50
ziarah tuan penyair kumpulan sajak

Ziarah Tuan Penyair

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Beberapa tulisan yang ada di folder

Citation preview

Page 1: Ziarah Tuan Penyair

ziarah tuan penyair kumpulan sajak

Page 2: Ziarah Tuan Penyair

>>> Pra sajak

Aku tak akrab lagi denganmu, mari kita berbincang sejenak, membicarakan sajak sajak

yang kau tulis juga tentang obsesi obsesimu. Mungkin tahun ini kau ingin menerbitkan

sebuah buku sajak, ada mari bersamaku. Kita hanyalah sosok sosok yang tak di kenal di

dunia ini yang merasa sebagai pelakon utama dan kita gugup, untuk apa, mau

kemana?

Atas cetakan sajak sajakmu yang ku anggap lebih bisa dibaca dari para nabi nabi, ia hadir

dari ratusan kilometer melewati serat serat elektronik dan sendiri bergumam.

Kita tak pernah bercakap kita bisu dari lahir dan tak pernah bisa bicara sekecap pun

Tuliskan saja ”ya, kita tak pernah bisa bicara”. Kecuali memboroskan tenaga dengan

saling memuji atau saling membenci. Kita memang anjing. Ya, sebangsa anjing yang

rajin menyalak. Memenuhi ruang ruang dengan kotoran dan mencoba membiasakan diri.

Menenggelamkan diri dengan kebanggaan pada diri sendiri.

Atau mari kita berusaha untuk bijak dan menjadi lebih beradab. Membicarakan masa

depan kebisuan kita dengan nafas yang teratur. Hendak kemana, kapan dan berterus

terang. Mestinya kita kerjakan sambil apa sajalah, atau cukup sampai disini kita

menutup riwayat dan mati.

Pengembara pengembara jiwa yang enggan menapak lagi, hanyalah satu dari ribuan yang

tak berarti, lalu kita pergi satu satu dan tak pernah berharap kembali berpetualang ketika

kaki kaki kita telah lumpuh, oleh pengkianatan dan hancurnya kebanggaan diri.

Di dataran begitu luas, alangkah sia sia lembah subur ini untuk masa depan kesiasiaan.

Mungkin hari ini kita merasa berkorban untuk sesuatu yang sepatutnya tak kita lakukan

Mengulang ulang kata yang tak teratur. Tapi toh itu diri kita yang sedang belajar

mencipta. Tak ada yang dapat menyalahkan atau disalahkan, bahkan oleh para malaikat

dan tuhan.

Maka bolehkah aku hari ini meminta sedikit tanya “mau kemanakah kita sebenarnya?”

Menerobos pintu pintu yang terbuka saling mengunjungi dengan cakap yang tak henti

henti, dan kita merasa sangat terbantai seperti seseorang yang terkucil. Kita tak kenal

siapa dan bagaimana seseorang dibalik monitor. Oleh karena engkau sayang , kita terlalu

remaja untuk bisa menilai diri kita ini apa. Sebongkah resah, seclurit kenang kenangan,

2

Page 3: Ziarah Tuan Penyair

atau hanya seseorang yang merintih rintih mencoba melepas penat hidup dan ruwetnya

eksistensi?

Maka permintaanku, sekumpulan buku sajakmu yang tipis dan wajar. Membiarkan

harum kertasnya tercium ketika membuka lembar demi lembar halaman. Sambil merasai

kenikmatan kemerahan diwajahmu. Tapi nyatanya dia tak memberi apa apa rasa apa apa

hanya lusinan kecewa.

Dan dengan segala hormat aku tak bahagia atas segala kemurungan ini

3

Page 4: Ziarah Tuan Penyair

judul puisi

halaman

Pra Sajak 2Ziarah Tuan PenyairPuisi Itu Kini Mengembara Ziarah Kata Kata Membangkitkan Kata Yang Terlanjur Muram Boneka Kata Kata Puisi Itu Menggambarkan Jarak Sepi Dan KematianPenyair Itu TerkutukBeberapa Hal Yang Dapat Kita Tulis Untuk Menjadi Sebuah PuisiLima Lembar Naskah Puisi Yang Tidak Ingin Kau BacaPuisi Dan Perumpamaan Perumpamaan Yang BurukSuatu Sore Dengan Kata Kata Yang MenjauhAku Bertemu Seorang Penyair Palsu Disebuah PasarApakah Ia Merindukan HujanMata Yang MengembaraPelahap MataAku Memandang MatamuMemandang Senja Di Hari SabtuWashing MachineBagaimana Menyatakan Cinta Dengan Beberapa Kalimat Tanpa Harus Menjadi Puisi Yang NorakPesanpesan Dalam Botol Yang Selalu Ia Ingin TemukanUntuk Yang Satu ItuDua Perempuan Tua Yang Bercakap Bersandarkan Perahu NelayanAku Baru Saja Membaca Sajakmu Yang Paling BerkesanAdakah Puisi Diantara Penjual BuahbuahanZiarah Ibu Dan PuisiSebuah Upaya Untuk Menutup Kuping Menyumpal Mulut Membuntungkan Jarijemari Dan Membebat Mata PengintipPeracikPengendara.Pejalan Pengetik

4

Page 5: Ziarah Tuan Penyair

ziarah tuan penyair

 

aku ingin merekam gerak angin dari perjalananmu tuan

dari desir dari cemas mungkin mual

membaca gelegak persinggahan persinggahan kata yang berbiak liar dan binal

ia yang kikuk bermain kata ia yang canggung menggiring kata

membuka menutup folder menanggung kesepian sepanjang hidup

semua telah tertata rapi tuan dalam file file masa depan puisi puisi palsu

seolah berlari cepat tapi ditempat sendiri semula

jangan bertanya tentang apa apa

kau yang mulai mengutil gaya dan kata kata penyair terdahulu

dalam gerak senantiasa terbaca

ya mari bergaya tuan dalam suasana pop dan banal

peragakan posemu dalam gaya itu

ketika kata kata mengkelabu dalam denyut denyut pasar

urat nadi penyairmu tak lagi berpancaran

lesu berhadapan dengan teriak anak anak sekolah

mampus berhadapan dengan chairil sutardji sapardi gunawan dan para pendahulu

 

