya, pemilihan

kebijakan terbaik berdasarkan manfaat bersih, yaitu jumlah semua

manfaat dikurangi dengan jumlah semua biaya yang terbesar.

6. Penyusunan strategi implementasi

Penerapan suatu kebijakan seperti yang dikemukakan sebelumnya akan

memberi berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan tidak secara

otomatis dapat mencapai tujuan dari ditetapkannya kebijakan tersebut.

Oleh karenanya, perlu disusun strategi dalam implementasi sehingga

penerapan suatu kebijakan mencapai yang menjadi tujuan ditetapkannya

kebijakan tersebut dan tidak menimbulkan hasil yang tidak diharapkan.

7. Partisipasi masyarakat di semua proses

Pada setiap tahapan dari proses analisis RIA ini harus melibatkan

berbagai komponen masyarakat (stakeholders) yang baik secara

langsung maupun tidak langsung terdampak oleh suatu kebijakan yang

sedang disusun. Dengan melibatkan stakeholders dalam setiap tahapan

akan didapat data dan informasi yang akurat dalam mempertimbangkan

sebuah kebijakan.

Page 41: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 28

Tabel 3.1. Metodologi dan Analisis Data

Tujuan Kajian Metode analisis

Data Sumber Output

1. Gambaran pelaksanaan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang atas perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan B2.

• Analisis isi Sekunder: peraturan Menteri Perdagangan

Kementerian Perdagangan

Hasil implementasi Permendag

2. Mengevaluasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang atas perubahan Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan B2.

• Metode RIA Primer: Survey dan Diskusi terbatas

Produsen, importir terdaftar (PPI), importir produsen, distributor, pengecer dan pengguna akhir, Dinas Perindag, Badan POM, Direktorat Impor, Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis, Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, YLKI, BPKN, Asosiasi, dan Surveyor impor B2

Informasi dampak Permendag

3. Merumuskan usulan kebijakan B2

• Sintesa tujuan 1 dan 2 serta hasil diskusi

Rumusan usulan kebijakan B2

Page 42: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 29

BAB IV PELAKSANAAN PERATURAN BAHAN BERBAHAYA

Berdasarkan hasil survey dan pengamatan di lapangan khususnya di

Makassar, Medan dan Surabaya dapat dilihat bahwa perdagangan B2 belum

dilaksanakan sesuai dengan Permendag Nomor:23/M-DAG/PER/9/2011 tentang

perubahan atas Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi

Dan Pengawasan Bahan Berbahaya. Pengamatan terkait pelaksanaan kebijakan

perdagangan B2 di lapangan melihat dari tiga aspek yaitu aspek pengadaan,

aspek distribusi dan aspek pengawasan yang bertujuan untuk mengevaluasi

pelaksaaan Permendag tersebut.

4.1. Aspek Pengadaan

Pengadaan B2 dapat dilakukan melalui dua cara yaitu produksi dalam

negeri dan importasi. B2 yang diproduksi di dalam negeri dilakukan oleh

perusahaan di dalam negeri yang mempunyai Izin Usaha Industri dari Instansi

yang berwenang. Sedangkan importasi dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) B2

yang ditetapkan dalam Permendag yaitu PT. Perusahaan Perdagangan

Indonesia (PT. PPI) (pasal 4 ayat 1) dan Produsen B2 yang mendapatkan

pengakuan sebagai Importir Produsen B2 dari Menteri Perdagangan dalam hal

ini Dirjen Perdagangan Luar Negeri (pasal 3 ayat 1). Bahan Berbahaya yang

diimpor oleh Importir Produsen (IP) B2 hanya untuk kebutuhan proses produksi

dan dilarang diperjualbelikan atau diperdagangkan maupun dipindahtangankan

ke orang lain (pasal 3 ayat 4).

PT. PPI yang ditunjuk pemerintah sebagai IT belum mampu memenuhi

kebutuhan distributor dan pengecer. Selama ini PT. PPI melalui Kantor Cabang

PPI di daerah lebih banyak menjual B2 langsung kepada pengguna akhir.

Sebagai contoh adalah B2 jenis Boraks Pentahidrat yang berasal dari Turki yang

dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi tanaman yang digunakan

bersamaan dengan pupuk. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan

melihat realisasi penjualan oleh kantor cabang. Selain itu PT.PPI sangat

membatasi dan selektif dalam mendistribusikan B2 terutama B2 yang rentan

untuk dapat disalahgunakan penggunaannya. Kondisi ini cenderung merugikan

pelaku usaha seperti distributor dan pengecer padahal idealnya PT. PPI sebagai

satu-satunya importir yang memiliki kewenangan dalam pengadaan B2

seharusnya dapat menyediakan kebutuhan B2 dalam negeri.

Page 43: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 30

Pengadaan B2 oleh perusahaan dalam negeri hanya untuk jenis formalin

saja. Selama ini belum ditemukan permasalahan dalam pengadaan karena

umumnya produksi formalin lebih banyak digunakan oleh industri hilir

perusahaan itu sendiri seperti industri kayu lapis dan cat, hanya sebagian kecil

saja yang didistribusikan kepada distributor untuk memenuhi kebutuhan Rumah

Sakit, Laboratorium Kimia, dan Peternakan. Namun yang perlu dicermati adalah

peningkatan kapasitas produksi formalin dalam negeri. Penyalahgunaan formalin

yang digunakan sebagai bahan tambahan pada makanan terjadi di tingkat

pengecer ke pengguna akhir. Penyalahgunaan itu dilakukan oleh pengecer yang

tidak memilki SIUP-B2 dengan cara merubah kemasan menjadi kemasan kecil.

Hal ini bertentangan dengan pasal 9 ayat (3) bahwa yang berhak melakukan

pengemasan ulang (repacking) adalah IT dan Distributor B2 yang memiliki SIUP-

B2 baik untuk B2 produksi dalam negeri maupun impor.

Kegiatan usaha perdagangan khusus B2 harus dilakukan oleh pelaku

usaha yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan B2 (SIUP B2) sebagaimana

diatur dalam pasal 10, 11, dan 12. Namun sampai saat ini masih banyak pelaku

usaha yang menganggap SIUP umum sudah cukup untuk berdagang B2.

Walaupun telah dilakukan sosialisasi terkait SIUP B2 namun masih ada pelaku

usaha yang enggan mengajukan SIUP B2. Kendala lain yang dihadapi untuk

memperoleh SIUP B2 karena belum terbentuknya Tim Terpadu di Tingkat

Kab/Kota dan Tim Terpadu Tingkat Provinsi. Untuk memperoleh SIUP B2 baik

pengecer maupun distributor harus melalui pemeriksaan fisik sarana seperti

tempat penyimpanan, fasilitas pengemasan ulang, dan alat transportasi yang

memenuhi K3L yang dilakukan oleh Tim Terpadu Tingkat Kab/Kota dan Tim

Terpadu Tingkat Provinsi (pasal 11 ayat (1) dan (2))

Dalam pasal 13 ayat (2), IT B2 dan IP B2 wajib melaporkan realisasi impor

kepada Dirjen Daglu, Dirjen Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian,

dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya

BPOM paling lambat 15 hari kalender terhitung sejak tanggal B2 tiba di

pelabuhan bongkar. IP B2 wajib melaporkan realisasi penggunaan kepada Dirjen

Industri Agro dan Kimia Kementerian Perindustrian, dengan tembusan kepada

Dirjen PDN dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan

Berbahaya BPOM (pasal 13 ayat (3)). Sedangkan IT B2 wajib melaporkan

realisasi distribusi ke distributor, pengecer dan penggunan akhir kepada Dirjen

PDN dengan tembusan kepada Dirjen Daglu, Dirjen Industri Agro dan Kimia

Page 44: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 31

Kementerian Perindustrian dan Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan

dan Bahan Berbahaya BPOM (pasal 13 ayat (3)). Penyampaian laporan oleh IT

B2 dilaksanakan setiap 3 bulan terhitung sejak ditebitkannya penetapan sebagai

IT B2 (pasal 13 ayat (6)).

Distributor B2, Pengecer B2 dan Pengguna Akhir wajib melaporkan data

perolehan dari IT B2 atau Produsen B2 serta pendistribusiannya kepada Dirjen

PDN dengan tembusan Dirjen Industri Agro dan Kimia Kementerian

Perindustrian, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan

Berbahaya BPOM dan Kepala Dinas Provinsi setiap triwulan tahun kalender

berjalan (pasal 14 ayat (1), (3), (5) dan (7)). Pelaporan dari pelaku usaha belum

berjalan dengan baik khususnya dari Pengecer B2 dan Pengguna Akhir.

Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 juga perlu penyempurnaan seperti

laporan tersebut ditembuskan kepada instansi seperti BPOM dan Dinas

Kesehatan setempat di daerah. Kebutuhan dan peruntukan B2 di daerah tidak

diketahui dengan pasti terutama dari pengecer ke pengguna akhir. Hal ini

disebabkan laporan dari pengecer yang kurang lengkap dan belum adanya

laporan dari pengguna akhir B2. Selain itu juga disebabkan lemahnya koordinasi

instansi-instansi yang melakukan pengawasan B2 di daerah.

4.2. Aspek Distribusi

Pendistribusian B2 adalah penyaluran atau peredaran dan penjualan B2

dari IT B2 dan/atau Produsen B2 kepada Distributor Terdaftar B2, dari Distributor

Terdaftar B2 kepada Pengecer Terdaftar B2, dari Pengecer Terdaftar B2 kepada

Pengguna Akhir B2, atau Importir Terdaftar B2 dan/atau Produsen B2 langsung

kepada Pengecer Terdaftar B2, atau Importir Terdaftar B2 dan/atau Produsen B2

langsung kepada Pengguna Akhir B2. Distributor Terdaftar B2 kepada Pengecer

Terdaftar B2 atau Distributor Terdaftar B2 langsung kepada Pengguna Akhir B2

(pasal 7 ayat (20)). Hal ini menyebabkan sulit untuk melakukan pengawasan B2

terutama di tingkat pengecer ke pengguna akhir karena individu/industri yang

tidak memiliki ijin dapat membeli dengan bebas, padahal dalam peraturan diatur

bahwa pengguna B2 harus memiliki ijin.

