Transcript
Page 1: adaptasi budaya masyarakat bali aga

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

DAN REGULASI NEGARA DI BIDANG AGAMA

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Cempaga merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan

Banjar, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. Jarak dari ibu kota Kabupaten

Buleleng ke Desa Cempaga sekitar 24 km. Sarana dan prasarana transportasi

menuju Desa Cempaga sangat lancar karena jalan ke Desa Cempaga cukup lebar

dan telah diaspal. Untuk mencapai wilayah desa ini dari kota Singaraja menuju

arah barat mengikuti jalur utama dari kota Singaraja menuju pelabuhan

Gilimanuk. Setelah sampai di daerah Temukus atau di daerah sekitar Labuhan Aji,

berbelok ke arah kiri menuju wilayah perbukitan yang seolah-olah membelah Bali

menjadi dua wilayah dataran yaitu Bali Utara dan Bali Selatan.

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian (Dok. www.google.co.id)

LOKASI PENELITIAN

Page 2: adaptasi budaya masyarakat bali aga

72

Desa Cempaga dikelilingi oleh desa-desa sebagai berikut. Di sebelah utara adalah

Desa Temukus, di sebelah selatan Desa Pedawa, di sebelah timur Desa Tigawasa,

dan di sebelah barat adalah Desa Sidatapa. Desa-desa ini dikenal sebagai desa-

desa Bali Aga.

Dari jalan utama menuju Desa Cempaga berjarak sekitar 7 km dengan

jalanan yang mendaki dan berkelok-kelok melalui wilayah perbukitan. Sepanjang

perjalanan menuju Desa Cempaga jika menengok ke bawah maka akan terlihat

hamparan pantai Lovina yang sangat mempesona. Tidaklah mengherankan jika

sekarang ini sepanjang jalan menuju Desa Cempaga telah berdiri bangunan-

bangunan vila serta bangunan restoran yang cukup megah, dengan panorama alam

pantai yang mempesona.

Di sebelah kanan jalan terjal menapaki daerah perbukitan tersebut, berdiri

sebuah monumen yang menjadi tonggak peringatan bahwa di situ pernah terjadi

perang yang sangat hebat pada masa penjajahan Belanda antara pasukan Belanda

melawan pasukan Banjar yang pada waktu itu dipimpin oleh Ida Made Rai. Tugu

ini baru didirikan oleh Pemerintah Belanda 29 tahun setelah berakhirnya Perang

Banjar, untuk memperingati gugurnya para tentara Belanda karena terbunuh oleh

pasukan Ida Made Rai pada pertempuran tahun 1868. Orang-orang Bali Aga

antara lain I Dade dan Men Blegug, dikenal sebagai pejuang gagah berani pada

waktu itu. I Dade berasal dari Desa Cempaga sementara Men Blegug berasal daeri

Desa Sidetapa, desa tetangga Cempaga. Keduanya merupakan orang-orang

handalan Ida Made Rai. Tugu peringatan ini sempat dirusak massa menjelang

peristiwa Trikora Irian. Padahal, dilihat dari sisi yang lainnya bahwa tugu ini juga

merupakan monumen yang sangat penting artinya dalam memperingati bagaimana

Page 3: adaptasi budaya masyarakat bali aga

73

gagah beraninya orang-orang Banjar yang hanya bersenjatakan tombak dan keris

mempertahankan tanah airnya melawan Belanda yang pada waktu itu telah

dilengkapi meriam dan persenjataan modern (Sastrodiwiryo,2007:148). Orang-

orang Bali Aga sejak zaman Gelgel sudah dikenal sebagai pasukan gagah berani,

yang sangat dihandalkan oleh Patih Ularan ketika menyerang Blambangan. Patih

Ularan adalah Patih Raja Dalem Waturenggong yang dikirim untuk melawan raja

Blambangan yang telah berlaku kurang baik terhadap Danghyang Nirartha. Dia

diperintahkan untuk menangkap hidup-hidup raja Blambangan dan jangan sampai

memenggal kepalanya. Namun dalam suasana perang tanding akhirnya Patih

Ularan memenggal kepala Raja Blambangan dan membawa kepalanya ke Gelgel.

Hal ini membuat raja menjadi marah sehingga mengusir Patih Ularan. Patih

Ularan akhirnya pergi ke Den Bukit (Bali Utara). Di daerah perbukitan di atas

Seririt saat ini juga terdapat Desa Ularan. Ada yang mengatakan bahwa ketururan

Patih Ularan kini bertempat tinggal di Desa Patemon Seririt. Bila ada upacara

ngaben pada para gusti di Patemon maka orang-orang Bali Aga biasanya yang

mengusung badenya (Bade adalah tempat membawa mayat ke kuburan).

Pada saat perang Banjar, pasukan yang berasal dari desa-desa Bali Aga

dikenal sebagai pemating. Namun, kondisi monumen itu sekarang cukup

memprihatinkan sebab beberapa keramik pembungkus monumen sudah mulai

mengelupas, dan semak belukar tumbuh liar di sekitarnya. Sementara itu di sisi

barat monumen kini telah berdiri sebuah vila yang jaraknya tidak lebih dari 5

meter dari monumen dimaksud.

Page 4: adaptasi budaya masyarakat bali aga

74

Gambar 4.2 Monumen bersejarah di Dusun Gunungsari Cempaga. (Dok. Budi Utama)

Setelah melalui Dusun Gunung Sari dan Dusun Corot akhirnya akan

sampai di pusat Desa Cempaga. Di pusat desa berdiri Pura Desa Bale Agung pada

sisi yang lebih tinggi dari pemukiman penduduk. Kantor Kepala Desa juga berdiri

di pinggir jalan utama yang menghubungkan Desa Cempaga dengan desa-desa

lainnya seperti Pedawa, Sidatapa, dan Tigawasa, dengan bangunan gedung yang

bagus meskipun tampak sedikit sempit berdesakan dengan rumah-rumah

penduduk.

4.1.1 Keadaan Alam

Desa Cempaga berada di daerah dataran tinggi (daerah pegunungan)

dengan ketinggian 400-875 meter dari permukaan laut, dengan luas wilayah

1.257.888 ha. Kondisi tanah di Desa Cempaga tergolong tanah kering dengan

sumber air yang sangat kecil. Sebagian besar tanah di Desa Cempaga difungsikan

sebagai pertanian tegalan, perkebunan, dan persawahan yang mengandalkan pada

air tadah hujan. Tanah persawahan hanya dapat digarap pada waktu musim

penghujan dengan menanam jenis padi gaga (kini sudah sangat jarang ditanam)

Page 5: adaptasi budaya masyarakat bali aga

75

yang sangat irit akan kebutuhan air. Penggunaan tanah di Desa Cempaga dapat

dilihat dalam tabel sebagai berikut.

Tabel 4.1 Luas wilayah Desa Cempaga dan Pemanfaatannya.

No Uraian Jumlah

1 Permukiman 22 Ha

2 Tanah Kuburan 5 Ha

3 Perkantoran 0,50 Ha

4 Pasar Desa 0,20 Ha

5 Pekarangan 6,80 Ha

6 Tegalan 2550 Ha

7 Persawahan Tadah Hujan 4642 Ha

8 Hutan 14 Ha

9 Bangunan Sekolah 0,40 Ha

10 Jalan 10 Ha

11 Tempat Peribadatan 1 Ha

Jumlah 7251.90 Ha

Sumber data : Monografi Desa Cempaga 2009

Bila menuju Desa Cempaga dari daerah Temukus harus melalui jalan

mendaki yang sangat terjal, mulai dari jalan di depan SMP Negeri 3 Banjar.

Begitu memasuki daerah Dusun Gunungsari, suasana gersang mulai tampak. Di

kiri kanan jalan terhampar tanah sawah tadah hujan yang mengering menunggu

musim hujan tiba. Lahan ini hanya mungkin ditanami padi pada waktu musim

hujan, sebab satu-satunya sumber air adalah hujan. Pada musim kering lahan ini

hanya berupa hamparan tanah yang tersusun berundak dengan sengkedan-

Page 6: adaptasi budaya masyarakat bali aga

76

sengkedan yang memungkinkan menyerap air dan mencegah longsor pada musim

hujan.

Gambar 4.3 Seorang petani sedang mempersiapkan lahan tadah hujan di dusun Gunung Sari Cempaga. (Dok. Budi Utama)

Dengan kata lain, areal persawahan ini hanya bisa ditanami padi dengan umur

panen sangat pendek , yakni sekitar tiga bulan. Setahun sawah ini hanya bisa

sekali panen, itu pun jika musim hujan memberikan air yang cukup untuk

kepentingan masa tanam padi. Kondisi kering ini akan dijumpai sampai memasuki

wilayah Dusun Corot. Di daerah ini hanya mampu hidup jenis padi Pelita yang

masa panennya sekitar tiga bulan.

Menurut keterangan I Nyoman Kandel, seorang petani dari Dusun Corot,

petani di daerahnya tidak lagi menanam jenis padi gaga, yang merupakan jenis

tanaman yang dulu menjadi salah satu sumber bahan makanan desa-desa di

wilayah Desa Cempaga. Alasannya adalah karena padi ini baru dapat memberikan

hasil setelah masa waktu enam bulan. Oleh petani hal ini dianggap kurang

Page 7: adaptasi budaya masyarakat bali aga

77

memadai, mengingat daerah ini memiliki lahan pertanian basah yang sangat

terbatas sementara sumber air hanya mengandalkan datangnya musim hujan.

Semenjak dikenalkannya jenis padi IR, masyarakat tani di Desa Cempaga mulai

meninggalkan sistem pertanian dengan menanam padi gaga (wawancara dengan

Wayan Wenten, tgl 5 Mei 2009). I Wayan Wenten juga menyatakan bahwa yang

memelopori penanaman padi jenis IR adalah Bapak I Made Dolar dari Dusun

Corot pada awal tahun 1980an. Jenis padi ini dianggap paling sesuai dengan

kondisi lahan yang ada di Desa Cempaga karena air tadah hujan hanya tersedia

sekitar tiga bulan yaitu antara bulan Desember hingga Pebruari.

Di samping jenis padi-padian masyarakat juga menanam jagung dan umbi-

umbian pada saat musim hujan. Jagung sebagai tanaman untuk makanan mulai

diperkenalkan oleh pelaut-pelaut Spanyol dan Portugis pada sekitar tahun 1521

hingga 1568 (Hefner,1990:56). Kebutuhan akan produk lainnya seperti garam,

beras, dan ikan dahulu diperoleh dengan cara melakukan barter dengan daerah-

daerah pantai di bawah. Namun, perkembangan belakangan setelah transportasi

mulai lancar mereka membeli di pasar sesuai dengan kebutuhannya.

Penghasilan lain yang juga menjadi ciri khas Desa Cempaga adalah gula

aren. Desa ini dahulunya terkenal juga sebagai daerah penghasil gula aren dengan

kualitas cukup baik. Bila memasuki Desa Cempaga dari arah Temukus, maka

dalam perjalanan di daerah Dusun Corot menuju Dusun Desa masih banyak

tanaman enau yang tersisa, sebagai penghasil bahan gula aren (lihat gambar 4.4).

Tegalan lainnya kini sudah sebagian besar tertutup pohon cengkeh. Di daerah-

daerah yang berada di daerah aliran sungai para petani menanam coklat. Sungai-

sungsi ini mengalir hanya pada musin hujan.

Page 8: adaptasi budaya masyarakat bali aga

78

Gambar 4.4 Tanaman enau yang diambil niranya untuk membuat gula aren. (Dok. Budi Utama)

Gula aren adalah sejenis gula merah yang diperoleh dengan cara merebus tuak

pohon enau (air sadapan pohon enau) dalam waktu kurang lebih lima jam

kemudian dituang ke dalam cetakan yang telah disediakan. Populasi tanaman enau

ini sekarang sudah mulai berkurang, karena para petani telah mengganti jenis

tanaman ini dengan tanaman cengkeh. Secara ekonomis hasil bertanam cengkeh

lebih menjanjikan dari pada pohon aren. Bila memandang daerah sekitar Desa

Cempaga dari ketinggian maka yang tampak adalah hamparan pohon cengkeh.

Tanaman ini mulai ditanam di Desa Cempaga sekitar tahun 1976 (Wayan Wenten,

wawancara tgl 5 Mei 2009).

