Upload
om-wisnu
View
119
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
Regionalisme Kritis pada
Projek Revitalisasi Taman Balekambang
di Kota Surakarta
Wisnu SuryantoProgram Studi Rancang Kota
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan KebijakanInstitut Teknologi Bandung
e-mail : [email protected]
Abstrak
Kota Solo (Surakarta) saat ini tengah bangkit dari keterpurukan pasca reformasi 1998 lalu yang nyaris
meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan kota. Upaya untuk meraih lagi kejayaan sebagai salah satu
kota utama di Jawa Tengah dihadapkan pada dua pilihan, membangun kota dengan hanya melihat
kedepan mengikuti derasnya arus globalisasi atau membangun kota dengan tetap refleksi ke belakang
melihat aspek-aspek sejarah masa lampau yang telah membesarkan kota ini.
Dibawah pimpinan baru pilihan mayoritas warga kota, Walikota Joko Widodo, figur yang dinilai
kompeten dan berwawasan jauh kedepan, akhirnya memilih strategi yang kedua : mencanangkan
pembangunan dan penataan kota dengan konsep berkelanjutan yang tetap bertumpu kepada
penegasan identitas kota Solo sebagai “kota maju dan berbudaya”. Konteks berbudaya yang dimaksud
disini adalah tetap mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal (genius loci) dan tradisional kota dalam
setiap aspek pembangunan baru (new development), pembangunan kembali (reconstruction) maupun
penataan kembali (revitalization) objek-objek fisik di dalam ruang kota.
Salah satu program pemerintah kota adalah mengembalikan ruang-ruang publik kota yang telah lama
pudar atau hilang, dengan melakukan revitalisasi taman-taman di tengah kota seperti Taman Sriwedari
dan Taman Balekambang yang hampir berusia satu abad. Pada paper ini akan dibahas bagaimana
Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) mempengaruhi strategi pemerintah kota Solo dalam upaya
merevitalisasi Taman Balekambang melalui pendekatan perencanaan yang berusaha
menggabungan secara harmonis kemajuan teknologi dalam kemasan lokal dan mempertahankan
karakter tradisional?
Kata kunci: regionalisme kritis, genius loci, revitalisasi, Surakarta-Solo
1
Latar Belakang Sejarah
Pada awalnya, Kota Surakarta merupakan suatu desa yang dihuni oleh masyarakat kuli.
Mereka tinggal di tepian Bengawan Solo dan bekerja untuk majikan mereka yang berada di Kadipaten
Pajang. Nama desa Sala diambil dari nama pimpinan mereka yang disebut Ki-Soloh atau Ki-Solo
ataupun Ki Sala. Ketika Sunan Pakubuwana II memerintahkan Tumenggung Honggowongso dan
Tumenggung Mangkuyudo beserta komandan pasukan Belanda J.A.B Van Hohendorff untuk mencari
lokasi ibukota Kerajaan Mataram Islam yang berasal dari Kartasura yang sebelumnya telah
berpindah sebanyak tiga kali, yaitu, ke Kerta (1601), Plered (1613) dan Kartasura (1677). Semenjak
itu, Desa Sala yang berada pada tepian Bengawan Solo berubah menjadi Surakarta. Pada masa
berikutnya, Kerajaan Mataram terpecah sebanyak tiga kali. Pada tahun 1755 terpecah menjadi dua
kerajaan yaitu Kasunanan dan Kasultanan. Pada tahun 1757 terpecah menjadi tiga kerajaan yaitu
Kasunanan, Kasultanan dan Mangkunegaran. Dan akhirnya terpecah menjadi empat kerajaan pada
tahun 1812 yaitu, Kasunanan, Kasultanan, Mangkunegaran dan Pakualaman. Kerajaan yang
berkembang di kota Solo adalah kerajaan Kasunanan dan swapraja Mangkunegaran.
Taman Balekambang adalah sebuah ikon kejayaan Solo di masa lampau yang berada di bawah
naungan swapraja Mangkunegaran. Dibangun oleh Sorjosoeparto yang bergelar Kanjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya (KGPAA) Mangkunegoro VII pada 26 Oktober 1921, Balekambang adalah sebuah
manifestasi dari kecintaan Sorjosoeparto terhadap kedua putri tertua beliau yang bernama Partini dan
Partinah. Taman Balekambang pada masa dulu tidak berdiri sendiri, ada dua bagian dari taman tersebut.
