97
BAB 10 TENAGA KERJA DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

 · Web viewMakin bertambahnya perusahaan dan pekerja dalam hubungan kerja, juga ditandai dengan makin sering terjadinya perselisihan dan unjuk rasa yang umumnya bersumber pada tuntutan

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 10

TENAGA KERJA DAN PERLUASANKESEMPATAN KERJA

BAB 10

TENAGA KERJA DAN PERLUASANKESEMPATAN KERJA

I. PENDAHULUAN

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 27, Ayat (2) menyatakan bahwa "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". Dengan demikian, kesempatan kerja merupakan masalah yang amat mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Setiap upaya pembangunan harus diarahkan pada penciptaan lapangan kerja sehingga setiap warga negara dapat memperoleh pekerjaan dan menempuh kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 mengamanat-kan bahwa sasaran umum Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) adalah terciptanya kualitas manusia dan kualitas masyara-kat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir batin, dalam tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang berdasarkan Pancasila dalam suasana kehidupan

97

bangsa Indonesia yang serba berkeseimbangan dan selaras dalam hubungan antara sesama manusia, manusia dengan masyarakat, manusia dengan alam dan lingkungannya, manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa. Titik berat PJP II diletakkan pada bidang ekono-mi, yang merupakan penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia dan didorong secara saling memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang lainnya yang dilaksanakan seirama, selaras, dan serasi dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional.

GBHN 1993 lebih lanjut memberikan petunjuk bahwa sasaran umum Pembangunan Lima Tahun Keenam (Repelita VI) adalah tumbuhnya sikap kemandirian dalam diri manusia dan masyarakat Indonesia melalui peningkatan peran serta, efisiensi, dan produkti-vitas rakyat dalam rangka meningkatkan taraf hidup, kecerdasan, dan kesejahteraan lahir batin.

GBHN 1993 menetapkan bidang ekonomi sebagai titik berat yang merupakan penggerak utama Pembangunan Jangka Panjang Kedua, seiring dengan kualitas sumber daya manusia. Sejalan dengan itu, prioritas pembangunan dalam Repelita VI adalah pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi dengan keterkaitan antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dikembangkan melalui penataan industri nasional yang mengarah pada penguatan dan pendalaman struktur industri yang didukung kemampuan teknologi yang makin meningkat, peningkatan ketangguhan perta-nian, pemantapan sistem dan kelembagaan koperasi, penyempur-naan pola perdagangan, jasa dan sistem distribusi, pemanfaatan secara optimal dan tepat guna faktor produksi dan sumber daya ekonomi serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai prasyarat terbentuknya masyarakat industri yang menjamin peningkatan keadilan, kemakmuran, dan pemerataan pendapatan serta kese-jahteraan rakyat, sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, dan pem-bangunan sumber daya manusia agar makin meningkat kualitasnya

98

sehingga dapat mendukung dan seiring dengan pembangunan ekonomi melalui peningkatan produktivitas dengan pendidikan nasional yang makin merata dan bermutu, disertai peningkatan dan perluasan pendidikan keahlian yang dibutuhkan berbagai bidang pembangunan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan tekno-logi yang makin mantap.

GBHN 1993 mengarahkan bahwa melalui upaya pem-bangunan, potensi sumber daya nasional diarahkan menjadi kekuat-an ekonomi, sosial budaya, politik, dan pertahanan keamanan yang nyata, didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas yang memiliki kemampuan memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan manajemen. Sumber daya manusia termasuk pemuda dan wanita, sebagai penggerak pembangunan nasional, dipadukan aspirasi, peranan, dan kepentingannya ke dalam gerak pembangunan bangsa rnelalui peran serta aktif dalam seluruh kegiatan pembangunan.

Selanjutnya GBHN 1993 mengamanatkan bahwa dalam Repelita VI penciptaan dan perluasan lapangan kerja terus diupa-yakan, terutama melalui peningkatan dan pemerataan pembangunan industri, pertanian, dan jasa yang mampu menyerap tenaga kerja yang banyak serta meningkatkan pendapatan masyarakat. Upaya tersebut harus didukung oleh keterpaduan kebijaksanaan investasi, fiskal dan moneter, pendidikan dan pelatihan, penelitian, pengem-bangan dan penyuluhan, penerapan teknologi, serta pengembangan dan pemanfaatan pusat informasi pasar dalam dan luar negeri. Kebijaksanaan pemerataan dan peningkatan kesempatan kerja serta pelatihan tenaga kerja terus dilanjutkan dan ditingkatkan agar menjangkau setiap warga negara dan terarah pada terwujudnya angkatan kerja yang terampil dan tangguh. Kesempatan kerja terbuka bagi setiap orang sesuai dengan kemampuan, keterampilan, dan keahliannya serta didukung oleh kemudahan memperoleh pendidikan dan pelatihan, penguasaan teknologi, informasi pasar ketenagakerjaan serta tingkat upah yang sesuai dengan prestasi dan kualifikasi yang dipersyaratkan.

99

Dalam bab ini akan dibahas masalah tenaga kerja dan per-luasan kesempatan kerja. Pada dasarnya, perluasan kesempatan kerja adalah tanggung jawab nasional, dan dilaksanakan melalui pembangunan di semua sektor dan di seluruh daerah. Dengan demikian, yang akan dicakup dalam bab ini adalah pokok-pokok-nya saja.

II. PEMBANGUNAN KETENAGAKERJAAN DALAM

JP I

Pembangunan yang berlangsung selama PJP I telah berhasil menciptakan lapangan kerja dalam jumlah yang memadai dengan mutu yang makin meningkat. Hal ini tercermin dari banyaknya angkatan kerja baru yang memperoleh pekerjaan. Antara tahun 1980 dan 1990 angkatan kerja bertambah sebesar 21,5 juta orang. Dalam kurun waktu yang sama jumlah pekerja (angkatan kerja yang bekerja) juga bertambah sebesar 20 juta orang.

Jika dilihat dari jumlah pekerja di perkotaan, komposisi penduduk umur 25-39 tahun yang masuk pasar kerja cenderung meningkat, khususnya pekerja wanita. Pada tahun 1980 komposisi penduduk yang berumur 25-39 yang masuk pasar kerja di perkotaan adalah sebesar 40,5 persen dari seluruh angkatan kerja perko-taan dan meningkat menjadi 44,7 persen pada tahun 1990. Khusus pekerja wanita di perkotaan pada kurun waktu yang sama meningkat dari sebesar 33,2 persen menjadi 39,1 persen. Proses urbanisasi ini berlaku bagi banyak pekerja muda yang biasanya bekerja sebagai pekerja keluarga atau buruh tidak tetap di sektor pertanian di

100

perdesaan pindah ke perkotaan untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Proses urbanisasi mengakibatkan makin berkurangnya tenaga kerja muda di sektor pertanian.

Struktur lapangan kerja juga ditandai dengan pergeseran dari sektor produksi agraris ke sektor produksi nonagraris dan jasa dengan muatan teknologi yang lebih besar. Pada tahun 1980, 55,9

persen dari seluruh pekerja bekerja di sektor pertanian, dan sisanya bekerja di sektor industri dan sektor lainnya. Pada tahun 1990 pekerja di sektor pertanian menurun menjadi 49,9 persen, sedangkan di sektor industri dan jasa meningkat menjadi 50,1 persen. Pergeseran struktur pekerja dan peningkatan mutu pekerja, bukan saja terjadi dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian, tetapi juga dari sektor informal ke sektor formal. Pekerja di sektor informal menurun dari sebesar 69,9 persen pada tahun 1980 menjadi 63,6 persen pada tahun 1990. Pekerja informal terdiri atas pengusaha yang berusaha tanpa buruh, pekerja yang berusaha dengan dibantu anggota rumah tangga atau buruh tidak tetap, dan pekerja keluarga. Di pihak lain pekerja di sektor formal, yaitu pekerja yang berusaha dengan buruh tetap dan buruh atau karyawan meningkat dari 30,1 persen pada tahun 1980 menjadi 36,4 persen pada tahun 1990.

Persentase pekerja termasuk pekerja wanita dengan tingkat pendidikan sekurang-kurangnya sekolah dasar (SD) menunjukkan peningkatan, yaitu dari 32,8 persen pada tahun 1980 menjadi 54,4 persen pada tahun 1990. Proses ini ditandai dengan peningkatan proporsi pekerja wanita, yaitu dari sebesar 32,8 persen pada tahun 1980 menjadi 35,6 persen pada tahun 1990 (Tabel 10-1).

Meningkatnya kualitas tenaga kerja serta terciptanya lapangan kerja yang makin luas dan merata dicerminkan oleh kemampuan tenaga kerja yang dibarengi dengan pemakaian ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memproduksi barang dan jasa. Selama kurun waktu 1980-1990 kemampuan tenaga kerja untuk menghasilkan barang dan jasa per tenaga kerja meningkat 24,1 persen, yaitu dari Rp 1.296 ribu pada tahun 1980 menjadi Rp 1.608 ribu pada tahun 1990.

Hasil yang dicapai menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1980-1990 secara nasional lapangan kerja tumbuh dengan rata-rata 2,8 persen per tahun. Pada daerah-daerah yang memanfaatkan kekayaan alam seperti Riau, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah lapangan kerja tumbuh antara 6-8 persen. Sebaliknya, di

101

TABEL 10-1PERKEMBANGAN ANGKATAN KERJA

1980-1990

Uraian Satuan 19801) 1985 2) 1990 3)

1. Jumlah angkatan kerja ribu orang 52.421 83.828 73.914

2. Rata-rata pertumbuhan angkatan kerja per tahun % 2,7 4,0 3,0

3. Jumlah pekerja ribu orang 51.553 82.457 71.570

4. Persentase yang mencari pekerjaandari angkatan kerja

% 1,7 2,1 3,2

5. Persentase pekerja yang bekerja kurang dad35 jam seminggu

% 38,5 38,3 38,8

8. Persentase pekerja yang bekerja di sektorpertanian

% 55,9 54,7 49,9

7. Persentase pekerja wanita % 32,8 35,3 35,8

8. Persentase pekerja berpendidikan SD danSD ke atas

% 32,8 43,9 54,4

9. Persentase pekerja di Pulau Jawa % 84,0 82,4 81,2

10. Persentase pekerja keluarga % 17,8 23,7 19,9

11. Nilai produksi barang dan jasa, menurut hargakonstan tahun 1983

Rp miliar 66.799 85.082 115.110

12. Rata-rata produksi per pekerja Rp ribu 1.298 1.382 1.808

Sumber:1) BPS, Sensus Penduduk 1980, Seri S No.2, Pebruari 19832) BPS, SUPAS 1985, Seri No.5, Januari 19873) BPS, Sensus Penduduk 1990, Seri S No.2, Juli 1992

102

beberapa daerah yang padat penduduknya, seperti Propinsi Yogya-karta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan pertum-buhan lapangan kerja hanya sebesar 1,5 persen per tahun.

