Transcript

Nora Fitria Tu 17120060016 Laparoskopi Appendiktomi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Anestesi Umum pada Ekstirpasi Fiboadenoma Mamae.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih kepada :

1. dr. Dublianus, Sp.An, dr. Evita, Sp.An dan dr Tati, Sp.An yang telah membimbing dan membantu kami dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun laporan kasus ini.

2. Seluruh staf dan paramedis yang bertugas di Kamar Operasi RSU Kota Cilegon, terutama kepada seluruh penata anestesi yang telah membantu kami selama menjalankan kepaniteraan.

3. Semua pihak yang telah membantu penulisan laporan kasus ini.

Kami menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan kemampuan serta pengalaman, walaupun demikian kami telah berusaha sebaik mungkin. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaannya.

Cilegon, Januari 2013

PenyusunDAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................................................Kata Pengantar ...........................................................................................................................i

Daftar Isi ...................................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN.........................................................................................................1

BAB II. LAPORAN KASUS ...................................................................................................2

BAB III. LAPORAN ANESTESI .............................................................................................6

BAB IV. ANALISA KASUS ..................................................................................................11

BAB V. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................14BAB VI. DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................38BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan penyakit menahun. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik/sedasi, analgesi dan relaksasi otot.

Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu suatu tindakan menghilangkan nyeri lokal tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum yaitu keadaan ketidaksadaran yang reversibel yang disebabkan oleh zat anestesi, disertai hilangnya sensasi sakit pada seluruh tubuh. Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesi umum, lainnya dengan anestesi lokal/regional.

Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap pesiapan yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.

Tahap pra anestesi merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan suatu anestesi. Hal ini penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan pasien yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan umum pasien, dan mental pasien, (2) menyiapkan teknik, obat-obatan dan macam anestesi yang digunakan, (3) memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul pada waktu pengelolaan anestesi dan komplikasi yang mungkin timbul pada pasca anestesi.

Tahap pengelolaan anestesi meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang dapat dilakukan secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring dan pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena pada saat ini pasien dalam keadaan sadar dan kemungkinan komplikasi anestesi maupun pembedahan dapat terjadi.BAB II

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIENNama

: An. ADUsia

: 16 tahun

Agama

: Islam

Jenis Kelamin

: Perempuan

Status

: Belum menikah

Pekerjaan

: PelajarAlamat

: Perumnas Blok B1 No.4 Cibeber

Tanggal Masuk RS: 08 Januari 2013II. AnamnesisPada anamnesis didapatkan pasien mengeluh terasa adanya benjolan ditenggorokannya sejak 2 tahun yang lalu. Pasien mengeluh benjolan ditenggorokannya terasa makin lama makin membesar. Pasien juga merasa sulit menelan dan mendengkur di malam hari ketika tidur.Pasien mengaku tidak mempunyai riwayat asma, alergi terhadap makanan, maupun alergi terhadap obat-obatan. Pasien juga tidak memiliki penyakit hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, penyakit gastritis, dan juga riwayat batuk yang lama. Namun pasien mengatakan bahwa ibunya memiliki penyakit kencing manis dan ayahnya memiliki penyakit darah tinggi. Pasien juga mangaku tidak punya gigi palsu dan tidak ada gigi yang goyang. Pasien tidak memiliki riwayat operasi sebelumnya.Pasien juga tidak memiliki kebiasaan merokok, minum alkohol, mengkonsumsi obat-obatan. Pasien mengaku gemar mengkonsumsi bakso, mie ayam, minuman soda, dan minuman kaleng.

Sebelum operasi pasien sudah menjalani puasa selama 9 jam. Selama itu selang infus telah terpasang pada tangan kanan pasien.1. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos Mentis

Berat badan: 40 kg

Tinggi badan: 150cm

BMI

: 30,2 (overweight)

Tanda tanda vital

Tekanan darah: 120/80 mmhg

Nadi

: 96 x/menit

Suhu

: 36,8 C

Pernafasan: 20 x/menit

Status Generalis

Kepala : Normocephali

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, refleks cahaya langsung (+/+), tidak langsung (+/+)

Hidung : Simetris, liang hidung lapang, deviasi septum (-), sekret (-)

Telinga : Simetris, liang telinga lapang, MT intak +/+, sekret -/-

Mulut

: Bibir pucat (-), sianosis (-), trismus (-), bau pernafasan (-), gerak sendi temporo mandibula baik

Gigi geligi : Gigi palsu (-), gigi goyag (-), gigi depan menonjol (-)

Rongga mulut: Terlihat palatum mole dan durum, terlihat tonsil dan uvula

(Mallampati I), oral hygiene baik.