(aku ziarahi kau berulang  ulang  tuan atas segala berulangnya kematian

dari rahim kata kata yang belum selesai mengamukkan sepi aku tuntas sendiri

malam nanti mungkin kau tikam dirimu mungkin kau akan amis sajak sajak

ayo tergelaklah bersamuku dalam tak tik keyboardmu

sebelum virus menghapus huruf huruf ditimbunan segala sajak copy paste ini )

 

tuan tidakkah kau lelah membaca tanda tanda dan tak tahu tersesat didalamnya

dari deru perjalanan tak usai usai mengkibas kibaskan nasib dideras kata mengalir

gerbang demi gerbong telah langsir kau sadari kau wayang sekaligus dalang dan

penontonnya

kau mayat penyair yang akan mengubur dirimu sendiri

mari tuan telanjang dan bergaya dalam suasana melodrama

menjelmakan diri sebagai darwis sang penari

5

Page 6: Ziarah Tuan Penyair

mari bersuka mari berlupa menyakiti diri sendiri dalam lamun kanak kanak abadi

jangan kau menanyakan sesuatu yang menyelinap dalam serpih waktu tentang kesetiaan

bercerminlah mengagumi diri sendiri dan mengenang gairah gairah konyol di perjalanan

puisi

membisik lirih dari rusuh dadamu apa lagi yang harus kubeli selain mimpi mimpi

dalam gerak lambat dibangunkan oleh kuyu diri berucap “masih banyak yang belum

rampung tuhan”

6

Page 7: Ziarah Tuan Penyair

puisi itu kini mengembara

aku bangun dari tidur dan menuju kamar ibu

sebuah kursi roda di pojok muram sendiri

terbacalah puisi yang layu

jika kemudian mimpi mimpi ibuku adalah juga mimpi mimpi ku

damailah engkau di sana

akan kudamaikan diriku

kata yang rontok sayap sayapnya

kata yang membeku dalam kamus

kata yang tak jadi mengembara

menciptakan arti sebatang kara sendiri

di potret wajah tua mu di dinding

seperti hendak pamit untuk berkelana

mungkin telah sampai

mungkin sama seperti kita

bercakap cakap sendiri tentang kata kata

bertanya dan menjawab sendiri

dalam permainan sirkus abadi

aku kau dan mereka adalah pemeran

yang tak habis mengembara

yang tak habis mengucap kata kata

kemudian kematian datang lagi

terbanglah tinggi jika tak lelah

pergilah jauh jika tak rapuh

kini aku menjadi puisi yang tak hendak bersua

menggedor dan membanting pintu pintu

yang kita masuki satu satu

mencari penyair yang lelah

mencari pengembara kata kata

dan takluk di sana

sebuah dunia yang asing untuk di lakoni

membezuk diri

melayat diri sendiri

dalam keacuhan tanpa syak wasangka

7

Page 8: Ziarah Tuan Penyair

tumbuhkan itu di sayap sayapku

seseorang yang tergesa dari tidur

tenggelam dan berjalan dalam murung kata

8

Page 9: Ziarah Tuan Penyair

ziarah kata kata

 

ia akan menggumam lirih tentang kata kata

mengeluh tentang masa depan seseorang yang letih

dan banyak berharap pada masa lalu

membanggakan sesuatu yang tanggal

ayolah minum obat mu lekas sembuh ya ini baca buku penyair pujanmu

kau berharap lebih lebih membuat nyaman

menguntit kata kata lincah dan riang seperti seorang paparazi

memotret murung dan kesepiannya yang tertangkap sekilas

ayolah kau lebih cerdas dari itu

telah lebih ¼ abad kau taklukan waktu atau jangan jangan kau tergelincir didalamnya

menggapai gapai dalam deras jaman

engkau kah

terbentur dinding dinding chairil berdarah darah didalamnya

terperosok terpincang pincang karena sutardji

terlamun di awan abadi bersama sapardi

ya kau boleh memaki kata kata telah dicuri habis para pendahulu

juga petuah nabi nabi baru di televisi sepanjang malam

bila haus memburumu

kau tinggal selangkangan saja

9

Page 10: Ziarah Tuan Penyair

membangkitkan kata yang terlanjur muram

kekasihku katakata yang terburuburu

lihatlah aku mulai menua dari sudut pandang pesakitan renta

pemamah kata kata yang tak pernah jemu untuk mengajakmu berdansa

mengajakmu menarikan laju kereta dengan penumpang saling berpegangan

juga tanya “siapa dia yang selalu mengajakmu menikmati rasa diburuburu ?”

aku menjadi tersangka dan bodoh di pinggir jalanan

meneriakkan kota kota yang ingin kau singgahi

merasakan detak jantungnya di pusat muram kata kata

kini engkaulah merak dari hutan baluran

kini engkaulah penari kraton jawa

kini engkaulah semesta yang terdiam

maka menarilah kasihku menarilah anggun elok dan tak terburuburu

dalam susunan kata kata yang tak cemas akan masa depannya

menarilah semampu kau bisa sejauh kau ingin

dalam tumpukan melodrama ini

10

Page 11: Ziarah Tuan Penyair

boneka kata kata

“aku boneka engkau boneka

penghibur dalang mengatur tembang”

aku membencimu seperti membenci diriku

seseorang yang hilang dalam pikiran pikiran instan

sayaplah yang membuat burung terbang

dan kata kata mu ingin mengepakkepak bertengger dari puisi ke puisi

mampir dan mengetuk dirimu yang sedang sepi

ayolah sesekali kita mengahancurkan diri

tertawa abadi di dalam huruf huruf yang melawanmu sehari hari

“meski terlanjur revolusi?” tanyamu “mengapa lamban dan perlahan” bantahku

ini hanya sekumpulan kata yang bocor dan ingin diperhatikan

tatap baik baik penyair itu yang berjumpalitan

yang mencoba tidak tenggelam

“berikan nafas buatan, berikan nafas buatan, untukku”

sosok pemintaminta tak kenal akan diri sendiri

seseorang yang ingin jenius tapi tak sampai sampai

tampak tolol dipinggiran jaman dan terus meminta keabadian

ini hanyalah pasar

ini hanyalah iklan

ini hanyalah soal citra diri yang diperjualbelikan lewat kata kata

lalu kau sebut dengan tergesa “ini puisi yang membenci dirinya sendiri”