Upaya menciptakan lapangan kerja dan sekaligus mengurangi pengangguran tenaga kerja terdidik telah dilaksanakan dengan menugasi tenaga lulusan pendidikan tinggi dalam kegiatan tenaga kerja sukarela sebagai pelopor pembaharuan pembangunan. Kegiatan ini pada awalnya bernama tenaga kerja sukarela yang bernaung di bawah badan urusan tenaga kerja sukarela Indone-sia (TKS-BUTSI). Sejak Repelita V TKS-BUTSI diubah menjadi Tenaga Kerja Sukarela Terdidik (TKST). Para TKST umumnya ditugasi selama 2 tahun di perdesaan dan ditempatkan sesuai dengan permintaan, antara lain di koperasi unit desa (KUD).

Untuk mengurangi pengangguran ataupun setengah pengangguran di daerah perdesaan, khususnya pada waktu sepi kerja (paceklik) dalam PJP I dilaksanakan proyek padat karya yang sejak Repelita II dinamakan Proyek Padat Karya Gaya Baru (PKGB). Pelaksanaan Proyek PKGB diprioritaskan di kecamatan miskin, padat penduduk, dan rawan terhadap bencana alam. Masyarakat perdesaan yang menganggur diberi kesempatan membangun dan merehabilitasi prasarana desa, seperti jalan desa, saluran irigasi tersier dan sebagainya dengan imbalan upah. Selama PJP I telah didayagunakan secara produktif 13,2 juta orang tenaga kerja penganggur dan setengah penganggur dalam seratus hari kerja di 16.359 lokasi atau kecamatan. Berkaitan dengan kegiatan PKGB, di daerah perdesaan yang relatif tertinggal dan padat penduduk dikembangkan teknologi padat karya. Dalam rangka itu, telah diterapkan dan dikembangkan 29 jenis teknologi padat karya selama PJP I.

Dalam rangka upaya mempertemukan pencari kerja dan pemberi kerja menurut lapangan usaha, jabatan, dan tingkat pendidikan, dikembangkan informasi ketenagakerjaan. Informasi ketenagakerjaan yang dikumpulkan dan diolah mencakup pencari

103

kerja terdaftar, permintaan tenaga kerja, penempatan tenaga kerja, dan pencari kerja yang mendapatkan pekerjaan atas usaha sendiri.

Untuk mengatasi kekurangan angkatan kerja di daerah yang kurang penduduknya, disalurkan tenaga kerja melalui mekanisme antarkerja lokal (AKL) dan antarkerja antardaerah (AKAD) masing-masing sebanyak 2,4 juta dan 0,45 juta orang. Dalam rangka mengurangi pengangguran juga disalurkan tenaga kerja ke luar negeri melalui mekanisme antarkerja antarnegara (AKAN) sebanyak 1,0 juta orang. Penyaluran tenaga kerja melalui mekanisme AKAD dan AKL menunjukkan peningkatan sejak Repelita V dengan dikembangkannya penyaluran tenaga kerja untuk penanganan daerah lahan kritis dan penyaluran lulusan sekolah pertanian sebagai motivator di daerah PIR transmigrasi.

Untuk mendukung peningkatan kemampuan dan mutu tenaga kerja dilakukan antara lain pelatihan keterampilan yang dilaksana-kan secara terpadu dengan melibatkan unsur pemerintah dan swasta sebagai penyelenggara pelatihan dan pengguna tenaga kerja.

Untuk mendukung kegiatan pelatihan selama PJP I telah dibangun 153 buah Balai Latihan Kerja (BLK). Jumlah dan mutu pelatih ditingkatkan dengan merekrut dan menatar 3.226 orang calon instruktur di berbagai bidang kejuruan antara lain otomotif, bangunan, elektronika, dan tata niaga.

Tenaga kerja yang telah dilatih melalui BLK-BLK berjumlah 1.287.480 orang terdiri dari 551.224 orang atau 42,8 persen di bidang industri, 81.825 orang atau 6,4 persen di bidang pertanian, dan 195.987 orang atau 15,2 persen di bidang manajemen, sedangkan sisanya 458.444 orang atau 35,6 persen dilatih di berbagai bidang kejuruan melalui pelatihan keliling (mobile training unit).

Dengan makin berkembangnya sektor industri, lembaga penyelenggara pelatihan swasta dan perusahaan sebagai bagian

104

dari sistem pelatihan nasional terus didorong untuk ditingkatkan peranannya. Dalam rangka meningkatkan kepedulian dan peranan perusahaan dalam pelatihan, telah dirintis dan diujicobakan pelak-sanaan pelatihan pemagangan. Dalam rangka meningkatkan pro-duktivitas, telah dilatih pengusaha muda dari perusahaan kecil dan menengah dalam berbagai bidang, antara lain melalui program Pelatihan Motivasi Berprestasi, Pengendalian Mutu Terpadu, Gugus Kendali Mutu, Pelatihan Penyelia, Pengukuran Produktivitas dan Manajemen Konsultansi.

Selama PJP I juga dilaksanakan pembinaan hubungan industri-al dan perlindungan tenaga kerja, khususnya di sektor formal, dalam rangka menciptakan hubungan kerja yang serasi antara pengusaha dan pekerja, agar terwujud ketenteraman dan kete-nangan berusaha, peningkatan produktivitas, serta peningkatan kesejahteraan pekerja. Dalam hubungan industrial, keberadaan serikat pekerja dan lembaga ketenagakerjaan sangat penting peranannya.

Dalam hal perkembangan serikat pekerja, yakni Serikat Peker-ja Seluruh Indonesia (SPSI) telah tercatat 27 dewan pimpinan daerah (DPD), 269 dewan pimpinan cabang (DPC), dan 9.552 unit kerja (UK) SPSI di perusahaan. Lembaga kerja sama (LKS) bipartit di tingkat perusahaan telah terbentuk sebanyak 3.843 buah, dan LKS tripartit telah ada di tingkat pusat dan di semua daerah tingkat I dan di 196 daerah tingkat II. Upaya mengembang-kan kesepakatan kerja bersama (KKB) yang mencerminkan ber-fungsinya mekanisme bipartit antara wakil pekerja dan pengusaha telah menghasilkan 7.741 buah KKB dan bagi perusahaan yang belum atau tidak memiliki KKB telah membuat 19.618 peraturan perusahaan (PP).

Sejak tahun 1978, kebijaksanaan peningkatan kesejahteraan tenaga kerja dilaksanakan melalui Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Astek). Pada tahun 1992 sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992, Astek ditingkatkan menjadi jaminan sosial tenaga

105

kerja (Jamsostek), dengan jumlah peserta sebanyak 40.000 perusahaan yang mencakup lebih kurang 5,5 juta orang tenaga kerja. Di samping itu, telah terbentuk 6.308 koperasi pekerja, yang 2.815 di antaranya telah berbadan hukum.

Upaya perbaikan pengupahan dilakukan melalui penetapan upah minimum dan diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja, produktivitas serta pemerataan pendapatan dalam rangka menciptakan keadilan sosial. Pada awal Repelita V upah minimum rata-rata nasional adalah 67,0 persen dari kebutuhan fisik minimum pekerja lajang per hari dan pada tahun keempat Repelita V mencapai 78,0 persen dari kebutuhan fisik minimum.

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang juga merupakan upaya perlindungan tenaga kerja dilaksanakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Untuk itu, telah diselenggarakan kursus-kursus dan pelatihan K3, bagi 4.500 operator ketel uap, 1.232 operator derek dan 614 ahli K3, 5.270 dokter, 4.499 paramedis, 2.152 teknisi dari Pengurus Unit Kerja (PUK) SPSI, 583 manajer, 883 pengelola gizi kerja dan 152 pimpinan P2K3, serta telah terbentuk 37 jasa inspeksi teknis. Sesuai dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Kese-lamatan Kerja, telah dibentuk 9.561 panitia pembina keselamatan dan kesehatan kerja (P2K3) di perusahaan-perusahaan.

Pengawasan ketenagakerjaan merupakan faktor penting dalam usaha memenuhi perlindungan bagi pekerja dan dalam mewujudkan ketenteraman kerja dan berusaha. Jumlah pegawai pengawas ketenagakerjaan tercatat 387 orang menduduki jabatan struk-tural, dan 746 orang menduduki jabatan fungsional.

106

III. TANTANGAN, KENDALA, DAN PELUANG PEMBANGUNAN

PJP I telah menghasilkan perbaikan di berbagai bidang, terma-suk di bidang ketenagakerjaan. Pertumbuhan angkatan kerja telah dapat diikuti oleh perluasan lapangan kerja di berbagai sektor dan daerah sehingga angka pengangguran terbuka dapat terkendali. Pembangunan ketenagakerjaan akan dilanjutkan dalam PJP II, dengan memanfaatkan hasil-hasil yang telah dicapai sebagai modal untuk pembangunan tahap selanjutnya. PJP II harus didukung oleh tenaga kerja yang berkualitas yang memiliki kemampuan meman-faatkan, mengembangkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemampuan manajemen.

Dalarn hubungan ini, pembangunan ketenagakerjaan selama PJP II dan khususnya Repelita VI akan dihadapkan kepada berba-gai tantangan yang diupayakan penanggulangannya dengan mem-perhatikan kendala dan peluang yang ada.

1. Tantangan

Meningkatnya kegiatan ekonomi di berbagai sektor mem-berikan dampak langsung maupun tidak langsung terhadap pencip-taan lapangan kerja produktif. Berbagai kegiatan pembangunan selama PJP I telah berhasil menciptakan lapangan kerja baru se-hingga tambahan angkatan kerja dapat terserap di berbagai sektor pembangunan, dengan tetap memperhatikan produktivitas tenaga kerja secara keseluruhan. Dengan meningkatnya produktivitas tenaga kerja, pada gilirannya upah juga meningkat yang berkelan-jutan pada peningkatan kesejahteraan pekerja. Namun, kenyataan yang dihadapi adalah kapasitas dan Skala kegiatan ekonomi na-sional masih terbatas sehingga tenaga kerja yang benar-benar ter-serap dengan tingkat produktivitas yang memadai juga belum cukup tinggi. Akibatnya, pada akhir PJP I di Indonesia masih terdapat tingkat setengah pengangguran yang cukup tinggi. Pada tahun 1992 tingkat setengah pengangguran sebesar 40,5 persen dari

107

jumlah pekerja. Di samping itu, dalam PJP II diperkirakan per-tumbuhan angkatan kerja baru akan cukup besar. Selama PJP II tambahan angkatan kerja diperkirakan sebanyak 69,1 juta dan selama Repelita VI sebanyak 12,6 juta. Dalam keadaan demikian, tantangan yang dihadapi di masa mendatang adalah menciptakan lapangan kerja produktif dalam jumlah yang cukup besar untuk menampung tambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja dengan mutu yang makin meningkat.

