Upload
intan-sari
View
101
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pbl
Skenario
Rona Merah di Pipi
Seorang wanita, 25 tahun, masuk Rumah Sakit YARSI dengan keluhan demam yang
hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan lainnya mual, tidak nafsu makan, mulut
sariawan, nyeri pada persedian, rambut rontok dan pipi berwarna merah bila terkena sinar
matahari.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu subfebris, konjungtiva pucat, terdapat sariawan di
mulut. Pada wajah terlihat malar rash. Pemeriksaan fisik lain tidak didapatkan kelainan.
Dokter menduga pasien menderita Sistemic Lupus Eritematosus.
Kemudian dokter menyarankan Pemeriksaan laboratorium hematologi, urin dan marker
autoimun (autoantibodi misalnya anti ds-DNA). Dokter menyarankan untuk dirawat dan
dilakukan follow up pada pasien ini. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam
menghadapi penyakit karena membutuhkan penanganan seumur hidup.
1
KATA SULIT:
1. Malar rash : Gejala dari SLE, terbentuk karena erupsi kulit pada
daerah hidung dan pipi
2. Suhu subfebris : Kenaikan suhu diatas normal tetapi tidak terlalu
tinggi (38° c¿
3. Konjungtiva : Membran mukosa transparan dan tipis
membungkus posterior kelopak mata
PERTANYAAN
1. Kenapa rambut rontok dan ruam timbul saat terkena sinar matahari?
2. Mengapa terjadi Malar rash?
3. Apa yang menyebabkan nyeri persendian pada pasien?
4. Mengapa pasien mengalami suhu subfebris?
5. Mengapa dokter menyarankan pemeriksaan urin?
6. Apa saja factor resiko dari SLE
7. Seperti apa ciri khas SLE?
8. Mengapa SLE perlu penanganan seumur hidup?
9. Bagaimana sikap pasien dalam menghadapi penyakitnya?
BRAINSTORMING
1. Karena fotosensitivitas (sensitive terhadap matahari). Pada SLE yang
bermasalah adalah ds-DNA. ds-DNA sensitive dengan sinar matahari
2. Karena daerah yang dapat terkena malar rash termasuk jaringan ikat longgar
3. Adanya endapan kompleks imun yang menghasilkan toxic dan merusak
jaringan sekitar, lalu dapat menimbulkan nyeri pada pasien
4. Respon imun berupa demam, tetapi bukan demam yang tinggi karena bukan
infeksi bakteri
5. Karena SLE merupakan penyakit sistemik. Terjadi kerusakan pada
glomerulus yang menyebabkan glomerulus nefritis. Sehingga absorpsi
terganggu dan menyebabkan proteinuria
6. Hormone, sinar UV, dan keturunan
7. Malar rash, Proteinuria, arthritis, Photosensitivitas, dan dapat ditunjang
pemeriksaan lab
2
8. Karena hubungannya dengan DNA dan bisa diturunkan. Dan merupakan
penyakit multiple factor
9. Sabar, berusaha melawan penyakit. Karen setiap penyakit selalu ada obat.
3
HIPOTESA
Penyakit SLE adalah penyakit autoimun yang disebabkan pleh multifactorial. SLE
melibatkan ginjal, kulit, jaringan membrane mukosa dan bersifat sistemik. Ciri
khas adalah malarash yang disebabkan oleh fotosensitivitas. Ciri khas lainnya
adalah nyeri sendi karena adanya kompleks imun yang mengendap di persendian.
Pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan lab hematologi,
urin, marker autoimun. Pasien yang positif SLE harus bersabar, ikhlas, ridho,
berdoa dan berusaha. Karena setiap penyakit pasti ada obatnya.
LEARNING OBJECT
4
1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Penyakit Autoimun
1.1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Definisi Penyakit Autoimun
1.2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Toleransi Imunitas
1.3. Memahami dan Menjelaskan Tentang Klasifikasi dan Contoh Penyakit
Autoimun
1.4. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patofisiologi dan Etiologi dari
Penyakit Autoimun
2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Systemic Lupus Erythematosus
(SLE)
2.1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Definisi SLE
2.2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Etiologi SLE
2.3. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patogenesis SLE
2.4. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patofisiologi SLE
2.5. Memahami dan Menjelaskan Tentang Manifestasi SLE
2.6. Memahami dan Menjelaskan Tentang Pemeriksaan SLE
2.7. Memahami dan Menjelaskan Tentang Diagnosis SLE
2.8. Memahami dan Menjelaskan Tentang Diagnosis Banding SLE
2.9. Memahami dan Menjelaskan Tentang PenatalaksanaanSLE
2.10. Memahami dan Menjelaskan Tentang Komplikasi SLE
2.11. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Tentang Prognosis SLE
2.12. Memahami dan Menjelaskan Tentang Epidemiologi SLE
3. Memahami dan Menjelaskan tentang Sabar, Ikhlas dan Ridho dalam
Menghadapi musibah
5
1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Penyakit Autoimun
1.1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Definisi Penyakit Autoimun
Autoimunitas adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh
mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan self-tolerence sel B, sel T
atau keduanya. Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau gangguan fungsi
fisiologis yang ditimbulkan oleh respons autoimun. Perbedaan tersebut adalah penting,
oleh karena respons imun dapat terjadi tanpa disertai penyakit atau penyakit yang
ditimbulkan mekanisme lain (seperti infeksi).
Kriteria autoimun:
a. Autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifitas untuk organ yang
terkena ditemukan pada penyakit
b. Autoantibodi dan atau sel T ditemukan dijaringa dengan cedera
c. Ambang autoantibodi atau respon sel T menggambarkan aktifitas penyakit
d. Penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakit
e. Transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit
autoimun pada resipien
f. Imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun
menimbulkan penyakit.
(Baratawidjaja,2012)
1.2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Toleransi Imunitas
Toleransi adalah mekanisme proteksi yang kuat di perlukan untuk mencegah terjadinya
penyakit autoimun, melindungi individu dari limfosit yang potensial self reaktif terhadap
antigen sel tubuh sendiri.