11

Page 12: Ziarah Tuan Penyair

puisi itu menggambarkan jarak sepi dan kematian

pada jarak adalah sesuatu yang absurd

aku dan kau mungkin hanya sedepa secara fisik tapi hati kita berjarak puluhan hari

aku dan kau mungkin bisa berpelukan tapi hati kita saling menjauh

lihat penyair itu sama seperti mu

ingin memeluk kata kata tapi tak pernah sampai sampai

kadang ia tak menginginkan sepi itu terus menguntitnya

memata matai dalam segala gerakgerik dan kemudian melayu

pada sepi ia bisa menjadi dirinya sendiri

dan ia hanya berbuat yang tidak tidak menyediakan waktu dan diam

sampai kematian akan mengetuk pelan

menggerogoti kerinduan kerinduanmu

sampai kemudian kau akan merasa sangat terhina dengan puisi yang itu itu saja

dan meletakkannya sembarangan

seperti menunggu datangnya kematian dengan wajar dan sederhana

12

Page 13: Ziarah Tuan Penyair

penyair itu terkutuk

“senja dihari minggu” katamu

dalam kabut matamu menatap kotakota yang bergegas

para peziarah yang memandang segala yang lewat

menunggu dengan sabar mengusap muka dengan telapak tangan

berharap kelahiran nabi nabi baru

kau penyair terkejam yang pernah kukenal

mencacah kata merajam ingatan menyudutkan cuaca mendramatisir keadaan

kau hidangkan sebagai puisi yang tak juga beranjak dari puisipuisi yang kemarin

kemudian linu menerjang diam diam dalam sandiwara ketakacuhan ini

semoga kau baik baik saja semoga lekas sembuh

ini kumpulan puisi terakhir yang dapat kau peroleh dari ketakabadian

pulang lalu bersedakeplah mewartakan diri telah sunyi dan lebam

13

Page 14: Ziarah Tuan Penyair

beberapa hal yang dapat kita tulis untuk menjadi sebuah puisi

tentang kedip di kejauhan itu yang mengedip pelan pelan mungkin hanya sebagai isyarat

dirimu yang menua dan ditinggallkan

kau pikir ia hanyalah sebuah pesan singkat yang akan menjadi puisi

dalam kata kata yang dituliskannya tidak pernah kau baca

dan kau berusaha keras menggapaigapainya demi sebuah perasaan perasaan cengeng

ia ingin mendengar seseorang berbisik seperti rerumputan yang saling bergesek

ia ingin menatap seseorang berciuman seperti sepasang merpati muda kasmaran

dalam sebuah rumah yang hangat

tapi ada yang mengganjal setelah menatap lama lama

aku pikir itu engkau dengan matamu hitam matamu merah

selalu melambai untuk mengajakku jalan jalan

di gua gua terdalam di tempat tempat penjagalan

di tempat yang mana dunia akan selalu gelap

di tempat gempa gempa akan senantiasa datang

aku membayangkan gempa datang dengan pelan

lirih seperti ketukan pintu yang akan membuatmu terjaga semalaman

aku mengangankan gempa datang kenegerimu membuat rumah rumah hancur

kau akan saling mencaci dan mengutuk pemerintah yang tak becus

dan aku akan terus menerus bilang hore

lalu ia memandang lagi kedip di kejauhan itu

dan beranggapan bahwa ia hanyalah sesuatu yang tidak bisa digapainya

seperti keinginannya untuk menggapai sebuah puisi yang baik

14

Page 15: Ziarah Tuan Penyair

lima lembar naskah puisi yang tidak ingin kau baca

ia ingin menulis puisi yang sederhana dan remeh

seperti percakapan antara aku dan dia

tapi diam diam mereka bersiasat merencanakan sebuah kitab

tentang tuntunan bagi mereka yang ingin membenci melupakan puisi

dan membunuh para penyairnya

lembar pertama

sudah terlalu banyak sajak tentang hujan maka coret sajak itu dari daftar

keinginan sajakmu

hujan sudah membasahi kertas kertas kosong itu

akan kau tulis sesuatu tentangnya?

yang ringan menampar nampar membuat ringan perasaanmu

please understand

jangan tololtolol amat

lembar kedua

kesepian bila di tulis akan menjadi sajak yang absurd

dapatkah kau menangkap bayangan sepi yang hadir tiba tiba

dan menyergapmu di malam malam birahi

tapi kau malah tertawa melihatnya yang mengangkang ragu ragu dan pasrah

mengingatkanmu tentang tuhan yang tak dapat menahan tawa dan kemudian

batuk batuk

lembar ketiga (dan ini tentang mu)

ambisi yang berlebihan hanya akan mengundang tawa

seperti badut yang tanpa penonton dia akan merasa sangat pedih

15

Page 16: Ziarah Tuan Penyair

anak anak yang mengintipnya itu tak bisa menahan tawa

ketika badut itu berusaha menghibur dirinya sendiri

merobek dan memakan topeng badutnya

lembar keempat

kematian terlalu asing hanya akan membuat kita terlihat sebagai penipu

di hari kematian mu kemarin

kau kelihatan lusuh

ku dengar bisik bisik orang orang yang memandikanmu

“ternyata anunya kecil sekali tak sesuai dengan koarkoarnya”

lembar kelima

kebecusan seseorang tergantung kepantasan dirinya

dan dia sama sekali tidak pantas di sebut penyair!

