33
BAB I PENDAHULUAN Alopesia areata adalah penyakit yang ditandai dengan rontoknya rambut akibat proses inflamasi yang kronis dan berulang pada rambut terminal yang tidak disertai dengan pembentukan jaringan parut (non sikatrikal), skuamasi, maupun tanda-tanda atropi yang dapat terjadi pada pria, wanita, dan anak-anak. Penyakit ini biasanya bermanifestasi dengan ditemukannya area-area tertentu yang kehilangan rambut (mengalami kerontokan total) pada kulit kepala atau bagian tubuh yang berambut lainnya yang biasanya berbentuk bulat atau lonjong dengan batas yang tegas. Pada kasus yang berat, alopesia areata dapat berkembang menjadi kehilangan total seluruh rambut pada tubuh. Walaupun merupakan penyakit yang tidak mengancam nyawa, alopesia areata merupakan penyakit yang serius karena dapat memberikan efek yang negatif terhadap penderita, terutama secara psikologik, sosiologik dan kosmetik. 1 Alopesia areata dapat terjadi pada semua kelompok umur dan memiliki prevalensi yang sama antara pria dengan wanita. Namun, penyakit ini lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Dimana resiko untuk terkena alopesia areata selama masa hidup adalah 1,7%. 1 Di Inggris dan Amerika Serikat insiden 1

Whoop Alopecia Yaasss

Embed Size (px)

DESCRIPTION

yaas

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Alopesia areata adalah penyakit yang ditandai dengan rontoknya rambut akibat

proses inflamasi yang kronis dan berulang pada rambut terminal yang tidak

disertai dengan pembentukan jaringan parut (non sikatrikal), skuamasi, maupun

tanda-tanda atropi yang dapat terjadi pada pria, wanita, dan anak-anak. Penyakit

ini biasanya bermanifestasi dengan ditemukannya area-area tertentu yang

kehilangan rambut (mengalami kerontokan total) pada kulit kepala atau bagian

tubuh yang berambut lainnya yang biasanya berbentuk bulat atau lonjong dengan

batas yang tegas. Pada kasus yang berat, alopesia areata dapat berkembang

menjadi kehilangan total seluruh rambut pada tubuh. Walaupun merupakan

penyakit yang tidak mengancam nyawa, alopesia areata merupakan penyakit yang

serius karena dapat memberikan efek yang negatif terhadap penderita, terutama

secara psikologik, sosiologik dan kosmetik.1

Alopesia areata dapat terjadi pada semua kelompok umur dan memiliki prevalensi

yang sama antara pria dengan wanita. Namun, penyakit ini lebih sering terjadi

pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Dimana resiko untuk terkena

alopesia areata selama masa hidup adalah 1,7%.1 Di Inggris dan Amerika Serikat

insiden penyakit ini diperkirakan mencapai 2%. Sementara itu, di Cina sedikit

lebih banyak yaitu sekitar 3,8% dan sekitar 85,5% dari pasien-pasien tersebut

mengalami episode awal penyakit ini pada usia 40 tahun pada pria dan 60 tahun

pada wanita.2

1

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Etiologi

Alopesia areata dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti genetik, stres,

hormon, agen infeksi seperti cytomegalovirus (CMV), vaksinasi hepatitis B,

estrogen, depresi, cemas, gangguan mood, gangguan penyesuaian, dan agresi

akibat terganggunya aktivitas hypothalamic-pituitary adrenal (HPA).2 Pada

wanita defisiensi besi ternyata dapat menurunkan kemampuan proliferasi dari sel-

sel matriks folikel rambut. Selain itu, penyakit-penyakit tertentu, seperti gangguan

tiroid, vitiligo, anemia pernisiosa, diabetes, lupus erythematosus, myasthenia

gravis, lichen planus, autoimmune polyendocrine syndrome type I, celiac disease,

atopic dermatitis, Down Syndrome, dan candida endocrinopathy syndrome juga

dapat mengakibatkan terjadinya alopesia areata.2,3

2.2 Patogenesis

Pada dasarnya rambut mengalami pertumbuhan normal melalui mekanisme yang

terdiri dari 3 fase, yaitu (Gambar 1):4,5

1. Anagen (Fase Pertumbuhan)

Sel-sel matriks mengalami mitosis membentuk sel-sel baru, mendorong sel-

sel yang lebih tua ke atas serta berdiferensiasi membentuk lapisan-lapisan

folikel rambut. Kemudian folikel rambut yang terbentuk akan mengalami

keratinisasi untuk memperkuat struktur rambut. Lamanya pertumbuhan

bervariasi tergantung pada lokasi tumbuhnya rambut sekitar 1-6 tahun dengan

rata-rata 3 tahun.

2. Catagen (Fase Degenerasi/Involusi)

Saat jumlah sel matriks berkurang dan panjang rambut dianggap mencukupi,

sel matriks akan mulai mengalami apoptosis, kemudian proliferasi dan

diferensiasi juga akan melambat. Proses selanjutnya adalah penebalan

jaringan ikat di sekitar folikel rambut kemudian bagian tengah akar rambut

akan menyempit dan bagian bawahnya membulat membentuk gada (club).