Yang pertama adalah Partini tuin (taman air Partini) dan Partinah bosch (hutan kota Partinah) yang
merupakan satu kesatuan dari taman Balekambang ini. Konsep awal pembangunan Balekambang adalah
sebagai ruang publik yang meniru hutan buatan dan taman air yang ada di negeri Belanda.
Dimanifestasikan sesuai dengan kesukaan Partini akan taman air dan Partinah akan pemandangan hijau
yang teduh.
Seperti yang diungkap dalam babad Solo karya RM Sajid ”Ing akhir tahun 1921 dipun bikak
satungiling taman hiburan ingkang resminipun nama ‘Partini Tuin’, tegesipun Taman Partini. Partini
punika putra dalem ingkang sepuh piyambak. Nanging umum mastani Balekambang.” (Pada akhir tahun
1921, dibuka sebuah taman hiburan yang resminya bernama Partini Tuin, yang artinya Taman Partini.
Partini itu putra dalem yang tertua. Namun umum menyebutnya dengan nama Balekambang).
2
Disebutnya sebagai “Balekambang” karena konon katanya berasal dari kata Bale, yang artinya
Balai atau rumah dan Kambang, yang artinya mengapung. Keduanya adalah unsur bahasa jawa.
Penamaan balekambang sepertinya berasal dari perspektif apung yang akan kita lihat pada rumah-
rumahan yang berada di seberang kolam Partini, seolah-olah rumah itu mengapung karena di depannya
terhampar kolam buatan.
Daerah Resapan dan Persaingan Dua Raja
Tempat seluas 10 ha itu merupakan sebuah simbol kebesaran swapraja Mangkunegaran. Selain
sebagai daerah resapan air dan tata air kota, Balekambang juga di fungsikan menjadi taman rekreasi
dan memperindah tata ruang kota. Mangkraknya kawasan Balekambang nampaknya memaksa sebuah
revitalisasi, dan revitalisasi itu kini telah terealisasikan. Pemkot Solo mengalokasikan dana sebesar 7,5
Miliar rupah untuk merevitalisasi taman Balekambang, mengembalikan kejayaan masa lampaunya
dengan tidak menghilangkan konsep aslinya, yakni sebagai hutan buatan dan ruang publik yang juga
berfungsi sebagai daerah resapan air dan paru-paru kota.
Hutan kota taman Balekambang yang juga difungsikan sebagai daerah resapan air ini disebut-
sebut sebagai bentuk persaingan anatara Mangkunegoro VII dan Paku Buwono X dari Kraton Kasunanan.
Paku Buwana X juga memiliki Kebon rojo atau yang sekarang kita kenal dengan Sriwedari yang di kala itu
juga difungsikan sebagai daerah resapan di Solo. Kedua daerah resapan itu mengambil air dari waduk
cengklik yang ada diBoyolali untuk mebersihkan saluran air bawah tahan di kota Solo dan
mengalirkannya ke Kali Pepe.
3
Ikon Srimulat, Ketoprak Tobong dan Revitalisasi
Gedung ketoprak adalah ikon kejayaan Taman Balekambang sebelum “kehilangan roh” di era
1980-an. Di gedung inilah legenda hidup Srimulat dilahirkan oleh tangan Teguh Srimulat, yang dilahirkan
dengan nama Kho Tjien Tiong. Namun kejayaan Srimulat di Taman Balekambang ini tidak bertahan lama,
pengurus dan pemainnya banyak yang memilih hijrah ke Surabaya dan Jakarta. Selanjutnya gedung
bekas Srimulat dipakai Ketoprak Tobong atau yang dikenal dengan ketoprak Balekambang, kelompok
kesenian tradisional lokal Jawa ini juga sempat merasakan manisnya kebesaran Taman Balekambang.
Dengan memanfaatkan bekas gedung Srimulat Solo, komunitas tobong terus berkarya dan berkesenian
di sini. Hingga di era akhir 80-an dengan semakin berkemangnya media hiburan terutama televisi, para
penonton seakan segan untuk melirik kesenian ini hingga benar-benar menyebabkan mati surinya
kesenian ini seiring dengan memudarnya fungsi Taman Balekambang sebagai ruang publik kota.