16

Page 17: Ziarah Tuan Penyair

puisi dan perumpamaan perumpamaan yang buruk

puisi bukanlah pertobatan

maka kukecup kejalangannya syahdu

tapi dengan degup yang terus menagih dan meminta

maka kupaksa dia menjadi kekasih liar ku

dia makin binal dan membuat beberapa perumpaan untukmu

perumpamaan pertama

lelaki yang ingin mati tidak perlu bantal

bahkan untuk menyebutkan kata itu

kesentimentilan hanya akan melucuti wajahnya menjadi pelawak

yang tak bisa membuat tertawa penontonnya

atau kau ingin meratapi kisah kisahmu

dan meledek kecengengan kecengengan sebelumnya

barut wajahmu dengan parut

sisakan gumpalan merah itu mengalir sendiri

untuk menuliskan puisi sesuai versinya

perumpamaan kedua

lelaki yang ingin bertani dan bercocok tanam

tapi lebih mudah memanen sawah orang lain

dengan sedikit kepalsuan yang dibuatbuat

akan tetap kelihatan tidak senonoh sekali

atau kita menanam kacang tanah dengan sedikit gemetar

untuk mengatakan “kita tidak pernah kehilangan kulitnya”

tapi tanah di kotamu telah mengandung racun

membunuh semua yang ada diatasnya

juga membunuh diriku dirimu dan mereka

dalam segala ketakacuhan ini

17

Page 18: Ziarah Tuan Penyair

kemudian ia ingin membuat ladang berpindah

dan membakar hutan di kepalamu sampai kau merintih rintih

membayangkan pohon pohon yang berjajaran itu tumbang satu satu

perumpamaan ketiga

lelaki yang menunggang kuda

tepat ketika senja ketika ia ingin menghapus kenangan

dengan sinar matahari yang cemberut

ia akan menyangkal semua perkataan perkataan manis di masa lalu

pelan menghilang dalam sisa bayangan yang makin mengecil

seperti akhir film dari sebuah televisi di republik indonesia

perumpamaan keempat

lelaki yang ingin mendengarkan lagulagu sendu

dan ia tak beranjak dari tempat duduknya seharian

dengan lagu yang terus berulang ulang dari youtube

memandang kosong monitor

berharap kekasihnya online duapuluh empat jam di bulan januari

tapi ia sempat ragu ketika wifi ditempatnya berulangkali mati

perumpamaan kelima

harus ku apakan puisi yang terus memburu ini

terdiam di depan makam pahlawan

memandang sudirman dengan cemas dan mempertanyakan tatapannya

sudah pantaskah menjadi perumpamaan kelima?

untuk menghindari perumpamaan perumpamaan yang lebih buruk

ada baiknya keluh kesahmu tentang kebosananmu membaca puisi puisi ini

akan kujadikan penutup

18

Page 19: Ziarah Tuan Penyair

suatu sore dengan kata kata yang menjauh

aku menginginkan puisi datang pelanpelan seperti gerimis di kotamu

aku membayangkan ia yang akan membuatmu basah

kau akan menggigil semalaman mengutuk puisi yang terus merubungmu dalam sisasisa

rasa sentimentil

kau enggan berbagi, katakata murung pergi tak sempat kau rekam

kau memagutku pelan dalam debardebar yang melemah

lalu aku kau juga sore menatap katakata yang menjauh dalam semburatsemburat sinar

matahari di batas mata memandang

kita samasama tersuruk sesal dan saling mengutuk

detik itu, puisi cinta secara resmi telah ditutup

19

Page 20: Ziarah Tuan Penyair

aku bertemu seorang penyair palsu disebuah pasar

akhirnya kita sepakat bertemu di sebuah pasar

tempat jual beli barang katamu

tempat tawar menawar menurutku

"ayo perlihatkan puisimu"

ia ragu mengeluarkan keranjang puisinya bermacammacam gaya telah ia kumpulkan dari

jaman pantun sampai khairil dari jaman soneta sampai jokpin dibungkus rapi

"kamu mau yang mana?" tanya penyair itu

sebenarnya aku hanya ingin puisi yang sederhana semacam pertanyaan ini

apakah hujan ada ditempatmu

apakah kau baikbaik saja

apakah rindu itu masih kau rawat

apakah laci di mejamu masih tertutup rapat

apakah air masih menggenang di sana

tapi pasar terlalu bising untukku

bising dari tawarmenawar katakata

bising dari memboroskan puisi

dan kau kerasan duduk seperti pedagang yang tangguh

sampai di sebuah sepi kupakai formula dari penyair itu untuk membuat puisi

dijamin bisa nembus harian nasional katanya

tapi puisi itu tak bisa berjalan

tertatih tersenggalsenggal

dan ambruk sebelum waktunya berdiri

akhirnya kita sepakat lagi bertemu di sebuah pasar

yang becek dengan katakata

yang bising dengan dengungan puisipuisi

yang penuh kalimatkalimat tak sedap

kujumpai penyair itu sedang sibuk dirubung pelanggan

"ayo sapa lagi murahmurah bualnya" menawarkan katakata

"formulanya kok gak manjur?" bisikku padanya ketika sudah rada sepi

20

Page 21: Ziarah Tuan Penyair

"puisiku gak nembus gawang redaksi tuh?"

ia menjawab tapi suaranya tertelan gaduh pasar

ia bersuara tapi katakatanya tergelincir diantara tawarmenawar

ia berkatakata tapi hanya gaung yang kutangkap

aku menelan ludah dengan berat

tak ada yang dapat dirisaukan lagi

sayup terdengar suara penyair itu

"sudah pulanglah baca puisiku di koran minggu ya"