4.1.2 Sejarah Desa

Penelusuran asal usul sebuah desa seringkali sangat menyulitkan karena

terbatasnya data tertulis tentang desa dimaksud. Biasanya keberadaan sebuah desa

hanya didukung oleh cerita yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh penduduk.

Page 9: adaptasi budaya masyarakat bali aga

79

Demikian pula halnya dengan Desa Cempaga. Di desa ini sampai saat ini tidak

ditemukan teks berupa prasasti maupun lontar yang memuat tentang desa ini.

Namun demikian masih ada kisah yang diwariskan secara turun temurun yang

diceritakan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam buku Adat Kuna Catur Desa (Simpen,1986:39) disebutkan bahwa

dalam prasasti Desa Banyusri (tetangga Desa Cempaga) Desa Cempaga dahulu

berada di bawah pemerintahan Raja Sri Suradipa sekitar tahun 1115 Masehi.

Sementara itu, berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di masyarakat bahwa

asal usul Desa Cempaga pada intinya dikisahkan sebagai berikut.

Pada zaman dahulu kala yang tidak diketahui persis kapan kejadiannya,

datanglah serombongan orang yang berjumlah kurang lebih 500 kk (kuren)

menuju suatu tempat. Orang-orang yang datang ini diperkirakan adalah orang-

orang yang datang dari Campa. Pada mulanya mereka menuju daerah dataran

rendah sekitar daerah Temukus sekarang. Selanjutnya mereka bergerak ke arah

pegunungan, karena wilayah itu terlihat indah dan asri. Untuk menuju daerah

pegunungan tersebut mereka harus melalui hutan belantara sehingga sangat

melelahkan, namun akhirnya mereka sampai juga di suatu tempat yang dinaungi

sebuah pohon rindang yang sedang berbunga serta mengeluarkan bau yang sangat

harum. Keteduhan yang dihasilkan oleh pohon rindang ini membuat orang-orang

yang dalam perjalanan tersebut ingin melepaskan lelahnya di bawah naungan

pohon dimaksud. Setelah cukup lama berteduh di bawah pohon ini mereka

merasakan keteduhan dan rasa nyaman, kemudian mereka bersepakat untuk

bertempat tinggal di wilayah tersebut. Pohon besar yang mengeluarkan aroma

bunga wangi itu kemudian diberi nama pohon cempaka mengingatkan kepada

Page 10: adaptasi budaya masyarakat bali aga

80

daerah asal mereka yaitu Campa. Kata cempaka ini lambat laut mengalami

perubahan pengucapan menjadi kata cempaga.

Ada juga tafsir lain yang menguraikan bahwa kata cempaga berasal dari

kata campa dan aga. Campa adalah sebuah negeri di Muangthai dan aga adalah

penduduk yang tinggal di pegunungan. Dengan demikian cempaga pada

hakikatnya berarti daerah pegunungan sebagai tempat tinggal penduduk yang

datang dari Campa. Mereka yang datang dari Campa ini dianggap sebagai

penduduk yang pertama kali menetap di Bali. Daerah ini kemudian ditata

sedemikian rupa dengan sistem pemerintahan melalui forum paruman magelang-

gelang yaitu suatu pertemuan yang dibuat dalam bentuk melingkar bertempat di

Bale Agung yang sekarang merupakan lokasi dari Pura Desa Cempaga. Paruman

ini diikuti oleh pamwit desa, yang terdiri atas wakil-wakil warga pasek kayu selem

dan pasek runcing.

Pada suatu saat sebelum paruman magelang-gelang dilaksanakan

terjadilah perdebatan antara pasek kayu selem dengan pasek runcing tentang letak

Desa Cekik dan Desa Patas. Hal yang diperdebatkan adalah manakah diantara

kedua desa tersebut letaknya paling barat. Perdebatan ini berjalan alot dan sengit

karena kedua belah pihak masing-masing bersikukuh dengan pendapatnya.

Akhirnya terjadilah perkelahian yang menyebabkan pasek kayu selem terbunuh.

Melihat kejadian tersebut I Ulun Desa menjadi sangat kecewa, dan akhirnya dia

mengutuk penduduk yang berjumlah 500 kk supaya menjadi 35 kk saja. Merasa

takut akan kutukan I Ulun Desa tersebut maka penduduk yang tidak termasuk

dalam 35 kk kemudian melarikan diri ke arah timur desa dengan mengambil

tempat nasi yang terbuat dari perunggu berbentuk setengah bola yang digunakan

Page 11: adaptasi budaya masyarakat bali aga

81

sebagai alat mengukur banyaknya nasi (nakeh nasi) pada saat ada upacara puja

wali di Pura Desa. Penduduk yang melarikan diri ini kemudian sampai di Desa

Les dan ke Desa Batur dan akhirnya mereka berkumpul di dekat Puri Bangli dan

tempat itu diberi nama Cempaga ( Gde Wira, wawancara, tgl 7 Juli 2009)

Di sebelah utara kompleks Puri Bangli sekarang memang terdapat sebuah

desa yang bernama Cempaga. Desa ini boleh dikatakan otonom dalam arti tidak

termasuk dalam wilayah gebog domas penyanggra Pura Kehen Bangli. Namun

belum diketahui secara pasti bagaimana kaitan antara Desa Cempaga di

Kecamatan Banjar, Buleleng dan Desa Cempaga Bangli.

Versi lain tentang kisah Desa Cempaga tersebut sebagaimana dituturkan

dalam buku Adat Kuna Catur Desa karya W.Simpen AB (1986: 39) adalah

sebagai berikut. Pada zaman dahulu orang-orang desa sedang melakukan rapat

desa (paruman atau sangkepan). Mereka menggunakan pakaian khas nyaput dan

di pinggangnya terselip keris. Pada saat pertemuan tersebut terjadilah perdebatan

sengit tentang mana yang lebih tinggi posisinya di antara sarang burung gagak

dibandingkan sarang babi betina. Ada yang berpendapat sarang burung gagaklah

yang lebih tinggi sementara kelompok lainnya berpandangan bahwa sarang babi

betinalah yang lebih tinggi. Sarang gagak jelas posisinya lebih rendah karena

sarang ini diinjak ketika gagak bertelur dan punya anak, sementara sarang babi

berada di atas babi karena sebelum beranak babi sangat suka ngelumbih

sarangnya, setelah itu barulah ia tidur. Jadi sarang babi berada dalam posisi lebih

tinggi dari pada sarang gagak. Pendapat lainnya mengatakan sarang gagak lebih

tinggi karena berada di atas pohon sementara sarang babi ada di tanah, maka

sarang gagaklah yang lebih tinggi. Dalam diskusi tersebut masing-masing

Page 12: adaptasi budaya masyarakat bali aga

82

kelompok bersikukuh dengan pendapatnya dan akhirnya terjadilah perkelahian

hebat di atara kedua kelompok dimaksud. Kelompok yang kalah melarikan diri

dan kemudian menetap di Desa Cempaga Bangli (Simpen, 1986:39).

Simpen juga menyatakan bahwa kata cempaga merupakan kata mejemuk

yang terdiri dari dua kata yaitu kata cem dan kata paga. Cem artinya kotor dn

paga artinya para-para terbuat dari bambu yang terletak di atas tempat tidur

sebagai tempat menaruh sesaji. Jadi kata cempaga berarti tempat sesaji yang telah

dikotori. Menurut Simpen inilah yang kemudian menjadi sumber masalah

terjadinya perkelahian penduduk di desa tersebut. Sarang babi betina (sebun

bangkung) di bawah tentu kotor, tetapi sarang burung gagak (sebun goak) tentulah

letaknya di atas dan bersih. Diperkirakan perkelahian tersebut memperebutkan

tempat sesaji, jika di bawah cem ’kotor’ , kalau di atas paga ’bersih’.

Menurut Simpen, perkelahian dimaksud ada hubungannya dengan kisah

perjalanan Danghyang Nirartha di Bali. Ketika sampai di Desa Gading Wani,

Danghyang Nirartha mengarang Sebun Bangkung yang berisikan ajaran

kerokhanian. Sebun artinya ’tempat pusat ’; bang artinya ’merah, simbul

Brahma’; kung artinya ’cinta’. Jadi kata sebun bangkung artinya ’pusat cinta

(bakti) kepada Brahman (Tuhan)’. Gagak = Gagak Aking, yaitu tokoh kerohanian.

Mana yang lebih tinggi, haruslah dilakukan penyelidikan secara lebih mendalam

(Simpen, 1986:39).

Menurut I Putu Mertha (wawancara tgl 24 Oktober 2009) yang juga

Pemangku/Balian Desa Cempaga, apa yang dipaparkan dalam buku yang ditulis

oleh Simpen rupanya ingin menarik sumber perdebatan yang terjadi di Desa

Page 13: adaptasi budaya masyarakat bali aga

83

Cempaga tersebut ke wilayah spiritual dengan merujuk pada dua buah karya

sastra spiritual yaitu Sebun Bangkung dan Bubuksah Gagak Aking.

”Yan rerehang ring tuture, napi sane wenten iriki pateh sekadi tutur Sebun Bangkung lan Bubuksah Gagak Aking. Napike kawentenan satuane iriki kaketus saking tuture punika, dereng janten kauningin, sakewale yening kayun-kayunin mirip gati isine. Napi ke kebetulan manten, nenten taler uningin” Artinya Jika ditelusuri dalam kitab-kitab filsafat, cerita yang berkembang dalam masyarakat di Desa Cempaga banyak kesamaannya dengan kisah Sebun Bangkung dan Bubuksah Gagak Aking. Apakah kisah yang berkembang di desa ini diambil dari kitab dimaksud, sampai saat ini belum diketahui secara pasti, tetai bila direnungkan banyak kemiripannya. Apa ini suatu kebetulan saja, belum juga diketahui secara pasti ”

Sebun Bangkung berisi ajaran kadiatmikan yang asketik sementara Bubuksah

Gagak Aking berkisah tentang dua bersaudara yang akan pergi ke sorga dengan

cara yang berbeda. Bubuksah menempuh jalan makan segalanya, sementara itu

Gagak Aking menempuh jalan asketik dengan melakukan tapa brata yang ketat

sehingga tubuhnya menjadi kurus kering. Tampaknya kisah dalam Bubuksah

Gagak Aking ini mendiskusikan dua jalan berbeda antara penganut Buddhisme

yang memakan segalanya (artinya tidak terlalu banyak pantangan dalam

melaksanakan sistem keyakinan ajarannya) sedangkan Gagak Aking adalah

simbol Siwaisme yang memiliki aturan-aturan yang ketat terutama menyangkut

brata (aturan-aturan) makanan. Kedua faham ini mengaku lebih tinggi satu

dengan lainnnya. Dalam pandangan Jero Mangku Desa Cempaga kisah simbolik

ini menunjukkan persaingan antara Siwaisme dan Buddhisme Namun pada

akhirnya keduanya mencapai sorga ( Arnita dkk.,2002:128).

Melihat lokasi Desa Cempaga yang berdekatan dengan kota Kecamatan

Banjar, persaingan antara faham Siwaisme dan Buddhisme sangat mungkin terjadi

Page 14: adaptasi budaya masyarakat bali aga

84

di wilayah ini pada masa lalu. Tinggalan-tinggalan yang ada saat ini menunjukkan

bahwa kedua faham itu berkembang pesat dalam diskusi-diskusi yang sampai saat

ini meninggalkan bentuk wihara dan gria (disebut Manca Siwa Agung), dua

bentuk simbol yang mewakili kedua faham dimaksud.

Namun demikian bisa juga berarti bahwa perkelahian yang muncul akibat

diskusi tanpa kesimpulan yang jelas mengenai sarang burung gagak dan sarang

babi betina tersebut melambangkan bahwa kedua ajaran tersebut dipandang

sebagai sesuatu yang kurang tepat bagi penduduk asli Bali saat itu. Sebagaimana

diketahui bahwa kedua kisah ini (Sebun Bangkung dan Bubuksah Gagak Aking)

adalah karya-karya yang ditulis pada masa kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Penolakan ini bisa terjadi karena mereka tidak mau tunduk terhadap Majapahit

termasuk isme-isme yang muncul sebagai produk Majapahit seperti tercantum

dalam pustaka Bubuksah Gagakaking dan Sebun Bangkung ini. Sistem

keagamaan yang dianut oleh penduduk asli memang berbeda dengan ajaran-ajaran

yang dimuat dalam kedua karya sastra dimaksud. Dengan kata lain, paling tidak

belum ditemukan titik kesepahaman antara tradisi keagamaan masyarakat Bali

Aga dengan ajaran-ajaran yang datang dari Majapahit.