Pengaturan wilayah distribusi diperlukan untuk mempermudah

pengawasan terhadap distribusi B2. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak

terjadi di pengecer ke pengguna akhir. Pengecer menjual B2 langsung kepada

perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak menanyakan

Page 45: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 32

penggunaan B2 lebih lanjut. Pengecer keberatan jika harus menjual kepada

pengguna akhir yang memiliki ijin dengan alasan kesulitan menjual B2.

Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan

B2 dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga

permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar

BPOM di Tingkat Provinsi, kebanyakan industri rumah tangga tidak menyadari

bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti Rhodamin B dan

„bleng‟ (garam mengandung pengawet) yang digunakan sebagai pewarna dan

pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan banyak ditemukan karena

mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya murah. Selain itu juga ada

beberapa industri rumah tangga yang mengetahui bahaya penggunaan B2

namun tetap saja menggunakan sebagai bahan tambahan pada makanan.

4.3. Aspek Pengawasan

Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan

Bahan Berbahaya dan PA-B2 dalam menggunakan/memanfaatkan Bahan

Berbahaya dilakukan oleh Kementerian Perdagangan berkoordinasi dengan

Kementerian/ Instansi Teknis terkait. IP-B2, IT-B2, P-B2, DT-B2, PT-B2, dan PA-

B2 wajib memberikan akses dan informasi yang seluas-luasnya mengenai

kebenaran pendistribusian B2 kepada Pejabat/Pegawai yang melakukan

pengawasan. Pengawasan distribusi, pengemasan, dan pelabelan B2 meliputi:

aspek perizinan/legalitas perusahaan; pendistribusian B2 (jenis, realisasi

distribusi, dan stok B2); sarana distribusi untuk kelancaran pelaksanaan

distribusi B2; peralatan Sistem Tanggap Darurat dan Tenaga Ahli di bidang

pengelolaan B2; pelaporan pendistribusian B2; label dan kemasan B2; dan

Lembar Data Keamanan (LDK)/Safety Data Sheet (SDS) yang juga meliputi

aspek pemanfaatan/penggunaan B2 sesuai dengan peruntukannya.

Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di

pasaran belum berjalan optimal. Perijinan dan pelaporan merupakan indikator

pengawasan. Tanpa adanya dua hal tersebut sangat sulit untuk melakukan

pengawasan termasuk B2. Masih lemahnya penerapan sanksi pada produk B2

yang tidak mengindahkan peraturan. Sanksi bagi pelaku usaha yang

memperdagangkan B2 sulit untuk diterapkan karena pelaku usaha B2 belum

memilki SIUP B2. Jika pun ada penerapan sanksi hanya sebatas pencabutan

SIUP umum saja tetapi hal ini sulit untuk dilakukan dengan pertimbangan-

pertimbangan hukum. Hal ini dapat menimbulkan kritik bagi pemerintah karena

Page 46: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 33

pelaku usaha yang memiliki SIUP B2 dan yang tidak memiliki SIUP B2 mendapat

perlakuan yang sama dalam memperdagangkan B2 sehingga akan mendorong

pelaku usaha memperdagangankan B2 tanpa SIUP B2 dengan pertimbangan

pembuatan SIUP B2 memerlukan biaya yang tinggi.

4.4. Hasil Survey Di Daerah Penelitian

4.4.1 Makassar

Aspek Pengadaan

a. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 belum berjalan baik. Di dalam

Permendag 44/M-Dag/Per/9/2009 diatur bahwa pelaporan dilakukan per

triwulan. Namun sampai saat ini Dinas Perindag Provinsi Sulawesi Selatan

belum pernah menerima laporan dari pelaku usaha B2 termasuk kantor

Cabang PPI Makassar. Saat ini hanya ada satu Pengecer B2 yang memiliki

SIUP B2 yaitu CV Duta Gemini tetapi pelaporannya tidak rutin per triwulan.

CV Duta Gemini memperoleh SIUP B2 sebelum diterbitkannya Permendag

44/M-Dag/Per/9/2009. Secara umum kendala yang dihadapi oleh pelaku

usaha B2 di Sulawesi Selatan dalam pengajuan SIUP B2 karena belum

terbentuknya Tim Terpadu di Tingkat Kab/Kota yang memberikan

rekomendasi kepada Tim Terpadu Tingkat Provinsi. Berdasakan informasi

dari Dinas Perindag provinsi Sulawesi Selatan ada beberapa pelaku usaha B2

dari Kota Makassar dan Kab Pare-Pare yang mengajukan ijin SIUP B2 namun

belum bisa diterbitkan karena kendala tersebut.

b. Pelaku usaha “menganggap” SIUP umum sudah cukup untuk menjual B2.

Walaupun telah dilakukan sosialisasi terkait SIUP B2 namun masih ada

pelaku usaha yang enggan mengajukan SIUP B2 karena menganggap SIUP

umum saja sudah cukup untuk menjual B2.

c. Mekanisme pengadaan B2 oleh Kantor Cabang PPI Makassar. Kantor

Cabang PPI Makassar menjual B2 jenis Boraks Pentahidrat yang berasal dari

Turki. Boraks tersebut dijual kepada perkebunan sawit sebagai nutrisi

tanaman. Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat

realisasi penjualan oleh kantor cabang. Saat ini rata-rata penjualan boraks

pentahidrat yang dilakukan Kantor Cabang PPI Makassar sebesar 2-3 ton per

bulan. Kantor Cabang PPI pernah memberikan rekomendasi ke pengecer B2

yang ada di kota Makassar untuk memperoleh SIUP B2.

d. Kebutuhan dan peruntukan B2 di Sulawesi Selatan tidak diketahui dengan

pasti. Hal ini disebabkan belum adanya laporan dari pelaku usaha B2.

Page 47: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 34

Aspek Distribusi

a. Pengaturan wilayah distribusi yang tidak diatur. Berdasarkan hasil diskusi

diperlukan pengaturan wilayah distribusi untuk mempermudah pengawasan

terhadap distribusi B2.

b. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna

akhir. Pengecer B2 yang ada di Kota Makassar menjual B2 langsung kepada

perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak

menanyakan penggunaan B2 lebih lanjut. Pengecer keberatan jika harus

menjual kepada pengguna akhir yang memiliki ijin sebagaimana diatur dalam

Permendag 44 dengan alasan kesulitan menjual B2.

c. Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan B2

dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga

permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar

BPOM di Provinsi Sulawesi Selatan, kebanyakan industri rumah tangga tidak

menyadari bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti

Rhodamin B yang dikenal dengan nama daerah „kasumba lango-lanngo” dan

“bleng (garam mengandung pengawet)” digunakan turun temurun sebagai

pewarna dan pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan banyak

ditemukan karena mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya murah.

Gambar 4.1. Rantai pemasaran B2 di Makassar

Sumber: Hasil Survey, 2013

Importir/Produsen (Surabaya)

Distributor (Surabaya)

Pengecer

(Makassar)

Pengguna Akhir:

Perkebunan,

Apotik,

Laboratorium,

Toko Kimia,

Perorangan

Page 48: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 35

Aspek Pengawasan

a. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran

belum berjalan optimal. Perijinan dan pelaporan merupakan indikator

pengawasan. Tanpa adanya dua hal tersebut sangat sulit untuk melakukan

pengawasan termasuk B2.

b. Masih lemahnya penerapan sanksi pada produk B2 yang tidak mengindahkan

peraturan. Sanksi bagi pelaku usaha yang memperdagangkan B2 sulit untuk

diterapkan karena pelaku usaha B2 belum memilki SIUP B2. Jika pun ada

penerapan sanksi hanya sebatas pencabutan SIUP umum saja tetapi hal ini

sulit untuk dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum.

Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di

Propinsi Sulawesi Selatan terkait dengan pengawasan distribusi B2, ada

beberapa masukan antara lain sebagai berikut:

a. Jika Tim Terpadu di tingkat Kab/Kota belum terbentuk perlu diatur di dalam

Permendag tentang pelimpahan wewenang kepada Tim Terpadu Provinsi

guna menindaklanjuti pengajuan ijin dari pelaku usaha B2.

b. Pelaku usaha yang belum memiliki ijin sebaiknya melaporkan perdagangan

B2-nya.

c. Regulasi yang lebih detail untuk pengguna akhir perorangan (diperlukan

identitas lengkap) di dalam Permendag agar penjualan di hilir dapat

diperketat.

d. Pengguna akhir juga harus memberikan laporan penggunaan B2.

e. Pengaturan wilayah diperlukan dengan pertimbangan untuk pengawasan

pengadaan dan distribusi.

f. Pelaporan dilakukan secara on-line untuk mencegah penyalahgunaan B2 di

masyarakat.

g. Peningkatan kesejahteraan bagi penyidik B2.

h. Perlu penerapan sanksi bagi yang tidak melaporkan seperti tidak diberikan

SIUP.

i. Laporan sebaiknya dilakukan per-bulan tidak per triwulan sebagaimana diatur

dalam Permendag 44 dengan pertimbangan B2 merupakan produk yang

memiliki dampak berbahaya bagi masyarakat.

j. Importir/Distributor jangan langsung mendistribusikan B2 ke pengguna akhir

tetapi sebaiknya melalui pengecer B2.