21

Page 22: Ziarah Tuan Penyair

apakah ia merindukan hujan

rintikrintik hujan yang jatuh itu seperti jerit sang kekasih yang cerewet dan menolak apa

saja tapi kau cukup pintar untuk membiarkannya jemu di halaman berdecakdecak dalam

rindu yang makin absurd dan sendiri membasahi dedaunan sampai kau menyesal dan kau

keluar sambil membawa payung yang tak pernah kau buka

sore itu kamu basah kuyup tapi tak mau beranjak menikmati air yang menetesnetes

dimukamu membiarkan ia yang kangen menyapamu menyelimutimu dan

menggigilkanmu sampai ia puas dan meninggalkanmu dalam rasa hampa yang asing

22

Page 23: Ziarah Tuan Penyair

mata yang mengembara

kau menatapku dengan kosong kelopak matamu seperti menyimpan pintu terbuka

matamu sepi dan tak pernah diketukketuk tamu tak pernah ada orang ingin mampir

menanyakan kabarmu "sampai dimana? letihkah dirimu? sekarang musim apa?" lalu

orangorang melupakanmu

akhirnya mata itu mengembara dan tak pernah kembali meninggalkan mu dalam bengong

dan lusuh

23

Page 24: Ziarah Tuan Penyair

pelahap mata

ia yang selalu memandang matamu mematamataimu menginginkanmu dalam gerak yang

senantiasa terbaca ia memandangmu dan tak mau melepas pandangannya seperti

menginginkan matamu di meja makan mungkin ia seorang pelahap mata seorang yang

selalu mengincar matamata seseorang yang menandai kerlap atau binar matamu dalam

sesal dan ingin segera menyantap sepasang matamu tak habishabis

ia hanya menginginkan matamata yang keruh matamata yang mendung matamata yang

selalu banjir maka pertahankan kedip matamu matamata yang penuh munafik matamata

yang memandang licik dan mengintai matamata yang ingin menerkam teman matamata

yang ingin melahap apasaja kecuali dirimu matamata kanak yang polos tetapi menipu

24

Page 25: Ziarah Tuan Penyair

aku memandang matamu

aku memandang matamu kian mengeruh sedang musim apa disana sudah waktunya

untuk bercocok tanam bagaimana dengan kerbau piaraanmu apakah siap untuk

membajak sawahsawah kita yang dulu kerap kita perbincangkan

selalu musim hujan dimatamu

itu romantis tempat angan segala musim merontokkan daundaun tempat mimpi

tanahtanah mengering dan retak tunggu aku disana akan kuketuk pelan kala kau terjaga

semoga binar matamu menjadikan jalan bagiku berhujanhujan berlarian sepanjang gang

mengganggu orangorang yang berteduh

kau tahu kita tak butuh payung tapi aku hanya ingin memelukmu saja itu pun kalau kau

mau

25

Page 26: Ziarah Tuan Penyair

memandang senja di hari sabtu

kemudian hari sabtu datang

membunuhku pelanpelan dengan lagulagu cengeng dan ngepop

ketika itu waktu menyusut cepat dan kau datang

mengatakan iba kepadaku yang terus menerus dirongrong sabtu

mengutarakan niatmu membunuhnya sambil memperolokolok minggu pagi di sebuah

pantai dan kita menennggelamkan diri bersama dengan mata yang berbinarbinar

kita termenung dan kau bertanya padaku "mimpikah kita?" sepasang pengelana katakata

sepasang pemandang senja yang sering terkecoh

lalu deru laut datang "ini seperti puisi" katamu

kita bergegas membuka lembarlembarnya ditimpali buih mengeriap

"ini bukan puisi tentang laut" sanggahku "ini tentang katakata yang menyusup kedada"

lalu kita terlena sampai malam benarbenar genap

tak sadar kau ada yang tertatih pelan menjauh dan sedih

26

Page 27: Ziarah Tuan Penyair

washing machine

setelah mesin cuci itu datang ia merasa menjadi sangat dekil dan kotor semua pakaian ia

kumpulkan semua celana ia kumpulan semua yang berujud kain ia masukkan kedalam

mulut mesin cuci dan menjalankan sesuai dengan buku petunjuk yang dilampirkan

ia merasa sangat kesepian ketika semua kain dirumahnya telah ia cuci kamarnya yang

biasa dekil dan apek telah harum aroma detergen ia merasa kesepian ketika semua itu

telah berakhir ia pun mulai mencaricari apa yang pantas untuk dicuci

ia melirikmu menimbangnimbang apakah dirimu pantas untuk dimasukkan kedalam

mesin ia melirik pimpinanmu menimbangnimbang apakah dia pantas untuk dimasukkan

kedalam mesin ia melirik pimpinan daerahmu menimbangnimbang apakah dia pantas

untuk dimasukkan kedalam mesin ia melirik pimpinan pusatmu menimbangnimbang

apakah dia pantas untuk dimasukkan kedalam mesin dan ia melirik orang nomor satu di

negerimu yang terlihat dekil dan kotor dan ia beranganangan untuk menjebloskan

kedalam mulut mesin itu yang terus menganga meminta halhal yang kotor untuk dicuci

dibilas dan dikeringkan dan kau tinggal menyetrika saja kemudian menumpuk dalam

almarimu yang terlihat rapi dan harum

27

Page 28: Ziarah Tuan Penyair

bagaimana menyatakan cinta dengan beberapa kalimat tanpa harus menjadi puisi

yang norak

ia tidak ingin yang klise membandingkan kekasihnya dengan rembulan dengan binatang

dengan tumbuhtumbuhan ia hanya ingin mengutarakan aku cinta kamu titik tapi

perempuan itu terus menyanjung waktu untuk halhal yang sepele sedikit rayuan sedikit

pujian dan halhal remeh serta kalimatkalimat yang puitis palsu dan menyebalkan ini

