Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
1
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PRESTASI
AKADEMIK RENDAH PADA MAHASISWA PROGRAM
NON-PENDAS DI UPBJJ-UT
DENPASAR
Oleh
Heri Wahyudi ([email protected])
Sudrajat
Wayan Meter
UPBJJ-UT Denpasar
Abstract
This study aims to analyze the factors that cause low student academic
achievement. To achieve these objectives, this study used a survey design to collect
data from respondents. Before the first study researchers conducted pre-survey
interview technique to several respondents in order to obtain information to
formulate a construct that will be analyzed and research instruments.
The context of this study conducted in UPBJJ-UT Denpasar with
respondents of Non-Pendas Program student that low academic achievement.
Respondents in this study was 71 students with a response rate of 92.5%.
To analyze the factors that lead to low academic achievement and
determine the level of influence with confirmatory factor analysis and descriptive
statistics using SPSS 16.0 software support for windows.
Key words : Analysis of the factors, low academic achievement
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Keseluruhan proses pendidikan, kegiatan belajar merupakan kegiatan inti
dan utama. Secara psikologis belajar dapat diartikan sebagai suatu proses
memperoleh perubahan tingkah laku untuk mendapatkan pola respon baru yang
diperlukan dalam interaksi dengan lingkungannya. Proses perbuatan belajar
menyangkut berbagai aspek diantaranya mengenai latar belakang timbulnya
belajar, jenis dan bentuk-bentuk belajar, faktor yang mempengaruhi perbuatan
belajar, transfer dalam belajar sehingga sangat menentukan keberhasilan dalam
proses perbuatan belajar. Selain itu ada aspek lain yang sangat penting dalam
keberhasilan proses perbuatan belajar yaitu, seperti kematangan idividu pembelajar,
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
2
lingkungan keluarga yang mendukung, lingkungan sekolah yang kondusif,
lingkungan masyarakat mendukung, metode belajar yang up to date dan tersedianya
alat-alat belajar/media belajar dan materi pembelajaran yang mudah dipelajari dan
dimengerti.
Dengan demikian pelaksanaan proses perbuatan belajar terdapat beberapa
masalah baik bagi mahasiswa seperti dalam pengaturan waktu belajar, memilih
metode belajar, pengunaan sumber/buku belajar, cara belajar dengan kelompok, dan
persiapan menghadapi ujian. Begitu pula dengan permasalahan bagi tutor/dosen
sebagai pelaksana proses pembelajaran harus mempersiapan materi pembelajaran,
teknik pembelajaran yang tepat digunakan agar dapat menunjang proses
pembelajaran sehingga proses pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan tujuan
yang diharapkan, dimana hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang pembelajar,
tentunya apabila permasalahan telah diantisipasi lebih awal oleh tutor/dosen
diharapkan proses pembelajaran akan tercapai secara optimal.
Universitas Terbuka (UT) sebagai lembaga pendidikan tinggi, tentu saja
mempunyai tanggung jawab yang besar dalam membantu para mahasiswa agar
mereka berhasil dalam belajarnya. Untuk itu hendaknya UT memberikan bantuan
kepada para mahasiswa dalam mengatasi masalah-masalah yang timbul dari
kegiatan belajar. Universitas Terbuka (UT) sebagai perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pelayanan dengan Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ), mempunyai
implikasi terhadap penataan proses belajar mengajar yang berbeda dari sistem
pengajaran perguruan tinggi “tatap muka” biasa. Proses belajar mengajar jarak jauh
yang diterapkan oleh UT, pada dasarnya ditujukan kepada kegiatan mahasiswa
untuk belajar mandiri dan belajar berkelompok.
Bahan pelajaran disampaikan melalui paket pelajaran yang disebut modul
yang terdiri dari bahan ajar cetak dan non cetak. Bahan ini dipelajari secara mandiri
oleh mahasiswa. Belajar mandiri lebih menuntut ketekunan, disiplin dan kejujuran.
Sebab selain belajar, mahasiswa juga diwajibkan melakukan penilaian sendiri
terhadap kemajuan belajarnya.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
3
Untuk membantu para mahasiswa belajar secara mandiri agar dapat
mencapai hasil belajar yang optimal diperlukan bimbingan yang terarah. Bimbingan
tersebut menjadi tanggung jawab tutor. Proses bimbingan ini disebut dengan tutorial.
Dalam setiap kegiatan Orientasi Studi Mahasiswa Baru (OSMB)
Mahasiswa Program Non Pendas yang dilakukan setiap semester, mahasiswa
dibekali strategi belajar mandiri dan pembentukan kelompok belajar untuk
membantu mahasiswa dalam menyelesaikan studinya dengan tepat waktu dan
prestasi yang bagus, namun dari pengamatan terhadap nilai indeks prestasi
mahasiswa pada setiap semester, masih sangat banyak mahasiswa yang
mendapatkan indeks prestasinya di bawah dua koma. Berdasarkan data pada masa
registrasi 2009.2 jumlah mahasiswa dengan IP antara 2,00 sampai 4,00 sebanyak
127 mahasiswa dan IP di bawah 2,00 sebanyak 349 mahasiswa. Sedangkan pada
masa registrasi 2010.1 jumlah mahasiswa dengan IP antara 2,00 sampai 4,00
sebanyak 86 mahasiswa dan IP di bawah 2,00 sebanyak 341 mahasiswa. Data SRS
hasil Ujian Akhir Semester yang diolah UT Pusat.
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian ini dapat
diidentifikasi sebagai berikut: (1). Faktor-faktor yang menyebabkan prestasi
akademik rendah pada mahasiswa program Non-Pendas? (2). Sejauhmana faktor-
faktor tersebut mempengaruhi terhadap prestasi akademik rendah pada mahasiswa
Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar?
II. LANDASAN TEORI
Belajar adalah proses orang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan,
dan sikap. Kemampuan orang untuk belajar ialah ciri penting yang membedakan
jenisnya dari jenis-jenis makhluk yang lain. Kemampuan belajar itu memberikan
manfaat bagi induvidu dan juga bagi masyarakat. Bagi masyarakat, belajar
memainkan peranan penting dalam penerusan kebudayaan berupa kumpulan
pengetahuan ke generasi baru. Hal itu memungkinkan temuan-temuan dan
penemuan-penemuan baru berdasarkan perkembangan di waktu sebelumnya.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
4
Orang sebagai induvidu dan masyarakat mempunyai kepentingan agar
berhasil dalam mengelola balajar. Orang-orang yang sudah terampil belajar mandiri
mampu mengusai berbagai keterampilan untuk mengisi waktu senggang dan
melakukan pekerjaan baru. Mereka juga mengembangkan kemampuan berkehidupan
yang kreatif sepanjang hayatnya. Bila ditelusuri secara mendalam, proses belajar
mengajar merupakan inti dari proses pendidikan formal.
Menurut pendapat Muhammad Ali (1987) Pengertian belajar maupun
mengajar yang dirumuskan para ahli, antara satu dengan yang lainnya terdapat
perbedaan. Perbedaan ini disebabkan oleh latar belakang pandangan maupun teori
yang dipegang. Terdapat beberapa alasan mengapa muncul aneka ragam pengertian
itu. Di antara alasan itu adalah: (1). Karena adanya perbedaan dalam
mengidentifikasi fakta. Dasar perumusan suatu teori adalah fakta yang
diindentifikasikan melalui penelitian terhadap sejumlah subjek sebagai sampel.
Antara seorang ahli dengan ahli lain penelitian dilakukan terhadap obyek yang
berbeda. Perbedaan ini mengakibatkan diperoleh hasil berbeda pula,
(2). Perbedaan penafsiran terhadap fakta. Perbedaan ini pada umumnya disebabkan
oleh latar belakang peninjauan yang berbeda-beda. Perumusan suatu teori di
samping terpengaruh oleh penafsiran terhadap fakta, juga oleh banyaknya fakta yang
dapat diindentifikasi. Dengan demikian teori yang dirumuskan pun berbeda pula,
(3). Perbedaan terminologi (peristilahan) yang digunakan serta konotasi masing-
masing istilah itu. Peristilahan yang digunakan sebagai dasar analisis dan
pembahasan ilmiah seringkali berbeda-beda. Setiap istilah mempunyai konotasi
tertentu. Oleh karena itu teori sebagai hasil studi ilmiah berbeda-beda sejalan dengan
perbedaan istilah yang digunakan dan konotasinya masing-masing, (4). Perbedaan
penekanan terhadap aspek tertentu. Dalam melakukan studi tentang mengajar
ataupun belajar setiap ahli memberi penekanan terhadap aspek tertentu. Studi
tentang mengajar ada menekankan pentingnya proses belajar. Demikian pula tentang
belajar, ada menekankan pada aspek asosiasi (hubungan) antara stimulus-respon,
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
5
ada pula menekankan pentingnya hasil kognitif. Hal ini membawa pengaruh
terhadap kesimpulan yang diperoleh
Kesulitan Belajar
Kesulitan merupakan suatu kondisi tertentu yang ditandai dengan adanya
hambatan-hambatan dalam kegiatan mencapai suatu tujuan, sehingga memerlukan
usaha yang lebih keras lagi untuk dapat mengatasi kesulitan itu. Kesulitan belajar
dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya
hambatan-hambatan tetap untuk mencapai hasil belajar. Hambatan ini mungkin
disadari mungkin juga tidak disadari oleh orang yang mengalaminya dan dapat
bersifat psikologis, sosiologis, ataupun fisiologis dalam keseluruhan proses
belajarnya. Orang yang mengalami kesulitan belajar akan mengalami hambatan
dalam proses mencapai hasil belajarnya, sehingga prestasi yang dicapainya berada di
bawah yang semestinya.
Kesulitan belajar mempunyai pengertian yang luas dan kedalamannya
termasuk pengertian seperti learning disorder (kekacauan belajar), learning
disfunction (proses belajar yang tidak berfungsi), under echiever (prestasi belajar
rendah), slow learner (lambat belajar) dan sebagainya. Menurut Ngalim Purwanto
(1998), ada empat hal atau kategori dalam belajar, yaitu: (1). Ada perubahan tingkah
laku yang lebih baik, atau mungkin lebih buruk, (2). Perubahan yang terjadi dapat
melalui latihan atau pengalaman, (3). Perubahan itu relatif mantap, dan (4).
Perubahannya menyangkut aspek kepribadian.
Sementara itu Skinner (1997) menyatakan bahwa belajar adalah suatu
proses adaptasi atau penyesuaian tingkah laku yang berlangsung secara progresif.
Adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat.
Hal ini merupakan dasar dari teori belajar conditioning dari Skinner, yaitu bahwa
timbulnya tingkah laku lantaran adanya hubungan antara stimulus (rangsangan)
dengan respons.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
6
Berkaitan dengan proses belajar mengajar dalam kelas, maka proses
stimulus dan respons pada dasarnya merupakan situasi dan proses yang melibatkan
dua faktor perbuatan, yaitu faktor perbuatan belajar oleh mahasiswa, dan faktor
perbuatan mengajar dari guru. Interaksi antara mahasiswa dengan guru dan antara
mahasiswa dengan mahasiswa menjadi proses interaksi sosial yang terjadi di dalam
kelas. Tanpa interaksi di antara mereka maka proses belajar dan mengajar tidak akan
terjadi.
Pada dasarnya, ada dua faktor utama yang berpengaruh dalam proses
belajar yaitu faktor yang ada dalam diri organisme, yang disebut dengan faktor
individual, seperti kematangan, kecerdasan, latihan dan motivasi. Sedangkan faktor
kedua berasal dari luar individu, yang dapat disebut sebagai faktor sosial. Termasuk
faktor sosial adalah keadaan rumah tangga, keadaan guru, cara mengajar, alat
pelajaran, lingkungan dan kesempatan yang tersedia.
Munawar dalam pustaka psikologi pendidikan (1999), paling tidak terdapat
tiga golongan teori belajar yang cukup populer, yaitu teori belajar menurut ilmu jiwa
daya, teori belajar menurut ilmu jiwa asosiasi, dan teori belajar menurut ilmu jiwa
Gestalt. Teori belajar menurut Ilmu Jiwa Daya memandang bahwa jiwa manusia
terdiri dari beberapa daya dan masing-masing daya memiliki fungsi tertentu seperti
daya pikir, mengingat, mengkhayal dan sebagainya. Daya tersebut dapat dilatih
melalui proses belajar sehingga fungsinya akan bertambah baik.
Teori belajar menurut Ilmu Jiwa Asosiasi berpendapat bahwa keseluruhan
itu terdiri atas penjumlahan bagian-bagian atau unsur-unsur. Dalam golongan teori
ini terdapat dua aliran yang terkenal yaitu teori connectionisme dan teori
conditioning. Teori connectionisme memandang bahwa belajar adalah pembentukan
atau penguatan hubungan antara stimulus dan respons, sedangkan teori conditioning
memandang bahwa belajar merupakan pembentukan hubungan antara stimulus dan
respons yang perlu dibantu dengan situasi tertentu.
Teori belajar Ilmu Jiwa Gestalt memandang keseluruhan merupakan prinsip
yang penting. Anak tidak dipandang sebagai sejumlah daya melainkan sebagai suatu
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
7
keseluruhan, yakni individu yang dinamis dan senantiasa dalam keadaan berinteraksi
dengan dunia sekitarnya dalam mencapai tujuan-tujuannya. Menurut teori ini,
seseorang akan belajar jika ia mendapat suatu insight. Dalam hal ini, timbulnya
insight tergantung pada kesanggupan, pengalaman, sifat atau taraf kompleksitas,
latihan dan trial and error. Selain itu, masih menurut teori ini, belajar harus
dirangsang dengan adanya permasalahan.
Gejala kesulitan belajar akan dimanifestasikan baik secara langsung
maupun tidak langsung dalam berbagai bentuk tingkah laku. Tingkah laku yang
dimanifestasikannya ditandai dengan adanya hambatan-hambatan tertentu. Kesulitan
belajar ini akan nampak dalam aspek-aspek motoris, kognitif, afektif baik dalam
proses maupun hasil belajar yang dicapainya. Beberapa ciri tingkah laku yang
merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar antara lain : (1). Menunjukkan hasil
belajar yang rendah dibawah nilai yang dicapai kelompoknya atau di bawah potensi
yang dimilikinya, (2). Hasil yang dicapai tidak sesuai dengan usaha yang telah
dilakukan, (3). Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajar, (4).
Menunjukkan sikap yang kurang wajar seperti : acuh tak acuh, menentang, berpura-
pura dan sebagainya, (5). Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar seperti:
pemurung, mudah tersinggung, pemarah dan sebagainya.
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai individu
yang mengalaminya, diperlukan adanya patokan atau kriteria sebagai batas untuk
menetapkannya. Dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana seseorang dapat
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Kemajuan belajar seseorang dapat dilihat
dari segi tujuan yang harus dicapai, kedudukannya dalam kelompok yang memiliki
potensi yang sama, tingkat pencapaian hasil belajar dibandingkan dengan potensi
(kemampuannya) dan dari segi kepribadiannya.
Terjadinya kesulitan belajar pada seseorang dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain: (1). Faktor-faktor yang terdapat dalam diri seseorang :
(a). Kelemahan secara fisik antara lain: susunan syaraf yang tidak berkembang
secara sempurna/cacat/sakit sehingga sering membawa gangguan emosional, panca
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
8
indera kurang berkembang secara sempurna sehingga menyulitkan proses interaksi
secara efektif, (b). Kelemahan secara mental, (c). Kelemahan emosional, seperti
terdapat rasa tidak aman, ketidakmatangan, (d). Kelemahan yang disebabkan oleh
kebiasaan dan sikap yang salah seperti banyak melakukan aktifitas yang
bertentangan dan tidak menunjang proses pembelajaran yang sedang diikuti
seseorang, gagal untuk memusatkan perhatian, tidak disiplin dalam mengikuti proses
pembelajaran, (e). Tidak memiliki keterampilan dan pengetahuan dasar yang
diperlukan seperti kurang menguasai pengetahuan dasar untuk bidang studi yang
diikuti, memiliki kebiasaan dan cara bekerja yang salah. (2). Faktor yang terdapat di
luar diri seseorang antara lain : (a). Kurikulum yang seragam, (b). Ketidaksesuaian
standar administrasi atau sistem pengajaran, (c). Materi pelajaran kurang diminati,
(d). Kelemahan yang terdapat dalam kondisi rumah tangga seperti tingkat
pendidikan, status sosial ekonomi (Sudjana, 1988).
Dalam sistem belajar jarak jauh (SBJJ) yang diselenggarakan oleh UT,
tutorial atau pembimbingan merupakan salah satu komponen yang penting bagi
keberhasilan sistem belajar jarak jauh secara keseluruhan. Untuk itu maka
pengelolaan program tutorial perlu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, terencana,
baik penyiapan materi yang akan digunakan sampai dengan metode pengajaran yang
dipakai dengan peran serta para tutor secara aktif. Agar pelayanan bimbingan belajar
atau tutorial dapat bermanfaat dengan sebaik-baiknya, maka sistem belajar jarak
jauh dan tutorial perlu dipahami dengan baik oleh para tutor. Di samping itu tutor
hendaknya memahami pula tentang masalah-masalah yang dihadapi mahasiswa
dalam mempelajari modul.
Selain itu sistem belajar jarak jauh (SBJJ) menuntut belajar mandiri para
mahasiswa. Permasalahan belajar yang berbeda sehingga menjadi hambatan dalam
proses pembelajaran. Hambatan tersebut dapat berupa hambatan dalam masalah
akademis, misalnya kesulitan dalam mempelajari modul, kesulitan dalam
menentukan jadwal dan strategi belajar, kesulitan dalam menentukan sumber dan
nara sumber untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dan mungkin juga
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
9
dihadapi mahasiswa. Hambatan-hambatan yang sifatnya psikologis misalnya
perasaan terisolir, menurunnya motivasi belajar, kesulitan dalam keluarga dan
sebagainya.
Untuk membantu mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi mahasiswa
Program Non-Pendas terutama dalam masalah akademis, maka perlu dilaksanakan
program pembimbingan mahasiswa atau tutorial. Dalam pembimbingan (tutorial)
tersebut para mahasiswa dapat berdialog dalam mengemukakan kesulitannya secara
langsung kepada tutor ataupun kepada sesama rekan mahasiswa (tutorial tatap
muka). Sedangkan kontak itu sendiri dapat dilakukan melalui beberapa macam
media seperti : tatap muka, radio, TV, Online dan sebagainya.Seorang tutor
mempunyai peran sebagai fasilitator dalam proses belajar mahasiswa pada sistem
belajar jarak jauh (SBJJ), berperan juga membantu lancarnya proses belajar
mahasiswa dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan belajar yang dihadapi
mahasiswa.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Cooper dan Schindler (2006) dalam bukunya mengatakan bahwa desain
penelitian adalah sebuah aktivitas dan rencana berdasarkan pada waktu, didasarkan
pada pertanyaan penelitian, mengarahkan pilihan dari sumber dan tipe-tipe
informasi, sebuah kerangka kerja untuk menentukan hubungan di antara variabel
penelitian dan garis besar prosedur untuk setiap aktivitas penelitian. Sedangkan
Sekaran (2003) menyatakan bahwa desain penelitian merupakan upaya yang
melibatkan sebuah urutan dari pilihan pengambilan keputusan rasional.
Penelitian ini dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian yang telah
ditetapkan yaitu untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan prestasi
akademik rendah. Desain penelitian ini merupakan exploratory study yang bertujuan
untuk menganalisis faktor-faktor dengan waktu penelitian yang bersifat cross-
sectional, ruang lingkup topik berupa penelitian statistik dan lingkungan
penelitiannya merupakan penelitian lapangan. Data untuk mengukur masing-masing
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
10
variabel dikumpulkan dengan menggunakan instrumen kuesioner. Kuesioner
penelitian berisi item-item pernyataan yang menggambarkan variabel-variabel yang
diteliti. Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan pra survei pada beberapa
responden dimaksudkan untuk menggali informasi guna mendesain instrumen
penelitian.
3.2. Metode Analisis Data
Untuk menganalisis data berdasarkan model ini, peneliti melakukan analisis
dengan menggunaka statistik deskriptif yaitu nilai mean dari setiap variabel dengan
bantuan software SPSS 16.0 for windows.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Analisis hasil penelitian mengenai variabel-variabel yang diuji. Analisis
dimulai dengan tahap pengumpulan data, karakteristik responden, pengujian
validitas dan reliabilitas serta analisis pembahasan.
4.1. Hasil Pengujian Faktor-Faktor
Hasil analisis faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah
tersaji pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Hasil Pengujian Faktor-Faktor
No. Faktor Pengaruhnya
1 Kurangnya motivasi belajar prestasi akademik rendah rendah
2 Kurangnya waktu belajar prestasi akademik rendah rendah
3 Tidak memiliki bahan ajar prestasi akademik rendah rendah
4 Tidak mengikuti tutorial online prestasi akademik
rendah
cukup tinggi
5 Tidak membentuk kelompok belajar prestasi akademik
rendah
cukup tinggi
6 Kurangnya persiapan ujian prestasi akademik rendah cukup tinggi
7 Kurangnya pengayaan materi rendahnya prestasi
akademik
cukup tinggi
8 Tidak mendukungnya situasi belajar prestasi akademik
rendah
cukup rendah
9 Kurangnya perencanaan studi prestasi akademik rendah cukup rendah
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
11
4.2. Hasil Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan pemahaman yang lebih baik
tentang respon mahasiswa pada faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik
mahasiswa rendah. Sebelum peneliti menyusun kuesioner penelitian sebagai
instrumen penelitian untuk mengumpulkan data penelitian, terlebih dahulu peneliti
melakukan pra-survei dengan teknik wawancara terhadap beberapa mahasiswa
Program Non-Pendas yang mempunyai prestasi akademik secara berturut-turut dua
semester rendah yaitu indeks prestasinya kurang dari 2,00. Tujuan dari wawancara
tersebut adalah untuk mendapatkan data yang menyebabkan prestasi akademik
mahasiswa rendah. Kesimpulan dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa
diperoleh sembilan faktor yang menyebabkan prestasi akademik mahasiswa rendah
yaitu kurangnya motivasi belajar, kurangnya waktu belajar, tidak memiliki bahan
ajar, tidak mengikuti tutorial online, tidak membentuk kelompok belajar, kurangnya
persiapan ujian, kurangnya pengayaan materi, tidak mendukungnya situasi belajar
serta kurangnya perencanaan studi.
Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut memiliki beberapa item-item
atau indikator-indikator yang membentuknya. Agar variabel tersebut valid maka
perlu diuji validitasnya dengan uji Confirmatory Factor Analysis (CFA)
menggunakan software SPSS 16.0 for windows. Item-item yang tidak memenuhi
persyaratan statistik dalam membentuk konstruk atau variabel maka direduksi dan
tidak diikutsertakan pada analisis. Uji reliabilitas juga dilakukan untuk mengukur
konsistensi alat ukur dalam mengukur suatu konstruk atau variabel. Variabel yang
diuji reliabilitasnya adalah yang memiliki item atau indikator lebih dari dua.
Sedangkan untuk menentukan tinggi-rendahnya pengaruh varibel tersebut diukur
dengan nilai rata-ratanya (mean) pada statistik deskriptif.
Dari hasil analisis faktor, variabel kurangnya motivasi belajar dibentuk oleh
satu indikator yaitu “mahasiswa mengikuti kuliah bertujuan untuk mencari status”.
Pada umumnya kalau mahasiswa mengikuti kuliah bertujuan mencari status seperti
agar diakui oleh masyarakat seseorang yang berpendidikan maka motivasi untuk
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
12
belajar guna mendapatkan ilmu pengetahuan kurang. Kurangnya motivasi untuk
belajar menyebabkan pemahamanan atau penguasaan terhadap materi kuliah akan
berkurang sehingga prestasi akademik yang diperoleh rendah.
Faktor atau variabel kurangnya waktu belajar dibentuk oleh satu indikator
yaitu “saya sangat sibuk dengan hobby sehingga tidak sempat belajar”. Kesibukan
mahasiswa dengan hobby yang mereka gemari akan menyebabkan waktu untuk
belajar sangat kurang sehingga mahasiswa yang sangat sibuk dengan hobby tidak
sempat untuk belajar, ini berakibat rendahnya prestasi akademiknya.
Bahan ajar yang berupa buku materi pokok atau modul bagi mahasiswa
Universitas Terbuka merupakan pengganti dosen seperti halnya pada kuliah tatap
muka (konvensional). Dosen memberikan materi perkuliahannya melalui modul
yang dipelajari secara mandiri oleh mahasiswa. Apabila mahasiswa tidak
mempunyai modul maka tidak dapat mengikuti perkuliahan, ilmu pengetahuan yang
diperoleh tidak ada. Modul bagi mahasiswa Universitas Terbuka wajib dimiliki
karena sistem belajarnya secara mandiri melalui modul dan media lain. Mahasiswa
yang tidak memiliki modul maka tidak bisa menguasi materi perkuliahan sehingga
dapat menyebabkan prestasi akademik mahasiswa rendah. Beberapa hal mengapa
mahasiswa tidak mempunyai bahan ajar diantaranya tidak mengerti cara membeli
modul lewat internet dan mahasiswa tidak tahu ke mana. Bagi UPBJJ-UT Denpasar
kiranya perlu disosialisasikan pada mahasiswa menganai ke mana dan bagaimana
caranya membeli bahan ajar atau modul.
Dalam sistem belajar mandiri, insiatif belajar datang dari mahasiswa. Selain
mahasiswa belajar mandiri dengan bahan ajar berupa modul atau media lainnya,
Universitas Terbuka memberikan layanan bantuan belajar berupa tutorial tatap muka
dan tutorial online. Tutorial online selain dapat menambah ilmu pengetahuan dan
pemahaman mahasiswa terhadap mata kuliah yang ditempuh juga dapat
berkontribusi terhadap nilai akhir sebesar 30%. Tutorial online dapat dilakukan
dimana saja dan kapan saja asal ada jaringan internetnya. Mahasiswa yang tidak
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
13
mengikuti tutorial online bisa saja menyebabkan prestasi akademik rendah karena
pemahaman terhadap materi kurang dan tidak mempunyai kontribusi nilai akhir.
Belajar mandiri bukan berarti belajar sendirian tetapi belajar atas insiatif
sendiri. Belajar mandiri dapat belajar sendiri maupun belajar berkelompok dengan
cara membentuk kelompok belajar. Keuntungan belajar berkelompok salah satunya
dapat berdiskusi terhadap suatu masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri.
Mahasiswa yang membentuk kelompok belajar akan mempunyai teman yang bisa
diajak belajar bersama, mempunyai teman yang bisa dimintai penjelasan jika ada
kesulitan belajar dan mempunyai teman yang bisa diajak berdiskusi. Sehingga
mahasiswa yang tidak membentuk kelompok belajar akan menyebabkan prestasi
akademik rendah.
Ujian akhir semester merupakan evaluasi terhadap hasil belajar mahasiswa
selama mengikuti perkuliahan satu semester. Untuk mendapatkan nilai ujian yang
baik atau lulus, kiranya perlu dipersiapkan mahasiswa baik secara materi maupun
mental jauh hari sebelumnya. Persiapan yang matang dan baik akan dapat
memberikan kepercayaan diri bagi mahasiswa dalam menghadapi ujian. Sebaliknya
mahasiswa yang kurang persiapan ujian akhir maka tidak memberikan kepercayaan
diri bahwa mereka mampu mendapatkan nilai baik dan dapat ujian dengan baik dan
tenang. Sehingga kurangnya persiapan ujian ini dapat menyebabkan rendahnya
prestasi akademik.
Selain belajar mandiri dengan menggunakan buku materi pokok atau
modul, mahasiswa dapat melakukan pengayaan materi kuliah dengan mempejalari
media lain seperti VCD, web supplemen, siaran radio atau buku-buku lain yang
relevan. Dengan melakukan pengayaan materi maka akan dapat menambah
wawasan, pemahaman dan pengetahuan terhadap suatu matakuliah yang sedang
dipelajari. Sehingga mahasiswa yang kurang pengayaan materi dapat menyebabkan
rendahnya prestasi akademik.
Agar sesorang dapat belajar dengan baik maka perlu pada situasi dan
kondisi yang mendukung. Belajar di tempat yang terlalu ramai, pencahayaan kurang,
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
14
tidak pada tempat belajar yang khusus maka berpengaruh terhadap pemahaman
materi yang sedang dipelajari. Bisa saja mahasiswa yang belajar pada situasi dan
kondisi seperti itu sangat sulit untuk menyerap dan memahami materi yang sedang
dipelajari. Sehingga tidak mendukungnya situasi dan kondisi belajar akan
menyebabkan rendahnya prestasi akademik mahasiswa tersebut.
Untuk mencapai suatu tujuan tertentu, biasanya dimulai dengan melakukan
perencanaan. Begitu juga dengan mengikuti suatu perkuliahan atau studi, agar dalam
studi mencapai hasil yang maksimal, indeks prestasi yang baik, lulus tapat waktu
dan menambah ilmu pengetahuan maka perlu adanya perencanaan studi yang baik.
Dengan adanya perencanaan yang baik maka akan lebih terarah dalam proses
belajarnya. Salah satu contoh mahasiswa dapat mengikuti paket arahan sehingga
tidak asal saja dalam mengambil matakuliah. Sehingga kurangnya perencanaan
dapat menyebabkan rendahnya prestasi akademik.
V. KESIMPULAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih
baik tentang respon mahasiswa Program Non-Pendas terhadap faktor-faktor yang
menyebabkan prestasi akademik rendah. Seperti telah dibahas sebelumnya,
penelitian ini berusaha menjawab pertanyaan: Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan prestasi akademik rendah pada mahasiswa Program Non-Pendas di
UPBJJ-UT Denpasar? Bagaimana faktor-faktor tersebut pengaruhnya terhadap
prestasi akademik rendah pada mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT
Denpasar?
Untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian tersebut, peneliti melakukan
cross-sectional survey untuk mendapatkan data primer menggunakan kuesioner.
Keusioner didesain dari hasil wawancara dengan beberapa mahasiswa pada saat pra-
survei. Kuesioner tersebut digunakan untuk mengukur persepsi mahasiswa terhadap
faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah. Total 39 item
pernyataan digunakan dalam penelitian ini.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
15
Unit analisis dalam penelitian ini adalah individual. Individu-individu
tersebut merupakan mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar.
Prosedur pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
non-probability sampling dengan teknik purposive sampling.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat disimpulkan beberapa hal
penting, di antaranya:
1. Kurangnya motivasi belajar, kurangnya waktu belajar dan tidak memiliki bahan
ajar merupakan faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah,
namun pengaruhnya rendah.
2. Tidak mengikuti tutorial online, tidak membentuk kelompok belajar, kurangnya
persiapan ujian dan kurangnya pengayaan materi merupakan faktor-faktor yang
menyebabkan prestasi akademik rendah, di mana pengaruhnya cukup tinggi.
3. Tidak mendukungnya situasi belajar serta kurangnya perencanaan studi
merupakan faktor-faktor yang menyebabkan prestasi akademik rendah, namun
pengaruhnya cukup rendah.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, M., Sukarman, M., dan Rahmad, C. 1984. Bimbingan Belajar, Penuntun Sukses
di Perguruan Tinggi Dengan Sistem SKS. Bandung: Sinar Baru.
Ali, M., 1987. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Baru.
Cooper, D.R. and Schindler, P.S. 2006. Business Research Methods. 9th edition.
New York: McGraw-Hill.
Munawar, A. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Dian Ilmu.
Sekaran, U. 2003. Research Methods for Business: A Skill-Building Approach.New
Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
16
PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAl (CONTEXTUAL TEACHING
AND LEARNING) DALAM MATA KULIAH PEMBANGUNAN
MASYARAKAT DESA DAPAT MENUMBUHKAN JIWA
ENTREPRENEUR PADA MAHASISWA JURUSAN
PENDIDIKAN EKONOMI
Oleh
Ni Nyoman Murniasih
Program Studi Pendidikan Ekonomi
FP IPS IKIP PGRI BALI
Abstract
Learning is a process to grow behaviour or attitude of someone according to
practical or certain experience. Learning experience which makes motivation grew
is the experience where the university student actively participate in facing the
nature. Through CTL (Contextual Teaching Learning) approach in The
Development of Village Society University Subject, the university student will have
a meaningful learning The subject material given linked with situation in real world
and support University Student to make a correlation between the knowledge they
have with the implementation in everyday‟s life.
To make the learning process more effective, it is the lecturer‟s job to facilitate
so that the student can implementate the ideas that they have. On The development
of village society subject, university students are directed to have the spirit of
entrepreneurship. Enterpreneurship is the implementation of creativity and
innovation to solve problems and and the effort to use the chance that they have. As
University student who majoring economical science, will not only be job seeker,
but also able to create job opportunity in order to support village development and
national development to reduce unemployment.
I. LATAR BELAKANG
Kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen yaitu
pembelajar, pendidik, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar, media
dan evaluasi. Tujuan pembelajaran adalah perubahan prilaku dan tingkah laku yang
positif dari pembelajar setelah mengikuti kegiatan belajar mengajar seperti :
perubahan yang secara psikologis akan tampil dalam tingkah laku (behaviour) yang
dapat diamati oleh orang lain melalui alat indra baik tutur kata motorik dan gaya
hidupnya.
Tujuan pembelajaran yang diinginkan tentu yang optimal untuk itu ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pendidik. Salah satu diantaranya adalah
pendekatan yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar. Hal ini sesuai dengan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
17
yang dikemukakan oleh Zainal Aqib yaitu ada sepuluh pendekatan; pendekatan
lingkungan, penemuan, konsep, ketrampilan proses, pemecahan masalah, induktif-
deduktif, sejarah, nilai, komunikatif, tematik. Sedangkan Udin S Winataputra
berpendapat bahwa pendekatan terdiri dari; pendekatan lingkungan, ketrampilan
proses, penemuan dan terpadu.
Pendekatan pembelajaran yang sesuai adalah pendekatan yang berorientasi
pada kepentingan siswa atau siswa sentries. Hal ini sesuai dengan pendekatan
penemuan (discovery and inquiry) yang menunjukkan dominasi pembelajar selama
proses pembelajaran dan fungsi pendidikan hanya sebagai fasilitator. Di samping
berfungsi sebagai fasilitator pendidik juga berfungsi sebagai planner yaitu dengan
memiliki program kerja yang jelas mulai dari merencanakan setiap pembelajaran
yang dilakukan sehingga berhasil maksimal. Hal ini dilakukan dengan merubah pola
lama yang tidak memberikan hasil maksimal menuju pola baru dalam pembelajaran
yang memungkinkan untuk mencapai pendidikan yang lebih berkualitas efektif dan
cepat. Pendidikan bukan sekedar mencetak tenaga kerja yang siap pakai, pendidikan
adalah proses pembentukan generasi yang siap memerankan kehidupan.
Dalam kurikulum pendidikan ekonomi yang telah diperbaharui salah satu
mata kuliah yang relevan dengan mengaplikasikan pendekatan di atas adalah mata
kuliah; Pembangunan Masyarakat Desa, yang materinya kebanyakan bersentuhan
dengan dunia nyata di pedesaan antara lain; Masalah-masalah yang dihadapi desa,
faktor penyebabnya, teknik pendekatan terhadap masyarakat desa, potensi-potensi
desa yang bisa dikembangkan, industri kecil dipedesaan. Salah satu pendekatan
pembelajaran yang cocok untuk diterapkan berkaitan dengan materi ajar di atas
adalah pendekatan konnstektual. Contextual Teaching and Learning (CTL)
merupakan konsep belajar yang mengkaitkan antara materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata yang mampu mendorong mahasiswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan penerapan kehidupan sehari-hari. Kondisi ini
sekaligus menyiapkan mahasiswa sedini mungkin tertarik berwiraswasta, mengingat
desa memiliki potensi-potensi yang siap digarap dan dikembangkan sehingga
masyarakat desa tingkat kesejahteraannya dapat ditingkatkan. Peran mahasiswa pada
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
18
jurusan pendidikan ekonomi sangat strategis dalam turut serta membuka kesempatan
kerja, bukan sebagai pencari kerja.
II. PEMBAHASAN
Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa yang dipelajarinya,
bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target penguasaan materi
terbukti berhasil dalam kompetensi mengingat dalam jangka pendek tetapi gagal
dalam membekali anak memecahkan masalah dalam jangka panjang. Kebanyakan
pembelajar tidak mampu membuat kaitan antara apa yang diajarkan dengan
bagaimana pengetahuan itu dimanfaatkan. Dalam pendekatan konstektual (CTL)
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk mahasiswa bekerja dan mengalami
dan bukan transfer pengetahuan dari dosen ke mahasiswa. Proses dan strategi
pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil (learning by process) dalam
konteks ini mahasiswa perlu mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya dan
bagaimana mencapainya. Jika mahasiswa sadar bahwa apa yang mereka pelajari
berguna bagi hidupnya nanti maka siswa akan memposisikan diri sebagai diri sendiri
yang memerlukan suatu bekal untuk hidupnya. Mahasiswa akan lebih tertarik
mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam
upaya inilah diperlukan kehadiran dosen sebagai pembimbing dan pengarah.
Agar pembelajaran dengan pendekatan CTL berhasil dengan baik ada 7
prinsip yang harus diikuti :
1. Belajar berbasis masalah (problem based learning) belajar bukanlah sekedar
drill informasi tetapi bagaimana menggunakan informasi dan berpikir kritis
yang ada untuk memecahkan masalah yang ada di dunia nyata.
2. Pengajaran autentik (autentik instruction) pendekatan pembelajaran yang
mempelajari konteks bermakna sesuai dengan kehidupan nyata.
3. Belajar berbasis inquiri (inqury based learning) belajar adalah kegiatan
memproduksi bukan mengkonsumsi belajar untuk mengetahui kebutuhan apa
yang ingin diketahui dan mencari sendiri jawabannya.
4. Belajar berbasis proyek/tugas terstruktur (proyek based learning) belajar bukan
sekedar menyerap hal kecil sedikit demi sedikit dalam waktu yang panjang
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
19
tetapi secara komprehensif/terpadu untuk mendapatkan banyak hal. Proyek
membantu orang untuk melibatkan keseluruhan mental dan fisik, syaraf, indera
termasuk kecakapan sosial dengan melakukan banyak hal sekaligus.
5. Belajar berbasis kerja (work based learning) untuk membuat belajar lebih
efektif belajar harus berdasarkan pengalaman dan bukan kata-kata semata. Jika
mencari informasi perlu membaca kata-kata. Jika memerlukan pengalaman
milikilah pengalaman dengan melakukannya. Belajar adalah bekerja dan ketika
ia bekerja ia belajar banyak hal.
6. Belajar jasa layanan (servise learning) emosi sangat menentukan proses dan
hasil belajar. Perasaan positif yang timbul saat belajar dapat mempercepat
belajar. Belajar dengan percaya diri, merasa dibutuhkan, bekerja sama
menolong orang lain dan akrab pada kegiatan diluar maupun didalam kelas
lebih mejanjikan hasil.
7. Belajar kooperatif (cooperative learning) biasanya orang akan lebih banyak
belajar melalui interaksi dengan teman-teman. Satu kelas yang belajar bersama
akan menghasilkan prestasi lebih baik daripada setiap individu belajar sendiri-
sendiri. Dengan belajar bersama akan timbul persaingan individu yang satu
dengan yang lainya ini akan memotivasi setiap orang untuk lebih berprestasi.
Pembelajaran dengan pendekatan konstektual bertujuan membekali siswa
dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari suatu
permasalahan ke permasalahan lain dari suatu konteks ke konteks lain. Dengan
layanan dosen yang memadai melalui berbagai bentuk penugasan mahasiswa belajar
bekerja sama untuk menyelesaikan masalah (problem based learning) dan saling
menghargai sehingga hubungan antar mahasiswa akan lebih harmonis. Mahasiswa
yang merasa kurang dapat belajar bersama-sama mahasiswa yang pandai
mengerjakan dan mempertanggung jawabkan hasil penelitiannya dengan presentasi
dihadapan kelas dan mendiskusikannya. Melalui diskusi mahasiswa dibiasakan
mengemukakan ide dan buah pikiran serta menerima berbagai kritik dan saran,
sehingga apa yang disimpulkan menjadi kesimpulan bersama.
Pentingnya pendekatan kontekstual dalam pembelajaran masa kini lebih
didasarkan pada berbagai kelebihan yang dimiliki, dibandingkan dengan pendekatan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
20
pembelajaran konvensional. Berikut ini merupakan perbandingan yang membedakan
antara kedua pendekatan.
No Pendekatan CTL Pendekatan Konvensional
1.
Siswa terlibat aktif dlm proses
pembelajaran (student center )
Siswa hanya menerima informasi
secara pasif (teacher center )
2 Siswa belajar bersama dalam kerja
dan diskusi kelompok
Siswa belajar secara individual
3 Pembelajaran dikaitkan dengan
kehidupan nyata atau didasarkan
pada masalah
Pembelajaran telalu abstrak dan
teoritis
4 Perubahan perilaku siswa dibangun
atas kesadaran sendiri
Perubahan perilaku siswa dibangun
atas kebiasaan
5 Memperoleh keterampilan yang
dikembangkan dari pemahaman
Memperoleh keterampilan yang
dikembangkan atas dasar latihan
6 Penghargaan yang diberikan berupa
kepuasan diri
Penghargaan diberikan dalam bentuk
angka/nilai rapor
7 Siswa tidak berprilaku jelek karena
dia sadar dan merugikan
Siswa tidak berprilaku jelek karena
dia takut hukuman
8 Bahasa yang disampaikan
komunikatif
Bahasa yg disampaikan terkesan satu
arah (struktural)
9 Belajar dari apa yang sudah dikenal
siswa
Belajar dari sesuatu yang asing atau
tidak dikenal siswa
10 Adanya kemampuan proses dalam
pembelajaran
Hanya berlaku pasif menerima
imformasi
11 Pengetahuan yang ada dibangun dan
dikembangkan sendiri
Pengetahuan didasarkan pada
penangkapan serangkaian fakta,
konsep atau hukum diluar dirinya
12 Didasarkan pada pengalaman siswa Tidak didasarkan pada pengalaman
siswa
13 Hasil belajar diukur berdasarkan
proses
Hasil belajar hanya diukur dari hasil
tes
14 Pembelajaran tidak terbatas pada
ruang kelas
Pembelajaran hanya terjadi di ruang
kelas
15 Adanya upaya pemecahan masalah Tidak ada upaya pemecahan masalah
Salah satu perbedaan antara pendekatan CTL dengan konvensional adalah
Mahasiswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran (Student Center) Konsep
pembelajaran aktif sudah dikembangkan oleh Confusius dengan mengungkapkan
teori sebagai berikut :
Apa yang saya dengar saya lupa
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
21
Apa yang saya lihat saya ingat
Apa yang saya kerjakan saya paham
Selanjutnya dalam buku Active Learning dari Mel Silberman
mengembangkan pernyataan Confusius menjadi paham belajar aktif sebagai berikut:
Apa yang saya dengar saya lupa
Apa yang saya lihat saya ingat sedikit
Apa yang saya dengar, lihat dan diskusikan saya mulai mengerti
Apa yang saya lihat, dengar, diskusikan dan kerjakan saya dapat
pengetahuan dan ketrampilan
Apa yang saya ajarkan saya kuasai.
Dari pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa untuk melibatkan
mahasiswa secara aktif dalam pembelajaran adalah dengan menugaskan mahasiswa
mencari permasalahan yang ada di masyarakat (lingkungan) yang ada kaitannya
dengan materi pembelajaran. Dalam mata kuliah Pembangunan Masyarakat Desa
materinya hampir semuanya menyangkut kehidupan nyata dalam masyarakat desa.
Dengan pendekatan CTL Mahasiswa diberikan tugas untuk mencari potensi-potensi
apa yang bisa dikembangkan dan industri apa yang ada di suatu desa berdasarkan
potensi-potensi yang dimiliki. Untuk lebih meyakinkan mahasiswa diharapkan
membuat kalkulasi (perhitungan) antara pendapatan yang diterima (Revenue) dengan
pembiayaan (Cost) yang dikeluarkan untuk suatu usaha.
Adapun langkah pembelajaran dengan pendekatan CTL pada mata kuliah:
Pembangunan Masyarakat Desa adalah sebagai berikut;
1. Penyampaian materi sesuai dengan tuntutan silabus
2. Pembagian kelompok yang beranggotakan 3 – 4 orang
3. Melakukan penelitian lapangan, sesuai dengan tema/materi
4. Menyususun laporan hasil penelitian
5. Mempresentasikan hasil penelitian yang dilengkapi dengan Tanya jawab
6. Simpulan dan solusi yang ditawarkan.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
22
Judul penelitian yang dipresentasikan oleh mahasiswa dengan alokasi
waktu penyampaian 15 menit dilanjutkan dengan tanya jawab 25 menit dan
merumuskan simpulan 10 menit.
Penelitian yang diangkat oleh mahasiswa meliputi judul;
1. Manfaat Usaha Water Rafting Bagi Masyarakat Desa Bongkasa Badung
2. Budidaya Asparagus dan Pare Putih di Desa Pelaga Kabupaten Badung
3. Pengelolaan Air Panas di Desa Penatahan Merupakan Salah Satu Potensi
Pengembangan Pariwisata di Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan
4. Peternakan Babi Sebagai Salah Satu Alternatif Meningkatkan
Perekonomian Desa Pedungan
5. Pengembangan Objek Pariwisata Melalui Agrowisata Perkebunan Salak di
Desa Sebetan Kabupaten Karangasem
6. Pembudidayaan Rumput Laut di Desa Kutuh Kecamatan Kuta Selatan
Mampu Membuka Kesempatan Kerja
7. Potensi Desa Mas Sebagai Daerah Pengerajin Patung
8. Usaha Produksi Coklat Di Desa Batubulan Kabupaten Gianyar
9. Usaha Pengerajin Gamelan (Gong) Mampu Meningkatkan Kesejahteraan
Masyarakat di Desa Tihingan Kecamatan Banjarangkan Kabupaten
Klungkung
10. Pengembangan Garam Rakyat Di Kecamatan Rembang Kabupaten
Rembang
11. Potensi Air Pembejian Mampu Meningkatkan Pendapatan Desa Adat di
Desa Baha Badung
12. Produksi Dodol Nangka di Desa Jasri Kabupaten Karangasem
13. Hutan Bakau (Mangrove) Merupakan Salah Satu Taman Wisata Alam di
Desa Pemogan
14. Produksi Genteng dan Keramik Mampu Meningkatkan Perekonomian Di
Desa Pejaten dan Nyitdah Kabupaten Tabanan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
23
15. Industri Kerajinan Bambu di Desa Sulahan Kecamatan Susut Kabupaten
Bangli
Dengan pengajaran yang menitik beratkan pada pengalaman ini dapat
mengarahkan mahasiswa ke dalam eksplorasi yang alami dan investigasi langsung
ke dalam suatu situasi nyata. Hal ini akan memberikan kesempatan kepada
mahasiswa untuk terlibat kegitan belajar secara aktif dengan personalisasi
pengajaran berdasarkan pengalaman memberikan kepada mahasiswa seperangkat
atau serangkaian situasi-situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman
sesungguhnya.
Berdasarkan pengalaman untuk mengadakan pembahasan berbagai
permasalahan di masyarakat diharapkan jiwa entrepreneur tumbuh dan berkembang,
hal ini sejalan dengan pendapat Thomas W Zimerte mengatakan kewirausahaan
adalah penerapan kreativitas dan keinovasian untuk memecahkan permasalahan dan
upaya untuk memanfaatkan peluang yang dihadapi setiap hari, sebagai langkah
strategis mengembangkan jiwa kewirausahaan adalah melalui pendidikan dan
pelatihan.
III. PENUTUP
Melalui pendekatan CTL dalam mata kuliah pembangunan masyarakat
desa, mahasiswa diajak belajar melalui pengalaman langsung bukan hanya
menghafal, karena CTL adalah konsepsi pembelajaran yang menghubungkan materi
pembelajaran dengan situasi dunia nyata. CTL telah mampu menggugah motivasi
dan meningkatkan aktivitas melalui berbagai diskusi dan yang bermuara pada
berbagai permasalahan di lapangan. Hal ini diharapkan akan mendorong jiwa
kewiraswastaan bagi mahasiswa, sehingga pada gilirannya setelah tamat bukan saja
menambah antrean pencari kerja tetapi mampu ikut menciptakan berbagai peluang
untuk menciptakan kesempatan kerja di masyarakat. Sehingga secara otomatis ikut
berperan untuk mengurangi pengangguran dan meningkatkan pendapatan dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
24
DAFTAR RUJUKAN
Amirullah Imam Harjanto, 2005. Pengantar Bisnis, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Aqib, Zainal, 2002. Profesional Guru Dalam Pembelajaran, Jakarta, Insan
Cendekia.
Beratha, I Nyoman, Desa Masyarakat Desa dan Pembangunan Desa, Jakarta,
Ghalia Indonesia.
Boeree, C, George, 2008. Metode Pembelajaran dan Pengajaran, Yogyakarta, A M.
Depdiknas, 2003. Pendekatan Konstektual (Contextual Theaching and Learning),
Jakarta.
________, 2005. Ilmu Pengetahuan Sosial: Materi Pelatihan Terintegrasi, Jakarta.
Hamalik, Oemar, 2009. Proses Belajar Mengajar, Jakarta, Bumi Aksara.
Lia Amalia, 2007. Ekonomi Pembangunan, Yogyakarta, Graha Ilmu.
Meredithg, Geoffrey, 1996. Kewirausahaan Teori dan Praktek, Jakarta, Pustaka
Binaman Presindo
Muchith, Soekhan, M, 2008. Pembelajaran Kontekstual, Semarang, Rasail.
Nurhadi Dan Senduk, A.G, 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching
And Learning/CTL). Dan Penerapan dalam KBK, Malang, Universitas
Negeri Malang.
Sagala, H. Syaiful, 2009. Konsep dan Makna Pembelajaran, Bandung, CV Alfabeta.
Sanusi, Bachrawi, 2004. Pengantar Ekonomi Pembangunan, Jakarta, Rineka Cipta.
Slameto, 2003. Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta, PT
Renika Cipta.
Sobry Sutikno, M. 2006. Pendidikan Sekarang Dan Masa Depan, Mataram, NTP
Press.
Udin S Winataputra, 2007. Materi dan Pembelajaran IPS SD, Jakarta, Universitas
Terbuka.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
25
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE JIGSAW
UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERMAIN DRAMA
SISWA KELAS XI IPA2 SMA NEGERI 1 SUKAWATI GIANYAR
TAHUN PELAJARAN 2010/2011
Oleh
Ketut Yarsama
IKIP PGRI BALI
ABSTRACT
During this time, teachers apply lecture and question and answer
method in teaching drama appreciation. The result, the ability to play
drama is still low. Therefore, teachers implementing cooperative method
jigsaw type to improve the ability to play drama. The purpose of this study
is to improve students' ability to play drama the students of class XI
science 2 SMA Negeri 1 Sukawati with the application of Cooperative
Learning jigsaw type.
The design of this implementation uses a class action research. The
research was planned two cycles with the stages of planning,
implementation and reflection observations. Data collected by testing and
observation method.
From the results of data analysis found that the application of the
type of jigsaw cooperative learning can enhance students' ability to play
drama in class XI IPA 2 SMA N 1 Sukawati Academic Year 2010/2011.
Keywords: Jigsaw Type Cooperative To Play Drama
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
26
Pembelajaran koperatif yang diterapkan dalam proses pembelajaran
sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk social yang penuh
ketergantungan dengan orang lain, mempunyai tujuan dan tanggung jawab
bersama, pembagian tugas, dan rasa senasib. Dengan memanfaatkan
kenyataan itu, melalui belajar berkelompok siswa dilatih dan dibiasakan
untuk saling berbagi (sharing) pengetahuan, pengalaman, tugas, dan
tanggung jawab. Saling membantu dan berlatih karena kerja kelompok
adalah miniature dari hidup bermasyarakat, dan belajar menyadari
kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Data tentang kondisi siswa yang kurang aktif dan bekerja sama
yang penulis paparkan di atas terlihat pula dari sedikitnya siswa yang
memberikan respon (pertanyaan, tanggapan, komentar, dan sejenisnya).
Guru selama proses pembelajaraan menggunakan metode ceramah, tanya
jawab, dan pemberian tugas.
Lebih lanjut penulis uraikan, di kelas XI IPA 2 hanya kurang lebih
4 orang (+ 10%) anggota kelas yang memberikan respon dalam proses
pembelajaran. Di samping interaksi dalam proses pembelajaran kadarnya
relatif rendah, prestasi belajar yang dicapai siswa juga rendah. Interaksi
yang terjadi hanyalah antara guru dengan siswa, sehingga situasi dan
kondisi kelas kurang menyenangkan.
Dengan situasi dan kondisi kelas yang penulis temukan di atas
berdampak negatif pada prestasi belajarnya. Berdasarkan observasi penulis
pada catatan nilai siswa kelas XI IPA 2 ternyata prestasi belajar bahasa
Indonesia khususnya pada substansi menerpkan drama relatif rendah
(hanya mencapai nilai rata-rata sebesar 65). Tentunya nilai rata-rata yang
diperoleh siswa tersebut belum memenuhi kriteria tuntas seperti yang
diterapkan oleh Kurikulum yaitu 70.
Berdasarkan data-data empiris yang penulis temukan, maka penulis
berpendapat bahwa di dalam proses belajar -mengajar siswa perlu diberikan
kesempatan bekerja sama dalam kelompok. Dengan kerjasama yang baik
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
27
dalam kelompok akan menumbuhkan gairah dan motivasi belajar siswa dan
pada akhirnya prestasinya juga meningkat.
