145
ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL” DALAM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) Disusun Oleh: Yogi Sulaeman NIM: 1111051000004 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015 M./1436 H.

YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL”

DALAM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA

PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Disusun Oleh:

Yogi Sulaeman

NIM: 1111051000004

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015 M./1436 H.

Page 2: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Strata-1 di Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari saya terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakrta, 09 Juni 2015

Yogi Sulaeman

Page 3: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Analisis Wacana Kritis “Dai Komersial” dalam Buku Setan

Berkalung Surban Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu, 03 Juni 2015. Skripsi ini diterima

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

pada program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 09 Juni 2015

Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. H. Arief Subhan, MA Ahmad Fatoni, S.Sos.I

NIP. 19660110 199303 1 004

Anggota,

Penguji I, Penguji II,

Rubiyanah, MA Fita Fathurokhmah, M.Si

NIP. 19730822 199803 2 001 NIP.19830610 200912 2 001

Pembimbing,

Dr. H. A Ilyas Ismail, MA

NIP.19630405 199403 1 001

Page 4: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

ANALISIS WACANA PESAN DAKWAH

DALAM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA

PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Disusun Oleh:

Yogi Sulaeman

NIM: 1111051000004

Disetujui Oleh Dosen Pembimbing:

Dr. H. A Ilyas Ismail, MA

NIP.19630405 199403 1 001

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2015 M./1436 H.

Page 5: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

ABSTRAK

Nama : Yogi Sulaeman

Nim : 1111051000004

“Analisis Wacana Kritis “Dai Komersial” dalam Buku Setan Berkalung

Surban Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA”

Berdakwah melalui tulisan merupakan media dakwah yang cukup efektif

dalam menyampaikan pesan–pesan dakwah di zaman sekarang, karena media ini

memiliki usia dalam jangka panjang dan pengaruh dalam jangkauan luas. Salah

satu media tulisan yang dapat digunakan sebagai dakwah ialah buku, seperti buku

Setan Berkalung Surban dalam penelitian ini. Di sisi lain, masyarakat modern

sekarang ini sedang euforia dengan buku yang berisi hiburan, dan mulai

melupakan buku yang berisi keislaman. Jelasnya, bagaimana dakwah itu dikemas

dengan sebaik mungkin. Karena dakwah yang efektif, ialah yang dapat menarik

hati objek dakwahnya, dalam hal ini ialah pembacanya.

Pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana struktur teks yang

diwacanakan oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dalam buku Setan

Berkalung Surban? Bagaimana kognisi sosial dan konteks sosial yang ada dalam

buku Setan Berkalung Surban?

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis wacana

kritis Teun A. Van Dijk dengan pendekatan kualitatif. Menurutnya penelitian

wacana tidak hanya terbatas pada teks semata, tetapi juga bagaimana suatu teks

diproduksi dan dipahami oleh si pembuat teks. Dan bagaimana kognisi sosial dan

konteks sosial yang ada.

Penelitian ini fokus pada tulisan tentang dai komersial. Tulisan ini memiliki

3 pesan utama, pertama menghimbau dai agar memiliki perilaku yang sesuai

dengan ucapan mereka. Kedua, mengkrtitik dan memperingati dai yang yang

mengejar popularitas dalam dakwah. Ketiga, menjelaskan keharaman dai

komersial. Tulisan ini disampaikan dengan alur singkat dan padat dengan 3-5

halaman. Tulisan ini memiliki latar, detail, maksud, dan praanggapan yang jelas.

Bahasa dan pilihan kata yang digunakan cukup ringan dan kaya akan unsur

retoris.

Secara kognisi sosial, tulisan ini berisikan representasi pemikiran beliau

terhadap fenomena dai komersial yang dilandaskan pada pengetahuan Islamnya

yang mendalam dengan disiplin ilmu lainnya. Kemudian strategi beliau dalam

menulis buku ini adalah menggunakan bahasa yang ringan dan pengantar berupa

kisah nyata atau hasil dari perkumupulan bersama para Ulama. Secara konteks

sosial, dapat diketahui bahwa alasan beliau dalam menulis buku ini adalah untuk

mengkritik perilaku para dai komersial, dan memberi solusi dari fenomena itu,

dengan cara pertama, masyarakat untuk tidak mengundang mereka lagi dan kedua,

pemerintah agar memberdayakan peran imam masjid di Indonesia. Layaknya

matahari dengan bumi, begitulah perumpamaan arti penting pengetahuan Islam

bagi umat Islam. Fungsi buku ini dalam menyampaikan pesan dakwah sangat

bermanfaat bagi masyarakat. Mereka harus mendongkrak kembali semangat baca

mereka terhadap buku bertema Islam, agar mendapat bekal pengetahuan Islam

yang cukup sehingga selamat dunia dan akhirat.

Kata Kunci: Buku, Dai Komersial, Analisis Wacana, Kognisi Sosial, dan

Konteks Sosial.

Page 6: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Segala

puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt. atas segala rahmat dan

kemudahan dari-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat

serta salam senantiasa terlimpahkan pada junjungan Nabi Besar Muhammad saw.,

para keluarga beliau, para sahabat beliau yang mulia, dan umat beliau yang

mengikuti dan mengamalkan sunnah dan ajarannya hingga hari akhir nanti.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari benar bahwa tanpa adanya

bantuan dari berbagai pihak terkait, penulis tidak dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik. Karena berkat arahan, bantuan, dan motivasi yang diberikan,

akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan gelar Strata

Satu (S1) di jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI), Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDIKOM), Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

besarnya kepada kedua orang tua penulis H. Eman Sulaeman dan Hj. Dedeh

Kurniasih, S.Pd.I. yang telah memberikan banyak kebaikan kepada penulis yang

tak bisa penulis sebutkan seluruhnya dan tak akan pernah bisa penulis balas

seutuhnya. Terimakasih banyak Ayah dan Ibu, semoga Allah swt. memberikan

pahala yang berlimpah atas amal kebaikan kalian kepada anak-anak kalian.

Aamiin. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

Page 7: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

1. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan

Ilmu Komunikasi (FIDIKOM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Suparto, MA, selaku Pembantu Dekan Bidang Akademik, Ibu Dr.

Roudhonah, M.Ag., selaku Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan

Bapak Dr. Suhaimi, M.Si., selaku Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan.

3. Bapak Rachmat Baihaky, MA, Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam

(KPI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, selalu memberikan

dukungan kepada penulis selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Fita Fathurokhmah, SS., M.Si., selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan

Penyiaran Islam (KPI) yang telah banyak membantu penulis.

5. Bapak Dr. H. A.Ilyas Ismail, MA, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang

telah banyak memberikan arahan, saran serta motivasi kepada penulis selama

penulisan skripsi ini. Terimakasih banyak atas bimbingannya.

6. Ibu Artiarini Puspita Arwan, M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang selalu memberikan perhatian, dukungan, doa, dan bimbingan kepada

penulis sejak awal perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini selesai.

7. Seluruh Dosen dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

8. Sahabat-sahabat mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam angkatan 2011 dan

sahabat-sahabat mahasantri Darus-Sunnah angkatan 2011 (Fushilat).

Terimakasih atas kebersamaannya, penulis bangga menjadi bagian dari kalian.

Tetap berjuang dan tetap semangat!

Page 8: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

9. Adik-adik tersayang, Balkis dan Yaser Hafair Syah yang selalu menemani dan

menghibur penulis selama ini. Semoga Allah swt. selalu melindungi kalian

dengan rahmat-Nya di dunia maupun di akhirat. Aamiin.

10. Langit Merah di malam hari, Mia Islamiati, yang jauh di sana tapi selalu

serasa dekat di sisi, yang selalu tulus untuk menemani, mendukung,

mendoakan, dan memberi perhatian yang hangat kepada penulis dalam

menjalani segala rintangan dalam kehidupan ini. Juga atas bantuannya yang

sangat berharga dalam pengeditan tulisan skripsi ini. Semoga Allah swt. selalu

melimpahkan cinta-Nya kepadamu dan kepada kita. Aamiin.

Besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat menambah keilmuan

terutama bagi rekan-rekan mahasiswa Komunikasi Penyiaran Islam Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis sadari bahwa skripsi ini

masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, penulis menyadari

pentingnya kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat menjadi

masukan di masa mendatang. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi

penulis khususnya dan bagi pihak lain pada umumnya.

Jakarta, 09 Juni 2015

Yogi Sulaeman

Page 9: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. i

ABSTRAK ...................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... vi

DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................. 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 5

D. Metodologi Penelitian ............................................................... 6

E. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 12

F. Teknik Penulisan ....................................................................... 13

G. Sistematika Penulisan ................................................................ 13

BAB II LANDASAN TEORITIS

A. Analisis Wacana ....................................................................... 15

B. Dakwah ..................................................................................... 31

C. Buku sebagai Media Dakwah ................................................... 35

BAB III PROFIL PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA DAN

GAMBARAN UMUM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN

A. Profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA .......................... 37

B. Karya-Karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA .............. 40

C. Aktivitas Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA .................... 43

D. Gambaran Umum Buku Setan Berkalung Surban.................... 45

Page 10: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

BAB IV ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL” DALAM

BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA PROF. DR. KH.

ALI MUSTAFA YAQUB, MA

A. Struktur Teks yang Diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung

Surban....................................................................................... 49

B. Analisis Wacana Berdasarkan Kognisi Sosial ......................... 93

C. Analisis Wacana Berdasarkan Konteks Sosial ......................... 100

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................... 105

B. Saran ......................................................................................... 107

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 109

LAMPIRAN .................................................................................................... 113

Page 11: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

DAFTAR TABEL

Tabel 1 ........................................................................................................ 8

Tabel 2 ........................................................................................................ 9

Tabel 3 ........................................................................................................ 19

Page 12: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan zaman yang semakin pesat sekarang ini melahirkan

banyak teknologi canggih yang bisa dimanfaatkan manusia. Penggunaan media

komunikasi modern pun, menjadi sebuah kebutuhan yang harus dimanfaatkan

keberadaannya untuk kepentingan dalam menyampaikan pesan atau dakwah

Islam. Salah satunya adalah dakwah melalui media tulisan, yang disebut

dengan dakwah bil qalam, baik melalui media cetak seperti buku atau media

internet seperti blog. Keuntungan dakwah bil qalam adalah bisa menembus

ruang dan waktu dalam jangkauan luas.1

Rasulullah saw. sebagai panutan umat Islam sedunia tidak hanya

melakukan dakwah secara lisan dan memberikan suri tauladan dalam

berperilaku, akan tetapi juga melakukan dakwah melalui tulisan. Hal ini dapat

dilihat pada dokumentasi surat-surat Nabi saw. yang ditulis oleh seorang ahli

sejarah yaitu Muhammad bin Sa‟ad (W. 230 H.) dalam kitabnya Al-Thabaqat

al-Kubra yang seluruhnya berjumlah tidak kurang dari 105 buah surat.2

Sebagai fenomena keagamaan, perintah tentang dakwah serta pengertian

yang dikandungnya bersumber dari firman Allah swt. yang tercantum dalam

Al-Qur‟an (Surat Ali Imran, 3: 104), yaitu:

1 M. Bahri Ghazali, Dakwah Komunikatif, (Jakarta: CV. Pedoman, 1997), h.33.

2 Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000),

cet. Ke-2, h. 181.

Page 13: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

ولم تهر وأ ت ال ن غ ت روف ويت ػت ت مرون ةال

ت ويأ يت غن إل الت ث يدت

ت أ تك ت ك ولت

يدن فت ت ال

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang

menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari

yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”

Buku adalah salah satu media cetak yang cukup diminati di kalangan

masyarakat Indonesia. Eksistensi buku sebagai penyampai informasi dan

pengetahuan kepada masyarakat Indonesia, tidak akan lekang termakan usia.

Tulisan atau karya seseorang akan terus melekat dalam hati sebagai buah tutur

setiap hari, berbeda dengan dakwah secara lisan yang dapat memikat jutaan

orang akan tetapi bisa hilang dengan cepat tanpa membekas dalam hati.3

Salah satu buku yang menyajikan pesan dakwah Islam adalah buku yang

berjudul Setan Berkalung Surban, karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub,

MA. Buku ini berisi kumpulan artikel beliau yang diterbitkan di media cetak

terkenal di Indonesia, seperti Koran KOMPAS, REPUBLIKA, Majalah

NABAWI, dan juga memuat makalah beliau pada Seminar Internasional,

khutbah Jumat di New York, dan khutbah nikah yang sangat mengharukan

pada pernikahan Duta Besar Paraguay yang baru saja masuk Islam di bawah

bimbingan beliau.

Pesan dalam buku ini sarat akan pesan dakwah di dalamnya, karena buku

ini menjawab banyak problematika sosial yang muncul di tengah masyarakat

Islam modern saat ini, khususnya di Indonesia. Dengan terdiri dari tiga bab

3 M. Isa Anshori, Mujahid Dakwah, (Bandung: Diponegoro, 1991), cet. Ke-4, h. 34.

Page 14: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

besar yaitu akidah, ibadah, dan muamalah, buku ini membahas tuntas semua

masalah sosial yang muncul dengan menghadirkan solusi yang pas sesuai nash-

nash yang ada, yang berasal dari Al-Quran dan riwayat-riwayat hadis shahih

yang bisa dijadikan hujjah dan dalil dalam menyampaikan ajaran Islam. Salah

satu temanya adalah membahas tuntas tentang dai komersial.

Selain isi pesannya yang sangat dalam akan ajaran Islam dan memiliki

tingkat kredibilitas yang sangat tinggi, pesannya pun dikemas dengan sangat

menarik dan memiliki kesan berbaur dengan pembacanya, sehingga sangat

mudah untuk memahami isinya dan tidak membosankan untuk membacanya.

Kemudian kredibilitas penulisnya juga sangatlah terkenal sebagai dai dan

ulama hadis di dalam Negeri bahkan di luar Negeri. Banyak sekali tugas mulia

beliau yang sudah dilakukan dan sedang dilakukan untuk umat muslim di

Indonesia maupun di dunia. Di Indonesia beliau adalah Imam Besar Masjid

Istiqlal Jakarta, masjid yang menjadi kebanggan bangsa Indoesia, karena

memiliki penghargaan sebagai masjid terbesar se-Asia Tenggara. Juga sebagai

pendiri dan penanggung jawab Darus-Sunnah International Institute for Hadith

Sciences sebagai pesantren berstandar Internasional satu-satunya yang ada di

Indonesia yang khusus mempelajari hadis dan ilmu hadis.

Di luar Negeri beliau menjadi penasihat di Darul Uloom, New York,

USA. Beliau juga sering megikuti dan menyampaikan materi presentasi di

Seminar Internasional antara Ulama Dunia. Ketika orang lain disibukkan

dengan kehidupan dunia untuk mencari harta benda, beliau hanya disibukkan

dengan kegiatan dan aktifitas untuk menyiarkan agama Islam ke seluruh dunia.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis wacana dalam

Page 15: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

buku ini, yang membahas tentang fenomena dai komersial yang sedang hangat

di tengah masyarakat modern Islam di Indonesia sekarang ini. Berdasarkan

latar belakang diatas, maka penelitian ini diberi judul “Analisis Wacana Kritis

“Dai Komersial” dalam Buku Setan Berkalung Surban Karya Prof. Dr. KH. Ali

Mustafa Yaqub, MA.”

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah menganalisis pesan dakwah

tentang dai komersial yang terkandung dalam bab muamalah pada buku Setan

Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Berikut ini 8

judul yang akan diteliti:

a. Setan Berkalung Surban

b. Surban dan Jubah Haram

c. Dai Berbulu Musang

d. Dai-dai Sesat

e. Kode Etik Dakwah

f. Dakwah dan Kearifan Lokal

g. Keteladanan Buya Hamka

h. Memberdayakan Imam Masjid

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

skripsi ini adalah:

a. Bagaimana struktur teks yang diwacanakan oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa

Yaqub, MA dalam Buku Setan Berkalung Surban?

Page 16: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

b. Bagaimana kognisi sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr.

KH. Ali Mustafa Yaqub, MA?

c. Bagaimana konteks sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr.

KH. Ali Mustafa Yaqub, MA?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka tujuan

penelitian ini ialah :

a. Mengetahui struktur teks yang diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung

Surban karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.

b. Mengetahui kognisi sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof.

Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.

c. Mengetahui konteks sosial dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof.

Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

1. Penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif terhadap khasanah

keilmuan dalam bidang dakwah melalui media cetak buku.

2. Juga dapat menjadi referensi bagi penelitian analisis wacana kritis dalam

sebuah buku.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini dapat memberikan gambaran kepada aktivis dakwah untuk

menjadikan media cetak khususnya buku, sebagai media dalam menyampaikan

nilai-nilai Islam kepada masyarakat modern sekarang ini. Penelitian ini juga

Page 17: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

dapat memberikan masukan dan dorongan kepada mahasiswa dan masyarakat

untuk lebih menyukai buku yang bertema Islam.

D. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma Penelitian adalah kumpulan sejumlah asumsi yang dipegang

bersama, konsep atau proposisi yang dapat mengarahkan cara berpikir peneliti

dalam penelitiannya.4 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah

paradigma kritis. Teori kritis adalah usaha pencerahan. Sebagai toeri yang

kritis, maka teori yang dikembangkan Horkheimer dan Adorno mau

menciptakan kesadaran yang kritis: teori kritis pada hakikatnya mau menjadi

Aufklarung atau pencerahan.5

Meskipun banyak macam ilmu sosial kritis, semuanya memiliki tiga

asumsi dasar yang sama. Pertama, semuanya menggunakan prinsi-prinsip dasar

ilmu sosial interpretatif yakni bahwa ilmuwan kritis menganggap perlu untuk

memahami pengalaman orang dalam konteks. Secara khusus pendekatan kritis

bertujuan untuk menginterpretasikan dan karenanya memahami bagaimana

berbagai kelompok sosial dikekang dan ditindas. Kedua, pendekatan ini

mengkaji kondisi-kondisi sosial dalam usaha mengungkap struktur-struktur

yang sering kali tersembunyi. Ketiga, pendekatan kritis berupaya

menggabungkan teori dan tindakan. Teori-teori tersebut jelas normatif dan

4 Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2007), h.49. 5 Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h. 156-

166.

Page 18: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

bertindak untuk mencapai perubahan dalam berbagai kondisi yang

mempengaruhi hidup kita.6

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu pendekatan

untuk menjelaskan sebuah penelitian dengan menggunakan kata-kata.7

Pendekatan ini bertujuan untuk memahami (understanding) dunia makna yang

diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali

Mustafa Yaqub, MA.8

3. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

analisis wacana kualitatif. Analisis wacana merupakan salah satu bentuk

alternatif untuk menganalisis pesan dalam media selain analisis isi kuantitatif.9

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model analisis wacana kritis

Teun A. Van Dijk, teori Van Dijk merupakan model analisis wacana yang

paling banyak digunakan. Ini dikarenakan model tersebut dapat

mengelaborasikan elemen-elemen wacana dalam suatu teks secara praktis dan

kritis. Melalui metode ini penulis dapat mengetahui bagaimana sebuah pesan

disampaikan melalui kata atau kalimat. Unsur penting dalam analisis wacana

adalah kepaduan, kesatuan, dan penafsiran peneliti.

Model yang digunakan adalah model Teun A. Van Djik, menurutnya

penelitian wacana tidak hanya terbatas pada teks semata, tetapi juga bagaimana

6 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus Teori

Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h. 259-260. 7 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan), (Bandung:

Refika Aditama, 2012), h.50. 8 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT.

Remaja Rosda Karya, 2001), h.9. 9 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 68.

Page 19: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

suatu teks diproduksi. Kelebihan analisis wacana model Van Djik adalah

bahwa penelitian wacana tidak semata-mata dengan menganalisis teks saja,

tetapi juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok

kekuasaan yang ada dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau pikiran

serta kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu,

sehingga analisis wacana ini memiliki sifat kritis.10

Terdapat tiga struktur yang menjadi elemen analisis wacana dalam

pemaparan struktur teks oleh Van Djik. Jika digambarkan maka struktur teks

adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Struktur Makro

Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang

diangkat oleh suatu teks

Superstruktur

Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan

kesimpulan

Struktur Mikro

Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat,

dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.

Berikut tabel yang akan menjelaskan satu per satu elemen wacana Teun

A. Van Djik yang diterapkan dalam dimensi teks sosial penelitian ini:

10

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LkiS, 2013),

cet. Ke-3, h. 224.

Page 20: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Tabel 2

Struktur Wacana

Hal yang Diamati Elemen

Struktur Makro

Tematik

Tema atau topik yang

dikedepankan dalam Buku Setan

Berkalung Surban karya Prof. Dr.

KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

Topik

Suprestruktur

Skematik

bagaimana pendapat disusun dan

dirangkai dalam Buku Setan

Berkalung Surban karya

Skema

Struktur Mikro

1. Semantik

Makna yang ingin ditekankan

dalam Buku Setan Berkalung

Surban

Latar, Detail,

Maksud,

Praanggapan

2. Sintaksis

Bagaimana kalimat (bentuk,

susunan yang dipilih)

Bentuk kalimat,

Koherensi, Kata

ganti

Page 21: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

3. Stilistik

pilihan kata apa yang dipakai

dalam Buku Setan Berkalung

Surban

Leksikon

4. Retoris

Bagaimana dan dengan cara apa

penekanan dilakukan dalam Buku

Setan Berkalung Surban

dilakukan.11

Grafis, Metafora,

ekspresi

4. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.

Objeknya adalah buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH. Ali

Mustafa Yaqub, MA.

5. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan, yang berarti

tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Observasi dilakukan dengan

membaca dan mengamati setiap paragraf dalam buku Setan Berkalung Surban

karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.12

b. Dokumentasi

11

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 227-229. 12

Irawan Soehartono, Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang

Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Lainnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), h. 69.

Page 22: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Dokumentasi adalah merupakan sebuah teknik untuk mencari dan

mendapatkan data mengenai hal-hal yang tertulis disebut juga studi pustaka.13

Yaitu dengan mengumpulkan data berupa buku penelitian, buku dakwah, buku

komunikasi, buku-buku Islam, informasi dari internet dan informasi lainnya

yang berkaitan dengan masalah penelitian.

c. Wawancara

Untuk mengumpulkan informasi dari informan, penulis menggunakan

teknik wawancara. Yaitu percakapan yang dilakukan dua orang atau lebih,14

di

mana penulis mengajukan beberapa pertanyaan kepada nara sumber dalam

penelitian ini. Adapun nara sumbernya ialah Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub,

MA, Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc., dan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I.

6. Teknik Analisis Data

a. Proses Penafsiran Data

Teknik Analisis penelitian kualitatif adalah menggunakan teknik

penjabaran dengan kata-kata.15

Dalam hal ini, penulis akan memperhatikan

teks-teks yang terdapat pada buku Setan Berkalung Surban karya Prof. Dr. KH.

Ali Mustafa Yaqub, MA, yang kemudian akan ditafsirkan oleh peneliti dengan

kerangka analisis wacana yang dikemukakan oleh Teun A. Van Dijk.

b. Penyimpulan Hasil Penelitian

Kesimpulan hasil penelitian diambil berdasarkan pada interpretasi

peneliti atas obyek yang diteliti dan data yang diperoleh dalam kegiatan

penelitian.

13

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.

Rineka Cipta, 2002), cet. Ke-5, h. 149. 14

Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), cet. Ke-

1, h. 130.

15 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan), h.123.

Page 23: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

E. Tinjauan Pustaka

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah meninjau beberapa skripsi

yang sama pembahasannya dengan subjek yang berbeda, antara lain:

a. Skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Pesan Dakwah dalam Buku

Renungan Tasawuf Karya Hamka” yang ditulis oleh Muhammad Rico

Zulkarnain Tahun 2008 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

b. Skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Pesan Dakwah dalam Novel

Kopiah Gusdur Karya Damien Dematra” yang ditulis oleh Ririn Syodikin

Tahun 2011 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititaif.

c. Skripsi yang berjudul “Analisis Wacana Materi Khotbah Jumat Muhasabah

Dzikrulmaut Ustaz Dr. H. Sunandar, M.Ag (2010-2011)” yang ditulis oleh

Faiz Fikri Al-Fahmi Tahun 2013 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualititaif.

Perbedaan antara skripsi ini dengan yang terdahulu adalah pada subjek

dan objeknya. Persamaan antara skripsi ini dengan yang terdahulu adalah

menggunakan metode analisis wacana Teun A. Van Djik dan menggunakan

pendekatan penelitian yang sama yaitu pendekatan penelitian kualitatif.

F. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan yang digunakan mengacu pada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang disusun oleh tim

penulis Hamid Nasuhi, dkk., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta, (Ciputat, CeQDA, 2007).

Page 24: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

G. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan penelitian ini, secara sistematis penulisannya dibagi

kedalam lima bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, meliputi:

Latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka,

teknik penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II Berisi Landasan Teoritis, meliputi:

Pertama teori tentang analisis wacana, yaitu: Pengertian analisis

wacana dan model analisis wacana kritis Teun A. Van Dijk

“kognisis sosial dan konteks sosial”. Kedua teori tentang

dakwah, yaitu: Pengertian dakwah dan pesan dakwah. Ketiga

buku sebagai media dakwah.

BAB III Berisi profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dan

gambaran umum buku Setan Berkalung Surban, meliputi:

Profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, karya-karya Prof.

Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, aktivitas Prof. Dr. KH. Ali

Mustafa Yaqub, MA, dan gambaran umum buku Setan

Berkalung Surban.

BAB IV Berisi temuan data dan pembahasan penelitian,yang meliputi:

Struktur teks yang diwacanakan dalam buku Setan Berkalung

Surban, analisis wacana berdasarkan kognisi sosial, dan analisis

wacana berdasarkan konteks sosial.

BAB V Penutup, meliputi: Kesimpulan dan saran.

Page 25: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Analisis Wacana

1. Pengertian Analisis Wacana

Secara etimologi, „Wacana‟ berasal dari bahasa Sansekerta wac atau wak

atau vak yang memiliki arti „Berkata‟ atau „Berucap‟. Kata ana berfungsi

sebagai sufiks (akhiran) yang bermakna „Membedakan‟ (nominalisasi).

Kemudian kata Sansekerta itu mengalami perubahan menjadi wacana, yang

berarti perkataan atau tuturan.16

Istilah wacana merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yakni

discourse. Kata discourse berasal dari bahasa latin discursus, dis: dari, dalam

arah yang berbeda dan curere: lari, sehingga berarti lari kian kemari.17

Dalam

hierarki gramatikal, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi di atas

satuan kalimat, sebagai satuan tertinggi yang lengkap, maka di dalam wacana

terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami

tanpa keraguan.18

Wacana dapat di realisasikan dalam bentuk karangan yang

utuh seperti, novel, buku, seni ensiklopedia, artikel, dan sebagainya.19

Secara terminologi, istilah wacana memiliki arti yang sangat luas. Hal ini

dikarenakan perbedaan lingkup dan displin ilmu yang menggunakannya.

Bahkan kamus pun, tidak bisa dianggap sepenuhnya merujuk pada referensi

16

Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-prinsip Analisis Wacana,

(Yohyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3. 17

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 9. 18

Abdul Chaer, Kajian Bahasa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 62 . 19

Okke Kusuma Sumantri Zaimar dan Ayu Basoeki Harahap, Telaah Wacana, (Jakarta:

The Intercultural Intitute, 2009), h. 11.

Page 26: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

yang objektif, pasti memiliki definisi yang berbeda pula. Wacana adalah

komunikasi buah pikiran dengan kata-kata, ekspresi ide-ide atau gagasan, dan

percakapan.20

Berikut ini beberapa pengertian wacana dari beberapa pakar

komunikasi:

Menurut Samsuri wacana ialah rekaman kebahasaan yang utuh tentang

peristiwa komunikasi, biasanya terdiri atas seperangkat kalimat yang

mempunyai hubungan pengertian yang satu dengan yang lain. Komunikasi itu

dapat menggunakan bahasa lisan dan dapat pula memakai tulisan.21

Sedangkan Ismail Marhaimin mengartikan wacana sebagai “Kemampuan

untuk maju (dalam pembahasan) menurut urutan-urutan yang teratur dan

semestinya”, dan “Komunikasi buah pikiran, baik lisan maupunn tulisan, yang

resmi dan teratur”.22

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah

“rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal

(subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam suatu kesatuan yang

koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa”.23

Kajian terhadap wacana sering disebut sebagai analisis wacana, istilah

analisis dalam Kamus Pintar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu sifat

penelitian, penguraian, kupasan. Sedangkan analisa adalah penyeledikan

terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui keadaan sebenarnya.24

Analisis wacana merupakan pendekatan baru muncul beberapa puluh

tahun belakangan ini. Aliran-aliran linguistik selama ini membatasi

20

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 9. 21

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 10. 22

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 10. 23

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 11. 24

Hamis ST, Kamus Bahasa Indonesia, (Surabaya: Pustaka Dua, 2000), cet. Ke-1, h. 34.

