ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN RESTRIKSI NEGARA MITRA DAGANG TERHADAP PENCAPAIAN TARGET EKSPOR
NON MIGAS INDONESIA 2014
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan i
KATA PENGANTAR
Segala puji dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas telah
dapat diselesaikannya penulisan analisis ini dengan baik dan sesuai dengan
waktu yang telah ditetapkan.
Analisis Dampak Kebijakan Restriksi Negara Mitra Dagang Terhadap
Pencapaian Target Ekspor Non Migas Indonesia 2014 merupakan salah satu
kajian yang bersifat jangka pendek yang dilaksanakan oleh Pusat Kebijakan
Perdagangan Luar Negeri pada Tahun Anggaran 2014. Penulisan analisis
didasarkan atas pentingnya peran pemerintah dalam melindungi dan
memajukan industri yang baru tumbuh dan untuk melindungi tenaga kerja
domestik.
Kami menyadari bahwa analisis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan
penyempurnaan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak, yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu
penyelesaian kajian ini. Semoga Analisis Dampak Kebijakan Restriksi Negara
Mitra Dagang Terhadap Pencapaian Target Ekspor Non Migas Indonesia 2014
dapat bermanfaat.
Jakarta, Juni 2014
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan ii
ABSTRAK
Analisis Dampak Kebijakan Restriksi Negara Mitra Dagang Terhadap Pencapaian Target Ekspor Non Migas Indonesia 2014
Dalam laporan pengawasan perdagangan yang dilakukan oleh WTO,
disebutkan bahwa terdapat tren peningkatan kebijakan restriksi perdagangan dunia yang dinotifikasi ke WTO. Bagi Indonesia, peningkatan kebijakan restriksi tersebut berpotensi mengancam pencapaian sasaran kinerja perdagangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kebijakan restriksi yang diterapkan oleh negara mitra dagang yang berpotensi merugikan ekspor Indonesia, mengidentifikasi negara dan produk ekspor yang dikenakan kebijakan restriksi, dan menganalisis dampak kebijakan restriksi yang diterapkan oleh negara mitra dagang terhadap pencapaian target ekspor Indonesia 2014. Dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama tahun 2009-2013 terdapat 53 tindakan trade remedy yang dikenakan kepada Indonesia yang berasal dari 32 negara. Besi dan Baja merupakan produk yang paling banyak dikenai tindakan trade remedy selama periode tersebut. Meskipun demikian, peran ekspor produk restriktif relatif kecil (0,9%) terhadap ekspor non migas sehingga tidak mempengaruhi secara signifikan dalam pencapaian target ekspor non migas. Selain itu, pangsa ekspor produk restriktif ke negara yang mengenakan kebijakan restriktif semakin kecil
Kata kunci : Restriksi, Target Ekspor
ABSTRACT
Analysis of the impact of restrictions policy imposed by trading partners towards the achievement of the export target of Indonesia 2014
Report of Overview of Developments in the International Trading
Environment noted that there was an increasing trend of trade restrictions policy notified to WTO. For Indonesia, the increasing trend could potentially threaten the achievement of Indonesia’s trade performance target. This study aims to identified the trade restrictions policy imposed by trading partners, to identified the countries restricting trade and the export products restricted, and to analyze the impact of restrictions policy towards the achievement of the export target of Indonesia 2014. By using quantitative and qualitative method, the result shows that during 2009-2013 there were 53 trade remedy measures imposed on Indonesia originating from 32 countries. Iron and Steel is the mostly products subjected by trade remedy actions during the period. Nevertheless, the share of the restricted products to non oil & gas export was relatively small thus would not had a significant impact in achieving export target. On the other hand, market share of export of the restricted products had narrowed. Keywords : Restrictions , Export Target
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
ABSTRAK ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan 4
1.3. Ruang Lingkup 4
1.4. Metodologi 4
BAB II STUDI LITERATUR 5
2.1. Kebijakan Proteksi 5
2.2. Kebijakan Liberalisasi 11
BAB III PERKEMBANGAN KINERJA PERDAGANGAN
INDONESIA
13
3.1. Realisasi Ekspor Impor 2009-2013 13
3.2. Target Ekspor 2014 13
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 16
4.1. Identifikasi Kebijakan Restriksi 16
4.2. Analisis Dampak Kebijakan Restriksi Terhadap
pencapaian Target Ekspor 2014
19
BAB V PENUTUP 25
5.1. Kesimpulan 25
5.2. Rekomendasi 26
DAFTAR PUSTAKA 27
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan iv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1
Jenis dan Jumlah Tindakan Perdagangan 2012-
2013 Indonesia (HS 72)
2
Tabel 4.1
Jumlah Tindakan Berdasarkan Negara Yang
Mengenakan dan Jenis Tindakan, 2009-2013
18
Tabel 4.2
Nilai Ekspor Produk Restriktif Berdasarkan Negara,
2009-2014 (USD)
22
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan v
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.1 Sasaran dan Realisasi Pertumbuhan Ekspor
Non Migas Indonesia, 2004-2013
3
Gambar 2.1 Dampak Tarif Impor 6
Gambar 2.2 Dampak Kuota Impor 8
Gambar 4.1 Jumlah Tindakan Berdasarkan Jenis, 2009-2013 17
Gambar 4.2 Jumlah Tindakan Berdasarkan Negara Yang
Mengenakan, 2009-2013
18
Gambar 4.3 Jumlah Tindakan Berdasarkan Produk Yang
Dikenakan
19
Gambar 4.4 Market Size Produk Restriktif 2009-2013 20
Gambar 4.5 Nilai Ekspor Produk Restriktif Berdasarkan Jenis
Produk, 2009-2013
23
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam perkembangannya, praktik perdagangan internasional
yang semakin terbuka cenderung mulai bersifat restriksi dengan
menginisiasi berbagai bentuk hambatan perdagangan. Dalam
laporan pengawasan perdagangan yang dilakukan oleh WTO,
disebutkan bahwa terdapat tren peningkatan kebijakan restriksi
perdagangan dunia yang dinotifikasi ke WTO. Pada Oktober 2012
hingga November 2013, terdapat 407 pembentukan restriksi dan
inisiasi tindakan pengamanan perdagangan (trade remedy) baru dan
berdampak pada 1,3% impor dunia atau setara dengan USD 240
miliar. Jumlah restriksi ini meningkat dibanding implementasi
kebijakan restriksi pada periode sebelumnya yang hanya berjumlah
308.
