Transcript

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

1

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PRESTASI

AKADEMIK RENDAH PADA MAHASISWA PROGRAM

NON-PENDAS DI UPBJJ-UT

DENPASAR

Oleh

Heri Wahyudi ([email protected])

Sudrajat

Wayan Meter

UPBJJ-UT Denpasar

Abstract

This study aims to analyze the factors that cause low student academic

achievement. To achieve these objectives, this study used a survey design to collect

data from respondents. Before the first study researchers conducted pre-survey

interview technique to several respondents in order to obtain information to

formulate a construct that will be analyzed and research instruments.

The context of this study conducted in UPBJJ-UT Denpasar with

respondents of Non-Pendas Program student that low academic achievement.

Respondents in this study was 71 students with a response rate of 92.5%.

To analyze the factors that lead to low academic achievement and

determine the level of influence with confirmatory factor analysis and descriptive

statistics using SPSS 16.0 software support for windows.

Key words : Analysis of the factors, low academic achievement

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar merupakan kegiatan inti

dan utama. Secara psikologis belajar dapat diartikan sebagai suatu proses

memperoleh perubahan tingkah laku untuk mendapatkan pola respon baru yang

diperlukan dalam interaksi dengan lingkungannya. Proses perbuatan belajar

menyangkut berbagai aspek diantaranya mengenai latar belakang timbulnya

belajar, jenis dan bentuk-bentuk belajar, faktor yang mempengaruhi perbuatan

belajar, transfer dalam belajar sehingga sangat menentukan keberhasilan dalam

proses perbuatan belajar. Selain itu ada aspek lain yang sangat penting dalam

keberhasilan proses perbuatan belajar yaitu, seperti kematangan idividu pembelajar,

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

2

lingkungan keluarga yang mendukung, lingkungan sekolah yang kondusif,

lingkungan masyarakat mendukung, metode belajar yang up to date dan tersedianya

alat-alat belajar/media belajar dan materi pembelajaran yang mudah dipelajari dan

dimengerti.

Dengan demikian pelaksanaan proses perbuatan belajar terdapat beberapa

masalah baik bagi mahasiswa seperti dalam pengaturan waktu belajar, memilih

metode belajar, pengunaan sumber/buku belajar, cara belajar dengan kelompok, dan

persiapan menghadapi ujian. Begitu pula dengan permasalahan bagi tutor/dosen

sebagai pelaksana proses pembelajaran harus mempersiapan materi pembelajaran,

teknik pembelajaran yang tepat digunakan agar dapat menunjang proses

pembelajaran sehingga proses pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan tujuan

yang diharapkan, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pembelajar,

tentunya apabila permasalahan telah diantisipasi lebih awal oleh tutor/dosen

diharapkan proses pembelajaran akan tercapai secara optimal.

Universitas Terbuka (UT) sebagai lembaga pendidikan tinggi, tentu saja

mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu para mahasiswa agar

mereka berhasil dalam belajarnya. Untuk itu hendaknya UT memberikan bantuan

kepada para mahasiswa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dari

kegiatan belajar. Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan tinggi yang

menyelenggarakan pelayanan dengan Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ), mempunyai

implikasi terhadap penataan proses belajar mengajar yang berbeda dari sistem

pengajaran perguruan tinggi “tatap muka” biasa. Proses belajar mengajar jarak jauh

yang diterapkan oleh UT, pada dasarnya ditujukan kepada kegiatan mahasiswa

untuk belajar mandiri dan belajar berkelompok.

Bahan pelajaran disampaikan melalui paket pelajaran yang disebut modul

yang terdiri dari bahan ajar cetak dan non cetak. Bahan ini dipelajari secara mandiri

oleh mahasiswa. Belajar mandiri lebih menuntut ketekunan, disiplin dan kejujuran.

Sebab selain belajar, mahasiswa juga diwajibkan melakukan penilaian sendiri

terhadap kemajuan belajarnya.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

3

Untuk membantu para mahasiswa belajar secara mandiri agar dapat

mencapai hasil belajar yang optimal diperlukan bimbingan yang terarah. Bimbingan

tersebut menjadi tanggung jawab tutor. Proses bimbingan ini disebut dengan tutorial.

Dalam setiap kegiatan Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMB)

Mahasiswa Program Non Pendas yang dilakukan setiap semester, mahasiswa

dibekali strategi belajar mandiri dan pembentukan kelompok belajar untuk

membantu mahasiswa dalam menyelesaikan studinya dengan tepat waktu dan

prestasi yang bagus, namun dari pengamatan terhadap nilai indeks prestasi

mahasiswa pada setiap semester, masih sangat banyak mahasiswa yang

mendapatkan indeks prestasinya di bawah dua koma. Berdasarkan data pada masa

registrasi 2009.2 jumlah mahasiswa dengan IP antara 2,00 sampai 4,00 sebanyak

127 mahasiswa dan IP di bawah 2,00 sebanyak 349 mahasiswa. Sedangkan pada

masa registrasi 2010.1 jumlah mahasiswa dengan IP antara 2,00 sampai 4,00

sebanyak 86 mahasiswa dan IP di bawah 2,00 sebanyak 341 mahasiswa. Data SRS

hasil Ujian Akhir Semester yang diolah UT Pusat.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat

diidentifikasi sebagai berikut: (1). Faktor-faktor yang menyebabkan prestasi

akademik rendah pada mahasiswa program Non-Pendas? (2). Sejauhmana faktor-

faktor tersebut mempengaruhi terhadap prestasi akademik rendah pada mahasiswa

Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar?

II. LANDASAN TEORI

Belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan,

dan sikap. Kemampuan orang untuk belajar ialah ciri penting yang membedakan

jenisnya dari jenis-jenis makhluk yang lain. Kemampuan belajar itu memberikan

manfaat bagi induvidu dan juga bagi masyarakat. Bagi masyarakat, belajar

memainkan peranan penting dalam penerusan kebudayaan berupa kumpulan

pengetahuan ke generasi baru. Hal itu memungkinkan temuan-temuan dan

penemuan-penemuan baru berdasarkan perkembangan di waktu sebelumnya.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

4

Orang sebagai induvidu dan masyarakat mempunyai kepentingan agar

berhasil dalam mengelola balajar. Orang-orang yang sudah terampil belajar mandiri

mampu mengusai berbagai keterampilan untuk mengisi waktu senggang dan

melakukan pekerjaan baru. Mereka juga mengembangkan kemampuan berkehidupan

yang kreatif sepanjang hayatnya. Bila ditelusuri secara mendalam, proses belajar

mengajar merupakan inti dari proses pendidikan formal.

Menurut pendapat Muhammad Ali (1987) Pengertian belajar maupun

mengajar yang dirumuskan para ahli, antara satu dengan yang lainnya terdapat

perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang pandangan maupun teori

yang dipegang. Terdapat beberapa alasan mengapa muncul aneka ragam pengertian

itu. Di antara alasan itu adalah: (1). Karena adanya perbedaan dalam

mengidentifikasi fakta. Dasar perumusan suatu teori adalah fakta yang

diindentifikasikan melalui penelitian terhadap sejumlah subjek sebagai sampel.

Antara seorang ahli dengan ahli lain penelitian dilakukan terhadap obyek yang

berbeda. Perbedaan ini mengakibatkan diperoleh hasil berbeda pula,

(2). Perbedaan penafsiran terhadap fakta. Perbedaan ini pada umumnya disebabkan

oleh latar belakang peninjauan yang berbeda-beda. Perumusan suatu teori di

samping terpengaruh oleh penafsiran terhadap fakta, juga oleh banyaknya fakta yang

dapat diindentifikasi. Dengan demikian teori yang dirumuskan pun berbeda pula,

(3). Perbedaan terminologi (peristilahan) yang digunakan serta konotasi masing-

masing istilah itu. Peristilahan yang digunakan sebagai dasar analisis dan

pembahasan ilmiah seringkali berbeda-beda. Setiap istilah mempunyai konotasi

tertentu. Oleh karena itu teori sebagai hasil studi ilmiah berbeda-beda sejalan dengan

perbedaan istilah yang digunakan dan konotasinya masing-masing, (4). Perbedaan

penekanan terhadap aspek tertentu. Dalam melakukan studi tentang mengajar

ataupun belajar setiap ahli memberi penekanan terhadap aspek tertentu. Studi

tentang mengajar ada menekankan pentingnya proses belajar. Demikian pula tentang

belajar, ada menekankan pada aspek asosiasi (hubungan) antara stimulus-respon,

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

5

ada pula menekankan pentingnya hasil kognitif. Hal ini membawa pengaruh

terhadap kesimpulan yang diperoleh

Kesulitan Belajar

Kesulitan merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya

hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga memerlukan

usaha yang lebih keras lagi untuk dapat mengatasi kesulitan itu. Kesulitan belajar

dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya

hambatan-hambatan tetap untuk mencapai hasil belajar. Hambatan ini mungkin

disadari mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalaminya dan dapat

bersifat psikologis, sosiologis, ataupun fisiologis dalam keseluruhan proses

belajarnya. Orang yang mengalami kesulitan belajar akan mengalami hambatan

dalam proses mencapai hasil belajarnya, sehingga prestasi yang dicapainya berada di

bawah yang semestinya.

Kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan kedalamannya

termasuk pengertian seperti learning disorder (kekacauan belajar), learning

disfunction (proses belajar yang tidak berfungsi), under echiever (prestasi belajar

rendah), slow learner (lambat belajar) dan sebagainya. Menurut Ngalim Purwanto

(1998), ada empat hal atau kategori dalam belajar, yaitu: (1). Ada perubahan tingkah

laku yang lebih baik, atau mungkin lebih buruk, (2). Perubahan yang terjadi dapat

melalui latihan atau pengalaman, (3). Perubahan itu relatif mantap, dan (4).

Perubahannya menyangkut aspek kepribadian.

Sementara itu Skinner (1997) menyatakan bahwa belajar adalah suatu

proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.

Adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat.

Hal ini merupakan dasar dari teori belajar conditioning dari Skinner, yaitu bahwa

timbulnya tingkah laku lantaran adanya hubungan antara stimulus (rangsangan)

dengan respons.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

6

Berkaitan dengan proses belajar mengajar dalam kelas, maka proses

stimulus dan respons pada dasarnya merupakan situasi dan proses yang melibatkan

dua faktor perbuatan, yaitu faktor perbuatan belajar oleh mahasiswa, dan faktor

perbuatan mengajar dari guru. Interaksi antara mahasiswa dengan guru dan antara

mahasiswa dengan mahasiswa menjadi proses interaksi sosial yang terjadi di dalam

kelas. Tanpa interaksi di antara mereka maka proses belajar dan mengajar tidak akan

terjadi.

Pada dasarnya, ada dua faktor utama yang berpengaruh dalam proses

belajar yaitu faktor yang ada dalam diri organisme, yang disebut dengan faktor

individual, seperti kematangan, kecerdasan, latihan dan motivasi. Sedangkan faktor

kedua berasal dari luar individu, yang dapat disebut sebagai faktor sosial. Termasuk

faktor sosial adalah keadaan rumah tangga, keadaan guru, cara mengajar, alat

pelajaran, lingkungan dan kesempatan yang tersedia.

Munawar dalam pustaka psikologi pendidikan (1999), paling tidak terdapat

tiga golongan teori belajar yang cukup populer, yaitu teori belajar menurut ilmu jiwa

daya, teori belajar menurut ilmu jiwa asosiasi, dan teori belajar menurut ilmu jiwa

Gestalt. Teori belajar menurut Ilmu Jiwa Daya memandang bahwa jiwa manusia

terdiri dari beberapa daya dan masing-masing daya memiliki fungsi tertentu seperti

daya pikir, mengingat, mengkhayal dan sebagainya. Daya tersebut dapat dilatih

melalui proses belajar sehingga fungsinya akan bertambah baik.

Teori belajar menurut Ilmu Jiwa Asosiasi berpendapat bahwa keseluruhan

itu terdiri atas penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsur. Dalam golongan teori

ini terdapat dua aliran yang terkenal yaitu teori connectionisme dan teori

conditioning. Teori connectionisme memandang bahwa belajar adalah pembentukan

atau penguatan hubungan antara stimulus dan respons, sedangkan teori conditioning

memandang bahwa belajar merupakan pembentukan hubungan antara stimulus dan

respons yang perlu dibantu dengan situasi tertentu.

Teori belajar Ilmu Jiwa Gestalt memandang keseluruhan merupakan prinsip

yang penting. Anak tidak dipandang sebagai sejumlah daya melainkan sebagai suatu

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

7

keseluruhan, yakni individu yang dinamis dan senantiasa dalam keadaan berinteraksi

dengan dunia sekitarnya dalam mencapai tujuan-tujuannya. Menurut teori ini,

seseorang akan belajar jika ia mendapat suatu insight. Dalam hal ini, timbulnya

insight tergantung pada kesanggupan, pengalaman, sifat atau taraf kompleksitas,

latihan dan trial and error. Selain itu, masih menurut teori ini, belajar harus

dirangsang dengan adanya permasalahan.

Gejala kesulitan belajar akan dimanifestasikan baik secara langsung

maupun tidak langsung dalam berbagai bentuk tingkah laku. Tingkah laku yang

dimanifestasikannya ditandai dengan adanya hambatan-hambatan tertentu. Kesulitan

belajar ini akan nampak dalam aspek-aspek motoris, kognitif, afektif baik dalam

proses maupun hasil belajar yang dicapainya. Beberapa ciri tingkah laku yang

merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar antara lain : (1). Menunjukkan hasil

belajar yang rendah dibawah nilai yang dicapai kelompoknya atau di bawah potensi

yang dimilikinya, (2). Hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang telah

dilakukan, (3). Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar, (4).

Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti : acuh tak acuh, menentang, berpura-

pura dan sebagainya, (5). Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar seperti:

pemurung, mudah tersinggung, pemarah dan sebagainya.

Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai individu

yang mengalaminya, diperlukan adanya patokan atau kriteria sebagai batas untuk

menetapkannya. Dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana seseorang dapat

diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Kemajuan belajar seseorang dapat dilihat

dari segi tujuan yang harus dicapai, kedudukannya dalam kelompok yang memiliki

potensi yang sama, tingkat pencapaian hasil belajar dibandingkan dengan potensi

(kemampuannya) dan dari segi kepribadiannya.

Terjadinya kesulitan belajar pada seseorang dapat disebabkan oleh

beberapa faktor, antara lain: (1). Faktor-faktor yang terdapat dalam diri seseorang :

(a). Kelemahan secara fisik antara lain: susunan syaraf yang tidak berkembang

secara sempurna/cacat/sakit sehingga sering membawa gangguan emosional, panca

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

8

indera kurang berkembang secara sempurna sehingga menyulitkan proses interaksi

secara efektif, (b). Kelemahan secara mental, (c). Kelemahan emosional, seperti

terdapat rasa tidak aman, ketidakmatangan, (d). Kelemahan yang disebabkan oleh

kebiasaan dan sikap yang salah seperti banyak melakukan aktifitas yang

bertentangan dan tidak menunjang proses pembelajaran yang sedang diikuti

seseorang, gagal untuk memusatkan perhatian, tidak disiplin dalam mengikuti proses

pembelajaran, (e). Tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan dasar yang

diperlukan seperti kurang menguasai pengetahuan dasar untuk bidang studi yang

diikuti, memiliki kebiasaan dan cara bekerja yang salah. (2). Faktor yang terdapat di

luar diri seseorang antara lain : (a). Kurikulum yang seragam, (b). Ketidaksesuaian

standar administrasi atau sistem pengajaran, (c). Materi pelajaran kurang diminati,

(d). Kelemahan yang terdapat dalam kondisi rumah tangga seperti tingkat

pendidikan, status sosial ekonomi (Sudjana, 1988).

Dalam sistem belajar jarak jauh (SBJJ) yang diselenggarakan oleh UT,

tutorial atau pembimbingan merupakan salah satu komponen yang penting bagi

keberhasilan sistem belajar jarak jauh secara keseluruhan. Untuk itu maka

pengelolaan program tutorial perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, terencana,

baik penyiapan materi yang akan digunakan sampai dengan metode pengajaran yang

dipakai dengan peran serta para tutor secara aktif. Agar pelayanan bimbingan belajar

atau tutorial dapat bermanfaat dengan sebaik-baiknya, maka sistem belajar jarak

jauh dan tutorial perlu dipahami dengan baik oleh para tutor. Di samping itu tutor

hendaknya memahami pula tentang masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa

dalam mempelajari modul.

Selain itu sistem belajar jarak jauh (SBJJ) menuntut belajar mandiri para

mahasiswa. Permasalahan belajar yang berbeda sehingga menjadi hambatan dalam

proses pembelajaran. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan dalam masalah

akademis, misalnya kesulitan dalam mempelajari modul, kesulitan dalam

menentukan jadwal dan strategi belajar, kesulitan dalam menentukan sumber dan

nara sumber untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan mungkin juga

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

9

dihadapi mahasiswa. Hambatan-hambatan yang sifatnya psikologis misalnya

perasaan terisolir, menurunnya motivasi belajar, kesulitan dalam keluarga dan

sebagainya.

Untuk membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi mahasiswa

Program Non-Pendas terutama dalam masalah akademis, maka perlu dilaksanakan

program pembimbingan mahasiswa atau tutorial. Dalam pembimbingan (tutorial)

tersebut para mahasiswa dapat berdialog dalam mengemukakan kesulitannya secara

langsung kepada tutor ataupun kepada sesama rekan mahasiswa (tutorial tatap

muka). Sedangkan kontak itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa macam

media seperti : tatap muka, radio, TV, Online dan sebagainya.Seorang tutor

mempunyai peran sebagai fasilitator dalam proses belajar mahasiswa pada sistem

belajar jarak jauh (SBJJ), berperan juga membantu lancarnya proses belajar

mahasiswa dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi

mahasiswa.

III. METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Cooper dan Schindler (2006) dalam bukunya mengatakan bahwa desain

penelitian adalah sebuah aktivitas dan rencana berdasarkan pada waktu, didasarkan

pada pertanyaan penelitian, mengarahkan pilihan dari sumber dan tipe-tipe

informasi, sebuah kerangka kerja untuk menentukan hubungan di antara variabel

penelitian dan garis besar prosedur untuk setiap aktivitas penelitian. Sedangkan

Sekaran (2003) menyatakan bahwa desain penelitian merupakan upaya yang

melibatkan sebuah urutan dari pilihan pengambilan keputusan rasional.

Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian yang telah

ditetapkan yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan prestasi

akademik rendah. Desain penelitian ini merupakan exploratory study yang bertujuan

untuk menganalisis faktor-faktor dengan waktu penelitian yang bersifat cross-

sectional, ruang lingkup topik berupa penelitian statistik dan lingkungan

penelitiannya merupakan penelitian lapangan. Data untuk mengukur masing-masing

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

10

variabel dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuesioner. Kuesioner

penelitian berisi item-item pernyataan yang menggambarkan variabel-variabel yang

diteliti. Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan pra survei pada beberapa

responden dimaksudkan untuk menggali informasi guna mendesain instrumen

penelitian.

3.2. Metode Analisis Data

Untuk menganalisis data berdasarkan model ini, peneliti melakukan analisis

dengan menggunaka statistik deskriptif yaitu nilai mean dari setiap variabel dengan

bantuan software SPSS 16.0 for windows.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Analisis hasil penelitian mengenai variabel-variabel yang diuji. Analisis

dimulai dengan tahap pengumpulan data, karakteristik responden, pengujian

validitas dan reliabilitas serta analisis pembahasan.

4.1. Hasil Pengujian Faktor-Faktor

Hasil analisis faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah

tersaji pada Tabel 1 berikut ini.

Tabel 1. Hasil Pengujian Faktor-Faktor

No. Faktor Pengaruhnya

1 Kurangnya motivasi belajar prestasi akademik rendah rendah

2 Kurangnya waktu belajar prestasi akademik rendah rendah

3 Tidak memiliki bahan ajar prestasi akademik rendah rendah

4 Tidak mengikuti tutorial online prestasi akademik

rendah

cukup tinggi

5 Tidak membentuk kelompok belajar prestasi akademik

rendah

cukup tinggi

6 Kurangnya persiapan ujian prestasi akademik rendah cukup tinggi

7 Kurangnya pengayaan materi rendahnya prestasi

akademik

cukup tinggi

8 Tidak mendukungnya situasi belajar prestasi akademik

rendah

cukup rendah

9 Kurangnya perencanaan studi prestasi akademik rendah cukup rendah

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

11

4.2. Hasil Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan pemahaman yang lebih baik

tentang respon mahasiswa pada faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik

mahasiswa rendah. Sebelum peneliti menyusun kuesioner penelitian sebagai

instrumen penelitian untuk mengumpulkan data penelitian, terlebih dahulu peneliti

melakukan pra-survei dengan teknik wawancara terhadap beberapa mahasiswa

Program Non-Pendas yang mempunyai prestasi akademik secara berturut-turut dua

semester rendah yaitu indeks prestasinya kurang dari 2,00. Tujuan dari wawancara

tersebut adalah untuk mendapatkan data yang menyebabkan prestasi akademik

mahasiswa rendah. Kesimpulan dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa

diperoleh sembilan faktor yang menyebabkan prestasi akademik mahasiswa rendah

yaitu kurangnya motivasi belajar, kurangnya waktu belajar, tidak memiliki bahan

ajar, tidak mengikuti tutorial online, tidak membentuk kelompok belajar, kurangnya

persiapan ujian, kurangnya pengayaan materi, tidak mendukungnya situasi belajar

serta kurangnya perencanaan studi.

Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut memiliki beberapa item-item

atau indikator-indikator yang membentuknya. Agar variabel tersebut valid maka

perlu diuji validitasnya dengan uji Confirmatory Factor Analysis (CFA)

menggunakan software SPSS 16.0 for windows. Item-item yang tidak memenuhi

persyaratan statistik dalam membentuk konstruk atau variabel maka direduksi dan

tidak diikutsertakan pada analisis. Uji reliabilitas juga dilakukan untuk mengukur

konsistensi alat ukur dalam mengukur suatu konstruk atau variabel. Variabel yang

diuji reliabilitasnya adalah yang memiliki item atau indikator lebih dari dua.

Sedangkan untuk menentukan tinggi-rendahnya pengaruh varibel tersebut diukur

dengan nilai rata-ratanya (mean) pada statistik deskriptif.

Dari hasil analisis faktor, variabel kurangnya motivasi belajar dibentuk oleh

satu indikator yaitu “mahasiswa mengikuti kuliah bertujuan untuk mencari status”.

Pada umumnya kalau mahasiswa mengikuti kuliah bertujuan mencari status seperti

agar diakui oleh masyarakat seseorang yang berpendidikan maka motivasi untuk

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

12

belajar guna mendapatkan ilmu pengetahuan kurang. Kurangnya motivasi untuk

belajar menyebabkan pemahamanan atau penguasaan terhadap materi kuliah akan

berkurang sehingga prestasi akademik yang diperoleh rendah.

Faktor atau variabel kurangnya waktu belajar dibentuk oleh satu indikator

yaitu “saya sangat sibuk dengan hobby sehingga tidak sempat belajar”. Kesibukan

mahasiswa dengan hobby yang mereka gemari akan menyebabkan waktu untuk

belajar sangat kurang sehingga mahasiswa yang sangat sibuk dengan hobby tidak

sempat untuk belajar, ini berakibat rendahnya prestasi akademiknya.

Bahan ajar yang berupa buku materi pokok atau modul bagi mahasiswa

Universitas Terbuka merupakan pengganti dosen seperti halnya pada kuliah tatap

muka (konvensional). Dosen memberikan materi perkuliahannya melalui modul

yang dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa. Apabila mahasiswa tidak

mempunyai modul maka tidak dapat mengikuti perkuliahan, ilmu pengetahuan yang

diperoleh tidak ada. Modul bagi mahasiswa Universitas Terbuka wajib dimiliki

karena sistem belajarnya secara mandiri melalui modul dan media lain. Mahasiswa

yang tidak memiliki modul maka tidak bisa menguasi materi perkuliahan sehingga

dapat menyebabkan prestasi akademik mahasiswa rendah. Beberapa hal mengapa

mahasiswa tidak mempunyai bahan ajar diantaranya tidak mengerti cara membeli

modul lewat internet dan mahasiswa tidak tahu ke mana. Bagi UPBJJ-UT Denpasar

kiranya perlu disosialisasikan pada mahasiswa menganai ke mana dan bagaimana

caranya membeli bahan ajar atau modul.

Dalam sistem belajar mandiri, insiatif belajar datang dari mahasiswa. Selain

mahasiswa belajar mandiri dengan bahan ajar berupa modul atau media lainnya,

Universitas Terbuka memberikan layanan bantuan belajar berupa tutorial tatap muka

dan tutorial online. Tutorial online selain dapat menambah ilmu pengetahuan dan

pemahaman mahasiswa terhadap mata kuliah yang ditempuh juga dapat

berkontribusi terhadap nilai akhir sebesar 30%. Tutorial online dapat dilakukan

dimana saja dan kapan saja asal ada jaringan internetnya. Mahasiswa yang tidak

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

13

mengikuti tutorial online bisa saja menyebabkan prestasi akademik rendah karena

pemahaman terhadap materi kurang dan tidak mempunyai kontribusi nilai akhir.

Belajar mandiri bukan berarti belajar sendirian tetapi belajar atas insiatif

sendiri. Belajar mandiri dapat belajar sendiri maupun belajar berkelompok dengan

cara membentuk kelompok belajar. Keuntungan belajar berkelompok salah satunya

dapat berdiskusi terhadap suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri.

Mahasiswa yang membentuk kelompok belajar akan mempunyai teman yang bisa

diajak belajar bersama, mempunyai teman yang bisa dimintai penjelasan jika ada

kesulitan belajar dan mempunyai teman yang bisa diajak berdiskusi. Sehingga

mahasiswa yang tidak membentuk kelompok belajar akan menyebabkan prestasi

akademik rendah.

Ujian akhir semester merupakan evaluasi terhadap hasil belajar mahasiswa

selama mengikuti perkuliahan satu semester. Untuk mendapatkan nilai ujian yang

baik atau lulus, kiranya perlu dipersiapkan mahasiswa baik secara materi maupun

mental jauh hari sebelumnya. Persiapan yang matang dan baik akan dapat

memberikan kepercayaan diri bagi mahasiswa dalam menghadapi ujian. Sebaliknya

mahasiswa yang kurang persiapan ujian akhir maka tidak memberikan kepercayaan

diri bahwa mereka mampu mendapatkan nilai baik dan dapat ujian dengan baik dan

tenang. Sehingga kurangnya persiapan ujian ini dapat menyebabkan rendahnya

prestasi akademik.

Selain belajar mandiri dengan menggunakan buku materi pokok atau

modul, mahasiswa dapat melakukan pengayaan materi kuliah dengan mempejalari

media lain seperti VCD, web supplemen, siaran radio atau buku-buku lain yang

relevan. Dengan melakukan pengayaan materi maka akan dapat menambah

wawasan, pemahaman dan pengetahuan terhadap suatu matakuliah yang sedang

dipelajari. Sehingga mahasiswa yang kurang pengayaan materi dapat menyebabkan

rendahnya prestasi akademik.

Agar sesorang dapat belajar dengan baik maka perlu pada situasi dan

kondisi yang mendukung. Belajar di tempat yang terlalu ramai, pencahayaan kurang,

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

14

tidak pada tempat belajar yang khusus maka berpengaruh terhadap pemahaman

materi yang sedang dipelajari. Bisa saja mahasiswa yang belajar pada situasi dan

kondisi seperti itu sangat sulit untuk menyerap dan memahami materi yang sedang

dipelajari. Sehingga tidak mendukungnya situasi dan kondisi belajar akan

menyebabkan rendahnya prestasi akademik mahasiswa tersebut.

Untuk mencapai suatu tujuan tertentu, biasanya dimulai dengan melakukan

perencanaan. Begitu juga dengan mengikuti suatu perkuliahan atau studi, agar dalam

studi mencapai hasil yang maksimal, indeks prestasi yang baik, lulus tapat waktu

dan menambah ilmu pengetahuan maka perlu adanya perencanaan studi yang baik.

Dengan adanya perencanaan yang baik maka akan lebih terarah dalam proses

belajarnya. Salah satu contoh mahasiswa dapat mengikuti paket arahan sehingga

tidak asal saja dalam mengambil matakuliah. Sehingga kurangnya perencanaan

dapat menyebabkan rendahnya prestasi akademik.

V. KESIMPULAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih

baik tentang respon mahasiswa Program Non-Pendas terhadap faktor-faktor yang

menyebabkan prestasi akademik rendah. Seperti telah dibahas sebelumnya,

penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan: Faktor-faktor apa saja yang

menyebabkan prestasi akademik rendah pada mahasiswa Program Non-Pendas di

UPBJJ-UT Denpasar? Bagaimana faktor-faktor tersebut pengaruhnya terhadap

prestasi akademik rendah pada mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT

Denpasar?

Untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian tersebut, peneliti melakukan

cross-sectional survey untuk mendapatkan data primer menggunakan kuesioner.

Keusioner didesain dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pada saat pra-

survei. Kuesioner tersebut digunakan untuk mengukur persepsi mahasiswa terhadap

faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah. Total 39 item

pernyataan digunakan dalam penelitian ini.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

15

Unit analisis dalam penelitian ini adalah individual. Individu-individu

tersebut merupakan mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar.

Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan

non-probability sampling dengan teknik purposive sampling.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa hal

penting, di antaranya:

1. Kurangnya motivasi belajar, kurangnya waktu belajar dan tidak memiliki bahan

ajar merupakan faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah,

namun pengaruhnya rendah.

2. Tidak mengikuti tutorial online, tidak membentuk kelompok belajar, kurangnya

persiapan ujian dan kurangnya pengayaan materi merupakan faktor-faktor yang

menyebabkan prestasi akademik rendah, di mana pengaruhnya cukup tinggi.

3. Tidak mendukungnya situasi belajar serta kurangnya perencanaan studi

merupakan faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah, namun

pengaruhnya cukup rendah.

DAFTAR RUJUKAN

Ali, M., Sukarman, M., dan Rahmad, C. 1984. Bimbingan Belajar, Penuntun Sukses

di Perguruan Tinggi Dengan Sistem SKS. Bandung: Sinar Baru.

Ali, M., 1987. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru.

Cooper, D.R. and Schindler, P.S. 2006. Business Research Methods. 9th edition.

New York: McGraw-Hill.

Munawar, A. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Dian Ilmu.

Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach.New

Jersey: John Wiley & Sons Inc.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

16

PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAl (CONTEXTUAL TEACHING

AND LEARNING) DALAM MATA KULIAH PEMBANGUNAN

MASYARAKAT DESA DAPAT MENUMBUHKAN JIWA

ENTREPRENEUR PADA MAHASISWA JURUSAN

PENDIDIKAN EKONOMI

Oleh

Ni Nyoman Murniasih

Program Studi Pendidikan Ekonomi

FP IPS IKIP PGRI BALI

Abstract

Learning is a process to grow behaviour or attitude of someone according to

practical or certain experience. Learning experience which makes motivation grew

is the experience where the university student actively participate in facing the

nature. Through CTL (Contextual Teaching Learning) approach in The

Development of Village Society University Subject, the university student will have

a meaningful learning The subject material given linked with situation in real world

and support University Student to make a correlation between the knowledge they

have with the implementation in everyday‟s life.

To make the learning process more effective, it is the lecturer‟s job to facilitate

so that the student can implementate the ideas that they have. On The development

of village society subject, university students are directed to have the spirit of

entrepreneurship. Enterpreneurship is the implementation of creativity and

innovation to solve problems and and the effort to use the chance that they have. As

University student who majoring economical science, will not only be job seeker,

but also able to create job opportunity in order to support village development and

national development to reduce unemployment.

I. LATAR BELAKANG

Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen yaitu

pembelajar, pendidik, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media

dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang

positif dari pembelajar setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti :

perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (behaviour) yang

dapat diamati oleh orang lain melalui alat indra baik tutur kata motorik dan gaya

hidupnya.

Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal untuk itu ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik. Salah satu diantaranya adalah

pendekatan yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

17

yang dikemukakan oleh Zainal Aqib yaitu ada sepuluh pendekatan; pendekatan

lingkungan, penemuan, konsep, ketrampilan proses, pemecahan masalah, induktif-

deduktif, sejarah, nilai, komunikatif, tematik. Sedangkan Udin S Winataputra

berpendapat bahwa pendekatan terdiri dari; pendekatan lingkungan, ketrampilan

proses, penemuan dan terpadu.

Pendekatan pembelajaran yang sesuai adalah pendekatan yang berorientasi

pada kepentingan siswa atau siswa sentries. Hal ini sesuai dengan pendekatan

penemuan (discovery and inquiry) yang menunjukkan dominasi pembelajar selama

proses pembelajaran dan fungsi pendidikan hanya sebagai fasilitator. Di samping

berfungsi sebagai fasilitator pendidik juga berfungsi sebagai planner yaitu dengan

memiliki program kerja yang jelas mulai dari merencanakan setiap pembelajaran

yang dilakukan sehingga berhasil maksimal. Hal ini dilakukan dengan merubah pola

lama yang tidak memberikan hasil maksimal menuju pola baru dalam pembelajaran

yang memungkinkan untuk mencapai pendidikan yang lebih berkualitas efektif dan

cepat. Pendidikan bukan sekedar mencetak tenaga kerja yang siap pakai, pendidikan

adalah proses pembentukan generasi yang siap memerankan kehidupan.

Dalam kurikulum pendidikan ekonomi yang telah diperbaharui salah satu

mata kuliah yang relevan dengan mengaplikasikan pendekatan di atas adalah mata

kuliah; Pembangunan Masyarakat Desa, yang materinya kebanyakan bersentuhan

dengan dunia nyata di pedesaan antara lain; Masalah-masalah yang dihadapi desa,

faktor penyebabnya, teknik pendekatan terhadap masyarakat desa, potensi-potensi

desa yang bisa dikembangkan, industri kecil dipedesaan. Salah satu pendekatan

pembelajaran yang cocok untuk diterapkan berkaitan dengan materi ajar di atas

adalah pendekatan konnstektual. Contextual Teaching and Learning (CTL)

merupakan konsep belajar yang mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan

situasi dunia nyata yang mampu mendorong mahasiswa membuat hubungan antara

pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan kehidupan sehari-hari. Kondisi ini

sekaligus menyiapkan mahasiswa sedini mungkin tertarik berwiraswasta, mengingat

desa memiliki potensi-potensi yang siap digarap dan dikembangkan sehingga

masyarakat desa tingkat kesejahteraannya dapat ditingkatkan. Peran mahasiswa pada

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

18

jurusan pendidikan ekonomi sangat strategis dalam turut serta membuka kesempatan

kerja, bukan sebagai pencari kerja.

II. PEMBAHASAN

Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya,

bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi

terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat dalam jangka pendek tetapi gagal

dalam membekali anak memecahkan masalah dalam jangka panjang. Kebanyakan

pembelajar tidak mampu membuat kaitan antara apa yang diajarkan dengan

bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan. Dalam pendekatan konstektual (CTL)

pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk mahasiswa bekerja dan mengalami

dan bukan transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Proses dan strategi

pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil (learning by process) dalam

konteks ini mahasiswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya dan

bagaimana mencapainya. Jika mahasiswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari

berguna bagi hidupnya nanti maka siswa akan memposisikan diri sebagai diri sendiri

yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya. Mahasiswa akan lebih tertarik

mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam

upaya inilah diperlukan kehadiran dosen sebagai pembimbing dan pengarah.

Agar pembelajaran dengan pendekatan CTL berhasil dengan baik ada 7

prinsip yang harus diikuti :

1. Belajar berbasis masalah (problem based learning) belajar bukanlah sekedar

drill informasi tetapi bagaimana menggunakan informasi dan berpikir kritis

yang ada untuk memecahkan masalah yang ada di dunia nyata.

2. Pengajaran autentik (autentik instruction) pendekatan pembelajaran yang

mempelajari konteks bermakna sesuai dengan kehidupan nyata.

3. Belajar berbasis inquiri (inqury based learning) belajar adalah kegiatan

memproduksi bukan mengkonsumsi belajar untuk mengetahui kebutuhan apa

yang ingin diketahui dan mencari sendiri jawabannya.

4. Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (proyek based learning) belajar bukan

sekedar menyerap hal kecil sedikit demi sedikit dalam waktu yang panjang

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

19

tetapi secara komprehensif/terpadu untuk mendapatkan banyak hal. Proyek

membantu orang untuk melibatkan keseluruhan mental dan fisik, syaraf, indera

termasuk kecakapan sosial dengan melakukan banyak hal sekaligus.

5. Belajar berbasis kerja (work based learning) untuk membuat belajar lebih

efektif belajar harus berdasarkan pengalaman dan bukan kata-kata semata. Jika

mencari informasi perlu membaca kata-kata. Jika memerlukan pengalaman

milikilah pengalaman dengan melakukannya. Belajar adalah bekerja dan ketika

ia bekerja ia belajar banyak hal.

6. Belajar jasa layanan (servise learning) emosi sangat menentukan proses dan

hasil belajar. Perasaan positif yang timbul saat belajar dapat mempercepat

belajar. Belajar dengan percaya diri, merasa dibutuhkan, bekerja sama

menolong orang lain dan akrab pada kegiatan diluar maupun didalam kelas

lebih mejanjikan hasil.

7. Belajar kooperatif (cooperative learning) biasanya orang akan lebih banyak

belajar melalui interaksi dengan teman-teman. Satu kelas yang belajar bersama

akan menghasilkan prestasi lebih baik daripada setiap individu belajar sendiri-

sendiri. Dengan belajar bersama akan timbul persaingan individu yang satu

dengan yang lainya ini akan memotivasi setiap orang untuk lebih berprestasi.

Pembelajaran dengan pendekatan konstektual bertujuan membekali siswa

dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari suatu

permasalahan ke permasalahan lain dari suatu konteks ke konteks lain. Dengan

layanan dosen yang memadai melalui berbagai bentuk penugasan mahasiswa belajar

bekerja sama untuk menyelesaikan masalah (problem based learning) dan saling

menghargai sehingga hubungan antar mahasiswa akan lebih harmonis. Mahasiswa

yang merasa kurang dapat belajar bersama-sama mahasiswa yang pandai

mengerjakan dan mempertanggung jawabkan hasil penelitiannya dengan presentasi

dihadapan kelas dan mendiskusikannya. Melalui diskusi mahasiswa dibiasakan

mengemukakan ide dan buah pikiran serta menerima berbagai kritik dan saran,

sehingga apa yang disimpulkan menjadi kesimpulan bersama.

Pentingnya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran masa kini lebih

didasarkan pada berbagai kelebihan yang dimiliki, dibandingkan dengan pendekatan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

20

pembelajaran konvensional. Berikut ini merupakan perbandingan yang membedakan

antara kedua pendekatan.

No Pendekatan CTL Pendekatan Konvensional

1.

Siswa terlibat aktif dlm proses

pembelajaran (student center )

Siswa hanya menerima informasi

secara pasif (teacher center )

2 Siswa belajar bersama dalam kerja

dan diskusi kelompok

Siswa belajar secara individual

3 Pembelajaran dikaitkan dengan

kehidupan nyata atau didasarkan

pada masalah

Pembelajaran telalu abstrak dan

teoritis

4 Perubahan perilaku siswa dibangun

atas kesadaran sendiri

Perubahan perilaku siswa dibangun

atas kebiasaan

5 Memperoleh keterampilan yang

dikembangkan dari pemahaman

Memperoleh keterampilan yang

dikembangkan atas dasar latihan

6 Penghargaan yang diberikan berupa

kepuasan diri

Penghargaan diberikan dalam bentuk

angka/nilai rapor

7 Siswa tidak berprilaku jelek karena

dia sadar dan merugikan

Siswa tidak berprilaku jelek karena

dia takut hukuman

8 Bahasa yang disampaikan

komunikatif

Bahasa yg disampaikan terkesan satu

arah (struktural)

9 Belajar dari apa yang sudah dikenal

siswa

Belajar dari sesuatu yang asing atau

tidak dikenal siswa

10 Adanya kemampuan proses dalam

pembelajaran

Hanya berlaku pasif menerima

imformasi

11 Pengetahuan yang ada dibangun dan

dikembangkan sendiri

Pengetahuan didasarkan pada

penangkapan serangkaian fakta,

konsep atau hukum diluar dirinya

12 Didasarkan pada pengalaman siswa Tidak didasarkan pada pengalaman

siswa

13 Hasil belajar diukur berdasarkan

proses

Hasil belajar hanya diukur dari hasil

tes

14 Pembelajaran tidak terbatas pada

ruang kelas

Pembelajaran hanya terjadi di ruang

kelas

15 Adanya upaya pemecahan masalah Tidak ada upaya pemecahan masalah

Salah satu perbedaan antara pendekatan CTL dengan konvensional adalah

Mahasiswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran (Student Center) Konsep

pembelajaran aktif sudah dikembangkan oleh Confusius dengan mengungkapkan

teori sebagai berikut :

Apa yang saya dengar saya lupa

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

21

Apa yang saya lihat saya ingat

Apa yang saya kerjakan saya paham

Selanjutnya dalam buku Active Learning dari Mel Silberman

mengembangkan pernyataan Confusius menjadi paham belajar aktif sebagai berikut:

Apa yang saya dengar saya lupa

Apa yang saya lihat saya ingat sedikit

Apa yang saya dengar, lihat dan diskusikan saya mulai mengerti

Apa yang saya lihat, dengar, diskusikan dan kerjakan saya dapat

pengetahuan dan ketrampilan

Apa yang saya ajarkan saya kuasai.

Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk melibatkan

mahasiswa secara aktif dalam pembelajaran adalah dengan menugaskan mahasiswa

mencari permasalahan yang ada di masyarakat (lingkungan) yang ada kaitannya

dengan materi pembelajaran. Dalam mata kuliah Pembangunan Masyarakat Desa

materinya hampir semuanya menyangkut kehidupan nyata dalam masyarakat desa.

Dengan pendekatan CTL Mahasiswa diberikan tugas untuk mencari potensi-potensi

apa yang bisa dikembangkan dan industri apa yang ada di suatu desa berdasarkan

potensi-potensi yang dimiliki. Untuk lebih meyakinkan mahasiswa diharapkan

membuat kalkulasi (perhitungan) antara pendapatan yang diterima (Revenue) dengan

pembiayaan (Cost) yang dikeluarkan untuk suatu usaha.

Adapun langkah pembelajaran dengan pendekatan CTL pada mata kuliah:

Pembangunan Masyarakat Desa adalah sebagai berikut;

1. Penyampaian materi sesuai dengan tuntutan silabus

2. Pembagian kelompok yang beranggotakan 3 – 4 orang

3. Melakukan penelitian lapangan, sesuai dengan tema/materi

4. Menyususun laporan hasil penelitian

5. Mempresentasikan hasil penelitian yang dilengkapi dengan Tanya jawab

6. Simpulan dan solusi yang ditawarkan.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

22

Judul penelitian yang dipresentasikan oleh mahasiswa dengan alokasi

waktu penyampaian 15 menit dilanjutkan dengan tanya jawab 25 menit dan

merumuskan simpulan 10 menit.

Penelitian yang diangkat oleh mahasiswa meliputi judul;

1. Manfaat Usaha Water Rafting Bagi Masyarakat Desa Bongkasa Badung

2. Budidaya Asparagus dan Pare Putih di Desa Pelaga Kabupaten Badung

3. Pengelolaan Air Panas di Desa Penatahan Merupakan Salah Satu Potensi

Pengembangan Pariwisata di Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan

4. Peternakan Babi Sebagai Salah Satu Alternatif Meningkatkan

Perekonomian Desa Pedungan

5. Pengembangan Objek Pariwisata Melalui Agrowisata Perkebunan Salak di

Desa Sebetan Kabupaten Karangasem

6. Pembudidayaan Rumput Laut di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan

Mampu Membuka Kesempatan Kerja

7. Potensi Desa Mas Sebagai Daerah Pengerajin Patung

8. Usaha Produksi Coklat Di Desa Batubulan Kabupaten Gianyar

9. Usaha Pengerajin Gamelan (Gong) Mampu Meningkatkan Kesejahteraan

Masyarakat di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten

Klungkung

10. Pengembangan Garam Rakyat Di Kecamatan Rembang Kabupaten

Rembang

11. Potensi Air Pembejian Mampu Meningkatkan Pendapatan Desa Adat di

Desa Baha Badung

12. Produksi Dodol Nangka di Desa Jasri Kabupaten Karangasem

13. Hutan Bakau (Mangrove) Merupakan Salah Satu Taman Wisata Alam di

Desa Pemogan

14. Produksi Genteng dan Keramik Mampu Meningkatkan Perekonomian Di

Desa Pejaten dan Nyitdah Kabupaten Tabanan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

23

15. Industri Kerajinan Bambu di Desa Sulahan Kecamatan Susut Kabupaten

Bangli

Dengan pengajaran yang menitik beratkan pada pengalaman ini dapat

mengarahkan mahasiswa ke dalam eksplorasi yang alami dan investigasi langsung

ke dalam suatu situasi nyata. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada

mahasiswa untuk terlibat kegitan belajar secara aktif dengan personalisasi

pengajaran berdasarkan pengalaman memberikan kepada mahasiswa seperangkat

atau serangkaian situasi-situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman

sesungguhnya.

Berdasarkan pengalaman untuk mengadakan pembahasan berbagai

permasalahan di masyarakat diharapkan jiwa entrepreneur tumbuh dan berkembang,

hal ini sejalan dengan pendapat Thomas W Zimerte mengatakan kewirausahaan

adalah penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan

upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari, sebagai langkah

strategis mengembangkan jiwa kewirausahaan adalah melalui pendidikan dan

pelatihan.

III. PENUTUP

Melalui pendekatan CTL dalam mata kuliah pembangunan masyarakat

desa, mahasiswa diajak belajar melalui pengalaman langsung bukan hanya

menghafal, karena CTL adalah konsepsi pembelajaran yang menghubungkan materi

pembelajaran dengan situasi dunia nyata. CTL telah mampu menggugah motivasi

dan meningkatkan aktivitas melalui berbagai diskusi dan yang bermuara pada

berbagai permasalahan di lapangan. Hal ini diharapkan akan mendorong jiwa

kewiraswastaan bagi mahasiswa, sehingga pada gilirannya setelah tamat bukan saja

menambah antrean pencari kerja tetapi mampu ikut menciptakan berbagai peluang

untuk menciptakan kesempatan kerja di masyarakat. Sehingga secara otomatis ikut

berperan untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan dalam

rangka meningkatkan kesejahteraan.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

24

DAFTAR RUJUKAN

Amirullah Imam Harjanto, 2005. Pengantar Bisnis, Yogyakarta, Graha Ilmu.

Aqib, Zainal, 2002. Profesional Guru Dalam Pembelajaran, Jakarta, Insan

Cendekia.

Beratha, I Nyoman, Desa Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Jakarta,

Ghalia Indonesia.

Boeree, C, George, 2008. Metode Pembelajaran dan Pengajaran, Yogyakarta, A M.

Depdiknas, 2003. Pendekatan Konstektual (Contextual Theaching and Learning),

Jakarta.

________, 2005. Ilmu Pengetahuan Sosial: Materi Pelatihan Terintegrasi, Jakarta.

Hamalik, Oemar, 2009. Proses Belajar Mengajar, Jakarta, Bumi Aksara.

Lia Amalia, 2007. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta, Graha Ilmu.

Meredithg, Geoffrey, 1996. Kewirausahaan Teori dan Praktek, Jakarta, Pustaka

Binaman Presindo

Muchith, Soekhan, M, 2008. Pembelajaran Kontekstual, Semarang, Rasail.

Nurhadi Dan Senduk, A.G, 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching

And Learning/CTL). Dan Penerapan dalam KBK, Malang, Universitas

Negeri Malang.

Sagala, H. Syaiful, 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung, CV Alfabeta.

Sanusi, Bachrawi, 2004. Pengantar Ekonomi Pembangunan, Jakarta, Rineka Cipta.

Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta, PT

Renika Cipta.

Sobry Sutikno, M. 2006. Pendidikan Sekarang Dan Masa Depan, Mataram, NTP

Press.

Udin S Winataputra, 2007. Materi dan Pembelajaran IPS SD, Jakarta, Universitas

Terbuka.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

25

PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW

UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERMAIN DRAMA

SISWA KELAS XI IPA2 SMA NEGERI 1 SUKAWATI GIANYAR

TAHUN PELAJARAN 2010/2011

Oleh

Ketut Yarsama

IKIP PGRI BALI

ABSTRACT

During this time, teachers apply lecture and question and answer

method in teaching drama appreciation. The result, the ability to play

drama is still low. Therefore, teachers implementing cooperative method

jigsaw type to improve the ability to play drama. The purpose of this study

is to improve students' ability to play drama the students of class XI

science 2 SMA Negeri 1 Sukawati with the application of Cooperative

Learning jigsaw type.

The design of this implementation uses a class action research. The

research was planned two cycles with the stages of planning,

implementation and reflection observations. Data collected by testing and

observation method.

From the results of data analysis found that the application of the

type of jigsaw cooperative learning can enhance students' ability to play

drama in class XI IPA 2 SMA N 1 Sukawati Academic Year 2010/2011.

Keywords: Jigsaw Type Cooperative To Play Drama

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

26

Pembelajaran koperatif yang diterapkan dalam proses pembelajaran

sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk social yang penuh

ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab

bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan

kenyataan itu, melalui belajar berkelompok siswa dilatih dan dibiasakan

untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, dan

tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih karena kerja kelompok

adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari

kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Data tentang kondisi siswa yang kurang aktif dan bekerja sama

yang penulis paparkan di atas terlihat pula dari sedikitnya siswa yang

memberikan respon (pertanyaan, tanggapan, komentar, dan sejenisnya).

Guru selama proses pembelajaraan menggunakan metode ceramah, tanya

jawab, dan pemberian tugas.

Lebih lanjut penulis uraikan, di kelas XI IPA 2 hanya kurang lebih

4 orang (+ 10%) anggota kelas yang memberikan respon dalam proses

pembelajaran. Di samping interaksi dalam proses pembelajaran kadarnya

relatif rendah, prestasi belajar yang dicapai siswa juga rendah. Interaksi

yang terjadi hanyalah antara guru dengan siswa, sehingga situasi dan

kondisi kelas kurang menyenangkan.

Dengan situasi dan kondisi kelas yang penulis temukan di atas

berdampak negatif pada prestasi belajarnya. Berdasarkan observasi penulis

pada catatan nilai siswa kelas XI IPA 2 ternyata prestasi belajar bahasa

Indonesia khususnya pada substansi menerpkan drama relatif rendah

(hanya mencapai nilai rata-rata sebesar 65). Tentunya nilai rata-rata yang

diperoleh siswa tersebut belum memenuhi kriteria tuntas seperti yang

diterapkan oleh Kurikulum yaitu 70.

Berdasarkan data-data empiris yang penulis temukan, maka penulis

berpendapat bahwa di dalam proses belajar -mengajar siswa perlu diberikan

kesempatan bekerja sama dalam kelompok. Dengan kerjasama yang baik

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

27

dalam kelompok akan menumbuhkan gairah dan motivasi belajar siswa dan

pada akhirnya prestasinya juga meningkat.

Untuk memperbaiki atau meningkatkan kemampuan bermain drama

siswa kelas XI IPA 2 Sekolah menengah Atas Negeri 1 Sukawati

sehubungan dengan fenomena-fenomena yang penulis uraikan di atas,

menurut penulis pembelajaran kooperatif dengan teknik Jigsaw merupakan

salah satu alternatif yang dapat digunakan. Di dalam pembelajaran

kooperatif dengan teknik Jigsaw, siswa dapat bekerjasama, saling menisi

antara individu satu dengan yang lain dalam upaya meningkatkan prestasi

belajarnya. Kooperatif jigsaw juga memiliki kelebihan yang dilakoni oleh

Suyatno (2009 : 53-54). (1) meningkatkan pemahaman siswa secara

bermakna dalam permainan drama, (2) meningkatkan pemahaman siswa

secara bermakna dalam bermain drama, (3) meningkatkan pemahaman

siswa tentang terori drama, (4) meningkatkan pemahaman siswa tentang

apresiasi sastra.

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapatlah dirumuskan

masalah penelitian itu yaitu apakah penerapan pembelajaran kooperatif

dengan Tipe Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan bermain drama siswa

Kelas XI IPA 2 SMA Negeri 1 Sukawati Gianyar tahun pelajaran

2010/2011 ?

Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah

untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran kooperatif dengan Tipe

Jigsaw dalam meningkatkan kemampuan bermain drama siswa Kelas XI

IPA 2 SMA Negeri 1 Sukawati Gianyar tahun pelajaran 2010/2011.

Kajian Pustaka

Antariasih (2002) menelit i tentang “Kemampuan Bermain Peran

pada Siswa Kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri Blahbatuh Tahun

Pelajaran 2002/2003”.

Hasil penelitiannya menemukan bahwa siswa mampu bermain

peran karena nilai rata-rata kelasnya sebesar 76. Sehubungan dengan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

28

penelitian tersebut penelitian ini ada hubungannya tetapi berbeda dengan

penelitian tersebut. Penelitian ini meneliti kemampuan siswa pada tataran

kemampuan bermain drama melalui penerapan pembelajaran kooperatif

dengan tipe jigsaw. Kemampuan bermain drama merupakan tataran

kemampuan pada ranah yang lebih dalam dibandingkan dengan penelitian

ini.

Widiantari (2007) meneliti tentang “Kemampuan Menyusun

Naskah Drama pada siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di

Denpasar Tahun pelajaran 2007/2008”.

Hasil Penelit iannya menunjukkan bahwa siswa kelas IX Sekolah

Menengah Pertama Ngeri di Denpasar Tahun Pelajaran 2007/2008 mampu

menyusun naskah drama. Penelitian tersebut menitikberatkan pada

penyusunan naskah mampu menyusun mesti mampu bermain, sehingga

memerlukan waktu yang relatif lama. Penelitian ini juga mencakup tentang

drama tetapi sub materinya tentang bermain drama, sehingga berimbang

antara teori dan praktek.

Berdasarkan tinjauan terhadap kedua penelitian tersebut ternyata

ada persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama meneliti tentang

drama persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama meneliti tentang

drama perbedaannya terletak fokus variabel yang diteliti. Penelititian ioni

difokuskan pada kemampuan bermain drama dengan pembelajaran

kooperatif dengan teknik jigsaw. Dengan demikian, dapat dikatakan

penelitian ini masih layah untuk diteliti.

Landasan Teori

Sumardjo dan Saini (1986 : IX) apresiasi adalah mencintai dan

menikmati sastra. Santosa (2004 : 8.14-1.15) menyatakan pengertian

apresiasi antara lain : (arti pertama) apresiasi bertalian dengan kesadaran

masyarakat terhadap nilai seni dan budaya. Semua nilai yang terkandung

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

29

dalam karya seni dan budaya membimbing manusia ke arah kehidupan yang

beradab, lebih baik, dan manusiawai; (arti kedua) apresiasi bertalian

dengan penilaian atau penghargaan terhadap sesuatu hal/masalah, dengan

menghargai sesuatu hal/masalah berarti memberi perhatian, penghormatan,

menjunjung tinggi, dan mengindahkan hal yang diamanatkan kalau perlu

melaksanakan sesuatu itu; (arti ketiga) apresiasi bertalian dengan dunia

ekonomi.

Santosa (2004 : 8.28) menyatakan manfaat apresiasi sastra adalah

untuk memberi hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin

ketika karya sastra itu dibaca atau ditonton. Juga mendidik, melatih

kepekaan batin atau sosial serta menambah wawasan dan mengembangkan

kepribadian yang baik pada pembaca atau penonton.

Meurut Kurnioa (1998:92), drama termasuk ragam sastra karena

ceritanya (lakon drama) bersifat imajinatif dalam bentuk naskah. Seagai

suatu seni, drama merupakan seni yang kompleks, karena terkait dan

ditunjang oleh seni-seni yang lain, diantaranya seni musik, seni arsitektur

(tata panggung), seni dekorasi, seni hias (tata wajah dan tata busana), tata

sinar, dan seni tari.

Rahmanto (1998 : 89) menyatakan, pengajaran drama diperlukan

karena drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan

mengasyikkan para pemain dan penonton sehingga sangat digemari

masyarakat. Bentuk ini didukung oleh tradisi sejak jaman dulu yang

melekat erat pada budaya masyarakat setempat. Di samping mudah

disesuaikan untuk dimainkan dan dinikmati masyarakat segala umur, drama

sangat tinggi nilai pendidikannya. Karena drama merupakan peragaan

tingkah laku manusia yang mendasar, drama baru dapat disusun dan

dipentaskan dengan berhasil jika diikuti pengamatan yang teliti baik oleh

penulis maupun para pemainnya.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

30

Johnson (2007 : 296) menyatakan, seperti halnya pembuatan

proyek dan portofolio, pertunjukan drama juga bisa dipakai sebagai alat

ajar sekaligus alat penilaian. Dalam pertunjukan, para siswa

mempertontonkan dihadapan khalayak bahwa mereka telah menguasai

tujuan belajar tertentu.

Tarigan (1990 : 74-78) menyatakan agar dapat mengevaluasi suatu

lakon, maka terlebih dahulu harus dikenal unsur-unsur drama yang baik.

Unsur-unsur drama antara lain: (1) alur, (2) penokohan, (3) dialog, dan (4)

aneka sarana kesastraan dan kedramaan.

Tokoh atau lakon sangat berperan penting dalam kesuksesan

pergelaran suatu drama. Dalam suatu pergelaran drama, biasanya ada

beberapa jenis tokoh. Beberapa jenis pelaku yang biasa dipergunakan

dalam teater/pergelaran drama diantaranya : (1) The Foil: tokoh yang

kontras dengan tokoh lainnya dan berfungsi memerankan suatu bagian

penting dalam lakon tersebut, tetapi secara insidental bertindak sebagai

seorang pembantu. (2) the Type Character: tokoh yang dapat berperan

dengan tepat dan tangkas. Kemampuan tokoh tipeini serba bisa.

Dapatlah diketahui bahwa keberhasilan suatu pentas drama

bergantung pada kemampuan tokoh dalam berperan atau kemampuannya

dalam menunjukkan karakter tokoh (Tarigan, 1990 : 76)

Dalam setiap lakon, dialog itu haruslah memenuhi dua hal, yaitu :

(1) dialog haruslah dapat mempertinggi nilai gerak. Maksudnya seorang

dramawan haruslah dapat berbuat lebih banyak. Selain membuat dialognya

menarik hati, dia harus membuatnya baik dan selalu wajar; (2) dialog

haruslah baik dan bernilai tinggi. Yang dimaksud dengan baik dan bernilai

tinggi di sini ialah dialog itu haruslah lebih terarah dan teratur daripada

percakapan sehari-hari.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

31

Jadi, dialog merupakan pembicaraan antar pelaku. Dalam hal ini,

diperlukan kemampuan berbicara yang relevan dengan tema (Tarigan, 1990

: 77)

Berbagai sarana yang terdapat dalam bidang kesastraan dan

kedramaan merupakan unsur yang amat pentingdan tarut pula menentukan

keberhasilan suatu lakon. Beberapa unsur tersebut diantaranya : (1)

Perulangan, (2) Gaya dan Atmosfer, (3) Simbolisme, (4) Empati dan Jarak

Estetik, secara artistik, (Tarigan, 1990 : 78)

Sehubungan dengan apresiasi drama, perlu diketahui tentang

naskah dan lakon. Setiawan (1988 : 5.33) menyatakan naskah berbeda

dengan lakon. Naskah merupakan urutan cerita sebelum dipentaskan.

Urutan itu dalam drama modern berbentuk tulisan sedangkan dala m drama

tradisional biasanya berbentuk lisan (ludruk, ketoprak, lenong, dan lain -

lain). Lakon adalah cerita dari naskah yang terlihat saat dipentaskan.

Dengan begitu, meskipun naskah drama yang sama dipentaskan dalam

waktu yang berlainan atau oleh grup drama yang berbeda, lakon yang

muncul akan berbeda. Perbedaan itu lebih ditentukan oleh imajinasi sang

sutradara, gaya para aktor, tatapentas, tatarias, dan sebagainya.

Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang

mengupayakan seorang siswa mampu mengajarkan kepada peserta lain.

Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan, ia menjadi

nara sumber bagi peserta lainnya. Pengorganisasian pembelajaran dicirikan

siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif untuk bekerja

sama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan

tugasnya. Mereka akan berbagi penghargaan bila mereka berhasil sebagai

kelompok.

Muslimin Ibrahim dkk (2006 : 6) dalam pembelajaran kooperatif

memiliki unsur-unsur antara lain: (1), Siswa dalam kelompoknya haruslah

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

32

beranggapan bahwa mereka hidup sepenanggungan bersama; (2), siswa

bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik

mereka sendiri; (3), siswa haruslah melihat bahwa semua anggota dalam

kelompoknya memiliki tujuan yang sama; (4), siswa haruslah membagi

tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya; (5),

siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang

juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok; (6), siswa berbagi

kepemimpinan dan mereka membutuhkan ketrampilan untuk belajar

bersama selama proses belajar; dan (7), siswa akan diminta

mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam

kelompok kooperatif.

Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok

konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan

individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari

pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan

individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya

(Slavin, 1994).

Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai

setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh

Ibrahim, dkk. (2000), yaitu: (1) hasil belajar akademik, (2) penerimaan

terhadap keragaman, dan (3) pengembangan ketrampilan sosial.

Pada pembelajaran kooperatif terdapat enam langkah utama.

Selanjutnya langkah-langkah pembelajaran kooperatif dari awal hingga

dapat dilihat pada Tabel 01. Berikut ini.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

33

Tabel 01. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Fase

ke Indikator Aktivitas/Kegiatan guru

1 Menyampaikan tujuan dan

Memotivasi siswa

Guru menyampaikan semua tujuan

pelajaran yang ingin dicapai dan

memotivasi siswa

2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada

siswa dengan jalan demontrasi atau

lewat bahan bacaan

3 Mengorganisasikan siswa

kedalam kelompok-

kelompok belajar

Guru menjelaskan kepada siswa

bagaimana caranya membentuk

kelompok belajar dan membantu

setiap kelompok agar melakukan

transisi secara efisien.

4 Membimbing kelompok

bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-

kelompok belajar pada saat mereka

mengerjakan tugas

5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar

tentang materi yang telah dipelajari

atau masing-masing kelompok

mempresentasikan hasil kerjanya

6 Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk

menghargai upaya atau hasil belajar

individu maupun kelompok.

Kerangka Berpikir

Ketrampilan bermain drama harus dikuasai siswa kelas XI SMA

(sesuai dengan KTSP tahun 2006). Bermain drama dapat meningkatkan

mental, moral dan wawasan sastra di kalangan siswa. Dalam bermain

drama diperlukan kelompok masing-masing anggota memegang peran

sesuai dengan keahlian/kesanggupannya. Anggota dalam kelo mpok saling

bekerja sama positif sehingga terwujudlah kesan yang benar -benar dramatis

dalam permainan.

Karena kemampuan siswa dalam bermain drama belum tuntas maka

pemanfaatan metode kooperatif tipe jigsaw dipandang layak untuk

diterapkan. Metode kooperatif tipe jigsaw dilaksanakan secara

berkelompok dan masing-masing anggota bekerja sama positif, saling

membantu di dalamnya.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

34

Hipotesis Tindakan

Berdasarkan bahasaan teoretik dapatlah dirumuskan hipotesis

tindakan yang berbunyi “Pemanfaatan Pembelajaran Kooperatif dengan

Tipe Jigsaw dapat Meningkatkan Kemampuan Bermain Drama Siswa Kelas

XI IPA 2 Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati Gianyar Tahun

Pelajaran 2010/2011”.

METODE PENELITIAN

Produser PTK

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1

Sukawati Gianyar pada siswa kelas XI IPA 2 beserta guru pengajar.

Keduanya mendapat perhatian yang sama karena pada dasarnya

pembelajaran merupakan suatu interaksi yang terjadi antara guru dan

siswa. Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas.

Penelitian ini dalam pelaksanaannya dirancang dalam n siklus

penelitian, mengingat keterbatasan peneliti. Adapun hasil temuan nanti

merupakan hasil penelitian yang perlu di bahas. Secara umum produser

PTK dapat digambarkan sebagai berikut.

Refleksi Awal

Rencana Tindakan I

Pelaksanaan Tindakan I

Observasi / Evaluasi

Analisis + Refleksi

Rencana Tindakan II

Pelaksanaan Tindakan II

Observasi / Evaluasi

Analisi + Refleksi

Memutuskan Tindakan Terbaik

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

35

Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data utama yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode tes. Tes adalah suatu cara untuk mencari data dengan

memberikan tugas pada seluruh responden yang nantinya diperoleh skor.

Skor tersebut dapat dibandingkan dengan skor standar. Tes yang diberikan

berupa tes lisan (tes tugas bermain peran).

Instrumen yang digunakan untuk menilai kemampuan siswa

bermain peran dalam penelitian ini berupa tes (tes lisan bermain peran).

Tes lisan yang digunakan dalam menilai kemampuan siswa bermain peran

sudah disusun berdasarkan materi yang ada dalam Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan/ materi yang disajikan dalam kelas sehingga tes tersebut

sudah memiliki raliditas isi.

Peningkatan hasil tes belajar kemudian dianalisis dengan

menggunakan rumus:

P =

1x

1x2x x 100%

(Hadi, 2008 : 29)

Untuk mencapai peningkatan hasil belajar perindividu.

Keterangan:

P : persentase peningkatan

X2 : skor setelah tindakan

X1 : skor sebelum tindakan

Hasil belajar siswa tersebut dianalis is dan dicari nilai rata-rata

kelasnya.

Dalam menganalisis data digunakan uji perbedaan nilai rata-rata sebelum

tindakan dengan setelah tindakan dengan rumus :

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

36

M = X

ΣX

(Hadi, 2008 : 29)

Keterangan :

M : skor rata-rata kelas

ΣX : jumlah skor siswa

X : jumlah siswa

Hasil Penelitian

Pada bagian ini dikemukakan hasil penelitian dari siklus I dan

siklus II. Semua subjek penelitian yang terdiri dari siswa kelas XI IPA 2

yang berjumlah 38 orang. Ternyata semua siswa memiliki da ta lengkap.

Dipilihnya siswa kelas XI IPA 2 sebagai subjek penelit ian, karena

berdasarkan observasi dan wawancara dengan guru pengajar kelas XI IPA 2

dan Kepala Sekolah diperoleh informasi bahwa siswa kelas XI IPA 2 pada

umumnya pasif dan rendah prestasi belajarnya dalam pembelajaran,

khususnya pembelajaran bermain peran. Oleh karena itu peneliti cenderung

untuk mengadakan penelitian tindakan kelas pada siswa kelas XI IPA 2

yang terdiri dari 38 orang.

Untuk menjawab masalah penelit ian ini diadakan dua siklu s. Dalam

dua siklus itu, peneliti menyajikan dua kali pembelajaran bermain peran.

Kedua siklus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Siklus I

Dari langkah yang telah dilakukan pada siklus I diperoleh hasil

sebagai berikut.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

37

Tabel 02 Rekapitulasi Skor Mentah dan Skor Standar Kemampuan Bermain

Peran Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati

Tahun Pelajaran 2010/2011 Pada Siklus I

No Nama Siswa Skor

Mentah

Skor

Standar

1 2 3 4

1 Adeprima Adiluhur Made 75 80

2 Adi Putra I Made 70 70

3 Agus Oka Wirjaya I Gusti 60 60

4 Agus Purna Jaya I Gede 70 70

5 Agus Putra Wiratmaja I Made 80 80

6 Andi Aries Tenaya Kadek 70 70

7 Anggy Samantha Putra I Wayan 70 70

8 Asih Arini Ni Luh Gede 60 60

9 Bayu Sutrisna I Gusti Putu 60 60

10 Candra Dewi Ida Ayu 70 70

11 Candrawati Ni Made 65 70

12 Dessy Karolina Sari Ni Wayan 70 70

13 Dian Rosita Kadek 80 80

14 Dwi Candra Yadnya Sari Dewa Ayu 65 70

15 Dwi Hendrayana Surya I Made 70 70

16 Eka Candra Merta Sari Dewa Ayu 80 80

17 Eka Tirtayani Ni Putu 70 70

18 Hermadi Putra I Made 70 70

19 Indah Widyasari I Gusti Ayu 80 80

20 Indra Adi Saputra I Wayan 70 70

21 Irvan Ade Candra I Putu 80 80

22 Lavi Arini Ni Made 65 70

23 Mirah Sanjiwani I Gusti Ayu 70 70

24 Murnitha Sari Rahayu Putu 60 60

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

38

25 Pitri Widnyani I Gusti Ayu 65 70

26 Puranamawan Putra I Gede 75 80

27 Putra Wedantha Pande Made 70 70

28 Reni Wijayanti Ni Luh 65 70

29 Ria Safari Ni Kadek 70 70

30 Sarwan Hedi Peradnyana I Nyoman 60 60

31 Sintya Pramestiana Dewi Ni Kadek 70 70

32 Sri Mahadewi Kadek Ayu 65 70

33 Sri Utami Putu 70 70

34 Suarningsih Ni Luh 80 80

35 Suradnya Adi Brata Gede 70 70

36 Teja Dewanti Ni Putu 65 70

37 Wisnu Anugrah Pradana Made 60 60

38 Wisnu Shintaro Waraspati I.B 60 60

Jumlah 2625 2650

Rata-rata 69,08 69,26

Dari tabel di atas, diketahui nilai rata-rata siswa pada siklus I

adalah 69,26.

Siklus II

Hasil yang diperoleh dari langkah-langkah pelaksanaan siklus II

dapat dilihat tabel 03 di bawah ini.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

39

Tabel 03 Rekapitulasi Skor Mentah dan Skor Standar Kemampuan Bermain

Peran Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati

Tahun Pelajaran 2010/2011 Pada Siklus II

No Nama Siswa Skor

Mentah

Skor

Standar

1 2 3 4

1 Adeprima Adiluhur Made 85 90

2 Adi Putra I Made 75 80

3 Agus Oka Wirjaya I Gusti 80 80

4 Agus Purna Jaya I Gede 75 80

5 Agus Putra Wiratmaja I Made 90 90

6 Andi Aries Tenaya Kadek 75 80

7 Anggy Samantha Putra I Wayan 75 80

8 Asih Arini Ni Luh Gede 75 80

9 Bayu Sutrisna I Gusti Putu 75 80

10 Candra Dewi Ida Ayu 75 80

11 Candrawati Ni Made 85 90

12 Dessy Karolina Sari Ni Wayan 75 80

13 Dian Rosita Kadek 80 80

14 Dwi Candra Yadnya Sari Dewa Ayu 75 80

15 Dwi Hendrayana Surya I Made 75 80

16 Eka Candra Merta Sari Dewa Ayu 90 90

17 Eka Tirtayani Ni Putu 75 80

18 Hermadi Putra I Made 75 90

19 Indah Widyasari I Gusti Ayu 85 80

20 Indra Adi Saputra I Wayan 75 80

21 Irvan Ade Candra I Putu 75 80

22 Lavi Arini Ni Made 85 90

23 Mirah Sanjiwani I Gusti Ayu 70 70

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

40

24 Murnitha Sari Rahayu Putu 75 80

25 Pitri Widnyani I Gusti Ayu 90 90

26 Puranamawan Putra I Gede 75 80

27 Putra Wedantha Pande Made 75 80

28 Reni Wijayanti Ni Luh 75 80

29 Ria Safari Ni Kadek 80 80

30 Sarwan Hedi Peradnyana I Nyoman 75 80

31 Sintya Pramestiana Dewi Ni Kadek 75 80

32 Sri Mahadewi Kadek Ayu 75 80

33 Sri Utami Putu 75 80

34 Suarningsih Ni Luh 75 80

35 Suradnya Adi Brata Gede 75 80

36 Teja Dewanti Ni Putu 75 80

37 Wisnu Anugrah Pradana Made 75 80

38 Wisnu Shintaro Waraspati I.B 85 90

Jumlah 2955 3110

Rata-rata 77,76 81,84

Dari tabel di atas, diketahui nilai rata-rata siswa pada siklus II

adalah 81,84.

Pembahasan Hasil Penelitian

Untuk mengetahui apakah pembelajaran kooperatif dengan teknik

jigsaw dapat meningkatkan prestasi bermain drama siswa Kelas XI SMA

Negeri 1 Sukawati tahun pelajaran 2010/2011 digunakan analisis

kuantitatif dan kuanlitatif.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

41

Secara kuantitatif, langkah pertama dilakukan dengan mencari nilai

rata-rata siswa untuk masing-masing siklus dengan menggunakan rumus:

Μ = N

X

Keterangan:

M = Nilai rata-rata siswa;

X = Jumlah nilai siswa

N = Jumlah siswa.

Dengan demikian, pada siklus I nilai rata-rata siswa adalah:

M = 40

2670= 70,26

Selanjutnya pada siklus II, nilai rata-rata siswa adalah:

M = 38

3110= 81,84

Dari data nilai rata-rata di atas dapat ditentukan persentase peningkatan

prestasi siswa dengan menggunakan rumus :

P = X

1= x t x 100%

Keterangan:

P = persentase peningkatan/penurunan prestasi siswa;

X = nilai rata-rata siswa siklus I;

T = selisih nilai rata-rata siswa siklus I dan siklus II.

Dari perumusan di atas, dapat diketahui bahwa peningkatan

prestasi siswa antara siklus I dan II dalam aspek bermain drama dengan

menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah sebesar:

P = 70,26

1 x 11,58 x 100% = 16,48%

Analisis secara kuanlitatif dilakukan dengan membahas sejumlah

temuan yang dianggap pentong sebagai berikut. (1) pembelajaran apresiasi

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

42

drama yang dilakukan secara berkelompok sangat membantu siswa dalam

pengembangan sikap sosial, kerjasama, sehingga permainan peran menjadi

lebih baik dan dapat saling membantu siswa dalam berperan yang terkait

dengan watak tokoh. (2) tanya jawab yang dilakukan secara berkelompok

dapat memberikan stimulasi kepada siswa untuk lebih aktif dalam proses

pembelajaran, lebih-lebih diserai dengan pujian.

Simpulan

Berdasarkan hasil observasi nilai tugas dan respon siswa setelah

pembelajaran bermain drama melalui pembelajaran kooperatif dengan

teknik jigsaw dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa mengalami

peningkatan dari rata-rata 70,26 menjadi 81,84 pada siklus II. Ini

menggambarkan bahwa metode pembelajaran yang diterapkan cukup

efektif untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa yang bermuara pada

hasil belajar.

Respon siswa sangat positif terhadap pembelajaran ini, karena

suasana belajar menyenangkan, siswa menjadi lebih tertarik terhadap

proses pembelajaran.

Saran-saran

Guru-guru di SMA Negeri 1 Sukawati agar memanfaatkan

pembelajaran kooperatif dengan teknik jigsaw ini sebagai alternatif untuk

meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Penerapan pembelajaran

kooperatif dengan tipe jigsaw ini tidak hanya untuk pembelajarana bermain

peran, tetapi juga dapat diterapkan untuk materi pembelajaran yang

lainnya.

Siswa disarankan untuk latihan bermain secara intensif sehingga

ketrampila atau kemampuannya bermain peran dapat ditingkatkan dan

dikembangkan.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

43

DAFTAR RUJUKAN

Arends, RJ. 1997. Classroom Instruction. New York : MC Grand.

Antariasih 2002. “Kemampuan Bermain Peran Pada Siswa Kelas IX

Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Blahbatuh Tahun Pelajaran

2002/2003. Skripsi Denpasar Mahasaraswati.

Ibrahim. 2002. Contextual Teaching and Learning. Bandung : Mizon

Hasi, Sutrisno.2008. Metodologi Research. Bandung : Angkasa

Hamalik, Oemar. 1994. Media Pendidikan. Bandung : PT. Citra Aditya

Bakti

Johnson. 2007. Contextual Teaching and Learning . Bandung : Miszon

Media

Kurnia, Sayuti. 1998. Teori Sastra. Jakarta : Depdikbud.

Nurkencana dan Sumartrana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha

Nasional.

Nur, Mohammad dan Wikandari, Retno.2004. pengajaran Berpusa Kepada

Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabay :

Universitas Negeri Surabaya.

Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Kanisius

Santosa. 2004. Materi dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta : Penerbitan Universitas Terbuka.

Setiawan, Wawan. 1998. Sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta :

Depdiknas.

Slavin. 1997. Cooperatif learning. Massachusetts : A.Simon

Sumajaya. 2008. “Penggunaan Metode Demonstrasi Sebagai Upaya

Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas XI SMA Negeri 6

Denpasar Dalam Bermain Drama Tahun Pelajaran 2008/2009.

Skripsi Denpasar Mahasaraswat i.

Sumarjo, Jacob. 1986. Masyarakat Sastra Indonesia. Jakarta : Rineka

Cipta.

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan

Berbagasa. Bandung : Ganesa.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan

Berbagasa. Bandung : Ganesa.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

44

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung :

Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 1993. Menyimak Sebagai Suatu Ketrampilan

Berbahasa. Bandung : Angkasa.

Widiantari. 2007. “Kemampuan Menyusun Naskah Drama Pada Siswa

Kelas IX SMPN di Denpasar Tahun Pelajaran 2007/2008. Skripsi

Denpasar. Mahasaraswati.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

45

THE INFLUENCE OF RECTOR LEADERSHIP

TO MOTIVATE LECTURER ACHIEVEMENT

By:

I Wayan Citrawan

Nyoman Rajeg Mulyawan

ABSTRACT

The aim of this research is to know about the influence of rector

leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI Bali. The

approach that used in this research is empiric approach, because the

symptom that examine already exists naturally is rector leadership to

motivate lecturer achievement. This survey is held at IKIP PGRI Bali. The

subjects of the research amount to 73 people based by Krejcie table with

proportional random sampling that meant the appointment of the sample to

give attention to the balance amount of the lecturer every faculty in

addition the election of all the lecturers have same chance to be samples.

This technique is choosed because the taking of samples consider lecturer

amount of each faculty, remembering the lecturer amount of each faculty is

not the same. This meant to be the characteristic of the population

optimally represented if not, the conclution error is getting bigger. The

sample withdrawal is use draw technique. In collecting data questioner is

used to get rector leadership and lecturer achievement mot ivation.

From data analyzis that use signification rank 5 % and N = 73 the

value of rejection that use zero hypothesis in product moment value table

is 0,227, if compare the result of the research is 0,312, the result of the

research is bigger then the value of rejection, so the zero hypothesis is

denied and this research is significant.

The denial of the zero hypotesis says that there is no influence

between rector leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI

Bali, the alternative hypothesis that says in this research is acceptable. So

the conclution is that there is significant influence between rector

leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI Bali.

1. LATAR BELAKANG

Sistem pendidikan Nasional Indonesia merupakan sub-sistem dari

pembangunan nasional. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia mempunyai

peran utama dalam mengelola pengembangan dan pembinaan sumberdaya

manusia sebagai kekuatan sentral dalam proses pembangunan. Melalui

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

46

pendidikan manusia Indonesia diharapkan melahirkan individu yang

mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk secara mandiri

meningkatkan taraf hidup lahir batin dan meningkatkan peranannya sebagai

pribadi, dosen, warga masyarakat, warga Negara, dan sebagai mahluk

Tuhan.

Pembicaraan tentang pendidikan tidak terlepas dari sudut pandang

yang digunakan. Pendekatan sistem merupakan suatu cara memandang

pendidikan secara menyeluruh dan sistemik. Pendidikan sebagai suatu

sistem merupakan kesatuan yang utuh dengan bagian-bagiannya yang

berinteraksi satu sama lain. Pendidikan dapat diartikan sebagai satu

keseluruhan karya insan yang terbentuk dari bagian-bagian yang

mempunyai hubungan fungsional dalam mencapai tujuan akhir.

Melalui proses pendidikan diperoleh hasil pendidikan yang

merupakan lulusan yang sudah terdidik yang mengacu pada tujuan

pendidikan yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan untuk masing -masing

tingkat pendidikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan dan bermuara ke

tujuan pendidikan nasional, yaitu membangun menusia Indonesia yang

seutuhnya.

Selanjutnya hasil pendidikan dikembalikan kepada lingkungan atau

supra sistem. Di dalam lingkungannya, hasil pendidikan merupakan

indicator efektifitas dan efisiensi proses pendidikan dalam sistem

pendidikan.Dari hasil pendidikan sistem pendidikan akan mendapatkan

umpan balik yang dapat digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan

mutu proses pendidikan.

Universitas atau Institusi sebagai sub sistem pendidikan mengolah

sumberdaya input (resources inputs) melalui proses pendidikan (education

process) menjadi output pendidikan (education outputs). Ketiga hal ini

saling terkait dan saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pendidikan.

Bahwa pengubahan input menjadi output tidak lepas dari upaya dan proses

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

47

saling mempengaruhi antara individu yang terlibat di dalamnya, s eperti

dosen, pimpinan, para pegawai, serta sarana dan prasarana sangat

menentukan dalam mewujudkan cita-citayang diinginkan.

Pendidikan merupakan upaya sadar untuk menyiapkan peserta didik

melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan bagi

peranannya di masa yang akan datang. Artinya pendidikan mempunyai misi

mengembangkan dan meningkatkan mutu sumber daya manusia secara utuh

untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dirinya, untuk mengemban

tanggung jawab dalam pembangunan masyarakat dan bangsanya.

Pelaksanaan pendidikan ini diselenggarakan antara lain melalui jalur

perguruan tinggi sampai universitas.

Untuk melaksanakan misi pendidikan, diperlukan sistem dan

program pendidikan yang bermutu, yang bisa dinilai dari proses dan

hasilnya, yang t idak hanya dari sisi akademik tetapi mencakup segala aspek

kepribadian peserta didik.

Mutu pendidikan yang berupa prestasi belajar dalam bentuk

keseluruhan kepribadian peserta didik itu sangat tergantung pada berbagai

unsur secara bersama-sama, unsur itu paling sedikit mencakup program

pendidikan, sarana dan prasarana, sistem penilaian, pengelola pendidikan,

peserta didik dan pendidik sebagai pengajar.

Dari uraian di atas, untuk jenjang pendidikan tinggi, salah satu

faktor yang esensial untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan tinggi

adalah dosen. Dosen mempunyai peran sentral di dalam proses belajar

mengajar, karena dosen secara langsung berinteraksi dengan mahasiswa,

dan menentukan tingkat keberhasilan mahasiswa. Kemampuan dosen untuk

mengelola proses belajar mengajar dapat mendorong mengembangkan

potensi yang dimiliki oleh mahasiswa. Oleh karena itu, perhatian pimpinan

pada peningkatan kemampuan dosen adalah sangat penting demi

terwujudnya peningkatan mutu pendidikan.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

48

Selanjutnya kesadaran dosen untuk menjungjung tinggi profesinya

sendiri sangat penting bagi kelancaran pelaksanaan tugasnya. Dosen yang

bangga terhadap profesinya akan dapat melaksanakan tugas dengan

semangat dan disiplin tinggi untuk mewujudkan pendidikan di universitas.

Usaha untuk mengelola sumberdaya manusia agar dosen dapat

bekerja secara efektif untuk mencapai tujuan universitas tidaklah mudah.

Untuk itu diperlukan pimpinan yang mampu menerapkan perilaku

kepemimpinan yang efektif , pengaturan serta menciptakan hubungan

manusia yang baik. Seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya secara

normatif memahami manajemen kampus sebagaimana manajemen

organisasi lainnya yang memiliki masalah khas, seperti : masalah yang

menyangkut pengelolaan pengajaran, pengelolaan mahasiswa, pengelolaan

personalia, pengelolaan sarana dan prasarana, dan pengelolaan hubungan

perguruan tinggi dengan masyarakat.

Hal yang tidak kalah pentingnya terkait dengan tercapainya apa

yang menjadi tujuan seseorang adalah aspek motivasi yang menggerakkan

orang untuk berbuat sesuatu terdiri dari 2 aspek, yaitu aspek subjektif dan

objektif. Aspek subjektif merupakan kondisi yang berada dalam diri

individu yang berwujud need berasal dari motif yang mendorong bekerja

untuk mencapai kebutuhan. Sedangkan aspek objektif adalah aspe k yang

berada diluar individu yang berwujud inisiatif atau tujuan (goal). Motivasi

merupakan keadaan di dalam individu yang menggerakkan untuk elakukan

sesuatu. Tanpa motivasi, maka tidak akan nada tujuan dan tingkah laku

yang diorganisasikan oleh individu baik di tempat kerja maupun diluar

tempat kerja.

Berdasarkan paparan tersebut, permasalahan yang dikaji pada

penelitian ini dan ingin memperoleh jawaban adalah apakah ada pengaruh

kepemimpinan rektor terhadap motivasi berprestasi para dosen di IKIP

PGRI Bali?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

49

mengetahui ada tidaknya pengaruh kepemimpinan rektor terhadap motivasi

berprestasi para dosen di IKIP PGRI Bali. Hasil penelitian yang diperoleh

dapat bermanfaat untuk meningkatkan kinerja para dosen di IKIP PGRI

Bali.

2. DESKRIPSI TEORETIS

Motivasi Berprestasi

Motivasi merupakan faktor penting di dalam memahami perilaku

manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, seperti dalam kehidupan

bermasyarakat dan berorganisasi. Motivasi adalah faktor pemicu timbulnya

perilaku manusia, dimana manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dan

secara sadar ataupun tidak berusaha memenuhinya. Motivasi yang ada pada

seseorang akan mewujudkan suatu perilaku untuk memenuhi keinginan atau

kebutuhannya itu. Jadi perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada

tujuan, yaitu dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan

tertentu.(Hersey dan Blanchard, 1988:18)

Di dalam organisasi, pemahaman tentang motivasi adalah masalah

yang tidak sederhana karena kebutuhan dan keinginan individu sebagai

anggota organisasi tidak homogeny, tetapi sebagai acuan dapat dikatakan

bahwa motivasi merupakan sesuatu di dalam diri manusia yang memberi

energi, aktivasi dan gerakan yang mengarahkan perilaku untuk mencapai

tujuan (Koontz, dkk, 1982: 632) Dengan memahami pengertian motivasi

serta mengetahui motivasi manusia lain maka kita dapat mengambil sikap

yang sesuai. Motivasi bagi seorang anggota organisasi dapat dikatakan

sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke a rah

tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu

memenuhi sesuatu kebutuhan individual (Robbins, 1995: 212)

Motivasi yang ada di dalam diri manusia dapat diuraikan

berdasarkan tiga pendekatan yaitu pendekatan perilaku, pendekatan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

50

kognitif dan pendekatan humanis. Mereka yang menganut paham

pendekatan perilaku mengatakan bahwa motivasi berawal dari situasi,

kondisi dan objek yang menyenangkan, jika hal ini memberi kepuasan yang

berkelanjutan maka akan menimbulkan tingkah laku yang siap untuk

melakukan sesuatu. Kelompok yang menganut faham kongnitif

mempercayai bahwa yang mempengaruhi perilaku individu adalah proses

pemikiran, karena itu penganut paham kongnitif memfokuskan pada

bagaimana individu memproses informasi dan memberikan penafsiran

untuk situasi khusus. Sedangkan kelompok humanis mengatakan bahwa

manusia bertindak pada suatu lingkungan dan membuat pilihan mengenai

apa yang dikerjakannya (Robbins, 1995: 360)

Sebagai suatu konstruk yang memberi andil di dalam pembentukan

perilaku manusia, motivasi dapat diartikan sebagai faktor pendorong yang

berasal dari dalam diri manusia, yang akan mempengaruhi cara bertindak

seseorang, untuk memenuhi keinginannya atau mencapai tujuan tertentu.

Pengertian serupa tentang motivasi, ialah kerelaan untuk berusaha secara

sungguh-sungguh dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang disertai

dengan kemampuan berusaha guna mencapai keinginan dan kepuasan

beberapa individu dalam organisasi tersebut (Robbins, 1997: 38)

Di samping itu di dalam pembahasan lebih luas faktor motivasi

anggota organisasi dikaitkan dengan usaha-usaha untuk mencapai tujuan

organisasi dengan penekanan pada intensitas usaha dan pencapaian

terhadap tujuan organisasi serta kepentingan individu dalam organisasi.

Motivasi merupakan dorongan di dalam diri manusia yang mengaktifkan,

menggerakkan serta mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan, sebagai

suatu konsep yang dimanfaatkan untuk menguraikan kekuatan-kekuatan

yang bekerja terhadap atau di dalam diri individu untuk memulai dan

mengarahkan perilaku, dimana unsure utama untuk mengerti motivasi

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

51

adalah dengan memmahami hubungan antara kebutuhan, dorongan dan

tujuan yang ada di alam diri manusia.(Luthans dalam Gunada, 2000: 23)

Dari gambar proses motivasi seperti di atas, dapat dilihat bahwa

kebutuhan dan keinginan akan menyebabkan timbulnya ketegangan-

ketegangan di dalam diri manusia. Pada tahap selanjutnya dari keteganagn

yang timbul akan merangsang timbulnya dorongan-dorongan di dalam diri,

dimana doronga tersebut akan berperan dalam pembentukan perilaku

manusia untuk menemukan formula mencapai tujuan, yang berarti

terpenuhinya kebutuhan dan keinginan. Perilaku pencarian yang

memungkinkan tujuan tercapai akan menyebabkan pengurangan

ketegangan-ketegangan di dalam diri, dan kalau tujuan tercapai berarti

kebutuhan terpuaskan (Robbins, 1995: 213)

Unit dasar dari perilaku manusia adalah aktivitas atau kegiatan,

karena pada dasarnya perilaku manusia merupakan kumpulan dari kegiatan -

kegiatan yang berlangsung secara berkesinambungan. Pada waktu yang

sama, bisa saja manusia melakukan lebih dari satu kegiatan, akan tetapi

jika hal itu tidak dapat dikerjakan secara bersama-sama maka manusia

harus memilih kegiatan mana yang akan dilakukannya terlebih dahulu. Di

dalam proses pemilihan kegiatan ini pertimbangan manusia di dasarkan

oleh motivasinya, karena itu motivasi dapat dikatakan sebagai sekumpulan

faktor yang mendorong, menopang dan mengarahkan perilaku menuju

Ketegangan Dorongan

Perilaku

Pencarian

Ketegangan

Berkurang

Kebutuhan

dipuaskan

Kebutuhan

Tak

Terpuaskan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

52

pencapaian tujuan. Jika melihat proses ini maka motivasi dapat pula

dikatakan sebagai suatu dorongan di dalam diri individu yang

menggerakkan individu untuk melakukan tindakan untuk mencapai tujuan

tertentu (Terry dan Franklin, 1985: 298)

Motivasi dapat ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal,

tergantung dari mana suatu kegiatan dimulai. Motivasi internal adalah

dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan motivasi

eksternal adalah dorongan yang berasal dari luar diri manusia. Walaupun

sebetulnya motivasi dibangun di atas motivasi internal(Hadiprojo, dan

Handoko, 1986: 257). Kebutuhan dan keinginan yang ada di di dalam diri

akan menimbulkan motivasi internal, menjadi sesuatu kekuatan yang

mengarah perilaku, tetapi dalam kenyataan tidak semua motivasi internal

menjadi suatu kekuatan yang dapat memuaskan kebutuhan, terkadang jika

tujuan tidak tercapai maka terjadi mekanisme pertahanan diri pada

manusia, misalnya ia melakukan rasionalisasi, berkompromi,

mengundurkan diri, tetapi dapat pula menjadi regresi atau agresif.

Teori Kebutuhan Manusia yang iperkenalkan oleh Maslow,

mengatakan bahwa ada lima tingkatan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan

fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan akan

penghargaan dan aktualisasi diri (Maslow, 1970:35) Pertama adalah

kebutuhan fisik (psysiological needs), yang merupakan kebutuhan manusia

tingkat pertama yang paling bawah. Termasuk di dalam kebutuhan fisik ini

adalah sandang, pangan, papan dan seks. Ke dua adalah kebutuhan akan

rasa aman (safety and security needs), dimana yang termasuk di dalam

kebutuhan ini adalah rasa aman di dalam diri, keselamatan diri, bebas dari

ketakutan, bebas dari ancaman dan yang lainnya. Ketiga adalah kebutuhan

akan sosialisasi yaitu kebutuhan untuk dicintai, dikasihi, diterima oleh

teman dan lingkungan sosial.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

53

Kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman bersama-sama dengan

kebutuhan sosialisasi dogolongkan sebagai kebutuhan tingkat rendah.

Sedangkan dua tingkatan selanjutnya digolongkan sebagai kebutuhan

tingkat tinggi. Keempat adalah kebutuhan untuk dihargai ( esteem needs),

dimana di dalam kebutuhan ini antara lain : kebutuhan untuk mendapat

penghargaan, dihargai hasil kerjanya, rasa percaya diri. Kelima adalah

kebutuhan mengaktualisasikan diri (self actualization needs), merupakan

kebutuhan tingkat tertinggi dimana termasuk diantaranya adalah kebutuhan

untuk menunjukkan kemampuan diri, mewujudkan eksistensi, ekspresi

kreatif dan lain-lain (Maslow, 1970: 35-46)

Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow harus dipenuhi secara

berurutan, mulai dari kebutuhan paling rendah yaitu kebut uhan tingkat

pertama. Manusia memerlukan kebutuhan yang lebih rendah untuk dapat

dipuaskan pertama-tama sebelum menginjak pada upaya pemenuhan

kebutuhan selanjutnya. Pada kondisi dimana kebutuhan lebih rendah belum

terpuaskan maka kebutuhan dengan tingkat lebih tinggi akan terdesak ke

belakang, demikian pula sebaliknya.

McClelland yang dikutip oleh Harold Koontz dkk, menyebutkan di

dalam teorinya bahwa kebutuhan manusia dapat dikelompokkan menjadi

tiga yaitu kebutuhan untuk berkuasa (need for power), kebutuhan untuk

berafiliasi (need for affiliation) dan kebutuhan untuk berprestasi (need for

achievement). (1) Manusia yang mempunyai keinginan berkuasa tinggi

mempunyai keinginan berkuasa tinggi mempunyai keinginan yang besar

untuk menanamkan pengaruhnya dan mengendalikan orang lain, dimana

selalu mencari posisi untuk memimpin, penuh daya, pintar bicara, keras

kepala, suka memerintah serta gembira jika berbicara di depan umum.

Motivasi untuk berkuasa merupakan dorongan untuk mempengaruhi orang

lain, untuk mengubah situasi, yang akan menimbulkan dampak pada

organisasi. (2) Manusia yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

54

umumnya senang sosialisasi, senang dicintai dan tidak menyukai

kesendirian, diasingkan oleh lingkungan sosial dan sebagainya. Manusia

jenis ini menikmati rasa keakraban dan saling pengertian, slalu siap

menghibur dan menolong orang yang kesulitan serta menyenangi

persahabatan. Motivasi untuk berafiliasi merupakan dorongan untuk

berhubungan dengan orang atas dasar sosial. (3) Manusia yang mempu nyai

kebutuhan berprestasi tinggi mempunyai keinginan tinggi untuk sukses,

dimana keinginan untuk sukses ini sama besar dengan ketakutannya untuk

gagal. Manusia jenis ini menyukai tantangan, berani mengambil resiko,

berani menghadapi kesulitan, sanggup mengambil alih tanggung jawab

dalam tugas, tangkas, senang bekerja keras, serta cenderung menonjolkan

diri (Koontz dkk dalam Gunada, 2000:28)

Teori mengenai kebutuhan hidup manusia menurut Teori ERG

dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu eksistensi ( existence),

keterhubungan (relatedness) dan pertumbuhan (growth). Maksud dari teori

dari ketiga pengelompokan itu adalah : (1) Eksistensi adalah kebutuhan

eksistensi untuk bertahan hidup merupakan kebutuhan fisik, misalnya

makan, minum, sex dan kebutuhan fisik lainnya. (2) keterhubungan adalah

kebutuhan untuk berhubungan dengan manusia lain, sosialisasi, saling

membutuhkan seperti dengan keluarga, sahabat, atasan, keanggotaan di

dalam masyarakat. (3) Pertumbuhan adalah kebutuhan manusia untuk

menjadi produktif dan kreatif misalnya diberdayakan di dalam potensi

tertentu dan berkembang secara terus menerus.

Teori dua faktor yang diperkenalkan oleh Herzberg membagi

motivasi manusia menjadi dua kumpulan yaitu faktor perawatan

(maintenance factor) dan faktor (motivational faktor). (1) Faktor perawatan

yang bersifat ekstrinsik, dimana faktor-faktor perawatan ini jika tidak ada

akan lebih menyebabkan ketidakpuasan dibandingkan menyebabkan

kepuasan jika faktor itu ada. Termasuk di dalam lingkungan faktor -faktor

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

55

perawatan adalah kebijakan dan adsministrasi perusahaan, supervise,

hubungan dengan supervisor, hubungan dengan rekan sekerja, hubungan

dengan bawahan, gaji, keamanan kerja, kehidupan pribadi, kondisi kerja

dan status. (2) Faktor motivasional yang bersifat intrinsik, merupakan

faktor-faktor yang kehadirannya akan menyebabkan kepuasan kerja

sekaligus memberikan motivasi jika ada. Termasuk di dalam faktor -faktor

motivasional adalah pencapaian prestasi, penghargaan, kemajuan,

pekerjaan sendiri, kemungkinan untuk maju dan t anggung jawab.

Dari uraian teori mengenai motivasi di atas, maka yang dimaksud

dengan motivasi berprestasi adalah suatu dorongan, upaya dan keinginan

individu yang mengarahkan perilakunya untuk berprestasi dengan baik di

dalam bekerja, yang mencakup aspek : bekerja dengan baik, memanfaatkan

umpan balik, berusaha untuk mencapai tujuan, bekerja dengan tanggung

jawab, berani bersaing, menikmati kesuksesan, kesediaaan menerima tugas

serta takut akan kegagalan.

Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain

untuk bekerja secara antusias ke arah tujuan (Davis dan Newsterm, 1985:

158) Kepemimpinan adalah sebuah bagian yang penting dari manajemen

tetapi bukan merupakan keseluruhan dari manajemen itu sendiri. Pemimpin

antara lain diwajibkan untuk merencanakan dan mengorganisasikan, tetapi

peran utama pemimpin adalah mempengaruhi orang lain orang lain untuk

berusaha mencapai tujuan dengan antusias. Hal ini berarti bahwa jika

perencanaan mereka jelek, sehingga menyebabkan kelompoknya menuju

pada arah yang salah. Gagasan mereka dapat menerima kelompoknya

bergerak, mereka hanya tidak dapat bergerak menuju kearah yang dapat

melayani tujuan organisasi (Davis dan Newsterm, 1985: 158)

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

56

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk

mengerjakan apa yang anda inginkan untuk dikerjakan oleh mereka.

Konsep demikian kelihatannya cukup sederhana pada permukaannya, tetapi

pada kenyataannya seringkali kompleks. Dimana di dalam kepemimpinan

hadir suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi tugas -tugas yang

berhubungan dengan kegiatan anggota kelompok. Dari pengertian tersebut

maka dapat diuraikan empat implikasi penting, yaitu (1) kepemimpinan

melibatkan orang lain sebagai berikut, misalnya karyawan. Dengan

keinginan mereka untuk menerima pengarahan dari pimpinan, anggota

kelompok membantu mendefinisikan status pimpinan dan membuat proses

kepemimpinan memungkinkan; tnpa orang mengarahkan, semua kualitas

kepemimpinan dari seorang manajer akan anyang tidak seimbang antara

pemimpin dan anggota kelompok. Anggota kelompok bukan tanpa

kekuatan; mereka dapat dan membentuk kegiatan dalam sejumlah cara.

Selain itu pemimpin biasanya mempunyai kekuatan lebih. (3)

kepemimpinan adalah kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan

yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku-perilaku pengikut dalam

sejumlah cara. Tentu saja, pemimpin telah mempengaruhi karyawan untuk

membuat pengorbanan pribadi untuk kebaikan perusahaan. Kekuatan

membawa pengaruh kita pada aspek keempat kepemimpinan. (4) aspek

gabungan dari ketiganya dan mengakui bahwa kepemimpinan adalah

tentang nilai-nilai (values). Ini adalah sebuah catatan berharga bahwa

meskipun kepemimpinan adalah dihubungkan secara tinggi dan penting

bagi manajemen, kepemimpinan dan manajemen bukanlah konsep yang

sama (Freeman, dan Gilbert, 1995: 470)

Kepemimpinan adalah proses seorang individu untuk memengaruhi

anggota kelompok lain kea rah pencapaian tentang definisi tujuan

kelompok atau organisasi. Catatan menurut definisi ini, kepemimpinan

adalah terutama sebuah proses melibatkan pengaruh orang dimana seorang

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

57

pemimpin mengubah kegiatan-kegiatan atau sikap-sikap dari beberapa

anggota kelompok atau bawahan. Kepemimpinan atau memimpin ( leading)

adalah mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang pimpinan

inginkan mereka kerjakan (Mondy, dan Premeux, 1993: 332)

Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi dan

memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Proses

kepemimpinan melibatkan penggunaan kekuasaan untuk menentukan

tujuan-tujuan kelompok atau organisasi, memotivasi anggota organisasi

untuk bekerja kearah pencapaian tujuan tersebut, dan mempengaruhi

dinamika kelompok dan budaya organisasi. Seorang pemimpin adalah

seorang yang memajukan tujuan organisasi dengan mempengaruhi sikap

dan kegiatan-kegiatan orang lain. Kepemimpinan dan motivasi bekerja

bahu-membahu seperti karyawan menarik inspirasi dari pimpinan,

pemimpin tidak dipertimbangkan sebagai pemimpin apabila mereka tidak

mampu memotivasi orang lain. Secara umum, kepemimpinan organisasi

adalah sebuah proses terus menerus bukan sebuah peristiwa sekali,

mempersiapkan tujuan akhir untuk kerja (performance).(L. Bovee, dkk,

1993:468)

Telah diuraikan diatas bahwa kepemimpinan adalah proses

mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu dalam keadaan

tertentu. Disamping itu pengertian kepemimpinan yang dipesentasikan

dalam buku ini juga menyatakan secara tidak langsung bahwa : (1)

pimpinan mempunyai sebuah pengertian tentang arah ( a sense of

direction), dan (2) keefektifan seseorang mencoba untuk mempengaruhi

tergantung pada faktor-faktor situasi unik.

Kepemimpinan secara sederhana adalah sebuah tipe tentang

pengaruh, pengaruh seorang individu mendesak melalui sebuah kelompok.

Kepemimpinan adalah perilaku seorang manajer menggunakan pengaruh

sebuah kelompok. Dimana di dalam proses tersebut kepemimpinan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

58

berusaha mempengaruhi kegiatan para pengikut melalui proses komunikasi

dan kearah pencapaian beberapa tujuan. Pengertian ini secara tidak

langsung menyatakan bahwa kepemimpinan melibatkan penggunaan

pegaruh dan bahwa semua hubungan dapat melibatkan kepemimpinan. Di

samping itu di dalam definisi ini juga dinyatakan pentingnya proses

komunikasi. Kejelasan dan ketetapan komunikasi mempengaruhi perilaku

dan unjuk kerja pengikut. Elemen lainnya dari definisi memfokuskan pada

penyelesaian tujuan. Pemimpin yang efektif harus dapat bertransaksi

dengan individu, kelompok, dan tujuan-tujuan organisasi. Keefektifan

pemimpin secara khas dipertimbangkan dalam arti tingkat penyelesaian

satu atau kombinasi dari tujuan-tujuan tersebut.

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi sebuah

kelompok kea rah pencapaian tujuan. Sumber dari pengaruh dapat berasal

dari formal, seperti kepemilikan dari tingkat manajerial dalam suatu

organisasi (Robbins, 1996: 413)

Kepemimpinan adalah sebuah proses mendorong, mengembangkan,

dan bekerja dengan orang dalam suatu organisasi. Hal ini sebuah proses

yang berorientasi pada manusia dan memfokuskan pada motivasi personal,

hubungan manusia atau interaksi sosial, komunikasi antar personal,

suasana organisasi, konflik antar personal, pertumbuhan dan

pengembangan personal, dan meningkatkan produktivitas faktor -faktor

manusia secara umum. Kepemimpinan mengambil tempat dalam konteks

sebuah organisasi dan oleh karena itu, harus diperhatikan dengan realisasi

tujuan, menetapkan arah baru, penyerahan pelayanan kualitas pendidikan,

implementasi perubahan esensial dan seterusnya, maupun kepuasan dan

ketidakpuasan aktivitas personal dan hubungan manusia. Kesimpulan yang

dibuat bahwa kepemimpinan adalah kompleks dan multi dimensi.