Untuk memperbaiki atau meningkatkan kemampuan bermain drama
siswa kelas XI IPA 2 Sekolah menengah Atas Negeri 1 Sukawati
sehubungan dengan fenomena-fenomena yang penulis uraikan di atas,
menurut penulis pembelajaran kooperatif dengan teknik Jigsaw merupakan
salah satu alternatif yang dapat digunakan. Di dalam pembelajaran
kooperatif dengan teknik Jigsaw, siswa dapat bekerjasama, saling menisi
antara individu satu dengan yang lain dalam upaya meningkatkan prestasi
belajarnya. Kooperatif jigsaw juga memiliki kelebihan yang dilakoni oleh
Suyatno (2009 : 53-54). (1) meningkatkan pemahaman siswa secara
bermakna dalam permainan drama, (2) meningkatkan pemahaman siswa
secara bermakna dalam bermain drama, (3) meningkatkan pemahaman
siswa tentang terori drama, (4) meningkatkan pemahaman siswa tentang
apresiasi sastra.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapatlah dirumuskan
masalah penelitian itu yaitu apakah penerapan pembelajaran kooperatif
dengan Tipe Jigsaw dapat meningkatkan kemampuan bermain drama siswa
Kelas XI IPA 2 SMA Negeri 1 Sukawati Gianyar tahun pelajaran
2010/2011 ?
Sejalan dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah
untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran kooperatif dengan Tipe
Jigsaw dalam meningkatkan kemampuan bermain drama siswa Kelas XI
IPA 2 SMA Negeri 1 Sukawati Gianyar tahun pelajaran 2010/2011.
Kajian Pustaka
Antariasih (2002) menelit i tentang “Kemampuan Bermain Peran
pada Siswa Kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri Blahbatuh Tahun
Pelajaran 2002/2003”.
Hasil penelitiannya menemukan bahwa siswa mampu bermain
peran karena nilai rata-rata kelasnya sebesar 76. Sehubungan dengan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
28
penelitian tersebut penelitian ini ada hubungannya tetapi berbeda dengan
penelitian tersebut. Penelitian ini meneliti kemampuan siswa pada tataran
kemampuan bermain drama melalui penerapan pembelajaran kooperatif
dengan tipe jigsaw. Kemampuan bermain drama merupakan tataran
kemampuan pada ranah yang lebih dalam dibandingkan dengan penelitian
ini.
Widiantari (2007) meneliti tentang “Kemampuan Menyusun
Naskah Drama pada siswa kelas IX Sekolah Menengah Pertama Negeri di
Denpasar Tahun pelajaran 2007/2008”.
Hasil Penelit iannya menunjukkan bahwa siswa kelas IX Sekolah
Menengah Pertama Ngeri di Denpasar Tahun Pelajaran 2007/2008 mampu
menyusun naskah drama. Penelitian tersebut menitikberatkan pada
penyusunan naskah mampu menyusun mesti mampu bermain, sehingga
memerlukan waktu yang relatif lama. Penelitian ini juga mencakup tentang
drama tetapi sub materinya tentang bermain drama, sehingga berimbang
antara teori dan praktek.
Berdasarkan tinjauan terhadap kedua penelitian tersebut ternyata
ada persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama meneliti tentang
drama persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama meneliti tentang
drama perbedaannya terletak fokus variabel yang diteliti. Penelititian ioni
difokuskan pada kemampuan bermain drama dengan pembelajaran
kooperatif dengan teknik jigsaw. Dengan demikian, dapat dikatakan
penelitian ini masih layah untuk diteliti.
Landasan Teori
Sumardjo dan Saini (1986 : IX) apresiasi adalah mencintai dan
menikmati sastra. Santosa (2004 : 8.14-1.15) menyatakan pengertian
apresiasi antara lain : (arti pertama) apresiasi bertalian dengan kesadaran
masyarakat terhadap nilai seni dan budaya. Semua nilai yang terkandung
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
29
dalam karya seni dan budaya membimbing manusia ke arah kehidupan yang
beradab, lebih baik, dan manusiawai; (arti kedua) apresiasi bertalian
dengan penilaian atau penghargaan terhadap sesuatu hal/masalah, dengan
menghargai sesuatu hal/masalah berarti memberi perhatian, penghormatan,
menjunjung tinggi, dan mengindahkan hal yang diamanatkan kalau perlu
melaksanakan sesuatu itu; (arti ketiga) apresiasi bertalian dengan dunia
ekonomi.
Santosa (2004 : 8.28) menyatakan manfaat apresiasi sastra adalah
untuk memberi hiburan, kepuasan, kenikmatan, dan kebahagiaan batin
ketika karya sastra itu dibaca atau ditonton. Juga mendidik, melatih
kepekaan batin atau sosial serta menambah wawasan dan mengembangkan
kepribadian yang baik pada pembaca atau penonton.
Meurut Kurnioa (1998:92), drama termasuk ragam sastra karena
ceritanya (lakon drama) bersifat imajinatif dalam bentuk naskah. Seagai
suatu seni, drama merupakan seni yang kompleks, karena terkait dan
ditunjang oleh seni-seni yang lain, diantaranya seni musik, seni arsitektur
(tata panggung), seni dekorasi, seni hias (tata wajah dan tata busana), tata
sinar, dan seni tari.
Rahmanto (1998 : 89) menyatakan, pengajaran drama diperlukan
karena drama adalah bentuk sastra yang dapat merangsang gairah dan
mengasyikkan para pemain dan penonton sehingga sangat digemari
masyarakat. Bentuk ini didukung oleh tradisi sejak jaman dulu yang
melekat erat pada budaya masyarakat setempat. Di samping mudah
disesuaikan untuk dimainkan dan dinikmati masyarakat segala umur, drama
sangat tinggi nilai pendidikannya. Karena drama merupakan peragaan
tingkah laku manusia yang mendasar, drama baru dapat disusun dan
dipentaskan dengan berhasil jika diikuti pengamatan yang teliti baik oleh
penulis maupun para pemainnya.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
30
Johnson (2007 : 296) menyatakan, seperti halnya pembuatan
proyek dan portofolio, pertunjukan drama juga bisa dipakai sebagai alat
ajar sekaligus alat penilaian. Dalam pertunjukan, para siswa
mempertontonkan dihadapan khalayak bahwa mereka telah menguasai
tujuan belajar tertentu.
Tarigan (1990 : 74-78) menyatakan agar dapat mengevaluasi suatu
lakon, maka terlebih dahulu harus dikenal unsur-unsur drama yang baik.
Unsur-unsur drama antara lain: (1) alur, (2) penokohan, (3) dialog, dan (4)
aneka sarana kesastraan dan kedramaan.
Tokoh atau lakon sangat berperan penting dalam kesuksesan
pergelaran suatu drama. Dalam suatu pergelaran drama, biasanya ada
beberapa jenis tokoh. Beberapa jenis pelaku yang biasa dipergunakan
dalam teater/pergelaran drama diantaranya : (1) The Foil: tokoh yang
kontras dengan tokoh lainnya dan berfungsi memerankan suatu bagian
penting dalam lakon tersebut, tetapi secara insidental bertindak sebagai
seorang pembantu. (2) the Type Character: tokoh yang dapat berperan
dengan tepat dan tangkas. Kemampuan tokoh tipeini serba bisa.
Dapatlah diketahui bahwa keberhasilan suatu pentas drama
bergantung pada kemampuan tokoh dalam berperan atau kemampuannya
dalam menunjukkan karakter tokoh (Tarigan, 1990 : 76)
Dalam setiap lakon, dialog itu haruslah memenuhi dua hal, yaitu :
(1) dialog haruslah dapat mempertinggi nilai gerak. Maksudnya seorang
dramawan haruslah dapat berbuat lebih banyak. Selain membuat dialognya
menarik hati, dia harus membuatnya baik dan selalu wajar; (2) dialog
haruslah baik dan bernilai tinggi. Yang dimaksud dengan baik dan bernilai
tinggi di sini ialah dialog itu haruslah lebih terarah dan teratur daripada
percakapan sehari-hari.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
31
Jadi, dialog merupakan pembicaraan antar pelaku. Dalam hal ini,
diperlukan kemampuan berbicara yang relevan dengan tema (Tarigan, 1990
: 77)
Berbagai sarana yang terdapat dalam bidang kesastraan dan
kedramaan merupakan unsur yang amat pentingdan tarut pula menentukan
keberhasilan suatu lakon. Beberapa unsur tersebut diantaranya : (1)
Perulangan, (2) Gaya dan Atmosfer, (3) Simbolisme, (4) Empati dan Jarak
Estetik, secara artistik, (Tarigan, 1990 : 78)
Sehubungan dengan apresiasi drama, perlu diketahui tentang
naskah dan lakon. Setiawan (1988 : 5.33) menyatakan naskah berbeda
dengan lakon. Naskah merupakan urutan cerita sebelum dipentaskan.
Urutan itu dalam drama modern berbentuk tulisan sedangkan dala m drama
tradisional biasanya berbentuk lisan (ludruk, ketoprak, lenong, dan lain -
lain). Lakon adalah cerita dari naskah yang terlihat saat dipentaskan.
Dengan begitu, meskipun naskah drama yang sama dipentaskan dalam
waktu yang berlainan atau oleh grup drama yang berbeda, lakon yang
muncul akan berbeda. Perbedaan itu lebih ditentukan oleh imajinasi sang
sutradara, gaya para aktor, tatapentas, tatarias, dan sebagainya.
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang
mengupayakan seorang siswa mampu mengajarkan kepada peserta lain.
Mengajar teman sebaya memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan, ia menjadi
nara sumber bagi peserta lainnya. Pengorganisasian pembelajaran dicirikan
siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaran kooperatif untuk bekerja
sama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan
tugasnya. Mereka akan berbagi penghargaan bila mereka berhasil sebagai
kelompok.
Muslimin Ibrahim dkk (2006 : 6) dalam pembelajaran kooperatif
memiliki unsur-unsur antara lain: (1), Siswa dalam kelompoknya haruslah
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
32
beranggapan bahwa mereka hidup sepenanggungan bersama; (2), siswa
bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik
mereka sendiri; (3), siswa haruslah melihat bahwa semua anggota dalam
kelompoknya memiliki tujuan yang sama; (4), siswa haruslah membagi
tugas dan tanggung jawab yang sama diantara anggota kelompoknya; (5),
siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/penghargaan yang
juga akan dikenakan untuk semua anggota kelompok; (6), siswa berbagi
kepemimpinan dan mereka membutuhkan ketrampilan untuk belajar
bersama selama proses belajar; dan (7), siswa akan diminta
mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam
kelompok kooperatif.
Tujuan pembelajaran kooperatif berbeda dengan kelompok
konvensional yang menerapkan sistem kompetisi, di mana keberhasilan
individu diorientasikan pada kegagalan orang lain. Sedangkan tujuan dari
pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan
individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya
(Slavin, 1994).
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai
setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh
Ibrahim, dkk. (2000), yaitu: (1) hasil belajar akademik, (2) penerimaan
terhadap keragaman, dan (3) pengembangan ketrampilan sosial.
Pada pembelajaran kooperatif terdapat enam langkah utama.
Selanjutnya langkah-langkah pembelajaran kooperatif dari awal hingga
dapat dilihat pada Tabel 01. Berikut ini.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
33
Tabel 01. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif
Fase
ke Indikator Aktivitas/Kegiatan guru
1 Menyampaikan tujuan dan
Memotivasi siswa
Guru menyampaikan semua tujuan
pelajaran yang ingin dicapai dan
memotivasi siswa
2 Menyajikan informasi Guru menyajikan informasi kepada
siswa dengan jalan demontrasi atau
lewat bahan bacaan
3 Mengorganisasikan siswa
kedalam kelompok-
kelompok belajar
Guru menjelaskan kepada siswa
bagaimana caranya membentuk
kelompok belajar dan membantu
setiap kelompok agar melakukan
transisi secara efisien.
4 Membimbing kelompok
bekerja dan belajar
Guru membimbing kelompok-
kelompok belajar pada saat mereka
mengerjakan tugas
5 Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar
tentang materi yang telah dipelajari
atau masing-masing kelompok
mempresentasikan hasil kerjanya
6 Memberikan penghargaan Guru mencari cara-cara untuk
menghargai upaya atau hasil belajar
individu maupun kelompok.
Kerangka Berpikir
Ketrampilan bermain drama harus dikuasai siswa kelas XI SMA
(sesuai dengan KTSP tahun 2006). Bermain drama dapat meningkatkan
mental, moral dan wawasan sastra di kalangan siswa. Dalam bermain
drama diperlukan kelompok masing-masing anggota memegang peran
sesuai dengan keahlian/kesanggupannya. Anggota dalam kelo mpok saling
bekerja sama positif sehingga terwujudlah kesan yang benar -benar dramatis
dalam permainan.
Karena kemampuan siswa dalam bermain drama belum tuntas maka
pemanfaatan metode kooperatif tipe jigsaw dipandang layak untuk
diterapkan. Metode kooperatif tipe jigsaw dilaksanakan secara
berkelompok dan masing-masing anggota bekerja sama positif, saling
membantu di dalamnya.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
34
Hipotesis Tindakan
Berdasarkan bahasaan teoretik dapatlah dirumuskan hipotesis
tindakan yang berbunyi “Pemanfaatan Pembelajaran Kooperatif dengan
Tipe Jigsaw dapat Meningkatkan Kemampuan Bermain Drama Siswa Kelas
XI IPA 2 Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati Gianyar Tahun
Pelajaran 2010/2011”.
METODE PENELITIAN
Produser PTK
Penelitian ini dilakukan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1
Sukawati Gianyar pada siswa kelas XI IPA 2 beserta guru pengajar.
Keduanya mendapat perhatian yang sama karena pada dasarnya
pembelajaran merupakan suatu interaksi yang terjadi antara guru dan
siswa. Penelitian ini tergolong penelitian tindakan kelas.
Penelitian ini dalam pelaksanaannya dirancang dalam n siklus
penelitian, mengingat keterbatasan peneliti. Adapun hasil temuan nanti
merupakan hasil penelitian yang perlu di bahas. Secara umum produser
PTK dapat digambarkan sebagai berikut.
Refleksi Awal
Rencana Tindakan I
Pelaksanaan Tindakan I
Observasi / Evaluasi
Analisis + Refleksi
Rencana Tindakan II
Pelaksanaan Tindakan II
Observasi / Evaluasi
Analisi + Refleksi
Memutuskan Tindakan Terbaik
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
35
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data utama yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode tes. Tes adalah suatu cara untuk mencari data dengan
memberikan tugas pada seluruh responden yang nantinya diperoleh skor.
Skor tersebut dapat dibandingkan dengan skor standar. Tes yang diberikan
berupa tes lisan (tes tugas bermain peran).
Instrumen yang digunakan untuk menilai kemampuan siswa
bermain peran dalam penelitian ini berupa tes (tes lisan bermain peran).
Tes lisan yang digunakan dalam menilai kemampuan siswa bermain peran
sudah disusun berdasarkan materi yang ada dalam Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan/ materi yang disajikan dalam kelas sehingga tes tersebut
sudah memiliki raliditas isi.
Peningkatan hasil tes belajar kemudian dianalisis dengan
menggunakan rumus:
P =
1x
1x2x x 100%
(Hadi, 2008 : 29)
Untuk mencapai peningkatan hasil belajar perindividu.
Keterangan:
P : persentase peningkatan
X2 : skor setelah tindakan
X1 : skor sebelum tindakan
Hasil belajar siswa tersebut dianalis is dan dicari nilai rata-rata
kelasnya.
Dalam menganalisis data digunakan uji perbedaan nilai rata-rata sebelum
tindakan dengan setelah tindakan dengan rumus :
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
36
M = X
ΣX
(Hadi, 2008 : 29)
Keterangan :
M : skor rata-rata kelas
ΣX : jumlah skor siswa
X : jumlah siswa
Hasil Penelitian
Pada bagian ini dikemukakan hasil penelitian dari siklus I dan
siklus II. Semua subjek penelitian yang terdiri dari siswa kelas XI IPA 2
yang berjumlah 38 orang. Ternyata semua siswa memiliki da ta lengkap.
Dipilihnya siswa kelas XI IPA 2 sebagai subjek penelit ian, karena
berdasarkan observasi dan wawancara dengan guru pengajar kelas XI IPA 2
dan Kepala Sekolah diperoleh informasi bahwa siswa kelas XI IPA 2 pada
umumnya pasif dan rendah prestasi belajarnya dalam pembelajaran,
khususnya pembelajaran bermain peran. Oleh karena itu peneliti cenderung
untuk mengadakan penelitian tindakan kelas pada siswa kelas XI IPA 2
yang terdiri dari 38 orang.
Untuk menjawab masalah penelit ian ini diadakan dua siklu s. Dalam
dua siklus itu, peneliti menyajikan dua kali pembelajaran bermain peran.
Kedua siklus tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
Siklus I
Dari langkah yang telah dilakukan pada siklus I diperoleh hasil
sebagai berikut.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
37
Tabel 02 Rekapitulasi Skor Mentah dan Skor Standar Kemampuan Bermain
Peran Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati
Tahun Pelajaran 2010/2011 Pada Siklus I
No Nama Siswa Skor
Mentah
Skor
Standar
1 2 3 4
1 Adeprima Adiluhur Made 75 80
2 Adi Putra I Made 70 70
3 Agus Oka Wirjaya I Gusti 60 60
4 Agus Purna Jaya I Gede 70 70
5 Agus Putra Wiratmaja I Made 80 80
6 Andi Aries Tenaya Kadek 70 70
7 Anggy Samantha Putra I Wayan 70 70
8 Asih Arini Ni Luh Gede 60 60
9 Bayu Sutrisna I Gusti Putu 60 60
10 Candra Dewi Ida Ayu 70 70
11 Candrawati Ni Made 65 70
12 Dessy Karolina Sari Ni Wayan 70 70
13 Dian Rosita Kadek 80 80
14 Dwi Candra Yadnya Sari Dewa Ayu 65 70
15 Dwi Hendrayana Surya I Made 70 70
16 Eka Candra Merta Sari Dewa Ayu 80 80
17 Eka Tirtayani Ni Putu 70 70
18 Hermadi Putra I Made 70 70
19 Indah Widyasari I Gusti Ayu 80 80
20 Indra Adi Saputra I Wayan 70 70
21 Irvan Ade Candra I Putu 80 80
22 Lavi Arini Ni Made 65 70
23 Mirah Sanjiwani I Gusti Ayu 70 70
24 Murnitha Sari Rahayu Putu 60 60
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
38
25 Pitri Widnyani I Gusti Ayu 65 70
26 Puranamawan Putra I Gede 75 80
27 Putra Wedantha Pande Made 70 70
28 Reni Wijayanti Ni Luh 65 70
29 Ria Safari Ni Kadek 70 70
30 Sarwan Hedi Peradnyana I Nyoman 60 60
31 Sintya Pramestiana Dewi Ni Kadek 70 70
32 Sri Mahadewi Kadek Ayu 65 70
33 Sri Utami Putu 70 70
34 Suarningsih Ni Luh 80 80
35 Suradnya Adi Brata Gede 70 70
36 Teja Dewanti Ni Putu 65 70
37 Wisnu Anugrah Pradana Made 60 60
38 Wisnu Shintaro Waraspati I.B 60 60
Jumlah 2625 2650
Rata-rata 69,08 69,26
Dari tabel di atas, diketahui nilai rata-rata siswa pada siklus I
adalah 69,26.
Siklus II
Hasil yang diperoleh dari langkah-langkah pelaksanaan siklus II
dapat dilihat tabel 03 di bawah ini.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
39
Tabel 03 Rekapitulasi Skor Mentah dan Skor Standar Kemampuan Bermain
Peran Siswa Kelas XI Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sukawati
Tahun Pelajaran 2010/2011 Pada Siklus II
No Nama Siswa Skor
Mentah
Skor
Standar
1 2 3 4
1 Adeprima Adiluhur Made 85 90
2 Adi Putra I Made 75 80
3 Agus Oka Wirjaya I Gusti 80 80
4 Agus Purna Jaya I Gede 75 80
5 Agus Putra Wiratmaja I Made 90 90
6 Andi Aries Tenaya Kadek 75 80
7 Anggy Samantha Putra I Wayan 75 80
8 Asih Arini Ni Luh Gede 75 80
9 Bayu Sutrisna I Gusti Putu 75 80
10 Candra Dewi Ida Ayu 75 80
11 Candrawati Ni Made 85 90
12 Dessy Karolina Sari Ni Wayan 75 80
13 Dian Rosita Kadek 80 80
14 Dwi Candra Yadnya Sari Dewa Ayu 75 80
15 Dwi Hendrayana Surya I Made 75 80
16 Eka Candra Merta Sari Dewa Ayu 90 90
17 Eka Tirtayani Ni Putu 75 80
18 Hermadi Putra I Made 75 90
19 Indah Widyasari I Gusti Ayu 85 80
20 Indra Adi Saputra I Wayan 75 80
21 Irvan Ade Candra I Putu 75 80
22 Lavi Arini Ni Made 85 90
23 Mirah Sanjiwani I Gusti Ayu 70 70
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
40
24 Murnitha Sari Rahayu Putu 75 80
25 Pitri Widnyani I Gusti Ayu 90 90
26 Puranamawan Putra I Gede 75 80
27 Putra Wedantha Pande Made 75 80
28 Reni Wijayanti Ni Luh 75 80
29 Ria Safari Ni Kadek 80 80
30 Sarwan Hedi Peradnyana I Nyoman 75 80
31 Sintya Pramestiana Dewi Ni Kadek 75 80
32 Sri Mahadewi Kadek Ayu 75 80
33 Sri Utami Putu 75 80
34 Suarningsih Ni Luh 75 80
35 Suradnya Adi Brata Gede 75 80
36 Teja Dewanti Ni Putu 75 80
37 Wisnu Anugrah Pradana Made 75 80
38 Wisnu Shintaro Waraspati I.B 85 90
Jumlah 2955 3110
Rata-rata 77,76 81,84
Dari tabel di atas, diketahui nilai rata-rata siswa pada siklus II
adalah 81,84.
Pembahasan Hasil Penelitian
Untuk mengetahui apakah pembelajaran kooperatif dengan teknik
jigsaw dapat meningkatkan prestasi bermain drama siswa Kelas XI SMA
Negeri 1 Sukawati tahun pelajaran 2010/2011 digunakan analisis
kuantitatif dan kuanlitatif.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
41
Secara kuantitatif, langkah pertama dilakukan dengan mencari nilai
rata-rata siswa untuk masing-masing siklus dengan menggunakan rumus:
Μ = N
X
Keterangan:
M = Nilai rata-rata siswa;
X = Jumlah nilai siswa
N = Jumlah siswa.
Dengan demikian, pada siklus I nilai rata-rata siswa adalah:
M = 40
2670= 70,26
Selanjutnya pada siklus II, nilai rata-rata siswa adalah:
M = 38
3110= 81,84
Dari data nilai rata-rata di atas dapat ditentukan persentase peningkatan
prestasi siswa dengan menggunakan rumus :
P = X
1= x t x 100%
Keterangan:
P = persentase peningkatan/penurunan prestasi siswa;
X = nilai rata-rata siswa siklus I;
T = selisih nilai rata-rata siswa siklus I dan siklus II.
Dari perumusan di atas, dapat diketahui bahwa peningkatan
prestasi siswa antara siklus I dan II dalam aspek bermain drama dengan
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah sebesar:
P = 70,26
1 x 11,58 x 100% = 16,48%
Analisis secara kuanlitatif dilakukan dengan membahas sejumlah
temuan yang dianggap pentong sebagai berikut. (1) pembelajaran apresiasi
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
42
drama yang dilakukan secara berkelompok sangat membantu siswa dalam
pengembangan sikap sosial, kerjasama, sehingga permainan peran menjadi
lebih baik dan dapat saling membantu siswa dalam berperan yang terkait
dengan watak tokoh. (2) tanya jawab yang dilakukan secara berkelompok
dapat memberikan stimulasi kepada siswa untuk lebih aktif dalam proses
pembelajaran, lebih-lebih diserai dengan pujian.
Simpulan
Berdasarkan hasil observasi nilai tugas dan respon siswa setelah
pembelajaran bermain drama melalui pembelajaran kooperatif dengan
teknik jigsaw dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa mengalami
peningkatan dari rata-rata 70,26 menjadi 81,84 pada siklus II. Ini
menggambarkan bahwa metode pembelajaran yang diterapkan cukup
efektif untuk meningkatkan kemampuan belajar siswa yang bermuara pada
hasil belajar.
Respon siswa sangat positif terhadap pembelajaran ini, karena
suasana belajar menyenangkan, siswa menjadi lebih tertarik terhadap
proses pembelajaran.
Saran-saran
Guru-guru di SMA Negeri 1 Sukawati agar memanfaatkan
pembelajaran kooperatif dengan teknik jigsaw ini sebagai alternatif untuk
meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Penerapan pembelajaran
kooperatif dengan tipe jigsaw ini tidak hanya untuk pembelajarana bermain
peran, tetapi juga dapat diterapkan untuk materi pembelajaran yang
lainnya.
Siswa disarankan untuk latihan bermain secara intensif sehingga
ketrampila atau kemampuannya bermain peran dapat ditingkatkan dan
dikembangkan.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
43
DAFTAR RUJUKAN
Arends, RJ. 1997. Classroom Instruction. New York : MC Grand.
Antariasih 2002. “Kemampuan Bermain Peran Pada Siswa Kelas IX
Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Blahbatuh Tahun Pelajaran
2002/2003. Skripsi Denpasar Mahasaraswati.
Ibrahim. 2002. Contextual Teaching and Learning. Bandung : Mizon
Hasi, Sutrisno.2008. Metodologi Research. Bandung : Angkasa
Hamalik, Oemar. 1994. Media Pendidikan. Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti
Johnson. 2007. Contextual Teaching and Learning . Bandung : Miszon
Media
Kurnia, Sayuti. 1998. Teori Sastra. Jakarta : Depdikbud.
Nurkencana dan Sumartrana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha
Nasional.
Nur, Mohammad dan Wikandari, Retno.2004. pengajaran Berpusa Kepada
Siswa dan Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabay :
Universitas Negeri Surabaya.
Rahmanto. 1988. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta : Kanisius
Santosa. 2004. Materi dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta : Penerbitan Universitas Terbuka.
Setiawan, Wawan. 1998. Sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta :
Depdiknas.
Slavin. 1997. Cooperatif learning. Massachusetts : A.Simon
Sumajaya. 2008. “Penggunaan Metode Demonstrasi Sebagai Upaya
Meningkatkan Kemampuan Siswa Kelas XI SMA Negeri 6
Denpasar Dalam Bermain Drama Tahun Pelajaran 2008/2009.
Skripsi Denpasar Mahasaraswat i.
Sumarjo, Jacob. 1986. Masyarakat Sastra Indonesia. Jakarta : Rineka
Cipta.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan
Berbagasa. Bandung : Ganesa.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Menulis Sebagai Suatu Ketrampilan
Berbagasa. Bandung : Ganesa.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
44
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung :
Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1993. Menyimak Sebagai Suatu Ketrampilan
Berbahasa. Bandung : Angkasa.
Widiantari. 2007. “Kemampuan Menyusun Naskah Drama Pada Siswa
Kelas IX SMPN di Denpasar Tahun Pelajaran 2007/2008. Skripsi
Denpasar. Mahasaraswati.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
45
THE INFLUENCE OF RECTOR LEADERSHIP
TO MOTIVATE LECTURER ACHIEVEMENT
By:
I Wayan Citrawan
Nyoman Rajeg Mulyawan
ABSTRACT
The aim of this research is to know about the influence of rector
leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI Bali. The
approach that used in this research is empiric approach, because the
symptom that examine already exists naturally is rector leadership to
motivate lecturer achievement. This survey is held at IKIP PGRI Bali. The
subjects of the research amount to 73 people based by Krejcie table with
proportional random sampling that meant the appointment of the sample to
give attention to the balance amount of the lecturer every faculty in
addition the election of all the lecturers have same chance to be samples.
This technique is choosed because the taking of samples consider lecturer
amount of each faculty, remembering the lecturer amount of each faculty is
not the same. This meant to be the characteristic of the population
optimally represented if not, the conclution error is getting bigger. The
sample withdrawal is use draw technique. In collecting data questioner is
used to get rector leadership and lecturer achievement mot ivation.
From data analyzis that use signification rank 5 % and N = 73 the
value of rejection that use zero hypothesis in product moment value table
is 0,227, if compare the result of the research is 0,312, the result of the
research is bigger then the value of rejection, so the zero hypothesis is
denied and this research is significant.
The denial of the zero hypotesis says that there is no influence
between rector leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI
Bali, the alternative hypothesis that says in this research is acceptable. So
the conclution is that there is significant influence between rector
leadership to motivate lecturer achievement of IKIP PGRI Bali.
1. LATAR BELAKANG
Sistem pendidikan Nasional Indonesia merupakan sub-sistem dari
pembangunan nasional. Sistem Pendidikan Nasional Indonesia mempunyai
peran utama dalam mengelola pengembangan dan pembinaan sumberdaya
manusia sebagai kekuatan sentral dalam proses pembangunan. Melalui
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
46
pendidikan manusia Indonesia diharapkan melahirkan individu yang
mempunyai kemampuan dan keterampilan untuk secara mandiri
meningkatkan taraf hidup lahir batin dan meningkatkan peranannya sebagai
pribadi, dosen, warga masyarakat, warga Negara, dan sebagai mahluk
Tuhan.
Pembicaraan tentang pendidikan tidak terlepas dari sudut pandang
yang digunakan. Pendekatan sistem merupakan suatu cara memandang
pendidikan secara menyeluruh dan sistemik. Pendidikan sebagai suatu
sistem merupakan kesatuan yang utuh dengan bagian-bagiannya yang
berinteraksi satu sama lain. Pendidikan dapat diartikan sebagai satu
keseluruhan karya insan yang terbentuk dari bagian-bagian yang
mempunyai hubungan fungsional dalam mencapai tujuan akhir.
Melalui proses pendidikan diperoleh hasil pendidikan yang
merupakan lulusan yang sudah terdidik yang mengacu pada tujuan
pendidikan yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan untuk masing -masing
tingkat pendidikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan dan bermuara ke
tujuan pendidikan nasional, yaitu membangun menusia Indonesia yang
seutuhnya.
Selanjutnya hasil pendidikan dikembalikan kepada lingkungan atau
supra sistem. Di dalam lingkungannya, hasil pendidikan merupakan
indicator efektifitas dan efisiensi proses pendidikan dalam sistem
pendidikan.Dari hasil pendidikan sistem pendidikan akan mendapatkan
umpan balik yang dapat digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan
mutu proses pendidikan.
Universitas atau Institusi sebagai sub sistem pendidikan mengolah
sumberdaya input (resources inputs) melalui proses pendidikan (education
process) menjadi output pendidikan (education outputs). Ketiga hal ini
saling terkait dan saling mempengaruhi dalam mencapai tujuan pendidikan.
Bahwa pengubahan input menjadi output tidak lepas dari upaya dan proses
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
47
saling mempengaruhi antara individu yang terlibat di dalamnya, s eperti
dosen, pimpinan, para pegawai, serta sarana dan prasarana sangat
menentukan dalam mewujudkan cita-citayang diinginkan.
Pendidikan merupakan upaya sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan bagi
peranannya di masa yang akan datang. Artinya pendidikan mempunyai misi
mengembangkan dan meningkatkan mutu sumber daya manusia secara utuh
untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dirinya, untuk mengemban
tanggung jawab dalam pembangunan masyarakat dan bangsanya.
Pelaksanaan pendidikan ini diselenggarakan antara lain melalui jalur
perguruan tinggi sampai universitas.
Untuk melaksanakan misi pendidikan, diperlukan sistem dan
program pendidikan yang bermutu, yang bisa dinilai dari proses dan
hasilnya, yang t idak hanya dari sisi akademik tetapi mencakup segala aspek
kepribadian peserta didik.
Mutu pendidikan yang berupa prestasi belajar dalam bentuk
keseluruhan kepribadian peserta didik itu sangat tergantung pada berbagai
unsur secara bersama-sama, unsur itu paling sedikit mencakup program
pendidikan, sarana dan prasarana, sistem penilaian, pengelola pendidikan,
peserta didik dan pendidik sebagai pengajar.
Dari uraian di atas, untuk jenjang pendidikan tinggi, salah satu
faktor yang esensial untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan tinggi
adalah dosen. Dosen mempunyai peran sentral di dalam proses belajar
mengajar, karena dosen secara langsung berinteraksi dengan mahasiswa,
dan menentukan tingkat keberhasilan mahasiswa. Kemampuan dosen untuk
mengelola proses belajar mengajar dapat mendorong mengembangkan
potensi yang dimiliki oleh mahasiswa. Oleh karena itu, perhatian pimpinan
pada peningkatan kemampuan dosen adalah sangat penting demi
terwujudnya peningkatan mutu pendidikan.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
48
Selanjutnya kesadaran dosen untuk menjungjung tinggi profesinya
sendiri sangat penting bagi kelancaran pelaksanaan tugasnya. Dosen yang
bangga terhadap profesinya akan dapat melaksanakan tugas dengan
semangat dan disiplin tinggi untuk mewujudkan pendidikan di universitas.
Usaha untuk mengelola sumberdaya manusia agar dosen dapat
bekerja secara efektif untuk mencapai tujuan universitas tidaklah mudah.
Untuk itu diperlukan pimpinan yang mampu menerapkan perilaku
kepemimpinan yang efektif , pengaturan serta menciptakan hubungan
manusia yang baik. Seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya secara
normatif memahami manajemen kampus sebagaimana manajemen
organisasi lainnya yang memiliki masalah khas, seperti : masalah yang
menyangkut pengelolaan pengajaran, pengelolaan mahasiswa, pengelolaan
personalia, pengelolaan sarana dan prasarana, dan pengelolaan hubungan
perguruan tinggi dengan masyarakat.
Hal yang tidak kalah pentingnya terkait dengan tercapainya apa
yang menjadi tujuan seseorang adalah aspek motivasi yang menggerakkan
orang untuk berbuat sesuatu terdiri dari 2 aspek, yaitu aspek subjektif dan
objektif. Aspek subjektif merupakan kondisi yang berada dalam diri
individu yang berwujud need berasal dari motif yang mendorong bekerja
untuk mencapai kebutuhan. Sedangkan aspek objektif adalah aspe k yang
berada diluar individu yang berwujud inisiatif atau tujuan (goal). Motivasi
merupakan keadaan di dalam individu yang menggerakkan untuk elakukan
sesuatu. Tanpa motivasi, maka tidak akan nada tujuan dan tingkah laku
yang diorganisasikan oleh individu baik di tempat kerja maupun diluar
tempat kerja.
Berdasarkan paparan tersebut, permasalahan yang dikaji pada
penelitian ini dan ingin memperoleh jawaban adalah apakah ada pengaruh
kepemimpinan rektor terhadap motivasi berprestasi para dosen di IKIP
PGRI Bali?. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
49
mengetahui ada tidaknya pengaruh kepemimpinan rektor terhadap motivasi
berprestasi para dosen di IKIP PGRI Bali. Hasil penelitian yang diperoleh
dapat bermanfaat untuk meningkatkan kinerja para dosen di IKIP PGRI
Bali.
2. DESKRIPSI TEORETIS
Motivasi Berprestasi
Motivasi merupakan faktor penting di dalam memahami perilaku
manusia dalam hubungannya dengan manusia lain, seperti dalam kehidupan
bermasyarakat dan berorganisasi. Motivasi adalah faktor pemicu timbulnya
perilaku manusia, dimana manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan dan
secara sadar ataupun tidak berusaha memenuhinya. Motivasi yang ada pada
seseorang akan mewujudkan suatu perilaku untuk memenuhi keinginan atau
kebutuhannya itu. Jadi perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada
tujuan, yaitu dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan
tertentu.(Hersey dan Blanchard, 1988:18)
Di dalam organisasi, pemahaman tentang motivasi adalah masalah
yang tidak sederhana karena kebutuhan dan keinginan individu sebagai
anggota organisasi tidak homogeny, tetapi sebagai acuan dapat dikatakan
bahwa motivasi merupakan sesuatu di dalam diri manusia yang memberi
energi, aktivasi dan gerakan yang mengarahkan perilaku untuk mencapai
tujuan (Koontz, dkk, 1982: 632) Dengan memahami pengertian motivasi
serta mengetahui motivasi manusia lain maka kita dapat mengambil sikap
yang sesuai. Motivasi bagi seorang anggota organisasi dapat dikatakan
sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang tinggi ke a rah
tujuan-tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu
memenuhi sesuatu kebutuhan individual (Robbins, 1995: 212)
Motivasi yang ada di dalam diri manusia dapat diuraikan
berdasarkan tiga pendekatan yaitu pendekatan perilaku, pendekatan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
50
kognitif dan pendekatan humanis. Mereka yang menganut paham
pendekatan perilaku mengatakan bahwa motivasi berawal dari situasi,
kondisi dan objek yang menyenangkan, jika hal ini memberi kepuasan yang
berkelanjutan maka akan menimbulkan tingkah laku yang siap untuk
melakukan sesuatu. Kelompok yang menganut faham kongnitif
mempercayai bahwa yang mempengaruhi perilaku individu adalah proses
pemikiran, karena itu penganut paham kongnitif memfokuskan pada
bagaimana individu memproses informasi dan memberikan penafsiran
untuk situasi khusus. Sedangkan kelompok humanis mengatakan bahwa
manusia bertindak pada suatu lingkungan dan membuat pilihan mengenai
apa yang dikerjakannya (Robbins, 1995: 360)
Sebagai suatu konstruk yang memberi andil di dalam pembentukan
perilaku manusia, motivasi dapat diartikan sebagai faktor pendorong yang
berasal dari dalam diri manusia, yang akan mempengaruhi cara bertindak
seseorang, untuk memenuhi keinginannya atau mencapai tujuan tertentu.
Pengertian serupa tentang motivasi, ialah kerelaan untuk berusaha secara
sungguh-sungguh dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang disertai
dengan kemampuan berusaha guna mencapai keinginan dan kepuasan
beberapa individu dalam organisasi tersebut (Robbins, 1997: 38)
Di samping itu di dalam pembahasan lebih luas faktor motivasi
anggota organisasi dikaitkan dengan usaha-usaha untuk mencapai tujuan
organisasi dengan penekanan pada intensitas usaha dan pencapaian
terhadap tujuan organisasi serta kepentingan individu dalam organisasi.
Motivasi merupakan dorongan di dalam diri manusia yang mengaktifkan,
menggerakkan serta mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan, sebagai
suatu konsep yang dimanfaatkan untuk menguraikan kekuatan-kekuatan
yang bekerja terhadap atau di dalam diri individu untuk memulai dan
mengarahkan perilaku, dimana unsure utama untuk mengerti motivasi
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
51
adalah dengan memmahami hubungan antara kebutuhan, dorongan dan
tujuan yang ada di alam diri manusia.(Luthans dalam Gunada, 2000: 23)
Dari gambar proses motivasi seperti di atas, dapat dilihat bahwa
kebutuhan dan keinginan akan menyebabkan timbulnya ketegangan-
ketegangan di dalam diri manusia. Pada tahap selanjutnya dari keteganagn
yang timbul akan merangsang timbulnya dorongan-dorongan di dalam diri,
dimana doronga tersebut akan berperan dalam pembentukan perilaku
manusia untuk menemukan formula mencapai tujuan, yang berarti
terpenuhinya kebutuhan dan keinginan. Perilaku pencarian yang
memungkinkan tujuan tercapai akan menyebabkan pengurangan
ketegangan-ketegangan di dalam diri, dan kalau tujuan tercapai berarti
kebutuhan terpuaskan (Robbins, 1995: 213)
Unit dasar dari perilaku manusia adalah aktivitas atau kegiatan,
karena pada dasarnya perilaku manusia merupakan kumpulan dari kegiatan -
kegiatan yang berlangsung secara berkesinambungan. Pada waktu yang
sama, bisa saja manusia melakukan lebih dari satu kegiatan, akan tetapi
jika hal itu tidak dapat dikerjakan secara bersama-sama maka manusia
harus memilih kegiatan mana yang akan dilakukannya terlebih dahulu. Di
dalam proses pemilihan kegiatan ini pertimbangan manusia di dasarkan
oleh motivasinya, karena itu motivasi dapat dikatakan sebagai sekumpulan
faktor yang mendorong, menopang dan mengarahkan perilaku menuju
Ketegangan Dorongan
Perilaku
Pencarian
Ketegangan
Berkurang
Kebutuhan
dipuaskan
Kebutuhan
Tak
Terpuaskan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
52
pencapaian tujuan. Jika melihat proses ini maka motivasi dapat pula
dikatakan sebagai suatu dorongan di dalam diri individu yang
menggerakkan individu untuk melakukan tindakan untuk mencapai tujuan
tertentu (Terry dan Franklin, 1985: 298)
Motivasi dapat ditimbulkan oleh faktor internal dan eksternal,
tergantung dari mana suatu kegiatan dimulai. Motivasi internal adalah
dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang, sedangkan motivasi
eksternal adalah dorongan yang berasal dari luar diri manusia. Walaupun
sebetulnya motivasi dibangun di atas motivasi internal(Hadiprojo, dan
Handoko, 1986: 257). Kebutuhan dan keinginan yang ada di di dalam diri
akan menimbulkan motivasi internal, menjadi sesuatu kekuatan yang
mengarah perilaku, tetapi dalam kenyataan tidak semua motivasi internal
menjadi suatu kekuatan yang dapat memuaskan kebutuhan, terkadang jika
tujuan tidak tercapai maka terjadi mekanisme pertahanan diri pada
manusia, misalnya ia melakukan rasionalisasi, berkompromi,
mengundurkan diri, tetapi dapat pula menjadi regresi atau agresif.
Teori Kebutuhan Manusia yang iperkenalkan oleh Maslow,
mengatakan bahwa ada lima tingkatan kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan
fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan akan
penghargaan dan aktualisasi diri (Maslow, 1970:35) Pertama adalah
kebutuhan fisik (psysiological needs), yang merupakan kebutuhan manusia
tingkat pertama yang paling bawah. Termasuk di dalam kebutuhan fisik ini
adalah sandang, pangan, papan dan seks. Ke dua adalah kebutuhan akan
rasa aman (safety and security needs), dimana yang termasuk di dalam
kebutuhan ini adalah rasa aman di dalam diri, keselamatan diri, bebas dari
ketakutan, bebas dari ancaman dan yang lainnya. Ketiga adalah kebutuhan
akan sosialisasi yaitu kebutuhan untuk dicintai, dikasihi, diterima oleh
teman dan lingkungan sosial.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
53
Kebutuhan fisik, kebutuhan rasa aman bersama-sama dengan
kebutuhan sosialisasi dogolongkan sebagai kebutuhan tingkat rendah.
Sedangkan dua tingkatan selanjutnya digolongkan sebagai kebutuhan
tingkat tinggi. Keempat adalah kebutuhan untuk dihargai ( esteem needs),
dimana di dalam kebutuhan ini antara lain : kebutuhan untuk mendapat
penghargaan, dihargai hasil kerjanya, rasa percaya diri. Kelima adalah
kebutuhan mengaktualisasikan diri (self actualization needs), merupakan
kebutuhan tingkat tertinggi dimana termasuk diantaranya adalah kebutuhan
untuk menunjukkan kemampuan diri, mewujudkan eksistensi, ekspresi
kreatif dan lain-lain (Maslow, 1970: 35-46)
Hirarki kebutuhan manusia menurut Maslow harus dipenuhi secara
berurutan, mulai dari kebutuhan paling rendah yaitu kebut uhan tingkat
pertama. Manusia memerlukan kebutuhan yang lebih rendah untuk dapat
dipuaskan pertama-tama sebelum menginjak pada upaya pemenuhan
kebutuhan selanjutnya. Pada kondisi dimana kebutuhan lebih rendah belum
terpuaskan maka kebutuhan dengan tingkat lebih tinggi akan terdesak ke
belakang, demikian pula sebaliknya.
McClelland yang dikutip oleh Harold Koontz dkk, menyebutkan di
dalam teorinya bahwa kebutuhan manusia dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu kebutuhan untuk berkuasa (need for power), kebutuhan untuk
berafiliasi (need for affiliation) dan kebutuhan untuk berprestasi (need for
achievement). (1) Manusia yang mempunyai keinginan berkuasa tinggi
mempunyai keinginan berkuasa tinggi mempunyai keinginan yang besar
untuk menanamkan pengaruhnya dan mengendalikan orang lain, dimana
selalu mencari posisi untuk memimpin, penuh daya, pintar bicara, keras
kepala, suka memerintah serta gembira jika berbicara di depan umum.
Motivasi untuk berkuasa merupakan dorongan untuk mempengaruhi orang
lain, untuk mengubah situasi, yang akan menimbulkan dampak pada
organisasi. (2) Manusia yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
54
umumnya senang sosialisasi, senang dicintai dan tidak menyukai
kesendirian, diasingkan oleh lingkungan sosial dan sebagainya. Manusia
jenis ini menikmati rasa keakraban dan saling pengertian, slalu siap
menghibur dan menolong orang yang kesulitan serta menyenangi
persahabatan. Motivasi untuk berafiliasi merupakan dorongan untuk
berhubungan dengan orang atas dasar sosial. (3) Manusia yang mempu nyai
kebutuhan berprestasi tinggi mempunyai keinginan tinggi untuk sukses,
dimana keinginan untuk sukses ini sama besar dengan ketakutannya untuk
gagal. Manusia jenis ini menyukai tantangan, berani mengambil resiko,
berani menghadapi kesulitan, sanggup mengambil alih tanggung jawab
dalam tugas, tangkas, senang bekerja keras, serta cenderung menonjolkan
diri (Koontz dkk dalam Gunada, 2000:28)
Teori mengenai kebutuhan hidup manusia menurut Teori ERG
dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu eksistensi ( existence),
keterhubungan (relatedness) dan pertumbuhan (growth). Maksud dari teori
dari ketiga pengelompokan itu adalah : (1) Eksistensi adalah kebutuhan
eksistensi untuk bertahan hidup merupakan kebutuhan fisik, misalnya
makan, minum, sex dan kebutuhan fisik lainnya. (2) keterhubungan adalah
kebutuhan untuk berhubungan dengan manusia lain, sosialisasi, saling
membutuhkan seperti dengan keluarga, sahabat, atasan, keanggotaan di
dalam masyarakat. (3) Pertumbuhan adalah kebutuhan manusia untuk
menjadi produktif dan kreatif misalnya diberdayakan di dalam potensi
tertentu dan berkembang secara terus menerus.
Teori dua faktor yang diperkenalkan oleh Herzberg membagi
motivasi manusia menjadi dua kumpulan yaitu faktor perawatan
(maintenance factor) dan faktor (motivational faktor). (1) Faktor perawatan
yang bersifat ekstrinsik, dimana faktor-faktor perawatan ini jika tidak ada
akan lebih menyebabkan ketidakpuasan dibandingkan menyebabkan
kepuasan jika faktor itu ada. Termasuk di dalam lingkungan faktor -faktor
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
55
perawatan adalah kebijakan dan adsministrasi perusahaan, supervise,
hubungan dengan supervisor, hubungan dengan rekan sekerja, hubungan
dengan bawahan, gaji, keamanan kerja, kehidupan pribadi, kondisi kerja
dan status. (2) Faktor motivasional yang bersifat intrinsik, merupakan
faktor-faktor yang kehadirannya akan menyebabkan kepuasan kerja
sekaligus memberikan motivasi jika ada. Termasuk di dalam faktor -faktor
motivasional adalah pencapaian prestasi, penghargaan, kemajuan,
pekerjaan sendiri, kemungkinan untuk maju dan t anggung jawab.
Dari uraian teori mengenai motivasi di atas, maka yang dimaksud
dengan motivasi berprestasi adalah suatu dorongan, upaya dan keinginan
individu yang mengarahkan perilakunya untuk berprestasi dengan baik di
dalam bekerja, yang mencakup aspek : bekerja dengan baik, memanfaatkan
umpan balik, berusaha untuk mencapai tujuan, bekerja dengan tanggung
jawab, berani bersaing, menikmati kesuksesan, kesediaaan menerima tugas
serta takut akan kegagalan.
Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses mendorong dan membantu orang lain
untuk bekerja secara antusias ke arah tujuan (Davis dan Newsterm, 1985:
158) Kepemimpinan adalah sebuah bagian yang penting dari manajemen
tetapi bukan merupakan keseluruhan dari manajemen itu sendiri. Pemimpin
antara lain diwajibkan untuk merencanakan dan mengorganisasikan, tetapi
peran utama pemimpin adalah mempengaruhi orang lain orang lain untuk
berusaha mencapai tujuan dengan antusias. Hal ini berarti bahwa jika
perencanaan mereka jelek, sehingga menyebabkan kelompoknya menuju
pada arah yang salah. Gagasan mereka dapat menerima kelompoknya
bergerak, mereka hanya tidak dapat bergerak menuju kearah yang dapat
melayani tujuan organisasi (Davis dan Newsterm, 1985: 158)
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
56
Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang lain untuk
mengerjakan apa yang anda inginkan untuk dikerjakan oleh mereka.
Konsep demikian kelihatannya cukup sederhana pada permukaannya, tetapi
pada kenyataannya seringkali kompleks. Dimana di dalam kepemimpinan
hadir suatu proses mengarahkan dan mempengaruhi tugas -tugas yang
berhubungan dengan kegiatan anggota kelompok. Dari pengertian tersebut
maka dapat diuraikan empat implikasi penting, yaitu (1) kepemimpinan
melibatkan orang lain sebagai berikut, misalnya karyawan. Dengan
keinginan mereka untuk menerima pengarahan dari pimpinan, anggota
kelompok membantu mendefinisikan status pimpinan dan membuat proses
kepemimpinan memungkinkan; tnpa orang mengarahkan, semua kualitas
kepemimpinan dari seorang manajer akan anyang tidak seimbang antara
pemimpin dan anggota kelompok. Anggota kelompok bukan tanpa
kekuatan; mereka dapat dan membentuk kegiatan dalam sejumlah cara.
Selain itu pemimpin biasanya mempunyai kekuatan lebih. (3)
kepemimpinan adalah kemampuan menggunakan bentuk-bentuk kekuatan
yang berbeda untuk mempengaruhi perilaku-perilaku pengikut dalam
sejumlah cara. Tentu saja, pemimpin telah mempengaruhi karyawan untuk
membuat pengorbanan pribadi untuk kebaikan perusahaan. Kekuatan
membawa pengaruh kita pada aspek keempat kepemimpinan. (4) aspek
gabungan dari ketiganya dan mengakui bahwa kepemimpinan adalah
tentang nilai-nilai (values). Ini adalah sebuah catatan berharga bahwa
meskipun kepemimpinan adalah dihubungkan secara tinggi dan penting
bagi manajemen, kepemimpinan dan manajemen bukanlah konsep yang
sama (Freeman, dan Gilbert, 1995: 470)
Kepemimpinan adalah proses seorang individu untuk memengaruhi
anggota kelompok lain kea rah pencapaian tentang definisi tujuan
kelompok atau organisasi. Catatan menurut definisi ini, kepemimpinan
adalah terutama sebuah proses melibatkan pengaruh orang dimana seorang
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
57
pemimpin mengubah kegiatan-kegiatan atau sikap-sikap dari beberapa
anggota kelompok atau bawahan. Kepemimpinan atau memimpin ( leading)
adalah mempengaruhi orang lain untuk mengerjakan apa yang pimpinan
inginkan mereka kerjakan (Mondy, dan Premeux, 1993: 332)
Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi dan
memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Proses
kepemimpinan melibatkan penggunaan kekuasaan untuk menentukan
tujuan-tujuan kelompok atau organisasi, memotivasi anggota organisasi
untuk bekerja kearah pencapaian tujuan tersebut, dan mempengaruhi
dinamika kelompok dan budaya organisasi. Seorang pemimpin adalah
seorang yang memajukan tujuan organisasi dengan mempengaruhi sikap
dan kegiatan-kegiatan orang lain. Kepemimpinan dan motivasi bekerja
bahu-membahu seperti karyawan menarik inspirasi dari pimpinan,
pemimpin tidak dipertimbangkan sebagai pemimpin apabila mereka tidak
mampu memotivasi orang lain. Secara umum, kepemimpinan organisasi
adalah sebuah proses terus menerus bukan sebuah peristiwa sekali,
mempersiapkan tujuan akhir untuk kerja (performance).(L. Bovee, dkk,
1993:468)
Telah diuraikan diatas bahwa kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu dalam keadaan
tertentu. Disamping itu pengertian kepemimpinan yang dipesentasikan
dalam buku ini juga menyatakan secara tidak langsung bahwa : (1)
pimpinan mempunyai sebuah pengertian tentang arah ( a sense of
direction), dan (2) keefektifan seseorang mencoba untuk mempengaruhi
tergantung pada faktor-faktor situasi unik.
Kepemimpinan secara sederhana adalah sebuah tipe tentang
pengaruh, pengaruh seorang individu mendesak melalui sebuah kelompok.
Kepemimpinan adalah perilaku seorang manajer menggunakan pengaruh
sebuah kelompok. Dimana di dalam proses tersebut kepemimpinan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
58
berusaha mempengaruhi kegiatan para pengikut melalui proses komunikasi
dan kearah pencapaian beberapa tujuan. Pengertian ini secara tidak
langsung menyatakan bahwa kepemimpinan melibatkan penggunaan
pegaruh dan bahwa semua hubungan dapat melibatkan kepemimpinan. Di
samping itu di dalam definisi ini juga dinyatakan pentingnya proses
komunikasi. Kejelasan dan ketetapan komunikasi mempengaruhi perilaku
dan unjuk kerja pengikut. Elemen lainnya dari definisi memfokuskan pada
penyelesaian tujuan. Pemimpin yang efektif harus dapat bertransaksi
dengan individu, kelompok, dan tujuan-tujuan organisasi. Keefektifan
pemimpin secara khas dipertimbangkan dalam arti tingkat penyelesaian
satu atau kombinasi dari tujuan-tujuan tersebut.
Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi sebuah
kelompok kea rah pencapaian tujuan. Sumber dari pengaruh dapat berasal
dari formal, seperti kepemilikan dari tingkat manajerial dalam suatu
organisasi (Robbins, 1996: 413)
Kepemimpinan adalah sebuah proses mendorong, mengembangkan,
dan bekerja dengan orang dalam suatu organisasi. Hal ini sebuah proses
yang berorientasi pada manusia dan memfokuskan pada motivasi personal,
hubungan manusia atau interaksi sosial, komunikasi antar personal,
suasana organisasi, konflik antar personal, pertumbuhan dan
pengembangan personal, dan meningkatkan produktivitas faktor -faktor
manusia secara umum. Kepemimpinan mengambil tempat dalam konteks
sebuah organisasi dan oleh karena itu, harus diperhatikan dengan realisasi
tujuan, menetapkan arah baru, penyerahan pelayanan kualitas pendidikan,
implementasi perubahan esensial dan seterusnya, maupun kepuasan dan
ketidakpuasan aktivitas personal dan hubungan manusia. Kesimpulan yang
dibuat bahwa kepemimpinan adalah kompleks dan multi dimensi.