28

Page 29: Ziarah Tuan Penyair

pesanpesan dalam botol yang selalu ia ingin temukan

ia sangat suka pantai dimana matanya dapat memandang lepas dan angin laut akan

memainkan rambutnya pada pantailah ia harapkan ombak menepikan sebuah botol yang

berisi pesanpesan rahasia dari kekasihnya yang telah lama pergi

mungkin gulungan kertas dalam botol itu ceritacerita yang menakjubkan atau mungkin

juga sebuah puisi klise yang norak atau hanya selembar foto dirinya sendiri yang

kesepian dan berharap sebuah botol datang menemaninya malammalam

ia berjalan menyusuri pantai sore itu dan berharap handphonnya menjeritnjerit

memangilnya untuk pulang

29

Page 30: Ziarah Tuan Penyair

untuk yang satu itu

 

ia membawa pergi yang tak lagi kau punya juga kekanakan itu

dan kau tersuruk di jalan jalan

menyapa sepi menawarkan sunyi disetiap perjumpaan

mungkin kau sewaktu waktu dapat kembali tapi tidak

kenangan memberimu senyum tersipu

ketika hujan tiba dan genangan air di halaman

melantunkan petuah yang tak seharusnya

ia telah berjalan jauh dan lelah terlihat di rautnya

yang cair menuju pojok rumah

dimana ia dulu kerap menemanimu duduk melamun

membayangkan sepasang matanya dapat menembus dinding dinding

membayangkan sepasang sayap dipunggung dan berputar

diatas rumah lambat lambat

dan ia melambai

seorang yang kau kenal akan mengedipkan lampu

sore seperti biasa saat pulang di pojok beteng wetan

sudahlah biarkan ia sendiri menuntun hidup

kau tak akan lagi mengingat ingat sepasang matanya

ia telah mengisi masa lalu mu dengan pengkianatan

 

 

30

Page 31: Ziarah Tuan Penyair

dua perempuan tua yang bercakap bersandarkan perahu nelayan

 

 

hari telah jenuh perahu perahu berlabuh dengan bendera berkibar

lihat dari sudut ini negara yang gagah dengan ombak melempar tinggi

dua perempuan tua yang bercakap bersandarkan perahu nelayan ditepi pantai

tentang anak anak nya yang berani menceburkan diri

mereka heran karena bapak bapaknya dulu pengecut sekarang pun masih pengecut

sedang beromong kosong dengan lagu nenek moyang mereka "orang pelaut"

di depannya terhampar lambang lambang penakut mengarungi kekalahan

yang sulit di terima seringkali berbareng dengan kekalahan lagi

 

negara ini sedang menunggang perahu di dera amukan ombak

kau bisikkan kalimat lirih itu ke teman mu ketika sendiri sadar oleh angin pantai

menuju kemana debu debu air yang terhempas debur senyapkah teriakkan laut

sepasang mata di batas kau memandang tersenyum ada dalam kayal

tentang negara negara sangat dahulu melempar jangkar jauh dan dalam

 

dua perempuan tua yang bercakap bersandarkan perahu nelayan

sore tadi kambing gembalaan telah pulang kini mengasokan diri

membiarkan angin pantai bercampur pasir mengotori rambutnya ketika laut kembali

pasang

debur deburnya tinggi melampaui bendera bendera yang kecil berkibar kibar

di perahu perahu perahu kepunyaan juragan

tak pernah ia dengar tangis cucunya pengujung pantai yang resah mengakrabi amis

ikanikan

datang dan pergi ditanamkamnya rasa itu sekali lagi senyap dan ingkar

 

 

31

Page 32: Ziarah Tuan Penyair

aku baru saja membaca sajakmu yang paling berkesan

 

i

ada kesekian waktu dalam diriku bertanya kepadamu

mengulang ulang doa doa serta sujudku tak sampai

aku baru saja membaca sajakmu malam itu sedikit menggerogoti

meluruhkan jam yang masih menunjukkan waktu

sajakmu membuatku berpikir aneh tentang kesepian

dengan silet terbuka seperti hendak kusayatkan pada kemaluanku

dari persetubuhan yang tak engkau inginkan persetubuhan yang liar dan brutal

bukan untuk menemukan kepuasan lewat darah

tapi rasa ini tak bisa memenuhi permainan

robot gedek mungkin belum terkunci ia ada didirimu membuka

lewat televisi tadi malam lewat majalah majalah dan tabloid berceceran

 

aku baru saja habis membaca sajakmu yang paling berkesan

mencabut tancapkan diseling waktu yang paling enggan

samakan perumpamaan itu di surga kelaminmu

oh rasa aneh ini menjalari nadi nadi darah

teh celup manis dipanas gersang batu batu pasir dan suara gemuruh

lahar merapi juga dingin kabut kaliurang pertemuan yang paling tak

sudi dan paling tak diingini

aku cemburu pada sajakmu yang meninggalkan kesan sangat dalam padaku

 

ii

aku temukan bacaan terlarang itu di lirih sajak kesepianmu

gejala gejala alam serta cuaca kau pakai untuk bergumam sumbang

remah remah waktu kau punguti di depan pintu menyusun apakah kalimat

yang jarang terurai dengan sempurna tentang unggas dan segala rupa

yang muda inginkah ingatanku bercengkerama segelas wedang jahe yang

suntuk waktu yang kantuk resahku kegelisahanmu menghabiskan malam bersama

 

aku baru saja membaca sajakmu yang paling sepi, nduk

seperti petani yang menuai tikus seperti ratap tomi di sel nya

seperti denyut kelaminmu waktu itu

sanggupkah kau menerima segala kerapuhan ku

32

Page 33: Ziarah Tuan Penyair

 

iii

pohon pohon yang ditebang mahoni randu tanjung pohon jambu serta getirmu

sungguh tak berguna tak bantu bangunkan rasa bangga

tak bantu sirnakan membaca gelisah di sajakmu

benih benih ini mulanya dibawa angin unggas dan cinta menjadikannya sajak

olehmu kau olah persembahkan untukku

kata demi kata kalimat demi kalimat berakhir dengan tanya begitukah

 