Ada beberapa definisi satu dimensi kepemimpinan lain yang dapat

menghasilkan salah persepsi tentang sifat dari proses dan kompetensi-

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

59

kompetensi yang diminta. Kepemimpinan adalah sebuah proses yang

memfokuskan pada orang dan dapat diukur dengan dampaknya pada prilaku

organisasi. Termasuk membantu orang dalam sebuah organisasi

memperoleh sebuah pengertian baru tentang arah dimana ada kekurangan

atau tidak realistik, menciptakan jenis-jenis pola struktural yang akan

meningkatkan produktivitas personal, memotivasi orang ke tingkat unjuk

kerja lebih tinggi, dan seterusnya.

Kepemmpinan adalah kompleks dan multi dimensi dalam karakter

dan tak seorangpun dapat menghasilkan resep lompatan secara premature

dan menggeneralisasi dari riset kepemimpinan. Kepemimpinan adalah

ramuan yang kritis dalam keefektivan organisasi. Hal ini adalah sebuah

proses antar personal yang kompleks untuk mempengaruhi perilaku (Rao,

dan Surya P. Rao dalam Gunada, 2000: 60)

Ada tiga teori kepemimpinan – teori ciri-ciri (trait theory), teori

perilaku (behavioral theory), dan teori situasional (situasional theory),

(Rao, dan Surya P Rao dalam Gunada, 2000: 60) Pendekatan pertama,

memandang kepemimpinan sebagai sebuah konglemerasi dari sebuah

susunan ciri-ciri kepribadian. Tradisi tertua dalam studi-studi

kepemimpinan telah dicari untuk dikelompokkan ke dalam ciri-ciri, atribut

atau perbedaan tipe individu lainnya, yang menyusun pemimpin terpisah

dari pengikutnya atau yang membedakan pemimpin yang efektif dari

pemimpin yang tidak efektif. Teori ciri-ciri mencoba menggali sebuah

prototype yang murni tentang kepribadian kepemimpinan. Pendekatan

kedua, mempelajari kepemimpinan mencoba mengidentifikasi perilaku

individu pemimpin yang berhubungan dengan kepemimpinan yang efekt if.

Tentu saja, satu asumsi fundamental diletakkan pada teori ciri-ciri dan

perilaku bahwa seorang individu yang memiliki ciri-ciri pantas atau

mempertonton perilaku yang pantas akan muncul sebagai pemimpin dalam

kelompok apapun ia berada. Berpikir dan riset yang terbaru menyandarkan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

60

pendekatan ketiga terhadap sebuah perspektif situasional. Disini periset

mengubah perhatiannya untuk mengidentifikasikan faktor -faktor

situasional tertentu yang menentukan bagaimana sebuah gaya

kepemimpinan khusus akan menjadi efektif.

Kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi

sekelompok orang untuk tercapainya tujuan tertentu. Dari pengertian

kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau

sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tert entu maka dapat

diketahui bahwa kepemimpinan adalah fungsi dari pemimpin, pengikut dan

variabel situasional lainnya. Sumber dari pengaruh di dalam kepemimpinan

bisa formal, misalnya yang disediakan oleh pemilikan tingkat manajerial

dalam suatu organisasi, seseorang menjadi pemimpin karena kedudukannya

yang formal. Sumber kepemimpinan dapat pula berasal dari luar struktur

formal, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi walaupun tidak berada dari

struktur formal organisasi.

Keberhasilan pemimpin tergantung pada perilaku, tindakan yang

tepat dan keterampilan. Ada dua katagori utama perilaku kepemimpinan

yaitu struktur inisiasi ( iniating structure) dan konsiderasi (consideration).

Struktur inisiasi mengacu pada perilaku pemimpin dalam menggambarkan

hubungan antara diri pemimpin sendiri dengan anggota kelompok kerja dan

dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi dan metode

atau prosedur yang ditetapkan dengan baik. Sebaliknya konsiderasi

mengacu pada perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan

timbal balik, rasa hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin

dengan anggota stafnya. (Agus Darma, 1996: 153)

Ditinjau dari keterampilan pemimpin, maka ada tiga jenis

keterampilan yang berbeda yaitu keterampilan teknis, keterampilan

manusiawi dan keterampilan konseptual. (1) Keterampilan teknis ( technical

skill) mengacu pada pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam salah

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

61

satu jenis proses atau teknik. Antara lain keterampilan yang dimiliki

seorang juru ketik, insinyur, akuntan, dan tukang. Keter ampilan jenis ini

merupakan ciri yang menonjol dari prestasi kerja pada tingkat operasional,

semakin tinggi jabatan dan tanggung jawab maka keterampilan teknis

menjadi semakin berkurang. (2) Keterampilan manusiawi ( human skill)

yaitu kemampuan kerja secara efektif dengan rekan kerja di dalam satu tim.

(3) Keterampilan konseptual (conceptual skill) merupakan kemampuan

untuk berfikir secara konsep berkaitan dengan model, kerangka dan

hubungan yang luas, seperti rencana jangka panjang. Semakin tinggi

jabatan maka keterampilan konseptual semakin dibutuhkan.

Dari uraian di atas, maka yang dimaksudkan dengan kepemimpinan

adalah suatu cara pandang individu terhadap pimpinan, gaya kepemimpinan

dan motivasi kerjanya, dimana tercakup di dalamnya adalah pola hubungan,

kesempatan berinteraksi, masa kerja, lingkungan kerja, mampu membaca

situasi, kesediaan menerima tugas serta tujuan yang hendak dicapai.

Dengan demikian, maka dapat diduga terdapat pengaruh positif

antara kepemimpinan rektor terhadap profesi dengan motivasi dosen untuk

berprestasi.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini bersifat expost facto atau non eksperimen, karena

tidak melakukan manipulasi terhadap gejala yang diteliti dan gejalanya

sudah ada secara wajar di lapangan.

Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data

primer. Data ini dikumpulkan melalui pengukuran secara langsung terhadap

responden yang meliputi: kepemimpinan rektor dan motivasi berprestasi

para dosen di IKIP PGRI Bali. Pengumpulan data untuk variabel

kepemimpinan rektor dan motivasi berprestasi dosen digunakan kuesioner.

Semua data yang diperoleh berbentuk data interval.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

62

Populasi adalah kelompok yang diminati oleh peneliti, kelompok yang

peneliti disukai untuk menggeneralisasikan hasil studinya. Populasi

adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kuantitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan

(Sugiyono,1992: 57).

Populasi dalam penelitian ini yang diperhitungkan dalam pengambilan

sampel adalah seluruh dosen yayasan dan dosen Negeri dipekerjakan di

IKIP PGRI BALI yang berjumlah 92 orang

“Sampel adalah bagian populasi” (Riyanto, 2001: 65). Sedangkan

Sugiarto dkk (2001: 2 ), menjelaskan bahwa sampel adalah “anggota dari

populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu, sehingga

diharapkan dapat mewakili populasinya”. Jadi Sampel dapat didefinisikan

sebagai sembarang himpunan yang merupakan bagian dari suatu populasi

Atas dasar tujuan penelitian yang ingin dicapai dan memperhatikan

heterogenitas populasi, maka teknik sampling yang digunakan adalah

“proporsional random sampling” artinya penentuan sampel dengan

memperhatikan perimbangan jumlah dosen setiap jurusan serta di dalam

pemilihannya semua dosen mempunyai kesempatan yang sama menjadi

anggota sampel.

Untuk menentukan besarnya sampel yang akan dijadikan subjek

penelitian, digunakan tabel dari Robert V. Krejcie dan Daryle W. Morgan

(Sugiyono, 1992: 63). sehingga populasi yang besarnya : 92 orang

diperoleh besar sampel : 73 orang. Untuk pengambilan sampelnya dengan

menggunakan teknik undian.

Pengumpulan data untuk kepemimpinan rektor dan motivasi berprestasi

dosen dipergunakan kuesioner. Semua data yang diperoleh berbentuk data

interval. Sebagai responden adalah para dosen IKIP PGRI Bali

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

63

Metode Analisis Data dan Uji Hopotesis

Teknik analisis yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam

penelitian ini adalah teknik analisis statistik.

Yang dimaksud dengan analisis statistik adalah suatu teknik a tau cara

menganalisa data yang bersifat kuantitatif atau bereupa angka -angka. Hal

ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan :Analisis statistik berarti cara

ilmiah yang dipergunakan untuk mengumpulkan, menyususn, menyajikan

dan menganalisa data penyelidikan yang diharapkan dapat menyediakan

dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menarik kesimpulan-

kesimpulan yang benar dan untuk mengambil keputusan- keputusan yang

layak. (Sutrisno Hadi, 1982 : 22)

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa statistik yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah statistik infrensial. Sesuai dengan

judul penelitan yang telah dirumuskan bahwa masalah yang diteliti adalah

: Pengaruh Kepemimpinan Rektor Terhadap Motivasi Berprestasi Dosen

Dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya Pengaruh

Pengaruh Kepemimpinan Rektor Terhadap Motivasi Berprestasi Dosen

yang telah disebutkan di atas.

Untuk menguji hipotesisnya dipergunakan teknik Korelasi Product

Moment, untuk menghitung koefisien korelasi product moment

dipergunakan rumus :

2222

YYNXXN

YXXYNxyr

Keterangan :

Rxy = Koefisien korelasi variabel X dan variabel Y

XY= Product X dan Y

X = Kepemimpinan Rektor

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

64

Y = Motivasi Berprestasi Dosen

N = Jumlah subyek yang diteliti

( Arikunto, 2000)

4. ANALISIS DATA

Teknik analisa yang digunakan dalam pengujian hipotesis dilakukan

dengan analisa statistik yaitu analisa Product Moment. Sebagai sistimatika

dalam analisa nanti, akan ditempuh langkah-langkah : (1) Merumuskan

hipotesis nol, (2) Menyusun daftar belanja statistik, (3) Memasukan data ke

dalam rumus, (4) Menguji nilai r xy, dan (5) Menarik kesimpulan

Merumuskan hipotesis nol.

Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan rektor

terhadap motivasi berprestasi dosen di IKIP PGRI Bal i

Menyusun Daftar Kerja Statistik

Tabel 04 Daftar Tabel Kerja Statistik Skor Kepemimpinan Rektor terhadap

Motivasi berprestasi Dosen di IKIP PGRI Bali

No Sby X Y X2 Y2 XY

1 99 71 9801 5041 7029

2 100 70 10000 4900 7000

3 109 74 11881 5476 8066

4 97 73 9409 5329 7081

5 103 68 10609 4624 7004

6 97 74 9409 5476 7178

7 93 66 8649 4356 6138

8 83 63 6889 3969 5229

9 94 63 8836 3969 5922

10 87 65 7569 4225 5655

11 102 76 10404 5776 7752

12 90 65 8100 4225 5850

13 99 78 9801 6084 7722

14 99 65 9801 4225 6435

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

65

15 96 80 9216 6400 7680

16 99 74 9801 5476 7326

17 95 64 9025 4096 6080

18 95 56 9025 3136 5320

19 95 67 9025 4489 6365

20 79 65 6241 4225 5135

21 91 67 8281 4489 6097

22 94 71 8836 5041 6674

23 86 63 7396 3969 5418

24 111 71 12321 5041 7881

25 82 61 6724 3721 5002

26 87 72 7569 5184 6264

27 101 66 10201 4356 6666

28 83 77 6889 5929 6391

29 95 62 9025 3844 5890

30 93 72 8649 5184 6696

31 89 58 7921 3364 5162

32 83 67 6889 4489 5561

33 96 57 9216 3249 5472

34 99 66 9801 4356 6534

35 105 73 11025 5329 7665

36 89 59 7921 3481 5251

37 95 80 9025 6400 7600

38 96 57 9216 3249 5472

39 97 80 9409 6400 7760

40 99 62 9801 3844 6138

41 80 59 6400 3481 4720

42 101 64 10201 4096 6464

43 91 70 8281 4900 6370

44 86 67 7396 4489 5762

45 101 58 10201 3364 5858

46 91 70 8281 4900 6370

47 77 61 5929 3721 4697

48 97 56 9409 3136 5432

49 82 68 6724 4624 5576

50 102 62 10404 3844 6324

51 78 66 6084 4356 5148

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

66

52 79 57 6241 3249 4503

53 97 65 9409 4225 6305

54 86 64 7396 4096 5504

55 98 68 9604 4624 6664

56 108 65 11664 4225 7020

57 99 67 9801 4489 6633

58 101 68 10201 4624 6868

59 90 66 8100 4356 5940

60 69 68 4761 4624 4692

61 102 65 10404 4225 6630

62 111 73 12321 5329 8103

63 114 68 12996 4624 7752

64 85 60 7225 3600 5100

65 93 71 8649 5041 6603

66 103 78 10609 6084 8034

67 100 75 10000 5625 7500

68 92 57 8464 3249 5244

69 91 70 8281 4900 6370

70 84 57 7056 3249 4788

71 80 64 6400 4096 5120

72 88 59 7744 3481 5192

73 96 60 9216 3600 5760

6834 4864 645458 326942 456607

Keterangan :

X = Kepemimpinan rektor = 6834

Y = Motivasi berprestasi dosen = 4864

X2 = 645458

Y2 = 326942

XY = 456607

Memasukan Data Dalam Rumus.

2222

YYNXXN

YXXYNxyr

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

67

2486432694273

2683464545873

4864683445660773

xyr

= 236584962386676646703556471188434

3324057633332311

= 208270414878

91735

= 08640664106

91735

= 312,0293950

91735

rxy = 0,312

R2 = 0,1033

Menguji nilai rxy

Berdasarkan taraf signifikansi 5 % dan N =73, besarnya angka

batas penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel nilai-nilai Product

Moment adalah = 0,227. Jika dibandingkan dengan besarnya angka yang

didapatkan dari hasil penelit ian yang besarnya 0,312, maka nilai r xy yang

diperoleh dari hasil penelitian lebih besar atau melebihi angka bata

penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel nilai-nilai product

moment, sehingga hipotesis nol yang diajukan ditolak. Ini berarti nilai r xy

yang didapatkan dari hasil penelitian signifikan. Dengan ditolaknya

hipotesis nol yang berbunyi bahwa tidak ada pengaruh kepemimpian rektor

terhadap motivasi berprestasi dosen baik dosen Dpk maupn dosen yayasan

IKIP PGRI Bali, maka hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian

ini diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh yang

signifikan antara kepemimpian rektor terhadap motivasi berprestasi dosen

baik dosen Dpk maupn dosen yayasan IKIP PGRI Bali.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

68

5. KESIMPULAN ANALISIS

Berdasarkan perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa

kepemimpinan institusi dalam hal ini adalah kepemimpiaan rektor

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi berprestasi di

kalangan para dosen baik dosen dpk maupun dosen yayasan di IKIP PGRI

Bali. Kesimpulan ini dapat dibuktikan dengan besarnya taraf signifikasi

5% dan N = 73, ternyata nilai r xy hasil penelitian yang besarnya 0,312 lebih

besar dari nilai batas penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel

nilai-nilai Product Moment adalah 0,227, maka hipotesis nol ditolak,

sehingga hasil penelit ian ini signifikan. Karena arah pengaruhnya positif,

maka dapat dikatakan bahwa semakin demokratis kepemimpinan rektor,

maka akan dapat meningkatkan motivasi berprestasi dosen. Besarnya

variasi motivasi berprestasi dosen yang dapat dijelaskan oleh

kepemimpinan rektor adalah sebesar 10,33%.

DAFTAR RUJUKAN

Abraham Maslow. 1970. Motivation and personality : New York

Arikunto, Suharsini. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Agus Darma. 1996. Perilaku dan Organisasi: Erlangga Jakarta

Gunada, Ida Bagus. 2000. “Motivasi berprestasi Dosen”. (Disertasi)

Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.

Paul Hersey dan Ken H. Blanchad. 1988. Management of Organizational

Behavior: Utilizing Human Rsources (Englewood Cliffs: Prentice -

Hall

Stehen P. Robbins. 1995. Organization Behavior, Controversics &

Application (New Jersey: Prentice Hall.

Stephens P Robins. 1977. Managing Today (New Jersey: Prentice Hall

International)

Stephens P Robins. 1996. Organizational Beavior Concept and Aplication.

New Jersey: Prentice Hall.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

69

Sugiarto, Dkk. 2001. Teknik Sampling. Penerbit PT Gramedia Pustaka

Utama: Jakarta

Hadi, Sutrino,1982. Statistik II.Yogyakarta Yayasan Penerbitan, Fakultas

Psikologi UGM

Sekso Hadiprojo dan Hani T. Handoko. 1986. Organisasi Perusahan):

Yogyakarta

Sugiyono.1992. Statistika untuk Penelitian : Penerbit CV AlFABETA,

Bandung.

Keith Davis, dan John W, Newstrom, 1985. Human Behavior At Work:

Organizational Beavior. Singapore

James A.F. Stoner. R. Edward Freeman, dan Daniel R. Gilbert. 1995.

Management. New Jersey: Prentice Hall.

Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan : Penerbit

Penerbit SIC Surabaya.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

70

PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI

PEMANFAATAN SENYAWA HAYATI EKSTRAK DAUN BELENG

DALAM PENANGGULANGAN JAMUR Fusarium oxysporum f.sp. vanillae

PENYEBAB PENYAKIT BUSUK BATANG PADA VANILI

Oleh

I MADE SUBRATA

Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

This research was done to improve understanding and insight into the

education of Biology students of the plants diversity and the use of biological

compounds contained in plants for control of plant diseases. Beleng crop cultivars,

which is one of the betel plant (Piper betle L.) is able to inhibit the growth of the

fungus Fusarium oxysporum f.sp. vanillae cause stem rot disease in vanilla.

In order to find other alternatives for controlling the disease, Beleng leaf

were studied for their bioactivity against F. oxysporum f. sp. vanillae. The result of

the study indicated that the crude extract of Beleng leaf at concentration 0.05%;

0.1%; 0.15%; 0.2%; 0.25%; 0.3% and 0.35% was able to inhibit the radial growth of

F. oxysporum f.sp. vanillae on Potato Dextrose Agar (PDA) medium. The variation

of crude extract concentration was found to influence the fungal growth on vanilla

stem cutings on PD Broth medium. In addition, the crude extract of Beleng leaf was

able to inhibit the spore germination and spore formation of F. oxysporum f. sp.

vanillae on PD Broth medium.

The fractination of Beleng leaf crude extract with Column Chromatography

and Thin Layer Chromatography produced 15 fractions of compound, the fraction

number VI which is made of three compounds with Rf value : 0.35; 0.55 and 0.78

efectively inhibited the growth of F. oxysporum f. sp. vanillae on PDA medium.

Utilization of biological compounds of plant extracts are preservation of the

environment, so that it can be used as an alternative in the activities of the practice

of Environmental Education and can be applied to the community.

Key words : Environmental education, biological compounds, Fusarium oxysporum

f. sp.vanillae fungus

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Kelestarian lingkungan merupakan permasalahan yang dihadapi seluruh

dunia, sehingga dijadikan muatan kurikulum perguruan tinggi pada jurusan/program

studi tertentu, misalnya Jurusan Pendidikan Biologi IKIP PGRI Bali. Pelaksanaan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

71

pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup lebih menekankan pada penerapan

dalam kehidupan sehari-hari (Sastrawijaya, 2000). Pemanfaatan senyawa hayati

merupakan salah satu materi praktikum sebagai dasar aplikasi penanggulangan

penyakit tanaman, misalnya penyakit jamur Fusarium yang menyerang tanaman

vanili.

Fusarium sangat merugikan petani di kawasan tropika, karena dapat

menimbulkan berbagai penyakit di antaranya penyakit busuk batang panili, penyakit

busuk kering pada umbi kentang dan penyakit layu pada pisang. Penyakit busuk

batang panili disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, yang juga disebut

F. batatatis (Semangun, 1991), penyakit busuk kering pada umbi kentang

disebabkan oleh jamur F. solani var. coeruleum (Semangun, 2000) dan penyakit

layu pada pisang disebabkan oleh jamur F. oxysporum f.sp. cubense (Borges et al.,

2004).

Penyakit panili yang terpenting adalah penyakit busuk batang (Semangun,

1991). Masalah kerugian dan kerusakan oleh penyakit busuk batang panili dapat

berakibat langsung terhadap kematian tanaman serta akibat tidak langsung terhadap

penurunan produksi. Produksi panili di Bali mencapai puncaknya tahun 1988

sebesar 324,314 ton polong kering dan menurun pada tahun berikutnya. Tahun 1995

hanya mencapai 64,967 ton polong kering. Secara nasional ekspor panili di

Indonesia pada tahun 2001 hanya 339 ton polong kering, sedangkan pada tahun

1998 sekitar 729 ton polong kering, ketika pertumbuhan tanaman panili relatif masih

baik (Ruhnayat, 2004).

Usaha pengendalian penyakit yang dilakukan oleh petani selama ini masih

bertumpu pada penggunaan pestisida sintetis. Penggunaan pestisida sintetis yang

kurang bijaksana sering menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan

maupun terhadap jamur itu sendiri karena dapat terjadi resistensi dan resurgensi

(Suprapta et al., 2002).

Langkah yang perlu ditempuh untuk mengatasi dampak negatif yang

ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis, dengan pengadaan pestisida

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

72

alternatif yang dapat dihasilkan secara lokal terjangkau oleh sebagian besar petani

dan aman bagi lingkungan, baik pestisida yang berasal dari mikroba antagonis

(biopestisida) maupun pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pestisida yang

mendapat perhatian adalah pestisida dari tumbuh-tumbuhan, sering disebut dengan

pestisida nabati. Secara evolusi, tumbuhan telah mengeluarkan bahan kimia sebagai

alat pertahanan alami terhadap pengganggunya yaitu sebagai respon invasi patogen

ke tanaman inang (Kardinan, 2005). VanEtten at al. (1994) dalam Suprapta (2001)

mengusulkan istilah fitoantisipin untuk membedakan senyawa yang sudah ada pada

tumbuhan sehat dengan fitoaleksin yang terbentuk sebagai respon terhadap serangan

patogen.

Penggunaan ekstrak tanaman sebagai pestisida nabati dapat mengurangi

efek negatif pestisida sintetik terhadap lingkungan biologis (Suprapta et al., 2003).

Indonesia sebagai daerah tropis, mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan.

Tumbuh-tumbuhan tertentu dapat menghasilkan metabolit sekunder yang dapat

digunakan untuk bahan obat-obatan atau bahan pestisida nabati. Moeljanto dan

Mulyono (2003), menyebutkan bahwa tanaman sirih (Piper betle L.) bisa

dimanfaatkan sebagai fungisida, yakni untuk membasmi jamur Phythophthora

palmivora yang menyerang tanaman lada. Fungisida botani dari daun sirih ini

mampu menghambat perkecambahan spora dan menekan pertumbuhan jamur.

Tanaman Beleng (Bahasa Bali) merupakan salah satu varietas dari tanaman

sirih. Habitat maupun habitus tanaman Beleng sama dengan sirih, perbedaannya

warna Beleng lebih hijau, tangkai daun, tulang daun dan batang berwarna hijau

kemerahan. Aroma daun Beleng lebih sengak daripada sirih.

Tanaman dalam satu spesies, selain memiliki persamaan dalam morfologi

dan anatomi, juga memiliki beberapa persamaan secara fisiologi. Penelitian ini

mencoba untuk menguji aktivitas fungisida ekstrak daun sirih kultivar Beleng

terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

73

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak daun

Beleng terhadap pertumbuhan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae dan mekanisme

aktivitas anti jamur ekstrak daun Beleng terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae.

II. KAJIAN PUSTAKA

2.1 Biologi Jamur Fusarium

Fusarium adalah genus jamur yang terdapat di seluruh dunia dan sering

dikaitkan dengan berbagai jenis penyakit tumbuhan. Jamur ini dapat diisolasi dari

berbagai sampel, misalnya dari tanah dan tanaman pertanian yang terinfeksi,

berkembang biak di kawasan lembab dan panas sehingga diberi sebutan “penyakit

beriklim panas” (Salleh, 1989).

Genus Fusarium menghasilkan konidium berbentuk bulan sabit. Spesies

Fusarium cukup banyak, belum ada keseragaman di antara para peneliti mengenai

jumlah spesiesnya. Salah satu spesies Fusarium adalah Fusarium oxysporum, yang

menyebabkan penyakit pada jaringan pembuluh beberapa jenis tanaman pertanian

(Takehara and Kuniyosu, 1995). Perbedaan karakter dalam satu spesies serta

patogenitasnya terhadap tanaman tertentu disebut formae spesiales (f.sp.) atau

cultivar (var).

Fusarium sangat merugikan petani di kawasan tropika karena dapat

menimbulkan berbagai penyakit, diantaranya penyakit busuk batang panili, penyakit

busuk kering pada umbi kentang dan penyakit layu pada pisang. Penyakit busuk

batang panili disebabkan oleh F. oxysporum f.sp. vanillae yang juga disebut

batatatis, F. bulbigenum var. batatas atau F. batatas (Salleh, 1989).

2.2 Penyebaran Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae

Infeksi pada tanaman sehat dapat disebabkan oleh jamur F. oxysporum f.sp.

vanillae yang berasal dari tanaman yang sakit. Infeksi mulai terjadi pada pangkal

batang dan selanjutnya meluas pada batang dan akar hawa. Di dalam satu kebun

diduga konidium fusarium dipencarkan oleh angin.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

74

Fusarium dapat bertahan lama sebagai saprofit dalam tanah. Semangun

(1991) menyatakan bahwa di dalam tanah jamur ini dapat bertahan selama tiga

tahun. Tanah dianggap sebagai sumber infeksi yang utama.

Penyakit busuk batang dapat juga ditularkan atau disebarkan dengan

perantaraan kontak langsung, perantaraan air hujan dan serangga. Penanaman stek

panili pada tanah bekas tanaman panili sakit, pangkal stek akan busuk beberapa

waktu kemudian. Hal ini dapat terjadi walaupun tanah tersebut diistirahatkan

ataupun dikeringkan terlebih dahulu, karena klamidospora patogen dapat bertahan

lama di dalam tanah yaitu empat tahun tanpa tanaman inang (Suharyon dan Rozak,

1996).

2.3 Gejala Penyakit Busuk Batang Panili

Umumnya penyakit busuk batang panili timbul pada tanaman panili yang

berumur tiga tahun atau lebih. Bila keadaan tidak menguntungkan bagi

perkembangan penyakit, pada batang terjadi bercak-bercak yang panjangnya

beberapa centimeter, berbatas tegas, berwarna cokelat dan mengendap. Kalau

keadaan menguntungkan, terjadilah bercak yang berbatas kurang tegas, berwarna

hitam, yang dengan cepat meluas melingkar pada ruas batang. Setelah itu bagian

yang terserang keriput (mengisut), berwarna cokelat dan akhirnya mengering. Pada

bagian yang busuk dan keriput itu terdapat bintik-bintik putih kekuningan yang

terdiri dari kumpulan konidiofor dan konidium jamur. Kalau batang pada bagian

yang sakit dibelah membujur, tampak bahwa di sebelah dalam perubahan warna

meluas mendahului perubahan warna yang terlihat dari luar (Semangun, 1991).

Jamur ini menginfeksi jaringan pengangkut pada tanaman panili (CMI, 1978).

2.4 Pestisida Nabati

Setelah ditemukan pestisida sintetis pada awal abad ke-20, manfaat

pestisida dari bahan alami dilupakan (Novizan, 2002). Pestisida sintetis memiliki

beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh pestisida alami. Pestisida sintetis

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

75

dapat dengan cepat menurunkan populasi organisme pengganggu tanaman (OPT)

dengan periode pengendalian (residu) yang lebih panjang.

Untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan

pestisida sintetis, maka perlu adanya pengadaan pestisida alternatif yang dapat

dihasilkan secara lokal, terjangkau oleh sebagian besar petani dan aman bagi

lingkungan. Salah satu sumber pestisida yang mendapat perhatian ilmuwan adalah

dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan tingkat tinggi melalui metabolisme sekunder

mampu menghasilkan berbagai senyawa kimia untuk melindungi dirinya dari

gangguan hama, penyakit, maupun gulma.

Fungisida nabati adalah salah satu bagian dari pestisida nabati, yaitu

senyawa kimia anti jamur yang diekstrak dari tumbuhan tingkat tinggi. Fungisida

tersebut dalam bentuk alkaloid atau prohibitin dapat membantu melawan patogen

(Suprapta, 2005).

Banyak senyawa “constitutive” dari tumbuhan dilaporkan mempunyai

aktivitas anti jamur. Contoh yang sangat populer adalah fenol dan glikosida fenol,

lakton tidak jenuh, senyawa-senyawa sulfur, saponins, glikosida syanogenik dan

glikosinolat (Suprapta, 2001). Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang

dihasilkan oleh tumbuhan melalui metabolisme sekundernya.

2.5 Tanaman Sirih (Piper betle L.) kultivar Beleng

Tanaman Beleng (Bahasa Bali) sering juga disebut degan nama base-base,

base alas atau kakap. Semua nama tersebut mengindikasikan bahwa tanaman

tersebut bukan sirih yang telah dikenal oleh masyarakat luas. menyebutkan

varietasnya dengan nama Beleng sesuai dengan nama yang diberikan oleh

masyarakat Bali secara kebanyakan.

Menurut Moeljanto dan Mulyono (2003), daun sirih mengandung minyak

atsiri yang terdiri dari betlephenol, kavikol, seskuiterpen, hidroksikavikol, cavibetol,

estragol, eugenol dan karvakrol. Selain itu, juga mengandung enzim diastase, gula

dan tanin. Biasanya daun sirih muda mengandung diastase, gula dan minyak atsiri

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

76

lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua. Heyne (1987) mengatakan bahwa

sepertiga dari minyak atsiri dalam daun sirih terdiri dari fenol dan sebagian besar

dari fenol tersebut adalah kavikol. Kavikol ini memberikan aroma khas sirih dan

memiliki daya pembunuh bakteri lima kali daripada fenol biasa.

Kandungan fenol pada tanaman dapat menahan serangan jamur, tetapi

ketahanan ini bersifat khas pada jamur tertentu (Robinson, 1995). Sifat anti mikroba

pada sirih dihasilkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat pada sirih tersebut.

Adanya fenol dalam suatu bahan dapat menyebabkan lisis pada sel mikroba (Yanti

et al., 2000).

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Biologi

IKIP PGRI Bali. Bahan yang digunakan adalah daun sirih kulitvar Beleng, jamur F.

oxysporum f. sp. vanillae, media Komada, media PDA dan beberapa zat kimia yaitu

methanol pro analisis, aceton, n-heksana, etil asetat, alkohol 70% dan aquadest. Alat

yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Laminar flow, pisau, sprayer, jarum

ose, lampu spritus, aluminum foil, gelas ukur, tabung reaksi, timbangan, piring Petri,

vacuum rotary evaporator dan alat fraksinasi.

Jamur F. oxysporum f. sp. vanillae diisolasi dari batang vanili yang

terinfeksi penyakit busuk batang. Bagian batang diambil, kemudian dicuci dan

disterilkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya dalam laminar flow dilakukan

pemotongan kurang lebih 1 cm pada bagian perbatasan, dibelah dua secara

membujur. Belahan kemudian dicelupkan dalam alkohol 70% lalu dicuci dalam air

steril. Potongan batang diinokulasikan pada piring Petri yang telah berisi media biak

selektif untuk jamur Fusarium yaitu media komada. Kultur diinkubasi dalam suhu

kamar selama lima hari.

Ekstraksi dilakukan pada daun tanaman Beleng yang telah bersih, dicincang

dan dikeringanginkan selama dua sampai tiga hari. Sebanyak 100 g dari bahan

kering tersebut dimaserasi di dalam 1 liter methanol pada suhu kamar selama 48 jam

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

77

dengan tujuan untuk menarik zat aktif pada bahan yang akan diujikan pada jamur

patogen. Filtrat diperoleh dengan penyaringan rendaman daun Beleng melalui dua

lapis kain kasa dan kertas saring Whatman No.2, kemudian diuapkan dengan

menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 400C, sehingga diperoleh ekstrak

kasar. Ekstrak kasar ini siap diujikan pada jamur F. oxysporum f.sp. vanillae

3.1 Pengujian Pengaruh Ekstrak Sirih Kultivar Beleng terhadap

Pertumbuhan Koloni Jamur F . oxysporum f. sp. vanillae

Pengujian pertumbuhan koloni jamur pada konsentrasi ekstrak yang

berbeda, dilakukan pada media PDA dengan cara sebagai berikut : Ekstrak sirih

kultivar Beleng diencerkan dengan solven etil asetat dan tween 80 (2,5%) dengan

perbandingan 1 : 3 menjadi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6% 7% dan kontrol 0%. Ekstrak

sirih kultivar Beleng diambil dengan mikropipet sebanyak 0,5 ml dan dituangkan ke

dalam piring Petri steril, selanjutnya ditambahkan 10 ml PDA yang masih encer

(suhu 45-500C) sehingga konsentrasi ekstrak menjadi 0,05%, 0,1%, 0,15%, 0,2%,

0,25%, 0,3%, 0,35%. Piring Petri digoyang simultan sampai merata dan dibiarkan

sampai padat. Jamur F.oxysporum f.sp. vanillae yang telah dibiakkan dalam piring

Petri dan telah berumur dua hari, diambil dengan cork borer dengan diameter 5 mm

selanjutnya diletakkan pada bagian tengah media, diinkubasi pada suhu kamar.

Sebagai kontrol digunakan media PDA yang ditambah solven etil asetat : tween 80

(2,5%) = 1 : 3. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan pada setiap konsentrasi

ekstrak.

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni jamur dengan

mengukur diameter koloni mulai pada hari kedua sampai hari ke 11. Aktivitas anti

jamur ditentukan dengan menghitung daya hambat terhadap pertumbuhan jamur

(Rusni,2004) dengan rumus :

Diameter koloni kontrol – Diameter koloni perlakuan

Daya hambat = x100%

Diameter koloni kontrol

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

78

3.2 Pengujian Kemampuan Ekstrak Sirih Kultivar Beleng untuk Menekan

Infeksi Patogen

Batang vanili yang sehat dicuci, disterilkan dengan alkohol 70% dan air

steril, selanjutnya dipotong dengan ukuran kurang lebih 1,5 cm. Potongan batang

tersebut dimasukkan dalam piring Petri yang berisi 30 ml media PD Broth, suspensi

jamur 200 l dengan kepadatan 2.580 cfu/ml dan ekstrak 500 l dengan konsentrasi

1%, 2%, 3%, 4% dan 5% sehingga konsentrasi akhir menjadi 0,017%; 0,033%;

0,050%; 0,067% dan 0,083%. Kontrol sakit tidak ditambahkan ekstrak tetapi

diinokulasikan patogen . Pada eksperimen juga dibuat kontrol sehat yaitu batang

vanili, tanpa diinokulasikan jamur dan tanpa ekstrak.

3.3 Pengujian Mekanisme Penghambatan Pertumbuhan Jamur oleh Ekstrak

Sirih Kultivar Beleng

Pengujian mekanisme penghambatan pertumbuhan jamur oleh ekstrak

kasar, diuji dengan menumbuhkan spora pada media PD Broth selama lima hari.

Suspensi jamur disaring dengan kertas saring Whatman No.2. Dengan penyaringan

tersebut, spora akan lolos saringan dan ditampung dalam bekker glass. Selanjutnya

mekanisme penghambatan oleh ekstrak kasar diuji terhadap perkecambahan spora

dan pembentukan spora.

Pengujian pada perkecambahan spora dilakukan dengan menginokulasikan

200 l suspensi spora dengan kepadatan 1.290 x 103 cfu/ml pada 1 ml media PD

Broth dalam tabung reaksi, ditambahkan 100 l ekstrak dengan variasi konsentrasi

ekstrak menjadi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4% dan 0,5%. Setiap konsentrasi dibuat

tiga kali ulangan. Kerapatan spora pada saat inokulasi dihitung dengan

haemositometer. Setelah inkubasi 24 jam pada suhu kamar, jumlah spora yang

berkecambah dihitung dengan haemositometer. Spora yang berkecambah ditandai

dengan terbentuknya tabung kecambah, yaitu bagian pertama dari miselium yang

dapat mempenetrasi tubuh inang (Agrios, 1988).

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

79

Pengujian pada pembentukan spora dilakukan dengan menginokulasi 200

l suspensi spora dengan kepadatan 1.290 x 103 cfu/ml pada 10 ml media PD Broth

dalam piring Petri, ditambahkan 500 l ekstrak dengan variasi konsentrasi ekstrak

menjadi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, dan 0,5%. Setiap konsentrasi dibuat tiga kali

ulangan. Setelah inokulasi 48 jam pada suhu kamar dilakukan penghitungan jumlah

spora yang terbentuk. Penghitungan spora diteruskan sampai lima hari pengamatan.

Fraksinasi Komponen Aktif dengan Kromatografi

Ekstrak kasar yang telah menunjukkan aktivitas fungisida selanjutnya

difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan panjang 60 cm dan diameter 3 cm

Sebanyak 20 g ekstrak kasar dilarutkan dalam aceton, ditambahkan silika gel (wako

gel C-300, partikel size 40-75 m) lalu dievaporasi sampai remah. Ekstrak kasar

yang telah berbentuk kristal dimasukkan ke dalam kolom yang panjangnya 60 cm

dengan diameter 3 cm, kemudian dilanjutkan dengan Kromatografi Lapis Tipis

(KLT) dengan plat KLT berukuran 10 x 10 cm (Keisal Gel 60 F 254). Eluen yang

digunakan sebagai pengembang adalah heksan : aceton = 2 : 3

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pengujian Aktivitas Anti Jamur Ekstrak Daun Beleng terhadap

Pertumbuhan Koloni Fusarium oxysporum f.sp. vanillae

Ekstrak kasar daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan koloni jamur

F. oxysporum f.sp. vanillae pada media PDA. Daya hambat ekstrak kasar daun

Beleng disajikan pada Tabel 1.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

80

Tabel 1. Daya Hambat Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur

Fusarium oxysporum f.sp.vanillae pada Media PDA

Konsentrasi

Ekstrak (%)

Diameter koloni pada hari

terakhir (mm) Daya hambat (%)

0,00

0,05

0,10

0,15

0,20

0,25

0,30

0,35

85,00 ± 0,82

80,00 ± 0,82

71,00 ± 2,83

61,67 ± 2,36

50,33 ± 4,12

30,00 ± 4,08

14,33 ± 2,62

0,00

0,00

5,88

16,47

27,45

40,79

64,71

83,14

100,00

Berdasarkan tabel 1 nampak bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak,

pertambahan diameter koloni jamur semakin kecil atau daya hambat ekstrak

terhadap pertumbuhan koloni jamur F. oxysporum f.sp. vanillae semakin besar.

Daya hambat 100% terhadap pertumbuhan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae terjadi

pada konsentrasi ekstrak 0,25%, 0,30% dan 0,35%.

Koloni jamur yang tidak tumbuh pada media PDA telah dicoba

dipindahkan ke media PDA yang baru tanpa ekstrak setelah pengamatan berakhir.

Koloni jamur Fusarium tersebut akhirnya tumbuh. Data ini menunjukkan bahwa

ekstrak daun Beleng bersifat fungistatik, yaitu hanya menekan pertumbuhan jamur,

tidak bersifat membunuh jamur (fungitoksik).

4.2 Pengujian Aktivitas Anti Jamur Ekstrak Daun Beleng pada Bagian

Tanaman terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae

Ekstrak kasar daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan jamur F.

oxysporum f.sp. vanillae pada potongan batang vanili yang direndam dalam media

PD Broth. Makin tinggi konsentrasi ekstrak, intensitas serangan jamur terhadap

potongan batang vanili semakin kecil (Tabel 2).

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

81

Tabel 2 Aktivitas Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Fusarium

oxysporum f.sp. vanilla pada potongan batang vanili dalam Media PD

Broth

Hari

ke

Konsentrasi ekstrak

0%

(kontrol

sehat)

0%

(kontrol

sakit)

0,017% 0,033% 0,050% 0,067% 0,083%

1

2

3

4

5

-

-

-

-

-

+

+ +

+ + +

+ + +

+ + + +

-

+

+ +

+ + +

+ + +

-

+

+ +

+ + +

+ + +

-

+

+ +

+ + +

+ + +

-

-

+

+ +

+ +

-

-

-

+

+

Keterangan :

(-) = jamur tidak tumbuh pada batang atau pada media

(+) = jamur tumbuh pada permukaan potongan batang panili

(++) = jamur tumbuh mengelilingi seluruh batang

(+++) = jamur tumbuh pada media

(++++) = jamur tumbuh memenuhi media

4.3 Mekanisme Penghambatan Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan

Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae

Ekstrak kasar daun Beleng mampu menekan pertumbuhan jamur F.

oxysporum f. sp. vanillae melalui penghambatan perkecambahan spora dan

penghambatan pembentukan spora pada media PD Broth (Tabel 3).

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

82

Tabel 3. Perkecambahan Spora dan Pembentukan Spora Jamur Fusarium

oxysporum f.sp. vanillae pada Media PD Broth dan Ekstrak Daun

Beleng

Konsentrasi

(%)

Kerapatan Spora

yang

berkecambah

(x103/ml )

Daya Hambat

terhadap

perkecambahan

spora (%)

Kerapatan spora

yang terbentuk

(x103/ml)

Daya hambat

terhadap

pembentukan

spora (%)

0,0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

650 ± 8,16

580 ± 14,14

220 ± 16,73

110 ± 14,14

30 ± 8,16

0,00

0,00

10,77

66,15

83,08

95,38

100,00

5.053 ± 14,46

2.450 ± 40,82

913 ± 26,25

433 ± 30,91

146 ± 12,49

0,00

0,00

51,51

81,93

91,43

97,11

100,00

Keterangan : Pengamatan dilakukan selama lima hari terhadap tiga kali ulangan

pada setiap konsentrasi

Perhitungan daya hambat dilakukan pada data hari kelima

Kerapatan spora awal : F. oysporum f.sp. vanillae : 20 x 103 spora /

ml

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak yang

berbeda, jumlah spora yang berkecambah juga berbeda. Penghambatan

perkecambahan spora dimulai dari konsentrasi ekstrak 0,1%. Makin tinggi

konsentrasi ekstrak, jumlah spora yang berkecambah makin kecil, ini berarti ekstrak

daun Beleng mampu menghambat perkecambahan spora jamur Fusarium.

Pengamatan yang dilakukan setelah 24 jam, dalam konsentrasi ekstrak 0,4% spora

tidak berkecambah,

Spora yang berkecambah akan membentuk miselia, kemudian miselia

membentuk spora kembali. Data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa

pembentukan spora juga dihambat oleh ekstrak daun Beleng. Makin tinggi

konsentrasi ekstrak, spora yang terbentuk semakin sedikit. Pada konsentrasi 0,4 %

kerapatan spora yang terbentuk 0, karena tidak terjadi pembentukan miselia baru.

Perkecambahan spora dan pembentukan spora dari miselia merupakan bagian

penting pada perkembangbiakan jamur, terutama jamur Fusarium yang tergolong

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

83

fungi imperfecti yaitu jamur yang belum diketahui perkembangbiakan secara

generatifnya. Suprapta et al. (2006) mengatakan bahwa penghambatan pembentukan

spora adalah salah satu mekanisme penghambatan pertumbuhan dan perkembangan

jamur.

Tanaman Beleng merupakan salah satu varietas dari tanaman sirih, oleh

karena itu kandungan senyawa kimia daun Beleng secara kualitatif sama dengan

daun sirih. Menurut Eykman (1885) dalam Heyne (1987), bahwa sepertiga dari

minyak atsiri daun sirih terdiri dari fenol dan sebagian besar berupa kavicol. Kavicol

ini memberikan aroma khas pada sirih dan memiliki daya bunuh bakteri lima kali

daripada fenol biasa. Menurut Burkill (1953) dalam Yanti et al. (2000), dinyatakan

bahwa dalam minyak atsiri daun sirih terdapat campuran fenol dan terpen. Di antara

fenol yang ada, eugenol merupakan jumlah terbesar pada daun sirih yang terdapat di

India, sedangkan senyawa yang banyak terdapat pada daun sirih di Siam dan Jawa

adalah fenol betel dan kavicol. Kandungan fenol pada suatu tumbuhan dapat

menahan serangan jamur, tetapi ketahanan ini bersifat khas pada jamur tertentu

(Robinson, 1995).

Senyawa fenol yang dapat meracuni patogen selalu terdapat dalam

tumbuhan baik yang sehat maupun yang sakit. Sintesis dan akumulasi senyawa

tersebut dipercepat setelah terjadinya infeksi. Senyawa fenol teroksidasi menjadi

Quinon oleh enzim Polifenoloksidase yang dihasilkan oleh patogen. Quinon yang

terjadi mengalamai polimerisasi menjadi pigmen cokelat mengarah pada reaksi

hipersensitif yang mengakibatkan hilangnya permeabilitas membran sel,

meningkatnya respirasi, akumulasi dan oksidasi senyawa fenol serta pembentukan

fitoaleksin (Semangun, 2001). Dengan demikian senyawa Quinon sering lebih

beracun bagi mikroorganisme dibandingkan dengan fenolnya sendiri (Agrios, 1988).

Fraksinasi Komponen Aktif dengan Kromatografi

Fraksinasi dengan kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis

dihasilkan 15 fraksi. Fraksi VI membentuk tiga spot dengan nilai Rf berturut-turut

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

84

sebesar 0,35; 0,55; dan 0,78, menunjukkan aktivitas yang positif terhadap jamur F.

oxysporum f.sp. vanillae

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dibuat simpulan sebagai berikut :

1. Ekstrak daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum f.

sp. vanillae.

2. Fraksi VI yang terdiri atas tiga kelompok senyawa dengan nilai Rf 0,35; 0,55

dan 0,78 mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae.

3. Mekanisme aktivitas anti jamur ekstrak daun Beleng terhadap jamur F.

oxysporum f. sp. vanillae terjadi melalui penghambatan perkecambahan spora,

pembentukan spora dan pertumbuhan koloni.

5.2 Saran

1. Tanaman Beleng memiliki fungsi yang sama seperti tanaman sirih sebagai

bahan fungisida nabati, maka perlu dibudidayakan sebagai tanaman sela pada

perkebunan.

2. Perlu dilakukan pengujian ekstrak kasar daun Beleng terhadap jamur F.

oxysporum f. sp. vanillae di lab kaca atau di lapangan, sehingga peranannya

secara nyata dapat bermanfaat untuk penanggulangan penyakit tanaman yang

bersifat ramah lingkungan

3. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui jenis senyawa aktif yang

terkandung dalam daun Beleng.

DAFTAR RUJUKAN

Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. San Diego, California : Academic Press.

Inc.803p.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

85

Borges, A. A, A. Borges-Perrez, M. Fernandez-Falcon. 2004. Induced Resistance to

Fusarial Wilt of Banana by Menadione Sodium Bisulphite Treatments.

Crop Protection 23 : 1245-1247.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta : Yayasan Sarana

Wana Jaya. 631 h.

Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan & Aplikasi. Jakarta : Penebar

Swadaya. 88 h.

Moeljanto, R. D. dan Mulyono. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab

dari Masa ke Masa. Jakarta : Agromedia Pustaka. 77 h.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : ITB. 367 h.

Rustini, N. L. 2004. Aktivitas Fungisida Ekstrak Rimpang Dringo (Acorus calamus

L.) Terhadap Jamur Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit

Busuk Buah Pisang (tesis). Denpasar : Universitas Udayana. 50 h.

Salleh, B. 1989. Perkembangan Mutakhir Penelitian Fusarium di Kawasan Tropika,

Naskah Lengkap Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah

Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Denpasar. Denpasar 14 – 16

Nopember 1989 :11 – 18.

Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta : PT Rineka Cipta. 274

h.

Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia.

Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 850 h.

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta : Gajah

Mada University Press. 754 h.

Sudana, I M. 2004. Identifikasi Patogen Penyebab Penyakit Layu Pisang dan

Tingkat Patogenesitasnya Pada Beberapa Jenis Pisang Lokal Bali.

Agritrop 23 :82-87.

Suprapta, D. N. 2001. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap

Infeksi Jamur. Agritrop. 20 : 52-55.

Suprapta, D. N., I G. A. N. A. Suwari, N. Arya and K. Ohsawa. 2002. Pometia

pinnata Leaves Extract to Control Late Blight Disease of Tomato.

Journal of ISSAAS 8 : 31-36.

Suprapta, D. N., I B.G. Darmayasa, N. Arya, I G. R. M. Temaja and K. Ohsawa.

2003. Bacterial Activity of Spaeranthus indicus Extract against

Ralstonia solanacearum in Tomato. Journal of ISSAAS. 9 : 69-74.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

86

Suprapta, D.N., M. Subrata, K. Siadi, I.G.A. Rai, F. Tunnisa and K. Ohsawa. 2006.

Fungicidal Activity of Extract of Several Piperaceae Plants against

Fusarium oxysporum f.sp. vanillae. Academic Frontier Research

Centre, Tokyo University of Agriculture. 44-52.

Yanti, R., Suyitno dan E. Harmayani. 2000. Identifikasi Komponen Ekstrak Sirih

(Piper betle Linn.) Dari Beberapa Pelarut dan Pemanfaatannya Untuk

Pengawetan Ikan. Agrosains. 13 : 239-250.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

87

PEMBELAJARAN DONGENG KOALISI I LUTUNG

DENGAN I MACAN MENUMBUHKAN SIKAP ILMIAH

DAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA SISWA

By

I Wayan Suanda

FPMIPA IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

Fables are stories that inspire people in closer between parent and children,

while inserting lesson and preservation of cultural manners. In school, learning

stories can also provide attraction to students to pay attention and from a scientific

attitude and to improve the character of students. In this paper described “Fairy tale

with a coalition of a monkey that can grow tiger scientific attitude and character of

students”.

Of this fairy tale, comes innovative idea and creative students to prove fairy

tales through simple scientific research. In this paper emphasized at trial that the

applicable leaf (Artocarpus elastica) do not want to be eaten by termites

(Macrotermes gilvus (Hagen)).

Termite is cellulose-eating insects that are dangerous to buildings made of

materials containing cellulose such as wood and wood derived products. Termite

rest control efforts so far have focused on the use of synthetic insecticides in

excessive and less selective toward the target, giving rise to side effect such as

resistance, harmful to the user and environmental pollution, it should be pursued to

find a way control pest termites (M. gilvus (Hagen)) is safe for the environment.

Purpose of making this work is to develop scientific attitude and character as

well as on students, cultural preservation. Through myth and evidence of learning

with a simple experiment insecticidal activity of leaf extract applicable (A. elastica)

of the termite pest (M. gilpus (Hagen)).

The results showed that the leaf extract applicable (A. elastica) has

insecticidal activity against pest termites (M. gilvus (Hagen)) with properties that

reduce appetite antifidant of insects termites.

Keywords : Fable, Scientific Attitude, Character Education, Arranging Leaf extract,

Termites

I. Latar Belakang Masalah

Dongeng merupakan cerita rakyat yang tumbuh subur di bumi Nusantara ini

hingga tahun 1970-an. Saat itu dongeng dijadikan media pendidikan antara orang

tua dengan anaknya, antara guru dengan siswa di sekolah. Melalui dongeng orang

tua dan guru memasukkan pendidikan yang menekankan unsur sikap dan perilaku

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

88

berupa budi pekerti yang baik. Cara seperti ini akan memudahkan pelajaran

diterima, sehingga mudah dimengerti oleh peserta didik.

Nusantara ini sangat kaya dengan cerita rakyat berupa dongeng dan ada

beberapa dongeng yang sampai saat ini masih dikenal dan dijadikan tuntunan hidup

di masyarakat, sehingga dipelihara dan dilestarikan sebagai warisan budaya. Seperti

dongeng Malinkundang, I Bawang dan I Kesuna, dongeng Tangkuban Perahu dari

Jawa Barat, dongeng Lutung Kesarung dari Jawa Timur serta dongeng I Lutung

dengan I Macan, I Kancil dengan I Kakul dan masih banyak dongeng yang lainnya.

Berbekal dari pengalaman itu maka penulis sebagai guru Pembina

ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMP Ganesha Denpasar, dalam proses

pembelajaran ekstrakurikuler KIR juga memberikan cerita berupa dongeng

”KOALISI I LUTUNG DENGAN I MACAN”. Dalam cerita dongeng ini

dikisahkan I Lutung (bangsa Kera) dan I Macan (bangsa Harimau) berteman sangat

baik, sehingga muncul keinginan untuk membuat suatu persatuan yang dinamakan

Koalisi. Koalisi yang terbangun sangat rekat dan saling pengertian, namun

belakangan menjadi kurang kondusif, yang diawali dengan hadiah seekor penyu

yang diperoleh dari suatu sayembara. Hadiah tersebut kemudian disembelih menjadi

sate untuk merayakan kemenangangan dalam sayembara. Pembuatan sampai

pembagian sate penyu inilah yang menjadi bibit keretakan dalam kelangsungan

koalisi.