Ada beberapa definisi satu dimensi kepemimpinan lain yang dapat
menghasilkan salah persepsi tentang sifat dari proses dan kompetensi-
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
59
kompetensi yang diminta. Kepemimpinan adalah sebuah proses yang
memfokuskan pada orang dan dapat diukur dengan dampaknya pada prilaku
organisasi. Termasuk membantu orang dalam sebuah organisasi
memperoleh sebuah pengertian baru tentang arah dimana ada kekurangan
atau tidak realistik, menciptakan jenis-jenis pola struktural yang akan
meningkatkan produktivitas personal, memotivasi orang ke tingkat unjuk
kerja lebih tinggi, dan seterusnya.
Kepemmpinan adalah kompleks dan multi dimensi dalam karakter
dan tak seorangpun dapat menghasilkan resep lompatan secara premature
dan menggeneralisasi dari riset kepemimpinan. Kepemimpinan adalah
ramuan yang kritis dalam keefektivan organisasi. Hal ini adalah sebuah
proses antar personal yang kompleks untuk mempengaruhi perilaku (Rao,
dan Surya P. Rao dalam Gunada, 2000: 60)
Ada tiga teori kepemimpinan – teori ciri-ciri (trait theory), teori
perilaku (behavioral theory), dan teori situasional (situasional theory),
(Rao, dan Surya P Rao dalam Gunada, 2000: 60) Pendekatan pertama,
memandang kepemimpinan sebagai sebuah konglemerasi dari sebuah
susunan ciri-ciri kepribadian. Tradisi tertua dalam studi-studi
kepemimpinan telah dicari untuk dikelompokkan ke dalam ciri-ciri, atribut
atau perbedaan tipe individu lainnya, yang menyusun pemimpin terpisah
dari pengikutnya atau yang membedakan pemimpin yang efektif dari
pemimpin yang tidak efektif. Teori ciri-ciri mencoba menggali sebuah
prototype yang murni tentang kepribadian kepemimpinan. Pendekatan
kedua, mempelajari kepemimpinan mencoba mengidentifikasi perilaku
individu pemimpin yang berhubungan dengan kepemimpinan yang efekt if.
Tentu saja, satu asumsi fundamental diletakkan pada teori ciri-ciri dan
perilaku bahwa seorang individu yang memiliki ciri-ciri pantas atau
mempertonton perilaku yang pantas akan muncul sebagai pemimpin dalam
kelompok apapun ia berada. Berpikir dan riset yang terbaru menyandarkan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
60
pendekatan ketiga terhadap sebuah perspektif situasional. Disini periset
mengubah perhatiannya untuk mengidentifikasikan faktor -faktor
situasional tertentu yang menentukan bagaimana sebuah gaya
kepemimpinan khusus akan menjadi efektif.
Kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
sekelompok orang untuk tercapainya tujuan tertentu. Dari pengertian
kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas seseorang atau
sekelompok orang untuk mencapai tujuan dalam situasi tert entu maka dapat
diketahui bahwa kepemimpinan adalah fungsi dari pemimpin, pengikut dan
variabel situasional lainnya. Sumber dari pengaruh di dalam kepemimpinan
bisa formal, misalnya yang disediakan oleh pemilikan tingkat manajerial
dalam suatu organisasi, seseorang menjadi pemimpin karena kedudukannya
yang formal. Sumber kepemimpinan dapat pula berasal dari luar struktur
formal, yaitu kemampuan untuk mempengaruhi walaupun tidak berada dari
struktur formal organisasi.
Keberhasilan pemimpin tergantung pada perilaku, tindakan yang
tepat dan keterampilan. Ada dua katagori utama perilaku kepemimpinan
yaitu struktur inisiasi ( iniating structure) dan konsiderasi (consideration).
Struktur inisiasi mengacu pada perilaku pemimpin dalam menggambarkan
hubungan antara diri pemimpin sendiri dengan anggota kelompok kerja dan
dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi dan metode
atau prosedur yang ditetapkan dengan baik. Sebaliknya konsiderasi
mengacu pada perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan
timbal balik, rasa hormat dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin
dengan anggota stafnya. (Agus Darma, 1996: 153)
Ditinjau dari keterampilan pemimpin, maka ada tiga jenis
keterampilan yang berbeda yaitu keterampilan teknis, keterampilan
manusiawi dan keterampilan konseptual. (1) Keterampilan teknis ( technical
skill) mengacu pada pengetahuan dan keterampilan seseorang dalam salah
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
61
satu jenis proses atau teknik. Antara lain keterampilan yang dimiliki
seorang juru ketik, insinyur, akuntan, dan tukang. Keter ampilan jenis ini
merupakan ciri yang menonjol dari prestasi kerja pada tingkat operasional,
semakin tinggi jabatan dan tanggung jawab maka keterampilan teknis
menjadi semakin berkurang. (2) Keterampilan manusiawi ( human skill)
yaitu kemampuan kerja secara efektif dengan rekan kerja di dalam satu tim.
(3) Keterampilan konseptual (conceptual skill) merupakan kemampuan
untuk berfikir secara konsep berkaitan dengan model, kerangka dan
hubungan yang luas, seperti rencana jangka panjang. Semakin tinggi
jabatan maka keterampilan konseptual semakin dibutuhkan.
Dari uraian di atas, maka yang dimaksudkan dengan kepemimpinan
adalah suatu cara pandang individu terhadap pimpinan, gaya kepemimpinan
dan motivasi kerjanya, dimana tercakup di dalamnya adalah pola hubungan,
kesempatan berinteraksi, masa kerja, lingkungan kerja, mampu membaca
situasi, kesediaan menerima tugas serta tujuan yang hendak dicapai.
Dengan demikian, maka dapat diduga terdapat pengaruh positif
antara kepemimpinan rektor terhadap profesi dengan motivasi dosen untuk
berprestasi.
3. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bersifat expost facto atau non eksperimen, karena
tidak melakukan manipulasi terhadap gejala yang diteliti dan gejalanya
sudah ada secara wajar di lapangan.
Semua data yang diperoleh dalam penelitian ini merupakan data
primer. Data ini dikumpulkan melalui pengukuran secara langsung terhadap
responden yang meliputi: kepemimpinan rektor dan motivasi berprestasi
para dosen di IKIP PGRI Bali. Pengumpulan data untuk variabel
kepemimpinan rektor dan motivasi berprestasi dosen digunakan kuesioner.
Semua data yang diperoleh berbentuk data interval.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
62
Populasi adalah kelompok yang diminati oleh peneliti, kelompok yang
peneliti disukai untuk menggeneralisasikan hasil studinya. Populasi
adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang
mempunyai kuantitas dan karateristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan
(Sugiyono,1992: 57).
Populasi dalam penelitian ini yang diperhitungkan dalam pengambilan
sampel adalah seluruh dosen yayasan dan dosen Negeri dipekerjakan di
IKIP PGRI BALI yang berjumlah 92 orang
“Sampel adalah bagian populasi” (Riyanto, 2001: 65). Sedangkan
Sugiarto dkk (2001: 2 ), menjelaskan bahwa sampel adalah “anggota dari
populasi yang dipilih dengan menggunakan prosedur tertentu, sehingga
diharapkan dapat mewakili populasinya”. Jadi Sampel dapat didefinisikan
sebagai sembarang himpunan yang merupakan bagian dari suatu populasi
Atas dasar tujuan penelitian yang ingin dicapai dan memperhatikan
heterogenitas populasi, maka teknik sampling yang digunakan adalah
“proporsional random sampling” artinya penentuan sampel dengan
memperhatikan perimbangan jumlah dosen setiap jurusan serta di dalam
pemilihannya semua dosen mempunyai kesempatan yang sama menjadi
anggota sampel.
Untuk menentukan besarnya sampel yang akan dijadikan subjek
penelitian, digunakan tabel dari Robert V. Krejcie dan Daryle W. Morgan
(Sugiyono, 1992: 63). sehingga populasi yang besarnya : 92 orang
diperoleh besar sampel : 73 orang. Untuk pengambilan sampelnya dengan
menggunakan teknik undian.
Pengumpulan data untuk kepemimpinan rektor dan motivasi berprestasi
dosen dipergunakan kuesioner. Semua data yang diperoleh berbentuk data
interval. Sebagai responden adalah para dosen IKIP PGRI Bali
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
63
Metode Analisis Data dan Uji Hopotesis
Teknik analisis yang dipergunakan untuk memperoleh data dalam
penelitian ini adalah teknik analisis statistik.
Yang dimaksud dengan analisis statistik adalah suatu teknik a tau cara
menganalisa data yang bersifat kuantitatif atau bereupa angka -angka. Hal
ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan :Analisis statistik berarti cara
ilmiah yang dipergunakan untuk mengumpulkan, menyususn, menyajikan
dan menganalisa data penyelidikan yang diharapkan dapat menyediakan
dasar-dasar yang dapat dipertanggungjawabkan untuk menarik kesimpulan-
kesimpulan yang benar dan untuk mengambil keputusan- keputusan yang
layak. (Sutrisno Hadi, 1982 : 22)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa statistik yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah statistik infrensial. Sesuai dengan
judul penelitan yang telah dirumuskan bahwa masalah yang diteliti adalah
: Pengaruh Kepemimpinan Rektor Terhadap Motivasi Berprestasi Dosen
Dengan tujuan untuk mengetahui ada tidaknya Pengaruh
Pengaruh Kepemimpinan Rektor Terhadap Motivasi Berprestasi Dosen
yang telah disebutkan di atas.
Untuk menguji hipotesisnya dipergunakan teknik Korelasi Product
Moment, untuk menghitung koefisien korelasi product moment
dipergunakan rumus :
2222
YYNXXN
YXXYNxyr
Keterangan :
Rxy = Koefisien korelasi variabel X dan variabel Y
XY= Product X dan Y
X = Kepemimpinan Rektor
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
64
Y = Motivasi Berprestasi Dosen
N = Jumlah subyek yang diteliti
( Arikunto, 2000)
4. ANALISIS DATA
Teknik analisa yang digunakan dalam pengujian hipotesis dilakukan
dengan analisa statistik yaitu analisa Product Moment. Sebagai sistimatika
dalam analisa nanti, akan ditempuh langkah-langkah : (1) Merumuskan
hipotesis nol, (2) Menyusun daftar belanja statistik, (3) Memasukan data ke
dalam rumus, (4) Menguji nilai r xy, dan (5) Menarik kesimpulan
Merumuskan hipotesis nol.
Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan rektor
terhadap motivasi berprestasi dosen di IKIP PGRI Bal i
Menyusun Daftar Kerja Statistik
Tabel 04 Daftar Tabel Kerja Statistik Skor Kepemimpinan Rektor terhadap
Motivasi berprestasi Dosen di IKIP PGRI Bali
No Sby X Y X2 Y2 XY
1 99 71 9801 5041 7029
2 100 70 10000 4900 7000
3 109 74 11881 5476 8066
4 97 73 9409 5329 7081
5 103 68 10609 4624 7004
6 97 74 9409 5476 7178
7 93 66 8649 4356 6138
8 83 63 6889 3969 5229
9 94 63 8836 3969 5922
10 87 65 7569 4225 5655
11 102 76 10404 5776 7752
12 90 65 8100 4225 5850
13 99 78 9801 6084 7722
14 99 65 9801 4225 6435
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
65
15 96 80 9216 6400 7680
16 99 74 9801 5476 7326
17 95 64 9025 4096 6080
18 95 56 9025 3136 5320
19 95 67 9025 4489 6365
20 79 65 6241 4225 5135
21 91 67 8281 4489 6097
22 94 71 8836 5041 6674
23 86 63 7396 3969 5418
24 111 71 12321 5041 7881
25 82 61 6724 3721 5002
26 87 72 7569 5184 6264
27 101 66 10201 4356 6666
28 83 77 6889 5929 6391
29 95 62 9025 3844 5890
30 93 72 8649 5184 6696
31 89 58 7921 3364 5162
32 83 67 6889 4489 5561
33 96 57 9216 3249 5472
34 99 66 9801 4356 6534
35 105 73 11025 5329 7665
36 89 59 7921 3481 5251
37 95 80 9025 6400 7600
38 96 57 9216 3249 5472
39 97 80 9409 6400 7760
40 99 62 9801 3844 6138
41 80 59 6400 3481 4720
42 101 64 10201 4096 6464
43 91 70 8281 4900 6370
44 86 67 7396 4489 5762
45 101 58 10201 3364 5858
46 91 70 8281 4900 6370
47 77 61 5929 3721 4697
48 97 56 9409 3136 5432
49 82 68 6724 4624 5576
50 102 62 10404 3844 6324
51 78 66 6084 4356 5148
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
66
52 79 57 6241 3249 4503
53 97 65 9409 4225 6305
54 86 64 7396 4096 5504
55 98 68 9604 4624 6664
56 108 65 11664 4225 7020
57 99 67 9801 4489 6633
58 101 68 10201 4624 6868
59 90 66 8100 4356 5940
60 69 68 4761 4624 4692
61 102 65 10404 4225 6630
62 111 73 12321 5329 8103
63 114 68 12996 4624 7752
64 85 60 7225 3600 5100
65 93 71 8649 5041 6603
66 103 78 10609 6084 8034
67 100 75 10000 5625 7500
68 92 57 8464 3249 5244
69 91 70 8281 4900 6370
70 84 57 7056 3249 4788
71 80 64 6400 4096 5120
72 88 59 7744 3481 5192
73 96 60 9216 3600 5760
6834 4864 645458 326942 456607
Keterangan :
X = Kepemimpinan rektor = 6834
Y = Motivasi berprestasi dosen = 4864
X2 = 645458
Y2 = 326942
XY = 456607
Memasukan Data Dalam Rumus.
2222
YYNXXN
YXXYNxyr
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
67
2486432694273
2683464545873
4864683445660773
xyr
= 236584962386676646703556471188434
3324057633332311
= 208270414878
91735
= 08640664106
91735
= 312,0293950
91735
rxy = 0,312
R2 = 0,1033
Menguji nilai rxy
Berdasarkan taraf signifikansi 5 % dan N =73, besarnya angka
batas penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel nilai-nilai Product
Moment adalah = 0,227. Jika dibandingkan dengan besarnya angka yang
didapatkan dari hasil penelit ian yang besarnya 0,312, maka nilai r xy yang
diperoleh dari hasil penelitian lebih besar atau melebihi angka bata
penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel nilai-nilai product
moment, sehingga hipotesis nol yang diajukan ditolak. Ini berarti nilai r xy
yang didapatkan dari hasil penelitian signifikan. Dengan ditolaknya
hipotesis nol yang berbunyi bahwa tidak ada pengaruh kepemimpian rektor
terhadap motivasi berprestasi dosen baik dosen Dpk maupn dosen yayasan
IKIP PGRI Bali, maka hipotesis alternatif yang diajukan dalam penelitian
ini diterima. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaruh yang
signifikan antara kepemimpian rektor terhadap motivasi berprestasi dosen
baik dosen Dpk maupn dosen yayasan IKIP PGRI Bali.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
68
5. KESIMPULAN ANALISIS
Berdasarkan perhitungan di atas dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan institusi dalam hal ini adalah kepemimpiaan rektor
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi berprestasi di
kalangan para dosen baik dosen dpk maupun dosen yayasan di IKIP PGRI
Bali. Kesimpulan ini dapat dibuktikan dengan besarnya taraf signifikasi
5% dan N = 73, ternyata nilai r xy hasil penelitian yang besarnya 0,312 lebih
besar dari nilai batas penolakan hipotesis nol yang didapatkan dari tabel
nilai-nilai Product Moment adalah 0,227, maka hipotesis nol ditolak,
sehingga hasil penelit ian ini signifikan. Karena arah pengaruhnya positif,
maka dapat dikatakan bahwa semakin demokratis kepemimpinan rektor,
maka akan dapat meningkatkan motivasi berprestasi dosen. Besarnya
variasi motivasi berprestasi dosen yang dapat dijelaskan oleh
kepemimpinan rektor adalah sebesar 10,33%.
DAFTAR RUJUKAN
Abraham Maslow. 1970. Motivation and personality : New York
Arikunto, Suharsini. 2000. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Agus Darma. 1996. Perilaku dan Organisasi: Erlangga Jakarta
Gunada, Ida Bagus. 2000. “Motivasi berprestasi Dosen”. (Disertasi)
Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta.
Paul Hersey dan Ken H. Blanchad. 1988. Management of Organizational
Behavior: Utilizing Human Rsources (Englewood Cliffs: Prentice -
Hall
Stehen P. Robbins. 1995. Organization Behavior, Controversics &
Application (New Jersey: Prentice Hall.
Stephens P Robins. 1977. Managing Today (New Jersey: Prentice Hall
International)
Stephens P Robins. 1996. Organizational Beavior Concept and Aplication.
New Jersey: Prentice Hall.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
69
Sugiarto, Dkk. 2001. Teknik Sampling. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama: Jakarta
Hadi, Sutrino,1982. Statistik II.Yogyakarta Yayasan Penerbitan, Fakultas
Psikologi UGM
Sekso Hadiprojo dan Hani T. Handoko. 1986. Organisasi Perusahan):
Yogyakarta
Sugiyono.1992. Statistika untuk Penelitian : Penerbit CV AlFABETA,
Bandung.
Keith Davis, dan John W, Newstrom, 1985. Human Behavior At Work:
Organizational Beavior. Singapore
James A.F. Stoner. R. Edward Freeman, dan Daniel R. Gilbert. 1995.
Management. New Jersey: Prentice Hall.
Riyanto, Yatim. 2001. Metodologi Penelitian Pendidikan : Penerbit
Penerbit SIC Surabaya.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
70
PENERAPAN PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP MELALUI
PEMANFAATAN SENYAWA HAYATI EKSTRAK DAUN BELENG
DALAM PENANGGULANGAN JAMUR Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
PENYEBAB PENYAKIT BUSUK BATANG PADA VANILI
Oleh
I MADE SUBRATA
Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
This research was done to improve understanding and insight into the
education of Biology students of the plants diversity and the use of biological
compounds contained in plants for control of plant diseases. Beleng crop cultivars,
which is one of the betel plant (Piper betle L.) is able to inhibit the growth of the
fungus Fusarium oxysporum f.sp. vanillae cause stem rot disease in vanilla.
In order to find other alternatives for controlling the disease, Beleng leaf
were studied for their bioactivity against F. oxysporum f. sp. vanillae. The result of
the study indicated that the crude extract of Beleng leaf at concentration 0.05%;
0.1%; 0.15%; 0.2%; 0.25%; 0.3% and 0.35% was able to inhibit the radial growth of
F. oxysporum f.sp. vanillae on Potato Dextrose Agar (PDA) medium. The variation
of crude extract concentration was found to influence the fungal growth on vanilla
stem cutings on PD Broth medium. In addition, the crude extract of Beleng leaf was
able to inhibit the spore germination and spore formation of F. oxysporum f. sp.
vanillae on PD Broth medium.
The fractination of Beleng leaf crude extract with Column Chromatography
and Thin Layer Chromatography produced 15 fractions of compound, the fraction
number VI which is made of three compounds with Rf value : 0.35; 0.55 and 0.78
efectively inhibited the growth of F. oxysporum f. sp. vanillae on PDA medium.
Utilization of biological compounds of plant extracts are preservation of the
environment, so that it can be used as an alternative in the activities of the practice
of Environmental Education and can be applied to the community.
Key words : Environmental education, biological compounds, Fusarium oxysporum
f. sp.vanillae fungus
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Kelestarian lingkungan merupakan permasalahan yang dihadapi seluruh
dunia, sehingga dijadikan muatan kurikulum perguruan tinggi pada jurusan/program
studi tertentu, misalnya Jurusan Pendidikan Biologi IKIP PGRI Bali. Pelaksanaan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
71
pembelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup lebih menekankan pada penerapan
dalam kehidupan sehari-hari (Sastrawijaya, 2000). Pemanfaatan senyawa hayati
merupakan salah satu materi praktikum sebagai dasar aplikasi penanggulangan
penyakit tanaman, misalnya penyakit jamur Fusarium yang menyerang tanaman
vanili.
Fusarium sangat merugikan petani di kawasan tropika, karena dapat
menimbulkan berbagai penyakit di antaranya penyakit busuk batang panili, penyakit
busuk kering pada umbi kentang dan penyakit layu pada pisang. Penyakit busuk
batang panili disebabkan oleh Fusarium oxysporum f.sp. vanillae, yang juga disebut
F. batatatis (Semangun, 1991), penyakit busuk kering pada umbi kentang
disebabkan oleh jamur F. solani var. coeruleum (Semangun, 2000) dan penyakit
layu pada pisang disebabkan oleh jamur F. oxysporum f.sp. cubense (Borges et al.,
2004).
Penyakit panili yang terpenting adalah penyakit busuk batang (Semangun,
1991). Masalah kerugian dan kerusakan oleh penyakit busuk batang panili dapat
berakibat langsung terhadap kematian tanaman serta akibat tidak langsung terhadap
penurunan produksi. Produksi panili di Bali mencapai puncaknya tahun 1988
sebesar 324,314 ton polong kering dan menurun pada tahun berikutnya. Tahun 1995
hanya mencapai 64,967 ton polong kering. Secara nasional ekspor panili di
Indonesia pada tahun 2001 hanya 339 ton polong kering, sedangkan pada tahun
1998 sekitar 729 ton polong kering, ketika pertumbuhan tanaman panili relatif masih
baik (Ruhnayat, 2004).
Usaha pengendalian penyakit yang dilakukan oleh petani selama ini masih
bertumpu pada penggunaan pestisida sintetis. Penggunaan pestisida sintetis yang
kurang bijaksana sering menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan
maupun terhadap jamur itu sendiri karena dapat terjadi resistensi dan resurgensi
(Suprapta et al., 2002).
Langkah yang perlu ditempuh untuk mengatasi dampak negatif yang
ditimbulkan oleh penggunaan pestisida sintetis, dengan pengadaan pestisida
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
72
alternatif yang dapat dihasilkan secara lokal terjangkau oleh sebagian besar petani
dan aman bagi lingkungan, baik pestisida yang berasal dari mikroba antagonis
(biopestisida) maupun pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Pestisida yang
mendapat perhatian adalah pestisida dari tumbuh-tumbuhan, sering disebut dengan
pestisida nabati. Secara evolusi, tumbuhan telah mengeluarkan bahan kimia sebagai
alat pertahanan alami terhadap pengganggunya yaitu sebagai respon invasi patogen
ke tanaman inang (Kardinan, 2005). VanEtten at al. (1994) dalam Suprapta (2001)
mengusulkan istilah fitoantisipin untuk membedakan senyawa yang sudah ada pada
tumbuhan sehat dengan fitoaleksin yang terbentuk sebagai respon terhadap serangan
patogen.
Penggunaan ekstrak tanaman sebagai pestisida nabati dapat mengurangi
efek negatif pestisida sintetik terhadap lingkungan biologis (Suprapta et al., 2003).
Indonesia sebagai daerah tropis, mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan.
Tumbuh-tumbuhan tertentu dapat menghasilkan metabolit sekunder yang dapat
digunakan untuk bahan obat-obatan atau bahan pestisida nabati. Moeljanto dan
Mulyono (2003), menyebutkan bahwa tanaman sirih (Piper betle L.) bisa
dimanfaatkan sebagai fungisida, yakni untuk membasmi jamur Phythophthora
palmivora yang menyerang tanaman lada. Fungisida botani dari daun sirih ini
mampu menghambat perkecambahan spora dan menekan pertumbuhan jamur.
Tanaman Beleng (Bahasa Bali) merupakan salah satu varietas dari tanaman
sirih. Habitat maupun habitus tanaman Beleng sama dengan sirih, perbedaannya
warna Beleng lebih hijau, tangkai daun, tulang daun dan batang berwarna hijau
kemerahan. Aroma daun Beleng lebih sengak daripada sirih.
Tanaman dalam satu spesies, selain memiliki persamaan dalam morfologi
dan anatomi, juga memiliki beberapa persamaan secara fisiologi. Penelitian ini
mencoba untuk menguji aktivitas fungisida ekstrak daun sirih kultivar Beleng
terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
73
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya hambat ekstrak daun
Beleng terhadap pertumbuhan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae dan mekanisme
aktivitas anti jamur ekstrak daun Beleng terhadap jamur F. oxysporum f.sp. vanillae.
II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Biologi Jamur Fusarium
Fusarium adalah genus jamur yang terdapat di seluruh dunia dan sering
dikaitkan dengan berbagai jenis penyakit tumbuhan. Jamur ini dapat diisolasi dari
berbagai sampel, misalnya dari tanah dan tanaman pertanian yang terinfeksi,
berkembang biak di kawasan lembab dan panas sehingga diberi sebutan “penyakit
beriklim panas” (Salleh, 1989).
Genus Fusarium menghasilkan konidium berbentuk bulan sabit. Spesies
Fusarium cukup banyak, belum ada keseragaman di antara para peneliti mengenai
jumlah spesiesnya. Salah satu spesies Fusarium adalah Fusarium oxysporum, yang
menyebabkan penyakit pada jaringan pembuluh beberapa jenis tanaman pertanian
(Takehara and Kuniyosu, 1995). Perbedaan karakter dalam satu spesies serta
patogenitasnya terhadap tanaman tertentu disebut formae spesiales (f.sp.) atau
cultivar (var).
Fusarium sangat merugikan petani di kawasan tropika karena dapat
menimbulkan berbagai penyakit, diantaranya penyakit busuk batang panili, penyakit
busuk kering pada umbi kentang dan penyakit layu pada pisang. Penyakit busuk
batang panili disebabkan oleh F. oxysporum f.sp. vanillae yang juga disebut
batatatis, F. bulbigenum var. batatas atau F. batatas (Salleh, 1989).
2.2 Penyebaran Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
Infeksi pada tanaman sehat dapat disebabkan oleh jamur F. oxysporum f.sp.
vanillae yang berasal dari tanaman yang sakit. Infeksi mulai terjadi pada pangkal
batang dan selanjutnya meluas pada batang dan akar hawa. Di dalam satu kebun
diduga konidium fusarium dipencarkan oleh angin.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
74
Fusarium dapat bertahan lama sebagai saprofit dalam tanah. Semangun
(1991) menyatakan bahwa di dalam tanah jamur ini dapat bertahan selama tiga
tahun. Tanah dianggap sebagai sumber infeksi yang utama.
Penyakit busuk batang dapat juga ditularkan atau disebarkan dengan
perantaraan kontak langsung, perantaraan air hujan dan serangga. Penanaman stek
panili pada tanah bekas tanaman panili sakit, pangkal stek akan busuk beberapa
waktu kemudian. Hal ini dapat terjadi walaupun tanah tersebut diistirahatkan
ataupun dikeringkan terlebih dahulu, karena klamidospora patogen dapat bertahan
lama di dalam tanah yaitu empat tahun tanpa tanaman inang (Suharyon dan Rozak,
1996).
2.3 Gejala Penyakit Busuk Batang Panili
Umumnya penyakit busuk batang panili timbul pada tanaman panili yang
berumur tiga tahun atau lebih. Bila keadaan tidak menguntungkan bagi
perkembangan penyakit, pada batang terjadi bercak-bercak yang panjangnya
beberapa centimeter, berbatas tegas, berwarna cokelat dan mengendap. Kalau
keadaan menguntungkan, terjadilah bercak yang berbatas kurang tegas, berwarna
hitam, yang dengan cepat meluas melingkar pada ruas batang. Setelah itu bagian
yang terserang keriput (mengisut), berwarna cokelat dan akhirnya mengering. Pada
bagian yang busuk dan keriput itu terdapat bintik-bintik putih kekuningan yang
terdiri dari kumpulan konidiofor dan konidium jamur. Kalau batang pada bagian
yang sakit dibelah membujur, tampak bahwa di sebelah dalam perubahan warna
meluas mendahului perubahan warna yang terlihat dari luar (Semangun, 1991).
Jamur ini menginfeksi jaringan pengangkut pada tanaman panili (CMI, 1978).
2.4 Pestisida Nabati
Setelah ditemukan pestisida sintetis pada awal abad ke-20, manfaat
pestisida dari bahan alami dilupakan (Novizan, 2002). Pestisida sintetis memiliki
beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh pestisida alami. Pestisida sintetis
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
75
dapat dengan cepat menurunkan populasi organisme pengganggu tanaman (OPT)
dengan periode pengendalian (residu) yang lebih panjang.
Untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggunaan
pestisida sintetis, maka perlu adanya pengadaan pestisida alternatif yang dapat
dihasilkan secara lokal, terjangkau oleh sebagian besar petani dan aman bagi
lingkungan. Salah satu sumber pestisida yang mendapat perhatian ilmuwan adalah
dari tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan tingkat tinggi melalui metabolisme sekunder
mampu menghasilkan berbagai senyawa kimia untuk melindungi dirinya dari
gangguan hama, penyakit, maupun gulma.
Fungisida nabati adalah salah satu bagian dari pestisida nabati, yaitu
senyawa kimia anti jamur yang diekstrak dari tumbuhan tingkat tinggi. Fungisida
tersebut dalam bentuk alkaloid atau prohibitin dapat membantu melawan patogen
(Suprapta, 2005).
Banyak senyawa “constitutive” dari tumbuhan dilaporkan mempunyai
aktivitas anti jamur. Contoh yang sangat populer adalah fenol dan glikosida fenol,
lakton tidak jenuh, senyawa-senyawa sulfur, saponins, glikosida syanogenik dan
glikosinolat (Suprapta, 2001). Senyawa tersebut merupakan metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh tumbuhan melalui metabolisme sekundernya.
2.5 Tanaman Sirih (Piper betle L.) kultivar Beleng
Tanaman Beleng (Bahasa Bali) sering juga disebut degan nama base-base,
base alas atau kakap. Semua nama tersebut mengindikasikan bahwa tanaman
tersebut bukan sirih yang telah dikenal oleh masyarakat luas. menyebutkan
varietasnya dengan nama Beleng sesuai dengan nama yang diberikan oleh
masyarakat Bali secara kebanyakan.
Menurut Moeljanto dan Mulyono (2003), daun sirih mengandung minyak
atsiri yang terdiri dari betlephenol, kavikol, seskuiterpen, hidroksikavikol, cavibetol,
estragol, eugenol dan karvakrol. Selain itu, juga mengandung enzim diastase, gula
dan tanin. Biasanya daun sirih muda mengandung diastase, gula dan minyak atsiri
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
76
lebih banyak dibandingkan dengan daun sirih tua. Heyne (1987) mengatakan bahwa
sepertiga dari minyak atsiri dalam daun sirih terdiri dari fenol dan sebagian besar
dari fenol tersebut adalah kavikol. Kavikol ini memberikan aroma khas sirih dan
memiliki daya pembunuh bakteri lima kali daripada fenol biasa.
Kandungan fenol pada tanaman dapat menahan serangan jamur, tetapi
ketahanan ini bersifat khas pada jamur tertentu (Robinson, 1995). Sifat anti mikroba
pada sirih dihasilkan oleh senyawa-senyawa yang terdapat pada sirih tersebut.
Adanya fenol dalam suatu bahan dapat menyebabkan lisis pada sel mikroba (Yanti
et al., 2000).
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Pendidikan Biologi
IKIP PGRI Bali. Bahan yang digunakan adalah daun sirih kulitvar Beleng, jamur F.
oxysporum f. sp. vanillae, media Komada, media PDA dan beberapa zat kimia yaitu
methanol pro analisis, aceton, n-heksana, etil asetat, alkohol 70% dan aquadest. Alat
yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Laminar flow, pisau, sprayer, jarum
ose, lampu spritus, aluminum foil, gelas ukur, tabung reaksi, timbangan, piring Petri,
vacuum rotary evaporator dan alat fraksinasi.
Jamur F. oxysporum f. sp. vanillae diisolasi dari batang vanili yang
terinfeksi penyakit busuk batang. Bagian batang diambil, kemudian dicuci dan
disterilkan dengan alkohol 70%. Selanjutnya dalam laminar flow dilakukan
pemotongan kurang lebih 1 cm pada bagian perbatasan, dibelah dua secara
membujur. Belahan kemudian dicelupkan dalam alkohol 70% lalu dicuci dalam air
steril. Potongan batang diinokulasikan pada piring Petri yang telah berisi media biak
selektif untuk jamur Fusarium yaitu media komada. Kultur diinkubasi dalam suhu
kamar selama lima hari.
Ekstraksi dilakukan pada daun tanaman Beleng yang telah bersih, dicincang
dan dikeringanginkan selama dua sampai tiga hari. Sebanyak 100 g dari bahan
kering tersebut dimaserasi di dalam 1 liter methanol pada suhu kamar selama 48 jam
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
77
dengan tujuan untuk menarik zat aktif pada bahan yang akan diujikan pada jamur
patogen. Filtrat diperoleh dengan penyaringan rendaman daun Beleng melalui dua
lapis kain kasa dan kertas saring Whatman No.2, kemudian diuapkan dengan
menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 400C, sehingga diperoleh ekstrak
kasar. Ekstrak kasar ini siap diujikan pada jamur F. oxysporum f.sp. vanillae
3.1 Pengujian Pengaruh Ekstrak Sirih Kultivar Beleng terhadap
Pertumbuhan Koloni Jamur F . oxysporum f. sp. vanillae
Pengujian pertumbuhan koloni jamur pada konsentrasi ekstrak yang
berbeda, dilakukan pada media PDA dengan cara sebagai berikut : Ekstrak sirih
kultivar Beleng diencerkan dengan solven etil asetat dan tween 80 (2,5%) dengan
perbandingan 1 : 3 menjadi 1%, 2%, 3%, 4%, 5%, 6% 7% dan kontrol 0%. Ekstrak
sirih kultivar Beleng diambil dengan mikropipet sebanyak 0,5 ml dan dituangkan ke
dalam piring Petri steril, selanjutnya ditambahkan 10 ml PDA yang masih encer
(suhu 45-500C) sehingga konsentrasi ekstrak menjadi 0,05%, 0,1%, 0,15%, 0,2%,
0,25%, 0,3%, 0,35%. Piring Petri digoyang simultan sampai merata dan dibiarkan
sampai padat. Jamur F.oxysporum f.sp. vanillae yang telah dibiakkan dalam piring
Petri dan telah berumur dua hari, diambil dengan cork borer dengan diameter 5 mm
selanjutnya diletakkan pada bagian tengah media, diinkubasi pada suhu kamar.
Sebagai kontrol digunakan media PDA yang ditambah solven etil asetat : tween 80
(2,5%) = 1 : 3. Pengujian dilakukan tiga kali ulangan pada setiap konsentrasi
ekstrak.
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan koloni jamur dengan
mengukur diameter koloni mulai pada hari kedua sampai hari ke 11. Aktivitas anti
jamur ditentukan dengan menghitung daya hambat terhadap pertumbuhan jamur
(Rusni,2004) dengan rumus :
Diameter koloni kontrol – Diameter koloni perlakuan
Daya hambat = x100%
Diameter koloni kontrol
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
78
3.2 Pengujian Kemampuan Ekstrak Sirih Kultivar Beleng untuk Menekan
Infeksi Patogen
Batang vanili yang sehat dicuci, disterilkan dengan alkohol 70% dan air
steril, selanjutnya dipotong dengan ukuran kurang lebih 1,5 cm. Potongan batang
tersebut dimasukkan dalam piring Petri yang berisi 30 ml media PD Broth, suspensi
jamur 200 l dengan kepadatan 2.580 cfu/ml dan ekstrak 500 l dengan konsentrasi
1%, 2%, 3%, 4% dan 5% sehingga konsentrasi akhir menjadi 0,017%; 0,033%;
0,050%; 0,067% dan 0,083%. Kontrol sakit tidak ditambahkan ekstrak tetapi
diinokulasikan patogen . Pada eksperimen juga dibuat kontrol sehat yaitu batang
vanili, tanpa diinokulasikan jamur dan tanpa ekstrak.
3.3 Pengujian Mekanisme Penghambatan Pertumbuhan Jamur oleh Ekstrak
Sirih Kultivar Beleng
Pengujian mekanisme penghambatan pertumbuhan jamur oleh ekstrak
kasar, diuji dengan menumbuhkan spora pada media PD Broth selama lima hari.
Suspensi jamur disaring dengan kertas saring Whatman No.2. Dengan penyaringan
tersebut, spora akan lolos saringan dan ditampung dalam bekker glass. Selanjutnya
mekanisme penghambatan oleh ekstrak kasar diuji terhadap perkecambahan spora
dan pembentukan spora.
Pengujian pada perkecambahan spora dilakukan dengan menginokulasikan
200 l suspensi spora dengan kepadatan 1.290 x 103 cfu/ml pada 1 ml media PD
Broth dalam tabung reaksi, ditambahkan 100 l ekstrak dengan variasi konsentrasi
ekstrak menjadi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4% dan 0,5%. Setiap konsentrasi dibuat
tiga kali ulangan. Kerapatan spora pada saat inokulasi dihitung dengan
haemositometer. Setelah inkubasi 24 jam pada suhu kamar, jumlah spora yang
berkecambah dihitung dengan haemositometer. Spora yang berkecambah ditandai
dengan terbentuknya tabung kecambah, yaitu bagian pertama dari miselium yang
dapat mempenetrasi tubuh inang (Agrios, 1988).
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
79
Pengujian pada pembentukan spora dilakukan dengan menginokulasi 200
l suspensi spora dengan kepadatan 1.290 x 103 cfu/ml pada 10 ml media PD Broth
dalam piring Petri, ditambahkan 500 l ekstrak dengan variasi konsentrasi ekstrak
menjadi 0%, 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, dan 0,5%. Setiap konsentrasi dibuat tiga kali
ulangan. Setelah inokulasi 48 jam pada suhu kamar dilakukan penghitungan jumlah
spora yang terbentuk. Penghitungan spora diteruskan sampai lima hari pengamatan.
Fraksinasi Komponen Aktif dengan Kromatografi
Ekstrak kasar yang telah menunjukkan aktivitas fungisida selanjutnya
difraksinasi dengan kromatografi kolom dengan panjang 60 cm dan diameter 3 cm
Sebanyak 20 g ekstrak kasar dilarutkan dalam aceton, ditambahkan silika gel (wako
gel C-300, partikel size 40-75 m) lalu dievaporasi sampai remah. Ekstrak kasar
yang telah berbentuk kristal dimasukkan ke dalam kolom yang panjangnya 60 cm
dengan diameter 3 cm, kemudian dilanjutkan dengan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT) dengan plat KLT berukuran 10 x 10 cm (Keisal Gel 60 F 254). Eluen yang
digunakan sebagai pengembang adalah heksan : aceton = 2 : 3
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengujian Aktivitas Anti Jamur Ekstrak Daun Beleng terhadap
Pertumbuhan Koloni Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
Ekstrak kasar daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan koloni jamur
F. oxysporum f.sp. vanillae pada media PDA. Daya hambat ekstrak kasar daun
Beleng disajikan pada Tabel 1.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
80
Tabel 1. Daya Hambat Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Koloni Jamur
Fusarium oxysporum f.sp.vanillae pada Media PDA
Konsentrasi
Ekstrak (%)
Diameter koloni pada hari
terakhir (mm) Daya hambat (%)
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
85,00 ± 0,82
80,00 ± 0,82
71,00 ± 2,83
61,67 ± 2,36
50,33 ± 4,12
30,00 ± 4,08
14,33 ± 2,62
0,00
0,00
5,88
16,47
27,45
40,79
64,71
83,14
100,00
Berdasarkan tabel 1 nampak bahwa makin tinggi konsentrasi ekstrak,
pertambahan diameter koloni jamur semakin kecil atau daya hambat ekstrak
terhadap pertumbuhan koloni jamur F. oxysporum f.sp. vanillae semakin besar.
Daya hambat 100% terhadap pertumbuhan jamur F. oxysporum f.sp. vanillae terjadi
pada konsentrasi ekstrak 0,25%, 0,30% dan 0,35%.
Koloni jamur yang tidak tumbuh pada media PDA telah dicoba
dipindahkan ke media PDA yang baru tanpa ekstrak setelah pengamatan berakhir.
Koloni jamur Fusarium tersebut akhirnya tumbuh. Data ini menunjukkan bahwa
ekstrak daun Beleng bersifat fungistatik, yaitu hanya menekan pertumbuhan jamur,
tidak bersifat membunuh jamur (fungitoksik).
4.2 Pengujian Aktivitas Anti Jamur Ekstrak Daun Beleng pada Bagian
Tanaman terhadap Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
Ekstrak kasar daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan jamur F.
oxysporum f.sp. vanillae pada potongan batang vanili yang direndam dalam media
PD Broth. Makin tinggi konsentrasi ekstrak, intensitas serangan jamur terhadap
potongan batang vanili semakin kecil (Tabel 2).
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
81
Tabel 2 Aktivitas Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan Fusarium
oxysporum f.sp. vanilla pada potongan batang vanili dalam Media PD
Broth
Hari
ke
Konsentrasi ekstrak
0%
(kontrol
sehat)
0%
(kontrol
sakit)
0,017% 0,033% 0,050% 0,067% 0,083%
1
2
3
4
5
-
-
-
-
-
+
+ +
+ + +
+ + +
+ + + +
-
+
+ +
+ + +
+ + +
-
+
+ +
+ + +
+ + +
-
+
+ +
+ + +
+ + +
-
-
+
+ +
+ +
-
-
-
+
+
Keterangan :
(-) = jamur tidak tumbuh pada batang atau pada media
(+) = jamur tumbuh pada permukaan potongan batang panili
(++) = jamur tumbuh mengelilingi seluruh batang
(+++) = jamur tumbuh pada media
(++++) = jamur tumbuh memenuhi media
4.3 Mekanisme Penghambatan Ekstrak Daun Beleng terhadap Pertumbuhan
Jamur Fusarium oxysporum f.sp. vanillae
Ekstrak kasar daun Beleng mampu menekan pertumbuhan jamur F.
oxysporum f. sp. vanillae melalui penghambatan perkecambahan spora dan
penghambatan pembentukan spora pada media PD Broth (Tabel 3).
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
82
Tabel 3. Perkecambahan Spora dan Pembentukan Spora Jamur Fusarium
oxysporum f.sp. vanillae pada Media PD Broth dan Ekstrak Daun
Beleng
Konsentrasi
(%)
Kerapatan Spora
yang
berkecambah
(x103/ml )
Daya Hambat
terhadap
perkecambahan
spora (%)
Kerapatan spora
yang terbentuk
(x103/ml)
Daya hambat
terhadap
pembentukan
spora (%)
0,0
0,1
0,2
0,3
0,4
0,5
650 ± 8,16
580 ± 14,14
220 ± 16,73
110 ± 14,14
30 ± 8,16
0,00
0,00
10,77
66,15
83,08
95,38
100,00
5.053 ± 14,46
2.450 ± 40,82
913 ± 26,25
433 ± 30,91
146 ± 12,49
0,00
0,00
51,51
81,93
91,43
97,11
100,00
Keterangan : Pengamatan dilakukan selama lima hari terhadap tiga kali ulangan
pada setiap konsentrasi
Perhitungan daya hambat dilakukan pada data hari kelima
Kerapatan spora awal : F. oysporum f.sp. vanillae : 20 x 103 spora /
ml
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak yang
berbeda, jumlah spora yang berkecambah juga berbeda. Penghambatan
perkecambahan spora dimulai dari konsentrasi ekstrak 0,1%. Makin tinggi
konsentrasi ekstrak, jumlah spora yang berkecambah makin kecil, ini berarti ekstrak
daun Beleng mampu menghambat perkecambahan spora jamur Fusarium.
Pengamatan yang dilakukan setelah 24 jam, dalam konsentrasi ekstrak 0,4% spora
tidak berkecambah,
Spora yang berkecambah akan membentuk miselia, kemudian miselia
membentuk spora kembali. Data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa
pembentukan spora juga dihambat oleh ekstrak daun Beleng. Makin tinggi
konsentrasi ekstrak, spora yang terbentuk semakin sedikit. Pada konsentrasi 0,4 %
kerapatan spora yang terbentuk 0, karena tidak terjadi pembentukan miselia baru.
Perkecambahan spora dan pembentukan spora dari miselia merupakan bagian
penting pada perkembangbiakan jamur, terutama jamur Fusarium yang tergolong
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
83
fungi imperfecti yaitu jamur yang belum diketahui perkembangbiakan secara
generatifnya. Suprapta et al. (2006) mengatakan bahwa penghambatan pembentukan
spora adalah salah satu mekanisme penghambatan pertumbuhan dan perkembangan
jamur.
Tanaman Beleng merupakan salah satu varietas dari tanaman sirih, oleh
karena itu kandungan senyawa kimia daun Beleng secara kualitatif sama dengan
daun sirih. Menurut Eykman (1885) dalam Heyne (1987), bahwa sepertiga dari
minyak atsiri daun sirih terdiri dari fenol dan sebagian besar berupa kavicol. Kavicol
ini memberikan aroma khas pada sirih dan memiliki daya bunuh bakteri lima kali
daripada fenol biasa. Menurut Burkill (1953) dalam Yanti et al. (2000), dinyatakan
bahwa dalam minyak atsiri daun sirih terdapat campuran fenol dan terpen. Di antara
fenol yang ada, eugenol merupakan jumlah terbesar pada daun sirih yang terdapat di
India, sedangkan senyawa yang banyak terdapat pada daun sirih di Siam dan Jawa
adalah fenol betel dan kavicol. Kandungan fenol pada suatu tumbuhan dapat
menahan serangan jamur, tetapi ketahanan ini bersifat khas pada jamur tertentu
(Robinson, 1995).
Senyawa fenol yang dapat meracuni patogen selalu terdapat dalam
tumbuhan baik yang sehat maupun yang sakit. Sintesis dan akumulasi senyawa
tersebut dipercepat setelah terjadinya infeksi. Senyawa fenol teroksidasi menjadi
Quinon oleh enzim Polifenoloksidase yang dihasilkan oleh patogen. Quinon yang
terjadi mengalamai polimerisasi menjadi pigmen cokelat mengarah pada reaksi
hipersensitif yang mengakibatkan hilangnya permeabilitas membran sel,
meningkatnya respirasi, akumulasi dan oksidasi senyawa fenol serta pembentukan
fitoaleksin (Semangun, 2001). Dengan demikian senyawa Quinon sering lebih
beracun bagi mikroorganisme dibandingkan dengan fenolnya sendiri (Agrios, 1988).
Fraksinasi Komponen Aktif dengan Kromatografi
Fraksinasi dengan kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis
dihasilkan 15 fraksi. Fraksi VI membentuk tiga spot dengan nilai Rf berturut-turut
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
84
sebesar 0,35; 0,55; dan 0,78, menunjukkan aktivitas yang positif terhadap jamur F.
oxysporum f.sp. vanillae
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat dibuat simpulan sebagai berikut :
1. Ekstrak daun Beleng mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum f.
sp. vanillae.
2. Fraksi VI yang terdiri atas tiga kelompok senyawa dengan nilai Rf 0,35; 0,55
dan 0,78 mampu menghambat pertumbuhan jamur F. oxysporum f. sp. vanillae.
3. Mekanisme aktivitas anti jamur ekstrak daun Beleng terhadap jamur F.
oxysporum f. sp. vanillae terjadi melalui penghambatan perkecambahan spora,
pembentukan spora dan pertumbuhan koloni.
5.2 Saran
1. Tanaman Beleng memiliki fungsi yang sama seperti tanaman sirih sebagai
bahan fungisida nabati, maka perlu dibudidayakan sebagai tanaman sela pada
perkebunan.
2. Perlu dilakukan pengujian ekstrak kasar daun Beleng terhadap jamur F.
oxysporum f. sp. vanillae di lab kaca atau di lapangan, sehingga peranannya
secara nyata dapat bermanfaat untuk penanggulangan penyakit tanaman yang
bersifat ramah lingkungan
3. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui jenis senyawa aktif yang
terkandung dalam daun Beleng.
DAFTAR RUJUKAN
Agrios, G.N. 1988. Plant Pathology. San Diego, California : Academic Press.
Inc.803p.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
85
Borges, A. A, A. Borges-Perrez, M. Fernandez-Falcon. 2004. Induced Resistance to
Fusarial Wilt of Banana by Menadione Sodium Bisulphite Treatments.
Crop Protection 23 : 1245-1247.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. Jakarta : Yayasan Sarana
Wana Jaya. 631 h.
Kardinan, A. 2005. Pestisida Nabati Ramuan & Aplikasi. Jakarta : Penebar
Swadaya. 88 h.
Moeljanto, R. D. dan Mulyono. 2003. Khasiat & Manfaat Daun Sirih Obat Mujarab
dari Masa ke Masa. Jakarta : Agromedia Pustaka. 77 h.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Bandung : ITB. 367 h.
Rustini, N. L. 2004. Aktivitas Fungisida Ekstrak Rimpang Dringo (Acorus calamus
L.) Terhadap Jamur Botryodiplodia theobromae Penyebab Penyakit
Busuk Buah Pisang (tesis). Denpasar : Universitas Udayana. 50 h.
Salleh, B. 1989. Perkembangan Mutakhir Penelitian Fusarium di Kawasan Tropika,
Naskah Lengkap Kongres Nasional X dan Seminar Ilmiah
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Denpasar. Denpasar 14 – 16
Nopember 1989 :11 – 18.
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta : PT Rineka Cipta. 274
h.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura Di Indonesia.
Yogyakarta : Gajah Mada University Press. 850 h.
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press. 754 h.
Sudana, I M. 2004. Identifikasi Patogen Penyebab Penyakit Layu Pisang dan
Tingkat Patogenesitasnya Pada Beberapa Jenis Pisang Lokal Bali.
Agritrop 23 :82-87.
Suprapta, D. N. 2001. Senyawa Antimikroba dan Pertahanan Tumbuhan Terhadap
Infeksi Jamur. Agritrop. 20 : 52-55.
Suprapta, D. N., I G. A. N. A. Suwari, N. Arya and K. Ohsawa. 2002. Pometia
pinnata Leaves Extract to Control Late Blight Disease of Tomato.
Journal of ISSAAS 8 : 31-36.
Suprapta, D. N., I B.G. Darmayasa, N. Arya, I G. R. M. Temaja and K. Ohsawa.
2003. Bacterial Activity of Spaeranthus indicus Extract against
Ralstonia solanacearum in Tomato. Journal of ISSAAS. 9 : 69-74.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
86
Suprapta, D.N., M. Subrata, K. Siadi, I.G.A. Rai, F. Tunnisa and K. Ohsawa. 2006.
Fungicidal Activity of Extract of Several Piperaceae Plants against
Fusarium oxysporum f.sp. vanillae. Academic Frontier Research
Centre, Tokyo University of Agriculture. 44-52.
Yanti, R., Suyitno dan E. Harmayani. 2000. Identifikasi Komponen Ekstrak Sirih
(Piper betle Linn.) Dari Beberapa Pelarut dan Pemanfaatannya Untuk
Pengawetan Ikan. Agrosains. 13 : 239-250.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
87
PEMBELAJARAN DONGENG KOALISI I LUTUNG
DENGAN I MACAN MENUMBUHKAN SIKAP ILMIAH
DAN PENDIDIKAN KARAKTER PADA SISWA
By
I Wayan Suanda
FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Fables are stories that inspire people in closer between parent and children,
while inserting lesson and preservation of cultural manners. In school, learning
stories can also provide attraction to students to pay attention and from a scientific
attitude and to improve the character of students. In this paper described “Fairy tale
with a coalition of a monkey that can grow tiger scientific attitude and character of
students”.
Of this fairy tale, comes innovative idea and creative students to prove fairy
tales through simple scientific research. In this paper emphasized at trial that the
applicable leaf (Artocarpus elastica) do not want to be eaten by termites
(Macrotermes gilvus (Hagen)).
Termite is cellulose-eating insects that are dangerous to buildings made of
materials containing cellulose such as wood and wood derived products. Termite
rest control efforts so far have focused on the use of synthetic insecticides in
excessive and less selective toward the target, giving rise to side effect such as
resistance, harmful to the user and environmental pollution, it should be pursued to
find a way control pest termites (M. gilvus (Hagen)) is safe for the environment.
Purpose of making this work is to develop scientific attitude and character as
well as on students, cultural preservation. Through myth and evidence of learning
with a simple experiment insecticidal activity of leaf extract applicable (A. elastica)
of the termite pest (M. gilpus (Hagen)).
The results showed that the leaf extract applicable (A. elastica) has
insecticidal activity against pest termites (M. gilvus (Hagen)) with properties that
reduce appetite antifidant of insects termites.
Keywords : Fable, Scientific Attitude, Character Education, Arranging Leaf extract,
Termites
I. Latar Belakang Masalah
Dongeng merupakan cerita rakyat yang tumbuh subur di bumi Nusantara ini
hingga tahun 1970-an. Saat itu dongeng dijadikan media pendidikan antara orang
tua dengan anaknya, antara guru dengan siswa di sekolah. Melalui dongeng orang
tua dan guru memasukkan pendidikan yang menekankan unsur sikap dan perilaku
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
88
berupa budi pekerti yang baik. Cara seperti ini akan memudahkan pelajaran
diterima, sehingga mudah dimengerti oleh peserta didik.
Nusantara ini sangat kaya dengan cerita rakyat berupa dongeng dan ada
beberapa dongeng yang sampai saat ini masih dikenal dan dijadikan tuntunan hidup
di masyarakat, sehingga dipelihara dan dilestarikan sebagai warisan budaya. Seperti
dongeng Malinkundang, I Bawang dan I Kesuna, dongeng Tangkuban Perahu dari
Jawa Barat, dongeng Lutung Kesarung dari Jawa Timur serta dongeng I Lutung
dengan I Macan, I Kancil dengan I Kakul dan masih banyak dongeng yang lainnya.
