15
Regionalisme Kritis pada Projek Revitalisasi Taman Balekambang di Kota Surakarta Wisnu Suryanto Program Studi Rancang Kota Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung e-mail : [email protected] Abstrak Kota Solo (Surakarta) saat ini tengah bangkit dari keterpurukan pasca reformasi 1998 lalu yang nyaris meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan kota. Upaya untuk meraih lagi kejayaan sebagai salah satu kota utama di Jawa Tengah dihadapkan pada dua pilihan, membangun kota dengan hanya melihat kedepan mengikuti derasnya arus globalisasi atau membangun kota dengan tetap refleksi ke belakang melihat aspek-aspek sejarah masa lampau yang telah membesarkan kota ini. Dibawah pimpinan baru pilihan mayoritas warga kota, Walikota Joko Widodo, figur yang dinilai kompeten dan berwawasan jauh kedepan, akhirnya memilih strategi yang kedua : mencanangkan pembangunan dan penataan kota dengan konsep berkelanjutan yang tetap bertumpu kepada penegasan identitas kota Solo sebagai “kota maju dan berbudaya”. Konteks berbudaya yang dimaksud disini adalah tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal (genius loci) dan tradisional kota dalam setiap aspek pembangunan baru (new development), pembangunan kembali (reconstruction) maupun penataan kembali (revitalization) objek-objek fisik di dalam ruang kota. Salah satu program pemerintah kota adalah mengembalikan ruang-ruang publik kota yang telah lama pudar atau hilang, dengan melakukan revitalisasi taman-taman di tengah kota seperti Taman Sriwedari dan Taman Balekambang yang hampir berusia satu abad. Pada 1

WISNU RK5101

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: WISNU RK5101

Regionalisme Kritis pada

Projek Revitalisasi Taman Balekambang

di Kota Surakarta

Wisnu SuryantoProgram Studi Rancang Kota

Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan KebijakanInstitut Teknologi Bandung

e-mail : [email protected]

Abstrak

Kota Solo (Surakarta) saat ini tengah bangkit dari keterpurukan pasca reformasi 1998 lalu yang nyaris

meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan kota. Upaya untuk meraih lagi kejayaan sebagai salah satu

kota utama di Jawa Tengah dihadapkan pada dua pilihan, membangun kota dengan hanya melihat

kedepan mengikuti derasnya arus globalisasi atau membangun kota dengan tetap refleksi ke belakang

melihat aspek-aspek sejarah masa lampau yang telah membesarkan kota ini.

Dibawah pimpinan baru pilihan mayoritas warga kota, Walikota Joko Widodo, figur yang dinilai

kompeten dan berwawasan jauh kedepan, akhirnya memilih strategi yang kedua : mencanangkan

pembangunan dan penataan kota dengan konsep berkelanjutan yang tetap bertumpu kepada

penegasan identitas kota Solo sebagai “kota maju dan berbudaya”. Konteks berbudaya yang dimaksud

disini adalah tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal (genius loci) dan tradisional kota dalam

setiap aspek pembangunan baru (new development), pembangunan kembali (reconstruction) maupun

penataan kembali (revitalization) objek-objek fisik di dalam ruang kota.

Salah satu program pemerintah kota adalah mengembalikan ruang-ruang publik kota yang telah lama

pudar atau hilang, dengan melakukan revitalisasi taman-taman di tengah kota seperti Taman Sriwedari

dan Taman Balekambang yang hampir berusia satu abad. Pada paper ini akan dibahas bagaimana

Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) mempengaruhi strategi pemerintah kota Solo dalam upaya

merevitalisasi Taman Balekambang melalui pendekatan perencanaan yang berusaha

menggabungan secara harmonis kemajuan teknologi dalam kemasan lokal dan mempertahankan

karakter tradisional?

Kata kunci: regionalisme kritis, genius loci, revitalisasi, Surakarta-Solo

1

Page 2: WISNU RK5101

Latar Belakang Sejarah

Pada awalnya, Kota Surakarta merupakan suatu desa yang dihuni oleh masyarakat kuli.