4.1.3 Demografi

Penduduk asli Desa Cempaga sekarang jumlahnya tinggal sedikit.

Kebanyakan penduduk Desa Cempaga sekarang adalah kaum migran yang datang

ke desa tersebut terutama dari daerah Kabupaten Karangasem, Klungkung, dan

Bangli. Penduduk Desa Cempaga sama dengan penduduk desa Bali Kuno lainnya,

tidak mengenal sistem triwangsa. Jika ada pendatang yang berasal dari kelompok

Page 15: adaptasi budaya masyarakat bali aga

85

triwangsa kemudian menjadi penduduk di Desa Cempaga maka mereka harus

melepaskan status triwangsa-nya (kesamen) (Simpen:1986:39). Penduduk Desa

Cempaga berjumlah 2688 orang dengan rincian laki-laki 1347 orang, perempuan

1341orang. Jumlah kepala keluarga 818. Mereka semua adalah penganut agama

Hindu. Penduduk Desa Cempaga terdiri atas 27 dadia/klan. Klan yang ada di Desa

Cempaga adalah Arya Tangkas Kuri Agung, Bendesa Mas, Arya Ularan, Arya

Kubon Tubuh, Arya Batu Lepang, Arya Wang Bang Penatih, Arya Sri Kresna

Kepakisan, Pasek Gobleg, Pasek Gelgel, Pasek Toh Jiwa, Pasek Tanggun Titi,

Bujangga Waisanawa, Pande, Sangging.

4.1.4 Mata Pencaharian Penduduk

Wilayah Desa Cempaga sebagian besar adalah tegalan, oleh karena itu

mata pencaharian utama penduduknya adalah petani lahan kering. Pada sekitar

tahun enam puluhan para petani hanya menanam padi gaga, yaitu jenis padi untuk

lahan kering dengan masa panen sekitar enam bulan. Di samping itu mereka juga

menanam jagung dan umbi-umbian seperti ketela rambat dan ketela pohon yang

hasilnya memang hanya cukup untuk kebutuhannya sendiri. Jadi seorang petani

menggarap lahannya adalah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya saja, belum

untuk kepentingan diperjualbelikan. Melihat kondisi ini bisa dikatakan mereka

benar-benar sebagai petani tardisional.

Secara sosiologis para petani ini dikenal dengan istilah peasan (dari kata

peasant). Menurut Eric R Wolf, peasan adalah penghasil-penghasil pertanian yang

mengerjakan tanahnya secara efektif, yang melakukan pekerjaan itu untuk

mendapat nafkah hidupnya, bukan sebagai bisnis yang bersifat mencari

Page 16: adaptasi budaya masyarakat bali aga

86

keuntungan. Sementara itu, dalam pandangan Redfield peasan adalah orang-orang

dengan peradaban yang tua, penduduk pedesaan yang menguasai dan mengolah

tanah mereka untuk kehidupannya yang subsisten dan sebagai bagian dari cara

hidup yang tradisional yang dipengaruhi oleh orang perkotaan yang cara hidupnya

menyerupai mereka tetapi lebih tinggi peradabannya (Raharjo, 2004:70). Dapat

juga dikatakan bahwa penduduk Desa Cempaga sangat kental dengan tradisi

kecilnya. Tradisi kecil yang berorientasi pada kebudayaan lokal memiliki ciri-ciri

antara lain sistem ekonomi sawah dengan irigasi, peternakan untuk keperluan

dagingnya, bangunan rumah dengan bentuk kamar kecil terbuat dari bahan kayu

atau bambu; sistem pura berhubungan dengan keluarga, desa dan wilayah; pada

pura terdapat sistem ritual yang cukup kompleks; bahasa setempat dengan

kesusastraan lisan; tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara pura yang terdiri

atas antara lain selonding, tari sanghyang (Geria, 2000:2)

Pandangan tersebut memang sesuai dengan kondisi masyarakat Desa

Cempaga pada sekitar tahun 1960-an. Masyarakat desa Cempaga boleh dikatakan

masih sangat terisolir dengan daerah-daerah sekitarnya, karena belum tersedianya

jalan yang memadai yang menghubungkan desa tersebut dengan desa-desa di

sekitarnya. Yang tersedia hanyalah jalan setapak yang hanya bisa dilalui oleh

kuda beban sebagai alat transportasi. Namun, saat ini keadaan sudah mulai

berubah seiring dengan perkembangan zaman. Diferensiasi pekerjaan pada

masyarakat Desa Cempaga sudah terjadi dan tampak dalam tabel berikut.

Berikut ini adalah pengelompokan penduduk berdasarkan mata pencahariannya.

Page 17: adaptasi budaya masyarakat bali aga

87

Tabel 4.2 Penduduk Desa Cempaga berdasarkan mata pencahariannya.

No Mata Pencaharian Jumlah

1 Petani 630 orang

2 Buruh Tani 340 orang

3 Pertukangan 49 orang

4 Pedagang 60 orang

5 Karyawan Swasta 40 orang

6 PNS 40 orang

7 ABRI 9 orang

8 Pensiunan 26 orang

Sumber : Monografi Desa Cempaga tahun 2009.

Para petani di Desa Cempaga tergolong petani yang sangat ulet. Dikatakan

demikian karena walaupun dihadapkan pada kondisi alam dengan sumber air yang

sangat minim mereka dapat dikatakan cukup berhasil dalam mengembangkan

tanaman industri seperti tanaman cengkeh. Saat ini wilayah Desa Cempaga

sebagaian besar sudah ditanami pohon cengkeh, namun masih ada sedikit lahan

yang digunakan sebagai persawahan tadah hujan. Mereka juga beternak sapi yang

dipelihara di sekitar rumah atau pondoknya. Sapi memberikan keuntungan ganda

bagi petani, di samping memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, juga memberikan

pupuk organik dari kotorannya yang digunakan oleh para petani untuk

meningkatkan kesuburan tanaman cengkeh mereka. Selain cengkeh daerah ini

banyak menghasilkan buah-buahan seperti manggis dan durian. Dahulu daerah ini

dikenal sebagai penghasil kopi yang bagus tetapi sekarang tanaman ini jumlahnya

sudah sangat sedikit.

Page 18: adaptasi budaya masyarakat bali aga

88

Kendala utama yang dihadapi oleh penduduk Desa Cempaga adalah

masalah air. Hal ini juga diakui oleh Perbekel Desa Cempaga I Nyoman Ardika.

Semenjak menjabat sebagai Perbekel, upaya pendekatan dengan beberapa daerah

sekitarnya yang memiliki sumber air sudah dilakukan. Ia ingin menjalin

kerjasama dalam mengelola sumber air tersebut. Namun, idenya selalu kandas

karena desa-desa lainnya juga mengalami masalah air untuk kepentingan

penduduk dan lahan pertanian di desanya, sehingga tidak mungkin dibagi kepada

Desa Cempaga (wawancara, 24 Oktober 2009). Saat ini untuk keperluan air

bersih, penduduk Desa Cempaga hanya mengandalkan sumber air dari kayehan

desa yang debit airnya sudah sangat kecil. Penduduk terpaksa membeli air untuk

konsumsi.

4.1.5 Tingkat Pendidikan

Sekolah Rakyat pertama kali berdiri di Desa Cempaga pada tahun 1958,

setelah itu pada masa pemerintahan Orde Baru desa ini juga mendapat bantuan

sekolah inpres yang lokasinya kemudian digabung dengan sekolah tertua di Desa

Cempaga dan sekarang menjadi SD 1 Cempaga. Letaknya yang sangat strategis

yaitu pada jalan utama yang menghubungkan Desa Cempaga dengan desa-desa

tetangga lainnya menyebabkan bangunan Sekolah Dasar 1 Cempaga sekarang

telah menjadi pusat berbagai bentuk kegiatan seperti Kejar Paket C, kegiatan

pemberantasan buta aksara, serta berbagai kegiatan pendidikan lainnya. Sekolah

dasar lainnya didirikan di Dusun Corot pada tahun 1981. Data yang tercatat di

kantor Kepala Desa Cempaga menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat

Desa Cempaga sudah cukup maju, tergambar dalam tabel 4.3 seperti berikut.

Page 19: adaptasi budaya masyarakat bali aga

89

Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Cempaga

No Tingkat Pendidikan Jumlah

1 SD 530 orang

2 SLTP/ sederajat 53 orang

3 SLTA/ sederajat 25 orang

4 Akademi/ D1 – D3 5 orang

5 Sarjana (S1-S3) 29 orang

Sumber : Monografi Desa Cempaga Juni 2009.

Berdirinya Sekolah Rakyat di Desa Cempaga pada tahun 1958 sebenarnya

menjadi tonggak penting dalam sejarah perjalanan Desa Cempaga, paling tidak

hal ini mengindikasikan bahwa Desa Cempaga pada pertengahan abad ke- 20

sudah cukup maju mengingat lokasinya yang agak terpencil namun telah memiliki

fasilitas pendidikan. Akan tetapi kondisi perekonomian Desa Cempaga pada

sekitar akhir tahun lima puluhan sampai dengan awal tahun enam puluhan boleh

dikatakan sangat rendah. Hal ini tidak saja disebabkan oleh perekonomian negara

pada waktu memang lesu, tetapi juga oleh kondisi pertanian pada waktu itu

memang tidak terlalu menguntungkan. Hal ini berdampak pada sangat minimnya

penduduk yang melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka

yang bermaksud melanjutkan pendidikan harus menempuh perjalanan yang cukup

jauh dengan kondisi jalan dan alat transportasi yang sulit. Barulah pada akhir

tahun enam puluhan atau setelah peristiwa G30S/PKI masyarakat Desa Cempaga

menjadi sangat kompak dan sepakat untuk membuka jalan sehingga mereka bebas

dari keterpencilan. Di bawah kepemimpinan Kelian Desa pada waktu itu yaitu

Page 20: adaptasi budaya masyarakat bali aga

90

Bapak Putu Mustika mereka secara swadaya kemudian memperlebar jalan sampai

akhirnya bisa menghubungkan Desa Cempaga dengan kota Kecamatan Banjar.

Terbukanya jalan desa yang menghubungkan Desa Cempaga dengan desa-

desa sekitarnya khususnya dengan Kota Kecamatan Banjar, telah membawa

perubahan yang sangat besar di Desa Cempaga. Perubahan tersebut adalah

semakin diadopsinya budaya dan gaya hidup orang-orang nagari. Istilah nagari

digunakan untuk menyebut masyarakat di daerah dataran yang sangat kental

dengan tradisi besarnya yang bersumber pada ajaran agama Hindu.

Pada sekitar tahun 1968 sampai tahun 1971 mulai muncul elite-elite desa

yang sangat kental dengan tradisi besarnya dan membawa perubahan sangat

signifikan terhadap keadaan Desa Cempaga (wawancara dengan I Putu Mangku,

59 tahun, tgl 2 Nopember 2009).

4.1.6 Pola Menetap dan Sistem Kekerabatan

Masyarakat Desa Cempaga tergolong dalam kelompok Bali Aga di bagian

Bali Utara. Pada era tahun enam puluhan mereka tergolong masyarakat yang

sangat taat berpegang pada tradisi adat mereka sehingga cukup sulit menerima

gagasan-gagasan yang datang dari luar. Andai pun perubahan itu terjadi, dan

memang perubahan itulah yang akan selalu terjadi dalam masyarakat, maka

perubahan itu terjadi secara evolutif. Mereka tidak mengenal sistem pelapisan

sosial atas dasar kasta yang disebut triwangsa. Masyarakat Desa Cempaga pada

hakikatnya bersifat egaliter, pelapisan sosial yang berlaku di Desa Cempaga

adalah atas dasar senioritas perkawinan.