Page 27: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

penganalisaannya hanya kepada soal kalimat dan barulah memalingkan

perhatiannya kepada penganalisaan wacana.25

Analisis wacana merupakan salah satu studi mengenai pesan dalam

komunikasi selain analisis isi kuantitatif. Menurut Eriyanto, terdapat empat

perbedaan anatara analisis wacana dengan analisis isi (kuantitatif), antara lain:

a. Analisis wacana lebih bersifat kualitatif dibandingkan dengan analisis isi

yang umumnya kuantitatif, analisi wacana menekankan pada pemaknaan

teks ketimbang penjumlahan unit kategori seperti yang terdapat dalam

analisi isi. Sehingga dalam menentukan analisis datanya, analisis wacana

tidak memerlukan lembaran koding.

b. Analisis isi kuantitatif lebih menekankan kepada “apa” (what) yang

dikatakan oleh media, dan hanya bergerak pada level makro isi media saja.

Sedangkan analisis wacana menekankan kepada “bagaimana” (how) dan isi

media, analisis wacana juga meneliti pada level mikro yang menyusun suatu

teks, seperti kata, kalimat, ekspresi, dan retoris.

c. Analisi isi kuantitatif pada umumnya hanya dapat digunakan untuk

membedah muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), atau

dengan kata lain yang dipentingkan adalah objektivitas, validitas

(keakuratan data), dan realibitas. Sedangkan dalam analisis wacana, unsur

terpenting dalam analisisnya adalah penafsiran dari teks yang latent

(tersembunyi).

d. Analisis isi bertujuan melakukan generalisasi dalam penyimpulan hasil

penelitiannya, dan bahkan melakukan prediksi. Hal ini karena dalam unit

25

A. Hamid Hasan Lubis, Analisis Wacana Pragmatik, (Bandung: Angkasa, 1993), cet. Ke-

1, h. 12.

Page 28: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

atau perangkat penelitiannya menggunkan sample, angket dan sebagainya.

Sedangkan analisis wacana tidak bertujuan untuk melakukan generalisasi

dengan menggunakan beberapa asumsi.26

Analisis wacana bersifat lebih mendalam bila dibandingkan dengan

analisis isi sebab analisis wacana menafsirkan pesan yang tersembunyi. Untuk

analisis wacana tulisan, penelitian bukan hanya sekedar pada kalimat yang

ditulis, tetapi pada kata dan hubungan kalimat, bagaimana kalimat itu dibentuk

dan tujuan dari kata atau kalimat itu disajikan. Analisis wacana tidak bertujuan

untuk melakukan generalisasi seperti yang dilakukan dalam penelitian dengan

menggunakan analisis isi dalam menyimpulkan hasil.

2. Model Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk

Dari berbagai macam model analisis wacana yang diperkenalkan oleh

para ahli. Model analisis wacana milik Van Dijk adalah model yang banyak

dipakai dalam penelitian, karena model ini mengelaborasi elemen-elemen

wacana sehingga bisa didayagunakan dan dipakai secara praktis dan kritis.

Model yang dipakai oleh Van Dijk ini sering disebut sebagai “kognisi sosial”.

Nama pendekatan semacam ini tidak dapat dilepaskan dari karakteristik

pendekatan yang diperkenalkan oleh Van Djik. Menurutnya, penelitian wacana

tidak hanya terbatas pada teks semata, tetapi juga bagaimana suatu teks

diproduksi. Kelebihan analisis wacana model Van Djik adalah bahwa

penelitian wacana tidak semata-mata dengan menganalisis teks saja, tetapi juga

melihat bagaimana struktur sosial, dominasi dan kelompok kekuasaan yang ada

dalam masyarakat, dan bagaimana kognisi atau pikiran serta kesadaran yang

26

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 70-71.

Page 29: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

membentuk dan berpengaruh terhadap teks tertentu, sehingga analisis wacana

ini memiliki sifat kritis.27

Wacana oleh Van Dijk digambarkan memiliki tiga dimensi, yaitu: teks,

kognisi sosial, dan konteks sosial. Ketiga bagian ini adalah bagian yang

integral dalam kerangka teori Van Dijk, untuk itulah Van Dijk

menggambungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan

analisis.

a. Teks

Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang

masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya ke dalam tiga

tingkatan. Pertama struktur makro, ini merupakan makna global/umum dari

suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema dari suatu teks.

Kedua Suprastruktur, adalah kerangka suatu teks, bagaimana struktur dan

elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh. Ketiga struktur mikro,

adalah makna yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi,

anak kalimat, parafrasa yang dipakai, dan sebagainya.28

Struktur wacana Van

Dijk ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Tabel 3.

Struktur Wacana Hal yang Diamati Unit Analisis

27

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224.

28 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 226.

Page 30: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Struktur Makro

TEMATIK

(apa yang dikatakan)

Elemen: Tema atau Topik

Teks

Suprestruktur

SKEMATIK

(bagaimana pendapat disusun

dan dirangkai)

Elemen: Skema

Teks

Struktur Mikro

SEMANTIK

(apa arti pendapat yang ingin

disampaikan?)

Elemen: Latar, Detail,

Maksud, Praanggapan

Paragraf

SINTAKSIS

(Bagaimana pendapat

disampaikan?)

Elemen: Bentuk kalimat,

Koherensi, Kata ganti

Kalimat

Proposisi

STILISTIK

(pilihan kata apa yang

dipakai?)

Elemen: Leksikon

Kata

Page 31: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

RETORIS

(dengan cara apa pendapat

disampaikan?)

Elemen: Grafis, Metafora,

Ekspresi29

Kalimat

Proposisi30

Beberapa hal yang diamati dari struktur makro, superstruktur, dan

struktur mikro dalam analisis wacana Van Dijk adalah:

1) Tematik

Tematik adalah hal yang diamati dalam struktur makro analisis

wacana Van Dijk. Secara etimologi tematik berasal dari kata Yunani yaitu

tithenai yang berarti menempatkan atau meletakkan. Sedangkan dilihat

sebagai sebuah tulisan, tema merupakan suatu amanat utama yang

disampaikan oleh penulis melalui tulisannya.31

Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari sebuah teks.

Bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari

suatu teks. Topik merupakan elemen yang terdapat dalam tematik. Topik

menunjukan inti pesan atau informasi yang paling penting yang ingin

disampaikan komunikator dalam hal ini penulis rubrik. Dengan topik, kita

dapat mengetahui masalah dan tindakan yang diambil oleh penulis rubrik

dalam mengatasi masalah.

29

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 227-229. 30

Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003), h. 163. 31

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 75.

Page 32: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Gagasan penting Van Djik, wacana umumnya dibentuk dalam tata

aturan umum (macrorule). Teks tidak hanya didefinisikan mencerminkan

suatu pandangan tertentu atau topik tertentu, tetapi suatu pandangan umum

yang koheren. Van Djik menyebut hal ini sebagai koherensi global (global

chorence), yakni bagian-bagian dalam teks kalau dirunut menunjuk pada

suatu titik gagasan umum, dan bagian-bagian itu saling mendukung satu

sama lain untuk menggambarkan topik umum tersebut.32

2) Skematik

Pada umumnya, teks, atau wacana memiliki skema atau alur, yang

dimulai dari pendahuluan hingga penutup. Alur tersebut menunjukkan

bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga

membentuk kesatuan arti. Dalam menganalisis wacana sebuah berita,

terdapat dua kategori besar pada struktur skema, pertama summary yang

terdiri dari dua elemen judul dan lead (teras berita). Sedangkan kategori

yang kedua adalah story yakni isi berita secara keseluruhan.33

Menurut Van Dijk, skematik merupakan strategi wartawan untuk

mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun

bagian-bagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik yang memberikan

tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang diakhirkan untuk

menyembunyikan informasi penting.34

32

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 229-230. 33

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 232.

34 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 234.

Page 33: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

3) Semantik

Secara umum, semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah

makna satuan lingual, baik makna leksikal yaitu makna untuk semantik

yang terkecil yang disebut leksem, maupun makna yang terbentuk dari

penggabungan satuan kebahasaan yang disebut dengan makna gramatikal.

Sementara itu dalam Analisis wacana, semantik dalam pandangan Van Dijk

dikategorikan sebagai makna lokal, yaitu makna yang muncul dari

hubungan makna tertentu dalam suatu bangunan teks.35

Dengan kata lain, semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana

yang penting dari struktur wacana, tetapi juga menggiring ke arah sisi

tertentu dari suatu peristiwa. Elemen yang diamati dalam semantik adalah

latar, detail, maksud, dan praanggapan. Berikut penjelasan masing-masing

elemen wacana seperti semantik, seperti latar, detail, dan maksud:

a) Latar

Latar adalah bagian berita yang dapat memengaruhi semantik (arti)

yang ingin ditampilkan, latar dapat menjadi alasan pembenar dalam suatu

gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Latar umumnya ditampilkan di

awal sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul dengan

maksud mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat wartawan

sangat beralasan. Oleh karena itu, latar membantu menyelediki

bagaimana seseorang memberi pemaknaan atas suatu peristiwa.36

35

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 78. 36

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 235.

Page 34: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

b) Detail

Elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol informasi yang

ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara

berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik.

Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi dalam jumlah sedikit

(bahkan kalau perlu tidak disampaikan) kalau hal itu merugikan

kedudukannya.

Informasi yang menguntungkan komunikator, bukan hanya

ditampilkan secara berlebih tetapi juga dengan detail yang lengkap kalau

perlu dengan data-data. Detail yang lengkap dan panjang lebar

merupakan penonjolan yang dilakukan secara sengaja untuk menciptakan

citra tertentu kepada khalayak. Detail yang lengkap itu akan dihilangkan

kalau berhubungan dengan sesuatu yang menyangkut kelemahan atau

kegagalan dirinya. Hal yang menguntungkan komunikator atau pembuat

teks akan diuraikan secara detail dan terperinci, sebaliknya fakta yang

tidak menguntungkan. Detail informasi akan dikurangi.37

c) Maksud

Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detail.

Elemen maksud melihat informasi yang menguntungkan komunikator

akan diuraikan secara eksplisit dan jelas. Sebaliknya, informasi yang

merugikan akan diuraikan secara tersamar, implisit dan tersembunyi.38

37

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 238.

38 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 240.

Page 35: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

d) Praanggapan

Elemen wacana praanggapan merupakan pernyataan yang

digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar berarti upaya

mendukung pendapat dengan jalan memberi latar belakang, maka

praanggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan

premis yang dipercaya kebenarannya. Praanggapan hadir dengan

pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu

dipertanyakan.39

Teks berita umumnya mengandung banyak sekali

praanggapan. Praanggapan ini merupakan fakta yang belum terbukti

kebenarannya, tetapi dijadikan dasar untuk mendukung gagasan tertentu.

4) Sintaksis

Secara etimologi, kata sintaksis berasal dari kata Yunani (sun berarti

dengan, dan tattein berarti menempatkan). Jadi, kata sintaksis berarti

menempatkan bersama-sama hal-hal menjadi kelompok kata atau kalimat.

Secara terminologi, menurut Ramlan, sintaksis adalah bagian atau cabang

dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, ataupun

frasa.40

Maksudnya adalah bagaimana sebuah kata atau kalimat disusun

menjadi kesatuan yang memilki arti. Elemen yang diamati dalam sintaksis

adalah bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Berikut penjelasan

masing-masing elemen wacana sintaksis, seperti bentuk kalimat, koherensi,

dan kata ganti:

39

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 256. 40

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 80.

Page 36: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

a) Bentuk kalimat

Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan

cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Dimana ia menanyakan

apakah A yang menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. Logika

kaulitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek

(yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan).

Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata

bahasa, tetapi menetukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat.

Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari

pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek

dari pernyataannya.41

b) Koherensi

Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat

dalam teks. Dua buah kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda

dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga, fakta yang tidak

berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang

menghubungkannya.

Koherensi secara mudah dapat diamati di antaranya dari kata

hubung (konjungsi) yang dipakai untuk menghubungkan fakta. Apakah

dua kalimat dipandang sebagai hubungan kausal, keadaan, waktu, kondisi

dan sebagainya. Koherensi merupakan elemen yang menggambarkan

41

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 251.

Page 37: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

bagaimana peristiwa dihubungkan atau dipandang saling terpisah oleh

wartawan.42

c) Kata Ganti

Merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukan

dimana seseorang dalam wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya,

seseorang dapat menggunakan kata ganti "saya" atau "kami" yang

menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi

komunikator semata-mata. Tetapi, ketika memakai kata ganti "kita"

menjadikan sikap tersebut sebagai represntasi dari sikap bersama dalam

suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator dengan khalayak

dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukan apa yang menjadi sikap

komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan.43

5) Stilistik

Stilistik adalah cara yang digunakan oleh penulis rubrik untuk

menyatukan maksudnya dengan menggunakan gaya bahasa tertentu sesuai

dengan keinginan penulis rubrik. Gaya bahasa dalam pengertian disini

mencakup pilihan leksikal, struktur kalimat, majas dan citraan dan

sebagainya. Elemen dalam bentuk stalistik adalah leksikal merupakan

pemilihan dan pemakaian kata atau frasa dalam menyebut sesuatu ataupun

peristiwa dengan menggunakan kata lain yang memiliki persamaan

(sinonim), seperti kata “meninggal”, yang memiliki kata lain mati, tewas,

gugur, terbunuh, menghembuskan nafas terakhir, dan sebagainya.

42

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 242-243. 43

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 82.

Page 38: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Pengertian leksikon, pada dasarnya elemen ini menandakan

bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan

kata yang tersedia. Diantara beberapa kata itu seseorang dapat memilih

diantara pilihan yang tersedia. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai

tidak semata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis

menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.44

6) Retoris

Strategi retoris yang dimaksud disini adalah yang diungkapkan ketika

seseorang berbicara atau menulis. Retoris berhubungan erat dengan

bagaimana suatu pesan disampaikan kepada khalayak. Retoris berfungsi

persuasive (mempengaruhi).45

Elemen dalam strategi retoris dapat muncul

dalam bentuk grafis, metafora, dan ekspresi. Untuk lebih jelasnya, akan

dijelaskan pengertian grafis, metafora sebagai berikut:

a) Grafis

Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang

ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh

seseorang yang dapat diamati oleh teks. Dalam wacana berita, grafis ini

biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan

tulisan lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis

bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar. Termasuk di

dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar atau table

untuk mendukung arti penting suatu pesan. Bagian yang dicetak berbeda

44

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 255. 45

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 84.

Page 39: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

adalah bagian yang dipandang penting oleh komunikator, dimana ia

menginginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut.46

b) Metafora

Dalam suatu wacana seorang wartawan tidak hanya menyampaikan

pesan pokok melalui teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang

dimaksudkan sebagai ornament atau bumbu dari suatu berita. Akan

tetapi, pemakaian metafora tertentu bisa jadi menjadi petunjuk utama

untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh

wartawan secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar

atas pendapat atau gagasan tertentu kepada public. Wartawan

menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, pribahasa,

pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkin ungkapan yang

diambil dari ayat-ayat suci yang semuanya dipakai untuk memperkuat

pesan utama.47

b. Kognisi Sosial dan Konteks Sosial

Dalam pandangan Van Dijk, analisis wacana tidak dibatasi hanya pada

struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau

menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Dalam dimensi ini,

menerangkan bagaimana teks diproduksi oleh pembuat teks, cara memandang

suatu realitas sosial yang melahirkan teks tertentu. Untuk membongkar

bagaimana makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis

kognisi dan konteks sosial. Kognisi sosial memiliki hubungan dengan proses

produksi pembuatan. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas

46

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 258. 47

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 259.

Page 40: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita,

karena setiap teks pada dasarnya dihasilkan melalui kesadaran, pengetahuan,

prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa.

Meskipun terlihat bersifat individual, bukan berarti pendekatan Van Dijk

bersifat personal dan mengabaikan faktor sosial. Analisis teks harus tetap

dihubungkan dengan konteks sosial. Konteks sosial berusaha memasukan

semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian

bahasa. Titik perhatian dari konteks sosial adalah menghubungkan teks lebih

jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat

atas suatu wacana untuk menunjukkan bagaimana makna yang dihayati

bersama. Penelitian ini sangat efektif dalam melihat sejauh mana peranan teks

membangun pemahaman bersama dalam masyarakat.48

B. Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab yakni berasal

dari kata “da‟aa-yad‟uu-da‟watan” yang berarti seruan, ajakan, dan

panggilan.49

Dilihat dari kosakatanya, kata dakwah merupakan bentuk kata

benda (isim), dalam pengertiannya, karena diambil (musytaq) dari fi‟il

muta‟addi, mengandung nilai dinamika, yakni ajakan, seruan, panggilan,

permohonan. Seruan dan panggilan ini dapat dilakukan suara, tulisan, atau

perbuatan.50

48

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 260-270. 49

Muhammad Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus Wadzuryah.

1990), h. 127. 50

Abu Al-Husain Ahmadi ibn Faris, Mu‟jam Maqayis al-Lughah, (Beirut: Dar al-Fikr,

1979), h. 279.

Page 41: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Dalam buku Ensiklopedi islam, kata dakwah diartikan dengan menyeru

atau mengajak manusia untuk melakukan kebaikan dan meuruti petunjuk,

menyuruh berbuat kebajikan dan melarang perbuatan mugkar sesuai dengan

ajaran Allah dan Rasul, agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan

akhirat.51

Secara terminologi, dakwah memiliki arti yang beragam dari para

ahli. Berikut pengertian dakwah menurut para ahli:

a) Menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dakwah bukan hanya

penyampaian kata-kata semata, tetapi juga moralitas dan perilaku.

Melakukan dakwah berarti memberi contoh dan teladan secara terus-

menerus kepada masyarakat yang didakwahi.52

b) Menurut Prof. Dr. Hamka, dakwah adalah seruan dan panggilan untuk

menganut suatu pendirian yang pada dasarnya berkonotasi positif dengan

substansinya terletak pada aktivitasnya yang memerintahkan amar ma‟ruf

nahi munkar.53

c) Menurut Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah memotivasi manusia untuk

melakukan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyeru mereka berbuat

ma‟ruf dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar mereka mendapat

kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.54

d) Menurut Ahmad Ghalwusy, dakwah adalah menyampaikan pesan Islam

kepada manusia di setiap waktu dan tempat dengan berbagai metode dan

51

Siti Uswatun Khasanah, Berdakwah dengan jalan debat antara muslim dan non muslim.

(Purwokerto : STAIN Purwokerto Press, 2007), h. 25. 52

Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 230. 53

Hamka, Pelajaran Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1956), h. 233. 54

Ali Mahfudz, Hidayah al-Mursyidin, Terjemahan Chodijah Nasution (Yogyakarta: Tiga

A, 1970), h. 17.

Page 42: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

media yang sesuai dengan situasi dan kondisi para penerima pesan

dakwah.55

Dari beberapa definisi tentang dakwah di atas, dapat disimpulkan bahwa

dakwah adalah menyampaikan pesan Islam kepada manusia, baik lisan maupun

tulisan dengan cara menyeru, memotivasi, dan memberi contoh dalam bentuk

perilaku kepada mereka secara terus-menerus, untuk melakukan kebaikan

(ma‟ruf) dan menjauhi perbuatan mungkar (munkar), agar selamat di dunia dan

akhirat.

Dakwah memiliki setidaknya 3 unsur penting di dalamnya dari sekian

banyak masukan dari para ahli, yaitu dai (subjek dakwah), mad‟u (objek

dakwah), dan pesan dakwah. Dai adalah adalah bentuk (isim fa‟il) dari kata

da‟a,yang berarti orang yang menyeru, sering kali disebut juga mubalig karena

proses menyeru tersebut juga merupakan proses penyampaian atas pesan-pesan

tertentu. Dai sebagai subjek dakwah atau komunikator memiliki dua pengertian

sebagai berikut:

a. Secara umum, dai adalah setiap muslim yang berdakwah sebagai kewajiban

yang melekat sebagai penganut Islam, berdasarkan pada hadis Rasul saw.

“Ballighu „anni walau ayat.”

b. Secara khusus, dai adalah mereka yang mengambil keahlian khusus dalam

dakwah dengan kesungguhan luar biasa dan qudrah hasanah.56

2. Pesan Dakwah

Pesan dakwah dalam komunikasi disebut sebagai message (pesan).57

Pesan adalah seperangkat lambang bermakna yang disampaikan komunikator

55

Ahmad Ghalwusy, Al-Da‟wah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishr, 1987), h. 10-

11. 56

Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h.27.

Page 43: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

kepada komunikan, baik berupa bahasa, isyrat, gambar, warna, dan lain

sebagainya yang secara langsung dapat menerjemahkan perasaan atau ide

komunikator kepada komunikan.58

Pesan dalam ajaran Islam adalah perintah, nasihat, permintaan, dan

amanah yang harus disampaikan kepada orang lain. Sedangkan pesan dakwah

adalah semua pernyataan yang bersumber dari Al-Qur‟an dan Al-Hadis baik

secara lisan maupun tulisan.59

Oleh sebab itu, apabila sebuah pesan dakwah

bertentangan Al-Qur‟an dan Al-Hadis, tidak dapat dikatakan sebagai pesan

dakwah. Kategorisasi pesan dakwah secara garis besar dapat digolongkan

menjadi tiga jenis pesan dakwah, yaitu, akidah, syariah, dan akhlak,60

sebagai

berikut:

a) Akidah

Akidah Islam disebut dengan Tauhid dan merupakan pokok

kepercayaan agama Islam. Dalam Islam, akidah merupakan I‟tiqadh

Bathiniyyah yang mencakup keyakinan-keyakinan dalam rukun iman. Di

dalamnya bukan hanya menjelaskan apa yang wajib diyakini, akan tetapi

juga meliputi larangan akan sesuatu yang bertentangan di dalamnya,

contohnya sesuatu yang wajib kita yakini adalah salah satu sifat yang wajib

bagi Allah Qidam (terdahulu), maka kita dilarang dan haram hukumnya

untuk meyakini sifat yang berlawanan dari Qidam yaitu Huduts (baru).61

Adapun isinya meliputi:

57

Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 88. 58

Onong Uchana Effendy, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosda

Karya, 1994), cet. Ke-8, h. 18. 59

Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 43. 60

Moh Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 332. 61

Samsul Munir Amin, Ilmu Dakwah, h. 90.

Page 44: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

1) Iman kepada Allah swt.

2) Iman kepada malaikat-malaikat Allah swt.

3) Iman kepada kitab-kitab Allah swt.

4) Iman kepada rasul-rasul Allah swt.

5) Iman kepada hari akhir (kiamat)

6) Iman kepada Qadha dan Qadar Allah swt.

b) Syariah

Secara etimologi, syariah berasalah dari bahasa Arab yang berarti

jalan. Secara terminologi, syariah adalah ketentuan atau aturan dari Allah

swt. untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah swt. dan untuk

mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. Syariah adalah

sesuatu yang harus dilakukan setelah keimanan, yaitu merealisasikan amal

baik dalam kehidupan sehari-hari sesuai perintah Allah swt.62

Adapun isinya

meliputi:

1) Ibadah meliputi apa yang ada dalam rukun Islam, yaitu, shalat wajib,

puasa, zakat, dan pergi haji jika mampu.

2) Muammalah meliputi semua hubungan sosial manusia dengan sesame

manusia lainnya, yang sesuai dengan Al-Quran dan Al-Hadis, agar

tercipta hubungan yang harmonis dan kerukunan antar sesama. Di

dalamnya mengatur hal-hal yang berkaitan dengan, ekonomi, politik,

sosial, hukum, budaya, dan sebagainya.63

62

E. Hasan Saleh, Studi Islam di Perguruan Tinggi Pembinaan IMTAQ dan Pengembangan

Wawasan, (Jakarta: ISTN, 2000), h. 55. 63

Hendi Suhendi, Fiqh Mu‟ammalah,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 2.

Page 45: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

c) Akhlak

Secara etimologi, akhlak berasal dari bahasa Arab yaitu bentuk jamak

dari khuluqun, yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.

Secara terminologi, akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam

jiwa seseorang, sehingga menjadi sebuah kepribadian.64

Akhlak terbagi

menjadi dua menurut sifatnya, akhlak mahmudah (terpuji), dan akhlak

madzmumah (tercela).

C. Buku sebagai Media Dakwah

Hamzah Ya‟qub membagi sarana dakwah menjadi lima macam, yaitu:

lisan, tulisan, audio, visual, dan internet. Dari lima macam pembagian tersebut,

secara umum dapat dipersempit menjadi tiga media, yaitu :

a) Spoken words, media dakwah yang berbentuk ucapan atau bunyi yang

ditangkap dengan indra telinga, seperti ceramah secara langsung.

b) Printed writings, berbentuk tulisan seperti buku, gambar, lukisan, dan

sebagainya yang dapat ditangkap dengan mata.

c) The audio visual, berbentuk gambar hidup yang dapat didengar sekaligus

dilihat, seperti televisi, video, film, dan lain sebaginya.65

Buku sebagai salah satu contoh media cetak merupakan satu alat yang

ampuh dalam komunikasi. Keistimewaan yang dimiliki oleh media ini, tidak

terdapat pada media lain, yaitu bahwa media tersebut bisa dibaca berulang kali,

sehingga benar-benar dapat mempengaruhi sasarannya. Melihat antusias

masyarakat yang sangat baik terhadap buku, membuat buku menjadi salah satu

64

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 4. 65

Amal Fathullah Zarkasyi, Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan Dakwah,

(Jakarta: GIP, 1998), h. 154.

Page 46: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

media yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan dakwah kepada

masyarakat Indonesia.66

Bahkan buku menjadi sarana “perang pena” bagi para penulis, ketika

suatu buku muncul, maka akan muncul buku lain untuk melengkapi, bahkan

mengkritik. Asalkan berangkat dengan niat yang baik untuk memperbaiki dan

mencari kebenaran dalam rangka berdakwah, maka tidak menjadi masalah.67

66 H.A. Suminto, Problematika Da‟wah, (Jakarta : Tinta Mas, 1973), cet. Ke-1, h. 47.

67 Badiatul Muchlisin Asti, Berdakwah dengan Menulis Buku, (Bandung: Media Qalbu,

2004), cet. Ke-1, h. 44.

Page 47: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

BAB III

PROFIL PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA DAN

GAMBARAN UMUM BUKU SETAN BERKALUNG SURBAN

A. Profil Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

1. Riwayat Hidup Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

Ali Mustafa Yaqub, lahir di Desa Kemiri Kecamatan Subah Kabupaten

Batang Jawa Tengah, 2 Maret 1952. Nuansa religius telah menemaninya sejak

beliau masih duduk di bangku sekolah dasar.68

Ayahnya bernama Yaqub,

seorang dai terkemuka di masanya dan sebagai imam di masjid-masjid Jawa

Tengah, misinyanya adalah “Menegakkan Amar Ma‟ruf dan Memberantas

Kemungkaran.” Ibunya bernama Zulaikha, seorang ustadzah dan ibu rumah

tangga, dan meninggal pada tahun 1996. Ali Mustafa memiliki 7 orang

saudara, yang dua di antara telah meninggal dunia. Salah satu kakaknya ialah

Ahmad Dahlan Nuri Yaqub, yang juga mengikuti jejak ayahnya sama seperti

beliau, pengasuh pondok pesantren Darus Salam Batang, Jawa Tengah.69

Namun, obsesinya untuk terus belajar di sekolah umum terpaksa kandas,

karena setelah tamat SMP beliau harus mengikuti arahan orang tuanya,

mencari kaweruh di Pesantren. Maka dengan diantar ayahnya, pada tahun 1966

beliau mulai mondok untuk menerima piwulang di Pondok Seblak Jombang

sampai tingkat Tsanawiyah 1969. Kemudia beliau nyantri lagi di Pesantren

Tebuireng Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari

68

Ali Mustafa Yaqub, Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan, (Jakarta: Pustaka Firdaus,

2003), h. 143. 69

Ni‟ma Diana Cholidah, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan Kajian

Hadis Kontemporer di Indonesia, (Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 11.

Page 48: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Pondok Seblak, terhitung dari tahun 1969-1972. Kemudian pada pertengahan

tahun 1972, beliau melanjutkan studi strata satu pada program studi syariah

Universitas Hasyim Asy‟ari Jombang sampai tahun 1975.70

Di samping belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim

Asy‟ari, di pesantren ini beliau menekuni kitab-kitab kuning71

di bawah asuhan

para kiai sepuh, antara lain Al-Marhum KH. Idris Kamali, Al-Marhum KH.

Adlan Ali, Al-Marhum KH. Shobari, dan Al-Musnid KH. Syansuri Badawi. Di

Pesantren ini beliau juga mengajar Bahasa Arab, sampai awal 1976.72

Tahun 1976 beliau ngelmu lagi di Fakultas Syariah Universitas Islam

Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, sampai tamat dengan

mendapatkan ijazah License (Lc.), pada tahun 1980. Kemudian masih di kota

yang sama, beliau melanjutkan lagi studinya di Universitas King Saud, Jurusan

Tafsir dan Hadis, sampai tamat dengan memperoleh ijazah Master, 1985. Tidak

berhenti sampai di sana, beliau pun menyelesaikan studi doktoralnya di

Universitas Nizamia, Hyderabad India, Spesialisasi Hukum Islam, pada tahun

2007.73

Sekarang ini beliau beetempat tinggal dengan keluarganya yang terdiri

dari seorang istri dan seorang anak laki-laki sulungnya di Jl. SD Inpres No. 11

Pisangan Barat Ciputat 15419 Jakarta. Dan sekarang beliau sedang membina

Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences yang beliau dirikan

sejak tahun 1997 di dekat rumahnya dan juga di Malaysia.