Tindakan perdagangan, seperti yang dipaparkan dalam laporan
tersebut, terdiri dari tiga kategori, yakni tindakan fasilitasi
perdagangan (trade-facilitating measures), tindakan pengamanan
perdagangan (trade remedy measures), dan tindakan perdagangan
lainnya (other trade measures). Pada periode Oktober 2012-
November 2013, jumlah tindakan fasilitasi perdagangan menurun
dari 162 kasus di periode sebelumnya menjadi 107 kasus di periode
2012-2013. Jumlah ini, berikut jumlah tindakan pengamanan (trade
remedy) yang diberhentikan/berakhir, hanya sekitar 38% dari total
tindakan yang dinotifikasi ke WTO dan mencakup 1,5% perdagangan
dunia. Hal tersebut mencerminkan bahwa rasio restriksi
perdagangan terhadap fasilitasi perdagangan adalah sekitar 1,6 :1.
Sedangkan dalam periode sebelumnya, jumlah tindakan fasilitasi
mencapai 51% dari total tindakan perdagangan.
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 2
Tabel 1.1 Jenis dan Jumlah Tindakan Perdagangan 2012-2013
Jenis Tindakan Perdagangan Jumlah (Tindakan)
Tindakan Fasilitasi
Perdagangan (Trade-
Facilitating Measures)
107
Tindakan Pengamanan
Perdagangan (Trade Remedy
Measures)
355
(217 inisiasi baru dan 138
tindakan yang
diberhentikan/berakhir)
Tindakan Perdagangan
Lainnya (Other Trade
Measures)
190
Jumlah 652
Sumber: Overview Of Developments In The International Trading Environment (WTO), telah diolah kembali
Tindakan perdagangan yang termasuk restriksi adalah tindakan
pengamanan perdagangan (trade remedy measures) dan tindakan
perdagangan lainnya (other trade measures). Pada periode Oktober
2012-November 2013, terdapat 355 kasus yang terdiri dari 217
inisiasi baru yang mencakup 0,2% impor dunia, dan 138 tindakan
yang diberhentikan/berakhir yang mencakup 0,1% impor dunia.
Tindakan pengamanan perdagangan tersebut didominasi oleh
tindakan anti-dumping, sebesar 72% dari total inisiasi baru dan 81%
dari total tindakan yang diberhentikan/berakhir.
Semakin meningkatnya tindakan perdagangan, terutama yang
bersifat restriksi, akan memberikan dampak kumulatif bagi
pencapaian pendapatan nasional, penciptaan pekerjaan, dan
pembangunan ekonomi. Bagi Indonesia, peningkatan kebijakan
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 3
restriksi tersebut berpotensi mengancam pencapaian sasaran kinerja
perdagangannya. Sebagaimana dijelaskan dalam RPJMN, sasaran
pembangunan perdagangan luar negeri yang ingin dicapai adalah
pertumbuhan ekspor non migas sebesar 7,0-8,0 persen pada tahun
2010 yang secara bertahap meningkat menjadi sebesar 14,5-16,5
persen pada tahun 2014. Sementara itu, realisasi pertumbuhan
ekspor non migas selama dua tahun terakhir menurun hingga
mencapai -5,54% di tahun 2012 dan -2,03% di tahun 2013. Padahal,
dalam sepuluh tahun terakhir, kinerja pertumbuhan ekspor selalu
berada di atas 15% dengan pertumbuhan tertinggi dicapai pada
tahun 2010 sebesar 33,1%.
Gambar 1.1. Sasaran dan Realisasi Pertumbuhan Ekspor Non Migas Indonesia, 2004-2013
Sumber: RKP dan RPJMN (Bappenas) dan BPS
Dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan eskpor non migas
dalam periode RPJMN 1 (2005-2009) yang selalu berada di atas
target, pertumbuhan eskpor non migas di periode berikutnya
mengalami pasang surut yang cukup ekstrim seiring dengan kondisi
perekonomian dunia. Dengan melihat pola kinerja pertumbuhan
eskpor non migas tersebut, maka Indonesia menghadapi tantangan
yang besar dalam upaya mencapai sasaran ekspor non migas yang
telah ditetapkan. Termasuk di dalamnya, peningkatan kebijakan
restriksi yang terjadi di tahun 2012-2013.
4.9%6.5%
8.2%
12.5% 13.5%
7.0%
11.0% 11.3%
16.0%
8.1%
14.5%
18.8% 19.8%
15.6%17.2%
-9.6%
33.0%
24.9%
-5.5%-3.1%
-15.00%
-10.00%
-5.00%
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
40.00%
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
(%)
Sasaran dan Realisasi PertumbuhanEkspor Nonmigas Indonesia 2004-2013
Sasaran RPJMN Bawah Sasaran RPJMN Atas Sasaran RKP Realisasi
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 4
1.2. Tujuan
Tujuan kajian adalah sebagai berikut :
1. Mengidentifikasi kebijakan restriksi yang diterapkan oleh negara
mitra dagang yang berpotensi merugikan ekspor Indonesia
2. Mengidentifikasi negara dan produk ekspor yang dikenakan
kebijakan restriksi oleh negara mitra dagang
3. Menganalisis dampak kebijakan restriksi tersebut terhadap
pencapaian target ekspor Indonesia 2014
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup kajian dibatasi pada aspek-aspek sebagai
berikut :
1. Kebijakan restriksi perdagangan yang berpotensi merugikan
ekspor Indonesia
2. Nilai dan pangsa ekspor produk Indonesia yang dikenakan
kebijakan restriksi oleh negara mitra dagang
3. Target ekspor Indonesia 2014
1.4. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam kegiatan ini adalah dengan
pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Metode kuantitatif dilakukan
dengan pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber data dan
selanjutnya diolah dengan menggunakan alat analisa statistik.
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 5
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1. Kebijakan Proteksi
Keterbukaan perekonomian yang ditandai oleh semakin
besarnya interaksi perdagangan internasional suatu negara,
menyebabkan pemerintah negara tersebut turut andil dalam
menentukan kebijakan perdagangan negaranya untuk
mengantisipasi dampak negatif dari keterbukaan perekonomian
tersebut. Salah satu yang dilakukan pemerintah adalah merestriksi
perdagangan internasional dengan menerapkan berbagai hambatan,
seperti pajak atas impor atau tarif impor, kuota impor, dan hambatan
lainnya.