Dalam hubungan ini, pengalaman selama PJP I memperlihat-kan bahwa walaupun pertumbuhan ekonomi dapat diciptakan pada tingkat yang cukup tinggi dan tambahan angkatan kerja baru dapat ditampung, namun belum mampu mengatasi masalah tenaga kerja yang setengah menganggur, yang menunjukkan rendahnya produk-tivitas tenaga kerja. Di samping besarnya laju pertumbuhan, pola pertumbuhan sektoral dan sumber pertumbuhan ekonomi meme-gang peranan penting. Dalam hubungan ini, menjadi tantangan besar dalam PJP II untuk mengupayakan agar pertumbuhan ekonomi yang tercipta bukan saja cukup tinggi tetapi juga memiliki daya serap tenaga kerja sektoral yang maksimal dan makin berasal dari sumber daya manusia.

Dalam PJP I mutu tenaga kerja Indonesia sudah mengalami kemajuan, walaupun demikian sebagian besar tenaga kerja masih berpendidikan SD dan SD ke bawah, di mana pada tahun 1980 sebesar 88,4 persen dan tahun 1990 sebesar 77,3 persen. Sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih berketerampilan relatif rendah. Tenaga profesional dan teknisi masih relatif terbatas jumlahnya. Di pihak lain persaingan yang dihadapi oleh produk-produk Indonesia, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri akan makin tajam di masa mendatang. Selain itu, teknologi yang perlu diserap juga berubah lebih cepat. Hal ini mengisyaratkan bahwa standar mutu yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja Indonesia makin tinggi untuk dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Oleh karena itu, salah satu tantangan besar yang

108

dihadapi dalam PJP II adalah meningkatkan mutu tenaga kerja Indonesia secara cukup memadai untuk dapat mendukung pem-bangunan yang menyangkut di semua sektor dengan efektif.

Dalam PJP II transformasi angkatan kerja Indonesia diperkira-kan akan makin meningkat. Perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian, khususnya industri akan makin cepat. Angkatan kerja juga akan makin terdidik. Selanjutnya angkatan kerja yang bekerja di sektor formal diperkirakan bertambah besar. Angkatan kerja wanita juga makin besar jumlahnya, baik secara absolut maupun secara relatif dari seluruh angkatan kerja yang bekerja. Semua perubahan ini memiliki implikasi yang penting bagi kesejahteraan dan stabilitas sosial, baik di tempat kerja maupun di masyarakat. Dalam kaitan ini, tantangan dalam Repelita VI adalah menciptakan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja yang mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan tersebut atas dasar musyawarah dan mufakat secara dinamis.

Makin bertambahnya perusahaan dan pekerja dalam hubungan kerja, juga ditandai dengan makin sering terjadinya perselisihan dan unjuk rasa yang umumnya bersumber pada tuntutan pekerja yang bersifat normatif. Perselisihan dan unjuk rasa yang terjadi antara lain bersumber pada masalah belum adanya kesepakatan kerja bersama (KKB) antara pekerja atau serikat pekerja dengan pengusaha, atau bila sudah ada KKB namun materinya tidak diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada. Kesadaran peng-usaha untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan ketena-gakerjaan yang berlaku masih kurang, dan bagi pekerja atau serikat pekerja masih banyak yang belum mengerti dan memahami peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Sehubungan dengan itu, menjadi tantangan pula dalam PJP II untuk mengem-bangkan dan memantapkan hubungan industrial Pancasila serta menumbuhkembangkan serikat pekerja yang dipimpin dan dikelola oleh pekerja sendiri dan yang mampu memperjuangkan kepenting-an anggotanya.

109

2. Kendala

Terjadinya transformasi struktur ketenagakerjaan yang menyertai pertumbuhan ekonomi menurut lapangan pekerjaan, status, dan jenis pekerjaan, selain dipengaruhi oleh laju dan pola pertumbuhan ekonomi juga dipengaruhi oleh keadaan persediaan tenaga kerja yang berasal dari keluaran sistem pendidikan yang masuk ke dalam pasar kerja. Ketidaksesuaian antara perkem-bangan ekonomi dan perkembangan angkatan kerja mengakibatkan ketimpangan persediaan dan kebutuhan tenaga kerja. Di satu pihak, penyediaan tenaga kerja yang dihasilkan melalui keluaran sistem pendidikan belum sepenuhnya dapat menghasilkan jenis tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Di pihak lain, kebutuhan tenaga kerja belum terekam dalam bentuk informasi yang berisikan jenis keahlian yang diperlukan di pasar kerja secara akurat dan tepat waktu. Kekurangmampuan lembaga-lembaga pendidikan untuk menghasilkan jenis-jenis program pendidikan di masyarakat dengan keahlian dan keterampilan yang dibutuhkan pasar kerja merupakan kendala bagi upaya perluasan lapangan kerja secara efektif.

Kendala lainnya yang dihadapi dalam menghadapi tantangan menciptakan lapangan kerja mencakup kesenjangan struktural lapangan kerja antardaerah, kesenjangan kecenderungan investasi di Jawa dan luar Jawa,, Berta kesenjangan ketenagakerjaan menurut tingkatan pendidikan. Kendala ini ditandai bahwa sebagian besar angkatan. kerja berada di Jawa-Bali. Ketidakseimbangan penye-baran angkatan kerja disebabkan oleh kecenderungan terpusatnya investasi di Jawa-Bali. Ketidakseimbangan investasi tercermin pada tingginya angka rasio investasi terhadap produk domestik bruto di Jawa-Bali dibandingkan dengan pulau-pulau lain. Keadaan demiki-an apabila berlanjut dapat menjadi kendala dalam upaya pemera-taan kesempatan kerja antardaerah.

Dalam rangka menciptakan hubungan industrial dan mening-katkan perlindungan tenaga kerja, pembangunan ketenagakerjaan

110

dihadapkan pada kendala kurangnya kesadaran masyarakat industri dan pengusaha, serta kepengurusan dalam lembaga ketenagakerjaan masih kurang profesional.

3. Peluang

Selain adanya berbagai kendala yang dihadapi, terbuka juga peluang yang cukup besar untuk meningkatkan pembangunan ketenagakerjaan dalam tahap pembangunan selanjutnya. Hasil pembangunan dalam PJP I termasuk pembangunan di sektor ekonomi dan prasarana serta sektor lainnya merupakan modal bagi pembangunan ketenagakerjaan dalam PJP II.

Titik berat pembangunan yang diletakkan pada bidang ekonomi seiring dengan kualitas sumber daya manusia, memberi peluang pada tenaga kerja untuk turut berperan serta dalam pembangunan. Hal tersebut dicerminkan oleh makin terbukanya kesempatan kerja karena kegiatan pembangunan yang dirancang membawa dampak yang maksimal pada penciptaan lapangan kerja. Selain itu, meningkatnya pendapatan dan daya beli masyarakat memperbesar pasar dan permintaan akan barang dan jasa di dalam negeri yang juga menimbulkan peluang bagi perluasan lapangan kerja.

Terbukanya kesempatan kerja di luar negeri sebagai akibat dari globalisasi pasar kerja, juga memberi kesempatan bagi tenaga kerja Indonesia untuk mengisinya.

Makin terdidiknya angkatan kerja memberi peluang untuk mengisi, menciptakan, dan memperluas lapangan kerja serta produktivitas tenaga kerja. Demikian pula lancarnya transportasi dan meningkatnya mobilitas tenaga kerja di berbagai daerah cende-rung membuka peluang terjadinya penyebaran dan pendayagunaan tenaga kerja ke luar Jawa dan luar negeri.

111

IV. ARAHAN, SASARAN, DAN KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN

1. Arahan GBHN 1993

Dalam Repelita VI pembangunan ketenagakerjaan dalam rangka menciptakan lapangan kerja dan mengurangi pengangguran serta pengembangan sumber daya manusia diarahkan pada pemben-tukan tenaga profesional yang mandiri dan beretos kerja tinggi dan produktif. Pembangunan ketenagakerjaan merupakan upaya menye-luruh dan ditujukan pada peningkatan, pembentukan dan pengem-bangan tenaga kerja yang berkualitas, produktif, efisien, efektif, dan berjiwa wirausaha sehingga mampu mengisi, menciptakan, dan memperluas lapangan kerja serta kesempatan usaha. Pengadaan tenaga kerja yang merupakan bagian dari perwujudan kebijaksa-naan perencanaan ketenagakerjaan nasional harus mendorong pemerataan kesempatan kerja antardaerah dengan memperhatikan potensi angkatan kerja setempat. Dalam pembangunan ketenaga-kerjaan perlu dibina dan dikembangkan perbaikan syarat-syarat kerja serta perlindungan tenaga kerja dalam sistem hubungan industrial Pancasila menuju kepada peningkatan kesejahteraan tenaga kerja dan didukung oleh organisasi pekerja dan koperasi tenaga kerja yang dipimpin dan dikelola para pekerja itu sendiri secara efisien dan efektif dalam memperjuangkan kepentingan anggotanya. Penyandang cacat sebagai bagian dari angkatan kerja nasional dibina dan didorong untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

Peningkatan kesadaran akan produktivitas, efisiensi, efektivitas dan kewirausahaan serta etos kerja produktif dilaksana-kan melalui berbagai kegiatan motivasi, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kesejahteraan tenaga kerja dan kualitas tenaga kerja berdasarkan rencana ketenagakerjaan nasional yang harus terus disempurnakan secara terarah, terpadu, dan menyeluruh. Pembinaan, pendidikan, dan pelatihan tenaga kerja dilaksanakan untuk memajukan nilai-nilai kemanusiaan yang menumbuhkan harkat dan martabat serta harga diri kaum pekerja

112

dan disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan pembangunan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penyelenggaraan pendidikan kejuruan dilakukan di lembaga pendidikan sekolah .dan luar sekolah, serta pemagangan di lingkungan kerja baik industri, pertanian maupun sektor lainnya. Peningkatan kualitas tenaga kerja merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masya-rakat serta badan usaha yang memakai tenaga kerja diselenggara-kan di dalam negeri dan di luar negeri. Kerja sama antara lembaga pendidikan dan pelatihan serta lembaga pendidikan tinggi dengan koperasi, usaha negara, dan usaha swasta serta organisasi pekerja dan lembaga kemasyarakatan perlu dikembangkan.