Berbekal dari pengalaman itu maka penulis sebagai guru Pembina
ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMP Ganesha Denpasar, dalam proses
pembelajaran ekstrakurikuler KIR juga memberikan cerita berupa dongeng
”KOALISI I LUTUNG DENGAN I MACAN”. Dalam cerita dongeng ini
dikisahkan I Lutung (bangsa Kera) dan I Macan (bangsa Harimau) berteman sangat
baik, sehingga muncul keinginan untuk membuat suatu persatuan yang dinamakan
Koalisi. Koalisi yang terbangun sangat rekat dan saling pengertian, namun
belakangan menjadi kurang kondusif, yang diawali dengan hadiah seekor penyu
yang diperoleh dari suatu sayembara. Hadiah tersebut kemudian disembelih menjadi
sate untuk merayakan kemenangangan dalam sayembara. Pembuatan sampai
pembagian sate penyu inilah yang menjadi bibit keretakan dalam kelangsungan
koalisi.
Keretakan mulai nampak kepermukaan setelah sate penyu itu matang (siap
dimakan), sate tersebut semuanya dibawa oleh I Lutung ke atas pohon Terap besar,
sambil memakannya satu persatu sampai habis. Sementara I Macan dengan
keterbatasannya yaitu tidak bisa memanjat pohon, hanya berada di bawah pohon
sambil menunggu belas kasihan I Lutung, namun impian I Macan menikmati sate
penyu tidak pernah kesampaian dan ia menjadi geram namun tetap sabar dan
mengalah. Namun I Lutung tetap tutup telinga dan tutup mata serta pikiran menjadi
gelap tanpa menghiraukan tuntutan I Macan.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
89
Pada suatu ketika, tiupan angin mamiri yang sepoi-sepoi basa menyebabkan I
Lutung ngantuk dan tertidur nyenyak dengan mimpi indahnya, maka pada saat itu
pula I Macam mengaum dengan nada menggeletar, seolah-olah pohon ikut terkejut,
sehingga I Lutung tanpa sadar jatuh ke bawah pohon dan langsung dihampiri oleh I
Macan. Saat itu I Lutung yang dalam keadaan bahaya dan terjepit, dengan akal
muslihatnya secepat kilat berkata, ampun I Macan, beribu ampun, saya salah dan
menyesal, mari kita rajut pertemanan yang lebih akrab dan lebih bermoral serta
berkarakter diucapkan dengan nada manis, sehingga I Macan tidak jadi marah dan
memaafkan, sehingga tidak jadi membunuh I Lutung dan hanya mengikat I Lutung
dengan tali pada pohon, sehingga tidak bisa berkutik. Akal dan tipu muslihat yang
dimiliki, I Lutung berteriak minta tolong agar bisa lepas dari jeratan tali, dengan
janji-janji manis yang pro pada semua kehidupan di bumi dan berjanji memberikan
hadiah yang sangat menarik serta gratis ini dan gratis itu. Ternyata jeritan itu
didengar oleh bangsa Rayap (Macrotermes gilvus (Hagen)) (Tetani = bahasa Bali).
Rayap pun mendekat untuk membantu melepaskan I Lutung dari ikatan tali. Bangsa
Rayap dengan hati yang tulus secara bergotong royong memakan tali pengikat
hingga putus. Setelah lepas dari ikatan tali, I Lutung yang memiliki akal jahat dan
tidak berkarakter tersebut, langsung mengobrak abrik bangsa Rayap dengan
memakannya, tentu saja bangsa Rayap lari untuk menyelamatkan diri, namun tetap
dikejar sampai jauh.
Di suatu tempat ada daun Terap (Artocarpus elastica), dan di sinilah
beberapa rayap itu bersembunyi sambil meminta bantuan agar dilindungi supaya
tidak diketahui oleh I Lutung, sambil berjanji bahwa bangsa rayap beserta
keturunannya kelak tidak akan berani memakan daun terap beserta kayunya untuk
selama-lamanya. Berdasarkan cetrita itu, penulis selaku guru pembina KIR
mengatakan daun terap tidak berani dimakan oleh bangsa rayap, mari kita buktikan
cerita tersebut melalui percobaan ilmiah, sehingga menjadi suatu teori baru.
Pengalaman baru juga diberikan oleh guru Pembina KIR, yaitu siswa diajak
melihat keranjang sampah yang di bagian dasarnya dialasi dengan daun terap.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
90
Ternyata daun Terap tidak sedikitpun termakan hama rayap, namun keranjang
sampah yang terbuat dari bambu itu menjadi indah akibat terukir oleh gigitan rayap,
hingga menjadi compang-camping, dan contoh lainnya yang juga pernah siswa lihat
di lingkungan tempat tinggalnya.
Cerita dongeng ini memberikan motivasi dan menumbuhkan sikap ilmiah
peserta didik, sebagai basis dari pelajaran KIR. Terbentuknya sikap ilmiah peserta
didik, mulai dari rasa ingin tahu, mencari masalah di lingkungan tempat tinggalnya
yang nanti diwujudkan dalam penelitian ilmiah sederhana, selanjutnya dibuat dalam
bentuk tulisan ilmiah.
B. Gagasan Kreatif dan Inovatif
Penulis yang menjadi pembina ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) di
SMP Ganesha Denpasar, selalu mengarahkan peserta didik untuk berpikir kreatif
dan inovatif dalam pembinaan KIR, melalui percobaan atau penelitian sederhana
pada beberapa permasalahan yang ada di lingkungan tempat tinggal. Dari
ektrakurikuler KIR ini dapat memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk
mengembangkan potensi yang dimiliki yang dilandasi oleh rasa ingin tahu dan
kreatif yang dicobakan berdasarkan langkah-langkah metode ilmiah, melalui
percobaan sederhana yang ramah lingkungan, namun bermanfaat bagi kehidupan
manusia.
Bentuk dari percobaan ini adalah membuktikan “Sumpah bangsa Rayap
terhadap daun Terap” yang diuraikan dalam cerita dongeng Koalisi I Lutung dengan
I Macan tersebut di atas. Melalui percobaan ini penulis ingin menghindari kerusakan
yang ditimbulkan oleh serangga Rayap (M. gilvus (Hagen)) pada perabot rumah
tangga melalui pengujian ekstrak tumbuh-tumbuhan, yaitu ekstrak daun Terap (A.
elastica).
Indonesia merupakan negara yang sangat subur, dengan keanekaragaman
jenis flora dan fauna yang memperkaya khazanah alam Indonesia. Diperkirakan
terdapat 100 sampai dengan 150 jenis family tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
91
Indonesia. Dari jumlah tersebut sebagaian besar tumbuh-tumbuhan mempunyai
potensi untuk dimanfaatkan sebagai tanaman industri, tanaman buah-buahan,
tanaman rempah-rempahan dan berpotensi sebagai bahan pestisida (pestisida
nabati). Pestisida secara umum adalah senyawa kimia yang digunakan untuk
membunuh organisme yang mengganggu atau merusak tanaman, dapat berupa jamur
(fungi), bakteri, maupun serangga. Pestisida yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan serangga pengganggu, disebut insektisida. Insektisida ada yang
berasal dari senyawa kimia, dikenal dengan insektisida sintetis, sedangkan
insektisida yang bahan dasarnya berasal dari metabolit sekunder tumbuh-tumbuhan,
sering disebut insektisida nabati.
Beberapa jenis tumbuh-tumbuhan tertentu memiliki suatu zat metabolit yang
dapat berupa racun, sehingga dapat digunakan sebagai bahan insektisida nabati
(Nasution, 1992). Tumbuh-tumbuahan yang berpotensi sebagai insektiisda nabati
diantaranya adalah tanaman tembakau, kenikir, pandan, kemangi, cabai rawit,
kunyit, bawang putih, gadung, sereh, brotowali dan lain-lain (Anonim, 2009).
Insektisida nabati secara umum diartikan sebagai suatu insektisida yang
bahan dasarnya berasal dari tumbuhan yang relatif mudah dibuat dengan
kemampuan terbatas. Oleh karena terbuat dari bahan alami atau nabati, maka jenis
insektisida ini bersifat mudah terurai (bio-degradable) di alam, sehingga tidak
mencemari lingkungan, dan relatif aman bagi manusia termasuk ternak peliharaan
karena residunya mudah hilang (Hutton and Reilly, 2001). Insektisida nabati adalah
bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang dapat digunakan
untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Insektisida ini dapat
berfungsi sebagai penolak, penarik, antifertilitas (pemandul), pembunuh dan bentuk
lainnya terhadap serangga.
Rayap (M. gilvus (Hagen)) merupakan golomgan serangga yang makanan
utamanya adalah kayu atau bahan yang terutama terdiri atas selulosa. Rayap (M.
Gilvus (Hagen)) merupakan salah satu serangga yang sering ditemukan di rumah,
terutama pada rumah yang dibangun di tempat yang dulunya lahan tersebut di
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
92
jadikan tempat pembuangan sampah (TPA) dan memiliki perabotan yang terbuat
dari bahan kayu, bisa juga dijumpai pada kayu dan sampah yang sudah lapuk. Dari
perilaku yang demikian maka Rayap (M. Gilvus (Hagen)) termasuk golongan
makhluk hidup perombak bahan mati, terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan.
rayap (M. Gilvus (Hagen)) tidak hanya memakan material dari tumbuh-tumbuhan
terutama kayu yang tidak bermanfaat bagi manusia, bahkan rayap (M. Gilvus
(Hagen)) kini sudah menjadi ancaman dan masalah besar bagi manusia, karena
sudah menjadi hama perusak bangunan dan perabotan rumah tangga berbahan kayu,
seperti mebeler, kusen, jendela, pintu, plapon rumah, rak buku dan yang lainnya
termasuk memberikan pemandangan yang kumuh pada sudut tembok rumah berupa
hamparan bercak tanah pada bagian yang dilalui hama rayap ini.
Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang pernah dilakuakan Suanda
(2002), dengan menguji beberapa ekstrak dari tumbuh-tumbuhan untuk
mengendalikan serangga Plutella xylostella yang merupakan hama tanaman kubis.
Dari latar belakang tersebut, maka penulis ingin meneliti manfaat ekstrak daun
Terap (Artocarpus. elastika) sebagai bahan insektisida nabati terhadap hama rayap
(Macrotermes gilvus).
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Setiap aktivitas atau kegiatan yang dilakukan tentunya memiliki tujuan,
karena tujuan merupakan pedoman dalam pelaksanaan suatu kegiatan. Adapun
tujuan dalam penulisan ini adalah untuk:
a. Menumbuhkan sikap ilmiah peserta didik melalui kegiatan penelitian
sederhana
b. Membentuk karakter peserta didik melalui pembelajaran dongeng Koalisi I
Lutung dengan I Macan.
c. Membuktikan “Mitos” cerita dongeng, dalam bentuk metode ilmiah,
berupa percobaan sederhana.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
93
2. Manfaat Penulisan
Apabila dari penerapan pembelajaran dongeng koalisi I Lutung dengan I
Macan dapat menumbuhkan karakter peserta didik serta hasil percobaan ini
menunjukkan hasil yang signifikan (sangat nyata), maka dapat bermanfaat baik
dari segi teoritis maupun praktis.
a. Dari segi teoritis, penerapan pembelajaran dongeng dapat menumbuhkan
karakter dan sikap ilmiah peserta didik, serta hasil penelitian ini dapat
menambah teori dan khazanah ilmu pengetahuan peserta didik, khususnya
materi pelajaran tentang lingkungan dan kehidupan serangga rayap dalam
pembelajaran IPA.
b. Dari segi praktis, hasil penelitian ini dapat melatih peserta didik dan guru
untuk berpikir kreatif, inovatif dan kritis serta analitis dan berkarakter
dengan kegiatan penelitian melalui pemecahan masalah sederhana,
memberikan pengalaman riset sederhana yang sangat bermanfaat bagi
peserta didik, guru dan masyarakat.
II. TELAAH PUSTAKA
A. Pendidikan Karakter
Untuk menjaga proses pembelajaran di kelas agar tetap berlangsung dengan
baik dan bermakna, maka perlu diberikan pembelajaran yang mampu menarik
perhatian peserta didik, yang lebih dikenal dengan “PAIKEM GEMBROT‟ yang
artinya Pembelajaran, Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Menyenangkan, Gembira
tetapi Berbobot, dengan memberi selingan ceritera atau dongeng. Melalui
ceritera/dongeng tersebut peserta didik tersentuh jiwanya terhadap keagungan Sang
Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), yang adil dan selalu berpihak kepada orang yang
rajin bekerja, rajin belajar, memiliki moral yang baik, bersikap santun, berjiwa jujur,
memiliki rasa pengabdian, peduli kepada sesama, mau mengalah, memaafkan
kesalahan teman dan sederet perbuatan baik lainnya, yang sekarang lebih popular
dengan “Pendidikan Karakter”. Tersentuhnya jiwa dan pikiran peserta didik melalui
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
94
pembelajaran dongeng ini, niscaya dapat berimbas kepada pembentukan karakter
pada peserta didik.
Pada tulisan ilmiah ini penulis ingin menceritakan perilaku yang ditunjukkan
oleh binatang dalam ceritera ini I Lutung dengan I Macan. Dimana I Lutung sebagai
binatang yang cerdas, namun karakternya kurang bermoral dan kurang beretika,
sedangkan I Macan disimbulkan sebagai binatang kuat, namun dia menunjukkan
karakter yang bermoral, pemaaf dan beretika, karena dia tetap mengedepankan
persahabatan. Disamping itu penulis juga ingin menginformasikan bahwa dari
ceritera/dongeng ini selain pendidikan karakter yang bisa diserap juga memunculkan
penemuan ilmu pengetahuan baru sebagai teori untuk menghasilkan suatu produk
yang ramah lingkungan, seperti “Ekstrak Daun Terap sebagai Insektisida Nabati
terhadap Hama Rayap”
B. Rayap sebagai Hama Perusak Kayu
Masyarakat umum sudah mengenal bahwa Rayap adalah serangga yang
merugikan karena merusak (makan) kayu. Di seluruh dunia jenis-jenis Rayap yang
telah dikenal atau dideskripsikan dan diberi nama ada sekitar 2000 spesies
diantaranya 120 spesies merupakan hama, sedangkan di negara kita dari kurang
lebih 200 spesies yang dikenal baru sekitar 20 spesies yang diketahui berperan
sebagai hama perusak kayu serta hama hutan atau hama pertanian. Masyarakat
Indonesia juga sudah mengenal jenis-jenis serangga yang umum disebut Rayap.
Rayap merupakan serangga kecil berwarna putih pemakan selulosa yang sangat
berbahaya bagi bangunan yang dibuat dengan bahan-bahan yang mengandung
selulosa seperti kayu, dan produk turunan kayu (papan partikel, papan serat,
plywood, blockboard, dan laminated board). Rayap merusak bangunan tanpa
memperdulikan kepentingan manusia. Rayap mampu merusak bangunan gedung,
bahkan juga menyerang barang-barang yang disimpan. Untuk mencapai sasaran,
Rayap dapat menembus tembok yang tebalnya beberapa senti meter (cm),
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
95
menghancurkan plastik, dan kabel penghalang fisik lainnya (Nandika dan Farah
Diba, 2003).
Semula agak mengherankan para pakar bahwa Rayap mampu makan atau
menyerap selulosa karena manusia sendiri tidak mampu mencerna selulosa,
sedangkan Rayap mampu melumatkan dan menyerapnya sehingga sebagian besar
ekskremen (zat sisa) hanya tinggal lignin saja. Keadaan menjadi jelas setelah
ditemukan berbagai protozoa flagellata dalam usus bagian belakang dari berbagai
jenis Rayap (terutama Rayap tingkat rendah: Mastotermitidae, Kalotermitidae dan
Rhinotermitidae), yang ternyata berperan sebagai simbion untuk melumatkan
selulosa, sehingga Rayap mampu mencerna dan menyerap selulosa. Bagi Rayap
yang tidak memiliki protozoa seperti famili Termitidae, bukan protozoa yang
berperan tetapi bakteria. Beberapa jenis Rayap seperti Macrotermes, Odontotermes
dan Microtermes memerlukan bantuan jamur perombak kayu yang dipelihara di
kebun jamur dalam sarangnya.
1. Sistematika Rayap
Secara umum, ada 4 jenis Rayap yang berpotensi merusak bangunan
yaitu dari genus Macrotermes, Coptotermes, Macrotermes dan Cyrptotermes.
Diantara keempat jenis ini, hanya jenis Coptotermes sp. yang paling tangguh
dan mempunyai kecepatan merusak paling cepat. Menurut Tarumingkeng
(1990), kedudukan sistematika Rayap (M. gilvus Hagen) adalah:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Isoptera
Family : Termitidae
Genus : Makrotermes
Spesies : Macrotermes gilvus Hagen
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
96
Macrotermes Criptotermes
Microtermes Coptotermes
Gambar 1. Jenis-Jenis Rayap Perusak Kayu
2. Morfologi Rayap
Rayap merupakan serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang
disebut koloni. Komunitas tersebut bertambah efisien dengan adanya spesialisasi
(kasta) dimana masing-masing kasta mempunyai bentuk dan peran yang berada
dalam kehidupannya. Rayap memiliki tubuh yang lunak dengan warna putih dan
memiliki antena yang lurus dan berbentuk manik-manik. Dada dan perut rayap
bergabung dengan ukuran yang hampir sama. Individu Rayap yang bersayap disebut
Laron (sulung, alata, alates) memiliki sepasang sayap yang dalam keadaan diam
sayap diletakkan datar pada abdomen. Cara melipatnya memanjang dan lurus ke
belakang. Sayap depan dan belakang memiliki bentuk, ukuran dan pola pertulangan
yang sama (Nandika dan Farah Diba, 2003).
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
97
Gambar 2. Pembagian Kasta pada Koloni Rayap
C. Perkembangbiakan Rayap
Seperti serangga pada umumnya, rayap merupakan individu seksual yang
terdiri dari rayap jantan yang disebut raja dan rayap betina yang disebut ratu. Proses
reproduksi terjadi di pusat sarang dimana ratu yang mampu hidup sampai 25 tahun
dapat menghasilkan telur hingga jutaan telur pertahun. Ratu mengetahui dan dapat
mengatur individu rayap yang harus dilahirkan sesuai kebutuhan koloninya.
Pejantan atau raja bertanggung jawab untuk membuahi sang ratu. Rayap mengalami
fase-fase pertumbuhan atau metamorfosis. Metamorfosis adalah perubahan yang
terjadi dari telur hingga dewasa. Rayap mengalami metamorfosis tak sempurna atau
hemimetabola yang melalui stadium-stadium seperti berikut:
a. Telur
b. Nimfa, adalah serangga muda yang mempunyai sifat dan bentuk yang sama
dengan dewasanya. Dalam fase ini rayap mengalami pergantian kulit.
c. Imago atau dewasa, adalah fase yang ditandai telah berkembangnya semua organ
tubuh dengan baik, termasuk alat perkembangbiakan serta sayap bagi rayap
reproduktif.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
98
Gambar 3. Siklus Hidup Rayap
D. Tanaman Terap (A. elastica)
Pohon terap adalah sejenis pohon buah dari marga pohon nangka
(Artocarpus). Di Aceh pohon ini disebut Torop, di Jawa Barat disebut Teureup, di
Sunda disebut Benda atau Bendo, di Bali disebut Teep, di Malaysia disebut
Tekalong atau Terap.
Tumbuhan ini merupakan jenis pohon yang tingginya sedang sampai tinggi
sekali, dengan diameter pohon mencapai 45 – 125 cm, tumbuh dan tersebar hampir
di seluruh nusantara. Di Jawa pohon terap tumbuh liar pada ketinggian 1200 m dari
permukaan laut.
Gambar 4. Pohon Terap (A. elastica).
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
99
1. Sistematika Tanaman Terap (A. elastica)
Menurut Heyne (1987), kedudukan sistematika pohon terap adalah:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Morales
Famili : Moraceae
Genus : Artocarpus
Spesies : Artocarpus elastica
2. Kandungan Kimia
Penelitian mengenai kandungan kimia tanaman ini belum banyak
dilakukan sehingga kandungan kimianya masih belum diketahui.
Gambar 5. Daun dan Buah Terap (A. elastica)
E. Insektisida Nabati
Indonesia terkenal kaya akan keanekaragaman hayati termasuk jenis
tumbuhan yang mengandung bahan aktif pestisida (Suanda, 2002). Tumbuh-
tumbuhan mempunyai sifat istimewa yaitu kemampuannya untuk mensintesis
sejumlah besar molekul organik sekunder atau bahan alami melalui metabolisme
sekunder dari bahan organik primer seperti : karbohidrat, lemak dan protein
(Suanda, 2002). Informasi hasil penelitian mengenai jenis tumbuh-tumbuhan ini
sangat diperlukan, sejalan dengan semakin nyatanya bahaya insektisida sintetis
terhadap kehidupan manusia dan kerusakan lingkungan, maka para peneliti kembali
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
100
ke alam (back to natural) mencari dan meneliti beberapa tanaman yang berpotensi
sebagai insektisida nabati. Tersedianya kekayaan dan keanekaragaman hayati
Indonesia yang cukup, peraturan pendaftaran pestisida alami yang sederhana serta
tersedianya berbagai teknologi sederhana merupakan peluang yang besar untuk
mengembangkan pestisida alami di Indonesia (Suprapta, 2001).
Insektisida nabati memiliki kelebihan tertentu yang tidak dimiliki oleh
insektisida sintetik. Secara umum Pestisida alami diartikan sebagai suatu pestisida
yang bahan dasarnya berasal dari tumbuh-tumbuhan (Suanda, 2002). Pada umumnya
pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan masih mengandung senyawa
kompleks yang relatif kurang stabil terhadap lingkungan dibandingkan dengan
senyawa kimia sintetis. Jenis pestisida ini biasanya hanya terdiri dari C, H, O dan
kadang-kadang N yang mudah terdegradasi oleh alam dan relatif aman bagi
lingkungan (Kardinan,1999) Selain dampak negatif yang ditimbulkan pestisida
sintetik seperti resistensi, resurgensi dan terbunuhnya jasad bukan sasaran, dewasa
ini harga insektisida sintetik relatif mahal dan terkadang sulit untuk memperolehnya.
Di sisi lain ketergantungan akan pentingnya penggunaan insektisida cukup tinggi.
Hal ini menyebabkan orang terus mencari pestisida yang aman atau sedikit
membahayakan lingkungan serta mudah memperolehnya. Alternatif yang bisa diker-
jakan di antaranya adalah memanfaatkan tumbuhan yang memiliki khasiat
insektisida khususnya tumbuhan yang mudah diperoleh dan dapat diramu sebagai
sediaan insektisida.
F. Insektisida Sintetis dan Dampak yang Ditimbulkan
Beberapa dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia pada lahan
pertanian yang telah diketahui, diantaranya mengakibatkan resistensi hama sasaran,
gejala resurjensi hama, terbunuhnya musuh alami, meningkatnya residu pada hasil,
mencemari lingkungan, gangguan kesehatan bagi pengguna, bahkan beberapa
pestisida disinyalir memiliki kontribusi pada fenomena pemanasan global dan
penipisan lapisan ozon (Samsudin, 2008). Penelitian terbaru mengenai bahaya
pestisida terhadap keselamatan nyawa dan kesehatan manusia sangat
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
101
mencengangkan. WHO (World Health Organization) dan Program Lingkungan PBB
memperkirakan ada 3 juta orang yang bekerja pada sektor pertanian di negara-
negara berkembang terkena racun pestisida dan sekitar 18.000 orang diantaranya
meninggal setiap tahunnya.. Beberapa pestisida bersifat karsinogenik yang dapat
memicu terjadinya kanker. Berdasarkan penelitian terbaru dalam Environmental
Health Perspective menemukan adanya kaitan kuat antara pencemaran DDT pada
masa muda dengan menderita kanker payudara pada masa tuanya. Menurut NRDC
(Natural Resources Defense Council) tahun 1998, hasil penelitian menunjukkan
bahwa kebanyakan penderita kanker otak, leukemia dan cacat pada anak-anak
awalnya disebabkan tercemar pestisida kimia
III. METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan
Dalam kegiatan penelitian ini, adapun alat dan bahan yang diperlukan yaitu:
1. Alat
Alat yang diperlukan berupa: cawan petri, priok, kompor, pisau, timbangan
elektrik, sendok/spatula, Waskom plastik/beker glas, saringan/kain kasa,
kertas tissue, kuas gambar, kertas lebel dan alat tulis.
2. Bahan
Bahan yang diperlukan berupa: serangga Rayap, tanah, air aqua dan kayu
kering.
B. Penyediaan Bahan Ekstrak
Ektrak dibuat dari daun Terap (A. elastica) yang sudah tua yang diperoleh di
areal dekat tempat tinggal penulis yaitu di Br. Pitik Kelurahan Pedungan, Denpasar
Selatan. Daun Terap yang sudah tua di cuci bersih, kemudian dipotong-potong
menjadi bagian yang lebih kecil kira-kira 1 cm selanjutnya dikeringanginkan selama
2 jam. Daun Terap (A. elastica) tersebut ditimbang seberat 200 gram ditambahkan
air 1000 ml, selanjutnya dipanaskan pada suhu kamar (40o
C) selama 5 menit,
kemudian didinginkan. Air rebusan tersebut setelah dingin disaring dengan saringan
atau kain kasa, sehingga mendapatkan cairan berwarna kuning kemerahan (seperti
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
102
warna teh) yang diduga mengandung metabolit sekunder dari daun Terap (A.
elastica), selanjutnya disebut ekstrak kasar daun Terap (crude extrac) konsentrasi
20%. Ekstrak daun Terap tersebut di tuangkan pada beker gelas.
C. Pengujian Ekstrak Daun Terap terhadap Hama Rayap
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan secara eksperimental yang terdiri atas
dua variabel, yaitu variabel bebas (independen) dan variabel terikat (dependen).
Sebagai variabel bebas adalah aktivitas ekstrak daun Terap (A. elastica), sedangkan
variabel terikatnya berupa penurunan berat kayu yang dimakan oleh hama Rayap.
Penurunan berat kayu yang dimakan hama Rayap diperoleh dengan mengurangi
berat kayu awal dengan berat kayu setelah dimakan Rayap selama 48 jam pada
perlakuan kontrol (P0) dan perlakuan eksperimen (P1), kemudian hasil pengurangan
tersebut dibandingkan dengan selisih berat kayu perlakuan kontrol (P0) awal dengan
berat kayu yang dimakan Rayap setelah 48 jam, yaitu dengan mengurangi berat
kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan ekstrak daun Terap (P1) dengan berat
kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan kontrol (P0).
Hama Rayap diperoleh dan dikumpulkan dari kayu yang dimakan Rayap
sebanyak 200 ekor. Rayap tersebut dipelihara selama 2 hari dalam kardus berisi
makanan berupa kayu kering, tujuan untuk beradaptasi dengan lingkungan baru,
sehingga Rayap tersebut siap untuk dijadikan serangga uji.
Dalam kegiatan penelitian ini, penulis hanya menggunakan 2 perlakuan yaitu
perlakuan kontrol (P0) hanya menggunakan air (aqua) dan perlakuan eksperimen
(P1) menggunakan ekstrak daun Terap, yang masing-masing diulang sebanyak 3
kali, sehingga percobaan berjumlah 6, yaitu 3 perlakuan kontrol (P0) dan 3
perlakuan ekstrak (P1). Cawan petri yang sudah bersih disiapkan sebanyak 6 buah (3
cawan petri untuk P0 dan 3 cawan petri untuk P1). Pada masing-masing cawan petri
itu diisi tanah yang agak lembab untuk mengkondisikan Rayap sesuai habitat
hidupnya.
Kayu lapuk, ditimbang masing-masing beratnya 2 gram untuk 20 ekor Rayap,
sebanyak 6 kali sesuai percobaan pendahuluan yang pernah dilakukan Suanda,
(2010). Kayu tersebut dibagi untuk perlakuan kontrol dan perlakuan ektrak yang
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
103
masing-masing berjumlah 3 buah. Untuk perlakuan ekstrak (P1) kayu seberat 2
gram tersebut masing-masing dicelupkan ke dalam ekstrak daun Terap selama 5
detik, kemudian dikeringanmginkan selama 60 menit di atas kertas tissue,
sedangkan perlakuan kontrol (P0) masing-masing kayu hanya dicelupkan ke dalam
air (aqua). Setelah kering kayu tersebut masing-masing diletakkan dalam cawan
petri dengan memberi alas plastik bening pada kayu tersebut, dan memberi kertas
lebel pada masing-masing cawan petri. Selanjutnya pada masing-masing cawan petri
diinvestasikan (dimasukkan) serangga Rayap sebanyak 120 ekor dipilih yang
memiliki ukuran sama dan sehat, kemudian dipuasakan selama 60 menit.
Selanjutnya Rayap diambil sebanyak 20 ekor untuk diinvestasikan ke dalam masing-
masing cawan petri yang telah disiapkan.
P0 a P0 b P0 c
P1 a P1 b P1 c
Gambar 6. Aktivitas Ekstrak Daun Terap (A. elastica) sebagai Antifidan
terhadap Rayap (M. gilvus (Hagen)).
Keterangan : P0 = Perlakuan kontrol
P1 = Perlakuan ekstrak daun Terap
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
104
Pengamatan mortalitas Rayap dan penurunan berat kayu yang dimakan
dilakukan 24 jam setelah investasi serangga. Penghitungan rata-rata mortalitas rayap
dilakukan dengan cara penghitungan langsung terhadap objek, sedangkan untuk
menghitung rata-rata penurunan berat kayu yang dimakan rayap digunakan neraca
elektrik yang merupakan timbangan yang standar, dengan menggunakan rumus:
Keterangan :
PA = Penurunan aktivitas makan Rayap (%)
Bmp = Berat kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan (gram)
Bmk = Berat kayu yang dimakan Rayap pada perlakuan kontrol (gram).
(Prijono, 1988 dalam Suanda, 2002)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pengamatan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan hasil pengamatan terhadap
mortalitas Rayap selama 24 jam setelah aplikasi dapat dilihat pada Tabel 1 dan data
berat kayu yang dimakan Rayap selam 24 jam setelah aplikasi disajikan pada Tabel
2 berikut.
Tabel 1
Rata-Rata Mortalitas Rayap 24 Jam Setelah Aplikasi
Perlakuan
Ulangan (ekor)
I II III
Mortalitas
Rayap
Mortalitas
Rayap
Mortalitas
Rayap
Kontrol 0 0 0
Ekstrak Daun Terap 0 0 1
%100)1( xBmk
BmpPA
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
105
Tabel 2.
Rata-Rata Berat Kayu yang dimakan Rayap 24 Jam
Setelah Aplikasi (mg)
Perlakuan
Ulangan (gram)
I II III
Berat kayu Berat kayu Berat kayu
Kontrol 1,75 1,80 1,65
Ekstrak Daun Terap 0,08 0,10 0,08
B. Pembahasan
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat dijelaskan bahwa pada perlakuan kontrol
(P0) jumlah Rayap yang mati tidak ada (0%), sedangkan pada perlakuan ekstrak
daun Terap jumlah Rayap yang mati berjumlah 1 ekor atau sebesar 0,33%. Adanya
kematian Rayap sebesar 0,33 % belum bisa dikatagorikan senyawa kimia yang
terkandung dalam ektrak daun Terap sebagai racun atau pembunuh Rayap. Hal ini
sesuai dengan pendapat Prijono dkk. (1998) bahwa mortalitas larva Croccidolomia
binotalis instar III yang mencapai 33,9% sampai dengan 43,9% pada pemberian
ekstrak biji mahoni, belum cukup sebagai pembunuh, tetapi lebih bersifat
menghambat pertumbuhan. Lebih lanjut dinyatakan oleh Muron dan Norton (1984)
dalam Laba dan Soekarna (1986), melaporkan bahwa suatu senyawa dikatakan
efektif bila mampu membunuh 80% atau lebih serangga uji.
Berdasarkan Tabel 2 di atas, dapat dijelaskan pada perlakuan kontrol terjadi
berat kayu yang dimakan sebesar rata-rata 1,73 gram selama 24 jam setelah aplikasi,
sedangkan pada perlakuan ektrak daun Terap terjadi berat kayu yang dimakan
Rayap rata-rata 0,09 gram. Adanya selisih berat kayu yang dimakan Rayap antara
perlakuan kontrol (P0) dengan perlakuan ektrak daun Terap (P1) sebesar 1,64 gram
sebagai tanda terjadinya penurunan berat kayu yang dimakan oleh Rayap selam 24
jam setelah aplikasi. Penurunan berat kayu yang dimakan Rayap selama 24 jam
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
106
setelah aplikasi sebesar 1,64 gram dari berat kayu awal yaitu 2 gram menunjukkan
perbedaan yang sangat signifikan (sangat nyata). Penurunan berat kayu yang
dimakan oleh Rayap sebesar 1,64 gram terhadap kontrol menunjukkan bahwa pada
perlakuan (P1) mengandung senyawa aktif yang bersifat antifidan (penurunan nafsu
makan) Rayap pada kayu yang dicelupkan ke dalam ekstrak daun Terap, sehingga
ekstrak terap berpotensi dijadikan sebagai bahan tir (cat) kayu.
C. Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan tersebut di atas, maka dapat
diambil suatu simpulan bahwa
1. Dongeng yang diberikan dalam pembelajaran di sekolah dapat
menumbuhkan sikap ilmiah dan pendidikan karakter serta pelestarian
budaya.
2. Ektrak daun Terap (A. elastica) dapat bersifat antifidan dengan
menurunkan nafsu makan Rayap, sebesar 1,64 gram.
D. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tersebut di atas dapat
disarankan bahwa :
1. Perlu diberikan pelajaran Dongeng di sekolah untuk meningkatkan
pelestarian budaya dan pendidikan karakter serta tumbuhnya ide inovatif
untuk mengembangkan sikap ilmiah siswa, sehingga siswa kreatif untuk
mencoba dan menghasilkan suatu pengetahuan baru berupa teori baru.
2. Ekstrak daun Terap dapat direkomendasikan untuk dijadikan bahan “Teer”
agar serangan Rayap tidak terjadi pada perabotan rumah tangga
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2009. Tanaman Obat Indonesia Available at: http//: www.
Iptek.net.id/index.php.id=12.ch=pd Opened: 15-3-2009.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
107
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Beruna Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. Departemen Kehutanan. Vol. I –IV
Huton, P. and Reilly. 2001. Biopesticides. United States Enviromental Production
Agency. Pp 1-3.
Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Bogor.Penebar
Swadaya.
Laba, I W. dan D. Soekarno. 1986. Mortalitas Ulat Grayak (Spodoptera litura) pada
Berbagai Instar Perlakuan Insektisida pada Kedelai. Seminar Hasil
Penelitian Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Jakarta.
Nandika, D. Yudi R. dan Farah Diba. 2003. Rayap: Biologi dan Pengendaliannya.
Harun JP. Ed Surakarta. Muhamandyah Univ. Press.
Prijono, D. 1998. Insecticidal Activity of Meliaceous seed Extracts Againts
Crocidolomia binotalis Zeller. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Vol. 10 No. 1.
Suanda, I Wayan. 2002. Aktivitas Insektisida Ektrak Daun Brotowali (Tinospora
crispa L) terhadap Larva Plutella xylostella L. pada Tanaman Kubis.
Tesis. Program Pascasarjanan. Denpasar. Universitas Udayana.
_____,. 2010. Uji Aktivitas Insektisida Ekstrak Daun Terap (Artocarpus elastica)
terhadap Hama Rayap (Macrotermes gilpus (Hagen)) sebagai pemakan
Kayu (dalam Majalah Ilmiah Mahawidya Saraswati UNMAS
Denpasar No. 71, Januari - Juni 2010).
Suprapta, D.N. 2001. Meninjau Kembali Kebijaksanaan Penggunaan Pestisida pada
Lahan Pertanian. Pertanian Masa Depan: Kembali ke Pupuk Nabati.
Yayasan Manikaya Kauci.
Taruminangkeng, Rudy C. 1990. Biologi dan Pengenalan Rayap Perusak Kayu
Indonesia. Lap. L.P.H. No. 138. 28p.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
108
PERBEDAAN PENGARUH EKSTRAK GAMBIR (Uncaria gambir) DAN
GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera) TERHADAP DAYA SIMPAN BUAH
CABAI MERAH BESAR (Capsicum annuum)
Oleh
I Gusti Ayu Rai
Dosen FPMIPA IKIP PGRI BALI
ABSTRACT
Gambier plant (Uncaria gambier) and aloe vera (Aloe vera) may be used as
a natural preservative, especially for the shelf life of fruit. This is possible because
the gambier plant contains catechins, flavonoids, tanning substances, a number of
alkaloids like gambirtanin allegedly capable of inhibiting the damage caused by
microorganisms and oxidation degradation. Similarly, aloe vera and wax coating
containing oxidase which acts as an antioxidant that has the potential to slow down
and inhibit the growth of microorganisms in food.
The purpose of this study was to determine the effects difference gambier
extract, aloe vera gel and mix gambier extract and aloe vera gel to keep the big red
chilies. Furthermore this study aims to determine the most optimal effect of the
extract on the shelf life of red chilies.
Data collected in this study is a quantitative difference chilies weight
(grams) on the first day by day 14, and the qualitative data about the signs of decay
in pepper fruit such as texture (wrinkles), blacking, the growth of mold, and
discharge. To obtain the data used the method of observation and recording of direct
observations. Data on the weight of a large red chilies, analyzed with a statistical
hypothesis testing using the One Way ANAVA. Based on the analysis of data was
obtained F0 value is 11.40029, where the value is greater than the rejection of the
null hypothesis at 5% significance level is 4.49, and at 1% significance level is 5.95.
It can therefore be interpreted that there are differences in the influence of gambier
extract and aloe vera gel to keep the big red chilies (C. annuum). Among the three
natural preservatives, which gives the best effect on the shelf life of red chilies are
the aloe vera gel. This can be supported by qualitative data during the observation,
that the signs of decay that occurs at least chilies are given treatment with extracts of
aloe vera gel (Aloe vera), and the most common on pepper fruit extracts are not
given the treatment (control).
Key words : gambier extract, aloe vera gel, the shelf life of red chilies.
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Hasil pertanian berupa buah dan sayuran pada umunya mudah mengalami
kerusakan. Kerusakan ini dapat disebabkan karena kurang hati-hati dalam
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
109
menangani hasil pertanian tersebut, terutama saat pasca panen. Di samping itu
kerusakan juga disebabkan oleh mikroba, baik yang berasal dari tanah, air, udara,
serangga maupun hewan. Mikroba dapat tumbuh pada permukaan buah tanaman.
Apabila ada kerusakan fisik, maka kerusakan oleh mikroba dapat berkembang
dengan cepat. Cara pemanenan yang kurang baik menyebabkan keluarnya cairan
buah yang berisi nutrien, sehingga cairan tersebut dapat digunakan oleh mikroba
yang menyebabkan mikroba cepat tumbuh dan memudahkan penetrasi ke dalam
jaringan tanaman, termasuk pada buah cabai (Dwiari, 2008).
Cabai merupakan salah satu komoditas pangan yang keberadaannya tidak
dapat ditinggalkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bumbu dapur,
industri saos, industri bubuk cabai, industri mie instan, sampai industri farmasi
menggunakan cabai sebagai bahan baku utamanya. Kandungan gizi buah cabai
sangat tinggi dan baik bagi kesehatan karena mengandung banyak karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, dan mineral. Namun karena adanya kandungan minyak
atsiri yang bersifat ”membakar” maka cabai berasa pedas dan dilupakan kandungan
gizinya. Bisa dikatakan bahwa cabai, yang paling pedas sekalipun kandungan
gizinya relatif setara dengan sayur dan buah-buahan lain (Warisono, 2010). Dari
kandungan gizi dan organoleptik yang terdapat pada cabai, maka kebutuhan akan
cabai terus meningkat.
Produksi cabai dapat dipengaruhi oleh iklim seperti iklim hujan yang
berkepanjangan, sehingga perlu adanya teknologi pangan sebagai upaya untuk
mengawetkannya. Teknologi pangan sangat dibutuhkan untuk mencegah aktivitas
mikroorganisme ataupun mencegah proses peluruhan yang terjadi sesuai dengan
pertambahan waktu, agar kualitas makanan senantiasa terjaga sesuai dengan harapan
konsumen. Walaupun banyak pengawet sintetis yang bisa digunakan namun
penggunaannya sering tanpa mengindahkan dampaknya terhadap kesehatan
konsumen. Untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan oleh bahan
pengawet sintetis maka perlu adanya alternatif lain yang dapat menggantikan
pengawet sintetis, salah satunya adalah ekstrak gambir (Uncaria gambir) dan gel
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
110
lidah buaya (Aloe vera). Gambir memiliki kandungan katekin yang dapat
mengawetkan bahan pangan dari kerusakan akibat mikroorganisme dan degradasi
reaksi oksidasi (Anonim, 2011). Lidah buaya juga memiliki kandungan berupa
enzim oksidase yang dapat dimanfaatkan sebagai anti oksidan, yang menekan reaksi
yang terjadi pada saat pangan berkontak dengan oksigen, sinar panas, dan beberapa
logam sehingga dapat mencegah terjadinya kebusukan (Anonim, 2011). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh pelapisan antara yang
menggunakan ekstrak gambir (Uncaria gambir) dengan yang menggunakan gel
lidah buaya (Aloe vera) terhadap daya simpan cabai merah besar (Capsicum anuum).
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Tanaman Cabai (Capsicum anuum)
Tanaman cabai merupakan tanaman perdu dengan batang tidak berkayu.
Biasanya batang akan tumbuh sampai ketinggian tertentu, kemudian membentuk
banyak percabangan. Untuk jenis cabai besar, panjang batang dapat mencapai 2
meter bahkan lebih. Batang tanaman cabai berwarna hijau tua, atau hijau muda.
Pada batang-batang yang telah tua, akan muncul warna cokelat seperti kayu. Ini
merupakan kayu semu, yang diperoleh dari pengerasan jaringan parenkim.
Daun tanaman cabai bervariasi menurut spesies dan varietasnya. Ada daun
yang berbentuk oval, lonjong, bahkan ada yang lanset. Warna permukaan daun
bagian atas biasanya hijau muda, hijau tua, bahkan hijau kebiruan. Sedangkan
permukaan daun pada bagian bawah, umumnya berwarna hijau muda atau hijau
pucat. Permukaan daun cabai ada yang halus dan adapula yang berkerut-kerut.
Ukuran panjang daun cabai antara 3-11 cm, dengan lebar antara 1-5 cm.
Tanaman cabai berakar serabut dan biasanya terdapat bintil-bintil yang
merupakan hasil simbiosis dengan beberapa mikroorganisme. Meskipun tidak
memiliki akar tunggang, namun ada beberapa akar tumbuh ke arah bawah yang
berfungsi sebagai akar tunggang semu.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
111
Bunga tanaman cabai juga bervariasi, namun memiliki bentuk yang sama
yaitu berbentuk bintang. Ini menunjukkan tanaman cabai termasuk dalam sub kelas
Asteridae (berbunga bintang). Bunga biasanya tumbuh pada ketiak daun dalam
keadaan tunggal atau bergerombol di dalam tandan.
Buah cabai merupakan bagian tanaman yang tidak dapat dipisahkankan dari
kebutuhan manusia sehari-hari, terutama sebagai bumbu karena buah cabai dapat
memberikan organoleptik yang dapat menentukan rasa dalam masakan. Dalam buah
cabai terkandung karbohidrat, lemak, protein, vitamin C, vitamin E, vitamin K,
fitosterol, betakaroten, betacryptoxanthin, mineral, dan minyak atsiri yang
memberikankan rasa pedas.
2.2 Tinjauan tentang Tanaman Gambir (Uncaria gambir)
Gambir termasuk tumbuhan perdu setengah merambat dengan percabangan
memanjang. Ciri-ciri dari tanaman ini adalah daunnya berbentuk oval, memanjang,
ujung meruncing, permukaan tidak berbulu (licin), dengan tangkai daun pendek.
Bunganya tersusun majemuk dengan mahkota berwarna merah muda atau hijau,
buah berupa kapsula dengan dua ruang.
Kandungan yang utama adalah flavonoid (terutama gambiriin), katekin
(sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid, seperti
gambirtannin. Selain itu gambir dijadikan obat-obatan modern, sebagai pewarna cat,
pewarna pakaian, dan sebagai komponen menyirih. Fungsinya yang tengah
dikembangkan saat ini adalah sebagai perekat kayu lapis atau papan partikel. Di
samping itu secara alami para produsen makanan menggunakan tanaman ini sebagai
pengawet makanan, karena dalam daunnya terdapat kandungan katekin yang dapat
mengawetkan bahan makanan atau makanan dari kerusakan akibat mikroorganisme
dan degradasi reaksi oksidasi (penyebab basi).
2.3 Tinjauan tentang Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera)
Tanaman lidah buaya termasuk semak rendah, tergolong tanaman yang
bersifat sukulen, akar serabut, batang pendek, daun berbentuk tombak, tidak
bertulang daun, berdaging tebal, mempunyai lapisan lilin, bermelingkar (roset), serta
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
112
bunga berbentuk lonceng. Tanaman ini di Indonesia terkenal sebagai bahan baku
kosmetik, terutama sebagai penyubur rambut.
Berdasarkan hasil penelitian tanaman ini kaya akan kandungan zat-zat
seperti enzim, asam amino, mineral, vitamin, polisakarida dan komponen lain yang
sangat bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu, Lidah Buaya berkhasiat sebagai anti
inflamasi, anti jamur, anti bakteri, dan membantu proses regenerasi sel (Wahyono
dan Kusnandar, 2002).
Salah satu zat yang terkandung dalam lidah buaya adalah aloe emoidin
sebuah senyawa organik dari golongan antrokuinon yang mengaktivasi jenjang
sinyal insulin seperti pennyerap insulin-beta dan -substrat1, fosfatidil insitol-3
kinase dan meningkatkan laju sintetis glikogen dengan menghambat glikogen
sintase kinase3beta¹ sehingga sangat berguna untuk mengurangi rasio gula darah.
Khasiat lainnya adalah sebagai antibakteri (Staphylococcus aureus, Streptococcus
pyogens), sebagai antiinflamasi, dan antiviral HIV).
Potensi lidah buaya sangat baik untuk terus dikembangkan, salah satunya
adalah sebagai bahan pengawet alami. Kandungan enzim oksidase yang ada
didalamnya dapat dimanfaatkan sebagai antioksidan dalam peningkatan daya simpan
bahan pangan, sehingga bahan pangan menjadi lebih awet atau tahan lama.
Pengawetan sendiri bertujuan untuk menghambat terjadinya pembusukan bahan
pangan dan menjamin kualitas bahan pangan agar tetap terjaga selama mungkin.
Lidah buaya sebagai antioksidan yang mengandung beragam antibiotik dan zat-zat
pengawet akan menekan reaksi yang terjadi pada saat pangan berkontak dengan
oksigen, sinar panas dan beberapa logam sehingga dapat mencegah terjadinya
kebusukan dan munculnya noda-noda hitam pada produk pangan. Di samping itu gel
lidah buaya yang mengandung lapisan lilin mampu menjaga kualitas pangan dengan
baik (Wahyono dan Kusnandar, 2002).
2.4 Kerusakan Bahan Pangan
Pangan dinyatakan mengalami kerusakan jika telah terjadi perubahan-
perubahan yang tidak dikehendaki dari sifatnya. Kerusakan dapat terjadi karena
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
113
kerusakan fisik, kimia, enzimatis. Namun secara umum, kerusakan pangan
disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah tumbuhnya bakteri, kamir
atau kapang pada pangan yang dapat merusak protein sehingga, mengakibatkan bau
busuk, dan juga dapat membentuk lendir, gas, busa, asam ataupun racun (Anonim,
2006).
Suatu bahan pangan dinyatakan rusak jika terjadi penyimpangan yang
melewati batas dapat diterima secara normal oleh panca indra atau parameter lain
yang biasa dilewatkan. Beberapa bahan dianggap rusak bila menunjukan
penyimpangan organoleptip serta tekstur dari keadaan normal. Misalnya suatu bahan
pangan dalam keadaan normal kental tetapi bila berubah menjadi encer maka
dikatakan mengalami kerusakan.
Penyebab utama kerusakan bahan pangan meliputi pertumbuhan dan
aktivitas mikroorganisme, terutama bakteri, kapang dan kamir. Faktor-faktor ini
sangat sulit diisolasi di alam misalnya bakteri, insekta, sinar, dapat secara kontinu
menimbulkan kerusakan baik selama di lapangan maupun di gudang. Faktor panas,
kadar air, dan udara salin dapat menyebabkan kerusakan dan dapat juga menunjang
aktivitas mikroba.
Selama proses pemanenan, penyinaran dan pengangkutan ke pasar, buah
dan sayuran berpeluang terkontaminasi bahan kimia pertanian seperti residu
pestisida, antibiotik pertanian, pupuk dan bahan perangsang tumbuh. Karena itu
sebelum diolah dan dikonsumsi, buah dan sayuran harus dicuci terlebih dahulu
dengan air bersih. Kerusakanjuda sering terjadi karena benturan fisik, serangan
serangga dan serangan mikroorganisme. Buah dan sayuran yang rusak terlihat
busuk, berubah warna dan rasa, serta berlendir (Dwiari, 2008).
III. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL). Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah
data kuantitatif yang berupa selisih berat buah cabai dari hari pertama sampai hari ke
14, dan data kuantitatif yang berupa tanda-tanda kebusukan seperti: 1) tekstur, 2)
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
114
munculnya plek-plek hitam, 3) tumbuhnya jamur, dan 4) data tentang keluarnya
cairan pada buah cabai merah besar (C. Anuum). Metode yang digunakan dalam
mengumpulkan data adalah metode observasi yang dilakukan selama dua minggu
(14 hari). Hipotesis yang diajukan adalah hipotesis alternatif (H1) yang menyatakan
bahwa ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. Gambir) dan ekstrak gel lidah
buaya (A.vera) terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. Anuum). Jumlah
populasi yang digunakan adalah 1000 buah cabai merah besar, dan dari jumlah
tersebut ditetapkan sebagai sampel sebanyak 560 buah untuk empat kali ulangan.
Teknik yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah teknik random sederhana
yang diambil secara acak. Sampel yang telah ditetapkan dibagi menjadi empat
kelompok yaitu kelompok 1 (P0) sebagai kontrol, kelompok 2 (P2) diberikan
perlakuan dengan ekstrak gambir, kelompok 3 (P3) diberikan perlakuan dengan gel
lidah buaya, dan kelompok 4 (P4) diberikan perlakuan dengan campuran ekstrak
gambir dan lidah buaya. Masing-masing kelompok terdiri dari 35 buah cabai
sehingga total sampel yang digunakan dalam setiap perlakuan untuk empat kali
ulangan adalah 140 buah cabai merah besar.
3.2 Teknik Analisis Data
Data yang telah diperoleh melalui observasi yang berupa data kuantitatif
dan kualitaf dimasukan ke dalam tabel kerja. Selanjutnya untuk data kuantitatif yaitu
mengenai selisih berat buah cabai dianalisis secara statistik dengan menggunakan
analisis komparatif k sampel berkorelasi. Pengujian hipotesis menggunakan One
Way Anava, yang kemudian dilanjutkan dengan melakukan interpretasi dan uji
Tukey’s HSD.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Data
Sebelum dianalisis masing-masing data dimasukkan ke dalam tabel kerja
sebagai berikut.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
115
Tabel 01
Selisih Berat Buah Cabai antara Hari Pertama
dengan Hari ke 14 (gram)
No Ulangan Po P1 P2 P3 Total
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1 Percobaan I 181 146 106 149
2 Percobaan II 180 78 60 111
3 Percobaan III 168 81 45 87
4 Percobaan IV 162 72 39 90
Jumlah 691 377 250 437 1755
Keterangan :
Po : Cabai yang tidak dilapisi apa-apa (kontrol).
P1 : Cabai yang dilapisi Ekstrak gambir (U. gambir)
P2 : Cabai yang dilapisi gel lidah buaya (A. vera)
P3 : Cabai yang dilapisi campuran ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah
buaya (A.vera).
Tabel 02
Data Tentang Tekstur Buah Cabai pada Percobaan I sampai IV (biji)
Pengamatan Hari
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok I 4 16 31 55 70 83 99 117 129 137 140
Kelompok II 9 30 34 54 61 77 87 101
Kelompok III 4 18 30 37 60
Kelompok IV 11 37 46 60 69 88 102 114 120
Tabel 03
Data Tentang Plek-plek Hitam Buah Cabai pada
Percobaan I sampai IV (biji)
Pengamatan Hari
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok I 3 4 10 17 42 60 71 82 88
Kelompok II 1 6 12 15 23
Kelompok III 4 10 16
Kelompok IV 1 3 6 16 23 30 43
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
116
Tabel 04
Data Tentang Tumbuhnya Jamur pada Buah Cabai
pada Percobaan I sampai IV (biji)
Pengamatan Hari
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok I 19 56 65 65
Kelompok II 10 19 24
Kelompok III 5 6 14
Kelompok IV 14 27 34
Tabel 05
Data Tentang Keluarnya Cairan pada Buah Cabai
pada Percobaan I sampai IV (biji)
Pengamatan Hari
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Kelompok I 15 28 31 45
Kelompok II 4 6 10 13
Kelompok III 1 3 5
Kelompok IV 6 8 12 24
4.2 Analisis Data
Data tentang selisih berat buah cabai dari hari pertama sampai hari ke 14
yang telah diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan teknik One Way Anava.
Setelah melalui beberapa prosedur pengujian maka diperoleh hasilnya sebagai
berikut.
Tabel 06
Tabel Ringkasan dari Hasil Analisis Data dengan
Teknik One Way Anova
No Sumber
Variance dk SS MS Fo Ft Interpretsi
1 Antar
Kelompok
3 25768,19 8589,39
11,40029
F0,05
3,49
Signifikan
2 Dalam
Kelompok
12 9041,24 753,436 F0,01
5,95
Signifikan
3 Total
15 34809,43
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
117
Hasil pengujian dengan teknik One Way Anava kemudian disubstitusikan
ke dalam rumus analisis varians (ANOVA) satu jalur dengan bantuan program SPSS
10.0 for windows . Ringkasan hasil perhitungan analisis varians satu jalur untuk uji
hipotesis adalah sebagai berikut.