Page 49: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 36

4.4.2 Medan

Aspek Pengadaan

a. Dalam survey, aspek pengadaan yang termasuk dalam cakupan penelitian

adalah mekanisme impor B2 oleh Importir Terdaftar (IT-B2) dan produksi B2

oleh Produsen Terdaftar (P-B2). Beberapa catatan antara lain:

b. Kantor Cabang PPI Medan menjual B2 jenis Boraks Pentahidrat dan Boraks

Dekahidrat yang diimpor dari Turki. Boraks tersebut dijual kepada perkebunan

sawit sebagai nutrisi tanaman yang digunakan bersamaan dengan pupuk.

Pengadaan boraks ditentukan oleh PPI pusat dengan melihat realisasi

penjualan oleh kantor cabang. Saat ini rata-rata penjualan boraks yang

dilakukan Kantor Cabang PPI Medan hanya sebesar 30.000 liter per bulan.

c. Berdasarkan hasil wawancara, PPI Medan merupakan DT-B2 karena

kewenangan mengimpor hanya dilakuka oleh PPI Pusat. Oleh karena itu,

Pengecer Terdaftar (PT-B2) seperti perusahaan pupuk dapat membeli produk

B2 (boraks) secara langsung ke PPI Medan dengan melampirkan jumlah dan

peruntukannya.

d. Pengadaan formalin dilakukan oleh Distributor Terdaftar (DT-B2) karena tidak

terdapat produsen B2 (P-B2) di Sumatera Utara. Pada umumnya, formalin

didatangkan dari Jakarta yang merupakan lokasi perusahaan induk (Head

Office) DT-B2 di Medan. Sebagai contoh, PT Brataco yang merupakan DT-B2

di Propinsi Sumatera Utara membeli formalin dari PT Dover yang merupakan

produsen formalin di Jakarta. Kebutuhan pengadaan formalin didasarkan

pada permintaan dari Pengecer Terdaftar (PT-B2) yang umumnya Rumah

Sakit, Laboraturium Kimia, dan Industri Peternakan.

Aspek Distribusi

a. Aspek distribusi yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah penyaluran

B2 oleh DT-B2 dan PT-B2 serta cakupan wilayah distribusi B2. Beberapa

catatan antara lain:

b. Pengaturan wilayah distribusi tidak diatur, sehingga DT-B2 dapat menyalurkan

produknya ke luar wilayah Sumatera Utara. Sebagai contoh, PT Brataco (DT-

B2) dan PT Meroke (PT-B2) dapat menyalurkan produk formalin dan boraks

ke wilayah Sumatera Barat.

c. Berdasarkan hasil wawancara dan diskusi terbatas, pola distribusi B2 di

Sumatera Utara tidak berjenjang. Dalam hal ini, PA-B2 dapat membeli B2

Page 50: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 37

langsung dari DT-B2. Bahkan, PA-B2 seperti perusahaan perkebunan dapat

membeli produk B2 melalui PPI Medan. Padahal dalam peraturan disebutkan

bahwa PT-B2 menjual produk B2 kepada PA-B2 yang ditunjuk, sehingga PA-

B2 hanya dapat membeli B2 dari PT-B2.

Gambar 4.2. Rantai pemasaran B2 di Medan

Sumber: Hasil Survey, 2013

Aspek Pengawasan

a. Aspek pengawasan yang termasuk dalam cakupan penelitian adalah

mekanisme pelaporan, penerapan sanksi, nama dagang B2 di Sumatera

Utara, serta pemahaman pelaku usaha dan konsumen terhadap B2. Beberapa

catatan antara lain:

b. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran

belum berjalan optimal. Dinas Perindag menilai koordinasi antara Dinas

Perindag, Balai POM, dan Dinas Kesehatan masih lemah. Saat ini,

pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Perindag hanya terbatas pada

produk-produk yang tidak sesuai dengan SNI dan peraturan label berbahasa

Indonesia. Sedangkan untuk produk pangan, baik terkait dengan B2 atau

bukan B2, masih menjadi wilayah BPOM dan Dinas Kesehatan. Selain itu,

keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dan dana dinilai menjadi masalah

utama. Sebagai contoh, Petugas Pengawas dari Dinas Perindag tidak

mengetahui bentuk fisik produk B2 yang berpotensi disalahgunakan dan

beredar di pasaran. Hal ini berbeda dengan produk ber- SNI yang dijelaskan

Importir/Produsen (Jakarta)

Distributor

(Medan)

Pengecer

(Medan)

Pengguna Akhir:

Perkebunan, Rumah

Sakit, Apotek,

Laboratorium, Toko

Kimia, Perorangan

Page 51: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 38

dengan baik dalam Petunjuk Teknis (Juknis) Pengawasan. Alokasi dana

khusus untuk B2 juga belum tersedia seperti yang telah dilakukan untuk

pengawasan produk ber-SNI dan label bahasa Indonesia.

c. Mekanisme pelaporan oleh PT-B2 kepada Dinas Perindag Propinsi belum

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Permendag. Berdasarkan hasil

wawancara, Dinas Perindag sulit menerapkan sanksi administrasi bagi PT-B2

yang tidak melaksanakan mekanisme pelaporan sesuai dengan ketentuan.

Hal ini dikarenakan proses pemberian sanksi dilakukan berjenjang, seperti

pemberian Surat Peringatan (SP) hingga pencabutan SIUP. Dalam

pelaksanaanya, PT-B2 dapat melaporkan mekanisme tataniaga B2 setelah

mendapatkan SP ke-2, sehingga SIUP tidak jadi dicabut.

d. Pengawasan relatif sulit dilakukan karena B2 yang beredar di pasaran

menggunakan nama dagang. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat produk

pengawet sayuran berupa “Air Abu”, “Abu Cina”, dan “Garam Pengembang

Serumpun Ayam” yang menurut Balai POM merupakan produk mengandung

boraks.

e. Pengawasan yang dilakukan oleh DT-B2 kepada PT-B2, atau PT-B2 kepada

PA-B2 juga sulit dilakukan. Sebagai contoh, PT Brataco (DT-B2) sulit

mengawasi penggunaan B2 oleh Rumah Sakit/Apotek (PA-B2) walaupun

jumlah penjualan didasarkan pada kebutuhan. PA-B2 umumnya membeli

formalin dari DT-B2 dalam bentuk eceran sebanyak 10 - 30 liter/bulan,

padahal penggunaan formalin untuk Rumah Sakit diasumsikan hanya berkisar

4 – 10 liter/bulan untuk keperluan pengawetan jenazah dan perawatan medis

lainnya. Hal serupa juga dialami oleh PPI Medan yang menjual B2 kepada

PA-B2 yang umumnya perusahaan perkebunan.

f. Tingkat pemahaman konsumen dan pelaku usaha terhadap dampak negatif

penyalahgunaan B2 dinilai sudah baik. Hal ini dikarenakan budaya

masyarakat di Sumatera Utara yang sudah mengenal formalin sebagai bahan

kimia pengawet jenazah sehingga tidak boleh digunakan untuk produk

pangan. Namun, kesadaran masyarakat menjadi rendah ketika

penyalahgunaan B2 dilakukan dengan menggunakan nama dagang.

Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di

Medan terkait dengan pengawasan distribusi B2, ada beberapa masukan antara

lain sebagai berikut:

Page 52: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 39

a. PT PPI mengandalkan Kartu Kendali untuk mengontrol jumlah produk B2

yang diimpor sesuai dengan kebutuhan sehingga kemungkinan

penyalahgunaan B2 dapat dicegah. Sedangakan pengawasan terhadap

produk B2 yang diimpor dilakukan dengan ketat oleh petugas dengan

berpedoman pada kode HS.

b. Pengenaan pajak impor B2 perlu dipertimbangkan karena belum tentu

menyelesaikan masalah penyalahgunaan B2, mengingat sebagian besar

penyalahgunaan B2 terjadi di sektor distribusi.

c. Dinas Perindag mengusulkan agar sistem monopoli impor tidak diterapkan

karena PT PPI sebagai IT-B2 dinilai belum memiliki kapasitas yang cukup

untuk memenuhi kebutuhan impor bagi DT-B2 sekaligus IP-B2. Selain itu,

monopoli impor B2 akan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan B2 di

tingkat produsen (IP-B2) dan distributor (DT-B2).

d. Usulan terkait pengaturan wilayah distribusi ditanggapi beragam. Sebagian

stakeholder seperti Dinas Perindag, DT-B2, dan PT-B2 menilai pembatasan

wilayah distribusi akan sulit dilakukan karena ada beberapa wilayah tertentu

yang tidak memiliki DT-B2. Sedangkan menurut PPI, peran PPI Cabang dapat

dimaksimalkan sebagai DT-B2 (produk boraks) sehingga pengawasan

distribusi bisa lebih optimal.

e. Pengaturan distribusi harus diperketat dengan ketentuan bahwa PA-B2 hanya

dapat membeli B2 dari PT-B2 dan PT-B2 hanya dapat membeli B2 dari DT-

B2.

f. Perlu dibentuk Tim Pengawas B2 yang berada di tingkat Propinsi dan diatur

dalam Peraturan Gubernur. Tim Pengawas terdiri dari PPNS Dinas Perindag,

Dinas Kesehatan, dan Balai POM. Tim Pengawas perlu didukung pendanaan

dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

g. Perlu dilakukan sosialisasi terkait mekanisme pelaporan B2 kepada PA-B2,

PT-B2, dan DT-B2 kepada aparat pemerintah dan pelaku usaha.Selain itu,

Juknis Pengawasan B2 harus memuat informasi yang jelas bagi petugas

pengawas B2 di daerah.

h. Perlu sosialisasi terkait bahaya B2 yang disalahgunakan dan yang beredar di

pasaran. Masyarakat dan pelaku usaha perlu dibina bahwa pengawet

makanan mengandung B2 yang selama ini beredar dengan nama “Air Abu”,

“Abu Cina”, dan “Garam Pengembang Serumpun Ayam” adalah produk

berbahaya yang dilarang beredar di pasar. Pelaksanaan pengawasan harus

Page 53: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 40

berimbang sesuai dengan risiko yang ditimbulkan. Sebagai contoh,

pengawasan B2 untuk sektor perkebunan seyogyanya berbeda dari

pengawasan B2 untuk sektor non perkebunan. Hal ini bertujuan agar

pengawasan bisa berjalan efektif.

i. Perlu pembentukan Asosiasi pelaku usaha impor/produsen/distributor B2

untuk membantu mengidentifikasi besaran kebutuhan dan peruntukan B2.

j. Perlu penerapan sanksi yang lebih tegas dan harus mendapat dukungan dari

berbagai pihak. Kemendag harus dapat berkoordinasi dengan pihak berwajib

seperti kepolisian sehingga pelaksanaan pengawasan di daerah dapat lebih

efektif.