Kemudian selama hampir 20 tahun semenjak itu kawasan Taman Balekambang ditelantarkan,
tidak terurus dan berkembang menjadi ruang negatif dimana sempat dijadikan kawasan hiburan malam
ilegal dengan beberapa warung menyerupai bar, karaoke dan panti pijat liar termasuk sebagai tempat
mangkal PSK jalanan.
Sekarang di era Walikota Joko Widodo Taman Balekambang telah direvitalisasi dalam rangka
mengembalikan kejayaan masa lalunya sebagai salah satu ruang publik utama masyarakat kota Solo.
Pemugaran dan penambahan fasilitas sebaik mungkin, sanitasi dan aspek kebersihan juga menjadi salah
satu perhatian penataan kawasan ini. Lahan parkir yang luas dan fasilitas hot spot serta shelter bagi
pedagang kaki lima tidak ketinggalan disediakan untuk kenyamanan pengunjung. Bangunan bekas
Ketoprak direnovasi menjadi gedung pertunjukan berteknologi modern, gedung ini sebagai tempat
diadakannya pagelaran, pameran seni, ceramah, sarasehan, publikasi dan informasi seni. Gedung
pertunjukan ini juga harus mampu mewadahi aktivitas masyarakat dalam bidang seni budaya, baik
kesenian tradisional Jawa maupun kesenian kreasi baru, tidak hanya menampilkan pertunjukan ketoprak
seperti semula.
4
Regionalisme Kritis
Kelelahan dan kebosanan akan arus global yang membuat hilangnya identitas ruang kota yang
dulunya unik dalam suatu tempat telah memberi angin kesadaran bagi sebagian orang untuk (kembali)
menggali atau (mungkin hanya) memoles nilai-nilai lokal tradisional yang pernah ada. Akan tetapi
apakah nilai-nilai lokal tersebut sepenuhnya dapat menjawab permasalahan aktual lagi? Karena ketika
arsitektur tradisional dikembangkan, mulai dipertanyakan juga apakah penerapan konsepsi arsitektur
tradisional sekarang ini sudah berada pada puncaknya?. Saat ini mulai dirasakan rumusan-rumusan yang
bahkan pada beberapa daerah sudah di-’Perda’-kan, dipedomani dalam pemberian Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB), sangat membatasi kreativitas dan bahkan sepertinya arsitektur tradisional hanya akan
berhenti sampai di situ saja.
Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) berusaha menjawab pertanyaan diatas dengan
membangun arsitektur yang bisa jujur bertutur tentang budaya lokal, tradisional dan karakter iklimnya,
namun juga lentur dalam mengakrabi laju teknologi modern. Pendekatan yang lebih menekankan pada
cara “berarsitektur bukan pada gaya” ini kemudian disebut dengan nama Regionalisme. Semangat ini
memang secara tidak langsung lahir dalam atmosfer gerakan arsitektur Postmodern.
Regionalisme era terakhir ini bukanlah counter culture seperti periode perang ideologi.
Regionalisme mutakhir adalah proses pencarian Identitas atau usaha pencitraan suatu komunitas yang
mulai tidak nyaman dalam gelombang global yang makin panjang amplitudonya dimana semuanya serba
seragam dalam trend yang silih berganti sangat cepat. Budaya regional adalah budaya yang lahir dari
beberapa aspek: local in local interaction diikuti asimilasi dengan budaya global dan teknologi. Budaya
regional dibandingkan budaya lokal tradisional lebih toleran, dinamis, memiliki ranah yang lebih luas,
fleksibel akan tetapi masih bisa dikenali ciri-nya dimana tiap daerah menentukan bentuk atau
arsitekturalnya sendiri tanpa meniru daerah lainnya (Douglas S. Kelbaugh).