2

Sedangkan batang rambut akan terdorong ke permukaan kulit dan

meninggalkan dermal papilla. Masa peralihan ini berlangsung 2-3 minggu.

3. Telogen (Fase Istirahat)

Proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis sel matriks menjadi terhenti. Kemudian

folikel rambut ini akan mengalami pelepasan (fase eksogen).

Setelah memasuki fase telogen, sel-sel pada dermal papilla dan keratinocytes stem

cells akan kembali teraktivasi dan terbentuk folikel rambut baru dimulai dari

bagian bawah pada dermal papilla tempat tumbuhnya folikel rambut yang lama.

Semua fase ini terjadi berulang dan diatur oleh interaksi antara epitel folikuler dan

dermal papilla yang ada di dekatnya melalui keseimbangan antara proliferasi,

diferensiasi, dan apoptosis.3,5

Gambar 1. Siklus Pertumbuhan Rambut Normal. A. Anagen (Fase Pertumbuhan); B. Catagen (Fase Degeneratif/Involusi); C. Telogen (Fase Istirahat).6

Sementara itu, alopesia areata merupakan penyakit yang terjadi akibat

terganggunya siklus pertumbuhan rambut di atas. Pada kelainan ini fase catagen

dan telogen terjadi lebih awal dan lebih singkat dari normalnya dan digantikan

oleh pertumbuhan anagen yang distrofik. Meski demikian, banyak penelitian

3

memperlihatkan bahwa gangguan pada alopesia areata lebih banyak terjadi pada

fase anagen III/IV.3

Pada dasarnya terjadinya alopesia areata melibatkan 3 komponen fisiologis, yaitu

timus, perifer (pembuluh darah, skin-draining lymph nodes, limpa, dan kulit),

serta folikel rambut atau jaringan target. Mekanisme ini dimulai dari timus.

Progenitor sel T yang berasal dari sumsum tulang pada mulanya mengalami

seleksi positif dan negatif di dalam timus untuk memilih sel T berdasarkan

afinitasnya terhadap self peptide-MHC complex. Molekul Human Leukocyte

Antigen (HLA) juga penting dalam seleksi ini. Individu yang memiliki HLA

halotypes yang spesifik (faktor genetik) cenderung membuat sel T ini menjadi

autoreaktif. Selanjutnya timus akan memperlihatkan berbagai antigen dari seluruh

tubuh untuk proses pematangan sel T, kecuali antigen folikel rambut. Pada

akhirnya akan terbentuk sel T CD8+ dan CD4+ yang kemudian harus melewati

toleransi di timus.3,7

Sel T yang autoreaktif umumnya akan masuk ke perifer akibat toleransi pada

timus yang buruk. Di dalam perifer sel T juga akan mengalami aktivasi antigen

spesifik. Bila diaktifkan oleh self-peptide, sel T akan mengalami ekspansi klonal

yang diikuti dengan delesi atau anergi (inaktivasi secara fungsional). Bila delesi

dan anergi ini gagal maka sel T autoreaktif akan menumpuk sehingga

menimbulkan proses autoimun. Menurunnya jumlah CD4+CD25+ regulatory T cells

yang diyakini mampu menekan proses autoimun ini juga akan mengakibatkan sel

T autoreaktif semakin bertambah banyak. Berbagai antigen diri yang berasal dari

rambut, seperti keratin 16, trichohyalin, atau antigen lain di sekitarnya seperti

keratinocytes, derma papilla, dermal sheath cells, dan melanocytes, atau antigen

asing dapat memicu aktivasi sel T autoreaktif, proses ini dinamakan molecular

mimicry (Gambar 2).4

Setelah melewati seleksi negatif di dalam timus, aktivasi terhadap antigen diri dan

antigen asing di dalam skin-draining lymph nodes, dan melewati toleransi di

perifer, sel T autoreaktif akan menginduksi terjadinya mekanisme autoimun. Ada

4

beberapa komponen yang dianggap terlibat dalam mekanisme tersebut, seperti

CD8+ yang bersifat sitotoksik, sel NK, aktivitas sel NK-T, antibody dependent cell-

mediated cytotoxicity (ADCC), apoptosis folikel rambut melalui interaksi Fas-Fas

ligand, atau inhibisi siklus pertumbuhan rambut yang diinduksi oleh sitokin.4

Selain itu, perlu diketahui bahwa pada folikel rambut yang normal hanya sedikit

ditemukan adanya MHC class I sedangkan sitokin imunosupresif, seperti TGF-β,

IGF-1, α-MSH, dan sel NK sering dijumpai dan berfungsi sebagai pertahanan

melawan antigen. Sebaliknya pada kondisi-kondisi tertentu, seperti infeksi,

mikrotrauma folikuler, atau antigen mikroba dapat merangsang pelepasan sitokin

proinflamasi seperti IFN-γ yang mampu menginduksi ekspresi molekul MHC

class I dan II secara tidak wajar ke dalam follicular bulb cells sedangkan jumlah