kau hewan yang paling luka yang paling ku kenal sebuah sajak tanpa

pengharapan menjadikanku tertegun begitu terpesona

33

Page 34: Ziarah Tuan Penyair

adakah puisi diantara penjual buahbuahan

pernah kau tanya penjual buahbuahan adakah puisi diantara dagangan yang ia gelar

mungkin ia menjelma pisang yang kuning dan manis atau barangkali dia berwujud

mangga manalagi menyamar sebagai pepaya bangkok berkamuflase seperti apel malang

atau menjadi jeruk bali

aku ingin membezuk seseorang semoga ia selalu teringat apa yang akan aku bawa

buah yang bulat menyegarkan seperti bola hijau kulitnya tapi merah dagingnya kau

hargai berapa satu butirnya adakah lebih dari dua kilo berikan juga rasa sepatu rasa

hantaman dimuka juga rasa memar tentang ingataningatan buruk memakanmu

penjual itu tersenyum menawarkan buah yang paling manis sambil mengutuk buah yang

paling pahit yakni kemelaratan lalu tentang puisi katanya coba kau tanya pada pencopet

itu dia telah terbiasa mengutil dan bermain mata

34

Page 35: Ziarah Tuan Penyair

ziarah ibu dan puisi

ibu hendak kemanakah kulesakkan puisiku yang datang berduyun duyun ketika petang

ketika awan bergegas ketika pengendara pengendara menatap langit dengan cemas

atau biarkan ia menjadi ranjang untukmu menemani hari hari dengan gumam dengan

mimpi mimpi untuk berlari menuju kabah

ibu maghrib hampir tiba kan kukunci semua jendela duduklah ditepi ranjang yang

pengap

dari puisi puisi yang kubiarkan merana dan mati maaf kubersihkan nanti

aku sendiri terluka bu menatap jaman menatap diri sendiri dan kesepian

terbabat waktu dan membiakkan hari hari dalam keberuntungan dan ketakberuntungan

nasib

puisi puisi yang tak kukenali lagi menyapa pelan tetapi menggelisahkan ku

adakala kutemukan dirinya dalam unggas unggas dalam pengendara pengendara yang

melaju yang mengkepak kepakkan waktu diredup cahaya

ya tadi malam aku impikan kursi rodamu ia melesat cepat pergi

kulihat kau berlari lari kecil mengejarnya ku bayangkan itu ditanah suci

impian impian tentangmu adalah mimpi mimpiku sendiri bu

dan kau adalah aku yang mengakrabi ranjang demi ranjang puisi yang jenuh tapi tak

beranjak

beranjaklah puisiku seperti ibuku dulu dari kanak menjadi dewasa kawin dan berbiak

jangan sakit jangan berdiam saja diranjang seperti ibuku

belajarlah menjadi luka chairil yang kan berlari membawa hilang pedih perihnya

ibu jadikan puisi ku pengendara yang bergegas seperti unggas unggas disore hari

ada kepastian untuk pulang dan membaringkan tubuh di ranjang kumel

dalam puisi yang seharian terasing dan aku tenggelam didalamnya tak keluar keluar

sebagai burung tak bersarang aku terkapar lagi

melaju dalam dengus kereta

aroma para pengembara antar kota kota masih merayap pelan di mimpi mimpi pagiku

mengantarkan puisi puisi tentang perjalanan di akhir malam

35

Page 36: Ziarah Tuan Penyair

aku terkapar dalam ranjang dan membangun puisi dari batuk dan rewelnya ibu

yang sering memanggilku malam malam ketika puisi tak lagi disampingku

ia menderit dikursi roda yang kudorong pelan sementara bapak para sajak lelap tidurnya

ia lelah dan mulai menua

maaf ibu ini hanya ziarah ku padamu pada puisi puisiku

36

Page 37: Ziarah Tuan Penyair

sebuah upaya untuk menutup kuping menyumpal mulut membuntungkan

jarijemari dan membebat mata

satu

ada pernah kau mendengar cerita ia yang terlihat coklat manis di rakrak supermarket

berbatangbatang terkemas rapi atau menemani orangorang dudukduduk di cafe dengan

segelas coklat yang hangat

ada pernah kau mendengar cerita ia sebagai lambang cinta di bulanbulan februari dan kau

terus menerus mengatakan tentangnya agar aku membelikanmu sebagai hadiah

ada kau pernah mendengar perkebunan itu dengan pohonpohon yang teratur rapi dengan

segalagala yang terukur

ada kau pernah mendengar seorang ibu menghinakan dirisendiri memetik beberapa buah

dari pohonnya tanpa izin dan tersungkur

ada kau mendengar aku memintamu untuk terus menutup kuping

dua

ia hijau bundar dan merah tetapi petani itu sangat rakus mengambil yang bukan haknya

menjejalkannya masuk kedalam mulutmulutnya sendiri lalu orangorang berceloteh

tentang keadilan yang tak dapat diucapkannya meski sangat pelan lalu orangorang seolah

turut berduka

dan ia sama sekali tidak berbicara karena mulutnya masih tersumpal serpihan semangka

tiga

kabar tentang rumahsakit sebagai tempat untuk menyetor duit memang benar adanya

jangan mengeluh

jangan sakit

atau kalau kau keberatan dengan pasal ini silahkan tidak hidup dan pilihlah cara yang

cukup layak terjun dari mall misalnya itu akan jadi perbincangan dan fotomu akan

terpampang barang satu dua hari sebelum tertimbun iklan kondom dan deodoran

sebagai penutup dan bukan ancaman pada jemari yang pandai mengetik itu ingin aku

katakan "kau lentik ketika kau tidak buntung kutunggu karya mu selanjutnya!"