Mereka tinggal di tepian Bengawan Solo dan bekerja untuk majikan mereka yang berada di Kadipaten

Pajang. Nama desa Sala diambil dari nama pimpinan mereka yang disebut Ki-Soloh atau Ki-Solo

ataupun Ki Sala. Ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan

Tumenggung Mangkuyudo beserta komandan pasukan Belanda J.A.B Van Hohendorff untuk mencari

lokasi ibukota Kerajaan Mataram Islam yang berasal dari Kartasura yang sebelumnya telah

berpindah sebanyak tiga kali, yaitu, ke Kerta (1601), Plered (1613) dan Kartasura (1677). Semenjak

itu, Desa Sala yang berada pada tepian Bengawan Solo berubah menjadi Surakarta. Pada masa

berikutnya, Kerajaan Mataram terpecah sebanyak tiga kali. Pada tahun 1755 terpecah menjadi dua

kerajaan yaitu Kasunanan dan Kasultanan. Pada tahun 1757 terpecah menjadi tiga kerajaan yaitu

Kasunanan, Kasultanan dan Mangkunegaran. Dan akhirnya terpecah menjadi empat kerajaan pada

tahun 1812 yaitu, Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran dan Pakualaman. Kerajaan yang

berkembang di kota Solo adalah kerajaan Kasunanan dan swapraja Mangkunegaran.

Taman Balekambang adalah sebuah ikon kejayaan Solo di masa lampau yang berada di bawah

naungan swapraja Mangkunegaran. Dibangun oleh Sorjosoeparto yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran

Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro VII pada 26 Oktober 1921, Balekambang adalah sebuah

manifestasi dari kecintaan Sorjosoeparto terhadap kedua putri tertua beliau yang bernama Partini dan

Partinah. Taman Balekambang pada masa dulu tidak berdiri sendiri, ada dua bagian dari taman tersebut.

Yang pertama adalah Partini tuin (taman air Partini) dan Partinah bosch (hutan kota Partinah) yang

merupakan satu kesatuan dari taman Balekambang ini. Konsep awal pembangunan Balekambang adalah

sebagai ruang publik yang meniru hutan buatan dan taman air yang ada di negeri Belanda.

Dimanifestasikan sesuai dengan kesukaan Partini akan taman air dan Partinah akan pemandangan hijau

yang teduh.

Seperti yang diungkap dalam babad Solo karya RM Sajid ”Ing akhir tahun 1921 dipun bikak

satungiling taman hiburan ingkang resminipun nama ‘Partini Tuin’, tegesipun Taman Partini. Partini

punika putra dalem ingkang sepuh piyambak. Nanging umum mastani Balekambang.” (Pada akhir tahun

1921, dibuka sebuah taman hiburan yang resminya bernama Partini Tuin, yang artinya Taman Partini.

Partini itu putra dalem yang tertua. Namun umum menyebutnya dengan nama Balekambang).

2

Page 3: WISNU RK5101

Disebutnya sebagai “Balekambang” karena konon katanya berasal dari kata Bale, yang artinya

Balai atau rumah dan Kambang, yang artinya mengapung. Keduanya adalah unsur bahasa jawa.

Penamaan balekambang sepertinya berasal dari perspektif apung yang akan kita lihat pada rumah-

rumahan yang berada di seberang kolam Partini, seolah-olah rumah itu mengapung karena di depannya

terhampar kolam buatan.

Daerah Resapan dan Persaingan Dua Raja

Tempat seluas 10 ha itu merupakan sebuah simbol kebesaran swapraja Mangkunegaran. Selain

sebagai daerah resapan air dan tata air kota, Balekambang juga di fungsikan menjadi taman rekreasi

dan memperindah tata ruang kota. Mangkraknya kawasan Balekambang nampaknya memaksa sebuah

revitalisasi, dan revitalisasi itu kini telah terealisasikan. Pemkot Solo mengalokasikan dana sebesar 7,5

Miliar rupah untuk merevitalisasi taman Balekambang, mengembalikan kejayaan masa lampaunya

dengan tidak menghilangkan konsep aslinya, yakni sebagai hutan buatan dan ruang publik yang juga

berfungsi sebagai daerah resapan air dan paru-paru kota.

Hutan kota taman Balekambang yang juga difungsikan sebagai daerah resapan air ini disebut-

sebut sebagai bentuk persaingan anatara Mangkunegoro VII dan Paku Buwono X dari Kraton Kasunanan.

Paku Buwana X juga memiliki Kebon rojo atau yang sekarang kita kenal dengan Sriwedari yang di kala itu

juga difungsikan sebagai daerah resapan di Solo. Kedua daerah resapan itu mengambil air dari waduk

cengklik yang ada diBoyolali untuk mebersihkan saluran air bawah tahan di kota Solo dan

mengalirkannya ke Kali Pepe.