sitokin imunosupresif menurun atau fungsinya terganggu.4

Selanjutnya kondisi di atas akan mengakibatkan infiltrasi sel T CD8+ dan CD4+ ke

dalam folikel rambut yang terjadi selama fase akut (Gambar 3 dan 4). Infiltrasi ini

disebabkan oleh adanya peningkatan ekspresi molekul-molekul adhesi seperti

intercellular adhesion molecules 2 (ICAM-2) dan ELAM-1 di area perivaskuler

dan peribulbar pada kulit. Molekul-molekul adhesi ini kemudian berikatan dengan

sel T kemudian membawanya menuju ke sel endotel pembuluh darah dan

akhirnya ke dermis. Sel T CD8+ menginfiltrasi area dermis pada folikel rambut

(intrafolikuler) dan sel T CD4+ pada area sekitar folikel rambut (perifolikuler)

pada fase anagen. Dengan bantuan sel T CD4+ molekul-molekul MHC ini

kemudian dikenali sebagai antigen oleh sel T CD8+ yang autoreaktif.4,5

Pada akhirnya folikel rambut akan mengalami miniaturisasi kemudian diikuti

dengan terhentinya siklus pertumbuhan rambut secara prematur pada fase anagen

awal. Folikel rambut dalam kondisi ini disebut folikel rambut nanogen. Proses

keratinisasi juga menjadi tidak lengkap, sehingga pertumbuhan rambut digantikan

menjadi anagen distrofik yang berarti bahwa meskipun fase anagen tetap ada,

kemampuan folikel rambut untuk memproduksi rambut dengan ukuran dan

5

integritas yang sesuai mengalami gangguan. Pada fase kronis, telogen akan

berlangsung lebih lama dan tidak terjadi tanda-tanda akan memasuki fase anagen.4

Selain mekanisme di atas stres juga dianggap dapat mengakibatkan alopesia areata

dengan melibatkan nerve growth factor (NGF), substance P, dan mast cell. Saat

stres NGF akan menstimulasi sintesis substansi P di dalam dorsal root ganglia

dan menginduksi fase catagen lebih awal. Selanjutnya neuropeptida ini akan

ditranspor melalui serabut saraf sensorik peptidergik menuju ke kulit yang

kemudian mengakibatkan timbulnya peradangan neurogenik perifolikuler yang

dapat mengganggu pertumbuhan rambut.4

Gambar 2. Imunopatogenesis Alopesia Areata.3

9

6

Gambar 3. Folikel Rambut pada Fase Anagen Normal dan pada Alopesia Areata.8

Gambar 4. Mekanisme Presentasi Antigen dalam Folikel Rambut pada Penderita Alopesia Areata.8

2.3 Manifestasi Klinis

Perjalanan penyakit alopesia areata tidak dapat diprediksikan. Alopesia areata

lebih sering asimtomatis, tetapi dapat terjadi sensasi terbakar atau gatal di area

kebotakan pada sekitar 14% pasien. Pada pasien alopesia areata, 80% hanya

memiliki satu lesi, 12,5% memiliki 2 lesi, dan 7,7% memiliki lebih dari 2 lesi.

Alopesia areata paling banyak mengenai kulit kepala (66,8-95%), akan tetapi

dapat juga mengenai area berambut lainnya, seperti pada wajah/jambang (28%,

laki-laki), alis (3,8%), dan ekstremitas (1,3%). Penyakit ini dapat mengenai lebih

dari 2 area pada waktu bersamaan (Gambar 5).(2,10)

(A) (B)

Gambar 5. Alopesia Areata pada Ekstremitas (A) dan Wajah (B).(10)

7

Lesi alopesia areata stadium awal paling sering ditandai oleh bercak kebotakan

yang bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Permukaan lesi tampak halus, licin,

serta tanpa tanda sikatriks, atrofi, maupun skuamasi. Pada tepi lesi terkadang

terdapat exclamation-mark hairs yang mudah dicabut. Exclamation-mark hairs

jika dilihat menggunakan kaca pembesar akan nampak bagian pangkal rambut

yang lebih kecil dari ujung rambut, yang terlihat seperti tanda seru (exclamation

mark).(11)

Gambaran klinis alopesia areata berupa bercak atipikal kemudian menjadi bercak

berbentuk bulat atau lonjong yang terbentuk karena rontoknya rambut, dengan

onset yang cepat.Kulit kepala tampak berwarna merah muda mengkilat, licin dan

halus, tanpa tanda sikatriks, atrofi, maupun skuamasi. Kadang dapat disertai

dengan eritema ringan dan edema. Gejala lain yang terlihat adalah perubahan

kuku, misalnya pitting (burik), onikilosis (pelonggaran), splitting (terbelah), garis

Beau (cekungan-cekungan transversal), koilonikia (cekung), atau leukonikia

(bercak putih di bawah kuku). Perubahan kuku ini dapat menjadi indikator yang

bagus untuk mendeteksi adanya penyakit imun. Kuku juga mengandung protein

keratin yang juga terdapat pada folikel rambut.6

Pada beberapa penderita, terjadi perubahan pigmentasi pada rambut di daerah

yang akan berkembang menjadi lesi, atau terjadi pertumbuhan rambut baru pada

lesi atau pada rambut terminal sekitar lesi. Hal ini disebabkan oleh kerusakan

keratinosit pada korteks yang menimbulkan perubahan pada rambut fase anagen

III/IV dengan akibat kerusakan mekanisme pigmentasi pada bulbus rambut.7

Gambaran klinis spesifik lainnya adalah bentuk ophiasis yang biasanya terjadi

pada anak, berupa kerontokan rambut di bagian occipital yang dapat meluas ke

anterior dan bilateral 1-2 inci di atas telinga dan prognosisnya buruk. Gejala

subyektif biasanya pasien mengeluh gatal, rasa terbakar atau parastesi seiring

timbulnya lesi.