70

Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 240. 71

Dinamakan kitab kuning karena kitab-kitab itu dicetak pada kertas berwarna kuning,

dengan alasan dapat memberi kesan klasik pada pembacanya. Martin Van Bruinessen, Kitab

Kuning, Pesantren, dan Tarekat, (Bandung: Mizan, 1999), h. 142. 72

Ali Mustafa Yaqub, Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2000), h. 105. 73

Hartono, Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia (Studi atas

Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub), (Jakarta: Tesis S2 Konsentrasi Tafsir

Hadis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), h. 83-

84.

Page 49: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Sosok yang dipanggil akrab “Pak Kiai” oleh para muridnya ini

merupakan sosok yang sangat menginspirasi para muridnya. Sikapnya yang

tegas dan disiplin selalu beliau ajarkan setiap pertemuan perkuliahan tanpa

henti, dengan harapan semua muridnya menjadi Ulama Besar di dunia, bahkan

sampai bisa melebihinya.74

Dahulu, setiap pukul 03.30 WIB dini hari, ketika beliau masih dalam usia

muda, beliau rela mengetuk pintu kamar muridnya untuk membangunkan

mereka melaksanakan Qiyam al-Lail. Tanpa henti beliau memberikan

perhatian yang hangat dan berlimpah kepada muridnya. Namun sekarang,

diusianya yang mulai menua, beliau cukup membangunkan muridnya dengan

menelpon murid tertuanya, untuk membangunkan teman yang lainnya. Tidak

hanya bagi muridnya saja beliau melimpahkan kasih sayangnya yang

berlimpah, beliau juga melimpahkan kasih sayangnya kepada umat Islam di

Dunia. Salah satu buktinya adalah beliau selalu menulis buku bertema Islam di

tengah kesibukannya yang sangat padat.75

2. Riwayat Pendidikan

Jika diurutkan, maka perjalanan pendidikan beliau ialah sebagai berikut :

a. Pondok Seblak Jombang (1966 – 1969)

b. Pesantren Tebuireng, Jombang (1969 – 1972)

c. Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy'ari, Jombang (1972 – 1975)

d. Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh,

Saudi Arabia (S1, 1976 – 1980)

74

Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh

Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015. 75

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus-

Sunnah, Jakarta, 11 Mei 2015.

Page 50: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

e. Fakultas Pascasarjana Universitas King Saud, Riyadh, Saudi Arabia,

Spesialisasi Tafsir Hadis (S2, 1980 – 1985)

f. Universitas Nizamia, Hyderabad India, Spesialisasi Hukum Islam (S3, 2006

– 2007)

B. Karya-karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

Berikut ini karya-karya Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dari tahun

1986-201576

:

1. Memahami Hakikat Hukum Islam (alih Bahasa dari Prof. Dr. Muhammad

Abdul Fattah al-Bayanuni, 1986)

2. Nasihat Nabi kepada para Pembaca dan Penghafal Al-Qur‟an (1990)

3. Imam al-Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis (1991)

4. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (alih Bahasa dari Prof. Dr.

Muhammad Mustafa Azami, 1994)

5. Kritik Hadis (1995)

6. Bimbingan Islam untuk Pribadi dan Masyarakat (alih Bahasa dari

Muhammad Jameel Zino, Saudi Arabia, 1418 H)

7. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (1997)

8. Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam (1999)

9. Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis (2000)

10. Islam Masa Kini (2001)

11. Kemusyrikan Menurut Madzhab Syafi‟i (alih Bahasa dari Prof. Dr. Abd.

al-Rahman al-Khumayis, 2001)

76

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014), h. 160-

163.

Page 51: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

12. Aqidah Imam Empat Abu Hanifah, Malik, Syafi‟i, dan Ahmad (alih

Bahasa dari Prof. Dr. Abd. al-Rahman al-Khumayis, 2001)

13. Fatwa-fatwa Kontemporer (2002)

14. MM Azami Pembela Eksistensi Hadis (2002)

15. Pengajian Ramadhan Kiai Duladi (2003)

16. Hadis-hadis Bermasalah (2003)

17. Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan (2003)

18. Nikah Beda Agama dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis (2005)

19. Imam Perempuan (2006)

20. Haji Pengabdi Setan (2006)

21. Fatwa Imam Besar Masjid Istiqlal (2007)

22. Pantun Syariah Ada Bawal Kok Pilih Tiram (2008)

23. Toleransi antar Umat Beragama, (dua bahasa, Arab dan Indonesia, 2008)

24. Islam di Amerika; Catatan Safari Ramadhan 1429 H. Imam Besar Masjid

Istiqlal, (dua bahasa, Inggris – Indonesia, 2009)

25. Kriteria Halal-Haram untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika dalam

Perspektif Al-Qur'an dan Hadis (2009)

26. Islam Between War and Piece (2009)

27. Mewaspadai Provokator Haji (2009)

28. Kidung Bilik Pesantren (2009)

29.

ء ػايي احلالل واحلرام يف األطػث واألرشبث واألدويث واملصخدرصات الجيييث ىلع ض

(0202) الهخاب والصث

Page 52: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

30. Kiblat antara Bangunan dan Arah Ka‟bah (dua bahasa, Arab dan

Indonesia, 2010)

31.

ء الهخاب والصث (0202) اىلتيث ىلع ض

32. 25 Menit Bersama Obama (2010)

33. Kiblat Menurut Al-Qur‟an dan Hadis: Kritik atas Fatwa MUI No. 5/2010,

(2011)

34. Ramadhan Bersama Ali Mustafa Yaqub (2011)

35. Makan Tak Pernah Kenyang (2012)

36. Cerita dari Maroko (2012)

37. Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme (2012)

38.

( 0202) ديلو احلصتث

39. Panduan Amar Makruf Nahi Munkar (2012)

40.

ء الهخاب والصث ال وذي احلجث ىلع ض (0202) إثتات رمضان وش

41. Isbat Ramadan, Syawal, dan Zulhijah Menurut Al-Kitab dan Sunnah

(2013)

42. Menghafal Al-Qur‟an di Amerika Serikat (2014)

43.

(0202) اىطرق الصديدث يف ف الصث انلتيث

44. Cara Benar Memahami Hadis (2014)

Page 53: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

45. Setan Berkalung Surban (2014)

46.

اةيث وضيث اىػياء احفاق يف األصل ال اخخالف (0202) ال

47. Titik Temu Wahabi-NU (2015)

C. Aktivitas Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

1. Bidang Organisasi

a. Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat (1987).

b. Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Muballighin (1990-1996).

c. Ketua Dewan Pakar, merangkap ketua Dewan Departemen Luar Negeri

Ittihadul Muballighin (1996-2000).

d. Anggota Delegasi MUI untuk Memantau Pemotongan Hewan di Amerika

(2000).

e. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Iran,

Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005).

f. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Mesir,

Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005).

g. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Saudi

Arabia, Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2005).

h. Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh.

i. Wakil ketua Komisi Fatwa MUI Pusat (2005 sampai sekarang).

j. Anggota lajnah Pentashih Al-Qur‟an DEPAG RI (2005 sampai sekarang).

k. Studi Banding tentang Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur'an, di Turki,

Anggota Delegasi Departemen Agama RI (2006).

Page 54: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

l. Peserta & Pemakalah dalam Konferensi Dunia tentang Metode Penetapan

Fatwa di Kuala Lumpur, Malaysia (2006).

m. Ketua Delegasi MUI untuk Memantau Pemotongan Hewan di Kanada

(2007).

n. Peserta Konferensi ke 6 tingkat dunia, Lembaga Keuangan Islam Dunia, di

Bahrain (2007).

o. Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi).

p. Anggota Dewan Syari‟ah Majlis Al-Dzikra.

q. Anggota Dewan Syari‟ah Bank Bukopin Syari‟ah.77

2. Bidang Pendidikan

a. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah Jakarta (1991-

1997).

b. Guru Besar di Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) (1985 sampai sekarang).

c. Dosen di Institut Studi Ilmu Al-Quran (ISIQ/PTIQ).

d. Dosen Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah (2012 sampai

sekarang).

e. Mendirikan Madrasah Darus-Sunnah 6 Tahun Setingkat Dengan Smp Dan

Sma (2014).78

3. Bidang Dakwah

a. Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal.

b. Pengajian di Masjid Agung Sunda Kelapa.

c. Pengajian di Masjid Agung At-Tin.

77

Ni‟ma Diana Cholidah, Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan Kajian

Hadis Kontemporer di Indonesia, h. 20. 78

Ali Mustafa Yaqub, Isbat Ramadan, Syawal, dan Zulhijah Menurut Al-Kitab dan

Sunnah, (Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013), h. 118.

Page 55: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

d. Pengajian di Masjid Raya Pondok Indah.79

e. Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI.

f. Tahun 1989, bersama keluarganya beliau mendirikan Pesantren “Darus-

Salam” di desa kelahirannya.

g. Ramadhan 1415 H/Februari 1995-1997 beliau diamanati untuk menjadi

pengasuh/pelaksana Harian Pesantren Al-Hamidiyah Depok, setelah

pendirinya KH. Achmad Sjaichu wafat 4 Januari 1995.

h. Imam Besar Masjid Istiqlal (2005 sampai sekarang).

i. Pengasuh Darus-Sunnah International Institute for Hadith Scincens di

Indonesia dan Malaysia (1997 sampai sekarang).80

D. Gambaran Umum Buku Setan Berkalung Surban

1. Tampilan Fisik dan Identitas Buku

Judul Buku : Setan Berkalung Surban

Penulis : Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA

Editor : Denden Taupik Hidayat, SS., Lc.

Penerbit : Pustaka Firdaus

No. ISBN : 978-979-541-224

Tahun Terbit : 2014 M.

Tempat Terbit : Jakarta

Cetakan : Ke-1

Jumlah Halaman : 163

Tampilan Fisik : Warna cover depan adalah hitam. Terdapat gambar

surban berwarna merah di depan sampul. Di tengahnya tertera judul buku yang

79

Tim Redaksi Majalah Nabawi, Kolom Artikel Utama, (Jakarta: IMDAR, 1436 H./2015

M.), edisi 109, h. 12. 80

Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, h. 240.

Page 56: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

sangat mencolok dengan menggunakan warna merah pada kata “Setan” dan warna

putih pada kata “Berkalung Surban”. Menandakan bahwa buku ini mencoba

menarik perhatian pembaca dan mencoba menjelaskan dengan singkat apa yang

ada dalam buku ini. Ukuran bukunya sedang, sehingga mudah dibawa kemana-

mana, dan bisa dibaca dimanapun kita berada.

2. Sekilas Tentang Buku Setan Berkalung Surban

Buku ini adalah salah satu dari karya beliau yang menjawab problematika

kehidupan umat Islam di Indonesia. Buku dengan judul yang sangat

mengandung makna majas ini berisi kritikan-kritikan beliau terhadap fenomena

kehidupan umat sekarang ini yang semakin kompleks. Dengan buku ini beliau

mencoba menerjemahkan apa yang ada pada masyarakat Indonesia, dan

meluruskannya dengan pendapat beliau yang didasari pada dalil-dalil Al-

Qur‟an dan Al-Hadis, serta memberikan solusi yang tepat di dalamnya.81

Buku ini berisi artikel-artikel beliau yang dimuat di berbagai media massa

terkenal, seperti, Koran KOMPAS, REPUBLIKA, Majalah Nabawi. Juga

memuat makalah beliau pada Seminar Intenasional, Khutbah Jumat di New

York USA, dan Khutbah Nikah Duta Besar Paraguay yang baru saja masuk

Islam di bawah bimbingan beliau. Semua materi ini berjumlah 42 judul yang

dibagi menjadi tiga kategori besar di dalamnya, yaitu akidah berjumlah 9 judul,

ibadah 13 judul, dan muamalah 20 judul. Seluruhnya menggunakan bahasa

Indonesia, kecuali 3 judul khusus yang berasal dari makalah beliau pada

81

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus-

Sunnah, Jakarta, 11 Mei 2015.

Page 57: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Seminar Intenasional, Khutbah Jumat di New York USA, dan Khutbah Nikah

Duta Besar Paraguay.82

Kategori pertama adalah tentang akidah. Salah satu persoalan yang disorot

pada bidang ini adalah toleransi umat beragama di Indonesia. Indonesia

merupakan Negara yang mendapatkan perhatian besar dunia dalam hal

toleransi antarumat beragama. Banyak wartawan mancanegara bahkan tokoh-

tokoh dunia yang datang langsung ke Indonesia untuk menanyakan tentang

rahasia stabilitas sosial di Negara Indonesia yang multietnis dan multiagama.

Dalam buku ini beliau memberi jawaban yang gamblang dan menunjukkan

solusinya yang berasal dari sejarah umat Islam masa lalu, yaitu saat di Madinah

Nabi Muhammad saw. membina kerukunan antara umat Islam dengan agama-

agama lainnya seperti, Nashrani, Yahudi, Majusi, dan Paganisme. Bahkan

Rasul saw. bersama penganut agama lain membuat perjanjian damai untuk

saling menghormati dan menjaga satu sama lain yang disebut Piagam

Madinah.

Tidak kalah menariknya isi pesan yang ada pada kategori ibadah. Kritik

demi kritik beliau sampaikan demi membangun kesadaran umat Islam dalam

menjalankan ibadah yang baik dan benar. Di dalamnya dijelaskan banyak

penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan umat Islam dalam praktek

ibadah seperti, kurban, puasa Ramadhan, haji, azan, dan salat. Bahkan beliau

juga mampu menguak hubungan kualitas ibadah dengan kemunduran umat

Islam di Indonesia dalam bidang ekonomi. Beliau menekankan adanya

82

Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh

Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015.

Page 58: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

reorientasi ibadah agar berpahala maksimalis sehingga berbuntut pada

ekonomis maksimalis.

Kategori terakhir adalah persoalan muamalah, yang menjadi pamungkas

pada buku ini, juga fokus pada penelitian ini. Problematika umat Islam dalam

bidang muamalah lebih kompleks dibandingkan dengan dua bidang

sebelumnya. Salah satunya adalah fenomena dai bertarif yang beliau bahasakan

dengan sebuah singkatan yaitu dai walakedu (jual ayat kejar duit) yang

semakin ramai muncul di masyarakat.83

83

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. vii-ix.

Page 59: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

BAB IV

ANALISIS WACANA KRITIS “DAI KOMERSIAL” DALAM BUKU

SETAN BERKALUNG SURBAN KARYA

PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA

A. Struktur Teks yang Diwacanakan dalam Buku Setan Berkalung Surban

1. Judul: Setan Berkalung Surban

a. Level Teks

1) Struktur Makro

a) Segi Tematik

Tema atau topik adalah sebuah gambaran umum dari teks, dapat

juga dikatakan sebuah gagasan inti atau ringkasan utama sebuah teks.

Dalam tulisan Alex Sobur yang mengutip Keraf, mengatakan bahwa

tema adalah suatu amanat utama yang disampaikan oleh penulis

melalui tulisannya.84

Topik tulisan ini adalah tentang muamalah.

Gagasan intinya adalah mengkritik dai yang hanya bermodal surban

tetapi berdakwah tidak berdasarkan niat karena Allah swt. melainkan

mengikuti hawa nafsu dan kehendak setan.85

2) Superstruktur

a) Segi Skematik

Pada umumnya, teks, atau wacana memiliki skema atau alur,

yang dimulai dari pendahuluan hingga penutup. Alur tersebut

84

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 75.

85 Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 18 Mei 2015.

Page 60: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan

diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Skematik memiliki dua

kategori besar yaitu summary yang terdiri dari judul dan lead (teras

berita) serta story (isi berita keseluruhan). Berikut penjabarannya:

Tulisan ini berjudul “Setan Berkalung Surban.” Lead (teras

berita) menggambarkan mengenai judul yang diangkat untuk

membawa pembaca kepada pendahuluan. Pendahuluan tulisan ini

diawali dengan sebuah cerita yang berasal dari hadis Rasul saw.

dengan bahasa Arab dan bahasa Indonesia, sebagai berikut:

وشي ن رشل اهلل صل اهلل غييت غ أيب ريرة ريض اهلل غ كال/ "وك ، وكيتج ح خذت

ػام ، فأ اىط حان آت ، فجػو يتث

ظ زكة رمضان ، فأ فت : ب

وش م إل رشل اهلل صل اهلل غييت فػ رت ، كال / إني متخاج ، وغل خيال ، ول أل ي

ةا / " يا أ وشي ج ، فلال انلب صل اهلل غييت تدت صت

، فأ خاجث شديدة ، فخييتج خت

ارخث ؟ " ، كال / كيتج / يا شيك التا فػو أ ريترة ، رشل اهلل، شك خاجث شديدة ،

، كال ، فخييتج شبيي د." " : وخياال ، فرحتخ كدت نذةم ، وشيػ ا إ 86أ

“Abu Hurairah ra. Bercerita: Suatu hari Rasulullah saw.

menugaskan saya untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan.

Tiba-tiba datanglah seseorang melihat-lihat makanan dan langsung

mengambilnya. Dia lalu saya tangkap, dan saya katakan: “Kamu

akan saya laporkan kepada Rasul saw.” orang itu menjawab: “Saya

orang yang sudah berkeluarga dan sangat membutuhkan makanan

tersebut untuk keluarga saya.” Mendengar itu saya pun

melepaskannya. Ketika pagi tiba Rasul saw. bertanya: “Wahai Abu

Hurairah apa yang kamu lakukan pada orang yang kamu tangkap tadi

malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu mengadukan

kesusahan keluarganya, dan dia memohon harta zakat saat itu juga,

lalu saya bebaskan.” Rasul saw. bersabda: Dia telah mengelabuimu,

dan nanti malam ia akan datang lagi.”87

86

Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Mesir: Dar al-Hadis, 2008), juz 3, h. 101. 87

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 92.

Page 61: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Pendahuluan dalam tulisan ini menggunakan cerita dengan

bahasa Arab dan bahasa Indonesia dari sebuah hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Tujuannya adalah untuk mengajak

pembaca agar membaca hadis Rasul saw. juga agar memberi

penguatan pada pesannya. Inti dari tulisan ini berada dalam akhir

cerita tersebut, yaitu:

“Dari Hadis ini, ada pelajaran menarik. Pertama, bahwa setan

dapat menjelma menjadi manusia. Kedua, dalam rangka mengecoh

dan mencari korban, setan dapat menjelma menjadi seorang ustaz atau

ustazah dengan segala atribut dan nasehat-nasehatnya.”88

Tulisan ini ditutup dengan memberikan sebuah peringatan

kepada kita agar berhati-hati terhadap segala macam bentuk rayuan

setan yang ada di dunia ini. Cerita ini berlangsung sampai tiga kali

berulang-ulang dan pada hari ketiga Rasul saw. memberitahukannya

bahwa ia adalah setan. Kesimpulan dari tulisan ini menjelaskan bahwa

meskipun seseorang itu menggunakan surban dan menjadi dai, jika

dakwahnya tidak berlandaskan ikhlas karena Allah, maka sama saja

dakwahnya itu mengikuti rayuan setan dan hawa nafsunya.

Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang

bahwa setan dapat menyerupai apapun dan siapapun untuk menggoda

manusia, bahkan dalam bentuk yang menurut umat Islam baik

(menggunakan surban). Jika para dai yang menggunakan surban

melakukan dakwahnya bukan dilandaskan atas keikhlasan karena

Allah swt. melainkan karena mengikuti hawa nafsunya karena ingin

88

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.

Page 62: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

populer misalnya, maka sama saja dakwahnya itu mengikuti kehendak

setan bukan mengikuti keinginan Allah swt.

3) Struktur Mikro

a) Segi Semantik

Semantik adalah studi linguistik yang mempelajari makna atau

arti dalam bahasa.89

Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan

praanggapan. Latar tulisan ini berawal dari Abu Hurairah yang

diamanati untuk menjaga zakat Ramadhan yaitu di Bait al-Mal. Detail

tulisan ini sangat bagus, karena menceritakan secara naratif tentang

kejadian yang dialami Abu Hurairah selama 3 hari untuk menjaga

harta zakat dari awal sampai akhir. Berikut detail dalam tulisan ini:

“Abu Hurairah ra. bercerita, “Suatu hari Rasulullah

Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menugaskan saya untuk menjaga harta

zakat pada bulan Ramadhan. Tiba-tiba datanglah seseorang melihat-

lihat makanan dan langsung mengambilnya. Dia lalu saya tangkap,

dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.”

Orang itu menjawab: „Saya orang yang sudah berkeluarga dan

sangat membutuhkan makanan untuk keluarga saya.” Mendengar itu

saya pun melepaskannya. Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya:

“Wahai Abu Hurairah apa yang dilakukan oleh orang yang kamu

tangkap tadi malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu

mengadukan kesusahan keluarganya dan dia memohon harta zakat

saat itu juga, lalu saya bebaskan.” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa

Sallam lalu bersabda: “Dia telah mengelabui kamu wahai Abu

Hurairah dan nanti malam dia akan kembali lagi”.

Dari sabda Nabi ini, saya tahu bahwa dia akan kembali lagi.

Malam harinya saya mengawasinya secara teliti dan ternyata betul

apa yang disampaikan Rasulullah, ia telah berada di ruang harta

zakat sambil memilih-milih harta zakat yang terkumpul lalu ia

mengambilnya. Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan,

“Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu

menjawab: “Saya betul-betul sangat membutuhkan makanan itu

89

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), cet.

Ke-3, h. 2.

Page 63: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

sekarang, keluarga saya kini sedang menunggu sambil menahan

lapar. Saya berjanji tidak akan kembali lagi esok hari”. Mendengar

itu, saya merasa kasihan dan akhirnya saya lepaskan kembali.

Keesokan harinya Rasulullah bertanya kembali: “Apa yang dilakukan

oleh orang yang kamu tangkap tadi malam, wahai Abu Hurairah?”

Saya menjawab: “Orang kemarin datang kembali dan mengambil

harta zakat. Karena keluarganya sudah lama kelaparan, akhirnya

saya melepaskannya”. Mendengar itu, Rasulullah bersabda: “Dia

telah membohongi kamu dan nanti malam ia akan kembali untuk yang

ketiga kalinya”.

Malamnya ternyata orang itu kembali lagi dan seperti biasa dia

mengambil harta zakat yang sudah terkumpul di dalam gudang.

Melihat itu, dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan

saya laporkan kepada Rasulullah. Bukankah kamu kemarin berjanji

tidak akan kembali lagi tapi mengapa kini kembali juga?” Orang itu

menjawab: “Ijinkanlah. Saya akan ajarkan kepada kamu sebuah

kalimat yang apabila kamu membacanya Allah akan selalu menjaga

kamu serta kamu tidak akan disentuh dan didekati oleh setan hingga

pagi hari". Saya merasa tertarik dengan ucapannya lalu saya

menanyakan kalimat apa itu. Dia menjawab: “Apabila kamu hendak

tidur, jangan lupa membaca ayat Kursi, maka Allah akan menjaga

kamu dan kamu tidak akan didekati oleh setan sehingga pagi tiba”.

Para Sahabat Nabi saw. memang suka dengan amalan-amalan.

Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang

telah saya lakukan tadi malam dan saya katakan: “Ya Rasulullah, dia

mengajarkan saya kalimat yang sangat bermanfaat dan berfaidah.”

Rasulullah lalu bertanya kembali: “Kalimat apa yang diajarkannya?”

Saya menjawab, “Dia mengajarkan ayat Kursi dari awal sampai

akhir dan dia katakan bahwa kalau saya membacanya sebelum tidur,

maka Allah akan menjaga saya sampai pagi hari.” Rasulullah

Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang dia sampaikan

itu betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu dengan

mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapa orang yang mendatangi

kamu tiga malam itu?” Saya menjawab: “Tidak, saya tidak tahu”.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Ketahuilah

bahwa dia itu adalah setan.”(HR. Al-Bukhari)”90

90

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 92-94.

Page 64: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Sedangkan maksud dalam tulisan ini menjelaskan jika ibadah

bukan karena Allah swt., maka ibadah itu untuk setan, disampaikan

dengan jelas dalam kalimat berikut:

“Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam rangka

menjalankan perintah Allah dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam rangka

memenuhi keinginan selera alias hawa nafsu yang dibisiki oleh setan,

maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk setan.”91

Praanggapan tulisan ini berada dalam kutipan berikut:

“Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan setan.

Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan

menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi, dan sebagainya,

tetapi setan menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya

adalah sebuah ibadah.”92

b) Sintaksis

Sintaksis adalah tata bahasa yang membahas hubungan antar

kata dalam tuturan atau kalimat.93

Maksudnya adalah bagaimana

sebuah kata atau kalimat disusun menjadi kesatuan yang memilki arti.

Elemen yang diamati dalam sintaksis adalah bentuk kalimat,

koherensi, dan kata ganti. Bentuk kalimat dalam tulisan ini

menggunakan kalimat aktif dengan awalan me-, dan kalimat pasif

awalan di- dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Pertama, bahwa setan dapat menjelma menjadi manusia.

Kedua, dalam rangka mengecoh dan mencari korban, setan dapat

menjelma menjadi seorang ustaz atau ustazah dengan segala atribut

dan nasehat-nasehatnya.” 94

91

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 92

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 93

W. M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, (Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press,

2001) cet. Ke-3, h. 161. 94

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.

Page 65: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan

tersebut adalah benar.”95

Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung „tetapi‟

yang bermakna pengingkaran, yang dapat dilihat dalam kutipan

berikut:

“Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan setan.

Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan

menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi, dan sebagainya,

tetapi setan menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya

adalah sebuah ibadah. Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam

rangka menjalankan perintah Allah dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam

rangka memenuhi keinginan selera alias hawa nafsu yang dibisik oleh

setan, maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi untuk

setan.”96

Kata „tetapi‟ yang pertama berfungsi untuk menjelaskan situasi

orang yang beriman dan suka beribadah justru akan digoda dengan

sesuatu yang lahirnya adalah ibadah akan tetapi hakikatnya mengikuti

setan. Sedangkan pemahaman yang beredar adalah bahwa setan akan

menggoda seseorang yang beriman dengan sesuatu yang mungkar atau

buruk. Kemudian kata „tetapi‟ yang kedua berfungsi untuk

menjelaskan seorang dai yang berdakwah bukan karena Allah, maka

dakwahnya itu tidak lain adalah untuk mengikuti kehendak setan.

Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang

dia sampaikan itu betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu

dengan mengambil harta zakat. Tahukah kamu siapa orang yang

mendatangi kamu tiga malam itu?” Saya menjawab: “Tidak, saya

95

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 96

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.

Page 66: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

tidak tahu”. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda:

“Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan.”97

Penggunaan kata „dia‟ dalam kalimat ini menggambarkan

ketidaksukaan Rasul saw. terhadap apa yang dilakukan setan.

Sedangkan kata „kamu‟ dalam kalimat ini menggambarkan kedekatan

Rasul saw. dengan Abu Hurairah.

“Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita agar hati-

hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina tampil

dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil dengan

berkalung surban.”98

Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak

adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk

menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan

demikian pembaca dapat menerima dengan mudah ajakan beliau.

c) Segi Stilistik

Stilistik adalah cara yang digunakan beliau untuk menyatakan

maksud melalui pilihan kata yang digunakan. Seperti terdapat dalam

kutipan berikut:

“Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan

tersebut adalah benar, sehingga ia mengamalkannya bukan karena

mengikuti perintah setan tapi mengikuti perintah Nabi saw.”99

Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata wiridan

untuk menjelaskan ayat kursi yang dimaksud di dalam ceritanya.

97

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 93-94. 98

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 99

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94.

Page 67: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

d) Segi Retoris

Retoris dalam tulisan ini menggunakan bentuk ekspresi berupa

peringatan tentang gangguan setan dan metafora dalam bentuk kiasan

tentang setan, untuk menyampaikan pesannya kepada pembaca. Hal

ini terlihat dari kutipan:

“Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita agar

hati-hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina

tampil dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil

dengan berkalung surban.”100

2. Judul: Surban dan Jubah Haram

a. Level Teks

1) Struktur Makro

a) Segi Tematik

Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya

adalah menjelaskan tentang hukum pakaian syuhrah yaitu pakaian

yang dipakai karena ingin tenar atau dikenal orang lain, dalam hal ini

ingin dikenal sebagai seorang dai atau kiai.101

2) Superstruktur

a) Segi Skematik

Tulisan ini berjudul “Surban dan Jubah Haram”. Pendahuluan

tulisan ini diawali dengan sebuah hadis sebagai berikut:

ب ت ل أ ث، ث م اىتليا ت ذىث ي تب اهلل ث ىتبص

جتيا أ رة يف ادل ت تب ش ت ىبس ث

ارا )رواه اة اج( 102في

100

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 94. 101

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 18 Mei 2015. 102

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, (Mesir: Dar ibn Haytsam, 2005), juz 4, h. 84.

Page 68: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah

akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian

ia dibakar dalam api neraka. (HR. Ibnu Majah)”103

Pendahuluan dalam tulisan ini menyampaikan sebuah hadis

yang mengharamkan memakai pakaian syuhrah. Inti dari tulisan ini

berada dalam kutipan berikut:

“Menurut para Ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang

berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana

pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah (popularitas), karena

pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang-

orang. Pakaian syuhrah adakalanya berebda dari pakaian umumnya

penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena

terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu

bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari yang lain sehingga

kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain

sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari

pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut

sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain

sebagainya.”104

Tulisan ini ditutup dengan ajakan kepada kita untuk

berpenampilan sesuai apa yang ada di budaya kita sendiri. Kesimpulan

dari tulisan ini adalah menegaskan keharaman memakai pakaian

syuhrah sesuai yang telah disepakati oleh para Ulama dan

menganjurkan memakai pakaian sesuai budaya masing-masing seperti

yang dicontohkan oleh Rasul saw.