Keretakan mulai nampak kepermukaan setelah sate penyu itu matang (siap

dimakan), sate tersebut semuanya dibawa oleh I Lutung ke atas pohon Terap besar,

sambil memakannya satu persatu sampai habis. Sementara I Macan dengan

keterbatasannya yaitu tidak bisa memanjat pohon, hanya berada di bawah pohon

sambil menunggu belas kasihan I Lutung, namun impian I Macan menikmati sate

penyu tidak pernah kesampaian dan ia menjadi geram namun tetap sabar dan

mengalah. Namun I Lutung tetap tutup telinga dan tutup mata serta pikiran menjadi

gelap tanpa menghiraukan tuntutan I Macan.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

89

Pada suatu ketika, tiupan angin mamiri yang sepoi-sepoi basa menyebabkan I

Lutung ngantuk dan tertidur nyenyak dengan mimpi indahnya, maka pada saat itu

pula I Macam mengaum dengan nada menggeletar, seolah-olah pohon ikut terkejut,

sehingga I Lutung tanpa sadar jatuh ke bawah pohon dan langsung dihampiri oleh I

Macan. Saat itu I Lutung yang dalam keadaan bahaya dan terjepit, dengan akal

muslihatnya secepat kilat berkata, ampun I Macan, beribu ampun, saya salah dan

menyesal, mari kita rajut pertemanan yang lebih akrab dan lebih bermoral serta

berkarakter diucapkan dengan nada manis, sehingga I Macan tidak jadi marah dan

memaafkan, sehingga tidak jadi membunuh I Lutung dan hanya mengikat I Lutung

dengan tali pada pohon, sehingga tidak bisa berkutik. Akal dan tipu muslihat yang

dimiliki, I Lutung berteriak minta tolong agar bisa lepas dari jeratan tali, dengan

janji-janji manis yang pro pada semua kehidupan di bumi dan berjanji memberikan

hadiah yang sangat menarik serta gratis ini dan gratis itu. Ternyata jeritan itu

didengar oleh bangsa Rayap (Macrotermes gilvus (Hagen)) (Tetani = bahasa Bali).

Rayap pun mendekat untuk membantu melepaskan I Lutung dari ikatan tali. Bangsa

Rayap dengan hati yang tulus secara bergotong royong memakan tali pengikat

hingga putus. Setelah lepas dari ikatan tali, I Lutung yang memiliki akal jahat dan

tidak berkarakter tersebut, langsung mengobrak abrik bangsa Rayap dengan

memakannya, tentu saja bangsa Rayap lari untuk menyelamatkan diri, namun tetap

dikejar sampai jauh.

Di suatu tempat ada daun Terap (Artocarpus elastica), dan di sinilah

beberapa rayap itu bersembunyi sambil meminta bantuan agar dilindungi supaya

tidak diketahui oleh I Lutung, sambil berjanji bahwa bangsa rayap beserta

keturunannya kelak tidak akan berani memakan daun terap beserta kayunya untuk

selama-lamanya. Berdasarkan cetrita itu, penulis selaku guru pembina KIR

mengatakan daun terap tidak berani dimakan oleh bangsa rayap, mari kita buktikan

cerita tersebut melalui percobaan ilmiah, sehingga menjadi suatu teori baru.

Pengalaman baru juga diberikan oleh guru Pembina KIR, yaitu siswa diajak

melihat keranjang sampah yang di bagian dasarnya dialasi dengan daun terap.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

90

Ternyata daun Terap tidak sedikitpun termakan hama rayap, namun keranjang

sampah yang terbuat dari bambu itu menjadi indah akibat terukir oleh gigitan rayap,

hingga menjadi compang-camping, dan contoh lainnya yang juga pernah siswa lihat

di lingkungan tempat tinggalnya.

Cerita dongeng ini memberikan motivasi dan menumbuhkan sikap ilmiah

peserta didik, sebagai basis dari pelajaran KIR. Terbentuknya sikap ilmiah peserta

didik, mulai dari rasa ingin tahu, mencari masalah di lingkungan tempat tinggalnya

yang nanti diwujudkan dalam penelitian ilmiah sederhana, selanjutnya dibuat dalam

bentuk tulisan ilmiah.

B. Gagasan Kreatif dan Inovatif

Penulis yang menjadi pembina ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) di

SMP Ganesha Denpasar, selalu mengarahkan peserta didik untuk berpikir kreatif

dan inovatif dalam pembinaan KIR, melalui percobaan atau penelitian sederhana

pada beberapa permasalahan yang ada di lingkungan tempat tinggal. Dari

ektrakurikuler KIR ini dapat memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk

mengembangkan potensi yang dimiliki yang dilandasi oleh rasa ingin tahu dan

kreatif yang dicobakan berdasarkan langkah-langkah metode ilmiah, melalui

percobaan sederhana yang ramah lingkungan, namun bermanfaat bagi kehidupan

manusia.

Bentuk dari percobaan ini adalah membuktikan “Sumpah bangsa Rayap

terhadap daun Terap” yang diuraikan dalam cerita dongeng Koalisi I Lutung dengan

I Macan tersebut di atas. Melalui percobaan ini penulis ingin menghindari kerusakan

yang ditimbulkan oleh serangga Rayap (M. gilvus (Hagen)) pada perabot rumah

tangga melalui pengujian ekstrak tumbuh-tumbuhan, yaitu ekstrak daun Terap (A.

elastica).

Indonesia merupakan negara yang sangat subur, dengan keanekaragaman

jenis flora dan fauna yang memperkaya khazanah alam Indonesia. Diperkirakan

terdapat 100 sampai dengan 150 jenis family tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

91

Indonesia. Dari jumlah tersebut sebagaian besar tumbuh-tumbuhan mempunyai

potensi untuk dimanfaatkan sebagai tanaman industri, tanaman buah-buahan,

tanaman rempah-rempahan dan berpotensi sebagai bahan pestisida (pestisida

nabati). Pestisida secara umum adalah senyawa kimia yang digunakan untuk

membunuh organisme yang mengganggu atau merusak tanaman, dapat berupa jamur

(fungi), bakteri, maupun serangga. Pestisida yang digunakan untuk membunuh atau

mengendalikan serangga pengganggu, disebut insektisida. Insektisida ada yang

berasal dari senyawa kimia, dikenal dengan insektisida sintetis, sedangkan

insektisida yang bahan dasarnya berasal dari metabolit sekunder tumbuh-tumbuhan,

sering disebut insektisida nabati.

Beberapa jenis tumbuh-tumbuhan tertentu memiliki suatu zat metabolit yang

dapat berupa racun, sehingga dapat digunakan sebagai bahan insektisida nabati

(Nasution, 1992). Tumbuh-tumbuahan yang berpotensi sebagai insektiisda nabati

diantaranya adalah tanaman tembakau, kenikir, pandan, kemangi, cabai rawit,

kunyit, bawang putih, gadung, sereh, brotowali dan lain-lain (Anonim, 2009).

Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu insektisida yang

bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan

kemampuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami atau nabati, maka jenis

insektisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tidak

mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia termasuk ternak peliharaan

karena residunya mudah hilang (Hutton and Reilly, 2001). Insektisida nabati adalah

bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan

untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Insektisida ini dapat

berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk

lainnya terhadap serangga.

Rayap (M. gilvus (Hagen)) merupakan golomgan serangga yang makanan

utamanya adalah kayu atau bahan yang terutama terdiri atas selulosa. Rayap (M.

Gilvus (Hagen)) merupakan salah satu serangga yang sering ditemukan di rumah,

terutama pada rumah yang dibangun di tempat yang dulunya lahan tersebut di

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

92

jadikan tempat pembuangan sampah (TPA) dan memiliki perabotan yang terbuat

dari bahan kayu, bisa juga dijumpai pada kayu dan sampah yang sudah lapuk. Dari

perilaku yang demikian maka Rayap (M. Gilvus (Hagen)) termasuk golongan

makhluk hidup perombak bahan mati, terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.

rayap (M. Gilvus (Hagen)) tidak hanya memakan material dari tumbuh-tumbuhan

terutama kayu yang tidak bermanfaat bagi manusia, bahkan rayap (M. Gilvus

(Hagen)) kini sudah menjadi ancaman dan masalah besar bagi manusia, karena

sudah menjadi hama perusak bangunan dan perabotan rumah tangga berbahan kayu,

seperti mebeler, kusen, jendela, pintu, plapon rumah, rak buku dan yang lainnya

termasuk memberikan pemandangan yang kumuh pada sudut tembok rumah berupa

hamparan bercak tanah pada bagian yang dilalui hama rayap ini.

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang pernah dilakuakan Suanda

(2002), dengan menguji beberapa ekstrak dari tumbuh-tumbuhan untuk

mengendalikan serangga Plutella xylostella yang merupakan hama tanaman kubis.

Dari latar belakang tersebut, maka penulis ingin meneliti manfaat ekstrak daun

Terap (Artocarpus. elastika) sebagai bahan insektisida nabati terhadap hama rayap

(Macrotermes gilvus).

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Setiap aktivitas atau kegiatan yang dilakukan tentunya memiliki tujuan,

karena tujuan merupakan pedoman dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Adapun

tujuan dalam penulisan ini adalah untuk:

a. Menumbuhkan sikap ilmiah peserta didik melalui kegiatan penelitian

sederhana

b. Membentuk karakter peserta didik melalui pembelajaran dongeng Koalisi I

Lutung dengan I Macan.

c. Membuktikan “Mitos” cerita dongeng, dalam bentuk metode ilmiah,

berupa percobaan sederhana.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

93

2. Manfaat Penulisan

Apabila dari penerapan pembelajaran dongeng koalisi I Lutung dengan I

Macan dapat menumbuhkan karakter peserta didik serta hasil percobaan ini

menunjukkan hasil yang signifikan (sangat nyata), maka dapat bermanfaat baik

dari segi teoritis maupun praktis.

a. Dari segi teoritis, penerapan pembelajaran dongeng dapat menumbuhkan

karakter dan sikap ilmiah peserta didik, serta hasil penelitian ini dapat

menambah teori dan khazanah ilmu pengetahuan peserta didik, khususnya

materi pelajaran tentang lingkungan dan kehidupan serangga rayap dalam

pembelajaran IPA.

b. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat melatih peserta didik dan guru

untuk berpikir kreatif, inovatif dan kritis serta analitis dan berkarakter

dengan kegiatan penelitian melalui pemecahan masalah sederhana,

memberikan pengalaman riset sederhana yang sangat bermanfaat bagi

peserta didik, guru dan masyarakat.

II. TELAAH PUSTAKA

A. Pendidikan Karakter

Untuk menjaga proses pembelajaran di kelas agar tetap berlangsung dengan

baik dan bermakna, maka perlu diberikan pembelajaran yang mampu menarik

perhatian peserta didik, yang lebih dikenal dengan “PAIKEM GEMBROT‟ yang

artinya Pembelajaran, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, Gembira

tetapi Berbobot, dengan memberi selingan ceritera atau dongeng. Melalui

ceritera/dongeng tersebut peserta didik tersentuh jiwanya terhadap keagungan Sang

Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), yang adil dan selalu berpihak kepada orang yang

rajin bekerja, rajin belajar, memiliki moral yang baik, bersikap santun, berjiwa jujur,

memiliki rasa pengabdian, peduli kepada sesama, mau mengalah, memaafkan

kesalahan teman dan sederet perbuatan baik lainnya, yang sekarang lebih popular

dengan “Pendidikan Karakter”. Tersentuhnya jiwa dan pikiran peserta didik melalui

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

94

pembelajaran dongeng ini, niscaya dapat berimbas kepada pembentukan karakter

pada peserta didik.

Pada tulisan ilmiah ini penulis ingin menceritakan perilaku yang ditunjukkan

oleh binatang dalam ceritera ini I Lutung dengan I Macan. Dimana I Lutung sebagai

binatang yang cerdas, namun karakternya kurang bermoral dan kurang beretika,

sedangkan I Macan disimbulkan sebagai binatang kuat, namun dia menunjukkan

karakter yang bermoral, pemaaf dan beretika, karena dia tetap mengedepankan

persahabatan. Disamping itu penulis juga ingin menginformasikan bahwa dari

ceritera/dongeng ini selain pendidikan karakter yang bisa diserap juga memunculkan

penemuan ilmu pengetahuan baru sebagai teori untuk menghasilkan suatu produk

yang ramah lingkungan, seperti “Ekstrak Daun Terap sebagai Insektisida Nabati

terhadap Hama Rayap”

B. Rayap sebagai Hama Perusak Kayu

Masyarakat umum sudah mengenal bahwa Rayap adalah serangga yang

merugikan karena merusak (makan) kayu. Di seluruh dunia jenis-jenis Rayap yang

telah dikenal atau dideskripsikan dan diberi nama ada sekitar 2000 spesies

diantaranya 120 spesies merupakan hama, sedangkan di negara kita dari kurang

lebih 200 spesies yang dikenal baru sekitar 20 spesies yang diketahui berperan

sebagai hama perusak kayu serta hama hutan atau hama pertanian. Masyarakat

Indonesia juga sudah mengenal jenis-jenis serangga yang umum disebut Rayap.

Rayap merupakan serangga kecil berwarna putih pemakan selulosa yang sangat

berbahaya bagi bangunan yang dibuat dengan bahan-bahan yang mengandung

selulosa seperti kayu, dan produk turunan kayu (papan partikel, papan serat,

plywood, blockboard, dan laminated board). Rayap merusak bangunan tanpa

memperdulikan kepentingan manusia. Rayap mampu merusak bangunan gedung,

bahkan juga menyerang barang-barang yang disimpan. Untuk mencapai sasaran,

Rayap dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa senti meter (cm),

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

95

menghancurkan plastik, dan kabel penghalang fisik lainnya (Nandika dan Farah

Diba, 2003).

Semula agak mengherankan para pakar bahwa Rayap mampu makan atau

menyerap selulosa karena manusia sendiri tidak mampu mencerna selulosa,

sedangkan Rayap mampu melumatkan dan menyerapnya sehingga sebagian besar

ekskremen (zat sisa) hanya tinggal lignin saja. Keadaan menjadi jelas setelah

ditemukan berbagai protozoa flagellata dalam usus bagian belakang dari berbagai

jenis Rayap (terutama Rayap tingkat rendah: Mastotermitidae, Kalotermitidae dan

Rhinotermitidae), yang ternyata berperan sebagai simbion untuk melumatkan

selulosa, sehingga Rayap mampu mencerna dan menyerap selulosa. Bagi Rayap

yang tidak memiliki protozoa seperti famili Termitidae, bukan protozoa yang

berperan tetapi bakteria. Beberapa jenis Rayap seperti Macrotermes, Odontotermes

dan Microtermes memerlukan bantuan jamur perombak kayu yang dipelihara di

kebun jamur dalam sarangnya.

1. Sistematika Rayap

Secara umum, ada 4 jenis Rayap yang berpotensi merusak bangunan

yaitu dari genus Macrotermes, Coptotermes, Macrotermes dan Cyrptotermes.

Diantara keempat jenis ini, hanya jenis Coptotermes sp. yang paling tangguh

dan mempunyai kecepatan merusak paling cepat. Menurut Tarumingkeng

(1990), kedudukan sistematika Rayap (M. gilvus Hagen) adalah:

Kingdom : Animalia

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Ordo : Isoptera

Family : Termitidae

Genus : Makrotermes

Spesies : Macrotermes gilvus Hagen

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

96

Macrotermes Criptotermes

Microtermes Coptotermes

Gambar 1. Jenis-Jenis Rayap Perusak Kayu

2. Morfologi Rayap

Rayap merupakan serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang

disebut koloni. Komunitas tersebut bertambah efisien dengan adanya spesialisasi

(kasta) dimana masing-masing kasta mempunyai bentuk dan peran yang berada

dalam kehidupannya. Rayap memiliki tubuh yang lunak dengan warna putih dan

memiliki antena yang lurus dan berbentuk manik-manik. Dada dan perut rayap

bergabung dengan ukuran yang hampir sama. Individu Rayap yang bersayap disebut

Laron (sulung, alata, alates) memiliki sepasang sayap yang dalam keadaan diam

sayap diletakkan datar pada abdomen. Cara melipatnya memanjang dan lurus ke

belakang. Sayap depan dan belakang memiliki bentuk, ukuran dan pola pertulangan

yang sama (Nandika dan Farah Diba, 2003).

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

97

Gambar 2. Pembagian Kasta pada Koloni Rayap

C. Perkembangbiakan Rayap

Seperti serangga pada umumnya, rayap merupakan individu seksual yang

terdiri dari rayap jantan yang disebut raja dan rayap betina yang disebut ratu. Proses

reproduksi terjadi di pusat sarang dimana ratu yang mampu hidup sampai 25 tahun

dapat menghasilkan telur hingga jutaan telur pertahun. Ratu mengetahui dan dapat

mengatur individu rayap yang harus dilahirkan sesuai kebutuhan koloninya.

Pejantan atau raja bertanggung jawab untuk membuahi sang ratu. Rayap mengalami

fase-fase pertumbuhan atau metamorfosis. Metamorfosis adalah perubahan yang

terjadi dari telur hingga dewasa. Rayap mengalami metamorfosis tak sempurna atau

hemimetabola yang melalui stadium-stadium seperti berikut:

a. Telur

b. Nimfa, adalah serangga muda yang mempunyai sifat dan bentuk yang sama

dengan dewasanya. Dalam fase ini rayap mengalami pergantian kulit.

c. Imago atau dewasa, adalah fase yang ditandai telah berkembangnya semua organ

tubuh dengan baik, termasuk alat perkembangbiakan serta sayap bagi rayap

reproduktif.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

98

Gambar 3. Siklus Hidup Rayap

D. Tanaman Terap (A. elastica)

Pohon terap adalah sejenis pohon buah dari marga pohon nangka

(Artocarpus). Di Aceh pohon ini disebut Torop, di Jawa Barat disebut Teureup, di

Sunda disebut Benda atau Bendo, di Bali disebut Teep, di Malaysia disebut

Tekalong atau Terap.

Tumbuhan ini merupakan jenis pohon yang tingginya sedang sampai tinggi

sekali, dengan diameter pohon mencapai 45 – 125 cm, tumbuh dan tersebar hampir

di seluruh nusantara. Di Jawa pohon terap tumbuh liar pada ketinggian 1200 m dari

permukaan laut.

Gambar 4. Pohon Terap (A. elastica).

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

99

1. Sistematika Tanaman Terap (A. elastica)

Menurut Heyne (1987), kedudukan sistematika pohon terap adalah:

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Morales

Famili : Moraceae

Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus elastica

2. Kandungan Kimia

Penelitian mengenai kandungan kimia tanaman ini belum banyak

dilakukan sehingga kandungan kimianya masih belum diketahui.

Gambar 5. Daun dan Buah Terap (A. elastica)

E. Insektisida Nabati

Indonesia terkenal kaya akan keanekaragaman hayati termasuk jenis

tumbuhan yang mengandung bahan aktif pestisida (Suanda, 2002). Tumbuh-

tumbuhan mempunyai sifat istimewa yaitu kemampuannya untuk mensintesis

sejumlah besar molekul organik sekunder atau bahan alami melalui metabolisme

sekunder dari bahan organik primer seperti : karbohidrat, lemak dan protein

(Suanda, 2002). Informasi hasil penelitian mengenai jenis tumbuh-tumbuhan ini

sangat diperlukan, sejalan dengan semakin nyatanya bahaya insektisida sintetis

terhadap kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan, maka para peneliti kembali

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

100

ke alam (back to natural) mencari dan meneliti beberapa tanaman yang berpotensi

sebagai insektisida nabati. Tersedianya kekayaan dan keanekaragaman hayati

Indonesia yang cukup, peraturan pendaftaran pestisida alami yang sederhana serta

tersedianya berbagai teknologi sederhana merupakan peluang yang besar untuk

mengembangkan pestisida alami di Indonesia (Suprapta, 2001).

Insektisida nabati memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh

insektisida sintetik. Secara umum Pestisida alami diartikan sebagai suatu pestisida

yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (Suanda, 2002). Pada umumnya

pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan masih mengandung senyawa

kompleks yang relatif kurang stabil terhadap lingkungan dibandingkan dengan

senyawa kimia sintetis. Jenis pestisida ini biasanya hanya terdiri dari C, H, O dan

kadang-kadang N yang mudah terdegradasi oleh alam dan relatif aman bagi

lingkungan (Kardinan,1999) Selain dampak negatif yang ditimbulkan pestisida

sintetik seperti resistensi, resurgensi dan terbunuhnya jasad bukan sasaran, dewasa

ini harga insektisida sintetik relatif mahal dan terkadang sulit untuk memperolehnya.

Di sisi lain ketergantungan akan pentingnya penggunaan insektisida cukup tinggi.

Hal ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit

membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang bisa diker-

jakan di antaranya adalah memanfaatkan tumbuhan yang memiliki khasiat

insektisida khususnya tumbuhan yang mudah diperoleh dan dapat diramu sebagai

sediaan insektisida.

F. Insektisida Sintetis dan Dampak yang Ditimbulkan

Beberapa dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia pada lahan

pertanian yang telah diketahui, diantaranya mengakibatkan resistensi hama sasaran,

gejala resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami, meningkatnya residu pada hasil,

mencemari lingkungan, gangguan kesehatan bagi pengguna, bahkan beberapa

pestisida disinyalir memiliki kontribusi pada fenomena pemanasan global dan

penipisan lapisan ozon (Samsudin, 2008). Penelitian terbaru mengenai bahaya

pestisida terhadap keselamatan nyawa dan kesehatan manusia sangat

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

101

mencengangkan. WHO (World Health Organization) dan Program Lingkungan PBB

memperkirakan ada 3 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-

negara berkembang terkena racun pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya

meninggal setiap tahunnya.. Beberapa pestisida bersifat karsinogenik yang dapat

memicu terjadinya kanker. Berdasarkan penelitian terbaru dalam Environmental

Health Perspective menemukan adanya kaitan kuat antara pencemaran DDT pada

masa muda dengan menderita kanker payudara pada masa tuanya. Menurut NRDC

(Natural Resources Defense Council) tahun 1998, hasil penelitian menunjukkan

bahwa kebanyakan penderita kanker otak, leukemia dan cacat pada anak-anak

awalnya disebabkan tercemar pestisida kimia

III. METODE PENELITIAN

A. Alat dan Bahan

Dalam kegiatan penelitian ini, adapun alat dan bahan yang diperlukan yaitu:

1. Alat

Alat yang diperlukan berupa: cawan petri, priok, kompor, pisau, timbangan

elektrik, sendok/spatula, Waskom plastik/beker glas, saringan/kain kasa,

kertas tissue, kuas gambar, kertas lebel dan alat tulis.

2. Bahan

Bahan yang diperlukan berupa: serangga Rayap, tanah, air aqua dan kayu

kering.

B. Penyediaan Bahan Ekstrak

Ektrak dibuat dari daun Terap (A. elastica) yang sudah tua yang diperoleh di

areal dekat tempat tinggal penulis yaitu di Br. Pitik Kelurahan Pedungan, Denpasar

Selatan. Daun Terap yang sudah tua di cuci bersih, kemudian dipotong-potong

menjadi bagian yang lebih kecil kira-kira 1 cm selanjutnya dikeringanginkan selama

2 jam. Daun Terap (A. elastica) tersebut ditimbang seberat 200 gram ditambahkan

air 1000 ml, selanjutnya dipanaskan pada suhu kamar (40o

C) selama 5 menit,

kemudian didinginkan. Air rebusan tersebut setelah dingin disaring dengan saringan

atau kain kasa, sehingga mendapatkan cairan berwarna kuning kemerahan (seperti

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

102

warna teh) yang diduga mengandung metabolit sekunder dari daun Terap (A.

elastica), selanjutnya disebut ekstrak kasar daun Terap (crude extrac) konsentrasi

20%. Ekstrak daun Terap tersebut di tuangkan pada beker gelas.

C. Pengujian Ekstrak Daun Terap terhadap Hama Rayap

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan secara eksperimental yang terdiri atas

dua variabel, yaitu variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen).

Sebagai variabel bebas adalah aktivitas ekstrak daun Terap (A. elastica), sedangkan

variabel terikatnya berupa penurunan berat kayu yang dimakan oleh hama Rayap.

Penurunan berat kayu yang dimakan hama Rayap diperoleh dengan mengurangi

berat kayu awal dengan berat kayu setelah dimakan Rayap selama 48 jam pada

perlakuan kontrol (P0) dan perlakuan eksperimen (P1), kemudian hasil pengurangan

tersebut dibandingkan dengan selisih berat kayu perlakuan kontrol (P0) awal dengan

berat kayu yang dimakan Rayap setelah 48 jam, yaitu dengan mengurangi berat

kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan ekstrak daun Terap (P1) dengan berat

kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan kontrol (P0).

Hama Rayap diperoleh dan dikumpulkan dari kayu yang dimakan Rayap

sebanyak 200 ekor. Rayap tersebut dipelihara selama 2 hari dalam kardus berisi

makanan berupa kayu kering, tujuan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru,

sehingga Rayap tersebut siap untuk dijadikan serangga uji.

Dalam kegiatan penelitian ini, penulis hanya menggunakan 2 perlakuan yaitu

perlakuan kontrol (P0) hanya menggunakan air (aqua) dan perlakuan eksperimen

(P1) menggunakan ekstrak daun Terap, yang masing-masing diulang sebanyak 3

kali, sehingga percobaan berjumlah 6, yaitu 3 perlakuan kontrol (P0) dan 3

perlakuan ekstrak (P1). Cawan petri yang sudah bersih disiapkan sebanyak 6 buah (3

cawan petri untuk P0 dan 3 cawan petri untuk P1). Pada masing-masing cawan petri

itu diisi tanah yang agak lembab untuk mengkondisikan Rayap sesuai habitat

hidupnya.

Kayu lapuk, ditimbang masing-masing beratnya 2 gram untuk 20 ekor Rayap,

sebanyak 6 kali sesuai percobaan pendahuluan yang pernah dilakukan Suanda,

(2010). Kayu tersebut dibagi untuk perlakuan kontrol dan perlakuan ektrak yang

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

103

masing-masing berjumlah 3 buah. Untuk perlakuan ekstrak (P1) kayu seberat 2

gram tersebut masing-masing dicelupkan ke dalam ekstrak daun Terap selama 5

detik, kemudian dikeringanmginkan selama 60 menit di atas kertas tissue,

sedangkan perlakuan kontrol (P0) masing-masing kayu hanya dicelupkan ke dalam

air (aqua). Setelah kering kayu tersebut masing-masing diletakkan dalam cawan

petri dengan memberi alas plastik bening pada kayu tersebut, dan memberi kertas

lebel pada masing-masing cawan petri. Selanjutnya pada masing-masing cawan petri

diinvestasikan (dimasukkan) serangga Rayap sebanyak 120 ekor dipilih yang

memiliki ukuran sama dan sehat, kemudian dipuasakan selama 60 menit.

Selanjutnya Rayap diambil sebanyak 20 ekor untuk diinvestasikan ke dalam masing-

masing cawan petri yang telah disiapkan.

P0 a P0 b P0 c

P1 a P1 b P1 c

Gambar 6. Aktivitas Ekstrak Daun Terap (A. elastica) sebagai Antifidan

terhadap Rayap (M. gilvus (Hagen)).

Keterangan : P0 = Perlakuan kontrol

P1 = Perlakuan ekstrak daun Terap

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

104

Pengamatan mortalitas Rayap dan penurunan berat kayu yang dimakan

dilakukan 24 jam setelah investasi serangga. Penghitungan rata-rata mortalitas rayap

dilakukan dengan cara penghitungan langsung terhadap objek, sedangkan untuk

menghitung rata-rata penurunan berat kayu yang dimakan rayap digunakan neraca

elektrik yang merupakan timbangan yang standar, dengan menggunakan rumus:

Keterangan :

PA = Penurunan aktivitas makan Rayap (%)

Bmp = Berat kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan (gram)

Bmk = Berat kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan kontrol (gram).

(Prijono, 1988 dalam Suanda, 2002)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan hasil pengamatan terhadap

mortalitas Rayap selama 24 jam setelah aplikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan data

berat kayu yang dimakan Rayap selam 24 jam setelah aplikasi disajikan pada Tabel

2 berikut.

Tabel 1

Rata-Rata Mortalitas Rayap 24 Jam Setelah Aplikasi

Perlakuan

Ulangan (ekor)

I II III

Mortalitas

Rayap

Mortalitas

Rayap

Mortalitas

Rayap

Kontrol 0 0 0

Ekstrak Daun Terap 0 0 1

%100)1( xBmk

BmpPA

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

105

Tabel 2.

Rata-Rata Berat Kayu yang dimakan Rayap 24 Jam

Setelah Aplikasi (mg)

Perlakuan

Ulangan (gram)

I II III

Berat kayu Berat kayu Berat kayu

Kontrol 1,75 1,80 1,65

Ekstrak Daun Terap 0,08 0,10 0,08

B. Pembahasan

Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dijelaskan bahwa pada perlakuan kontrol

(P0) jumlah Rayap yang mati tidak ada (0%), sedangkan pada perlakuan ekstrak

daun Terap jumlah Rayap yang mati berjumlah 1 ekor atau sebesar 0,33%. Adanya

kematian Rayap sebesar 0,33 % belum bisa dikatagorikan senyawa kimia yang

terkandung dalam ektrak daun Terap sebagai racun atau pembunuh Rayap. Hal ini

sesuai dengan pendapat Prijono dkk. (1998) bahwa mortalitas larva Croccidolomia

binotalis instar III yang mencapai 33,9% sampai dengan 43,9% pada pemberian

ekstrak biji mahoni, belum cukup sebagai pembunuh, tetapi lebih bersifat

menghambat pertumbuhan. Lebih lanjut dinyatakan oleh Muron dan Norton (1984)

dalam Laba dan Soekarna (1986), melaporkan bahwa suatu senyawa dikatakan

efektif bila mampu membunuh 80% atau lebih serangga uji.

Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dijelaskan pada perlakuan kontrol terjadi

berat kayu yang dimakan sebesar rata-rata 1,73 gram selama 24 jam setelah aplikasi,

sedangkan pada perlakuan ektrak daun Terap terjadi berat kayu yang dimakan

Rayap rata-rata 0,09 gram. Adanya selisih berat kayu yang dimakan Rayap antara

perlakuan kontrol (P0) dengan perlakuan ektrak daun Terap (P1) sebesar 1,64 gram

sebagai tanda terjadinya penurunan berat kayu yang dimakan oleh Rayap selam 24

jam setelah aplikasi. Penurunan berat kayu yang dimakan Rayap selama 24 jam

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

106

setelah aplikasi sebesar 1,64 gram dari berat kayu awal yaitu 2 gram menunjukkan

perbedaan yang sangat signifikan (sangat nyata). Penurunan berat kayu yang

dimakan oleh Rayap sebesar 1,64 gram terhadap kontrol menunjukkan bahwa pada

perlakuan (P1) mengandung senyawa aktif yang bersifat antifidan (penurunan nafsu

makan) Rayap pada kayu yang dicelupkan ke dalam ekstrak daun Terap, sehingga

ekstrak terap berpotensi dijadikan sebagai bahan tir (cat) kayu.

C. Simpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan tersebut di atas, maka dapat

diambil suatu simpulan bahwa

1. Dongeng yang diberikan dalam pembelajaran di sekolah dapat

menumbuhkan sikap ilmiah dan pendidikan karakter serta pelestarian

budaya.

2. Ektrak daun Terap (A. elastica) dapat bersifat antifidan dengan

menurunkan nafsu makan Rayap, sebesar 1,64 gram.

D. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas dapat

disarankan bahwa :

1. Perlu diberikan pelajaran Dongeng di sekolah untuk meningkatkan

pelestarian budaya dan pendidikan karakter serta tumbuhnya ide inovatif

untuk mengembangkan sikap ilmiah siswa, sehingga siswa kreatif untuk

mencoba dan menghasilkan suatu pengetahuan baru berupa teori baru.

2. Ekstrak daun Terap dapat direkomendasikan untuk dijadikan bahan “Teer”

agar serangan Rayap tidak terjadi pada perabotan rumah tangga

DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2009. Tanaman Obat Indonesia Available at: http//: www.

Iptek.net.id/index.php.id=12.ch=pd Opened: 15-3-2009.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

107

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Beruna Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan. Departemen Kehutanan. Vol. I –IV

Huton, P. and Reilly. 2001. Biopesticides. United States Enviromental Production

Agency. Pp 1-3.

Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Bogor.Penebar

Swadaya.

Laba, I W. dan D. Soekarno. 1986. Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura) pada

Berbagai Instar Perlakuan Insektisida pada Kedelai. Seminar Hasil

Penelitian Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan

Tanaman Pangan. Jakarta.

Nandika, D. Yudi R. dan Farah Diba. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya.

Harun JP. Ed Surakarta. Muhamandyah Univ. Press.

Prijono, D. 1998. Insecticidal Activity of Meliaceous seed Extracts Againts

Crocidolomia binotalis Zeller. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan

Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Vol. 10 No. 1.

Suanda, I Wayan. 2002. Aktivitas Insektisida Ektrak Daun Brotowali (Tinospora

crispa L) terhadap Larva Plutella xylostella L. pada Tanaman Kubis.

Tesis. Program Pascasarjanan. Denpasar. Universitas Udayana.

_____,. 2010. Uji Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Terap (Artocarpus elastica)

terhadap Hama Rayap (Macrotermes gilpus (Hagen)) sebagai pemakan

Kayu (dalam Majalah Ilmiah Mahawidya Saraswati UNMAS

Denpasar No. 71, Januari - Juni 2010).

Suprapta, D.N. 2001. Meninjau Kembali Kebijaksanaan Penggunaan Pestisida pada

Lahan Pertanian. Pertanian Masa Depan: Kembali ke Pupuk Nabati.

Yayasan Manikaya Kauci.

Taruminangkeng, Rudy C. 1990. Biologi dan Pengenalan Rayap Perusak Kayu

Indonesia. Lap. L.P.H. No. 138. 28p.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

108

PERBEDAAN PENGARUH EKSTRAK GAMBIR (Uncaria gambir) DAN

GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP DAYA SIMPAN BUAH

CABAI MERAH BESAR (Capsicum annuum)

Oleh

I Gusti Ayu Rai

Dosen FPMIPA IKIP PGRI BALI

ABSTRACT

Gambier plant (Uncaria gambier) and aloe vera (Aloe vera) may be used as

a natural preservative, especially for the shelf life of fruit. This is possible because

the gambier plant contains catechins, flavonoids, tanning substances, a number of

alkaloids like gambirtanin allegedly capable of inhibiting the damage caused by

microorganisms and oxidation degradation. Similarly, aloe vera and wax coating

containing oxidase which acts as an antioxidant that has the potential to slow down

and inhibit the growth of microorganisms in food.

The purpose of this study was to determine the effects difference gambier

extract, aloe vera gel and mix gambier extract and aloe vera gel to keep the big red

chilies. Furthermore this study aims to determine the most optimal effect of the

extract on the shelf life of red chilies.

Data collected in this study is a quantitative difference chilies weight

(grams) on the first day by day 14, and the qualitative data about the signs of decay

in pepper fruit such as texture (wrinkles), blacking, the growth of mold, and

discharge. To obtain the data used the method of observation and recording of direct

observations. Data on the weight of a large red chilies, analyzed with a statistical

hypothesis testing using the One Way ANAVA. Based on the analysis of data was

obtained F0 value is 11.40029, where the value is greater than the rejection of the

null hypothesis at 5% significance level is 4.49, and at 1% significance level is 5.95.

It can therefore be interpreted that there are differences in the influence of gambier

extract and aloe vera gel to keep the big red chilies (C. annuum). Among the three

natural preservatives, which gives the best effect on the shelf life of red chilies are

the aloe vera gel. This can be supported by qualitative data during the observation,

that the signs of decay that occurs at least chilies are given treatment with extracts of

aloe vera gel (Aloe vera), and the most common on pepper fruit extracts are not

given the treatment (control).

Key words : gambier extract, aloe vera gel, the shelf life of red chilies.

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Hasil pertanian berupa buah dan sayuran pada umunya mudah mengalami

kerusakan. Kerusakan ini dapat disebabkan karena kurang hati-hati dalam

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

109

menangani hasil pertanian tersebut, terutama saat pasca panen. Di samping itu

kerusakan juga disebabkan oleh mikroba, baik yang berasal dari tanah, air, udara,

serangga maupun hewan. Mikroba dapat tumbuh pada permukaan buah tanaman.

Apabila ada kerusakan fisik, maka kerusakan oleh mikroba dapat berkembang

dengan cepat. Cara pemanenan yang kurang baik menyebabkan keluarnya cairan

buah yang berisi nutrien, sehingga cairan tersebut dapat digunakan oleh mikroba

yang menyebabkan mikroba cepat tumbuh dan memudahkan penetrasi ke dalam

jaringan tanaman, termasuk pada buah cabai (Dwiari, 2008).

Cabai merupakan salah satu komoditas pangan yang keberadaannya tidak

dapat ditinggalkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bumbu dapur,

industri saos, industri bubuk cabai, industri mie instan, sampai industri farmasi

menggunakan cabai sebagai bahan baku utamanya. Kandungan gizi buah cabai

sangat tinggi dan baik bagi kesehatan karena mengandung banyak karbohidrat,

lemak, protein, vitamin, dan mineral. Namun karena adanya kandungan minyak

atsiri yang bersifat ”membakar” maka cabai berasa pedas dan dilupakan kandungan

gizinya. Bisa dikatakan bahwa cabai, yang paling pedas sekalipun kandungan

gizinya relatif setara dengan sayur dan buah-buahan lain (Warisono, 2010). Dari

kandungan gizi dan organoleptik yang terdapat pada cabai, maka kebutuhan akan

cabai terus meningkat.

Produksi cabai dapat dipengaruhi oleh iklim seperti iklim hujan yang

berkepanjangan, sehingga perlu adanya teknologi pangan sebagai upaya untuk

mengawetkannya. Teknologi pangan sangat dibutuhkan untuk mencegah aktivitas

mikroorganisme ataupun mencegah proses peluruhan yang terjadi sesuai dengan

pertambahan waktu, agar kualitas makanan senantiasa terjaga sesuai dengan harapan

konsumen. Walaupun banyak pengawet sintetis yang bisa digunakan namun

penggunaannya sering tanpa mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan

konsumen. Untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan oleh bahan

pengawet sintetis maka perlu adanya alternatif lain yang dapat menggantikan

pengawet sintetis, salah satunya adalah ekstrak gambir (Uncaria gambir) dan gel

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

110

lidah buaya (Aloe vera). Gambir memiliki kandungan katekin yang dapat

mengawetkan bahan pangan dari kerusakan akibat mikroorganisme dan degradasi

reaksi oksidasi (Anonim, 2011). Lidah buaya juga memiliki kandungan berupa

enzim oksidase yang dapat dimanfaatkan sebagai anti oksidan, yang menekan reaksi

yang terjadi pada saat pangan berkontak dengan oksigen, sinar panas, dan beberapa

logam sehingga dapat mencegah terjadinya kebusukan (Anonim, 2011). Penelitian

ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh pelapisan antara yang

menggunakan ekstrak gambir (Uncaria gambir) dengan yang menggunakan gel

lidah buaya (Aloe vera) terhadap daya simpan cabai merah besar (Capsicum anuum).

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum tentang Tanaman Cabai (Capsicum anuum)

Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dengan batang tidak berkayu.

Biasanya batang akan tumbuh sampai ketinggian tertentu, kemudian membentuk

banyak percabangan. Untuk jenis cabai besar, panjang batang dapat mencapai 2

meter bahkan lebih. Batang tanaman cabai berwarna hijau tua, atau hijau muda.

Pada batang-batang yang telah tua, akan muncul warna cokelat seperti kayu. Ini

merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim.

Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun

yang berbentuk oval, lonjong, bahkan ada yang lanset. Warna permukaan daun

bagian atas biasanya hijau muda, hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan

permukaan daun pada bagian bawah, umumnya berwarna hijau muda atau hijau

pucat. Permukaan daun cabai ada yang halus dan adapula yang berkerut-kerut.

Ukuran panjang daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-5 cm.

Tanaman cabai berakar serabut dan biasanya terdapat bintil-bintil yang

merupakan hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Meskipun tidak

memiliki akar tunggang, namun ada beberapa akar tumbuh ke arah bawah yang

berfungsi sebagai akar tunggang semu.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

111

Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama

yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub kelas

Asteridae (berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun dalam

keadaan tunggal atau bergerombol di dalam tandan.

Buah cabai merupakan bagian tanaman yang tidak dapat dipisahkankan dari

kebutuhan manusia sehari-hari, terutama sebagai bumbu karena buah cabai dapat

memberikan organoleptik yang dapat menentukan rasa dalam masakan. Dalam buah

cabai terkandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin C, vitamin E, vitamin K,

fitosterol, betakaroten, betacryptoxanthin, mineral, dan minyak atsiri yang

memberikankan rasa pedas.

2.2 Tinjauan tentang Tanaman Gambir (Uncaria gambir)

Gambir termasuk tumbuhan perdu setengah merambat dengan percabangan

memanjang. Ciri-ciri dari tanaman ini adalah daunnya berbentuk oval, memanjang,

ujung meruncing, permukaan tidak berbulu (licin), dengan tangkai daun pendek.

Bunganya tersusun majemuk dengan mahkota berwarna merah muda atau hijau,

buah berupa kapsula dengan dua ruang.

Kandungan yang utama adalah flavonoid (terutama gambiriin), katekin

(sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid, seperti

gambirtannin. Selain itu gambir dijadikan obat-obatan modern, sebagai pewarna cat,

pewarna pakaian, dan sebagai komponen menyirih. Fungsinya yang tengah

dikembangkan saat ini adalah sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel. Di

samping itu secara alami para produsen makanan menggunakan tanaman ini sebagai

pengawet makanan, karena dalam daunnya terdapat kandungan katekin yang dapat

mengawetkan bahan makanan atau makanan dari kerusakan akibat mikroorganisme

dan degradasi reaksi oksidasi (penyebab basi).

2.3 Tinjauan tentang Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera)

Tanaman lidah buaya termasuk semak rendah, tergolong tanaman yang

bersifat sukulen, akar serabut, batang pendek, daun berbentuk tombak, tidak

bertulang daun, berdaging tebal, mempunyai lapisan lilin, bermelingkar (roset), serta

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

112

bunga berbentuk lonceng. Tanaman ini di Indonesia terkenal sebagai bahan baku

kosmetik, terutama sebagai penyubur rambut.

Berdasarkan hasil penelitian tanaman ini kaya akan kandungan zat-zat

seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan komponen lain yang

sangat bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, Lidah Buaya berkhasiat sebagai anti

inflamasi, anti jamur, anti bakteri, dan membantu proses regenerasi sel (Wahyono

dan Kusnandar, 2002).

Salah satu zat yang terkandung dalam lidah buaya adalah aloe emoidin

sebuah senyawa organik dari golongan antrokuinon yang mengaktivasi jenjang

sinyal insulin seperti pennyerap insulin-beta dan -substrat1, fosfatidil insitol-3

kinase dan meningkatkan laju sintetis glikogen dengan menghambat glikogen

sintase kinase3beta¹ sehingga sangat berguna untuk mengurangi rasio gula darah.

Khasiat lainnya adalah sebagai antibakteri (Staphylococcus aureus, Streptococcus

pyogens), sebagai antiinflamasi, dan antiviral HIV).

Potensi lidah buaya sangat baik untuk terus dikembangkan, salah satunya

adalah sebagai bahan pengawet alami. Kandungan enzim oksidase yang ada

didalamnya dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan dalam peningkatan daya simpan

bahan pangan, sehingga bahan pangan menjadi lebih awet atau tahan lama.

Pengawetan sendiri bertujuan untuk menghambat terjadinya pembusukan bahan

pangan dan menjamin kualitas bahan pangan agar tetap terjaga selama mungkin.

Lidah buaya sebagai antioksidan yang mengandung beragam antibiotik dan zat-zat

pengawet akan menekan reaksi yang terjadi pada saat pangan berkontak dengan

oksigen, sinar panas dan beberapa logam sehingga dapat mencegah terjadinya

kebusukan dan munculnya noda-noda hitam pada produk pangan. Di samping itu gel

lidah buaya yang mengandung lapisan lilin mampu menjaga kualitas pangan dengan

baik (Wahyono dan Kusnandar, 2002).

2.4 Kerusakan Bahan Pangan

Pangan dinyatakan mengalami kerusakan jika telah terjadi perubahan-

perubahan yang tidak dikehendaki dari sifatnya. Kerusakan dapat terjadi karena

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

113

kerusakan fisik, kimia, enzimatis. Namun secara umum, kerusakan pangan

disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tumbuhnya bakteri, kamir

atau kapang pada pangan yang dapat merusak protein sehingga, mengakibatkan bau

busuk, dan juga dapat membentuk lendir, gas, busa, asam ataupun racun (Anonim,

2006).

Suatu bahan pangan dinyatakan rusak jika terjadi penyimpangan yang

melewati batas dapat diterima secara normal oleh panca indra atau parameter lain

yang biasa dilewatkan. Beberapa bahan dianggap rusak bila menunjukan

penyimpangan organoleptip serta tekstur dari keadaan normal. Misalnya suatu bahan

pangan dalam keadaan normal kental tetapi bila berubah menjadi encer maka

dikatakan mengalami kerusakan.

Penyebab utama kerusakan bahan pangan meliputi pertumbuhan dan

aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri, kapang dan kamir. Faktor-faktor ini

sangat sulit diisolasi di alam misalnya bakteri, insekta, sinar, dapat secara kontinu

menimbulkan kerusakan baik selama di lapangan maupun di gudang. Faktor panas,

kadar air, dan udara salin dapat menyebabkan kerusakan dan dapat juga menunjang

aktivitas mikroba.

Selama proses pemanenan, penyinaran dan pengangkutan ke pasar, buah

dan sayuran berpeluang terkontaminasi bahan kimia pertanian seperti residu

pestisida, antibiotik pertanian, pupuk dan bahan perangsang tumbuh. Karena itu

sebelum diolah dan dikonsumsi, buah dan sayuran harus dicuci terlebih dahulu

dengan air bersih. Kerusakanjuda sering terjadi karena benturan fisik, serangan

serangga dan serangan mikroorganisme. Buah dan sayuran yang rusak terlihat

busuk, berubah warna dan rasa, serta berlendir (Dwiari, 2008).

III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan

rancangan acak lengkap (RAL). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah

data kuantitatif yang berupa selisih berat buah cabai dari hari pertama sampai hari ke

14, dan data kuantitatif yang berupa tanda-tanda kebusukan seperti: 1) tekstur, 2)

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

114

munculnya plek-plek hitam, 3) tumbuhnya jamur, dan 4) data tentang keluarnya

cairan pada buah cabai merah besar (C. Anuum). Metode yang digunakan dalam

mengumpulkan data adalah metode observasi yang dilakukan selama dua minggu

(14 hari). Hipotesis yang diajukan adalah hipotesis alternatif (H1) yang menyatakan

bahwa ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. Gambir) dan ekstrak gel lidah

buaya (A.vera) terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. Anuum). Jumlah

populasi yang digunakan adalah 1000 buah cabai merah besar, dan dari jumlah

tersebut ditetapkan sebagai sampel sebanyak 560 buah untuk empat kali ulangan.

Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik random sederhana

yang diambil secara acak. Sampel yang telah ditetapkan dibagi menjadi empat

kelompok yaitu kelompok 1 (P0) sebagai kontrol, kelompok 2 (P2) diberikan

perlakuan dengan ekstrak gambir, kelompok 3 (P3) diberikan perlakuan dengan gel

lidah buaya, dan kelompok 4 (P4) diberikan perlakuan dengan campuran ekstrak

gambir dan lidah buaya. Masing-masing kelompok terdiri dari 35 buah cabai

sehingga total sampel yang digunakan dalam setiap perlakuan untuk empat kali

ulangan adalah 140 buah cabai merah besar.

3.2 Teknik Analisis Data

Data yang telah diperoleh melalui observasi yang berupa data kuantitatif

dan kualitaf dimasukan ke dalam tabel kerja. Selanjutnya untuk data kuantitatif yaitu

mengenai selisih berat buah cabai dianalisis secara statistik dengan menggunakan

analisis komparatif k sampel berkorelasi. Pengujian hipotesis menggunakan One

Way Anava, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan interpretasi dan uji

Tukey’s HSD.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Deskripsi Data

Sebelum dianalisis masing-masing data dimasukkan ke dalam tabel kerja

sebagai berikut.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

115

Tabel 01

Selisih Berat Buah Cabai antara Hari Pertama

dengan Hari ke 14 (gram)

No Ulangan Po P1 P2 P3 Total

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

1 Percobaan I 181 146 106 149

2 Percobaan II 180 78 60 111

3 Percobaan III 168 81 45 87

4 Percobaan IV 162 72 39 90

Jumlah 691 377 250 437 1755

Keterangan :

Po : Cabai yang tidak dilapisi apa-apa (kontrol).

P1 : Cabai yang dilapisi Ekstrak gambir (U. gambir)

P2 : Cabai yang dilapisi gel lidah buaya (A. vera)

P3 : Cabai yang dilapisi campuran ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah

buaya (A.vera).

Tabel 02

Data Tentang Tekstur Buah Cabai pada Percobaan I sampai IV (biji)

Pengamatan Hari

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Kelompok I 4 16 31 55 70 83 99 117 129 137 140

Kelompok II 9 30 34 54 61 77 87 101

Kelompok III 4 18 30 37 60

Kelompok IV 11 37 46 60 69 88 102 114 120

Tabel 03

Data Tentang Plek-plek Hitam Buah Cabai pada

Percobaan I sampai IV (biji)

Pengamatan Hari

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Kelompok I 3 4 10 17 42 60 71 82 88

Kelompok II 1 6 12 15 23

Kelompok III 4 10 16

Kelompok IV 1 3 6 16 23 30 43

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

116

Tabel 04

Data Tentang Tumbuhnya Jamur pada Buah Cabai

pada Percobaan I sampai IV (biji)

Pengamatan Hari

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Kelompok I 19 56 65 65

Kelompok II 10 19 24

Kelompok III 5 6 14

Kelompok IV 14 27 34

Tabel 05

Data Tentang Keluarnya Cairan pada Buah Cabai

pada Percobaan I sampai IV (biji)

Pengamatan Hari

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Kelompok I 15 28 31 45

Kelompok II 4 6 10 13

Kelompok III 1 3 5

Kelompok IV 6 8 12 24

4.2 Analisis Data

Data tentang selisih berat buah cabai dari hari pertama sampai hari ke 14

yang telah diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan teknik One Way Anava.

Setelah melalui beberapa prosedur pengujian maka diperoleh hasilnya sebagai

berikut.

Tabel 06

Tabel Ringkasan dari Hasil Analisis Data dengan

Teknik One Way Anova

No Sumber

Variance dk SS MS Fo Ft Interpretsi

1 Antar

Kelompok

3 25768,19 8589,39

11,40029

F0,05

3,49

Signifikan

2 Dalam

Kelompok

12 9041,24 753,436 F0,01

5,95

Signifikan

3 Total

15 34809,43

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

117

Hasil pengujian dengan teknik One Way Anava kemudian disubstitusikan

ke dalam rumus analisis varians (ANOVA) satu jalur dengan bantuan program SPSS

10.0 for windows . Ringkasan hasil perhitungan analisis varians satu jalur untuk uji

hipotesis adalah sebagai berikut.

Tabel 30 Ringkasan Hasil Analisis Varians

ANOVA

CABAI

25768.188 3 8589.396 11.355 .001

9077.250 12 756.438

34845.438 15

Between Groups

Within Groups

Total

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

A. Interpretasi Hasil Pengujian Hipotesis

Berdasarkan hasil analisis data ternyata diperoleh nilai Fo adalah 11,40029

sedangkan nilai batas penolakan hipotesis nol (Ho)v1=3 dan v2=12 dengan taraf

signifikan 5% adalah 3,49 dan taraf signifikan 1% adalah 5,95. Hal ini menunjukkan

bahwa Fo yang diperoleh lebih besar dari batas penolakan Ho, sehingga Ho yang

diajukan ditolak dan H1 diterima. Oleh karena itu dapat diinterpretasikan ”bahwa

ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya (A. vera)

terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum)”. Hasil pengujian

dengan SPSS 10 for windows juga menunjukan kesesuaian yaitu sebesar 11,355.