(Baratawidjaja,2012)
6
1.3. Memahami dan Menjelaskan Tentang Klasifikasi dan Contoh Penyakit
Autoimun
Penyakit Organ Antibodi
terhadap
Tes diagnosis
Organ
spesifik
T. hashimoto tiroid tiroglobulin RIA
Grave D. Tiroid TSH recep Immunofluorescen
Pernisious
anemia
Del darah
merah
Intrinsik faktor Immunofluorescen
IDDM Pankreas Sel beta
Infertilitas laki sperma Sperma Aglutinasi
immunofluorescen
Non-organ
spesifik
Virtiligo Kulit
persendian
Melanosit Immunofluorescen
Rheumatoid
arthritis
Kulit
Ginjal
sendi
IgG IgG-latex
Aglutination
SLE Sendi
organ
DNA
RNA
nucleiprotein
DNA
RNA
latex Aglutination
Berdasarkan hubungan tipe hipersensitivitas
7
(Baratawidjaja,2012)
1.4. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patofisiologi dan Etiologi dari Penyakit
Autoimun
Faktor Penyebab Penyakit Autoimun
1. Genetik
Beberapa peneliti menemukan adanya hubungan antara penyakit LES dengan
gen Human Leukocyte Antigen (HLA) seperti DR2, DR3 dari Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II. Individu dengan gen HLA DR2
dan DR3 mempunyai risiko relatif menderita penyakit LES 2-3 kali lebih
besar daripada yang mempunyai gen HLA DR4 dan HLA DR5. Peneliti lain
menemukan bahwa penderita penyakit LES yang mempunyai epitop antigen
HLA-DR2 cenderung membentuk autoantibodi anti-dsDNA, sedangkan
penderita yang mempunyai epitop HLA-DR3 cenderung membentuk
autoantibodi anti-Ro/SS-A dan anti-La/SS-B. Penderita penyakit LES dengan
8
Hipersensitivitas Penyakit
Tipe II A Trombositopenia idiopatik purpura
Anemia hemolitik autoimun
Miastenia gravis
Penyakit membrane basal glomerulus
Tipe II B Penyakit Grave
Sindrom antibody reseptor insulin
Miastenia gravis
Tipe III LES
Krioglobulinemia campuran
Beberapa bentuk vaskulitis (rheumatoid)
Tipe IV IDDM
Tiroiditis hashimoto
RA
Sklerosis multiple
epitop-epitop HLA-DR4 dan HLA-DR5 memproduksi autoantibodi anti-Sm
dan anti-RNP.
2. Defisiensi komplemen
Pada penderita penyakit LES sering ditemukan defisiensi komplemen C3 dan
atau C4, yaitu pada penderita penyakit LES dengan manifestasi ginjal.
Defisiensi komplemen C3 dan atau C4 jarang ditemukan pada penderita
penyakit LES dengan manifestasi pada kulit dan susunan saraf pusat. Individu
yang mengalami defek pada komponen-komponen komplemennya, seperti
Clq, Clr, Cls mempunyai predisposisi menderita penyakit LES dan nefritis
lupus.
Defisiensi komplemen C3 akan menyebabkan kepekaan terhadap infeksi
meningkat, keadaan ini merupakan predisposisi untuk timbulnya penyakit
kompleks imun. Penyakit kompleks imun selain disebabkan karena defisiensi
C3, juga dapat disebabkan karena defisiensi komplemen C2 dan C4 yang
terletak pada MHC kelas II yang bertugas mengawasi interaksi sel-sel
imunokompeten yaitu sel Th dan sel B. Komplemen berperan dalam sistem
pertahanan tubuh, antara lain melalui proses opsonisasi, untuk memudahkan
eliminasi kompleks imun oleh sel karier atau makrofag. Kompleks imun akan
diikat oleh reseptor komplemen (Complement receptor = C-R) yang terdapat
pada permukaan sel karier atau sel makrofag. Pada defisiensi komplemen,
eliminasi kompleks imun terhambat, sehingga jumlah kompleks imun menjadi
berlebihan dan berada dalam sirkulasi lebih lama.
3. Hormon
Pada individu normal, testosteron berfungsi mensupresi sistem imuns
sedangkan estrogen memperkuat sistem imun. Predominan lupus pada wanita
dibandingkan pria memperlihatkan adanya pengaruh hormon seks dalam
patogenesis lupus. Pada percobaan di tikus dengan pemberian testosteron
mengurangi lupus-like syndrome dan pemberian estrogen memperberat
penyakit.
9
4. Lingkungan Pengaruh fisik (sinar matahari), infeksi (bakteri, virus, protozoa),
dan obat-obatan dapat mencetuskan atau memperberat penyakit autoimun.
Mekanismenya dapat melalui aktivasi sel B poliklonal atau dengan
meningkatkan ekspresi MHC kelas I atau II.
Reaksi autoimun dapat disebabkan oleh beberapa hal,yakni:
1. Senyawa yang ada di badan yang normalnya dibatasi di area tertentu (dan
demikian disembunyikan dari system kekebalan tubuh) dilepaskan ke dalam
aliran darah.Misalnya,pukulan ke mata bisa membuat cairan di bola mata
dilepaskan ke dalam aliran darah.Cairan merangsang system kekebalan tubuh
untuk mengenali mata sebagai benda asing dan menyerangnya.
2. Senyawa normal ditubuh berubah,misalnya,oleh virus,obat,sinar matahari atau
radiasi.Bahan senyawa yang berubah mungkin kelihatannya asing bagi system
kekebalan tubuh.Misalnya,virus bisa menulari dan demikian mengubah sel di
badan.Sel yang ditulari oleh virus merangsang system kekebalan tubuh untuk
menyerangnya.
3. Senyawa asing yang menyerupai senyawa badan alami mungkin memasuki
badan system kekebalan tubuh dengan kurang hati-hati dapat menjadikan
senyawa badan mirip dengan seperti bahan asing sebagai
sasaran.Misalnya,bakteri penyebab sakit kerongkongan mempunyai beberapa
antigen yang mirip dengan sel jantung manusia.Jarang terjadi,system
kekebalan tubuh dapat menyerang jantung orang sesudah sakit kerongkongan
(reaksi ini bagian dari demam reumatik).
Sel yang mengontrol produksi antibody misalnya,limfosit B (salah satu sel
darah putih)mungkin rusak dan menghasikan antibody abnormal yang
menyerang beberapa sel badan.
Ada beberapa mekanisme mengenai induksi autoimunitas
a. Pelepasan antigen sekuester
b. Kemiripan molekular
c. Ekspresi MHC-II yang tidak sesuai
10
1. Sequestered antigen
Adalah antigen sendiri yang kkarena letak anatominya tidak terpajan dengan sel b/
sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan
tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun.
Perubahan anatomi dalam jaringan seperti inflamasi (sekunder oleh infeksi,
kerusakan iskemia/ trauma) dapat memajankan sequestered antigen dengan sistem
imun yang tidak terjadi pada keadaan normal. Contohnya protein lensa intraokular,
sperma, dan MBP.