Story tulisan ini adalah memberikan penjelasan kepada orang-

orang bahwa memakai pakian syuhrah adalah haram hukumnya,

karena berbeda dari adat pemakainya berada dan terdapat niat yang

buruk dalam memakainya, seperti ria, somobong, dan bahkan ingin

103

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 104

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95.

Page 69: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

dianggap zuhud. Dalam hal ini larangan bagi para dai untuk

menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia,

karena ingin dikenal sebagai dai.

3) Struktur Mikro

a) Segi Semantik

Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar

tulisan ini berawal dari sebuah hadis yang melarang memakai pakaian

syuhrah, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Detail tulisan ini sangat

bagus, karena beliau menjelaskan secara naratif tentang hukum

memakai pakaian syuhrah, dari mulai mendatangkan hadisnya,

menjelaskan maknanya, sampai menyimpulkannya, yang terdapat

dalam kutipan berikut:

“Dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada Hadis bahwa Rasulullah

saw. mengatakan:

ب ت ل أ ث، ث م اىتليا ت ذىث ي تب اهلل ث ىتبص

جتيا أ رة يف ادل ت تب ش ت ىبس ث

ارا )رواه اة اج( في “Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah

akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian

ia dibakar di api neraka.” (HR. Ibnu Majah)

Menurut para Ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang

berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk negeri di mana

pemakainya tinggal. Disebut pakaian syuhrah (popularitas) karena

pemakainya dengan pakaian tersebut ingin mudah dikenal oleh orang-

orang. Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari pakaian umumnya

penduduk suatu negeri karena terlalu bagus atau berbeda karena

terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu

bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada

umumnya. Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga

kemudian ia merasa bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain

sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda karena sangat lebih buruk dari

pakaian orang-orang pada umumnya, maka pemakainya ingin disebut

Page 70: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan lain sebagainya.

Berdasarkan Hadis ini, para Ulama sepakat bahwa pakaian syuhrah

adalah haram dikenakan.

Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan

jubah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian

syuhrah karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti

itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi

pakaian Ulama. KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy‟ari, Syeikh

Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai surban.

Maka pada masa itu, surban sudah menjadi tradisi para Ulama.

Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban. Dasarnya adalah

mengikuti tradisi (adat) dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang

tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Memang, dalam Hadis yang sahih, Nabi saw. memakai surban

karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban. Maka,

surban (penutup kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel) adalah

tradisi bangsa Arab pada saat itu. Orang Islam dan orang musyrikin

juga sama-sama memakai surban.”105

Maksud dalam tulisan ini ialah menerangkan hukum pakaian

syuhrah dalam konteks Indonesia, yang disampaikan dengan jelas

dalam kalimat berikut:

“Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan

jubbah, yang di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori

pakaian syuhrah, karena masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian

seperti itu. Pada abad lalu, surban dan jubah mungkin sudah menjadi

tradisi pakaian Ulama. KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asy‟ari,

Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai

surban. Maka pada masa itu, surban menjadi tradisi para Ulama.

Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban. Dasarnya adalah

mengikuti tradisi (adat) dan tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang

tidak bertentangan dalam syariat Islam.”106

Praanggapan dalam tulisan ini ialah menghukumi penampilan

syuhrah sama dengan hukum pakaian syuhrah, yang disampaikan

dengan jelas dalam kalimat berikut:

105

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95-96. 106

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96.

Page 71: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Melihat makna hadis di atas, tampaknya bukan hanya pakaian

syuhrah saja yang dilarang oleh Nabi saw., tetapi juga penampilan

syuhrah.”107

b) Sintaksis

Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif,

dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Berdasarkan hadis ini, para Ulama sepakat pakaian syuhrah

adalah haram dikenakan.”108

Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung

„karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat

dalam kutipan berikut:

“Para Ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti Besar

Syeikh Bin Baz rahimahullah, Mufti Besar masa kini Syeikh Abdul

Aziz Alu al-Syaikh, Syeikh Shaleh bin Muhammad al-„Utsaimin, dan

lain-lain, semuanya sepakat bahwa memakai surban bukan merupakan

ibadah. Tidak sunah apalagi wajib, namun hanya mengikuti tradisi

bangsa Arab pada saat itu. Hal itu dikarenakan tidak ada satu hadis

pun yang shahih yang menerangkan keutamaan memakai surban.

Semua hadis tentang keutamaan memakai surban adalah hadis-hadis

palsu.”109

Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan

hubungan kausal sebab akibat, yaitu menjelaskan tidak adanya satu

hadis pun yang shahih yang menjelaskan keutamaan memakai surban,

sehingga memakai surban tidaklah mengandung ibadah sunah apalagi

wajib.

Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

107

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 108

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95. 109

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96.

Page 72: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Apabila masyarakat di mana kita tinggal tidak memelihara

rambut panjang dan tidak memakai belangkon, maka berambut

panjang dan memakai belangkon juga dilarang oleh Rasulullah saw.

Di antara kita terkadang karena ketidaktahuannya menganggap

pakaian yang dipakai adalah sebuah ibadah, sunah, dan mengikuti

Nabi saw. padahal pakaian seperti itu justru dilarang oleh Rasulullah

saw.”110

Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak

adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk

menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan

demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau.

c) Segi Stilistik

Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:

“Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang

berbeda dari pakaian yang dipakai oleh penduduk Negeri di mana

pemakainya tinggal.”111

“Memang, dalam hadis yang shahih, Nabi saw. memakai

surban karena bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan

surban.”112

Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata „syuhrah‟

unuk menjelaskan pakaian yang digunakan untuk dikenal orang lain

atau pakaian yang berbeda dari budaya si pemakainya. Sedangkan

kata „surban‟ untuk menjelaskan pakaian yang menjadi adat Arab

yaitu penutup kepala dari kain yang dibelitkan.

d) Segi Retoris

Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora dalam bentuk

ungkapan sehari-hari seperti pada kalimat berikut:

110

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 97. 111

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 95. 112

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96.

Page 73: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Karenanya, sah-sah saja, Ulama memakai surban.”113

Juga menggunakan grafis pada arti dari hadis seperti dalam

kutipan berikut:

“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah

akan memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian

ia dibakar dalam api neraka. (HR. Ibnu Majah)”114

“Perbedaan antara surban kita dari surban orang musyrikin

adalah memakai kopiah lebih dahulu.(HR. Imam Abu Dawud dan Al-

Tirmidzi)”115

3. Judul: Dai Berbulu Musang

a. Level Teks

1) Struktur Makro

a) Segi Tematik

Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya

adalah menjelaskan tentang hukum dai yang bertarif menurut kajian

fikih.116

2) Superstruktur

a) Segi Skematik

Tulisan ini berjudul “Dai Berbulu Musang.” Pendahuluan

tulisan ini diawali dengan kalimat berikut:

“Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr.

H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran

nasional berjudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan

untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku

113

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 114

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 115

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 96. 116

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 18 Mei 2015.

Page 74: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia

sampaikan.”117

Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan tulisan Prof. Dr. H.

Ayyub Sani Ibrahim dalam koran nasional. Inti dari tulisan ini berada

dalam kutipan berikut:

“Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballighin, sebuah

organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH.

Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah

Nasional (Munas) ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta

yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan

enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu,

dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi

objek dakwah.”118

Tulisan ini ditutup dengan wasiat dan nasihat kepada para dai,

agar menjadi orang yang memecahkan masalah umat, bukan

menambah masalah umat dengan memasang tarif tinggi ketika di

undang berdakwah oleh umat. Kesimpulan dari tulisan ini

menjelaskan semakin maraknya fenomena dai yang bertarif.

Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang

bahwa zaman sekarang ini sedang marak muncul fenomena dai

bertarif yang menyusahkan masyarakat sebagai objek dakwah mereka.

Seharusnya dai itu adalah orang yang menenangkan masyarakat

dengan nasihat-nasihatnya, bukan malah meresahkan mereka dengan

tarifnya. Sudah seharusnya para dai kembali bertaubat untuk tidak

memasang tarif lagi dalam dakwahnya, jika pun nanti diberi hadiah

117

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 118

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98.

Page 75: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

atau bahkan uang oleh masyarakat yang mengundang, hal itu tidak

mengapa asalkan tidak ada perjanjian dari awalnya.

3) Struktur Mikro

a) Segi Semantik

Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar

tulisan ini berawal dari tulisan Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim tahun

1980-an dan Musyawarah Nasional ke-4 tanggal 25-28 Juni 1996

yang menjelaskan fenomena dai bertarif. Detail tulisan ini sangat

bagus, karena menceritakan secara naratif tentang tulisan Prof. Dr. H.

Ayyub Sani Ibrahim tahun 1980-an dan hasil Musyawarah Nasional

ke-4, juga tentang hukum dai bertarif, yang dapat dilihat dalam

kutipan berikut:

“Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr.

H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran

nasional berujudul Dai Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan

untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang perilaku

kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia

sampaikan. Sebagai sebuah nasehat, semoga Allah swt telah

memberikan pahala kepada beliau. Namun fenomena dai berbulu

musang pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan lebih

parah daripada sekedar dai berbulu musang, karena muncul oknum dai

yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif dalam

berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu (jual ayat kejar duit).

Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin, sebuah

organisasi para dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH.

Syukron Ma‟mun pada tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah

Nasional (Munas) ke-4, yang dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta

yang terdiri dari para Ulama dan dai seluruh Indonesia merumuskan

enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik dakwah itu,

dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi

objek dakwah. Apa yang dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin

itu mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu

Bapak Dr. H. Tarmizi Taher.

Page 76: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang maupun dai

yang memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan

jauh lebih parah, karena berkembangnya dai-dai yang memasang tarif

dalam berdakwah.”119

Maksud dalam tulisan ini ialah menjelaskan hukum dai bertarif,

yang disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut:

“Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa

hukumnya memasang tarif dalam berdakwah dan memberikan uang

sebesar itu kepada dari bertarif. Dalam kajian fikih memang ada tiga

pendapat yang berkembang: pertama, pendapat yang

mengharamkannya secara mutlak, baik ada perjanjian sebelumnya

maupun tidak. Pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat, baik dari

Al-Qur‟an maupun Hadis. Pendapat kedua, yang membolehkan

berdakwah dengan memungut imbalan.”

“Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh

Munas ke-4 Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah pendapat yang

mengatakan bahwa apabila ada perjanjian sebelumnya, bahwa seorang

dai akan menerima upah dalam dakwahnya, maka hal itu tidak

dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada perjanjian apa-apa kemudian

dai diberi uang saku maka hal itu dibolehkan.”120

Praanggapan dalam tulisan ini ialah menyamakan kewajiban

dakwah dengan salat dan puasa, yang disampaikan dengan jelas dalam

kalimat berikut:

“Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya salat

dan puasa, kendati ia tidak menjadi rukun Islam.”121

b) Sintaksis

Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif

dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di

sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.”122

119

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98-99. 120

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 121

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100.

Page 77: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang

dai.”123

Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung

„karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat

dalam kutipan berikut:

“Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam berdakwah

adalah seratus juta rupiah satu kali ceramah (satu titik) dan yang

paling murah adalah sepuluh juta rupiah. Maka wajar saja apabila

masyarakat mengeluh dan protes terhadap fenomena pasang tarif ini,

karena uang yang mereka kumpulkan adalah uang sumbangan dari

orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras keringat

tapi kemudian dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang

itu.”124

Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan

hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan karena dai memasang tarif,

wargapun menjadi mengeluh dan resah.

Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah swt. di dunia

karena dia masih punya kesempatan untuk bertaubat. Dan celakalah

dai ketika aibnya dibuka oleh Allah swt. di akhirat karena dia tidak

punya kesempatan lagi untuk bertaubat.”125

Kata „ia‟ dalam kalimat ini menjelaskan tentang dai yang dibuka

aibnya oleh Allah swt. di dunia. Kemudian kata „dia‟ menunjukkan

jarak antara beliau dengan dai yang tidak dibuka aibnya oleh Allah

swt. Hal ini menunjukkan beliau tidaklah memiliki hubungan apapun

terhadap dai tersebut.

122

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 123

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 124

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100. 125

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 101.

Page 78: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

c) Segi Stilistik

Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:

“Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya

justru kian bermunculan, bahkan lebih parah dari pada sekedar dai

berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut

imbalan bahkan pasang tariff dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut

dai walakedu (jual ayat kejar duit).”126

Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata „dai

berbulu musang‟ dan „walakedu‟ (jual ayat kejar duit) untuk

menjelaskan dai yang bertarif.

d) Segi Retoris

Retoris dalam tulisan ini menggunakan grafis terutama pada arti

dari ayat Al-Qur‟an dan hadis seperti dalam kutipan berikut:

“Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya

justru kian bermunculan, bahkan lebih parah dari pada sekedar dai

berbulu musang, karena muncul oknum dai yang berani memungut

imbalan bahkan pasang tarif dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut

dai walakedu (jual ayat kejar duit).”127

“Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah

Al-Qur‟an. (HR. Al-Bukhari)”128

“Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang

telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan

petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al

Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan dila'nati (pula) oleh semua

(mahluk) yang dapat mela'nati.(QS. Al-Baqarah: 129)”129

Kemudian menggunakan bentuk ekspresi berupa nasihat kepada

para dai, yang terdapat dalam kutipan berikut:

“Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah

umat bukan orang yang membuat masalah umat. Dai adalah orang

yang meringankan masalah umat bukan orang yang membuat masalah

126

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 127

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 128

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99. 129

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100.

Page 79: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

umat. Dai adalah orang yang meringankan beban umat bukan orang

yang membebani umat.”130

4. Judul: Dai-dai Sesat

a. Level Teks

1) Struktur Makro

a) Segi Tematik

Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya

adalah menjelaskan haramnya dai memasang bertarif dan mengikuti

dai bertarif.131

2) Superstruktur

a) Segi Skematik

Tulisan ini berjudul “Dai-dai Sesat.” Pendahuluan tulisan ini

diawali dengan kalimat berikut:

“Dalam Surat Yasin, ada kisah menarik yang berkaitan dengan

masalah dakwah. Dalam ayat 13 dan seterusnya, Allah swt.

memerintahkan Nabi Muhammad saw. untuk menceritakan sebuah

kisah kepada kaum musyrikin Makkah yang mendustakan Nabi saw.

Kisah itu adalah perilaku orang-orang dalam menyikapi para dai

(utusan Allah).”132

Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan sebuah kisah

kepada kaum musyrikin Makkah tentang perilaku orang-orang dalam

menyikapi para dai. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut:

“Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima

ajakan dakwah para dai itu, datanglah kemudian seseorang dari tempat

yang jauh yang bernama Habib al-Najjar. Ia berusaha untuk menolong

para dai itu dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan warga

130

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 100-101. 131

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 18 Mei 2015. 132

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 102.

Page 80: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Anthakiyah. Habib al-Najjar menasehati kaumnya agar mengikuti

ajakan (dakwah) para dai itu. Kemudian Habib mengatakan:

هتدون )يس: (00اتبعىا من ل يسئلكم أجرا وهم م

“Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta

imbalan karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk

dari Allah” (QS. Yasin: 21).”133

Tulisan ini ditutup dengan penegasan dalam pelarangan

mengikuti dai yang bertarif berdasarkan kaidah hukum Islam “apa

yang haram diambil haram juga diberikan.” Kesimpulan dari tulisan

ini adalah menjelaskan bahwa ayat 21 surat Yasin ini sangat tepat

untuk dijadikan petunjuk bagi kita dalam menyikapi perilaku sejumlah

dai yang dalam dakwahnya menyimpang dari tuntunan Islam, dalam

hal ini para dai yang memasang tarif.

Story tulisan ini memberikan pandangan kepada orang-orang

bagaimana cara berperilaku terhadap para dai. Jika seorang dai tidak

meminta imbalan dalam dakwahnya, maka kita harus mengikutinya.

Tapi sebaliknya, jika seorang dai meminta imbalan dalam dakwahnya

maka kita tidak boleh mengikutinya kalau tidak disebut haram. Karena

para dai yang bertarif tidak melandaskan dakwahnya karena Allah

swt. melainkan karena hawa nafsu dan godaan setan.

3) Struktur Mikro

a) Segi Semantik

Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar

tulisan ini perintah Allah swt. kepada Nabi saw. untuk menceritakan

sebuah kisan kepada kaum musyrikin. Detail tulisan ini sangat bagus,

133

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103.

Page 81: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

karena menceritakan secara naratif kisah yang dimaksud dalam

perintah Allah swt. itu, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Disebutkan bahwa sebuah negeri yang menurut beberapa

sumber disebut Negeri Anthakiyah didatangi oleh tiga orang utusan

Allah yang masing-masing bernama Shadiq, Shaduq, dan Syallom.

Dalam riwayat lain disebutkan para utusan itu bernama Sam‟un,

Yohana, dan Bolus (Paulus). Mereka memperkenalkan kepada warga

negeri Anthakiyah bahwa mereka para dai yang diutus oleh Nabi Isa

al-Masih as. untuk berdakwah kepada warga Anthakiyah agar mereka

hanya menyembah Allah swt. dan tidak menyekutukan-Nya. Warga

Anthakiyah saat itu dipimpin oleh raja yang bernama Antikhos yang

menyembah patung.

Warga Anthakiyah ternyata tidak merespon dakwah para dai itu.

Mereka menolak para dai itu bahkan mengatakan bahwa kamu semua

adalah orang-orang seperti kami, mana mungkin kamu mendapat

wahyu dari Allah? Sekiranya kamu adalah utusan-utusan Allah,

niscaya kamu bukan manusia tapi malaikat. Mereka bahkan

mengatakan bahwa keberadaan para dai itu telah mencelakakan

kehidupan mereka. Mereka mengancam apabila para dai itu tidak

menghentikan dakwahnya, maka mereka akan melempari batu dan

menyiksanya.

Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima

ajakan dakwah para dai itu, datanglah kemudian seseorang dari tempat

yang jauh yang bernama Habib al-Najjar. Ia berusaha untuk menolong

para dai itu dari ancaman penyiksaan dan pembunuhan warga

Anthakiyah. Habib al-Najjar menasehati kaumnya agar mengikuti

ajakan (dakwah) para dai itu.”134

Maksud dalam tulisan ini ialah menentukan hukum dai bertarif

berdasarkan penafsiran beliau terhadap surat Yasin ayat 21, yang

disampaikan dengan jelas dalam kalimat berikut:

“Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks Al-Qur‟an seperti ini

memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq (pengertian

tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian kontekstual

atau tersirat). Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam, mafhum

muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah

pengertian tersirat yang sesuai dengan pengertian tersurat. Sedangkan

134

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 102-103.

Page 82: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat yang berlawanan

dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul Fiqh, baik

manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil)

dalam syari‟at Islam. Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah

Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam

berdakwah meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang

sesat.”135

Praanggapan dalam tulisan ini ialah menjelaskan keadaan

kebolehan memberi imbalan kepada dai, dapat dilihat dalam kutipan

berikut:

“Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan, maka

menurut mayoritas Ulama, kita boleh memberikan imbalan dan dai

boleh menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semuanya dari

larangan-laranganNya.”136

b) Sintaksis

Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif

dengan awalan me-, dan imbuhan me- -kan, dapat dilihat dalam

kutipan berikut:

“Prof. Dr. H. Ayyub Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di

sebuah koran nasional berujudul Dai Berbulu Musang.”137

“Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang

dai.”138

Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung

„karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat

dalam kutipan berikut:

135

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. 136

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 104. 137

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 98. 138

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 99.

Page 83: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Kisah Habib al-Najjar ini kemudian menjadi firman Allah

karena disebutkan di dalam Al-Quran.”139

Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan

hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan kisah Habib al-Najjar yang

menjadi alasan turunnya Al-Quran surat Yasin ayat 21.

Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Bila demikian, maka pasang tarif dalam berdakwah juga sangat

diharamkan. Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan,

maka menurut mayoritas ulama, kita boleh memberikan imbalan dan

dai boleh menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semuanya

dari larangan-laranganNya.”140

Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak

adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk

menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan

demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau.

c) Segi Stilistik

Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:

“Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks Al-Qur‟an seperti ini

memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq

(pengertian tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian

kontekstual atau tersirat). Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam,

mafhum muwafaqah dan mafhum mukhalafah. Mafhum

muwafaqah adalah pengertian tersirat yang sesuai dengan pengertian

tersurat. Sedangkan mafhum mukhalafah adalah pengertian tersirat

yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul

Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah

hujjah (dalil) dalam syari‟at Islam. Mafhum mukhalafah dari ayat di

atas adalah Allah memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai

yang dalam berdakwah meminta imbalan karena mereka adalah orang-

orang sesat.”141

139

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. 140

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 104. 141

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103.

Page 84: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata kata dari

bahasa Arab karena untuk menjelaskan tentang tafsir dari sebuah ayat

Al-Qur‟an.

d) Segi Retoris

Retoris dalam tulisan ini menggunakan grafis pada arti dari ayat

Al-Qur‟an seperti dalam kutipan berikut:

“Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta

imbalan karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk

dari Allah” (QS. Yasin: 21).”142

Juga menggunakan sebuah kaidah hukum Islam yang dicetak

miring, sebagi berikut:

“Berdasarkan kaidah hukum Islam, apa yang haram diambil

haram juga diberikan, maka haram hukumnya memberikan imbalan

kepada dai yang dalam dakwahnya meminta imbalan.”143

5. Judul: Kode Etik Dakwah

a. Level Teks

1) Struktur Makro

a) Segi Tematik

Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya

adalah menjelaskan tujuh kode etik dakwah bagi para dai.144

2) Superstruktur

a) Segi Skematik

Tulisan ini berjudul “Kode Etik Dakwah.” Pendahuluan tulisan

ini diawali dengan kalimat berikut:

142

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. 143

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 103. 144

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 18 Mei 2015.

Page 85: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Pada tahun 1996 Ittihadul Muballighin, Organisasi para

mubalig yang dipimpin oleh KH. Syukron Ma‟mun,

menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas).”145

Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan waktu terjadinya

Musyawarah Nasional. Inti dari tulisan ini berada dalam:

“Salah satu keputusan penting yang diambil dalam Munas itu

adalah merumuskan Kode Etik Dakwah. Keputusan ini diambil karena

pada waktu itu mulai muncul dai Walakedu (Jual Agama Kejar

Duit).”146

Tulisan ini ditutup dengan ungkapan perasaan beliau yang

kecewa terhadap semakin maraknya fenomena dai bertarif di

Indonesia ini. Kesimpulan dari tulisan ini adalah pengharapan beliau

agar rumusan kode etik itu dapat menjadi pedoman para dai atau

mubalig dalam menjalankan dakwahnya.

Story tulisan ini ingin memberikan pelajaran kepada para dai

tentang tujuh kode etik dakwah yang telah disepakati oleh Ulama se-

Dunia, yang harus mereka laksanakan dalam dakwahnya agar

mendapat pahala dari Allah dan bukan mendapat laknat dari-Nya.

3) Struktur Mikro

a) Segi Semantik

Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar

tulisan ini berawal dari Musyawarah Nasional ke-4 tanggal 25-28 Juni

1996 yang meghasilkan kode etik dakwah bagi para dai. Detail tulisan

ini sangat bagus, karena menjelaskan tujuan dibuatnya kode edik

dakwah, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

145

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 146

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105.

Page 86: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Pada tahun 1996 Ittihadul Muballighin, Organisasi para

mubalig yang dipimpin oleh KH. Syukron Ma‟mun,

menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas). Salah satu

keputusan penting yang diambil dalam Munas itu adalah merumuskan

Kode Etik Dakwah. Keputusan ini diambil karena pada waktu itu

mulai muncul dai Walakedu (Jual Agama Kejar Duit). Rumusan kode

etik itu diharapkan dapat menjadi pedoman para dai atau mubalig

dalam menjalankan dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi

tugas para Nabi, bukan justru mendapat laknat dari Allah swt. dalam

berdakwah.”147

Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan kode etik bagi para

dai. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Sekurang-kurangnya ada tujuh Kode Etik Dakwah, kode

pertama, tidak memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini

diambil dari Al-Qur‟an Surah al-Shaff ayat 2-3.”

“Kode kedua, tidak melakukan toleransi agama. Hal itu

berdasarkan Firman Allah swt. dalam surat Al-Kafirun.”

“Kode Ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini

diambil dari surat Al-An‟am ayat 108.”

“Kode keempat, tidak melakukan diskriminasi. Tedapat dalam

surat Al-An‟am 52.”

“Kode kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil dari

surat Saba‟ ayat 47.”

“Kode keenam, tidak berkawan dengan pelaku maksiat. Hal

itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil seperti diceritakan

dalam surat Al-Madinah ayat 78-79.”

“Kode ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak

diketahui. Kode ini diambil dari surat Al-Isra ayat 36.”148

Praanggapan dalam tulisan ini ialah memberitahu bahwa dai

bertarif tidak lenyap setelah dimunculkannya kode etik dakwah.

Terlihat dalam kutipan berikut:

“Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik

Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu

147

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 148

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105-109.

Page 87: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat

ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin

ramai.”149

b) Sintaksis

Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif

dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Ketika Nabi saw. masih berada di Makkah dan mengajarkan

Islam kepada orang-orang miskin.”150

“Akhirnya justru Allah swt. melaknat mereka semua.”151

Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung

„namun‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat

dalam kutipan berikut:

“Namun bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan

dengan rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi saw. untuk mengusir

Bilal dan kawan-kawannya itu. Nabi saw. kemudian menyetujui

permintaan tersebut, namun akhirnya Allah menurunkan ayat yang

mengkritik perilaku Nabi saw. itu, yaitu Surah al-An‟am ayat 52.”152

Kata „namun‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan

hubungan kausal, yaitu menjelaskan sikap Nabi saw. yang menjadi

alasan turunnya surat al-An‟am ayat 52 untuk mengkritik perilaku

Nabi saw. itu.

Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah saw. di

mana secara umum beliau tidak memerintahkan sesuatu kecuali

beliau melakukannya.”153

149

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 150

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 107. 151

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108. 152

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 107. 153

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105.

Page 88: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Kata „beliau‟ dalam kalimat ini ditujukan kepada Nabi

Muhammad saw. dan berfungsi sebagai penghormatan beliau

(penagrang) kepada Nabi Muhammad saw.

c) Segi Stilistik

Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:

“Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan

pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar

makruf dan nahi mungkar.”154

“Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik

Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai

walakedu menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin

mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu

semakin ramai”155

Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata runtang-

runtung, gandeng renceng untuk menjelaskan berteman atau bergaul.

Kemudian menggunakan kata walakedu (jual ayat kejar duit) untuk

menjelaskan dai yang bertarif.

d) Segi Retoris

Retoris dalam tulisan ini menggunakan bentuk grafis terutama

pada arti ayat Al-Qur‟an dan hadis yang disampaikan dalam tulisan

ini, terdapat dalam kutipan di bawah ini:

“Para dai yang runtang-runtung, gandeng renceng dengan

pelaku maksiat, mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan amar

makruf dan nahi mungkar.”156

“Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik

Dakwah itu telah berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu

menjadi lenyap? Tampaknya tidak demikian, justru semakin mendekat

154

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108. 155

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 156

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 108.

Page 89: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

ke Hari Kiamat, fenomena munculnya dai walakedu semakin

ramai”157

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu

mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?Amat besar kebencian

di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu

kerjakan.(QS. Ash-Shaff: 2-3)”158

“Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku. (QS. Al-

Kafirun)”159

“Sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Kabilah Bani „Auf

adalah satu bangsa dengan umat Islam. Bagi orang-orang Yahudi,

agama mereka dan bagi orang-orang Islam agama mereka. (HR. Ibnu

Hisyam)”160

6. Judul: Dakwah dan Kearifan Lokal

a. Level Teks

1) Struktur Makro

a) Segi Tematik

Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya

adalah menjelaskan cara berdakwah yang harus menggunakan

pendekatan budaya masyarakat Indonesia, bukan malah memaksakan

budaya lain dan melarang budaya lokal yang digunakan.161

2) Superstruktur

a) Segi Skematik

Tulisan ini berjudul “Dakwah dan Kearifan Lokal.”

Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut:

“Bulan Agusuts 1982, Almarhum Bapak Mr. (Sarjana Hukum)

H. Muhammad Roem memberikan ceramah di hadapan anggota

Young Muslim Association in Europe (YMAE) yang akrab di

157

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 109. 158

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 105. 159

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 160

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 106. 161

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 18 Mei 2015.

Page 90: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

kalangan masyarakat Indonesia dengan sebutan PPME (Persatuan

Pemuda Muslim Eropa) di Kediaman Bapak H. Hambali Ma‟sum di

Den Haag, Negeri Belanda. Pak Roem mengatakan bahwa Buya

Hamka pernah ditanya oleh Dr. Syauqi Futaki (Ketua Japan Islamic

Congress), “Apa penyebab orang Indonesia khususnya orang Jawa

begitu mudah masuk Islam dengan serentak dalam jumlah yang

banyak tanpa ada konflik sedikit pun?” Menurut Pak Roem, Buya

Hamka saat itu menjawab, “Itulah yang sedang saya pelajari.”162

Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan pidatonya H.