2.1.1. Tarif
Tarif adalah hambatan perdagangan dalam bentuk
penetapan pajak atas impor. Terdapat dua alasan yang
mendasari pemerintah memberlakukan tarif impor, yakni untuk
melindungi industri domestik yang bersaing dengan produk-
produk impor dan untuk meningkatkan pendapatan
pemerintah. Di negara berkembang, pendapatan pemerintah
melalui tarif impor lebih mudah didapatkan dibanding dengan
pajak penghasilan, sehingga penetapan tarif impor untuk
meningkatkan pendapatan pemerintah banyak dipraktikan di
negara-negara berkembang. Namun, hal ini relatif tidak
penting bagi negara maju untuk dijadikan sebagai sumber
pendapatan pemerintahnya.
Markusen (1996) dalam bukunya yang berjudul
International Trade Theory and Evidence, menjelaskan bahwa
penetapan tarif impor akan mempengaruhi harga
keseimbangan domestik, namun tidak pada harga
keseimbangan dunia. Diasumsikan sebuah perekonomian
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 6
mengekspor barang Y dan mengimpor barang X. Pemerintah
menetapkan tarif impor sehingga harga domestik untuk
barang X menjadi naik sesuai dengan besaran tarif tersebut.
Harga domestik dinotasikan sebagai p= px/py. Karena barang
ekspor tidak dikenakan tarif (pajak ekspor), maka hubungan
harga domestik dan harga dunia adalah px= px*(1+t) dan py=
py* atau p=p*(1+t). Rasio harga domestik akan lebih besar
dari rasio harga dunia (p > p*).
Gambar 2.1. Dampak Tarif Impor
Sumber: Markusen (1996)
Sedikitnya ada tiga dampak dari kebijakan penetapan
tarif (Markusen, 1996). Pertama, tingkat kesejahteraan
(welfare) lebih rendah jika diterapkan kebijakan tarif dibanding
perdagangan bebas, namun lebih tinggi bila dibandingkan
dengan kondisi autarki. Kedua, tarif impor menyebabkan
pergerakan level produksi kembali ke titik autarki. Hal ini
diakibatkan oleh harga domestik yang menyebabkan distorsi
dalam pembuatan keputusan pelaku ekonomi domestik.
Karena harga barang X domestik lebih tinggi, yang kemudian
dipersepsikan sebagai tanda bahwa barang X lebih bernilai,
sehingga banyak produser yang memproduksi barang X.
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 7
Padahal, keunggulan komparatif negara tersebut adalah
barang Y sehingga keuntungan dari adanya spesialisasi
(keunggulan komparatif) tersebut hilang. Ketiga, penurunan
impor yang disebabkan oleh diterapkannya kebijakan tarif
impor mendorong penurunan pada volume ekspor. Dengan
demikian, penetapan tarif berdampak pada impor dan ekspor
dalam keseimbangan umum. Adapun jenis-Jenis tarif adalah
sebagai berikut:
Ad valorem duty
Ad valorem duty merupakan pajak dengan persentase
tetap terhadap nilai komoditas, misal untuk impor mobil
dikenakan pajak sebesar 5 persen dari nilai mobil tersebut.
Pajak jenis ini adalah yang paling wajar dan adil dibandingkan
jenis lainnya karena membedakan dengan baik setiap
komoditas yang tercermin dari harga komoditas tersebut.
Selain itu, ad valorem duty juga menyediakan tingkatan
proteksi yang konstan bagi industri domestik mengingat
adanya inflasi yang terjadi seiring dengan berjalannya waktu.
Specific duty
Specific duty merupakan pajak dalam bentuk sejumlah
uang yang tetap yang dikenakan pada setiap unit komoditas,
misal USD 100 untuk setiap impor satu unit mobil. Pajak ini
tidak mempertimbangkan adanya inflasi, sehingga ketika
harga dunia naik namun pajak yang dikenakan untuk barang
impor tetap dalam sejumlah uang tertentu maka nilainya akan
berkurang. Di sisi lain, specific duty mudah diterapkan dan
diatur.
Compound duty
Compound duty merupakan pajak kombinasi ad valorem
duty dan specific duty, misal untuk setiap impor mobil
dikenakan pajak sebesar USD 50 dan 5 persen dari nilai satu
unit mobil tersebut.
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 8
2.1.2. Kuota
Kebijakan tarif impor mempengaruhi harga secara
langsung, sedangkan kuota mempengaruhi kuantitas secara
langsung. Kuota adalah sebuah hambatan perdagangan
dalam bentuk penetapan maksimal kuantitas barang impor.
Misal, sebuah negara H mengimpor barang X kemudian
menerapkan kuota atas impor tersebut. Dengan adanya
pembatasan volume impor, maka terjadi kekurangan pasokan
barang X dan menyebabkan terjadinya kenaikan harga barang
X di negara H tersebut. Gap antara harga dunia dan harga
domestik ini menguntungkan pihak-pihak importir di negara H
karena mereka dapat mengimpor barang X dengan harga
dunia dan menjualnya dengan harga domestik yang lebih
tinggi. Keuntungan akibat kelangkaan barang yang
disebabkan oleh kuota disebut keuntungan kuota (quota rents)
(Markusen, 1996).
Gambar 2.2. Dampak Kuota Impor
Sumber: Markusen (1996)
Bentuk lain dari kuota adalah voluntary export restraint
(VER), kuota yang secara sukarela ditetapkan oleh negara
pengekspor. Implikasi dari kebijakan ini adalah keuntungan
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 9
kuota (quota rents) beralih dari negara pengimpor ke negara
pengekspor.
2.1.3. Hambatan Lainnya
Umumnya, bentuk hambatan lainnya berasal dari
peraturan pemerintah yang secara langsung maupun tidak
langsung mempengaruhi volume perdagangan. Sebagai
contoh, pemerintah menetapkan standar teknis dan
keselamatan untuk produk tertentu. Ketentuan ini dapat
mengurangi impor produk yang bersangkutan dari negara-
negara yang belum memenuhi standar. Selain itu, peraturan
pengadaan pemerintah (government procurement) yang
mengharuskan setiap pengadaan barang oleh pemerintah
menggunakan produk domestik juga sering digunakan
sebagai upaya untuk menghambat impor. Bentuk hambatan
lainnya adalah melalui persyaratan konten domestik pada
produk tertentu (domestic content requirement). Ketentuan ini
mengharuskan para importir mengimpor barang yang
mengandung sekian persen komponen domestik.