5
Regionalisme Kritis pada Projek Revitalisasi Taman Balekambang
Bagaimana Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) mempengaruhi strategi pemerintah kota
Solo dalam upaya merevitalisasi Taman Balekambang akan dibahas dalam 5 (lima) poin berikut :
1. Sense of Place
Secara non-fisik revitalisasi Taman Balekambang dilandaskan pada suatu attitude (sikap)
berarsitektur yang menguatkan genius loci (spirit of a place), dimana nama “Taman
Balekambang” tetap dipertahankan seperti sedia kala pertama kali publik menyebutnya, tidak
ditambahi atau dimodifikasi untuk lebih menguatkan kembali keberadaan taman ini sebagai
ruang milik publik kota Solo yang sempat hilang. Sedangkan secara fisik elemen-elemen yang
dipakai dalam projek revitalisasi Taman Balekambang cukup responsif terhadap lingkungan
setempat adaptif dengan Iklim lokal, topografi, vegetasi dan material bangunan.
2. Sense of Nature
Alam merupakan contoh yang baik dalam mendesain karena mencerminkan semangat,
keindahan dan keberlanjutan. Memberikan inspirasi tentang keanekaragaman, symbiosis,
sinergi, dan keseimbangan. Banyak bentuk dan pola elemen fisik di Taman Balekambang yang
terinspirasi oleh nature (alam), seperti spiral yang diterapkan pada amphitheater yang berada di
ruang terbuka menyatu dengan alam sekitar.
Fungsi alami Taman Balekambang sebagai daerah resapan dan hutan kota tetap dipertahankan,
dengan elemen air berupa danau buatan dan air mancur sebagai penyeimbang sekaligus focal
point. Untuk lebih menguatkan aspek alami, pemerintah kota Solo menambahkan beberapa
ekor binatang rusa dan dibiarkan berkeliaran bebas di sekitar taman dan berinteraksi dengan
manusia tanpa merasa terganggu atau terancam.
6
3. Sense of History
Sejarah merupakan preseden yang baik dalam mendesain. Arsitek dan perancang kota selalu
terinspirasi oleh masa lalu. Bangunan bersejarah tidak secara mentah-mentah diambil sebagai
bentuk, tetapi sebagai time tested architectural.
Taman Balekambang memiliki kaitan sejarah yang kuat dengan keluarga Mangkunegaran.
Kawasan Taman Balekambang memiliki nilai historis tinggi karena merupakan daerah hijau yang
dulunya taman milik pemerintahan Keraton Mangkunegaran. Walaupun sekarang taman ini
menjadi milik publik dibawah pengelolaan Pemerintah Kota Surakarta namun aspek sejarah
tetap dimunculkan kembali dengan dibangunnya patung dua putri Mangkunegoro, patung
Partini di tengah danau buatan dan patung Partinah di tengah hutan kota.
Selain itu sejarah seni pertunjukan di Taman Balekambang tetap dilestarikan dengan
menyediakan ruang pertunjukan baik tertutup (Gedung Pertunjukan) maupun tempat terbuka
(amphitheater). Secara regular diadakan pertunjukan tidak hanya ketoprak tapi juga kegiatan-
kegiatan seni lain yang diprakarsai elemen-elemen masyarakat Kota Surakarta
7
4. Sense of Craft
Konstruksi bangunan kini banyak mengedepanan aspek efisiensi dan penampilan sehingga
terlihat kurang natural dan kurang mengutamakan aspek estetika seni. Dibandingkan dengan
produk-produk “manufaktur”, architectural craft merupakan produk yang mahal karena
merupakan produk “eksklusif” yang hanya bisa dikerjakan oleh orang-orang berketerampilan
(skilled) tertentu dan terlatih (trained).
“Architectural craft” ini dimunculkan dengan jelas pada beberapa elemen fisik projek revitalisasi
Taman Balekambang, salah satu yang paling menonjol dan dikerjakan dengan optimal adalah
elemen dekoratif berupa motif ukiran tradisional Jawa-Solo pada gerbang masuk utama Taman
Balekambang.
5. Sense of Limits
Merupakan kebutuhan akan keterbatasan fisik dan batasan sementara untuk membingkai dan
membatasi ruang manusia dengan aktifitasnya. Kondisi di mana elemen desain diatur oleh
aturan geometri (aksis, simetri, frontality, dll) untuk menghasilkan ruang arsitektur dan urban
design yang mengedepankan skala manusia di dalamnya.