2. Gangguan presentasi
Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan
respons
MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-B) dan gangguan respons
terhadap IL-2. Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel
Ts/ Tr. Bila terjadi kegagalan sel Ts/ Tr, maka terjadi rengsangan ke sel Th yang
akhirnya menimbulkan autoimuntas
3. Ekspresi MHC-II yang tidak benar
Pada orang sehat, sel B mengekspresikan MHC-I yang lebih sedikit dan tidak
mengekspresikan MHC-II sama sekali. Namun pada penderita dengan IDDM
ekspresi MHC-I dan MHC-II denga kadar tinggi. Contoh lain pada penderita
Grave yang mengekspresikan MHC-II pada membran.
Ekspresi MHC-II Yng tidak pada tempatnya itu yang biasanya diekspreskan pada
APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B/ tiroid dan
mengaktifkan sel B /Tc/ Th1 terhadap self antigen.
Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibodi (tipe II dan III), tipe
IV yang mengaktifkan sel CD4+ /sel CD8+ kerusakan organ dapat juga terajdi
melalui autoantibodi yang mengikat tempat fungsional self antigen seperti reseptor
hormon, reseptor neurotransmitor, dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat
menyerupai /menghambat efek ligan endogen untuk self protein yang
menimbulkan gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi/ kerusakan jaringan
11
fenomena ini terlihat pada penyakit autoimunitas endokrin dengan autoantibodi
yang menyerupai/ menghambat efek hormon seperti TSH, yang menimbulkan
aktifitas berlebihan/ kurang dari tiroid.
4. Aktivasi sel B poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV),
LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang
menimbulkan autoimunitas. Antibody yang dibentuk terdiri atas berbagai
autoantibody
5. Peran CD4 dan reseptor MHC
Gangguan yang mendasari penyakit autoimun sulit untuk diidentifikasi.penelitian
pada model hewan menunjukkan bahwa CD4 merupakan efektor utama pada
penyakit autoimun.
6. Keseimbangan Th1-Th2
Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4. Ternyata
keseimbangan Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas. Th1
menunjukkan peran pada autoimunitas, sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak
hanya melindungi terhadap induksi penyakit, tetapi juga terhadap progress
penyakit.
7. Sitokin pada autoimunitas
Sitokin dapat menimbulkan translasi berbagai factor etiologis ke dalam kekuatan
patogenik dan mempertahankan inflamasi fase kronis serta destruksi jaringan. IL-1
dan TNF telah mendapat banyak perhatian sebagai sitokin yang menimbulkan
kerusakan. Kedua sitokin ini menginduksi ekspresi sejumlah protease dan dapat
mencegah pembentukan matriks ekstraseluler atau nerangsang penimbunan
matriks yang berlebihan.
8. Factor lingkungan yang berperan pada autoimunitas
Faktor-faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas seperti mikroba, hormone,
radiasi UV, oksigen radikal bebas, obat dan agen bahan lain seperti logam.
12
(Baratawidjaja,2012)
2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
2.1. Memahami dan Menjelaskan Tentang Definisi SLE
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) adalah penyakit
autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel tubuh sendiri,
mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan. Lupus dapat mempengaruhi
setiap bagian tubuh, tetapi paling umum mempengaruhi kulit, sendi, ginjal, jantung
dan pembuluh darah. Perjalanan penyakit ini tidak dapat diprediksi, dengan periode
suar (flare) dan remisi. Lupus dapat terjadi pada semua usia dan lebih umum pada
perempuan. Manifestasi kulit cukup bervariasi dan dapat hadir dengan lesi
terlokalisasi, rambut rontok menyebar dan kepekaan terhadap matahari. Nama
kondisi ini berasal dari fakta bahwa ruam fotosensitif yang terjadi pada wajah
menyerupai serigala.
(Kamus Kesehatan)
2.2. Memahami dan Menjelaskan Tentang Etiologi SLE
Meskipun penyebab spesifik dari SLE tidak diketahui , beberapa kecenderungan
genetik dan interaksi gen-lingkungan telah diidentifikasi (lihat grafik pada gambar di
bawah ) . Situasi yang kompleks ini mungkin menjelaskan manifestasi klinis variabel
pada orang dengan SLE .
13
Dalam systemic lupus erythematosus (SLE), banyak faktor genetik-kerentanan,
lingkungan pemicu, antigen-antibodi (Ab) tanggapan, B-sel dan T-sel interaksi, dan
proses pembersihan imun berinteraksi untuk menghasilkan dan mengabadikan
autoimunitas. HLA = antigen leukosit manusia; UV = sinar ultraviolet.
SLE memiliki tingkat kekambuhan sederhana dalam keluarga : 8 % dari pasien yang
terkena memiliki minimal satu tingkat pertama anggota keluarga ( orang tua, saudara ,
dan anak-anak ) dengan SLE ; ini berbeda dengan 0,08 % dari populasi umum . Selain
itu , SLE terjadi pada kedua anak kembar di 24 % dari kembar identik dan 2 % dari
kembar nonidentical , yang mungkin disebabkan oleh kombinasi faktor genetik dan
lingkungan .
Beberapa studi telah disintesis apa yang diketahui tentang mekanisme penyakit SLE
dan asosiasi genetik . [ 10 , 25 , 29 ] Setidaknya 35 gen yang diketahui meningkatkan
risiko SLE. [Sebuah kecenderungan genetik didukung oleh 40 % konkordansi di
kembar monozigot ; jika seorang ibu memiliki SLE , risiko putrinya terserang
penyakit itu telah diperkirakan 1:40, dan risiko anaknya , 1:250 .
Sebuah studi genome dalam populasi Eropa utara direplikasi asosiasi SLE dengan gen
kerentanan yang terkait dengan sel - B jalur reseptor sinyal , serta menegaskan
asosiasi SLE dengan gen pada interferon faktor regulasi 5 ( IRF5 ) - TNPO3 lokus.
Para peneliti juga menegaskan asosiasi lokus lain dengan SLE ( TNFAIP3 ,
14
FAM167A - BLK , BANK1 dan KIAA1542 ) ; Namun , ditetapkan bahwa lokus ini
memiliki tingkat signifikansi yang lebih rendah dan memberikan kontribusi yang lebih
rendah untuk risiko individu untuk SLE.
Studi antigen leukosit manusia ( HLAs ) mengungkapkan bahwa HLA - A1 , HLA -
B8 , dan HLA - DR3 lebih sering terjadi pada orang dengan SLE dibandingkan
dengan populasi umum . Kehadiran alel pelengkap nol dan kekurangan bawaan
komplemen ( terutama C4 , C2 , dan komponen awal lainnya ) juga berhubungan
dengan peningkatan risiko SLE .