Leher : Leher pendek (-), gerak vertebra servikal baik, KGB tidak teraba

membesar, JVP 5+1cm H2O

Thorax: Bentuk simetris, gerak dinding dada simetris

Cor: Bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: Vocal fremitus simetris, sonor +/+ Suara nafas vesikuler normal, Ronki (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen: datar, simetris, teraba supel, nyeri tekan (-), bising usus (+) normal.

Ekstremitas : Akral hangat (+) Edema ()

2. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Hb

: 12,4 gr/dl

Ht

: 38,1 % Leukosit: 7830 /uL Trombosit: 293000 /uL

LED

: 45 mm/jam

Gula sewaktu: 98 mg/dl

SGOT

: 17 u/L

SGPT

: 16 u/L

Ureum

: 14 mg/dl

Kreatinin: 0,7

HBsAg: Non reaktif

Anti HIV: Non reaktif

3. PS ASA 1RESUME

Seorang anak perempuan umur 16 tahun, datang dengan keluhan benjolan di tenggorokannya yang sudah sekitar 2 tahun. Karena sering kambuh, dokter menganjurkan untuk dilakukan operasi tonsilektomi. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, frekuensi nadi dan pernapasan dalam batas normal. Dari hasil pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan.

DIAGNOSA KERJA

Tonsilitis Kronis

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan:

Diagnosa perioperatif:

Status operatif : ASA I

Jenis operasi: TonsilektomiJenis anestesi: General AnestesiBAB III

LAPORAN ANESTESI

A. Pre Operatif

Informed Consent (+)

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran

: Compos Mentis

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi

: 100 x/menit

RR

: 20 x/menit

Terpasang infus di tangan kanan RL 500cc

B. Monitoring Tindakan Operasi :JamTindakanTekanan Darah (mmHg) Nadi (x/menit)Saturasi O2 (%)

08.45 Pasien masuk ke kamar operasi, dan dipindahkan ke meja operasi

Pemasangan monitoring tekanan darah, nadi, saturasi O2

Infus RL terpasang pada tangan kanan

Pemberian premedikasi: Ondansentron 4mg iv bolus131/80102100

08.55 Obat induksi dimasukkan secara iv:

Propofol 100mg

Fentanyl 100g

Dalam beberapa saat pasien teranestesi penuh

Dilakukan tindakan face mask dengan sungkup no.3, dan diberikan:

O2 : 2L/menit

N2O : 2L/menit

Isoflurane : 1,5 vol%

Pernafasan spontan (08.58)116/74108100

09.00 Dilakukan tindakan pemasangan Nasal tube no 26

Kedua mata pasien diberikan ophtalmic ointment kemudian ditutup dengan menggunakan kasaDan ditutup dengan menggunakan kassa.107/618399

09.05 Operasi dimulai

Kondisi terkontrol104/5878100

09.10 Kondisi terkontrol

Dilakukan skin test antibiotik ceftriaxone pada lengan bawah kanan127/7192100

09.15 Hasil skin test (-), diberikan ceftriaxone 1gr iv bolus125/7090100

09.20-09.35 Kondisi terkontrol120/758995

09.40 Kondisi terkontrol

Diberikan ketorolac 30mg iv bolus121/6788100

09.45 Kondisi terkontrol

Penggantian cairan infus RL 500cc

Diberikan tramadol 100mg iv drip 110/647299

09.55 Operasi selesai

Gas N2O distop, gas O2 dinaikkan menjadi 5 vol % dan isoflurane dimatikan Pemberian pronalges supp 100mg

116/647799

10.00 Pelepasan nasal tube Pemasangan face mask, kondisi stabil, pelepasan face mask

Gas 02 distop

Pelepasan alat monitoring

Pasien dapat dibangunkan113/6380100

10.05 Pasien dipindahkan ke ruang Recovery room

Dilakukan pemasangan alat monitoring129/949899

INTRAOPERATIF (09 Januari 2012)Tindakan Operasi: TonsilektomiTindakan Anestesi: Anestesi umum Lama Operasi : 50 menit (09.05-09.55)

Lama Anestesi: 60 menit (08.55 10.05)

Jenis Anestesi : General anestesi dengan teknik Semi Close Circuit System dengan NTT no 26 menggunakan O2 2L/mnt, N2O 2L/mnt, dan Isoflurane 1,5 Vol %