4.4.3 Surabaya

Aspek Pengadaan

a. PT. PPI sebagai IT yang ditunjuk pemerintah mengimpor B2 jenis Boraks

Pentahidrat dan Sodium Sianida. Jumlah yang diimpor oleh PT. PPI belum

mampu memenuhi kebutuhan distributor dan pengecer karena PT. PPI juga

menjual langsung kepada pengguna akhir.

b. Produsen B2 (formalin) menjual formalin hanya kepada distributor atau

pengecer yang memiliki SIUP-B2. Jumlah penyalurannya dilaporkan per

triwulan kepada Kementerian Perindustrian.

c. Mekanisme pelaporan dari pelaku usaha B2 (pengecer) sudah berjalan

dengan baik namun perlu penyempurnaan seperti laporan tersebut

ditembuskan kepada instansi seperti BPOM dan Dinas Kesehatan setempat di

daerah.

d. Kebutuhan dan peruntukan B2 di Jawa Timur tidak diketahui dengan pasti

terutama dari pengecer ke pengguna akhir. Hal ini dise babkan laporan dari

pengecer yang kurang lengkap dan belum adanya laporan dari pengguna

akhir B2. Selain itu juga disebabkan lemahnya koordinasi instansi-instansi

yang melakukan pengawasan B2 di daerah

Aspek Distribusi

a. Dugaan sementara penyalahgunaan banyak terjadi di pengecer ke pengguna

akhir. Pengecer B2 yang ada di Kota Suarabaya menjual B2 langsung kepada

perorangan hanya dengan meminta identitas diri (KTP) tetapi tidak

menanyakan penggunaan B2 lebih lanjut.

Page 54: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 41

b. Pelaku usaha industri rumah tangga memiliki keterbatasan pengetahuan B2

dan kesadaran akan resiko penggunaan B2 untuk makanan, sehingga

permintaan terhadap B2 relatif besar. Berdasakan informasi dari Balai Besar

BPOM di Provinsi Jawa Timur, kebanyakan industri rumah tangga tidak

menyadari bahaya dari penggunaan B2 bahkan ada jenis B2 seperti

Rhodamin B dan “bleng” (garam mengandung pengawet)” yang digunakan

sebagai pewarna dan pengawet makanan. Penggunaan B2 pada makanan

banyak ditemukan karena mudah mendapatkannya di pasaran dan harganya

murah. Selain itu juga ada beberapa industri rumah tangga yang mengetahui

bahaya penggunaan B2 namun tetap saja mengguna kan sebagai bahan

tambahan pada makanan.

Gambar 4.3. Rantai pemasaran B2 di Surabaya

Sumber: Hasil Survey, 2013

Aspek Pengawasan

a. Mekanisme pengawasan mulai dari pengadaan sampai distribusi di pasaran

belum berjalan optimal.

b. Masih lemahnya penerapan sanksi bagi pelaku usaha yang

memperdagangkan B2 tanpa SIUP B2. Hal ini dapat menimbulkan kritik bagi

pemerintah karena pelaku usaha yang memiliki SIUP B2 dan yang tidak

memiliki SIUP B2 mendapat perlakuan yang sama dalam memperdagangkan

B2 sehingga akan mendorong pelaku usaha memperdagangankan B2 tanpa

Importir/Produsen

Distributor

Pengecer

Pengguna Akhir:

Perkebunan,

Apotik,

Laboratorium,

Toko Kimia,

Perorangan

Page 55: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 42

SIUP B2 dengan pertimbangan pembuatan SIUP B2 memerlukan biaya yang

tinggi.

Berdasarkan hasil survei dan diskusi terbatas dengan stakeholder di

Propinsi Jawa Timur terkait dengan pengawasan distribusi distribusi B2, ada

beberapa masukan antara lain sebagai berikut:

a. Laporan dari pelaku usaha (PT-B2) ke Dinas Perindag Provinsi ditembuskan

ke Instansi terkait di daerah seperti Balai/Balai Besar POM setempat

(penambahan poin (e) pada pasal 14 ayat (4)).

b. Perlu review Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan,

Distribusi dan Pengawasan Bahan Berbahaya terkait Pengecer tidak boleh

beli langsung ke Produsen (Pasal 7).

c. Penyalahgunaan ukuran kemasan B2 tidak sesuai Permendag Nomor: 44/M-

DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan

Berbahaya

d. Pengaturan ukuran kemasan B2 dalam Permendag Nomor: 44/M-

DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan Bahan

Berbahaya perlu diatur secara detail baik untuk IT/DT/PT.

e. Sosialisasi intensif harus dilakukan secara rutin terkait untuk meminimalkan

penyalahgunaan B2 untuk pangan .

f. Laporan PA-B2 masih minim.

g. Pengaturan wilayah distribusi tidak tepat diterapkan untuk B2.

h. Edukasi pelaku usaha dan konsumen diperlukan untuk mencegah

penyalahgunaan B2.

i. Peraturan sebaiknya tidak mengatur perdagangan B2 secara general, hanya

mengatur hal-hal yang cenderung menimbulkan penyalahgunaan B2 untuk

makanan saja.

Page 56: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 43

BAB V EVALUASI PERATURAN BAHAN BERBAHAYA

Kebijakan yang menjadi fokus dalam analisis ini adalah peraturan

mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan B2 yang ditetapkan

berdasarkan Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan atas

Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi, dan

Pengawasan Bahan Berbahaya. Berdasarkan hasil pengamatan pelaksanaan

Permendag tersebut di lapangan seperti yang telah disajikan pada bab

sebelumnya, maka peraturan mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan

B2 perlu dievaluasi yang selanjutnya direvisi atau disempurnakan terutama untuk

pasal-pasal yang tertuang dalam Permendag No. 44/M-Dag/Per/9/2009 sehingga

pelaksanaannya bisa lebih efektif mencegah terjadinya penyalahgunaan B2.

Untuk melakukan penyempurnaan peraturan tersebut maka digunakan

pendekatan dengan metode Regulatory Impact Analysis (RIA).

5.1. Evaluasi Peraturan Bahan Berbahaya Menggunakan Regulatory Impact Analysis (RIA)

5.1.1. Identifikasi masalah

Permasalahan penyalahgunaan B2 seperti Boraks, Formalin, dan

Rhodamin-B untuk pangan masih banyak ditemukan terjadi di masyarakat.

Berdasarkan hasil monitoring BPOM, pada tahun 2012, di DKI Jakarta

ditemukan 17persen makanan jajanan anak sekolah (JAS) mengandung B2,

lebih tinggi dari angka nasional (9persen). Sementara itu, proporsi makanan

lainnya (non-JAS) yang mengandung B2 belum ada data yang secara

nasional, namun diduga banyak jenis makanan lainnya seperti tahu, mie

basah, dan bakso yang diduga menggunakan formalin dan boraks sebagai

bahan pengawet dan pengembang. Hasil penelitian (Winarno,1994) dari 251

jenis minuman yang diteliti di beberapa kota antara lain di Jakarta sebesar

8persen, Bogor sebesar 14,5persen, di Rangkas Bitung sebesar 17persen

terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai bahan pewarna merah pada

minuman. Lebih lanjut, berdasarkan survey yang dilakukan di 4500 sekolah

dasar tahun 2008, SEAFAST Center IPB menemukan sekitar 12,9persen

Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) mengandung formalin, 9,7persen

mengandung Boraks, 4persen mengandung Rhodamin B, 3,7persen

mengandung dan 5persen mengandung Amaranth (Andarwulan, Madanijah &

Page 57: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 44

Zulaikhah, 2011). Hasil uji sample PJAS dari mobil laboratorium keliling di

DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa 17 persen mengandung

B2, berupa Boraks, Formalin dan Rhodamin B. Fakta ini menunjukkan bahwa

Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan Permendag

Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi dan Pengawasan

Bahan Berbahaya belum mengatur secara efektif untuk mencegah

penyalahgunaan B2 dalam bahan pangan.

Berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi dengan steakeholders yang

terlibat dengan B2, dapat diidentifikasi permasalahan terkait dengan

pengaturan B2 sebagai berikut:

1. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan

kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap

wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow,

untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.

2. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2

tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga

dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir

produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran

3. Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/M-

DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-

DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan

B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam

penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2.

4. Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran

distribusi B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah

distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan B2

kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2

kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada

PA-B2.

5. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat

propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang

didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya yang

mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang didistribusikan ke

dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada

Page 58: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 45

kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-

B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan peruntukan.

6. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak

dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah

sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh sumber daya

manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan barang

beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara

baik. Sementara pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri

makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku

usaha perdagangan B2.

7. Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang

berfungsi untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan

yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk mendapatkan SIUP-B2

bagi PT-B2

5.1.2. Penetapan Tujuan

Secara umum, tujuan revisi peraturan mengenai pengadaan, distribusi,

dan pengawasan B2 dilakukan untuk mencegah beredarnya B2 secara ilegal dan

untuk mencegah penyalahgunaan B2 yang dapat menimbulkan kerugian bagi

masyarakat. Secara khusus, revisi peraturan mengenai B2 bertujuan untuk: (1)

memperbaiki ketentuan pengadaan B2 sehingga memenuhi kebutuhan secara

akurat; (2) menyempurnakan sistem distribusi B2 sehingga mudah dikendalikan

dan diawasi; (3) memperbaiki sistem pengawasan B2 dan sanksi atas

pelanggaran; dan (4) mengintegrasikan pengaturan penggunaan B2.