Perlindungan tenaga kerja yang meliputi hak berserikat dan berunding bersama, keselamatan dan kesehatan kerja, dan jaminan sosial tenaga kerja yang mencakup jaminan hari tua, jaminan pemeliharaan kesehatan, jaminan terhadap kecelakaan, dan jaminan kematian serta syarat-syarat kerja lainnya perlu dikembangkan secara terpadu dan bertahap dengan mempertimbangkan dampak ekonomi dan moneternya, kesiapan sektor terkait, kondisi pemberi kerja, lapangan kerja dan kemampuan tenaga kerja. Khusus bagi tenaga kerja wanita perlu diberi perhatian dan perlindungan sesuai dengan kodrat, harkat, dan martabatnya.

Kebijaksanaan pengupahan dan penggajian didasarkan pada kebutuhan hidup, pengembangan diri dan keluarga tenaga kerja dalam sistem upah yang tidak menimbulkan kesenjangan sosial, dengan mempertimbangkan prestasi kerja dan nilai kemanusiaan yang menumbuhkan rasa harga diri. Pengupahan dan penggajian, kondisi kesehatan, keselamatan dan lingkungan kerja, pen-dayagunaan tenaga kerja termasuk tenaga kerja wanita serta hubungan industrial Pancasila serta syarat-syarat kerja lainnya pelaksanaannya perlu ditingkatkan sesuai dengan peraturan perun-dang-undangan yang berlaku. Serikat pekerja, sebagai wadah dan badan kolektif dalam perekonomian, demikian pula koperasi tenaga kerja terus dikembangkan agar makin berperan dalam upaya meningkatkan kemampuan profesional, etos kerja produktif, serta harkat dan martabat pekerja Indonesia.

113

Pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri yang pada hakikatnya merupakan ekspor jasa penghasil devisa diseleng-garakan dengan efisien dan dengan memberikan kemudahan serta perlindungan yang diperlukan baik di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai bagian dari perencanaan ketenagakerjaan nasional dengan tetap memperhatikan harkat dan martabat serta nama baik bangsa dan negara. Penggunaan tenaga kerja asing dilakukan secara selektif dalam rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal serta mendorong alih teknologi.

2. Sasaran

a. Sasaran PJP II

Dalam PJP II sasaran pokok pembangunan ketenagakerjaan adalah terciptanya lapangan kerja baru dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk dapat menyerap tambahan angkatan kerja baru yang masuk pasar kerja dan mengurangi setengah pe-ngangguran dan mengurangi kesenjangan produktivitas antarsektor, dan meningkatkan pemerataan kesempatan kerja antardaerah; berkurangnya secara absolut jumlah pekerja di sektor pertanian pada Repelita IX dan meningkatnya kesempatan kerja sektor industri, jasa dan lainnya.

Dalam PJP II diharapkan dapat tercipta 68,6 juta tambahan kesempatan kerja. Menjadi sasaran pula terciptanya tambahan kesempatan kerja baru bagi pengusaha dengan buruh tetap, dan buruh atau karyawan masing-masing 4,2 juta dan 63,5 juta (Tabel 10-2 dan 10-3).

Selanjutnya dengan pembangunan ketenagakerjaan dalam PJP II diharapkan meningkatnya kualitas tenaga kerja yang di-cerminkan dalam profesionalisme, kemandirian, etos kerja dan produktivitas yang makin meningkat; serta terciptanya kelembagaan ketenagakerjaan yang mantap yang menunjang terwujudnya hubungan industrial atas dasar Pancasila dan UUD 1945 dengan terlaksananya perlindungan dan kesejahteraan tenaga

114

TABEL 10-2SASARAN JUMLAH DAN TAMBAHAN ANGKATAN KERJA DAN KESEMPATAN KERJA DALAM

PJP II(ribu orang)

Akhir PJP II TambahanJenis Sasaran Repelita V 1) Akhir

Repelita VIAkhir

Repelita VIIAkhir

Repelita VIIIAkhir

Repelita IXAkhirRepelita X Repelita VI PJP II

1. Angkatan kerja 2) 78.824,4 91.413.1 105242,6 119.700,5 133.902,5 147.913,8 12.588,7 69.089.4

2. Kesempatan kerjaa. Jumlah 78.813,0 90.726,0 103.818,8 117.809,9 132.587,7 147.460,5 11.913,0 68.647,5b. Pertanian, kehutanan, 37.956,0 39.882,0 41.108,0 41.641,0 41.340,0 40.791,0 1.926,0 2.835,0

perburuan dan per-ikanan

c. Pertambangan dan 842,0 989,0 1.151,6 1.342,3 1.549,9 1.757,8 147,0 915,8penggalian

d. Industri pengolahan 9.939,0 12.956,0 16.402,0 20.142.0 24.360,0 28.914,0 3.017,0 18.975,0e. Listrik, gas dan air 187,0 237,0 293,6 357,9 430,7 508,4 50,0 321,4f. Bangunan 3.655,0 5.008,0 6.601,0 8.488,0 10.652,1 12.997,5 1.353,0 9.342,5g. Perdagangan besar, 11.721.0 13.917,0 16.456,3 19.474,1 22.515,1 25.458,1 2.196,0 13.737,1

eceran, rumah ma-kan, hotel dan res-tauran

h. Angkutan, pergu- 3.138,0 3.888,0 4.716,9 5.671,9 6.877,6 8.295,8 750.0 5.157,8dangan dan komu-nikasi

i. Keuangan, asuransi, 793,0 1.007,0 1.236,4 1.532,3 1.864,7 2.219,6 214,0 1.426,6usaha persewaanbangunan, tanah danjasa perusahaan

j. Jasa kemasyarakatan 10.582,0 12.842,0 15.853,0 19.160,4 22.997,6 26.518,3 2.260,0 15.936,3

Catatan : 1) Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)2) Angkatan kerja adalah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja atau mencari pekerjaan.

TABEL 10-3SASARAN KESEMPATAN KERJA MENURUT STATUS PEKERJAAN

DALAM PJP II (ribu orang)

Akhir PJP II TambahanJenis Sasaran Repelita V *) Akhir

Repelita VIAkhir

Repelita VIIAkhir

Repelita VIIIAkhir

Repelita IXAkhir

Repelita X Repelita VI PJP it

1. Kesempatan kerja 78.813,0 90.726,0 103.818,8 117.809,9 132.587,7 147.460,5 11.913,0 68.647,5

2. Kesempatan kerja menurut status

a. Berusaha sendiri15.086,2 16.134,8 17.021,0 17.522,7 17.420,2 17.012,0 1.048,6 1.925,8

b. Berusaha dengan keluarga 18.342,2 18.943,8 19.501,9 19.919,2 19.546,5 18.887,5 601,6 545,3

c. Berusaha dengan buruh tetap 1.163,0 1.718,0 2.361,1 3.182,2 4.192,3 5.362,0 555,0 4.199,0

d. Buruh/karyawan 29.131,4 38.829,6 49.821,1 62250,8 77.020,2 92.595,7 9.698,2 63.465,3

e. Pekerja keluarga 15.090,2 15.099,8 15.113,7 14.935,0 14.408,5 13.603,3 9,6 -1.486,9

Catatan : *) Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)

kerja yang berkeadilan. Peningkatan kualitas tenaga kerja dicerminkan pada kontribusi sumber daya manusia terhadap pertumbuhan ekonomi yang makin besar sehingga pada akhir PJP II sebagian besar pertumbuhan ekonomi berasal dari sumber daya manusia yang juga merupakan sasaran pembangunan ketenagakerjaan.

b. Sasaran Repelita VI

Dalam Repelita VI tambahan angkatan kerja yang masuk ke pasar kerja diperkirakan sebesar 12,6 juta. Dengan laju pertum-buhan ekonomi di berbagai sektor pembangunan, kesempatan kerja dalam Repelita VI, akan bertambah dengan 11,9 juta, yaitu di sektor pertanian termasuk kehutanan, peternakan dan perikanan sebesar 1,9 juta dengan tingkat pertumbuhan 1,0 persen per tahun; di sektor industri pengolahan sebesar 3,0 juta, dengan pertumbuhan sebesar 5,4 persen per tahun; di sektor perdagangan besar, eceran, rumah makan, hotel dan restauran sebesar 2,2 juta dengan pertumbuhan 3,5 persen per tahun; di sektor jasa kemasyarakatan sebesar 2,3 juta dengan pertumbuhan 3,9 persen per tahun; dan sektor-sektor lainnya sebesar 2,5 juta dengan pertumbuhan 5,3 persen per tahun (Tabel 10-2). Dengan demikian, tingkat pengangguran terbuka yang pada tahun 1990 sebesar 3,2 persen telah dapat diturunkan menjadi 0,8 persen pada tahun 1998. Terdapatnya jumlah penganggur terbuka sebesar 0,8 persen atau sekitar 0,7 juta ini terdiri atas antara lain tenaga kerja keluaran sistem pendidikan dan pelatihan yang baru masuk pasar kerja dan mencari pekerjaan serta angkatan kerja yang pindah pekerjaan.

Sasaran perluasan lapangan kerja diarahkan pula untuk menyerap tambahan angkatan kerja di berbagai daerah. Dari selu-ruh tambahan kesempatan kerja Repelita VI sebesar 11,9 juta, diperkirakan sebesar 3,0 juta terserap di Sumatera, 6,4 juta di Jawa, 0,8 juta di Kalimantan, 0,6 juta di Sulawesi, dan sisanya tersebar di pulau-pulau lainnya. Tingkat pertumbuhan kesempatan kerja tertinggi terdapat di Propinsi Riau, yaitu sebesar 6,1 persen

117

dan terendah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 1,4 persen (Tabel 10-4). Sebagai bagian dari sasaran perluasan lapangan kerja, dalam Repelita VI disalurkan sekitar 1.250.000 tenaga kerja profesional ke pasar kerja luar negeri dengan perkiraan penerimaan devisa sebesar US$ 3,0 miliar.

Sasaran selanjutnya adalah beralihnya lapangan kerja dari sektor informal ke sektor formal serta dari tenaga kerja dengan jabatan dan kualifikasi rendah ke tenaga kerja dengan jabatan dan kualifikasi tinggi. Selama Repelita VI, hampir 86,1 persen dari tambahan kesempatan kerja terserap sebagai pekerja dengan status pengusaha dengan buruh tetap dan sebagai buruh atau karyawan. Tenaga kerja dengan kedua status pekerjaan tersebut mempunyai kecenderungan meningkat, yaitu masing-masing dari 1,2 juta (1,5 persen) dan 29,1 juta (37,0 persen) pada akhir Repelita V menjadi sebesar 1,7 juta (1,9 persen) dan 38,8 juta (42,8 persen) pada akhir Repelita VI (Tabel 10-3).

Sejalan dengan transformasi dan formalisasi ketenagakerjaan tersebut, sasaran yang ingin dicapai pula dalam rangka meningkat-kan kesejahteraan tenaga kerja dalam Repelita VI adalah berkem-bangnya hubungan industrial Pancasila (HIP) antara pekerja dan pengusaha yang didukung oleh pembinaan dan pengembangan perbaikan syarat-syarat kerja serta perlindungan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja wanita dan anak-anak yang terpaksa bekerja.