Muhammad Roem dalam pertemuan PPME. Inti dari tulisan ini berada

dalam:

“Para ahli berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke

Indonesia, khususnya di Tanah Jawa. Sebagian berpendapat bahwa

Islam sudah masuk di Kepulauan Indonesia pada abad pertama

Hijriyah (sekitar abad ke-7 atau 8 Masehi). Sebagian berpendapat

Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14 Masehi. Kendati begitu,

para ahli sependapat bahwa Islam masuk ke Indonesia tidak melalui

cara-cara kekerasan dan lain sebagainya, melainkan dengan cara yang

sangat damai.”163

Tulisan ini ditutup dengan ungkapan kekecewaan beliau

terhadap sikap dai zaman sekarang yang cenderung tidak

memerhatikan kearifan lokal dan cenderung memaksakan budaya

Arab kepada masyarakat. Kesimpulan dari tulisan ini adalah

menjelaskan alasan mayoritas masyarakat Indonesia dapat menerima

Islam karena dahulu para dai dari Arab menyampaikan dakwahnya

berdasarkan pendekatan kultural.

Story tulisan ini ingin memberikan pelajaran kepada para dai di

Indonesia bahwa dakwah seharusnya dilakukan dengan pendekatan

kultural atau budaya sesuai dengan kearifan lokal dari suatu objek

162

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 163

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110.

Page 91: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

dakwah. Bukan dengan pemaksaan suatu budaya lain kepada

masyarakat Indonesia apalagi sampai melarang budaya asli mereka

dengan kekerasan. Dengan demikian, masyarakat Indonesia pun akan

mudah menerima ajaran Islam dengan lapang dada.

3) Struktur Mikro

a) Segi Semantik

Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar

tulisan ini berawal dari pidato H. Muhammad Roem dalam pertemuan

PPME tentang sejarah masuknya Islam ke Indonesia. Detail tulisan ini

sangat bagus, karena menjelaskan bagaimana masuknya Islam ke

Indonesia, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan

masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat

dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan

para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali

dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa. Kendati mereka

banyak berasal dari negeri Arab, namun mereka tidak serta merta

mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka

justru membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias

budaya Jawa. Arsitektur masjid-masjid yang mereka tinggalkan,

semisal Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya, Mesjid Agung Demak,

Mesjid Menara Kudus, dan lain-lain menunjukkan bahwa para dai itu

sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga mereka tidak

menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut

sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para

dai dalam berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih

kental dengan budaya Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga

kental dengan arsitektur Hindu.”164

164

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111.

Page 92: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan alasan para dai

menggunakan pendekatan kultural untuk menyebarkan Islam di

Indonesia. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Bagi para dai, bangunan adalah bukan akidah dan bukan

ibadah, melainkan bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak

bertentangan dengan syariat Islam, budaya-budauya tersebut tetap

mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak merasa kaget untuk

memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat mereka

sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan

budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka

juga melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan-

pesan keislaman kepada masyakat Jawa.”165

Praanggapan dalam tulisan ini ialah memberitahu bahwa dai

Indonesia sekarang ini, kurang memerhatikan kearifan lokal rakyat

Indonesia. Bahkan ia cenderung memaksakan corak Arab kepada

objek dakwahnya. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan

kearifan lokal seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya,

tampak ada sebuah pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus

dengan jubah dan ubel-ubel surban yang membungkus kepala.

Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah, kendati sebenarnya

kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium.”166

b) Sintaksis

Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif

dengan awalan me-, dan imbuhan me- -kan, dapat dilihat dalam

kutipan berikut:

165

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 166

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112.

Page 93: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Maka dalam rangka dakwah, para dai melakukan pendekatan

sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi.”167

“Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan

kearifan lokal seperti tersebut di atas.”168

Tulisan ini juga menggunakan kalimat pasif dengan imbuhan di-

-kan, seperti berikut:

“Pendekatan dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang

dari Jazirah Arab khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan

kultural.”169

Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung

„sehingga‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat

dalam kutipan berikut:

“Para ahli juga tampaknya sependapat bahwa pendekatan

dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab

khususnya dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural. Sehingga

masyarakat khususnya di tanah Jawa tidak merasa terusik sedikitpun

dalam masalah sosial budaya, sementara mereka sudah menjadi orang

Islam.”170

Kata „sehingga‟ dalam paragraf ini digunakan untuk

menjelaskan hubungan sebab akibat, yaitu menjelaskan alasan

masyarakat mudah menerima ajaran Islam yang diajarkan oleh para

dai kepada mereka.

Kata ganti dalam tulisan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan

masyarakat Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat

dibenarkan. Peninggalan-peninggalan Islam yang merupakan warisan

para dai yang sering disebut dengan para wali sangat kental sekali

dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa.”171

167

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 168

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112. 169

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 170

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 110. 171

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111.

Page 94: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Penggunaan kata „kita‟ dalam kalimat ini menggambarkan tidak

adanya batas antara penulis dan pembaca. Kesan ini berfungsi untuk

menciptakan perasaan yang sama antara penulis dan pembaca. Dengan

demikian pembaca dapat menerima dengan mudah penjelasan beliau.

c) Segi Stilistik

Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:

“Kami mengatakan sekiranya masjid di Bali memasukkan

ornamen-ornamen Bali, dan masjid di Kalimantan Utara

memasukkan ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang

Dayak akan mudah dan tidak merasa terkejut saat memasuki masjid

karena mereka merasa memasuki rumah adat mereka sendiri.”172

“Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu

kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan

hidup manusia.”173

Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata ornamen

untuk menjelaskan arsitektur bangunan. Kemudian menggunakan kata

tembang untuk menjelaskan syair atau lagu.

d) Segi Retoris

Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora ungkapan

sehari-hari, terdapat dalam kutipan di bawah ini:

“Arsitek masjid-masjid tersebut sampai sekarang menjadi saksi

sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam berdakwah sehingga

bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya Jawa.

Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur

Hindu.”174

Dan juga menggunakan grafis pada nama-nama tembang karya

Sunan Kalijaga, terdapat dalam kutipan di bawah ini:

172

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 112-113. 173

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111. 174

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111.

Page 95: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Dr. Purwadi M. Hum, Rektor Institut Kesenian Jawa di

Jogjakarta, dalam bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, menyebutkan

bahwa para wali khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga dalam

mentransformasikan ajaran-ajaran Islam, beliau menciptakan

tembang-tembang (lagu-lagu) seperti tembang Dhandang Gulo dan

lain sebagainya. Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat

yaitu kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat

perjalanan hidup manusia. Tembang-tembang itu antara lain adalah

Mijil, yang mengisahkan tentang kelahiran seorang manusia ke dunia,

kemudian Sinom yang menceritakan tentang manusia yang muda,

kemudian Asmoro Dono yang menceritakan tentang manusia yang

sudah menginjak remaja yang sudah mencintai lawan jenisnya,

Megatruh (putus nyawa) yang menceritakan tentang kematian

manusia, Pucung alias menjadi pocong yang dibungkus kain kafan

dan masuk liang lahat, dan lain-lain.”175

7. Judul: Keteladanan Buya Hamka

a. Level Teks

1) Struktur Makro

a) Segi Tematik

Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya

adalah menjelaskan kiprah keislaman Buya Hamka yang sampai akhir

hayatnya masih tetap memegang ajaran Rasulullah saw. tanpa

memikirkan kepentingan duniawi.176

2) Superstruktur

a) Segi Skematik

Tulisan ini berjudul “Keteladanan Buya Hamka.” Pendahuluan

tulisan ini diawali dengan kalimat berikut:

“Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana

Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan

175

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 111-112. 176

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 18 Mei 2015.

Page 96: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik

pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan

disampaikan dalam pertemuan berkala institut Wasatiyyah Malaysia

(IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang.”177

Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan latar belakang

untuk menceritakan tentang permintaan Perdana Menteri Malaysia

kepada beliau. Inti dari tulisan ini berada dalam kutipan berikut:

“Sekurang-kurangnya, ada dua sikap Buya Hamka yang patut

diteladani. Pertama, pada tahun 1982, ketika Buya Hamka masih

menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI)

pusat. Waktu itu MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Indonesia

tidak boleh menghadiri perayaan Natal bersama. Fatwa ini

menimbulkan polemik antara pro dan kontra. Konon, Buya Hamka

didesak untuk mencabut fatwa itu atau mengundurkan diri. Buya

Hamka akhirnya memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya

sebagai Ketua Umum MUI Pusat. Beliau lebih berprinsip pada

penegakkkan yang hak sesuai tuntutan Al-Qur‟an dan Hadis.”178

“Kedua, pada akhir tahun 1970-an, Buya Hamka juga

melakukan kejutan besar yang dinilai bersebrangan dengan

kelompoknya. Selama itu, dalam menetakan awal bulan Ramadan dan

awal bulan Syawal, ada kelompok yang bersikukuh menggunakan

metode hisab. Pada waktu itu, tampaknya Buya Hamka juga

mengikuti metode kelompok tersebut. Namun, setelah mengetahui

petunjuk Nabi saw. bahwa dalam menetapkan awal bulan Ramadan

dan awal bulan Syawal haruslah menggunakan rukyat (melihat bulan),

Buya Hamka kemudian mengeluarkan pernyataan yang sangat

mengejutkan, di mana beliau berkata “Saya kembali ke rukyat.”

Pernyataan Buya Hamka ini, juga menimbulkan kegoncangan di

kalangan umat Islam Indonesia. Tidak sedikit orang yang

mencemoohkan, melecehkan dan mengolok-olokkan Buya Hamka

karena sikap dan perilakunya itu. Namun Buya Hamka tetap memgang

prinsip rukyat itu sampai beliau wafat pada tahun 1984.”179

Tulisan ini ditutup dengan doa beliau terhadap almarhum

Hamka dan harapan beliau kepada muslim Indonesia agar bisa

177

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 178

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 179

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115.

Page 97: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka. Kesimpulan dari tulisan

ini adalah menjelaskan bahwa Buya Hamka tidak merasa gengsinya

akan jatuh dengan sikapnya yang moderat, justru dengan sikap itulah

Buya Hamka merasa yakin atas kebenaran yang dipegangnya.

Strory tulisan ini ingin memberikan kisah keteladanan Buya

Hamka dalam melaksanakan dakwah Islam dengan ikhlas dan benar

sesuai sumber yang terpercaya yaitu berasal dari ajaran Rasulullah

saw. dan tidak mendahulukan kepentingan pribadi apalagi

kepentingan duniawi sampai akhir hayatnya.

3) Struktur Mikro

a) Segi Semantik

Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar

tulisan ini berawal dari permintaan staf kantor perdana menteri

Malaysia yang meminta kepada beliau untuk mencarikan salah satu

murid Buya Humka untuk menyapaikan pemikiran moderat Buya

Hamka. Detail tulisan ini sangat bagus, karena menampilkan latar

belakang penulisan dengan jelas, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana

Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan

murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik

pemikiran moderat almarhum Buya Hamka. Ceramah itu akan

disampaikan dalam pertemuan berkala Institut Wasatiyyah Malaysia

(IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang. Dan

melalui bantuan seorang kawan, akhirnya kami mendapatkan murid

Buya Hamka yang dimaksud. Kami kemudian ternostalgia dengan

kiprah keislaman Buya Hamka yang patut diteladani oleh tokoh dan

umat Islam Indonesia.”180

180

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114.

Page 98: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan prinsip Buya

Hamka dalam berdakwah. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Buya Hamka bukanlah tipologi seorang yang disebut ulama

“ulama” alias “usia lanjut makin ambisi”, namun beliau lebih

berprinsip pada penegakan yang hak sesuai tuntutan al-Qur‟an dan

Hadis. Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan

berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.”181

Praanggapan dalam tulisan ini terlihat dalam kutipan berikut:

“Sikap dan perilaku Buya Hamka ini barangkali sulit ditemukan

di negeri kita ini. Umumnya, orang justru mempertahankan jabatannya

mati-matian. Seandainya ada tokoh yang mundur dari jabatannya, itu

pun karena dia berambisi untuk mendapatkan jabatan lain yang lebih

tinggi tingkatannya.”182

“Bandingkan dengan ustaz-ustaz bawahan yang apabila

memiliki pendapat, mereka pertahankan mati-matian pendapat itu

kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw.”183

b) Sintaksis

Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat aktif

dengan awalan me-, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Buya Hamka juga melakukan sebuah kejutan besar.”184

“Semoga Allah swt. menerima amal ibadah Buya Hamka.”185

Juga menggunakan awalan ber-, dan imbuhan me- -kan, dalam

kalimat berikut:

“Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan

berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.”186

181

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 182

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 183

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 184

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 185

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 116. 186

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115.

Page 99: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung

„ketika‟ yang memiliki makna hubungan waktu, yang dapat dilihat

dalam kutipan berikut:

“Kami sungguh merasa terharu, ketika Buya Hamka telah

meninggalkan kita 30 tahun yang lalu, negeri Jiran Malaysia mencari

murid Buya Hamka dalam Islam. Kami teringat dengan sebuah

pepatah yang menyatakan, “Seorang Nabi tidak dihormati di

negerinya sendiri.” Betapapun, tokoh dan umat Islam Indonesia lebih

berhak untuk meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka, kendati

kita tidak dapat melarang tokoh dan umat Islam di Malaysia dan di

Negara lain juga akan meneladani sikap dan perilkau Buya

Hamka.”187

Kata „ketika‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan

hubungan waktu di dalamnya, yaitu menjelaskan kiprah Buya Hamka

dalam berdakwah yang tetap menjadi panutan bagi dunia, setelah 30

tahun sepeninggalannya.

Kata ganti dalam tulisan ini adalah:

“Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan

berpegang kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.”188

Kata „beliau‟ dalam kalimat ini ditujukan kepada Buya Hamka

dan berfungsi sebagai bentuk penghormatan beliau (pengarang)

kepada Buya Hamka.

c) Segi Stilistik

Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:

“Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana

Menteri Malaysia menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan

187

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115-116. 188

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114.

Page 100: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

murid Buya Hamka yang dapat menceramahkan secara akademik

pemikiran moderat almarhum Buya Hamka.”189

“Bandingkan dengan ustaz-ustaz bawahan yang apabila

memiliki pendapat, mereka pertahankan mati-matian pendapat itu

kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw.”190

Buya Hamka tidak merasa bahwa dengan sikapnya untuk

kembali ke rukyat itu gengsinya akan jatuh.”191

Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata moderat

untuk menjelaskan orang yang selalu berada di tengah-tengah, dan

orang yang berada dalam jalan yang benar. Kemudian menggunakan

kata ustaz bawahan untuk menjelaskan dai yang tidak sesuai dengan

kode etik dakwah, dan dai yang tidak memiliki pengetahuan yang

tinggi. Juga menggunakan kata gengsi untuk menjelaskan harga diri.

d) Segi Retoris

Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora dalam bentuk

pepatah disampaikan kalimat di bawah ini dengan tulisan miring:

“Kami teringat dengan sebuah pepatah yang menyatakan,

“Seorang Nabi tidak dihormati di negerinya sendiri.” Betapapun,

tokoh dan umat Islam Indonesia lebih berhak untuk meneladani sikap

dan perilkau Buya Hamka, kendati kita tidak dapat melarang tokoh

dan umat Islam di Malaysia dan di Negara lain juga akan meneladani

sikap dan perilkau Buya Hamka.”192

8. Judul: Memberdayakan Imam Masjid

a. Level Teks

1) Struktur Makro

a) Segi Tematik

189

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 114. 190

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 191

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115. 192

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 115.

Page 101: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Topik dalam tulisan ini adalah muamalah. Gagasan intinya

adalah menjelaskan keharusan meningkatkan peran dan jaminan

kehidupan kepada Imam Masjid sebagai upaya meminimalisir dai

bertarif di Indonesia.193

2) Superstruktur

a) Segi Skematik

Tulisan ini berjudul “Memberdayakan Imam Masjid.”

Pendahuluan tulisan ini diawali dengan kalimat berikut:

“Sekurang-kurangnya, ada dua perhelatan yang berkaitan

dengan imam masjid yang diselenggarakan pada tahun 2013. Pertama,

silaturahmi dan konferensi imam masjid se-Indonesia yang

diselenggarakan pada 27-29 Juni 2013 di Batam, Kepulauan Riau.

Acara yang disponsori oleh Gubernur Kepulauan Riau dan dibuka

oleh Menteri Agama Republik Indonesia ini, melahirkan sebuah

organisasi nasional imam masjid yang bernama IPIM (Ikatan

Persaudaraan Imam Masjid). Acara ini dihadiri oleh kurang lebih 250

orang mewakili imam-imam masjid seluruh Indonesia. Perhelatan

imam masjid yang kedua adalah konferensi imam masjid se-Dunia

yang diselenggarakan pada 2-6 Desember 2013 di Pekanbaru, Riau,

yang disponsori oleh Gubernur Provinsi Riau dan dibuka oleh Menteri

Agama Republik Indonesia.”194

Pendahuluan dalam tulisan ini menceritakan latar belakang

untuk menceritakan tentang dua perhelatan yang diselenggarakan

berkaitan dengan peran Imam Masjid. Inti dari tulisan ini berada

dalam kutipan berikut:

“Ada kesepakatan dari para peserta maupun para narasumber,

baik dalam konferensi IPIM maupun konferensi ICIM, semuanya

bersepakat bahwa imam masjid memiliki peran dan fungsi yang

sangat strategis karena ia selalu berhadapan langsung dengan para

193

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 18 Mei 2015. 194

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117.

Page 102: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

jamaah minimal lima kali dalam satu sehari. Peran dan fungsi ini

dapat dimanfaatkan untuk mentrasformasi ajaran Islam yang

merupakan rahmat bagi semua penghuni alam kepada para jamaah

masjid.”195

Tulisan ini ditutup dengan harapan beliau kepada para imam

masjid agar memiliki pengetahuan ilmiah yang tinggi untuk

mencerahkan umat dari paham-paham yang sesat. Kesimpulan dari

tulisan ini adalah menjelaskan bahwa imam masjid tidak hanya

seorang yang hafal Al-Qur‟an, tetapi juga harus memiliki kapasitas

keilmuan untuk menjawab persoalan-persoalan umat.”196

Story tulisan ini ingin menjelaskan tentang peran penting

seorang Imam Masjid di setiap tempat, bahkan setiap Negara. Di mana

peran ini sangat strategis untuk mentransformasikan ajaran Islam

kepada masyarakat, karena ia sering berinteraksi dengan masyarakat

setiap harinya. Sehingga IPIM memiliki semangat untuk

memberdayakan atau meningkatkan peran Imam Masjid ini.

3) Struktur Mikro

a) Segi Semantik

Elemennya adalah latar, detail, maksud, dan praanggapan. Latar

tulisan ini berawal dari Konferensi Imam Masjid se-Indonesia yang

diselenggarakan tanggal 27-29 Juni 2013 di Batam dan Konferensi

Imam Masjid se-Dunia yang diselenggarakan tanggal 2-6 Desember

2013 di Pekanbaru. Detail tulisan ini sangat bagus, karena

195

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 196

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.

Page 103: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

menampilkan siapa saja yang termasuk dalam Konferensi itu dengan

jelas, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian

melahirkan organisasi imam masjid internasional yang disebut al-

Majlis al-„Alami li „Aimmat al-Masajid atau ICIM (International

Council of Imam Masjid). Apabila IPIM berkantor pusat di Jakarta,

maka ICIM berkantor pusat di Pekanbaru, Provinsi Riau. Deklarasi

pembentukan ICIM yang tertuang dalam Piagam Pekanbaru

ditandantangani oleh wakil-wakil dari 12 negara peserta, yaitu

Malaysia, Kuwait, Palestina, Perancis, Irak, Sinegal, Singapura,

Afrika Selatan, Tunisia, Brunei Darussalam, Pakistan, dan Indonesia.

Sebagai ketua ICIM terpilih wakil dari Kuwait, sementara Indonesia

diamanati menjadi Sekretaris Jenderal. Beberapa negara yang siap

hadir namun berhalangan adalah Mesir, Rusia, Jepang, dan

Australia.”197

Maksud dalam tulisan ini ialah memaparkan peran Imam Masjid

dalam berdakwah. Terlihat dalam kutipan berikut:

“Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan

karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah tetapi juga menjadi

khatib, baik untuk Shalat Jumat, Hari Raya, dan lain-lain. Dari sinilah

kemudian, konferensi, baik IPIM maupun ICIM, menyepakati untuk

meningkatkan kualitas sumber daya imam masjid sehingga imam

masjid tidak menjadi sebatas seorang tukang yang menjalankan tugas

menjadi imam, tetapi juga menjadi pembina umat sesuai dengan

tuntunan ajaran Islam. Maka imam masjid haruslah seorang yang

memiliki kreatifitas dan inovatif dalam membina umat. Imam masjid

juga bukan sebatas memimpin shalat berjamaah, tetapi juga

memimpin masyarakat.”198

Praanggapan dalam tulisan ini terlihat dalam kutipan berikut:

“Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu

tidak dapat terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga

sibuk memikirkan asap dapur.”199

197

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117. 198

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 199

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.

Page 104: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

b) Sintaksis

Bentuk kalimat dalam tulisan ini menggunakan kalimat pasif

dengan awalan di-, dapat dilihat dalam kutipan berikut:

“Karenanya, dalam konferensi pertama IPIM kemarin, muncul

wacana bahwa seyogianya imam masjid diangkat oleh pejabat tinggi

negara. Untuk mesjid negara, imam masjid diangkat oleh Presiden;

untuk masjid raya (tingkat provinsi), imam masjid diangkat oleh

Gubernur; untuk masjid agung (tingkat kabupaten/kota), imam masjid

diangkat oleh Bupati/Walikota; untuk masjid jami‟ (tingkat

kecamatan), imam masjid diangkat oleh Camat; dan untuk masjid

(tingkat desa), imam masjid diangkat oleh Kepala Desa.”200

Juga menggunakan imbuhan meng- -i, dalam kalimat berikut:

“Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan

karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah.”201

Koherensi dalam tulisan ini ditandai dengan kata hubung

„karena‟ yang bermakna kausal atau sebab akibat, yang dapat dilihat

dalam kutipan berikut:

“Di banyak negara, peran imam masjid juga lebih dominan

karena ia tidak hanya mengimami shalat berjamah tetapi juga

menjadi khatib, baik untuk Shalat Jumat, Hari Raya, dan lain-lain.”202

Kata „karena‟ dalam paragraf ini digunakan untuk menjelaskan

hubungan kausal di dalamnya, yaitu menjelaskan bahwa imam masjid

memiliki peran yang dominan dalam berdakwah karena ia tidak hanya

mengimami salat berjamaah tetapi juga sering berinteraksi dengan

masyarakat.

Kata ganti dalam tulisan ini adalah:

200

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118-119. 201

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 202

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.

Page 105: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Apabila imam memiliki kapasitas ilmiah yang memadai, maka

diharapkan ia dapat mencerahkan umat.”203

Kata „ia‟ dalam kalimat ini digunakan untuk menjelaskan imam

yang memiliki kapasitas ilmiah yang memadai.

c) Segi Stilistik

Stilistik terdapat dalam kutipan berikut:

“Dalam konteks inilah beberapa negara, seperti Saudi Arabia

misalnya, imam masjid menjadi sebuah icon pemimpin umat, sebut

saja misalnya imam-imam Masjid al-Haram di Makkah dan imam

Masjid Nabawi di Madinah.”204

“sehingga dengan demikian imam memiliki peran yang sangat

penting dalam mencegah munculnya faham-faham radikalisme,

apatisme, liberalisme, dan faham-faham sesat lainnya.”205

Dari kutipan kalimat di atas, beliau menggunakan kata icon

untuk menjelaskan seorang figure dan tokoh. Kemudian menggunakan

kata radikalisme untuk menjelaskan sebuah paham ekstrem atau keras.

Juga menggunakan kata apatisme untuk menjelaskan paham yang

acuh tak peduli terhadap sesuatu. Lalu menggunakan kata liberalisme

untuk menjelaskan paham yang selalu ingin bebas dan mendambakan

kebebasan mutlak.

d) Segi Retoris

Retoris dalam tulisan ini menggunakan metafora berupa idiom

disampaikan seperti kalimat di bawah ini:

“Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu

tidak dapat terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga

sibuk memikirkan asap dapur.”206

203

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 119. 204

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118. 205

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 119. 206

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 118.

Page 106: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Juga menggunakan bentuk grafis dalam kalimat berikut:

“Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian

melahirkan organisasi imam masjid internasional yang disebut al-

Majlis al-„Alami li „Aimmat al-Masajid atau ICIM (International

Council of Imam Masjid).”207

B. Analisis Wacana Berdasarkan Kognisi Sosial

Penelitian mengenai kognisi sosial ini menyangkut kesadaran mental

penulis dalam membentuk teks tersebut. Pendekatan ini berdasarkan pada

asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh si

pemakai bahasa, dengan kata lain, teks merupakan representasi dari si

penulis.208

Oleh karena itu dibutuhkan penelitian terhadap representasi kognisi

dan strategi beliau dalam memproduksi teksnya.

Buku Setan Berkalung Surban ini, merupakan salah satu karya yang

mencerminkan kepribadian beliau sebagai Ulama yang kritis dalam

menegakkan kebenaran sesuai ajaran agama Islam yang diperintahkan oleh

Allah swt. dan Rasul-Nya.209

Kehidupan beliau sebagai Ulama Besar di dunia,

membuat beliau memiliki hubungan yang sangat erat dengan masalah sosial

umat Islam se-Dunia, terkhusus di Indonesia sebagai tanah kelahiran beliau.

Tugas mulianya ini pun, membuat beliau sangat produktif dalam membuat

karya-karya bertema Islam, yang isinya kebanyakan membahas tentang

fenomena sosial yang muncul di Indonesia.

Setiap Tulisan beliau dalam buku ini, didasarkan pada analisis yang

mendalam tentang pengetahuan agama Islam yang murni sesuai dengan Al-

207

Ali Mustafa Yaqub, Setan Berkalung Surban, h. 117. 208

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 74. 209

Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh

Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015.

Page 107: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Qur‟an dan Hadis, yang juga tetap menggunakan pendekatan disiplin ilmu

pengetahuan lainnya.210

Tulisan dalam buku ini seolah wujud dari adonan

pengetahuan yang beliau racik, yang terdiri dari bahan ilmu pengetahuan

agama Islam, ilmu pengetahuan umum, dan fenomena sosial. Sehingga

memberi kesan bahwa beliau mampu merangkum berbagai disiplin ilmu dan

berbagai fenomana lintas sektor kehidupan.

Adapun representasi kognisi dari setiap tulisan ialah sebagai berikut,

judul pertama “Setan Berkalung Surban” memuat banyak sekali nilai-nilai

Islam di dalamnya yang beliau hubungkan dengan fenomena sosial yang ada.

Kunci dari tulisan ini adalah sebuah kisah dari sebuah hadis Rasulullah saw.

yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang menceritakan tentang kisah Abu

Hurairah dengan Rasulullah saw. yang kemudian dihubungkan dengan

fenomena yang ada di muslim Indonesia tentang para dai yang hanya bermodal

surban untuk berdakwah yang mengedepankan hawa nafsu dan rayuan setan

belaka. Dengan demikian, terlihatlah keabsahan representasi kognisi beliau

dalam tulisan ini, karena dilandaskan dengan dalil yang kuat.

Judul kedua “Surban dan Jubah Haram” memuat nilai-nilai Islam juga

memuat nilai-nilai sosial dan budaya di dalamnya yang beliau hubungkan

dengan fenomena sosial yang ada. Kunci dari tulisan ini adalah sebuah hadis

riwayat Imam Ibnu Majah yang menjelaskan keharaman memakai baju

syuhrah. Juga menjelaskan tentang bagaimana seharusnya seorang warga

sebuah Negara bersikap dan berpakaian sesuai dengan budaya masing-masing,

bukan justru membanggakan budaya lain apalagi sampai mengagungkan

210

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus-

Sunnah, Jakarta, 11 Mei 2015.

Page 108: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

budaya itu. Kemudian dihubungkan tentang fenomena warga dan dai di

Indonesia yang terkesan mengagungkan pakaian jubah dan menganggapnya

sebagai syariat Islam, yang padahal pakaian itu adalah budaya dari pakaian

Arab dan bukan merupakan syariat Islam. Dengan demikian terlihatlah

kekayaan representasi kognisi beliau dalam tulisan ini.

Judul ketiga “Dai Berbulu Musang” memuat banyak nilai Islam di

dalamnya yang membahas tentang hukum memasang tarif dalam berdakwah

menurut kajian fikih. Kunci dalam tulisan ini adalah ketiga kajian fikih tentang

hukum memasang tarif dalam dakwah. Penjelasan beliau tentang hukum

memasang tarif dalam tulisan ini sangat menggambarkan kekuatan representasi

kognisi beliau yang dalam akan kajian fikih yang berdasarkan pada Al-Quran

dan Hadis.