5.1.3. Pengembangan berbagai pilihan/alternatif kebijakan

Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa pilihan perbaikan kebijakan

sebagai berikut :

1. Perbaikan ketentuan pengadaan B2

Dalam hal pengadaan B2, perlu adanya revisi peraturan yang

menyangkut tiga hal, yaitu: (1) jenis B2 sebaiknya tidak dikelompokkan atas

dasar yang pengaturan pengadaan impornya atau pengaturan tataniaganya.

Harusnya segala jenis B2 diatur pengadaan, impor, ekspor, distribusi,

pemilikan atau penggunaannya, hanya saja ada jenis B2 yang diatur

menggunakan kriteria dan prosedur yang spesifik, jenis B2 yang diatur

dengan perijinan, atau Jenis B2 yang dilarang, (2) pengaturan mekanisme

Page 59: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 46

perencanaan kebutuhan dan pengadaan secara nasional dan wilayah, dan (3)

pengaturan kembali ijin impor.

Berkaitan dengan pengaturan kembali ijin impor, ada beberapa

alternatif, di antaranya: (1) pemberian ijin pengadaan impor tetap diberikan

kepada IP-B2 dan IT-B2, dimana IP-B2 mendistribusikan untuk proses

produksinya sendiri (tidak boleh mendistribusikan ke pasar) dan IT-B2 dapat

mendistribusikan kepada DT-B2, PT-B2, atau PA-B2 dan ditunjuk sebagai IT-

B2 adalah PPI (alternatif 1, tidak ada perubahan); (2) pemberian ijin

pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada IT-B2 dan sebagai IT-B2

ditunjuk satu BUMN (alternatif 2); dan (3) pemberian iijin pengadaan impor

B2 hanya diberikan kepada perusahaan yang memenuhi syarat sebagai IT-B2

(alternatif 3).

2. Penyempurnaan sistem distribusi B2

Penyempurnaan sistem distribusi dilakukan agar penyaluran B2 dapat

dilakukan dengan baik, serta pengendalian dan pengawasannya dapat

dilakukan secara efektif. Beberapa alternatif penyempurnaan sistem

distribusi, di antaranya: (1) pengaturan sistem distribusi B2 yang jelas dan dan

mudah dikendalikan; dan (2) Pengaturan cabang dari IT-B2/DT-B2/PT-B2

yang jelas menurut wilayah.

Dalam pengaturan sistem distribusi, ada dua piilihan sistem distribusi:

(1) sistem distribusinya seperti yang sekarang ada, dimana IT-B2 atau P-B2

dapat mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2, dan/atau PA-B2; DT-B2

dapat mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 dapat

mendistribusikan kepada PA-B2 (alternatif 1) dan (2) sistem distribusi yang

baru dimana IT-B2 atau P-B2 menditribusikan B2 kepada DT-B2 atau kantor

cabang IT-B2 di suatu wilayah; DT-B2 atau Kantor Cabang IT-B2

mendistribusikan B2 kepada PT-B2 di wilayahnya; dan PT-B2

mendistribusikan B2 kepada PA-B2 di wilayahnya (alternatif 2).

3. Perbaikan sistem pengawasan B2 dan sanksi atas pelanggaran

Pengaturan mekanisme pengawasan harus lebih jelas dengan sanksi

yang tegas tidak hanya sanksi administratif. Dalam sistem pemerintahan yang

sekarang, mekanisme pengawasan harus mempertimbangkan kewenangan

pemerintah daerah. Harus ada komitmen bahwa pengawasan B2 menjadi

kewajiban dari pemerintah daerah dan bukan semata-mata menjadi

Page 60: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 47

tanggungjawab pemerintah pusat. Oleh karenanya, perlu dibentuk dan

diefektifkan kinerja Tim B2 di tingkat pusat dan Tim Terpadu B2 di tingkat

propinsi atau kabupaten/kota.

Pelaku usaha yang memiliki usaha B2 di suatu wilayah memiliki

kewajiban untuk melaporkan langsung pengadaan dan distribusi B2 kepada

Tim Terpadu atau instansi terkait di wilayahnya, selain melalui kantor

pusatnya. Ketidakpatuhan pelaku usaha B2 terhadap kewajiban melapor

secara rutin dapat dikenakan sanksi administratif tidak hanya pencabutan

SIUP tetapi juga denda dan/atau penggantian kerugian sesuai dengan

ketentuan perundangan yang ada (misalnya: UU No 18/2012 tentang

Pangan).

4. Pengintegrasian pengaturan penggunaan B2.

Ketentuan mengenai penggunaan B2 oleh PA-B2 secara umum

sebaiknya perlu dicantumkan dalam peraturan mengenai pengadaan,

distribusi dan pengawasan B2, termasuk di antaranya perlunya PA-B2

mengajukan perencanaan kebutuhan secara rutin selain melaporkan

penggunaan B2 yang diperolehnya.

5.1.4. Penilaian terhadap pilihan alternatif kebijakan

Peraturan mengenai pengadaan, distribusi dan pengawasan B2 secara

umum perlu direvisi. Selain untuk menyempurnakan ketentuan yang ada, revisi

dilakukan untuk mengantisipasi dan sebagai konsekuensi dari adanya ketentuan

lain seperti adanya ketentuan baru (misalnya: KTBI, 2012) atau undang-undang

baru (misalnya: UU No 18/2012).

Berkaitan dengan penilaian alternatif kebijakan menyangkut pengaturan

pengadaan impor, maka berdasarkan diskusi dengan stakeholders penilaian

keuntungan dan kerugian secara kualitatif, sebagai berikut:

1. Alternatif 1: pemberian ijin pengadaan impor tetap diberikan kepada IP-B2 dan

IT-B2

Keuntungan:

a. Tidak perlu ada sosialisasi dan “regulatory arrangement” yang baru

b. Memperbaiki mekanisme pelaksanaan dari peraturan tersebut

c. Hanya perlu mengoptimalkan mekanisme pelaporan.

Kerugian:

a. Masalah pengadaan impor mungkin bisa saja tetap muncul

Page 61: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 48

b. Kemungkinan adanya „kebocoran‟ dari IP-B2 ke pasar

c. Belum-mampunya IT-B2 mengadakan semua jenis B2 memunculkan

peluang pengadaan melalui impor ilegal

2. Alternatif 2: pemberian ijin pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada IT-B2

dan sebagai IT-B2 ditunjuk satu BUMN

Keuntungan:

a. Mudah mengawasi dan mengontrol pengadaan B2 dari impor

b. Menghilangkan kemungkinan „kebocoran‟ dari IP-B2

Kerugian:

a. Bersifat „monopoli‟

b. Kebutuhan IP-B2 akan tergantung pada IT-B2 (dan tentunya IP-B2 yang

membutuhkan B2 untuk proses produksinya akan menerima harga yang

lebih tinggi)

c. Perlu peningkatan kemampuan IT-B2 dalam memenuhi seluruh kebutuhan

B2

3. Alternatif 3: pemberian iijin pengadaan impor B2 hanya diberikan kepada

perusahaan yang memenuhi syarat sebagai IT-B2

Keuntungan:

a. Tidak menimbulkan perbedaan perlakuan antar pengimpor, sehingga

memungkinkan untuk membentuk asosiasi pengimpor B2

b. Pengawasan dan pengendalian dapat relatif mudah dilakukan apabila

mereka membentuk asosiasi pengimpor B2

c. Menghilangkan kemungkinan „kebocoran‟ dari IP-B2

Kerugian:

a. IP-B2 akan menerima harga yang lebih tinggi karena dianggap sebagai PA-

B2 dan akan tergantung pada IT-B2

Sementara itu, berkaitan dengan penilaian alternatif kebijakan

menyangkut pengaturan distribusi B2, maka berdasarkan diskusi dengan

stakeholders penilaian keuntungan dan kerugian secara kualitatif, sebagai

berikut:

1. Alternatif 1: Sistem distribusi tetap seperti sekarang dilakukan

Keuntungan:

a. Tidak memerlukan adanya upaya sosialisasi peraturan yang baru

b. PA-B2 dapat memperoleh B2 lebih mudah dari berbagai pelaku usaha

Kerugian:

Page 62: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 49

a. Menyulitkan pengawasan dan pengendalian, karena sistem distribusi tidak

terstruktur dengan jelas

b. Penyalah-gunaan B2 bisa lebih marak karena mudah didapat dengan

harga murah

2. Alternatif 2: Perubahan sistem distribusi

Keuntungan:

a. Relatif memudahkan dalam pengawasan dan pengendalian B2

b. Keberadaan kantor cabang IT-B2 atau DT-B2 dapat memperpendek rantai

tata niaga B2

c. Dapat diketahui dengan baik kebutuhan dan penyaluran B2

Kerugian:

a. PA-B2 hanya akan dapat memperoleh B2 dari PT-B2, sehingga akan

menerima harga relatif lebih mahal (merugikan PA-B2 yang besar).

5.1.5. Pemilihan kebijakan terbaik

Berdasarkan hasil diskusi, dengan mempertimbangkan keuntungan dan

kerugiannya, maka dapat diambil keputusan bahwa:

1. Pengaturan mengenai pengadaan ijin impor tetap seperti yang sekarang

diberlakukan (alternatif 1). Ijin pengadaan impor diberikan kepada IP-B2

untuk keperluan proses produksi sendiri dan kepada IT-B2 untuk

didistribusikan ke pasar. Perusahaan BUMN (PT PPI) ditunjuk sebagai IT-B2.