Setelah diperoleh data tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisis lanjutan

ANOVA, yang disebut dengan Pasca Anava (post hoc), yaitu Tukey’s HSD, dengan

rumus :

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

118

1. Hitung Tukey‟s HSD

X1 X2 X3 X4

X1 X 78,5 110,25 63,5

X2 78,5 X 31,75 15

X3 110,25 31,75 X 46,75

X4 63,5 15 46,75 X

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis data ternyata diperoleh nilai Fo adalah 11,40029

sedangkan nilai batas penolakan hipotesis nol (Ho)v1=3 dan v2=12 dengan taraf

signifikan 5% adalah 3,49 dan taraf signifikan 1% adalah 5,95. Hal ini menunjukkan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

119

bahwa Fo yang diperoleh lebih besar dari batas penolakan Ho, sehingga, Ho yang

diajukan ditolak dan H1 diterima. Oleh karena itu dapat dikatakan ” bahwa ada

perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya (A. vera)

terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum)”. Hasil pengujian

dengan SPSS 10 for windows juga menunjukan kesesuaian yaitu sebesar 11,355.

Hasil yang ditunjukkan oleh analisis lanjutan ANAVA, yang sering disebut

dengan Pasca Anava (post hoc), yaitu Tukey’s HSD adalah sebesar 57,642. Hal ini

berarti, diperoleh nilai yang lebih besar dari HSD (57,642), sehingga dapat dikatakan

mempunyai perbedaan secara signifikan, yang ditunjukkan oleh gel lidah buya (X3)

dengan hasil perbedaan rata-rata antar kelompok sebesar 110, 25. Dilanjutkan

dengan ekstrak gambir (X2) dengan hasil perbedaan rata-rata antar kelompok

sebesar 78,5 dan campuran ekstrak gambir dan gel lidah buaya (X4) dengan hasil

perbedaan rata-rata antar kelompok sebesar 63,5. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa yang memberikan pengaruh yang paling baik terhadap daya

simpan buah cabai merah besar adalah gel lidah buaya (A. Vera).

Dari data kualitatif yang diperoleh melalui observasi menunjukkan adanya

kesesuaian, bahwa tanda-tanda kebusukan secara berturut-turut mulai dari yang

paling ringan sampai yang paling parah adalah buah cabai yang diberikan ekstrak

lidah buaya yang diikuti dengan buah cabai yang diberikan ekstrak gambir, buah

cabai yang diberikan campuran ekstrak lidah buaya dan ekstrak gambir, dan buah

cabai yang tidak diberikan perlakuan (kontrol).

Buah cabai yang dilapisi dengan gel lidah buaya memiliki pengaruh yang

paling baik dalam menjaga kualitas cabai dalam penyimpanan. Gel lidah buaya

mampu mempertahankan keawetan buah karena gel lidah buaya memiliki

kandungan enzim oksidase yang berperan sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan,

zat-zat pengawet akan menekan reaksi yang terjadi pada saat pangan berkontak

dengan oksigen, sinar panas dan beberapa logam sehingga dapat mencegah

terjadinya kebusukan dan munculnya noda-noda hitam pada produk pangan. Gel

lidah buaya dapat membuat lapisan seperti lilin sehingga buah tetap dapat terjaga

kualitasnya dan menjadi lebih awet (Wahyono dan Kusnandar, 2002). Berbeda

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

120

halnya dengan ekstrak gambir, kandungan utamanya adalah flavonoid (terutama

gambiriin), katekin (sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid,

seperti gambirtannin. Secara alami para produsen makanan sering menggunakan

tanaman ini untuk pengawet bahan pangan. Hal ini sangat dimungkinkan karena

daun tanaman gambir terdapat sebuah kandungan katekin yang dapat mengawetkan

makanan dan bahan pangan dari kerusakan akibat mikroorganisme dan degradasi

reaksi oksidasi.

III. PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut.

1. Ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya

(A.vera) terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum).

2. Di antara ketiga bahan pengawet alami tersebut yang memberikan pengaruh

paling optimal terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum),

adalah gel lidah buaya (A. vera).

3.2 Saran-saran

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dikemukakan beberapa saran

yaitu :

1. Bagi masyarakat disarankan untuk menggunakan gel lidah buaya (A. Vera) dan

ekstrak gambir (U. gambir) sebagai salah satu upaya untuk mengawetkan buah,

karena disamping lebih ekonomis bahan pengawet alami ini aman bagi

kesehatan dan lingkungan.

2. Karena dalam penelitian ini hanya meneliti selisih berat dan tanda-tanda

kerusakan pada buah cabai yang dilapisi ekstrak gambir, gel lidah buaya dan

campuran ekstrak gambir dan gel lidah buaya, maka penulis menyarankan

kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan agar dapat menemukan

dan mengungkap pengaruh variabel-variabel lainnya.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

121

DAFTAR RUJUKAN

Bukcle, Edwards, Fleet dan Wooton, 2007. Ilmu Pangan, Universitas Indonesia (UI-

Press), Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pengawet Alami Pengganti

Formalin, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dwiari, 2008 pada Warisono, 2010. Peluang dan Usaha Budidaya Cabai, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Hasan, Iqbal, 2004. Analisi Data Penelitian dengan Statistik, Bumi Aksara, Jakarta.

Irianto, Agus, 2009. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya, Kencana, Jakarta.

Margono, S, 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.

Sanders, 1998. dalam Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai,

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sugiyono, 2009. Statistik Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.

Wahyono dan Kusnandar, dalam Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya

Cabai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

122

MINIMARKET AND CONSUMER CULTURE

IN DENPASAR SOCIETY

By

I Wayan Adnyana

IKIP PGRI BALI

Abstract

The management of minimarket network is a business conduted in the field

of minimarket business through a whole system of management and distribution of

goods to the outlet of the network. Consumer culture can be seen as a culture that

flourished from individuals and families to the community of a country and even

parts of the world community. Meeting the needs of goods and services in an effort

to maintain life known as consumption, but consumerism is defined as a lavish

(more than it is supoosed to be) consumption activities. The presence of media,

advertising is able to encourage consumerism in urban communities, which

gradually turning into urban lifestyle that is more oriented on imaging.

Key words : minimarket, consumerism, imaging (image)

I. INTRODUCTION

Complexity and changes has become an important feature of contemporary

industrial society. Complexity that permeates all aspects of life, such as trading

systems, global marketing, long-distance communication via electronic networks are

very sophisticated, all of which make this world more and more narrow.

Globalization in relations to products that will dominate the market, are products

that have quality and global prices. Products that are not served by the quality and

global prices will tend to be abandoned and eliminated from the market (Revrison

Baswir, 1999: 83). Small businesses continue to experience marginalization, which

in turn will create a small society increasingly driven by efforts that are much more

highly capitalized, with instant service. Socio-economic and cultural transformation

is a very interesting study. The technological revolution of electronic and

communication technologies have a connection with various parts of the world. As a

result, the "consumer culture" trend growth in the cities. In this process of

consumption, it is an important factor in the change order and the order of symbolic

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

123

value. In this trend of identity and subjectivity do transformation, both related to the

issue of integration and nationalism.

Logic of late capitalism no longer needs to produce objects as much as

possible with minimum cost, but produces the need through the creation of images

(image) by advertising agencies. Mass culture or popular culture is the culture that

produced for ordinary people, ordinary people in this approach is considered as a

share of the market, consumers in a focus group of pop culture described certain

commodities (Adlin, 2006:121).

In today's consumer society, various new logic of consumption model developed and

that development fundamentally changed the relationship between the consumer and

the object or product. In a developing society, object is no longer bound to the logic

of utility, functionality and requirements (needs), but on what is called as the logic

of signs (logic of sign) and image logic (logic of image). Indonesia‟s consumptive

behavior is excessive compared with the nations of Southeast Asia. This can be seen

from the low level of private savings. Consumerism is often defined as lavish

consumption.

Denpasar as the metropolis and center of Bali, is certainly experiencing a

numerous variety of social, cultural and economic developments. To meet the needs

of society, with economic activity of nearly 24 hours a day, in which the consumer

has changed from buying products to buying the image of the product, it is certainly

the opportunity which not wasted by the owners of capital, to open a minimarket.

With instan standard products and services. Consumption process is now dominated

by the pleasure principle, in which the essential meaning is no longer that important.

A commodity became popular is not because for whom the goods were producted,

but rather due to how it is interpreted in the cultural meaning of a commodity, which

is determined in the socio-economic process.

II. MINIMARKET AND CONSUMER CULTURE

Denpasar as a capital city, have numerous mini market, supermarket and

hypermarket stores which are categorized as either modern or stand-alone

franchaising. The distance between one another is very close, which means a

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

124

struggle for market share between mini market and particularly to the “old-

fashioned” small traders who conduct activities in traditional markets and grocery

shops. This competition is certainly will ended up with the glory of modern store in

terms of better management, capital and a range of services and quality products.

The spread of modern shop in Denpasar can be seen in the following table.

Table 1

The Spread of Modern Store in Denpasar

No. District Minimarket Supermarket Hypermarket Total

1 South Denpasar 121 10 2 133

2 West Denpasar 64 16 - 80

3 East Denpasar 38 1 - 39

4 North Denpasar 48 12 - 60

Total 271 39 2 312

Sources : Department of Trade and Industry Denpasar, 2011

From the table above can be seen that Southern Denpasar district has the biggest

number of Modern Stores, which are 133 stores. That is the reason why Southern

Denpasar chosed as the research area.

Table 2

Top Ten Minimarket in Denpasar (according to the number of the store)

No. Minimarket Total

1 Circle K 48

2 Indomaret 33

3 Alfamart 21

4 Lotus Mart 9

5 Alfa Midi 8

6 Alfa Express 8

7 Mini Mart 6

8 Petto Mart 3

9 Cahaya Minimarket 3

10 Inti Mart 2

Sources : Department of Trade and Industry Denpasar

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

125

Type of product which small traders in South Denpasar District sell is

diverse. From the observation, it is founded 10 kinds major product, which are food

and beverage, clothing, fruits, household appliances, religious ceremony equipment

seller, primary needs like rice or cooking oil, agricultural produts, toys, souvenirs,

and eye glasses, spread almost all over the district especially in village market and

surrounding citizens neighborhood.

Table 3

The Bussiness Area of Small Scale Enterprise

In Southern Denpasar District

No Village Traditional market Shopping Centre Total

1 Pemogan 4 195 199

2 Pedungan 4 264 268

3 Sesetan 3 251 254

4 Serangan 1 119 120

5 Sidakarya 2 138 140

6 Panjer 1 377 378

7 Renon 2 27 29

8 Sanur Kauh 1 248 249

9 Sanur 1 525 526

10 Sanur Kaja 1 102 103

____________________________________________________________________

Total 20 2246 2266

____________________________________________________________________

Sources : Monografi of Southern Denpasar District, 2009.

On the Law no. 20 of 2008, Micro, Small and Medium Enterprises, are all

included in the category of small businesses. Small businesses are economically

productive, conducted by an individual or business entity that is not a subsidiary or

branch of a company and also not owned, controlled, or a part, either directly or

indirectly from medium or large business. Meanwhile, the Mayor Regulation No. 9

of 2009 confirmed again by adding the element of wealth owned by small

businesses is; have a net worth of Rp 50.000.000, - (fifty million rupiah) up to a

maximum of Rp 500 million, - (five hundred million rupiah) excluding the value of

land and building where the business conducted.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

126

On the other hands, the definition of Modern store is store with independent way of

payment, such as Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket. The

network manager is a businessman who do business in the field of Minimarket,

through a system of unified management and distribution of goods to a network

outlet.

The presence of minimarket encourage consumerism. The community is no

longer think rationally to meet his needs, as they already persuade by the media

which advertising it widely, so that consumers continue to be influenced by the not

only psychological interest but also involves political economy (Mursito, 2005: 21).

"Discipline mall" (a term used to describe the shopping centre condition is very

persuading customer to be consumptive, which starts from arrival at a mall that

begin with take the trolley, often called a stroller that serves as a shopping bag, then

select the item and put it on a trolley, which filled “properly” by the customer, as

full as possible. The full contents of the trolley looks “wow”, and when arrived at

cashier counter with a long queue, the customer queue up with discipline. On the

monitor screen, the cash register shown the amount, the bigger the number, the

bigger pride for the customer. For the young urban, the cool image of minimarket is

attached, so it is not rare to find young people who do not want to buy goods in

small stalls or traditional markets because the image will not be look “cool”, and

prodly shop at the 24 hours minimarket. It is all because they felt a pleasure in an

objective and subjective way, as it can boost the image of themselves, that they have

became contemporary society. As a consequence, small scale enterprise can not win

the competition and some even have to close their enterprise.

Research conducted by global companies Meadwestvaco in 2000 at 12 K-

Mart stores with the title "Display of merchandise affect sales." K-Mart is the main

outlet for your writing tools. An experiment was designed in which 12 K-Mart store.

Six stores were randomized assigned to implement the new system in the display of

merchandise, while six other stores displaying merchandise with the old way. The

experiment was conducted over six months. In conclusion: The sale of products that

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

127

implement the new system has a 7% higher sales than the sales of stores that use the

old system (Malhotra, 2005: 101).

The Journal of Product & Brand Management Vol 15 No 2 mentioned

about brand awareness and image impact on satisfaction and trust to increase future

sales. This would appear to: (1) brand awareness has a positive effect on current

purchase (2) brand image has a positive efeect on current purchase (3) brand

awareness has a positive efeect on future purchase and (4) brand image has a

positive effect on future purchase (Franz Rudolf Esch and Lagner Tobian et. al,

2006 : 98-105).

In European Journal of Marketing Vol.40 No. ½, stated that one thing that

is important to foster relationships between the seller and the buyer is "trust" (trust).

Confidence arising from a long training process until both parties trust each other.

Both party will be honest, fair and reliable in carrying out activities in the future. In

this connection the high level of seller and buyer confidence is influenced by: (1)

increase commitment, (2) enhance cooperation, (3) harness satisfaction and (4)

reduce conflicts (Leonidas.C. Et.al., 2006: 145).

Research conducted by Enciety Focus - 37 with the title Big City Lifestyle

Changes which took place in Surabaya concluded that lifestyle changes, especially

in big cities, suppose to make the traditional stores change the old pattern of their

business smartly. Development of the convenience store and mini market not only

requires adjustment of the operating hours, but also the adjustment and payment of

merchandise. Application of the supply chain as an alternative. Traditional store

merchandise scale according to the variation of a being sold is 7.1% for <20 product

number, 66.3% for 21 to 25 product number and 26.5% for > 25 products (Jawa

Post, 2010). This study provides the basis of marketing strategy for the minimarket.

In details, Williams in his book Keywords (1983: 87) states about culture

in three broad definitions, namely (1) a general process of intellectual, spiritual, and

aesthetic development, (2) a special way of life for people, a period, or a group,

called the lived cultures or cultural practice, and (3) the works and practices

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

128

primarily aesthetic and intellectual activity, called the signifying practices. The

concept of culture written above is the recognition of various modern human

activities in various forms including the consumption or even consumerism.

Minimarket is present in the middle of a large urban community to meet the

needs of the community that felt as "emergency" in the middle of the night.

Customer segments are employees, students and people who work until late at night

or traveling at night which classified as middle-up. In running the retail business,

integrated retail concept applied, CARE, implying a deep perspective. This

perspective departs from a focus on customer needs, coordinating the activities

which affect the consumer, and make a profit by building relationships with

consumers in the long run based on customer satisfaction and value (Lynda and

Cynthia, 2001: 7).

The operation of minimarket which operate for 24 hours a day, helps to

increase consumers number especially among younger consumers. Circle K

minimarket imaged as a hip minimarket and they serve drinks that are complete

enough, an option preferred by Indonesian youth of today. Buyers of the stores were

also allowed to sit in front of the minimarket while enjoying what they had bought,

and that indirectly lead to made circle k as the youth gathering place in the evening

time. Shopping in minimarket is seen as a lifestyle or life style can be defined as a

pattern of space, time, and the certain goods of social groups usage. Lifestyle, then,

is how certain social groups use the space, time, and goods, with the pattern, style,

or habit, which is done repeatedly in the certain space-time. When associated with

the geography-time, the lifestyle is how the patterns, habits, and style of a particular

social group in the routine of everyday social practices within the space-time

(Filiang, 2004: 60). By understanding the customer is one of the keys to make

minimarket succeed. Here are the pictures of minimarket, Circle K.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

129

Picture 1 : Minimarket Circle K

Shopping at the minimarket create a memorable shopping experience

through a selection of goods and creative promotional activities and create a

shopping environment that is safe, comfortable and enjoyable. Minimarket Circle K

is open 24 hours, appears in the following figure;

Picture 2 : Circle K on Evening Time

Minimarket visited by a lot of middle-low housewife to buy household

needed per week or per month. On the other side, the circle K approached by staff,

students, and young middle-up for shopping needs only at that moment. Selected

target consumers as employees and students because the two segments that havea lot

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

130

of activity. It is often that the duty office and school work have to be until late at

night. Circle K applied the special concept of illumination (ligthing) specifically to

give visitors a sense of security when shopping at night time, good lighting in the

store area or in the parking lot.

Store locations are also chosen specially so that it is far from posssible

criminal action, such as train stations or bus terminals. Store design is also different.

Circle K has a attractive modern design, by offering room and light, shelf or display

of products arranged in such a way that impressed nicely, while the minimarket was

designed simple. In terms of product price, the price at the Circle K is a bit more

expensive than most of the minimarket but this is not an obstacle to the middle up

class to shop. Circle K maximize customer satisfaction with emphasis on speed of

service, cleanliness, store cleanliness, hospitality services and a pleasant store

atmosphere. Added with the facility of free wifi or internet that is intended for those

who like to surf in cyberspace, which attracted a lot of customer.

Here's a comment or response from some of the mini-circle K of visitors,:

"Agus Damadi found shopping at Circle K is very satisfactory, as it also comfortable

and clean place, comfort is also important when shopping, the products are sold well

equipped, almost everything I need is available, although the price is more

expensive. Circle K also often give a bonus if you buy a particular product and not

all kiosks provide a facility like this".

“Aloysius Sanjaya Susel expressed that minimarket is a convenient place to

shop especially at night after work. Not only Circle K is open 24 hours a day, but

also it is located at the side of the highway makes it easy to find. Circle K is very

cool to hang out as he used to surf with friends. Items are sell well and complete so

that we find almost everything here, which is also very comfortable place.”

The existence of minimarket around us can not be denied as the people's

needs. A good arrangement of space, comfort, price information transparent and

good service, and the price is just one hundred rupiah difference with regular stalls

in things like soap and instant noodles. Every comfort is made to make customer

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

131

purchased more goods outside of their daily needs so that the culture of

consumerism continues to run. Consumers is as king. Just choose, take, bring it to

the cashier and pay. Member card swipe. Imagine, just take the card, traveling like a

king, choose, calculate, and friction out of the mini was very stylish and modern.

Forget how much money they spent away.

Lifestyle is the hallmark of a modern world, or who is often called

modernity. The point is that those who live in modern society will use the notion of

lifestyle for themselves and describe the actions of others. In daily interactions we

can apply the idea of a lifestyle without the need to explain what we mean, and we

are really challenged and may be difficult to find a general description of the things

that refer to the lifestyle. Lifestyles are patterns of action that differentiates one

person to another or life style as a set of practices and attitudes that make sense in

certain contexts (Chaney, 2009: 40-41).

In view of psychology, lifestyle is generally understood as a procedure or

personal habits of individual and unique. But then life style followed by a group of

people so there was a shift towards an understanding of lifestyle, which is to be the

way of life that reflects the attitudes, values and norms of a particular social group.

Lifestyle as a way of life includes a set of habits, views, and patterns of response to

life, and especially the equipment for a living. The way is not something natural, but

it was found, adopted or created, developed, and used to show action in order to

achieve certain goals (of calendar, 2006: 36-39).

III. CONCLUSION

Development of a minimarket in Denpasar is very rapid, so it can be said to

be poorly controlled and have marginalized the small merchants who sell on

traditional markets and stalls, need to get special attention from economic actors and

governments. It should be understood that the minimarket as a modern store that can

provide a variety of facilities and services can satisfy the consumer, especially for

urban communities. Minimarket are heavily promoted by the advertising media,

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

132

which is recognized by the consumer that has built a variety of imaging which is the

urban lifestyle.

In this research, there is a purpose to understand and transform structures of

domination in capitalist society, which in this case represented by the minimarket.

Industrialization has rise the production of goods and services in a very large

amount, that must be combined with high number of consumers. That is the reason

why consumer culture on society should be examined critically.

REFERENCES

Alfathri Adlin, 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Gaya Hidup.Yogyakarta:

Jala Sutra

Baswir, Revrison. 1999. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

Baudrillard J P.2009. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta : Kreasi Wacana

Chaney, David.2009. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerjemah

Nurhaeni. Yogyakarta: Jalasutra.

Leonidas C, Leonidou, Dayananda Palihawadana, Marios Theodosious, 2006. An

Integrated Model Of The Behavioural Dimensions Of Industrial Buyer-

Seller Relationships. European Journal Of Marketing/ Vol. 40 No. 1/2

Lynda, W.K.N dan Cyinthia, T.L.M. 2005. Managing the Brick-and-Mortar Retail

Stories. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer

James F. Engel dkk.1994. Prilaku Konsumen. Jakarta : Binarupa Aksara

Malhotra, Naresh K, 2005. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan, Jakarta :PT

Indeks

Mary F. Rogers.2009. Barbie Cultural Ikon Budaya Konsumerisme. Yogyakarta:

Relief

Mursito,BM.2005. Mall Pintu Gerbang menuju Konsumerisme. Salatiga: Merdeka.

Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas

Kebudayaan. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.

Ritzer, George And Douglas. 2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi.

Yogyakarta : Universitas Atmajaya

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

133

Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are

brands forever? How brand knowledge and relationships affect current

and future purchases. Journal of Product & Brand Management.

Vol.15. No.2

Takwin, Bagus.2006.” Habitus Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya

Hidup”. Dalam Alfathri Adlin (ed):Menggeledah Hasrat : Sebuah

Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta& Bandung: Jalasutra.Hal.:

35-54.

Document and Electronic Sources

Camat Denpasar Selatan, 2010. ”Monografi Kecamatan Denpasar Selatan”

Dinas Perijinan Kota Madya Denpasar, 2009. ”Peraturan Wali Kota Denpasar

Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar

Tradisional, Pusat Pembelanjaan, dan Toko Modern.

Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah R.I.,2008. ”Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha

Mikro, Kecil dan Menengah.

Tim Redaksi Radar Bali. 2010 a. “Minimarket Sisihkan Usaha Rakyat”. Dalam

Radar Bali, 16 Juni 2010.

Tim Redaksi Jawa Post. 2010 b. “Pemkot Segel Tujuh Minimarket”. Dalam Jawa

Pos, 13 Juli 2010.

Tim Redaksi Radar Bali 2011c. “Ijin Toko Modern Distop”. Dalam Radar Bali, 8

April 2011.

www.circlek.com.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

134

STUDI TENTANG DIVERSITAS KELAPA (Cocos sp.)

UNTUK UPAKARA YADNYA

DI DESA MARGA DAJAN PURI TABANAN

Oleh

Ni Nyoman Parmithi

Dosen FPMIPA IKIP PGRI Bali

ABSTRACT

Hindu community in particular, was never separated from the yadnya

ceremony. Upakara is part of Hindu religious framework, in addition to Tatwa

(philosophy) and Vice (ethics). Means of the ceremony usually use certain parts of

the plant such as stems, leaves, flowers and fruits are often accompanied with a

special identity.

Coconut is one of the fruits of their use for purposes Yadnya, not

independent of the morphological aspects and philosophical meaning.

Morphological aspects can be seen from the shape, color, bark, leaves and seludang.

While the philosophical meanings depending on the type and name Yadnya

offerings. Use of this palm fruit (bungkak) from the young to old (nyuh). In relation

to the second aspect, quite a lot of people who do not know about the types and

varieties of coconuts are used for the Yadnya benefit. In addition, it is still quite a lot

of people who do not know the meaning of the philosophy of coconuts in relation to

the name of offerings, given the wide variety of offerings that require coconut

different.

This study aims to determine the types and varieties of coconuts are used

for the benefit Yadnya, as well as to determine the morphological aspects of the

philosophy and meaning of coconuts used, and to determine the classification of

coconut plantations in ethnobotany. The research was conducted in the village of

Marga Dajan Puri Tabanan. The method used is the method of observation and

interviews with informants like Sulinggih, stakeholders and artisan offerings.

These results indicate that the types of coconuts used there are two types,

namely: (1) of the type Typika coconut (coconut), and (2) palm of the type Nana

(early maturing coconut). Local designation is nyuh mulung coconut, nyuh bojog,

nyuh Rangda/nyuh Bingin, nyuh tiger, nyuh bejulit, solar nyuh, nyuh Sudamala,

nyuh shrimp, nyuh ivory, nyuh months, and nyuh sieve. Morphological aspects of

the coconut fruit is used to upakara yadnya is the color of the fruit, the child form

the structure of leaves, leaf midrib, fruit shape, fruit sheath/keloping, color

mesokarp/fibers, shape and petals color/pockmark/mosquito, and the color filter.

Philosophical significance of coconuts in general is alit and the globe symbolizes the

great Huana. While the classification is based on the ethnobotany community

interests consumption/economy and the interests upakara/ ceremony.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

135

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Kelapa (Cocos sp) merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon

batang lurus dari famili Palmae. Pohon tinggi berjenis palem ini telah

dibudidayakan sejak zaman dahulu kala, disebarkan secara luas oleh ras manusia,

dan secara alamiah tumbuh di tepi pantai tropis. Ada dua pendapat mengenai asal

usul kelapa (Cocos sp) yaitu dari Asia atau Indo Pasific menurut Berry, Lepesma,

dan dari Amerika Selatan menurut D.F. Cook, Van Martius Beccari. Kata coco

pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama, atau dapat juga disebut pohon

kehidupan (tree of life), karena tanaman kelapa merupakan tanaman serbaguna atau

tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hampir seluruh bagian dari pohon

kelapa seperti akar, batang, daun, dan buahnya dapat dipergunakan untuk kebutuhan

hidup manusia (Anonim, 2011).

Tumbuhan kelapa (Cocos sp), bagi masyarakat Bali selain untuk memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari juga mempunyai peran penting dalam berbagai upacara,

baik upacara Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, maupun Pitra Yadnya. Pemanfaatan

buah kelapa dalam berbagai upacara didasarkan atas bentuk morfologi dan warna

yang dimiliki oleh kelapa tersebut. Bentuk morfologi dan warna buah kelapa

memang beraneka ragam ada yang lonjong, bulat atau bulat lonjong. Begitu juga

warnanya ada yang hijau, merah, coklat, ataupun jingga.

Desa Marga Dajan Puri adalah desa yang penduduknya berjumlah 612 KK

(2109 jiwa), dan terdiri dari 4 (empat) banjar, yakni Banjar Tengah Semeton, Banjar

Tengah Nyendoan, Banjar Anyar, dan Banjar Bugbugan yang hampir semua

masyarakatnya beragama Hindu. Frekuensi pelaksanaan upacara setiap tahunnya

relatif tinggi, seperti upacara Dewa Yadnya ngodalin di Paibon/Merajan, ngusaba

nini dan nganteg linggih. Pada tingkat keluarga seperti meotonan, nelubulanin,

ngeraja swala (upacara meningkat dewasa), metatah (upacara potong gigi) dan

masih banyak lagi upacara-upacara yang lainnya. Pelaksanaan upacara yadnya yang

variatif dan tinggi tersebut membutuhkan banyak bahan upakara, salah satu

diantaranya adalah buah kelapa. Penggunaan buah kelapa untuk upakara yadnya

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

136

tersebut juga bervariasi dilihat dari usia, warna dan bentuknya (jenis kelapa).

Penggunaan berbagai macam jenis dari buah kelapa tersebut disesuaikan dengan

jenis dan tingkatan upacara itu sendiri yakni mulai dari tingkatan upacara yang

paling kecil/sederhana (nista), biasa/menengah (madya) serta tingkatan upacara

yang paling besar/utama (utama).

“Desa-Kala-Patra”menunjukkan bahwa pelaksanaan dan penggunaan sarana

upakara yang ada di daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, namun

tetap mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu menghaturkan bakti suci

dengan perwujudan yadnya. Hal ini terkait dengan pengertian "Desa" adalah tempat

dimana kita berada, yang dalam hal ini berarti bahan upakara dapat disesuaikan

dengan keadaan setempat ; "Kala" adalah waktu ; dan "Patra" adalah keadaan, yang

memiliki makna bahwa upakara yang dilakukan menyesuaikan dengan waktu dan

kemampuan seseorang.

Hasil observasi yang penulis lakukan di Desa Marga Dajan Puri Tabanan

menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang belum mengetahui jenis-jenis kelapa

yang diperlukan dalam upakara yadnya. Jenis kelapa yang dipergunakan dalam

upakara kadang-kadang sulit untuk dicari dan dipenuhi karena masyarakat tidak

mengetahui bagaimana ciri-ciri yang ada pada kelapa tersebut. Dewasa ini hanya

orang-orang yang berkecimpung dalam upakara yadnya saja yang mengetahuinya,

seperti tukang banten (sutri), pemangku, dan sulinggih.

Masyarakat khususnya umat Hindu, tidak dapat lepas dari pelaksanaan

upacara yadnya. Upakara merupakan bagian dari kerangka Agama Hindu, di

samping Tatwa (filsafat) dan Susila (etika). Sarana upacara biasanya menggunakan

bagian-bagian tertentu dari tanaman seperti batang, daun, bunga dan buah yang

sering disertai dengan identitas khusus. Berdasarkan latar belakang pemikiran di

atas peneliti memfokuskan penelitian pada satu aspek tanaman upakara dengan

judul “Studi Tentang Diversitas Kelapa (Cocos sp) untuk Upakara Yadnya di Desa

Marga Dajan Puri Tabanan".

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

137

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan

masalahnya sebagai berikut :

1) Jenis-jenis kelapa apakah yang digunakan untuk upakara yadnya, khusunya di

Desa Marga Dajan Puri Tabanan?

2) Bagaimanakah aspek morfologi dan makna filosofis buah kelapa dalam

kaitannya dengan nama banten/upakara?

3) Apakah ada pengklasifikasian secara etnobotani terhadap jenis dan varietas

buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di Desa Marga Dajan Puri

Tabanan?

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1) Untuk mengetahui jenis-jenis buah kelapa yang digunakan dalam upakara

Yadnya, khusunya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan.

2) Untuk mengetahui aspek morfologi dan makna filosofis buah kelapa dalam

kaitannya dengan nama banten/upakara.

3) Untuk mengetahui pengklasifikasian secara etnobotani terhadap jenis dan

varietas buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya, khususnya di Desa

Marga Dajan Puri Tabanan.

1.3 Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan di

atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis

maupun secara praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Dapat manambah wawasan khususnya bagi umat Hindu tentang jenis-jenis

buah kelapa, makna filosofis dan aspek morfologis dalam kaitannya

dengan upakara yadnya.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

138

b. Untuk menambah pengetahuan tentang identifikasi tanaman kelapa secara

etnobotani, khususnya yang berkaitan dengan upakara yadnya.

c. Dapat digunakan sebagai sumber belajar biologi di SMP maupun SMA

dengan berorientasi pada pembelajaran yang berbasis kearifan lokal (local

genius).

2. Manfaat praktis

a. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pembaca khususnya

generasi muda tentang jenis-jenis buah kelapa, makna filosois dan aspek

morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya.

b. Dapat menumbuhkan kesadaran bagi umat Hindu untuk melestarikan

tumbuhan khususnya pohon kelapa mengingat manfaat dan fungsinya

terutama yang berkaitan dengan upakara yadnya.

II. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode observasi dan

metode wawancara dengan beberapa informan seperti sulinggih, pemangku, dan

tukang banten yang ada di Desa Marga Tabanan.

2.1 Hasil Penelitian

2.1.1 Jenis-jenis Kelapa yang Digunakan untuk Upakara Yadnya di Desa

Marga Dajan Puri Tabanan

Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan diperoleh data tentang

jenis-jenis kelapa yang digunakan untuk kepentingan upakara yadnya seperti dalam

tabel 01 sebagai berikut.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

139

Tabel 01

Jenis-jenis Kelapa yang Digunakan untuk Upakara Yadnya

di Desa Marga Dajan Puri Tabanan

No Nama

Indonesia Nama Daerah

Nama

Ilmiah Suku

Penggunaan dalam

Upacara Yadnya

1 2 3 4 5

1. Kelapa Raja Nyuh Gading Cocos nucivera

var.Regia

Araceae √ - √ √ √

2. Kelapa

Gading

Nyuh Bulan Cocos nucivera

var.Ebunea

Araceae √ - √ - √

3. Kelapa puyuh

/ kelapa bagi

Nyuh Gadang Cocos nucivera

var.Pumila

Araceae √ - √ - √

4. Kelapa hijau Nyuh Mulung Cocos veridis Araceae √ - √ - √

5. Kelapa hijau Nyuh bojog Cocos veridis Araceae √ - - - -

6. Kelapa Merah Nyuh rangda

/nyuh bingin

Cocos rubescen Araceae √ - - - -

7. Kelapa Merah Nyuh macan Cocos rubescen Araceae √ - - - -

8. Kelapa hijau Nyuh bejulit Cocos veridis Araceae √ - - - -

9. Kelapa Merah Nyuh surya Cocos rubescen Araceae √ - √ - -

10. Kelapa hijau Nyuh

Sudamala

Cocos veridis Araceae √ - √ - √

11. Kelapa Merah Nyuh udang

/Nyuh

Brahma

Cocos rubescen Araccae √ - √ - √

Sumber : Sulinggih (griya pada), Br.Tengah Semeton.

Keterangan √ = ya 1. Dewa yadnya

2. Rsi yadnya

- = tidak 3. Manusa yadnya

4. Pitra yadnya

5. Bhuta yadnya

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

140

2.1.2 Data tentang Makna Filosofis dan Aspek Morfologi Buah Kelapa dalam

Kaitannya dengan Nama Banten atau Upakara

Tabel 02

Makna Filosofis Buah Kelapa dalam Kaitannya

dengan Nama Banten/Upakara

Semua jenis kelapa

Digunakan dalam upacara serta nama banten/upakara Bagian yang

digunakan

Aspek morfologi /

Anatomi buah Maknanya

Dewa Yadnya

Rsi Yadnya

Manusa Yadnya

Pitra Yadnya

Bhuta Yadnya

Jenis kelapa dalam (tall variety) serta dari jenis kelapa genjah (dwarf variet

Daksina Buah/biji kelapa tua (nyuh)

Bentuk bulat

Melambangkan bumi

Banten penyambutan

Biji kelapa tua (nyuh)

Bentuk bulat

Melambangkan bumi

Sesantun Buah kelapa tua yang besar (nyuh)

Bentuk buah

Melambangkan alam semesta

Dandanan Buah kelapa tua yang kecil (nyuh)

Bentuk bulat

Melambangkan bumi

Pekekeh/ srembean pase

Biji kelapa tua yang besar (nyuh)

Bentuk bulat

Melambang-kan bumi

Pulokerti/ pengawak

Pulokerti/penga-wak

Buah kelapa tua yang kecil

Bentuk bulat

Melambang-kan bumi

Sibuh pepek

Biji kelapa tua yang besar/kecil (nyuh)

Bentuk bulat

Melambang-kan bumi

Segehan agung

Biji kelapa tua yang kecil (nyuh)

Bentuk bulat

Melambang-kan bumi

Tempat ari-ari

Buah kelapa tua yang besar (nyuh)

Bentuk bulat

Melambang-kan bumi

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

141

Lanjutan Tabel 02

Semua jenis kelapa

Digunakan dalam upacara serta nama banten/upakara Bagian yang

digunakan

Aspek morfologi /

Anatomi buah Maknanya

Dewa Yadnya

Rsi Yadnya

Manusa Yadnya

Pitra Yadnya

Bhuta Yadnya

Banten dyus kamagali

Biji kelapa yang tua (nyuh)

Bentuk bulat

Melambang-kan bumi

Pesipetan Biji kelapa yang tua (nyuh)

Bentuk bulat

Melambang-kan bumi

Pegat sot Biji kelapa yang tua (nyuh)

Bentuk bulat

Melambang-kan bumi

Pengurip-urip

Biji kelapa yang tua (nyuh)

Bentuk bulat

Melambang-kan bumi

Banten ajuman

Daging kelapa yang telah diolah (saur)

Putih lembaga lunak dapat dimakan

Lambang lauk / persembahan

Damar kurung

Minyak kelapa

Hasil olahan putih lembaga menjadi minyak

Lambang kekuatan / sakti Dewa Brahma

Bubuh sasuru

Minyak kelapa

Hasil olahan putih lembaga menjadi minyak

Lambang kekuatan / sakti Dewa Brahma

Api takep

Sabut kelapa

Mesokarp yang kering untuk membuat api

Kesejahteraan dan keselamatan

Damar kurung

Tempurung kelapa

Endokarp sebagai arang

Lambang ke-kuatan / sakti Dewa Wisnu

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

142

Lanjutan Tabel 02

Semua jenis kelapa

Digunakan dalam upacara serta nama banten/upakara Bagian yang

digunakan

Aspek morfologi /

Anatomi buah Maknanya

Dewa Yadnya

Rsi Yadnya

Manusa Yadnya

Pitra Yadnya

Bhuta Yadnya

Pegenian

Tempurung kelapa

Endokarp sebagai arang

Lambang ke-kuatan / sakti Dewa Wisnu

Banten suci

Biji kelapa tua (nyuh)

Bentuk yang membulat

Melambangkan bumi

Banten celemik pat

Daging kelapa tua

Putih lembaga dapat dimakan

Lambang persembahan

Secara umum makna filosofi, penggunaan jenis-jenis kelapa dalam upakara

yadnya menunjukkan pemujaan kepada Dewata Nawa Sanga, yang merupakan

manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dewata Yadnya

merupakan 9 (sembilan) Dewa penguasa seluruh penjuru arah mata angin. Mulai

dari arah Timur berstana Dewa Iswara yang merupakan simbul warna putih (nyuh

bulan), arah Tenggara berstana Dewa Maheswara yang merupakan simbul warna

dadu/barak baag (nyuh surya), arah Selatan berstana Dewa Brahma yang merupakan

simbul warna merah (nyuh udang), arah Barat Daya berstana Dewa Rudra yang

merupakan simbul warna jingga (nyuh rangda), arah Barat berstana Dewa

Mahadewa yang merupakan simbul warna kuning (nyuh gading), arah Barat Laut

berstana Dewa Sangkara yang merupakan simbul warna hijau (nyuh bojog), arah

Utara berstana Dewa Wisnu yang merupakan simbul warna hitam (nyuh mulung),

arah Timur Laut berstana Dewa Sambhu yang merupakan simbul warna biru (nyuh

bejulit), dan arah tengah berstana Dewa Ciwa yang merupakan simbul warna

campuran/brumhun (nyuh sudamala).

Masing-masing kelapa yang digunakan dalam upakara yadnya terdiri dari

kelapa yang telah tua (nyuh) dan kelapa yang masih muda (kelungah). Nyuh

mempunyai makna sebagai lambang Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

143

Alit (tubuh manusia). Sedangkan kelungah mempunyai makna sebagai lambang

pebersihan dan kesucian.

Aspek Morfologis Tanaman Kelapa yang Digunakan dalam Upacara Yadnya

di Desa Marga Dajan Puri Tabanan adalah sebagai berikut.

b. Nyuh Gading

Nyuh gading berwarna kuning emas, pelepah dan lidah daun berwarna kekuning-

kuningan dan bentuk buahnya bulat hingga lonjong.

c. Nyuh Bulan

Nyuh bulan adalah buah berwarna kuning gading atau kuning keputihan.

Sebagian daunnya juga berwarna kuning.

d. Nyuh Gadang

Nyuh gadang berwarna hijau tua.

e. Nyuh Mulung

Nyuh mulung berwarna hijau muda pekat/gadang sabilulung. Kelopak bunga

(tapuk/nyamuk) berwarna merah muda, pelepah dan lidah daun berwarna hijau.

f. Nyuh Bojog

Nyuh bojog mesokarpnya (sabut kelapa) berwarna abu-abu sehingga,

dipersonifikasikan seperti warna bulu pada kera /bojog.

g. Nyuh Rangda/Nyuh Bingin

Nyuh rangda/nyuh bingin buahnya berwarna jingga, susunan anak daun pada

ujung pelepah menjurai vertikal, kemudian pelepah daun bagian bawah menjurai

menutupi buah dan buahnya diselimuti oleh tapis.

h. Nyuh Macan

Nyuh macan adalah buah berwarna jingga atau hijau kekuningan. Pada kulit

buah terdapat bercak-bercak (bertotol-totol) loreng seperti kulit macan.

i. Nyuh Bejulit

Nyuh bejulit buahnya berwarna hijau kebiruan. Rangkaian anak daun satu sama

lain pada pelepah menempel/gempel dan pelepah daunnya pipih.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

144

Dipersonifikasikan seperti perawakan bejulit/ikan sidat yaitu ikan panjang

seperti ular yang bentuknya pipih.

j. Nyuh Surya

Nyuh surya adalah buah berwarna merah dadu/merah kecoklatan.

k. Nyuh Sudamala

Nyuh sudam kulit buahnya berwarna hijau. Mempunyai seludang buah/keloping

bertumpuk dua, dan ada pula yang memiliki sepasang kelopak bunga/tapuk.

l. Nyuh Udang/Nyuh Brahma

Nyuh udang/nyuh brahma buahnya berwarna hijau kekuningan, kelopak bunga

(tapuk/nyamuk) dan mesokarpnya (sabut kelapa pada saat muda) berwarna

merah.

2.1.3 Data tentang Pengklasifikasian Tanaman Kelapa Ditinjau dari Segi

Etnobotani oleh Masyarakat Marga Dajan puri Tabanan

Pengklasifikasian tanaman kelapa secara etnobotani oleh masyarakat

Marga Dajan Puri Tabanan, dilakukan berdasarkan atas manfaat atau fungsinya

yaitu :

a. Berdasarkan kepentingan konsumsi/ekonomi.

Umumnya buah kelapa yang digunakan untuk keperluan konsumsi atau ekonomi

dicari buah kelapa yang ukurannya relatif besar, tebal, kadar minyak tinggi, dan

rasa daging kelapa muda manis.

b. Berdasarkan kepentingan upakara/upacara

Umumnya buah kelapa yang digunakan adalah kelapa yang mempunyai ciri khas

yang spesifik (khusus) seperti warna buah (warna eksokarp dan warna

mesokarp), struktur atau bentuk anak daun, morfologi kelopak bunga, dan

morfologi seludang buah Pada jenis-jenis upakara tertentu ada yang

menggunakan kelapa yang sudah tua (nyuh) dan ada pula yang menggunakan

kelapa yang masih muda (kelungah). Misalnya, pada upakara pengresikan

mempergunakan buah kelapa yang masih muda (kelunguh), dan pada

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

145

upakara/banten pejati, daksina, dan banten suci mempergunakan buah kelapa

yang sudah tua (nyuh). Hal itu disesuaikan dengan fungsi dan makna buah

kelapa pada upakara yadnya.

2.2 Pembahasan

Bagi umat Hindu jenis dan varietas buah kelapa dalam kaitannya dengan

pelaksanaan upakara yadnya memiliki makna filosofi dan penggunaannya

berdasarkan bentuk atau aspek morfologi dan nama banten/upakara.

a. Nyuh Gading

Nyuh gading merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa genjah (dwarf

variety) dengan nama Indonesia kelapa raja (C. nucivera var. regia). Kelapa jenis ini

digunakan dalam Upacara Dewa yadnya, yang terdiri dari upakara/banten sesayut

prayascita luwih, prayascita sakti, prayascita biasa, dan pedudusan agung

(pedarinan, pengenteg, penyegjeg). Pada upacara Manusa Yadnya kelapa raja atau

nyuh gading digunakan dalam upakara/banten pewintenan, peras potong gigi, eteh-

eteh pengelukatan, eteh-eteh pedudusan alit, dan sebagai tempat pembuangan

pedanggal.

Pada upacara Pitra Yadnya nyuh gading dipergunakan sebagai tempat abu

puspa sarira dan caru panca sato dalam upacara Bhuta Yadnya. Bagian yang

digunakan dalam upakara adalah kelungah (kelapa yang masih muda), nyuh (kelapa

tua), dan janur nyuh gading. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara

yadnya, yaitu kandungan air dan warna buah nyuh gading bermakna sebagai

lambang kesucian, pebersihan, serta sebagai simbul perwujudan manifestasi Ida

Sang Hyang Widi Wasa sebagai Dewa Mahadewa dalam kontek Dewata Nawa

Sanga (Dewa penguasa 9 penjuru arah mata angin).

b. Nyuh Bulan

Nyuh bulan merupakan sebutan lokal dari kelapa gading (Cocos nucivera var.

ebunea) termasuk ke dalam jenis kelapa genjah (dwarf varied). Kelapa gading atau

nyuh bulan digunakan dalam upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

146

pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa Yadnya

nyuh hulas digunakan sebagai upakara eteh-eteh pedudusan alit, banten pewintenan,

dan banten pangulapan. Digunakan pula pada caru panca sato dalam upacara Bhuta

Yadnya, bagian yang digunakan adalah kelungah dan nyuh. Keterkaitan aspek

morfologi buah dalam upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang

dimiliki. Buah berwarna kuning gading/kuning keputihan bermakna sebagai

lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang

Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara (arah timur).

c. Nyuh Gadang

Nyuh gadang merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa genjah (dwarf

variety) dengan nama Indonesia kelapa puyuh/kelapa bagi. Nyuh gadang digunakan

dalam upacara Dewa Yadnya digunakan sebagai sarana upakara pedudusan agung

(pedarman, penyegjeg, pengenteg). Kemudian pada upacara Manusa Yadnya

digunakan dalam etch-eteh pedudusan alit. Pada upacara Bhuta Yadnya digunakan

dalam upakara tebasan durmengala dan upakara caru panca sato. Bagian yang

digunakan kelungah dan nyuh. Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara

yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki. Maknanya sebagai

lambang kesucian dan pebersihan.

d. Nyuh Mulung

Nyuh mulung merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)

dengan nama indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh mulung digunakan

dalam upacara Manusa Yadnya sebagai sarana upakara banten mewinten, dan eteh-

eteh pedudusan alit. Untuk upakara tebasan durmengala dan caru panca sato

digunakan dalam upacara Bhuta yadnya.Bagian yang digunakan ialah kelungah

nyuh mulung. Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara yadnya ialah

kandungan airnya, bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta

sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya

sebagai Dewa Wisnu (arah utara).

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

147

e. Nyuh Bojog

Nyuh bojog merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)

dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Dalam upacara Dewa Yadnya

nyuh bojog digunakan sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman,

penyegjeg, pengenteg). Bagian yang digunakan untuk upakara adalah kelungah nyuh

bojog. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya adalah

kadungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang kesucian

dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam

manifestasinya sebagai Dewa Sangkara (arah barat laut).

f. Nyuh Rangda/Nyuh Bingin

Nyuh rangda atau nyuh bingin merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa

dalam (tall variety) dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh

rangda/Nyuh bingin digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara

pedudusan agung (pedarman, pengenteg penyegjeg). Bagian yang digunakan dalam

upakara yadnya ialah nyuh (kelapa tua). Keterkaitan aspek morfologi buah dalam

upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki bermakna

sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang

Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Rudra (barat daya).

g. Nyuh Macan

Nyuh macan merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)

dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh macan digunakan

pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara/banten catur (upacara nganteg

linggih), pedudusan agung (pedarman, pengenteg, penyegjeg). Bagian yang

digunakan dalam upakara yadnya adalah nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek

morfologi buah dalam upakara yadnya ialah kandungan air, warna buah, sebagai

lambang kesucian dan pebersihan serta karakter dari sifat macan yang bermakna

sebagai lambang kekuatan yang kokoh sebagai simbol/nyasa agar ajeg dan tegteg.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

148

h. Nyuh Bejulit

Nyuh bejulit merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)

dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh bejulit digunakan pada

upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman,

pengenteg, penyegjeg). Bagian yang digunakan dalam upakara ialah nyuh (kelapa

tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya ialah

kandungan air dan warna buah yang miliki. Maknanya sebagai lambang kesucian

dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam

manifestasinya sebagai Dewa Sambhu (arah timur laut).

i. Nyuh Surya

Nyuh surya merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)

dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh surya digunakan

pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman,

penyegjeg, pengenteg) serta pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam upakara

pewintenan. Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah kelungah (kelapa

yang masih muda) dan nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah

dalam upacara yadnya ialah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna

sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang

Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Maheswara (arah tenggara).

j. Nyuh Sudamala

Nyuh sudamala merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall

variety) dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh sudamala

digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung

(pedurman penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam

upakara etch-eteh pedudusan alit serta digunakan pada upacara Bhuta Yadnya dalam

upakara caru panca sato. Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah

kelungah dan nyuh. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upacara yadnya

ialah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang

kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

149

Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Ciwa (arah tengah).

k. Nyuh udang/Nyuh brahma

Nyuh udang atau Nyuh brahma merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa

dalam (tall variety) dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh

udang atau Nyuh brahma digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana

upakara pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa

Yadnya digunakan dalam upakara eteh-eteh pedudusan alit, dan banten byakala serta

digunakan pada upacara Bhuta Yadnya dalam upakara caru panca sato. Bagian yang

digunakan dalam upakara yadnya ialah kelungah (kelapa yang masih muda) dan

nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya

adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang

kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi

Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma (arah selatan).

Deskripsi morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di

Desa Marga Dajan Puri Tabanan dapat dilihat berdasarkan atas ciri-ciri morfologi

yang ada pada kelapa tersebut. Dimulai dari warna buah, kelapa yang digunakan

untuk upakara yadnya memiliki warna kuning emas, merah kecoklatan (warna

dadu), kuning gading/kuning keputihan, hijau muda pekat, hijau kebiruan, hijau

kekuningan dengan sedikit warna merah pada pangkal buah, jingga (orange), hijau,

hijau tua, dan hijau kekuningan.

Dilihat dari struktur anak daun, jenis kelapa untuk upakara yadnya tersebut

ada yang mempunyai susunan anak daun pada pelepah saling menempel (nyuh

bejulit). Ada pula memiliki susunan anak daun pada ujung pelepahnya menjurai

vertikal (nyuh rangda). Pada nyuh sudamala mempunyai struktur seludang buah/

spata (keloping) bertumpuk dua, ada pula yang memiliki sepasang kelopak bunga.

Melalui hasil pengamatan struktur anatomi dengan membelah buah kelapa menjadi

dua tampak mesokarp (sabut) ada yang berwarna merah (nyuh udang/nyuh brahma)

dan abu-abu (nyuh bojog).

Pengklasifikasian etnobotani oleh masyarakat didasarkan atas manfaat atau

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

150

fungsi buah kelapa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Berdasarkan manfaat

atau fungsinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu berdasarkan

konsumsi/ekonomi, dan berdasarkan kepentingan upakara/upacara.

Semua bagian dari buah kelapa, mulai dari sabut, tempurung, daging buah,

dan air dapat dimanfaatkan untuk upakara yadnya. Buah kelapa yang dimanfaatkan

dalam upakara yadnya adalah kelungah dan nyuh. Secara umum makna filosofis

kelungah adalah sebagai lambang penyucian jasmani dan rohani, sedangkan makna

filosofis nyuh adalah sebagai lambang bumi/alam semesta (Bhuwana Agung) dan

tubuh manusia (Bhuwana Alit) (Nala, 2004).

Pada upakara yang menggunakan sarana kelungah, menggunakan jenis

kelungah dengan warna yang berbeda-beda, makna filosofis dari berbagai jenis

kelungah yang digunakan tersebut melambangkan kekuasaan Tuhan (Ida Sang

Hyang Widi Wasa) dalam manifestasinya sebagai Dewa-Dewa penguasa seluruh

penjuru mata angin (Dewata Nawa Sanga).