Tabel 30 Ringkasan Hasil Analisis Varians
ANOVA
CABAI
25768.188 3 8589.396 11.355 .001
9077.250 12 756.438
34845.438 15
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
A. Interpretasi Hasil Pengujian Hipotesis
Berdasarkan hasil analisis data ternyata diperoleh nilai Fo adalah 11,40029
sedangkan nilai batas penolakan hipotesis nol (Ho)v1=3 dan v2=12 dengan taraf
signifikan 5% adalah 3,49 dan taraf signifikan 1% adalah 5,95. Hal ini menunjukkan
bahwa Fo yang diperoleh lebih besar dari batas penolakan Ho, sehingga Ho yang
diajukan ditolak dan H1 diterima. Oleh karena itu dapat diinterpretasikan ”bahwa
ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya (A. vera)
terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum)”. Hasil pengujian
dengan SPSS 10 for windows juga menunjukan kesesuaian yaitu sebesar 11,355.
Setelah diperoleh data tersebut kemudian dilanjutkan dengan analisis lanjutan
ANOVA, yang disebut dengan Pasca Anava (post hoc), yaitu Tukey’s HSD, dengan
rumus :
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
118
1. Hitung Tukey‟s HSD
X1 X2 X3 X4
X1 X 78,5 110,25 63,5
X2 78,5 X 31,75 15
X3 110,25 31,75 X 46,75
X4 63,5 15 46,75 X
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data ternyata diperoleh nilai Fo adalah 11,40029
sedangkan nilai batas penolakan hipotesis nol (Ho)v1=3 dan v2=12 dengan taraf
signifikan 5% adalah 3,49 dan taraf signifikan 1% adalah 5,95. Hal ini menunjukkan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
119
bahwa Fo yang diperoleh lebih besar dari batas penolakan Ho, sehingga, Ho yang
diajukan ditolak dan H1 diterima. Oleh karena itu dapat dikatakan ” bahwa ada
perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya (A. vera)
terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum)”. Hasil pengujian
dengan SPSS 10 for windows juga menunjukan kesesuaian yaitu sebesar 11,355.
Hasil yang ditunjukkan oleh analisis lanjutan ANAVA, yang sering disebut
dengan Pasca Anava (post hoc), yaitu Tukey’s HSD adalah sebesar 57,642. Hal ini
berarti, diperoleh nilai yang lebih besar dari HSD (57,642), sehingga dapat dikatakan
mempunyai perbedaan secara signifikan, yang ditunjukkan oleh gel lidah buya (X3)
dengan hasil perbedaan rata-rata antar kelompok sebesar 110, 25. Dilanjutkan
dengan ekstrak gambir (X2) dengan hasil perbedaan rata-rata antar kelompok
sebesar 78,5 dan campuran ekstrak gambir dan gel lidah buaya (X4) dengan hasil
perbedaan rata-rata antar kelompok sebesar 63,5. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa yang memberikan pengaruh yang paling baik terhadap daya
simpan buah cabai merah besar adalah gel lidah buaya (A. Vera).
Dari data kualitatif yang diperoleh melalui observasi menunjukkan adanya
kesesuaian, bahwa tanda-tanda kebusukan secara berturut-turut mulai dari yang
paling ringan sampai yang paling parah adalah buah cabai yang diberikan ekstrak
lidah buaya yang diikuti dengan buah cabai yang diberikan ekstrak gambir, buah
cabai yang diberikan campuran ekstrak lidah buaya dan ekstrak gambir, dan buah
cabai yang tidak diberikan perlakuan (kontrol).
Buah cabai yang dilapisi dengan gel lidah buaya memiliki pengaruh yang
paling baik dalam menjaga kualitas cabai dalam penyimpanan. Gel lidah buaya
mampu mempertahankan keawetan buah karena gel lidah buaya memiliki
kandungan enzim oksidase yang berperan sebagai antioksidan. Sebagai antioksidan,
zat-zat pengawet akan menekan reaksi yang terjadi pada saat pangan berkontak
dengan oksigen, sinar panas dan beberapa logam sehingga dapat mencegah
terjadinya kebusukan dan munculnya noda-noda hitam pada produk pangan. Gel
lidah buaya dapat membuat lapisan seperti lilin sehingga buah tetap dapat terjaga
kualitasnya dan menjadi lebih awet (Wahyono dan Kusnandar, 2002). Berbeda
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
120
halnya dengan ekstrak gambir, kandungan utamanya adalah flavonoid (terutama
gambiriin), katekin (sampai 51%), zat penyamak (22-50%), serta sejumlah alkaloid,
seperti gambirtannin. Secara alami para produsen makanan sering menggunakan
tanaman ini untuk pengawet bahan pangan. Hal ini sangat dimungkinkan karena
daun tanaman gambir terdapat sebuah kandungan katekin yang dapat mengawetkan
makanan dan bahan pangan dari kerusakan akibat mikroorganisme dan degradasi
reaksi oksidasi.
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut.
1. Ada perbedaan pengaruh ekstrak gambir (U. gambir) dan gel lidah buaya
(A.vera) terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum).
2. Di antara ketiga bahan pengawet alami tersebut yang memberikan pengaruh
paling optimal terhadap daya simpan buah cabai merah besar (C. annuum),
adalah gel lidah buaya (A. vera).
3.2 Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat dikemukakan beberapa saran
yaitu :
1. Bagi masyarakat disarankan untuk menggunakan gel lidah buaya (A. Vera) dan
ekstrak gambir (U. gambir) sebagai salah satu upaya untuk mengawetkan buah,
karena disamping lebih ekonomis bahan pengawet alami ini aman bagi
kesehatan dan lingkungan.
2. Karena dalam penelitian ini hanya meneliti selisih berat dan tanda-tanda
kerusakan pada buah cabai yang dilapisi ekstrak gambir, gel lidah buaya dan
campuran ekstrak gambir dan gel lidah buaya, maka penulis menyarankan
kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian lanjutan agar dapat menemukan
dan mengungkap pengaruh variabel-variabel lainnya.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
121
DAFTAR RUJUKAN
Bukcle, Edwards, Fleet dan Wooton, 2007. Ilmu Pangan, Universitas Indonesia (UI-
Press), Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Pengawet Alami Pengganti
Formalin, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dwiari, 2008 pada Warisono, 2010. Peluang dan Usaha Budidaya Cabai, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Hasan, Iqbal, 2004. Analisi Data Penelitian dengan Statistik, Bumi Aksara, Jakarta.
Irianto, Agus, 2009. Statistik Konsep Dasar dan Aplikasinya, Kencana, Jakarta.
Margono, S, 2007. Metodologi Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, Jakarta.
Sanders, 1998. dalam Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sugiyono, 2009. Statistik Untuk Penelitian, Alfabeta, Bandung.
Wahyono dan Kusnandar, dalam Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya
Cabai, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Warisono, 2010. Peluang Usaha dan Budidaya Cabai, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
122
MINIMARKET AND CONSUMER CULTURE
IN DENPASAR SOCIETY
By
I Wayan Adnyana
IKIP PGRI BALI
Abstract
The management of minimarket network is a business conduted in the field
of minimarket business through a whole system of management and distribution of
goods to the outlet of the network. Consumer culture can be seen as a culture that
flourished from individuals and families to the community of a country and even
parts of the world community. Meeting the needs of goods and services in an effort
to maintain life known as consumption, but consumerism is defined as a lavish
(more than it is supoosed to be) consumption activities. The presence of media,
advertising is able to encourage consumerism in urban communities, which
gradually turning into urban lifestyle that is more oriented on imaging.
Key words : minimarket, consumerism, imaging (image)
I. INTRODUCTION
Complexity and changes has become an important feature of contemporary
industrial society. Complexity that permeates all aspects of life, such as trading
systems, global marketing, long-distance communication via electronic networks are
very sophisticated, all of which make this world more and more narrow.
Globalization in relations to products that will dominate the market, are products
that have quality and global prices. Products that are not served by the quality and
global prices will tend to be abandoned and eliminated from the market (Revrison
Baswir, 1999: 83). Small businesses continue to experience marginalization, which
in turn will create a small society increasingly driven by efforts that are much more
highly capitalized, with instant service. Socio-economic and cultural transformation
is a very interesting study. The technological revolution of electronic and
communication technologies have a connection with various parts of the world. As a
result, the "consumer culture" trend growth in the cities. In this process of
consumption, it is an important factor in the change order and the order of symbolic
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
123
value. In this trend of identity and subjectivity do transformation, both related to the
issue of integration and nationalism.
Logic of late capitalism no longer needs to produce objects as much as
possible with minimum cost, but produces the need through the creation of images
(image) by advertising agencies. Mass culture or popular culture is the culture that
produced for ordinary people, ordinary people in this approach is considered as a
share of the market, consumers in a focus group of pop culture described certain
commodities (Adlin, 2006:121).
In today's consumer society, various new logic of consumption model developed and
that development fundamentally changed the relationship between the consumer and
the object or product. In a developing society, object is no longer bound to the logic
of utility, functionality and requirements (needs), but on what is called as the logic
of signs (logic of sign) and image logic (logic of image). Indonesia‟s consumptive
behavior is excessive compared with the nations of Southeast Asia. This can be seen
from the low level of private savings. Consumerism is often defined as lavish
consumption.
Denpasar as the metropolis and center of Bali, is certainly experiencing a
numerous variety of social, cultural and economic developments. To meet the needs
of society, with economic activity of nearly 24 hours a day, in which the consumer
has changed from buying products to buying the image of the product, it is certainly
the opportunity which not wasted by the owners of capital, to open a minimarket.
With instan standard products and services. Consumption process is now dominated
by the pleasure principle, in which the essential meaning is no longer that important.
A commodity became popular is not because for whom the goods were producted,
but rather due to how it is interpreted in the cultural meaning of a commodity, which
is determined in the socio-economic process.
II. MINIMARKET AND CONSUMER CULTURE
Denpasar as a capital city, have numerous mini market, supermarket and
hypermarket stores which are categorized as either modern or stand-alone
franchaising. The distance between one another is very close, which means a
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
124
struggle for market share between mini market and particularly to the “old-
fashioned” small traders who conduct activities in traditional markets and grocery
shops. This competition is certainly will ended up with the glory of modern store in
terms of better management, capital and a range of services and quality products.
The spread of modern shop in Denpasar can be seen in the following table.
Table 1
The Spread of Modern Store in Denpasar
No. District Minimarket Supermarket Hypermarket Total
1 South Denpasar 121 10 2 133
2 West Denpasar 64 16 - 80
3 East Denpasar 38 1 - 39
4 North Denpasar 48 12 - 60
Total 271 39 2 312
Sources : Department of Trade and Industry Denpasar, 2011
From the table above can be seen that Southern Denpasar district has the biggest
number of Modern Stores, which are 133 stores. That is the reason why Southern
Denpasar chosed as the research area.
Table 2
Top Ten Minimarket in Denpasar (according to the number of the store)
No. Minimarket Total
1 Circle K 48
2 Indomaret 33
3 Alfamart 21
4 Lotus Mart 9
5 Alfa Midi 8
6 Alfa Express 8
7 Mini Mart 6
8 Petto Mart 3
9 Cahaya Minimarket 3
10 Inti Mart 2
Sources : Department of Trade and Industry Denpasar
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
125
Type of product which small traders in South Denpasar District sell is
diverse. From the observation, it is founded 10 kinds major product, which are food
and beverage, clothing, fruits, household appliances, religious ceremony equipment
seller, primary needs like rice or cooking oil, agricultural produts, toys, souvenirs,
and eye glasses, spread almost all over the district especially in village market and
surrounding citizens neighborhood.
Table 3
The Bussiness Area of Small Scale Enterprise
In Southern Denpasar District
No Village Traditional market Shopping Centre Total
1 Pemogan 4 195 199
2 Pedungan 4 264 268
3 Sesetan 3 251 254
4 Serangan 1 119 120
5 Sidakarya 2 138 140
6 Panjer 1 377 378
7 Renon 2 27 29
8 Sanur Kauh 1 248 249
9 Sanur 1 525 526
10 Sanur Kaja 1 102 103
____________________________________________________________________
Total 20 2246 2266
____________________________________________________________________
Sources : Monografi of Southern Denpasar District, 2009.
On the Law no. 20 of 2008, Micro, Small and Medium Enterprises, are all
included in the category of small businesses. Small businesses are economically
productive, conducted by an individual or business entity that is not a subsidiary or
branch of a company and also not owned, controlled, or a part, either directly or
indirectly from medium or large business. Meanwhile, the Mayor Regulation No. 9
of 2009 confirmed again by adding the element of wealth owned by small
businesses is; have a net worth of Rp 50.000.000, - (fifty million rupiah) up to a
maximum of Rp 500 million, - (five hundred million rupiah) excluding the value of
land and building where the business conducted.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
126
On the other hands, the definition of Modern store is store with independent way of
payment, such as Minimarket, Supermarket, Department Store, Hypermarket. The
network manager is a businessman who do business in the field of Minimarket,
through a system of unified management and distribution of goods to a network
outlet.
The presence of minimarket encourage consumerism. The community is no
longer think rationally to meet his needs, as they already persuade by the media
which advertising it widely, so that consumers continue to be influenced by the not
only psychological interest but also involves political economy (Mursito, 2005: 21).
"Discipline mall" (a term used to describe the shopping centre condition is very
persuading customer to be consumptive, which starts from arrival at a mall that
begin with take the trolley, often called a stroller that serves as a shopping bag, then
select the item and put it on a trolley, which filled “properly” by the customer, as
full as possible. The full contents of the trolley looks “wow”, and when arrived at
cashier counter with a long queue, the customer queue up with discipline. On the
monitor screen, the cash register shown the amount, the bigger the number, the
bigger pride for the customer. For the young urban, the cool image of minimarket is
attached, so it is not rare to find young people who do not want to buy goods in
small stalls or traditional markets because the image will not be look “cool”, and
prodly shop at the 24 hours minimarket. It is all because they felt a pleasure in an
objective and subjective way, as it can boost the image of themselves, that they have
became contemporary society. As a consequence, small scale enterprise can not win
the competition and some even have to close their enterprise.
Research conducted by global companies Meadwestvaco in 2000 at 12 K-
Mart stores with the title "Display of merchandise affect sales." K-Mart is the main
outlet for your writing tools. An experiment was designed in which 12 K-Mart store.
Six stores were randomized assigned to implement the new system in the display of
merchandise, while six other stores displaying merchandise with the old way. The
experiment was conducted over six months. In conclusion: The sale of products that
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
127
implement the new system has a 7% higher sales than the sales of stores that use the
old system (Malhotra, 2005: 101).
The Journal of Product & Brand Management Vol 15 No 2 mentioned
about brand awareness and image impact on satisfaction and trust to increase future
sales. This would appear to: (1) brand awareness has a positive effect on current
purchase (2) brand image has a positive efeect on current purchase (3) brand
awareness has a positive efeect on future purchase and (4) brand image has a
positive effect on future purchase (Franz Rudolf Esch and Lagner Tobian et. al,
2006 : 98-105).
In European Journal of Marketing Vol.40 No. ½, stated that one thing that
is important to foster relationships between the seller and the buyer is "trust" (trust).
Confidence arising from a long training process until both parties trust each other.
Both party will be honest, fair and reliable in carrying out activities in the future. In
this connection the high level of seller and buyer confidence is influenced by: (1)
increase commitment, (2) enhance cooperation, (3) harness satisfaction and (4)
reduce conflicts (Leonidas.C. Et.al., 2006: 145).
Research conducted by Enciety Focus - 37 with the title Big City Lifestyle
Changes which took place in Surabaya concluded that lifestyle changes, especially
in big cities, suppose to make the traditional stores change the old pattern of their
business smartly. Development of the convenience store and mini market not only
requires adjustment of the operating hours, but also the adjustment and payment of
merchandise. Application of the supply chain as an alternative. Traditional store
merchandise scale according to the variation of a being sold is 7.1% for <20 product
number, 66.3% for 21 to 25 product number and 26.5% for > 25 products (Jawa
Post, 2010). This study provides the basis of marketing strategy for the minimarket.
In details, Williams in his book Keywords (1983: 87) states about culture
in three broad definitions, namely (1) a general process of intellectual, spiritual, and
aesthetic development, (2) a special way of life for people, a period, or a group,
called the lived cultures or cultural practice, and (3) the works and practices
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
128
primarily aesthetic and intellectual activity, called the signifying practices. The
concept of culture written above is the recognition of various modern human
activities in various forms including the consumption or even consumerism.
Minimarket is present in the middle of a large urban community to meet the
needs of the community that felt as "emergency" in the middle of the night.
Customer segments are employees, students and people who work until late at night
or traveling at night which classified as middle-up. In running the retail business,
integrated retail concept applied, CARE, implying a deep perspective. This
perspective departs from a focus on customer needs, coordinating the activities
which affect the consumer, and make a profit by building relationships with
consumers in the long run based on customer satisfaction and value (Lynda and
Cynthia, 2001: 7).
The operation of minimarket which operate for 24 hours a day, helps to
increase consumers number especially among younger consumers. Circle K
minimarket imaged as a hip minimarket and they serve drinks that are complete
enough, an option preferred by Indonesian youth of today. Buyers of the stores were
also allowed to sit in front of the minimarket while enjoying what they had bought,
and that indirectly lead to made circle k as the youth gathering place in the evening
time. Shopping in minimarket is seen as a lifestyle or life style can be defined as a
pattern of space, time, and the certain goods of social groups usage. Lifestyle, then,
is how certain social groups use the space, time, and goods, with the pattern, style,
or habit, which is done repeatedly in the certain space-time. When associated with
the geography-time, the lifestyle is how the patterns, habits, and style of a particular
social group in the routine of everyday social practices within the space-time
(Filiang, 2004: 60). By understanding the customer is one of the keys to make
minimarket succeed. Here are the pictures of minimarket, Circle K.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
129
Picture 1 : Minimarket Circle K
Shopping at the minimarket create a memorable shopping experience
through a selection of goods and creative promotional activities and create a
shopping environment that is safe, comfortable and enjoyable. Minimarket Circle K
is open 24 hours, appears in the following figure;
Picture 2 : Circle K on Evening Time
Minimarket visited by a lot of middle-low housewife to buy household
needed per week or per month. On the other side, the circle K approached by staff,
students, and young middle-up for shopping needs only at that moment. Selected
target consumers as employees and students because the two segments that havea lot
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
130
of activity. It is often that the duty office and school work have to be until late at
night. Circle K applied the special concept of illumination (ligthing) specifically to
give visitors a sense of security when shopping at night time, good lighting in the
store area or in the parking lot.
Store locations are also chosen specially so that it is far from posssible
criminal action, such as train stations or bus terminals. Store design is also different.
Circle K has a attractive modern design, by offering room and light, shelf or display
of products arranged in such a way that impressed nicely, while the minimarket was
designed simple. In terms of product price, the price at the Circle K is a bit more
expensive than most of the minimarket but this is not an obstacle to the middle up
class to shop. Circle K maximize customer satisfaction with emphasis on speed of
service, cleanliness, store cleanliness, hospitality services and a pleasant store
atmosphere. Added with the facility of free wifi or internet that is intended for those
who like to surf in cyberspace, which attracted a lot of customer.
Here's a comment or response from some of the mini-circle K of visitors,:
"Agus Damadi found shopping at Circle K is very satisfactory, as it also comfortable
and clean place, comfort is also important when shopping, the products are sold well
equipped, almost everything I need is available, although the price is more
expensive. Circle K also often give a bonus if you buy a particular product and not
all kiosks provide a facility like this".
“Aloysius Sanjaya Susel expressed that minimarket is a convenient place to
shop especially at night after work. Not only Circle K is open 24 hours a day, but
also it is located at the side of the highway makes it easy to find. Circle K is very
cool to hang out as he used to surf with friends. Items are sell well and complete so
that we find almost everything here, which is also very comfortable place.”
The existence of minimarket around us can not be denied as the people's
needs. A good arrangement of space, comfort, price information transparent and
good service, and the price is just one hundred rupiah difference with regular stalls
in things like soap and instant noodles. Every comfort is made to make customer
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
131
purchased more goods outside of their daily needs so that the culture of
consumerism continues to run. Consumers is as king. Just choose, take, bring it to
the cashier and pay. Member card swipe. Imagine, just take the card, traveling like a
king, choose, calculate, and friction out of the mini was very stylish and modern.
Forget how much money they spent away.
Lifestyle is the hallmark of a modern world, or who is often called
modernity. The point is that those who live in modern society will use the notion of
lifestyle for themselves and describe the actions of others. In daily interactions we
can apply the idea of a lifestyle without the need to explain what we mean, and we
are really challenged and may be difficult to find a general description of the things
that refer to the lifestyle. Lifestyles are patterns of action that differentiates one
person to another or life style as a set of practices and attitudes that make sense in
certain contexts (Chaney, 2009: 40-41).
In view of psychology, lifestyle is generally understood as a procedure or
personal habits of individual and unique. But then life style followed by a group of
people so there was a shift towards an understanding of lifestyle, which is to be the
way of life that reflects the attitudes, values and norms of a particular social group.
Lifestyle as a way of life includes a set of habits, views, and patterns of response to
life, and especially the equipment for a living. The way is not something natural, but
it was found, adopted or created, developed, and used to show action in order to
achieve certain goals (of calendar, 2006: 36-39).
III. CONCLUSION
Development of a minimarket in Denpasar is very rapid, so it can be said to
be poorly controlled and have marginalized the small merchants who sell on
traditional markets and stalls, need to get special attention from economic actors and
governments. It should be understood that the minimarket as a modern store that can
provide a variety of facilities and services can satisfy the consumer, especially for
urban communities. Minimarket are heavily promoted by the advertising media,
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
132
which is recognized by the consumer that has built a variety of imaging which is the
urban lifestyle.
In this research, there is a purpose to understand and transform structures of
domination in capitalist society, which in this case represented by the minimarket.
Industrialization has rise the production of goods and services in a very large
amount, that must be combined with high number of consumers. That is the reason
why consumer culture on society should be examined critically.
REFERENCES
Alfathri Adlin, 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Gaya Hidup.Yogyakarta:
Jala Sutra
Baswir, Revrison. 1999. Dilema Kapitalisme Perkoncoan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Baudrillard J P.2009. Masyarakat Konsumsi.Yogyakarta : Kreasi Wacana
Chaney, David.2009. Lifestyle: Sebuah Pengantar Komprehensif. Penerjemah
Nurhaeni. Yogyakarta: Jalasutra.
Leonidas C, Leonidou, Dayananda Palihawadana, Marios Theodosious, 2006. An
Integrated Model Of The Behavioural Dimensions Of Industrial Buyer-
Seller Relationships. European Journal Of Marketing/ Vol. 40 No. 1/2
Lynda, W.K.N dan Cyinthia, T.L.M. 2005. Managing the Brick-and-Mortar Retail
Stories. Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer
James F. Engel dkk.1994. Prilaku Konsumen. Jakarta : Binarupa Aksara
Malhotra, Naresh K, 2005. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan, Jakarta :PT
Indeks
Mary F. Rogers.2009. Barbie Cultural Ikon Budaya Konsumerisme. Yogyakarta:
Relief
Mursito,BM.2005. Mall Pintu Gerbang menuju Konsumerisme. Salatiga: Merdeka.
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Yogyakarta & Bandung: Jalasutra.
Ritzer, George And Douglas. 2006. Mengkonsumsi Kehampaan di Era Globalisasi.
Yogyakarta : Universitas Atmajaya
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
133
Rudolf Esch,Franz and Tobias Lagner,Berd H. Schmitt, Patrick Geus,2006. Are
brands forever? How brand knowledge and relationships affect current
and future purchases. Journal of Product & Brand Management.
Vol.15. No.2
Takwin, Bagus.2006.” Habitus Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya
Hidup”. Dalam Alfathri Adlin (ed):Menggeledah Hasrat : Sebuah
Pendekatan Multi Perspektif. Yogyakarta& Bandung: Jalasutra.Hal.:
35-54.
Document and Electronic Sources
Camat Denpasar Selatan, 2010. ”Monografi Kecamatan Denpasar Selatan”
Dinas Perijinan Kota Madya Denpasar, 2009. ”Peraturan Wali Kota Denpasar
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar
Tradisional, Pusat Pembelanjaan, dan Toko Modern.
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah R.I.,2008. ”Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha
Mikro, Kecil dan Menengah.
Tim Redaksi Radar Bali. 2010 a. “Minimarket Sisihkan Usaha Rakyat”. Dalam
Radar Bali, 16 Juni 2010.
Tim Redaksi Jawa Post. 2010 b. “Pemkot Segel Tujuh Minimarket”. Dalam Jawa
Pos, 13 Juli 2010.
Tim Redaksi Radar Bali 2011c. “Ijin Toko Modern Distop”. Dalam Radar Bali, 8
April 2011.
www.circlek.com.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
134
STUDI TENTANG DIVERSITAS KELAPA (Cocos sp.)
UNTUK UPAKARA YADNYA
DI DESA MARGA DAJAN PURI TABANAN
Oleh
Ni Nyoman Parmithi
Dosen FPMIPA IKIP PGRI Bali
ABSTRACT
Hindu community in particular, was never separated from the yadnya
ceremony. Upakara is part of Hindu religious framework, in addition to Tatwa
(philosophy) and Vice (ethics). Means of the ceremony usually use certain parts of
the plant such as stems, leaves, flowers and fruits are often accompanied with a
special identity.
Coconut is one of the fruits of their use for purposes Yadnya, not
independent of the morphological aspects and philosophical meaning.
Morphological aspects can be seen from the shape, color, bark, leaves and seludang.
While the philosophical meanings depending on the type and name Yadnya
offerings. Use of this palm fruit (bungkak) from the young to old (nyuh). In relation
to the second aspect, quite a lot of people who do not know about the types and
varieties of coconuts are used for the Yadnya benefit. In addition, it is still quite a lot
of people who do not know the meaning of the philosophy of coconuts in relation to
the name of offerings, given the wide variety of offerings that require coconut
different.
This study aims to determine the types and varieties of coconuts are used
for the benefit Yadnya, as well as to determine the morphological aspects of the
philosophy and meaning of coconuts used, and to determine the classification of
coconut plantations in ethnobotany. The research was conducted in the village of
Marga Dajan Puri Tabanan. The method used is the method of observation and
interviews with informants like Sulinggih, stakeholders and artisan offerings.
These results indicate that the types of coconuts used there are two types,
namely: (1) of the type Typika coconut (coconut), and (2) palm of the type Nana
(early maturing coconut). Local designation is nyuh mulung coconut, nyuh bojog,
nyuh Rangda/nyuh Bingin, nyuh tiger, nyuh bejulit, solar nyuh, nyuh Sudamala,
nyuh shrimp, nyuh ivory, nyuh months, and nyuh sieve. Morphological aspects of
the coconut fruit is used to upakara yadnya is the color of the fruit, the child form
the structure of leaves, leaf midrib, fruit shape, fruit sheath/keloping, color
mesokarp/fibers, shape and petals color/pockmark/mosquito, and the color filter.
Philosophical significance of coconuts in general is alit and the globe symbolizes the
great Huana. While the classification is based on the ethnobotany community
interests consumption/economy and the interests upakara/ ceremony.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
135
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Kelapa (Cocos sp) merupakan tanaman perkebunan/industri berupa pohon
batang lurus dari famili Palmae. Pohon tinggi berjenis palem ini telah
dibudidayakan sejak zaman dahulu kala, disebarkan secara luas oleh ras manusia,
dan secara alamiah tumbuh di tepi pantai tropis. Ada dua pendapat mengenai asal
usul kelapa (Cocos sp) yaitu dari Asia atau Indo Pasific menurut Berry, Lepesma,
dan dari Amerika Selatan menurut D.F. Cook, Van Martius Beccari. Kata coco
pertama kali digunakan oleh Vasco da Gama, atau dapat juga disebut pohon
kehidupan (tree of life), karena tanaman kelapa merupakan tanaman serbaguna atau
tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Hampir seluruh bagian dari pohon
kelapa seperti akar, batang, daun, dan buahnya dapat dipergunakan untuk kebutuhan
hidup manusia (Anonim, 2011).
Tumbuhan kelapa (Cocos sp), bagi masyarakat Bali selain untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari juga mempunyai peran penting dalam berbagai upacara,
baik upacara Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, maupun Pitra Yadnya. Pemanfaatan
buah kelapa dalam berbagai upacara didasarkan atas bentuk morfologi dan warna
yang dimiliki oleh kelapa tersebut. Bentuk morfologi dan warna buah kelapa
memang beraneka ragam ada yang lonjong, bulat atau bulat lonjong. Begitu juga
warnanya ada yang hijau, merah, coklat, ataupun jingga.
Desa Marga Dajan Puri adalah desa yang penduduknya berjumlah 612 KK
(2109 jiwa), dan terdiri dari 4 (empat) banjar, yakni Banjar Tengah Semeton, Banjar
Tengah Nyendoan, Banjar Anyar, dan Banjar Bugbugan yang hampir semua
masyarakatnya beragama Hindu. Frekuensi pelaksanaan upacara setiap tahunnya
relatif tinggi, seperti upacara Dewa Yadnya ngodalin di Paibon/Merajan, ngusaba
nini dan nganteg linggih. Pada tingkat keluarga seperti meotonan, nelubulanin,
ngeraja swala (upacara meningkat dewasa), metatah (upacara potong gigi) dan
masih banyak lagi upacara-upacara yang lainnya. Pelaksanaan upacara yadnya yang
variatif dan tinggi tersebut membutuhkan banyak bahan upakara, salah satu
diantaranya adalah buah kelapa. Penggunaan buah kelapa untuk upakara yadnya
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
136
tersebut juga bervariasi dilihat dari usia, warna dan bentuknya (jenis kelapa).
Penggunaan berbagai macam jenis dari buah kelapa tersebut disesuaikan dengan
jenis dan tingkatan upacara itu sendiri yakni mulai dari tingkatan upacara yang
paling kecil/sederhana (nista), biasa/menengah (madya) serta tingkatan upacara
yang paling besar/utama (utama).
“Desa-Kala-Patra”menunjukkan bahwa pelaksanaan dan penggunaan sarana
upakara yang ada di daerah yang satu dengan daerah yang lain berbeda, namun
tetap mempunyai maksud dan tujuan yang sama yaitu menghaturkan bakti suci
dengan perwujudan yadnya. Hal ini terkait dengan pengertian "Desa" adalah tempat
dimana kita berada, yang dalam hal ini berarti bahan upakara dapat disesuaikan
dengan keadaan setempat ; "Kala" adalah waktu ; dan "Patra" adalah keadaan, yang
memiliki makna bahwa upakara yang dilakukan menyesuaikan dengan waktu dan
kemampuan seseorang.
Hasil observasi yang penulis lakukan di Desa Marga Dajan Puri Tabanan
menunjukkan bahwa banyak masyarakat yang belum mengetahui jenis-jenis kelapa
yang diperlukan dalam upakara yadnya. Jenis kelapa yang dipergunakan dalam
upakara kadang-kadang sulit untuk dicari dan dipenuhi karena masyarakat tidak
mengetahui bagaimana ciri-ciri yang ada pada kelapa tersebut. Dewasa ini hanya
orang-orang yang berkecimpung dalam upakara yadnya saja yang mengetahuinya,
seperti tukang banten (sutri), pemangku, dan sulinggih.
Masyarakat khususnya umat Hindu, tidak dapat lepas dari pelaksanaan
upacara yadnya. Upakara merupakan bagian dari kerangka Agama Hindu, di
samping Tatwa (filsafat) dan Susila (etika). Sarana upacara biasanya menggunakan
bagian-bagian tertentu dari tanaman seperti batang, daun, bunga dan buah yang
sering disertai dengan identitas khusus. Berdasarkan latar belakang pemikiran di
atas peneliti memfokuskan penelitian pada satu aspek tanaman upakara dengan
judul “Studi Tentang Diversitas Kelapa (Cocos sp) untuk Upakara Yadnya di Desa
Marga Dajan Puri Tabanan".
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
137
1.1 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
masalahnya sebagai berikut :
1) Jenis-jenis kelapa apakah yang digunakan untuk upakara yadnya, khusunya di
Desa Marga Dajan Puri Tabanan?
2) Bagaimanakah aspek morfologi dan makna filosofis buah kelapa dalam
kaitannya dengan nama banten/upakara?
3) Apakah ada pengklasifikasian secara etnobotani terhadap jenis dan varietas
buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di Desa Marga Dajan Puri
Tabanan?
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Untuk mengetahui jenis-jenis buah kelapa yang digunakan dalam upakara
Yadnya, khusunya di Desa Marga Dajan Puri Tabanan.
2) Untuk mengetahui aspek morfologi dan makna filosofis buah kelapa dalam
kaitannya dengan nama banten/upakara.
3) Untuk mengetahui pengklasifikasian secara etnobotani terhadap jenis dan
varietas buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya, khususnya di Desa
Marga Dajan Puri Tabanan.
1.3 Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah diuraikan di
atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis
maupun secara praktis.
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat manambah wawasan khususnya bagi umat Hindu tentang jenis-jenis
buah kelapa, makna filosofis dan aspek morfologis dalam kaitannya
dengan upakara yadnya.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
138
b. Untuk menambah pengetahuan tentang identifikasi tanaman kelapa secara
etnobotani, khususnya yang berkaitan dengan upakara yadnya.
c. Dapat digunakan sebagai sumber belajar biologi di SMP maupun SMA
dengan berorientasi pada pembelajaran yang berbasis kearifan lokal (local
genius).
2. Manfaat praktis
a. Dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi pembaca khususnya
generasi muda tentang jenis-jenis buah kelapa, makna filosois dan aspek
morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya.
b. Dapat menumbuhkan kesadaran bagi umat Hindu untuk melestarikan
tumbuhan khususnya pohon kelapa mengingat manfaat dan fungsinya
terutama yang berkaitan dengan upakara yadnya.
II. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode observasi dan
metode wawancara dengan beberapa informan seperti sulinggih, pemangku, dan
tukang banten yang ada di Desa Marga Tabanan.
2.1 Hasil Penelitian
2.1.1 Jenis-jenis Kelapa yang Digunakan untuk Upakara Yadnya di Desa
Marga Dajan Puri Tabanan
Berdasarkan hasil wawancara dengan para informan diperoleh data tentang
jenis-jenis kelapa yang digunakan untuk kepentingan upakara yadnya seperti dalam
tabel 01 sebagai berikut.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
139
Tabel 01
Jenis-jenis Kelapa yang Digunakan untuk Upakara Yadnya
di Desa Marga Dajan Puri Tabanan
No Nama
Indonesia Nama Daerah
Nama
Ilmiah Suku
Penggunaan dalam
Upacara Yadnya
1 2 3 4 5
1. Kelapa Raja Nyuh Gading Cocos nucivera
var.Regia
Araceae √ - √ √ √
2. Kelapa
Gading
Nyuh Bulan Cocos nucivera
var.Ebunea
Araceae √ - √ - √
3. Kelapa puyuh
/ kelapa bagi
Nyuh Gadang Cocos nucivera
var.Pumila
Araceae √ - √ - √
4. Kelapa hijau Nyuh Mulung Cocos veridis Araceae √ - √ - √
5. Kelapa hijau Nyuh bojog Cocos veridis Araceae √ - - - -
6. Kelapa Merah Nyuh rangda
/nyuh bingin
Cocos rubescen Araceae √ - - - -
7. Kelapa Merah Nyuh macan Cocos rubescen Araceae √ - - - -
8. Kelapa hijau Nyuh bejulit Cocos veridis Araceae √ - - - -
9. Kelapa Merah Nyuh surya Cocos rubescen Araceae √ - √ - -
10. Kelapa hijau Nyuh
Sudamala
Cocos veridis Araceae √ - √ - √
11. Kelapa Merah Nyuh udang
/Nyuh
Brahma
Cocos rubescen Araccae √ - √ - √
Sumber : Sulinggih (griya pada), Br.Tengah Semeton.
Keterangan √ = ya 1. Dewa yadnya
2. Rsi yadnya
- = tidak 3. Manusa yadnya
4. Pitra yadnya
5. Bhuta yadnya
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
140
2.1.2 Data tentang Makna Filosofis dan Aspek Morfologi Buah Kelapa dalam
Kaitannya dengan Nama Banten atau Upakara
Tabel 02
Makna Filosofis Buah Kelapa dalam Kaitannya
dengan Nama Banten/Upakara
Semua jenis kelapa
Digunakan dalam upacara serta nama banten/upakara Bagian yang
digunakan
Aspek morfologi /
Anatomi buah Maknanya
Dewa Yadnya
Rsi Yadnya
Manusa Yadnya
Pitra Yadnya
Bhuta Yadnya
Jenis kelapa dalam (tall variety) serta dari jenis kelapa genjah (dwarf variet
Daksina Buah/biji kelapa tua (nyuh)
Bentuk bulat
Melambangkan bumi
Banten penyambutan
Biji kelapa tua (nyuh)
Bentuk bulat
Melambangkan bumi
Sesantun Buah kelapa tua yang besar (nyuh)
Bentuk buah
Melambangkan alam semesta
Dandanan Buah kelapa tua yang kecil (nyuh)
Bentuk bulat
Melambangkan bumi
Pekekeh/ srembean pase
Biji kelapa tua yang besar (nyuh)
Bentuk bulat
Melambang-kan bumi
Pulokerti/ pengawak
Pulokerti/penga-wak
Buah kelapa tua yang kecil
Bentuk bulat
Melambang-kan bumi
Sibuh pepek
Biji kelapa tua yang besar/kecil (nyuh)
Bentuk bulat
Melambang-kan bumi
Segehan agung
Biji kelapa tua yang kecil (nyuh)
Bentuk bulat
Melambang-kan bumi
Tempat ari-ari
Buah kelapa tua yang besar (nyuh)
Bentuk bulat
Melambang-kan bumi
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
141
Lanjutan Tabel 02
Semua jenis kelapa
Digunakan dalam upacara serta nama banten/upakara Bagian yang
digunakan
Aspek morfologi /
Anatomi buah Maknanya
Dewa Yadnya
Rsi Yadnya
Manusa Yadnya
Pitra Yadnya
Bhuta Yadnya
Banten dyus kamagali
Biji kelapa yang tua (nyuh)
Bentuk bulat
Melambang-kan bumi
Pesipetan Biji kelapa yang tua (nyuh)
Bentuk bulat
Melambang-kan bumi
Pegat sot Biji kelapa yang tua (nyuh)
Bentuk bulat
Melambang-kan bumi
Pengurip-urip
Biji kelapa yang tua (nyuh)
Bentuk bulat
Melambang-kan bumi
Banten ajuman
Daging kelapa yang telah diolah (saur)
Putih lembaga lunak dapat dimakan
Lambang lauk / persembahan
Damar kurung
Minyak kelapa
Hasil olahan putih lembaga menjadi minyak
Lambang kekuatan / sakti Dewa Brahma
Bubuh sasuru
Minyak kelapa
Hasil olahan putih lembaga menjadi minyak
Lambang kekuatan / sakti Dewa Brahma
Api takep
Sabut kelapa
Mesokarp yang kering untuk membuat api
Kesejahteraan dan keselamatan
Damar kurung
Tempurung kelapa
Endokarp sebagai arang
Lambang ke-kuatan / sakti Dewa Wisnu
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
142
Lanjutan Tabel 02
Semua jenis kelapa
Digunakan dalam upacara serta nama banten/upakara Bagian yang
digunakan
Aspek morfologi /
Anatomi buah Maknanya
Dewa Yadnya
Rsi Yadnya
Manusa Yadnya
Pitra Yadnya
Bhuta Yadnya
Pegenian
Tempurung kelapa
Endokarp sebagai arang
Lambang ke-kuatan / sakti Dewa Wisnu
Banten suci
Biji kelapa tua (nyuh)
Bentuk yang membulat
Melambangkan bumi
Banten celemik pat
Daging kelapa tua
Putih lembaga dapat dimakan
Lambang persembahan
Secara umum makna filosofi, penggunaan jenis-jenis kelapa dalam upakara
yadnya menunjukkan pemujaan kepada Dewata Nawa Sanga, yang merupakan
manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Dewata Yadnya
merupakan 9 (sembilan) Dewa penguasa seluruh penjuru arah mata angin. Mulai
dari arah Timur berstana Dewa Iswara yang merupakan simbul warna putih (nyuh
bulan), arah Tenggara berstana Dewa Maheswara yang merupakan simbul warna
dadu/barak baag (nyuh surya), arah Selatan berstana Dewa Brahma yang merupakan
simbul warna merah (nyuh udang), arah Barat Daya berstana Dewa Rudra yang
merupakan simbul warna jingga (nyuh rangda), arah Barat berstana Dewa
Mahadewa yang merupakan simbul warna kuning (nyuh gading), arah Barat Laut
berstana Dewa Sangkara yang merupakan simbul warna hijau (nyuh bojog), arah
Utara berstana Dewa Wisnu yang merupakan simbul warna hitam (nyuh mulung),
arah Timur Laut berstana Dewa Sambhu yang merupakan simbul warna biru (nyuh
bejulit), dan arah tengah berstana Dewa Ciwa yang merupakan simbul warna
campuran/brumhun (nyuh sudamala).
Masing-masing kelapa yang digunakan dalam upakara yadnya terdiri dari
kelapa yang telah tua (nyuh) dan kelapa yang masih muda (kelungah). Nyuh
mempunyai makna sebagai lambang Bhuwana Agung (alam semesta) dan Bhuwana
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
143
Alit (tubuh manusia). Sedangkan kelungah mempunyai makna sebagai lambang
pebersihan dan kesucian.
Aspek Morfologis Tanaman Kelapa yang Digunakan dalam Upacara Yadnya
di Desa Marga Dajan Puri Tabanan adalah sebagai berikut.
b. Nyuh Gading
Nyuh gading berwarna kuning emas, pelepah dan lidah daun berwarna kekuning-
kuningan dan bentuk buahnya bulat hingga lonjong.
c. Nyuh Bulan
Nyuh bulan adalah buah berwarna kuning gading atau kuning keputihan.
Sebagian daunnya juga berwarna kuning.
d. Nyuh Gadang
Nyuh gadang berwarna hijau tua.
e. Nyuh Mulung
Nyuh mulung berwarna hijau muda pekat/gadang sabilulung. Kelopak bunga
(tapuk/nyamuk) berwarna merah muda, pelepah dan lidah daun berwarna hijau.
f. Nyuh Bojog
Nyuh bojog mesokarpnya (sabut kelapa) berwarna abu-abu sehingga,
dipersonifikasikan seperti warna bulu pada kera /bojog.
g. Nyuh Rangda/Nyuh Bingin
Nyuh rangda/nyuh bingin buahnya berwarna jingga, susunan anak daun pada
ujung pelepah menjurai vertikal, kemudian pelepah daun bagian bawah menjurai
menutupi buah dan buahnya diselimuti oleh tapis.
h. Nyuh Macan
Nyuh macan adalah buah berwarna jingga atau hijau kekuningan. Pada kulit
buah terdapat bercak-bercak (bertotol-totol) loreng seperti kulit macan.
i. Nyuh Bejulit
Nyuh bejulit buahnya berwarna hijau kebiruan. Rangkaian anak daun satu sama
lain pada pelepah menempel/gempel dan pelepah daunnya pipih.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
144
Dipersonifikasikan seperti perawakan bejulit/ikan sidat yaitu ikan panjang
seperti ular yang bentuknya pipih.
j. Nyuh Surya
Nyuh surya adalah buah berwarna merah dadu/merah kecoklatan.
k. Nyuh Sudamala
Nyuh sudam kulit buahnya berwarna hijau. Mempunyai seludang buah/keloping
bertumpuk dua, dan ada pula yang memiliki sepasang kelopak bunga/tapuk.
l. Nyuh Udang/Nyuh Brahma
Nyuh udang/nyuh brahma buahnya berwarna hijau kekuningan, kelopak bunga
(tapuk/nyamuk) dan mesokarpnya (sabut kelapa pada saat muda) berwarna
merah.
2.1.3 Data tentang Pengklasifikasian Tanaman Kelapa Ditinjau dari Segi
Etnobotani oleh Masyarakat Marga Dajan puri Tabanan
Pengklasifikasian tanaman kelapa secara etnobotani oleh masyarakat
Marga Dajan Puri Tabanan, dilakukan berdasarkan atas manfaat atau fungsinya
yaitu :
a. Berdasarkan kepentingan konsumsi/ekonomi.
Umumnya buah kelapa yang digunakan untuk keperluan konsumsi atau ekonomi
dicari buah kelapa yang ukurannya relatif besar, tebal, kadar minyak tinggi, dan
rasa daging kelapa muda manis.
b. Berdasarkan kepentingan upakara/upacara
Umumnya buah kelapa yang digunakan adalah kelapa yang mempunyai ciri khas
yang spesifik (khusus) seperti warna buah (warna eksokarp dan warna
mesokarp), struktur atau bentuk anak daun, morfologi kelopak bunga, dan
morfologi seludang buah Pada jenis-jenis upakara tertentu ada yang
menggunakan kelapa yang sudah tua (nyuh) dan ada pula yang menggunakan
kelapa yang masih muda (kelungah). Misalnya, pada upakara pengresikan
mempergunakan buah kelapa yang masih muda (kelunguh), dan pada
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
145
upakara/banten pejati, daksina, dan banten suci mempergunakan buah kelapa
yang sudah tua (nyuh). Hal itu disesuaikan dengan fungsi dan makna buah
kelapa pada upakara yadnya.
2.2 Pembahasan
Bagi umat Hindu jenis dan varietas buah kelapa dalam kaitannya dengan
pelaksanaan upakara yadnya memiliki makna filosofi dan penggunaannya
berdasarkan bentuk atau aspek morfologi dan nama banten/upakara.
a. Nyuh Gading
Nyuh gading merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa genjah (dwarf
variety) dengan nama Indonesia kelapa raja (C. nucivera var. regia). Kelapa jenis ini
digunakan dalam Upacara Dewa yadnya, yang terdiri dari upakara/banten sesayut
prayascita luwih, prayascita sakti, prayascita biasa, dan pedudusan agung
(pedarinan, pengenteg, penyegjeg). Pada upacara Manusa Yadnya kelapa raja atau
nyuh gading digunakan dalam upakara/banten pewintenan, peras potong gigi, eteh-
eteh pengelukatan, eteh-eteh pedudusan alit, dan sebagai tempat pembuangan
pedanggal.
Pada upacara Pitra Yadnya nyuh gading dipergunakan sebagai tempat abu
puspa sarira dan caru panca sato dalam upacara Bhuta Yadnya. Bagian yang
digunakan dalam upakara adalah kelungah (kelapa yang masih muda), nyuh (kelapa
tua), dan janur nyuh gading. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara
yadnya, yaitu kandungan air dan warna buah nyuh gading bermakna sebagai
lambang kesucian, pebersihan, serta sebagai simbul perwujudan manifestasi Ida
Sang Hyang Widi Wasa sebagai Dewa Mahadewa dalam kontek Dewata Nawa
Sanga (Dewa penguasa 9 penjuru arah mata angin).
b. Nyuh Bulan
Nyuh bulan merupakan sebutan lokal dari kelapa gading (Cocos nucivera var.
ebunea) termasuk ke dalam jenis kelapa genjah (dwarf varied). Kelapa gading atau
nyuh bulan digunakan dalam upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
146
pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa Yadnya
nyuh hulas digunakan sebagai upakara eteh-eteh pedudusan alit, banten pewintenan,
dan banten pangulapan. Digunakan pula pada caru panca sato dalam upacara Bhuta
Yadnya, bagian yang digunakan adalah kelungah dan nyuh. Keterkaitan aspek
morfologi buah dalam upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang
dimiliki. Buah berwarna kuning gading/kuning keputihan bermakna sebagai
lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang
Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara (arah timur).
c. Nyuh Gadang
Nyuh gadang merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa genjah (dwarf
variety) dengan nama Indonesia kelapa puyuh/kelapa bagi. Nyuh gadang digunakan
dalam upacara Dewa Yadnya digunakan sebagai sarana upakara pedudusan agung
(pedarman, penyegjeg, pengenteg). Kemudian pada upacara Manusa Yadnya
digunakan dalam etch-eteh pedudusan alit. Pada upacara Bhuta Yadnya digunakan
dalam upakara tebasan durmengala dan upakara caru panca sato. Bagian yang
digunakan kelungah dan nyuh. Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara
yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki. Maknanya sebagai
lambang kesucian dan pebersihan.
d. Nyuh Mulung
Nyuh mulung merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh mulung digunakan
dalam upacara Manusa Yadnya sebagai sarana upakara banten mewinten, dan eteh-
eteh pedudusan alit. Untuk upakara tebasan durmengala dan caru panca sato
digunakan dalam upacara Bhuta yadnya.Bagian yang digunakan ialah kelungah
nyuh mulung. Keterkaitan aspek morfologi buah dalam upakara yadnya ialah
kandungan airnya, bermakna sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta
sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Dewa Wisnu (arah utara).
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
147
e. Nyuh Bojog
Nyuh bojog merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Dalam upacara Dewa Yadnya
nyuh bojog digunakan sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman,
penyegjeg, pengenteg). Bagian yang digunakan untuk upakara adalah kelungah nyuh
bojog. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya adalah
kadungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang kesucian
dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Dewa Sangkara (arah barat laut).
f. Nyuh Rangda/Nyuh Bingin
Nyuh rangda atau nyuh bingin merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa
dalam (tall variety) dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh
rangda/Nyuh bingin digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara
pedudusan agung (pedarman, pengenteg penyegjeg). Bagian yang digunakan dalam
upakara yadnya ialah nyuh (kelapa tua). Keterkaitan aspek morfologi buah dalam
upakara yadnya adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki bermakna
sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang
Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Rudra (barat daya).
g. Nyuh Macan
Nyuh macan merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh macan digunakan
pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara/banten catur (upacara nganteg
linggih), pedudusan agung (pedarman, pengenteg, penyegjeg). Bagian yang
digunakan dalam upakara yadnya adalah nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek
morfologi buah dalam upakara yadnya ialah kandungan air, warna buah, sebagai
lambang kesucian dan pebersihan serta karakter dari sifat macan yang bermakna
sebagai lambang kekuatan yang kokoh sebagai simbol/nyasa agar ajeg dan tegteg.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
148
h. Nyuh Bejulit
Nyuh bejulit merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh bejulit digunakan pada
upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman,
pengenteg, penyegjeg). Bagian yang digunakan dalam upakara ialah nyuh (kelapa
tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya ialah
kandungan air dan warna buah yang miliki. Maknanya sebagai lambang kesucian
dan pebersihan serta sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Dewa Sambhu (arah timur laut).
i. Nyuh Surya
Nyuh surya merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall variety)
dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh surya digunakan
pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung (pedarman,
penyegjeg, pengenteg) serta pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam upakara
pewintenan. Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah kelungah (kelapa
yang masih muda) dan nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah
dalam upacara yadnya ialah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna
sebagai lambang kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang
Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Maheswara (arah tenggara).
j. Nyuh Sudamala
Nyuh sudamala merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa dalam (tall
variety) dengan nama Indonesia kelapa hijau (Cocos veridis). Nyuh sudamala
digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana upakara pedudusan agung
(pedurman penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa Yadnya digunakan dalam
upakara etch-eteh pedudusan alit serta digunakan pada upacara Bhuta Yadnya dalam
upakara caru panca sato. Bagian yang digunakan dalam upakara yadnya ialah
kelungah dan nyuh. Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upacara yadnya
ialah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang
kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
149
Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Ciwa (arah tengah).
k. Nyuh udang/Nyuh brahma
Nyuh udang atau Nyuh brahma merupakan sebutan lokal dari jenis kelapa
dalam (tall variety) dengan nama Indonesia kelapa merah (Cocos rubescen). Nyuh
udang atau Nyuh brahma digunakan pada upacara Dewa Yadnya sebagai sarana
upakara pedudusan agung (pedarman, penyegjeg, pengenteg). Pada upacara Manusa
Yadnya digunakan dalam upakara eteh-eteh pedudusan alit, dan banten byakala serta
digunakan pada upacara Bhuta Yadnya dalam upakara caru panca sato. Bagian yang
digunakan dalam upakara yadnya ialah kelungah (kelapa yang masih muda) dan
nyuh (kelapa tua). Keterkaitan antara aspek morfologi buah dalam upakara yadnya
adalah kandungan air dan warna buah yang dimiliki, bermakna sebagai lambang
kesucian dan pebersihan serta sebagai simbul perwujudan Ida Sang Hyang Widi
Wasa dalam manifestasinya sebagai Dewa Brahma (arah selatan).
Deskripsi morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di
Desa Marga Dajan Puri Tabanan dapat dilihat berdasarkan atas ciri-ciri morfologi
yang ada pada kelapa tersebut. Dimulai dari warna buah, kelapa yang digunakan
untuk upakara yadnya memiliki warna kuning emas, merah kecoklatan (warna
dadu), kuning gading/kuning keputihan, hijau muda pekat, hijau kebiruan, hijau
kekuningan dengan sedikit warna merah pada pangkal buah, jingga (orange), hijau,
hijau tua, dan hijau kekuningan.
Dilihat dari struktur anak daun, jenis kelapa untuk upakara yadnya tersebut
ada yang mempunyai susunan anak daun pada pelepah saling menempel (nyuh
bejulit). Ada pula memiliki susunan anak daun pada ujung pelepahnya menjurai
vertikal (nyuh rangda). Pada nyuh sudamala mempunyai struktur seludang buah/
spata (keloping) bertumpuk dua, ada pula yang memiliki sepasang kelopak bunga.
Melalui hasil pengamatan struktur anatomi dengan membelah buah kelapa menjadi
dua tampak mesokarp (sabut) ada yang berwarna merah (nyuh udang/nyuh brahma)
dan abu-abu (nyuh bojog).
Pengklasifikasian etnobotani oleh masyarakat didasarkan atas manfaat atau
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
150
fungsi buah kelapa dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Berdasarkan manfaat
atau fungsinya dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu berdasarkan
konsumsi/ekonomi, dan berdasarkan kepentingan upakara/upacara.
Semua bagian dari buah kelapa, mulai dari sabut, tempurung, daging buah,
dan air dapat dimanfaatkan untuk upakara yadnya. Buah kelapa yang dimanfaatkan
dalam upakara yadnya adalah kelungah dan nyuh. Secara umum makna filosofis
kelungah adalah sebagai lambang penyucian jasmani dan rohani, sedangkan makna
filosofis nyuh adalah sebagai lambang bumi/alam semesta (Bhuwana Agung) dan
tubuh manusia (Bhuwana Alit) (Nala, 2004).