Page 21: adaptasi budaya masyarakat bali aga

91

Saat ini, masyarakat Desa Cempaga telah banyak mengalami perubahan

terutama karena kemajuan dalam bidang pendidikan dan perubahan mata

pencaharian dari sektor pertanian ke sektor perdagangan dan jasa sehingga

masyarakat Desa Cempaga menjadi lebih terbuka. Hal ini didukung oleh

prasarana transportasi yang sudah semakin bagus berupa jalan aspal yang

menghubungkan Desa Cempaga dengan daerah-daerah lainnya. Jalan aspal ini

membelah Desa Cempaga sehingga pada bagian kiri dan kanan jalan ini berjajar

permukiman penduduk. Rumah-rumah tradisional penduduk pada umumnya

membelakangi jalan raya, namun belakangan ini rumah-rumah di pinggir jalan ini

sebagian sudah berubah dimodifikasi sehingga menghadap jalan. Rumah-rumah

ini selain sebagai tempat tinggal, juga menjadi tempat bisnis seperti salon,

warung, dan pertokoan. Meskipun telah banyak mengalami modifikasi, namun

ada juga penduduk yang tetap mempertahankan rumah adat mereka.

Rumah penduduk Desa Cempaga boleh dikatakan masih sederhana.

Melihat rumah adatnya yang berukuran sekitar 6 x 8 m dapat dikatakan bahwa

rumah ini pantas dihuni oleh keluarga batih saja. Oleh karena itu, setiap

terbentuknya keluarga batih baru, mereka membentuk rumah tinggal sendiri,

kecuali anak laki-laki tunggal atau anak bungsu akan mewarisi tempat tinggal

orang tuanya. Rumah tinggal keluarga batih masyarakat Desa Cempaga disebut

rumah saka roras, terdiri atas satu bangunan kecil untuk menampung segala

kegiatan domestik, seperti kegiatan majejahitan, memasak, tempat makan, tempat

tidur, sekaligus pula tempat persembahyangan (lihat gambar 4.5). Bangunan ini

disangga dengan 12 buah tiang yang disebut adegan (Dwijendra,2009:26)

Page 22: adaptasi budaya masyarakat bali aga

92

Pada bagian depan rumah saka roras ini disebut amben, digunakan

sebagai tempat menerima tamu, tempat menyiapkan alat-alat upacara atau

kegiatan-kegiatan lainnya yang membutuhkan ruang terbuka.

Gambar 4.5 Ruang depan (amben) rumah saka roras (Dok. Budi Utama)

Dari amben ini jika menuju ke ruang dalam, untuk sampai ke dapur dan tempat

makan harus melalui satu pintu. Pada sebelah kiri pintu masuk terletak bungut

paon tempat memasak (lihat gambar 4.6), sementara di sebelah kanannya terletak

tempat air dan tempat mempersiapkan bahan-bahan yang akan dimasak. Di sisi

sebelah kanan ini terdapat bale yang berfungsi sebagai tempat untuk

mempersiapkan bahan-bahan makanan yang akan dimasak, sekaligus pula sebagai

tempat makan (lihat gambar 4.6). Masing-masing ruang ini juga dilengkapi

dengan pepaga tempat menaruh berbagai keperluan, sehingga tidak dibutuhkan

almari untuk menyimpan benda-benda keperluan sehari-hari itu.

Page 23: adaptasi budaya masyarakat bali aga

93

Gambar 4.6 Bungut paon Rumah Saka Roras. (Dok. Budi Utama)

Gambar 4.7 Ruang Makan Bale Saka Roras (Dok. Budi Utama)

Masuk ke dalam lagi tersedia dua bale-bale yang bisa digunakan sebagai tempat

tidur (lihat gambar 4.8). Di bagian ini juga tersedia pepaga yang diletakkan di

bagian atas sebagai tempat suci (lihat gambar 4.9).

Page 24: adaptasi budaya masyarakat bali aga

94

Gambar 4.8 Ruang Tidur Bale Saka Roras (Dok. Budi Utama)

Gambar 4.9 Tempat Pemujaan yang berada di bagian hulu tempat tidur. (Dok. Budi Utama)

Menurut I Wayan Wenten, bangunan saka roras ini memang cocok dengan alam

sekitar Desa Cempaga. Bahan-bahan bangunan memang diambil dari tempat

sekitar desa. Tiang bangunannya terbuat dari kayu, dinding dan atap bangunan

terbuat dari anyaman bambu.Bahan-banhan ini memang tersedia cukup banyak di

daerah ini. Seiring dengan perubahan zaman, atap dan dinding bangunan sekarang

Page 25: adaptasi budaya masyarakat bali aga

95

sudah berubah, dalam artian digantikan dengan atap seng atau genteng, dan

dinding bangunan telah diganti dengan batu bata atau batako. Saat ini masih

terdapat beberapa rumah yang menggunakan dinding dari anyaman bambu dan

kondisinya sudah sangat tua.

Gambar 4.10 Bangunan saka roras tampak dari depan. (Dok. Budi Utama)

Banyak orang yang sudah mengubah bentuk bangunan rumahnya, namun

demikian ada juga yang tetap mempertahan tiang rumah yang banyaknya 12,

tetapi tembok serta ornamen rumah sudah mengikuti pola rumah modern seperti

lantai keramik, dinding tembok, serta peralatan-peralatan dapur yang sudah

modern. Struktur dan tata letakbangunan atau bagian bangunannya seperti dapur

dan ruang makan,ruang tidur, dan tempat persembahyangan masih tetap

dipertahankan, tetapi alat-alat lainnya sudah sangat modern seperti kompor gas

dan tempat air minum (lihat gambar 4.11).

Page 26: adaptasi budaya masyarakat bali aga

96

Gambar 4.11 Rumah Saka Roras yang sudah mengalami modifikasi tetapi tetap mempertahankan strukturnya. (Dok. Budi Utama)

4.1.7 Sistem Pemerintahan Desa

Pemerintahan di Desa Cempaga merupakan perpaduan dua sistem

pemerintahan, yaitu Sistem Pemerintahan Desa Dinas dan Sistem Pemerintahan

Desa Pakraman. Desa Dinas Cempaga terdiri atas dua banjar dinas yaitu Banjar

Dinas Desa dan Banjar Dinas Corot. Banjar Dinas Desa terdiri atas tiga

Tempekan yaitu a) Tempekan Desa, b) Tempekan Sumber, dan c) Tempekan

Kutuh Meranting. Sementara itu Banjar Dinas Corot terdiri atas dua Tempekan

yaitu a) Tempekan Corot, dan b) Tempekan Gunung Sari. Desa Pakraman

Cempaga terbagi menjadi lima banjar, yaitu a) Banjar Desa, b) Banjar Sumber, c)

Banjar Kutuh Meranting, d) Banjar Corot, dan e) Banjar Gunung Sari.

Page 27: adaptasi budaya masyarakat bali aga

97

4.1.7.1 Sistem Pemerintahan Desa Dinas

Pemerintahan Desa Dinas diperintah oleh sebuah pemerintah desa yang

terdiri dari seorang Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa (BPD) berdasarkan

Undang Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 serta petunjuk

pelaksanaannya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 63 Tahun

1999. Dalam melaksanakan tugasnya Kepala Desa didampingi BPD yang

merupakan peewujudan wakil-wakil dari masyarakat desa yang tugasnya adalah

melakukan kontrol terhadap Kepala Desa dalam melaksanakan tugas-tugas di

tingkat pemerintahan desa. BPD terdiri atas pemuka-pemuka masyarakat di Desa

Cempaga yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa,

menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Kepala Desa dalam

menjalankan pemerintahan desa dibantu oleh Sekretariat Desa yang terdiri atas

seorang Sekretaris Desa dan Kepala Kepala Urusan (Kaur). Selain itu yang

termasuk ke dalam Sekretariat Desa adalah Kepala Kepala Dusun (Kadus) yang

bertugas membantu Pemerintah Desa dan atau Kepala Desa dalam hal mengatur

dan mengkoordinir masyarakat dusun yang dipimpinnya. Tugas dan kewajiban

seorang Kepala Desa sebenarnya cukup berat yaitu memimpin penyelenggaraan

Pemerintah Desa, membina kehidupan masyarakat desa, membina perekonomian

desa, memelihara ketenteraman dan ketertiban desa, mendamaikan jika terjadi

perselisihan dalam masyarakat desa, serta menjaga kelestarian adat istiadat yang

hidup dan berkembang di desa.

Page 28: adaptasi budaya masyarakat bali aga

98

4.1.7.2 Sistem Pemerintahan Desa Pakraman Cempaga

Kepengurusan dalam sistem pemerintahan desa pakraman atau

keprajuruan ditentukan berdasarkan atas urutan (ririgan) senioritas

perkawinannya (mauluapad). Artinya, struktur kepemimpinan desa pakraman

Cempaga ditentukan atas dasar keseniorannya berdasarkan atas catatan waktu

perkawinan mereka. Setiap anggota masyarakat yang telah menikah, secara

berjenjang nantinya pasti akan sampai pada struktur kepengurusan desa pakraman

Cempaga. Kepeminpinan Desa Pakraman Cempaga dipegang secara kolektif oleh

6 orang yang disebut sebagai ulun desa. Ulun desa tersebut terdiri dari 1) baan

kenawan, 2) baan kekehe, 3) takin kenawan, 4)takin kekehe, 5) keban/pangenter,

dan 6) panglunduan/juru getek. Menurut cerita yang berkembang dalam

masyarakat Desa Cempaga konon pada zaman dahulu yang menjabat sebagai

baan kenawan (tugu) adalah Pan Sumeraji. Pada suatu saat diadakanlah paruman

di Bale Gede dan tiba-tida saja beliau menghilang tanpa meninggalkan jejak,

sehingga membuat krama desa menjadi kaget dan menganggapnya telah

mencapai moksa. Akibat peristiwa tersebut jabatan baan kenawan tersebut

menjadi lowong, dan hingga saat ini tidak ada penduduk yang berani

menggantikan kedudukan tersebut. Sejak saat itulah jabatan ulun desa hanya

berjumlah lima orang ditambah satu posisi yang dibiarkan tetap kosong, namun

secara simbolik dipandang tetap ada.

Di bawah ke lima ulun desa tersebut terdapat pasek. Orang yang

menduduki jabatan pasek ini ditunjuk oleh keluarga Pasek Gobleg yang ada di

Desa Cempaga. Artinya, dia yang ditunjuk untuk menduduki jabatan pasek

tersebut adalah berdasarkan hasil musyawarah keluarga Pasek Gobleg yang ada

Page 29: adaptasi budaya masyarakat bali aga

99

di Desa Cempaga, kemudian disampaikan kepada ulun desa untuk selanjutnya

ditetapkan dalam paruman Magelang-gelang. Di bawah pasek disebut dengan

perbekel yang bertugas mengatur krama desa dalam rangka membantu tugas-

tugas ulun desa, termasuk juga menyampaikan informasi-informasi dari

pemerintah.

Ada yang unik dan menarik dalam struktur Desa Cempaga yaitu tentang

posisi prebekel. Prebekel ini dipilih langsung oleh masyarakat Desa Cempaga

bukan berdasarkan sistem senioritas berdasarkan perkawinan, namun demikian

posisinya tetap berada di bawah struktur ulu apad. Dengan demikian posisi

prebekel ini boleh dikatakan bersifat ganda, artinya dalam struktur kepemimpinan

tradisional berdasarkan sistem ulu apad dimasukkan sebagai pihak yang dapat

menjembatani antara kepemimpinan magelang-gelang dan krama desa (dalam hal

ini bersifat koordinatif dengan pihak internal desa); di sisi lain dia berfungsi

sebagai pihak yang berhubungan dengan pihak luar dalam urusan kedinasan

(bersifat eksternal). Hal ini dilakukan dengan dasar pertimbangan bahwa sistem

kepemimpinan magelang-gelang secara phisik dan psikhis agak kesulitan untuk

melakukan aktivitas ke luar desa sebab pada umumnya ulun desa itu sudah sangat

sepuh. Dengan demikian ulun dusa tersebut lebih banyak mengatur persoalan-

persoalan internal berupa aktivitas budaya dan agama, sedangkan untuk urusan

kedinasan lebih banyak dilakukan oleh Prebekel. Selama ini kondisi ini dinilai

cukup efektif oleh masyarakat Desa Cempaga dan tidak menimbulkan

permasalahan. Andaipun ada persoalan-persoalan selama ini bisa diselesaikan

secara musyawarah mufakat (I Nyoman Ardika, wawancara tgl 28 Nopember

2009). Berikut adalah struktur pemerintahan Desa Cempaga dalam bentuk bagan

Page 30: adaptasi budaya masyarakat bali aga

100

Tabel 4. 4 Struktur Pemerintahan Desa Cempaga

Keterangan : Garis Perintah Garis Koordinasi

TUGU

TAKIN KENAWAN

TAKIN KEKEE

KABAN/PANGENTER

PANGLUNDUAN/JURU GETEK

PASEK

PREBEKEL/KELIAN TEMPEK

KELIAN DESA PEKRAMAN

PETENGEN PENYARIKANN

KELIAN BANJAR DINAS COROT

KELIAN BANJAR DINAS DESA

TEMPEKAN DESA

TEMPEKAN KUTUH

MERANTING

TEMPEKAN COROT

TEMPEKAN GUNUNG

SARI

TEMPEKAN SUMBER

KRAMA DESA CEMPAGA

BALIAN DESA

Page 31: adaptasi budaya masyarakat bali aga

101

4.1.8 Agama dan Kepercayaan

Penduduk Desa Cempaga secara statistik adalah pemeluk Hindu, namun

demikian mereka sebenarnya memiliki tradisi keagamaan yang agak berbeda

dengan agama Hindu umum, dalam artian agama Hindu yang secara resmi diakui

oleh Pemerintah Indonesia (Selanjutnya, agama itu disebut agama Hindu saja).