Judul keempat “Dai-dai Sesat” memuat banyak nilai Islam yang

membahas tentang hukum dai yang meminta tarif. Tulisan dalam judul ini

sangat menunjukkan representasi kognisi beliau yang Istiqamah dalam

menjelaskan hukum dai yang memasang tarif, dengan hukum haram. Kunci ini

adalah Qs. Yasin ayat 21. Secara implisit atau mafhum mukhalafah dari ayat ini

melarang umat Islam untuk mengikuti dai yang memasang tarif kalau tidak

disebut haram.

Judul kelima “Kode Etik Dakwah” memuat banyak nilai Islam di

dalamnya yang membahas tentang tujuh kode etik bagi seorang dai yang

disahkan oleh Musyawarah Nasional (Munas) Organisasi Ittihadul Muballighin

pada tahun 1996. Kunci dalam tulisan ini adalah ketujuh kode etik dakwah

tersebut, di mana semuanya berdasarkan pada Al-Qur‟an dan Hadis. Sehingga

Page 109: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

terlihatlah kredibilitas kognisi pemikiran beliau dalam menyampaikan tulisan

ini, karena makna teks dalam tulisan ini dibuat dari perkumpulan resmi para

dai se-Nasional yang berlandaskan pada Al-Qur‟an dan Hadis.

Judul keenam “Dakwah dan Kearifan Lokal” memuat banyak nilai Islam

dan nilai budaya di dalamnya. Kunci tulisan ini adalah kata „budaya‟ yang

beliau kaitkan dengan fenomena yang ada di masyarakat juga sesuai dengan

ajaran Islam. Di mana beliau menjelaskan dalam tulisan ini, bahwa kiat sukses

dalam berdakwah itu harus menggunakan pendekatan budaya yang dimiliki

masyarakat sekitar di mana tempat para dai berdakwah. Baik dalam kampung

maupun dalam kota, baik kaya maupun miskin, dari Sabang sampai Merauke.

Para dai harus menghormati kearifan lokal masyarakat. Bukan

memaksakan budaya lain kepada mereka, bahkan sampai melarang budaya

mereka, tentu saja kata budaya ini harus digaris bawahi yaitu hanya budaya

yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam, seperti gaya berpakaian,

arsitektur bangunan, cara bersosialisasi, dan sebagainya yang masih bisa

diterima oleh ajaran Islam. Dengan demikian terlihatlah garis merah dari

representasi kognisi beliau dalam tulisan ini.

Judul ketujuh “Keteladanan Buya Hamka” memuat pemikiran dan

perasaan beliau tentang sosok Buya Hamka yang sangat beliau hormati.

Tulisan ini menceritakan kisah Buya Hamka yang memiliki pemikiran sangat

moderat dalam membela agama Allah swt. dalam dakwahnya dan tidak

mementingkan keindahan dunia dalam hidupnya. Jika dibaca, maka tulisan ini

akan menyentuh hati pembacanya karena memberikan nuansa yang

mengharukan dan memotivasi untuk melakukan dakwah seperti sosok Hamka.

Page 110: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Dari sini terlihat jelas representasi kognisi beliau berdasarkan pada pemikiran

dan perasaan beliau yang setuju dengan metode dakwah Hamka.

Judul kedelapan “Memberdayakan Imam Masjid” memuat nilai-nilai

Islam dan juga nilai ekonomi di dalamnya yang dihubungkan dengan fenomena

dai bertarif dan tentang peran penting imam masjid. Ide tulisan ini berasal dari

dua perhelatan besar yang berkaitan dengan imam masjid, pertama perhelatan

se-Indonesia yang diadakan 27-29 Juni 2003 di Batam Riau, kedua perhelatan

se-Dunia yang diadakan 2-6 Desember 2003 di Pekanbaru Riau. Tulisan ini

menjelaskan bahwa solusi berikutnya dalam meminimalisir dai bertarif adalah

dengan memberdayakan peran imam masjid. Dari tulisan ini terlihat bahwa

representasi kognisi beliau berdasarkan pada dua perhelatan yang besar tentang

imam masjid, sehingga dapat meyakinkan para pembacanya terhadap apa yang

beliau tuangkan dalam tulisan ini.

Kognisi pemikiran beliau dalam 8 tulisan ini ialah banyaknya ayat-ayat

Al-Qur‟an dan hadis-hadis Rasulullah saw. yang bernilai shahih dan dapat

dijadikan hujjah atau dalil, yang dijadikan sebagai landasan berpikir beliau

dalam berdakwah melalui buku ini. Dengan penonjolan berupa ayat Al-Qur‟an

dan hadis Rasul saw. dalam buku ini, dapat diketahui bahwa kritik beliau

sebagai Ulama di Indonesia adalah sebuah ilmu yang sangat bermanfaat bagi

umat Islam di Indonesia. Dari hal ini juga dapat diketahui bahwa beliau

memiliki kredibilitas yang tinggi sebagai komunikator yang menyampaikan

pesan dakwah kepada umat Islam di Indonesia melalui bukunya Setan

Berkalung Surban.

Page 111: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Di mana kredibilitas komunikator adalah sarat utama untuk mewujudkan

komunikasi yang efektif, karena komunikasi dikatakan berhasil jika gagasan

atau pemikiran komunikator berhasil tersampaikan kepada komunikannya, hal

ini didasarkan pada sebuah definisi komunikasi; “Komunikasi merupakan

pertukaran sebuah pemikiran atau gagasan.”211

Akan tetapi tidak hanya sampai di sini, beliau memiliki tujuan agar umat

Islam Indonesia merubah perilaku yang menyimpang itu menjadi perilaku yang

sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal tersebut didasarkan pada sebuah

definisi komunikasi yang menjelaskan bahwa pengiriman dan penerimaan

pesan dilakukan dengan maksud tertentu; “Situasi-situasi tersebut merupakan

sebuah sumber yang mengirimkan sebuah pesan kepada penerima dengan

tujuan tertentu untuk memengaruhi perilaku manusia.”212

Hal ini diperkuat oleh keterangan beliau bahwa sosok yang mengisnpirasi

beliau dalam menulis kritikan ini adalah Rasulullah saw. dan alhmarhum Ayah

beliau. Rasulullah saw. bersabda:

خطعت فتيصا ت يصت ته بيده فإنت ل تهرا فيتيغيي ت تك ى ت رأ خطعت فتليتت ت يصت فإنت ل

ان )رواه مصي( ػف اإلي ضت وذلم أ

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang

menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari

yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”213

211

John B. Hoben, “English Communication at Colgate Re-examined,” Journal of

Communication 4, (1954): h. 77. 212

Gerald R. Miller, “On Defining Communication: Another Stab,” Journal of

Communication 16, (1966): h. 92. 213

Muslim, Shahih Muslim, (Mesir: Dar al-Hadis, 2010), juz 1, h. 50.

Page 112: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Menurut beliau, merubah kemungkaran dengan tangan tidak selalu

bermakna kekerasan apalagi peperangan. Pengertian kekerasan dan peperangan

hanya ada zaman Rasul saw., karena situasi zaman dahulu yang

memungkinkan untuk itu. Sedangkan zaman sekarang sudah berbeda dari

zaman dahulu. Agama Islam itu rahmatan lil‟aalamiin (rahmat bagi seluruh

alam). Meskipun zaman sudah berbeda, tapi hukum Islam akan selalu bisa

ditegakkan dan dijalankan. Salah satunya tentang menghilangkan

kemungkaran, maka pada zaman sekarang pilihan terbaik dengan

menggunakan tangan adalah dengan cara menulis, bukan kekerasan.214

Begitulah representasi kognisi beliau dalam menyusun buku ini.

Selanjutnya beliau selalu memberikan pengantar berupa cerita ataupun

kisah nyata yang mayoritas berasal dari pertemuan-pertemuan yang beliau ikuti

bersama tokoh-tokoh dunia. Dengan memberikan ilustrasi dan pengantar

seperti ini, para pembaca pun akan mudah memahami apa yang hendak beliau

sampaikan, dan para pembaca akan mudah menerima segala pesan beliau

karena memiliki sumber yang dapat dipercaya. Terlebih pada bagian akhir dari

setiap judul beliau memberikan ajakan dan menyampaikan doa dan harapan,

dengan bahasa yang santun, agar dapat kembali pada ajaran Islam yang murni

yang diridhai oleh Allah swt. agar selamat dunia dan akhirat. Begitulah strategi

penyampaian pesan dakwah beliau dalam buku ini.

C. Analisis Wacana Berdasarkan Konteks Sosial

Titik perhatian dari konteks sosial adalah mengubungkan teks lebih jauh

dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang di masyarakat atas

214

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 19 Mei 2015.

Page 113: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

suatu wacana.215

Bagian ini adalah langkah terakhir yang terdapat dalam

metode analisis wacana Van Dijk. Buku ini berisi kritikan beliau terhadap

fenomena sosial yang ada di tengah masyarakat. Salah satu pembahasan

terbesarnya adalah tentang dai komersial.216

Dai sekarang ini hanya mengejar

harta dalam dakwahnya. Bahkan dalam isinya, sangat sedikit sekali

mengandung pesan dakwah di dalamnya.217

Adapun konteks sosial dari setiap bab ialah sebagai berikut, judul

pertama “Setan Berkalung Surban” yang menjadi kata kunci adalah „surban‟

dan „setan‟, yang digunakan secara eksplisit untuk mengkritik para dai yang

hanya bermodal surban untuk menyampaikan dakwahnya tetapi tidak

berlandaskan dengan niat karena Allah swt. malah mengikuti hawa nafsu dan

kehendak setan dalam melaksanakan dakwahnya itu.

Judul kedua “Surban dan Jubah Haram,” yang menjadi kata kuncinya

adalah „syuhrah‟, „surban‟, „jubah‟ dan „haram‟, yang digunakan untuk

menjelaskan fenomena yang semakin marak tentang penampilan dai yang

berlebih-lebihan, yang bertujuan untuk dikenal masyarakat sebagai dai atau

kiai. Seolah-olah mereka ingin menyatakan pakaian itu menjadi ciri khas bagi

para dai dan bahkan menjadi syariat. Dari judul ketiga “Dai Berbulu Musang”

yang menjadi kata kunci adalah „walakedu‟, yang digunakan untuk

menjelaskan tentang semakin maraknya fenomena dai bertarif di masyarakat.

Bahkan semakin hari fenomena dai bertarif semakin menjadi karena dilihat

dengan tarifnya yang kian menjulang ke langit dan membuat masyarakat panik.

215

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h. 260-270. 216

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah Darus-

Sunnah, Jakarta, 11 Mei 2015. 217

Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh

Salamah, Jakarta, 04 Mei 2015.

Page 114: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Judul keempat “Dai-dai Sesat,” yang menjadi kata kuncinya adalah „dai‟

dan „sesat‟, yang digunakan untuk menjelaskan bahwa hukum dai bertarif

adalah haram dan begitu pula hukum mengikuti dai bertarif. Tulisan ini sebagai

pembuktian keistiqamahan beliau dalam menghukumi dai bertarif secara tegas.

Kemudian tidak hanya kepada dainya saja, akan tetapi juga kepada masyarakat

yang mengikuti dai tersebut.

Judul kelima “Kode Etik Dakwah,” yang menjadi kata kuncinya adalah

„kode etik dakwah‟ sendiri, yang digunakan untuk menjelaskan tujuh kode etik

dakwah bagi para dai sedunia, sebagai salah satu solusi untuk mengurangi

fenomena dai bertarif. Dengan demikian mereka para dai yang biasa memasang

tarif, diharapkan akan sadar dan merubah niat dakwahnya ikhlas karena Allah

swt., bukan karena mencari harta, apalagi sampai menyusahkan warga.

Judul keenam “Dakwah dan Kearifan Lokal,” yang menjadi kata

kuncinya adalah „dakwah‟ dan „budaya‟, yang digunakan untuk menjelaskan

keadaan para dai sekarang yang cenderung memaksakan budaya Arab kepada

masyarakat. Juga menjelaskan keharusan berdakwah bagi para dai untuk

menggunakan pendekatan budaya yang ada di masyarakat. Bukan malah

memaksakan budaya lain kepada mereka, apalagi sampai melarang dan

mengharamkan budaya mereka, karena dengan demikian masyarakat akan

mudah untuk menerima ajaran Islam. Begitulah yang dicontohkan oleh Ulama

terdahulu dalam misinya menyebarkan Islam di Indonesia, mereka

menggunakan pendekatan budaya kepada penduduk Indonesia dan tidak

memaksakan budaya Arab atau Timur Tengah.

Page 115: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Judul ketujuh “Keteladanan Buya Hamka,” yang menjadi kata kuncinya

adalah „keteladan Buya Hamka‟, „dakwah yang benar‟, yang digunakan untuk

menjelaskan bagaimana cara Buya Hamka berdakwah yang selalu membela

kebenaran yang sebenarnya dan tidak mementingkan kepentingan dunia dan

kepentingan pribadinya. Bahkan sampai setelah Buya Hamka meninggal dunia,

Negara Malaysia masih mencari murid Hamka untuk menjelaskan

pemikirannya yang moderat, hal ini menjadi penguat kiprah dakwah Hamka

yang sangat menakjubkan.

Judul kedelapan “Memberdayakan Imam Masjid,” yang menjadi kata

kuncinya adalah „pemberdayaan‟, dan „imam masjid‟, yang digunakan untuk

menjelaskan keharusan untuk memberdayakan peran imam masjid yang sangat

penting, karena situasi dan kondisinya yang sangat strategis untuk

menyebarkan pesan dakwah kepada masyarakat. Hal ini sekaligus menjadi opsi

kedua untuk meminimalisir dai bertarif, karena dengan kehadiran imam masjid,

masyarakat tidak perlu lagi mencari dai-dai lain yang bertarif mahal yang

menyusahkan mereka, juga karena imam masjid diberi jaminan kehidupan

yang layak oleh pemerintah. Dengan demikian, imam masjid akan merasa

cukup dengan kehidupannya tanpa harus memberi tarif lagi untuk berdakwah

kepada masyarakat karena untuk menutupi kehidupannya.218

Dalam delapan bab ini, beliau membahas tuntas tentang masalah

fenomena dai yang mulai memprihatinkan di Indonesia tercinta ini. Terlihatlah

tujuan beliau dalam menulis buku ini ialah untuk meluruskan fenomena dai

komersial itu, seperti jelas beliau dalam wawancara bersama penulis:

218

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 19 Mei 2015.

Page 116: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Salah satu bahasan dalam buku ini menjelaskan tentang fenomena dai

yang memasang tarif yang muncul di tengah umat Islam Indonesia. Di mana

mayoritas dai sekarang hanya mengejar materi dan popularitas dalam dakwah

mereka. Sehingga hal ini perlu saya luruskan melalui buku ini, sesuai dengan

ajaran Islam yang benar tentunya.”219

Solusi yang beliau sarankan dalam mengatasi dai bertarif atau dai

komersial adalah agar masyarakat Indonesia tidak lagi dan berhenti

mengundang para dai komersial itu. Dan agar pemerintah memberdayakan

peran imam masjid dan memerhatikan kehidupan imam masjid khususnya

dalam hal ekonomi, karena imam masjid memiliki posisi yang strategis sebagai

pencerah bagi umat Islam.220

Buku Setan Berkalung Surban ini adalah salah satu karya beliau yang

membahas tentang fenomena sosial yang sedang berkembang di masyarakat

Indonesia. Buku ini dapat dijadikan acuan bagi masyarakat untuk mengetahui

fenomena sosial yang sedang aktual muncul di masyarakat Indonesia dan juga

untuk menjalankan pesan dakwah yang ada dalam buku ini, tanpa harus

mengerahkan kemampuan berpikir yang mendalam, karena bahasa dalam buku

ini sangat simpel dan mudah dipahami oleh masyarakat awam.

219

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 19 Mei 2015. 220

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman beliau,

Jakarta, 19 Mei 2015.

Page 117: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis melakukan penelitian dan menganalisis bahasan-bahasan

yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis memiliki kesimpulan

sebagai berikut:

1. Struktur makro dalam tulisan ini menunjukan konsep dominan di dalamnya,

tema dari tulisan yang diteliti dalam buku ini adalah tentang muamalah

yaitu membahas dai komersial. di mana Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub,

MA., dalam 8 judul yang diteliti menjelaskan tiga pesan inti di dalamnya.

Pertama menjelaskan keharusan para dai dan para imam masjid untuk

menyesuaikan diri mereka antara ucapan dan perilaku mereka di depan dan

di belakang masyarakat. Kedua mengkritik dan memperingati mayoritas dai

sekarang ini yang berdakwah dan berpakaian hanya untuk mendapatkan

kepopuleran dalam hidupnya, sehingga dakwah yang mereka lakukan bukan

ikhlas karena Allah swt tetapi mengikuti kehendak setan. Ketiga yaitu

menjelaskan keharaman bagi para dai untuk memasang tarif pada setiap

aktivitas dakwahnya. Kemudian menjelaskan tentang himbauan kepada

pemerintah untuk memberikan perhatian khusus bagi para imam masjid

dalam hal ekonomi, agar mereka dapat menjalankan perannya sebagai imam

dan dai di masyarakat sekitar mereka, dengan tenang dan fokus tanpa harus

memikirkan asap dapur di rumahnya, juga demi meminimalisir fenomena

dai bertarif, karena imam masjid memiliki kedudukan strategis untuk

mentransformasikan ajaran islam kepada masyarakat.

Page 118: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

2. Secara superstruktur Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA mengarang

buku ini dengan alur yang sangat singkat dan padat untuk disampaikan,

dalam satu judul hanya terdiri dari 3-5 halaman saja, di mana sudah

mencakup pendahuluan, inti, penutup dan kesimpulan.

3. Secara struktur mikro Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA menggunakan

detail yang sangat baik dari masing-masing judul tersebut. Beliau juga

menyampaikan maksud dan praanggapannya dengan jelas dalam setiap

judul. Bahasa yang digunakan sederhana dan tidak terlalu berat, beliau tidak

banyak menampilkan ragam gaya bahasa yang sulit, dan terkesan akrab

dengan pembacanya. Bentuk kalimat yang digunakan merupakan bentuk

kalimat aktif dan pasif. Beliau lebih sering menggunakan kata ganti orang

ketiga, dan koherensi sebab akibat. Leksikal yang ditampilkan merupakan

ragam bentuk bahasa tulisan yang populer. Retoris yang digunakan dalam

buku ini berupa penggunaan grafis, metafora, dan ekspresi. Buku ini kaya

akan unsur retoris di dalamnya, inilah yang membuat buku ini terkesan

akrab dengan pembacanya.

4. Jika dilihat dari kognisi sosial dari 8 judul yang diteliti, Prof. Dr. KH. Ali

Mustafa Yaqub, MA membentuk makna setiap teks dalam tulisannya

berdasarkan penggabungan nilai-nilai Islam yang mendalam dan disiplin

ilmu lainnya terhadap fenomena dai komersial yang berkembang di tengah

masyarakat yang dituangkan dengan singkat dan padat. Sehingga cara beliau

mengisahkan dan menyelipkan pesan moral dan sosial dalam tulisannya

yang diperkuat dengan dalil-dalil dari ayat Al-Qur‟an dan Hadis, merupakan

representasi dari pemikirannya. Sedangkan pendahuluan berupa kisah nyata,

Page 119: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

juga gaya bahasa beliau yang mudah dipahami dan akrab dengan

pembacanya merupakan strategi beliau dalam menulis buku ini. Dalam

konteks sosial dapat diketahui bahwa alasan beliau dalam menulis buku ini

adalah untuk mengkritik perilaku dai komersial Indonesia yang sedang

aktual, juga memberi solusi dari perilaku dai komersial itu dengan cara

masyarakat agar tidak mengundang mereka lagi dan pemberdayaan peran

imam masjid di Indonesia oleh pemerintah terutama juga memberikan

bantuan ekonomi kepada imam masjid, karena mereka memiliki posisi yang

strategis sebagai dai dan pencerah bagi umat Islam Indonesia. Setiap pesan

dalam tulisan di buku ini disampaikan berlandaskan Al-Qur‟an dan Hadis,

sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan dalam buku ini merupakan

manifestasi dari pemikiran Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA.

B. Saran-saran

Mengingat bahwa tidak ada yang sempurna dari setiap karya manusia,

maka buku Setan Berkalung Surban ini pun tidak luput dari kekurangan dan

kekhilafan. Maka dalam bagian ini, penulis mencoba memberikan pandangan

mengenai beberapa hal berkenaan dengan saran untuk buku ini dan untuk pihak

lainnya. Saran-sarannya ialah sebagai berikut:

1. Kepada Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA terus semangat dalam

menyampaikan dakwah Islam di Indonesia dan di seluruh dunia. Jangan

pernah berhenti berdakwah. Tetap konsisten untuk selalu menuliskan buku

bertema Islam, karena buku memiliki ketahanan yang panjang untuk

menyimpan ajaran-ajaran Islam yang sesuai dengan kehendak Allah swt.

dan Rasul-Nya. Seyogianya tulisan dalam buku ini direvisi kembali, untuk

Page 120: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

memperbaiki beberapa kesalahan dalam hal pengetikan, adapun tentang isi

sudah sangat baik.

2. Kepada masyarkat secara umum, jangan menjauhi bacaan bertema Islam

dan lebih menyukai bacaan yang bersifat menghibur apalagi gosip, karena

kita tak selamanya hidup di dunia, dan kita sudah harus mempersiapkan

bekal untuk diri kita kelak di akhirat. Salah satu caranya adalah dengan kita

rajin membaca buku bertema Islam dan mengaplikasikannya dalam

kehidupan sehari-hari. Dan agar tidak mengundang para dai komersial lagi

untuk berdakwah, agar fenomena dai seperti itu berkurang jumlahnya, untuk

kemudian menghilang selamanya. Semoga tulisan dalam buku ini dapat

menjadi bahan pelajaran dan renungan untuk memperbaiki diri menuju

jalan yang dikehendaki Allah swt. dan Rasul-Nya, karena dengan dengan

begitu, kita akan selamat di dunia dan akhirat. Aamiin.

3. Kepada para dai di Indonesia, mengingat para dai memiliki peran dan tugas

yang sangat mulia bagi agama Islam, sudah selayaknya bagi para dai untuk

menyempurnakan dakwahnya dan sudah seharusnya para dai membuang

jauh-jauh budaya meminta imbalan pada masyarakat yang mengundang

untuk berdakwah, karena dakwah sendiri berarti menolong agama Allah,

dan barang siapa yang menolong agama Allah, maka Allah pun akan

menolongnya. Juga agar para dai di Indonesia dapat menyampaikan

dakwahnya lewat tulisan dengan kreatifitas yang tinggi, agar masyarakat

Indonesia mulai tertarik kembali untuk membaca buku-buku bertema Islam.

Semoga para dai di Indonesia semakin bersemangat dan semakin ikhlas

dalam menjalankan dakwahnya. Aamiin.

Page 121: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Samsul Munir. Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah, 2009.

Anshori, M. Isa. Mujahid Dakwah. Bandung: Diponegoro. Cet. Ke-4. 1991.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

PT. Rineka Cipta. Cet. Ke-5. 2002.

Asti, Badiatul Muchlisin. Berdakwah dengan Menulis Buku. Bandung: Media

Qalbu. Cet. Ke-1. 2004.

Aziz, Moh Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2009.

Bruinessen, Martin Van. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat. Bandung: Mizan,

1999.

Bukhari. Shahih al-Bukhari. Mesir: Dar al-Hadis. 2008.

Bungin, Burhan. Analisa Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2003.

_____________. Sosiologi Komunikasi: Teori Paradigma dan Diskursus Teori

Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Cet.

Ke-3. 2002.

__________. Kajian Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Cholidah, Ni‟ma Diana. Kontribusi Ali Mustafa Yaqub terhadap Perkembangan

Kajian Hadis Kontemporer di Indonesia. Jakarta: Skripsi S1 Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011.

Danim, Sudarwan. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia. Cet. Ke-

1. 2002.

Page 122: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Effendy, Onong Uchana. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja

Rosda Karya, 1994.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS

Cet. Ke-3. 2013.

Faris, Abu Al-Husain Ahmadi ibn. Mu‟jam Maqayis al-Lughah. Beirut: Dar al-

Fikr, 1979.

Ghalwusy, Ahmad. Al-Da‟wah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Kutub al-Mishr, 1987.

Ghazali, M. Bahri. Dakwah Komunikatif. Jakarta: CV. Pedoman, 1997.

Hamka. Pelajaran Agama Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1956.

Hartono. Perkembangan Pemikiran Hadis Kontemporer di Indonesia (Studi atas

Pemikiran Abdul Hakim Abdat dan Ali Mustafa Yaqub). Jakarta: Tesis S2

Konsentrasi Tafsir Hadis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta (SPs UIN Jakarta), 2009.

Hoben, John B. “English Communication at Colgate Re-examined.” Journal of

Communication 4, (1954): h. 77.

Khasanah, Siti Uswatun. Berdakwah dengan jalan debat antara muslim dan non

muslim. Purwokerto : STAIN Purwokerto Press, 2007.

Lubis, A. Hamid Hasan. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Cet.

Ke-1. 1993.

Mahfudz, Ali. Hidayah al-Mursyidin, Terjemahan Chodijah Nasution.

Yogyakarta: Tiga A, 1970.

Majah, Ibnu. Sunan Ibnu Majah. Mesir: Dar ibn Haytsam. 2005.

Miller, Gerald R. “On Defining Communication: Another Stab.” Journal of

Communication 16, (1966): h. 92.

Page 123: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Moleong, Lexy. J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya. 2007.

Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode dan Aplikasi, Prinsip-prinsip Analisis

Wacana. Yohyakarta: Tiara Wacana, 2005.

Muriah, Siti. Metodologi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka,

2000.

Muslim. Shahih Muslim. Mesir: Dar al-Hadis. 2010.

Nata, Abudin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008.

Saleh, E. Hasan. Studi Islam di Perguruan Tinggi Pembinaan IMTAQ dan

Pengembangan Wawasan. Jakarta: ISTN, 2000.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Soehartono, Irawan. Metode Penelitian Sosial Suatu Teknik Penelitian Bidang

Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya,

1995.

ST, Hamis. Kamus Bahasa Indonesia. Surabaya: Pustaka Dua. Cet. Ke-1. 2000.

Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian (Kuantitatif, Kualitatif, dan Tindakan.

Bandung: Refika Aditama, 2012.

Suhendi, Hendi. Fiqh Mu‟ammalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Suminto, H.A. Problematika Da‟wah. Jakarta : Tinta Mas. Cet. Ke-1. 1973.

Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung:

PT. Remaja Rosda Karya, 2001.Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah.

Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.

Tim Redaksi Majalah Nabawi. Kolom Artikel Utama. Jakarta: IMDAR. edisi 109.

1436 H./2015 M.

Page 124: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Verhaar, W. M. Asas-asas Linguistik Umum. Jogjakarta: Universitas Gajah Mada

Press. Cet. Ke-3, 2001.

Wawancara Pribadi dengan Denden Taupik Hidayat, S.S, Lc. di Masjid Muniroh

Salamah. Jakarta, 04 Mei 2015.

Wawancara Pribadi dengan Muhammad Ali Wafa, Lc., S.S.I di Kantor Madrasah

Darus-Sunnah. Jakarta, 11 Mei 2015.

Wawancara Pribadi dengan Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA di kediaman

beliau. Jakarta, 19 Mei 2015.

Yaqub, Ali Mustafa. Kerukunan Umat dalam Perspektif Al-Qur‟an dan Hadis.

Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.

_________________. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka

Firdaus. Cet. Ke-2. 2000.

_________________. Hadis-hadis Palsu Seputar Ramadhan. Jakarta: Pustaka

Firdaus, 2003.

_________________. Isbat Ramadan, Syawal, dan Zulhijah Menurut Al-Kitab

dan Sunnah. Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2013.

_________________. Setan Berkalung Surban. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014.

Yunus, Muhammad. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Mahmud Yunus

Wadzuryah. 1990.

Zaimar, Okke Kusuma Sumantri dan Ayu Basoeki Harahap. Telaah Wacana.

Jakarta: The Intercultural Intitute, 2009.

Zarkasyi, Amal Fathullah. Pondok Pesantren sebagai Lembaga Pendidikan dan

Dakwah. Jakarta: GIP, 1998.

Page 125: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

LAMPIRAN

DOKUMENTASI FOTO PENULIS BERSAMA

PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA

Page 126: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

DOKUMENTASI FOTO PENULIS BERSAMA EDITOR BUKU SETAN

BERKALUNG SURBAN,

DENDEN TAUPIK HIDAYAT, SS., Lc.

Page 127: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

DOKUMENTASI FOTO PENULIS BERSAMA

MUHAMMAD ALI WAFA, Lc., S.S.I.

ASISTEN PROF. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA

Page 128: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

DOKUMENTASI HASIL WAWANCARA BERSAMA

PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB

1. Mengapa anda menulis buku ini?

Jawaban: “Tulisan ini saya buat untuk mengkritik para dai yang bertarif dalam

dakwahnya yang sangat menyusahkan warga Indonesia sekarang ini.”

2. Siapa yang menginspirasi anda dalam menulis buku ini?

Jawaban: “Rasulullah saw. pertama dari hadis yang menceritakan tentang kisah

Abu Hurairah ra. Bersama Rasul saw. kedua dari hadis yang menjelaskan

keharusan menghilangkan kemungkaran dengan tangan, lisan, dan hati. Saya

mengambil pilihan pertama, yaitu dengan menggunakan tangan, tetapi tidak

dengan pedang melainkan dengan tulisan, karena agama Islam adalah

Rahmatan lil‟aalamiin (rahmat bagi seluruh alam).”