Pada upakara yang menggunakan sarana kelungah, menggunakan jenis
kelungah dengan warna yang berbeda-beda, makna filosofis dari berbagai jenis
kelungah yang digunakan tersebut melambangkan kekuasaan Tuhan (Ida Sang
Hyang Widi Wasa) dalam manifestasinya sebagai Dewa-Dewa penguasa seluruh
penjuru mata angin (Dewata Nawa Sanga).
Jro Mangku Kahyangan Tiga, seorang pemangku di Desa Marga Dajan
Puri, mengatakan bahwa semua kelungah yang dipergunakan dalam upakara di-
kasturi terlebih dahulu; yaitu bagian atas (pangkal) buah dilubangi dengan bentuk
segitiga, barulah kemudian dipergunakan sesuai dengan tata cara upacara yang
dilakukan. "kasturi" yang dilakukan pada kelungah mengandung makna : (l) agar
tirta tersebut mendapatkan penganugrahan dari Dewa Tri Murti dan (2) merupakan
penyupatan dari Tri Mala," jelas Jro Mangku Jingga, pemangku Pura Desa Marga
Dajan Puri. Selanjutnya, (Suwita Utami, dalam Kumpulan Publikasi Tanaman Adat
Bali 2004) menyatakan kasturi yang berbentuk segitiga merupakan lambang trinitas:
Utpati (penciptaan), Stithi (pertumbuhan), dan Pralina (peniadaan) kehidupan
manusia.
Secara umum makna filosofis kelungah setiap jenis kelapa sangat penting,
karena masing-masing mempunyai makna dalam setiap bagian upakara yadnya
seperti; (1) untuk membersihkan atau menyucikan bangunan/pelinggih di Pura-Pura,
karena pelinggih merupakan Stana/ tempat Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) agar
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
151
bersih dari kotoran secara niskala; (2) untuk menyucikan banten yang dihaturkan;
dan (3) untuk menyucikan seseorang yang akan dibuatkan upacara (Ngurah Nala,
dalam Prosiding Seminar Tanaman Upacara Adat Bali 2004).
Dari hasil penelitian dan pengamatan antara morfologi dan pemanfaatan
buah kelapa dalam upakara yadnya memiliki hubungan erat. Hal ini disebabkan
karena pada banten/upakara yang menggunakan sarana kelungah, menggunakan
jenis kelungah dengan warna yang berbeda-beda, yang merupakan lambang dari
Dewa-Dewa penguasa seluruh penjuru mata angin. Sedangkan penggunaan buah
kelapa pada upakara/banten yang menggunakan nyuh, misalnya kelapa tidak
membedakan warna buah, boleh menggunakan buah kelapa dari semua jenis warna.
Hal ini disebabkan karena makna filosofis nyuh pada upakara tidak berdasarkan
warna, tetapi berdasarkan bentuk, yang melambangkan bumi (bulat). Ida Pedanda
Istri Putra Tangkeban menyatakan bahwa kelungah pada banten tidak bisa
digantikan dengan kuud atau nyuh karena komposisi air kelungah sudah berbeda
dengan kuud atau nyuh. Hal ini dapat dilihat dari komposisi air kelungah adalah
sebagai berikut, gula : 1,7 %; kandungan mineral tinggi; kandungan protein tinggi;
kandungan sitokinin juga tinggi; dan memiliki pH 5,0. sedangkan komposisi air
kuud adalah gula 3 %, kandungan protein berkurang, kandungan mineral bertambah,
hormon sitokinin berkurang, dan memiliki pH 6,5 dan komposis air nyuh adalah
gula 2,5 %, protein 0,55 %, mineral dan pH 5,5 (Warisno, 2003).
Menurut (Suwita Utami, dalam Kumpulan Publikasi Tanaman Upacara
Adat Bali 2004) dikatakan jika kelapa dimaknai sebagai Bhuwana Alit (tubuh
manusia) buah kelapa tersusun atas tujuh lapisan. Lapisan luar dari kelapa
melambangkan kulit luar manusia, lapisan dalam melambangkan kulit dalam
manusia. Serabut basah pada buah kelapa melambangkan urat-urat pada tubuh
manusia. Batok kelapa sebagai lapisan keras merupakan lambang tulang, isi atau
daging kelapa melambangkan daging. Air yang ada di dalamnya melambangkan
darah, dan kesucian yang ada dalam air kelapa melambangkan atma yang
memberikan manusia hidup.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
152
Selain itu, dalam pustaka rontal "Aji Sangkhya" dalam (Arwati, 2002) alam
semesta (Buana Agung) dinyatakan terdiri dari 14 lapisan, terdiri dari 7 (tujuh)
lapisan dalam pertiwi, disebut "Sapta Petala, " dan 7 (tujuh) lagi yang termasuk ke
dalam angkasa disebut "Sapta Loka”. Adapun lambang "Sapta Loka" pada kelapa
adalah 1) Air sebagai lambang mahalala; 2) Isinya yang lembut sebagai lambang
tala-tala; 3) Isinya sebagai lambang lala; 4) Lapisan pada isi sebagai simbol antala;
5) Lapisan isinya yang keras sebagai lambang sutala; 6) Lapisan tipis paling dalam
sebagai lambang nitala; 7) Batoknya sebagai lambang patala.
Lambang "Sapta Loka" pada kelapa disebutkan sebagai berikut. 1) Bulu
batok kelapa sebagai lambang bhur Loka; 2) Serat saluran sebagai lambang bhwah
Loka; 3) Serat serabut sebagai lambang swah Loka; 4) Serabut basah sebagai
lambang maha Loka; 5) Serabut kering sebagi lambang jnana Loka; 6) Kulit serat
kering sebagai lambang tapa Loka; dan 7) Kulit keras kering sebagai lambang setia
Loka.
III. PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
3.1.1 Jenis-jenis kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya di Desa Marga
Dajan Puri Tabanan ada 2 jenis yaitu; (1) kelapa dari jenis Typika (kelapa
dalam); dan (2) kelapa dari jenis Nana (kelapa genjah). Sebutan lokal
kelapa tersebut yaitu nyuh mulung, nyuh bojog, nyuh rangda/nyuh bingin,
nyuh macan, nyuh bejulit, nyuh surya, nyuh sudamala, nyuh udang, nyuh
gading, nyuh bulan, dan nyuh gadang.
3.1.2 Aspek morfologi buah kelapa yang digunakan untuk upakara yadnya
adalah warna buah, struktur bentuk anak daun, pelepah daun, bentuk buah,
seludang buah/keloping, warna mesokarp/serabut, bentuk dan warna
kelopak bunga/ tapuk/nyamuk, dan warna tapis. Makna filosofis buah
kelapa secara umum adalah melambangkan buana alit dan huana agung.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
153
3.1.3 Pengklasifikasian etnobotani oleh masyarakat adalah berdasarkan
kepentingan konsumsi/ekonomi dan kepentingan upakara/upacara.
3.2 Saran-saran
3.2.1 Kepada Pemerintah Daerah, khususnya Pemerintah Daerah Bali, mengingat
banyaknya jenis dan varietas kelapa yang diperlukan untuk kepentinyan
Upakara Yadnya, maka diharapkan adanya program pelestarian tanaman
kelapa, misalnya dengan penanaman secara mengkhusus pada suatu areal
atau tempat, sehingga ke depannya dapat mempermudah masyarakat dalam
memperoleh informasi tentang jenis-jenis kelapa yang dapat digunakan
untuk kepentingan upakara Yadnya.
3.2.2 Dalam pembelajaran Biologi yang berorientasi pada kearifan lokal, maka
bagi guru diharapkan dapat mensinergikan antara pembelajaran di kelas
dengan pengetahuan lokal yang ada di masyarakat yang terkait dengan
materi pelajaran guna mempermudah serta memperkaya pemahaman dan
pengetahuan siswa.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim. 2000. Obyek Peningkatan Sarana dan Prasaruna Kehidupan Beragama
Panca Yadnya (Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra
Yadnya, Manusa Yadnya). Denpasar : Pemerintah Provinsi Bali
Mantera. 2004. Tanaman Upacara Adat Bali Sebagai Upaya Mendukung
Pelestarian Tanaman Bali. Baturiti : Kebun Raya Eka Karya Bali-
LIPI.
Nala, Ngurah. 2004. Prosiding Seminar Tanaman Upacara Adat Bali. Bali : UPT
Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Eka Karya Bali LIPI
______, 2004. Filosofis Pemanfaatan dan Keanekaragaman Tanaman Upacara
Agama Hindu di Bali. Makalah Seminar Konservasi Tumbuhan
Upacara Agama Hindu : Kebun Raya Ekakarya Bali
Purwanto. 2008. Etnobotani Ilmu Interdisipliner dan Holistik : Labotatorium
Etnobotani Bidang Botani Pusat Penelitian Bogor.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
154
Surayin, I.A.P. 2002 Melangkah Kearah Persiapan Upakara-Upacara Yadnya.
Surabaya : Paramita Surabaya.
Sudarsaria, I.B.P. 2001. Ajaran Agama Hindhu, Upacara Manusa Yadnya
Magedong-Gedongan. Denpasar : Yayasan Dharma Acarya Mandara
Sastra.
Sudarsana, I. B. P. 2002 . Ajaran Agama Hindu Filsafat Yadnya. Denpasar :
Yayasan Dharma Acarya
Suwita Utami. 2004. Kumpulan Publikasi Tanaman Upacara Adat Bali. Baturiti
Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI
Tantra, Sri Mpu Nabe Dwi. 1984. Penuntun Upacara Panca Yadnya. Singaraja :
Pengurus Pusat Maha Gotra Sanak Sapta Rsi.
Wahyu, Astiti. 2005. Etnobotani Buah Kelapa (Cocos sp) yang digunakan dalam
upakara Yadnya. Singaraja : Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas
MIPA Skripsi, tidak diterbitkan
Walujo, E. B. 2004. Tumbuhan Upacara Adat Bali dalam Persepektif Penelitian
Etnobotani. Makalah Seminar Konscrvasi Tumbuhan Upacra Agama
Hindu. Kebun Raya Eka Karya Bali.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
155
AFIKSASI INFLEKSIONAL DALAM
BAHASA INDONESIA
Sebuah Kajian Morfologi Generatif
Oleh
Ida Ayu Agung Ekasriadi
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Pendidikan bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali Denpasar
Abstract
This research discussed the process of inflectional affixation that produced
verbs in Indonesian language. The study adhered to the working principles of the
theory of generative morphology, the most cutting edge theory for morphological
study that was initially proposed by Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976),
Scalise (1984), and modified by Dardjowidjojo (1988). The basic concepts of
inflections applied are rooted in the basic concepts of inflections in English
mentioned by Aronoff (1976), Malmkjaer (1991), Spencer (1991), and Robins (1959
and 1998). In this research, it was found that there were a number of affixes
categorized as inflectional affixes in Indonesian language, namely: (1) prefixes
meN-, ber-, di-, and ter- ; (2) suffixes -i and -kan ; and (3) confixes ber-an and ke-
an. The meanings of inflections emerge due to affixation in Indonesian language is
(1) active voice, marked by prefixes meN- (-kan, -i); (2) passive voice, marked by
prefixes di- (-kan, -i), ter-, and personal pronouns (ku-, kau, kami, kita); (3)
reciprocal, marked by prefixes ber- and confix ber-an; (4) accidental, marked by
prefix ter-; (5) excessive, marked by confix ke-an; (6) iterative, marked by suffix - i
or confix ber-an; and (7) irregular, marked by confix ber-an.
Keywords : inflectional affixation, generative morphology
I. LATAR BELAKANG
Perubahan morfologis secara garis besar dibedakan menjadi dua bagian,
yaitu infleksi dan pembentukan kata (Matthews, 1974 : 38). Perubahan morfologis
mencakup pemajemukan, afiksasi, konversi, derivasi balik, perubahan bunyi,
suplesi, perpaduan (blending), dan pengakroniman. Proses pembentukan kata
dengan penambahan afiks pada akar atau dasar (pangkal) kata sehingga
menghasilkan bentuk baru, baik secara leksikal maupun gramatikal disebut afiksasi.
Afiksasi yang menghasilkan bentuk baru secara leksikal disebut derivasi, sedangkan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
156
afiksasi yang menghasilkan bentuk baru yang secara leksikal tetap sama, tetapi
berbeda secara gramatikal dinamakan infleksi. Infleksi tidak hanya terjadi melalui
afiksasi, tetapi dapat juga terjadi melalui konversi dan perubahan vocal (Huddleston,
1984 : 22-25).
Setakat ini pembicaraan afiksasi Bahasa Indonesia pada umumnya hanya
dikaitkan dengan derivasi. Misalnya, Ramlan dalam salah satu pembicaraannya
tentang proses morfologis, afiksasi hanya dibicarakan dari sudut asli tidaknya suatu
afiks dan produktif tidaknya suatu afiks (Ramlan 1987 : 54-62). Sementara itu,
Kridalaksana justru mengatakan bahwa afiks infleksional sangat tidak relevan
dibicarakan dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak tergolong bahasa
fleksi (1984 : 17). Pada bagian lain, Kridalaksana mengatakan bahwa perbedaan
derivasi dan infleksi dalam Bahasa Indonesia tidak sejelas perbedaan derivasi dan
infleksi dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, ia menunda pembicaraan infleksi
sampai ada penelitian yang meyakinkan (1989 : 11).
Pembicaraan afiksasi yang menyinggung adanya derivasi dan infleksi
dalam bahasa Indonesia dapat dilihat pada tulisan Parera (1994) dalam Morfologi
Bahasa. Pembicaraan ini tidak khusus membahas derivasi dan infleksi dalam bahasa
Indonesia, namun sekadar contoh-contoh untuk menjelaskan kedua konsep istilah
tersebut. Kajian afiksasi yang secara tegas membedakan derivasi dan infleksi dapat
dilihat pada tulisan Robins (1959) yang diterjemahkan oleh Kridalaksana (1983)
dalam Sistem dan Struktur Bahasa Sunda.
Bertolak dari kajian yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa selama ini
belum ada kajian yang secara khusus membahas afiksasi infleksional dalam bahasa
Indonesia sehingga kajian pada bidang ini sangat penting dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
157
1) Jenis-jenis afiks yang manakah yang terlibat dalam afiksasi infleksional
Bahasa Indonesia?
2) Bagaimanakah makna infleksi yang ditimbulkan sebagai akibat
pembubuhan afiks dalam Bahasa Indonesia?
1.3. Tujuan Penulisan
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) jenis-jenis afiks dalam
afiksasi infleksional Bahasa Indonesia dan (2) makna infleksi yang ditimbulkan
sebagai akibat pembubuhan afiks dalam Bahasa Indonesia. Semua deskripsi dalam
telaah ini diharapkan dapat mendekati gambaran umum afiksasi infleksional Bahasa
Indonesia.
1.4. Ruang Lingkup
Mengingat terbatasnya kesempatan, maka penelitian ini hanya terbatas pada
pengkajian mengenai afiksasi verbal Bahasa Indonesia, khususnya verba yang
dihasilkan oleh afiks infleksi. Kajian ini dilakukan terhadap ragam bahasa Indonesia
baku. Ragam bahasa baku menurut Bawa dkk. (1988 : 31) adalah ragam bahasa
yang digunakan pada komunikasi resmi, wacana teknis seperti laporan resmi dan
karangan ilmiah (populer), pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan
yang dihormati.
1.5. Sumber Data
Data penelitian ini bersumber dari bahan tertulis, yaitu kumpulan cerita
rakyat dari seluruh Indonesia yang berjudul Dongeng Rakyat Se- Nusantara (t.t.)
karya Kidh Hidayat. Dalam karya ini terdapat 26 cerita rakyat dari 26 propinsi yang
ada di Indonesia, mulai dari cerita rakyat dari Aceh sampai dengan cerita rakyat dari
Irian Jaya. Di samping itu, terdapat pula cerita rakyat dari mancanegara, yaitu cerita
rakyat dari Timur Tengah, Inggris, Spanyol, dan Rusia. Dengan demikian, pemilihan
kumpulan cerita ini sebagai sumber data dapat dianggap mewakili pemakai bahasa
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
158
Indonesia dari berbagai latar belakang geografis dan mempresentasikan pemakaian
bahasa Indonesia dalam berbagai kehidupan di Indonesia. Selain itu, pemakaian
bahasa Indonesia dalam kumpulan cerita rakyat tersebut memenuhi persyaratan
kebahasaan yang menjadi objek dalam penelitian ini, yakni pemakaian bahasa
Indonesia ragam baku.
1.6. Metode Penulisan
Dalam penelitian ini digunakan tiga macam metode, yakni 1) metode
penyediaan data, 2) metode analisis data, dan 3) metode penyajian hasil analisis
data. Ketiga metode tersebut akan diuraikan di bawah ini.
Dalam penyediaan data digunakan metode kepustakaan karena data diambil
dari bahan tertulis, yakni kumpulan cerita rakyat yang berjudul Dongeng Rakyat Se-
Nusantara. Teknik catat digunakan sebagai teknik lanjutan, yakni penulis mencatat
setiap kalimat yang menggunakan verba berafiks infleksi.
Dalam analisis data, pertama-tama dilakukan pemilihan terhadap data yang
terkumpul berdasarkan makna infleksi yang ditemukan, apakah aktif, pasif,
resiprokal, aksidental, eksesif, iteratif, atau irregular. Langkah selanjutnya adalah
penentuan jenis-jenis afiks infleksi. Dalam hal-hal tertentu, misalnya, untuk
mengukur produktivitas afiks digunakan teknik seperti yang dianjurkan oleh
Sudaryanto (1993 : 36), yaitu teknik substitusi, teknik penambahan, dan teknik
parafrasa.
Setelah analisis data dilakukan, langkah selanjutnya adalah
pengorganisasian dan penulisan hasil analisis data. Hasil analisis disajikan dengan
metode informal (dengan kata-kata biasa) dan metode formal (dengan tanda dan
lambang-lambang).
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
159
II. KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI
2.1. Kajian Pustaka
Kajian afiksasi bahasa Indonesia pada khususnya dan morfologi pada
umumnya memang sudah cukup banyak. Akan tetapi, tidak semua hasil kajian itu
akan dipetakan di sini. Uraian ini hanya mencakup hasil kajian yang dianggap gayut
terhadap topik yang akan dibahas.
Ramlan dalam bukunya Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif membahas
seluk-beluk struktur kata dalam bahasa Indonesia yang dipergunakan dewasa ini. Ia
berpegang pada teori struktural yang menggunakan model penataan. Seluruh proses
morfologis yang ada dalam Bahasa Indonesia dibahas olehnya, yakni afiksasi,
pengulangan, dan pemajemukan. Dalam subbutir fungsi pembubuhan afiks dan
pengulangan, ia mengulas fungsi dan makna masing-masing afiks dengan sangat
rinci (1987: 54-63; 106-175). Dalam buku ini, tidak ditemukan secara eksplisit
pemilahan afiks nomina, verba, adjektiva, atau adverbia. Kelemahan lain yang dapat
ditemukan dalam kajian tersebut adalah tidak adanya deskripsi tentang afiks derivasi
dan infleksi. Di samping itu, ia juga tidak menjelaskan bagaimana proses afiksasi itu
terjadi, dan apakah dalam proses afiksasi ini tidak menemukan kendala. Atas dasar
kelemahan itu, maka kajian Ramlan belum dapat dianggap sempurna. Walaupun
demikian, deskripsi tentang fungsi afiks, jenis bentuk dasar yang dapat diikatnya,
dan sejumlah makna afiks yang muncul dalam proses afiksasi merupakan hal yang
sangat berharga dalam kaitannya dengan kajian ini.
Pendekatan khas yang membedakan kajian proses morfologis Kridalaksana
(1989) dalam Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia dengan kajian-kajian
lainnya adalah adanya interaksi antara leksikon dan gramatika dan pemanfaatan
konsep leksem. Meskipun ia bukan penganut aliran transpormasi generatif, model
proses dimanfaatkan dengan dasar bahwa model proses ini cocok untuk
menggambarkan morfologi bahasa Indonesia secara keseluruhan. Konsep afiksasi
menurut Kridalaksana adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata
kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
160
tertentu sehingga berstatus kata (atau setelah berstatus kata berganti kategori),dan
(3) sedikit banyak berubah maknanya. Sekilas, tampak telaah yang dilakukan oleh
Kridalaksana cukup mendalam dan menyeluruh karena dapat menampilkan 89
bentuk afiks dan sekitar 274 kemungkinan makna atau petanda yang bisa
diungkapkan, belum terhitung perubahan-perubahan kelas yang dilibatkannya.
Selain itu, ia telah mengklasifikasikan secara jelas fungsi afiks. Keunggulan yang
lain tentang kajian ini adalah proses pembentukan kata yang dipaparkan tidak hanya
mencakup kata-kata baku (ragam standar), tetapi juga yang nonbaku (nonstandar)
(1989 : 25-85). Jadi, dalam ulasan ini, Kridalaksana banyak menampilkan hal yang
baru yang belum pernah dibahas oleh ahli lain (1989 : 25-85). Di balik keunggulan-
keunggulan tersebut, terdapat juga kelemahan dalam kajian ini, yakni tidak adanya
pembagian yang eksplisit tentang afiks yang berfungsi derivasi dan yang berfungsi
infleksi. Kridalaksana justru mengatakan bahwa afiks infleksional sangat tidak
relevan dibicarakan dalam bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia tidak
tergolong bahasa fleksi. Padahal seperti contoh-contoh yang diberikan dalam
pembahasan derivasi dan infleksi oleh Parera dalam Morfologi Bahasa (1994 : 21-
23) menunjukkan bahwa dalam bahasa Indonesia ada afiks yang berfungsi infleksi.
Parera (1994) dalam Morfologi Bahasa tidak mendeskripsikan morfologi
bahasa secara khusus. Walaupun demikian, contoh-contoh yang diberikan lebih
banyak dengan data dan model bahasa Indonesia, termasuk di dalam membahas
derivasi dan infleksi. Pembahasan pada subbab derivasi dan infleksi ini dapat
memberikan petunjuk bahwa secara garis besarnya afiks dalam afiksasi bahasa
Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yakni afiks infleksional dan afiks
derivasional. (1994 : 21-23; 123-128). Dari pembahasan ini dapat dilihat bahwa
Parera memberikan contoh-contoh afiks derivasional yang jauh lebih lengkap dan
rinci jika dibandingkan dengan contoh-contoh yang diberikan terhadap afiks
infleksional. Ini membuktikan bahwa pembahasan-pembahasan tentang afiksasi
infleksional bahasa Indonesia kurang mendapat perhatian, bahkan peneliti lainnya
seperti Ramlan dan Kridalaksana, misalnya, sama sekali luput dari pembahasannya.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
161
Walaupun demikian, apa yang dilakukan oleh Parera merupakan langkah maju
dalam kajian morfologi bahasa Indonesia, dan contoh-contoh yang diberikan dalam
pembahasan derivasi dan infleksi ini dapat memberikan petunjuk, arah, dan
informasi yang sangat berarti dalam kajian afiksasi infleksional yang penulis
lakukan.
2.2. Konsep
Ada dua konsep yang perlu diuraikan pada subbab ini, yaitu derivasi dan
infleksi.
Aronoff (1976: 1-2) mengatakan bahwa secara tradisional gejala morfologi
dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu gejala derivasional dan gejala infleksional.
Gejala derivasional berkaitan dengan kategori leksikal. Artinya, proses derivasional
menyangkut proses pembentukan kata baru. Gejala infleksional berkaitan dengan
kategori gramatikal. Itu berarti dalam proses infleksional tidak terjadi proses
pembentukan kata baru, tetapi terjadi pemrosesan kata sehingga dapat berfungsi
dalam satuan gramatikal tertentu.
Malmkjaer dkk. (1991: 317-318) mengatakan bahwa infleksi menyangkut
proses perubahan bentuk kata, sedangkan derivasi menyangkut proses pembentukan
kata, baik yang mengubah kelas maupun yang mempertahankan kelas. Proses
infleksi baru dapat dilakukan apabila suatu bentuk telah mengalami proses derivasi
atau pemajemukan. Oleh karena itu, infleksi merupakan proses yang menutup kelas.
Kategori infleksi mencakup kala, diatesis, jenis kelamin, dan jumlah yang
merupakan kaidah terpenting dalam sintaksis dan sering disebut kategori
morfosintaksis. Proses infleksi sangat produktif dan biasanya dilakukan pada stem
(bentuk dasar) dan bukan root (bentuk asal). Makna infleksi teratur dan teramalkan.
Spencer (1991 : 20-21)berpendapat bahwa infleksi adalah varian dari satu
kata yang sama dan cenderung tidak mengubah kelas. Derivari merupakan proses
pembentukan kata, pada umumnya mengubah kategori bentuk dasar. Istilah derivasi
zero atau morfologi konversi atau null atau zero afixation adalah untuk menandai
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
162
proses pembentukan kata yang tidak menunjukkan adanya perubahan bentuk dasar.
Proses infleksi menyangkut proses penambahan unsur ekstra pada kata, misalnya
penambahan makna (kala, aspek, modus, negasi, dan lain-lain) dan juga terjadi
penambahan atau perubahan fungsi gramatikal. Dua prinsip dasar yang mencirikan
infleksi adalah kesesuaian dan kepenguasaan (agreement and goverment).
Robins (1959 dan 1998) dalam tulisannya tentang sistem dan struktur
bahasa Sunda yang diterjemahkan oleh Kridalaksana berpendapat bahwa sebagian
besar pembentukan kata dapat diklasifikasikan sebagai derivasi, dalam hal kata itu
dihasilkan dengan kelas yang tidak sama atau kelas yang berbeda dengan kata asal
atau akar. Proses morfologis dalam bahasa Sunda berikut ini dapat dimasukkan
dalam proses infleksi, yaitu (a) nasalisasi verba, sebagai penanda aktif; (b) prefiksasi
di- dan ka- untuk verba pasif; (c) Afiksasi yang menandai beberapa persona; (d)
pembentuk nomina jamak; (e) pembentuk verba jamak (1983 : 80,83).
Prinsip dasar derivasi adalah proses pembentukan kata, apakah kata yang
terbentuk itu berubah kelas atau tidak. Prinsip dasar infleksi adalah pemrosesan kata
menjadi satuan yang dapat digunakan dalam tataran gramatikal tertentu. Tidak
menjadi soal, apakah proses itu mengakibatkan perubahan bentuk kata atau tidak.
Secara umum, infleksi selalu berkaitan dengan masalah kala, diatesis, jenis
kelamin, dan jumlah. Oleh karena itu, proses infleksi--khususnya dalam bahasa
Inggris--pada umumnya dikaitkan dengan pemakaian kata dengan kala yang
berbeda, aktif-pasif, maskulin-feminim, dan tunggal-jamak. Bertolak dari prinsip
dasar itu, maka Robins (1959) mengatakan bahwa nasalisasi verba sebagai penanda
aktif, prefiksasi penanda pasif, afiksasi persesuaian persona, pembentuk nomina
jamak, dan pembentuk verba jamak tergolong proses infleksi.
Dalam telaah afiksasi verbal bahasa Indonesia, konsep dasar infleksi yang
diterapkan dalam penelitian ini, bersumber pada konsep dasar infleksi dalam bahasa
Inggris yang telah dikemukakan para ahli di atas. Prinsip dasar ini akan disesuaikan
dengan kenyataan yang ada dalam bahasa Indonesia. Atas dasar itu, maka telaah
infleksi dalam afiksasi verbal bahasa Indonesia mencakup infleksi aktif, infleksi
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
163
pasif, infleksi aksidental, infleksi aksesif, infleksi jamak (iteratif), dan infleksi
ketidakteraturan (irregular) (Bandingkan dengan Tampubolon, 1977 : 235-285).
Dari sejumlah pendapat yang dipetakan di atas, dapat disimpulkan bahwa a)
secara umum afiks dapat diklasifikasikan ke dalam afiks derivasional dan afiks
infleksional, b) afiks derivasional dapat membentuk leksem baru, sedangkan afiks
infleksional tidak, c) bentuk-bentuk yang sudah mengalami proses derivasi masih
dapat mengalami proses infleksi, tetapi tidak bisa terjadi sebaliknya, d) pada
umumnya, proses derivasi terjadi lebih dulu sebelum mengalami proses infleksi, dan
e) proses derivasi bersifat kurang produktif (ada beberapa idiosinkrasi), sedangkan
proses infleksi bersifat produktif (hampir tidak ditemukan kendala).
2.3. Kerangka Teori
Penelitian ini berpegang pada prinsip kerja teori morfologi generatif, yang
semula dicetuskan oleh Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalies
(1984), dan dimodifikasi Dardjowidjojo (1988). Pemilihan teori ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa teori morfologi generatif berpatokan pada cara kerja yang
menekankan proses (Item and Proces) (IP) sehingga mampu menjelaskan bagaimana
proses terbentuknya suatu kata baru. Cara kerja seperti ini mencakup semua proses
yang lazim, mungkin, dan tidak mungkin. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut
produktivitas dan kendala produktivitas, sedangkan kajian afiksasi bahasa Indonesia
yang telah dilakukan sebelumnya sebagian besar menggunakan teori struktural
khususnya struktural Amerika yang menerapkan model Item and Arrangement (IA)
sehingga kurang memberi penjelasan bagaimana proses terjadinya suatu bentuk.
Menurut Halle (1973), morfologi terdiri atas tiga komponen yang saling
terpisah: (1) list of morphemes (daftar morfem, selanjutnya disingkat DM); (2) word
formation rules (kaidah/aturan pembentukan kata, selanjutnya disingkat APK); dan
(3) filter (saringan, penapis, tapis) (Halle, 1973 :3-8).
Dalam DM ditemukan dua macam anggota, yaitu akar kata (yang dimaksud
adalah dasar) dan bermacam-macam afiks, baik derivasional maupun infleksional.
Butir leksikal yang tercantum dalam DM tidak hanya diberikan dalam bentuk urutan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
164
segmen fonetik, tetapi harus dibubuhi beberapa informasi gramatikal yang relevan.
Misalnya, write dalam bahasa Inggris harus diberi keterangan : termasuk verba dasar
bukan berasal dari bahasa Inggris dan lain-lain.
Komponen kedua adalah APK, yaitu komponen yang mencakup semua
kaidah tentang pembentukan kata dari morfem-morfem yang ada pada DM. APK
bersama DM menentukan bentuk-bentuk potensial dalam bahasa. Oleh karena itu,
APK menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata dan bentuk-
bentuk potensial yang belum ada dalam realitas. Bentuk-bentuk potensial
sebenarnya dihasilkan dari kemungkinan penerapan APK dan DM, tetapi bentuk-
bentuk itu tidak ada atau belum lazim digunakan. Misalnya, bentuk mencantik dan
berbus dalam bahasa Indonesia dan ngejuk dan *nyelem dalam bahasa Bali adalah
hasil APK karena semua bentuk itu memenuhi syarat dalam penerapan APK.
Komponen ketiga, yaitu komponen saringan atau penapis berfungsi
menyaring bentuk-bentuk yang dihasilkan oleh APK dengan menempeli beberapa
idiosinkrasi, seperti idiosinkrasi fonologi, idiosinkrasi leksikal, atau idiosinkrasi
semantik. Idiosinkrasi merupakan keterangan yang ditambahkan pada bentuk-bentuk
yang dihasilkan APK yang dianggap “aneh”. Hal ini, dimaksudkan agar bentuk-
bentuk potensial/tidak lazim tidak masuk dalam kamus. Secara garis besar,
pandangan Halle tentang morfologi dapat dilihat pada diagram di bawah ini.
DIAGRAM I
(Halle, 1973 : 8 ; Scalise, 1984 : 23--25 ; Dardjowodjojo, 1988 : 36).
List of
Morphemes Word
Formation
Rules
Filter Dictionary
of
Words
Output Phonology Syntax
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
165
Sesungguhnya, APK yang diusulkan Halle memakai morfem sebagai
bentuk minimal yang dipakai sebagai landasan penurunan kata sehingga sering
disebut morpheme based. Akan tetapi, pengertian morfem yang diajukan Halle
sangat berbeda dengan yang lumrah dimengerti orang. Menurut Halle dalam kata
transformational dianggap ada lima morfem. Kelima morfem itu adalah trans-form-
at-ion-al (1973 : 3). Cara seperti ini jelas tidak diterapkan karena tidak mungkin
menguraikan kata menjangan menjadi men-jangan hanya karena dalam bahasa
Indonesia ada afiks men- seperti pada menjangan.
Daftar morfem yang memuat dasar dan afiks yang diusulkan Halle juga
mengandung kelemahan karena tidak mempertimbangkan adanya morfem pangkal
seperti yang terdapat dalam Bahasa Indonesia. Morfem pangkal juga berpotensi
untuk membentuk kata. Jika mengikuti pendapat Halle, maka bentuk itu tidak
mungkin diberi keterangan sintaksis karena kategorinya belum pasti sebelum
mendapat afiks atau bergabung dengan bentuk lain. Misalnya, bentuk juang, temu
dalam bahasa Indonesia berpotensi menjadi verba atau nomina, bergantung dari
afiks atau morfem lain yang mengikutinya. Halle tidak menyediakan tempat untuk
menampung bentuk seperti yang disebutkan di atas. Oleh karena itu, DM Halle
harus diperluas sehingga DM tidak hanya menampung dasar dan afiks, tetapi juga
bentuk yang sejenis temu (Periksa saran Dardjowidjojo, 1988 : 57).
Meskipun Halle mencantumkan kamus dalam diagramnya, ia tidak
menganggap bahwa kamus merupakan bagian integral dari morfologi generatif.
Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena APK dapat
memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Di samping itu, kamus juga
menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan. Oleh karena itu, Dardjowidjojo
(1988 : 57) menganggap bahwa kamus merupakan bagian yang integral dalam
morfologi generatif.
Bentuk-bentuk potensial menurut Halle tidak dimasukkan dalam kamus.
Tidak diberi penjelasan di mana bentuk itu ditampung. Dardjowidjojo berpendapat
bahwa bentuk-bentuk potensial ini dapat disimpan dalam kamus. Akan tetapi, untuk
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
166
e
membedakan dengan kata nyata ia mengusulkan agar bentuk potensial diberi
keterangan tambahan atau diberi tanda (*).
Saringan atau penapis dengan beberapa idiosinkrasi dapat memberikan
informasi mengapa bentuk tertentu dapat diterima dan mengapa bentuk lain tidak.
Hal ini merupakan langkah maju dalam analisis morfologi yang selama ini hanya
diterangkan sebagai perkecualian atau dihindari sama sekali. Oleh karena itu,
penulis menganggap bahwa penerapan teori morfologi generatif dalam kajian
afiksasi verba bahasa Indonesia sangat gayut.
Berdasarkan diagram yang diajukan oleh Scalise (1984 : 31),
Dardjowidjojo merombak model Halle seperti tampak di bawah ini (Dardjowidjojo,
1988 : 57).
DIAGRAM II
Dengan merombak pandangan Halle, Dardjowidjojo mengusulkan adanya
empat komponen yang integral dalam morfologi generatif. Keempat komponen itu
Kata dasar
Bebas
Terikat
A
f
i
k
s
a
b
c
d
i
f k
j
h
g
DM APK SARINGAN KAMUS
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
167
adalah DM, APK, saringan, dan kamus. Pada komponen DM dipisahkan antara
bentuk bebas dan bentuk terikat. Ini dimaksudkan untuk menampung bentuk terikat,
seperti morfem prakategorial. Mekanisme model ini adalah : bentuk bebas seperti
baju, sabit, dan lain-lain melalui jalur a. tanpa terhambat di saringan. Jalur b. untuk
bentuk bebas setelah mengalami afiksasi ; apabila tidak ada idiosinkrasi boleh
langsung disimpan dalam kamus, sedangkan apabila dikenali idionsinkrasi harus
lalui jalur c. Jalur d. untuk bentuk potensional yang tidak ada dalam pemakaian,
melalui jalur d.g. dan disimpan dalam kamus dan diberi catatan (*). Untuk bentuk-
bentuk yang mustahil seperti *berjalani, *melukisan akan melewati jalur d-h, dan
akan tertahan di saringan.
Bentuk-bentuk terikat bisa tertahan di saringan apabila afiksasinya keliru.
Misalnya, bentuk juang, selenggara apabila bergabung dengan afiks *ber-i atau
*meN-an lewat jalur e-i. Pemisahan jalur d-g dengan d-h dimaksudkan untuk
membedakan bentuk yang memang tidak mungkin, dan yang ketidakmungkinannya
hanya kebetulan.
Jalur f. pecah menjadi f-j untuk bentuk yang tidak punya idiosinkrasi,
sedang jalur f-k untuk yang memiliki idiosinkrasi. Menurut Dardjowidjojo bentuk
pegolf dianggap sebagai bentuk yang kena idiosinkrasi fonologis, walaupun bentuk
itu beranalogi pada bentuk pegulat dan petinju. Kata berjuang kena idiosinkrasi
semantik.
III. AFIKSASI INFLEKSIONAL DALAM BAHASA INDONESIA
3.1. Jenis-Jenis Afiks Infleksional
Untuk mengetahui jenis-jenis afiks infleksional yang terlibat dalam afiksasi
verba bahasa Indonesia, perhatikanlah kalimat berikut.
(1) Tak berpikir panjang, ia menombak babi hutan itu tepat pada lambungnya.
(2) Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bagu Raja
Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong.
(3) Teuku memerintahkan pengawalnya untuk menangkap Gama Dewa.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
168
(4) Untunglah tindakan kasar Cah Saimin dapat dicegah oleh salah seorang dayang
Putri Nini.
(5) Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu
itu diberi nama Si Jampang.
(6) Dengan bahagia mereka berpelukan.
(7) Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak
tumbuh lagi.
(8) Ia terpelanting jauh dan menggelepar-gelepar seperti ayam dipotong lehernya.
Semua kalimat di atas (1-8) mengandung verba turunan. Secara garis besar,
afiks yang membentuk verba itu dapat dipilah menjadi beberapa bagian, yaitu
prefiks, sufiks, dan konfiks. Ketiga jenis afiks itu tergolong afiks infleksional. Untuk
melihat bahwa ketiga afiks tersebut memiliki fungsi infleksi, seluruh kalimat di atas
dapat dianalisis seperti terurai di bawah ini.
Verba menombak pada kalimat (1) dibentuk dari dasar verba tombak dan
prefiksasi meN-. Verba tombak diturunkan dari nomina tombak melalui proses
derivasi zero atau konversi. Perubahan tombak menjadi menombak merupakan
proses infleksi karena di samping menombak sebagai verba, juga ditemukan verba
tombak. Misalnya, Tombak babi itu !. Jadi, proses prefiksasi nasal bukan
membentuk kata secara leksikal, tetapi membentuk satuan yang berfungsi untuk
menandai diatesis aktif.
Verba mematuki pada kalimat (2) memiliki kedekatan makna dengan verba
patuki yang dibentuk dari dasar verba patuk dan sufiksasi -i. Perubahan dari patuki
menjadi mematuki bersifat gramatikal. Bentuk mematuki muncul dalam konstruksi
gramatikal yang mementingkan subjek sebagai pelaku, sedangkan konstruksi patuki
mementingkan predikat sebagai tindakan atau perbuatan. Oleh karena itu, sufiks -i
pada mematuki disebut afiks infleksional. Hal ini sama dengan contoh kalimat (3)
yang memiliki bentuk perintah sebagai verba dasar dan sufiksasi -kan, dan
kemudian dibubuhkan prefiks meN-.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
169
Dalam kalimat (4), verba dicegah berasal dari dasar verba cegah dan
prefiksasi di-, sedangkan bentuk aktif ditandai oleh meN-, yaitu mencegah. Jadi, di-
termasuk afiks infleksional.
Afiks pada kalimat (5), (6), (7), dan (8) juga tergolong afiks infleksional,
yaitu sebagai penanda resiprokal, penanda eksesif, dan penanda aksidental. Masing-
masing ditemui pada verba berdebat (5), berpelukan, (6), kehausan dan kelaparan
(7), dan terpelanting (8). Afiks infleksional yang ditemukan pada keempat verba itu
adalah ber-, ber-an, ke-an, dan ter-.
Berdasarkan analisis seluruh kalimat di atas (1--8) dapat disimpulkan
bahwa dalam afiksasi verbal bahasa Indonesia terdapat afiks infleksional. Adapun
afiks infleksional ini meliputi : meN-, di-, kan-, -i, ber-, ber-an, ke-an, dan ter-.
Jenis-jenis makna infleksi yang ditandai oleh masing-masing afiks tersebut akan
diuraikan berikut ini.
3.2. Afiksasi Infleksional
Di atas telah disebutkan bahwa dalam bahasa Indonesia ditemukan afiks
meN-, di-, -i, -kan, ber-, ber-an, ke-an, dan ter- sebagai afiks infelksional. Tiap-tiap
afiks merupakan penanda aktif, penanda pasif, penanda resprokal, penanda
aksidental, penanda eksesif, dan penanda iteratif. Di samping itu, juga ditemukan
afiks infleksional yang menandai adanya ketidakteraturan tindakan, yaitu prefiks
ber-an.
3.2.1. Infleksi Aktif
Infleksi aktif adalah proses infleksi yang menyebabkan perubahan bentuk
verba menjadi penanda diatesis aktif. Secara lahir infleksi aktif ditandai oleh
hadirnya meN- pada verba bahasa Indonesia. Amati data berikut ini.
(9) Ia selalu memandang rendah orang lain.
(10) Mereka berusaha memberikan pertolongan sebisa-bisanya.
(11) Kemudian, Gama Dewa mengajari dayang Putri Nini petuah-petuah agama.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
170
Bentuk pandang, berikan, dan ajari masing-masing merupakan bentuk
imperatif yang menjadi dasar infleksi verba memandang, memberikan, dan
mengajari. Oleh karena perubahan verba pandang menjadi memandang, berikan
menjadi memberikan, dan ajari menjadi mengajari semata-mata karena kemauan
penutur untuk memilih bentuk aktif, maka hadirnya afiks meN- (-kan, -i) bersifat
infleksional. Di samping data tersebut di atas, berikut ini juga disajikan beberapa
contoh untuk memperkuat penjelasan dimaksud.
Bentuk Imperatif Bentuk Aktif
bakar membakar
perintahkan memerintahkan
temukan menemukan
percayai mempercayai
Secara ringkas proses infleksi aktif dalam bahasa Indonesia dapat
dirumuskan sebagai berikut.
Verba infleksi
(dasar) (dasar + aktif)
Verba imperatif meN - + verba imperatif „aktif‟
Contoh lain dapat dilihat di bawah ini
(12) Ia menombak babi hutan itu tepat pada lambungnya
(13) Dia (kerbau) sering menanduk badanku hingga rusak dan rata dengan tanah.
Pada kedua kalimat di atas, ditemukan verba menombak (12) dan menanduk
(13). Kedua verba ini masing-masing dibentuk dari dasar verba tombak + prefiks
meN- dan dasar verba tanduk + prefiks meN-. Verba dasar tombak dan tanduk ini
masing-masing merupakan hasil derivasi zero atau konversi dari nomina tombak dan
tanduk.
Berdasarkan data yang ditemukan, ternyata tidak semua nomina (alat)
dapat dibentuk menjadi verba. Untuk itu, perhatikan kalimat berikut ini.
(14) Ia merencong Tuanku Patih
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
171
Secara morfologis, semestinya verba di atas dapat diterima. Akan tetapi,
verba itu tidak pernah muncul dalam pemakaian. Setidak-tidaknya bentuk itu
dianggap janggal. Di sini perlu dibedakan bentuk berterima (acceptable) dan bentuk
gramatikal (gramatical). Tampaknya, tidak semua bentuk yang gramatikal dapat
dijumpai dalam pemakaian. Ketidak-munculan verba di atas disebabkan oleh adanya
kendala dalam proses produktivitas. Untuk mengganti bentuk *merencong yang
berasal dari rencong dalam bahasa Indonesia ditemukan padanannya yang lebih
tepat, yakni menikam. Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan alat seperti di
atas diungkapkan dengan kata menikam. Karena itu, bentuk *merencong tidak
pernah dijumpai dalam pemakaian bahasa Indonesia.
3.3. Infleksi Pasif
Infleksi pasif merupakan proses morfologis yang mengakibatkan
terjadinya perubahan fungsi pada tataran kalimat yang secara teratur ditandai oleh
hadirnya afiks pada struktur lahir. Perubahan fungsi yang dimaksud di sini adalah
perubahan fungsi sintaksis, yaitu konstituen yang berfungsi objek pada kalimat aktif
berubah menjadi fungsi subjek pada kalimat pasif. Dalam bahasa Indonesia infleksi
pasif secara teratur ditandai oleh hadirnya prefiks di-, (-kan, -i), ter-, dan klitik pada
verba transitif. Kalimat (15), (16), (17), (18), (19), (20), (21), (22), dan (23) berikut
adalah kalimat pasif yang ditandai oleh hadirnya prefiks di-, (-kan, -i), ter-, dan
klitik ku-, kami, kita, dan kau.
(15) Tapi, akhirnya Cah Saimin dapat diringkus oleh para pengawal kerajaan
Tampuh.
(16) Setelah usianya cukup dewasa, ia dinikahkan dengan seorang gadis cantik
dari Kebayoran Lama (oleh orang tuanya).
(17) Kebun itu ditanami tebu yang tumbuh dengan suburnya (oleh Oheo).
(18) I Gusti Gede Pasekan sangat terkejut mendengar suara gaib itu.
(19) Kedatangan si Kulup di desanya terdengar oleh kedua orang tuanya.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
172
(20) Engkau tadi dapat kukalahkan karena engkau memakai tanduk sehingga
larimu lambat.
(21) Jika tuan berhasil mengangkat perahu kami, sebagian isi muatan perahu akan
kami serahkan kepada Tuan sebagai upahnya.
(22) Kalau begitu, kita hancurkan kerajaan Lodaya.
(23) Kau jemput aku besok saja sebab aku belum mandi.
Kalimat (15), (16), dan (17) memperlihatkan bahwa pasif ditandai oleh prefiks di-
(-kan, -i), kalimat (18) dan (19) ditandai oleh prefiks ter-, dan kalimat (20), (21),
(22), dan (23) masing-masing ditandai oleh klitik ku-, kami, kita, dan kau. Verba
pada kalimat di atas (15--22), yaitu diringkus, dinikahkan, ditanami, terkejut,
kukalahkan, kami serahkan, kita hancurkan, dan kau jemput masing-masing berasal
dari ringkus, nikah, tanam, kejut, kalah, serah, hancur, dan jemput.
Semua kalimat pasif di atas dapat dikembalikan ke dalam bentuk aktifnya
seperti di bawah ini.
(15a) Tapi, akhirnya para pengawal kerajaan Tampuh dapat meringkus Tampuh.
(16a) Setelah usianya cukup dewasa, orang tuanya menikahkan anaknya dengan
seorang gadis cantik dari Kebayoran Lama.
(17a) Oheo menanami kebun itu dengan tebu yang tumbuh dengan suburnya.
(18a) Suara gaib itu sangat mengejutkan I Gusti Gede Pasekan.
(19a) Kedua orang tuanya mendengar kedatangan si Kulup di desanya.
(20a) Aku tadi dapat mengalahkan engkau karena engkau memakai tanduk
sehingga larimu lambat.
(21a) Jika Tuan berhasil mengangkat perahu kami, kami akan menyerahkan
sebagian isi muatan perahu (ini) kepada Tuan sebagai upahnya.
(22a) Kalau begitu, kita akan menghancurkan kerajaan Lodaya.
(23a) Kau menjemput aku besok saja sebab aku belum mandi.
Tampaknya, baik prefiks di- (-kan, -i), ter-, maupun klitik ku-, kami, kita
dan kau dapat digunakan secara bergantian. Itu berarti baik prefiks di- (-kan, -i), ter-
, maupun klitik ku-, kami, kita, dan kau memiliki fungsi yang sama, yakni sama-
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
173
sama pembentuk pasif. Akan tetapi, apabila dikaji lebih mendalam ternyata afiks
dan klitik tersebut memiliki perbedaan prilaku sintaksis. Pelaku pada kalimat pasif
yang ditandai dengan klitik adalah pronomina persona, sedangkan pasif yang
ditandai oleh di- pelakunya nomina nonpronomina, dan ter- bisa kedua-duanya.
Prefiks di- dan ter- bisa diikuti oleh prefosisi oleh, sedangkan klitik tidak. Prefiks
ter- digunakan untuk mengungkapkan suatu proses yang tidak disengaja, sedangkan
prefiks di- dan klitik sebaliknya.
Kalimat pasif (15), (16), (17), (18), (19), (20), (21), (22), (23) dan padanan
aktifnya (15a), (16a), (17a), (18a), (19a), (21a), (22a), (23a) di atas memiliki
hubungan, baik secara sintaksis maupun secara semantik. Secara sintaksis,
penentuan subjek pada kalimat pasif berkaitan dengan objek pada kalimat aktif.
Secara semantik, agen pada kalimat pasif sama dengan agen pada kalimat aktif.
Demikian pula, pasien pada kalimat pasif sama dengan pasien pada kalimat aktif.
Walaupun demikian, kalimat pasif dan kalimat aktif memiliki perbedaan, terutama
pada cara pengemasan informasi yang dikaitkan dengan masalah tematikalisasi. Hal
itu, selaras dengan pernyataan Gruber (1976 : 157) yang mengatakan bahwa bentuk
pasif tidak mengubah semua unsur makna kalimat aktif.
Sehubungan dengan kalimat pasif, Palmer (1987) mengatakan bahwa
konstruksi pasif adalah konstruksi yang agentless atau tidak menonjolkan konstituen
pada urutan pertama sebagai pemegang peran agen (Periksa kembali kalimat pasif di
atas). Konstruksi pasif berkaitan dengan ketransitifan verba. Artinya, konstruksi
yang dapat dipasifkan adalah konstruksi yang verbanya tergolong verba transitif.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa pemasifan berkaitan dengan topikalisasi (1987 :
77-83).
Dalam kaitan dengan topikalisasi Brown dan Miller mengatakan bahwa
konstituen yang dikedepankan ditekankan sebagai pusat pengisahan. Dalam kalimat
aktif subjek agen sebagai pusat pengisahan, sedangkan dalam kalimat pasif subjek
pasien sebagai pusat pengisahan (1980 : 103).
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
174
Berkaitan dengan pengedepanan konstituen sebagai pusat pengisahan,
Chafe menyebut konstituen yang dikedepankan sebagai old (informasi lama) dan
konstituen yang mengikutinya sebagai new (informasi baru). Kedua konsep itu dapat
disejajarkan dengan tema-tema atau topik-komen (1970 : 211 ; Bandingkan dengan
Lyons, 1977 : 500-511).
Di atas telah disinggung bahwa aktif-pasif berkaitan dengan ketransitifan
verba. Artinya, pemasifan hanya dapat dilakukan apabila verba pada kalimat itu
tergolong verba transitif. Apabila verba pada kalimat yang bersangkutan tergolong
verba intransitif, maka pemasifan tidak dapat dilakukan. Jadi, kalimat dengan verba
intransitif berikut ini tidak dapat dipasifkan.
(24) Keesokan harinya raksasa sakti mengamuk
(25) Ia menangis minta makan
(26) Putri Nini menikah dengan Gama Dena
(27) Timun Emas pun ikut menyanyi sampai larut malam.
Mengenai masalah ketransitifan verba, Lyons berpendapat bahwa apa yang
secara tradisional disebut verba transitif adalah verba yang memiliki dua valensi dan
menguasai objek langsung (Lyons, 1977 : 486 ; Bandingkan dengan Spencer, 1991 :
10). Oleh karena verba pada kalimat (24), (25), (26) dan (27) tergolong verba
intransitif, maka dapat dikatakan bahwa keempat verba pada kalimat itu memiliki
satu valensi.
Meskipun kalimat pasif memiliki kaitan dengan kalimat aktif, akan tetapi
tidak semua kalimat aktif dapat dipasifkan. Hal itu disebabkan adanya beberapa
kendala dalam hubungannya dengan aktif-pasif. Dalam bahasa Inggris, Quirk
mencatat adanya lima kendala dalam aktif pasif : (a) kendala verba, (b) kendala
objek, (c) kendala agen, (d) kendala makna, dan (e) kendala frekuensi pemakaian
(Quirk at al., 1985 : 162-126).
Dari semua kendala yang disebutkan di atas, penulis melihat adanya
kendala aktif-pasif dalam bahasa Indonesia, yaitu kendala verba dan kendala makna.
Kendala verba yang dimaksudkan di sini adalah pemasifan tidak dapat dilakukan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
175
karena sejumlah verba yang hanya memiliki bentuk aktif dan tidak memiliki bentuk
pasif, seperti kalimat berikut.
(28) Sang Raja ingin sekali mempunyai seorang anak putri.
(28a) * Seorang anak putri ingin sekali dipunyai oleh Sang Raja
(29) Putri Cermin Cina menjerit kesakitan
(29a) * Kesakitan dijerit oleh Putri Cermin Cina.
Kendala verba yang lain adalah ada (beberapa) kalimat yang berverba pasif
tidak dapat dikembalikan pada konstruksi aktif seperti kalimat berikut.
(30) Dusun Aroempi banyak ditumbuhi tanaman sagu.
(30a) * Tanaman sagu banyak menumbuhi Dusun Aroempi
(31) * Ia benar-benar terpukul hatinya melihat peristiwa tadi
(31a) Melihat peristiwa tadi hatinya benar-benar memukulnya
Di samping kendala verba, dalam bahasa Indonesia juga ditemukan kendala
makna sehingga pemasifan tidak dapat dilakukan. Kendala makna yang
dimaksudkan adalah makna kalimat aktif tidak persis sama dengan kalimat pasif.
Misalnya, kalimat (31) dan (31a), (32), (32a), dan (32b) berikut ini tidak memiliki
makna yang sama.
(31) Suatu ketika Sanggmaima berburu babi hutan
(31a) * Suatu ketika babi hutan diburu oleh Sanggmaima.
(32) Ibu mau menanam padi dulu
(32a) * Padi mau ditanam dulu oleh ibu
(32b) * Padi mau ibu tanam dulu
Proses infleksi pasif dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan sebagai
berikut.