2.1.4. Contingent Protection
Harga yang sangat rendah, diperkirakan sebagai akibat
dari praktik dumping dan/atau subsidi ekspor yang dilakukan
oleh negara eksportir, direspon dengan pengenaan pajak atas
impor oleh negara pengimpor. Pengenaan pajak atas impor
tersebut sebagai bentuk kebijakan proteksi yang dilakukan
oleh suatu negara yang dipicu oleh faktor harga dan
kemungkinan terjadinya kerugian serius pada industri
domestik disebut sebagai contingent protection (Markusen,
1996). Tindakan yang termasuk contingent protection tersebut
dapat berupa antidumping, countervailing duties, dan
safeguards.
Dumping dan Antidumping
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 10
Terdapat dua pengertian dumping menurut Markusen
(1996), yaitu 1) praktik penjualan suatu barang pada tingkat
harga di pasar ekspor yang lebih rendah dari tingkat harga
domestik, dan 2) praktik penjualan suatu barang pada tingkat
harga di pasar ekspor yang lebih rendah dari biaya rata-rata
(average cost) produksi barang tersebut. Berdasarkan alasan
pengenaannya, dumping dikategorikan menjadi dua bentuk.
Pertama, karena turunnya permintaan di pasar domestik
akibat terjadinya siklus bisnis, membuat perusahaan menjual
kelebihan produksinya ke pasar ekspor dengan harga yang
lebih murah untuk mendorong penjualan. Bentuk yang seperti
ini disebut sporadic dumping karena berhubungan dengan
fluktuasi ekonomi. Kedua, ketika perusahaan menjual
produknya dengan harga yang lebih rendah di pasar ekspor
dengan tujuan untuk menekan perusahaan domestik atau
mencegah masuknya pesaing baru, disebut sebagai predatory
dumping.
Dalam menghadapi praktik dumping, sebuah negara
dapat mengenakan tindakan antidumping, yakni tindakan yang
diambil pemerintah berupa pengenaan bea masuk
antidumping terhadap barang dumping. Bea masuk
antidumping ditetapkan sebesar marjin dumping, selisih antara
nilai normal dan harga ekspor dari barang dumping, dan
dikenakan hingga dumping berhenti.
Subsidi dan Countervailing Duties
Subsidi dapat diberikan oleh suatu negara kepada
industri dalam negeri, kelompok industri, perusahaan, atau
eksportir baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
bentuk bantuan keuangan ataupun bentuk dukungan terhadap
pendapatan dan harga, sehingga dapat meningkatkan ekspor
atau menurunkan impor. Sama seperti tindakan antidumping,
pemerintah suatu negara dapat mengenakan tindakan
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 11
imbalan (countervailing duty atau CVD) terhadap barang
impor yang mengandung subsidi, berupa pengenaan bea
masuk imbalan.
Safeguard
Tindakan pengamanan (safeguard) adalah tindakan
yang diambil pemerintah untuk memulihkan kerugian serius
dan/atau mencegah ancaman kerugian serius yang diderita
oleh industri dalam negeri sebagai akibat dari lonjakan jumlah
barang impor, baik absolut maupun relatif, terhadap barang
sejenis atau barang yang secara langsung bersaing degan
hasil industri dalam negeri. Tindakan tersebut dapat berupa
pengenaan bea masuk tindakan pengamanan atau kuota
dengan tujuan agar industri dalam negeri yang mengalami
kerugian serius dan/atau mencegah ancaman kerugian serius
dapat melakukan penyesuaian struktural. Selain itu, terdapat
tindakan sementara, yakni tindakan yang diambil untuk
mencegah terjadinya kerugian dalam masa penyelidikan
berupa pengenaan bea masuk tindakan pengamanan
sementara.
2.2. Kebijakan Liberalisasi
Beberapa kebijakan proteksi atau restriksi yang dijelaskan
sebelumnya menyisakan beberapa pertanyaan. Salah satunya
adalah mengapa kebijakan tersebut sering diterapkan meskipun
menimbulkan berkurangnya kesejahteraan negara tersebut.
Kebijakan yang diyakini sebagai upaya untuk mengurangi
penggunaan kebijakan yang malah mengurangi kesejahteraan
disebut liberalisasi perdagangan.
Liberalisasi perdagangan pada dasarnya adalah pengurangan
hambatan impor oleh suatu negara, dimana negara mitra dalam
interaksi perdagangan juga melakukan hal yang sama. Liberalisasi
perdagangan dapat berbentuk perjanjian multilateral, seperti
perundingan GATT (General Agreement on Tarrifs and Trade) yang
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 12
sejak 1991 berubah menjadi WTO (World Trade Organization),
NAFTA, AFTA, dan lainnya. Bentuk yang seperti ini dikenal dengan
istilah preferential trade agreement (PTA). Dalam PTA, bentuk yang
paling mengurangi restriksi adalah area perdagangan bebas (free-
trade area), dimana semua negara yang tergabung dalam perjanjian
tersebut menghilangkan semua bentuk hambatan perdagangan
untuk sesama negara anggota dan tetap menerapkan tarif kepada
negara lain yang bukan anggota perjanjian tersebut.
Menurut Krugman dan Obstfeld (2003), perdagangan bebas
memiliki beberapa keuntungan. Pertama, keuntungan perdagangan
dari spesialisasi antarnegara yang memiliki perbedaan sumber daya.
Kedua, perdagangan bebas meningkatkan skala ekonomi. Ketiga,
industri domestik dalam area perdagangan bebas akan menghadapi
semakin tingginya persaingan, sehingga kerugian akibat adanya
monopoli bisa dieliminasi. Keempat, dengan membentuk customs
union, sekelompok negara dapat mempengaruhi terms of trade di
antara mereka dan negara lainnya dapat menikmati keuntungannya
dengan adanya common optimum tariff.
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 13
BAB III
PERKEMBANGAN KINERJA EKSPOR INDONESIA
3.1. Realisasi ekspor 2009-2013
Ekspor non migas Indonesia pada 2013 tercatat sebesar USD
149,92 miliar, meningkat 53,8% dari tahun 2009 yang kala itu masih
sebesar USD 97,5 miliar. Rata-rata pertumbuhan ekspor non migas
selama 5 tahun terakhir (2009-2013) tercatat mencapai 10,8%.