Posisi

: SupinePernafasan

: Spontan

Infus

: Ringer laktat pada tangan kanan 500cc

Premedikasi: Ondansentron 4mg i.v

Induksi

: - Propofol 100mg i.vRumatan

: - O2 2L/menit

N2O 2L/menit

Isoflurane 1,5 Vol %

Medikasi

: - Fentanyl 100g i.v

- Ceftrixone 1gr i.v

Ketorolac 30mg i.v

Tramadol 100mg i.v

Noveron 15mg i.v

Intubasi

: -Laringoskop grade 1

Nasal Tube no 26 cuff (+)Cairan : Cairan Masuk : RL 1000cc, cairan keluar tidak dapat dimonitoring karena tidak dilakukan pemasangan kateter

IV. POST OPERATIF

Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke kamar Aster Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal

Kesadaran: compos mentis

TD: 120/80 mmHg

Nadi: 80x/min

RL 500 mL/ 8 jam

Penilaian pemulihan kesadaran

Tabel . Variabel Skor Lockharte/AldreteVariabelTemSkorSkor Pasien

AktivitasGerak ke-4 anggota gerak atas perintah

Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah

Tidak respon2

1

02

RespirasiDapat bernapas dalam dan batuk

Dispnea, hipoventilasi

Apnea2

1

02

SirkulasiPerubahan ,< 20 % TD sistol preoperasi

Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi

Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi2

1

02

KesadaranSadar penuh

Dapat dibangunkan

Tidak respon2

1

01

Warna kulitMerah

Pucat

Sianotik2

1

02

Skor Total9

9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal

5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)

Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete score 9, pasien dipindahkan ke ruang perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.

BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesis, Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis Tonsilitis kronis dengan ASA I, yakni pasien sehat organik, fisiologik , psikiatrik dan biokimia. Pasien dianjurkan untuk melakukan operasi tonsilektomi. Menjelang operasi pasien tampak sakit ringan, tenang, kesandarn compos mentis. Pasien sudah dipuasakan selama lebih dari 8 jam. Jenis anestesi yang dilakukan yaitu anestesi general dengan teknik Semi Close Circuit System dengan Nasal Tube no 26.

Pada pasien diberikan premedikasi ondancentron 4mg. Ondansentron merupakan antagonis reseptor serotonin 5-HT3 selektif yang diberikan sebagai pencegahan dan pengobatan mual dan muntah selama dan pasca bedah. Ondansentron diberikan pada pasien untuk mencegah mual muntah yang bisa menyebabkan aspirasi.. Pelepasan 5HT3 ke dalam usus merangsang refleks muntah dan mengaktifkan serabut aferen vagal lewat reseptornya.Dilakukan induksi dengan propofol 100mg (dosis induksi 2-2,5mg/kgBB), propofol dapat menghambat transmisi neuron yang hancur oleh GABA. Obat anestesi yang bekerja cepat efek kerjanya dicapai dalam waktu 30 detik. Dan diberikan Fentanyl 100g (dosis 1-3g/kgbb) Fentanyl memiliki kekuatan 100x morfin distributifnya secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak di paru dimetabolis oleh hati dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan melalui urin efek depresi napasnya lebih lama dibanding dengan efek analgesiknya (kurang lebih 30 menit) karena itu hanya digunakan untuk anestesi pembedahan tidak untuk pasca bedah. Lalu diberikan Noveron 15mg (dosis 0,6-1 mg/kg) Noveron (recuronium bromide) merupakan obat golongan pelemas otot nondepolarisasi, yang memiliki kecepatan induksi sama atau bahkan lebih cepat dari succinylcholine, namun pada pemeberiad dosis besar pada saat intubasi dapat menyebabkan efek penghalangan otot yang lebih panjang. Memiliki waktu efek obat mulai bekerja setelah 60 detik. Obat golongan ini sangat cocok untuk intubasi.Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan N20 2L, O2 2L, dan isoflurane 1,5L vol% dengan cara inhalasi dengan mesin anesthesia. Isofluran merupakan Isomer dan enfluran dengan efek samping yang minimal. Induksi dan masa pulih anestesia dengan isoflurane cepat. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga banyak digunakan. N20 bersifat anestetik lemah tetapi analgesik digunakan untuk mengurangi rasa nyeri. Selama operasi berlangsung dilakukan pemantauan tiap 5 menit secara efisien dan terus menerus, dan pemberian cairan intravena RL

Terapi cairah intra-operatif dijabarkan sebagai berikut :Kebutuhan Cairan Basal (M) :

4x 10 kg = 40 cc

2x10 kg= 20 cc

1x 20 kg = 20 cc

Total : 80 ccKebutuhan cairan operasi (O) :

Operasi sedang x berat badan=

6 x 40 kg= 240 cc

Kebutuhan cairan puasa (P) ;

Lama jam puasa x kebutuhan cairan basal=

9 x 80

= 720 ccPemberian cairan jam pertama :