Jro Mangku Kahyangan Tiga, seorang pemangku di Desa Marga Dajan

Puri, mengatakan bahwa semua kelungah yang dipergunakan dalam upakara di-

kasturi terlebih dahulu; yaitu bagian atas (pangkal) buah dilubangi dengan bentuk

segitiga, barulah kemudian dipergunakan sesuai dengan tata cara upacara yang

dilakukan. "kasturi" yang dilakukan pada kelungah mengandung makna : (l) agar

tirta tersebut mendapatkan penganugrahan dari Dewa Tri Murti dan (2) merupakan

penyupatan dari Tri Mala," jelas Jro Mangku Jingga, pemangku Pura Desa Marga

Dajan Puri. Selanjutnya, (Suwita Utami, dalam Kumpulan Publikasi Tanaman Adat

Bali 2004) menyatakan kasturi yang berbentuk segitiga merupakan lambang trinitas:

Utpati (penciptaan), Stithi (pertumbuhan), dan Pralina (peniadaan) kehidupan

manusia.

Secara umum makna filosofis kelungah setiap jenis kelapa sangat penting,

karena masing-masing mempunyai makna dalam setiap bagian upakara yadnya

seperti; (1) untuk membersihkan atau menyucikan bangunan/pelinggih di Pura-Pura,

karena pelinggih merupakan Stana/ tempat Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) agar

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

151

bersih dari kotoran secara niskala; (2) untuk menyucikan banten yang dihaturkan;

dan (3) untuk menyucikan seseorang yang akan dibuatkan upacara (Ngurah Nala,

dalam Prosiding Seminar Tanaman Upacara Adat Bali 2004).

Dari hasil penelitian dan pengamatan antara morfologi dan pemanfaatan

buah kelapa dalam upakara yadnya memiliki hubungan erat. Hal ini disebabkan

karena pada banten/upakara yang menggunakan sarana kelungah, menggunakan

jenis kelungah dengan warna yang berbeda-beda, yang merupakan lambang dari

Dewa-Dewa penguasa seluruh penjuru mata angin. Sedangkan penggunaan buah

kelapa pada upakara/banten yang menggunakan nyuh, misalnya kelapa tidak

membedakan warna buah, boleh menggunakan buah kelapa dari semua jenis warna.

Hal ini disebabkan karena makna filosofis nyuh pada upakara tidak berdasarkan

warna, tetapi berdasarkan bentuk, yang melambangkan bumi (bulat). Ida Pedanda

Istri Putra Tangkeban menyatakan bahwa kelungah pada banten tidak bisa

digantikan dengan kuud atau nyuh karena komposisi air kelungah sudah berbeda

dengan kuud atau nyuh. Hal ini dapat dilihat dari komposisi air kelungah adalah

sebagai berikut, gula : 1,7 %; kandungan mineral tinggi; kandungan protein tinggi;

kandungan sitokinin juga tinggi; dan memiliki pH 5,0. sedangkan komposisi air

kuud adalah gula 3 %, kandungan protein berkurang, kandungan mineral bertambah,

hormon sitokinin berkurang, dan memiliki pH 6,5 dan komposis air nyuh adalah

gula 2,5 %, protein 0,55 %, mineral dan pH 5,5 (Warisno, 2003).

Menurut (Suwita Utami, dalam Kumpulan Publikasi Tanaman Upacara

Adat Bali 2004) dikatakan jika kelapa dimaknai sebagai Bhuwana Alit (tubuh

manusia) buah kelapa tersusun atas tujuh lapisan. Lapisan luar dari kelapa

melambangkan kulit luar manusia, lapisan dalam melambangkan kulit dalam

manusia. Serabut basah pada buah kelapa melambangkan urat-urat pada tubuh

manusia. Batok kelapa sebagai lapisan keras merupakan lambang tulang, isi atau

daging kelapa melambangkan daging. Air yang ada di dalamnya melambangkan

darah, dan kesucian yang ada dalam air kelapa melambangkan atma yang

memberikan manusia hidup.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

152

Selain itu, dalam pustaka rontal "Aji Sangkhya" dalam (Arwati, 2002) alam

semesta (Buana Agung) dinyatakan terdiri dari 14 lapisan, terdiri dari 7 (tujuh)

lapisan dalam pertiwi, disebut "Sapta Petala, " dan 7 (tujuh) lagi yang termasuk ke

dalam angkasa disebut "Sapta Loka”. Adapun lambang "Sapta Loka" pada kelapa

adalah 1) Air sebagai lambang mahalala; 2) Isinya yang lembut sebagai lambang

tala-tala; 3) Isinya sebagai lambang lala; 4) Lapisan pada isi sebagai simbol antala;

5) Lapisan isinya yang keras sebagai lambang sutala; 6) Lapisan tipis paling dalam

sebagai lambang nitala; 7) Batoknya sebagai lambang patala.

Lambang "Sapta Loka" pada kelapa disebutkan sebagai berikut. 1) Bulu

batok kelapa sebagai lambang bhur Loka; 2) Serat saluran sebagai lambang bhwah

Loka; 3) Serat serabut sebagai lambang swah Loka; 4) Serabut basah sebagai

lambang maha Loka; 5) Serabut kering sebagi lambang jnana Loka; 6) Kulit serat

kering sebagai lambang tapa Loka; dan 7) Kulit keras kering sebagai lambang setia

Loka.

III. PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:

3.1.1 Jenis-jenis kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di Desa Marga

Dajan Puri Tabanan ada 2 jenis yaitu; (1) kelapa dari jenis Typika (kelapa

dalam); dan (2) kelapa dari jenis Nana (kelapa genjah). Sebutan lokal

kelapa tersebut yaitu nyuh mulung, nyuh bojog, nyuh rangda/nyuh bingin,

nyuh macan, nyuh bejulit, nyuh surya, nyuh sudamala, nyuh udang, nyuh

gading, nyuh bulan, dan nyuh gadang.

3.1.2 Aspek morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya

adalah warna buah, struktur bentuk anak daun, pelepah daun, bentuk buah,

seludang buah/keloping, warna mesokarp/serabut, bentuk dan warna

kelopak bunga/ tapuk/nyamuk, dan warna tapis. Makna filosofis buah

kelapa secara umum adalah melambangkan buana alit dan huana agung.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

153

3.1.3 Pengklasifikasian etnobotani oleh masyarakat adalah berdasarkan

kepentingan konsumsi/ekonomi dan kepentingan upakara/upacara.

3.2 Saran-saran

3.2.1 Kepada Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Daerah Bali, mengingat

banyaknya jenis dan varietas kelapa yang diperlukan untuk kepentinyan

Upakara Yadnya, maka diharapkan adanya program pelestarian tanaman

kelapa, misalnya dengan penanaman secara mengkhusus pada suatu areal

atau tempat, sehingga ke depannya dapat mempermudah masyarakat dalam

memperoleh informasi tentang jenis-jenis kelapa yang dapat digunakan

untuk kepentingan upakara Yadnya.

3.2.2 Dalam pembelajaran Biologi yang berorientasi pada kearifan lokal, maka

bagi guru diharapkan dapat mensinergikan antara pembelajaran di kelas

dengan pengetahuan lokal yang ada di masyarakat yang terkait dengan

materi pelajaran guna mempermudah serta memperkaya pemahaman dan

pengetahuan siswa.

DAFTAR RUJUKAN

Anonim. 2000. Obyek Peningkatan Sarana dan Prasaruna Kehidupan Beragama

Panca Yadnya (Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra

Yadnya, Manusa Yadnya). Denpasar : Pemerintah Provinsi Bali

Mantera. 2004. Tanaman Upacara Adat Bali Sebagai Upaya Mendukung

Pelestarian Tanaman Bali. Baturiti : Kebun Raya Eka Karya Bali-

LIPI.

Nala, Ngurah. 2004. Prosiding Seminar Tanaman Upacara Adat Bali. Bali : UPT

Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali LIPI

______, 2004. Filosofis Pemanfaatan dan Keanekaragaman Tanaman Upacara

Agama Hindu di Bali. Makalah Seminar Konservasi Tumbuhan

Upacara Agama Hindu : Kebun Raya Ekakarya Bali

Purwanto. 2008. Etnobotani Ilmu Interdisipliner dan Holistik : Labotatorium

Etnobotani Bidang Botani Pusat Penelitian Bogor.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

154

Surayin, I.A.P. 2002 Melangkah Kearah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya.

Surabaya : Paramita Surabaya.

Sudarsaria, I.B.P. 2001. Ajaran Agama Hindhu, Upacara Manusa Yadnya

Magedong-Gedongan. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Mandara

Sastra.

Sudarsana, I. B. P. 2002 . Ajaran Agama Hindu Filsafat Yadnya. Denpasar :

Yayasan Dharma Acarya

Suwita Utami. 2004. Kumpulan Publikasi Tanaman Upacara Adat Bali. Baturiti

Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI

Tantra, Sri Mpu Nabe Dwi. 1984. Penuntun Upacara Panca Yadnya. Singaraja :

Pengurus Pusat Maha Gotra Sanak Sapta Rsi.

Wahyu, Astiti. 2005. Etnobotani Buah Kelapa (Cocos sp) yang digunakan dalam

upakara Yadnya. Singaraja : Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas

MIPA Skripsi, tidak diterbitkan

Walujo, E. B. 2004. Tumbuhan Upacara Adat Bali dalam Persepektif Penelitian

Etnobotani. Makalah Seminar Konscrvasi Tumbuhan Upacra Agama

Hindu. Kebun Raya Eka Karya Bali.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

155

AFIKSASI INFLEKSIONAL DALAM

BAHASA INDONESIA

Sebuah Kajian Morfologi Generatif

Oleh

Ida Ayu Agung Ekasriadi

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Fakultas Pendidikan bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali Denpasar

Abstract

This research discussed the process of inflectional affixation that produced

verbs in Indonesian language. The study adhered to the working principles of the

theory of generative morphology, the most cutting edge theory for morphological

study that was initially proposed by Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976),

Scalise (1984), and modified by Dardjowidjojo (1988). The basic concepts of

inflections applied are rooted in the basic concepts of inflections in English

mentioned by Aronoff (1976), Malmkjaer (1991), Spencer (1991), and Robins (1959

and 1998). In this research, it was found that there were a number of affixes

categorized as inflectional affixes in Indonesian language, namely: (1) prefixes

meN-, ber-, di-, and ter- ; (2) suffixes -i and -kan ; and (3) confixes ber-an and ke-

an. The meanings of inflections emerge due to affixation in Indonesian language is

(1) active voice, marked by prefixes meN- (-kan, -i); (2) passive voice, marked by

prefixes di- (-kan, -i), ter-, and personal pronouns (ku-, kau, kami, kita); (3)

reciprocal, marked by prefixes ber- and confix ber-an; (4) accidental, marked by

prefix ter-; (5) excessive, marked by confix ke-an; (6) iterative, marked by suffix - i

or confix ber-an; and (7) irregular, marked by confix ber-an.

Keywords : inflectional affixation, generative morphology

I. LATAR BELAKANG

Perubahan morfologis secara garis besar dibedakan menjadi dua bagian,

yaitu infleksi dan pembentukan kata (Matthews, 1974 : 38). Perubahan morfologis

mencakup pemajemukan, afiksasi, konversi, derivasi balik, perubahan bunyi,

suplesi, perpaduan (blending), dan pengakroniman. Proses pembentukan kata

dengan penambahan afiks pada akar atau dasar (pangkal) kata sehingga

menghasilkan bentuk baru, baik secara leksikal maupun gramatikal disebut afiksasi.

Afiksasi yang menghasilkan bentuk baru secara leksikal disebut derivasi, sedangkan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

156

afiksasi yang menghasilkan bentuk baru yang secara leksikal tetap sama, tetapi

berbeda secara gramatikal dinamakan infleksi. Infleksi tidak hanya terjadi melalui

afiksasi, tetapi dapat juga terjadi melalui konversi dan perubahan vocal (Huddleston,

1984 : 22-25).

Setakat ini pembicaraan afiksasi Bahasa Indonesia pada umumnya hanya

dikaitkan dengan derivasi. Misalnya, Ramlan dalam salah satu pembicaraannya

tentang proses morfologis, afiksasi hanya dibicarakan dari sudut asli tidaknya suatu

afiks dan produktif tidaknya suatu afiks (Ramlan 1987 : 54-62). Sementara itu,

Kridalaksana justru mengatakan bahwa afiks infleksional sangat tidak relevan

dibicarakan dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak tergolong bahasa

fleksi (1984 : 17). Pada bagian lain, Kridalaksana mengatakan bahwa perbedaan

derivasi dan infleksi dalam Bahasa Indonesia tidak sejelas perbedaan derivasi dan

infleksi dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, ia menunda pembicaraan infleksi

sampai ada penelitian yang meyakinkan (1989 : 11).

Pembicaraan afiksasi yang menyinggung adanya derivasi dan infleksi

dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada tulisan Parera (1994) dalam Morfologi

Bahasa. Pembicaraan ini tidak khusus membahas derivasi dan infleksi dalam bahasa

Indonesia, namun sekadar contoh-contoh untuk menjelaskan kedua konsep istilah

tersebut. Kajian afiksasi yang secara tegas membedakan derivasi dan infleksi dapat

dilihat pada tulisan Robins (1959) yang diterjemahkan oleh Kridalaksana (1983)

dalam Sistem dan Struktur Bahasa Sunda.

Bertolak dari kajian yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini

belum ada kajian yang secara khusus membahas afiksasi infleksional dalam bahasa

Indonesia sehingga kajian pada bidang ini sangat penting dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

157

1) Jenis-jenis afiks yang manakah yang terlibat dalam afiksasi infleksional

Bahasa Indonesia?

2) Bagaimanakah makna infleksi yang ditimbulkan sebagai akibat

pembubuhan afiks dalam Bahasa Indonesia?

1.3. Tujuan Penulisan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) jenis-jenis afiks dalam

afiksasi infleksional Bahasa Indonesia dan (2) makna infleksi yang ditimbulkan

sebagai akibat pembubuhan afiks dalam Bahasa Indonesia. Semua deskripsi dalam

telaah ini diharapkan dapat mendekati gambaran umum afiksasi infleksional Bahasa

Indonesia.

1.4. Ruang Lingkup

Mengingat terbatasnya kesempatan, maka penelitian ini hanya terbatas pada

pengkajian mengenai afiksasi verbal Bahasa Indonesia, khususnya verba yang

dihasilkan oleh afiks infleksi. Kajian ini dilakukan terhadap ragam bahasa Indonesia

baku. Ragam bahasa baku menurut Bawa dkk. (1988 : 31) adalah ragam bahasa

yang digunakan pada komunikasi resmi, wacana teknis seperti laporan resmi dan

karangan ilmiah (populer), pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan

yang dihormati.

1.5. Sumber Data

Data penelitian ini bersumber dari bahan tertulis, yaitu kumpulan cerita

rakyat dari seluruh Indonesia yang berjudul Dongeng Rakyat Se- Nusantara (t.t.)

karya Kidh Hidayat. Dalam karya ini terdapat 26 cerita rakyat dari 26 propinsi yang

ada di Indonesia, mulai dari cerita rakyat dari Aceh sampai dengan cerita rakyat dari

Irian Jaya. Di samping itu, terdapat pula cerita rakyat dari mancanegara, yaitu cerita

rakyat dari Timur Tengah, Inggris, Spanyol, dan Rusia. Dengan demikian, pemilihan

kumpulan cerita ini sebagai sumber data dapat dianggap mewakili pemakai bahasa

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

158

Indonesia dari berbagai latar belakang geografis dan mempresentasikan pemakaian

bahasa Indonesia dalam berbagai kehidupan di Indonesia. Selain itu, pemakaian

bahasa Indonesia dalam kumpulan cerita rakyat tersebut memenuhi persyaratan

kebahasaan yang menjadi objek dalam penelitian ini, yakni pemakaian bahasa

Indonesia ragam baku.

1.6. Metode Penulisan

Dalam penelitian ini digunakan tiga macam metode, yakni 1) metode

penyediaan data, 2) metode analisis data, dan 3) metode penyajian hasil analisis

data. Ketiga metode tersebut akan diuraikan di bawah ini.

Dalam penyediaan data digunakan metode kepustakaan karena data diambil

dari bahan tertulis, yakni kumpulan cerita rakyat yang berjudul Dongeng Rakyat Se-

Nusantara. Teknik catat digunakan sebagai teknik lanjutan, yakni penulis mencatat

setiap kalimat yang menggunakan verba berafiks infleksi.

Dalam analisis data, pertama-tama dilakukan pemilihan terhadap data yang

terkumpul berdasarkan makna infleksi yang ditemukan, apakah aktif, pasif,

resiprokal, aksidental, eksesif, iteratif, atau irregular. Langkah selanjutnya adalah

penentuan jenis-jenis afiks infleksi. Dalam hal-hal tertentu, misalnya, untuk

mengukur produktivitas afiks digunakan teknik seperti yang dianjurkan oleh

Sudaryanto (1993 : 36), yaitu teknik substitusi, teknik penambahan, dan teknik

parafrasa.

Setelah analisis data dilakukan, langkah selanjutnya adalah

pengorganisasian dan penulisan hasil analisis data. Hasil analisis disajikan dengan

metode informal (dengan kata-kata biasa) dan metode formal (dengan tanda dan

lambang-lambang).

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

159

II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1. Kajian Pustaka

Kajian afiksasi bahasa Indonesia pada khususnya dan morfologi pada

umumnya memang sudah cukup banyak. Akan tetapi, tidak semua hasil kajian itu

akan dipetakan di sini. Uraian ini hanya mencakup hasil kajian yang dianggap gayut

terhadap topik yang akan dibahas.

Ramlan dalam bukunya Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif membahas

seluk-beluk struktur kata dalam bahasa Indonesia yang dipergunakan dewasa ini. Ia

berpegang pada teori struktural yang menggunakan model penataan. Seluruh proses

morfologis yang ada dalam Bahasa Indonesia dibahas olehnya, yakni afiksasi,

pengulangan, dan pemajemukan. Dalam subbutir fungsi pembubuhan afiks dan

pengulangan, ia mengulas fungsi dan makna masing-masing afiks dengan sangat

rinci (1987: 54-63; 106-175). Dalam buku ini, tidak ditemukan secara eksplisit

pemilahan afiks nomina, verba, adjektiva, atau adverbia. Kelemahan lain yang dapat

ditemukan dalam kajian tersebut adalah tidak adanya deskripsi tentang afiks derivasi

dan infleksi. Di samping itu, ia juga tidak menjelaskan bagaimana proses afiksasi itu

terjadi, dan apakah dalam proses afiksasi ini tidak menemukan kendala. Atas dasar

kelemahan itu, maka kajian Ramlan belum dapat dianggap sempurna. Walaupun

demikian, deskripsi tentang fungsi afiks, jenis bentuk dasar yang dapat diikatnya,

dan sejumlah makna afiks yang muncul dalam proses afiksasi merupakan hal yang

sangat berharga dalam kaitannya dengan kajian ini.

Pendekatan khas yang membedakan kajian proses morfologis Kridalaksana

(1989) dalam Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia dengan kajian-kajian

lainnya adalah adanya interaksi antara leksikon dan gramatika dan pemanfaatan

konsep leksem. Meskipun ia bukan penganut aliran transpormasi generatif, model

proses dimanfaatkan dengan dasar bahwa model proses ini cocok untuk

menggambarkan morfologi bahasa Indonesia secara keseluruhan. Konsep afiksasi

menurut Kridalaksana adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata

kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

160

tertentu sehingga berstatus kata (atau setelah berstatus kata berganti kategori),dan

(3) sedikit banyak berubah maknanya. Sekilas, tampak telaah yang dilakukan oleh

Kridalaksana cukup mendalam dan menyeluruh karena dapat menampilkan 89

bentuk afiks dan sekitar 274 kemungkinan makna atau petanda yang bisa

diungkapkan, belum terhitung perubahan-perubahan kelas yang dilibatkannya.

Selain itu, ia telah mengklasifikasikan secara jelas fungsi afiks. Keunggulan yang

lain tentang kajian ini adalah proses pembentukan kata yang dipaparkan tidak hanya

mencakup kata-kata baku (ragam standar), tetapi juga yang nonbaku (nonstandar)

(1989 : 25-85). Jadi, dalam ulasan ini, Kridalaksana banyak menampilkan hal yang

baru yang belum pernah dibahas oleh ahli lain (1989 : 25-85). Di balik keunggulan-

keunggulan tersebut, terdapat juga kelemahan dalam kajian ini, yakni tidak adanya

pembagian yang eksplisit tentang afiks yang berfungsi derivasi dan yang berfungsi

infleksi. Kridalaksana justru mengatakan bahwa afiks infleksional sangat tidak

relevan dibicarakan dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak

tergolong bahasa fleksi. Padahal seperti contoh-contoh yang diberikan dalam

pembahasan derivasi dan infleksi oleh Parera dalam Morfologi Bahasa (1994 : 21-

23) menunjukkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada afiks yang berfungsi infleksi.

Parera (1994) dalam Morfologi Bahasa tidak mendeskripsikan morfologi

bahasa secara khusus. Walaupun demikian, contoh-contoh yang diberikan lebih

banyak dengan data dan model bahasa Indonesia, termasuk di dalam membahas

derivasi dan infleksi. Pembahasan pada subbab derivasi dan infleksi ini dapat

memberikan petunjuk bahwa secara garis besarnya afiks dalam afiksasi bahasa

Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni afiks infleksional dan afiks

derivasional. (1994 : 21-23; 123-128). Dari pembahasan ini dapat dilihat bahwa

Parera memberikan contoh-contoh afiks derivasional yang jauh lebih lengkap dan

rinci jika dibandingkan dengan contoh-contoh yang diberikan terhadap afiks

infleksional. Ini membuktikan bahwa pembahasan-pembahasan tentang afiksasi

infleksional bahasa Indonesia kurang mendapat perhatian, bahkan peneliti lainnya

seperti Ramlan dan Kridalaksana, misalnya, sama sekali luput dari pembahasannya.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

161

Walaupun demikian, apa yang dilakukan oleh Parera merupakan langkah maju

dalam kajian morfologi bahasa Indonesia, dan contoh-contoh yang diberikan dalam

pembahasan derivasi dan infleksi ini dapat memberikan petunjuk, arah, dan

informasi yang sangat berarti dalam kajian afiksasi infleksional yang penulis

lakukan.

2.2. Konsep

Ada dua konsep yang perlu diuraikan pada subbab ini, yaitu derivasi dan

infleksi.

Aronoff (1976: 1-2) mengatakan bahwa secara tradisional gejala morfologi

dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gejala derivasional dan gejala infleksional.

Gejala derivasional berkaitan dengan kategori leksikal. Artinya, proses derivasional

menyangkut proses pembentukan kata baru. Gejala infleksional berkaitan dengan

kategori gramatikal. Itu berarti dalam proses infleksional tidak terjadi proses

pembentukan kata baru, tetapi terjadi pemrosesan kata sehingga dapat berfungsi

dalam satuan gramatikal tertentu.

Malmkjaer dkk. (1991: 317-318) mengatakan bahwa infleksi menyangkut

proses perubahan bentuk kata, sedangkan derivasi menyangkut proses pembentukan

kata, baik yang mengubah kelas maupun yang mempertahankan kelas. Proses

infleksi baru dapat dilakukan apabila suatu bentuk telah mengalami proses derivasi

atau pemajemukan. Oleh karena itu, infleksi merupakan proses yang menutup kelas.

Kategori infleksi mencakup kala, diatesis, jenis kelamin, dan jumlah yang

merupakan kaidah terpenting dalam sintaksis dan sering disebut kategori

morfosintaksis. Proses infleksi sangat produktif dan biasanya dilakukan pada stem

(bentuk dasar) dan bukan root (bentuk asal). Makna infleksi teratur dan teramalkan.

Spencer (1991 : 20-21)berpendapat bahwa infleksi adalah varian dari satu

kata yang sama dan cenderung tidak mengubah kelas. Derivari merupakan proses

pembentukan kata, pada umumnya mengubah kategori bentuk dasar. Istilah derivasi

zero atau morfologi konversi atau null atau zero afixation adalah untuk menandai

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

162

proses pembentukan kata yang tidak menunjukkan adanya perubahan bentuk dasar.

Proses infleksi menyangkut proses penambahan unsur ekstra pada kata, misalnya

penambahan makna (kala, aspek, modus, negasi, dan lain-lain) dan juga terjadi

penambahan atau perubahan fungsi gramatikal. Dua prinsip dasar yang mencirikan

infleksi adalah kesesuaian dan kepenguasaan (agreement and goverment).

Robins (1959 dan 1998) dalam tulisannya tentang sistem dan struktur

bahasa Sunda yang diterjemahkan oleh Kridalaksana berpendapat bahwa sebagian

besar pembentukan kata dapat diklasifikasikan sebagai derivasi, dalam hal kata itu

dihasilkan dengan kelas yang tidak sama atau kelas yang berbeda dengan kata asal

atau akar. Proses morfologis dalam bahasa Sunda berikut ini dapat dimasukkan

dalam proses infleksi, yaitu (a) nasalisasi verba, sebagai penanda aktif; (b) prefiksasi

di- dan ka- untuk verba pasif; (c) Afiksasi yang menandai beberapa persona; (d)

pembentuk nomina jamak; (e) pembentuk verba jamak (1983 : 80,83).

Prinsip dasar derivasi adalah proses pembentukan kata, apakah kata yang

terbentuk itu berubah kelas atau tidak. Prinsip dasar infleksi adalah pemrosesan kata

menjadi satuan yang dapat digunakan dalam tataran gramatikal tertentu. Tidak

menjadi soal, apakah proses itu mengakibatkan perubahan bentuk kata atau tidak.

Secara umum, infleksi selalu berkaitan dengan masalah kala, diatesis, jenis

kelamin, dan jumlah. Oleh karena itu, proses infleksi--khususnya dalam bahasa

Inggris--pada umumnya dikaitkan dengan pemakaian kata dengan kala yang

berbeda, aktif-pasif, maskulin-feminim, dan tunggal-jamak. Bertolak dari prinsip

dasar itu, maka Robins (1959) mengatakan bahwa nasalisasi verba sebagai penanda

aktif, prefiksasi penanda pasif, afiksasi persesuaian persona, pembentuk nomina

jamak, dan pembentuk verba jamak tergolong proses infleksi.

Dalam telaah afiksasi verbal bahasa Indonesia, konsep dasar infleksi yang

diterapkan dalam penelitian ini, bersumber pada konsep dasar infleksi dalam bahasa

Inggris yang telah dikemukakan para ahli di atas. Prinsip dasar ini akan disesuaikan

dengan kenyataan yang ada dalam bahasa Indonesia. Atas dasar itu, maka telaah

infleksi dalam afiksasi verbal bahasa Indonesia mencakup infleksi aktif, infleksi

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

163

pasif, infleksi aksidental, infleksi aksesif, infleksi jamak (iteratif), dan infleksi

ketidakteraturan (irregular) (Bandingkan dengan Tampubolon, 1977 : 235-285).

Dari sejumlah pendapat yang dipetakan di atas, dapat disimpulkan bahwa a)

secara umum afiks dapat diklasifikasikan ke dalam afiks derivasional dan afiks

infleksional, b) afiks derivasional dapat membentuk leksem baru, sedangkan afiks

infleksional tidak, c) bentuk-bentuk yang sudah mengalami proses derivasi masih

dapat mengalami proses infleksi, tetapi tidak bisa terjadi sebaliknya, d) pada

umumnya, proses derivasi terjadi lebih dulu sebelum mengalami proses infleksi, dan

e) proses derivasi bersifat kurang produktif (ada beberapa idiosinkrasi), sedangkan

proses infleksi bersifat produktif (hampir tidak ditemukan kendala).

2.3. Kerangka Teori

Penelitian ini berpegang pada prinsip kerja teori morfologi generatif, yang

semula dicetuskan oleh Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalies

(1984), dan dimodifikasi Dardjowidjojo (1988). Pemilihan teori ini didasarkan atas

pertimbangan bahwa teori morfologi generatif berpatokan pada cara kerja yang

menekankan proses (Item and Proces) (IP) sehingga mampu menjelaskan bagaimana

proses terbentuknya suatu kata baru. Cara kerja seperti ini mencakup semua proses

yang lazim, mungkin, dan tidak mungkin. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut

produktivitas dan kendala produktivitas, sedangkan kajian afiksasi bahasa Indonesia

yang telah dilakukan sebelumnya sebagian besar menggunakan teori struktural

khususnya struktural Amerika yang menerapkan model Item and Arrangement (IA)

sehingga kurang memberi penjelasan bagaimana proses terjadinya suatu bentuk.

Menurut Halle (1973), morfologi terdiri atas tiga komponen yang saling

terpisah: (1) list of morphemes (daftar morfem, selanjutnya disingkat DM); (2) word

formation rules (kaidah/aturan pembentukan kata, selanjutnya disingkat APK); dan

(3) filter (saringan, penapis, tapis) (Halle, 1973 :3-8).

Dalam DM ditemukan dua macam anggota, yaitu akar kata (yang dimaksud

adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik derivasional maupun infleksional.

Butir leksikal yang tercantum dalam DM tidak hanya diberikan dalam bentuk urutan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

164

segmen fonetik, tetapi harus dibubuhi beberapa informasi gramatikal yang relevan.

Misalnya, write dalam bahasa Inggris harus diberi keterangan : termasuk verba dasar

bukan berasal dari bahasa Inggris dan lain-lain.

Komponen kedua adalah APK, yaitu komponen yang mencakup semua

kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem yang ada pada DM. APK

bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial dalam bahasa. Oleh karena itu,

APK menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata dan bentuk-

bentuk potensial yang belum ada dalam realitas. Bentuk-bentuk potensial

sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK dan DM, tetapi bentuk-

bentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan. Misalnya, bentuk mencantik dan

berbus dalam bahasa Indonesia dan ngejuk dan *nyelem dalam bahasa Bali adalah

hasil APK karena semua bentuk itu memenuhi syarat dalam penerapan APK.

Komponen ketiga, yaitu komponen saringan atau penapis berfungsi

menyaring bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh APK dengan menempeli beberapa

idiosinkrasi, seperti idiosinkrasi fonologi, idiosinkrasi leksikal, atau idiosinkrasi

semantik. Idiosinkrasi merupakan keterangan yang ditambahkan pada bentuk-bentuk

yang dihasilkan APK yang dianggap “aneh”. Hal ini, dimaksudkan agar bentuk-

bentuk potensial/tidak lazim tidak masuk dalam kamus. Secara garis besar,

pandangan Halle tentang morfologi dapat dilihat pada diagram di bawah ini.

DIAGRAM I

(Halle, 1973 : 8 ; Scalise, 1984 : 23--25 ; Dardjowodjojo, 1988 : 36).

List of

Morphemes Word

Formation

Rules

Filter Dictionary

of

Words

Output Phonology Syntax

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

165

Sesungguhnya, APK yang diusulkan Halle memakai morfem sebagai

bentuk minimal yang dipakai sebagai landasan penurunan kata sehingga sering

disebut morpheme based. Akan tetapi, pengertian morfem yang diajukan Halle

sangat berbeda dengan yang lumrah dimengerti orang. Menurut Halle dalam kata

transformational dianggap ada lima morfem. Kelima morfem itu adalah trans-form-

at-ion-al (1973 : 3). Cara seperti ini jelas tidak diterapkan karena tidak mungkin

menguraikan kata menjangan menjadi men-jangan hanya karena dalam bahasa

Indonesia ada afiks men- seperti pada menjangan.

Daftar morfem yang memuat dasar dan afiks yang diusulkan Halle juga

mengandung kelemahan karena tidak mempertimbangkan adanya morfem pangkal

seperti yang terdapat dalam Bahasa Indonesia. Morfem pangkal juga berpotensi

untuk membentuk kata. Jika mengikuti pendapat Halle, maka bentuk itu tidak

mungkin diberi keterangan sintaksis karena kategorinya belum pasti sebelum

mendapat afiks atau bergabung dengan bentuk lain. Misalnya, bentuk juang, temu

dalam bahasa Indonesia berpotensi menjadi verba atau nomina, bergantung dari

afiks atau morfem lain yang mengikutinya. Halle tidak menyediakan tempat untuk

menampung bentuk seperti yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, DM Halle

harus diperluas sehingga DM tidak hanya menampung dasar dan afiks, tetapi juga

bentuk yang sejenis temu (Periksa saran Dardjowidjojo, 1988 : 57).

Meskipun Halle mencantumkan kamus dalam diagramnya, ia tidak

menganggap bahwa kamus merupakan bagian integral dari morfologi generatif.

Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena APK dapat

memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Di samping itu, kamus juga

menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan. Oleh karena itu, Dardjowidjojo

(1988 : 57) menganggap bahwa kamus merupakan bagian yang integral dalam

morfologi generatif.

Bentuk-bentuk potensial menurut Halle tidak dimasukkan dalam kamus.

Tidak diberi penjelasan di mana bentuk itu ditampung. Dardjowidjojo berpendapat

bahwa bentuk-bentuk potensial ini dapat disimpan dalam kamus. Akan tetapi, untuk

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

166

e

membedakan dengan kata nyata ia mengusulkan agar bentuk potensial diberi

keterangan tambahan atau diberi tanda (*).

Saringan atau penapis dengan beberapa idiosinkrasi dapat memberikan

informasi mengapa bentuk tertentu dapat diterima dan mengapa bentuk lain tidak.

Hal ini merupakan langkah maju dalam analisis morfologi yang selama ini hanya

diterangkan sebagai perkecualian atau dihindari sama sekali. Oleh karena itu,

penulis menganggap bahwa penerapan teori morfologi generatif dalam kajian

afiksasi verba bahasa Indonesia sangat gayut.

Berdasarkan diagram yang diajukan oleh Scalise (1984 : 31),

Dardjowidjojo merombak model Halle seperti tampak di bawah ini (Dardjowidjojo,

1988 : 57).

DIAGRAM II

Dengan merombak pandangan Halle, Dardjowidjojo mengusulkan adanya

empat komponen yang integral dalam morfologi generatif. Keempat komponen itu

Kata dasar

Bebas

Terikat

A

f

i

k

s

a

b

c

d

i

f k

j

h

g

DM APK SARINGAN KAMUS

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

167

adalah DM, APK, saringan, dan kamus. Pada komponen DM dipisahkan antara

bentuk bebas dan bentuk terikat. Ini dimaksudkan untuk menampung bentuk terikat,

seperti morfem prakategorial. Mekanisme model ini adalah : bentuk bebas seperti

baju, sabit, dan lain-lain melalui jalur a. tanpa terhambat di saringan. Jalur b. untuk

bentuk bebas setelah mengalami afiksasi ; apabila tidak ada idiosinkrasi boleh

langsung disimpan dalam kamus, sedangkan apabila dikenali idionsinkrasi harus

lalui jalur c. Jalur d. untuk bentuk potensional yang tidak ada dalam pemakaian,

melalui jalur d.g. dan disimpan dalam kamus dan diberi catatan (*). Untuk bentuk-

bentuk yang mustahil seperti *berjalani, *melukisan akan melewati jalur d-h, dan

akan tertahan di saringan.

Bentuk-bentuk terikat bisa tertahan di saringan apabila afiksasinya keliru.

Misalnya, bentuk juang, selenggara apabila bergabung dengan afiks *ber-i atau

*meN-an lewat jalur e-i. Pemisahan jalur d-g dengan d-h dimaksudkan untuk

membedakan bentuk yang memang tidak mungkin, dan yang ketidakmungkinannya

hanya kebetulan.

Jalur f. pecah menjadi f-j untuk bentuk yang tidak punya idiosinkrasi,

sedang jalur f-k untuk yang memiliki idiosinkrasi. Menurut Dardjowidjojo bentuk

pegolf dianggap sebagai bentuk yang kena idiosinkrasi fonologis, walaupun bentuk

itu beranalogi pada bentuk pegulat dan petinju. Kata berjuang kena idiosinkrasi

semantik.

III. AFIKSASI INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA

3.1. Jenis-Jenis Afiks Infleksional

Untuk mengetahui jenis-jenis afiks infleksional yang terlibat dalam afiksasi

verba bahasa Indonesia, perhatikanlah kalimat berikut.

(1) Tak berpikir panjang, ia menombak babi hutan itu tepat pada lambungnya.

(2) Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bagu Raja

Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong.

(3) Teuku memerintahkan pengawalnya untuk menangkap Gama Dewa.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

168

(4) Untunglah tindakan kasar Cah Saimin dapat dicegah oleh salah seorang dayang

Putri Nini.

(5) Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu

itu diberi nama Si Jampang.

(6) Dengan bahagia mereka berpelukan.

(7) Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak

tumbuh lagi.

(8) Ia terpelanting jauh dan menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong lehernya.

Semua kalimat di atas (1-8) mengandung verba turunan. Secara garis besar,

afiks yang membentuk verba itu dapat dipilah menjadi beberapa bagian, yaitu

prefiks, sufiks, dan konfiks. Ketiga jenis afiks itu tergolong afiks infleksional. Untuk

melihat bahwa ketiga afiks tersebut memiliki fungsi infleksi, seluruh kalimat di atas

dapat dianalisis seperti terurai di bawah ini.

Verba menombak pada kalimat (1) dibentuk dari dasar verba tombak dan

prefiksasi meN-. Verba tombak diturunkan dari nomina tombak melalui proses

derivasi zero atau konversi. Perubahan tombak menjadi menombak merupakan

proses infleksi karena di samping menombak sebagai verba, juga ditemukan verba

tombak. Misalnya, Tombak babi itu !. Jadi, proses prefiksasi nasal bukan

membentuk kata secara leksikal, tetapi membentuk satuan yang berfungsi untuk

menandai diatesis aktif.

Verba mematuki pada kalimat (2) memiliki kedekatan makna dengan verba

patuki yang dibentuk dari dasar verba patuk dan sufiksasi -i. Perubahan dari patuki

menjadi mematuki bersifat gramatikal. Bentuk mematuki muncul dalam konstruksi

gramatikal yang mementingkan subjek sebagai pelaku, sedangkan konstruksi patuki

mementingkan predikat sebagai tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, sufiks -i

pada mematuki disebut afiks infleksional. Hal ini sama dengan contoh kalimat (3)

yang memiliki bentuk perintah sebagai verba dasar dan sufiksasi -kan, dan

kemudian dibubuhkan prefiks meN-.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

169

Dalam kalimat (4), verba dicegah berasal dari dasar verba cegah dan

prefiksasi di-, sedangkan bentuk aktif ditandai oleh meN-, yaitu mencegah. Jadi, di-

termasuk afiks infleksional.

Afiks pada kalimat (5), (6), (7), dan (8) juga tergolong afiks infleksional,

yaitu sebagai penanda resiprokal, penanda eksesif, dan penanda aksidental. Masing-

masing ditemui pada verba berdebat (5), berpelukan, (6), kehausan dan kelaparan

(7), dan terpelanting (8). Afiks infleksional yang ditemukan pada keempat verba itu

adalah ber-, ber-an, ke-an, dan ter-.

Berdasarkan analisis seluruh kalimat di atas (1--8) dapat disimpulkan

bahwa dalam afiksasi verbal bahasa Indonesia terdapat afiks infleksional. Adapun

afiks infleksional ini meliputi : meN-, di-, kan-, -i, ber-, ber-an, ke-an, dan ter-.

Jenis-jenis makna infleksi yang ditandai oleh masing-masing afiks tersebut akan

diuraikan berikut ini.

3.2. Afiksasi Infleksional

Di atas telah disebutkan bahwa dalam bahasa Indonesia ditemukan afiks

meN-, di-, -i, -kan, ber-, ber-an, ke-an, dan ter- sebagai afiks infelksional. Tiap-tiap

afiks merupakan penanda aktif, penanda pasif, penanda resprokal, penanda

aksidental, penanda eksesif, dan penanda iteratif. Di samping itu, juga ditemukan

afiks infleksional yang menandai adanya ketidakteraturan tindakan, yaitu prefiks

ber-an.

3.2.1. Infleksi Aktif

Infleksi aktif adalah proses infleksi yang menyebabkan perubahan bentuk

verba menjadi penanda diatesis aktif. Secara lahir infleksi aktif ditandai oleh

hadirnya meN- pada verba bahasa Indonesia. Amati data berikut ini.

(9) Ia selalu memandang rendah orang lain.

(10) Mereka berusaha memberikan pertolongan sebisa-bisanya.

(11) Kemudian, Gama Dewa mengajari dayang Putri Nini petuah-petuah agama.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

170

Bentuk pandang, berikan, dan ajari masing-masing merupakan bentuk

imperatif yang menjadi dasar infleksi verba memandang, memberikan, dan

mengajari. Oleh karena perubahan verba pandang menjadi memandang, berikan

menjadi memberikan, dan ajari menjadi mengajari semata-mata karena kemauan

penutur untuk memilih bentuk aktif, maka hadirnya afiks meN- (-kan, -i) bersifat

infleksional. Di samping data tersebut di atas, berikut ini juga disajikan beberapa

contoh untuk memperkuat penjelasan dimaksud.

Bentuk Imperatif Bentuk Aktif

bakar membakar

perintahkan memerintahkan

temukan menemukan

percayai mempercayai

Secara ringkas proses infleksi aktif dalam bahasa Indonesia dapat

dirumuskan sebagai berikut.

Verba infleksi

(dasar) (dasar + aktif)

Verba imperatif meN - + verba imperatif „aktif‟

Contoh lain dapat dilihat di bawah ini

(12) Ia menombak babi hutan itu tepat pada lambungnya

(13) Dia (kerbau) sering menanduk badanku hingga rusak dan rata dengan tanah.

Pada kedua kalimat di atas, ditemukan verba menombak (12) dan menanduk

(13). Kedua verba ini masing-masing dibentuk dari dasar verba tombak + prefiks

meN- dan dasar verba tanduk + prefiks meN-. Verba dasar tombak dan tanduk ini

masing-masing merupakan hasil derivasi zero atau konversi dari nomina tombak dan

tanduk.

Berdasarkan data yang ditemukan, ternyata tidak semua nomina (alat)

dapat dibentuk menjadi verba. Untuk itu, perhatikan kalimat berikut ini.

(14) Ia merencong Tuanku Patih

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

171

Secara morfologis, semestinya verba di atas dapat diterima. Akan tetapi,

verba itu tidak pernah muncul dalam pemakaian. Setidak-tidaknya bentuk itu

dianggap janggal. Di sini perlu dibedakan bentuk berterima (acceptable) dan bentuk

gramatikal (gramatical). Tampaknya, tidak semua bentuk yang gramatikal dapat

dijumpai dalam pemakaian. Ketidak-munculan verba di atas disebabkan oleh adanya

kendala dalam proses produktivitas. Untuk mengganti bentuk *merencong yang

berasal dari rencong dalam bahasa Indonesia ditemukan padanannya yang lebih

tepat, yakni menikam. Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan alat seperti di

atas diungkapkan dengan kata menikam. Karena itu, bentuk *merencong tidak

pernah dijumpai dalam pemakaian bahasa Indonesia.

3.3. Infleksi Pasif

Infleksi pasif merupakan proses morfologis yang mengakibatkan

terjadinya perubahan fungsi pada tataran kalimat yang secara teratur ditandai oleh

hadirnya afiks pada struktur lahir. Perubahan fungsi yang dimaksud di sini adalah

perubahan fungsi sintaksis, yaitu konstituen yang berfungsi objek pada kalimat aktif

berubah menjadi fungsi subjek pada kalimat pasif. Dalam bahasa Indonesia infleksi

pasif secara teratur ditandai oleh hadirnya prefiks di-, (-kan, -i), ter-, dan klitik pada

verba transitif. Kalimat (15), (16), (17), (18), (19), (20), (21), (22), dan (23) berikut

adalah kalimat pasif yang ditandai oleh hadirnya prefiks di-, (-kan, -i), ter-, dan

klitik ku-, kami, kita, dan kau.

(15) Tapi, akhirnya Cah Saimin dapat diringkus oleh para pengawal kerajaan

Tampuh.

(16) Setelah usianya cukup dewasa, ia dinikahkan dengan seorang gadis cantik

dari Kebayoran Lama (oleh orang tuanya).

(17) Kebun itu ditanami tebu yang tumbuh dengan suburnya (oleh Oheo).

(18) I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu.

(19) Kedatangan si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

172

(20) Engkau tadi dapat kukalahkan karena engkau memakai tanduk sehingga

larimu lambat.

(21) Jika tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian isi muatan perahu akan

kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.

(22) Kalau begitu, kita hancurkan kerajaan Lodaya.

(23) Kau jemput aku besok saja sebab aku belum mandi.

Kalimat (15), (16), dan (17) memperlihatkan bahwa pasif ditandai oleh prefiks di-

(-kan, -i), kalimat (18) dan (19) ditandai oleh prefiks ter-, dan kalimat (20), (21),

(22), dan (23) masing-masing ditandai oleh klitik ku-, kami, kita, dan kau. Verba

pada kalimat di atas (15--22), yaitu diringkus, dinikahkan, ditanami, terkejut,

kukalahkan, kami serahkan, kita hancurkan, dan kau jemput masing-masing berasal

dari ringkus, nikah, tanam, kejut, kalah, serah, hancur, dan jemput.

Semua kalimat pasif di atas dapat dikembalikan ke dalam bentuk aktifnya

seperti di bawah ini.

(15a) Tapi, akhirnya para pengawal kerajaan Tampuh dapat meringkus Tampuh.

(16a) Setelah usianya cukup dewasa, orang tuanya menikahkan anaknya dengan

seorang gadis cantik dari Kebayoran Lama.

(17a) Oheo menanami kebun itu dengan tebu yang tumbuh dengan suburnya.

(18a) Suara gaib itu sangat mengejutkan I Gusti Gede Pasekan.

(19a) Kedua orang tuanya mendengar kedatangan si Kulup di desanya.

(20a) Aku tadi dapat mengalahkan engkau karena engkau memakai tanduk

sehingga larimu lambat.

(21a) Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, kami akan menyerahkan

sebagian isi muatan perahu (ini) kepada Tuan sebagai upahnya.

(22a) Kalau begitu, kita akan menghancurkan kerajaan Lodaya.

(23a) Kau menjemput aku besok saja sebab aku belum mandi.

Tampaknya, baik prefiks di- (-kan, -i), ter-, maupun klitik ku-, kami, kita

dan kau dapat digunakan secara bergantian. Itu berarti baik prefiks di- (-kan, -i), ter-

, maupun klitik ku-, kami, kita, dan kau memiliki fungsi yang sama, yakni sama-

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

173

sama pembentuk pasif. Akan tetapi, apabila dikaji lebih mendalam ternyata afiks

dan klitik tersebut memiliki perbedaan prilaku sintaksis. Pelaku pada kalimat pasif

yang ditandai dengan klitik adalah pronomina persona, sedangkan pasif yang

ditandai oleh di- pelakunya nomina nonpronomina, dan ter- bisa kedua-duanya.

Prefiks di- dan ter- bisa diikuti oleh prefosisi oleh, sedangkan klitik tidak. Prefiks

ter- digunakan untuk mengungkapkan suatu proses yang tidak disengaja, sedangkan

prefiks di- dan klitik sebaliknya.

Kalimat pasif (15), (16), (17), (18), (19), (20), (21), (22), (23) dan padanan

aktifnya (15a), (16a), (17a), (18a), (19a), (21a), (22a), (23a) di atas memiliki

hubungan, baik secara sintaksis maupun secara semantik. Secara sintaksis,

penentuan subjek pada kalimat pasif berkaitan dengan objek pada kalimat aktif.

Secara semantik, agen pada kalimat pasif sama dengan agen pada kalimat aktif.

Demikian pula, pasien pada kalimat pasif sama dengan pasien pada kalimat aktif.

Walaupun demikian, kalimat pasif dan kalimat aktif memiliki perbedaan, terutama

pada cara pengemasan informasi yang dikaitkan dengan masalah tematikalisasi. Hal

itu, selaras dengan pernyataan Gruber (1976 : 157) yang mengatakan bahwa bentuk

pasif tidak mengubah semua unsur makna kalimat aktif.

Sehubungan dengan kalimat pasif, Palmer (1987) mengatakan bahwa

konstruksi pasif adalah konstruksi yang agentless atau tidak menonjolkan konstituen

pada urutan pertama sebagai pemegang peran agen (Periksa kembali kalimat pasif di

atas). Konstruksi pasif berkaitan dengan ketransitifan verba. Artinya, konstruksi

yang dapat dipasifkan adalah konstruksi yang verbanya tergolong verba transitif.

Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa pemasifan berkaitan dengan topikalisasi (1987 :

77-83).

Dalam kaitan dengan topikalisasi Brown dan Miller mengatakan bahwa

konstituen yang dikedepankan ditekankan sebagai pusat pengisahan. Dalam kalimat

aktif subjek agen sebagai pusat pengisahan, sedangkan dalam kalimat pasif subjek

pasien sebagai pusat pengisahan (1980 : 103).

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

174

Berkaitan dengan pengedepanan konstituen sebagai pusat pengisahan,

Chafe menyebut konstituen yang dikedepankan sebagai old (informasi lama) dan

konstituen yang mengikutinya sebagai new (informasi baru). Kedua konsep itu dapat

disejajarkan dengan tema-tema atau topik-komen (1970 : 211 ; Bandingkan dengan

Lyons, 1977 : 500-511).

Di atas telah disinggung bahwa aktif-pasif berkaitan dengan ketransitifan

verba. Artinya, pemasifan hanya dapat dilakukan apabila verba pada kalimat itu

tergolong verba transitif. Apabila verba pada kalimat yang bersangkutan tergolong

verba intransitif, maka pemasifan tidak dapat dilakukan. Jadi, kalimat dengan verba

intransitif berikut ini tidak dapat dipasifkan.

(24) Keesokan harinya raksasa sakti mengamuk

(25) Ia menangis minta makan

(26) Putri Nini menikah dengan Gama Dena

(27) Timun Emas pun ikut menyanyi sampai larut malam.

Mengenai masalah ketransitifan verba, Lyons berpendapat bahwa apa yang

secara tradisional disebut verba transitif adalah verba yang memiliki dua valensi dan

menguasai objek langsung (Lyons, 1977 : 486 ; Bandingkan dengan Spencer, 1991 :

10). Oleh karena verba pada kalimat (24), (25), (26) dan (27) tergolong verba

intransitif, maka dapat dikatakan bahwa keempat verba pada kalimat itu memiliki

satu valensi.

Meskipun kalimat pasif memiliki kaitan dengan kalimat aktif, akan tetapi

tidak semua kalimat aktif dapat dipasifkan. Hal itu disebabkan adanya beberapa

kendala dalam hubungannya dengan aktif-pasif. Dalam bahasa Inggris, Quirk

mencatat adanya lima kendala dalam aktif pasif : (a) kendala verba, (b) kendala

objek, (c) kendala agen, (d) kendala makna, dan (e) kendala frekuensi pemakaian

(Quirk at al., 1985 : 162-126).

Dari semua kendala yang disebutkan di atas, penulis melihat adanya

kendala aktif-pasif dalam bahasa Indonesia, yaitu kendala verba dan kendala makna.

Kendala verba yang dimaksudkan di sini adalah pemasifan tidak dapat dilakukan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

175

karena sejumlah verba yang hanya memiliki bentuk aktif dan tidak memiliki bentuk

pasif, seperti kalimat berikut.

(28) Sang Raja ingin sekali mempunyai seorang anak putri.

(28a) * Seorang anak putri ingin sekali dipunyai oleh Sang Raja

(29) Putri Cermin Cina menjerit kesakitan

(29a) * Kesakitan dijerit oleh Putri Cermin Cina.

Kendala verba yang lain adalah ada (beberapa) kalimat yang berverba pasif

tidak dapat dikembalikan pada konstruksi aktif seperti kalimat berikut.

(30) Dusun Aroempi banyak ditumbuhi tanaman sagu.

(30a) * Tanaman sagu banyak menumbuhi Dusun Aroempi

(31) * Ia benar-benar terpukul hatinya melihat peristiwa tadi

(31a) Melihat peristiwa tadi hatinya benar-benar memukulnya

Di samping kendala verba, dalam bahasa Indonesia juga ditemukan kendala

makna sehingga pemasifan tidak dapat dilakukan. Kendala makna yang

dimaksudkan adalah makna kalimat aktif tidak persis sama dengan kalimat pasif.

Misalnya, kalimat (31) dan (31a), (32), (32a), dan (32b) berikut ini tidak memiliki

makna yang sama.

(31) Suatu ketika Sanggmaima berburu babi hutan

(31a) * Suatu ketika babi hutan diburu oleh Sanggmaima.

(32) Ibu mau menanam padi dulu

(32a) * Padi mau ditanam dulu oleh ibu

(32b) * Padi mau ibu tanam dulu

Proses infleksi pasif dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan sebagai

berikut.