3. Kebijaksanaan

Untuk mendukung tercapainya berbagai sasaran dan dengan senantiasa mengacu pada arahan GBHN 1993, dalam Repelita VI ditempuh serangkaian kebijaksanaan pembangunan ketenagakerjaan yang terdiri dari upaya-upaya yang terpadu dan saling menunjang antar berbagai sektor untuk membina iklim perluasan lapangan kerja, meningkatkan efisiensi dan produktivitas, meningkatkan kualitas tenaga kerja, mendayagunakan tenaga kerja produktif, dan mengembangkan kesejahteraan tenaga kerja.

118

TABEL 10-4SASARAN TAMBAHAN KESEMPATAN KERJA MENURUT DAERAH TINGKAT I

REPELITA VI

Kesempatan KerjaDaerah Tingkat I Pertumbuhan Tambahan Penyebaran

Per Tahun (%) (ribu orang) ( % )

S u m a t e r a 3 7 2 .964,8 2491. Daerah Istimewa Aceh 3,4 254,6 2,12. Sumatera Utara 2,4 505,7 4,2

3. Sumatera Barat 2,7 219,2 1,84 . R i a u 6,1 479,6 4,05 . J a m b i 4,8 240,0 2,06. Sumatera Selatan 4,9 708,9 6,0

7 . B e n g k u l u 3,6 110,9 0,9

8. L a m p u n g 3,1 445,9 3,7

J a w a 26 6 .406,2 5389. DKI Jakarta 5,4 989,8 8,310. Jawa Barat 3,3 2.456,2 20,611. Jawa Tengah 1,8 1.213,8 10,212. Daerah Istimewa Yogyakarta 1,4 110,5 0,913. Jawa Timur 2,1 1.635,9 13,7

Bali-Nusatenggara 2 7 7157 6 01 4 . B a l i 1,5 113,9 1,015. Nusa Tenggara Barat 3,5 289,4 2,416. Nusa Tenggara Timur 3,2 271,2 2,317. Timor Timur 2,4 41,2 0,3

K a l i m a n t a n 3,5 8032 6 718. Kalimantan Barat 3,1 247,1 2,1

19. Kalimantan Tengah 3,5 122,1 1,020. Kalimantan Selatan 3,6 231,5 1,921. Kalimantan Timur 4,4 202,5 1,7

S u l a w e s i 25 6039 5,122. Sulawesi Utara 2,7 146,7 1,223. Sulawesi Tengah 2,1 80,5 0,724. Sulawesi Selatan 2,5 303,9 2,625. Sulawesi Tenggara 2,5 72,8 0,6

Maluku dan Irian Jaya 51 418 8 3,52 6 . M a l u k u 4,4 173,2 1,5

27. Irian Jaya 5,7 245,6 2,1

Indonesia 2,9 11 .912,6 100,0

J a w a 28 6 .406,2 5 3 8 Luar Jawa 32 5 .506,4 462

119

a. Pembinaan Iklim bagi Perluasan Lapangan Kerja,Peningkatan Efisiensi dan Produktivitas

Pembinaan iklim bagi perluasan lapangan kerja meliputi segenap aspek kebijaksanaan pembangunan yang dapat menjamin pemerataan pembangunan, pertumbuhan di semua sektor serta stabilitas nasional. Kegiatan pembangunan yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan ini akan menciptakan iklim dan suasana yang mendorong perluasan lapangan kerja dan peningkatan efisiensi secara luas dan menyeluruh.

Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan produktivitas di semua sektor ditempuh dengan menciptakan iklim usaha yang sehat dan dinamis yang didukung oleh perkembangan perekonomian secara menyeluruh baik dari dalam maupun luar negeri; mening-katkan kualitas sumber daya manusia dengan mengembangkan sistem keterpaduan antara dunia pendidikan, pelatihan keterampilan yang sepadan dengan kebutuhan pasar kerja, perkembangan pembangunan dan teknologi, khususnya pembangunan di bidang ekonomi; menyeimbangkan penyebaran investasi antara Jawa dan luar Jawa, khususnya kawasan timur Indonesia; melaksanakan desentralisasi pembangunan, baik di daerah tingkat I maupun daerah tingkat II yang mendukung terciptanya prakarsa, kreativitas dan peran serta masyarakat dalam upaya mempercepat pemerataan pembangunan; menciptakan iklim produktivitas di masyarakat yang didukung dengan adanya kepastian hukum dalam berusaha dan berproduksi, berlakunya sistem sosial di masyarakat untuk membuka jalan bagi peningkatan status sosial melalui prestasi kerja, serta menghindari terjadinya sistem monopoli usaha dan produksi, meningkatkan fungsi kelembagaan atau organisasi, kepemimpinan atau manajemen serta penerapan iptek yang tepat didukung oleh etos kerja yang tinggi; dan menciptakan kondisi keterkaitan yang komprehensif antarsektor produksi yang didukung oleh sistem pemasaran dan transportasi yang strategis dan disesuai-kan dengan potensi sumber daya alam dan perluasan pasar produk-si.

120

b. Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja

Dalam rangka meningkatkan kualitas tenaga kerja ditingkatkan pelatihan keterampilan tenaga kerja dan pengembangan kelemba-gaan pelatihan tenaga kerja. Sehubungan dengan itu, diupayakan adanya pembaharuan pelatihan yang antara lain memuat kemitraan pelatihan antara penyelenggara dan pengguna tenaga kerja dalam bentuk kerja sama dengan serikat pekerja dan asosiasi profesi kerja dalam penyusunan perencanaan pelatihan, kurikulum dan silabus, standar kualifikasi keterampilan, uji keterampilan, sertifikasi dan akreditasi lembaga-lembaga penyelenggara pelatihan. Kemitraan tersebut juga mencakup pendanaannya sebagai perwujudan peran serta masyarakat dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja.

Pengembangan kelembagaan pelatihan tenaga kerja ditempuh melalui penataan satu sistem pelatihan yang meliputi standar kuali-fikasi keterampilan kerja, standar pelatihan kerja, dan standar uji keterampilan kerja. Dalam hubungan ini, peningkatan peran serta aktif lembaga pembina, penasihat, penyelenggara dan uji keteram-pilan kerja dalam penataan satu sistem pelatihan dikembangkan, termasuk peningkatan peran serta serikat pekerja dan asosiasi profesi kerja. Pengembangan kelembagaan juga memanfaatkan informasi pelatihan kerja sebagai bagian dari perencanaan tenaga kerja.

Seiring dengan upaya pelatihan, di bidang pendidikan formal peningkatan kualitas tenaga kerja diupayakan dengan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun, sistem dan pola pendidikan disepadankan dengan kebutuhan pembangunan, peningkatan mutu pendidikan termasuk guru dan tenaga pendidikan lainnya serta penyesuaian jurusan pendidikan sesuai dengan kebutuhan pem-bangunan, dan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tidak hanya sekadar menjadi pemakai teknologi, tetapi juga mampu mengembangkan sendiri teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan.

121

c. Pendayagunaan Tenaga Kerja Produktif

Pendayagunaan tenaga kerja ditujukan bagi kelompok angkatan kerja tertentu antara lain tenaga kerja muda terdidik, penganggur, dan setengah penganggur seperti buruh tani, nelayan, tenaga kerja di daerah perdesaan yang relatif tertinggal, dan tenaga kerja penyandang cacat. Bagi setiap kelompok tenaga kerja ini dilaksanakan upaya khusus untuk membantu mereka di dalam penciptaan lapangan kerja.

Untuk memberikan kemudahan dan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia (TM) ke luar negeri sebagai ekspor jasa tenaga kerja dan penghasil devisa, disempurnakan peraturan, mekanisme, perekrutan, seleksi, dan penempatan TKI ke luar negeri dengan perhatian khusus kepada tenaga kerja wanita. Dalam rangka pendayagunaan TKI secara optimal, penggunaan tenaga kerja warga negara asing pendatang dilakukan secara selektif.

d. Pengembangan Kesejahteraan Tenaga Kerja

Pengembangan kesejahteraan tenaga kerja ditempuh melalui peningkatan pelaksanaan hubungan industrial Pancasila (HIP) yang serasi dan didukung oleh perbaikan syarat-syarat kerja dan perlin-dungan tenaga kerja. Peningkatan pelaksanaan HIP merupakan sarana untuk mempertemukan aspirasi pekerja dengan kemampuan perusahaan secara kekeluargaan yang dilaksanakan dengan menumbuhkembangkan lembaga ketenagakerjaan.

Perbaikan syarat-syarat kerja dilaksanakan melalui pengem-bangan sistem pengupahan secara terpadu dan bertahap serta dida-sarkan pada kebutuhan hidup, pengembangan diri pekerja dan keluarganya yang mempertimbangkan peningkatan produktivitas dan prestasi kerja, pembinaan keluarga sejahtera antara lain mela-lui keluarga berencana, dan jaminan sosial tenaga kerja yang sejalan dengan kemampuan perusahaan.

122

Perlindungan bagi tenaga kerja wanita ditingkatkan dengan menghilangkan perbedaan perlakuan antara pekerja wanita dengan pria, serta dengan memperlakukan pekerja wanita sesuai dengan kodrat, harkat dan martabatnya. Perlindungan tenaga kerja juga ditingkatkan bagi yang bekerja di luar negeri, dan anak-anak yang terpaksa bekerja, agar perkembangan sosial, fisik, mental, dan intelektualnya tidak terhambat.

V. PROGRAM PEMBANGUNAN

Program pembangunan ketenagakerjaan terdiri atas dua kelompok program, yaitu program pokok dan penunjang. Program pokok meliputi program pembinaan dan pengembangan kesem-patan kerja dan produktivitas; program pendayagunaan dan penye-baran tenaga kerja; program pelatihan dan peningkatan kete-rampilan tenaga kerja; dan pembinaan hubungan industrial dan perlindungan tenaga kerja. Program penunjang terdiri atas pro- gram pendidikan, pelatihan dan penyuluhan ketenagakerjaan, dan program penelitian dan pengembangan ketenagakerjaan.

1. Program Pokok

a. Program Pembinaan dan Pengembangan KesempatanKerja dan Produktivitas

Program Pembinaan dan Pengembangan Kesempatan Kerja dan Produktivitas bertujuan untuk mendorong peningkatan produk-tivitas masyarakat. Kegiatan program ini antara lain mencakup pengembangan produktivitas dan pembinaan lembaga produk-tivitas.