Kebutuhan cairan basal + Kebutuhan cairan operasi + 50% kebutuhan cairan puasa =

80cc + 240cc + 360cc = 680cc

Pada pasien diberikan antibiotik untuk pencegahan infeksi yaitu ceftriaxone 1gr. Ceftriaxone merupakan antibiotik sprektum luas, golongan sefalosporin generasi ketiga yang mempunyai khasiat bakterisidal dan bekerja dengan menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel bakteri. Tramadol 100 mg sebagai analgetik kuat bekerja pada reseptor opiat, bekerja secara steriospesifik pada reseptor di system syaraf pusat sehingga memblok sensasi nyeri dan respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan neurotransmitter dari saraf aferen yang sensitif terhadap rangsang sehingga impuls nyeri terhambat. Ketorolac 30 mg diberikan sebagai analgetik non Opioid digunakan sebagai tambahan penggunaan opioid dosis rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi pernapasan. Golongan analgetik nonopioid selain bersifat anti-inflamasi juga merupakan analgetik, antipiretik dan anti pembekuan darah. Bekerja dengan menghambat aktivitas siklo-oksigenase, sehingga terjadi penghambatan prostaglandin perifer.

Selama operasi keadaan pasien stabil. Observasi dilanjutkan pada pasien postoperatif di Recovery Room, dimana dilakukan pemantauan tanda vital meliputi tekanan darah, nadi, respirasi dan saturasi oksigen.BAB VTINJAUAN PUSTAKA1. Pendahuluan

Sejak dilakukannya tindakan bedah, sebenarnya kalangan medis telah berusaha untuk melakukan tindakan anestesi yang bertujuan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri atau rasa sakit. (Anonim, 1989) Pada prinsipnya, seorang penderita akan dibuat tidak sadarkan diri dengan melakukan tindakan-tindakan yang sering dilakukan secara fisik seperti memukul, mencekik dan lain sebagainya. Hal tersebut terpaksa dilakukan agar pasien tidak merasa kesakitan dan akhirnya meloncat dari meja operasi yang mengakibatkan terganggunya jalannya acara operasi. (Anonim, 1986).

Sejak diperkenalkannya penggunaan gas ether oleh William Thomas Greene Morton pada tahun 1846 di Boston Amerika Serikat, maka berangsur-angsur cara-cara kekerasan fisik yang sering dilakukan untuk mencapai keadaan anestesi mulai ditinggalkan. Penemuan tersebut merupakan titik balik dalam sejarah ilmu bedah, karena membuka cakrawala kemungkinan dilakukannya tindakan bedah yang lebih luas, mudah serta manusiawi. (Anonim, 1986). Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak dapat bekerja sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan keadaan anestesi. Dibutuhkan keberadaan seorang dokter anestesi untuk mengusahakan, menangani dan memelihara keadaan anestesi pasien. Tugas seorang dokter anestesi dalam suatu acara operasi antara lain :

1. Menghilangkan rasa nyeri dan stress emosi selama dilakukannya proses pembedahan atau prosedur medik lain.

2. Melakukan pengelolaan tindakan medik umum kepada pasien yang dioperasi, menjaga fungsi organ-organ tubuh berjalan dalam batas normal sehingga keselamatan pasien tetap terjaga.

3. Menciptakan kondisi operasi dengan sebaik mungkin agar dokter bedah dapat melakukan tugasnya dengan mudah dan efektif.

Salah satu usaha yang mutlak harus dilakukan oleh seorang dokter ahli anestesi adalah menjaga berjalannya fungsi organ tubuh pasien secara normal, tanpa pengaruh yang berarti akibat proses pembedahan tersebut. Pengelolaan jalan napas menjadi salah satu bagian yang terpenting dalam suatu tindakan anestesi. Karena beberapa efek dari obat-obatan yang dipergunakan dalam anestesi dapat mempengaruhi keadaan jalan napas berjalan dengan baik.

Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas. Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan dengan lancar serta teratur. Bahkan, menurut Halliday (2002) penggunaan intubasi endotrakheal juga direkomendasikan untuk neonatus dengan faktor penyulit yang dapat mengganggu jalan napas. Tulisan ini akan menguraikan tentang intubasi endotrakheal, dan hanya akan dibatasi pada permasalahan tersebut.

2.1 Anatomi - Fisiologi Saluran Napas Bagian Atas.

Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus memahami anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang. Pada pembahasan tentang anatomi dan fisiologi ini, penyusun akan menguraikan tentang beberapa hal yang menyangkut fisiologi rongga orofaring, sebagian naso faring dan akan lebih ditekankan lagi pada bagian laring. Sistem respirasi manusia mempunyai gambaran desain umum yang dapat dihubungkan dengan sejumlah aktivitas penting. Secara esensial tentunya sistem ini terdiri dari permukaan respirasi dan bercabang menjadi pasase konduksi yang membentuk pohon pernafasan. Permukaan respirasi ini sangat luas kurang lebih 200 m2, dan membentuk sesuatu yang sangat tipis, barier yang lembab untuk udara dan kapiler darah mengelilingi berjuta-juta kantong yang disebut alveolus yang akhirnya membentuk suatu massa paru-paru (William, 1995 : 1630).