Sejumlah penelitian telah meneliti peran etiologi infeksi yang juga dapat
mengabadikan autoimunitas. Pasien dengan SLE memiliki titer tinggi antibodi
terhadap virus Epstein-Barr ( EBV ) , telah meningkat beredar viral load EBV , dan
membuat antibodi terhadap retrovirus , termasuk antibodi ke daerah protein homolog
dengan antigen nuklir . Pada pasien dengan SLE dan infeksi EBV , sel-sel B tidak
terutama cacat ; melainkan fenomena SLE / EBV adalah karena kelainan sel - T , yang
menyebabkan kegagalan dalam immunoregulation normal respon sel - B. Virus dapat
merangsang sel-sel spesifik dalam jaringan kekebalan tubuh . Infeksi kronis dapat
menyebabkan antibodi anti - DNA atau bahkan gejala lupuslike , dan flare lupus akut
sering mengikuti infeksi bakteri .
Penyebab lingkungan dan paparan yang berhubungan dengan SLE kurang jelas .
Penyebabnya adalah sebagai berikut:
Debu silika dan merokok dapat meningkatkan risiko pengembangan SLE
Administrasi estrogen untuk wanita menopause tampaknya meningkatkan risiko
pengembangan SLE .
Menyusui dikaitkan dengan penurunan risiko mengembangkan SLE
Fotosensitifitas jelas merupakan endapan penyakit kulit
Sinar ultraviolet merangsang keratinosit , yang mengarah tidak hanya untuk
berlebih dari ribonucleoproteins nuklir ( snRNPs ) pada permukaan sel mereka
tetapi juga untuk sekresi sitokin yang mensimulasikan peningkatan produksi
autoantibodi.
15
Hasil dari sebuah penelitian menunjukkan bahwa kadar vitamin D rendah
meningkatkan produksi autoantibodi pada individu sehat ; Kekurangan vitamin D
juga dikaitkan dengan hiperaktivitas sel - B dan aktivitas interferon -alfa pada
pasien dengan SLE .
(Bartels M, 2014)
2.3. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patogenesis SLE
Mekanisme patogenik dari SLE diilustrasikan pada gambar 1. Interaksi antara faktor
gen predisposisi dan lingkungan akan menghasilkan respons imun yang abnormal.
Respons ini termasuk (1) aktivasi dari imunitas innate (sel dendrit) oleh CpG DNA,
DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam RNA/protein selfantigen; (2) Ambang
aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigenspecific T dan Limfosit B);
(3) Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+ dan (4) berkurangnya klirens sel
apoptotik dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA nukleosomal; RNA/protein
pada Sm, Ro, dan La; fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung
permukaan sel apoptotik, sehingga antigen, autoantibodi, dan kompleks imun tersebut
dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi
dan penyakit berkembang secara lambat (Hahn et al,2005).
16
Gambar 1. Patogenesis SLE. Interaksi gen-lingkungan menghasilkan respons imun
abnormal yang menghasilkan autoantibodi patogen dan deposisi kompleks imun pada
jaringan, komplemen aktif, menyebabkan inflamasi dan lama kelamaan
mengakibatkan kerusakan organ irreversible. Keterangan: Ag, antigen; C1q,
complement system; C3, complement component; CNS, central nervous system; DC,
dendritic cell; EBV, Epstein-Barr virus; HLA, human leukocyte antigen; FcR,
immunoglobulin Fc-binding receptor; IL, interleukin; MBL, mannosebinding ligand;
MCP, monocyte chemotactic protein; PTPN, phosphotyrosine phosphatase; UV,
ultraviolet
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan
peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe
1 dan 2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta
Interleukin (IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan
suatu petanda genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal
menghasilkan IL-2 dan transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu
CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus
dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target,
disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang menemukan sel darah yang
berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari komplemen dan sel imun
mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida vasoaktif, dan enzim
perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan
memicu pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim
perusak. Selain itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan
terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan
jaringan lainnya. (Hahn et al,2005)
Jenis kelamin wanita sering terkena SLE; betina dari semua spesies mamalia memang
memiliki respons antibodi yang lebih kuat daripada pejantan. Wanita yang terpapar
17
kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih hormone memiliki
peningkatan risiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan dengan reseptor
pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan dari sel
ini, sehingga menunjang respons imun yang memanjang (Hahnet al,2005).
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE (Gambar 1).
Paparan terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar
70% pasien, kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis pada sel kulit atau
adanya perubahan DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenik.
Sepertinya, beberapa infeksi memicu respons imun yang normal dan mengandung
beberapa sel T dan B yang mengenal self-antigen; pada SLE, selsel tersebut tidak
beregulasi dengan baik dan produksi autobodi kemudian terjadi. Kebanyakan pasien
SLE mempunyai autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum gejala pertama
penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun untuk
beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang
patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis. Virus Eipsten Barr mungkin
merupakan agen infeksi yang dapat memicu SLE pada seseorang yang memiliki
predisposisi genetik. Anak dan orang dewasa dengan SLE cenderung terinfeksi EBV
dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin, dan etnis. EBV mengaktivasi
dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut dalam beberapa dekade; Ia
juga mengandung sekuens asam amino yang mirip dengan sekuens pada spilceosome
manusia (RNA/antigen protein yang dikenali oleh autoantibodi pada seseorang dengan
SLE). Sehingga, interaksi antara predisposisi genetik, lingkungan, jenis kelamin, dan
respons imun abnormal akan mengakibatkan autoimunitas
(Hahn et al,2005).
18
2.4. Memahami dan Menjelaskan Tentang Patofisiologi SLE
Penderita SLE memproduksi autoantibodi yang targetnya meliputi banyak jaringan,
misalnya DNA, trombosit, leukosit, dan faktor pembekuan , interaksi antara auto-
antibodi dengan antigen-antigen tersebut menimbulkan gejala klinik yang berbeda.
Misalnya saja, autoantibodi yang spesifik dapat menimbulkan sel darah merah dan
trombosit, dapat menyebabkan lysis yang dimediasi oleh komplemen, sehingga
menyebabkan hemolytic anemia dan thrombocytopenia. Ketika terjadi komplek imun
anatara autoantibodi engan antigen nucleus yang ada di sepanjang dinding pembuluh
darah, maka akan terjadi hipersensitivitas tipe III. Kompleks tersebut dapat
mengaltifkan system komplemen, sehingga komplek imun dirusak dan menyebabkan
kerusakan dinding pembuluh darah. Hal inilah yang menyebabkan vasculitis dan
glomerunonephritis.