Berdasarkan tingkat luasnya penyakit, alopesia areata dapat dibagi menjadi 2:

8

1. Alopesia areata lokal: Lesi alopesia lokal yang melibatkan <50% permukaan

kulit kepala. Penyakit ini biasanya self-limited, rambut akan tumbuh kembali

setelah beberapa bulan, dengan atau tanpa perawatan.

2. Alopesia areata ekstensif (luas): Lesi melibatkan >50% permukaan kulit

kepala. Kejadiannya lebih jarang.(8)

Berdasarkan jumlah lesi dan area yang terkena, alopesia areata dapat

diklasifikasikan sebagai berikut (Gambar 6):

1. Alopesia areata monokuler: Hanya terdapat satu lesi kebotakan pada kulit

kepala

2. Alopesia areata multikuler: Terdapat banyak lesi pada kulit kepala

3. Alopesia areata total: Pasien mengalami kebotakan pada seluruh kulit kepala

4. Alopesia areata universalis: Lesi tidak hanya terdapat pada kulit kepala, tetapi

juga bagian tubuh yang lain, termasuk rambut pubis.

5. Alopesia areata barbae: Lesi hanya terdapat pada daerah jambang

6. Alopesia traksi: Kebotakan pada daerah frontal dan temporal, karena tekanan

konstan akibat seringnya mengikat rambut dengan kuat.(7,8)

9

Alopecia areata universalis

Gambar 6. Berbagai Tipe Alopesia Areata.6

2.4 Diagnosis

Untuk mendiagnosis penyakit alopesia areata diperlukan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang cermat serta pemeriksaan penunjang bila perlu karena

penyakit ini memiliki kemiripan dengan beberapa penyakit lain pada rambut.

10

Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis pasien, mengalami kebotakan,

lesi kebotakan lebih dari 1 atau multiple, keluhan gatal atau terbakar. Dapat dilihat

dari umur pasien, riwayat atopi, riwayat kerontokan rambut, riwayat keluarga,

riwayat autoimun.

Pada pemeriksaan fisik didapat gambaran klinis rambut, warna rambut

kepala, tanda-tanda alopecia pada rambut, dan adanya perubahan kuku.

Pemeriksaan pull test dilakukan untuk menilai adanya kerontokan yang aktif.

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan, darah lengkap, pemeriksaan kulit

kepala dan kultur, pemeriksaan serologi, serta biopsi kulit.

1. Anamnesis

Selama anamnesis pasien biasanya mengeluhkan kebotakan rambut pada area

tertentu yang terjadi secara mendadak, pada area kulit kepala, alis, bulu mata, atau

jambang. Lesi kebotakan bisa satu atau multipel. Terasa gatal, tidak nyaman, atau

seperti terbakar pada area kebotakan. Selain itu, beberapa faktor lain juga harus

dipertimbangkan untuk mendukung diagnosis, antara lain umur pasien, pola dan

penyebaran lesi, tingkat kerontokan rambut, riwayat kebotakan atau kerontokan

rambut sebelumnya, riwayat keluarga, riwayat penyakit atopi atau autoimun,

riwayat penyakit sebelumnya (termasuk infeksi atau penyakit lain dalam kurun

waktu 6 bulan), riwayat pengobatan (penyakit lain dan penyakit ini), perawatan

rambut, diet, dan dari segi psikologi berupa pandangan dan ekspektasi pasien

terhadap kondisi yang dialami, serta apakah ada tanda-tanda depresi atau

gangguan psikologis lainnya.

2. Pemeriksaan fisik

Dari pemeriksaan fisik biasanya ditemukan tanda-tanda sebagai berikut.

a. Gambaran klinis alopesia areata yang berbentuk khas, bulat berbatas tegas,

pada kulit kepala atau rambut pada wajah, biasanya tidak memberikan

kesulitan untuk menegakkan diagnosisnya

b. Kulit kepala pada lesi berwarna kemerahan atau normal, tanpa jaringan parut

(pori folikel masih terlihat)

11

c. Exclamation mark hairs (rambut dengan bagian pangkal rambut yang lebih

kecil dari ujung rambut serta mudah dicabut) dapat ditemukan di sekitar tepi

lesi saat fase aktif penyakit(12)

d. Dapat pula terjadi perubahan pada kuku, misalnya pitting (burik), onikilosis

(pelonggaran), splitting (terbelah), garis Beau (cekungan-cekungan

transversal), koilonikia (cekung), atau leukonikia (bercak putih di bawah kuku)(11)

e. Bisa terdapat skuama, akan tetapi harus dipikirkan juga kemungkinan diagnosis

lain, misalnya infeksi jamur pada Tinea kapitis.

f. Inspeksi juga area lesinya untuk mengetahui adanya trauma fisik seperti luka,

terbakar, jaringan parut. Jika terdapat tanda tersebut, kebotakan dicurigai tidak

disebabkan oleh alopesia areata.

g. Perhatikan lokasi lesi dan penyebarannya.