Anatomi Saluran Nafas Bagian Atas2.2 Respirasi Internal dan Eksternal

Respirasi merupakan kombinasi dari proses fisiologi dimana oksigen dihisap dan karbondioksida dikeluarkan oleh sel-sel dalam tubuh. Hal ini merupakan proses pertukaran gas yang penting. Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan skelet, dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya dikeluarkan. Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan.

2.3 Organ-organ pernafasanTraktus respiratorius ini meliputi: (a) rongga hidung (b) laring (c) trakea (d) bronkhus (e) paru-paru dan (f) pleura. Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem pernafasan dan sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan. Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping muskulus intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya.

Sistem Respirasi2.4 Faring dan Laring

Hubungan faring dengan proses respirasi. Faring yang sering disebut-sebut adalah bagian dari sistem pencernaan dan juga bagian dari sistem pernafasan. Hal ini merupakan jalan dari udara dan makanan. Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke dalam laring. Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang menghubungkannya melalui nares posterior. Udara masuk ke bagian faring ini turun melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.

Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan, selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung posterior.

2.4.1 Laring Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adams Apple) terletak di antara akar lidah dan trakhea. Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum dan sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya. Kartilago yang kaku pada dinding laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami kolaps. Dalam kaitan ini, maka laring membentuk trakea dan berbeda dari bangunan berlubang lainnya. Laring masih terbuka kecuali bila pada saat tertentu seperti adduksi pita suara saat berbicara atau menelan. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring.Bagian laring sebelah atas luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder. Kartilago laring merupakan kartilago yang paling besar dan berbentuk V yaitu kartilago tiroid. Kartilago ini terdiri dari dua kartilago yang cukup lebar, dimana pada bagian depan membentuk suatu proyeksi subkutaneus yang dikenal sebagai Adams Apple atau penonjolan laringeal. Kartilago ini menempel pada tulang lidah melalui membrana hyotiroidea, suatu lembaran ligamentum yang luas dan terhadap kartilago krikoid oleh suatu elastic cone suatu ligamentum yang sebagian besar terdiri dari jaringan elastik berwarna kuning.Kartilago krikoid lebih kecil tapi lebih tebal terdiri dari cincin depan, tetapi meluas ke dalam suatu struktur menyerupai plat untuk membentuk bagian bawah dan belakang laring.Kartilago arytenoid berjumlah dua buah terletak pada batas atas dari bagian yang luas sebelah posterior krikoid. Kartilago ini kecil dan berbentuk piramid.Epiglotis, kartilago yang berbentuk daun terletak di pangkal lidah dan kartilago tiroid pada linea mediana anterior. Kartilago ini melebar secara oblik ke belakang dan atas.

Rongga laring, rongga ini dimulai pada pertemuan antara faring dan laring serta ujung dari bagian bawah kartilago krikoid dimana ruangan ini akan berlanjut dengan trakhea. Bagian ini dibagi ke dalam dua bagian oleh vokal fold dan ventrikuler fold secara horizontal. Vokal fold atau pita suara merupakan dua ligementum yang kuat dimana meluas dari sudut antara bagian depan terhadap dua kartilago aritenoid pada bagian belakang. Ventrikuler fold sering disebut sebagai pita suara palsu yang terdiri dari lipatan membrana mukosa dan terselip suatu pita jaringan ikat. Lipatan-lipatan berada di samping terhadap pita suara yang asli. Ruangan di antara lipatan pita disebut sebagai glottis, bentuknya bervariasi sesuai dengan ketegangan lipatan pita.

Fungsi laring, yaitu mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur suara. Laring juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan dan air masuk ke dalam trakhea. Kedua fungsi ini sebagian besar dikontrol oleh muskulus instrinsik laring. Otot-otot laring baik yang memisahkan vokal fold atau yang membawanya bersama, pada kenyataannya mereka dapat menutup glotis kedap udara, seperti halnya pada saat seseorang mengangkat beban berat atau terjadinya regangan pada waktu defekasi dan juga pada waktu seseorang menahan nafas pada saat minum. Bila otot-otot ini relaksasi, udara yang tertahan di dalam rongga dada akan dikeluarkan dengan suatu tekanan yang membukanya dengan tiba-tiba yang menyebabkan timbulnya suara ngorok.