1) Pengembangan Produktivitas

Pengembangan produktivitas ini dilaksanakan antara lain dengan (1) menetapkan standar mutu produktivitas dan peningkatan efisiensi di tingkat perusahaan dan sektoral, (2) memasyarakatkan

123

produktivitas dengan intensif melalui penyebarluasan informasi dan penyuluhan dengan menggunakan berbagai media, dan forum antara lain masyarakat produktivitas Indonesia, (3) menggalakkan penyuluhan produktivitas, pengukuran dan analisa produktivitas, konsultansi dan penyajian informasi produktivitas, (4) meman-tapkan koordinasi lintas sektoral dan kerja sama dengan berbagai organisasi atau lembaga yang bergerak di bidang produktivitas, baik di dalam maupun di luar negeri, (5) menumbuhkan kesadaran mengenai produktivitas di dunia pendidikan dan masyarakat ,(6) mengembangkan percontohan desa produktif di perdesaan, dan(7) mengadakan penelitian dan pengembangan produktivitas, serta(8) meningkatkan komunikasi efektif dan teratur di antara berbagai pihak yang memanfaatkan dan yang menghasilkan tenaga kerja terdidik.

2) Pembinaan Lembaga Produktivitas

Pembinaan lembaga produktivitas ditempuh dengan berbagai kegiatan yang meliputi (1) pembinaan manajemen, termasuk pemberian penghargaan produktivitas bagi karyawan perusahaan dan peningkatan keterampilan tenaga kerja melalui penyuluhan, pelatihan dan konsultasi teknis, (2) peningkatan kualitas tenaga kerja melalui pelatihan gugus kendali mutu, pengendalian mutu terpadu, pengendalian mutu menyeluruh (total quality management) dan pelatihan motivasi berprestasi, (3) pelatihan manajemen sumber daya manusia bagi tenaga pengusaha yang potensial dan secara teratur memberikan penghargaan kepada perusahaan dan masyarakat yang berhasil meningkatkan produk-tivitas tenaga kerja dalam usahanya, (4) pembentukan unit produk-tivitas di setiap sektor dan unit usaha, (5) pengembangan lembaga yang bertugas meningkatkan dan mempromosikan produktivitas di masyarakat luas dan sektor ekonomi, khususnya di kalangan aso-siasi industri dan serikat pekerja sektoral, dan (6) peningkatan koordinasi organisasi atau unit organisasi produktivitas yang berkecimpung dalam upaya peningkatan produktivitas masyarakat.

124

b. Program Pendayagunaan dan Penyebaran TenagaKerja

Pendayagunaan dan penyebaran tenaga kerja ditujukan agar tenaga kerja yang tersedia, khususnya tenaga kerja penganggur, setengah penganggur, tenaga kerja wanita atau ibu yang telah menjadi peserta KB setelah kelahiran anak kedua, tenaga kerja lanjut usia yang potensial memperoleh kesempatan mendapatkan pekerjaan. Sejalan dengan itu, dilaksanakan kegiatan (1) perenca-naan tenaga kerja, (2) penyaluran tenaga kerja wiraswasta mandiri dan profesional, (3) penyaluran tenaga kerja dari daerah yang kelebihan tenaga kerja ke daerah lain yang kekurangan tenaga kerja, (4) percepatan alih teknologi dari tenaga kerja warga negara asing pendatang kepada tenaga kerja Indonesia, (5) pemanfaatan kesempatan kerja di luar negeri, (6) penyebarluasan teknologi padat karya bagi desa-desa tertinggal, dan (7) penyaluran tenaga kerja penyandang cacat.

1) Perencanaan Tenaga Kerja

Perencanaan tenaga kerja pada hakikatnya berupaya untuk menjembatani penyediaan dan kebutuhan tenaga kerja, serta dikait-kan dengan pengembangan daerah baik propinsi maupun kota-madya dan kabupaten. Perencanaan tenaga kerja dilaksanakan secara terpadu antar instansi terkait dan disusun berdasarkan sa-saran pertumbuhan ekonomi dan sasaran pertumbuhan kesempatan kerja untuk memenuhi jumlah dan mutu tenaga kerja yang dibutuh-kan dalam pembangunan. Perencanaan tenaga kerja nasional, sektoral, dan daerah mengacu pada perencanaan sumber daya manusia yang menyeluruh dan terpadu, serta secara operasional ditunjang oleh informasi ketenagakerjaan, insentif, kelembagaan, dan bursa tenaga kerja.

Informasi ketenagakerjaan mencakup (1) informasi persediaan tenaga kerja secara nasional, daerah, menurut jenis kelamin, kelompok umur, menurut keluaran pendidikan dan pelatihan,

125

dalam jangka pendek dan jangka panjang, (2) kebutuhan kuantitatif dan kualitatif tenaga kerja menurut lowongan pekerjaan dan persyaratannya, upah dan kebutuhan pelatihan, dan (3) informasi penempatan tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.

Kegiatan dalam perencanaan tenaga kerja pada tingkat na-sional, meliputi (1) pengembangan kamus jabatan nasional (KJN) dan klasifikasi jabatan Indonesia (KJI) dirinci menurut sektor, (2) pelaksanaan survei perusahaan untuk mendapatkan informasi ketenagakerjaan dari unit terendah, dan (3) perencanaan kebutuhan tenaga kerja di luar negeri.

Pada tingkat sektor dilaksanakan (1) upaya keseimbangan dan pemerataan kesempatan kerja di sektor yang mampu menyerap banyak lapangan kerja produktif, dan (2) pembentukan sistem pemantauan peningkatan produktivitas.

Pada tingkat daerah dilaksanakan (1) penjabaran penyediaan dan kebutuhan tenaga kerja daerah, dan (2) pelaksanaan survei yang berkaitan dengan mutu lapangan kerja.

2) Sistem Informasi dan Bursa Tenaga Kerja Terpadu

Untuk mempertemukan secara cepat dan tepat pencari kerja dan penerima kerja maka disusun sistem informasi dan bursa tenaga kerja terpadu di tingkat pusat dan daerah. Sistem ini menjadi dasar bagi operasionalisasi perencanaan tenaga kerja dan perencanaan pelatihan. Untuk mendukung maksud tersebut, maka informasi ketenagakerjaan yang berkaitan dengan data penyediaan dan kebutuhan tenaga kerja, yang meliputi jumlah dan jenis keterampilan atau keahlian tenaga kerja yang sesuai dengan pola yang ditetapkan secara nasional ditingkatkan. Sistem antarkerja yang sudah melembaga dikembangkan, disempurnakan dan diefisienkan, serta di daerah-daerah yang memungkinkan disusun sistem yang berhubungan satu sama lain (on-line system). Keter-kaitan sistem ini dengan unit pelatihan, bimbingan dan konsultasi jabatan dan unit antarkerja terus dikembangkan menjadi sistem

126

terpadu. Untuk mengelola sistem ini, tenaga kerja yang profesional dan terampil disiapkan secara terencana.

3) Tenaga Kerja Mandiri Profesional

Dalam rangka memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran khususnya pengangguran tenaga kerja terdidik, ditingkatkan upaya penyaluran dan pembinaan tenaga kerja terdidik agar menjadi tenaga kerja yang mandiri dan profesional. Pembi-naan khusus diberikan bagi tenaga kerja terdidik yang mempunyai motivasi dan minat untuk menjadi kader wiraswasta. Pembinaan tenaga kerja terdidik ditujukan bagi (1) sarjana serta tenaga terdi-dik lain yang dibina untuk menjadi wiraswasta, (2) sarjana yang secara sukarela dan dengan penuh semangat pengabdian untuk bersedia ditugaskan sebagai tenaga pembantu perencana pemba-ngunan di daerah tertinggal, dan (3) sarjana yang ditempatkan di unit ekonomi produktif, seperti koperasi unit desa (KUD), trans-migrasi, perusahaan inti rakyat-perkebunan (PIR-BUN) dan unit-unit lain. Dalarn rangka mengembangkan tenaga kerja mandiri profesional, dilakukan kegiatan (1) pengkajian kebutuhan pelatih- an, (2) penyusunan modul-modul pelatihan, (3) pelaksanaan pelatih-an, (4) penempatan dan penugasan, (5) penyusunan rencana usaha (business plan), (6) pembinaan lanjutan, dan (7) evaluasi.

4) Pemerataan Kesempatan Kerja Antardaerah

Pemerataan kesempatan kerja antardaerah dilaksanakan sebagai upaya menciptakan dan memperluas lapangan kerja daerah, mengatasi pengangguran dan memenuhi kekurangan tenaga kerja, sekaligus mendorong transmigrasi swakarsa mandiri. Penyaluran tenaga kerja di dalam negeri dilakukan melalui mekanisme antar kerja lokal (AKL) dan mekanisme antarkerja antardaerah (AKAD). Kegiatan program ini meliputi antara lain (1) pemberian insentif sebagai perangsang kerja, seperti kemudahan-kemudahan kerja bagi tenaga kerja yang bersedia ditempatkan di daerah yang terisolir, (2) penyebarluasan tenaga kerja terdidik yang berpotensi dalam bidang penelitian dan pengembangan ke industri-industri

127

dalam upaya alih teknologi, (3) bimbingan dan penyuluhan jabatan bagi para guru, untuk mengetahui bakat dan minat sebelum melanjutkan ke perguruan tinggi dan atau masuk pasar kerja, dan (4) penyempurnaan peraturan yang berkaitan dengan penyaluran tenaga kerja antardaerah agar lebih efisien.

Untuk menunjang upaya pemerataan kesempatan kerja antar-daerah dikembangkan bursa kerja swasta dan kantor penempatan tenaga kerja sebagai pusat penyuluhan dan bimbingan terutama bagi lulusan perguruan tinggi di lembaga pendidikan tinggi. Dalam Repelita VI akan dilaksanakan (1) bimbingan dan penyu-luhan jabatan bagi pendidik dan pengajar di 50 perguruan tinggi negeri dan swasta dan 500 sekolah menengah, dan (2) penyebaran tenaga kerja melalui mekanisme AKL dan AKAD dalam rangka penanganan daerah tertinggal dan penyaluran pemuda sebagai motivator di daerah transmigrasi sekurang-kurangnya 1,2 juta orang, tersebar di 27 propinsi (Tabel 10-5).

5) Pengindonesiaan Tenaga Kerja Warga NegaraAsing Pendatang

Upaya perluasan kesempatan kerja dan peningkatan profe-sionalisme tenaga kerja Indonesia didukung pula dengan pengenda-lian izin kerja bagi tenaga kerja warga negara asing pendatang. Pengendalian ditujukan untuk mendorong alih pengetahuan dan teknologi serta perluasan lapangan kerja bagi tenaga kerja Indonesia dengan menyempurnakan peraturan yang jelas dan tegas. Dalam rangka penggantian tenaga kerja warga negara asing pendatang dengan tenaga Indonesia disiapkan tenaga kerja Indone-sia melalui pelatihan di tempat kerja ataupun di lembaga-lembaga pendidikan dan pelatihan di luar perusahaan. Penyebarluasan informasi mengenai pembatasan tenaga kerja warga negara asing pendatang ditingkatkan antara lain, melalui komunikasi antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan yang menggunakan tenaga kerja asing. Keberadaan tenaga kerja warga negara asing pendatang terus dipantau untuk dijadikan bahan informasi ketena-gakerjaan.