Tempat peribadatan masyarakat Desa Cempaga berbeda dengan struktur tempat

peribadatan masyarakat Hindu Bali Dataran (orang Cempaga menyebutnya

dengan istilah Nagari). Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya mereka

sebenarnya memiliki tempat pemujaan yang berada dalam rumah, yaitu pada

bagian hulu dari tempat tidur yang berada di bagian paling dalam dari bangunan

saka roras yang disebut papaga. Papaga ini dibuat bertikat dua pada bagian atas

adalah tempat pemujaan bhatara/bhatari sasuhunan, pada bagian bawahnya

adalah tempat pemujaan leluhur yang sudah suci. Pada bagian atas tempat air juga

terdapat papaga yang digunakan sebagai tempat pemujaan roh leluhur yang telah

meninggal namun belum melalui upacara penyucian. Bagi keluarga yang baru

dibentuk ketika mendirikan rumah mereka biasanya membuat sanggah kemulan

pengantenan setelah upacara macingkupan (sahnya sebuah perkawinan) terbuat

dari pohon dapdap memakai rong tiga (wawancara dengan I Nengah Ardika,

Kepala Desa Cempaga, tgl 12 Nopember 2009). Lambat laun mereka mulai

mengadopsi sistem bangunan suci agama Hindu dengan membuat turus lumbung.

Perkembangan lebih lanjut pada tempat suci mereka dibangun gedong catu meres,

catu mujung, taksu, dan manjangan saluang. Perkembangan terakhir

menunjukkan bahwa pada bangunan suci masyarakat Desa Cempaga telah

dilengkapi dengan bangunan meru, padma, dan bangunan gedong ibu. Bangunan

Page 32: adaptasi budaya masyarakat bali aga

102

gedong ibu ini mulai berkembang sekitar akhir tahun 1970 an ketika masyarakat

Desa Cempaga mulai mencari lalintihan atau ngalih soroh. Ngalih lalintihan atau

ngalih soroh ini boleh dikatakan sebuah perubahan besar yang terjadi pada

masyarakat Desa Cempaga. Daerah yang dahulunya dikenal sebagai daerah yang

sangat egaliter dengan sistem kesamen, mulai berubah ketika masyarakat mulai

mencari atau dikenal dengan istilah ngalih lalintihan atau ngalih soroh. Sebuah

upaya untuk menelusuri asal usul dan silsilah keluarga, yang pada umumnya

berorientasi pada sistem yang berkembang dalam tradisi Bali Nagari, tradisi besar

yang berorientasi ke Klungkung sebagai pusat kekuasaan pada masa kerajaan di

Bali.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa religiusitas masyarakat Desa

Cempaga telah berkembang secara evolutif mulai dari sistem religi sebelum

masuknya pengaruh Hindu hingga tersebar luasnya ajaran-ajaran Hindu

sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah saat ini. Data arkeologi yang ditemukan

di Desa Cempaga menunjukkan bahwa masyarakat Desa Cempaga memiliki

tradisi keagamaan yang sudah sangat tua usianya. Berdasarkan temuan beberapa

sarkofagus di kebun cengkeh bagian belakang rumah Bapak I Made Darmawan,

mengindikasikan bahwa pada masa pra-Hindu di desa ini sudah berkembang

sistem religi yang memberikan penghormatan dan perlakuan khusus terhadap

mayat. Sarkofagus-sarkofagus menurut pandangan para arkeolog adalah tempat

menyimpan tulang belulang mayat tokoh masyarakat setelah melalui sistem

penguburan sebelumnya. Pada saat tulang belulang itu dimasukkan ke dalam

sarkopag diberikan bekal kubur. Pemberian bekal kubur ini dimaksudkan sebagai

bekal dalam perjalanan menuju alam roh. Dengan demikian dapat dikatakan

Page 33: adaptasi budaya masyarakat bali aga

103

bahwa dalam tradisi megalitik sudah dikenal adanya alam roh sebagai tempat

yang akan dituju oleh arwah para leluhur yang telah meninggal dunia

(Kusumawati, 2002: 33).

Sarkofagus-sarkofagus yang ditemukan di kebun I Made Drmawan kini

kondisinya sudah rusak, disamping karena usia, juga disebabkan oleh aktivitas

manusia dalam mengerjakan tanah perkebunan yang secara tidak sengaja

mempercepat rusaknya kondisi sarkofagus-sarkofagus dimaksud. Menurut I Made

Darmawan, di sekitar kebunnya dahulu ditemukan beberapa sarkofagus, namun

kini yang tersisa hanya dua buah seperti terlihat pada gambar berikut ini (lihat

gambar 4.12).

Gambar 4.12 Dua buah sarkopag yang masih tersisa di ladang I Made Darmawan (Dok. Budi Utama)

Tradisi pemujaan roh leluhur sebagai bentuk religi masa pra Hindu tetap berlanjut

hingga saat ini. Hal ini dapat dilihat dari struktur bangunan palinggih di Pura Desa

Bale Agung. Nama-nama dewa-dewa yang dipuja oleh masyarakat jelas

mengindikasikan nama-nama Dewa agama lokal. Tradisi ini hingga saat ini masih

tetap berlangsung, meskipun pengaruh agama Hindu telah tersebar luas di Desa

Cempaga. Di Desa Cempaga tidak dikenal pura kahyangan tiga seperti halnya

Page 34: adaptasi budaya masyarakat bali aga

104

pada desa-desa di Bali Dataran. Di Desa Cempaga terdapat satu Pura Desa Bale

Agung (lihat gambar 4.13), tetapi pengertiannya bukan Pura Desa sebagai tempat

pemujaan Dewa Brahma sebagaimana konsep pura kahyangan tiga di daerah Bali

Dataran.

Pura Desa Cempaga adalah tempat suci penyungsungan desa sebagai

tempat pemujaan terhadap sasuhunan desa yaitu 1) Dewa Manik Galih, 2) Dewa

Manik Merta, 3) Dewa Rambut Sedana, 4) Dewa Ratu Bagus Cili, 5) Ratu Gede

Pasek, 6) Dalem Selonding, 7) Dewa Bagus Batur. Selain Pura Desa di Desa

Cempaga juga terdapat pura lainnya yaitu 1) Pura Cepug, 2) Pura Rambut Naga

atau sering juga disebut Pura Bakung, 3) Pura Segara Labuhan Aji, 4) Pura

Pendem, 5) Pura Cescesan serta beberapa pura milik keluarga/klan. Selain pura

Desa Bale Agung terdapat beberapa tempat yang menduduki posisi penting dalam

sistem religi masyarakat Desa Cempaga yaitu Pura Cepug, Pura Rambut Naga,

Pura Buangga, dan Kayehan Desa. Bila ada upacara di Pura Desa Bale Agung,

maka harus dilakukan pamendakan terlebih dahulu ke Pura Cepug dan Pura

Rambut Naga. Sementara itu Pura Buangga memiliki posisi penting karena di sini

terdapat mata air yang biasanya digunakan sebagai air suci untuk kepentingan

upacara dewa yadnya, sedangkan mata air dari kayehan desa digunakan sebagai

sarana penting dalam upacara manusa yadnya.

Page 35: adaptasi budaya masyarakat bali aga

105

Gambar 4.13 Pura Desa Bale Agung Cempaga (Dok. Budi Utama)

Menurut I Made Juwika Pura Desa Bale Agung ini dibangun belakangan

dari Pura Cepug (lihat gambar 4.14) dan Rambut Naga (lihat gambar 4.15). Hal

ini didasarkan pada pelaksanaan ritual di Pura Desa Bale Agung belum bisa

dilakukan bila belum mendak Ida Bhatara di Pura Cepug dan Rambut Naga.

Dengan demikian secara struktural tampaknya Pura Cepug dan Rambut Naga

memiliki posisi lebih tua (wawancara tgl 28 Nopember 2009).

Gambar 4.14 Pura Cepug (Dok. Budi Utama)

Page 36: adaptasi budaya masyarakat bali aga

106

Gambar 4.15 Pura Rambut Naga (Dok. Budi Utama)

Sebelum masuknya pengaruh Bali Nagari dalam arti Hindu , masyarakat

Cempaga menggunakan tirtha bulakan (sumber air) di Pura Buangga dan kayehan

desa untuk kepentingan penyelesaian ritual mereka. Pada waktu itu kondisi alam

masih sangat bagus sehingga kedua sumber air ini masih sangat asri dan

memberikan air yang cukup bagi kepentingan masyarakat. Sumber air ini bukan

hanya untuk kepentingan ritual tetapi juga digunakan sebagai sumber air untuk

keperluan sehari-hari seperti mandi, mencuci, untuk air minum dan sebagainya.

Debit airnya saat ini sudah sangat kecil, sehingga masyarakat harus

menampungnya perlahan-lahan dengan menggunakan ember atau alat penampung

lainnya.

Salah satu upacara yang sangat meriah di Desa Cempaga adalah upacara

Sabha Kuningan atau secara lebih singkat disebut Kuningan saja. Hari raya

Kuningan ini dirayakan selama tiga hari yaitu mulai hari Saniscara Kliwon

Kuningan sampai dengan hari Soma Paing Langkir. Hari raya Kuningan yang

dirayakan umat Hindu di Desa Cempaga, juga merupakan rangkaian hari raya

Page 37: adaptasi budaya masyarakat bali aga

107

Galungan. Ada beberapa kekhasan pelaksanaan Galungan dan Kuningan di Desa

Cempaga.

Daweg tahun tujuh puhahan perayaan Galungan punika sampun dimulai ngedas lemahang ring Galungane nganti ngedan lemahang Manis Galungan. Ring suwang-suwang dadia kawentenang upacara sane kapuput antuk dane Balian Desa/Jero Mangku. Kasuen-suen leleh desane, raris ingkup pacang kemargian ring pura Desa Bale Agung.Sowang-sowang makta aturan. Sapunika taler indik Kuningane magenah ring pura Desa Bale Agung ( I Made Juwika, wawancara tgl 25 Juni 2007)

Artinya,

Pada sekitar tahun 1970-an, upacara pada saat Galungan dimulai dari subuh Galungan hingga saat subuh Manis Galungan. Hal ini disebabkan karena pada masing-masing dadia diadakan upacara. Pemangku Desa memimpin upacara Galungan dari satu dadia ke dadia yang lainnya, sehingga pelaksanaan Galungan di Desa Cempaga bisa berlangsung selama 24 jam bahkan lebih. Hal ini lambat laun dirasakan oleh masyarakat cukup melelahkan. Akhirnya disepakati bahwa pada saat Galungan perayaannya dipusatkan pada Pura Desa Bale Agung, dan masing-masing dadia membawa banten ke Pura Desa Bale Agung. Demikian pula halnya dengan perayaan Kuningan di pagi hari dilaksanakan juga di Pura Desa Bale Agung.

Menurut Juwika, hari raya Kuningan di samping sebagai rangkaian hari

raya Galungan, juga merupakan piodalan Ida Bhatara yang ber-stana di pura

Labuan Aji. Bhatara ini lazim dikenal dengan sebutan Dewa Bagus Tulak Sanjata.