Pengaliran udara pada trakhea, glotis hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring. Namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis berfungsi sebagai penutup laring. Ini akan dipaksa menutup glottis bila makanan melewatinya pada saat menelan. Epiglotis juga sangat berperan pada waktu memasang intubasi, karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang mengelilingi lubang.

Intubasi Endotrakeal

3.1 Pengertian Intubasi Endotrakheal.

Menurut Hendrickson (2002), intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trakhea. Pada intinya, Intubasi Endotrakhea adalah tindakan memasukkan pipa endotrakha ke dalam trakhea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah dibantu dan dikendalikan (Anonim, 2002).

3.2 Tujuan Intubasi Endotrakhea.

Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakhea adalah untuk membersihkan saluran trakheobronchial, mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi. Pada dasarnya, tujuan intubasi endotrakheal :

a. Mempermudah pemberian anestesia.

b. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan kelancaran pernafasan.

c. Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi isi lambung (pada keadaan tidak sadar, lambung penuh dan tidak ada refleks batuk).

d. Mempermudah pengisapan sekret trakheobronchial.

e. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.

f. Mengatasi obstruksi laring akut.

3.3 Indikasi dan Kontraindikasi.

Indikasi bagi pelaksanaan intubasi endotrakheal menurut Gisele tahun 2002 antara lain :a. Keadaan oksigenasi yang tidak adekuat (karena menurunnya tekanan oksigen arteri dan lain-lain) yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian suplai oksigen melalui masker nasal.

b. Keadaan ventilasi yang tidak adekuat karena meningkatnya tekanan karbondioksida di arteri.c. Kebutuhan untuk mengontrol dan mengeluarkan sekret pulmonal atau sebagai bronchial toilet.d. Menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan yang gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi.

Dalam sumber lain (Anonim, 1986) disebutkan indikasi intubasi endotrakheal antara lain :a. Menjaga jalan nafas yang bebas dalam keadaan-keadaan yang sulit.b. Operasi-operasi di daerah kepala, leher, mulut, hidung dan tenggorokan, karena pada kasus-kasus demikian sangatlah sukar untuk menggunakan face mask tanpa mengganggu pekerjaan ahli bedah.c. Pada banyak operasi abdominal, untuk menjamin pernafasan yang tenang dan tidak ada ketegangan.d. Operasi intra torachal, agar jalan nafas selalu paten, suction dilakukan dengan mudah, memudahkan respiration control dan mempermudah pengontrolan tekanan intra pulmonal.e. Untuk mencegah kontaminasi trachea, misalnya pada obstruksi intestinal.f. Pada pasien yang mudah timbul laringospasme.g. Tracheostomi.h. Pada pasien dengan fiksasi vocal chords.

Selain intubasi endotrakheal diindikasikan pada kasus-kasus di ruang bedah, ada beberapa indikasi intubasi endotrakheal pada beberapa kasus nonsurgical, antara lain:

a. Asfiksia neonatorum yang berat.

b. Untuk melakukn resusitasi pada pasien yang tersumbat pernafasannya, depresi atau abcent dan sering menimbulkan aspirasi.

c. Obstruksi laryngeal berat karena eksudat inflamatoir.d. Pasien dengan atelektasis dan tanda eksudasi dalam paru-paru.e. Pada pasien-pasien yang diperkirakan tidak sadar untuk waktu yang lebih lama dari 24 jam seharusnya diintubasi.f. Pada post operative respiratory insufficiency.

Menurut Gisele, 2002 ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal antara lain :a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus.b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi.

3.4 Posisi Pasien untuk Tindakan Intubasi.

Gambaran klasik yang betul ialah leher dalam keadaan fleksi ringan, sedangkan kepala dalam keadaan ekstensi. Ini disebut sebagai Sniffing in the air position. Kesalahan yang umum adalah mengekstensikan kepala dan leher.

Sumber : http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/Hi%20res/Laryngoscopy%201.jpg3.5 Alat-alat Untuk IntubasiAlat-alat yang dipergunakan dalam suatu tindakan intubasi endotrakheal (Anonim, 1989) antara lain :

a. Laringoskop, yaitu alat yang dipergunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskop yaitu :

i. Blade lengkung (McIntosh). Biasa digunakan pada laringoskop dewasa.

ii.Blade lurus. Laringoskop dengan blade lurus (misalnya blade Magill) mempunyai teknik yang berbeda. Biasanya digunakan pada pasien bayi dan anak-anak, karena mempunyai epiglotis yang relatif lebih panjang dan kaku. Trauma pada epiglotis dengan blade lurus lebih sering terjadi.