Selain itu, pemeriksaan pull test dapat dilakukan pada tepi lesi untuk mengetahui

adanya kerontokan rambut yang aktif. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara

menarik sekitar 60 rambut dengan lembut tapi mantap. Tes ini positif jika terdapat

kerontokan 2-10 rambut atau lebih.(10) Perkiraan jumlah kerontokan rambut juga

harus diperhitungkan.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang tidak begitu diperlukan pada mayoritas kasus alopesia

areata.(13) Jika gejala dan tanda klinis mengarah pada suatu penyakit autoimun

(misalnya kerontokan pada hipotiroidisme), maka pemeriksaan lanjutan dapat

digunakan untuk menentukan penyebabnya. Jika terdapat keraguan dalam

menegakkan diagnosis, maka pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara

lain(10,11):

a. Darah lengkap: Peningkatan eosinofil atau sel mast

b. Pemeriksaan kulit kepala dan kultur

c. Pemeriksaan serologi untuk sifilis dan SLE

12

d. Biopsi kulit (histopatologi): Potongan horizontal lebih dipilih karena dapat

menganalisa lebih banyak folikel rambut di level berbeda. Biopsi pada tempat

yang terserang menunjukkan infiltrat limfosit peribulbar pada sekitar folikel

anagen atau katagen yang terlihat seperti gerombolan lebah. Infiltrat tersebar

dan hanya terdapat pada beberapa rambut yang berpenyakit. Penurunan jumlah

rambut terminal yang signifikan berhubungan dengan peningkatan jumlah

rambut vellus dengan perbandingan 1,1:1 (normalnya 7:1). Penampakan

lainnya adalah terlihat inkontinensia pigmen di bulbus rambut dan folikel.

Perubahan juga terjadi pada rasio anagen-telogen. Pada keadaan normal,

rasionya sekitar 90% anagen dan 10% telogen. Pada alopesia areata, ditemukan

73% rambut pada fase anagen dan 27% pada fase telogen. Pada kasus yang

sudah berlangsung lama persentase rambut telogen dapat mencapai 100%.

Perubahan degeneratif pada matriks rambut dapat ditemukan tetapi jarang.

Dapat ditemukan eosinofil pada jalur fibrosa dan dekat bulbus rambut.

Terdapat rambut distrofi dan exclamation mark hairs.(14)

Pada stadium akut ditemukan distrofi rambut anagen yang disertai dengan

exclamation mark hair pada bagian proksimal. Sedangkan pada stadium kronis

akan ditemukan peningkatan jumlah rambut telogen, perubahan lain meliputi

berkurangnya diameter serabut rambut, miniaturisasi, serta pigmentasi rambut

yang tidak teratur. Sikatriks pada lesi alopesia areata yang kronis dapat pula

terjadi oleh karena berbagai manipulasi sehingga perlu dilakukan pemeriksaan

biopsy kulit.(11,12) Alopesia areata episode berat dapat menyebabkan perhentian

siklus anagen disertai formasi exclamation mark hair. Rambut yang terserang bisa

diganti oleh rambut normal atau rambut kecil. Alopesia areata episode sedang

menyebabkan inhibisi fase anagen, menimbulkan rambut distrofi, yang dapat

digantikan oleh rambut normal, kecil, atau nanogen (Gambar 7).(14)

13

Gambar 7. Siklus Rambut pada Alopesia Areata yang Terlihat pada Pemeriksaan Histopatologi.(14)

2.5 Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang paling sering adalah Tinea Kapitis dan Trikotilomania.3,10