3

Page 4: WISNU RK5101

Ikon Srimulat, Ketoprak Tobong dan Revitalisasi

Gedung ketoprak adalah ikon kejayaan Taman Balekambang sebelum “kehilangan roh” di era

1980-an. Di gedung inilah legenda hidup Srimulat dilahirkan oleh tangan Teguh Srimulat, yang dilahirkan

dengan nama Kho Tjien Tiong. Namun kejayaan Srimulat di Taman Balekambang ini tidak bertahan lama,

pengurus dan pemainnya banyak yang memilih hijrah ke Surabaya dan Jakarta. Selanjutnya gedung

bekas Srimulat dipakai Ketoprak Tobong atau yang dikenal dengan ketoprak Balekambang, kelompok

kesenian tradisional lokal Jawa ini juga sempat merasakan manisnya kebesaran Taman Balekambang.

Dengan memanfaatkan bekas gedung Srimulat Solo, komunitas tobong terus berkarya dan berkesenian

di sini. Hingga di era akhir 80-an dengan semakin berkemangnya media hiburan terutama televisi, para

penonton seakan segan untuk melirik kesenian ini hingga benar-benar menyebabkan mati surinya

kesenian ini seiring dengan memudarnya fungsi Taman Balekambang sebagai ruang publik kota.

Kemudian selama hampir 20 tahun semenjak itu kawasan Taman Balekambang ditelantarkan,

tidak terurus dan berkembang menjadi ruang negatif dimana sempat dijadikan kawasan hiburan malam

ilegal dengan beberapa warung menyerupai bar, karaoke dan panti pijat liar termasuk sebagai tempat

mangkal PSK jalanan.

Sekarang di era Walikota Joko Widodo Taman Balekambang telah direvitalisasi dalam rangka

mengembalikan kejayaan masa lalunya sebagai salah satu ruang publik utama masyarakat kota Solo.

Pemugaran dan penambahan fasilitas sebaik mungkin, sanitasi dan aspek kebersihan juga menjadi salah

satu perhatian penataan kawasan ini. Lahan parkir yang luas dan fasilitas hot spot serta shelter bagi

pedagang kaki lima tidak ketinggalan disediakan untuk kenyamanan pengunjung. Bangunan bekas

Ketoprak direnovasi menjadi gedung pertunjukan berteknologi modern, gedung ini sebagai tempat

diadakannya pagelaran, pameran seni, ceramah, sarasehan, publikasi dan informasi seni. Gedung

pertunjukan ini juga harus mampu mewadahi aktivitas masyarakat dalam bidang seni budaya, baik

kesenian tradisional Jawa maupun kesenian kreasi baru, tidak hanya menampilkan pertunjukan ketoprak

seperti semula.

4

Page 5: WISNU RK5101

Regionalisme Kritis

Kelelahan dan kebosanan akan arus global yang membuat hilangnya identitas ruang kota yang

dulunya unik dalam suatu tempat telah memberi angin kesadaran bagi sebagian orang untuk (kembali)

menggali atau (mungkin hanya) memoles nilai-nilai lokal tradisional yang pernah ada. Akan tetapi

apakah nilai-nilai lokal tersebut sepenuhnya dapat menjawab permasalahan aktual lagi? Karena ketika

arsitektur tradisional dikembangkan, mulai dipertanyakan juga apakah penerapan konsepsi arsitektur

tradisional sekarang ini sudah berada pada puncaknya?. Saat ini mulai dirasakan rumusan-rumusan yang

bahkan pada beberapa daerah sudah di-’Perda’-kan, dipedomani dalam pemberian Ijin Mendirikan

Bangunan (IMB), sangat membatasi kreativitas dan bahkan sepertinya arsitektur tradisional hanya akan

berhenti sampai di situ saja.

Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) berusaha menjawab pertanyaan diatas dengan

membangun arsitektur yang bisa jujur bertutur tentang budaya lokal, tradisional dan karakter iklimnya,

namun juga lentur dalam mengakrabi laju teknologi modern. Pendekatan yang lebih menekankan pada

cara “berarsitektur bukan pada gaya” ini kemudian disebut dengan nama Regionalisme. Semangat ini

memang secara tidak langsung lahir dalam atmosfer gerakan arsitektur Postmodern.

Regionalisme era terakhir ini bukanlah counter culture seperti periode perang ideologi.

Regionalisme mutakhir adalah proses pencarian Identitas atau usaha pencitraan suatu komunitas yang

mulai tidak nyaman dalam gelombang global yang makin panjang amplitudonya dimana semuanya serba

seragam dalam trend yang silih berganti sangat cepat. Budaya regional adalah budaya yang lahir dari

beberapa aspek: local in local interaction diikuti asimilasi dengan budaya global dan teknologi. Budaya

regional dibandingkan budaya lokal tradisional lebih toleran, dinamis, memiliki ranah yang lebih luas,

fleksibel akan tetapi masih bisa dikenali ciri-nya dimana tiap daerah menentukan bentuk atau

arsitekturalnya sendiri tanpa meniru daerah lainnya (Douglas S. Kelbaugh).