b. Pipa endotrakheal. Biasanya terbuat dari karet atau plastik. Pipa plastik yang sekali pakai dan lebih tidak mengiritasi mukosa trakhea. Untuk operasi tertentu misalnya di daerah kepala dan leher dibutuhkan pipa yang tidak bisa ditekuk yang mempunyai spiral nilon atau besi. Untuk mencegah kebocoran jalan nafas, kebanyakan pipa endotrakheal mempunyai balon (cuff) pada ujunga distalnya. Terdapat dua jenis balon yaitu balon dengan volume besar dan kecil. Balon volume kecil cenderung bertekanan tinggi pada sel-sel mukosa dan mengurangi aliran darah kapiler, sehingga dapat menyebabkan ischemia. Balon volume besar melingkupi daerah mukosa yang lebih luas dengan tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan volume kecil. Pipa tanpa balon biasanya digunakan pada anak-anak karena bagian tersempit jalan nafas adalah daerah rawan krikoid. Pada orang dewasa biasa dipakai pipa dengan balon karena bagian tersempit adalah trachea. Pipa pada orang dewasa biasa digunakan dengan diameter internal untuk laki-laki berkisar 8,0 9,0 mm dan perempuan 7,5 8,5 mm. Untuk intubasi oral panjang pipa yang masuk 20 23 cm. Pada anak-anak dipakai rumus :Panjang pipa yang masuk (mm) = Rumus tersebut merupakan perkiraan dan harus disediakan pipa 0,5 mm lebih besar dan lebih kecil. Untuk anak yang lebih kecil biasanya dapat diperkirakan dengan melihat besarnya jari kelingkingnya.

c. Pipa orofaring atau nasofaring. Alat ini digunakan untuk mencegah obstruksi jalan nafas karena jatuhnya lidah dan faring pada pasien yang tidak diintubasi.

d. Plester untuk memfiksasi pipa endotrakhea setelah tindakan intubasi.e. Stilet atau forsep intubasi. Biasa digunakan untuk mengatur kelengkungan pipa endotrakheal sebagai alat bantu saat insersi pipa. Forsep intubasi (McGill) digunakan untuk memanipulasi pipa endotrakheal nasal atau pipa nasogastrik melalui orofaring.

f. Alat pengisap atau suction.

3.6 Tindakan Intubasi.

Dalam melakukan suatu tindakan intubasi, perlu diikuti beberapa prosedur yang telah ditetapkan (Anonim, 1989) antara lain :

a. Persiapan.

Pasien sebaiknya diposisikan dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal dengan menggunakan alas kepala (bisa menggunakan bantal yang cukup keras atau botol infus 1 gram), sehingga kepala dalam keadaan ekstensi serta trakhea dan laringoskop berada dalam satu garis lurus.

b. Oksigenasi.

Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan oksigenasi dengan pemberian oksigen 100% minimal dilakukan selama 2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan balon dengan tangan kanan.

c. Laringoskop.

Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kiri dan lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V.

d. Pemasangan pipa endotrakheal.

Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stilet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi dengan plester.

e. Mengontrol letak pipa.

Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan stetoskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakheal. Bila terjadi intubasi endotrakheal akan terdapat tanda-tanda berupa suara nafas kanan berbeda dengan suara nafas kiri, kadang-kadang timbul suara wheezing, sekret lebih banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrum atau gaster akan mengembang, terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.f. Ventilasi.

Pemberian ventilasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan pasien bersangkutan.3.7 Langkah-langkah pemasangan

1. Siapkan alat dan pasien

2. Cuci tangan

3. Pakai masker penutup hidung dan mulut dan sarung tangan

4. Atur posisi pasien,kepala ekstensi,leher fleksi

5. Tangan kanan memegang kedua bibir lalu buka mulut pasienTangan kiri memegang laringoscope,masukkan blade dari sebelah kanan mulut sambil membawa bagian lidah ke arah kiri sampai terlihat uvula dan epiglottis.

6. Dari arah luar tekan tulang rawan thyroid untuk membantu terbukanya epiglottis

7. Masukkan endotracheal tube dengan arah miring ke kanan dan setelah masuk putar ke arah tengah

8. Isi balon endotracheal dengan spuit kosong

9. Sambungkan endotracheal dengan ventilator/bag

10. Dengarkan bunyi nafas dengan stetoskop masuk ke esophagus, terlalu kanan atau terlalu kiri dari bronchus

11. Fiksasi menggunakan plesterLangkah-langkah intubasi 1

2

3

4

5

6

3.8 Obat-Obatan yang Dipakai.

Berikut ini adalah obat-obat yang biasa dipakai dalam tindakan intubasi endotrakheal (Anonim, 1986), antara lain :