1.Alopecia Nonscaring

Alopesia androgenetik: Terdapat pola tipikal pada kebotakan akan tetapi

kerontokan tidak terlalu keras dan pull test negatif.10

Tinea kapitis: Infeksi jamur pada kulit kepala yang sering ditemukan

pada anak-anak (umur 4-14 tahun), yang ditandai dengan adanya lesi

kebotakan disertai gatal dan kulit yang bersisik (skuama). Pada pemeriksaan,

lesi tidak teratur disertai adanya eritema, bersisik, dan rambut patah, akan

tetapi tidak disertai adanya exclamation mark hairs dan perubahan pada kuku

yang merupakan karakteristik alopesia areata. Dapat pula terdapat kerion, yaitu

nodul radang dan nyeri pada kulit kepala.10

Trikotilomania: Suatu kondisi psikiatri yang dapat dikaitkan dengan

gangguan obsesif-kompulsif dimana pasien sering mencabut rambutnya sendiri

14

akan tetapi tidak mengakuinya. Pada anak-anak sering terjadi pada anak laki-

laki, akan tetapi pada remaja sering terjadi pada perempuan, kebotakan terlihat

asimetris dan memiliki bentuk yang tidak teratur, dan rambut sekitar lesi tidak

mudah dicabut. Tidak terdapat inflamasi.10

Alopesia traksi: Kebotakan rambut yang disebabkan oleh teknik

pemodelan rambut (misalnya belahan rambut, ikatan yang kuat).10

2.Alopesia dengan jaringan parut

Sifilis stadium II: Kebotakan yang berbentuk moth-eaten dan muncul 2-8

bulan setelah munculnya lesi sifilis primer. Cara membedakan diagnosisnya

adalah dengan melakukan tes serologi sifilis

Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

Telogen effluvium: Alopesia difus, terjadi kebotakan rambut pada seluruh

kulit kepala yang terjadi 3 bulan setelah kejadian signifikan misalnya stres fisik

dan psikologis. Resesi bitemporal merupakan gejala tersering pada wanita.

Kebotakan terjadi selama 3-6 bulan sampai rambut mulai tumbuh kembali.

a. Alopesia androgenik: Merupakan penyebab tersering kebotakan pada wanita.

A. B. C.

D. E. F.Gambar 8. Diagnosis Banding Alopesia Areata. Tinea Kapitis (A); Alopesia Androgenetik pada Pria (B) dan Wanita (C); Alopesia pada Systemic Lupus Erythematosus (D); Telogen Effluvium (E); Anagen Effluvium (F).6

15

2.5 Terapi

Pada alopesia areata ringan, pemberian terapi tidak menjadi suatu kewajiban,

karena remisi spontan dan rekurensi adalah hal yang umum terjadi. Terapi sendiri

umumnya ditujukan untuk menstimulasi pertumbuhan rambut, namun hingga saat

ini belum ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa hal ini dapat mempengaruhi

perjalanan alamiah penyakit ini. Sementara untuk alopesia areata berat,

pengobatan umumnya sulit dilakukan, sehingga saat ini jenis dan sistem

pengobatan baru yang memberi hasil yang lebih baik masih terus dicari dan

dikembangkan. Metode pengobatan yang dilakukan saat ini masih berupa

pemberian terapi topikal, terapi sistemik, fototerapi PUVA dan psoralen,

pemberian vitamin dan mineral, interferon, dapsone, serta cryoterapi11,15.

1. Terapi Topikal

a. Formula Helsinki

Merupakan penemuan DR. Screck Purola dkk, yang berupa formulasi

pengobatan topikal yang terdiri dari sampo, kondisioner dan tablet vitamin

yang dikenal dengan nama formula Helsinki. Bahan utama dari formula ini

adalah polysorbate 60 yang bekerja dengan cara menghapus kolesterol

berlebihan pada membran sel di kepala dan membantu pembelahan sehingga

memberi kemungkinan rambut tumbuh kembali.

b. Pilo-Genic’s Biotin Products

Berupa krim dengan bahan khusus yang dapat membuat krim berpenetrasi

ke dalam sel-sel dari folikel rambut secara langsung sehingga dapat

mengurangi kerontokan.

c. Larutan progesteron

Pemberian progesteron dengan kadar 2-4% sebanyak 1 cc 2 kali sehari pada

pria dan pada wanita diberikan dosis yang lebih kecil (< 2%) pada daerah

kebotakan dapat mengurangi kerontokan. Hal ini dikarenakan progesteron

yang diberikan dapat bersaing dengan 5-alfareduktase, sehingga

menurunkan kadar dihidrotestoteron (DHT) dan mengubah keseimbangan

hormonal dalam folikel, sehingga mengakibatkan berkurangnya rambut

yang rontok.

16

d. Kortokisteroid topikal

Merupakan imunosupresor yang nonspesifik yaitu kortikosteroid kelas II

(Clobatasol propionate) dalam bentuk larutan dengan cara pemakaian 1 ml 2

kali sehari dioles pada seluruh kepala. Terapi dikurangi secara bertahap bila

alopesia membaik. Pada triple therapy digunakan kortikosteroid potensi

tinggi dalam bentuk krim, yang dipakai 30 menit sesudah pengolesan

dengan larutan minoxidil, disertai dengan penyuntikan kortikosteroid 1 kali

sebulan. Dalam suatu penelitian digunakan flucinolone acetonide cream

0,2% dua kali sehari dan didapatkan hasil bahwa 61% sampel menunjukkan

adanya respon. Pemberian kortikosteroid topikal potensi tinggi

(betametasone dipropionactere cream 0,05%) 2 kali sehari selama 3 bulan

berturut-turut diketahui memberi hasil yang baik.

e. Antralin

Antralin merupakan bahan iritan yang dapat merangsang pertumbuhan

rambut kembali dengan sifat-sifat iritannya. Pada short contact anthralin

therapy digunakan krim antralin 1-3%, dioleskan pada daerah kebotakan

hanya untuk beberapa jam sampai terjadi iritasi kulit kemudian dicuci

dengan air dan sabun, pemakaian ini dilakukan selama 6 bulan.