5

Page 6: WISNU RK5101

Regionalisme Kritis pada Projek Revitalisasi Taman Balekambang

Bagaimana Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) mempengaruhi strategi pemerintah kota

Solo dalam upaya merevitalisasi Taman Balekambang akan dibahas dalam 5 (lima) poin berikut :

1. Sense of Place

Secara non-fisik revitalisasi Taman Balekambang dilandaskan pada suatu attitude (sikap)

berarsitektur yang menguatkan genius loci (spirit of a place), dimana nama “Taman

Balekambang” tetap dipertahankan seperti sedia kala pertama kali publik menyebutnya, tidak

ditambahi atau dimodifikasi untuk lebih menguatkan kembali keberadaan taman ini sebagai

ruang milik publik kota Solo yang sempat hilang. Sedangkan secara fisik elemen-elemen yang

dipakai dalam projek revitalisasi Taman Balekambang cukup responsif terhadap lingkungan

setempat adaptif dengan Iklim lokal, topografi, vegetasi dan material bangunan.

2. Sense of Nature

Alam merupakan contoh yang baik dalam mendesain karena mencerminkan semangat,

keindahan dan keberlanjutan. Memberikan inspirasi tentang keanekaragaman, symbiosis,

sinergi, dan keseimbangan. Banyak bentuk dan pola elemen fisik di Taman Balekambang yang

terinspirasi oleh nature (alam), seperti spiral yang diterapkan pada amphitheater yang berada di

ruang terbuka menyatu dengan alam sekitar.

Fungsi alami Taman Balekambang sebagai daerah resapan dan hutan kota tetap dipertahankan,

dengan elemen air berupa danau buatan dan air mancur sebagai penyeimbang sekaligus focal

point. Untuk lebih menguatkan aspek alami, pemerintah kota Solo menambahkan beberapa

ekor binatang rusa dan dibiarkan berkeliaran bebas di sekitar taman dan berinteraksi dengan

manusia tanpa merasa terganggu atau terancam.

6

Page 7: WISNU RK5101

3. Sense of History

Sejarah merupakan preseden yang baik dalam mendesain. Arsitek dan perancang kota selalu

terinspirasi oleh masa lalu. Bangunan bersejarah tidak secara mentah-mentah diambil sebagai

bentuk, tetapi sebagai time tested architectural.

Taman Balekambang memiliki kaitan sejarah yang kuat dengan keluarga Mangkunegaran.

Kawasan Taman Balekambang memiliki nilai historis tinggi karena merupakan daerah hijau yang

dulunya taman milik pemerintahan Keraton Mangkunegaran. Walaupun sekarang taman ini

menjadi milik publik dibawah pengelolaan Pemerintah Kota Surakarta namun aspek sejarah

tetap dimunculkan kembali dengan dibangunnya patung dua putri Mangkunegoro, patung

Partini di tengah danau buatan dan patung Partinah di tengah hutan kota.

Selain itu sejarah seni pertunjukan di Taman Balekambang tetap dilestarikan dengan

menyediakan ruang pertunjukan baik tertutup (Gedung Pertunjukan) maupun tempat terbuka

(amphitheater). Secara regular diadakan pertunjukan tidak hanya ketoprak tapi juga kegiatan-

kegiatan seni lain yang diprakarsai elemen-elemen masyarakat Kota Surakarta

7

Page 8: WISNU RK5101

4. Sense of Craft

Konstruksi bangunan kini banyak mengedepanan aspek efisiensi dan penampilan sehingga

terlihat kurang natural dan kurang mengutamakan aspek estetika seni. Dibandingkan dengan

produk-produk “manufaktur”, architectural craft merupakan produk yang mahal karena

merupakan produk “eksklusif” yang hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang berketerampilan

(skilled) tertentu dan terlatih (trained).

“Architectural craft” ini dimunculkan dengan jelas pada beberapa elemen fisik projek revitalisasi

Taman Balekambang, salah satu yang paling menonjol dan dikerjakan dengan optimal adalah

elemen dekoratif berupa motif ukiran tradisional Jawa-Solo pada gerbang masuk utama Taman

Balekambang.

5. Sense of Limits

Merupakan kebutuhan akan keterbatasan fisik dan batasan sementara untuk membingkai dan

membatasi ruang manusia dengan aktifitasnya. Kondisi di mana elemen desain diatur oleh

aturan geometri (aksis, simetri, frontality, dll) untuk menghasilkan ruang arsitektur dan urban

design yang mengedepankan skala manusia di dalamnya.