Namun demikian, perusahaan IP-B2 tidaklah merangkap sebagai P-B2,

sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran B2 yang diimpornya

ke pasar.

2. Pengaturan mengenai distribusi B2 dipilih alternatif 2 dimana adanya

pengaturan distribusi yang lebih terstruktur dan membatasi wilayah distribusi.

Dalam konsultasi, tidak ada stakeholders yang merasa keberatan dengan

pengaturan distribusi yang baru. Hanya saja untuk pengguna akhir B2 (PA-

B2) yang membutuhkan B2 dalam jumlah besar dapat mengajukan ijin untuk

bisa mendapatkannya dari IT-B2 atau P-B2 agar mereka tidak merasa

dirugikan dengan menerima harga yang lebih tinggi jika pengaturan ini

diberlakukan.

5.2. Upaya Peningkatan Efektifitas Pengawasan Distribusi B2

Penyalahagunaan B2 terutama sebagai bahan tambahan untuk pangan

dapat membahayakan kesehatan manusia dan juga lingkungan. Salah satu

Page 63: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 50

penyebab timbulnya penyalahgunaan B2 diduga karena bahan berbahaya

mudah diperoleh di pasar. Padahal Pemerintah telah menerbitkan peraturan-

peraturan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dan

penyalahgunaan B2. Namun demikian, dalam pelaksanaannya masih belum

sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari peraturan tersebut. Pengadaan,

pendistribusian maupun penggunaan B2 terus meningkat dan bahkan semakin

mudah diperoleh di pasar. Oleh karena itu, peraturan mengenai pengadaan,

distribusi dan pengawasan B2 perlu dievaluasi.

Beberapa ketentuan terutama dalam Permendag Nomor: 44/M-

DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2

menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan, yaitu :

a. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2

(DT-B2) sebagaimana diatur pada Pasal 1 Angka 8 dan PT-B2 ditunjuk

oleh DT-B2 pada Pasal 11 Ayat (2) Hurup d, namun pada pasal 1 Angka 12

diatur bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau

Produsen B2 (P-B2).

b. Pada Pasal 1 Angka 9, ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak

menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan

IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan IT-

B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil.

c. Pada Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan

distribusinya dan Pasal 20 Ayat (1) menyebutkan pengawasan terhadap

distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada Lampiran 1, jenis B2 yang

diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis B2 yang

diatur distribusinya sebanyak 54, sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan

pengawasan.

d. Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada

pasal 1 Angka (3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja.

e. Pasal 8 Ayat (3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang

(repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II). Namun

PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan

kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan khususnya

PA-B2 skala kecil.

f. Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi

sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki

Page 64: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 51

persyaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan

tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.

g. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2.

Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2.

Tabel 5.1. Usulan Revisi Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009

No Pasal Bunyi Pasal Usulan Revisi

1 Pasal 1 Angka 8

Pengecer Terdaftar Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PT-B2 adalah perusahaan yang ditunjuk oleh DT-B2 dan mendapatkan izin usaha perdagangan khusus B2 dari Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Provinsi untuk menjual B2 kepada PAB2.

Sebaiknya PT –B2 hanya ditunjuk DT-B2 tidak ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2) seperti pasal 1 (ayat 12).

2 Pasal 1 Angka 9

Pengguna Akhir Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PA-B2 adalah perusahaan industri yang menggunakan B2 sebagai bahan baku/penolong yang diproses secara kimia fisika, sehingga terjadi perubahan sifat fisika dan kimianya serta memperoleh nilai tambah, dan badan usaha atau lembaga yang menggunakan B2 sebagai bahan penolong sesuai peruntukannya yang memiliki izin dari Instansi yang berwenang.

Pada ketentuan PA-B2 perlu dijelaskan tentang besar-kecilnya skala usaha, hal ini karena baik P-B2 dan IT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2 termasuk pada skala usaha kecil.

3 Pasal 2 Ayat (1)

Jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak kelestarian lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini

Perlu pengawasan pada semua jenis B2 baik yang diatur tataniaganya (Lampiran 1 : 351 jenis B2) maupun distribusinya (Lampiran II : 54 jenis), sehingga tidak ada perbedaan dalam pengawasan

4 Pasal 3 Ayat (1)

P-B2 yang akan melakukan impor B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib mendapat pengakuan sebagai IP-B2 dari Menteri dalam hal ini Dirjen Daglu

Sebaiknya produsen B2 tidak boleh mengimpor maka pasal 3 (ayat 1) ini dihapus

5 Pasal 8 Ayat (3)

Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan label yang memuat nama/jenis B2, nama dan alamat P-B2 atau IT-B2 atau DT-B2 yang mengemas ulang, berat/volume netto, peruntukan, piktogram/simbol bahaya, kata sinyal, dan pernyataan bahaya yang mengacu pada panduan umum, sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.

Ketentuan tersebut belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan (Lampiran II), karena PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Pada pasal ini perlu ditambahkan ayat yang peruntukannya kepada PA-B2. Berat/volumenya diatur pada Lampiran IV.

6 Pasal 12 Ayat (2)

Kantor Cabang Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika tidak

Sebaiknya Kantor cabang hanya sampai DT-B2

Page 65: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 52

pendistribusikan B2 dari Kantor Pusat Perusahaan dapat berfungsi sebagai pengecer untuk mendistribusikan B2 kepada PA-B2, dengan kewajiban memiliki SIUP-B2 sebagai PT-B2.

karena harus memiliki pesryaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2, sementara PT-B2 tidak diharuskan memiliki persyaratan tersebut.

7 Pasal 19

Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan B2 dan PA-B2 dalam menggunakan/ memanfaatkan B2 dilakukan oleh Departemen Perdagangan berkoordinasi dengan Departemen/ Instansi Teknis terkait

Perlu juga dilakukan pembinaan terhadap P-B2 dan usulan ini dapat dimasukan pada pasal 9

Page 66: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 53

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1 Kesimpulan

a. Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 tentang perubahan

Permendag Nomor: 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan, distribusi

dan Pengawasan Bahan Berbahaya belum komprehensif dan

implementasinya belum efektif. Tujuan dari Permendag ini adalah upaya

untuk meningkatkan pencegahan penyalahgunaan peruntukan B2.

Namun dalam kenyaataan pada saat ini masih banyak ditemukan

penyalahgunaan jenis B2 tertentu seperti Boraks, Formalin, dan

Rhodamin-B dan yang digunakan untuk bahan pangan.

b. Hasil temuan menunjukkan masih banyak penyalahgunaan B2 untuk

pangan. Berdasarkan hasil penelitian, dari total 251 jenis minuman di

beberapa kota antara lain di Jakarta sebesar 8persen, Bogor sebesar

14,5persen; di Rangkas Bitung sebesar 17persen terbukti mengandung

Rhodamin-B sebagai bahan pewarna merah pada minuman (Winarno,

1994). Lebih lanjut, berdasarkan survey yang dilakukan di 4500 sekolah

dasar tahun 2008, SEAFAST Center IPB menemukan sekitar 12,9persen

Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) mengandung formalin, 9,7persen

mengandung Boraks, 4persen mengandung Rhodamin B, 3,7persen

mengandung dan 5persen mengandung Amaranth (Andarwulan,

Madanijah & Zulaikhah, 2011). Hasil uji sample PJAS dari mobil

laboratorium keliling di DKI Jakarta pada tahun 2012 menunjukkan bahwa

17 persen mengandung B2, berupa Boraks, Formalin dan Rhodamin B.

Laporan BPOM tahun 2012 menunjukkan bahwa secara nasional sekitar

9persen PJAS mengandung B2.

c. Beberapa ketentuan terutama dalam Permendag Nomor: 44/M-

DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2

menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan ketidakjelasan yaitu :

1) Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor

Terdaftar B2 (DT-B2) pada pasal 1 (ayat 8) dan PT-B2 ditunjuk oleh

DT-B2 pada pasal 11 (ayat 2d), namun pada pasal 1 (ayat 12) bahwa

PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen

B2 (P-B2).

Page 67: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 54

2) Pada pasal 1 (ayat 9), ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2)

tidak menjelaskan batasan besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik

P-B2 dan IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2,

maka P-B2 dan IT-B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil.

3) Pada Pasal 2 (ayat 1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga

impor dan distribusinya dan pasal 20 (ayat 1) menyebutkan

pengawasan terhadap distribusi, pengemasan dan pelabelan B2. Pada

Lampiran 1, jenis B2 yang diatur tata niaga impornya sebanyak 351

jenis, sedangkan jenis B2 yang diatur distribusinya sebanyak 54,

sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan pengawasan.

4) Pasal 3 (ayat 1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2,

sedangkan pada pasal 1 (butir 3) P-B2 hanya memproduksi B2 saja.

5) Pasal 8 (ayat 3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang

(repacking) yang dilakukan oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II),

namun PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2

dalam kemasan kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan

kebutuhan khususnya PA-B2 skala kecil.

6) Pasal 12 (ayat 2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat

berfungsi sebagai PT-B2. Jika kantor cabang PT-B2 maka tidak

diwajibkan memiliki persyaratan, salah satunya memiliki peralatan

sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.

7) Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2,

PT-B2 . Pada pasal ini belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2.

d. Implementasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai

Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang

Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum berjalan dengan baik

yang disebabkan:

Pengadaan

1) Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan

kebutuhan setiap jenis B2 secara jelas, baik nasional maupun setiap

wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil Yellow,

untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.

2) PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai

IT-B2 tidak mampu melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga

Page 68: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 55

dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran yang berasal dari Importir

produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran

3) Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/M-

DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-

DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi dan

Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada

kesulitan dalam penyesuaian Harmonized System (HS) dalam

importasi B2.

Distribusi

1) Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran

distribusi B2 yang kurang terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah

distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat mendistribusikan

B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat

mendistribusikan B2 kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2

mendistribusikan B2 kepada PA-B2.

2) Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di

tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2

yang didistribusikan di suatu wilayah dilakukan melalui kantor pusatnya

yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang

didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi.

Disamping itu, tidak ada kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi

kebocoran berasal dari PT-B2 ke PA-B2 yang dapat disalahgunakan

peruntukan.

Pengawasan

1) Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum

banyak dilakukan di daerah. Komitmen Pemerintah daerah yang relatif

rendah sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum didukung oleh

sumber daya manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada

pengawasan barang beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk

B2 belum berjalan secara baik. Sementara pengawasan oleh BPOM

lebih kepada industri makanan/minuman yang menggunakan B2, tetapi

bukan kepada pelaku usaha perdagangan B2.

2) Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang

berfungsi untuk melakukan verifikasi persyaratan fasilitas

Page 69: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 56

penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk

mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2

6.2 Rekomendasi Kebijakan

a. Perlu dilakukan penyempurnaan atau revisi Permendag Nomor: 23/M-

DAG/PER/9/2011 Tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2

sebagai perubahan dari Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009

Tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 agar

penyalahgunaan B2 dapat diminimalkan. Revisi peraturan ini antara lain

menyangkut aspek pengadaan, distribusi dan pengawasan serta

penerapan sanksi, sebagai berikut :

Pengadaan:

a) Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan,

serta perijinan dan pemgetatan pelaporan B2. Dengan memperhatikan

keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti

yang sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar

(IT).

Distribusi dan Pengawasan:

a) Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap

peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur,

sehingga mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai

berikut: Produsen (P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2)

menyalurkannya ke Distributor Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke

Pengecer Terdaftar (PT-B2) menyalurkannya ke PA-B2 .

b) Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2

di setiap wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang

berfungsi sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani

kebutuhan di wilayahnya dan untuk itu berkewajiban melaporkan

realisasi distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya.

c) PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat

langsung membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan

permohonan ijin khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus

diberikan untuk jumlah dan kurun waktu tertentu.

Page 70: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 57

b. Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan

pengawasan distribusi B2, dengan melibatkan instansi terkait meliputi

koordinasi dan mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan pembentukan

Tim Pemeriksa .

c. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan

menimbulkan efek jera sesuai dengan pelanggarannya dalam upaya

meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi segala

kewajiban, antara lain pelaporan. Penerapan sanksi terhadap

pelanggaran perlu ditegakkan dan mengacu pada peraturan perundangan

yang berlaku yaitu Undang-undang Perlindungan Konsumen.

d. Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan

dengan peredaran B2 secara terkoordinir dan berkesinambungan,

dibarengi dengan upaya untuk menyediakan bahan alternatif yang bisa

menggantikan fungsi B2 dengan harga yang relatif murah.

e. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan

B2 untuk pangan kepada para pelaku usaha terutama industri pangan

atau pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas dalam bentuk

workshop, seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi,

perlu tetap melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur

di masyarakat dapat dalam bentuk program konsumen cerdas

(KONCER).

Page 71: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 58

DAFTAR PUSTAKA

Andarwulan N, Madanijah S, Zulaikhah. 2009. Safety of school children foods in

Indonesia. Di dalam: Dewanti-Hariyadi et al. Editor. Proceeding of International Seminar Current Issue and Challenges in Food Safety. Bogor: Seafast Center.

[BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2011. Kajian

Ringkas Pengembangan dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (RIA) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan dan Non Peraturan) di Kementerian PPN/BAPPENAS. Jakarta: Biro Hukum Kementerian PPN/BAPPENAS

[BPOM]. Badan Pengawasan Obat dan Makanan. 2012. Report to the Nation:

Laporan Kinerja Pengawasan Obat dan Makanan RI kwartal I Tahun 2012. Jakarta: BPOM

[CDC]. Centre for Disease Control. 2010. Borax (Boric Acid) sold or represented

as food. Food Safety Notes Chuangchote C. 2003. Food safety strategy.

http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/Resources/Topics/Standards/standards_training_challenges_thailand.pdf [11 Februari 2013]

Cahya et al (2012). Standar Bahan Pewarna Makanan. Universitas Diponegoro.

Damanhuri, Enri. 2009. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Diktat

Kuliah. ITB

[EPA]. Environmental Protection Agency. 2007. Formaldehyde. TEACH Chemical

Summary. Punvanti IT, Wulandari YW, Rahayu K. 2009. Formalin contamination in

children‟s street food at school in Surakarta, Central Java, Indonesia. Di dalam: Dewanti-Hariyadi et al. Editor. Proceeding of International Seminar Current Issue and Challenges in Food Safety. Bogor: Seafast Center.

Sabet D. 2012. Formalin: How to address a market failure? Monthly Current

Event Analysis Series. University of Liberal Arts Bangladesh. Wikanta W. 2010. Persepsi masyarakat tentang penggunaan formalin dalam

bahan makanan dan pelaksanaan pendidikan gizi dan keamanan pangan. Jurnal Biologi dan Pembelajarannya. Vol 1 (2).

Page 72: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Analisis Pengawasan Distribusi Bahan Berbahaya 59

Page 73: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

MEMO KEBIJAKAN

UPAYA PENINGKATAN PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYA

Isu Kebijakan

1. Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 yang kemudian

direvisi menjadi Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 mengatur tentang Pengadaan, Distribusi dan

Pengawasan Bahan Berbahaya (B2). Tujuan dari Permendag ini adalah upaya untuk meningkatkan

pencegahan penyalahgunaan peruntukan B2. Dalam kenyataan, pada saat ini masih banyak

ditemukan penyalahgunaan jenis B2 tertentu, seperti Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan Metanil

Yellow yang biasa digunakan untuk pengolahan pangan.

2. Selanjutnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa 8 – 17% dari total 251 jenis minuman di beberapa

kota, seperti Jakarta, Bogor Rangkas Bitung, rata-rata terbukti mengandung Rhodamin-B sebagai

bahan pewarna merah pada minuman (Winarno, 1994). Survey yang dilakukan oleh SEAFAST

Center IPB di 4500 sekolah dasar tahun 2008, juga menemukan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

mengandung formalin sebesar 12,9%, Boraks 9,7%, Rhodamin B 4%, Metanil yellow 3,7%, dan

Amaranth 5% (Andarwulan, Madanijah & Zulaikhah, 2011). Selain itu, pada tahun 2012 hasil uji

sample mobil laboratorium keliling terhadap PJAS di DKI Jakarta menunjukkan bahwa 17 %

mengandung B2, berupa Boraks, Formalin dan Rhodamin B dan laporan BPOM pada tahun yang

sama menunjukkan bahwa secara nasional sekitar 9% PJAS mengandung B2.

Evaluasi Terhadap Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag

Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2

3. Beberapa ketentuan terutama dalam Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang

Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2 menunjukkan kontradiksi atau yang menimbulkan

ketidakjelasan yaitu :

a. Pengecer Terdaftar B2 (PT-B2) hanya ditunjuk oleh Distributor Terdaftar B2 (DT-B2) pada pasal 1

(ayat 8) dan PT-B2 ditunjuk oleh DT-B2 pada pasal 11 (ayat 2d), namun pada pasal 1 (ayat 12)

bahwa PT-B2 dapat ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2).

b. Pada pasal 1 (ayat 9), ketentuan tentang Pengguna Akhir B2 (PA-B2) tidak menjelaskan batasan

besar-kecilnya skala usaha. Mengingat baik P-B2 dan IT-B2 maupun PT-B2 dapat langsung

menjual ke PA-B2, maka P-B2 dan IT-B2 dapat menjual B2 ke PA-B2 dalam skala kecil.

c. Pada Pasal 2 (ayat 1) menyebutkan jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya dan

pasal 20 (ayat 1) menyebutkan pengawasan terhadap distribusi, pengemasan dan pelabelan B2.

Pada Lampiran 1, jenis B2 yang diatur tata niaga impornya sebanyak 351 jenis, sedangkan jenis

B2 yang diatur distribusinya sebanyak 54 , sehingga tidak semua jenis B2 dilakukan pengawasan.

d. Pasal 3 (ayat 1) menyebutkan P-B2 boleh mengimpor B2, sedangkan pada pasal 1 (butir 3) P-B2

hanya memproduksi B2 saja.

e. Pasal 8 (ayat 3) tentang ketentuan kemasan dan pengemasan ulang (repacking) yang dilakukan

oleh P-B2, IT-B2 dan DT-B2 (Lampiran II), namun PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual

Page 74: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Ketentuan ini belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan

khususnya PA-B2 skala kecil.

f. Pasal 12 (ayat 2) menyebutkan kantor cabang perusahaan dapat berfungsi sebagai PT-B2. Jika

kantor cabang PT-B2 maka tidak diwajibkan memiliki persyaratan, salah satunya memiliki

peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2.

g. Pasal 19 tentang pembinaan dilakukan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 . Pada pasal ini

belum menyebutkan pembinaan terhadap P-B2.

4. Implementasi Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai Perubahan atas Permendag

Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi dan Pengawasan B2, belum

berjalan dengan baik, disebabkan :

Pengadaan a. Belum tersedia data base B2 yang akurat dan belum ada pemetaan kebutuhan setiap jenis B2

secara jelas, baik nasional maupun setiap wilayah khususnya Boraks, Formalin, Rhodamin-B dan

Metanil Yellow, untuk mengetahui jumlah pengadaan B2 terutama dari impor.

b. PT. PPI merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk sebagai IT-B2 tidak mampu

melakukan impor untuk semua jenis B2. Sehingga dimungkinkan adanya “ indikasi “ kebocoran

yang berasal dari Importir produsen B2 (IP-B2) atau adanya impor B2 ilegal di pasaran

c. Jenis-jenis B2 yang tercantum dalam Permendag Nomor: 23/M-DAG/PER/9/2011 sebagai

Perubahan atas Permendag Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 dan Tentang Pengadaan, Distribusi

dan Pengawasan B2, belum disesuaikan BTKI tahun 2012, sehingga ada kesulitan dalam

penyesuaian Harmonized System (HS) dalam importasi B2.