Diantara berbagai sub sektor pada non migas tersebut, ekspor non
migas lainnya mengalami pertumbuhan paling besar yaitu dengan
rata-rata sebesar 15,7% selama 5 tahun terakhir, kemudian diikuti
oleh sub sektor tambang sebesar 11,4%. Sementara rata-rata
pertumbuhan ekspor sub sektor industri dan pertanian masing-
masing sebesar 10,9% dan 6,7%.
Berdasarkan nilainya, sub sektor industri merupakan
penyumbang terbesar ekspor non migas. Pada tahun 2013, ekspor
industri tercatat mencapai USD 113,1 miliar, namun mengalami
penurunan di dua tahun berikutnya. Demikian pula halnya pada sub
sektor tambang yang juga mengalami penurunan ekspor selama dua
tahun berturut-turut. Namun lain halnya dengan sub sektor pertanian
yang justru selalu mengalami peningkatan khususnya dalam dua
tahun terakhir. Ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
keunggulan komparatif yang hanya berdasarkan sumber daya alam.
Meskipun demikian, hal ini sangat rentan karena daya dukung
sumberdaya alam akan sulit dipertahankan. Selain itu, nilai tambah
yang relatif rendah pada komoditas sumber daya alam juga akan
sulit diandalkan jika hanya untuk menggenjot ekspor.
3.2. Target ekspor 2014
Sebagaimana dijelaskan dalam RPJMN, sasaran
pembangunan perdagangan luar negeri yang ingin dicapai adalah
pertumbuhan ekspor non migas sebesar 7,0-8,0 persen pada tahun
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 14
2010 yang secara bertahap meningkat menjadi sebesar 14,5-16,5
persen pada tahun 2014. Peningkatan pertumbuhan ekspor non
migas bisa dilakukan mengingat semakin besarnya jumlah
permintaan dunia akan produk non migas ditambah dengan berbagai
upaya serius pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi di dalam
negeri dan perbaikan infrastruktur yang diharapkan dapat
meningkatkan kinerja ekspor non migas. Selain itu perluasan
komoditas non migas secara masif dilakukan oleh pemerintah dan
swasta yang diharapkan mampu meningkatkan kuantitas dan
kualitas serta keberagaman produk ekspor non migas.
Target ekspor Indonesia semula diproyeksi tumbuh 13% pada
tahun 2012 sehingga mencapai USD 230 Miliar. Penetapan target
ekspor tersebut didasari oleh kondisi kinerja ekspor Indonesia
selama beberapa tahun terakhir dan asumsi pertumbuhan ekonomi
dunia pada tahun 2012. Pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2012
yang diprediksi melambat akibat krisis Eropa dan belum pulihnya
ekonomi Amerika Serikat, telah berdampak pada pertumbuhan
ekonomi negara-negara lainnya termasuk negara berkembang
seperti China, India, Brazil dan emerging market lainnya. IMF
memprediksikan pertumbuhan ekonomi dunia 2012 hanya tumbuh
3,3% dan World Bank memprediksi hanya tumbuh 2,5%. Kondisi
tersebut menyebabkan turunnya harga komoditas dunia. Namun
pada kenyataannya, krisis yang terjadi di Amerika Serikat dan Uni
Eropa memberikan berdampak yang signifikan terhadap kinerja
perdagangan Indonesia. Ekspor Indonesia tahun 2012 mencapai
USD 190 miliar (turun 6,6%, YoY), terdiri dari ekspor migas USD 37
miliar (turun 10,9%) dan non migas USD 153,1 miliar (turun 5,5%).
Pada tahun 2013, kondisi perekonomian dunia belum
memperlihatkan perbaikan yang dapat mendukung kinerja ekspor
Indonesia. Realisasi ekspor non migas Indonesia mencapai USD
149,9 miliar atau mengalami penurunan sebesar 2,0% dibanding
ekspor non migas tahun 2012. Sektor industri dan sektor
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 15
pertambangan dan lain-lain masing-masing mengalami penurunan
ekspor sebesar 2,7% dan 0,6%. Namun disisi lain, ekspor sektor
pertanian menunjukkan pertumbuhan positif 2,58 persen dibanding
tahun lalu.
Pada tanggal 8 Januari 2014, Kementerian Perdagangan telah
menetapkan target ekspor tahun 2014 sebesar USD 190 miliar atau
naik 4,1% terhadap realisasi ekspor tahun 2013 lalu. Sementara
target ekspor nonmigas tahun 2014 ditetapkan sebesar USD 158
miliar - USD 159 miliar atau tumbuh sekitar 5,5% - 6,5% dibanding
tahun 2013.
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 16
Bab IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Identifikasi Kebijakan Restriksi
Tindakan perdagangan, menurut WTO, terdiri dari tiga kategori,
yakni tindakan fasilitasi perdagangan (trade-facilitating measures),
tindakan pengamanan perdagangan (trade remedy measures), dan
tindakan perdagangan lainnya (other trade measures). Kebijakan
yang tergolong restriktif adalah trade remedy measures, terdiri dari
antidumping, countervailing, dan safeguard, dan other trade related
measures. Sedangkan trade-facilitating measures, terdiri dari impor
(tariff, custom procedures, dan quantitative restriction), ekspor
(duties dan quantitative restriction), dan lainnya, tidak tergolong
sebagai kebijakan yang restriktif karena sebagian besar merupakan
pengurangan tarif dan custom procedures yang lebih mudah.
Tindakan trade remedy, selama periode Oktober 2012-
November 2013, tercatat sebanyak 355 kasus, didominasi oleh
tindakan antidumping. Dari seluruh tindakan trade remedy, sebanyak
217 merupakan tindakan inisiasi baru dan 128 merupakan tindakan
penghentian, baik penghentian penyelidikan maupun penghentian
tindakan yang telah berlangsung.
Dalam laporan WTO disebutkan bahwa negara yang paling
banyak terkena antidumping dan countervailling oleh negara lain
adalah Cina, 28% dari tindakan antidumping dan 43% dari tindakan
countervailing dikenakan untuk Cina. Sedangkan produk yang paling
banyak terkena tindakan antidumping adalah logam (34%) dan
plastik (17%). Sementara produk yang paling banyak terkena
tindakan countervailing adalah logam (54%) dan prepared food stuffs
(22,9%). Sedangkan untuk insiasi tindakan safeguard, negara yang
paling banyak mengeluarkan inisiasi adalah Kolumbia dengan
mengeluarkan empat inisiasi baru, sedangkan negara lain hanya
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 17
menginisasi satu tindakan atau paling banyak dua tindakan.