Meskipun secara kuat dipengaruhi oleh empat aspek diatas (sense of place, nature, history,

craft) yang mempunyai karakter lebih bebas dan apa adanya, namun dalam perancangan projek

revitalisasi Taman Balekambang ini tetap dilakukan dengan mengacu pada kaidah-kaidah teknis

perancangan arsitektur beserta batasan-batasannya berupa proporsi, dimensi dan skala, dengan

memperhatikan kondisi tapak, kebutuhan ruang, hubungan dengan zona-zona di dalam kawasan

taman, serta tipologi orientasi sumbu pada kawasan.

8

Page 9: WISNU RK5101

Penutup

• Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) merupakan karya yang mengusulkan ketahanan

terhadap homogenasi lingkungan visual melalui tradisi bangunan lokal.

• Regionalisme merupakan suatu aliran arsitektur yang selalu melihat ke belakang, tetapi tidak

sekedar menggunakan karakteristik regional untuk mendekor tampak bangunan atau hanya

menjadi topi tempelan belaka.

• Regionalisme merupakan salah satu perkembangan arsitektur postmodern yang mempunyai

perhatian besar pada ciri kedaerahan, terutama tumbuh di negara berkembang.

• Ciri kedaerahan meliputi budaya setempat, iklim dan teknologi pada pada kurun tertentu.

• Regionalisme Kritis membantu menghubungkan ke makna universal dalam lingkungan binaan.

• Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa projek revitalisasi Taman Balekambang di Kota

Surakarta ini merupakan suatu upaya membangkitkan kembali (revitalisasi) kawasan ruang

publik kota yang hilang sehingga mampu berfungsi kembali sebagai hutan kota dan daerah

resapan sekaligus sebagai tempat rekreasi dan wisata budaya dalam kota, melalui pendekatan

perencanaan lima aspek Regionalisme Kritis yang menggabungan secara harmonis antara

kemajuan teknologi, lingkungan dengan identitas dan budaya local tradisional serta tetap

mempertahankan karakter ruang kota tanpa harus terjebak ke dalam kekakuan

keterbatasan ruang lokal dan visualisasi semu.

• Kondisi Taman Balekambang setelah revitalisasi diharapkan mampu meningkatakan kualitas

ruang menjadi kawasan yang sesuai dengan fungsi, kegiatan dan tata guna lahan kota Solo.

Selain itu atraksi yang ditampilkan dalam kawasan Taman Balekambang seperti pertunjukan

kethoprak dan lainnya dihidupkan kembali agar mampu menarik pengunjung atau wisatawan.

Fungsi Taman Balekambang sebagai ruang terbuka publik dikembalikan dan pola tata hijau yang

dikhawatirkan menurun akan tetap terjaga kualitas vegetasinya.

9

Page 10: WISNU RK5101

DAFTAR PUSTAKA:

Kelbaugh, Douglas S. (1997) Critical Regionalism: An Architecture of Place.Univ.of Washington press

Cuthbert, Alexander R. (2003) Designing Cities: Critical Readings in Urban Design. Blackwell publishing Prabowo, Agam D. (2010) Pengaruh Tiga Konsep Ruang pada Morfologi Kota Surakarta. Magister RK

SAPPK. Institut Teknologi Bandung

Perdana, Gilang (2003) Sejarah Taman Balekambang, UNS press. Surakarta

Jencks, M (1987) The Language of Post-Modern Archiecture. Academy Group.London

Budiharjo, E (1989) Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Gajah Mada

press. Yogyakarta

Mangunwijaya.Y.B (1988) Wastu Citra. PT.Gramedia Jakarta

Peursen. CA (1993) Strategi Kebudayaan, Kanisius Yogyakarta

Piliang, VA ( 1993) Post-Modernisme. Institut Teknologi Bandung

WEBSITE:

www.surakarta.go.id

www.elvinmiradi.com/topik/ regionalisme + kritis .html

http://ridwankamil.wordpress.com/2008/10/02/regionalisme-sebagai-jalan-tengah

www.wisatasolo.com

www.skyscrapercity.com

10

Page 11: WISNU RK5101

TUGAS BESAR MK TEORI RANCANG KOTA (RK 5101)

Dosen : Himasari Hanan, Dr.Ing

Regionalisme Kritis pada

Projek Revitalisasi Taman Balekambang

di Kota Surakarta

Wisnu Suryanto25610015

Program Studi Magister Rancang Kota

Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan

Institut Teknologi Bandung

11

Page 12: WISNU RK5101

2010

12