Verba dasar/pangkal Infleksi

(Verba aksi/pangkal) (dasar/pangkal + pasif)

Verba aksi/pangkal di- (-kan, -i) / ter- / klitik +

verba aksi/pangkal ‘pasif’

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

176

3.2.3. Infleksi Resiprokal

Infleksi resiprokal adalah proses infleksi yang terjadi pada verba dasar yang

tergolong verba aksi. Proses infleksi menyebabkan verba dasar bermakna

„saling/berbalasan‟. Infleksi resiprokal dalam bahasa Indonesia ditandai oleh prefiks

ber- dan konfiks ber-an. Kalimat (33), (34), (35), (36), dan (37) berikut ini akan

memperjelas hal itu.

(33) Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur

seminggu itu diberi nama si Jampang.

(34) Setelah meninggalkan pesan itu, kedua naga itu pun bertempur di sungai,

yang telah mengubah ujud mereka.

(35) Mereka berkenalan.

(36) Dengan bahagia mereka berpelukan.

(37) Bahkan Patih Inderkala yang dikirim ke perbatasan telah binasa lebih dulu

karena berpapasan dengan pasukan Bandarangin.

Verba berdebat (33), bertempur (34) masing-masing berasal dari ber- dan

debat (verba dasar), ber- dan tempur (bentuk prakategorial atau pangkal), sedangkan

verba berkenalan (35), berpelukan (36), dan berpapasan (37) masing-masing

berasal dari kenal (pangkal), peluk (verba dasar, biasa dipakai sebagai imperatif),

dan papas (bentuk prakategorial). Ketiga bentuk tersebut mendapat konfiks ber-an

sehingga membentuk verba seperti pada (35), (36), dan (37). Secara semantik,

kelima verba di atas telah menyiratkan adanya dua pelaku atau lebih karena tindakan

berdebat, bertempur, berkenalan, berpelukan, dan berpapasan tidak dapat dilakukan

oleh seorang pelaku.

Kaidah resiprokal prefiks ber- dan ber-an dapat disajikan sebagai berikut

Pangkal /verba dasar Infleksi

(pangkal atau verba dasar) Pangkal/verba dasar + resiprok)

Pangkal/dasar ber-/ber-an + pangkal/dasar

„saling, beralasan‟

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

177

3.2.4. Infleksi Aksidental

Dalam proses infleksi aksidental verba aksi mendapat tambahan ciri

semantik sehingga verba aksi berarti „tiba-tiba/perlakuan atau aksi yang tidak

disengaja‟. Makna aksidental ditandai oleh prefiks ter-.

(38) Putri Nini terjatuh ke dalam sumur muara.

(39) Tubuh Raja Singabarong terpental, menggelepar-gelepar di atas tanah.

(40) Akhirnya kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika.

(41) Istri Tulup ini juga mendapat pukulan yang dahsyat dari Abo dan terlempar

jauh, maka matilah suami istri itu.

Verba terpental pada (39) berasal dari morfem pangkal pental. Bentuk

pental ini terikat dengan bentuk lain seperti ter- pada terpental, sedangkan verba

terjatuh, terbalik dan terlempar berasal dari bentuk dasar jatuh, balik, dan lempar.

Ketiga bentuk dasar itu dapat hadir secara mandiri sebagai unsur kalimat, seperti

tampak pada kalimat berikut ini.

(41) Ia jatuh

(42) Balik !

(43) Lempar batu itu !

Berdasarkan data yang ada, infleksi aksidental dapat dilakukan pada verba

intransitif. Proses infleksi aksidental dalam bahasa Indonesia dapat dikaidahkan

sebagai berikut.

Verba dasar/pangkal Infleksi

(Verba aksi / pangkal) (dasar / pangkal + aksidental)

Verba dasar / pangkal ter- + dasar/pangkal

„tiba-tiba/tidak disengaja‟

3.2.5 Infleksi Eksesif

Proses infleksi eksesif merupakan proses penambahan ciri semantik pada

verba keadaan sehingga verba keadaan mengandung arti „sifat atau keadaan yang

berlebihan‟. Baik verba keadaan maupun verba hasil infleksi sama-sama tergolong

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

178

verba keadaan. Dalam bahasa Indonesia infleksi eksesif ditandai oleh ke-an. Verba

pada (44), (45), (46), dan (47) di bawah ini adalah verba yang bermakna eksesif.

(44) Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak

tumbuh lagi.

(45) Mungkin ia masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.

(46) Mereka ketakutan dan memohon kepada Dena Iriwonawai agar

memadamkan awan merah itu.

(47) Sejak ditinggal mati istrinya, si Jambang merasa kesepian.

Kelima verba di atas kehausan, kelaparan, kelelahan, ketakutan, dan

kesepian berasal dari verba keadaan haus, lapar, lelah, takut, dan sepi. Pembubuhan

konfiks ke-an membentuk verba dasar menjadi verba jadian dengan makna

berlebihan.

Secara ringkas infleksi eksesif dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan

menjadi sebagai berikut.

Verba dasar Infleksi

(Verba keadaan) (dasar + eksesif)

Verba keadaan Verba keadaan + ke-an, „terlalu‟

3.2.6 Infleksi Iteratif

Infleksi iteratif merupakan suatu proses afiksasi yang menyebabkan verba

yang dibubuhi afiks memiliki arti jamak/berulang-ulang. Pengulangan tindakan ini

dapat dilakukan oleh satu pelaku (iteratif) atau beberapa pelaku (tiap-tiap pelaku

hanya melakukan tindakan sekali). Objek sasaran dapat bersifat jamak (plural) atau

tunggal (singular). Infleksi iteratif dalam bahasa Indonesia ditandai oleh hadirnya

sufiks -i atau ber-an pada verba aksi, seperti pada contoh berikut ini.

(48) Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja

Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

179

(49) Namun, ada wataknya yang tidak baik, ia suka mencumbui anak-anak laki-

laki.

(50) Oleh karena itu, mereka pun mulai menghujani kakek mereka dengan

berbagai pertanyaan.

(51) Jika gendang itu berbunyi, orang-orang akan berdatangan dan berkumpul

karena pada kesempatan itulah mereka dapat melihat gendang itu.

Verba mematuki di dalam kalimat (48) menunjukkan adanya kejamakan

tindakan yang dilakukan oleh satu pelaku. Verba itu berasal dari verba dasar patuk

dan sufiks -i, kemudian mengalami nasalisasi. Keteratifan tindakan ditandai oleh

hadirnya sufiks -i karena nasalisasi hanya berfungsi sebagai penyesuaian gramatikal.

Demikian pula verba mencumbui di dalam kalimat (49) mencerminkan adanya

keiteratifan tindakan yang dilakukan oleh satu pelaku -- dalam hal ini pelakunya ia.

Verba menghujani di dalam kalimat (50) dapat ditafsirkan sebagai

kejamakan pelaku (mereka, cucu-cucuku kakek), tetapi dapat juga berarti keiteratifan

tindakan karena setiap anak dapat mengajukan pertanyaan lebih dari sekali,

sedangkan verba berdatangan pada kalimat (51) dapat ditafsirkan sebagai

kejamakan pelaku (banyak orang).

Berdasarkan data di atas, infleksi jamak (pluralis) dalam bahasa Indonesia

dapat dirumuskan sebagai berikut.

Verba dasar Infleksi

(dasar) (dasar + jamak)

Verba aksi Verba aksi + -i/ber-an „jamak /

berulang-ulang‟

3.2.7. Infleksi Irregular

Verba yang dihasilkan oleh proses irregular menunjuk pada „aksi yang

tidak teratur‟. Proses infleksi irregular yang ditemukan terjadi pada morfem pangkal

yang ditandai oleh konfiks ber-an, seperti nampak pada contoh berikut.

(52) Burung malam mulai berkeliaran

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

180

(53) Sementara itu, tikus-tikus sudah berkeliaran lagi.

(54) Dia selalu berkeliaran menjelajah celah-celah pegunungan.

(55) Airlah yang membuat kita begini, pergi berkeliaran ke sana ke mari hingga

ketemu di sini.

(56) Sebelum mandi, burung-burung itu lebih dahulu makan tebu sehingga ampas

tebu berhamburan di tepi sungai.

Verba berkeliaran pada kalimat (52), (53), (54), (55) dan berhamburan

pada (56) di atas berasal dari morfem pangkal keliar dan hambur dan konfiks ber-

an. Melekatnya konfiks ber-an pada morfem pangkal dengan makna

„ketidakteraturan aksi/tindakan atau tindakan yang ke sana ke mari‟ hanya terbatas

pada dua di atas.

Secara ringkas infleksi irregular dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan

menjadi sebagai berikut :

Pangkal Infleksi

(Pangkal) (Pangkal + ketidakteraturan)

Pangkal ber-an + pangkal „ketidakteraturan/

tindakan ke sana ke mari‟

DIAGRAM III. Afiksasi Infleksional Dalam Bahasa Indonesia

No. Jenis Infleksi Penanda Makna

1. Aktif meN- (-kan, -i) „meng-‟

2. Pasif di- (-kan, -i)

klitik (ku-, kau, kami, kita)

ter-

„di-‟

„tiba-tiba / tidak disengaja‟

3. Aksidental ter- „tiba-tiba / tidak disengaja‟

4. Resiprokal ber-

ber-an

„saling/berbalasan‟

5. Iteratif -i

ber-an

„jamak/berulang-ulang‟

6. Eksesif ke-an „berlebihan/terlalu‟

7. Irregular ber-an „ketidakteraturan aksi / tindakan

ke sana ke mari‟

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

181

V. PENUTUP

4.1. Simpulan

Kajian Afiksasi Infleksional dalam Bahasa Indonesia ini mengungkapkan

permasalahan seputar proses morfologis khususnya proses pembubuhan afiks

infleksi yang menghasilkan verba bahasa Indonesia. Permasalahan yang berhasil

dipecahkan dalam penelitian ini dapat dipilah menjadi dua bagian pokok: (1)

pengelompokan afiks infleksi dan (2) makna infleksi yang disebabkan oleh

pembubuhan afiks. Kajian ini dilakukan terhadap bahasa Indonesia standar ragam

tulis. Sumber datanya adalah kumpulan cerita rakyat dari seluruh Indonesia yang

berjudul Dongeng Rakyat Se- Nusantara.

Kajian ini berpatokan pada prinsip kerja teori morfologi generatif, yang

semula dicetuskan oleh Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalise

(1984), dan dimodifikasi oleh Dardjowidjojo (1988). Konsep dasar infleksi yang

diterapkan dalam penelitian ini bersumber pada konsep dasar infleksi dalam bahasa

Inggris yang dikemukakan oleh Aronoff (1976), Malmkjaer (1991), Spencer (1991),

dan Robins (1959 dan 1998). Prinsip dasar ini disesuaikan dengan kenyataan yang

ada dalam bahasa Indonesia.

Teori morfologi generatif adalah teori yang paling mutahir untuk kajian

morfologi. Teori ini sangat tepat digunakan untuk menganalisis afiksasi bahasa

Indonesia karena teori morfologi generatif berpatokan pada cara kerja yang

menekankan proses (Item and Proces) (IP) sehingga mampu menjelaskan bagaimana

proses terbentuknya suatu kata baru. Cara kerja seperti ini mencakup semua proses

yang lazim, mungkin, dan tidak mungkin. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut

produktivitas dan kendala produktivitas.

Berdasarkan hasil analisis data, ada sejumlah afiks yang tergolong afiks

infleksi dalam bahasa Indonesia: (1) prefiks meN-, ber-, di-, dan ter-; (2) sufiks -i

dan -kan; dan (3) konfiks ber-an dan ke-an. Makna infleksi yang timbul sebagai

akibat pembubuhan afiks dalam bahasa Indonesia adalah (1) aktif, yang ditandai

oleh prefiks meN- (-kan, -i); (2) pasif, yang ditandai oleh prefiks di- (-kan, -i), ter-

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

182

dan pronomina persona/klitik (ku-, kau, kami, kita); (3) resiprokal

(saling/berbalasan), yang ditandai oleh prefiks ber- dan konfiks ber-an; (4)

aksidental (tiba-tiba/tidak disengaja), yang ditandai oleh prefiks ter-; (5) eksesif

(sifat atau keadaan yang berlebihan), yang ditandai oleh konfiks ke-an; (6) iteratif

(jamak/berulang-ulang), yang ditandai oleh sufiks -i atau konfiks ber-an; dan (7)

irregular (ketidakteraturan aksi/tindakan ke sana ke mari), yang ditandai oleh ber-an.

4.2. Saran

Penelitian mengenai afiksasi infleksional bahasa Indonesia ini merupakan

kajian yang sangat terbatas, baik mengenai ruang lingkup pembahasannya maupun

mengenai sumber datanya. Oleh karena itu, sangat diperlukan kajian lebih lanjut

tentang hal ini. Jika memungkinkan sangat penting sekali dilakukan penelitian

terhadap proses morfologis bahasa Indonesia yang lebih luas dan mendalam

berdasarkan teori morfologi generatif mengingat kajian morfologi bahasa Indonesia

dengan menggunakan pendekatan ini masih sangat terbatas sekali.

DAFTAR RUJUKAN

Aronoff, Mark. 1976. Word Formation in Generative Grammar. Cambridge :

Massachusets Institute of Technology, The MIT Press.

Bawa, I Wayan dkk. 1988. Bahan Pengajaran Bahasa Indonesia di Perguruan

Tinggi. Denpasar : Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas

Udayana.

Brown, E.K. and J.E. Miller. 1980. Syntax : A Linguistic Introduction to Sentence

Structure. London, Hutchinson.

Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago and

London : The University of Chicago Press.

Dardjowidjojo, Soejono. 1988. “Morfologi Generatif : Teori dan Permasalahannya”

dalam Pellba I. Soenjono (Peny.). Jakarta : Lembaga Bahasa Atma Jaya.

Grady, William O‟ dkk. 1987. Contemporary Linguistic Analysis : An Introduction.

Toronto, A. Longman Company.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

183

Gruber, Jeffry S. 1976. Lexical Structure in Syntax and Semantic : Studies in Lexical

Relations Functions of The Lexicon in Formal Descriptive Grammars.

Amsterdam : North-Holland Publishing Company.

Halle, Moris. 1973. “Prolegomena to a Theory of Word Formation” dalam

Linguistic Inguiry. Vol. IV No. 1.

Huddleston, Rodney. 1984. Introduction to The Grammar of English. Combridge :

Combridge University Press.

Kridalaksana, Harimurti. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta

: Gramedia Pustaka Utama.

Lyons, John. 1977. Semantic Jilid I dan II. Combridge : Cambridge University

Press.

Malmkjaer, Kirsten dkk. 1991. The Linguisticts Encyclopedia. London and New

York Routledge.

Martha, I Nengah. 1986. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia. Singaraja :

FKIP, Universitas Udayana.

Matthews, P.H. 1974. Morphology : An Introduction to The Theory of Word

Structure. London : Combridge University Press.

Palmer, F.R. 1987. The English Verbs. London : Longman.

Parera, Jos Daniel. 1994. Morfologi Bahasa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Quirk, et.al. 1973. A University Grammar of English. England : Longman.

Ramlan, M. 1987. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : CV.

Karyono.

Robins, R.H. 1959. “Nominal and Verbal Derivation in Sundanese” Terjemahan

Harimurti Kridalaksana diterbitkan dalam Sistem dan Struktur Bahasa

Sunda oleh Harimurti Kridalaksana (ed) (1983) Seri ILDEP. Jakarta :

Djambatan.

Robins, 1988. “General Linguistics” diterjemahkan dan diterbitkan kembali dalam

Linguistik Umum : Sebuah Pengantar oleh Soenarjati Djajanegara (1992).

Yogyakarta : Kanisius.

Scalise, Sergio. 1984. Generative Morphology. Dordresct Holland/ Canniminsion-

USA : Foris Publication.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

184

Scpencer, Andrew. 1991. Morphological Theory : An Introduction to Word

Structure in Generative Grammar. Combridge : Combridge University

Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa : Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta : Duta

Wacana University Press.

Tampubolon. D.P. 1977. Verbal Affication in Indonesian : A Semantic Exploration.

Desertasi Georgetown University.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

185

MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

DENGAN MENERAPKAN ASESMEN PORTOFOLIO

Oleh

I Wayan Gunartha

e-mail: [email protected]

Abstract

Teacher's professional ability in conducting the assessment of process and

learning outcomes are indeed still very lacking. Given the ways during this

assessment has many shortcomings, then since the enactment of the competency-

based curriculum, enforced a concept 2004 classroom-based assessment with one

model or his approach is based on the valuation of the portfolio. This paper aims to

provide a clear picture of: (1) understanding the portfolio assessment, (2) the

purpose and function of the assessment portfolio, (3) advantages and disadvantages

of portfolio assessment, and (4) the application portfolio assessment in learning

Indonesian Language. Portfolio assessment is on going assessment based collection

of information that shows the development of the ability of learners within a certain

period.

The purpose of the portfolio assessment is to provide information to parents

about the development of learners complete with support data and documents are

accurate. The portfolio function is as a source of information for teachers and

parents, as a learning tool, as an authentic assessment tool (authentic assessment).

Assessment of this portfolio has many advantages compared to the conventional

assessment, in addition to its shortcomings. In its application in the Indonesian

Language learning, assessment portfolios can be done by following the steps

exactly. Thus, the use of asaesmen portfolio really can be utilized to improve

learning achievements.

Key words : assessment, portfolios, language learning achievements, Indonesia.

A. Latar Belakang Masalah

Para pakar pendidikan dan psikologi di Indonesia banyak memberikan

pandangan dan analisis terhadap mutu pendidikan, tetapi sampai saat ini tidak

pernah tuntas, bahkan muncul masalah-masalah pendidikan yang baru. Masalah

mutu pendidikan yang banyak dibicarakan adalah rendahnya hasil belajar peserta

didik. Padahal kita tahu, bahwa hasil belajar banyak dipengaruhi oleh berbagai

faktor, salah satunya adalah kemampuan profesional guru dalam melakukan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

186

penilaian hasil belajar. Kemampuan professional guru dalam melakukan penilaian

proses dan hasil belajar memang masih sangat kurang. Kebanyakan guru melakukan

penilaian lebih menekannkan pada hasil belajar, sedangkan proses belajar kurang

diperhatikan bahkan cenderung diabaikan. Padahal, proses belajar sangat

menentukan hasil belajar (Arifin, 2009: 194). Di samping itu, para guru juga terbiasa

dengan kegiatan-kegiatan penilaian rutin yang sifatnya praktis dan ekonomis

sehingga tidak heran jika guru banyak menggunakan soal yang sama dari tahun ke

tahun. Walaupun guru telah sering mengikuti pelatihan tentang evaluasi

pembelajaran atau evaluasi hasil belajar, mereka tatap kembali ke habitatnya semula,

tanpa melakukan inovasi, perbaikan, dalam pelaksanaan penilaian.

Mengingat cara-cara penilaian selama ini memiliki banyak kelemahan,

maka sejak diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, diperkenalkan

suatu konsep “penilaian berbasis kelas” (classroom-based assessment) dengan salah

satu model atau pendekatannya adalah “penilaian berbasis portofolio” (portofolio-

based assessment), yaitu suatu model penilaian yang dilakukan secara sistematis dan

logis untuk mengunkapkan dan menilai peserta didik secara komprehensif, objektif,

akurat, dan sesuai dengan bukti-bukti autentik (dokumen) yang dimiliki peserta

didik. Menurut Mardapi (2005: 2), dalam pembelajaran berbasis kompetensi, standar

kompetensi lulusan mencakup kemampuan penalaran, keterampilan, dan

kepribadian. Tiga aspek ini harus dikembangkan melalui program pembelajaran dan

hasilnya dinilai. Hasil penilaian ini merupakan produk kegiatan belajar mengajar.

Selanjutnya, dijelaskan bahwa penilaian memerlukan informasi yang akurat

dari hasil pengukuran terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik dalam semua

aspek. Informasi ini dapat diperoleh melalui tes atau kumpulan semua karya atau

prestasi yang dimiliki peserta didik. Kumpulan karya ini merupakan portofolio dari

peserta didik. Kumpulan karya yang dinilai, sesuai dengan sistem penilaian pada

kurikulum berbasis kompetensi, menjadi bagian pembentukan suatu kompetensi atau

yang terkait dengan kompetensi. Untuk memperoleh informasi yang akurat

diperlukan bukti otentik tentang kemampuan peserta didik. Penggunaan bukti

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

187

otentik dalam sistem penilaian dikenal dengan penilaian otentik, yang salah satu

bentuknya adalah model penilaian portofolio (Mardapi, 2005: 3; Suwandi, 2009: 13;

Depdiknas, 2006: 155).

Implikasi pemberlakuan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis

Kompetensi), yang disempurnakan dalam Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan

(KTSP) 2006 terhadap pola penilaian pembelajaran di sekolah adalah: Pertama,

guru dan kepala sekolah harus berperan sebagai pembuat keputusan dalam

perencanaan dan pelaksanaan kurikulum, termasuk proses pembelajaran. Kedua,

guru harus menyusun silabus yang menjamin terlaksananya proses pembelajaran

yang terarah dan bermakna. Ketiga, guru harus melakukan continuous-autentic

assessment yang menjamin ketuntasan belajar dan pencapaian kompetensi peserta

didik.

Akan tetapi, menurut pengakuan beberapa guru yang pernah penulis

wawancarai, mereka belum sepenuhnya mengerti apa dan bagaimana asesmen

otentik, asesmen kelas, termasuk asesmen portofolio tersebut. Hal ini terjadi karena

minimnya informasi terutama yang berupa literatur yang dimiliki oleh para guru.

Dengan demikian, mereka tetap saja menerapkan penilaian konvensional. Untuk itu,

beberapa masalah yang akan dibahas dalam artikel ini adalah: (1) Apakah yang

dimaksud dengan asesmen portofolio? (2) Apakah tujuan dan fungsi asesmen

portofolio? (3) Apa kelebihan dan kekurangan asesmen portofolio? dan (4)

Bagaimanakah aplikasi asesmen portofolio dalam pembelajaran Bahasa Indonesia ?

B. Pembahasan

1. Pengertian Asesmen Portofolio

Istilah portofolio pertama kali digunakan oleh kalangan fotografer dan

artis (Arifin, 2009: 197). Melalui portofolio, fotografer dapat memperlihatkan

prosfektif pekerjaan mereka kepada pelanggan dengan menunjukkan koleksi

pekerjaan yang dimilikinya. Dalam dunia pendidikan, portofolio dapat digunakan

guru melihat perkembangan peserta didik dari waktu ke waktu berdasarkan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

188

kumpulan hasil karya sebagai bukti suatu kegiatan pembelajaran. Menurut para ahli,

portofolio memiliki beberapa pengertian. Ada yang memandang sebagai benda/alat,

dan ada yang memandang sebagai metode/teknik/cara. Portofolio sebagai wujud

kumpulan benda fisik, yakni kumpulan dokumentasi atau hasil pekerjaan peserta

didik yang disimpan dalam suatu bendel. Portofolio ini merupakan karya terpilih

dari peserta didik, baik perseorangan, maupun kelompok.

Popham (1994) menjelaskan “asesmen portofolio merupakan penilaian

secara berkesinambungan dengan metode pengumpulan informasi atau data secara

sistematik atas hasil pekerjaan peserta didik dalam kurun waktu tertentu.” Definisi

ini hampir sama dengan yang disampaikan oleh Depdiknas (2006: 167), yang

mendefinisikan penilaian portofolio sebagai penilaian berkelanjutan yang didasarkan

pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta

didik dalam suatu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta

didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes

(bukan nilai) atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensittn dalam

suatu mata pelajaran. Menurut Reckase (1995), portofolio adalah kumpulan karya

peserta didik yang menunjukkan usaha, kemajuan, dan prestasi peserta didik dalam

suatu bidang (dalam Mardapi, 2005: 7).

Dalam beberapa pengertian asesmen portofolio di atas, tidak terdapat

perbedaan yang mendasar. Pada prinsipnya, penilaian portofolio adalah penilaian

terhadap kumpulan pekerjaan siswa, yang telah dikumpulkan dalam file untuk setiap

siswa. Jadi, dalam asesmen portofolio guru membuat file untuk setiap peserta didik,

berisi kumpulan sistematis atas hasil prestasi belajar mereka selama mengikuti

proses pembelajaran. Dalam file tersebut, dikumpulkan bukti fisik dan catatan

prestasi siswa, seperti hasil ulangan, hasil tugas mandiri, hasil praktikum, dan lain-

lain. Selain itu juga dikumpulkan catatan nonakademik, seperti kerajinan, kerapian,

kejujuran, kemampuan kerja sama, prestasi olah raga, kesenian, dan lain-lain.

Menurut Jonson and Jonson (2002: 103), portofolio bisa berupa kumpulan tugas

peserta didik perorangan atau kelompok.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

189

Portofolio dapat mencakup materi satu semester, satu tahun, atau beberapa

tahun, dan bisa mewakili kerja peserta didik dalam satu atau beberapa mata

pelajaran. Menurut Johnson and Johnson (202: 1030, portofolio bisa berupa

kumpulan tugas peserta didik perorangan atau kelompok. Selanjutnya dilelaskan

bahwa portofolio bisa mencakup pekerjaan rumah, tugas kelas, tes buatan guru,

komposisi atau karangan, presentasi, penyelidikan, ceklis pengamatan, seni visual,

dan lain-lain. Data yang terkumpul dari waktu ke waktu ini kemudian digunakan

oleh guru untuk menilai dan melihat perkembangan kemampuan serta prestasi

akademik peserta didik dalam periode tersebut. File portofolio sekaligus akan

memberikan umpan balik (feed back) baik kepada guru, maupun kepada peserta

didik. Proses terjadinya umpan balik sangat dimungkinkan karena dalam sistem

penilaian portofolio data yang terkumpul dianalisis secara kolaboratif dengan

melibatkan guru, peserta didik, serta orang tua.

2. Tujuan dan Fungsi Asesmen Portofolio

Pada hakikatnya tujuan penilaian portofolio adalah untuk memberikan

informasi kepada orang tua tentang perkembangan peserta didik secara lengkap

dengan dukungan data dan dokumen yang akurat. Rapor merupakan bentuk laporan

prestasi peserta didik dalam belajar dalam kurun waktu tertentu (Arifin, 2009: 200).

Menurut Surapranata dan Hata (2004), penilaian portofolio dapat digunakan untuk

mencapai beberapa tujuan, yaitu “menghargai perkembangan yang dialami peserta

didik, mendokumentasikan proses pembelajaran yang berlangsung, memberi

perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik, merefleksikan kesanggupan

mengambil risiko dan melakukan refleksi diri, membantu peserta didik dalam

merumuskan tujuan”.

Sedangkan, fungsi portofolio dapat kita lihat dari berbagai segi, yaitu:

a. Portofolio sebagai sumber informasi bagi gudan orang tua untuk

mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik,

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

190

tanggung jawab dalam belajar, perluasan demensi belajar dan inovasi

pembelajaran.

b. Portofolio sebagai alat pembelajaran merupakan komponen kurikulum

karena portofolio mengharuskan peserta didik untuk mengoleksi dan

menunjukkan hasil kerja mereka.

c. Portofolio sebagai alat penilaian otentik (authentic assessment).

d. Portofolio sebagai sumber informasi bagi peserta didik untuk

melakukan self-assessment. Maksudnya, peserta didik mempunyai

kesempatan yang banyak untuk menilai diri sendiri dari waktun ke

waktu.

Selanjutnya, Direktorat PLP-Ditjen Dikdasmen-Depdiknas (2003)

mengemukakan bahwa penilaian portofolio dapat digunakan untuk: (a) memperlihat

perkembangan pemikiran atau pemahaman siswa pada periode waktu tertentu, (b)

menunjukkan suatu pemahaman dari beberapa konsep, topik, dan isu yang

diberikan, (c) mendemonstrasikan perbedaan bakat, (d) mendemonstrasikan

kemampuan untuk memproduksi atau mengkreasi suatu pekerjaan baru secara

orisinal, (e) mendokumentasikan kegiatan selama periode waktu tertentu, (f)

mendemonstrasikan kemampuan menampilkan suatu karya seni, (g)

mendemontrasikan kemampuan mengintergrasikan teori dan praktik, dan (h)

merefleksikan nilai-nilai individual atau pandangan dunia secara lebih luas.

3. Karakteristik Asesmen Portofolio

Proses penilaian portofolio menuntut terjadinya interaksi multiarah, yaitu

dari guru ke peserta didik, dari peserta didik ke guru, dan antarpeserta didik.

Direktorat PLP Ditjen dikdasmen Depdiknas (2003) mengemukakan pelaksanaan

penilaian portofolio hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut.

a. Mutual trust (saling mempercayai), artinya jangan ada saling mencurigai

antara guru dan peserta didik maupun antar peserta didik. Mereka harus

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

191

saling percaya dan saling membutuhkan, saling membantu, terbuka dan

jujur sehingga dapat membangun suasana penilaian yang lebih kodusif.

b. Confidentiality (kerahasiaan bersama), artinya gurun harus menjaga

kerahasiaan semua hasil pekerjaan peserta didik dan dokumen yang ada,

baik perseorangan maupun kelompok, sebelum didiadakan pameran.

c. Joint Ownership (milik bersama), artinya semua hasil pekerjaan peserta

didik dan dokumen yang ada harus menjadi milik bersama antara guru

dan peserta didik, karena itu harus dijaga bersama.

d. Satisfaction (kepuasan)artinya semua dokumen dalam rangka

pencapaian standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator harus

dapat memuaskan semua pihak, baik guru, orang tua, maupun peserta

didik.

e. Relevance (kesesuaian), artinya dokumen yang ada harus sesuai dengan

standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang diharapkan.

Di samping itu, Surapranata da Hatta (2004) menambahkan tiga prinsip, yaitu

“penciptaan budaya mengajar, refleksi bersama, serta proses dan hasil”. Artinya,

penilaian portofolio hanya dapat dilakukan jika pembelajarannya juga menggunakan

pendekatan portofolio.

4. Jenis Asesmen Portofolio

Menurut Mardapi (2005: 8), ada dua tipe portofolio, yaitu portofolio hasil

karya terbaik, dan portofolio proses. Portofolio karya terbaik adalah kumpulan

karya-karya terbaik dari peserta didik dari suatu bidang. Portofolio proses mencakup

semua karya yang dimiliki peserta didik. Menurur Arifin (2009: 207) portofolio

proses menunjukkan tahapan belajar dan menyajikan catatan perkembangan peserta

didik dari waktu ke waktu. Portofolio proses menunjukkan kegiatan pembelajaran

untuk mencapai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan sekumpulan indikator

yang telah dotetapkan dalam kurikulum serta menunjukkan semua hasil dari awal

sampai dengan akhir selama kurun waktu tertentu.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

192

Dalam portofolio proses, guru dapat menyajikan berbagai macam tugas

yang setara atau yang berbeda kepada peserta didik. Guru juga dapat memutuskan

apa yang harus dikerjakan peserta didik atau peserta didik diajak bekerja sama

dengan peserta didik lan dalam mengerjakan tugas tertentu. Portofolio proses

digunakan untuk melihat proses pembuatan suatu karya atau suatu pekerjaan yang

menuntut adanya proses diskusi antara peserta didik dengan guru atau sesame

peserta didik.

Portofolio produk hanya menekan pada penguasaan (materi) dari tugas

yang dituntut dalam standar kompetensi, kompetensi dasar dan sekumpulan

indikator prncapaian hasil belajar, serta hanya menunjukkan evidence yang paling

baik, tanpa memperhatikan kapan dan bagaimana evidence tersebut diperoleh.

Tujuan portofolio produk adalah untuk mendokumentasikan dan merefleksikan

kualitas prestasi yang telah dicapai.

5. Teknik Asesmen Portofolio

Menurut Suwandi (2009: 103-105), teknik asesmen portofolio di dalam

kelas memerlukan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Jelaskan kepada peserta didik bahwa penggunaan portofolio tidak hanya

merupakan kumpulan hasi kerja peserta didik yang digunakan oleh guru

untuk penilaian, tetapi digunakan juga oleh peserta didik sendiri. Dengan

melihat portofolionya peserta didik dapat mengetahui kemampuan,

keterampilan, dan minatnya.

2. Tentukan bersama peserta didik sampel-sampel portofolio apa saja yang

akan dibuat. Portofolio antara peserta didik yang satu dengan yang lain bisa

sama bisa berbeda. Misalnya untuk kemampuan menulis peserta didik

mengumpulkan karangan-karangannya, sedangkan untuk kemampuan

menggambar, peserta didik mengumpulkan gambar buatannya.

3. Kumpulkan dan simpanlah karya-karya tiap peserta didik dlam satu map

atau folder di rumah masing-masing atau loker masing-masing di sekolah.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

193

4. Berilah tanggal pembuatan pada setiap bahan informasi perkembangan

peserta didik sehingga dapat dilihat perbedaan kualitas dari waktu ke

waktu.

5. Sebaiknya tentukan kriteria penilaian sampel portofolio dan botnya dengan

peserta didik sebelum mereka membuat karyanya. Misalnya, kriteria

kemampuan menulis karangan, yaiyu: penggunaan tata bahasa, pilihan kata,

kelengkapan gagasan, dan sistematika penulisan. Dengan demikian, peserta

didikmengetahui harapan (standar) guru dan berusaha mencapai standar

tersebut.

6. Minta peserta didik menilai karyanya secara berkesinambungan. Guru dapat

membimbng peserta didik, bagaimana cara menilai dengan member

keterangan tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut, serta

bagaimana cara memperbaikinya. Hal itu dapat dilakukan pada saat

membahas portofolio.

7. Setelah suatu karya dinilai, dan nilainya belum memuaskan, maka peserta

didik diberi kesempatan untuk memperbaiki. Namun, antara peserta didik

dan guru, perlu ada kontrak atau perjanjian mengenai jangka waktu

perbaikan, misalnya dua minggu harus diserahkan kepada guru.

8. Bila perlu, jadwalkan pertemuan untuk membahas portofolio. Jika perlu,

undang orang tua peserta didik dan diberi penjelasan tentang maksud serta

tujuan portofolio, sehingga orang tua dapat memotivasi anaknya.

Contoh Penilaian Portofolio

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Alokasi Waktu : 1 Semester

Nama Siswa : _______________________

No.

SK/KD

Periode

Kriteria Ket. Tata

Bahasa

Kosa

kata

Kelengkapan

gagasan

Sistematika

Penulisan

1 Menulis

karangan

deskriptif

30/7 10/8 Dst.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

194

2 Membuat

resensi

buku

1/9 30/9 10/10 dst

Catatan:

Setiap karya siswa sesuai Standar Kompetensi/Kompetensi dasar yang masuk

dalam portofolio dikumpulkan dalam satu file (tempat) untuk setiap peserta

didik sebagai pekerjaannya. Skor untuk setiap kriteria menggunakan skala 0-

10 atau 0-100. Semakin baik hasil yang terlihat dari tulisan peserta didik,

semakin tinggi skor yang diberikan. Kolom keterampilan diisi dengan catatan

guru tentang kelemahan dan kekuatan tulisan yang dinilai.

Menurut Harsiati (2003: 4-5), prosedur penyusunan dan penilaian

portofolio dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (1) Identifikasi tujuan

portofolio, (2) penentuan jenis portofolio, (3) penentuan kompetensi dan tahapan

pencapaiannya, (4) penentuan kriteria penilaian karya yang sesuai dengan

kompetensi yang akan ditunjukkan siswa, dan (5) penentuan isi tiap-tiap bagian

portofolio.

Contoh perencanaan Portofolio :

Tujuan portofolio : Mengamati perkembangan kemampuan menulis

Jenis portofolio : Portofolio proses

Kelas : II

Rentangan Waktu : Satu semester

Nama Siswa : ……………………………………..

Isi Portofolio

Bagian 1 (Kumpulan karya siswa dan tahapan prosesnya)

Bagian I berisi sejumlah proses penyusunan dan hasil akhir karya siswa.

Jumlah dan jenis kompetensi menulis yang akan didokumentasikan disesuaikan

dengan KD dalam kurikulum. Proses dan hasil karya dipaparkan sebagai berikut.

A. Kompetensi Menulis puisi

- Perencanaan penulisan (topik yang dipilih, cara pembatasan topik)

- Buram puisi

- Hasil penyuntingan-penyuntingan yang dilakukan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

195

- Hasil akhir prnulisan puisi

B. Kompetensi menulis Cerpen

- Perencanaan penulisan cerpen (pokok persoalan yang dipilih)

- Buram cerita pendek

- Hasil penyuntingannya

- Hasil akhir penulisan cerpen

C. Kompetensi …………………..

D. Kompetensi……………………(dan seterusnya)

Bagian 2 (Penilaian diri dan penilaian guru)

Bagian ini berisi sejumlah rubrik sesuai dengan kompetensi yang dipelajari

siswa dengan hasil penilaian siswa terhadap karyanya. Selain itu, dalam bagian ini

juga terdapat rubrik dengan hasil penilaian guru.

Bagian 3 (Simpulan dan hasil penilaian)

Bagian ini berisi simpulan siswa tentang tingkatan kemampuan menulisnya.

Pada bagian ini juga berisi simpulan siswa tentang grade yang sesuai dengan dirinya

dan alasan-alasan yang mendukungnya. Selain dari pihak siswa, bagian 3 ini juga

berisi simpulan dari pihak guru tentang proses dan produk karya yang dihasilkan

siswa.

Sebagai mana disinggung di bagian sebelumnya, portofolio diharapkan

dapat memberikan balikan bagi siswa maupun guru serta dapat menggambarkan

pertumbuhan kemampuan siswa. Untuk itu, penilaian portofolio harus dilakukan

pada awal, tengah, dan akhir pembelajaran. Guru dan siswa harus menyepakati

kapan penilaian awal, tengah, dan akhir dilakukan. Penilaian karya produktif

(menulis dan berbicara) memerlukan bantuan rubrik agar penilaian lebih terpokus.

Portofolio dinilai dengan cara menganalisis, membandingkan, dan

menyimpulkan bukti proses penulisan. Untuk tujuan memberikan balikan, setiap

karya dianalisis kemudian disimpulkan apakah karya tersebut membuktikan bahwa

siswa telah belajar sesuatu. Simpulan ini disampaikan kepada siswa sebagai

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

196

balikan. Hasil penilaian portofolio haru ditindaklanjuti dengan berbagai latihan

tambahan yang diperlukan sesuai dengan hasil penilaian. Misalnya, siswa perlu

diberi kesempatan berlatih menyusun kerangka karangan karena portofolio

menunjukkan bahwa kemem siswa dalam menyusun kerangka karangan belum

memadai.

6. Kelebihan dan Kekurangan Asesmen Portofolio

Setiap konsep atau model asesmen tentu ada kelebihan dan kekurangannya.

Begitu pula dengan asaesmen portofolio. Kelebihan model asesmen portofolio

antara lain sebagai berikut.

1. Dapat melihat pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta

didik dari waktu ke waktu berasarkan feed back dan refleksi diri.

2. Membantu guru melakukan penilaian secara adil, objektif, transparan,

dan dapat dipertanggungjawabkan tanpa mengurangi kreativitas peserta

didik di kelas.

3. Mengajak peserta didik untuk belajar bertanggung jawab terhadap apa

yang telah mereka kerjakan, baik di kelas, maupun di luar kelas.

4. Meningkatkan peran serta peserta didik secara aktif dalam kegiatan

pembelajaran dan penilaian.

5. Member kesempatan kepada peserta didik untuk meningkatkan

kemampuan mereka.

6. Membantu guru mengklarifikasi dan mengidentifikasi program

pembelajaran.

7. Terlibatnya berbagai pihak, seperti orang tua, guru, komite sekolah dan

masyarakat lainnya dalam melihat pencapaian kemampuan peserta

didik.

Adapun kekurangan asesmen portofolio antara lain, sebagai berikut.

1. Membutuhkan waktu dan kerja ekstra.

2. Penilaian portofolio dianggap kurang reliabel dibandingkan bentuk

penilaian yang lain.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

197

3. Ada kecenderungan guru hanya memperhatikan pencapaian akhir

sehingga proses penilaian kurang mendapat perhatian.

4. Jika guru melaksanakan proses pembelajaran yang bersifat teacher-

oriented, maka asesmen portofolio tidak dapat dilaksanakan.

5. Orang tua peserta didik sering berpikir skeptis karena laporan hasil

belajar anaknya tidak berbentuk angka.

6. Asesmen portofolio masih relative baru sehingga banyak guru, orang

tua, dan peserta didik yang belum mengetahui dan memahaminya.

7. Tidak tersedianya kriteria penilaian yang jelas.

C. Kesimpulan

Asesmen Portofolio adalah asesmen berkelanjutan yang didasarkan

kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik

dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari

proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes (bukan

nilai), atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensi tertentu dalam satu

mata pelajaran. Asesmen portofolio pada dasarnya menilai karya-karya siswa secara

individu pada satu periode untuk suatu mata pelajaran. Akhir suatu periode, karya

tersebut dinilai oleh guru dan peserta didik. Berdasarkan informasi perkembangan

tersebut, guru dan peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan kemampuan

peserta didik dan terus melakukan perbaikan. Dengan demikian, portofolio dapat

memperlihatkan perkembangan kemajuan belajar peserta didik melalui karyanya,

antara lain: karangan, puisi, surat, hasil membaca buku/literatur, hasil penelitian,

hasil wawancara, dan lain-lain. Karya siswa harus merupakan karyanya sendiri,

bukan dibuatkan orang lain.

Adapun tujuan asesmen portofolio ini adalah untuk memberikan informasi

kepada orang tua siswa tentang perkembangan peserta didik secara lengkap dengan

dukungan data dan dokumen yang akurat. Portofolio ini boleh dikatakan lampiran

dari rapor peserta didik. Disamping itu, portofolio ini bertujuan untuk menghargai

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

198

perkembangan yang dialami peserta didik, mendokumentasikan proses

pembelajaran, memberikan perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik,

meningkatkan efektivitas proses pembelajaran, dan lain-lain. Sedangkan fungsi

portofolio adalah sebagai sumber informasi bagi guru dan orang tua untuk

mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik, sebagai alat

penilaian otentik (authentic assessment), sebagi sumber informasi bagi peserta didik

untuk melakukan self-assessment.

Asesmen portofolio memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan

asesmen konvensional, antara lain: (1) dapat melihat pertumbuhan dan

perkrmbangan kemampuan peserta didik dari waktu ke waktu, (2) membantu guru

dalam melakukan penilaian secara adil, objektif, transparan, dan dapat

dipertanggungjawabkan tanpa mengurangi kreativitas peserta didik di kelas, (3)

melatih peserta didik bertanggung jawab, (4) meningkatkan peran serta peserta didik

secara aktif dalam pembelajaran,dan (5) member kesempatan kepada peserta didik

untuk meningkatkan kemampuan mereka. Kekurangannya antara lain:

membutuhkan waktu dan kerja ekstra, dianggap kurang reliabel, belum banyak guru

yang memahaminya, kriteria penilaian tidak jelas, sulit diterapkan untuk ujian

nasional.

Dalam aplikasinya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, asesmen

portofolio dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah (1) Jelaskan kepada

peserta didik bahwa penggunaan portofolio tidak hanya untuk guru, tetapi juga

untuk siswa sendiri, (2) Tentukan bersama siswa sampel portofolio apa saja yang

akan dibuat, (3) Simpanlah karya setiap peserta didik dalam suatu map atau folder di

rumah masing-masing atau di sekolah, (4) Beri tanggal pembuatan pada tiap bahan

informasi perkembangan peserta didik, (5) Tentukan kriteria penilaiannya serta

bobot nilainya dengan peserta didik sebelum mereka membuat karya, (6) Minta

siswa menilai karyanya secara berkesinambungan, atas bimbingan guru, (7) beri

kesempatan kepada peserta didik utu memperbaiki karya yang belum memuaskan,

(8) Jadwalkan (bila perlu) pertemuan untuk membahas portofolio dengan mereka.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

199

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran Prinsip, Teknik, Prosedur. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya.

Arter, Judith A. and Vicki Spandel. Using Portofilio of Student Work in Instruction

and Assessment. ITEM.

Depdiknas. 2006. Pedoman Model Penilaian Kelas Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan TK-SD-SMP-SMA-SMK-MI-MTs-MA-MAK. Jakarta: BP

Cipta Jaya.

Harsiati, Titik. 2003. Penilaian otentikdlm pembelajaran Bahasa Indonesia.

Makalah.

Johnson, D. W., Johnson, R. T. 2002. Meaningful assessment. Boston: Allyn and

Bacon.

Mardapi, Djemari. 2005. Penilaian model portofolio pada pembelajaran berbasis

kompetensi di perguruan tinggi. Makalah disampaikan pada Seminar

Penilaian Portofolio untuk Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan

Kepribadian Universitas Sebelas Maret 30 Maret 2005 di Surakarta.

Supranata, S. dan Hatta, M. 2004. Penilaian Portofolio. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Suwandi, Sarwiji. 2009. Model Assesmen Dalam Pembelajaran. Surakarta: YUMA

PUSTAKA

Biodata Penulis:

- Penulis adalah Lektor Kepala dalam Bidang Evaluasi Pendidikan dan Bekerja

Sebagai Dosen Kopertis Wilayah VIII, Dpk Pada Program Studi Pendidikan

Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali Denpasar.

- Saat ini penulis masih tercatat sebagai mahasiswa Program Doktor sejak tahun

akademik 2010/2011, dan sedang menyelesaikan disertasi tentang

Pengembangan Model Evaluasi Program Pembelajaran Anak Usia dini.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

200

PENERAPAN METODE PEMODELAN UNTUK MENINGKATKAN

KETERAMPILAN BERPIDATO BAHASA BALI SISWA KELAS X1 SMA

NEGERI 1 PETANG, BADUNG TAHUN PELAJARAN

2010/2011

Oleh

Dewa Ayu Widiasri

One of the aspects in Balinese language Learning Process is Speaking skill.

Balinese language speech is one of speaking skill which listed in Senior high school

syllabus. As we have seen that all this time Balinese Language learning process used

discussion and lecturing methods in the classroom. Based on the researcher`s

observation that the students` speech skill were very low. It`s assumed that the

strategies which used by the teacher were less precisely. Based on this fact, the

researcher tried to collaborate to the teacher who taught Balinese Language to apply

modeling method. Modeling method in speech teaching and learning process is a

method through presenting a model in front of the class. By presenting a model is

expected that the skill of Balinese Language Speech will be much better. This

research was carried out at the eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the

2010/2011 academic year.

The problem formulation of this research were (1) How can modeling

method improve speech skill in Balinese language at eleventh grade students of

SMA N 1 Petang in the 2010/2011 academic year? (2) How are the students`

responses toward the application of modeling method to improve speech skill in

Balinese Language?

The purpose of this research was to improve or increase speaking skill,

meanwhile The specific purpose of this research were(1) to improve speech ability

in Balinese language at eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the

2010/2011 academic year through the application of modeling method,(2)to find out

the response of the eleventh grade students of SMA N 1` Petang in the 2010/2011

academic year through the application of modeling method.

To achieve these goals, the researcher used three methods, they were;

(1) Subject research determination which consists of Subject of the research, object

of the research and the plan of the research, (2) The collecting data method consists

of test method, observation method, and questionnaire method, (3) Data analysis

method consisted of the result of observation scoring, changing crude score became

a standard score, finding out the mean, and deciding predicate criteria of subject of

this research on 32 students of the eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the

2010/2011 academic year. Data was obtained using action test instrument; students

were asked to pay attention to the model who performed in front of the class then

students acted as the model did. The obtaining data was analyzed by using

descriptive statistical analysis so that we can find out the quality of students

achievement. The program of this research consisted of (1) research planning, (2)

the implementation of action (3) observations and (4) reflection.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

201

Based on the analysis, it can be concluded that, (1)Modeling method can

improve speech skill in Balinese language of the eleventh grade students of SMA N

1 Petang, (2).Modeling method got good response from the eleventh grade students

in SMA N 1 Petang. The implementation at the beginning observation score was

1868 with average score 58, on the cycle I the score was 2420 with average 76, and

on cycle II the score was 2788 with average 87. It meant that students` achievement

on the eleventh grade improved 11%. Concerning to the conclusion above teachers

were suggested (1)to apply modeling method in Balinese language speech teaching

to improve students` skill in Balinese language speech, (2) to apply modeling

method to improve students` responses in Balinese Language learning process.

1. LATAR BELAKANG MASALAH

Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Bahasa bali itu adalah bahasa daerah orang Bali yang dibawa sejak lahir yang

dikenal sebagai bahasa ibu. Semenjak orang Bali itu lahir mereka sudah diajarkan

bahasa daerah mereka yaitu bahasa Bali. Bahasa Bali tidak hanya diajarkan

dilingkungan keluarga dan masyarakat, melainkan dilingkungan sekolah juga

diajarkan. Bahasa Bali diajarkan mulai dari taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA,

juga dalam universitas yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Bali.

Pembelajaran bahasa Bali meliputi empat aspek keterampilan yakni

keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan

keterampilan menulis. Semua aspek tersebut sangat penting untuk dipelajari, akan

tetapi di dalam lingkungan masyarakat salah satu aspek dari ke empat aspek tersebut

ada yang paling penting yaitu aspek berbicara. Dalam kehidupan sehari-hari ternyata

manusia dihadapkan dengan berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan

berbicara. Seperti pengajaran tata karma dan adat istiadat dalam masyarakat selalu

diajarkan dengan cara lisan. Hal ini tidak hanya berlaku dalam kalangan masyrakat

tradisional tetapi masih berlaku juga dikalangan masyarakat modern. Jadi, semua

kalangan masyarakat perlu memiliki keterampilan berbicara.

Keterampilan berbicara bisa ditampilkan dengan berbagai macam

kreativitas. Salah satu bentuk kreativitas dalam berbicara yaitu berpidato. Banyak

kegiatan dalam kehidupan masyarakat Bali yang memakai pidato. Seperti, dalam

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

202

acara lamaran, pernikahan, peresmian, dan lain sebagainya. Berpidato merupakan

suatu keterampilan berbicara yang memerlukan keahlian berbicara dan mental yang

bagus karena, berpidato itu selalu dilakukan di depan umun atau di depan orang

banyak.

Keterampilan berpidato sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali.

Memandang hal tersebut, pemerintah di bidang pendidikan mencantumkan

keterampilan berpidato bahasa Bali kedalam kurikulum pembelajaran bahasa Bali.

Hal itu dibuktikan dalam pembelajaran bahasa Bali di kalangan siswa SMA dari

kelas X hingga kelas XII semester satu dan dua yang pertama tercantum dalam

silabus adalah pelajaran pidato. Dalam pembelajaran pidato tersebut terdapat

indikator-indikator yaitu siswa dapat memahami isi pidato, siswa dapat

menyampaikan isi pidato, dan yang terakhir siswa mampu berpidato bahasa Bali.

Metode pemodelan merupakan suatu metode yang menggunakan seorang

model di depan kelas. Model yang ditampilkan dalam pengajaran pidato bahasa Bali

adalah seseorang yang sudah terampil dalam berpidato bahasa Bali. Setiap metode

pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Begitu pula dengan metode pemodelan.

Adapun kelemahan atau kekurangan dari metode pemodelan ini yaitu, susahnya

mencari orang yang benar-benar terampil dalam berpidato bahasa Bali. Sedangkan

kelebihan daripada metode pemodelan tersebut adalah dengan melihat model yang

di tampilkan, siswa dapat memahami secara langsung apa itu pidato dan bagaimana

cara penyampaiannya. Selain itu guru juga lebih praktis dalam mengajar. Dalam

mengajar pidato tersebut guru tidak mengahabiskan tenaga banyak untuk

menjelaskan. Guru hanya perlu menjawab pertanyaan siswa apabila ada yang

mereka tidak ketahui atau tidak mereka mengerti mengenai pidato bahasa Bali

tersebut.

Metode pemodelan merupakan suatu metode yang baru bagi siswa. Dengan

adanya perubahan metode dalam pengajaran berpidato bahasa Bali siswa akan lebih

antusias dalam belajar. Semangat yang baik dalam belajar merupakan awal dari

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

203

suatu keberhasilan. Keberhasilan yang dimaksud adalah peningkatan keterampilan

berpidato siswa melalui penerapan metode pemodelan.

Tujuan Penelitian ini adalah :

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran

umum mengenai metode pemodelan terhadap pembelajaran berpidato bahasa Bali di

SMA Negeri1 Petang. Baik itu perencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan dari

kegiatan pembelajaran itu sendiri serta pembaharuan-pembaharuan yang digunakan

untuk meningkatkan keterampilan anak atau siswa di dalam berpidato. Dalam hal ini

secara implisit juga bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran dan

memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang

berhubungan dengan pemilihan metode pembelajaran dalam meningkatkan

keterampilan berpidato bahasa Bali siswa di dalam penelitian selanjutnya.