3. Apa gagasan inti dari judul Setan Berkalung Surban?

Jawaban: “Gagasan intinya adalah mengkritik dai yang hanya bermodal surban,

tetapi melakukan dakwah tidak berdasarkan niat ikhlas karena Allah swt.

melainkan mengikuti hawa nafsu dan kehendak setan.”

4. Apa gagasan inti dari judul Surban dan Jubah Haram?

Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum pakaian syuhrah

yaitu pakaian yang dipakai karena ingin tenar atau dikenal orang lain, dalam

hal ini ingin dikenal sebagai seorang dai atau kiai.”

5. Apa gagasan inti dari judul Dai Berbulu Musang?

Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan tentang hukum dai yang bertarif

menurut kajian fikih.”

6. Apa gagasan inti dari judul Dai-dai Sesat?

Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan haramnya dai memasang bertarif

dan mengikuti dai bertarif.”

7. Apa gagasan inti dari judul Kode Etik Dakwah?

Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan tujuh kode etik dakwah bagi para

dai.”

8. Apa gagasan inti dari judul Dakwah dan Kearifan Lokal?

Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan cara berdakwah yang harus

menggunakan pendekatan budaya masyarakat Indonesia, bukan malah

memaksakan budaya lain dan melarang budaya lokal yang digunakan.”

9. Apa gagasan inti dari judul Keteladanan Buya Hamka?

Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan kiprah keislaman Buya Hamka

yang sampai akhir hayatnya masih tetap memegang ajaran Rasulullah saw.

tanpa memikirkan kepentingan duniawi.”

10. Apa gagasan inti dari judul Memberdayakan Imam Masjid?

Jawaban: “Gagasan intinya adalah menjelaskan keharusan meningkatkan peran

dan jaminan kehidupan kepada Imam Masjid sebagai upaya meminimalisir dai

bertarif di Indonesia.”

11. Judul mana yang menjadi inti dari pembahasan “Dai Komersial” dalam

buku ini?

Jawaban: “Inti dari pembahasan tentang Dai Komersial terdapat dalam judul Dai-

dai Sesat. Dalam tulisan ini dijelaskan keharaman dai memasang tariff. Hal ini

sesuai dengan ayat suci Al-Qur‟an ayat 21 yang artinya Ikutilah orang-orang

yang dalam berdakwah tidak meminta imbalan karena mereka adalah orang-

Page 129: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

orang yang mendapat petunjuk dari Allah. Berarti jika orang berdakwah

meminta imbalan mereka tidak mendapat petunjuk melainkan sesat dan

menyesatkan. ”

12. Judul mana yang menjadi solusi dari fenomena “Dai Komersial” dalam

buku ini?

Jawaban: “Solusinya terdapat dalam judul Memberdayakan Imam Masjid, karena

dengan demikian tidak ada lagi dai yang akan memasang tarif. Pertama, karena

masyarakat sudah merasa cukup dengan keberadaan imam masjid di sekitar

mereka. Kedua, para imam masjid tidak usah memikirkan masalah ekonomi

lagi dalam dakwahnya, karena sudah ditanggung biaya hidupnya dan

keluarganya oleh pemerintah.”

13. Bagaimana perasaan anda tentang “Dai Komersial” yang anda wacanakan

dalam buku ini?

Jawaban: “Saya terbebas dan tidak mau kenal dengan mereka dai yang memasang

tarif dalam dakwahnya.”

14. Bagaimana konteks sosial tentang “Dai Komersial” dalam buku ini?

Jawaban: “Salah satu bahasan dalam buku ini menjelaskan tentang fenomena dai

yang memasang tarif yang muncul di tengah umat Islam Indonesia. Di mana

mayoritas dai sekarang hanya mengejar materi dan popularitas dalam dakwah

mereka. Sehingga hal ini perlu saya luruskan melalui buku ini, sesuai dengan

ajaran Islam yang benar tentunya.”

15. Apa saran anda untuk para dai komersial di Indonesia sekarang ini?

Jawaban: “Segera bertaubat! Karena kehidupan dunia hanya sementara. Jika

belum ikhlas dalam berdakwah lebih baik jangan berdakwah dan melakukan

pekerjaan lain. Karena dakwah adalah kewajiban bukan pekerjaan untuk

mencari uang. Ingatlah jika kalian menolong agama Allah, maka Allah akan

menolong kalian dalam segala hal! Tidak hanya terbatas dalam masalah uang.

Jadi perbaiki kembali niat kalian dalam berdakwah di masyarakat.”

16. Apa saran anda untuk masyarakat mengenai fenomena “Dai Komersial” di

Indonesia?

Jawaban: “Jangan panggil mereka! Dengan demikian mereka tidak akan berani

lagi memasang tarif. Dan sedikit demi sedikit para dai komersial akan

berkurang.”

Page 130: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

DOKUMENTASI HASIL WAWANCARA BERSAMA EDITOR BUKU

SETAN BERKALUNG SURBAN,

DENDEN TAUPIK HIDAYAT, SS., Lc.

1. Bagaimana sosok Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub menurut anda selaku

muridnya?

Jawaban: “Beliau adalah sosok yang sangat menginspirasi para muridnya.

Sikapnya yang tegas dan disiplin selalu beliau ajarkan setiap pertemuan

perkuliahan.”

2. Hal apa yang paling berkesan dari beliau untuk anda?

Jawaban: “Beliau selalu mendoakan kami dengan penuh keikhlasan dengan

berharap kami menjadi Ulama Besar di dunia bahkan bisa melebihi beliau.

Meskipun sulit, namun kami akan berusaha untuk meraih harapan beliau itu.”

3. Bagaimana kesan anda menjadi editor buku ini?

Jawaban: “Saya sungguh sangat bangga dan terhormat menjadi editor dalam buku

Setan Berkalung Surban ini. Siapa yang tidak akan bahagia memiliki

kesempatan menjadi editor buku seorang Ulama besar seperti beliau ini? dalam

kesempatan ini juga saya meminta maaf karena masih terdapat banyak

kesalahan dan kekurangan dalam pengeditan buku ini.”

4. Bagaimana pendapat anda tentang buku ini?

Jawaban: “Buku ini sangat bagus dalam menjelaskan fenomena yang ada di

tengah masyarakat Indonesia sekarang ini.”

5. Menurut anda, dari mana sajakah kognisi pemikiran beliau dalam menulis buku

ini?

Jawaban: “Menurut saya, pengetahuan beliau yang mendalam tentang agama

Islam menjadi dasar kognisi pemikiran beliau dalam tulisan ini. Beliau berhasil

melihat Islam secara menyeluruh. Maksudnya adalah, beliau bisa melihat

fenomena sosial yang ada dan menafsirkannya dengan ajaran-ajaran Islam. Hal

ini juga menggambarkan kepribadian beliau yang kritis.”

6. Menurut anda, bagaimana konteks sosial dalam buku ini?

Jawaban: “Dai sekarang ini hanya mengejar harta dalam dakwahnya. Bahkan

dalam isinya, sangat sedikit sekali mengandung pesan dakwah di dalamnya,

kebanyakan hanyalah mengandung unsur hiburan dari pada unsur pengetahuan.

Beliau berhasil menjelaskan dengan tuntas semua fenomena itu dan juga

memberikan solusi atas fenomena itu.”

Page 131: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

DOKUMENTASI HASIL WAWANCARA BERSAMA

MUHAMMAD ALI WAFA, Lc., S.S.I.,

ASISTEN PROF. DR. KH. ALI MUSTAFA YAQUB, MA

1. Bagaimana sosok Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub menurut anda selaku

muridnya?

Jawaban: “Beliau adalah sosok yang sangat menginspirasi kami dalam membela

agama Allah.”

2. Hal apa yang paling berkesan dari beliau untuk anda?

Jawaban: “Kenangan paling berkesan untuk kami adalah perhatian beliau yang

luar biasa kepada kami dan kepada umat Islam di Dunia. Beliau sering

membangunkan kami untuk melaksanakan Qiyam al-Lail dengan ikhlas.

Dahulu ketika beliau masih muda, beliau membangunkan kami dengan

langsung mengetuk pintu kamar kami. Sekarang meski sudah tua, beliau tetap

membangunkan kami dengan cara menelpon saudara tertua di antara kami,

untuk membangunkan yang lainnya melaksanakan Qiyam al-Lail .”

3. Bagaimana kesan anda menjadi asisten beliau?

Jawaban: “Saya sungguh bahagia. Tetapi di sisi lain saya merasa malu karena

kapasitas saya yang masih jauh untuk menuju sempurna. Tapi saya akan terus

berusaha mencari ilmu sebanyak-banyaknya agar bisa membuat beliau bahagia

pula.”

4. Bagaimana pendapat anda tentang buku ini?

Jawaban: “Buku ini cukup berani. Beliau memang orang yang sangat berani untuk

mengkritik dan menghapuskan kemungkaran di tengan umat Islam. Salah satu

moto beliau yang selalu disampaikan kepada murid-muridnya setiap hari

adalah Janganlah kalian mati, kecuali kalian menjadi penulis. Kedisiplinan

beliau dalam menulis sangat ketat sekali, bahkan di tengah kesibukan beliau

yang sangat padat mengurusi umat, beliau selalu bisa produktif menghasilkan

hasil tulisan.”

5. Menurut anda, dari mana sajakah kognisi pemikiran beliau dalam menulis buku

ini?

Jawaban: “Menurut saya, pengetahuan beliau dalam buku ini diambil hasil beliau

dalam menafsirkan fenomena sosial dalam pengetahuan Islam dan disiplin ilmu

lainnya. Di mana seluruh pengetahuan beliau itu berasal dari nash Al-Quran

dan Hadis. Beliau juga adalah sosok Ulama yang tegas dalam memberantas

kemungkaran. Hanya saja, cara beliau dalam melakukan itu tidak dengan

kekerasan. Inilah yang menjadi ciri khas beliau dalam menegakkan kebenaran

di bumi ini, dan seperti itulah ideologi beliau selaku Ulama di dunia ini.”

6. Menurut anda, bagaimana konteks sosial dalam buku ini?

Jawaban: “Buku ini berisi kritikan beliau terhadap fenomena sosial yang ada di

tengah masyarakat. Salah satu pembahasan terbesarnya adalah tentang dai

komersial. Beliau berhasil menjelaskan dengan tuntas semua fenomena itu dan

juga memberikan solusi atas fenomena itu.”

Page 132: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

BAB III

MUAMALAH

23

SETAN BERKALUNG SURBAN

Dalam Kitab Shahih al-Bukhari, ada kisah menarik:

ن رشل ظ زكة اهلل صل اهلل غ أيب ريرة ريض اهلل غ كال/ "وك فت ب وشي غييتحان آت ، فجػو

، وكيتج رمضان ، فأ ح خذت

ػام ، فأ اىط م إل رشل : يتث فػ رت

صل اهلل أل

تدت اهلل صت ، فأ ، كال / إني متخاج ، وغل خيال ، ول خاجث شديدة ، فخييتج خت وشي ج ، غييت

ارخث ؟ " ، كال / كيتج / يا اهلل فلال انلب صل شيك التا فػو أ ريترة ، ةا

/ " يا أ وشي غييت

، كال اهلل رشل ، فخييتج شبيي كدت نذةم ، " : ، شك خاجث شديدة ، وخياال ، فرحتخ ا إ أ

د." وشيػل رشل ت د ، ىل شيػ

اهلل صل اهلل فػرفتج أ وشي ، فجاء " : غييت ح د " فرصدت شيػ إ

م إل رشل فػ رت ، فليتج / أل ح خذت

ػام ، فأ اىط اهلل صل اهلل يتث ن ، غييت ، كال / دغت وشي

ج ، فلال ل رش تدت صت ، فأ ، فخييتج شبيي د ، فرحتخ غ

صل اهلل ل فإني متخاج ، وغل خيال ، ال أ

شيك ؟ " كيتج اهلل ا فػو أ ريترة ، ةا

/ " يا أ وشي ، شك خاجث وخياال ، اهلل يا رشل : غييت

د." كدت نذةم ، وشيػ ا إ ، كال / " أ ، فخييتج شبيي فرحتخ

م إل رشل فػ رت ، فليتج / أل ح خذت

ػام ، فأ اىط اثلاثلث ، فجاء يتث ح صل اهلل فرصدت

تم اهلل غيين أ د ، كال / دغت تػ د ، ث ال تػ خ ات ، إم حزت ذا آخر ثالث مر ، و وشي غييت

ات حتفػم اهلل كتويتج إل فراشم ، فاكترأ

؟ كال / " إذا أ ا ا ، كيتج / ال اهلل آيث اىتهرتسي ة

ت يزال غييتم اآليث ، فإم ى اىتح اىتليم خت تتخ ربم شيتطان اهلل إل إال خافظ ، وال حلت. تح ، فخييتج شبيي خت حصت

ج، فلال ل رشل تدت صتارخث ؟ " ، كيتج اهلل صل اهلل فأ شيك الت

ا فػو أ " / وشي : غييت

ات حتفػن اهلل يا رشل ن ك حػيي أ ا ه ؟ " ، كال اهلل ، زخ ، كال / " ا ، فخييتج شبيي : ة

ويتج إل اآليث كال ل / إذا أ ا خت تتخ ل و

ت أ آيث اىتهرتسي

ت اىتح اهلل فراشم ، فاكترأ ال إل إال

ت يزال غييتم رص اهلل اىتليم، وكال ل / ى ختتح ، وكا أ ربم شيتطان خت حصت خافظ ، وال حلت

، فلال صل شت يت ت تاطب اهلل ء ىلع الت ي نذوب ، تػت كدت صدكم و ا إ / " أ وشي غييت

ريترة ؟ " ، كال / ال ، كال / " ذاك شيتطان ةا تذ ثالث يلال يا أ

"

)رواه الخاري( Abu Hurairah ra. bercerita, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa

Sallam menugaskan saya untuk menjaga harta zakat pada bulan Ramadhan.

Tiba-tiba datanglah seseorang melihat-lihat makanan dan langsung

mengambilnya. Dia lalu saya tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya

Page 133: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

laporkan kepada Rasulullah.” Orang itu menjawab: „Saya orang yang sudah

berkeluarga dan sangat membutuhkan makanan untuk keluarga saya.”

Mendengar itu saya pun melepaskannya. Ketika pagi tiba, Rasulullah bertanya:

“Wahai Abu Hurairah apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi

malam?” Saya menjawab: “Wahai Rasulullah, orang itu mengadukan kesusahan

keluarganya dan dia memohon harta zakat saat itu juga, lalu saya bebaskan.”

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Dia telah mengelabui

kamu wahai Abu Hurairah dan nanti malam dia akan kembali lagi”. Dari sabda Nabi ini, saya tahu bahwa dia akan kembali lagi. Malam

harinya saya mengawasinya secara teliti dan ternyata betul apa yang

disampaikan Rasulullah, ia telah berada di ruang harta zakat sambil memilih-

milih harta zakat yang terkumpul lalu ia mengambilnya. Melihat itu, dia lalu saya

tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.”

Orang itu menjawab: “Saya betul-betul sangat membutuhkan makanan itu

sekarang, keluarga saya kini sedang menunggu sambil menahan lapar. Saya

berjanji tidak akan kembali lagi esok hari”. Mendengar itu, saya merasa kasihan

dan akhirnya saya lepaskan kembali. Keesokan harinya Rasulullah bertanya

kembali: “Apa yang dilakukan oleh orang yang kamu tangkap tadi malam, wahai

Abu Hurairah?” Saya menjawab: “Orang kemarin datang kembali dan

mengambil harta zakat. Karena keluarganya sudah lama kelaparan, akhirnya

saya melepaskannya”. Mendengar itu, Rasulullah bersabda: “Dia telah

membohongi kamu dan nanti malam ia akan kembali untuk yang ketiga kalinya”. Malamnya ternyata orang itu kembali lagi dan seperti biasa dia mengambil

harta zakat yang sudah terkumpul di dalam gudang. Melihat itu, dia lalu saya

tangkap, dan saya katakan, “Kamu akan saya laporkan kepada Rasulullah.

Bukankah kamu kemarin berjanji tidak akan kembali lagi tapi mengapa kini

kembali juga?” Orang itu menjawab: “Ijinkanlah. Saya akan ajarkan kepada

kamu sebuah kalimat yang apabila kamu membacanya Allah akan selalu menjaga

kamu serta kamu tidak akan disentuh dan didekati oleh setan hingga pagi hari".

Saya merasa tertarik dengan ucapannya lalu saya menanyakan kalimat apa itu.

Dia menjawab: “Apabila kamu hendak tidur, jangan lupa membaca ayat Kursi,

maka Allah akan menjaga kamu dan kamu tidak akan didekati oleh setan

sehingga pagi tiba”. Para Sahabat Nabi saw. memang suka dengan amalan-

amalan. Keesokan harinya Rasulullah kembali menanyakan apa yang telah saya

lakukan tadi malam dan saya katakan: “Ya Rasulullah, dia mengajarkan saya

kalimat yang sangat bermanfaat dan berfaidah.” Rasulullah lalu bertanya

kembali: “Kalimat apa yang diajarkannya?” Saya menjawab, “Dia mengajarkan

ayat Kursi dari awal sampai akhir dan dia katakan bahwa kalau saya

membacanya sebelum tidur, maka Allah akan menjaga saya sampai pagi hari.”

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam lalu bersabda: “Yang dia sampaikan itu

betul namun dia sudah berhasil mengelabui kamu dengan mengambil harta zakat.

Tahukah kamu siapa orang yang mendatangi kamu tiga malam itu?” Saya

menjawab: “Tidak, saya tidak tahu”. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam

lalu bersabda: “Ketahuilah bahwa dia itu adalah setan.”(HR. Al-Bukhari)

Dari Hadis ini, ada pelajaran menarik. Pertama, bahwa setan dapat

menjelma menjadi manusia. Kedua, dalam rangka mengecoh dan mencari korban,

setan dapat menjelma menjadi seorang ustaz atau ustazah dengan segala atribut

Page 134: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

dan nasihat-nasihatnya. Di sinilah, banyak orang terkecoh dengan penampilan

setan. Apabila yang digoda seorang yang senang beribadah, setan tidak akan

menyuruhnya untuk bermain judi, mencuri, korupsi , dan sebagainya, tetapi, setan

menyerunya untuk melakukan perbuatan yang lahiriahnya adalah sebuah ibadah.

Ketika sebuah ibadah dilakukan tidak dalam rangka menjalankan perintah Allah

dan atau Rasul-Nya, apalagi dalam rangka memenuhi keinginan selera alias hawa

nafsu yang dibisik oleh setan, maka di sinilah ibadah itu bukan untuk Allah tetapi

untuk setan.

Untung, Abu Hurairah diberitahu Nabi saw. bahwa wiridan tersebut adalah

benar, sehingga ia megamalkannya bukan karena mengikuti perintah setan tapi

mengikuti perintah Nabi saw. Hadis ini juga memberikan peringatan kepada kita

agar hati-hati menghadapi rayuan setan karena boleh jadi setan betina tampil

dengan jilbab dan busana muslimah dan setan jantan tampil dengan berkalung

surban.***

24

SURBAN DAN JUBAH HARAM

Dalam kitab Sunan Ibn Majah, ada Hadis bahwa Rasulullah saw.

mengatakan:

تب ت ىبس ث ارا ب في ت ل أ ث، ث م اىتليا ت ذىث ي تب اهلل ث ىتبص

جتيا أ رة يف ادل ت . ش

)رواه اة اج(

“Siapa yang memakai pakaian syuhrah di dunia, maka Allah akan

memakaikannya pakaian kehinaan pada Hari Kiamat, kemudian ia dibakar di api

neraka.” (HR. Ibnu Majah)

Menurut para ulama, pakaian syuhrah adalah pakaian yang berbeda dari

pakaian yang dipakai oleh penduduk Negeri di mana pemakainya tinggal. Disebut

pakaian syuhrah (popularitas) karena pemakainya dengan pakaian tersebut ingin

mudah dikenal oleh orang-orang. Pakaian syuhrah adakalanya berbeda dari

pakaian umumnya penduduk suatu Negeri karena terlalu bagus atau berbeda

karena terlalu buruk. Ketika pakaian itu berbeda dari yang lain karena terlalu

bagus, pemakainya ingin tampil berbeda dari orang-orang pada umumnya.

Akibatnya, dia merasa berbeda dari yang lain sehingga kemudian ia merasa

bangga, sombong, ria, sum‟ah, dan lain sebagainya. Ketika pakaian itu berbeda

karena sangat lebih buruk dari pakaian orang-orang pada umumnya, maka

pemakainya ingin disebut sebagai orang yang zuhud, tidak mencintai dunia, dan

lain sebagainya. Berdasarkan Hadis ini, para ulama sepakat bahwa pakaian

syuhrah adalah haram dikenakan.

Dalam konteks Indonesia masa kini, pakaian sejenis surban dan jubah, yang

di Saudi Arabia disebut tub, dapat masuk kategori pakaian syuhrah karena

masyarakat Indonesia tidak lazim berpakaian seperti itu. Pada abad lalu, surban

dan jubah mungkin sudah menjadi tradisi pakaian ulama. KH Ahmad Dahlan, KH

Hasyim Asy‟ari, Syeikh Ahmad al-Syurkati, Imam Bonjol, dan lain-lain, memakai

surban. Maka pada masa itu, surban sudah menjadi tradisi para ulama. Karenanya,

sah-sah saja, ulama memakai surban. Dasarnya adalah mengikuti tradisi (adat) dan

tradisi dapat menjadi hukum, sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Memang, dalam Hadis yang sahih, Nabi saw. memakai surban karena

bangsa Arab pada waktu itu juga mengenakan surban. Maka, surban (penutup

Page 135: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

kepala dengan dua sampai tiga ubel-ubel) adalah tradisi bangsa Arab pada saat itu.

Orang Islam dan orang musyrikin juga sama-sama memakai surban. Dalam Hadis

riwayat Imam Abu Dawud dan al-Tirmidzi, Nabi saw. berkata:

ىلع اىتلالنس ائ اىتػ كيت شت ت ال ا وبيت ا ةيت ق . فرت )رواه أة داود واىرتذي(

”Perbedaan antara surban kita dari surban orang musyrikin adalah

memakai kopiah lebih dahulu.” (HR. Imam Abu Dawud dan al-Tirmidzi)

Para ulama papan atas dari Saudi Arabia seperti, Mufti Besar Syekh Bin Baz

rahimahullah, Mufti Besar masa kini, Syekh Abdul Aziz Alu al-Syaikh, Syekh

Shaleh bin Muhammad al-„Utsaimin, dan lain-lain, semuanya sepakat bahwa

memakai surban bukan merupakan ibadah. Tidak sunah apalagi wajib, namun

hanya mengikuti tradisi bangsa Arab pada saat itu. Hal itu harena tidak ada satu

Hadis pun yang sahih yang menerangkan keutamaan memakai surban. Semua

Hadis tentang keutamaan memakai surban adalah Hadis-Hadis palsu. Menurut

para ulama itu, sunah Nabi saw. dalam berpakaian adalah kita berpakaian dengan

pakaian yang lazim dipakai oleh masyarakat di mana kita berada, kecuali apabila

kita menjadi tamu di sebuah Negeri, maka kita boleh memakai pakaian Negeri

kita sendiri, seperti orang Indonesia yang sedang beribadah haji di Makkah.

Melihat makna Hadis di atas, tampaknya bukan hanya pakaian syuhrah saja

yang dilarang oleh Nabi saw., tetapi juga penampilan syuhrah. Termasuk

berambut panjang bagi laki-laki dan memakai belangkon. Apabila masyarakat di

mana kita tinggal tidak memelihara rambut panjang dan tidak memakai

belangkon, maka berambut panjang dan memakai belangkon juga dilarang oleh

Rasulullah saw. Di antara kita terkadang karena ketidaktahuannya menganggap

pakaian yang dipakai adalah sebuah ibadah, sunah, dan mengikuti Nabi saw.

padahal pakaian seperti itu justru dilarang oleh Rasulullah saw.***

25

DAI BERBULU MUSANG

Pada akhir tahun 1980-an seorang psikiater kondang, Prof. Dr. H. Ayyub

Sani Ibrahim menulis sebuah artikel di sebuah koran nasional berujudul Dai

Berbulu Musang. Artikel ini dimaksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para

dai yang perilaku kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia

sampaikan. Sebagai sebuah nasehat, semoga Allah swt telah memberikan pahala

kepada beliau. Namun fenomena dai berbulu musang pada masa berikutnya justru

kian bermunculan, bahkan lebih parah daripada sekedar dai berbulu musang,

karena muncul oknum dai yang berani memungut imbalan bahkan pasang tarif

dalam berdakwah. Dai seperti ini disebut dai walakedu (jual ayat kejar duit).

Berangkat dari fenomena ini Ittihadul Muballigin, sebuah organisasi para

dai yang dipimpin oleh Shahibul Fadhiilah Bapak KH. Syukron Ma‟mun pada

tanggal 25-28 Juni 1996 dalam Musyawarah Nasional (Munas) ke-4, yang

dihadiri oleh sekitar 350 orang peserta yang terdiri dari para ulama dan dai seluruh

Indonesia merumuskan enam butir kode etik dakwah. Di antara kode-kode etik

dakwah itu, dai tidak boleh memungut imbalan dari masyarakat yang menjadi

objek dakwah. Apa yang dirumuskan oleh Munas Ittihadul Muballigin itu

mendapat apresiasi masyarakat termasuk Menteri Agama ketika itu Bapak Dr. H.

Tarmizi Taher.

Page 136: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Kendati demikian, fenomena dai berbulu musang maupun dai yang

memungut imbalan tidaklah surut jumlahnya, bahkan belakangan jauh lebih parah,

karena berkembangnya dai-dai yang memasang tarif dalam berdakwah.

Kami sungguh sangat kenyang menerima pengaduan masyarakat tentang

kekecewaan mereka terhadap oknum-oknum dai yang memasang tarif dalam

berdakwah. Banyak masyarakat yang gagal untuk mendatangkan seorang dai

karena setelah tawar-menawar seperti layaknya berdagang sapi mereka tidak

mampu membayar tarif yang diminta oleh dai yang bersangkutan.

Masyarakat juga banyak yang bertanya kepada kami, apa hukumnya

memasang tarif dalam berdakwah dan memberikan uang sebesar itu kepada dai

bertarif. Dalam kajian fikih memang ada tiga pendapat yang berkembang:

pertama, pendapat yang mengharamkannya secara mutlak, baik ada perjanjian

sebelumnya maupun tidak. Pendapat ini memiliki dalil-dalil yang kuat, baik dari

al-Qur‟an maupun Hadis. Pendapat kedua yang membolehkan berdakwah dengan

memungut imbalan. Pendapat ini berlandaskan sebuah Hadis riwayat Imam

Bukhari di mana Rasulullah saw. mengatakan:

را نخاب جت أ ت غييت ت خذت

ا أ خق

. اهلل إن أ

)رواه الخاري( “Sesungguhnya yang paling berhak diambil upahnya adalah al-Qur‟an.”

(HR. Al-Bukhari)

Dalil ini memang kuat, namun penggunaan (Istidlal) Hadis ini untuk

membolehkan memungut imbalan dalam berdakwah sangat lemah, karena

berdasarkan Sabab Wurud Hadis ini, Hadis ini tidak berkaitan dengan dakwah

melainkan berkaitan dengan proses pengobatan orang yang sakit dengan cara

ruqyah (membacakan Surah al-Fatihah).

Sementara pendapat ketiga, dan inilah yang diambil oleh Munas ke-4

Ittihadul Muballigin tahun 1996 adalah pendapat yang mengatakan bahwa apabila

ada perjanjian sebelumnya, bahwa seorang dai akan menerima upah dalam

dakwahnya, maka hal itu tidak dibolehkan. Sedangkan apabila tidak ada

perjanjian apa-apa kemudian dai diberi uang saku maka hal itu dibolehkan.

Dakwah adalah sebuah kewajiban agama, seperti halnya salat dan puasa,

kendati ia tidak menjadi rukun Islam. Surah al-Baqarah ayat 159 mengancam

orang-orang yang tidak mau berdakwah, bahwa mereka akan dilaknat oleh Allah

swt. dan makhluk-makhluk-Nya yang melaknat.

داس يف اىت داه لي دا ةي دد ت بػت دى ت ات وال يي الت ا تزنلتا أ ن خ يكت ي هخداب إن ال

ولم ييتػغن اهلل أ الال . وييتػ

( 021)اللرة/ “Sesungguhnya orang-orang yang Menyembunyikan apa yang telah Kami

turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami

menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dila'nati Allah dan

dila'nati (pula) oleh semua (mahluk) yang dapat mela'nati” (QS. Al-Baqarah:

129)

Page 137: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Maka, orang yang tidak mau berdakwah kecuali diberi imbalan sama artinya

dia tidak mau berdakwah. Fenomena memungut imbalan ini belakangan sungguh

sangat memprihatinkan karena banyak dai yang dalam dakwahnya memakai cara

berdagang sapi dengan tawar-menawar, per jam, per titik, dan sebagainya.