Indonesia sendiri, selama periode Oktober 2012-November 2013,
tercatat mengeluarkan empat inisiasi baru tindakan safeguard.
Sedangkan pada periode yang sama, Indonesia tidak mengeluarkan
inisiasi baru untuk tindakan antidumping dan countervailing.
Disamping periode tersebut, selama tahun 2009-2013,
Indonesia menghadapi berbagai kebijakan restriksi yang masih
berlangsung hingga saat ini, khususnya tindakan trade remedy.
Terdapat 53 tindakan yang dikenakan kepada Indonesia1, terdiri dari
tindakan antidumping sebanyak 26 kasus (49%), countervailing
sebanyak 2 kasus (4%), dan safeguard sebanyak 25 kasus (47,2%).
Gambar 4.1. Jumlah Tindakan Berdasarkan Jenis, 2009-2013
Sumber: Trade Monitoring Database WTO, telah diolah kembali
Jumlah negara yang mengenakan tindakan restriksi ke
Indonesia selama periode 2009-2013 adalah sebanyak 32 negara.
India merupakan negara yang paling banyak mengenakan tindakan
trade remedy dengan persentase tindakan sebesar 11% dari seluruh
tindakan ke Indonesia, diikuti oleh Turki (9%), Pakistan (8%), Uni
Eropa (7%), Amerika Serikat (6%), Australia (6%), dan Ukraina (6%).
1Tindakan yang dikenakan kepada Indonesia mencakup tindakan bilateral, multilateral,
ataupun tindakan yang dikenakan ke seluruh negara.
Antidumping49%
Countervailing4%
Safeguard47%
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 18
Gambar 4.2. Jumlah Tindakan Berdasarkan Negara yang Mengenakan, 2009-2013
Sumber: Trade Monitoring Database WTO, telah diolah kembali
Tabel 4.1. Jumlah Tindakan Berdasarkan Negara yang Mengenakan dan Jenis Tindakan, 2009-2013
Sumber: Trade Monitoring Database WTO, telah diolah kembali
Sedangkan berdasarkan jenis produk yang dikenakan, Besi dan
Baja (15%) merupakan produk yang paling banyak dikenai tindakan
trade remedy selama periode 2009-2013, diikuti oleh Kaca dan
barang dari kaca (12%), Bahan kimia organik (10%), Kertas/Karton
(9%), dan Plastik dan barang dari plastik (7%).
Australia6% Uni Eropa
7%India11%
Pakistan8%
Turki9%
Amerika Serikat
6%Ukraina
6%
Lainnya (25
negara)
47%
Antidumping Countervailing Safeguard
India 4 0 2
Turki 3 0 2
Pakistan 3 1 0
Uni Eropa 4 0 0
Amerika Serikat 2 1 0
Australia 3 0 0
Ukraina 0 0 3
Lainnya 7 0 18
Total 26 2 25
TindakanNegara
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 19
Gambar 4.3. Jumlah Tindakan Berdasarkan Produk yang Dikenakan, 2009-2013
Sumber: Trade Monitoring Database WTO, telah diolah kembali
4.2. Analisis dampak kebijakan restriksi terhadap pencapaian target
ekspor 2014
Nilai ekspor produk restriktif selama lima tahun terakhir (2009-
2013) mencapai USD 6,6 miliar. Kinerja ekspor produk restriktif ke
negara yang mengenakan kebijakan restriktif menurun, setelah
mencapai puncaknya di tahun 2011 selama lima tahun terakhir
(2009-2013). Nilai ekspor produk restriktif pada tahun 2010 adalah
sebesar USD 1003,7 juta, meningkat dari tahun sebelumnya yang
sebesar USD 565,7 juta. Pada tahun 2011, nilai ekspor produk
restriktif meningkat tajam hingga mencapai USD 2038 juta, namun
menurun di tahun-tahun berikutnya, menjadi USD 1776,6 juta di
tahun 2012 dan USD 1250,8 juta di tahun 2013.
Filamen Buatan4%
Besi dan Baja15%
Kaca dan Barang dari Kaca12%
Bahan kimia organik10%
Lemak&minyak hewan/nabati
3%
Kendaraan dan bagiannya
3%
Plastik dan Barang dari
Plastik
7%
Bahan kimia anorganik
3%
Kertas/Karton9%
produk kimia5%
Bahan peledak3%
Lainnya (15 produk)26%
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 20
Pola yang sama juga terjadi pada pangsa eskpor produk
restriktif. Nilai ekspor produk restriktif ke negara yang mengenakan
kebijakan restriktif terhadap nilai ekpor produk tersebut ke dunia,
meningkat hingga mencapai 10,2% di tahun 2011, namun menurun
di dua tahun berikutnya masing-masing menjadi 8% di tahun 2012
dan 5,8% di tahun 2013. Hal ini menunjukkan bahwa semakin terjadi
diversifikasi pasar ekspor produk tersebut akibat adanya kebijakan
restriksi di negara mitra.
Sementara pangsa produk restriktif terhadap ekspor non migas
Indonesia juga menujukkan gejala yang sama. Sejak tahun 2009
hingga tahun 2011, pangsa produk restriktif terhadap ekspor non
migas mengalami peningkatan, mencapai 1,3% di tahun 2011.
Namun pada tahun 2012 dan 2013, nilai tersebut mengalami
penurunan masing-masing menjadi 1,2% dan 0,8%. Pangsa produk
restriktif yang kecil ini menunjukkan bahwa perannya relatif kecil
terhadap kinerja ekspor non migas.