f. Minoxidil (2,4-diamino-6 piperidinopyrimidine-3-oxide)

Mekanisme kerja minoxidil untuk merangsang pertumbuhan rambut belum

diketahui secara pasti, meskipun ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan

adanya kemungkinan efek folikuler yang langsung (efek mitogenik) dan

vasodilator periferal yang poten. Minoxidil mempunyai efek mitosis secara

langsung pada sel epidermis dan memperpanjang kemampuan hidup

keratinosit. Selain itu, mekanisme kerjanya juga diduga berhubungan

dengan penghambatan masuknya kalsium ke dalam sel. Masuknya kalsium

ke dalam sel dapat meningkatkan jumlah epidermis growth factor (EGF)

yang dapat menghambat pertumbuhan rambut. Minoxidil 5% harus

dioleskan 2 kali sehari selama 2-3 bulan sebelum terjadi peningkatan jumlah

rambut. Pertumbuhan rambut paling cepat dapat terlihat dalam 2 bulan

sampai 1 tahun sejak dimulainya pengobatan.

17

2. Terapi sistemik

a. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid sistemik pada pengobatan alopesia areata masih

kontroversial. Hal ini dikarenakan angka pertumbuhan rambut yang

bervariasi (27%-89%) dan perbedaan dosis pemberian yang digunakan

dalam beberapa penelitian. Dosis kortikosteroid yang paling sering

diberikan adalah prednison 80-120 mg/hari selama 8-42 bulan, dimana

kekambuhan dapat terjadi dan waktunya bervariasi antara 6-15 bulan setelah

prednison diberikan.

b. Isoprinosin

Isoprinosin berfungsi untuk menurunkan kadar autoantibodi yang sering

didapatkan pada penderita alopesia areata seperti nuclear antibody, smooth

muscle antibody, striated muscle antibody serta epidermal/gastric parietal

cell antibody. Dosis yang digunakan adalah 50 mg/kgBB/hari, dengan dosis

maksimal antara 3-5 gram per hari. Lama pemberian bervariasi, berkisar

antara 20 minggu sampai 6 bulan. Dosis yang diberikan tidak menetap,

tetapi diturunkan setelah minggu ketiga sampai minggu kedelapan.

c. Siklosporin

Siklosporin memiliki efek menghambat infiltrasi sistem imunitas ke dalam

dan sekitar folikel rambut, menghambat ekspresi HLA DR di epitel folikel,

ekspresi ICAM-1, set T CD4, CD8 dan sel Langerhans serta menurunkan

rasio CD4/CD8. Pemberian siklosporin dengan dosis 6 mg/kgBB/hari

selama 12 minggu dapat mengakibatkan pertumbuhan rambut yang mulai

terjadi antara minggu kedua sampai keempat.

3. Fototerapi PUVA (Psoralen+UVA)

Pemberian fototerapi PUVA pada penderita alopesia areata memiliki peran

sebagai imunosupresor pada kulit. PUVA dapat menurunkan jumlah sel T serat

jumlah reseptor interleukin-2 (IL-2) pada kulit. Fototerapi PUVA dilakukan

dengan pemberian metoksalen 10-60 mg 2 jam sebelum radiasi PUVA ke

seluruh badan. Frekuensi radiasi 3 kali seminggu dengan energi 8-8,5 J/cm2.

18

Kekambuhan dapat terjadi dan biasanya terjadi antara 8 bulan sampai 2 tahun

setelah penghentian pengobatan.

4. Vitamin dan mineral

Pemberian vitamin terutama dilakukan pada keadaan defisiensi vitamin yang

bersangkutan. Kerontokan rambut dapat merupakan salah satu gejala defisiensi

beberapa jenis vitamin misalnya B12, biotin dan vitamin D. Vitamin B12

diberikan dengan dosis 1 mg/minggu IM pada bulan pertama, yang dilanjutkan

dengan 1 mg/bulan, dan perbaikan biasanya terjadi setelah 1 tahun. Biotin

diberikan dengan dosis 150 mg/hari yang memberikan perbaikan setelah 1

minggu, sementara vitamin D diberikan dengan dosis 100-400 IU/hari.

5. Interferon 2

Interferon 2 dengan dosis 1,5 juta IU diberikan sebanyak 3 kali seminggu

selama 3 minggu.

6. Dapsone

Dapsone diberikan dengan dosis 50 mg sebanyak 2 kali sehari selama 6 bulan.

7. Cryoterapi

Bekerja dengan menstimulasi pertumbuhan rambut pada alopesia areata. Pada

suatu penelitian pada anak dan dewasa, terjadi pertumbuhan kembali pada

>60% area alopesia areata pada 70 dari 72 pasien yang diteliti.

19

BAB III

SIMPULAN

Alopesia areata merupakan penyakit yang ditandai dengan kerontokan rambut

akibat proses inflamasi kronis dan berulang yang terjadi pada rambut terminal.