Aktifasi komplemen yang berlebihan pada penderita SLE berat menybabkan
peningkatan kadar produksi sampingan komplemen (C3a dan C5a) di dalam serum.
C5a dapat memicu peningkatan ekspresi komplemen reseptor tipe 3 (CR3) pada
netrofil , yang mampu memfasilitasi agregasi netrofil dan penempelan netrofil ke
dinding pembuluh darah. Ketika netrofil yang manempel ke pembuluh darah kecil,
jumlah netrofil yang bersirkulasi dapat berkurang, dan menyebabkan vasculitis.
(Kind.et.al.,2007)
19
2.5. Memahami dan Menjelaskan Tentang Manifestasi SLE
Manifestasi kutaneus:
Fotosensitivitas (sun sensitivity): 2/3 pasien SLE mengeluhkan sensitif terhadap sinar
ultraviolet (UV). Reaksinya dapat berupa ruam ringan, demam, arthritis, kelelahan
sampai ke ruam yang berat.
Ruam malar (ruam kupu-kupu): makulo papular hiperemi di daerah malar.
Ulkus oral: 20% pasien SLE mengalami ulkus oral yang biasanya mengenai mukosa
bukal dan langit-langit keras, tetapi kadang-kadang juga di lidah dan langit-langit
lunak. Lesinya berbatas tegas, tepi berwarna keputihan, dan biasanya tidak nyeri.
Alopecia (rambut rontok)
Discoid Lupus
Manifestasi kutaneovaskular:
Vaskulitis kutaneus: radang pembuluh darah kecil yang terlihat di kulit pada bagian
tubuh tertentu (biasanya di tangan dan kaki). Terlihat sebagai ptekie atau purpura
yang dapat diraba, dan sangat jarang terjadi nekrosis, ulserasi, gangrene.
Fenomena raynaud: terjadi karena hiperplasia tunika intima dari arteriol jari-jari
disertai instabilitas vasomotor yang diperantarai syaraf autonom. Hal ini akan
menyebabkan timbulnya vasodilatasi pada keadaan hangat, dan vasokonstriksi pada
keadaan dingin, sehingga akan menimbulkan perubahan warna pada jari, dari merah,
pucat sampai kebiruan. Jika berat dapat menimbulkan ulkus atau gangren pada ujung
jari (fingertip).
Manifestasi muskuloskeletal:
Arthralgia dan arthritis: Arthralgia terjadi pada 80% – 90% SLE. Disini tidak terdapat
tanda-tanda inflamasi obyektif yang dapat ditemukan, pasien hanya mengeluh nyeri
saat diam maupun digerakkan. Pada arthritis mengenai 50% pasien SLE), terdapat
tanda lain selain nyeri yaitu bengkak sendi, kemerahan, sendi teraba hangat,
kekakuan pagi hari setelah bangun tidur).
Myalgia dan myositis: Mayalgia terjadi pada 70% pasien, sedangkan myositis pada 5-
10% pasien. Pada myositis terjadi peningkatan enzim CPK.
Osteopenia dan osteooporosis: Inflamasi kronik karena SLE serta obat-obatan
misalnya kortikosteroid dan methotrexate, dapat menyebabkan osteopenia dan
20
osteoporosis pada pasien SLE. Hal ini ditambah dengan kekurangan vitamin D karena
pasien SLE harus menghindari paparan sinar ultraviolet.
Manifestasi Paru dan Pleura:
Pleurisi: 60% SLE pernah mengalami gejala pleuritis yaitu nyeri saat inspirasi, dan
sekitar 25% pernah mengalami efusi pleura yang bermakna. Pleuritis dan efusi pleura
tidak termasuk organ threatening disease karena parenkim paru tidak terkena.
Lupus pneumonitis akut, Interstitial lung disease ( bersifat kronik, gejala biasanya
sesak), pulmonary hemorrhage, pulmonary emboli, pulmonary hypertension,
shrinking lung syndrom.
Manifestasi Kardiovaskular
Perikarditis: pasien mengeluh dadanya seperti ditekan, dan membaik jika dia agak
membungkuk ke depan. Sekitar 25% diantaranya, terdapat efusi perikardial
Myokarditis, endocarditis (Libman-Sacks endocarditis)
Hipertensi: terutama terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal, juga yang dengan
terapi kortikosteroid.
Accelerated atherosclerosis.
Manifestasi Renal:
Lupus nephritis terjadi karena penumpukan kompleks imun di ginjal. Pemeriksaan
urinalisa menunjukkan adanya proteinuria, hematuria mikros, adanya silinder. Para
ahli sangat menyarankan untuk dilakukan biopsi ginjal untuk diagnosis standar Lupus
nephritis, sehingga terapi lebih terarah.
Manifestasi Hematologi:
Anemia karena penyakit kronik, autoimmune haemolytic anemia (AIHA).
Leukopenia ( < 4000/mm3), limfopenia ( < 1500/mm3), trombositopenia
Trombosis (APS), splenomegali, limfadenopati
Manifestasi Neuropsikiatrik:
Susunan saraf pusat: Psikosis, kejang, aseptik meningitis, stroke, demyelinating
disorder, myelopati, anxiety disorder, mood disorder, cognitive dysfunction, sakit
kepala.
Susunan saraf tepi: polineuropathy, Guillain Barre’ syndrome, mononeuropathy,
cranial neuropathy, myastenia gravis.
21
Manifestasi gastrointestinal:
Ascites, peningkatan enzim hepar, vaskulitis arteri di abdomen, pankreatitis.
(Mckinnon, 2007)
2.6. Memahami dan Menjelaskan Tentang Pemeriksaan SLE
Pemeriksaan fisik dengan criteria American College of Rheumatology (ACR) dan
pemeriksaan laboratorium berupa :
Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik
( LES ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah
pada penderita LES menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia,
limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate(ESR) meningkat selama
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-
globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin
pada penderita LES menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan
kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
Pemeriksaan Autoantibodi
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai
proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya
terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya LES,
Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk
autoantibody sering
dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi
perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian
yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula
halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan
terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T- helper
dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen kemiripan
atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide
terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan
sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme
22
regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini semakin
besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. karenanya,
lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik
daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat
berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasilntervensi terapi. Kompleks
autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit autotoimun.
Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah
Autoantodi baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit
reumatik autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.
Antibodi Antinuklear.
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi
yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada
connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue
Disease (MCTD) ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang
penderita
LES. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan
spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP) Ro/SS-A
dan La/SS-B
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease. Dengan
pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan pemeriksaan yang
positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita
skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.
Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif
terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar
yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik.
Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis
reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukkan peningkatan aktifitas
penyakit. Pada LES,anti ds-DNA
mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE.
Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay ELISA dan
C.luciliae immunofluoresens.
23
Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi
aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan
berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen
merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja
secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan
fibrinolisis.
Pada LES, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus
normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE
terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita dengan
eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala
klinis.
(Utomo, 2012)
24
2.7. Memahami dan Menjelaskan Tentang Diagnosis SLE
Pemeriksaan dengan kriteria ACR
Kriteria Batasan
Ruam Malar Eritema menetap, datar atau menonjol
Ruam diskoid Patch eritematosa yang timbul dengan
bagian kasar keratotik dan sumbatan
folikular, jaringan parut atrofi mungkin
terjadi pada lesi yang sudah lebih lama
Fotosensitifitas Ruam kulit akibat pajanan dengan sinar
matahari
Tukak oral atau nasofaringeal Biasanya tidak disertai nyeri
Artritis Tidak erosive, terjadi pada 2 atau lebih
sendi perifer, ditandai dengan nyeri,
bengkak dan efusi (pada 90% penderita)
Serositis Pleuritis dan perikarditis
Ginjal Proteinuria persisten (>0.5g/dl) atau
ditemukannya sedimen seluler
Saraf Kejang atau psikosis (bukan akibat obat
atau metabolic)
Hematologi Anemia hemolitik atau
leukopeni(<4000/ml) pada saat yang
berbeda, atau limfopenia (<1500/ml)
25
pada 2 saat yang berbeda atau
tromboitopenia (<100.000/ml) (bukan
akibat obat)
Imunologis Ditemukan anti dsDNA ayau
Antibodi anti Sm atau
Antibodi antifosfolipid berdasarkan :
Kadar serum IgG atau IgM ACA yang
abnormal
Tes positif untuk lupus antikoagulan
dengan cara standar
ATAU
Tes serologis sifilis positif semu
sedikitnya 6 bulan dan dipastikan
dengan imobilisasi Tr. Palidum atau IFT
ANA Titer abnormal (tanpa ada obat yang
menginduksi LES)
(Baratawidjaja, 2014)
Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai dua atau lebih keterlibatan organ
sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu :
Jender wanita pada usia produksi
Gejala konstitusional
Muskuloskeletal : arthritis, artralgia, miositis
Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly atau malar rush) fotosensitivitasm
fenomena raynaud, puprpura, urtikaria, vaskulitis
Ginjal : hematuria, proteinuria,
Paru-paru : hipertensi pulmonal
Jantung : perikarditis, endokarditis, miokarditis
Retikulo-endotel : limfadenopati, splenomegali, hepatomegali
Hematologi : anemia, leucopenia dan trombositopenia
Neuropsikiatri : psikosis, kejang, sindroma otak organic, mielitis
transversa, neuropati cranial, dan perifer
(Sudoyo, Aru W. et.al; 2009)
26
2.8. Memahami dan Menjelaskan Tentang Diagnosis Banding SLE
Beberapa penyakit atau kondisi dibawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat
gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu :
A. Undifferentiated connective tissue disease
B. Sindroma sjogren
C. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
D. Fibromialgia (ANA positif)
E. Purpura trombositopenik idiopatik
F. Lupus imbas obat
G. Artritis reumatoid dini
H. Vaskulitis
(Kasjmir, 2014)
2.9. Memahami dan Menjelaskan Tentang Penatalaksanaan SLE
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan penyakit otoimun sistemik yang
sangat komplek. Manifestasi klinik SLE sangat luas, melibatkan banyak organ
sehingga memberikan gambaran klinik yang sangat bervariasi. Manifestasi kliniknya
mulai ringan sampai mengancam jiwa. SLE adalah penyakit radang atau inflamasi
multisistem yang penyebabnya diduga karena adanya perubahan sistem imun. SLE
termasuk penyakit soft connective tissue diseases yaitu suatu kelompok penyakit yang
melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan pembuluh darah yang mempunyai
banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan pengobatan yang kompleks.
SLE masih merupakan problem yang sangat besar, karena mayoritas populasi belum
27
menyadari bahaya penyakit ini. Mengingat penyakit ini merupakan penyakit otoimun
yang sangat fatal dan banyak menyerang wanita usia muda. Mortalitas SLE 5 kali
lebih tinggi dibanding populasi normal. Kematian SLE dibagi menjadi 2 fase yaitu:
pada fase awal dan fase lanjut yang dikenal dengan bimodal pattern pada tahun awal
terjadi karena aktivitas penyakit dan infeksi sedangkan pada stadium lanjut
disebabkan oleh kardiovaskuler.
Menurut Urowitz (2000) mortalitas lupus pada dekade 5 tahun terakhir menunjukkan
perbaikan. Untuk 5 year survival rate nya saat ini hampir 90%, sedangkan 15 year
survival rate nya berkisar 63-79%. Kemajuan ini disebabkan pendekatan terapi lebih
agresif dan majunya penggunaan imunosupresan untuk menekan aktivitas penyakit.
Menurut berbagai laporan bahwa target organ paru, ginjal dan sistem syaraf pusat
merupakan prediktor mortalitas sedangkan etnis sebagai prediktor survival. Etnis
Asian mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding kulit putih. Jenis kelamin
umur dan tingkat ekonomi dilaporkan juga sebagai prediktor mortalitas, umur yang
makin tua mortalitasnya makin tinggi. Seperti yang dilaporkan bahwa penyebab
kematian pada periode awal yang terbanyak yaitu disebabkan SLE yang aktif, lupus
nephritis, sistemik vaskulitis, CNS lupus infeksi dan trombosis.
Dalam melaksanakan perawatan penderita SLE diperlukan pendekatan yang
konprenhensif. Menentukan aktivitas penyakit sangatlah penting karena untuk
menentukan dosis obat atau jenis obat yang akan diberikan. Selama perawatan klinisi
harus dapat menetapkan kondisi pasien apakah membaik, menetap atau memburuk,
bila kondisi menetap atau memburuk, harus secepatnya mengambil sikap. Bila
keputusan klinis terlambat maka terjadi kerusakan organ yang lebih luas atau
permanent dan mungkin dapat menimbulkan kematian, untuk itu perlu tata laksana
yang tepat dan benar.
Dasar untuk dapat melakukan tata laksana yang baik dan benar diperlukan
pemahaman tentang perjalanan penyakit/patogenesis serta pemilihan obat. Dalam hal
ini adalah upaya untuk menurunkan mortalitas penyakit SLE.