Perayaannya berlangsung selama 3 hari mulai dari Saniscara Kliwon Kuningan

sampai dengan Soma Paing Langkir. Pada hari terakhir pelaksanaan Sabha

Kuningan, Balian Desa akan mengalami trance dan memohon kehadiran para

dewa, sampai akhirnya Ida Bhatara di Pura Labuhan Aji (Dewa Bagus Tulak

Sanjata) berkenan hadir. Kehadiran Ida Bhatara di Pura Labuhan Aji ini menjadi

pertanda bahwa pelaksanaan upacara Sabha Kuningan berakhir. Untuk perayaan

Sabha Kuningan ini dipentaskan beberapa jenis tarian di antaranya Tari Baris

Jangkang, Tari Baris Dapdap dan Tari Pendet, serta Tari Rejang yang berjumlah

Page 38: adaptasi budaya masyarakat bali aga

108

15 jenis Tari Rejang. Upacara Sabha Kuningan di Desa Cempaga Kecamatan

Banjar Kab Buleleng pada intinya terdiri atas tiga bagian : 1). persiapan upacara,

2). puncak upacara dan 3). penutup /pengelemek.

1) Pesiapan Upacara

Dalam persiapan upacara ini prajuru desa bersama krama desa

melaksanakan tiga kegiatan yaitu (1) kerja bhakti (ngayah), (2) berburu

(maboros) dan (3) memotong babi (ngebat). Empat hari sebelum hari raya

Kuningan yaitu tepatnya pada hari Selasa / Anggara Umanis Kuningan prajuru

desa, krama desa dan krama truna melaksanakan kerja bhakti / ngayah. Krama

desa ngayah di lingkungan Pura Desa Bale Agung yaitu melaksanakan kegiatan

pembersihan di lingkungan pura. Krama truna melaksanakan kegiatan

pembersihan di Pura Pengulu Cepug dan Pura Rambut Naga. Namun sebelum

kerja bakti dilakukan (sekitar pukul 08.00 pagi) Sayan desa memanggil krama

desa yang disebut ngauk, dengan mengambil tempat di bale agung, duduk bersila

dengan kedua tangannya memegang tiang / tampul bale agung/gede, sedangkan

kalimat yang diucapkan adalah ” Desa pesu ngudud, pesu ngudud, pesu ngudud ”

Artinya, masyarakat dimohon datang ke pura untuk melakukan kegiatan

pembersihan lingkungan pura. Setelah pengumuman itu barulah krama desa kerja

bhakti / ngaturang ayah. Setelah selesai kerja bhakti, krama desa selanjutnya

mendengarkan pengarahan dari prajuru desa. Adapun infomasi yang disampaikan

adalah Krama desa wajib berburu (selama tiga hari), mulai hari Kamis /

Werespati Pon Kuningan sampai dengan Sabtu / Saniscara Kliwon Kuningan,

Page 39: adaptasi budaya masyarakat bali aga

109

habis berburu krama desa wajib membawa kayu api, kelapa, daun, klatkat dan

katikan sate.

Partisipasi masyarakat dalam rangka kerja bhakti ini cukup baik, sehingga

pekerjaan yang dilakukan sangat ringan, karena dilaksanakan secara bersama-

sama oleh krama desa Cempaga.Sesuai dengan infromasi yang disampaikan oleh

prajuru desa, yaitu mulai hari Kamis/ Wraspati Pon Kimingan ( selama 3 hari)

krama desa Cempaga berburu mencari kijang di sekitar wilayah Desa Cempaga.

Akan tetapi, binatang ini sudah sangat langka bahkan di Desa Cempaga binatang

ini sangat sulit didapatkan. Menurut Wayan Retug (91 tahun, wawancara tgl 25

Oktober 2009) selaku ulun desa Cempaga, jika mendapatkan kijang maka

pelaksanaan Upacara Sabha Kuningan diperpanjang waktunya lagi 2 (dua) hari.

Perpanjangan atau sambungan ini disebut Naksuin. Dalam awig-awig desa adat

Cempaga yang ditulis oleh Wy Anyaran tahun 1933 dinyatakan sebagai berikut.

”...yan polih kidang lua kaebat, luir ebatannya jqjeruk, gagecok, urab putih, timbungan. Yang polih kidang muani maebat kadi arep minakadi jajeruk, gagecok, urab putih, timbungan, maweweh jejatah lembat asem. Walunge wmangun urip urabnya kakawis, kacacarang ring samping kawian bawine, yan polih kidang muani wenang masambung karya kuningan punika, sambungane mawasta karya Naksuin”

Artinya, bila memperoleh kijang betina diolah menjadi berabagai jenis makanan seperti jajeruk, gagecok, urab putih, timbungan. Bila yang diperoleh kijang jantan diolah sebagaimana jenis olahan kijang betina, namun ditambah dengan olahan berupa sate. Olahan dimaksud ditempatkan di samping olahan makanan yang berbahan babi. Bila memperoleh kijang jantan dalam perburuan, upacara kuningan tersebut diperpanjang perayaannya yang disebut dengan Naksuin.

Paparan di atas memberikan petunjuk bahwa ada perbedaan jenis makanan

olahan dari binatang hasil buruan. Bila yang diperoleh kijang jantan maka

olahannya ditambah dengan sejenis sate yang disebut sate asem. Olahan daging

kijang ini adalah sebagai tambahan dari berbagai bentuk olahan yang terbuat dari

Page 40: adaptasi budaya masyarakat bali aga

110

daging babi. Keterangan di atas dikutip dari catatan yang dibuat oleh I Wayan

Anyaran.Wayan Anyaran adalah Keliah Desa Cempaga (pada waktu itu disebut

Prabekel) pada sekitar tahun 1930-an. Kepemimpinan kemudian dilanjutkan oleh

putranya Bapak Wayan Ngembak. Setelah Bapak Wayan Ngembak meninggal

digantikan oleh anaknya bernama I Putu Mustika. Pada awalnya Prabekel Desa

dijabat secara turun temurun, namun sejak tahun 1971 dimulailah sistem

pemilihan langsung untuk jabatan Prabekel ini. Putu Mustika adalah Prabekel

pertama di Desa Cempaga hasil pemilihan langsung (wawancara dengan informan

I Putu Mangku, tgl 12 Nopember 2009).

Dalam kenyataannya kijang sudah sangat sulit didapatkan bahkan sudah

sejak beberapa tahun yang lalu tidak pernah melasanakan upacara Naksuin ,

sehingga Upacara Subha Kuningan tidak pernah dilaksakan dengan perpanjangan

waktu (nyambungin). (Wawancara dengan Jro Mangku Putu Mertha tgl 7 April

2009)

Sebelum acara ngebat dilaksanakan, pada pagi hari Sabtu/Saniscara

Kliwon Kuningan, sayan truna mengambil seperangkat gong, tumbak dan lain-

lain yang disimpan pada rumah prajuru desa/ngamedalang druwe desa, untuk

selanjutnya diatur sesuai dengan tempatnya masing-masing, sedangkan truna

daha yang dipimpin oleh kelian daha, dibantu oleh sayan daha menghias seluruh

palinggih dan bale-bale yang ada di pura Desa Bale Agung. Pada hari ini juga

krama daha ngamedalan pratima / pralingga.

Setelah alat-alat dimaksud dipersiapkan dilanjutkan dengan upacara

penyucian terhadap palinggih-pelinggih dan sarana-sarana upacara lainnya,

dengan menghaturkan upakara-upakara yang berbentuk banten. Adapun banten

Page 41: adaptasi budaya masyarakat bali aga

111

yang digunakan adalah pengulapan, pegambean, suci tarpana, dan prayascita.

(wawancara dengan Balian Desa Putu Mertha, 28 Oktober 2009). Selanjutnya

sekeha gong metabuh, yang disebut dengan tabuh anggap-anggapan, segsegan,

landing (wawancara dengan Made Juwika, tgl 12 Nopember 2009). Sekitar pukul

09.30 WITA. Sayan desa memanggil krama desa dengan mengambil tempat di

bale gede/agung yang disebut dengan ngauk. Sayan desa ini duduk bersila di hale

gede/agung kedua tangannya memegang tampul /tiang bale tersebut dengan

mengucapkan kalimat-kalimat sebagai berikut. ”Desa pesu jaja nasi, Desa pesu

jaja nasi, Desa pesu jaja nasi. Desa pesu ngebat, Desa pesu ngebat, Desa pesu

ngebat” Artinya, krama desa datang ke pura untuk ngebat dan krama desa yang

perempuan bersiap-siap untuk menghaturkan jajan dan nasi yang akan digunakan

pada malam harinya.

Sementara itu sekaha gong kembali metabuh dengan tabuh : tabuh kale,

galak manis, gegerudugan, dan gegoblegan. Untuk mengiringi krama desa

memotong babi / ngebat. Pada saat ini krama desa membagi diri ada yang

memotong babi, ada yang membuat bumbu, ada yang memarut kelapa. Krama

desa membuat lawar yang berupa urab barak, urab putih, gegecok, dan

timbungan (urab kuning) sedangkan krama truna membuat sate. Lawar tersebut

dibagai menjadi dua bagian. Sebagian digunakan untuk sarana upakara dan

sebagian lagi dibagi / di- tanding berdasarkan keperluan untuk sarana upacara

ditempatkan pada bagian atas bale gede / agung. Setelah selesai barulah sayan

desa memangil krama desa / ngauk, dengan kalimat, ”Desa juang kemis, Desa

juang kemis, Desa juang kemis” (artinya, krama desa dan krama truna hadir ke

pura desa untuk mengambil haknya berupa lawar atanding).

Page 42: adaptasi budaya masyarakat bali aga

112

Selanjutnya sayan truna memanggil taruna/ngauk dengan kalimat yang berbunyi,

”Taruna juang kemis, Taruna juang kemis, Taruna juang kemis” ( artinya krama

desa dan krama truna hadir ke pura desa untuk mengambil haknya berupa lawar

atanding ) (wawancara dengan Made Juwika, 12 Nopember 2009). Setelah krama

desa mengambil haknya yaitu berupa lawar atanding maka sekehe gong berhenti

juga menabuh.

Pada malam harinya dilanjutkan dengan sembahyang bersama yang diikuti

oleh krama desa, krama truna dan krama daha. Adapun tujuan sembahyang

adalah memohon perlindungan , memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang

Widhi. Upakara/banten yang digunakan yaitu suci, sorohan alit, peras pajati,

daupan, tebasan prayascita, pangulapan pangambean, tipat kelanan, bekakak

ayam, tumpeng adanan, gula kelapa, pangiring.Semua banten ini ditempatkan

pada Sakapat Sari palinggih I Dewa Bagus Cili Bagus, sedangkan pada

palinggih-palinggih yang lainnya dihaturkan canang sari dan pangiring.

Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan ngaturang ayah. Pada

saat ini krama desa perempuan menghaturkan nasi atakeh dan jajan. Nakeh nasi

tersebut dilakukan oleh ulu desa yaitu takin, sedangkan penglunduan / juru getek

memotong balung/ ngetek balung. Dua krama desa yang terakhir / krama desa

yang baru disebut dengan Pamwit melaksanakan tugas yaitu membagi daun

pisang, sebagai bahan untuk alas cacaran, sedangkan krama truna melakukan

tugas yaitu membagi banten. Sebelum dimulai diawali dengan memangil krama

truna ngauk, ucapan kalimatnya adalah ”Taruna pesu masagi banten, Taruna

pesu masagi banten, Taruna pesu masagi banten” (artinya, krama taruna

diharapkan mempersiapkan materi-materi upacara). Selanjutnya krama taruna

Page 43: adaptasi budaya masyarakat bali aga

113

masagi banten dijeroan, yaitu nanding canang berisi base, buah pamor, nasi dan

lawar. Selesai nakeh nasi dan ngetek balung dilanjutkan dengan mecacar,

sebelum mecacar, sayan desa ( lihat gambar 4.16) memangil krama desa (ngauk)

dengan ucapan kalimatnya, ”Desa pesu macacar, Desa pesu macacar, Desa pesu

macacar” (artinya, krama desa disilakan untuk mengambil pembagian makanan

yang telah disiapkan bersama ).