Verba dasar/pangkal Infleksi
(Verba aksi/pangkal) (dasar/pangkal + pasif)
Verba aksi/pangkal di- (-kan, -i) / ter- / klitik +
verba aksi/pangkal ‘pasif’
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
176
3.2.3. Infleksi Resiprokal
Infleksi resiprokal adalah proses infleksi yang terjadi pada verba dasar yang
tergolong verba aksi. Proses infleksi menyebabkan verba dasar bermakna
„saling/berbalasan‟. Infleksi resiprokal dalam bahasa Indonesia ditandai oleh prefiks
ber- dan konfiks ber-an. Kalimat (33), (34), (35), (36), dan (37) berikut ini akan
memperjelas hal itu.
(33) Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur
seminggu itu diberi nama si Jampang.
(34) Setelah meninggalkan pesan itu, kedua naga itu pun bertempur di sungai,
yang telah mengubah ujud mereka.
(35) Mereka berkenalan.
(36) Dengan bahagia mereka berpelukan.
(37) Bahkan Patih Inderkala yang dikirim ke perbatasan telah binasa lebih dulu
karena berpapasan dengan pasukan Bandarangin.
Verba berdebat (33), bertempur (34) masing-masing berasal dari ber- dan
debat (verba dasar), ber- dan tempur (bentuk prakategorial atau pangkal), sedangkan
verba berkenalan (35), berpelukan (36), dan berpapasan (37) masing-masing
berasal dari kenal (pangkal), peluk (verba dasar, biasa dipakai sebagai imperatif),
dan papas (bentuk prakategorial). Ketiga bentuk tersebut mendapat konfiks ber-an
sehingga membentuk verba seperti pada (35), (36), dan (37). Secara semantik,
kelima verba di atas telah menyiratkan adanya dua pelaku atau lebih karena tindakan
berdebat, bertempur, berkenalan, berpelukan, dan berpapasan tidak dapat dilakukan
oleh seorang pelaku.
Kaidah resiprokal prefiks ber- dan ber-an dapat disajikan sebagai berikut
Pangkal /verba dasar Infleksi
(pangkal atau verba dasar) Pangkal/verba dasar + resiprok)
Pangkal/dasar ber-/ber-an + pangkal/dasar
„saling, beralasan‟
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
177
3.2.4. Infleksi Aksidental
Dalam proses infleksi aksidental verba aksi mendapat tambahan ciri
semantik sehingga verba aksi berarti „tiba-tiba/perlakuan atau aksi yang tidak
disengaja‟. Makna aksidental ditandai oleh prefiks ter-.
(38) Putri Nini terjatuh ke dalam sumur muara.
(39) Tubuh Raja Singabarong terpental, menggelepar-gelepar di atas tanah.
(40) Akhirnya kapal itu terbalik, semua penumpangnya tewas seketika.
(41) Istri Tulup ini juga mendapat pukulan yang dahsyat dari Abo dan terlempar
jauh, maka matilah suami istri itu.
Verba terpental pada (39) berasal dari morfem pangkal pental. Bentuk
pental ini terikat dengan bentuk lain seperti ter- pada terpental, sedangkan verba
terjatuh, terbalik dan terlempar berasal dari bentuk dasar jatuh, balik, dan lempar.
Ketiga bentuk dasar itu dapat hadir secara mandiri sebagai unsur kalimat, seperti
tampak pada kalimat berikut ini.
(41) Ia jatuh
(42) Balik !
(43) Lempar batu itu !
Berdasarkan data yang ada, infleksi aksidental dapat dilakukan pada verba
intransitif. Proses infleksi aksidental dalam bahasa Indonesia dapat dikaidahkan
sebagai berikut.
Verba dasar/pangkal Infleksi
(Verba aksi / pangkal) (dasar / pangkal + aksidental)
Verba dasar / pangkal ter- + dasar/pangkal
„tiba-tiba/tidak disengaja‟
3.2.5 Infleksi Eksesif
Proses infleksi eksesif merupakan proses penambahan ciri semantik pada
verba keadaan sehingga verba keadaan mengandung arti „sifat atau keadaan yang
berlebihan‟. Baik verba keadaan maupun verba hasil infleksi sama-sama tergolong
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
178
verba keadaan. Dalam bahasa Indonesia infleksi eksesif ditandai oleh ke-an. Verba
pada (44), (45), (46), dan (47) di bawah ini adalah verba yang bermakna eksesif.
(44) Semua hewan kehausan dan kelaparan karena rumput dan tanaman tidak
tumbuh lagi.
(45) Mungkin ia masih kelelahan setelah menempuh perjalanan jauh.
(46) Mereka ketakutan dan memohon kepada Dena Iriwonawai agar
memadamkan awan merah itu.
(47) Sejak ditinggal mati istrinya, si Jambang merasa kesepian.
Kelima verba di atas kehausan, kelaparan, kelelahan, ketakutan, dan
kesepian berasal dari verba keadaan haus, lapar, lelah, takut, dan sepi. Pembubuhan
konfiks ke-an membentuk verba dasar menjadi verba jadian dengan makna
berlebihan.
Secara ringkas infleksi eksesif dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan
menjadi sebagai berikut.
Verba dasar Infleksi
(Verba keadaan) (dasar + eksesif)
Verba keadaan Verba keadaan + ke-an, „terlalu‟
3.2.6 Infleksi Iteratif
Infleksi iteratif merupakan suatu proses afiksasi yang menyebabkan verba
yang dibubuhi afiks memiliki arti jamak/berulang-ulang. Pengulangan tindakan ini
dapat dilakukan oleh satu pelaku (iteratif) atau beberapa pelaku (tiap-tiap pelaku
hanya melakukan tindakan sekali). Objek sasaran dapat bersifat jamak (plural) atau
tunggal (singular). Infleksi iteratif dalam bahasa Indonesia ditandai oleh hadirnya
sufiks -i atau ber-an pada verba aksi, seperti pada contoh berikut ini.
(48) Burung merak yang biasa melakukan tugasnya segera hinggap di bahu Raja
Singabarong lalu mematuki kutu-kutu di kepala Raja Singabarong.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
179
(49) Namun, ada wataknya yang tidak baik, ia suka mencumbui anak-anak laki-
laki.
(50) Oleh karena itu, mereka pun mulai menghujani kakek mereka dengan
berbagai pertanyaan.
(51) Jika gendang itu berbunyi, orang-orang akan berdatangan dan berkumpul
karena pada kesempatan itulah mereka dapat melihat gendang itu.
Verba mematuki di dalam kalimat (48) menunjukkan adanya kejamakan
tindakan yang dilakukan oleh satu pelaku. Verba itu berasal dari verba dasar patuk
dan sufiks -i, kemudian mengalami nasalisasi. Keteratifan tindakan ditandai oleh
hadirnya sufiks -i karena nasalisasi hanya berfungsi sebagai penyesuaian gramatikal.
Demikian pula verba mencumbui di dalam kalimat (49) mencerminkan adanya
keiteratifan tindakan yang dilakukan oleh satu pelaku -- dalam hal ini pelakunya ia.
Verba menghujani di dalam kalimat (50) dapat ditafsirkan sebagai
kejamakan pelaku (mereka, cucu-cucuku kakek), tetapi dapat juga berarti keiteratifan
tindakan karena setiap anak dapat mengajukan pertanyaan lebih dari sekali,
sedangkan verba berdatangan pada kalimat (51) dapat ditafsirkan sebagai
kejamakan pelaku (banyak orang).
Berdasarkan data di atas, infleksi jamak (pluralis) dalam bahasa Indonesia
dapat dirumuskan sebagai berikut.
Verba dasar Infleksi
(dasar) (dasar + jamak)
Verba aksi Verba aksi + -i/ber-an „jamak /
berulang-ulang‟
3.2.7. Infleksi Irregular
Verba yang dihasilkan oleh proses irregular menunjuk pada „aksi yang
tidak teratur‟. Proses infleksi irregular yang ditemukan terjadi pada morfem pangkal
yang ditandai oleh konfiks ber-an, seperti nampak pada contoh berikut.
(52) Burung malam mulai berkeliaran
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
180
(53) Sementara itu, tikus-tikus sudah berkeliaran lagi.
(54) Dia selalu berkeliaran menjelajah celah-celah pegunungan.
(55) Airlah yang membuat kita begini, pergi berkeliaran ke sana ke mari hingga
ketemu di sini.
(56) Sebelum mandi, burung-burung itu lebih dahulu makan tebu sehingga ampas
tebu berhamburan di tepi sungai.
Verba berkeliaran pada kalimat (52), (53), (54), (55) dan berhamburan
pada (56) di atas berasal dari morfem pangkal keliar dan hambur dan konfiks ber-
an. Melekatnya konfiks ber-an pada morfem pangkal dengan makna
„ketidakteraturan aksi/tindakan atau tindakan yang ke sana ke mari‟ hanya terbatas
pada dua di atas.
Secara ringkas infleksi irregular dalam bahasa Indonesia dapat dirumuskan
menjadi sebagai berikut :
Pangkal Infleksi
(Pangkal) (Pangkal + ketidakteraturan)
Pangkal ber-an + pangkal „ketidakteraturan/
tindakan ke sana ke mari‟
DIAGRAM III. Afiksasi Infleksional Dalam Bahasa Indonesia
No. Jenis Infleksi Penanda Makna
1. Aktif meN- (-kan, -i) „meng-‟
2. Pasif di- (-kan, -i)
klitik (ku-, kau, kami, kita)
ter-
„di-‟
„tiba-tiba / tidak disengaja‟
3. Aksidental ter- „tiba-tiba / tidak disengaja‟
4. Resiprokal ber-
ber-an
„saling/berbalasan‟
5. Iteratif -i
ber-an
„jamak/berulang-ulang‟
6. Eksesif ke-an „berlebihan/terlalu‟
7. Irregular ber-an „ketidakteraturan aksi / tindakan
ke sana ke mari‟
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
181
V. PENUTUP
4.1. Simpulan
Kajian Afiksasi Infleksional dalam Bahasa Indonesia ini mengungkapkan
permasalahan seputar proses morfologis khususnya proses pembubuhan afiks
infleksi yang menghasilkan verba bahasa Indonesia. Permasalahan yang berhasil
dipecahkan dalam penelitian ini dapat dipilah menjadi dua bagian pokok: (1)
pengelompokan afiks infleksi dan (2) makna infleksi yang disebabkan oleh
pembubuhan afiks. Kajian ini dilakukan terhadap bahasa Indonesia standar ragam
tulis. Sumber datanya adalah kumpulan cerita rakyat dari seluruh Indonesia yang
berjudul Dongeng Rakyat Se- Nusantara.
Kajian ini berpatokan pada prinsip kerja teori morfologi generatif, yang
semula dicetuskan oleh Chomsky (1970), Halle (1973), Aronoff (1976), Scalise
(1984), dan dimodifikasi oleh Dardjowidjojo (1988). Konsep dasar infleksi yang
diterapkan dalam penelitian ini bersumber pada konsep dasar infleksi dalam bahasa
Inggris yang dikemukakan oleh Aronoff (1976), Malmkjaer (1991), Spencer (1991),
dan Robins (1959 dan 1998). Prinsip dasar ini disesuaikan dengan kenyataan yang
ada dalam bahasa Indonesia.
Teori morfologi generatif adalah teori yang paling mutahir untuk kajian
morfologi. Teori ini sangat tepat digunakan untuk menganalisis afiksasi bahasa
Indonesia karena teori morfologi generatif berpatokan pada cara kerja yang
menekankan proses (Item and Proces) (IP) sehingga mampu menjelaskan bagaimana
proses terbentuknya suatu kata baru. Cara kerja seperti ini mencakup semua proses
yang lazim, mungkin, dan tidak mungkin. Oleh karena itu, pembahasan menyangkut
produktivitas dan kendala produktivitas.
Berdasarkan hasil analisis data, ada sejumlah afiks yang tergolong afiks
infleksi dalam bahasa Indonesia: (1) prefiks meN-, ber-, di-, dan ter-; (2) sufiks -i
dan -kan; dan (3) konfiks ber-an dan ke-an. Makna infleksi yang timbul sebagai
akibat pembubuhan afiks dalam bahasa Indonesia adalah (1) aktif, yang ditandai
oleh prefiks meN- (-kan, -i); (2) pasif, yang ditandai oleh prefiks di- (-kan, -i), ter-
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
182
dan pronomina persona/klitik (ku-, kau, kami, kita); (3) resiprokal
(saling/berbalasan), yang ditandai oleh prefiks ber- dan konfiks ber-an; (4)
aksidental (tiba-tiba/tidak disengaja), yang ditandai oleh prefiks ter-; (5) eksesif
(sifat atau keadaan yang berlebihan), yang ditandai oleh konfiks ke-an; (6) iteratif
(jamak/berulang-ulang), yang ditandai oleh sufiks -i atau konfiks ber-an; dan (7)
irregular (ketidakteraturan aksi/tindakan ke sana ke mari), yang ditandai oleh ber-an.
4.2. Saran
Penelitian mengenai afiksasi infleksional bahasa Indonesia ini merupakan
kajian yang sangat terbatas, baik mengenai ruang lingkup pembahasannya maupun
mengenai sumber datanya. Oleh karena itu, sangat diperlukan kajian lebih lanjut
tentang hal ini. Jika memungkinkan sangat penting sekali dilakukan penelitian
terhadap proses morfologis bahasa Indonesia yang lebih luas dan mendalam
berdasarkan teori morfologi generatif mengingat kajian morfologi bahasa Indonesia
dengan menggunakan pendekatan ini masih sangat terbatas sekali.
DAFTAR RUJUKAN
Aronoff, Mark. 1976. Word Formation in Generative Grammar. Cambridge :
Massachusets Institute of Technology, The MIT Press.
Bawa, I Wayan dkk. 1988. Bahan Pengajaran Bahasa Indonesia di Perguruan
Tinggi. Denpasar : Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas
Udayana.
Brown, E.K. and J.E. Miller. 1980. Syntax : A Linguistic Introduction to Sentence
Structure. London, Hutchinson.
Chafe, Wallace L. 1970. Meaning and The Structure of Language. Chicago and
London : The University of Chicago Press.
Dardjowidjojo, Soejono. 1988. “Morfologi Generatif : Teori dan Permasalahannya”
dalam Pellba I. Soenjono (Peny.). Jakarta : Lembaga Bahasa Atma Jaya.
Grady, William O‟ dkk. 1987. Contemporary Linguistic Analysis : An Introduction.
Toronto, A. Longman Company.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
183
Gruber, Jeffry S. 1976. Lexical Structure in Syntax and Semantic : Studies in Lexical
Relations Functions of The Lexicon in Formal Descriptive Grammars.
Amsterdam : North-Holland Publishing Company.
Halle, Moris. 1973. “Prolegomena to a Theory of Word Formation” dalam
Linguistic Inguiry. Vol. IV No. 1.
Huddleston, Rodney. 1984. Introduction to The Grammar of English. Combridge :
Combridge University Press.
Kridalaksana, Harimurti. 1989. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama.
Lyons, John. 1977. Semantic Jilid I dan II. Combridge : Cambridge University
Press.
Malmkjaer, Kirsten dkk. 1991. The Linguisticts Encyclopedia. London and New
York Routledge.
Martha, I Nengah. 1986. Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia. Singaraja :
FKIP, Universitas Udayana.
Matthews, P.H. 1974. Morphology : An Introduction to The Theory of Word
Structure. London : Combridge University Press.
Palmer, F.R. 1987. The English Verbs. London : Longman.
Parera, Jos Daniel. 1994. Morfologi Bahasa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Quirk, et.al. 1973. A University Grammar of English. England : Longman.
Ramlan, M. 1987. Morfologi : Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta : CV.
Karyono.
Robins, R.H. 1959. “Nominal and Verbal Derivation in Sundanese” Terjemahan
Harimurti Kridalaksana diterbitkan dalam Sistem dan Struktur Bahasa
Sunda oleh Harimurti Kridalaksana (ed) (1983) Seri ILDEP. Jakarta :
Djambatan.
Robins, 1988. “General Linguistics” diterjemahkan dan diterbitkan kembali dalam
Linguistik Umum : Sebuah Pengantar oleh Soenarjati Djajanegara (1992).
Yogyakarta : Kanisius.
Scalise, Sergio. 1984. Generative Morphology. Dordresct Holland/ Canniminsion-
USA : Foris Publication.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
184
Scpencer, Andrew. 1991. Morphological Theory : An Introduction to Word
Structure in Generative Grammar. Combridge : Combridge University
Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa : Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta : Duta
Wacana University Press.
Tampubolon. D.P. 1977. Verbal Affication in Indonesian : A Semantic Exploration.
Desertasi Georgetown University.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
185
MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DENGAN MENERAPKAN ASESMEN PORTOFOLIO
Oleh
I Wayan Gunartha
e-mail: [email protected]
Abstract
Teacher's professional ability in conducting the assessment of process and
learning outcomes are indeed still very lacking. Given the ways during this
assessment has many shortcomings, then since the enactment of the competency-
based curriculum, enforced a concept 2004 classroom-based assessment with one
model or his approach is based on the valuation of the portfolio. This paper aims to
provide a clear picture of: (1) understanding the portfolio assessment, (2) the
purpose and function of the assessment portfolio, (3) advantages and disadvantages
of portfolio assessment, and (4) the application portfolio assessment in learning
Indonesian Language. Portfolio assessment is on going assessment based collection
of information that shows the development of the ability of learners within a certain
period.
The purpose of the portfolio assessment is to provide information to parents
about the development of learners complete with support data and documents are
accurate. The portfolio function is as a source of information for teachers and
parents, as a learning tool, as an authentic assessment tool (authentic assessment).
Assessment of this portfolio has many advantages compared to the conventional
assessment, in addition to its shortcomings. In its application in the Indonesian
Language learning, assessment portfolios can be done by following the steps
exactly. Thus, the use of asaesmen portfolio really can be utilized to improve
learning achievements.
Key words : assessment, portfolios, language learning achievements, Indonesia.
A. Latar Belakang Masalah
Para pakar pendidikan dan psikologi di Indonesia banyak memberikan
pandangan dan analisis terhadap mutu pendidikan, tetapi sampai saat ini tidak
pernah tuntas, bahkan muncul masalah-masalah pendidikan yang baru. Masalah
mutu pendidikan yang banyak dibicarakan adalah rendahnya hasil belajar peserta
didik. Padahal kita tahu, bahwa hasil belajar banyak dipengaruhi oleh berbagai
faktor, salah satunya adalah kemampuan profesional guru dalam melakukan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
186
penilaian hasil belajar. Kemampuan professional guru dalam melakukan penilaian
proses dan hasil belajar memang masih sangat kurang. Kebanyakan guru melakukan
penilaian lebih menekannkan pada hasil belajar, sedangkan proses belajar kurang
diperhatikan bahkan cenderung diabaikan. Padahal, proses belajar sangat
menentukan hasil belajar (Arifin, 2009: 194). Di samping itu, para guru juga terbiasa
dengan kegiatan-kegiatan penilaian rutin yang sifatnya praktis dan ekonomis
sehingga tidak heran jika guru banyak menggunakan soal yang sama dari tahun ke
tahun. Walaupun guru telah sering mengikuti pelatihan tentang evaluasi
pembelajaran atau evaluasi hasil belajar, mereka tatap kembali ke habitatnya semula,
tanpa melakukan inovasi, perbaikan, dalam pelaksanaan penilaian.
Mengingat cara-cara penilaian selama ini memiliki banyak kelemahan,
maka sejak diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004, diperkenalkan
suatu konsep “penilaian berbasis kelas” (classroom-based assessment) dengan salah
satu model atau pendekatannya adalah “penilaian berbasis portofolio” (portofolio-
based assessment), yaitu suatu model penilaian yang dilakukan secara sistematis dan
logis untuk mengunkapkan dan menilai peserta didik secara komprehensif, objektif,
akurat, dan sesuai dengan bukti-bukti autentik (dokumen) yang dimiliki peserta
didik. Menurut Mardapi (2005: 2), dalam pembelajaran berbasis kompetensi, standar
kompetensi lulusan mencakup kemampuan penalaran, keterampilan, dan
kepribadian. Tiga aspek ini harus dikembangkan melalui program pembelajaran dan
hasilnya dinilai. Hasil penilaian ini merupakan produk kegiatan belajar mengajar.
Selanjutnya, dijelaskan bahwa penilaian memerlukan informasi yang akurat
dari hasil pengukuran terhadap kemampuan yang dimiliki peserta didik dalam semua
aspek. Informasi ini dapat diperoleh melalui tes atau kumpulan semua karya atau
prestasi yang dimiliki peserta didik. Kumpulan karya ini merupakan portofolio dari
peserta didik. Kumpulan karya yang dinilai, sesuai dengan sistem penilaian pada
kurikulum berbasis kompetensi, menjadi bagian pembentukan suatu kompetensi atau
yang terkait dengan kompetensi. Untuk memperoleh informasi yang akurat
diperlukan bukti otentik tentang kemampuan peserta didik. Penggunaan bukti
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
187
otentik dalam sistem penilaian dikenal dengan penilaian otentik, yang salah satu
bentuknya adalah model penilaian portofolio (Mardapi, 2005: 3; Suwandi, 2009: 13;
Depdiknas, 2006: 155).
Implikasi pemberlakuan Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis
Kompetensi), yang disempurnakan dalam Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan
(KTSP) 2006 terhadap pola penilaian pembelajaran di sekolah adalah: Pertama,
guru dan kepala sekolah harus berperan sebagai pembuat keputusan dalam
perencanaan dan pelaksanaan kurikulum, termasuk proses pembelajaran. Kedua,
guru harus menyusun silabus yang menjamin terlaksananya proses pembelajaran
yang terarah dan bermakna. Ketiga, guru harus melakukan continuous-autentic
assessment yang menjamin ketuntasan belajar dan pencapaian kompetensi peserta
didik.
Akan tetapi, menurut pengakuan beberapa guru yang pernah penulis
wawancarai, mereka belum sepenuhnya mengerti apa dan bagaimana asesmen
otentik, asesmen kelas, termasuk asesmen portofolio tersebut. Hal ini terjadi karena
minimnya informasi terutama yang berupa literatur yang dimiliki oleh para guru.
Dengan demikian, mereka tetap saja menerapkan penilaian konvensional. Untuk itu,
beberapa masalah yang akan dibahas dalam artikel ini adalah: (1) Apakah yang
dimaksud dengan asesmen portofolio? (2) Apakah tujuan dan fungsi asesmen
portofolio? (3) Apa kelebihan dan kekurangan asesmen portofolio? dan (4)
Bagaimanakah aplikasi asesmen portofolio dalam pembelajaran Bahasa Indonesia ?
B. Pembahasan
1. Pengertian Asesmen Portofolio
Istilah portofolio pertama kali digunakan oleh kalangan fotografer dan
artis (Arifin, 2009: 197). Melalui portofolio, fotografer dapat memperlihatkan
prosfektif pekerjaan mereka kepada pelanggan dengan menunjukkan koleksi
pekerjaan yang dimilikinya. Dalam dunia pendidikan, portofolio dapat digunakan
guru melihat perkembangan peserta didik dari waktu ke waktu berdasarkan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
188
kumpulan hasil karya sebagai bukti suatu kegiatan pembelajaran. Menurut para ahli,
portofolio memiliki beberapa pengertian. Ada yang memandang sebagai benda/alat,
dan ada yang memandang sebagai metode/teknik/cara. Portofolio sebagai wujud
kumpulan benda fisik, yakni kumpulan dokumentasi atau hasil pekerjaan peserta
didik yang disimpan dalam suatu bendel. Portofolio ini merupakan karya terpilih
dari peserta didik, baik perseorangan, maupun kelompok.
Popham (1994) menjelaskan “asesmen portofolio merupakan penilaian
secara berkesinambungan dengan metode pengumpulan informasi atau data secara
sistematik atas hasil pekerjaan peserta didik dalam kurun waktu tertentu.” Definisi
ini hampir sama dengan yang disampaikan oleh Depdiknas (2006: 167), yang
mendefinisikan penilaian portofolio sebagai penilaian berkelanjutan yang didasarkan
pada kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta
didik dalam suatu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta
didik dari proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes
(bukan nilai) atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensittn dalam
suatu mata pelajaran. Menurut Reckase (1995), portofolio adalah kumpulan karya
peserta didik yang menunjukkan usaha, kemajuan, dan prestasi peserta didik dalam
suatu bidang (dalam Mardapi, 2005: 7).
Dalam beberapa pengertian asesmen portofolio di atas, tidak terdapat
perbedaan yang mendasar. Pada prinsipnya, penilaian portofolio adalah penilaian
terhadap kumpulan pekerjaan siswa, yang telah dikumpulkan dalam file untuk setiap
siswa. Jadi, dalam asesmen portofolio guru membuat file untuk setiap peserta didik,
berisi kumpulan sistematis atas hasil prestasi belajar mereka selama mengikuti
proses pembelajaran. Dalam file tersebut, dikumpulkan bukti fisik dan catatan
prestasi siswa, seperti hasil ulangan, hasil tugas mandiri, hasil praktikum, dan lain-
lain. Selain itu juga dikumpulkan catatan nonakademik, seperti kerajinan, kerapian,
kejujuran, kemampuan kerja sama, prestasi olah raga, kesenian, dan lain-lain.
Menurut Jonson and Jonson (2002: 103), portofolio bisa berupa kumpulan tugas
peserta didik perorangan atau kelompok.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
189
Portofolio dapat mencakup materi satu semester, satu tahun, atau beberapa
tahun, dan bisa mewakili kerja peserta didik dalam satu atau beberapa mata
pelajaran. Menurut Johnson and Johnson (202: 1030, portofolio bisa berupa
kumpulan tugas peserta didik perorangan atau kelompok. Selanjutnya dilelaskan
bahwa portofolio bisa mencakup pekerjaan rumah, tugas kelas, tes buatan guru,
komposisi atau karangan, presentasi, penyelidikan, ceklis pengamatan, seni visual,
dan lain-lain. Data yang terkumpul dari waktu ke waktu ini kemudian digunakan
oleh guru untuk menilai dan melihat perkembangan kemampuan serta prestasi
akademik peserta didik dalam periode tersebut. File portofolio sekaligus akan
memberikan umpan balik (feed back) baik kepada guru, maupun kepada peserta
didik. Proses terjadinya umpan balik sangat dimungkinkan karena dalam sistem
penilaian portofolio data yang terkumpul dianalisis secara kolaboratif dengan
melibatkan guru, peserta didik, serta orang tua.
2. Tujuan dan Fungsi Asesmen Portofolio
Pada hakikatnya tujuan penilaian portofolio adalah untuk memberikan
informasi kepada orang tua tentang perkembangan peserta didik secara lengkap
dengan dukungan data dan dokumen yang akurat. Rapor merupakan bentuk laporan
prestasi peserta didik dalam belajar dalam kurun waktu tertentu (Arifin, 2009: 200).
Menurut Surapranata dan Hata (2004), penilaian portofolio dapat digunakan untuk
mencapai beberapa tujuan, yaitu “menghargai perkembangan yang dialami peserta
didik, mendokumentasikan proses pembelajaran yang berlangsung, memberi
perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik, merefleksikan kesanggupan
mengambil risiko dan melakukan refleksi diri, membantu peserta didik dalam
merumuskan tujuan”.
Sedangkan, fungsi portofolio dapat kita lihat dari berbagai segi, yaitu:
a. Portofolio sebagai sumber informasi bagi gudan orang tua untuk
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik,
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
190
tanggung jawab dalam belajar, perluasan demensi belajar dan inovasi
pembelajaran.
b. Portofolio sebagai alat pembelajaran merupakan komponen kurikulum
karena portofolio mengharuskan peserta didik untuk mengoleksi dan
menunjukkan hasil kerja mereka.
c. Portofolio sebagai alat penilaian otentik (authentic assessment).
d. Portofolio sebagai sumber informasi bagi peserta didik untuk
melakukan self-assessment. Maksudnya, peserta didik mempunyai
kesempatan yang banyak untuk menilai diri sendiri dari waktun ke
waktu.
Selanjutnya, Direktorat PLP-Ditjen Dikdasmen-Depdiknas (2003)
mengemukakan bahwa penilaian portofolio dapat digunakan untuk: (a) memperlihat
perkembangan pemikiran atau pemahaman siswa pada periode waktu tertentu, (b)
menunjukkan suatu pemahaman dari beberapa konsep, topik, dan isu yang
diberikan, (c) mendemonstrasikan perbedaan bakat, (d) mendemonstrasikan
kemampuan untuk memproduksi atau mengkreasi suatu pekerjaan baru secara
orisinal, (e) mendokumentasikan kegiatan selama periode waktu tertentu, (f)
mendemonstrasikan kemampuan menampilkan suatu karya seni, (g)
mendemontrasikan kemampuan mengintergrasikan teori dan praktik, dan (h)
merefleksikan nilai-nilai individual atau pandangan dunia secara lebih luas.
3. Karakteristik Asesmen Portofolio
Proses penilaian portofolio menuntut terjadinya interaksi multiarah, yaitu
dari guru ke peserta didik, dari peserta didik ke guru, dan antarpeserta didik.
Direktorat PLP Ditjen dikdasmen Depdiknas (2003) mengemukakan pelaksanaan
penilaian portofolio hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut.
a. Mutual trust (saling mempercayai), artinya jangan ada saling mencurigai
antara guru dan peserta didik maupun antar peserta didik. Mereka harus
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
191
saling percaya dan saling membutuhkan, saling membantu, terbuka dan
jujur sehingga dapat membangun suasana penilaian yang lebih kodusif.
b. Confidentiality (kerahasiaan bersama), artinya gurun harus menjaga
kerahasiaan semua hasil pekerjaan peserta didik dan dokumen yang ada,
baik perseorangan maupun kelompok, sebelum didiadakan pameran.
c. Joint Ownership (milik bersama), artinya semua hasil pekerjaan peserta
didik dan dokumen yang ada harus menjadi milik bersama antara guru
dan peserta didik, karena itu harus dijaga bersama.
d. Satisfaction (kepuasan)artinya semua dokumen dalam rangka
pencapaian standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator harus
dapat memuaskan semua pihak, baik guru, orang tua, maupun peserta
didik.
e. Relevance (kesesuaian), artinya dokumen yang ada harus sesuai dengan
standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang diharapkan.
Di samping itu, Surapranata da Hatta (2004) menambahkan tiga prinsip, yaitu
“penciptaan budaya mengajar, refleksi bersama, serta proses dan hasil”. Artinya,
penilaian portofolio hanya dapat dilakukan jika pembelajarannya juga menggunakan
pendekatan portofolio.
4. Jenis Asesmen Portofolio
Menurut Mardapi (2005: 8), ada dua tipe portofolio, yaitu portofolio hasil
karya terbaik, dan portofolio proses. Portofolio karya terbaik adalah kumpulan
karya-karya terbaik dari peserta didik dari suatu bidang. Portofolio proses mencakup
semua karya yang dimiliki peserta didik. Menurur Arifin (2009: 207) portofolio
proses menunjukkan tahapan belajar dan menyajikan catatan perkembangan peserta
didik dari waktu ke waktu. Portofolio proses menunjukkan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan sekumpulan indikator
yang telah dotetapkan dalam kurikulum serta menunjukkan semua hasil dari awal
sampai dengan akhir selama kurun waktu tertentu.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
192
Dalam portofolio proses, guru dapat menyajikan berbagai macam tugas
yang setara atau yang berbeda kepada peserta didik. Guru juga dapat memutuskan
apa yang harus dikerjakan peserta didik atau peserta didik diajak bekerja sama
dengan peserta didik lan dalam mengerjakan tugas tertentu. Portofolio proses
digunakan untuk melihat proses pembuatan suatu karya atau suatu pekerjaan yang
menuntut adanya proses diskusi antara peserta didik dengan guru atau sesame
peserta didik.
Portofolio produk hanya menekan pada penguasaan (materi) dari tugas
yang dituntut dalam standar kompetensi, kompetensi dasar dan sekumpulan
indikator prncapaian hasil belajar, serta hanya menunjukkan evidence yang paling
baik, tanpa memperhatikan kapan dan bagaimana evidence tersebut diperoleh.
Tujuan portofolio produk adalah untuk mendokumentasikan dan merefleksikan
kualitas prestasi yang telah dicapai.
5. Teknik Asesmen Portofolio
Menurut Suwandi (2009: 103-105), teknik asesmen portofolio di dalam
kelas memerlukan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Jelaskan kepada peserta didik bahwa penggunaan portofolio tidak hanya
merupakan kumpulan hasi kerja peserta didik yang digunakan oleh guru
untuk penilaian, tetapi digunakan juga oleh peserta didik sendiri. Dengan
melihat portofolionya peserta didik dapat mengetahui kemampuan,
keterampilan, dan minatnya.
2. Tentukan bersama peserta didik sampel-sampel portofolio apa saja yang
akan dibuat. Portofolio antara peserta didik yang satu dengan yang lain bisa
sama bisa berbeda. Misalnya untuk kemampuan menulis peserta didik
mengumpulkan karangan-karangannya, sedangkan untuk kemampuan
menggambar, peserta didik mengumpulkan gambar buatannya.
3. Kumpulkan dan simpanlah karya-karya tiap peserta didik dlam satu map
atau folder di rumah masing-masing atau loker masing-masing di sekolah.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
193
4. Berilah tanggal pembuatan pada setiap bahan informasi perkembangan
peserta didik sehingga dapat dilihat perbedaan kualitas dari waktu ke
waktu.
5. Sebaiknya tentukan kriteria penilaian sampel portofolio dan botnya dengan
peserta didik sebelum mereka membuat karyanya. Misalnya, kriteria
kemampuan menulis karangan, yaiyu: penggunaan tata bahasa, pilihan kata,
kelengkapan gagasan, dan sistematika penulisan. Dengan demikian, peserta
didikmengetahui harapan (standar) guru dan berusaha mencapai standar
tersebut.
6. Minta peserta didik menilai karyanya secara berkesinambungan. Guru dapat
membimbng peserta didik, bagaimana cara menilai dengan member
keterangan tentang kelebihan dan kekurangan karya tersebut, serta
bagaimana cara memperbaikinya. Hal itu dapat dilakukan pada saat
membahas portofolio.
7. Setelah suatu karya dinilai, dan nilainya belum memuaskan, maka peserta
didik diberi kesempatan untuk memperbaiki. Namun, antara peserta didik
dan guru, perlu ada kontrak atau perjanjian mengenai jangka waktu
perbaikan, misalnya dua minggu harus diserahkan kepada guru.
8. Bila perlu, jadwalkan pertemuan untuk membahas portofolio. Jika perlu,
undang orang tua peserta didik dan diberi penjelasan tentang maksud serta
tujuan portofolio, sehingga orang tua dapat memotivasi anaknya.
Contoh Penilaian Portofolio
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Alokasi Waktu : 1 Semester
Nama Siswa : _______________________
No.
SK/KD
Periode
Kriteria Ket. Tata
Bahasa
Kosa
kata
Kelengkapan
gagasan
Sistematika
Penulisan
1 Menulis
karangan
deskriptif
30/7 10/8 Dst.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
194
2 Membuat
resensi
buku
1/9 30/9 10/10 dst
Catatan:
Setiap karya siswa sesuai Standar Kompetensi/Kompetensi dasar yang masuk
dalam portofolio dikumpulkan dalam satu file (tempat) untuk setiap peserta
didik sebagai pekerjaannya. Skor untuk setiap kriteria menggunakan skala 0-
10 atau 0-100. Semakin baik hasil yang terlihat dari tulisan peserta didik,
semakin tinggi skor yang diberikan. Kolom keterampilan diisi dengan catatan
guru tentang kelemahan dan kekuatan tulisan yang dinilai.
Menurut Harsiati (2003: 4-5), prosedur penyusunan dan penilaian
portofolio dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut: (1) Identifikasi tujuan
portofolio, (2) penentuan jenis portofolio, (3) penentuan kompetensi dan tahapan
pencapaiannya, (4) penentuan kriteria penilaian karya yang sesuai dengan
kompetensi yang akan ditunjukkan siswa, dan (5) penentuan isi tiap-tiap bagian
portofolio.
Contoh perencanaan Portofolio :
Tujuan portofolio : Mengamati perkembangan kemampuan menulis
Jenis portofolio : Portofolio proses
Kelas : II
Rentangan Waktu : Satu semester
Nama Siswa : ……………………………………..
Isi Portofolio
Bagian 1 (Kumpulan karya siswa dan tahapan prosesnya)
Bagian I berisi sejumlah proses penyusunan dan hasil akhir karya siswa.
Jumlah dan jenis kompetensi menulis yang akan didokumentasikan disesuaikan
dengan KD dalam kurikulum. Proses dan hasil karya dipaparkan sebagai berikut.
A. Kompetensi Menulis puisi
- Perencanaan penulisan (topik yang dipilih, cara pembatasan topik)
- Buram puisi
- Hasil penyuntingan-penyuntingan yang dilakukan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
195
- Hasil akhir prnulisan puisi
B. Kompetensi menulis Cerpen
- Perencanaan penulisan cerpen (pokok persoalan yang dipilih)
- Buram cerita pendek
- Hasil penyuntingannya
- Hasil akhir penulisan cerpen
C. Kompetensi …………………..
D. Kompetensi……………………(dan seterusnya)
Bagian 2 (Penilaian diri dan penilaian guru)
Bagian ini berisi sejumlah rubrik sesuai dengan kompetensi yang dipelajari
siswa dengan hasil penilaian siswa terhadap karyanya. Selain itu, dalam bagian ini
juga terdapat rubrik dengan hasil penilaian guru.
Bagian 3 (Simpulan dan hasil penilaian)
Bagian ini berisi simpulan siswa tentang tingkatan kemampuan menulisnya.
Pada bagian ini juga berisi simpulan siswa tentang grade yang sesuai dengan dirinya
dan alasan-alasan yang mendukungnya. Selain dari pihak siswa, bagian 3 ini juga
berisi simpulan dari pihak guru tentang proses dan produk karya yang dihasilkan
siswa.
Sebagai mana disinggung di bagian sebelumnya, portofolio diharapkan
dapat memberikan balikan bagi siswa maupun guru serta dapat menggambarkan
pertumbuhan kemampuan siswa. Untuk itu, penilaian portofolio harus dilakukan
pada awal, tengah, dan akhir pembelajaran. Guru dan siswa harus menyepakati
kapan penilaian awal, tengah, dan akhir dilakukan. Penilaian karya produktif
(menulis dan berbicara) memerlukan bantuan rubrik agar penilaian lebih terpokus.
Portofolio dinilai dengan cara menganalisis, membandingkan, dan
menyimpulkan bukti proses penulisan. Untuk tujuan memberikan balikan, setiap
karya dianalisis kemudian disimpulkan apakah karya tersebut membuktikan bahwa
siswa telah belajar sesuatu. Simpulan ini disampaikan kepada siswa sebagai
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
196
balikan. Hasil penilaian portofolio haru ditindaklanjuti dengan berbagai latihan
tambahan yang diperlukan sesuai dengan hasil penilaian. Misalnya, siswa perlu
diberi kesempatan berlatih menyusun kerangka karangan karena portofolio
menunjukkan bahwa kemem siswa dalam menyusun kerangka karangan belum
memadai.
6. Kelebihan dan Kekurangan Asesmen Portofolio
Setiap konsep atau model asesmen tentu ada kelebihan dan kekurangannya.
Begitu pula dengan asaesmen portofolio. Kelebihan model asesmen portofolio
antara lain sebagai berikut.
1. Dapat melihat pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta
didik dari waktu ke waktu berasarkan feed back dan refleksi diri.
2. Membantu guru melakukan penilaian secara adil, objektif, transparan,
dan dapat dipertanggungjawabkan tanpa mengurangi kreativitas peserta
didik di kelas.
3. Mengajak peserta didik untuk belajar bertanggung jawab terhadap apa
yang telah mereka kerjakan, baik di kelas, maupun di luar kelas.
4. Meningkatkan peran serta peserta didik secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran dan penilaian.
5. Member kesempatan kepada peserta didik untuk meningkatkan
kemampuan mereka.
6. Membantu guru mengklarifikasi dan mengidentifikasi program
pembelajaran.
7. Terlibatnya berbagai pihak, seperti orang tua, guru, komite sekolah dan
masyarakat lainnya dalam melihat pencapaian kemampuan peserta
didik.
Adapun kekurangan asesmen portofolio antara lain, sebagai berikut.
1. Membutuhkan waktu dan kerja ekstra.
2. Penilaian portofolio dianggap kurang reliabel dibandingkan bentuk
penilaian yang lain.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
197
3. Ada kecenderungan guru hanya memperhatikan pencapaian akhir
sehingga proses penilaian kurang mendapat perhatian.
4. Jika guru melaksanakan proses pembelajaran yang bersifat teacher-
oriented, maka asesmen portofolio tidak dapat dilaksanakan.
5. Orang tua peserta didik sering berpikir skeptis karena laporan hasil
belajar anaknya tidak berbentuk angka.
6. Asesmen portofolio masih relative baru sehingga banyak guru, orang
tua, dan peserta didik yang belum mengetahui dan memahaminya.
7. Tidak tersedianya kriteria penilaian yang jelas.
C. Kesimpulan
Asesmen Portofolio adalah asesmen berkelanjutan yang didasarkan
kumpulan informasi yang menunjukkan perkembangan kemampuan peserta didik
dalam satu periode tertentu. Informasi tersebut dapat berupa karya peserta didik dari
proses pembelajaran yang dianggap terbaik oleh peserta didik, hasil tes (bukan
nilai), atau bentuk informasi lain yang terkait dengan kompetensi tertentu dalam satu
mata pelajaran. Asesmen portofolio pada dasarnya menilai karya-karya siswa secara
individu pada satu periode untuk suatu mata pelajaran. Akhir suatu periode, karya
tersebut dinilai oleh guru dan peserta didik. Berdasarkan informasi perkembangan
tersebut, guru dan peserta didik sendiri dapat menilai perkembangan kemampuan
peserta didik dan terus melakukan perbaikan. Dengan demikian, portofolio dapat
memperlihatkan perkembangan kemajuan belajar peserta didik melalui karyanya,
antara lain: karangan, puisi, surat, hasil membaca buku/literatur, hasil penelitian,
hasil wawancara, dan lain-lain. Karya siswa harus merupakan karyanya sendiri,
bukan dibuatkan orang lain.
Adapun tujuan asesmen portofolio ini adalah untuk memberikan informasi
kepada orang tua siswa tentang perkembangan peserta didik secara lengkap dengan
dukungan data dan dokumen yang akurat. Portofolio ini boleh dikatakan lampiran
dari rapor peserta didik. Disamping itu, portofolio ini bertujuan untuk menghargai
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
198
perkembangan yang dialami peserta didik, mendokumentasikan proses
pembelajaran, memberikan perhatian pada prestasi kerja peserta didik yang terbaik,
meningkatkan efektivitas proses pembelajaran, dan lain-lain. Sedangkan fungsi
portofolio adalah sebagai sumber informasi bagi guru dan orang tua untuk
mengetahui pertumbuhan dan perkembangan kemampuan peserta didik, sebagai alat
penilaian otentik (authentic assessment), sebagi sumber informasi bagi peserta didik
untuk melakukan self-assessment.
Asesmen portofolio memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan
asesmen konvensional, antara lain: (1) dapat melihat pertumbuhan dan
perkrmbangan kemampuan peserta didik dari waktu ke waktu, (2) membantu guru
dalam melakukan penilaian secara adil, objektif, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan tanpa mengurangi kreativitas peserta didik di kelas, (3)
melatih peserta didik bertanggung jawab, (4) meningkatkan peran serta peserta didik
secara aktif dalam pembelajaran,dan (5) member kesempatan kepada peserta didik
untuk meningkatkan kemampuan mereka. Kekurangannya antara lain:
membutuhkan waktu dan kerja ekstra, dianggap kurang reliabel, belum banyak guru
yang memahaminya, kriteria penilaian tidak jelas, sulit diterapkan untuk ujian
nasional.
Dalam aplikasinya dalam pembelajaran Bahasa Indonesia, asesmen
portofolio dapat dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah (1) Jelaskan kepada
peserta didik bahwa penggunaan portofolio tidak hanya untuk guru, tetapi juga
untuk siswa sendiri, (2) Tentukan bersama siswa sampel portofolio apa saja yang
akan dibuat, (3) Simpanlah karya setiap peserta didik dalam suatu map atau folder di
rumah masing-masing atau di sekolah, (4) Beri tanggal pembuatan pada tiap bahan
informasi perkembangan peserta didik, (5) Tentukan kriteria penilaiannya serta
bobot nilainya dengan peserta didik sebelum mereka membuat karya, (6) Minta
siswa menilai karyanya secara berkesinambungan, atas bimbingan guru, (7) beri
kesempatan kepada peserta didik utu memperbaiki karya yang belum memuaskan,
(8) Jadwalkan (bila perlu) pertemuan untuk membahas portofolio dengan mereka.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
199
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Zaenal. 2009. Evaluasi Pembelajaran Prinsip, Teknik, Prosedur. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Arter, Judith A. and Vicki Spandel. Using Portofilio of Student Work in Instruction
and Assessment. ITEM.
Depdiknas. 2006. Pedoman Model Penilaian Kelas Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan TK-SD-SMP-SMA-SMK-MI-MTs-MA-MAK. Jakarta: BP
Cipta Jaya.
Harsiati, Titik. 2003. Penilaian otentikdlm pembelajaran Bahasa Indonesia.
Makalah.
Johnson, D. W., Johnson, R. T. 2002. Meaningful assessment. Boston: Allyn and
Bacon.
Mardapi, Djemari. 2005. Penilaian model portofolio pada pembelajaran berbasis
kompetensi di perguruan tinggi. Makalah disampaikan pada Seminar
Penilaian Portofolio untuk Pembelajaran Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Universitas Sebelas Maret 30 Maret 2005 di Surakarta.
Supranata, S. dan Hatta, M. 2004. Penilaian Portofolio. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Suwandi, Sarwiji. 2009. Model Assesmen Dalam Pembelajaran. Surakarta: YUMA
PUSTAKA
Biodata Penulis:
- Penulis adalah Lektor Kepala dalam Bidang Evaluasi Pendidikan dan Bekerja
Sebagai Dosen Kopertis Wilayah VIII, Dpk Pada Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali Denpasar.
- Saat ini penulis masih tercatat sebagai mahasiswa Program Doktor sejak tahun
akademik 2010/2011, dan sedang menyelesaikan disertasi tentang
Pengembangan Model Evaluasi Program Pembelajaran Anak Usia dini.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
200
PENERAPAN METODE PEMODELAN UNTUK MENINGKATKAN
KETERAMPILAN BERPIDATO BAHASA BALI SISWA KELAS X1 SMA
NEGERI 1 PETANG, BADUNG TAHUN PELAJARAN
2010/2011
Oleh
Dewa Ayu Widiasri
One of the aspects in Balinese language Learning Process is Speaking skill.
Balinese language speech is one of speaking skill which listed in Senior high school
syllabus. As we have seen that all this time Balinese Language learning process used
discussion and lecturing methods in the classroom. Based on the researcher`s
observation that the students` speech skill were very low. It`s assumed that the
strategies which used by the teacher were less precisely. Based on this fact, the
researcher tried to collaborate to the teacher who taught Balinese Language to apply
modeling method. Modeling method in speech teaching and learning process is a
method through presenting a model in front of the class. By presenting a model is
expected that the skill of Balinese Language Speech will be much better. This
research was carried out at the eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the
2010/2011 academic year.
The problem formulation of this research were (1) How can modeling
method improve speech skill in Balinese language at eleventh grade students of
SMA N 1 Petang in the 2010/2011 academic year? (2) How are the students`
responses toward the application of modeling method to improve speech skill in
Balinese Language?
The purpose of this research was to improve or increase speaking skill,
meanwhile The specific purpose of this research were(1) to improve speech ability
in Balinese language at eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the
2010/2011 academic year through the application of modeling method,(2)to find out
the response of the eleventh grade students of SMA N 1` Petang in the 2010/2011
academic year through the application of modeling method.
To achieve these goals, the researcher used three methods, they were;
(1) Subject research determination which consists of Subject of the research, object
of the research and the plan of the research, (2) The collecting data method consists
of test method, observation method, and questionnaire method, (3) Data analysis
method consisted of the result of observation scoring, changing crude score became
a standard score, finding out the mean, and deciding predicate criteria of subject of
this research on 32 students of the eleventh grade students of SMA N 1 Petang in the
2010/2011 academic year. Data was obtained using action test instrument; students
were asked to pay attention to the model who performed in front of the class then
students acted as the model did. The obtaining data was analyzed by using
descriptive statistical analysis so that we can find out the quality of students
achievement. The program of this research consisted of (1) research planning, (2)
the implementation of action (3) observations and (4) reflection.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
201
Based on the analysis, it can be concluded that, (1)Modeling method can
improve speech skill in Balinese language of the eleventh grade students of SMA N
1 Petang, (2).Modeling method got good response from the eleventh grade students
in SMA N 1 Petang. The implementation at the beginning observation score was
1868 with average score 58, on the cycle I the score was 2420 with average 76, and
on cycle II the score was 2788 with average 87. It meant that students` achievement
on the eleventh grade improved 11%. Concerning to the conclusion above teachers
were suggested (1)to apply modeling method in Balinese language speech teaching
to improve students` skill in Balinese language speech, (2) to apply modeling
method to improve students` responses in Balinese Language learning process.
1. LATAR BELAKANG MASALAH
Bahasa Bali merupakan salah satu bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Bahasa bali itu adalah bahasa daerah orang Bali yang dibawa sejak lahir yang
dikenal sebagai bahasa ibu. Semenjak orang Bali itu lahir mereka sudah diajarkan
bahasa daerah mereka yaitu bahasa Bali. Bahasa Bali tidak hanya diajarkan
dilingkungan keluarga dan masyarakat, melainkan dilingkungan sekolah juga
diajarkan. Bahasa Bali diajarkan mulai dari taman kanak-kanak, SD, SMP, SMA,
juga dalam universitas yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa Bali.
Pembelajaran bahasa Bali meliputi empat aspek keterampilan yakni
keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan
keterampilan menulis. Semua aspek tersebut sangat penting untuk dipelajari, akan
tetapi di dalam lingkungan masyarakat salah satu aspek dari ke empat aspek tersebut
ada yang paling penting yaitu aspek berbicara. Dalam kehidupan sehari-hari ternyata
manusia dihadapkan dengan berbagai kegiatan yang menuntut keterampilan
berbicara. Seperti pengajaran tata karma dan adat istiadat dalam masyarakat selalu
diajarkan dengan cara lisan. Hal ini tidak hanya berlaku dalam kalangan masyrakat
tradisional tetapi masih berlaku juga dikalangan masyarakat modern. Jadi, semua
kalangan masyarakat perlu memiliki keterampilan berbicara.
Keterampilan berbicara bisa ditampilkan dengan berbagai macam
kreativitas. Salah satu bentuk kreativitas dalam berbicara yaitu berpidato. Banyak
kegiatan dalam kehidupan masyarakat Bali yang memakai pidato. Seperti, dalam
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
202
acara lamaran, pernikahan, peresmian, dan lain sebagainya. Berpidato merupakan
suatu keterampilan berbicara yang memerlukan keahlian berbicara dan mental yang
bagus karena, berpidato itu selalu dilakukan di depan umun atau di depan orang
banyak.
Keterampilan berpidato sangat penting dalam kehidupan masyarakat Bali.
Memandang hal tersebut, pemerintah di bidang pendidikan mencantumkan
keterampilan berpidato bahasa Bali kedalam kurikulum pembelajaran bahasa Bali.
Hal itu dibuktikan dalam pembelajaran bahasa Bali di kalangan siswa SMA dari
kelas X hingga kelas XII semester satu dan dua yang pertama tercantum dalam
silabus adalah pelajaran pidato. Dalam pembelajaran pidato tersebut terdapat
indikator-indikator yaitu siswa dapat memahami isi pidato, siswa dapat
menyampaikan isi pidato, dan yang terakhir siswa mampu berpidato bahasa Bali.
Metode pemodelan merupakan suatu metode yang menggunakan seorang
model di depan kelas. Model yang ditampilkan dalam pengajaran pidato bahasa Bali
adalah seseorang yang sudah terampil dalam berpidato bahasa Bali. Setiap metode
pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Begitu pula dengan metode pemodelan.
Adapun kelemahan atau kekurangan dari metode pemodelan ini yaitu, susahnya
mencari orang yang benar-benar terampil dalam berpidato bahasa Bali. Sedangkan
kelebihan daripada metode pemodelan tersebut adalah dengan melihat model yang
di tampilkan, siswa dapat memahami secara langsung apa itu pidato dan bagaimana
cara penyampaiannya. Selain itu guru juga lebih praktis dalam mengajar. Dalam
mengajar pidato tersebut guru tidak mengahabiskan tenaga banyak untuk
menjelaskan. Guru hanya perlu menjawab pertanyaan siswa apabila ada yang
mereka tidak ketahui atau tidak mereka mengerti mengenai pidato bahasa Bali
tersebut.
Metode pemodelan merupakan suatu metode yang baru bagi siswa. Dengan
adanya perubahan metode dalam pengajaran berpidato bahasa Bali siswa akan lebih
antusias dalam belajar. Semangat yang baik dalam belajar merupakan awal dari
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
203
suatu keberhasilan. Keberhasilan yang dimaksud adalah peningkatan keterampilan
berpidato siswa melalui penerapan metode pemodelan.
Tujuan Penelitian ini adalah :
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran
umum mengenai metode pemodelan terhadap pembelajaran berpidato bahasa Bali di
SMA Negeri1 Petang. Baik itu perencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan dari
kegiatan pembelajaran itu sendiri serta pembaharuan-pembaharuan yang digunakan
untuk meningkatkan keterampilan anak atau siswa di dalam berpidato. Dalam hal ini
secara implisit juga bertujuan untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan yang
berhubungan dengan pemilihan metode pembelajaran dalam meningkatkan
keterampilan berpidato bahasa Bali siswa di dalam penelitian selanjutnya.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitia ini adalah sebagai
berikut.
1) Untuk meningkatkan kemampuan berpidato bahasa Bali siswa kelas X1
SMA Negeri 1 Petang, Badung tahun pelajaran 2010/2011 melalui
penerapan metode pemodelan.
2) Untuk mengetahui respon siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung
tahun pelajaran 2010/2011 dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan
metode pemodelan.
Manfaat dari Penelitian ini adalah sebagai berikut,
1) Bagi guru bahasa daerah Bali, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
umpan balik atas kemampuan siswanya dalam berpidato bahasa Bali.