128

TABEL 10-5SASARAN SEKTOR TENAGA KERJA

1994/95-1998/99

Akhir Repelita VIJenis Sasaran Satuan Repelita V *)

1994195 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 Jumlah

1. Penyaluran tenaga kerjaa. Antar kerja antar daerah orang 170.000 180.000 210.000 250.000 270.000 290.000 1.200.000b. Antar kerja antar negara orang 150.000 150.000 200.000 250.000 300.000 350.000 1.250.000

2. Pelatihan keterampilan tenaga kerja orang 140.000 40.000 45.000 50.000 55.000 60.000 250.000

3. Pelatihan dan penataran instruktur orang 1200 3.040 3.420 3.970 4.360 4.710 19.500

4. Pembentukan lembaga bipartit unit 1.500 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 5.000

5. Pembentukan lembaga tripartit sektor - 2 2 3 3 3 13

6. Pembentukan peraturan perusahaan buah 799 800 700 600 500 400 3.000

7. Pembentukan kesepakatan kerja sektor - 2 2 3 3 3 13bersama sektoral

8. Jaminan sosial tenaga kerja perusahaan 4.700 11.000 11.500 12.000 12.500 13.000 60.000

Catatan : *) Angka perkiraan realisasi (keadaan pada akhir Repelita V)

6) Peningkatan Ekspor Jasa Tenaga Kerja

Ekspor jasa tenaga kerja merupakan upaya untuk mengurangi pengangguran melalui pemanfaatan kesempatan kerja di luar negeri yang sekaligus mendatangkan devisa bagi negara. Penyaluran tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri, terutama tenaga terdi-dik dan terampil terus ditingkatkan dengan tetap memperhatikan kebutuhan di dalam negeri. TKI yang disalurkan diutamakan pada tenaga kerja terampil untuk lapangan kerja formal sesuai dengan pangsa pasar yang ada. Penyaluran tenaga kerja sebagai ekspor jasa tenaga kerja diupayakan dengan tetap memperhatikan harkat, martabat, dan nama baik bangsa Indonesia disertai peningkatan pengawasan oleh pemerintah. Sehubungan dengan itu, dilaksana-kan (1) seleksi yang lebih ketat, baik kemampuan teknis, kemam-puan komunikasi maupun mental psikologis, agar dapat mengisi lowongan kerja yang ada di luar negeri, (2) penyempurnaan mekanisme, penyaluran, penempatan, pengawasan dan perlindun-gan TKI, dan (3) pelatihan bagi TKI. Dalam Repelita VI disalur -kan sekurang-kurangnya 1.250 ribu orang tenaga kerja ke pasar kerja di luar negeri dengan perkiraan penerimaan devisa sekitar US $ 3,0 miliar (Tabel 10-5).

7) Teknologi Padat Karya

Dalam rangka mendayagunakan tenaga kerja penganggur dan setengah penganggur, penerapan teknologi padat karya untuk memperkuat usaha kecil, usaha kerajinan industri rumah tangga dilanjutkan dengan melakukan pembaharuan terhadap pola pelak-sanaannya. Kegiatan ini dilakukan dengan (1) mengidentifikasi prospek pemasaran dan potensi kesempatan kerja yang berkesi-nambungan, (2) menyebarluaskan jenis teknologi padat karya sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kreativitas masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dan produktif, khususnya di desa tertinggal, dan (3) menerapkan paket teknologi pada lokasi terpilih secara selektif. Kegiatan ini diarahkan pula khususnya untuk menunjang kegiatan

130

koperasi serta dalam memperkuat usaha kecil dan usaha kerajinan industri rumah tangga.

Untuk menunjang keberhasilan pengembangan, penerapan dan penyebaran teknologi padat karya secara mandiri, disiapkan tena-ga-tenaga terampil yang berfungsi sebagai penghubung dan pem-bina yang sekaligus dapat menularkan pengetahuannya kepada masyarakat perdesaan. Kerja sama dan peran serta masyarakat, keterkaitan antarinstansi, baik Pemerintah maupun swasta diting-katkan. Penerapan teknologi padat karya ditujukan untuk menun-jang program pengentasan kemiskinan.

8) Penyaluran dan Pendayagunaan Tenaga KerjaPenyandang Cacat

Dalam Repelita VI upaya penyaluran dan pendayagunaan tenaga kerja penyandang cacat ditingkatkan sesuai dengan keterampilan dan kondisi fisiknya. Upaya peningkatan perluasan kesempatan kerja bagi tenaga kerja penyandang cacat dilakukan, antara lain melalui proses rehabilitasi keterampilan secara berkesi-nambungan dan terkoordinasi yang menyangkut pengadaan sarana pelayanan bimbingan, serta penyuluhan jabatan, dan pe-latihan kerja, serta peraturan perundangan yang mendukung.

c. Program Pelatihan dan Peningkatan Keterampilan. Tenaga Kerja

Pelatihan keterampilan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan dan keahlian serta profesionalisme tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan pembangunan di berbagai sektor, dalam rangka penciptaan lapangan kerja, mengisi lowongan, penggantian tenaga kerja asing serta pengembangan sumber daya manusia pada umumnya sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolo-gi. Perencanaan dan pelaksanaan pelatihan keterampilan diseleng-garakan bersama-sama dengan pengguna tenaga kerja atau perusa-haan melalui pemagangan, pelatihan di tempat kerja dan pelatihan bagi pekerja. Untuk itu, dilaksanakan pembaharuan pelatihan

131

keterampilan tenaga kerja. Asosiasi perusahaan dan kawasan Indus- tri didorong agar masing-masing memiliki dan mengembangkan fasilitas pelatihan.

Dengan cenderung meningkatnya angkatan kerja wanita memasuki pasar kerja, dan makin meluasnya kesempatan kerja bagi angkatan kerja wanita, bagi angkatan kerja wanita diberi peluang yang lebih besar untuk mengikuti pelatihan keterampilan di balai latihan kerja atau di tempat kerja sesuai dengan minat, harkat dan martabatnya.

1) Kemitraan Pelatihan Antara Penyelenggara dan Pengguna Hasil Pelatihan

Pelatihan keterampilan tenaga kerja, khususnya di BLK-BLK diselenggarakan dengan meningkatkan mutu pelatihan secara keseluruhan melalui kemitraan dengan pengguna tenaga kerja. Sehubungan dengan itu, dilaksanakan pembaharuan pelatihan keterampilan untuk menyediakan tenaga kerja terampil, berpendi-dikan dan fleksibel secara tepat dan cepat sesuai dengan kebutuhan pasar kerja sekaligus meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan perbaikan iklim kerja. Untuk itu, dikaji dan dikembangkan ke-mungkinan penanaman modal dalam dan luar negeri di bidang pelatihan keterampilan. Pelatihan keterampilan juga dapat diman-faatkan untuk menghasilkan barang jadi yang dapat dipasarkan dan hasil penjualannya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan pelatihan keterampilan secara swadana.

Dalam Repelita VI direncanakan untuk melatih sekitar 250 ribu orang di berbagai jenis kejuruan melalui pelatihan institusional dan noninstitusional, serta pemagangan dengan mengikutsertakan lembaga pelatihan swasta dan perusahaan sebagai bagian dari sistem pelatihan nasional (Tabel 10-5). Kemitraan antara penye-lenggara dan pengguna hasil pelatihan diwujudkan dalam bentuk kerja sama dengan asosiasi profesi kerja, termasuk serikat pekerja dan pengusaha dalam penyusunan perencanaan pelatihan, ku-rikulum atau silabus, standar kualifikasi keterampilan, uji

132

keterampilan, sertifikasi dan akreditasi lembaga-lembaga penye-lenggara pelatihan. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan mutu pelatihan, standar kualifikasi keterampilan (SKK) yang diakui oleh masyarakat dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi disebarluaskan.

Sejalan dengan itu, uji keterampilan dan sertifikasi dikem-bangkan dalam rangka pembentukan profesionalisme tenaga kerja. Selama Repelita VI diupayakan sertifikasi bagi sekurang-kurangnya 250.000 tenaga kerja, antara lain di kejuruan konstruksi, las, dan tata boga. Perkembangan SKK dan uji keterampilan dapat dijadi-kan masukan untuk menyempurnakan klasifikasi jabatan Indone-sia (KJI).

Akreditasi bagi penyelenggara pelatihan dalam rangka meningkatkan mutu penyelenggaraan pelatihan dan perlin-dungan bagi peserta pelatihan dikembangkan dan ditingkatkan. Untuk mendukung terselenggaranya pelatihan di perusahaan-per-usahaan, dihimpun iuran dana pelatihan dari perusahaan, oleh perusahaan, dan dimanfaatkan untuk perusahaan. Iuran dana pe-latihan yang terhimpun dimanfaatkan pula untuk membantu mela-tih tenaga terampil yang dibutuhkan oleh perusahaan kecil, tradi-tional, informal dan koperasi yang tidak mampu menyelenggara-kan pelatihan untuk karyawannya.

Untuk mendukung terselenggaranya penghimpunan dan penge-lolaan iuran dana pelatihan disempurnakan fungsi dan kelembagaan Dewan Latihan Kerja Nasional atau Daerah (DLKN atau DLKD). Untuk mengelola dana yang terhimpun, dibentuk unit pengem-bangan pelatihan di tiap-tiap daerah yang anggotanya terdiri atas tenaga profesional.

2) Pemagangan

Pemagangan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam program pemagangan, tenaga kerja ditempatkan di perusahaan atau di tempat kerja lain

133

dengan bimbingan tenaga ahli atau senior untuk memenuhi kebutuh-an persyaratan keterampilan tertentu. Pemagangan menjembatani kesenjangan antara pendidikan formal dengan dunia kerja. Program pemagangan disusun mengacu pada standar kualifikasi keteram-pilan. Dengan demikian, untuk melaksanakan program pemagang-an secara tepat, dilaksanakan kerja sama yang erat antara lembaga tempat kerja atau perusahaan, lembaga penyelenggara pelatihan, dan lembaga uji keterampilan. Program pemagangan dijadikan gerakan nasional yang melibatkan lembaga-lembaga pendidikan atau pelatihan keterampilan dan perusahaan serta lembaga peneri-ma kerja di dalam negeri. Disamping itu, dalam rangka alih tek-nologi, pembudayaan disiplin dan etos kerja, dikembangkan pula pemagangan di luar negeri.