Distribusi a. Pengaturan distribusi B2 menyulitkan pengawasan karena saluran distribusi B2 yang kurang

terstruktur dan tidak ada pengaturan wilayah distribusi. Sebagai contoh , P-B2 atau IT-B2 dapat

mendistribusikan B2 kepada DT-B2, PT-B2 dan/atau PA-B2; DT-B2 dapat mendistribusikan B2

kepada PT-B2 dan/atau PA-B2; dan PT-B2 mendistribusikan B2 kepada PA-B2.

b. Sistem pelaporan belum berjalan dengan semestinya terutama di tingkat propinsi dan

kabupaten/kota. Pelaporan dari IT-B2 atau DT-B2 yang didistribusikan di suatu wilayah

dilakukan melalui kantor pusatnya yang mungkin saja tidak di wilayah tersebut. Jumlah B2 yang

didistribusikan ke dalam suatu wilayah sulit untuk diidentifikasi. Disamping itu, tidak ada

kewajiban laporan PA-B2 merupakan tendensi kebocoran berasal dari PT-B2 ke PA-B2 yang

dapat disalahgunakan peruntukan.

Pengawasan a. Koordinasi dan mekanisme antar-lembaga pengawas B2 belum banyak dilakukan di daerah.

Komitmen Pemerintah daerah yang relatif rendah sehingga pelaksanaan pengawasan B2 belum

didukung oleh sumber daya manusia. Pengawasan oleh Disperindag lebih kepada pengawasan

barang beredar terkait SNI dan Label, sedangkan untuk B2 belum berjalan secara baik.

Page 75: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Sementara pengawasan oleh BPOM lebih kepada industri makanan/minuman yang

menggunakan B2, tetapi bukan kepada pelaku usaha perdagangan B2.

b. Masih banyak daerah yang belum memiliki Tim Pemeriksa B2 yang berfungsi untuk melakukan

verifikasi persyaratan fasilitas penyimpanan yang memenuhi syarat K3L sebagai syarat untuk

mendapatkan SIUP-B2 bagi PT-B2

Rekomendasi Kebijakan

5. Perlu dilakukan revisi Permendag terutama pada pasal-pasal yang tertuang pada Permendag

Nomor : 44/M-DAG/PER/9/2009 tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2 (lampiran 1 ).

Selain revisi pada pasal-pasalnya maka yang menyangkut aspek pengadaan, distribusi dan

pengawasan serta penerapan sanksi, perlu ada penyempurnaan, sebagai berikut :

Pengadaan :

a. Perlu ditetapkan ketentuan perencanaan pengadaan dan kebutuhan, serta perijinan dan pengetatan pelaporan B2. Dengan memperhatikan keuntungan dan kerugiannya, kelembagaan impor B2 tetap seperti yang sekarang ada, yaitu Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT).

Distribusi dan Pengawasan :

a. Dalam upaya memudahkan dan mengefektifkan pengawasan terhadap peredaran B2, perlu diatur sistem distribusi B2 yang terstruktur, sehingga mudah dalam pengawasan. Jalur distribu si B2 sebagai berikut: Produsen (P-B2) dan Importir Terbatas (IT-B2) menyalurkannya ke Distributor Terdaftar (DT-B2), menyalurkannya ke Pengecer Terdaftar (PT-B2) menyalurkannya ke PA-B2 .

b. Pengawasan B2 di suatu wilayah, diperlukan pemetaan kebutuhan B2 di setiap wilayah. Kantor cabang Importir Terbatas (IT-B2) yang berfungsi sebagai perwakilan di suatu wilayah hanya melayani kebutuhan di wilayahnya dan untuk itu berkewajiban melaporkan realisasi distribusi/penyaluran B2 kepada instansi terkait di wilayahnya.

c. PA-B2 yang memiliki kebutuhan B2 dengan skala besar dapat langsung membeli dari DT-B2 atau IT-B2 dengan mengajukan permohonan ijin khusus kepada instansi terkait. Pemberian ijin khusus diberikan untuk jumlah dan kurun waktu tertentu.

6. Perlu komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam melakukan pengawasan distribusi B2, dengan

melibatkan instansi terkait meliputi koordinasi dan mekanisme pengawasan B2 yang jelas dan

pembentukan Tim Pemeriksa .

7. Perlu juga diatur ketentuan mengenai sanksi yang lebih jelas dan menimbulkan efek jera sesuai

dengan pelanggarannya dalam upaya meningkatkan kepatuhan pelaku usaha dalam memenuhi

segala kewajiban, antara lain pelaporan. Penerapan sanksi terhadap pelanggaran perlu ditegakkan

dan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku yaitu Undang-undang Perlindungan

Konsumen.

8. Perlu dilakukan pembinaan terhadap pelaku usaha yang berkaitan dengan peredaran B2 secara

terkoordinir dan berkesinambungan, dibarengi dengan upaya untuk menyediakan bahan alternatif

yang bisa menggantikan fungsi B2 dengan harga yang relatif murah.

Page 76: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

9. Pemerintah perlu melakukan sosialisasi tentang bahayanya penggunaan B2 untuk pangan kepada

para pelaku usaha terutama industri pangan atau pedagang makanan/minuman dan masyarakat luas

dalam bentuk workshop, seminar, website, leaflet, brosur dan lain-lain. Selain sosialisi, perlu tetap

melakukan edukasi yang lebih intensif kepada berbagai unsur di masyarakat dapat dalam bentuk

program konsumen cerdas (KONCER).

Page 77: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M

Lampiran 1 : Usulan Revisi Permendag. Nomor: 44/M-DAG/PER/9/2009 Tentang Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan B2

No Pasal Bunyi Pasal Usulan Revisi

1 Pasal 1 (ayat 8)

Pengecer Terdaftar Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PT-B2 adalah perusahaan yang ditunjuk oleh DT-B2 dan mendapatkan izin usaha perdagangan khusus B2 dari Gubernur dalam hal ini Kepala Dinas Provinsi untuk menjual B2 kepada PAB2.

Sebaiknya PT –B2 hanya ditunjuk DT-B2 tidak ditunjuk oleh Importir Terdaftar B2 (IT-B2) atau Produsen B2 (P-B2) seperti pasal 1 (ayat 12).

2 Pasal 1 (ayat 9)

Pengguna Akhir Bahan Berbahaya yang selanjutnya disingkat PA-B2 adalah perusahaan industri yang menggunakan B2 sebagai bahan baku/penolong yang diproses secara kimia fisika, sehingga terjadi perubahan sifat fisika dan kimianya serta memperoleh nilai tambah, dan badan usaha atau lembaga yang menggunakan B2 sebagai bahan penolong sesuai peruntukannya yang memiliki izin dari Instansi yang berwenang.

Pada ketentuan PA-B2 perlu dijelaskan tentang besar-kecilnya skala usaha, hal ini karena baik P-B2 dan IT-B2 dapat langsung menjual ke PA-B2 termasuk pada skala usaha kecil.

3 Pasal 2 (ayat 1) Jenis B2 yang diatur tata niaga impor dan distribusinya terdiri dari bahan kimia yang membahayakan kesehatan dan merusak kelestarian lingkungan hidup sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri ini

Perlu pengawasan pada semua jenis B2 baik yang diatur tataniaganya (Lampiran 1 : 351 jenis B2) maupun distribusinya (Lampiran II : 54 jenis), sehingga tidak ada perbedaan dalam pengawasan

4 Pasal 3 (ayat1) P-B2 yang akan melakukan impor B2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) wajib mendapat pengakuan sebagai IP-B2 dari Menteri dalam hal ini Dirjen Daglu

Sebaiknya produsen B2 tidak boleh mengimpor maka pasal 3 (ayat 1) ini dihapus

5 Pasal 8 (ayat 3)

Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan label yang memuat nama/jenis B2, nama dan alamat P-B2 atau IT-B2 atau DT-B2 yang mengemas ulang, berat/volume netto, peruntukan, piktogram/simbol bahaya, kata sinyal, dan pernyataan bahaya yang mengacu pada panduan umum, sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri ini.

Ketentuan tersebut belum sesuai dengan peruntukan kebutuhan (Lampiran II), karena PT-B2 juga melakukan repacking untuk dijual kepada PA-B2 dalam kemasan kecil. Pada pasal ini perlu ditambahkan ayat yang peruntukannya kepada PA-B2. Berat/volumenya diatur pada Lampiran IV.

6 Pasal 12 (ayat 2).

Kantor Cabang Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika tidak pendistribusikan B2 dari Kantor Pusat Perusahaan dapat berfungsi sebagai pengecer untuk mendistribusikan B2 kepada PA-B2, dengan kewajiban memiliki SIUP-B2 sebagai PT-

B2.

Sebaiknya Kantor cabang hanya sampai DT-B2 karena harus memiliki pesryaratan, salah satunya memiliki peralatan sistem tanggap darurat dan tenaga ahli di bidang pengelolaan B2, sementara PT-B2 tidak diharuskan memiliki persyaratan tersebut.

7 Pasal 19

Pembinaan terhadap IP-B2, IT-B2, DT-B2, PT-B2 dalam mendistribusikan B2 dan PA-B2 dalam menggunakan/ memanfaatkan B2 dilakukan oleh Departemen Perdagangan berkoordinasi dengan Departemen/ Instansi Teknis terkait

Perlu juga dilakukan pembinaan terhadap P-B2 dan usulan ini dapat dimasukan pada pasal 9

Page 78: ANALISIS PENGAWASAN DISTRIBUSI BAHAN BERBAHAYAbppp.kemendag.go.id/media_content/...DISTRIBUSI_BAHAN_BERBAHAYA.pdf · Permendag Nomor: -DAG/PER/9/2011 tentang Perubahan Permendag 23/M