Sepanjang pengamatan kami, tarif termahal dalam berdakwah ini adalah

seratus juta rupiah satu kali ceramah (satu titik) dan yang paling murah adalah

sepuluh juta rupiah. Maka wajar saja apabila masyarakat mengeluh dan protes

terhadap fenomena pasang tarif ini, karena uang yang mereka kumpulkan adalah

uang sumbangan dari orang-orang miskin yang mengumpulkan dengan memeras

keringat tapi kemudian dirampok begitu saja oleh oknum dai berbulu musang itu.

Dai seyogianya adalah orang yang memecahkan masalah umat bukan orang yang

membuat masalah umat. Dai adalah orang yang meringankan beban umat bukan

orang yang membebani umat. Dai-dai yang berkeinginan cepat kaya lebih baik

berdagang sapi saja, karena terbukti banyak orang yang berdagang sapi

mendapatkan uang ratusan milyar rupiah, mobil pun banyak, dan istri pun

berderet-deret. Bersyukurlah dai yang dibuka aibnya oleh Allah swt. di dunia

karena ia masih punya kesempatan untuk bertaubat. Dan celakalah dai ketika

aibnya dibuka oleh Allah swt. di akhirat karena dia tidak punya kesempatan lagi

untuk bertaubat.***

26

DAI-DAI SESAT

Dalam Surat Yasin, ada kisah menarik yang berkaitan dengan masalah

dakwah. Dalam ayat 13 dan seterusnya, Allah swt. memerintahkan Nabi

Muhammad saw. untuk menceritakan sebuah kisah kepada kaum musyrikin

Makkah yang mendustakan Nabi saw. Kisah itu adalah perilaku orang-orang

dalam menyikapi para dai (utusan Allah). Disebutkan bahwa sebuah Negeri yang

menurut beberapa sumber disebut Negeri Anthakiyah didatangi oleh tiga orang

utusan Allah yang masing-masing bernama Shadiq, Shaduq, dan Syallom. Dalam

riwayat lain disebutkan para utusan itu bernama Sam‟un, Yohana, dan Bolus

(Paulus). Mereka memperkenalkan kepada warga Negeri Anthakiyah bahwa

mereka para dai yang diutus oleh Nabi Isa al-Masih as. untuk berdakwah kepada

warga Anthakiyah agar mereka hanya menyembah Allah swt. dan tidak

menyekutukan-Nya. Warga Anthakiyah saat itu dipimpin oleh raja yang bernama

Antikhos yang menyembah patung.

Warga Anthakiyah ternyata tidak merespon dakwah para dai itu. Mereka

menolak para dai itu bahkan mengatakan bahwa kamu semua adalah orang-orang

seperti kami, mana mungkin kamu mendapat wahyu dari Allah? Sekiranya kamu

adalah utusan-utusan Allah, niscaya kamu bukan manusia tapi malaikat. Mereka

bahkan mengatakan bahwa keberadaan para dai itu telah mencelakakan kehidupan

mereka. Mereka mengancam apabila para dai itu tidak menghentikan dakwahnya,

maka mereka akan melempari batu dan menyiksanya.

Melihat perilaku warga Anthakiyah yang tidak mau menerima ajakan

dakwah para dai itu, datanglah kemudian seseorang dari tempat yang jauh yang

bernama Habib al-Najjar. Ia berusaha untuk menolong para dai itu dari ancaman

penyiksaan dan pembunuhan warga Anthakiyah. Habib al-Najjar menasehati

kaumnya agar mengikuti ajakan (dakwah) para dai itu. Kemudian Habib

mengatakan:

Page 138: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

خدون ت ت م را و جتت أ ئيك ت ال يصت . احتػا

(00)يس/ “Ikutilah orang-orang yang dalam berdakwah tidak meminta imbalan

karena mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk dari Allah” (QS.

Yasin: 21)

Kisah Habib al-Najjar ini kemudian menjadi firman Allah karena disebutkan

di dalam Al-Quran. Ayat 21 Surah Yasin ini sangat tepat untuk dijadikan petunjuk

bagi kita dalam menyikapi perilaku sejumlah dai yang dalam dakwahnya

menyimpang dari tuntunan Islam. Menurut kajian ilmu Ushul Fiqh, teks Al-

Qur‟an seperti ini memiliki dua pengertian (dalalah), yaitu dalalah manthuq

(pengertian tekstual atau tersurat) dan dalalah mafhum (pengertian kontekstual

atau tersirat). Dalalah mafhum (tersirat) ada dua macam, mafhum muwafaqah dan

mafhum mukhalafah. Mafhum muwafaqah adalah pengertian tersirat yang sesuai

dengan pengertian tersurat. Sedangkan mafhum mukhalafah adalah pengertian

tersirat yang berlawanan dengan pengertian tersurat. Menurut para ahli Ushul

Fiqh, baik manthuq (tersurat) maupun mafhum (tersirat) adalah hujjah (dalil)

dalam syari‟at Islam. Mafhum mukhalafah dari ayat di atas adalah Allah

memerintahkan kita agar tidak mengikuti para dai yang dalam berdakwah

meminta imbalan karena mereka adalah orang-orang sesat. Apabila mengikuti dai

yang dalam berdakwah meminta imbalan saja diharamkan oleh Allah melalui ayat

di atas, apalagi mengikuti dai yang dalam berdakwah memasang tarif.

Berdasarkan kaidah hukum Islam, apa yang haram diambil haram juga

diberikan, maka haram hukumnya memberikan imbalan kepada dai yang dalam

dakwahnya meminta imbalan. Bila demikian, maka pasang tarif dalam berdakwah

juga sangat diharamkan. Apabila dalam dakwahnya dai tidak meminta imbalan,

maka menurut mayoritas ulama, kita boleh memberikan imbalan dan dai boleh

menerimanya. Semoga Allah melindungi kita semuanya dari larangan-

laranganNya.***

27

KODE ETIK DAKWAH

Pada tahun 1996 Ittihadul Muballighin, Organisasi para mubalig yang

dipimpin oleh KH. Syukron Ma‟mun, menyelenggarakan Musyawarah Nasional

(Munas). Salah satu keputusan penting yang diambil dalam Munas itu adalah

merumuskan Kode Etik Dakwah. Keputusan ini diambil karena pada waktu itu

mulai muncul dai Walakedu (Jual Agama Kejar Duit). Rumusan kode etik itu

diharapkan dapat menjadi pedoman para dai atau mubalig dalam menjalankan

dakwahnya, sehingga mereka dapat mewarisi tugas para Nabi, bukan justru

mendapat laknat dari Allah swt. dalam berdakwah.

Sekurang-kurangya ada tujuh Kode Etik Dakwah, kode pertama, tidak

memisahkan antara perbuatan dan ucapan. Kode ini diambil dari al-Qur‟an Surah

al-Shaff ayat 2-3:

ػين ا ال تفت تللن ا ل آ ي ا ال حلت .ياأ ػين اهلل خا غتد نب ا ال تفت نت تللا

(2-0)الصف/

Page 139: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

“Hai Orang-Orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan hal-hal

yang kalian tidak melakukannya? Amat besar murka disisi Allah swt, karena

kalian mengatakan hal-hal yang tidak kalian kerjakan.”(QS. Al-Shaff: 2-3)

Kode pertama ini juga diambil dari perilaku Rasulullah saw. di mana secara

umum beliau tidak memerintahkan sesuatu kecuali beliau melakukannya. Kode

kedua, tidak melakukan toleransi agama. Toleransi antar umat beragama memang

sangat dianjurkan sebatas tidak menyangkut masalah akidah dan ibadah. Dalam

masalah keduniaan (muamalah), Islam sangat menganjurkan adanya toleransi.

Bahkan Nabi saw. banyak memberikan contoh tentang hal itu, sementara toleransi

dalam akidah dan ibadah dilarang dalam Islam. Hal itu berdasarkan Firman Allah

swt. dalam Surah al-Kafirun ayat 6:

ت ول دي ت ديك . ىك

(6)الكفرون/ “Bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku” (QS. Al-Kafirun: 6)

Dalam Hadis riwayat Imam Ibn Hisyam juga disebutkan:

ت دحت يت ؤت ت وليت ت دحت ل يت ؤت ت ع ال ث تف أ تد ةنت غ . إن ح

)رواه اإلام اة شام( “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dari Kabilah Bani „Auf adalah satu

bangsa dengan umat Islam. Bagi orang-orang Yahudi, agama mereka dan bagi

orang-orang Islam, agama mereka.” (HR. Ibnu Hisyam)

Kode ketiga, tidak mencerca sesembahan agama lain. Ini diambil dari Surah

al-An‟am ayat 108.

ت دون غن يدت ي ث اهلل فيصتا اهلل وال تصتا ال ا ىكي أ نذلم زي غيت وا ةغيت غدت

ين ا كا حػت ت ة ت فينتيئ ت مرتجػ إل ربي ت ث ي . خ

( 021)األػام/ "Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah

selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas

tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik

pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia

memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (QS. Al-

An‟am: 108)

Kode keempat, tidak melakukan diskriminasi. Ketika Nabi saw. masih

berada di Makkah dan mengajarkan Islam kepada orang-orang miskin antara lain

Bilal al-Habsyi, Shuhaib al-Rumi, Salman al-Farisi, dan lain-lain, tiba-tiba datang

kepada Nabi saw. tokoh-tokoh bangsawan Quraisy yang juga hendak belajar Islam

dari beliau. Namun bangsawan Quraisy ini tidak mau berdampingan dengan

rakyat kecil. Mereka minta kepada Nabi saw. untuk mengusir Bilal dan kawan-

kawannya itu.

Nabi saw. kemudian menyetujui permintaan tersebut, namun akhirnya Allah

menurunkan ayat yang mengkritik perilaku Nabi saw. itu, yaitu Surah al-An‟am

ayat 52:

Page 140: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

غن يدت ي رد ال ت وال تطت ت ت خصاة ا غييتم ت ةاىتغداة واىتػشي يريدون وجت ربي ال اىظ ت فخهن رد ء فخطت ت شت ت ت خصاةم غييت ا ء و .شت

(52)األػام/ “Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di

pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya. kamu tidak

memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatan mereka dan mereka pun

tidak memikul tanggung jawab sedikit pun terhadap perbuatanmu, yang

menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-

orang yang zalim)” (QS. Al-An‟am:52)

Kode kelima, tidak memungut imbalan. Kode ini diambil antara lain dari al-

Qur‟an Surah Saba` ayat 47:

ك لتا شأ ري إال ىلع كوت جت

ت إنت أ ىك ر ف جت

ت أ يد اهلل ت ء ش ىلع كي شت . و

( 24)شتأ/ “Katakanlah: "Upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk

kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu."

(QS. Saba‟: 47)

Demikian pula perilaku para Nabi, termasuk Nabi Muhammad saw. dalam

berdakwah, mereka tidak pernah memungut imbalan, apalagi pasang tarif, tawar-

menawar, dan lain sebagainya.

Kode keenam, tidak berkawan dengan pelaku maksiat. Para dai yang

runtang-runtung, gandeng renceng dengan pelaku maksiat, mereka menjadi tidak

mampu untuk melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Akhirnya justru Allah

swt. melaknat mereka semua. Hal itulah yang telah terjadi atas kaum Bani Israil

seperti diceritakan dalam Surah al-Maidah ayat 78-79:

تا ا غص ذلم ة ي مرت ائيو ىلع لصان داوود وغيس اةت ت ةن إست كفروا ي ال ىػخدون ) ا ك 87وكا حػت ه لئتس تهر فػي ت ن خ ت ػين ( كا ال يتا . ا حفت

( 41-41)املائدة/ “Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan

Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu

melampaui batas. mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan Munkar

yang mereka perbuat. Sesungguhnya Amat buruklah apa yang selalu mereka

perbuat itu.” (QS. Al-Ma‟idah: 78-79)

Kode ketujuh, tidak menyampaikan hal-hal yang tidak diketahui. Kode ini

diambil dari Surah al-Isra ayat 36:

ا ىيتس ف ئال وال تلت مصت ولم كن خترص واىتفؤاد ك أ ع والت ت إن الص غيت . لم ة

( 26)اإلسراء:

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai

pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,

semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al-Isra: 36)

Page 141: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Munas Ittihadul Muballigin dengan keputusan Kode Etik Dakwah itu telah

berlalu 16 tahun yang lalu. Apakah dai-dai walakedu menjadi lenyap? Tampaknya

tidak demikian, justru semakin mendekat ke Hari Kiamat, fenomena munculnya

dai Walakedu semakin ramai. Bahkan sering dibarengi dengan apa yang disebut

dengan management walakedu.***

28

DAKWAH DAN KEARIFAN LOKAL

Bulan Agusuts 1982, Almarhum Bapak Mr. (Sarjana Hukum) H.

Muhammad Roem memberikan ceramah di hadapan anggota Young Muslim

Association in Europe (YMAE) yang akrab di kalangan masyarakat Indonesia

dengan sebutan PPME (Persatuan Pemuda Muslim Eropa) di Kediaman Bapak H.

Hambali Ma‟sum di Den Haag, Negeri Belanda. Pak Roem mengatakan bahwa

Buya Hamka pernah ditanya oleh Dr. Syauqi Futaki (Ketua Japan Islamic

Congress), “Apa penyebab orang Indonesia khususnya orang Jawa begitu mudah

masuk Islam dengan serentak dalam jumlah yang banyak tanpa ada konflik sedikit

pun?” Menurut Pak Roem, Buya Hamka saat itu menjawab, “Itulah yang sedang

saya pelajari.” Buya Hamka rahimahullah wafat pada tahun 1984. Semoga

sebelum itu, beliau sudah menemukan jawaban yang dipelajarinya tadi.

Para ahli berbeda pendapat tentang kapan Islam masuk ke Indonesia,

khususnya di Tanah Jawa. Sebagian berpendapat bahwa Islam sudah masuk di

Kepulauan Indonesia pada abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 atau 8

Masehi). Sebagian berpendapat Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-14

Masehi. Kendati begitu, para ahli sependapat bahwa Islam masuk ke Indonesia

tidak melalui cara-cara kekerasan dan lain sebagainya, melainkan dengan cara

yang sangat damai. Para ahli juga tampaknya sependapat bahwa pendekatan

dakwah yang dilakukan oleh para dai yang datang dari Jazirah Arab khususnya

dari Hadhramaut adalah pendekatan kultural. Sehingga masyarakat khususnya di

tanah Jawa tidak merasa terusik sedikitpun dalam masalah sosial budaya,

sementara mereka sudah menjadi orang Islam.

Apabila kita mengamati masalah sosial budaya di kalangan masyarakat

Jawa saat ini, maka tampaknya pendapat di atas dapat dibenarkan. Peninggalan-

peninggalan Islam yang merupakan warisan para dai yang sering disebut dengan

para wali sangat kental sekali dengan budaya-budaya lokal alias budaya Jawa.

Kendati mereka banyak berasal dari Negeri Arab, namun mereka tidak serta merta

mengubah secara radikal budaya lokal dengan budaya Arab. Mereka justru

membaur dan meleburkan diri dengan budaya lokal alias budaya Jawa. Arsitektur

masjid-masjid yang mereka tinggalkan, semisal Masjid Agung Sunan Ampel

Surabaya, Mesjid Agung Demak, Mesjid Menara Kudus, dan lain-lain

menunjukkan bahwa para dai itu sangat arif dengan budaya-budaya lokal sehingga

mereka tidak menggantinya dengan budaya Arab. Arsitek masjid-masjid tersebut

sampai sekarang menjadi saksi sejarah tentang begitu bijaknya para dai dalam

berdakwah sehingga bangunan-bangunan tersebut masih kental dengan budaya

Jawa. Bahkan Masjid Menara Kudus, juga kental dengan arsitektur Hindu.

Bagi para dai, bangunan adalah bukan akidah dan bukan ibadah, melainkan

bagian dari muamalah. Maka sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam,

budaya-budauya tersebut tetap mereka lestarikan. Hasilnya, orang Jawa tidak

merasa kaget untuk memasuki masjid karena mereka merasa masuk ke rumah adat

mereka sendiri. Menurut catatan para ahli, para dai di samping melestarikan

Page 142: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

budaya fisik seperti arsitektur Jawa dalam bangunan masjid, mereka juga

melakukan pendekatan kultural dalam menyampaikan pesan-pesan keislaman

kepada masyakat Jawa.

Dr. Purwadi M. Hum, Rektor Institut Kesenian Jawa di Jogjakarta, dalam

bukunya Dakwah Sunan Kalijaga, menyebutkan bahwa para wali khususnya

Kanjeng Sunan Kalijaga dalam mentransformasikan ajaran-ajaran Islam, beliau

menciptakan tembang-tembang (lagu-lagu) seperti tembang Dhandang Gulo dan

lain sebagainya. Dalam sastra Jawa dikenal ada Tembang Mocopat yaitu

kumpulan beberapa tembang yang mencerminkan nasihat perjalanan hidup

manusia. Tembang-tembang itu antara lain adalah Mijil, yang mengisahkan

tentang kelahiran seorang manusia ke dunia, kemudian Sinom yang menceritakan

tentang manusia yang muda, kemudian Asmoro Dono yang menceritakan tentang

manusia yang sudah menginjak remaja yang sudah mencintai lawan jenisnya,

Megatruh (putus nyawa) yang menceritakan tentang kematian manusia, Pucung

alias menjadi pocong yang dibungkus kain kafan dan masuk liang lahat, dan lain-

lain. Itu semua merupakan pesan-pesan moral ajaran Islam yang dikemas dengan

budaya lokal.

Di bidang sosial, khususnya di Kawasan Pesisir Utara Jawa Tengah, sampai

saat ini masih banyak masyarakat yang tidak mengonsumsi daging sapi. Di daerah

Pekalongan misalnya, saaat ini kita akan melihat apa yang namanya bakso kerbau,

bukan bakso sapi. Bahkan sebagai bagian dari masyarakat Pesisir Utara Jawa

Tengah, kami mengonsumsi daging sapi setelah kami tinggal di Jawa Timur.

Konon, ketika Islam masuk di Kawasan Utara Jawa Tengah, masyarakat yang saat

itu masih beragama Hindu sangat keberatan apabila orang Islam membunuh dan

mengonsumsi hewan sapi yang mereka sucikan. Maka dalam rangka dakwah, para

dai melakukan pendekatan sosial dengan tidak mengonsumsi daging sapi. Inilah

bentuk-bentuk kearifan lokal yang dilakukan oleh para dai dalam menjalankan

dakwah pada saat itu. Dan hasilnya adalah seperti yang dipertanyakan oleh Dr.

Syauqi Futaki di atas.

Saat ini, ada kecenderungan para dai tidak memperhatikan kearifan lokal

seperti tersebut di atas. Dalam masalah sosial budaya, tampak ada sebuah

pemaksaan harus bercorak Arab. Pakaian harus dengan jubah dan ubel-ubel

surban yang membungkus kepala. Bangunan masjid juga mesti berbentuk kubah,

kendati sebenarnya kubah bukan dari Arab melainkan dari gereja Byzantium. Di

Bali, Kalimantan Utara, dan lain-lain, kami sempat menanyakan ketika warga

setempat membangun masjid, “Mengapa ornamen Bali dan Dayak tidak Anda

masukkan dalam masjid yang sedang Anda bangun?” Kami mengatakan sekiranya

masjid di Bali memasukkan ornamen-ornamen Bali, dan masjid di Kalimantan

Utara memasukkan ornamen-ornamen Dayak, maka orang Bali dan orang Dayak

akan mudah dan tidak merasa terkejut saat memasuki masjid karena mereka

merasa memasuki rumah adat mereka sendiri.***

29

KETELADANAN BUYA HAMKA

Beberapa hari yang lalu, seorang staf di Kantor Perdana Menteri Malaysia

menghubungi kami. Ia minta agar kami mencarikan murid Buya Hamka yang

dapat menceramahkan secara akademik pemikiran moderat almarhum Buya

Hamka. Ceramah itu akan disampaikan dalam pertemuan berkala Institut

Wasatiyyah Malaysia (IWM) yang dijadwalkan pada bulan Juni 2014 mendatang.

Page 143: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Dan melalui bantuan seorang kawan, akhirnya kami mendapatkan murid Buya

Hamka yang dimaksud.

Kami kemudian ternostalgia dengan kiprah keislaman Buya Hamka yang

patut diteladani oleh tokoh dan umat Islam Indonesia. Sekurang-kurangnya, ada

dua sikap Buya Hamka yang patut diteladani. Pertama, pada tahun 1982, ketika

Buya Hamka masih menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia

(MUI) Pusat. Waktu itu MUI mengeluarkan fatwa bahwa umat Islam Indonesia

tidak boleh menghadiri perayaan Natal bersama. Fatwa ini menimbulkan polemik

antara pro dan kontra. Konon, Buya Hamka didesak untuk mencabut fatwa itu

atau mengundurkan diri. Buya Hamka akhirnya justru memilih untuk

mengundurkan diri dari jabatannya Sebagai Ketua Umum MUI Pusat. Sikap dan

perilaku Buya Hamka seperti ini barangakali sulit ditemukan di Negeri kita ini.

Umumnya, orang justru mempertahankan jabatannya mati-matian. Seandainya ada

tokoh yang mundur dari jabatannya, itu pun karena dia berambisi untuk

mendapatkan jabatan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Buya Hamka bukanlah

tipologi seorang yang disebut ulama “ulama” alias “usia lanjut makin ambisi”,

namun beliau lebih berprinsip pada penegakan yang hak sesuai tuntutan al-Qur‟an

dan Hadis. Beliau lebih memilih untuk meninggalkan jabatannya dan berpegang

kepada prinsip al-Qur‟an dan Hadis.

Kedua, pada akhir tahun 1970-an, Buya Hamka juga melakukan sebuah

kejutan besar yang dinilai bersebrangan dengan kelompoknya. Selama itu, dalam

menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal, ada kelompok yang

bersikukuh menggunakan metode hisab. Pada waktu itu, tampaknya Buya Hamka

juga mengikuti metode kelompok tersebut. Namun, setelah mengetahui petunjuk

Nabi saw. bahwa dalam menetapkan awal bulan Ramadan dan awal bulan Syawal

haruslah menggunakan rukyat (melihat bulan), Buya Hamka kemudian

mengeluarkan pernyataan yang sangat mengejutkan di mana beliau berkata, “Saya

kembali ke rukyat.” Pernyataan Buya Hamka ini, juga menimbulkan kegoncangan

di kalangan umat Islam Indonesia. Tidak sedikit orang yang mencemoohkan,

melecehkan, dan mengolok-olokkan Buya Hamka karena sikap dan perilakunya

itu. Namun Buya Hamka tetap memegang prinsip rukyat itu sampai beliau wafat

pada tahun 1984. Buya Hamka tidak merasa bahwa dengan sikapnya untuk

kembali ke rukyat itu gengsinya akan jatuh, justru dengan sikap itulah Buya

Hamka merasa yakin atas kebenaran yang dipegangnya. Bandingkan dengan

ustaz-ustaz bawahan yang apabila memiliki pendapat, mereka pertahankan

matian-matian pendapat itu kendati bertentangan dengan petunjuk Rasulullah saw.

Ustaz-ustaz bawahan lebih mempertahankan gengsinya karena arogansi pribadi

atau kelompok daripada kembali mengikuti petunjuk Nabi saw.

Kami sungguh merasa terharu, ketika Buya Hamka telah meninggalkan kita

30 tahun yang yang lalu, Negeri Jiran Malaysia mencari murid Buya Hamka yang

dapat memaparkan pemikiran moderat Buya Hamka dalam Islam. Kami teringat

dengan sebuah pepatah yang menyatakan, “Seorang Nabi tidak dihormati di

Negerinya sendiri.” Betapapun, tokoh dan umat Islam Indonesia lebih berhak

untuk meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka, kendati kita tidak dapat

melarang tokoh dan umat Islam di Malaysia dan di Negara lain juga akan

meneladani sikap dan perilaku Buya Hamka.

Page 144: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Semoga Allah swt. menerima amal ibadah Buya Hamka, mengampuni

dosa-dosanya, dan menjadikan tokoh dan umat Islam Indonesia meneladani sikap

dan perilakunya.***

30

MEMBERDAYAKAN IMAM MASJID

Sekurang-kurangnya, ada dua perhelatan yang berkaitan dengan imam

masjid yang diselenggarakan pada tahun 2013. Pertama, silaturahmi dan

konferensi imam masjid se-Indonesia yang diselenggarakan pada 27-29 Juni 2013

di Batam, Kepulauan Riau. Acara yang disponsori oleh Gubernur Kepulauan Riau

dan dibuka oleh Menteri Agama Republik Indonesia ini, melahirkan sebuah

organisasi nasional imam masjid yang bernama IPIM (Ikatan Persaudaraan Imam

Masjid). Acara ini dihadiri oleh kurang lebih 250 orang mewakili imam-imam

masjid seluruh Indonesia. Perhelatan imam masjid yang kedua adalah konferensi

imam masjid se-Dunia yang diselenggarakan pada 2-6 Desember 2013 di

Pekanbaru, Riau, yang disponsori oleh Gubernur Provinsi Riau dan dibuka oleh

Menteri Agama Republik Indonesia.

Konferensi imam masjid yang pertama se-Dunia ini kemudian melahirkan

organisasi imam masjid internasional yang disebut al-Majlis al-„Alami li „Aimmat

al-Masajid atau ICIM (International Council of Imam Masjid). Apabila IPIM

berkantor pusat di Jakarta, maka ICIM berkantor pusat di Pekanbaru, Provinsi

Riau. Deklarasi pembentukan ICIM yang tertuang dalam Piagam Pekanbaru

ditandantangani oleh wakil-wakil dari 12 Negara peserta, yaitu Malaysia, Kuwait,

Palestina, Perancis, Irak, Sinegal, Singapura, Afrika Selatan, Tunisia, Brunei

Darussalam, Pakistan, dan Indonesia. Sebagai ketua ICIM terpilih wakil dari

Kuwait, sementara Indonesia diamanati menjadi Sekretaris Jenderal. Beberapa

Negara yang siap hadir namun berhalangan adalah Mesir, Rusia, Jepang, dan

Australia.

Ada kesepakatan dari para peserta maupun para narasumber, baik dalam

konferensi IPIM maupun konferensi ICIM, semuanya bersepakat bahwa imam

masjid memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis karena ia selalu

berhadapan langsung dengan para jamaah minimal lima kali dalam satu sehari.

Peran dan fungsi ini dapat dimanfaatkan untuk mentrasformasi ajaran Islam yang

merupakan rahmat bagi semua penghuni alam kepada para jamaah masjid. Di

banyak Negara, peran imam masjid juga lebih dominan karena ia tidak hanya

mengimami salat berjamah tetapi juga menjadi khatib, baik untuk Salat Jumat,

Hari Raya, dan lain-lain. Dari sinilah kemudian, konferensi, baik IPIM maupun

ICIM, menyepakati untuk meningkatkan kualitas sumber daya imam masjid

sehingga imam masjid tidak menjadi sebatas seorang tukang yang menjalankan

tugas menjadi imam, tetapi juga menjadi pembina umat sesuai dengan tuntunan

ajaran Islam. Maka imam masjid haruslah seorang yang memiliki kreatifitas dan

inovatif dalam membina umat. Imam masjid juga bukan sebatas memimpin salat

berjamaah, tetapi juga memimpin masyarakat. Dalam konteks inilah beberapa

Negara, seperti Saudi Arabia misalnya, imam masjid menjadi sebuah icon

pemimpin umat, sebut saja misalnya imam-imam Masjid al-Haram di Makkah dan

imam Masjid Nabawi di Madinah. Karenanya, imam masjid tidak hanya seorang

yang hafal al-Qur‟an, memiliki kemampuan membaca al-Qur‟an dan vokal yang

memadai, namun juga memiliki kapasitas keilmuan untuk menjawab persoalan-

persoalan umat.

Page 145: YOGI SULAEMAN-FDK.pdf

Di sisi lain, peran yang demikian penting bagi imam, tentu tidak dapat

terlaksana secara maksimal manakala imam harus juga sibuk memikirkan asap

dapur. Di sejumlah Negara seperti Kuwait, Saudi Arabia, Turki ,dan lain-lain,

imam masjid menjadi tanggung jawab Negara. Ia diangkat oleh Negara dan

mendapatkan jaminan kesejahteraan dari Negara. Bahkan, Imam Masjid al-

Haram misalnya di Saudi Arabia, memiliki pengawal dan ajudan seperti layaknya

seorang pejabat tinggi Negara. Sementara di beberapa Negara, termasuk

Indonesia, imam masjid belum sampai kepada level itu. Karenanya, dalam

konferensi pertama IPIM kemarin, muncul wacana bahwa seyogianya imam

masjid diangkat oleh pejabat tinggi Negara. Untuk mesjid Negara, imam masjid

diangkat oleh Presiden; untuk masjid raya (tingkat provinsi), imam masjid

diangkat oleh Gubernur; untuk masjid agung (tingkat kabupaten/kota), imam

masjid diangkat oleh Bupati/Walikota; untuk masjid jami‟ (tingkat kecamatan),

imam masjid diangkat oleh Camat; dan untuk masjid (tingkat desa), imam masjid

diangkat oleh Kepala Desa.

Apabila imam memiliki kapasitas ilmiah yang memadai, maka diharapkan

ia dapat mencerahkan umat, melalui transformasi ajaran Islam sesuai tuntunan

Nabi saw. sehingga dengan demikian imam memiliki peran yang sangat penting

dalam mencegah munculnya paham-paham radikalisme, apatisme, liberalisme,

dan paham-paham sesat lainnya.***