a. Suxamethonim (Succinil Choline), short acting muscle relaxant merupakan obat yang paling populer untuk intubasi yang cepat, mudah dan otomatis bila dikombinasikan dengan barbiturat I.V. dengan dosis 20 100 mg, diberikan setelah pasien dianestesi, bekerja kurang dari 1 menit dan efek berlangsung dalam beberapa menit. Barbiturat Suxamethonium baik juga untuk blind nasal intubation, Suxamethonium bisa diberikan I.M. bila I.V. sukar misalnya pada bayib. Thiophentone non depolarizing relaxant : metode yang bagus untuk direct vision intubation. Setelah pemberian nondepolarizing / thiophentone, kemudian pemberian O2 dengan tekanan positif (2-3 menit) setelah ini laringoskopi dapat dilakukan. Metode ini tidak cocok bagi mereka yang belajar intubasi, dimana mungkin dihadapkan dengan pasien yang apneu dengan vocal cord yang tidak tampak.c. Cyclopropane : mendepresi pernafasan dan membuat blind vision intubation sukar.d. I.V. Barbiturat sebaiknya jangan dipakai thiopentone sendirian dalam intubasi. Iritabilitas laringeal meninggi, sedang relaksasi otot-otot tidak ada dan dalam dosis besar dapat mendepresi pernafasan.e. N2O/O2, tidak bisa dipakai untuk intubasi bila dipakai tanpa tambahan zat-zat lain. penambahan triklor etilen mempermudah blind intubation, tetapi tidak memberikan relaksasi yang diperlukan untuk laringoskopi.f. Halotan (Fluothane), agent ini secara cepat melemaskan otot-otot faring dan laring dan dapat dipakai tanpa relaksan untuk intubasi.g. Analgesi lokal dapat dipakai cara-cara sebagai berikut :- Menghisap lozenges anagesik.

- Spray mulut, faring, cord.

- Blokade bilateral syaraf-syaraf laringeal superior.

- Suntikan trans tracheal.Cara-cara tersebut dapat dikombinasikan dengan valium I.V. supaya pasien dapat lebih tenang. Dengan sendirinya pada keadaan-keadaan emergensi.Intubasi dapat dilakukan tanpa anestesi. Juga pada necnatus dapat diintubai tanpa anestesi.

3.9 Komplikasi Intubasi Endotrakheal.

A. Komplikasi tindakan laringoskop dan intubasi (Anonim, 1989)

a. Malposisi berupa intubasi esofagus, intubasi endobronkial serta malposisi laringeal cuff.

b. Trauma jalan nafas berupa kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibula dan diseksi retrofaringeal.

c. Gangguan refleks berupa hipertensi, takikardi, tekanan intracranial meningkat, tekanan intraocular meningkat dan spasme laring.

d. Malfungsi tuba berupa perforasi cuff.

B. Komplikasi pemasukan pipa endotracheal.

a. Malposisi berupa ekstubasi yang terjadi sendiri, intubasi ke endobronkial dan malposisi laringeal cuff.

b. Trauma jalan nafas berupa inflamasi dan ulserasi mukosa, serta ekskoriasi kulit hidungc. Malfungsi tuba berupa obstruksi.

C. Komplikasi setelah ekstubasi.

a. Trauma jalan nafas berupa edema dan stenosis (glotis, subglotis atau trachea), suara sesak atau parau (granuloma atau paralisis pita suara), malfungsi dan aspirasi laring.

b. Gangguan refleks berupa spasme laring.

BAB VI

DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, (1986), Kesimpulan Kuliah Anestesiologi, edisi pertama, Aksara Medisina, Jakarta.2. Anonim, (1989), Anestesiologi, edisi pertama, Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.3. Anonim, (2002), Endotracheal Intubation, http://www.medicinet.com/script/main/art.asp?li=mni&articlekey=70354. Gail Hendrickson, RN, BS., (2002), Intubation, http://www.health.discovery.com/diseasesandcond/encyclopedia/1219.html5. Gisele de Azevedo Prazeres, MD., (2002), Orotracheal Intubation, http://www.medstudents.com/orotrachealintubation/medicalprocedures.html6. Halliday HL., (2002), Endotracheal Intubation at Birth for Preventing Morbidity and Mortality in Vigorous, Meconium-stained Infants Bord at Term, http://www.update-software.com/ceweb/cochrane/revabstr/ab000500.html7. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani W.I., Setiowulan W., (ed)., (2002), Kapita Selekta Kedokteran, edisi III, Jilid 2, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.8. Michael B. Dobson, (1994), Penuntun Praktis Anestesi, EGC-Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.Anestesi Umum Intubasi Endotrakheal tubePage 33