Gambar 4.4. Market Size Produk Restriktif 2009-2013
Sumber: Trade Monitoring Database WTO dan BPS, telah diolah kembali
2009
2010
2011
2012
2013
0.0
2.0
4.0
6.0
8.0
10.0
12.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6Pan
gsa
Eksp
or
Pro
du
k R
est
rikt
if (
%)
Pangsa Produk Restriktif Terhadap Eskpor Non Migas (%)
Market Size Produk Restriktif 2009-2013
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 21
Meskipun terdapat 32 negara yang menerapkan kebijakan
restriktif terhadap ekspor Indonesia, hanya Uni Eropa yang
mendominasi nilai ekspor produk restriktif selama tahun 2009-2013,
dan delapan negara lainnya yang nilai ekspor produk restriktifnya
cukup besar. Sebesar 72% nilai ekpor produk restriktif tahun 2009-
2013 ditujukan ke Uni Eropa dengan rata-rata pertumbuhan eskpor
ke negara tersebut dalam lima tahun terakhir adalah sebesar 32,8%.
Sementara nilai ekspor produk restriktif ke Cina, Vietnam, dan
Pakistan hanya menyumbang masing-masing 7%, 5%, dan 4%
dengan rata-rata pertumbuhan ekspor masing-masing 27,2%, 52,6%,
dan 1,7%.
Sedangkan Amerika Serikat, India, dan Australia masing-
masing menyumbang 3% terhadap nilai ekpor produk restriktif, dan
selama periode tersebut memiliki tren pertumbuhan ekspor yang
negatif. Rata-rata pertumbuhan ekspor produk restriktif ke Amerika
Serikat mencapai -20,5%, diikuti oleh Australia sebesar -14,3% dan
India sebesar -6,4%. Sedangkan Turki dan Malaysia, meskipun nilai
ekspor produk restriktifnya hanya menyumbang masing-masing
sebesar 1%, namun tren pertumbuhan ekspor produk restriktifnya
menunjukkan nilai yang positif. Rata-rata pertumbuhan ekspor
produk restriktif ke Turki mencapai 32%, dan ke Malaysia mencapai
7,8%. Sementara itu, 23 negara lainnya secara total hanya
menyumbang 1% dari nilai ekspor produk restriktif selama periode
2009-2013.
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 22
Tabel 4.2. Nilai Ekspor Produk Restriktif Berdasarkan Negara, 2009-2014 (USD ribu)
Sumber: Trade Monitoring Database WTO dan BPS, telah diolah kembali
Diantara negara yang menerapkan kebijakan restriktif tersebut
merupakan negara target tujuan ekspor Indonesia, baik target utama
maupun target prospektif dalam upaya pencapaian target ekspor
nasional 2014-2015. Negara target utama tujuan ekspor terdiri dari
14 negara2, sedangkan negara target prospektif tujuan ekspor
Indonesia terdiri dari 19 negara3. Cina, India, Malaysia, Amerika
Serikat, Uni Eropa, Thailand, Philpina, dan Korea Selatan yang
merupakan negara yang menerapkan kebijakan restriktif terhadap
ekspor Indonesia, termasuk dalam negara target utama tujuan
ekspor 2014-2015. Sedangkan Turki, Australia, Rusia, Ukraina,
Brazil, Argentina, Afrika Selatan, dan Mesir termasuk dalam negara
target prospektif tujuan ekspor Indonesia. Meskipun demikian,
pangsa ekspor produk restriktif ke negara tersebut relatif kecil
sehingga kebijakan yang menghambat tersebut tidak akan
2Negara target utama tujuan ekspor Indonesia terdiri dari 14 negara yaitu; China, Jepang,
Korea Selatan, India, Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Italia, Sanyol dan Inggris. (Analisis Target Ekspor 2014-2015, Kemendag)
3Negara target prospektif tujuan ekspor Indonesia terdiri dari 19 negara yaitu; Taiwan,
Hongkong, Turki, Myanmar, Kamboja, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Iran, Rusia, Ukraina, Brazil, Meksiko, Argentina, Peru, Chili, Australia, Afrika Selatan, Mesir dan Nigeria.(Analisis Target Ekspor 2014-2015, Kemendag)
Negara Jumlah (2009-2013) Negara Jumlah (2009-2013)
Uni Eropa 4,776,033 Belarus 265
Cina 492,328 Botswana -
Vietnam 296,192 Kolumbia -
Pakistan 266,815 Kroasia -
Amerika Serikat 193,480 Rep. Dominican -
India 187,782 Ekuador -
Australia 167,015 Israel -
Turki 93,815 Jordan -
Malaysia 64,089 Korea Selatan -
Mesir 32,732 Rep. Kyrgyz -
Argentina 31,211 Lesotho -
Brazil 20,342 Maroko -
Thailand 6,836 Namibia -
Philipina 2,804 Afrika Selatan -
Rusia 1,675 Swaziland -
Kazakhstan 433 Ukraina -
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 23
berpengaruh secara signifikan dalam pencapaian target ekspor ke
negara tersebut.
Berdasarkan jenis produknya, nilai ekspor produk restriktif ke
negara yang mengenakan kebijakan restriktif didominasi oleh produk
kimia (HS 38). Sebanyak 61% total nilai ekspor produk restriktif
tahun 2009-2013 merupakan produk kimia (HS 38), terutama produk
Chemical/allied industry preparations/prods nes (HS 382490). Selain
itu, nilai ekspor Lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15),
Kendaraan dan bagiannya (HS 87), dan Kertas/karton (HS 48)
masing-masing menyumbang 7% dari total nilai ekspor produk
restriktif selama tahun 2009-2013, diikuti oleh Bahan kimia organik
(HS 29) sebesar 5% dan Bahan bakar mineral (HS 27) sebesar 4%.
Sementara nilai ekspor Besi dan baja (HS 72), yang merupakan
produk yang paling banyak dikenai tindakan, hanya menyumbang
sebesar 2% dari total nilai ekspor produk restriktif selama tahun
2009-2013, diikuti oleh nilai ekspor Plastik dan barang dari plastik
(HS 39) serta Serat stapel buatan (HS 55) yang juga sebesar 2%.