Penyakit ini dapat terjadi pada semua kelompok umur dengan prevalensi yang

sama antara pria dan wanita. Alopesia areata disebabkan oleh berbagai faktor

terutama autoimun dan genetik. Dalam kondisi normal pertumbuhan rambut

mengalami siklus yang terdiri dari fase anagen, catagen, dan telogen. Pada

alopesia areata siklus ini mengalami gangguan terutama pada fase anagen III/IV.

Kondisi ini terjadi melalui mekanisme autoimun yang melibatkan berbagai

komponen seperti timus, perifer, jaringan target berupa folikel rambut, sel T CD8+,

sel T CD4+, MHC class I dan II, ICAM-2, ELAM-1, dan berbagai sitokin

proinflamasi yang secara keseluruhan berperan dalam mengakibatkan terhentinya

fase anagen secara prematur dan digantikan dengan anagen distrofik.

Alopesia areata paling banyak terjadi pada rambut di kepala meskipun pada lokasi

lain seperti wajah dan ekstremitas juga dapat terjadi. Alopesia areata ditandai

dengan adanya bercak kebotakan yang bulat atau lonjong dan berbatas tegas.

Permukaan lesi tampak halus, licin, serta tanpa tanda sikatriks, atrofi, maupun

skuamasi yang disertai terasa gatal. Lesi kebotakan dapat berjumlah satu atau

multipel bahkan dapat menjadi totalis hingga universalis. Selain itu juga dapat

ditemukan adanya exclamation mark hair serta terjadi perubahan pada kuku.

Untuk mendiagnosis lebih pasti dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, kulit

kepala, serologi, atau biopsi kulit bila diperlukan untuk menyingkirkan penyakit

lain seperti tinea kapitis, alopesia androgenetik, anagen effluvium, telogen

effluvium, dan lain sebagainya. Penataksanaan alopesia areata meliputi terapi

topikal seperti formula helsinki, pilo-genic’s biotin products, larutan progesteron,

kortikosteroid topikal, antralin, minoxidil, atau terapi sistemik seperti

kortikosteroid, isoprenosin, atau siklosporin. Terapi lainnya dapat berupa tindakan

fototerapi PUVA (Psoralen+UVA), pemberian vitamin dan mineral, interferon 2,

dapson, atau cryoterapy.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardiman L. Kelainan Rambut. In: Djuanda A., Hamzah M., dan Aisah

S.(eds). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kee m. Jakarta: Badan

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2011: page .

2. Hull D, wood, Hutchinson et all. Guidelines core management of

whatevea. 17 april 2003. British journal of dermatology 2003; 149: 692-9

3. Edwind P, Dinto D, et all. Guidelines of whateva bye bye. 11 September

2013. Koja journal of dermatology 2015. Yass betch.

4.

5. McElwee KJ, Freyschmidt-Paul P, Sundberg JP, Hoffmann R. 2003. The

pathogenesis of alopecia areata. J Investig Dermatol Symp Proc. 8(1):6-11.

6. Wasserman D. et.al. Alopecia Areata. International Journal of

Dermatology. 2007; 46:121-131.

7. Alexis A.F., Duddasubramanya R. and Sinha A.A. Alopecia Areata:

Autoimmune Basis of Hair Loss. Eur J Dermatol. 2004; 14: 364-70.

8. Soepardiman L. Kelainan Rambut. Dalam: Djuanda A., Hamzah M., dan

Aisah S.(eds.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta:

Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010: hlm.

303-305.

9. Randall V.A. and Botchkareva N.V. The Biology of Hair Growth. Centre

of Skin Sciences, School of Life Sciences, University of Bradford,

Bradford, UK. William Andrew Inc. 2009; p. 3-35.

10. Wolff K. and Johnson R.A. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of

Clinical Dermatology 6th Edition. New York: McGrawHill; 2009: p. 962-

75.

5. Wang E. and McElwee K.J. Etiopathogenesis of Alopecia Areata: Why

Do Our Patients Get It?. Dermatologic Therapy. 2011; 24: 337-347.

11. Gilhar A., Paus R., and Kalish R.S. Lymphocytes, Neuropeptides, and

Genes Involved in Alopecia Areata. J. Clin. Invest. 2007; 117(8): 2019-27.

21

12. Gregoriou S. et.al. Cytokines and Other Mediators in Alopecia Areata.

Andreas Sygros Hospital, University of Athens Medical School. 2010; p.

1-5.

13. Madani, S. and Shapiro, J. 2000. Alopecia areata update. Journal of the

American Academy of Dermatology. 42(4), 549-66.

14. Putra I.B. 2008. Alopesia Areata. Universitas Sumatera Utara. Hal. 1-30.

15. Bertolino, A.P. 2000. Alopecia areata: a clinical overview. Postgraduate

Medicine 107(7), 81-90

16. MacDonald Hull et al. 2003. Guidelines for the management of alopecia

areata. British Journal of Dermatology 149(4), 692-99

17. Whiting D. A. 2003. Histopathologic Features of Alopecia Areata: A New

Look. Arch Dermatol. 139:1555-59.

18. S.P. McDonald Hull, M.L. Wood, P.E. Hutchinson, M. Sladden, A.G.

Messenger. 2003. Guidelines for the management of alopecia areata.

British Journal of Dermatology 149: 692–699.

22