Dengan demikian, guru akan dapat memperbaiki strateginya terutama
dalam pemilihan metodenya.
2) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai suatu bentuk
pengalaman dalam memilih strategi pembelajaran pidato bahasa Bali.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
204
3) Bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan yang
positif dalam meningkatkan mutu sekolah dan efektifitas pembelajaran
bahasa Bali pada umumnya.
4) Bagi pengembang kurikulum, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan
dalam rangka penyusunan kurikulum berikutnya terutama berkenaaan
dengan penataan materi pidato bahasa Bali dalam kerangka pembelajaran
bahasa dan sastra Bali.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas atau classroom action
research, yang memiliki tujuan untuk memperbaiki kualitas pembelajaran,
menanggulangi permasalahan yang dihadapi siswa dalam proses belajar mengajar,
serta mengujicobakan langkah-langkah pembelajaran yang baru untuk meningkatkan
nilai yang maksimal bagi siswa.
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMA N 1 Petang. Adapun
lokasi SMA Negeri 1 Petang berada di jalan raya Petang, kecamatan Petang,
Kabupaten Badung tepatnya berada di sebelah utara lapangan umum Petang, dan
tepat di sebelah selatan Pura Pucak Rantaja, batas timur dan baratnya adalah
perkebunan penduduk. Lingkungan belajarnya kondusif, artinya lokasi sekolah jauh
dari keramaian lalu lintas umum sehingga proses belajar mengajar dapat berjalan
lancar.
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan pada semester satu tahun
pelejaran 2010/2011, yaitu dari bulan Januari sampai bulan April 2011. Penentuan
waktu penelitian akan disesuaikan mengacu pada kalender akademik sekolah dan
jadwal kegiatan pembelajaran dengan mata pelajaran bahasa bali di sekolah.
Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester ganjil yaitu semester satu.
Subjek penelitian adalah setiap individu yang akan kita selidiki. Pengertian
individu mencakup manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda.
Dalam penelitian tindakan kelas ini, yang menjadi subjek penelitian adalah siswa
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
205
kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, dengan jumlah siswa 32 orang yang terdiri dari 10
orang laki-laki dan 22 orang perempuan.
Objek penelitian adalah setiap gejala atau peristiwa yang akan diselidiki,
baik itu berupa gejala alam, maupun gejala kehidupan. Berpedoman pada prosedur
penelitian yang dilakukan. Dalam hal ini yang menjadi objek penelitiannya adalah
keterampilan berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan yang
dihasilkan oleh siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011.
Objek yang diamati dalam berpidato bahasa Bali adakah lingkungan di sekitar
sekolah yang masih tepat guna dimanfaatkan sebagai media pembelajaran.
Sedangkan kriteria penilaian berpidato bahasa Bali meliputi (1) wicara, (2) wiraga,
(3) wirama, (4) wirasa, dan (5) wesata.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) merupakan penelitian tentang situasi
kelas yang dilakukan secara sistematik dengan mengikuti prosedur atau langkah-
langkah tertentu.dalam penelitian ini akan direncanakan dua siklus, dimana setiap
siklus dilaksanakan dua kali pertemuan. Dalam satu siklus terdiri dari perencanaan,
pelaksanaan tindakan, observasi-evaluasi, dan refleksi.Siklus yang direncanakan ini
tidaklah mutlak. Siklus bisa saja ditambah sampai ditemukan adanya peningkatan
dalam berpidato bahasa Bali.
Rancangan penelitian juga berfungsi untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan tentang pemanfaatan pemodelan dalam berpidato bahasa Bali
siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011. Adapun
rancangan penelitian seperti bagan di bawah ini.
RANCANGAN
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
Model berpidato Bahasa Bali
Keterampilan berpidato
bahasa Bali rendah
Keterampilan berpidato
bahasa Bali meningkat
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
206
Penelitian Tindakan Kelas ini menghendaki siklus yang dapat
dikolaborasikan hingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai dengan hasil
yang terbaik (Wardani, 2008 : 2.4). Setiap siklus terdiri dari empat tahap kegiatan
yaitu; perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi-evaluasi, dan refleksi. Adapun
kegiatan yang dilakukan untuk setiap siklusnya seperti pada bagan berikut.
RANCANGAN KEGIATAN PENELITIAN TINDAKAN KELAS
SETIAP SIKLUS
Tindakan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode
pemodelan, yang dirancang dalam refleksi siklus I digunakan sebagai acuan dalam
menentukan perbaikan tindakan pada siklus berikutnya. Apabila pada siklus I belum
berhasil maka akan dilanjutkan pada siklus II, hasil siklus II nantinya digunakan
sebagai acuan untuk rencana tindak lanjut pada pembelajaran selanjutnya. Pada
tahap pelaksanaan tindakan dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
a) Memberikan motivasi awal kepada siswa dalam upaya menumbuhakan minat
berpidato bahasa Bali.
b) Langkah-langkah pelaksanaan tindakan yang akan diterapkan tertuang dalam
rencana pembelajaran. Penyampaian materi pelajaran sesuai dengan
Perencanaan
(1)
Refleksi
(4)
Pelaksanaan Tindakan
(2)
Observasi-evaluasi
(3)
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
207
c) Menutup pembelajaran dengan membuat rangkuman, dilakukan pada akhir
pembelajaran dan menekankan kembali pokok-pokok materi yang penting dan
menyinggung materi kajian berikutnya.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini disesuaikan
dengan keperluan untuk mencapai tujuan penelitian tindakan kelas ini. Untuk
mendapat data yang lengkap, dipergunakan dua metode pengumpulan data yaitu,
metode tes dan metode observasi.
Penelitian ini akan menggunakan metode analisis statistik deskriptif.
Pengolahan data dilaksanakan dengan melakukan perhitungan statistik sesuai
dengan data yang diperoleh. Adapun tahapan pengolahan data dilakukan melalui
beberapa langkah kerja, yakni (1) menskor tes, (2) mengubah skor mentah menjadi
skor standar, (3) menentukan kriteria predikat, dan (4) mencari skor rata-rata.
Skor mentah yang diperoleh diubah menjadi skor standar dengan
menggunakan pedoman konversi norma absolut skala seratus seperti berikut ini.
Keterangan :
P = Persentil
X = Skor standar yang dicapai
SMI = Skor Maksimal Ideal
Adapun langkah-langkah yang ditempuh didalam mengubah skor mentah menjadi
skor standar yaitu :
1) Menentukan skor maksimal ideal (SMI)
Skor maksimal ideal adalah skor yang munkin dicapai apabila semua item dapat
dijawab dengan benar (Nurkancana dan Sumartana, 1922:92).Skor maksimal
ideal ini dicari dengan jalan menghitung jumlah item yang diberikan serta nilai
masing-masing item dengan rumus sebagai berikut.
P = SMI
X x 100
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
208
Skor tes keterampilan berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode
pemodelan adalah 5 x 5 = 25. Jadi skor maksimal idealnya (SMI) adalah 25
2) Menentukan skor mentah yang diperoleh siswa (X)
Skor mentah diperoleh dari hasil observasi pidato bahasa Bali yang dibawakan
oleh siswa skor mentah adalah skor masing-masing deskriptor yang diperoleh
siswa dari masing-masing aspek yang dinilai.
Setelah SMI dan skor mentah masing-masing siswa ditetapkan, maka pengubahan
skor mentah menjadi skor standar untuk masing-masing siswa dapat dihitung seperti
contoh berikut.
Contoh mengubah skor mentah menjadi skor standar :
1) Misalkan seorang siswa x memperoleh skor mentah 15, maka skor standarnya
adalah :
P =
5
5
2
1 x 100
= 60
2) Misalkan seorang siswa x memperoleh skor mentah 22, maka skor standarnya
adalah :
P =
5
5
2
2 x100
= 88
Data tentang aktivitas berpidato bahasa Bali siswa dianalisis dengan
statistik deskriptif dan penyimpulannya didasarkan atas skor rata-rata (mean) dengan
pedoman konversi sebagai berikut.
SMI = jumlah butir soal x bobot masing-masing
X = jumlah masing-masing skor deskriptor x jumlah aspek
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
209
Tabel 3.4 Pedoman Konversi Aktivitas Berpidato Siswa
Interval Kualifikasi
0 – 39,9
40,0 – 54,9
55,0 – 69,9
70,0 – 84,5
85,0 – 100
Sangat kurang
Kurang
Cukup
Baik
Sangat baik
Dengan demikian, aktivitas berpidato bahasa Bali siswa selama proses pembelajaran
dikatakan memiliki aktivitas baik jika dari analisis diperoleh aktivitas siswa minimal
baik.
Langkah selanjutnya setelah mengubah skor mentah menjadi skor standar
dalam pengolahan adata adalah mencari nilai rata-rata. Rata-rata (mean) ini didapat
dengan mengumpulkan skor standar kemudian dibagi jumlah subjek.
Untuk memperoleh rata-rata hasil belajar, dipergunakan rumus sebagai berikut :
Keterangan :
M = mean (nilai rata-rata)
∑fx = jumlah skor
N = jumlah individu
(Nurkancana dan Sumartana, 1992:152)
Kriteria ini dibuat untuk mengklasifikasikan keterampilan siswa dalam berpidato
bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan, dalam materi pidato bahasa Bali.
Berdasarkan perolehan nilai setiap siswa, maka akan lebih jelas diketahui
dimana tingkat keberhasilan siswa dalam berpidato bahasa Bali melalui penerapan
metode pemodelan.
Langkah terakhir dalam mengolah data adalah menentukan simpulan.
Apakah penerapan metode pemodelan dalam meningkatkan keterampilan berpidato
bahasa Bali dapat berhasil atau tidak, semua itu dapat dicari dengan cara
membandingkan rata-rata dari masing-masing siklus. Apabila rata-rata dari masing-
M = N
Σfx
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
210
masing siklus mengalami peningkatan, maka penerapan metode pemodelan untuk
meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali siswa kelas X1 SMA Negeri 1
Petang dapat dinyatakan berhasil.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Tahap observasi awal menunjukkan bahwa adanya beberapa hambatan
yang dialami siswa pada saat melaksanakan proses belajar. Siswa masih terlihat
malu-malu, intonasi suara masih kurang keras dan juga cara penyampaiannya masih
sangat kurang. Berdasarkan hal tersebut peneliti menyimpulkan bahwa kelas X1
SMA Negeri 1 Petang belum terampil dalam berpidato bahasa Bali. Untuk
memperbaiki kualitas pembelajaran berpidato bahasa Bali, peneliti merancang
pembelajaran dengan menerapakan metode pemodelan dalam upaya meningkatkan
keterampilan berpidato bahasa Bali.
Pada siklus I dilaksanakan dua kali pertemuan yaitu satu kali untuk
pelaksanaan pembelajaran dan menghadirkan model orator untuk diperhatikan oleh
siswa, pertemuan ke dua untuk pelaksanaan tes.Materi yang dibahas pada siklus I
mengenai pidato bahasa Bali.
Sesuai dengan rancangan penelitian yang dikemukakan, maka hasil
penelitian pada siklus I dapat disajikan sebagai barikut.
Pada perencanaan siklus I, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah
penyusunan rencana pembelajaran (terlampir), penyusunan instrumen (terlampir),
apersepsi mengenai kegiatan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan
metode pemodelan.
Pada tahap pelaksnaan tindakan ini, guru bidang studi bahasa daerah Bali
melaksanakan pembelajaran berdasarkan rencana pembelajaran (terlampir) yang
telah disusun pada tahap perencanaan yaitu rencana pembelajaran yang mengacu
pada penerapan metode pemodelan untuk meningkatkan keterampilan berpidato
bahasa Bali. Adapun langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan pada tahap ini
adalah sebagai berikut.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
211
1) Sebelum melaksanakan pembelajaran di kelas, guru terlebih dahulu
mengucapkan salam sesuai dengan salam yang dipakai oleh umat Hindu
(mengingat para siswa umumnya berada pada lingkungan masyarakat Hindu).
2) Guru melaksanakan apersepsi, yaitu memberikan motivasi belajar dengan
tujuan agar siswa memiliki kesiapan dalam proses belajar.
3) Guru memberikan penjelasan kepada siswa sesuai dengan materi yang terkait
yakni tentang pidato bahasa Bali. Selanjutnya guru menghadirkan seorang
model, dalam hal ini siswa ditugaskan berpidato sesuai dengan model yang
telah disajikan.
4) Berdasarkan hasil berpidato siswa setelah menyimak model orator yang
diperoleh, kemudian guru mengarahkan siswa untuk mencermati kembali
beberapa hal yang penting sehingga diperoleh simpulan yang berupa materi
atau konsep yang mesti dipelajari.
Kegiatan observasi dan evaluasi dilaksanakan secara continue setiap
pertemuan. Guru mengadakan observasi selama proses belajar berlangsung, dengan
mencatat segala peristiwa yang terjadi ketika berlangsungnya proses pembelajaran.
Seperti aktivitas belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan menggunakan
lembar observasi.Evaluasi yang dilakukan untuk mengetahui hambatan-hambatan
yang dialami siswa selama proses pembelajaran berlangsung sehingga diketahui
gambaran mengenai keberhasilan belajar siswa. Keterampilan berpidato bahasa Bali
dinilai berdasarkan hasil tes. Atas dasar hasil tersebut peneliti melakukan evaluasi
secara umum terhadap hasil yang dicapai dari penerapan tindakan yang
direncanakan.
Refleksi dilakukan pada akhir siklus. Pada tahap ini guru mengkaji hasil
tindakan dan kendala-kendala atau kekurangan-kekurangan dari tindakan yang telah
dilakukan pada siklus I. Sebagai acuan dalam refleksi ini adalah hasil observasi dan
evaluasi pembelajaran pada siklus I. Bertolak dari hasil penelitian yang diperoleh
dari siklus I, maka perlu dilakukan langkah-langkah perbaikan pada pembelajaran
pada siklus II sehingga didapatkan hasil pembelajaran yang lebih baik untuk
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
212
memperbaiki siklus I. Hal ini dilakukan karena pada siklus I prestasi belajar siswa
masih kurang baik. Jika dikaji hambatan belajar siswa masih dalam kualifikasi
hambatan sedang, yang disebabkan oleh masih banyaknya siswa yang kurang
memiliki persiapan yang mantap saat mengikuti pelajaran, dalam hal ini pelajaran
pidato bahasa Bali. Siswa tampak kesulitan dalam penguasaan pidato sehingga
dalam berpidato masih seperti menghafal. Pada umumnya, diperlukan adaptasi
karena siswa baru pertama kali mengenal metode pemodelan dalam berpidato
bahasa Bali. Siswa cenderung kaku, tegang, dan kurang santai dalam mengikuti
proses pembelajaran. Ini disebabklan karena guru mengajar lain dari biasanya. Hal
ini tentunya menyebabkan siswa merasakan sesuatu yang baru dalam lingkungan
belajarnya.
Dari hasil penelitian dan refleksi terhadap jalannya pembelajaran pada
siklus I, maka hal-hal yang perlu diperbaiki adalah sebagai berikut.
1) Mencermati kembali langkah-langkah pembelajaran pada rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang telah disusun.
2) Mengarahkan siswa agar lebih banyak membaca buku yang berkaitan dengan
pidato bahasa Bali
3) Memberikan motivasi kepada siswa tentang manfaat pentingnya belajar pidato
bahasa Bali.
4) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, menjawab dengan cara
memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya/ mengemukakan
pendapatnya.
5) Membimbing siswa pada saat menyampaikan pidato
6) Mengarahkan siswa untuk memperbaiki caranya berpidato apabila ada
kesalahan.
Siklus II dilaksanakan selama 2 kali pertemuan yaitu 1kali pertemuan untuk
pelaksanaan pembelajaran dan I kali untuk pelaksanaan tes. Siklus II ini merupakan
perebaikan sekaligus penyempurnaan terhadap kendala-kendala yang dihadapi pada
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
213
siklus I. Adanya perbaikan dapat dilihat dari prestasi belajar siswa dan hambatan
belajar siswa.
Berdasarkan refleksi pada siklus I, perencanaan pada siklus II sama seperti
pada siklus I. Pada perencanaan siklus I, kegiatan yang dilakukan peneliti adalah
penyusunan rencana pembelajaran (terlampir), penyusunan instrument (terlampir),
apersepsi mengenai kegiatan pembelajaran berpidato bahasa Bali melalui penerapan
metode pemodelan.
Pada tahap pelaksanaan siklus II, guru kembali melaksanakan pembelajaran
di kelas sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran seperti yang terurai pada
siklus I. Pada tahap ini guru lebih intensif mencermati dan menekankan hal-hal atau
materi yang kurang difahami oleh siswa, serta hambatan yang dialami oleh siswa
pada saat proses pembelajaran.
Sebagaimana halnya pada sikluis I, observasi kelas dilkukan untuk
memperoleh gambaran mengenai hambatan yang dialami serta hasil yang dicapai
dari penerapan pembelajaran. Kemudian atas dasar hasil observasi kelas yang
dilakukan selama kegiatan siklus II, guru melakukan evaluasi terhadap hasil yang
dicapai dari penerapan tindakan yang telah direncanakan, sehingga dapat
dirumuskan kembali penyempurnaan tindakan yang telah dilakukan. Pelaksanaan
evaluasi pada siklus II ini pada prinsipnya sama dengan pelaksanaan evaluasi pada
siklus I. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui peningkatan keterampilan berpidato
bahasa Bali dari siklus I ke siklus II.
Atas dasar observasi kelas dan hasil tes yang dilakukan selama kegiatan
siklus II, guru dapat melakukan evaluasi secara umum untuk mengtahui
keberhasilan tindakan yang dilkukan pada siklus II.
Berdasarkan hasil kuesioner siswa menunjukan bahwa, guru telah
melaksanakan tindakan sesuai dengan yang direncanakan. Data yang diperoleh dari
kuesioner menunjukan siswa mengalami peningkatan hasil dalam berpidato bahasa
Bali, siswa lebih antusias dalam mengikuti pelajaran. Dengan diterapkannya metode
pemodelan siswa lebih tahu apa itu pidato bahasa Bali. Siwa dapat mengatasi
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
214
kesulitan-kesulitan yang ditemui dalam berpidato bahasa Bali. Siswa merasa tidak
bosan lagi karena strategi guru dalam mengajar sudah diperbaiki, dengan dihadirkan
seorang model siswa siswa dapat menyimak secara langsung bagaimana cara
berpidato yang baik dan benar.dari hasil kuesioner siswa kelas X1 SMA Negeri 1
Petang merasa senang diterapkannya metode pemodelan dalam pembelajaran
berpidato bahasa Bali.
Hasil penelitian yang diperoleh pada siklus II telah mengalami perbaikan
atau peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya prestasi belajar siswa,
maka dari itu semua kendala pada siklus I dapat teratasi dan permasalahan pada bab
1 dapat terjawab. Dengan meningkatnya prestasi belajar siswa, maka dapat diartikan
bahwa melalui penerapan metode pemodelan dapat meningkatkan keterampilan
berpidato bahasa Bali siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung.
Pembahasan ini bertujuan untuk mempertajam temuan dengan melihat
keterkaitan antara komponen yang satu dengan komponen yang lainnya. Pada
pembahasan ini akan disajikan mengenai prestasi belajar siswa setelah diterapkan
metode pemodelan untuk meninglkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali.
Untuk mengetahui apakah dengan penerapan metode pemodelan dapat
meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali dicari nilai rata-rata siswa untuk
masing-masing siklus dengan rumus :
Keterangan :
M = nilai rata-rata
∑fx = jumlah skor
N = jumlah siswa
Dengan demikian, nilai rata-rata siswa pada tahap pre-test adalah:
M = 32
1868
= 58,375 = 58 (dibulatkan)
M = N
Σfx
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
215
Nilai rata-rata siswa pada siklus I adalah:
M = 32
2420
= 75,6 = 76 (dibulatkan)
Nilai rata-rata siswa pada siklus II adalah:
M = 32
2788
= 87,13 = 87 (dibulatkan)
Berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh pada masing-masing siklus,
maka sudah dapat dilihat peningkatan hasil belajar siswa dalam berpidato bahasa
Bali melalui penerapan metode pemodelan. Untuk observasi awal nilai rata-rata
siswa sebesar 58, pada siklus I nilai rata-rata siswa sebesar 76, sedangkan pada
siklus II nilai rata-rata siswa sebesar 87. Sesuai dengan predikat kemampuan siswa
skor pada rentangan 86-100 memperoleh predikat sangat baik. Ini berarti prestasi
belajar siswa mengalami peningkatan sebesar 3% (skor mentah) atau 11% (skor
standar) setelah dilaksanakannya penerapan metode pemodelan dalam berpidato
bahasa Bali, sehingga hipotesis yang diajukan pada bab II yaitu melalui metode
pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali oleh siswa kelas
X1 SMA Negeri 1 Petang tahun pelajaran 2010/2011 dapat diterima.
4. PENUTUP
Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian yang penelitiannya
dilaksanakan pada kelas X1 SMA Negeri 1 Petang dalam pembelajaran bahasa Bali
khususnya apresiasi berpidato bahasa Bali, dapat disimpulkan sebagai berikut.
1) Metode pemodelan dapat meningkatkan keterampilan berpidato bahasa Bali
oleh siswa kel,as X1 SMA Negeri 1 Petang, Badung tahun pelajaran
2010/2011. Ini dibuktikan dengan meningkatnya kemampuan siswa dalam
berpidato bahasa Bali yang terlihat dari observasi awal, siklus I, dan siklus II
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
216
dimana nilai rata-rata pada observasi awal sebesar 58 ; pada siklus I sebesar 76
dan pada siklus II meningkat menjadi 87. Dari hasil tersebut, dinyatakan
bahwa siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang memperoleh predikat baik dalam
berpidato bahasa Bali melalui penerapan metode pemodelan.
2) Respon siswa kelas X1 SMA Negeri 1 Petang terhadap penerapan metode
pemodelan dalam upaya peningkatan keterampilan berpidato bahasa Bali
sangatlah baik, siswa merasa sangat terbantu dengan diterapkannya metode
pemodelan guna menggali dan mengasah kemampuan, minat, serta bakat siswa
dalam hal berpidato bahasa Bali.
Berdasarkan simpulan (1) di atas, disarankan kepada guru bahasa daerah
Bali untuk dapa tmenerapkan metode pemodelan dalam meningkatkan keterampilan
berpidato bahasa Bali siswa. Karena penerapan metode pemodelan sudah terbukti
dapat meningkatkan hasil belajar berpidato bahasa Bali mulai dari observasi awal,
siklus I, siklus II yang sudah mengalami peningkatan yang cukup besar.
Berdasarkan simpulan (2) di atas, disarankan kepada guru bahasa Bali untuk
menerapkan metode pemodelan untuk dapat lebih meningkatkan respon siswa
dalam mengikuti proses belaja rmengajar terutama dalam pembelajaran bahasa
daerah Bali. Karena berkat penerapan metode pemodelan respon siswa telah
mengalami peningkatan yang sangat bagus. Ini dimaksudkan guna menghindari
kejenuhan siswa di dalam mengikuti pelajaran.
DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, Suharasimi,1997. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
-------------------------, 2006. Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta : Bumi
Aksara.
Daryanto. 1999. Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta.
Deberah A. Mellrath dan Wlliam G Hait. 2009. Teori Pembelajaran dan
Pengajaran.
Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali.2004. Kurikulum Standar Kompetensi Muatan
Lokal Mata Pelajaran Bahasa Daerah Bali
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
217
Evendhy Siregar, dkk. 1998. Teknik Berpidato. Jakarta : Sarana Aksara Pelita
Etik Elfi Endrawati. Peningkatan Kemampuan Bermain Drama dengan Teknik
Pemodelan di kelas V SD Negeri Karangsono 02 Kecamatan Kanigoro
Kabupaten Blitar. Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas
Negeri Malang
Gulo,W. 2000. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana.
Prof. W. James, Pengertian Berpidato ( http/www.Goegle. come.)
Narbuko,Cholid. 2001. Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Akasara
Nurkancana. 1983. Evaluasi Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional
----------------. Nurkancana dan Sumartana, 1992. Evaluasi Hasil Belajar. Surabaya:
Uasaha Nasional
Poerwadarminta. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional. Balai Pustaka.
----------------. 2003. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional. Balai Pustaka.
Suarjana, I Nyoman Putra. 2008. Sor Singgih Basa Bali Ke-Bali-an Manusia Bali
Dalam Dharma Papandikan, Pidarta, Sambrama Wecana dan Dharma
Wecana (Sebuah Renungan untuk Perhatian). Denpasar : PT.Tohpati
Grafika Utama.
Suwija, I Nyoman. 2009. Kumpulan Pidarta Bahasa Bali. Denpasar
Tarigan, Djago dan H.G.Tarigan. 1991. Tehnik Pengajaran Keterampilan
Berbahasa. Bandung : Angkasa
Trianto. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching And
learning ) Di Kelas.Cerdas Pustaka Publiser-Jakarta.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
218
PROSES MENGAJAR MENYIMAK YANG EFEKTIF
Oleh
Ida Ayu Iran Adhiti
ABSTRACT
To observe means listening with understanding and attentively and full of
appreciation. To observe is also a process of listening activity the oral symbols
attentively. Praticing the students to listen is proposed to the students so that they
can follow the mind of the speaker quickly and precisely.
Listening activity is really hard and exhausted, because it needs focus of the
mind continuously. In class, the students may listen the lesson in brief, then they
speak to each other to release thair stress.
Besides the knowledge and capability of the teacher, the personality is also
important to determine whetter he is efectif or not. Teacher must be loved by the
students. It is hope that he has sense of humour so that he can make friends with the
students. Academically, teacher is also able to rise student‟s interest to the lesson,
rise the will to learn and attractive.
So the observe activity should be taught well and trutfully so that it can give the
result effectively and efficiently. The process is prepared by the teacher with some
steps and process in accordance with the material beig taught.
Key word : teaching, observing, effectivity.
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Sebagaimana diketahui bahwa linguistik adalah ilmu tentang bahasa, dalam
arti bahwa salah satu ilmu yang berurusan dengan bahasa. Adanya linguistik bukan
hanya karena adanya objek sasaran yang dikhususkan namun karena adanya
kerangka pikiran mengenai objek tersebut. Linguistik juga mempunyai dugaan
tertentu terhadap gejala yang ada pada bahasa dari aspek kebahasaannya
(Sudaryanto, 1986: 24). Verhaar menekankan bahwa linguistik teoritis memerikan
tentang teori-teori linguistik itu sendiri, sedangkan linguistik praktis dimanfaatkan
untuk suatu pengajaran bahasanya (1984: 10).
Pada dasarnya bidang linguistik dibagi menjadi 2 bidang: (1) mikrolinguistik
yakni bidang linguistik yang mempelajari bahasa dari dalamnya atau mempelajari
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
219
struktur bahasa itu sendiri; dan (2) makrolinguistik yakni bidang lingusitik yang
mempelajari bahasa dalam hubungannya dengan faktor-faktor di luar bahasa
termasuk didalamnya bidang interdisipliner dan bidang terapan. Bidang
interdisipliner seperti: fonetik, stilistika, filsafat bahasa, psikolinguistik,
sosiolinguistik, etnolinguistik, filologi, semiotika, dan epigrafi. Sedangkan bidang
terapan seperti: pengajaran bahasa, penterjemahan, leksikografi, fonetik terapan,
sosiolinguistik terapan, pembinaan bahasa dan sebagainya (Kentjono ed.,1982: 12).
Pendapat lain mengatakan bahwa linguistik dalam arti luas disebut
makrolinguistik yakni ilmu pengetahuan yang mempelajari semua aspek bahasa,
strukturnya, sejarahnya serta hubungan timbal baliknya dengan aspek kehidupan
manusia. Sedangkan dalam arti sempit linguistik disebut juga linguistik proper atau
mikrolinguistik yang diartikan sebagai suatu studi yang mempelajari tentang struktur
bahasa (Jendra, 1980: 2).
Kajian pengajaran menyimak termasuk makrolinguistik bidang terapan
terutama pada bidang pengajaran bahasa. Selanjutnya pengajaran bahasa yang
diajarkan tentu terkait dengan atas dasar tata bahasa ilmiah dan didaktik bahasa. Hal
tersebut akan menghasilkan tata bahasa pedagogis, tergantung pada tujuan
pendidikan karena diharapkan agar siswa memahami tentang “struktur bahasa” yang
diajarkan (Samsuri, 1985: 43). Pengajar atau guru mengajarkan keterampilan
berbahasa kepada siswa agar mengerti dan memahami bahasa yang diajarkan serta
terampil menggunakan bahasa yang sedang dipelajari oleh siswa. Keterampilan
berbahasa yang diajarkan tersebut baik keterampilan menyimak, berbicara,
membaca, maupun menulis.
Proses dalam arti katanya adalah suatu runtutan perubahan atau peristiwa
dalam perkembangan sesuatu, misalnya perkembangan jiwa statis menjadi dinamis
(Poerwadarminta, 1976: 769). Terkait dengan kajian tulisan ini dimaksudkan bahwa
proses mengajar menyimak yang efektif yakni bagaimana mengajar yang baik dan
benar dengan runtutan tertentu sesuai dengan perkembangan jiwa anak dari beberapa
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
220
konsep yang ada. Diharapkan pada kegiatan menyimak, siswa mampu memahami
secara menyeluruh materi yang diajarkan oleh guru di kelas.
II. PEMBAHASAN
Keterampilan berbahasa (language skills) mencakup 4 segi yakni
keterampilan menyimak (listening skills), keterampilan berbicara (speaking skills),
keterampilan membaca (reading skills), dan keterampilan menulis (writing skills).
Keterampilan menyimak dan berbicara dipelajari sebelum memasuki usia sekolah,
sedangkan keterampilan membaca dan menulis dipelajari di usia sekolah. Keempat
keterampilan tersebut merupakan satu kesatuan yang disebut sebagai catur tunggal.
Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir (Tarigan,
1980: 2).
Kegiatan menyimak dan berbicara merupakan komunikasi 2 arah yang
dilakukan secara langsung atau tatap muka dengan istilah face to face
communication. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat seperti dalam
mengajarkan ujaran (speech) biasanya dipelajari melalui menyimak dan meniru
karena contoh yang disimak oleh siswa sangat penting dalam kecakapan berbahasa
lisan. Berbicara dengan bantuan alat peraga (visual aids) akan mendapatkan
penangkapan informasi yang baik oleh siswa dalam kegiatan menyimak.
Meningkatkan keterampilan menyimak berarti pula membantu meningkatkan
kualitas berbicara siswa. Informasi yang diperoleh pada kegiatan menyimak
sesungguhnya bersifat langsung, apresiasif, reseptif, dan fungsional. Bersifat
langsung dimaksudkan bahwa informasi yang diperoleh siswa secara langsung oleh
guru di kelas. Kemudian apresiasif adalah informasi yang diperoleh penuh apresiasi
atau penjiwaan. Sedangkan reseptif yang dimaksudkan bahwa siswa bersifat
menerima saja dari informasi yang diberikan oleh guru. Selanjutnya fungsional
dimaksudkan bahwa informasi yang disampaikan oleh guru kepada siswa
diharapkan dapat berfungsi atau bermanfaat dengan baik sehingga berguna dalam
kehidupan.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
221
Selanjutnya kegiatan menyimak di sekolah bertujuan: (1) agar siswa dapat
memberikan respons yang tepat; (2) memperoleh informasi yang berkaitan dengan
profesi; (3) dapat mengumpulkan data dan memberi keputusan yang masuk akal;
serta (4) membuat hubungan antar pribadi yang lebih efektif.
Apabila ditinjau dari tujuan umumnya, kegiatan menyimak bertujuan untuk
memperoleh informasi, menangkap isi, dan memahami makna komunikasi yang
disampaikan oleh pembicara. Sedangkan ditinjau dari tujuan khususnya
menyebabkan adanya beraneka ragam menyimak yakni menyimak ekstensif
(extensive listening) dan menyimak intensif (intensive listening). Menyimak
ekstensif yang dimaksudkan adalah melakukan kegiatan menyimak mengenai hal-
hal yang lebih umum dan lebih bebas terhadap suatu ujaran. Sumber yang paling
baik digunakan oleh guru diperoleh dari rekaman radio dan televisi. Kegiatan
menyimak ekstensif ada beberapa bagian seperti menyimak sosial (social listening),
menyimak sekunder (secondary listening), menyimak estetik (aesthetic listening),
dan menyimak pasif (passive listening). Kemudian kegiatan menyimak intensif
yang dilakukan diharapkan untuk lebih diarahkan pada suatu kegiatan yang lebih
diawasi oleh guru di kelas. Menyimak intensif dapat dibagi dalam beberapa bagian
seperti: (1) menyimak kritis (critical listening); (2) menyimak konsentratif
(concentrative listening); (3) menyimak kreatif (creative listening); (4) menyimak
eksploratif (exploratory listening); (5) menyimak interogatif (interrogative
listening); dan (5) menyimak selektif (selective listening) (Tarigan, 1980: 55).
Menyimak sesungguhnya bermakna mendengarkan dengan penuh
pemahaman dan perhatian serta penuh apresiasi. Selanjutnya menyimak juga
dikatakan merupakan proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan
penuh perhatian. Melatih siswa mendengarkan bermaksud agar siswa dapat cepat
dan tepat mengikuti jalan pikiran orang yang sedang berbicara. Di samping itu siswa
diharapkan dapat menangkap dengan baik segala sesuatu yang tercantum dalam
cerita atau uraian yang didengarkan.Untuk keperluan tersebut diperlukan adanya
perlengkapan bahasa dengan indera pendengaran yang berfungsi baik. Kegiatan
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
222
mendengarkan sesungguhnya berat dan memenatkan, karena memerlukan
pemusatan perhatian secara terus menerus. Di dalam kelas, siswa hanya dalam
waktu singkat dapat mendengarkan pelajaran, kemudian melakukan kegiatan
bercakap-cakap untuk melepaskan beban yang berat. Hal ini disebabkan oleh materi
yang diajarkan oleh guru di luar bidang studi siswa dan cara guru mengajar sangat
membosankan.
Di dalam membuat perencanaan untuk latihan menyimak, guru harus mampu
melihat jenis situasi kehidupan nyata apa yang hendak disajikan kepada siswa. Guru
juga perlu memperhatikan kesulitan-kesulitan yang mungkin akan ditemui siswa dan
bagaimana cara siswa mengatasi kesulitan tersebut. Faktor lain yang cukup
kompleks adalah sifat dan proses belajar mengajar di dalam kelas itu sendiri. Ada
faktor-faktor fisik yang harus diperhatikan seperti ukuran dan pengaturan siswa di
dalam kelas, jumlah siswa dalam kelas, serta media yang digunakan di kelas seperti:
tape recorder atau peralatan elektronik lainnya. Faktor-faktor pedagogik juga
diperhatikan seperti: meningkatkan motivasi, konsentrasi dan partisipasi siswa, cara
mengoreksi, memberikan masukan, memberikan latihan secara efektif dan efesien
dan seterusnya (Ghazali, 2010: 167).
Beberapa hal yang harus dipahami oleh guru dalam mengajar seperti: (1)
waktu mengajar jangan terlalu lama; (2) ada pergantian bagi siswa antara
mendengarkan dan bekerja; (3) bahan pengajaran wajib menarik perhatian siswa; (4)
suara guru berirama, hidup dan tidak menjemukan; dan (5) antara pelajaran satu
dengan yang lain ada selingan menyanyi, sekedar bergurau, melawak, dan
sebagainya sebagai pelepas lelah (Soejono, 1983: 90).
Dalam kenyataannya mendengarkan sesungguhnya kegiatan yang sulit bagi
siswa. Hal ini dibuktikan bahwa banyak suruhan yang dilaksanakan salah. Banyak
orang menulis diktat yang didiktekan tidak tepat. Dengan berbagai latihan maka
guru wajib melatih siswa agar pandai mendengarkan. Latihan mendengarkan dapat
dilakukan dengan 2 cara yakni: (1) latihan mendengarkan tidak sengaja dan (2)
latihan mendengarkan disengaja. Latihan mendengarkan dengan tidak sengaja
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
223
bertujuan tidak untuk melatih mendengarkan tetapi untuk keperluan lain. Pelajaran
berbagai bidang studi tidak untuk melatih mendengarkan tetapi untuk melatih
menambah pengetahuan bidang studi IPS, IPA, Matematka dan sebagainya. Secara
tidak sengaja siswa dilatih untuk mendengarkan. Selanjutnya latihan mendengarkan
disengaja bertujuan untuk melatih siswa pandai mendengarkan dengan berbagai
macam latihan seperti pada pelajaran bahasa yakni: dikte pikir dan guru bercerita.
Pada dikte pikir, guru memberi suatu perintah atau mengatakan suatu kalimat. Siswa
disuruh mengerjakan atau menirukannya. Sukar atau mudah perintah tersebut
disesuaikan dengan tingkat kepandaian siswa. Pada saat guru bercerita, guru
membacakan sesuatu. Siswa disuruh mendengarkan dengan baik. Isi cerita
merupakan alat pelatih. Siswa sengaja dilatih mendengarkan. Selanjutnya siswa
diberikan pertanyaan tentang cerita tersebut dengan menghubungkan bagian-bagian
dalam cerita yang dibaca oleh guru. Hal ini bertujuan untuk melatih ingatan dan
kecerdasan siswa dalam menarik kesimpulan cerita tersebut (Soejono, 1983: 91).
Mengingat begitu berat dan kompleks tanggung jawab sebagai guru dalam
mengajar terutama aktivitas siswa dalam mendengarkan maka perlu adanya sifat dan
sikap guru yang baik dalam mengajar siswa di sekolah. Di samping pengetahuan dan
kecakapan guru, pribadinya juga memegang peranan penting untuk menentukan
apakah guru tersebut efektif atau tidak. Guru harus disukai oleh siswa. Diharapkan
guru mampu melakukan pekerjaan sekolah sehingga dapat memberi tugas pelajaran.
Guru juga mempunyai rasa humor sehingga dapat berteman dengan siswa. Secara
akademik, guru juga mampu membangkitkan minat pelajaran kepada siswa,
menimbulkan hasrat untuk belajar dan dapat menyenangkan. Guru perlu bersikap
tegas, adil, tidak marah-marah, sehingga siswa mampu memahami pelajaran yang
diajarkan. Pribadi yang menarik dan menyenangkan juga merupakan syarat pokok
yang dimiliki oleh guru (Witherington dkk, 1982: 134).
Guru dalam mengajar bidang studi apapun diharapkan bersikap kreatif.
Pandai saja tidak dianggap cukup. Selanjutnya guru harus cerdas dalam
mengembangkan keterampilan dan mencari bahan ajar yang betul-betul sesuai
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
224
dengan peserta didik. Guru tidak hanya mengajar tetapi juga menyentuh hati siswa.
Belajar mengajar dengan sentuhan kasih sayang akan menguatkan hubungan batin
antara guru dan peserta didiknya. Hal ini sesuai dengan motto guru yakni: Not only
teach, but also touch. Dengan berpijak pada motto tersebut akan melahirkan adanya
guru yang kreatif serta professional dengan syarat-syarat : (1) fleksibel: guru tidak
kaku, luwes, dan mampu memahami kondisi siswa: (2) optimis: guru memiliki
keyakinan yang tinggi akan kemampuan pribadi dan keyakinan akan perubahan
siswa ke arah yang lebih baik; (3) respek: guru memiliki rasa hormat yang
ditumbuhkan di depan anak untuk memacu memahami beberapa hal; (4) cekatan:
guru mampu memahami kondisi siswa ; (5) humoris: guru tidak killer sehingga
mampu menyenangkan siswa; (6) inspiratif: guru mampu menemukan ide baru yang
positif di luar kurikulum; (7) lembut: guru tidak bersikap kasar, tidak kaku, dan
tidak emosional sehingga tidak menimbulkan dampak buruk terhadap siswa; (8)
disiplin: guru mampu menjadi teladan dalam berbagai hal dan sebagainya
(Asfandiyar, 2009: 13).
Dari beberapa uraian tersebut di atas dapat dipaparkan beberapa hal bahwa:
mempelajari suatu keterampilan berbahasa dapat dilakukan dengan menyimak,
meniru, dan mempraktekkannya dengan berbagai langkah. Guru diharapkan mampu
menentukan makna dari materi yang diajarkan kepada siswa sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai. Kemudian guru memperagakan dengan ekspresi yakni
mengucapkan beberapa kali kata-kata yang diajarkan di depan kelas. Guru
menyuruh mengulangi serta siswa meniru apa yang diucapkan oleh guru dengan
gerak tertentu. Langkah terakhir adalah guru memberikan latihan secara ekspresif
dengan melakukan pengulangan kata-kata yang diajarkan dengan aplikasi serta
pengawasan yang teliti. Dengan demikian kegiatan menyimak sebaiknya diajarkan
dengan baik dan benar sehingga dapat menghasilkan hasil simakan yang efektif dan
efesien. Proses tersebut disusun oleh guru dengan tahapan tertentu dan beberapa
proses sesuai materi yang diajarkan.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
225
Proses kegiatan menyimak yang dilakukan oleh siswa dapat dilakukan
melalui beberapa tahap seperti: (1) tahap mendengar (tahap hearing) : siswa
mendengarkan sesuatu yang dikemukakan oleh guru di kelas; (2) tahap memahami
(tahap understanding): siswa mengerti secara mendalam materi simakan yang
diucapkan oleh guru di kelas; (3) tahap menginterpretasi (tahap interpreting): siswa
mampu menafsirkan dengan baik, cermat, dan teliti tentang butir-butir yang
disampaikan oleh guru di kelas; (4) tahap evaluasi (tahap evaluating): siswa mampu
mengevaluasi pendapat untuk dinilai, keunggulan, kelemahan, serta kebaikan dan
keburukan materi yang disampikan oleh guru di kelas; dan (5) tahap menanggapi
(tahap responding): siswa mampu menyerap dan mencamkan gagasan yang
disampaikan oleh guru di kelas (Tarigan 1980:58).
Terkait dengan pelaksanaan pembelajaran keterampilan berbahasa pada
umumnya, baik keterampilan menyimak, berbicara, membaca maupun menulis,
sangatlah penting guru menyiapkan rencana penyusunan pembelajaran maupun
rencana pengajaran dari keterampilan berbahasa yang akan diajarkan. Perencanaan
pembelajaran menyimak yang akan diberikan oleh guru di kelas antara lain: (1) guru
memberikan arah yang hendak dituju dan rasa percaya diri kepada siswa; (2) guru
menyusun isi pelajaran; (3) guru mengumpulkan dan mempersiapkan materi
pelajaran; (4) guru mampu menggunakan strategi dan kegiatan pengajaran; (5) guru
mampu berinteraksi siswa dengan baik; serta (6) guru mampu memotivasi siswa
belajar pada materi yang dijarkan. Selanjutnya langkah-langkah yang dilakukan oleh
guru pada pengajaran menyimak adalah; (1) guru mampu menentukan tujuan umum
dan tujuan khusus dari pengajaran terkait dengan materi yang diajarkan; (2) guru
menentukan topik dan sub topik dari materi yang akan diajarkan oleh guru; (3) guru
menentukan alokasi setiap materi yang diajarkan; (4) guru menentukan strategi
pengajaran dengan memberikan tugas-tugas kepada siswa di kelas; dan (5) guru
menentukan prosedur penilaian dalam pengajaran sesuai dengan materi yang
dijarkan ( Rahim, 2005: 17).
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
226
Dengan demikian, mengajar menyimak yang efektif di sekolah diharapkan
guru mampu memahami kegiatan menyimak seperti: pengertian menyimak secara
menyeluruh, tujuan menyimak, manfaat menyimak, tahap-tahap penyimak serta
proses menyimak yang baik, dan langkah-langkah yang dilakukan oleh guru terkait
dengan perencanaan pembelajaran menyimak serta cara pengajarannya. Di samping
hal tersebut, guru juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan
menyimak yang dilakukan oleh siswa di sekolah. Guru yang kreatif dan profesional
merupakan kunci dari segala sesuatu yang dilakukan terhadap siswa.
III. KESIMPULAN
Menyimak sesungguhnya bermakna mendengarkan dengan penuh
pemahaman dan perhatian serta penuh apresiasi. Selanjutnya menyimak juga
dikatakan merupakan proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan
penuh perhatian. Melatih siswa mendengarkan bermaksud agar siswa dapat cepat
dan tepat mengikuti jalan pikiran orang yang sedang berbicara. Di samping itu siswa
diharapkan dapat menangkap dengan baik segala sesuatu yang tercantum dalam
cerita atau uraian yang didengarkan.
Kegiatan mendengarkan sesungguhnya berat dan memenatkan, karena
memerlukan pemusatan perhatian secara terus menerus. Di dalam kelas, siswa hanya
dalam waktu singkat dapat mendengarkan pelajaran, kemudian melakukan kegiatan
bercakap-cakap untuk melepaskan beban yang berat. Hal ini disebabkan oleh materi
yang diajarkan oleh guru di luar bidang studi siswa dan cara guru mengajar sangat
membosankan.
Begitu berat dan kompleks tanggung jawab sebagai guru dalam mengajar
terutama aktivitas siswa dalam mendengarkan maka perlu adanya sifat dan sikap
guru yang baik dalam mengajar siswa di sekolah. Di samping pengetahuan dan
kecakapan guru, pribadinya juga memegang peranan penting untuk menentukan
apakah guru tersebut efektif atau tidak. Guru harus disukai oleh siswa. Diharapkan
guru mampu melakukan pekerjaan sekolah sehingga dapat memberi tugas pelajaran.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
227
Guru juga mempunyai rasa humor sehingga dapat berteman dengan siswa. Secara
akademik, guru juga mampu membangkitkan minat pelajaran kepada siswa,
menimbulkan hasrat untuk belajar dan dapat menyenangkan. Guru perlu bersikap
tegas, adil, tidak marah-marah, sehingga siswa mampu memahami pelajaran yang
diajarkan, apalagi kegiatan menyimak yang diberikan di kelas.
Beberapa uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa: (1) mempelajari
suatu keterampilan berbahasa dapat dilakukan dengan menyimak, meniru, dan
mempraktekkannya dengan berbagai langkah. Guru diharapkan mampu menentukan
makna dari materi yang diajarkan kepada siswa sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai; (2) guru memperagakan dengan ekspresi yakni mengucapkan beberapa kali
kata-kata yang diajarkan di depan kelas; (3) guru menyuruh mengulangi serta siswa
meniru apa yang diucapkan oleh guru dengan gerak tertentu; dan (4) langkah
terakhir adalah guru memberikan latihan secara ekspresif dengan melakukan
pengulangan kata-kata yang diajarkan dengan aplikasi serta pengawasan yang teliti.
Dengan demikian kegiatan menyimak sebaiknya diajarkan dengan baik dan
benar sehingga dapat menghasilkan hasil simakan yang efektif dan efesien. Proses
tersebut disusun oleh guru dengan tahapan tertentu dan beberapa proses sesuai
materi yang diajarkan. Guru juga diharapkan mampu menyusun perencanaan
pembelajaran dan cara pengajaran menyimak sehingga mandapatkan hasil
menyimak yang optimal.
DAFTAR RUJUKAN
Asfandiyar, Andi Yudha. 2009. Kenapa Guru Harus Kreatif. Jakarta: PT Mizan
Pustaka.
Jendra, I Wayan. 1980. Pengantar Ringkas Linguistik Umum Jilid 1.Denpasar:
Lembaga Penelitian Dokumentasi Dan Publikasi Fakultas Sastra
Universitas Udayana.
Ghazali, Syukur. 2010. Pembelajaran Keterampilan Berbahasa. Bandung: PT
Refika Aditama.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
228
Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta: Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
Rahim, Farida. 2005. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Soejono, Ag. 1983. Metodik Khusus Bahasa Indonesia. Bandung: Bina Karya.
Samsuri. 1985.Analisis Bahasa. Jakarta: PT. Erlangga.
Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tarigan, Henry Guntur.1980. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung. PT Angkasa.
Verhaar, J.W.M. 1984. Pengantar Linguistik Jilid I. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Witherington, H.C.dkk. 1982. Teknik-Teknik Belajar Dan Mengajar. Bandung:
Jemmars.
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
229
Pengantar Redaksi
IKIP PGRI Bali merupakan salah satu institusi akademik yang
berkonsentrasi pada ilmu pendidikan. Dinamika ilmu pendidikan amatlah
pesat. Oleh karena itu diperlukan wadah untuk menghimpun dan
mensosialisasikan perkembangan ilmu pendidikan itu. Berdasarkan
kesadaran dan komitmen civitas akademika, IKIP PGRI Bali berhasil
mewujudkan idealisme ilmiahnya melalui jurnal pendidikan Widyadari
yang terbit dua kali setahun, yakni pada bulan April dan Oktober. Apa
yang ada di tangan pembaca budiman saat ini merupakan jurnal pendidikan
Widyadari Nomor 13 Tahun VII April 2012.
Jurnal pendidikan Widyadari ini memiliki makna tersendiri.
Penerbitan edisi ini disebarkan secara internal dalam kampus IKIP PGRI
Bali, seperti terbitan edisi sebelumnya, juga didistribusikan pada komunitas
akademik yang lebih luas. Jurnal pendidikan Widyadari kali ini memuat
sepuluh artikel ilmiah yang dihasilkan oleh para dosen IKIP PGRI Bali dan
beberapa artikel ilmiah dari dosen luar IKIP PGRI Bali. Adanya sumbangan
tulisan dari luar kampus IKIP PGRI Bali diharapkan memperluas cakrawala
ilmiah komunitas akademik.
Semoga penerbitan jurnal pendidikan Widyadari ini menjadi
wahana yang baik untuk membangun atmosfer akademik. Akhirnya,
sumbangan pemikiran, kritik, dan saran dari pembaca diharapkan dapat
memperbaiki terbitas edisi selanjutnya.
Redaksi
ii
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
230
DAFTAR ISI Kata Pengantar ............................................................................................... ii Daftar Isi ......................................................................................................... iii
Analisis Faktor-faktor yang Menyebabkan Prestasi Akademik Rendah Pada
Mahasiswa Program Non-Pendas di UPBJJ-UT Denpasar
Heri Wahyudi, Sudrajat dan Wayan Meter ............................................... 1
Penerapan Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching And Learning)
Dalam Mata Kuliah Pembangunan Masyarakat Desa Dapat Menumbuhkan
Jiwa Entrepreneur Pada Mahasiswa Jurusan Pendidikan Ekonomi
Ni Nyoman Murniasih ................................................................................. 16
Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pemanfaatan
Senyawa Hayati Ekstrak Daun Beleng Dalam Penanggulangan Jamur
Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Penyebab Penyakit Busuk Batang
Pada Vanili
I Made Subrata .............................................................................................. 25
The Influence of Rector Leadership to Motivate Lecturer
Achievement
I Wayan Citrawan dan Nyoman Rajeg Mulyawan ............................ 45
Penerapan Pendidikan Lingkungan Hidup Melalui Pemanfaatan
Senyawa Hayati Ekstrak Daun Beleng Dalam Penanggulangan Jamur
Fusarium oxysporum f.sp. vanillae Penyebab Penyakit Busuk Batang
Pada Vanili
I Made Subrata .............................................................................................. 70
Pembelajaran Dongeng Koalisi I Lutung dengan I Macan
Menumbuhkan Sikap Ilmiah dan Pendidikan Karakter Pada Siswa
I Wayan Suanda ............................................................................................ 87
Perbedaan Pengaruh Ekstrak Gambir (Uncaria gambir) dan Gel Lidah Buaya
(Aloe vera) Terhadap Daya Simpan Buah Cabai Merah Besar (Capsicum
annuum)
Gusti Ayu Rai ................................................................................................ 108
Minimarket and Consumer Culture in Denpasar Society
I Wayan Adnyana ........................................................................................ 122
Studi Tentang Diversitas Kelapa (Cocos sp.) Untuk Upakara Yadnya di Desa
Marga Dajan Puri Tabanan
Ni Nyoman Parmithi ..................................................................................... 134
Afiksasi Infleksional Dalam Bahasa Indonesia; Sebuah Kajian Morfologi Generatif
iii
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
231
Ida Ayu Agung Eka Sriadhi. ........................................................................ 155
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Bahasa Indonesia Dengan Menerapkan Asesmen Portofolio I Wayan Gunartha ....................................................................................... 185 Penerapan Metode Pemodelan Untuk Meningkatkan Keterampilan Berpidato Bahasa Bali Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Petang, Badung Tahun Pelajaran 2010/2011 Dewa Ayu Widiasri ....................................................................................... 200 Proses Mengajar Menyimak Yang Efektif Ida Ayu Iran Adhiti ....................................................................................... 218
Pelindung :
Drs. I Dewa Putu Tengah (Pembina YPLP PT IKIP PGRI Bali)
Drs. IGB. Arthanegara, S.H., M.Pd. (Ketua YPLP PT IKIP PGRI Bali)
I Gusti Ngurah Oka, S.H. (Sekretaris YPLP PT IKIP PGRI Bali)
iv
Nomor 13 Tahun VII April 2012
ISSN 1907-3232
232
Penanggung Jawab
Dr. I Made Suarta, S.H., M.Hum.
(Rektor IKIP PGRI Bali)
Ketua Redaksi
I Wayan Citrawan, M.Pd.
Sekretaris Redaksi
Drs. Ketut Yarsama, M.Hum.
Anggota Dewan Redaksi :
Prof. Dr. Ida Bagus Yudha Triguna, M.Si. (Unhi)
Prof. Dr. I Nyoman Wedakusuma, M.S. (Unud)
Drs. Pande Wayan Bawa, M.Si.
Drs. I Dewa Putu Juwana, M.Pd.
Drs. IGB. Ardana Adnya, M.Si.
Dr. Nengah Arnawa, M.Hum.
Dr. A.A. Ngr. Adi Putra, M.Pd.
Drs. I Ketut Sumerta, M.For.
Drs. I Dewa Made Alit, M.Pd.
Drs. I Wayan Suanda, S.Pd., M.Si.
Bendahara
Ni Putu Siti Firmani, M.Hum.
Distribusi
I Ketut Sudana
Ni Luh Putu Ayu Suati
Alamat Redaksi
Kampus IKIP PGRI Bali
Jalan Seroja-Tonja Denpasar Utara
Telp. (0361) 431434