Gambar 4.5. Nilai Ekspor Produk Restriktif Berdasarkan Jenis Produk, 2009-2013
Sumber: Trade Monitoring Database WTO dan BPS, telah diolah kembali
Serat stapel buatan2%
Produk kimia61%
Plastik dan barang dari plastik
2%
Lemak & minyak hewan/nabati
7%
Lainnya (17 jenis produk)
3%
Kertas/karton7%
Kendaraan dan bagiannya
7%
Besi dan baja2%
Bahan kimia organik
5%
Bahan bakar mineral
4%
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 24
Produk kimia (HS 38) sebagai penyumbang terbesar nilai
ekspor produk restriktif, merupakan salah satu produk utama4 ekspor
Indonesia. Selama lima tahun terakhir, tren pertumbuhan ekspor
produk tersebut mencapai 48,7% meskipun dikenai tiga tindakan
trade remedy yang berasal dari dua negara. Cina mengenakan
tindakan antidumping pada produk kimia5 Indonesia sejak tahun
2010 hingga sekarang, dan Uni Eropa mengenakan dua tindakan
antidumping pada tahun 2011 dan 2013 yang masih berlangung
hingga saat ini. Pada tahun 2009, pangsa ekspor produk kimia
tersebut ke Cina dan Uni Eropa mencapai 47% dari total ekspor
produk kimia Indonesia ke dunia. Nilai ini meningkat pesat pada
tahun 2010 dan 2011 hingga mencapai masing-masing 73,4% dan
80%. Sejak diberlakukannya tindakan antidumping, pangsa ekspor
produk kimia ke Cina dan Uni Eropa turun menjadi 68,1% di tahun
2012 dan 36,9% di tahun 2013.
Seiring dengan turunnya pangsa ekspor produk kimia tersebut
ke Cina dan Uni Eropa, nilai ekspor produk kimia Indonesia ke dunia
juga sempat mengalami penurunan sebesar 10,4% di tahun 2012
(YoY). Sebelumnya, nilai ekspor produk kimia tersebut meningkat
tajam di tahun 2010 dan 2011 masing-masing sebesar 105,3% dan
152%. Meskipun demikian, nilai ekspor produk kimia tersebut sudah
kembali mengalami peningkatan di tahun 2013 sebesar 4%. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan restriksi yang dilakukan oleh Cina
dan Uni Eropa terhadap produk kimia Indonesia hanya
mempengaruhi pangsa ekspor produk tersebut dan tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja ekpor produk kimia
secara keseluruhan. Dengan demikian, dampak kebijakan restriksi
tersebut hanya mengakibatkan pergeseran (shifting) pangsa ekspor.
4Produk utama ekspor Indonesia terdiri dari 10 kelompok produk yaitu; CPO dan turunannya,
TPT, Elektronik, Karet dan Produk karet, Produk Kayu, pulp dan furniture, Produk kimia, Produk logam, Mesin-mesin, Makanan olahan dan Produk Otomotif (Analisis Target Ekspor 2014-2015, Kemendag).
5Produk kimia yang dikenai tindakan antidumping adalah HS 38249099 oleh Cina, dan HS
38249097, HS 38260010, HS 38260090, dan HS 38237000 oleh Uni Eropa
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 25
Bab V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
a. Terdapat 53 tindakan trade remedy yang dikenakan kepada
Indonesia selama tahun 2009-2013, terdiri dari tindakan
antidumping sebanyak 26 kasus (49%), countervailing sebanyak
2 kasus (4%), dan safeguard sebanyak 25 kasus (47,2%).
b. Jumlah negara yang mengenakan tindakan tersebut selama
periode 2009-2013 adalah sebanyak 32 negara. India merupakan
negara yang paling banyak mengenakan tindakan trade remedy,
sebesar 11% dari seluruh tindakan ke Indonesia, diikuti oleh
Turki (9%), Pakistan (8%), Uni Eropa (7%), Amerika Serikat (6%),
Australia (6%), dan Ukraina (6%).
c. Nilai ekspor produk restriktif selama tiga tahun terakhir sekitar
USD 1,0 miliar per tahun dengan pertumbuhan rata-rata -21,6%.
Peran ekspor produk restriktif relatif kecil (0,9%) terhadap ekspor
non migas sehingga tidak mempengaruhi secara signifikan dalam
pencapaian target ekspor non migas. Selain itu, pangsa ekspor
produk restriktif ke negara yang mengenakan kebijakan restriktif
semakin kecil.
d. Besi dan Baja (15%) merupakan produk yang paling banyak
dikenai tindakan trade remedy selama periode 2009-2013, diikuti
oleh Kaca dan barang dari kaca (12%), Bahan kimia organik
(10%), Kertas/Karton (9%), dan Plastik dan barang dari plastik
(7%).
e. Uni Eropa mendominasi nilai ekspor produk restriktif selama
tahun 2009-2013, dengan nilai ekspor sebesar 72% dan rata-rata
pertumbuhan eskpor sebesar 32,8%. Sementara nilai ekspor
produk restriktif ke Cina, Vietnam, dan Pakistan hanya
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 26
menyumbang masing-masing 7%, 5%, dan 4% dengan rata-rata
pertumbuhan ekspor masing-masing 27,2%, 52,6%, dan 1,7%.
f. Nilai ekspor produk restriktif ke negara yang mengenakan
kebijakan restriktif didominasi oleh produk kimia (HS 38) sebesar
61%, diikuti oleh Lemak dan minyak hewan/nabati (HS 15),
Kendaraan dan bagiannya (HS 87), dan Kertas/karton (HS 48)
masing-masing menyumbang 7% dari total nilai ekspor produk
restriktif selama tahun 2009-2013. Sementara nilai ekspor Besi
dan baja (HS 72), yang merupakan produk yang paling banyak
dikenai tindakan, hanya menyumbang sebesar 2%.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan hasil analisis tersebut, terhadap kebijakan restriksi
perdagangan oleh negara mitra dagang, posisi Indonesia sebaiknya
netral dalam arti Indonesia harus dapat mengerti mengapa negara
lain menetapkan kebijakan restriksi. Kebijakan tindakan balasan
(reciprocal) merupakan kebijakan yang dapat merugikan ekspor
karena Indonesia juga menginginkan produk-produknya dapat
diterima di pasar luar negeri. Namun demikian, untuk mengamankan
ekspor produk yang dikenakan restriksi maka diplomasi terutama
dengan negara-negara mitra dagang terkait perlu ditingkatkan.
Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan 27
DAFTAR PUSTAKA
Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri. (2014). Analisis Target Ekspor 2014-2015. Jakarta: Kementerian Perdagangan
World Trade Organization.(2014). Annual Report by The Director-General:
Overview of Developments in The International Trading Environment. WT/TPR/OV/16
Krugman, Paul R. dan Maurice Obstfeld. (2003). International Economics
Theory and Policy 3rd Edition. United States: Pearson Education Markusen et al. (1996). International Trade Theory and Evidence. United
States: McGraw-Hill Peraturan Presiden Republik Indonesia No.5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014