Meskipun secara kuat dipengaruhi oleh empat aspek diatas (sense of place, nature, history,
craft) yang mempunyai karakter lebih bebas dan apa adanya, namun dalam perancangan projek
revitalisasi Taman Balekambang ini tetap dilakukan dengan mengacu pada kaidah-kaidah teknis
perancangan arsitektur beserta batasan-batasannya berupa proporsi, dimensi dan skala, dengan
memperhatikan kondisi tapak, kebutuhan ruang, hubungan dengan zona-zona di dalam kawasan
taman, serta tipologi orientasi sumbu pada kawasan.
8
Penutup
• Regionalisme Kritis (Critical Regionalism) merupakan karya yang mengusulkan ketahanan
terhadap homogenasi lingkungan visual melalui tradisi bangunan lokal.
• Regionalisme merupakan suatu aliran arsitektur yang selalu melihat ke belakang, tetapi tidak
sekedar menggunakan karakteristik regional untuk mendekor tampak bangunan atau hanya
menjadi topi tempelan belaka.
• Regionalisme merupakan salah satu perkembangan arsitektur postmodern yang mempunyai
perhatian besar pada ciri kedaerahan, terutama tumbuh di negara berkembang.
• Ciri kedaerahan meliputi budaya setempat, iklim dan teknologi pada pada kurun tertentu.
• Regionalisme Kritis membantu menghubungkan ke makna universal dalam lingkungan binaan.
• Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa projek revitalisasi Taman Balekambang di Kota
Surakarta ini merupakan suatu upaya membangkitkan kembali (revitalisasi) kawasan ruang
publik kota yang hilang sehingga mampu berfungsi kembali sebagai hutan kota dan daerah
resapan sekaligus sebagai tempat rekreasi dan wisata budaya dalam kota, melalui pendekatan
perencanaan lima aspek Regionalisme Kritis yang menggabungan secara harmonis antara
kemajuan teknologi, lingkungan dengan identitas dan budaya local tradisional serta tetap
mempertahankan karakter ruang kota tanpa harus terjebak ke dalam kekakuan
keterbatasan ruang lokal dan visualisasi semu.
• Kondisi Taman Balekambang setelah revitalisasi diharapkan mampu meningkatakan kualitas
ruang menjadi kawasan yang sesuai dengan fungsi, kegiatan dan tata guna lahan kota Solo.
Selain itu atraksi yang ditampilkan dalam kawasan Taman Balekambang seperti pertunjukan
kethoprak dan lainnya dihidupkan kembali agar mampu menarik pengunjung atau wisatawan.
Fungsi Taman Balekambang sebagai ruang terbuka publik dikembalikan dan pola tata hijau yang
dikhawatirkan menurun akan tetap terjaga kualitas vegetasinya.
9
DAFTAR PUSTAKA:
Kelbaugh, Douglas S. (1997) Critical Regionalism: An Architecture of Place.Univ.of Washington press
Cuthbert, Alexander R. (2003) Designing Cities: Critical Readings in Urban Design. Blackwell publishing Prabowo, Agam D. (2010) Pengaruh Tiga Konsep Ruang pada Morfologi Kota Surakarta. Magister RK
SAPPK. Institut Teknologi Bandung
Perdana, Gilang (2003) Sejarah Taman Balekambang, UNS press. Surakarta
Jencks, M (1987) The Language of Post-Modern Archiecture. Academy Group.London
Budiharjo, E (1989) Konservasi Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta. Gajah Mada
press. Yogyakarta
Mangunwijaya.Y.B (1988) Wastu Citra. PT.Gramedia Jakarta
Peursen. CA (1993) Strategi Kebudayaan, Kanisius Yogyakarta
Piliang, VA ( 1993) Post-Modernisme. Institut Teknologi Bandung
WEBSITE:
www.surakarta.go.id
www.elvinmiradi.com/topik/ regionalisme + kritis .html
http://ridwankamil.wordpress.com/2008/10/02/regionalisme-sebagai-jalan-tengah
www.wisatasolo.com
www.skyscrapercity.com
10
TUGAS BESAR MK TEORI RANCANG KOTA (RK 5101)
Dosen : Himasari Hanan, Dr.Ing
Regionalisme Kritis pada
Projek Revitalisasi Taman Balekambang
di Kota Surakarta
Wisnu Suryanto25610015
Program Studi Magister Rancang Kota
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung
11
2010
12