Gambar 4. 16 Sayan Desa sedang Ngauk (Dok. Made Juwika)

Sayan taruna juga memangil krama taruna I ngauk dengan ucapan kalimatnya,

”Taruna pesu macacar, Taruna pesu macacar, Taruna pesu macacar” ( artinya,

krama taruna disilakan untuk mengambil pembagian makanan yang telah

disiapkan. Pada waktu acara pembagian makanan ini sekeha gong metabuh,

krama desa dan krama teruna mulai macacar, cacaran ini dibuat sesuai dengan

jumlah krama yang ada. Macacar dilaksanakan di bale gede / agung. Pada bagian

ulu/timur dihaturkan berupa capaan, sebagai alas capaan ini berupa kekeb yang

Page 44: adaptasi budaya masyarakat bali aga

114

didalamnya diisi base, buah dan pamor. Bunganya bangsah yaitu bunga pinang

yang masih muda. Dalam macacar ini juga dibuat pasegeh berjumlah 9

(sembilan) untuk di jeroan , 6 (enam) untuk di jaba tengah dan dan 35 ( tiga

puluh lima) untuk prajuru desa pada saat ini kramu taruna menarikan sebuah tari

sakral yang disebut Tari Boris Tumbak (Igel Taruna).

Acara dilanjutkan dengan sayan desa membawa bakulan ke rumah balian

desa. Bakulan adalah semacam pemberitahuan agar balian desa datang ke pura

desa untuk melaksanakan upacara ritual / nganteb. Ketika sayan desa berangkat

menuju rumah balian desa, sekaha gong metabuh yang disebut dengan tabuh

taksu. Maksudnya adalah agar persembahan krama yang berupa cacaran itu dapat

dilihat dan untuk selanjutnya di terima Ida Sang Hyang Widhi (wawancara

dengan Jro Balian Desa Putu Mertha, 22-8- 2009).

2) Puncak upacara

Puncak upacara Sabha Kuningan dilaksanakan pada pagi hari

Minggu/Redite Umanis dengan menghaturkan banten berupa suci, sorohan alit,

peras pajati, daupan, tebasan, prayascita, pangulapan pangambean, tipat

kelanan bekakak ayam, tumpeng adanan, gula kelapa, pangiring, cacaran dan

sagi banten. Upacara dilaksanakan dengan menuntun Ida Bhatara yang bergelar

Dewa Bagus Tulak Sanjata yang ber-stana di Pura Labuan Aji, Dewa Gede

Ngurah Pasek, Ida Ratu Mas Manik Subandar, Dewa Bagus Ngawa Gumi, Dewa

Ayu Mas Manik Merincing, dan Sedahan Prataksu. Acara ini dilanjutkan dengan

tari wali / tari sakral yaitu tari keagamaan dalam artian tari yang khusus

dipertunjukkan dalam rangka hari raya keagamaan. Dalam mitologi tari maka

Page 45: adaptasi budaya masyarakat bali aga

115

semua tari diciptakan oleh Dewa Brahma namun sebagai dewa tarinya adalah

Dewa Siwa yang terkenal dengan sebutan Siwa Nata Raja (Triguna, 2003:vii).

Semua gerak tangan dan tubuh Dewa Siwa memberikan arti dan mengandung

kekuatan kosmos, sehingga tarian wali ini diciptakan tidak hanya mementingkan

keindahan tari seperti rupa dan pakaian, namun tarian ini mengandung arti dari

sikap simbolik yang kesemuanya menyerupai gerakan-gerakan "Mudra" sehingga

tarian ini memiliki kekuatan sekala dan niskala.

Tari wali merupakan salah satu bagian dari kesenian yang menurut

perspektif Hindu mempunyai kedudukan yang sangat mendasar. Kehidupan

agama Hindu tidak bisa dilepaskan dari kesenian. Upacara yadnya di tempat-

tempat suci tak bisa dilepaskan dari seni, seperti seni suara, tari, karawitan, seni

lukis dan sastra. Dengan keterlibatan seni, upacara yadnya menjadi kelihatan

meriah dan khidmat. Setiap kesenian yang dipentaskan dilandasi oleh filsafat

agama yang tinggi. Para penari (pragina) dalam semangat ngayah

mempersembahkan kesenian tersebut sebagai wujud bhakti. Seni adalah dunia

medium antara materialisme dunia dan kerohanian yang kekal. Seni adalah

sesuatu yang memuat hal-hal yang transendental, sesuatu yang tak dikenal

sebelumnya, dan kini dikenal lewat karya seorang seniman (Sumardjo, 2000: 10).

Adapun jenis-jenis tari wali yang dipersembahkan oleh krama desa

Cempaga dalam rangka upacara Sabha Kuningan adalah (1). Tari Jangkang, (2).

Tari Baris, (3). TariPendet, (4). Tari Rejang.

(1) Tari Jangkang (lihat gambar 4.17) ditarikan oleh anak-anak usia sekolah

dasar. Peserta Tari Jangkang ini berjumlah sekitar 20 — 25 orang, dengan

membawa tongkat dan keris.Tari Jangkang ini mempunyai makna pertahanan

Page 46: adaptasi budaya masyarakat bali aga

116

(jangka + ng = tahan) dan ketajaman pikiran dalam melaksanakan upacara

yadnya.Tari Jangkang ini membawa perlengkapan berupa tongkat kelengisan

yang terbuat dari pelepah pohon sejenis pohon enau.

Gambar 4.17 Tari Jangkang (Dok. Budi Utama)

(2) Tari Baris yang ada di Desa Cempaga terdiri atas dua jenis yaitu Tari Baris

Jojor dan Tari Baris Dadap. Tarian ini ditarikan oleh masyarakat Cempaga yang

berumur sekitar 17 tahun sampai dengan 25 tahun. Peserta bisa yang belum

menikah ataupun sudah menikah. Sarana yang dibawa tari Baris ini adalah keris

dan sebatang pohon dadap. Tari ini merupakan simbol keterangan dan ketazaman

pikiran untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tari Baris Jojor ini penarinya hanya satu orang dan tidak membawa perlengkapan

/ sarana. Tari Baris Jojor ini (lihat gambar 4.18) juga disebut dengan Nyawi.

Page 47: adaptasi budaya masyarakat bali aga

117

Gambar 4. 18 Baris Jojor (Dok. Budi Utama)

Tari Baris Dadap ditarikan oleh empat orang atau lebih. Penarinya berpasangan

antara yang satu dengan yang lainnya dengan membawa sarana berupa cabang

pohon dadap dan dibentuk sedemikian rupa yang panjangnya sekitar 30 cm dan

pada ujungnya diisi gongseng dan membawa keris. Ketika tari Baris Dadap ini

dipentaskan, juga diiringi dengan topeng / tapel. Topeng atau tapel ini (lihat

gambar 4.19) difungsikan oleh krama desa yang membayar kaul / naur sesangi

untuk membantu membawakan bantennya dari rumahnya masing -masing untuk

selanjutnya dibawa ke Pura Desa. Banten-banten tersebut dihaturkan kepada Ida

Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya yang dipimpin oleh Balian Desa

dibantu oleh para pemangku. Biasanya setiap krama yang membayar kaul selalu

memanfaatkan topeng / tapel ini untuk membantu membawakan bantennya.

Page 48: adaptasi budaya masyarakat bali aga

118

Gambar 4.19 Pembawa sasangi bertopeng (Dok. Budi Utama)

(3) Tari Pendet, dengan penari 6 orang. Tarian ini adalah cetusan rasa bakti

kepada Ida Bhatara. Penari Pendet ini dilakukan oleh penari pria da wanita yang

pada umumnya terdiri dari daha dan taruna yaitu mereka yang belum kawin .

Dalam pandangan masyarakat Desa Cempaga daha taruna dan taruni ini sedang

dipengaruhi oleh Sang Hyang Semara dan Dewi Ratih sehingga mereka ini

merupakan bunga kesayangan masyarakat. Alat yang dibawa pada saat menari

adalah alat-alat pesucian berupa canang sari yang dipersembahkan kepada

Bhatara sebagai tanda bhakti kepada Ida Bhatara (wawancara dengan Jero

Mangku Balian Desa, 22-8-2009). Dengan demikian pada puncak upacara ini ada

3 (tiga) jenis tari yang wajib dipersembahkan kepada Ida Bhatara, sebagai tanda

bakti kepadanya.

Page 49: adaptasi budaya masyarakat bali aga

119

(4) Tari Rejang, tarian ini khusus ditarikan dalam rangka ngalurang pangelemek

yaitu mulai Hari Mmggu/Redite Umanis Langkir pada malam hari.

3) Upacara Penutup/ Pangelemek

Upacara Pengelemek ini dilaksanakan mulai malam hari yaitu hari Minggu

/ Redite Umanis Langkir. Pada proses ritual ini banten yang digunakan adalah

banten pajati, tipat kelanan, canang raka, dan runtutan aturan / banten yang

merupakan persembahan krama Desa Cempaga. Upacara pangelemek ini diiringi

Tari Rejang. Tari Rejang di desa Cempaga merupakan media untuk menuntun Ida

Bhatara yang turun ke pura Desa Bale Agung. Melalui tari Rejang Unda (unda =

ngunda = memindahkan) inilah dipindahkan kekuatan-kekuatan super natural

kepada Balian desa, sehingga akhirnya balian desa kesurupan / trance.

Di Desa Cempaga dikenal berbagai jenis tari rejang yaitu 1). Rejang Embatan

Penyalin, 2). Rejang Tanding Pelayon, 3). Rejang Lilit Nyali, 4). Rejang Sing

Bantas, 5). Rejang Sirig Samping, 6). Rejang Kepet, 7). Rejang Embung Kelor, 8).

Rejang Galuh, 9)Rejang Renteng, 10). Rejang Depa, 11). Rejang Pengecek

Galuh, 12). Rejang Bengkol, 13). Rejang Renteng, 14). Rejang Legong, Dan 15).

Rejang Unda.

Masing-masing tari rejang tersebut ditarikan dengan mengelilingi api

unggun di halaman pura desa tepatnya pada jaba tengah pura desa Cempaga.

Setiap satu jenis tarian rejang tersebut ditarikan , diakhiri dengan istirahat selama

kurang lebih 15 sampai dengan 25 menit. Waktu tersebut dimanfaatkan oleh

topeng/tapel yang disebut topeng bebanyolan. Tapel ini menyampaikan beberapa

tema permasalahan yang sebelumnya dialami oleh masyarakat. Ketika para penari

Page 50: adaptasi budaya masyarakat bali aga

120

topeng ini mendengar permasalahan - permasalahan yang dialami masyarakat

selanjutnya tema-tema tersebut disampaikan di hadapan umum. Maknanya adalah

agar masyarakat mengendalikan diri terhadap masalah-masalah yang seharusnya

tidak terjadi (wawancara dengan I Made Juwika, 22-8-2009).

Rejang di Desa Cempaga ditarikan oleh wanita-wanita yang belum kawin

(daha). Rejang ini menggunakan pakaian yang cukup sederhana, menggunakan

gelungan (hiasan kepala) dengan hiasan bunga-bunga yang terbuat dari perak dan

sekar taji yang terbuat dari batang pohon pelendo, serta "Onggar" yang juga

terbuat dari batang pohon pelendo, yang dibentuk seperti bunga / kembang

(wawancara dengan Jero Balian Desa, tgl 22-8-2009).

Sebagaimana telah dinyatakan di atas, bahwa melalui Rejang Unda,

balian desa kasurupan ( trance ), Ida Bhatara yang turun / tedun bergelar I Dewa

Ayu Muterin Jagat. Ketika balian desa dalam keadaan trance Prajuru desa

memohon petunjuk kepada ida bhatara melalui balian desa dengan menggunakan

canang sari (nangkil nunas rawos). Jero Balian Desa dalam kondisi sedang

kasurupan / trance, mengundang para dewa lainnya untuk hadir/ tedun. Menurut

tradisi Desa Cempaga kejadian dimaksud dikenal dengan istilah narek . Pada saat

upacara narek ini diiringi dengan Tabuh Kelepuk Tingkih, Tabuh Gegambuhan,

Tabuh Ujar-Ujar Perahu, dan Tabuh Galak Ganjur. Pada saat ini biasanya setiap

klan/keluarga ada saja yang kesurupan /trance. Mereka yang mengalami trance

ini disebut permas. Setelah memarek, para permas menari yaitu yang disebut

dengan Tari Pendet, Tari Condong, Tari Baris Acara dilanjutkan dengan

ngaturang pengeluar menggunakan sarana banten pengeluar berupa caru manca

warna.(wawancara dengan Jero Balian Desa, 22-8-2009).