2. Tujuan Khusus

Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitia ini adalah sebagai

berikut.

1) Untuk meningkatkan kemampuan berpidato bahasa Bali siswa kelas X1

SMA Negeri 1 Petang, Badung tahun pelajaran 2010/2011 melalui

penerapan metode pemodelan.

2) Untuk mengetahui respon siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung

tahun pelajaran 2010/2011 dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan

metode pemodelan.

Manfaat dari Penelitian ini adalah sebagai berikut,

1) Bagi guru bahasa daerah Bali, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai

umpan balik atas kemampuan siswanya dalam berpidato bahasa Bali.

Dengan demikian, guru akan dapat memperbaiki strateginya terutama

dalam pemilihan metodenya.

2) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu bentuk

pengalaman dalam memilih strategi pembelajaran pidato bahasa Bali.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

204

3) Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang

positif dalam meningkatkan mutu sekolah dan efektifitas pembelajaran

bahasa Bali pada umumnya.

4) Bagi pengembang kurikulum, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan

dalam rangka penyusunan kurikulum berikutnya terutama berkenaaan

dengan penataan materi pidato bahasa Bali dalam kerangka pembelajaran

bahasa dan sastra Bali.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas atau classroom action

research, yang memiliki tujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran,

menanggulangi permasalahan yang dihadapi siswa dalam proses belajar mengajar,

serta mengujicobakan langkah-langkah pembelajaran yang baru untuk meningkatkan

nilai yang maksimal bagi siswa.

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMA N 1 Petang. Adapun

lokasi SMA Negeri 1 Petang berada di jalan raya Petang, kecamatan Petang,

Kabupaten Badung tepatnya berada di sebelah utara lapangan umum Petang, dan

tepat di sebelah selatan Pura Pucak Rantaja, batas timur dan baratnya adalah

perkebunan penduduk. Lingkungan belajarnya kondusif, artinya lokasi sekolah jauh

dari keramaian lalu lintas umum sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan

lancar.

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada semester satu tahun

pelejaran 2010/2011, yaitu dari bulan Januari sampai bulan April 2011. Penentuan

waktu penelitian akan disesuaikan mengacu pada kalender akademik sekolah dan

jadwal kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran bahasa bali di sekolah.

Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester ganjil yaitu semester satu.

Subjek penelitian adalah setiap individu yang akan kita selidiki. Pengertian

individu mencakup manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda.

Dalam penelitian tindakan kelas ini, yang menjadi subjek penelitian adalah siswa

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

205

kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, dengan jumlah siswa 32 orang yang terdiri dari 10

orang laki-laki dan 22 orang perempuan.

Objek penelitian adalah setiap gejala atau peristiwa yang akan diselidiki,

baik itu berupa gejala alam, maupun gejala kehidupan. Berpedoman pada prosedur

penelitian yang dilakukan. Dalam hal ini yang menjadi objek penelitiannya adalah

keterampilan berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan yang

dihasilkan oleh siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011.

Objek yang diamati dalam berpidato bahasa Bali adakah lingkungan di sekitar

sekolah yang masih tepat guna dimanfaatkan sebagai media pembelajaran.

Sedangkan kriteria penilaian berpidato bahasa Bali meliputi (1) wicara, (2) wiraga,

(3) wirama, (4) wirasa, dan (5) wesata.

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan penelitian tentang situasi

kelas yang dilakukan secara sistematik dengan mengikuti prosedur atau langkah-

langkah tertentu.dalam penelitian ini akan direncanakan dua siklus, dimana setiap

siklus dilaksanakan dua kali pertemuan. Dalam satu siklus terdiri dari perencanaan,

pelaksanaan tindakan, observasi-evaluasi, dan refleksi.Siklus yang direncanakan ini

tidaklah mutlak. Siklus bisa saja ditambah sampai ditemukan adanya peningkatan

dalam berpidato bahasa Bali.

Rancangan penelitian juga berfungsi untuk menjelaskan atau

mendeskripsikan tentang pemanfaatan pemodelan dalam berpidato bahasa Bali

siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011. Adapun

rancangan penelitian seperti bagan di bawah ini.

RANCANGAN

PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Model berpidato Bahasa Bali

Keterampilan berpidato

bahasa Bali rendah

Keterampilan berpidato

bahasa Bali meningkat

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

206

Penelitian Tindakan Kelas ini menghendaki siklus yang dapat

dikolaborasikan hingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan hasil

yang terbaik (Wardani, 2008 : 2.4). Setiap siklus terdiri dari empat tahap kegiatan

yaitu; perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi-evaluasi, dan refleksi. Adapun

kegiatan yang dilakukan untuk setiap siklusnya seperti pada bagan berikut.

RANCANGAN KEGIATAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS

SETIAP SIKLUS

Tindakan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode

pemodelan, yang dirancang dalam refleksi siklus I digunakan sebagai acuan dalam

menentukan perbaikan tindakan pada siklus berikutnya. Apabila pada siklus I belum

berhasil maka akan dilanjutkan pada siklus II, hasil siklus II nantinya digunakan

sebagai acuan untuk rencana tindak lanjut pada pembelajaran selanjutnya. Pada

tahap pelaksanaan tindakan dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.

a) Memberikan motivasi awal kepada siswa dalam upaya menumbuhakan minat

berpidato bahasa Bali.

b) Langkah-langkah pelaksanaan tindakan yang akan diterapkan tertuang dalam

rencana pembelajaran. Penyampaian materi pelajaran sesuai dengan

Perencanaan

(1)

Refleksi

(4)

Pelaksanaan Tindakan

(2)

Observasi-evaluasi

(3)

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

207

c) Menutup pembelajaran dengan membuat rangkuman, dilakukan pada akhir

pembelajaran dan menekankan kembali pokok-pokok materi yang penting dan

menyinggung materi kajian berikutnya.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan

dengan keperluan untuk mencapai tujuan penelitian tindakan kelas ini. Untuk

mendapat data yang lengkap, dipergunakan dua metode pengumpulan data yaitu,

metode tes dan metode observasi.

Penelitian ini akan menggunakan metode analisis statistik deskriptif.

Pengolahan data dilaksanakan dengan melakukan perhitungan statistik sesuai

dengan data yang diperoleh. Adapun tahapan pengolahan data dilakukan melalui

beberapa langkah kerja, yakni (1) menskor tes, (2) mengubah skor mentah menjadi

skor standar, (3) menentukan kriteria predikat, dan (4) mencari skor rata-rata.

Skor mentah yang diperoleh diubah menjadi skor standar dengan

menggunakan pedoman konversi norma absolut skala seratus seperti berikut ini.

Keterangan :

P = Persentil

X = Skor standar yang dicapai

SMI = Skor Maksimal Ideal

Adapun langkah-langkah yang ditempuh didalam mengubah skor mentah menjadi

skor standar yaitu :

1) Menentukan skor maksimal ideal (SMI)

Skor maksimal ideal adalah skor yang munkin dicapai apabila semua item dapat

dijawab dengan benar (Nurkancana dan Sumartana, 1922:92).Skor maksimal

ideal ini dicari dengan jalan menghitung jumlah item yang diberikan serta nilai

masing-masing item dengan rumus sebagai berikut.

P = SMI

X x 100

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

208

Skor tes keterampilan berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode

pemodelan adalah 5 x 5 = 25. Jadi skor maksimal idealnya (SMI) adalah 25

2) Menentukan skor mentah yang diperoleh siswa (X)

Skor mentah diperoleh dari hasil observasi pidato bahasa Bali yang dibawakan

oleh siswa skor mentah adalah skor masing-masing deskriptor yang diperoleh

siswa dari masing-masing aspek yang dinilai.

Setelah SMI dan skor mentah masing-masing siswa ditetapkan, maka pengubahan

skor mentah menjadi skor standar untuk masing-masing siswa dapat dihitung seperti

contoh berikut.

Contoh mengubah skor mentah menjadi skor standar :

1) Misalkan seorang siswa x memperoleh skor mentah 15, maka skor standarnya

adalah :

P =

5

5

2

1 x 100

= 60

2) Misalkan seorang siswa x memperoleh skor mentah 22, maka skor standarnya

adalah :

P =

5

5

2

2 x100

= 88

Data tentang aktivitas berpidato bahasa Bali siswa dianalisis dengan

statistik deskriptif dan penyimpulannya didasarkan atas skor rata-rata (mean) dengan

pedoman konversi sebagai berikut.

SMI = jumlah butir soal x bobot masing-masing

X = jumlah masing-masing skor deskriptor x jumlah aspek

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

209

Tabel 3.4 Pedoman Konversi Aktivitas Berpidato Siswa

Interval Kualifikasi

0 – 39,9

40,0 – 54,9

55,0 – 69,9

70,0 – 84,5

85,0 – 100

Sangat kurang

Kurang

Cukup

Baik

Sangat baik

Dengan demikian, aktivitas berpidato bahasa Bali siswa selama proses pembelajaran

dikatakan memiliki aktivitas baik jika dari analisis diperoleh aktivitas siswa minimal

baik.

Langkah selanjutnya setelah mengubah skor mentah menjadi skor standar

dalam pengolahan adata adalah mencari nilai rata-rata. Rata-rata (mean) ini didapat

dengan mengumpulkan skor standar kemudian dibagi jumlah subjek.

Untuk memperoleh rata-rata hasil belajar, dipergunakan rumus sebagai berikut :

Keterangan :

M = mean (nilai rata-rata)

∑fx = jumlah skor

N = jumlah individu

(Nurkancana dan Sumartana, 1992:152)

Kriteria ini dibuat untuk mengklasifikasikan keterampilan siswa dalam berpidato

bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan, dalam materi pidato bahasa Bali.

Berdasarkan perolehan nilai setiap siswa, maka akan lebih jelas diketahui

dimana tingkat keberhasilan siswa dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan

metode pemodelan.

Langkah terakhir dalam mengolah data adalah menentukan simpulan.

Apakah penerapan metode pemodelan dalam meningkatkan keterampilan berpidato

bahasa Bali dapat berhasil atau tidak, semua itu dapat dicari dengan cara

membandingkan rata-rata dari masing-masing siklus. Apabila rata-rata dari masing-

M = N

Σfx

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

210

masing siklus mengalami peningkatan, maka penerapan metode pemodelan untuk

meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali siswa kelas X1 SMA Negeri 1

Petang dapat dinyatakan berhasil.

3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Tahap observasi awal menunjukkan bahwa adanya beberapa hambatan

yang dialami siswa pada saat melaksanakan proses belajar. Siswa masih terlihat

malu-malu, intonasi suara masih kurang keras dan juga cara penyampaiannya masih

sangat kurang. Berdasarkan hal tersebut peneliti menyimpulkan bahwa kelas X1

SMA Negeri 1 Petang belum terampil dalam berpidato bahasa Bali. Untuk

memperbaiki kualitas pembelajaran berpidato bahasa Bali, peneliti merancang

pembelajaran dengan menerapakan metode pemodelan dalam upaya meningkatkan

keterampilan berpidato bahasa Bali.

Pada siklus I dilaksanakan dua kali pertemuan yaitu satu kali untuk

pelaksanaan pembelajaran dan menghadirkan model orator untuk diperhatikan oleh

siswa, pertemuan ke dua untuk pelaksanaan tes.Materi yang dibahas pada siklus I

mengenai pidato bahasa Bali.

Sesuai dengan rancangan penelitian yang dikemukakan, maka hasil

penelitian pada siklus I dapat disajikan sebagai barikut.

Pada perencanaan siklus I, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah

penyusunan rencana pembelajaran (terlampir), penyusunan instrumen (terlampir),

apersepsi mengenai kegiatan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan

metode pemodelan.

Pada tahap pelaksnaan tindakan ini, guru bidang studi bahasa daerah Bali

melaksanakan pembelajaran berdasarkan rencana pembelajaran (terlampir) yang

telah disusun pada tahap perencanaan yaitu rencana pembelajaran yang mengacu

pada penerapan metode pemodelan untuk meningkatkan keterampilan berpidato

bahasa Bali. Adapun langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan pada tahap ini

adalah sebagai berikut.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

211

1) Sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas, guru terlebih dahulu

mengucapkan salam sesuai dengan salam yang dipakai oleh umat Hindu

(mengingat para siswa umumnya berada pada lingkungan masyarakat Hindu).

2) Guru melaksanakan apersepsi, yaitu memberikan motivasi belajar dengan

tujuan agar siswa memiliki kesiapan dalam proses belajar.

3) Guru memberikan penjelasan kepada siswa sesuai dengan materi yang terkait

yakni tentang pidato bahasa Bali. Selanjutnya guru menghadirkan seorang

model, dalam hal ini siswa ditugaskan berpidato sesuai dengan model yang

telah disajikan.

4) Berdasarkan hasil berpidato siswa setelah menyimak model orator yang

diperoleh, kemudian guru mengarahkan siswa untuk mencermati kembali

beberapa hal yang penting sehingga diperoleh simpulan yang berupa materi

atau konsep yang mesti dipelajari.

Kegiatan observasi dan evaluasi dilaksanakan secara continue setiap

pertemuan. Guru mengadakan observasi selama proses belajar berlangsung, dengan

mencatat segala peristiwa yang terjadi ketika berlangsungnya proses pembelajaran.

Seperti aktivitas belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan

lembar observasi.Evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui hambatan-hambatan

yang dialami siswa selama proses pembelajaran berlangsung sehingga diketahui

gambaran mengenai keberhasilan belajar siswa. Keterampilan berpidato bahasa Bali

dinilai berdasarkan hasil tes. Atas dasar hasil tersebut peneliti melakukan evaluasi

secara umum terhadap hasil yang dicapai dari penerapan tindakan yang

direncanakan.

Refleksi dilakukan pada akhir siklus. Pada tahap ini guru mengkaji hasil

tindakan dan kendala-kendala atau kekurangan-kekurangan dari tindakan yang telah

dilakukan pada siklus I. Sebagai acuan dalam refleksi ini adalah hasil observasi dan

evaluasi pembelajaran pada siklus I. Bertolak dari hasil penelitian yang diperoleh

dari siklus I, maka perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan pada pembelajaran

pada siklus II sehingga didapatkan hasil pembelajaran yang lebih baik untuk

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

212

memperbaiki siklus I. Hal ini dilakukan karena pada siklus I prestasi belajar siswa

masih kurang baik. Jika dikaji hambatan belajar siswa masih dalam kualifikasi

hambatan sedang, yang disebabkan oleh masih banyaknya siswa yang kurang

memiliki persiapan yang mantap saat mengikuti pelajaran, dalam hal ini pelajaran

pidato bahasa Bali. Siswa tampak kesulitan dalam penguasaan pidato sehingga

dalam berpidato masih seperti menghafal. Pada umumnya, diperlukan adaptasi

karena siswa baru pertama kali mengenal metode pemodelan dalam berpidato

bahasa Bali. Siswa cenderung kaku, tegang, dan kurang santai dalam mengikuti

proses pembelajaran. Ini disebabklan karena guru mengajar lain dari biasanya. Hal

ini tentunya menyebabkan siswa merasakan sesuatu yang baru dalam lingkungan

belajarnya.

Dari hasil penelitian dan refleksi terhadap jalannya pembelajaran pada

siklus I, maka hal-hal yang perlu diperbaiki adalah sebagai berikut.

1) Mencermati kembali langkah-langkah pembelajaran pada rencana pelaksanaan

pembelajaran (RPP) yang telah disusun.

2) Mengarahkan siswa agar lebih banyak membaca buku yang berkaitan dengan

pidato bahasa Bali

3) Memberikan motivasi kepada siswa tentang manfaat pentingnya belajar pidato

bahasa Bali.

4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, menjawab dengan cara

memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya/ mengemukakan

pendapatnya.

5) Membimbing siswa pada saat menyampaikan pidato

6) Mengarahkan siswa untuk memperbaiki caranya berpidato apabila ada

kesalahan.

Siklus II dilaksanakan selama 2 kali pertemuan yaitu 1kali pertemuan untuk

pelaksanaan pembelajaran dan I kali untuk pelaksanaan tes. Siklus II ini merupakan

perebaikan sekaligus penyempurnaan terhadap kendala-kendala yang dihadapi pada

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

213

siklus I. Adanya perbaikan dapat dilihat dari prestasi belajar siswa dan hambatan

belajar siswa.

Berdasarkan refleksi pada siklus I, perencanaan pada siklus II sama seperti

pada siklus I. Pada perencanaan siklus I, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah

penyusunan rencana pembelajaran (terlampir), penyusunan instrument (terlampir),

apersepsi mengenai kegiatan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan

metode pemodelan.

Pada tahap pelaksanaan siklus II, guru kembali melaksanakan pembelajaran

di kelas sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran seperti yang terurai pada

siklus I. Pada tahap ini guru lebih intensif mencermati dan menekankan hal-hal atau

materi yang kurang difahami oleh siswa, serta hambatan yang dialami oleh siswa

pada saat proses pembelajaran.

Sebagaimana halnya pada sikluis I, observasi kelas dilkukan untuk

memperoleh gambaran mengenai hambatan yang dialami serta hasil yang dicapai

dari penerapan pembelajaran. Kemudian atas dasar hasil observasi kelas yang

dilakukan selama kegiatan siklus II, guru melakukan evaluasi terhadap hasil yang

dicapai dari penerapan tindakan yang telah direncanakan, sehingga dapat

dirumuskan kembali penyempurnaan tindakan yang telah dilakukan. Pelaksanaan

evaluasi pada siklus II ini pada prinsipnya sama dengan pelaksanaan evaluasi pada

siklus I. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui peningkatan keterampilan berpidato

bahasa Bali dari siklus I ke siklus II.

Atas dasar observasi kelas dan hasil tes yang dilakukan selama kegiatan

siklus II, guru dapat melakukan evaluasi secara umum untuk mengtahui

keberhasilan tindakan yang dilkukan pada siklus II.

Berdasarkan hasil kuesioner siswa menunjukan bahwa, guru telah

melaksanakan tindakan sesuai dengan yang direncanakan. Data yang diperoleh dari

kuesioner menunjukan siswa mengalami peningkatan hasil dalam berpidato bahasa

Bali, siswa lebih antusias dalam mengikuti pelajaran. Dengan diterapkannya metode

pemodelan siswa lebih tahu apa itu pidato bahasa Bali. Siwa dapat mengatasi

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

214

kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam berpidato bahasa Bali. Siswa merasa tidak

bosan lagi karena strategi guru dalam mengajar sudah diperbaiki, dengan dihadirkan

seorang model siswa siswa dapat menyimak secara langsung bagaimana cara

berpidato yang baik dan benar.dari hasil kuesioner siswa kelas X1 SMA Negeri 1

Petang merasa senang diterapkannya metode pemodelan dalam pembelajaran

berpidato bahasa Bali.

Hasil penelitian yang diperoleh pada siklus II telah mengalami perbaikan

atau peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya prestasi belajar siswa,

maka dari itu semua kendala pada siklus I dapat teratasi dan permasalahan pada bab

1 dapat terjawab. Dengan meningkatnya prestasi belajar siswa, maka dapat diartikan

bahwa melalui penerapan metode pemodelan dapat meningkatkan keterampilan

berpidato bahasa Bali siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung.

Pembahasan ini bertujuan untuk mempertajam temuan dengan melihat

keterkaitan antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Pada

pembahasan ini akan disajikan mengenai prestasi belajar siswa setelah diterapkan

metode pemodelan untuk meninglkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali.

Untuk mengetahui apakah dengan penerapan metode pemodelan dapat

meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali dicari nilai rata-rata siswa untuk

masing-masing siklus dengan rumus :

Keterangan :

M = nilai rata-rata

∑fx = jumlah skor

N = jumlah siswa

Dengan demikian, nilai rata-rata siswa pada tahap pre-test adalah:

M = 32

1868

= 58,375 = 58 (dibulatkan)

M = N

Σfx

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

215

Nilai rata-rata siswa pada siklus I adalah:

M = 32

2420

= 75,6 = 76 (dibulatkan)

Nilai rata-rata siswa pada siklus II adalah:

M = 32

2788

= 87,13 = 87 (dibulatkan)

Berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh pada masing-masing siklus,

maka sudah dapat dilihat peningkatan hasil belajar siswa dalam berpidato bahasa

Bali melalui penerapan metode pemodelan. Untuk observasi awal nilai rata-rata

siswa sebesar 58, pada siklus I nilai rata-rata siswa sebesar 76, sedangkan pada

siklus II nilai rata-rata siswa sebesar 87. Sesuai dengan predikat kemampuan siswa

skor pada rentangan 86-100 memperoleh predikat sangat baik. Ini berarti prestasi

belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 3% (skor mentah) atau 11% (skor

standar) setelah dilaksanakannya penerapan metode pemodelan dalam berpidato

bahasa Bali, sehingga hipotesis yang diajukan pada bab II yaitu melalui metode

pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali oleh siswa kelas

X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011 dapat diterima.

4. PENUTUP

Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian yang penelitiannya

dilaksanakan pada kelas X1 SMA Negeri 1 Petang dalam pembelajaran bahasa Bali

khususnya apresiasi berpidato bahasa Bali, dapat disimpulkan sebagai berikut.

1) Metode pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali

oleh siswa kel,as X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung tahun pelajaran

2010/2011. Ini dibuktikan dengan meningkatnya kemampuan siswa dalam

berpidato bahasa Bali yang terlihat dari observasi awal, siklus I, dan siklus II

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

216

dimana nilai rata-rata pada observasi awal sebesar 58 ; pada siklus I sebesar 76

dan pada siklus II meningkat menjadi 87. Dari hasil tersebut, dinyatakan

bahwa siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang memperoleh predikat baik dalam

berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan.

2) Respon siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang terhadap penerapan metode

pemodelan dalam upaya peningkatan keterampilan berpidato bahasa Bali

sangatlah baik, siswa merasa sangat terbantu dengan diterapkannya metode

pemodelan guna menggali dan mengasah kemampuan, minat, serta bakat siswa

dalam hal berpidato bahasa Bali.

Berdasarkan simpulan (1) di atas, disarankan kepada guru bahasa daerah

Bali untuk dapa tmenerapkan metode pemodelan dalam meningkatkan keterampilan

berpidato bahasa Bali siswa. Karena penerapan metode pemodelan sudah terbukti

dapat meningkatkan hasil belajar berpidato bahasa Bali mulai dari observasi awal,

siklus I, siklus II yang sudah mengalami peningkatan yang cukup besar.

Berdasarkan simpulan (2) di atas, disarankan kepada guru bahasa Bali untuk

menerapkan metode pemodelan untuk dapat lebih meningkatkan respon siswa

dalam mengikuti proses belaja rmengajar terutama dalam pembelajaran bahasa

daerah Bali. Karena berkat penerapan metode pemodelan respon siswa telah

mengalami peningkatan yang sangat bagus. Ini dimaksudkan guna menghindari

kejenuhan siswa di dalam mengikuti pelajaran.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharasimi,1997. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

-------------------------, 2006. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta : Bumi

Aksara.

Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.

Deberah A. Mellrath dan Wlliam G Hait. 2009. Teori Pembelajaran dan

Pengajaran.

Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali.2004. Kurikulum Standar Kompetensi Muatan

Lokal Mata Pelajaran Bahasa Daerah Bali

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

217

Evendhy Siregar, dkk. 1998. Teknik Berpidato. Jakarta : Sarana Aksara Pelita

Etik Elfi Endrawati. Peningkatan Kemampuan Bermain Drama dengan Teknik

Pemodelan di kelas V SD Negeri Karangsono 02 Kecamatan Kanigoro

Kabupaten Blitar. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas

Negeri Malang

Gulo,W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana.

Prof. W. James, Pengertian Berpidato ( http/www.Goegle. come.)

Narbuko,Cholid. 2001. Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Akasara

Nurkancana. 1983. Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional

----------------. Nurkancana dan Sumartana, 1992. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya:

Uasaha Nasional

Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen

Pendidikan Nasional. Balai Pustaka.

----------------. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Pusat Bahasa

Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka.

Suarjana, I Nyoman Putra. 2008. Sor Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali

Dalam Dharma Papandikan, Pidarta, Sambrama Wecana dan Dharma

Wecana (Sebuah Renungan untuk Perhatian). Denpasar : PT.Tohpati

Grafika Utama.

Suwija, I Nyoman. 2009. Kumpulan Pidarta Bahasa Bali. Denpasar

Tarigan, Djago dan H.G.Tarigan. 1991. Tehnik Pengajaran Keterampilan

Berbahasa. Bandung : Angkasa

Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And

learning ) Di Kelas.Cerdas Pustaka Publiser-Jakarta.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

218

PROSES MENGAJAR MENYIMAK YANG EFEKTIF

Oleh

Ida Ayu Iran Adhiti

ABSTRACT

To observe means listening with understanding and attentively and full of

appreciation. To observe is also a process of listening activity the oral symbols

attentively. Praticing the students to listen is proposed to the students so that they

can follow the mind of the speaker quickly and precisely.

Listening activity is really hard and exhausted, because it needs focus of the

mind continuously. In class, the students may listen the lesson in brief, then they

speak to each other to release thair stress.

Besides the knowledge and capability of the teacher, the personality is also

important to determine whetter he is efectif or not. Teacher must be loved by the

students. It is hope that he has sense of humour so that he can make friends with the

students. Academically, teacher is also able to rise student‟s interest to the lesson,

rise the will to learn and attractive.

So the observe activity should be taught well and trutfully so that it can give the

result effectively and efficiently. The process is prepared by the teacher with some

steps and process in accordance with the material beig taught.

Key word : teaching, observing, effectivity.

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Sebagaimana diketahui bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa, dalam

arti bahwa salah satu ilmu yang berurusan dengan bahasa. Adanya linguistik bukan

hanya karena adanya objek sasaran yang dikhususkan namun karena adanya

kerangka pikiran mengenai objek tersebut. Linguistik juga mempunyai dugaan

tertentu terhadap gejala yang ada pada bahasa dari aspek kebahasaannya

(Sudaryanto, 1986: 24). Verhaar menekankan bahwa linguistik teoritis memerikan

tentang teori-teori linguistik itu sendiri, sedangkan linguistik praktis dimanfaatkan

untuk suatu pengajaran bahasanya (1984: 10).

Pada dasarnya bidang linguistik dibagi menjadi 2 bidang: (1) mikrolinguistik

yakni bidang linguistik yang mempelajari bahasa dari dalamnya atau mempelajari

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

219

struktur bahasa itu sendiri; dan (2) makrolinguistik yakni bidang lingusitik yang

mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa

termasuk didalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan. Bidang

interdisipliner seperti: fonetik, stilistika, filsafat bahasa, psikolinguistik,

sosiolinguistik, etnolinguistik, filologi, semiotika, dan epigrafi. Sedangkan bidang

terapan seperti: pengajaran bahasa, penterjemahan, leksikografi, fonetik terapan,

sosiolinguistik terapan, pembinaan bahasa dan sebagainya (Kentjono ed.,1982: 12).

Pendapat lain mengatakan bahwa linguistik dalam arti luas disebut

makrolinguistik yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari semua aspek bahasa,

strukturnya, sejarahnya serta hubungan timbal baliknya dengan aspek kehidupan

manusia. Sedangkan dalam arti sempit linguistik disebut juga linguistik proper atau

mikrolinguistik yang diartikan sebagai suatu studi yang mempelajari tentang struktur

bahasa (Jendra, 1980: 2).

Kajian pengajaran menyimak termasuk makrolinguistik bidang terapan

terutama pada bidang pengajaran bahasa. Selanjutnya pengajaran bahasa yang

diajarkan tentu terkait dengan atas dasar tata bahasa ilmiah dan didaktik bahasa. Hal

tersebut akan menghasilkan tata bahasa pedagogis, tergantung pada tujuan

pendidikan karena diharapkan agar siswa memahami tentang “struktur bahasa” yang

diajarkan (Samsuri, 1985: 43). Pengajar atau guru mengajarkan keterampilan

berbahasa kepada siswa agar mengerti dan memahami bahasa yang diajarkan serta

terampil menggunakan bahasa yang sedang dipelajari oleh siswa. Keterampilan

berbahasa yang diajarkan tersebut baik keterampilan menyimak, berbicara,

membaca, maupun menulis.

Proses dalam arti katanya adalah suatu runtutan perubahan atau peristiwa

dalam perkembangan sesuatu, misalnya perkembangan jiwa statis menjadi dinamis

(Poerwadarminta, 1976: 769). Terkait dengan kajian tulisan ini dimaksudkan bahwa

proses mengajar menyimak yang efektif yakni bagaimana mengajar yang baik dan

benar dengan runtutan tertentu sesuai dengan perkembangan jiwa anak dari beberapa

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

220

konsep yang ada. Diharapkan pada kegiatan menyimak, siswa mampu memahami

secara menyeluruh materi yang diajarkan oleh guru di kelas.

II. PEMBAHASAN

Keterampilan berbahasa (language skills) mencakup 4 segi yakni

keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills),

keterampilan membaca (reading skills), dan keterampilan menulis (writing skills).

Keterampilan menyimak dan berbicara dipelajari sebelum memasuki usia sekolah,

sedangkan keterampilan membaca dan menulis dipelajari di usia sekolah. Keempat

keterampilan tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut sebagai catur tunggal.

Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Tarigan,

1980: 2).

Kegiatan menyimak dan berbicara merupakan komunikasi 2 arah yang

dilakukan secara langsung atau tatap muka dengan istilah face to face

communication. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat seperti dalam

mengajarkan ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui menyimak dan meniru

karena contoh yang disimak oleh siswa sangat penting dalam kecakapan berbahasa

lisan. Berbicara dengan bantuan alat peraga (visual aids) akan mendapatkan

penangkapan informasi yang baik oleh siswa dalam kegiatan menyimak.

Meningkatkan keterampilan menyimak berarti pula membantu meningkatkan

kualitas berbicara siswa. Informasi yang diperoleh pada kegiatan menyimak

sesungguhnya bersifat langsung, apresiasif, reseptif, dan fungsional. Bersifat

langsung dimaksudkan bahwa informasi yang diperoleh siswa secara langsung oleh

guru di kelas. Kemudian apresiasif adalah informasi yang diperoleh penuh apresiasi

atau penjiwaan. Sedangkan reseptif yang dimaksudkan bahwa siswa bersifat

menerima saja dari informasi yang diberikan oleh guru. Selanjutnya fungsional

dimaksudkan bahwa informasi yang disampaikan oleh guru kepada siswa

diharapkan dapat berfungsi atau bermanfaat dengan baik sehingga berguna dalam

kehidupan.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

221

Selanjutnya kegiatan menyimak di sekolah bertujuan: (1) agar siswa dapat

memberikan respons yang tepat; (2) memperoleh informasi yang berkaitan dengan

profesi; (3) dapat mengumpulkan data dan memberi keputusan yang masuk akal;

serta (4) membuat hubungan antar pribadi yang lebih efektif.

Apabila ditinjau dari tujuan umumnya, kegiatan menyimak bertujuan untuk

memperoleh informasi, menangkap isi, dan memahami makna komunikasi yang

disampaikan oleh pembicara. Sedangkan ditinjau dari tujuan khususnya

menyebabkan adanya beraneka ragam menyimak yakni menyimak ekstensif

(extensive listening) dan menyimak intensif (intensive listening). Menyimak

ekstensif yang dimaksudkan adalah melakukan kegiatan menyimak mengenai hal-

hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran. Sumber yang paling

baik digunakan oleh guru diperoleh dari rekaman radio dan televisi. Kegiatan

menyimak ekstensif ada beberapa bagian seperti menyimak sosial (social listening),

menyimak sekunder (secondary listening), menyimak estetik (aesthetic listening),

dan menyimak pasif (passive listening). Kemudian kegiatan menyimak intensif

yang dilakukan diharapkan untuk lebih diarahkan pada suatu kegiatan yang lebih

diawasi oleh guru di kelas. Menyimak intensif dapat dibagi dalam beberapa bagian

seperti: (1) menyimak kritis (critical listening); (2) menyimak konsentratif

(concentrative listening); (3) menyimak kreatif (creative listening); (4) menyimak

eksploratif (exploratory listening); (5) menyimak interogatif (interrogative

listening); dan (5) menyimak selektif (selective listening) (Tarigan, 1980: 55).

Menyimak sesungguhnya bermakna mendengarkan dengan penuh

pemahaman dan perhatian serta penuh apresiasi. Selanjutnya menyimak juga

dikatakan merupakan proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan

penuh perhatian. Melatih siswa mendengarkan bermaksud agar siswa dapat cepat

dan tepat mengikuti jalan pikiran orang yang sedang berbicara. Di samping itu siswa

diharapkan dapat menangkap dengan baik segala sesuatu yang tercantum dalam

cerita atau uraian yang didengarkan.Untuk keperluan tersebut diperlukan adanya

perlengkapan bahasa dengan indera pendengaran yang berfungsi baik. Kegiatan

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

222

mendengarkan sesungguhnya berat dan memenatkan, karena memerlukan

pemusatan perhatian secara terus menerus. Di dalam kelas, siswa hanya dalam

waktu singkat dapat mendengarkan pelajaran, kemudian melakukan kegiatan

bercakap-cakap untuk melepaskan beban yang berat. Hal ini disebabkan oleh materi

yang diajarkan oleh guru di luar bidang studi siswa dan cara guru mengajar sangat

membosankan.

Di dalam membuat perencanaan untuk latihan menyimak, guru harus mampu

melihat jenis situasi kehidupan nyata apa yang hendak disajikan kepada siswa. Guru

juga perlu memperhatikan kesulitan-kesulitan yang mungkin akan ditemui siswa dan

bagaimana cara siswa mengatasi kesulitan tersebut. Faktor lain yang cukup

kompleks adalah sifat dan proses belajar mengajar di dalam kelas itu sendiri. Ada

faktor-faktor fisik yang harus diperhatikan seperti ukuran dan pengaturan siswa di

dalam kelas, jumlah siswa dalam kelas, serta media yang digunakan di kelas seperti:

tape recorder atau peralatan elektronik lainnya. Faktor-faktor pedagogik juga

diperhatikan seperti: meningkatkan motivasi, konsentrasi dan partisipasi siswa, cara

mengoreksi, memberikan masukan, memberikan latihan secara efektif dan efesien

dan seterusnya (Ghazali, 2010: 167).

Beberapa hal yang harus dipahami oleh guru dalam mengajar seperti: (1)

waktu mengajar jangan terlalu lama; (2) ada pergantian bagi siswa antara

mendengarkan dan bekerja; (3) bahan pengajaran wajib menarik perhatian siswa; (4)

suara guru berirama, hidup dan tidak menjemukan; dan (5) antara pelajaran satu

dengan yang lain ada selingan menyanyi, sekedar bergurau, melawak, dan

sebagainya sebagai pelepas lelah (Soejono, 1983: 90).

Dalam kenyataannya mendengarkan sesungguhnya kegiatan yang sulit bagi

siswa. Hal ini dibuktikan bahwa banyak suruhan yang dilaksanakan salah. Banyak

orang menulis diktat yang didiktekan tidak tepat. Dengan berbagai latihan maka

guru wajib melatih siswa agar pandai mendengarkan. Latihan mendengarkan dapat

dilakukan dengan 2 cara yakni: (1) latihan mendengarkan tidak sengaja dan (2)

latihan mendengarkan disengaja. Latihan mendengarkan dengan tidak sengaja

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

223

bertujuan tidak untuk melatih mendengarkan tetapi untuk keperluan lain. Pelajaran

berbagai bidang studi tidak untuk melatih mendengarkan tetapi untuk melatih

menambah pengetahuan bidang studi IPS, IPA, Matematka dan sebagainya. Secara

tidak sengaja siswa dilatih untuk mendengarkan. Selanjutnya latihan mendengarkan

disengaja bertujuan untuk melatih siswa pandai mendengarkan dengan berbagai

macam latihan seperti pada pelajaran bahasa yakni: dikte pikir dan guru bercerita.

Pada dikte pikir, guru memberi suatu perintah atau mengatakan suatu kalimat. Siswa

disuruh mengerjakan atau menirukannya. Sukar atau mudah perintah tersebut

disesuaikan dengan tingkat kepandaian siswa. Pada saat guru bercerita, guru

membacakan sesuatu. Siswa disuruh mendengarkan dengan baik. Isi cerita

merupakan alat pelatih. Siswa sengaja dilatih mendengarkan. Selanjutnya siswa

diberikan pertanyaan tentang cerita tersebut dengan menghubungkan bagian-bagian

dalam cerita yang dibaca oleh guru. Hal ini bertujuan untuk melatih ingatan dan

kecerdasan siswa dalam menarik kesimpulan cerita tersebut (Soejono, 1983: 91).

Mengingat begitu berat dan kompleks tanggung jawab sebagai guru dalam

mengajar terutama aktivitas siswa dalam mendengarkan maka perlu adanya sifat dan

sikap guru yang baik dalam mengajar siswa di sekolah. Di samping pengetahuan dan

kecakapan guru, pribadinya juga memegang peranan penting untuk menentukan

apakah guru tersebut efektif atau tidak. Guru harus disukai oleh siswa. Diharapkan

guru mampu melakukan pekerjaan sekolah sehingga dapat memberi tugas pelajaran.

Guru juga mempunyai rasa humor sehingga dapat berteman dengan siswa. Secara

akademik, guru juga mampu membangkitkan minat pelajaran kepada siswa,

menimbulkan hasrat untuk belajar dan dapat menyenangkan. Guru perlu bersikap

tegas, adil, tidak marah-marah, sehingga siswa mampu memahami pelajaran yang

diajarkan. Pribadi yang menarik dan menyenangkan juga merupakan syarat pokok

yang dimiliki oleh guru (Witherington dkk, 1982: 134).

Guru dalam mengajar bidang studi apapun diharapkan bersikap kreatif.

Pandai saja tidak dianggap cukup. Selanjutnya guru harus cerdas dalam

mengembangkan keterampilan dan mencari bahan ajar yang betul-betul sesuai

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

224

dengan peserta didik. Guru tidak hanya mengajar tetapi juga menyentuh hati siswa.

Belajar mengajar dengan sentuhan kasih sayang akan menguatkan hubungan batin

antara guru dan peserta didiknya. Hal ini sesuai dengan motto guru yakni: Not only

teach, but also touch. Dengan berpijak pada motto tersebut akan melahirkan adanya

guru yang kreatif serta professional dengan syarat-syarat : (1) fleksibel: guru tidak

kaku, luwes, dan mampu memahami kondisi siswa: (2) optimis: guru memiliki

keyakinan yang tinggi akan kemampuan pribadi dan keyakinan akan perubahan

siswa ke arah yang lebih baik; (3) respek: guru memiliki rasa hormat yang

ditumbuhkan di depan anak untuk memacu memahami beberapa hal; (4) cekatan:

guru mampu memahami kondisi siswa ; (5) humoris: guru tidak killer sehingga

mampu menyenangkan siswa; (6) inspiratif: guru mampu menemukan ide baru yang

positif di luar kurikulum; (7) lembut: guru tidak bersikap kasar, tidak kaku, dan

tidak emosional sehingga tidak menimbulkan dampak buruk terhadap siswa; (8)

disiplin: guru mampu menjadi teladan dalam berbagai hal dan sebagainya

(Asfandiyar, 2009: 13).

Dari beberapa uraian tersebut di atas dapat dipaparkan beberapa hal bahwa:

mempelajari suatu keterampilan berbahasa dapat dilakukan dengan menyimak,

meniru, dan mempraktekkannya dengan berbagai langkah. Guru diharapkan mampu

menentukan makna dari materi yang diajarkan kepada siswa sesuai dengan tujuan

yang hendak dicapai. Kemudian guru memperagakan dengan ekspresi yakni

mengucapkan beberapa kali kata-kata yang diajarkan di depan kelas. Guru

menyuruh mengulangi serta siswa meniru apa yang diucapkan oleh guru dengan

gerak tertentu. Langkah terakhir adalah guru memberikan latihan secara ekspresif

dengan melakukan pengulangan kata-kata yang diajarkan dengan aplikasi serta

pengawasan yang teliti. Dengan demikian kegiatan menyimak sebaiknya diajarkan

dengan baik dan benar sehingga dapat menghasilkan hasil simakan yang efektif dan

efesien. Proses tersebut disusun oleh guru dengan tahapan tertentu dan beberapa

proses sesuai materi yang diajarkan.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

225

Proses kegiatan menyimak yang dilakukan oleh siswa dapat dilakukan

melalui beberapa tahap seperti: (1) tahap mendengar (tahap hearing) : siswa

mendengarkan sesuatu yang dikemukakan oleh guru di kelas; (2) tahap memahami

(tahap understanding): siswa mengerti secara mendalam materi simakan yang

diucapkan oleh guru di kelas; (3) tahap menginterpretasi (tahap interpreting): siswa

mampu menafsirkan dengan baik, cermat, dan teliti tentang butir-butir yang

disampaikan oleh guru di kelas; (4) tahap evaluasi (tahap evaluating): siswa mampu

mengevaluasi pendapat untuk dinilai, keunggulan, kelemahan, serta kebaikan dan

keburukan materi yang disampikan oleh guru di kelas; dan (5) tahap menanggapi

(tahap responding): siswa mampu menyerap dan mencamkan gagasan yang

disampaikan oleh guru di kelas (Tarigan 1980:58).

Terkait dengan pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbahasa pada

umumnya, baik keterampilan menyimak, berbicara, membaca maupun menulis,

sangatlah penting guru menyiapkan rencana penyusunan pembelajaran maupun

rencana pengajaran dari keterampilan berbahasa yang akan diajarkan. Perencanaan

pembelajaran menyimak yang akan diberikan oleh guru di kelas antara lain: (1) guru

memberikan arah yang hendak dituju dan rasa percaya diri kepada siswa; (2) guru

menyusun isi pelajaran; (3) guru mengumpulkan dan mempersiapkan materi

pelajaran; (4) guru mampu menggunakan strategi dan kegiatan pengajaran; (5) guru

mampu berinteraksi siswa dengan baik; serta (6) guru mampu memotivasi siswa

belajar pada materi yang dijarkan. Selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan oleh

guru pada pengajaran menyimak adalah; (1) guru mampu menentukan tujuan umum

dan tujuan khusus dari pengajaran terkait dengan materi yang diajarkan; (2) guru

menentukan topik dan sub topik dari materi yang akan diajarkan oleh guru; (3) guru

menentukan alokasi setiap materi yang diajarkan; (4) guru menentukan strategi

pengajaran dengan memberikan tugas-tugas kepada siswa di kelas; dan (5) guru

menentukan prosedur penilaian dalam pengajaran sesuai dengan materi yang

dijarkan ( Rahim, 2005: 17).

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

226

Dengan demikian, mengajar menyimak yang efektif di sekolah diharapkan

guru mampu memahami kegiatan menyimak seperti: pengertian menyimak secara

menyeluruh, tujuan menyimak, manfaat menyimak, tahap-tahap penyimak serta

proses menyimak yang baik, dan langkah-langkah yang dilakukan oleh guru terkait

dengan perencanaan pembelajaran menyimak serta cara pengajarannya. Di samping

hal tersebut, guru juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan

menyimak yang dilakukan oleh siswa di sekolah. Guru yang kreatif dan profesional

merupakan kunci dari segala sesuatu yang dilakukan terhadap siswa.

III. KESIMPULAN

Menyimak sesungguhnya bermakna mendengarkan dengan penuh

pemahaman dan perhatian serta penuh apresiasi. Selanjutnya menyimak juga

dikatakan merupakan proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan

penuh perhatian. Melatih siswa mendengarkan bermaksud agar siswa dapat cepat

dan tepat mengikuti jalan pikiran orang yang sedang berbicara. Di samping itu siswa

diharapkan dapat menangkap dengan baik segala sesuatu yang tercantum dalam

cerita atau uraian yang didengarkan.

Kegiatan mendengarkan sesungguhnya berat dan memenatkan, karena

memerlukan pemusatan perhatian secara terus menerus. Di dalam kelas, siswa hanya

dalam waktu singkat dapat mendengarkan pelajaran, kemudian melakukan kegiatan

bercakap-cakap untuk melepaskan beban yang berat. Hal ini disebabkan oleh materi

yang diajarkan oleh guru di luar bidang studi siswa dan cara guru mengajar sangat

membosankan.

Begitu berat dan kompleks tanggung jawab sebagai guru dalam mengajar

terutama aktivitas siswa dalam mendengarkan maka perlu adanya sifat dan sikap

guru yang baik dalam mengajar siswa di sekolah. Di samping pengetahuan dan

kecakapan guru, pribadinya juga memegang peranan penting untuk menentukan

apakah guru tersebut efektif atau tidak. Guru harus disukai oleh siswa. Diharapkan

guru mampu melakukan pekerjaan sekolah sehingga dapat memberi tugas pelajaran.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

227

Guru juga mempunyai rasa humor sehingga dapat berteman dengan siswa. Secara

akademik, guru juga mampu membangkitkan minat pelajaran kepada siswa,

menimbulkan hasrat untuk belajar dan dapat menyenangkan. Guru perlu bersikap

tegas, adil, tidak marah-marah, sehingga siswa mampu memahami pelajaran yang

diajarkan, apalagi kegiatan menyimak yang diberikan di kelas.

Beberapa uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) mempelajari

suatu keterampilan berbahasa dapat dilakukan dengan menyimak, meniru, dan

mempraktekkannya dengan berbagai langkah. Guru diharapkan mampu menentukan

makna dari materi yang diajarkan kepada siswa sesuai dengan tujuan yang hendak

dicapai; (2) guru memperagakan dengan ekspresi yakni mengucapkan beberapa kali

kata-kata yang diajarkan di depan kelas; (3) guru menyuruh mengulangi serta siswa

meniru apa yang diucapkan oleh guru dengan gerak tertentu; dan (4) langkah

terakhir adalah guru memberikan latihan secara ekspresif dengan melakukan

pengulangan kata-kata yang diajarkan dengan aplikasi serta pengawasan yang teliti.

Dengan demikian kegiatan menyimak sebaiknya diajarkan dengan baik dan

benar sehingga dapat menghasilkan hasil simakan yang efektif dan efesien. Proses

tersebut disusun oleh guru dengan tahapan tertentu dan beberapa proses sesuai

materi yang diajarkan. Guru juga diharapkan mampu menyusun perencanaan

pembelajaran dan cara pengajaran menyimak sehingga mandapatkan hasil

menyimak yang optimal.

DAFTAR RUJUKAN

Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif. Jakarta: PT Mizan

Pustaka.

Jendra, I Wayan. 1980. Pengantar Ringkas Linguistik Umum Jilid 1.Denpasar:

Lembaga Penelitian Dokumentasi Dan Publikasi Fakultas Sastra

Universitas Udayana.

Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: PT

Refika Aditama.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

228

Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra

Universitas Indonesia.

Rahim, Farida. 2005. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi

Aksara.

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai

Pustaka.

Soejono, Ag. 1983. Metodik Khusus Bahasa Indonesia. Bandung: Bina Karya.

Samsuri. 1985.Analisis Bahasa. Jakarta: PT. Erlangga.

Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tarigan, Henry Guntur.1980. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.

Bandung. PT Angkasa.

Verhaar, J.W.M. 1984. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Witherington, H.C.dkk. 1982. Teknik-Teknik Belajar Dan Mengajar. Bandung:

Jemmars.

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

229

Pengantar Redaksi

IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi akademik yang

berkonsentrasi pada ilmu pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah

pesat. Oleh karena itu diperlukan wadah untuk menghimpun dan

mensosialisasikan perkembangan ilmu pendidikan itu. Berdasarkan

kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil

mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari

yang terbit dua kali setahun, yakni pada bulan April dan Oktober. Apa

yang ada di tangan pembaca budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan

Widyadari Nomor 13 Tahun VII April 2012.

Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri.

Penerbitan edisi ini disebarkan secara internal dalam kampus IKIP PGRI

Bali, seperti terbitan edisi sebelumnya, juga didistribusikan pada komunitas

akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan Widyadari kali ini memuat

sepuluh artikel ilmiah yang dihasilkan oleh para dosen IKIP PGRI Bali dan

beberapa artikel ilmiah dari dosen luar IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan

tulisan dari luar kampus IKIP PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala

ilmiah komunitas akademik.

Semoga penerbitan jurnal pendidikan Widyadari ini menjadi

wahana yang baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya,

sumbangan pemikiran, kritik, dan saran dari pembaca diharapkan dapat

memperbaiki terbitas edisi selanjutnya.

Redaksi

ii

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

230

DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................................... ii Daftar Isi ......................................................................................................... iii

Analisis Faktor-faktor yang Menyebabkan Prestasi Akademik Rendah Pada

Mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar

Heri Wahyudi, Sudrajat dan Wayan Meter ............................................... 1

Penerapan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching And Learning)

Dalam Mata Kuliah Pembangunan Masyarakat Desa Dapat Menumbuhkan

Jiwa Entrepreneur Pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ekonomi

Ni Nyoman Murniasih ................................................................................. 16

Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pemanfaatan

Senyawa Hayati Ekstrak Daun Beleng Dalam Penanggulangan Jamur

Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Penyebab Penyakit Busuk Batang

Pada Vanili

I Made Subrata .............................................................................................. 25

The Influence of Rector Leadership to Motivate Lecturer

Achievement

I Wayan Citrawan dan Nyoman Rajeg Mulyawan ............................ 45

Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pemanfaatan

Senyawa Hayati Ekstrak Daun Beleng Dalam Penanggulangan Jamur

Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Penyebab Penyakit Busuk Batang

Pada Vanili

I Made Subrata .............................................................................................. 70

Pembelajaran Dongeng Koalisi I Lutung dengan I Macan

Menumbuhkan Sikap Ilmiah dan Pendidikan Karakter Pada Siswa

I Wayan Suanda ............................................................................................ 87

Perbedaan Pengaruh Ekstrak Gambir (Uncaria gambir) dan Gel Lidah Buaya

(Aloe vera) Terhadap Daya Simpan Buah Cabai Merah Besar (Capsicum

annuum)

Gusti Ayu Rai ................................................................................................ 108

Minimarket and Consumer Culture in Denpasar Society

I Wayan Adnyana ........................................................................................ 122

Studi Tentang Diversitas Kelapa (Cocos sp.) Untuk Upakara Yadnya di Desa

Marga Dajan Puri Tabanan

Ni Nyoman Parmithi ..................................................................................... 134

Afiksasi Infleksional Dalam Bahasa Indonesia; Sebuah Kajian Morfologi Generatif

iii

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

231

Ida Ayu Agung Eka Sriadhi. ........................................................................ 155

Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menerapkan Asesmen Portofolio I Wayan Gunartha ....................................................................................... 185 Penerapan Metode Pemodelan Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpidato Bahasa Bali Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Petang, Badung Tahun Pelajaran 2010/2011 Dewa Ayu Widiasri ....................................................................................... 200 Proses Mengajar Menyimak Yang Efektif Ida Ayu Iran Adhiti ....................................................................................... 218

Pelindung :

Drs. I Dewa Putu Tengah (Pembina YPLP PT IKIP PGRI Bali)

Drs. IGB. Arthanegara, S.H., M.Pd. (Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali)

I Gusti Ngurah Oka, S.H. (Sekretaris YPLP PT IKIP PGRI Bali)

iv

Nomor 13 Tahun VII April 2012

ISSN 1907-3232

232

Penanggung Jawab

Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum.

(Rektor IKIP PGRI Bali)

Ketua Redaksi

I Wayan Citrawan, M.Pd.

Sekretaris Redaksi

Drs. Ketut Yarsama, M.Hum.

Anggota Dewan Redaksi :

Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna, M.Si. (Unhi)

Prof. Dr. I Nyoman Wedakusuma, M.S. (Unud)

Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si.

Drs. I Dewa Putu Juwana, M.Pd.

Drs. IGB. Ardana Adnya, M.Si.

Dr. Nengah Arnawa, M.Hum.

Dr. A.A. Ngr. Adi Putra, M.Pd.

Drs. I Ketut Sumerta, M.For.

Drs. I Dewa Made Alit, M.Pd.

Drs. I Wayan Suanda, S.Pd., M.Si.

Bendahara

Ni Putu Siti Firmani, M.Hum.

Distribusi

I Ketut Sudana

Ni Luh Putu Ayu Suati

Alamat Redaksi

Kampus IKIP PGRI Bali

Jalan Seroja-Tonja Denpasar Utara

Telp. (0361) 431434


Recommended