(Yuliasih, 2011)
28
2.10. Memahami dan Menjelaskan Tentang Komplikasi SLE
1. Serangan pada Ginjal
Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin)
2. Serangan pada Jantung dan Paru
Pleuritis
Pericarditis
Efusi pleura
Efusi pericard
Radang otot jantung atau Miocarditis
Gagal jantung
Perdarahan paru (batuk darah)
3. Serangan Sistem Saraf
Sistem saraf pusat
Cognitive dysfunction
Sakit kepala pada lupus
Sindrom anti-phospholipid
Sindrom otak
29
Fibromyalgia (7).
b. Sistem saraf tepi
Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat
menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen
(stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom
4. Serangan pada Kulit
Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut
lesi diskoid
Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif
terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus
subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk
koin.
Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang
luas di bagian tubuh
Lesi non spesifik
Rambut rontok (alopecia)
Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung
jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok (7).
Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di
sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
30
Radang sendi pada lupus
Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
Anemia
Trombositopenia
Gangguan pembekuan
Limfositopenia
9. Serangan pada Hati
2.11. Memahami dan Menjelaskan Prognosis Tentang Prognosis SLE
Systemic lupus erythematosus ( SLE ) membawa prognosis sangat bervariasi untuk
setiap pasien . Sejarah alami dari SLE berkisar dari penyakit yang relatif jinak dengan
cepat progresif dan bahkan penyakit fatal. SLE sering bertambah dan berkurang pada
individu yang terkena sepanjang hidup , dan fitur penyakit sangat bervariasi antara
individu .
31
Perjalanan penyakit ringan dan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi pada orang
dengan kulit yang terisolasi dan keterlibatan muskuloskeletal dibandingkan pada
mereka dengan penyakit ginjal dan penyakit CNS. Sebuah laporan konsorsium dari
298 pasien SLE diikuti selama 5,5 tahun mencatat penurunan di SLE Aktivitas
Penyakit . 2000 Index ( SLEDAI - 2K ) skor setelah tahun pertama klinis tindak
lanjut dan peningkatan bertahap dalam kumulatif rata-rata Systemic Lupus
International Kolaborasi klinik ( SLICC ) skor indeks kerusakan.
Hal ini penting untuk membedakan antara aktivitas penyakit dan indeks kerusakan
( disfungsi organ ireversibel ) . Meskipun instrumen yang paling efektif untuk
mengukur aktivitas penyakit SLE masih terbuka untuk diperdebatkan , ada beberapa
langkah divalidasi , termasuk Systemic Lupus Activity Measure (SLAM), SLEDAI,
Lupus Activity Index (LAI), European Consensus Lupus Activity Measurement
(ECLAM), and British Isles Lupus Activity Group (BILAG).
Faktor prognosis dari 2.007 European League Against Rheumatism ( EULAR )
rekomendasi termasuk berikut:
Temuan klinis : Lesi kulit , arthritis , serositis , manifestasi neurologis seperti
kejang dan psikosis , dan keterlibatan ginjal
Hasil studi diagnostik : Anemia , trombositopenia , leukopenia , peningkatan kadar
serum kreatinin
Hasil tes imunologi : Serum C3 dan C4 konsentrasi (yang mungkin rendah ) , serta
kehadiran anti - double stranded DNA ( anti - dsDNA ) , anti - Ro / Sjögren syndrome
A ( SSA ) , anti-La/Sjögren sindrom B ( SSB ) , dan antifosfolipid ( aPL ) , dan anti -
ribonucleoprotein ( anti - RNP ).
(Bartels M, 2014)
2.12. Memahami dan Menjelaskan Tentang Epidemiologi SLE
Di seluruh dunia, prevalensi SLE tampaknya bervariasi oleh ras. Namun, ada tingkat
prevalensi yang berbeda bagi orang-orang dari ras yang sama di berbagai wilayah
dunia. Kontras antara tingkat dilaporkan rendah dari SLE pada wanita kulit hitam di
Afrika dan tingkat tinggi pada perempuan kulit hitam di Inggris menunjukkan bahwa
ada pengaruh lingkungan. Secara umum, perempuan kulit hitam memiliki tingkat
lebih tinggi dari SLE dibandingkan wanita dari ras lain, diikuti oleh perempuan Asia
dan kemudian wanita kulit putih.
32
Di Amerika Serikat, perempuan kulit hitam 4 kali lebih mungkin untuk memiliki SLE
dibandingkan wanita kulit putih. Sebuah tinjauan SLE di berbagai negara Asia-
Pasifik mengungkapkan variasi dalam tingkat prevalensi dan kelangsungan hidup.
Sebagai contoh, tingkat prevalensi keseluruhan berkisar 4,3-45,3 per 100.000, dan
kejadian secara keseluruhan berkisar 0,9-3,1 per 100.000 per tahun. Selain itu, orang-
orang Asia dengan SLE memiliki tingkat lebih tinggi dari keterlibatan ginjal
dibandingkan kulit putih lakukan, dan keterlibatan jantung adalah penyebab utama
kematian di Asia.
(Bartels M, 2014)
3. Memahami dan Menjelaskan tentang Sabar, Ikhlas dan Ridho dalam
Menghadapi musibah
1. SABAR
Definisi sabar Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti: al-habs atau al-kaff
(menahan), Allah berfirman: والعشي بالغداة ربهم يدعىن الذين مع نفسك واصبز
33
“Dan bersabarlah kamu bersama dengan orang-orang yang menyeru Rabbnya di
pagi dan senja hari.” (Al-Kahfi: 28) Maksudnya: tahanlah dirimu bersama mereka.
Secara istilah, definisi sabar adalah: menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencari keridhaan Allah, Allah berfirman:
ربهم وجه ابتغاء صبزوا والذين
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Rabbnya” (Ar-Ra’d: 22).
Macam – macam sabar Sabar terdiri dari 3 macam, yaitu: 1. sabar dalam
melaksanakan ketaatan kepada Allah 2. sabar dalam meninggalkan perbuatan
maksiat terhadap Allah 3. sabar dalam menerima taqdir yang menyakitkan.
Surga Allah Untuk orang yang Sabar
Dan dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka dengan surga
dan pakaian sutra (QS Al-Insan : 12)
Sabar menghadapi penyakit serta keutamaannya.
Tidak ada orang yang ingin ditimpa penyakit. Meskipun demikian ternyata ada
maksud tertentu dari Allah atas penyakit yang diderita hamba-Nya.
“Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali
Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-
dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.” (Imam Muslim)
Ayat-Ayat Al-Quran
Al-Baqarah 152-156
152. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu,
dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.
153. Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
154. Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan
Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi
kamu tidak menyadarinya.
155. Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
156. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan:
"Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun".
34
Mengenai sabar, Allah SWT berfirman, “wahai sekalian orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu sekalian dan teguhkanlah kesabaranmu itu dan tetaplah
bersiap siaga” (QS.Ali imran : 200) Ayat ini memerintahkan untuk bersabar dalam
menjalani ketaatan ketika mengalami musibah, menahan diri dari maksiat dengan
jalan beribadah dan berjuang melawan kekufuran, serta bersiap siaga penuh untuk
berjihad di jalan Allah SWT. Tentang ayat ini, Sahl bin Sa’ad meriwayatkan
sebuah hadis dari Rasulullah SAW bahwa, “Satu hari berjihad di jalan Allah itu
lebih baik ketimbang dunia dengan segala isinya” (HR. Al-Bukhari dan At-
Tirmidzi).
2. IKHLAS
Definisi ikhlas Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak
tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Definisi ikhlas menurut
istilah syar’i (secara terminologi) Syaikh Abdul Malik menjelaskan, Para ulama
bervariasi dalam mendefinisikan ikhlas namun hakikat dari definisi-definisi
mereka adalah sama. Diantara mereka ada yang mendefenisikan bahwa ikhlas
adalah “menjadikan tujuan hanyalah untuk Allah tatkala beribadah”, yaitu jika
engkau sedang beribadah maka hatimu dan wajahmu engkau arahkan kepada
Allah bukan kepada manusia. Ada yang mengatakan juga bahwa ikhlas adalah
“membersihkan amalan dari komentar manusia”, yaitu jika engkau sedang
melakukan suatu amalan tertentu maka engkau membersihkan dirimu dari
memperhatikan manusia untuk mengetahui apakah perkataan (komentar) mereka
tentang perbuatanmu itu. Cukuplah Allah saja yang memperhatikan amalan
kebajikanmu itu bahwasanya engkau ikhlas dalam amalanmu itu untukNya. Dan
inilah yang seharusnya yang diperhatikan oleh setiap muslim, hendaknya ia tidak
menjadikan perhatiannya kepada perkataan manusia sehingga aktivitasnya
tergantung dengan komentar manusia, namun hendaknya ia menjadikan
perhatiannya kepada Robb manusia, karena yang jadi patokan adalah keridhoan
Allah kepadamu (meskipun manusia tidak meridhoimu).
Ayat – ayat Al-Quran tentang ikhlas:
"Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)
kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)." (QS. Az-
Zumar: 2-3). "Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah
35
Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama."
(QS. Az- Zumar: 2-3).
3. RIDHO
Definisi ridho Ridho ( ) berarti suka, rela, senang, yang berhubungan dengan
takdir (qodha dan qodar) dari Allah. Ridho adalah mempercayai sesungguh-
sungguhnya bahwa apa yang menimpa kepada kita, baik suka maupun duka adalah
terbaik menurut Allah. Dan apapun yang digariskan oleh Allah kepada hamba-Nya
pastilah akan berdampak baik pula bagi hamba-Nya.
Macam – macam ridho
Menurut Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ridho terhadap takdir Allah
terbagi menjadi tiga macam:
1. Wajib direlakan, yaitu kewajiban syariat yang harus dijalankan oleh umat Islam
dan segala sesuatu yang telah ditetapkan-Nya. Seluruh perintah-Nya haruslah
mutlak dilaksanakan dan seluruh larangan-Nya haruslah dijauhkan tanpa ada
perasaan bimbang sedikitpun. Yakinlah bahwa seluruhnya adalah untuk
kepentingan kita sebagai umat-Nya.
2. Disunnahkan untuk direlakan, yaitu musibah berupa bencana. Para ulama
mengatakan ridho kepada musibah berupa bencana tidak wajib untuk direlakan
namun jauh lebih baik untuk direlakan, sesuai dengan tingkan keridhoan seorang
hamba. Namun rela atau tidak, mereka wajib bersabar karenanya. Manusia bisa
saja tidak rela terhadap sebuah musibah buruk yang terjadi, tapi wajib bersabar
agar tidak menyalahi syariat. Perbuatan putus asa, hingga marah kepada Yang
Maha Pencipta adalah hal-hal yang sangat diharamkan oleh syariat.
3. Haram direlakan, yaitu perbuatan maksiat. Sekalipun hal tersebut terjadi atas
qodha Allah, namun perbuatan tersebut wajib tidak direlakan dan wajib untuk
dihilangkan. Sebagaimana para nabi terdahulu berjuang menghilangkan
kemaksiatan dan kemungkaran di muka bumi.
Ayat al-quran tentang ridho
“Sesungguhnya dien atau agama atau jalan hidup (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
36
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab
ayat 21)
Daftar Pustaka
Al-Quran Tafsir Per Kata, Tajwid Kode Angka, Alhidayah. Karim.
Baratawidjaja KG, Rengganis I.(2012). Imunologi Dasar. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Bartels M, Christie.(2014). Systemic Lupus Erythematosus. Website:
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview#a0156. diakses: 21 May 2014.
37
Editor : Prof. DR. Adhi Juanda. Anggota Editor : dr. Mochtar hamzah, DR. Siti Aisah.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketiga. Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin
FKUI. Jakarta, 1999
Hahn,Bevra et al.(2005). “Dubois Dubois' lupus erythematosus”. Philadelphia:Lippincott
Williams & Wilkin
Kasjmir, Yoga et al.(2014). “Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik”.
Website: http://reumatologi.or.id/var/rekomendasi/Rekomendasi_Lupus.pdf. diakses: 21
May 2014.
Kindt, T.J., Goldsby, R.A. Osborne, B.A., & Kuby, J.(2007). Kuby Immunology (6 th ed).
New York: McGraw-Hill Medical
Mckinnon M K, Manzi S.(2007) . Cardiovascular Manifestations of Lupus. Dubois’
Lupus Erythematosus, 7th ed. Vol 1. Lipincot Williams & Wilkins, Philadelphia. 2007;
663-676
Sudoyo, Aru W. et.al.(2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi V. Jakarta :
Interna Publishing
Utomo, Wicaksono N.(2012). Hubungan Antara Aktivitas Penyakit dengan Status
Kesehatan Pasien LES (Lupus Eritematosus Sistemik) di RSUP dr. Kariadi, Semarang.
Yuliasih.(2011). “Penatalaksanaan Systema Lupus Erythematosus”. Website:
http://penelitian.unair.ac.id/artikel_dosen_Penatalaksanaan%20Systemic%20Lupus
%20Erythematosus_4151_1989. diakses: 21 May 2014.
38