Page 51: adaptasi budaya masyarakat bali aga

121

Sebagai acara terakhir dilanjutkan dengan sembahyang bersama yang

dipimpin oleh Balian Desa/pemangku di pura desa, dengan diawali Puja Tri

Sandhya dilanjutkan dengan keramaning sembah. Sebelum Puja Tri Sandhya dan

setelah kramaning sembah, sekaa santi melaksanakan / menyanyikan kidung

dewa yadnya. Menurut I Made Juwika acara terakhir ini merupakan

perkembangan belakangan setelah adanya sosialisasi tentang kramaning sembah

oleh Parisada (wawancara 22-8-2009).

Dari paparan ini tampak bahwa tata pelaksanaan upacara keagamaan di

Desa Cempaga mengalami proses rekonstruksi secara evolusi dengan mengadopsi

tata cara persembahyangan yang direkomendasikan oleh lembaga keagamaan

Parisada Hindu Dharma Indonesia.

4.1.9 Kesenian

Kehadiran seni terkait dengan kepentingan upacara di pura Desa Bale

Agung sebenarnya belum diketahui secara pasti. Namun demikian berdasarkan

catatan yang ditemukan di Bale Gong Pura Desa Bale Agung, tercatat bahwa Bale

Gong ini pernah dipugar pada tahun 1942 (24 Nopember 1942). Catatan yang ada

pada Bale Gong dimaksud menggunakan angka tahun Jepang (lihat gambar 4.20),

jika di Indonesiakan menjadi 1942. Dari catatan ini menunjukkan bahwa kegitan

berkesenian khususnya yang berkaitan dengan kegiatan upacara di Pura Desa Bale

Agung paling tidak telah tercatat pada tahun 1942.

Page 52: adaptasi budaya masyarakat bali aga

122

Gambar 4.20 Catatan dengan menggunakan sistem angka tahun kalender Jepang

di Bale Gong Pura Desa Bale Agung

Tentu saja kesenian yang berkembang di Desa Cempaga umurnya sudah jauh

melebihi catatan yang ada di Pura Desa Bale Agung tersebut. Hal ini didasarkan

pada catatan yang dibuat oleh I Anyaran yang diperkirakan dibuat pada sekitar

tahun tiga puluhan. Semua kesenian yang berkembang di Desa Cempaga semata-

mata diperuntukkan bagi kepentingan upacara keagamaan. Sampai saat ini, selain

seni tabuh dan tari untuk upacara, sudah berkembang pula seni pasantian, dan seni

karawitan/tabuh. Seperangkat Gong hasil swadaya masyarakat Desa Cempaga

kini baru saja dibeli dan telah dibentuk sekaa, tepatnya pada tanggal 4 Nopember

2009 (I Nyoman Ardika, wawancara tgl 12 Nopember 2009).

Untuk kesenian yang terkait dengan kegiatan upacara agama sebagaimana

terpapar sebelumnya, sepenuhnya bersifat suka rela atau dikenal dengan istilah

ngayah. Mereka tidak terikat dalam bentuk sekaa, tetapi benar-benar sebagai

spontanitas bentuk bhakti kepada bhatara dan bhatari di pura. Para penarinya

biasanya mulai berlatih Soma Kliwon Kuningan untuk pementasan pada hari

Page 53: adaptasi budaya masyarakat bali aga

123

Redite Paing wuku Langkir. Secara teknis mereka hanya punya waktu sekitar 5

hari untuk persiapan tampil pada acara Sabha Kuningan.

4.2 Gambaran Umum Regulasi Negara di Bidang Agama pada Masyarakat

Bali Aga

Agama adalah hasil proses dialetika inspirasi Tuhan dalam bentuk wahyu,

dengan kenyataan-kenyataan pada manusia berikut kondisi objektif sejarahnya.

Agama yang diwahyukan Tuhan bukan bentuk agamanya, melainkan nilai-nilai

ajarannya. Nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, persaudaraan, dan lain sebagainya

adalah inspirasi (wahyu) Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat. Agama bukanlah

entitas tertutup sebagaimana selama ini dipahami banyak orang. Akan tetapi

agama bersifat terbuka, terbuka bagi perubahan-perubahan yang ada, karenanya

agama tidak mengenal finalitas. Demikian juga dengan umat beragama, akan

selalu berproses, berdialog, beradaptasi, dan berinteraksi dengan lingkungan

(Abdullah, 2004: xiii). Ini berarti dalam kontekstualnya agama mengalami

tranformasi sejalan dengan perubahan pengetahuan dan kebutuhan pemeluknya.

Dengan begitu agama bisa diterima oleh pemeluknya pada setiap zamannya sesuai

dengan interpretasi dan pemahaman yang berkembang seturut dengan perubahan

lingkungan di tempat agama itu diterima. Dalam hal ini tentu termasuk sesuai

dengan kebutuhan negara di mana tempat agama itu dipraktikkan oleh para

pemeluknya karena bagi negara agama dapat dijadikan instrumen politik dan

pengendalian sosial.

Regulasi negara dalam bidang agama mengharuskan masyarakat Bali

menyesuaikan struktur ajaran agamanya mengikuti pola-pola yang telah

Page 54: adaptasi budaya masyarakat bali aga

124

ditetapkan oleh negara sehingga agama Hindu akhirnya diakui sebagai salah satu

agama resmi di Indonesia. Penetapan agama Hindu sebagai salah satu agama yang

berada di bawah naungan Kementrian Agama pada waktu itu, memberi dampak

besar terhadap rasa percaya diri masyarakat Bali sehingga berdiri sejajar dengan

agama-agama lainnya di Indonesia. Penataan struktur agama Hindu sebagaimana

tergambar dalam kitab Upadesa selanjutnya diikuti oleh sosialisasi ajarannya

kepada masyarakat luas. Gerakan-gerakan menuju pada keseragaman ajaran mulai

dilakukan, tentunya hasil kerjasama antara pemerintah sebagai pemegang

kekuasaan melalui aparatur negara serta lembaga-lembaga keagamaan seperti

Parisada Hindu Dharma ( Sudharta dan Surpha,2006:28).

Bahwasanya Bali sebagai satu kesatuan wilayah dengan penduduknya

mayoritas beragama Hindu dipandang sebagai satu kesatuan budaya Hindu.

Namun demikian, jika diselami lebih mendalam di Bali sebenarnya paling tidak

ada dua subkultur, yaitu Bali Aga dan Bali Dataran. Orang-orang Bali Aga yang

sebagian besar mendiami wilayah pegunungan Bali sebenarnya memiliki sistem

keyakinan Hindu yang berbeda jika dibandingkan dengan masyarakat Bali

Dataran.

Situasi politik pada masa kemerdekaan (masa konsolidasi agama Hindu)

telah memposisikan ajaran Hindu masyarakat Bali dataran lebih dekat dengan

pusat-pusat kekuasaan. Dengan demikian pada masa konsolidasi sumber-sumber

rujukan dalam penataan struktur ajaran agama Hindu lebih berorientasi pada

sistem ajaran agama Hindu yang bersumber pada sumber-sumber yang berasal

dari ajaran Hindu di Jawa, yang terwariskan lewat lontar-lontar. Ajaran-ajaran ini

pada umumnya lebih merujuk pada sumber awalnya di India. Situasi politik saat

Page 55: adaptasi budaya masyarakat bali aga

125

masa konsolidasi mengharuskan Hindu di Bali merujuk pada India dengan

maksud merujuk pada ajaran agama yang lebih mendunia sehingga memudahkan

jalan bagi pengakuan keberadaannya di Indonesia. Hal ini menyebabkan

masyarakat Bali Aga menjadi termarjinalkan, sebab beberapa sistem ajarannya

berbeda dengan masyarakat Hindu Bali di daerah dataran. Posisi tawar mereka

juga kurang kuat karena berada di wilayah pinggiran pusat kekuasaan pada waktu

itu. Hal ini tampak jelas dari ketetapan Mahasabha V tangggal 16 Januari 1987,

yang menetapkan bahwa yang boleh mengikuti Seminar Kesatuan Tafsir Aspek-

Aspek Agama Hindu adalah Kantor Wilayah Departemen Agama dengan Seksi

Bimas Hindu/Buddhanya, Perisada Hindu Dharma Pusat, Institut Hindu Dharma,

Fakultas Sastra Universitas Udayana, dan Biro Kesra dari Unsur Pemerintah

Daerah Tingkat I Bali (Sudharta dan Surpha, 2006:114).

Ketika pengakuan Hindu Bali sebagai agama resmi di Indonesia telah

dikeluarkan oleh pemerintah maka dimulailah masa indoktrinasi ajarannya ke

seluruh Bali. Parisada mulai didirikan sampai ke tingkat kecamatan bahkan

tingkat desa sebagai kepanjangan tangan pemerintah untuk menyampaikan ajaran-

ajaran agama Hindu. Ajaran Hindu yang orthodoksinya diakui negara ini

disosialisasikan secara besar-besaran oleh lembaga agama, seperti Parisada, baik

langsung maupun tidak telah menempatkan sistem kayakinan masyarakat Bali

Aga pada posisi termarginalkan. Pemarginalan ini memiliki implikasi sosial yang

luas, bahkan meliputi hampir seluruh praktik keberagamaan mereka, walaupun

sebagian besar mereka tinggal di pegunungan (Nurkhoiron, 2007:9).

Meskipun tradisi keagamaan yang mereka praktikkan berbeda dengan

agama Hindu resmi di Indonesia, mereka pada umumnya memiliki sikap militan

Page 56: adaptasi budaya masyarakat bali aga

126

untuk mempertahankan tradisinya ketika berhadapan dengan kelompok lain.

Riwayat eksistensi mereka yang jauh lebih lama dari pada eksistensi negara

Republik Indonesia cukup membuktikan kesanggupan mereka menghadapi

berbagai tantangan historisnya. Masyarakat lokal seperti masyarakat Bali Aga

tidak jarang dilihat sebagai sedang berada dalam kegelapan. Kegelapan adalah

terma teologis yang kerapkali dimunculkan untuk memberi label komunitas-

komunitas terpencil, yang disinyalir masih berada dalam fase belum beragama

atau primitif sehingga harus diagamakan. Kelompok-kelompok seperti ini sering

dipersepsikan sebagai liyan (yang di “liyan”kan) di tengah masyarakat modern

(Nurkhoiron, 2007: 11).

Kaum agamawan bersama aparatus negara lainnya kemudian memiliki

legitimasi untuk menginvasi mereka, baik melalui pemaknaan maupun melalui

cara-cara persuasif, agar mereka bersedia mengubah pandangan keagamaan

mereka yang dianggap belum sempurna. Pada titik ini dimulailah proyek

pembinaan keagamaan yang digerakkan oleh Departemen Agama. Hampir tidak

dapat disangkal bahwa intervensi agama ke dalam urusan kehidupan

kewarganegaraan dan kenegaraan berlangsung melalui departemen ini. Seiring

dengan itu pembinaan dan pengawasan terhadap komunitas-komunitas yang

dianggap belum sempurna dalam beragama juga terjadi di semua tempat. Regulasi

agama yang paling menonjol setelah pergolakan 1965 adalah invasi beberapa

agama resmi ke kelompok-kelompok lokal yang diidentifikasi sebagai masyarakat

terpencil dan terbelakang, baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan kebudayaan

(Budiman, 2005: 59). Gejala seperti ini memang semakin tampak jelas pada

masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga.

Page 57: adaptasi budaya masyarakat bali aga

127

Dari paparan di atas kiranya cukup jelas alasan-alasan yang

melatarbelakangi terjadinya adaptasi budaya pada masyarakat Bali Aga di Desa

Cempaga sebagai berikut, (1) secara genealogi agama memang terkait dengan

berbagai persoalan seperti budaya, politik, sosial dan ekonomi; (2) jika terjadi

perubahan kebijakan dalam bidang agama maka hal itu akan berimplikasi

terhadap budaya, politik, dan sosial ekonomi masyarakat; (3) adaptasi itu memang

harus dilakukan mengingat sebagai kelompok minoritas mereka harus

menyesuaikan diri dengan budaya dan agama dominan untuk mempertahankan

eksistensinya.


Recommended