empat

aku tak mendengar apaapa tentang ini

aku tak memakannya

jemariku tak mampu mengetikkannya untuk kau baca

37

Page 38: Ziarah Tuan Penyair

aku tidak melihat apaapa samasekali

tibatiba aku merasa buta dengan ingatan yang kabur

ini sangat serius

dan kau jangan ikut tertawa

38

Page 39: Ziarah Tuan Penyair

pengintip

pengintip itu membutuhkan matamata yang lebar matamata yang mengetahui gerakgerik

pengawasnya mata yang merah menahan amarah ketika hakhaknya diabaikan yang akan

membuatnya selalu menjadi pengintip yang ingin tahu apa yang mereka kerjakan

untuknya dalam segala gerakgerik yang telah ia palsukan

ini hanya tentang matamata yang ingin mengawasimu matamata yang ingin tahu segala

kegiatanmu ia bukanlah pembantu setia dalam ceritacerita lama ia ingin tahu dirimu

untuk menjebakmu dalam tindakantindakan yang ia harap kau lakukan

pengintip itu tak tahu yang ia awasi pun ternyata mempunyai mata yang tajam mata yang

bisa menebak gerak matamatamu dalam kejadiankejadian yang diskenariokan

duamata itu akhirnya bertemu dalam isyarat kedipkedip matamata dan berakhir tidak

bahagia

39

Page 40: Ziarah Tuan Penyair

peracik

ia terkenal sebagai pembuat bumbu yang tak ada duanya dan hapal segala macam

ramuramuan bahkan ia pernah berkoar mampu membuat dan menghilangkan dirimu

dalam sekali sajian ia mulai resah bumbubumbu rahasianya konon ada yang mencuri

mempraktikkan resepnya dengan sembarangan ia mencium aroma gosong di sana

tapi ia tidak menyesal telah berbagi ilmu meskipun muridmuridnya tidaklah selihai

dirinya peracik itu kini mengincarmu mengharapkan dirimu untuk mewariskan ilmunya

koki yang selalu gosong dalam masakannya koki yang buruk dalam selera dan citarasa

dan memujimu sebagai koki paling hebat abad ini

40

Page 41: Ziarah Tuan Penyair

pengendara

ayolah kau sangat menawan kasihku para pengelana yang mencari hewanhewan liar

untuk ditaklukan para pengelana yang mencari buahbuah termanis dalam hidupnya

mesti terlarang kejar kenikmatan itu sampai keujungujungnya

dan ini dadaku bidang dan terluka tambatkan dirimu dalamdalam disana

ayo melesatlah kalahkan pecundang itu yang selalu mengeluh yang selalu merasa dirinya

paling teraniaya kenangkanlah buahbuahan yang paling ranum dari dadadada gembur di

tanah airmu kau adalah mesin yang sempurna dari dunia asing yang ternaungi daundaun

dari hutan tropika kau adalah penjelmaan transportasi abad 21 yang tidak akan merengek

menyesal telah hadir di semesta

maka kamu adalah hujan yang akan aku taburkan di tanahtanah di seantero nusantara

bergegaslah melintas diangkasa kenanglah daundaun kelapa yang bergerak kaku

kenanglah burung yang terbang sebatangkara kenanglah aku yang takjemujemu

menunggumu menantikan kedatanganmu dengan dadadada luka yang terus terbuka

41

Page 42: Ziarah Tuan Penyair

pejalan

ia yang tak hentihenti berkelana mengunjungi kenalankenalan lama yang telah

melupakan dirinya menyapa debu menyapa aspal menyapa rumputrumput liar menyapa

dirimu yang tak lagi mengenalnya ingatkah kamu padaku seorang pejalan yang selalu

akan mengajakmu untuk memanjakan kakimu mengikuti langkahlangkahnya memetakan

dunia

tapi kamu selalu sibuk dengan persoalanpersoalan yang tidak ada habishabisnya

ia pun berkeras menapaki pikiranpikiranmu yang tandus kakikaki kecilnya bergerak

pelan menghindar dari jebakanjebakan dan duriduri yang sering nampak di wajahmu

ia pun terus maju dan tak gentar ia sudah terlalu banyak kehilangan sahabat dan

kenangkenagan dimana itu dulu tempat burungburung membangun sarangnya

menetaskan anakanaknya yang selalu mencicitcicit merindukan ibunya dimana dulu

sungai yang penuh ikanikan yang berkerumun berebut makanan yang kautebarkan

dimana dulu aku yang selalu ada dikamarmu mendengarkan lagulagu lama

dan ia merasa telah terhapus jejakjejaknya dan berjanji untuk tidak akan mengganggunya

lagi dengan perbuatanperbutan konyol semacam ini dan memutuskan menyusuri jalan

yang sangat teduh dan rimbun dan istirahat di sana sebelum kau tertidur

42

Page 43: Ziarah Tuan Penyair

pengetik

hurufhuruf yang disusunnya itu telah lelah mengulangulang katakata yang terus saja

ditekan dari keyboard computer lamanya tak tik nya terdengar merdu di telinga pengetik

seperti suara kakikaki kecil yang berloncatan di meja kerjanya ada seperti ia dikejarkejar

dan takkan habishabis untuk berlari menghindar

adakalanya katakata itu mengeluh dan mengatakan telah bosan tapi terus saja pengetik

itu menjentikkan jarijarinya di keyboard itu sampai ia hapal betul letakletak hurufhuruf

tanpa harus mengamatinya seperti seorang yang berkelamin pertamakali

pengetik itu kadangkala sadar dan merasa ia seperti hurufhuruf yang diketikkannya

terlempar dan terhampar di belantara ketikanketikan tuhan atau kadang ia merasa

menjadi tuhan di depan layar monitor dan menyiksa hurufhuruf itu untuk menjadi

murung tanpa tawa di dalam sajaksajak

tapi akhirakhir ini usahanya sedikit terhambat anakanak sekolah disekitarnya telah

menjinjing laptop dan kalau bertemu dengannya kadang mencibir ia sebagai dinosaurus

kalau sudah begitu ia akan mendongakkan kepalanya seperti hendak menghindar dari

kejadiankejadian yang akan datang yang dikarang oleh pengetik kehidupannya

43

Page 44: Ziarah Tuan Penyair

biodata penulis

riswan hidayat, bekerja  sebagai  karyawan swasta dan

menulis puisi sekedar untuk menyesali hidup yang tak

rampung rampung  email :  [email protected].  

44