3) Pembinaan dan Penataran Instruktur, Ahli Desain Kurikulum, Perencana, dan Pengelola Pelatihan

Dalam rangka meningkatkan mutu pelatihan, ditingkatkan pembinaan instruktur melalui pelatihan bagi calon instruktur dan penataran instruktur yang telah ada, baik instruktur BLK pemerin-tah, perusahaan maupun masyarakat. Pembinaan instruktur juga ditempuh dengan memberikan kesempatan kerja praktek di indus-tri-industri agar terhindar dari keterasingan dalam mengantisipasi kemajuan teknologi peralatan produksi yang digunakan di dunia kerja. Pengalaman kerja praktek dapat dijadikan masukan untuk menyempurnakan kurikulum dan silabus pelatihan.

Untuk menyesuaikan hasil pelatihan dengan kebutuhan peng-guna tenaga kerja juga dikembangkan pelatihan bagi ahli desain kurikulum, perencana, dan pengelola pelatihan. Dalam Repelita VI direncanakan untuk ditatar 19.500 orang instruktur, ahli desain kurikulum, perencana, dan pengelola pelatihan (Tabel 10-5).

4) Sistem Informasi Pelatihan

Untuk mendukung upaya penyusunan perencanaan dan kebi-jaksanaan pelatihan dikembangkan sistem informasi pelatihan

134

beserta kelembagaannya yang berfungsi mengumpulkan data pelatihan, antara lain mengenai program, lembaga penyelenggara, jenis dan kejuruan serta jumlah lulusan menurut kualifikasi keterampilan di tingkat nasional maupun daerah. Data dan informasi pelatihan yang telah diolah untuk dijadikan pedoman bagi penyusunan perencanaan pelatihan berdasarkan kebutuhan pasar kerja. Informasi pelatihan disebarluaskan untuk digunakan oleh yang berkepentingan. Informasi pelatihan juga meliputi kebu-tuhan pelatihan bagi keterampilan yang memiliki prospek pengem-bangan.

d. Program Pembinaan Hubungan Industrial dan Perlin-dungan Tenaga Kerja

1) Sistem Hubungan Industrial Pancasila

Seiring dengan pertumbuhan sektor formal dan sektor industri pada khususnya yang ditandai dengan meningkatnya jumlah status pekerja sebagai buruh atau karyawan dalam Repelita VI, hubungan industrial antara pelaku produksi juga turut berkembang yang menuntut adanya lembaga dan pranata industrial yang sehat dan dinamis sebagai sarana HIP, antara lain meliputi serikat pekerja, organisasi pengusaha, dan lembaga kerja sama tripartit, bipartit dan lembaga penyelesaian perselisihan perburuhan.

(a) Serikat Pekerja dan Organisasi Pengusaha

Serikat pekerja sebagai wadah dan badan kolektif yang demokratis dan bertanggung jawab dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja yang berperan penting dan strategis dalam memajukan tingkat kehidupan pekerja. Keberadaan serikat pekerja sangat bermanfaat bagi pekerja yang didukung oleh iuran anggota dan dikelola oleh anggota tanpa tergantung pada pengusaha atau badan lainnya. Sebaliknya, organisasi pengusaha merupakan sarana untuk melakukan komunikasi dan konsultasi antara pengusaha dengan serikat pekerja untuk menyatukan pandangan dan menghindari pertentangan serta perselisihan, sehingga mendorong terciptanya ketenteraman kerja dan berusaha.

135

Untuk itu, dalam hubungan kerja industrial sulit dilaksanakan oleh orang per orang sehingga kehadiran serikat pekerja dibutuh-kan sebagai badan kolektif yang mewakili pekerja untuk menge-mukakan pendapat dan berunding tanpa campur tangan pihak luar. Oleh karena itu, hak berserikat dan berunding bagi pekerja dilin-dungi, baik untuk kepentingan pekerja maupun pengusaha.

Untuk mewujudkan hubungan industrial yang sehat dan dinamis dibutuhkan serikat pekerja dan organisasi pengusaha yang demokratis, profesional, kuat dan mandiri dengan (1) menciptakan suasana dan iklim yang dapat mendorong tumbuh dan berkem-bangnya asas musyawarah dan mufakat antara serikat pekerja dengan organisasi pengusaha untuk mewujudkan kepentingan bersama, (2) melaksanakan pendidikan dan penyuluhan ketenaga-kerjaan bagi pekerja melalui kader pimpinan serikat pekerja dan kader organisasi pengusaha, untuk menghasilkan calon pimpinan serikat pekerja dan pengusaha yang andal, dan profesional, (3) menumbuhkembangkan serikat pekerja dan organisasi peng-usaha sejenis atas dasar sektor usaha (serikat pekerja sektoral dan asosiasi pengusaha sektoral), (4) mengikutsertakan organisasi pengusaha atau tenaga-tenaga pengusaha yang potensial dalam penataran manajemen sumber daya manusia, dan (5) mengikutser-takan serikat pekerja sektoral bersama asosiasi pengusaha sektoral dalam perencanaan dan pengembangan sistem pelatihan, khususnya pelatihan keterampilan di tempat kerja bagi karyawan.

(b) Lembaga Kerja Sama Bipartit dan Tripartit

Lembaga kerja sama (LKS) bipartit dan tripartit merupakan forum konsultasi dan komunikasi untuk mempersatukan wawasan, sikap dan upaya secara bersama dan kekeluargaan dalam mengha-dapi, mencegah timbulnya dan memecahkan masalah yang dihadapi di perusahaan. Upaya meningkatkan fungsi LKS bipartit dan tri-partit dilaksanakan dengan (1) menetapkan komitmen bersama dengan semangat kemitraan yang tidak hanya diterapkan dengan cara berdialog, tetapi juga didukung dengan keterbukaan untuk melaksanakan konsultasi secara teratur, efektif, dan intensif,

136

(2) menegakkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku, (3) menyempurnakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang sudah tidak sesuai, (4) menyusun prosedur operasional yang baku melalui mekanisme tripartit serta meka-nisme HIP yang disepakati bersama, dan (5) mengadakan penyu-luhan secara terarah dan intensif.

Selama Repelita VI direncanakan terbentuk 5.000 LKS bipartit dan 13 LKS tripartit sektoral, masing-masing di tingkat pusat, di 27 daerah tingkat I dan di 158 daerah tingkat II (Tabel 10-5).

(c) Lembaga Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) berfungsi dan bertugas menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang timbul dan diselesaikan secara berjenjang, dengan musyawarah untuk mufakat. Upaya menangani dan menyelesaikan perselisihan secara cepat dan tepat ditempuh melalui kegiatan (1) peningkatan fungsi dan peranan lembaga penyelesaian perselisihan agar mutu dan pelayanannya menjadi lebih efisien, produktif dan konsisten, dengan memperhatikan aspek-aspek hubungan industrial dan per-lindungan tenaga kerja yang telah disepakati, baik dalam PP maupun KKB, dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku, dan (2) pemetaan tingkat kerawanan perusahaan dalam pelaksanaan hubungan industrial agar dapat dilaksanakan deteksi dini secara tepat dan akurat serta pembinaan yang lebih terarah.

2) Syarat-syarat Kerja dan Kesejahteraan Tenaga Kerja

(a) Pengupahan

Kebijaksanaan pengupahan dalam PJP I diarahkan untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum (KFM). Dalam rangka meningkatkan keadilan dan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, dalam Repelita VI secara bertahap diupayakan tingkat upah yang menuju pada kebutuhan hidup. Upaya tersebut dilakukan dengan

137

(1) mempertimbangkan produktivitas, prestasi kerja, dan nilai kemanusiaan yang menumbuhkan rasa harga diri pekerja, serta kemampuan perusahaan dan perkembangan ekonomi pada umumnya, dan (2) menyederhanakan berbagai bentuk tunjangan yang diberikan dalam nilai uang dan dikaitkan dengan prestasi serta produktivitas tenaga kerja melalui penciptaan ukuran prestasi kerja yang dapat diterima oleh kedua belah pihak pelaku proses produksi.

Dalam merumuskan sistem pengupahan nasional, diikutserta-kan serikat pekerja sektoral dan asosiasi pengusaha sejenis. Untuk melaksanakan pemantauan dan analisis perkembangan pengupahan diikutsertakan Dewan Ketenagakerjaan di daerah dan Dewan Pene-litian Pengupahan di tingkat Nasional (DPPN). Sistem pengupahan nasional mencakup antara lain kriteria penentuan upah, penjen-jangan upah, penentuan proporsi upah dari keseluruhan biaya produksi, bentuk upah sesuai dengan status dan profesi pekerja, mekanisme penetapan upah dan waktu peninjauan upah serta ukuran dalam kenaikan upah.

(b) Kesepakatan Kerja Bersama dan Peraturan Perusahaan

Kesepakatan kerja bersama (KKB) merupakan hasil mufakat yang bertujuan untuk memantapkan dan mengembangkan hubungan kerja yang serasi di masing-masing perusahaan. Adanya KKB juga memberikan gambaran peran serta serikat pekerja dalam menentu-kan kebijaksanaan ketenagakerjaan di perusahaan.

Untuk itu, diupayakan terbentuknya secara bertahap KKB sektoral searah dengan pertumbuhan dan perkembangan serikat pekerja sektoral. Materi KKB antara lain mencakup hubungan kerja, hari kerja dan waktu kerja, pengupahan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), termasuk bonus bagi pekerja sebagai insentif material yang menumbuhkembangkan rasa kebersamaan antara pelaku proses produksi, baik dalam menghadapi masalah maupun dalam menikmati keuntungan perusahaan. Serikat pekerja sektoral

138

secara bertingkat dari daerah sampai tingkat pusat ditingkatkan kemampuan dan peranannya untuk menampung aspirasi pekerja.

Dalam sektor usaha tertentu yang belum mewujudkan KKB, pengaturan syarat-syarat kerja dituangkan dalam peraturan perusa-haan (PP). Selama Repelita VI diharapkan terbentuk 3.000 PP dan 13 KKB sektoral (Tabel 10-5).

(c) Koperasi Tenaga Kerja

Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja, karyawan perusahaan didorong untuk membentuk koperasi tenaga kerja yang dipimpin dan dikelola oleh pekerja secara efisien dan efektif serta profesional. Untuk menumbuhkembangkan koperasi tenaga kerja dilaksanakan kegiatan (1) pembinaan agar dapat melayani kebutuhan anggotanya, baik dalam arti ekonomis maupun sosial, seperti kebutuhan perumahan, klinik kesehatan, dan sekolah, (2) penyuluhan dan penataran bagi pengurus koperasi tenaga kerja, (3) pemberian kesempatan bagi koperasi tenaga kerja untuk memiliki saham perusahaan dalam rangka menumbuhkem-bangkan rasa memiliki perusahaan, dan (4) pengembangan usaha koperasi agar menjadi produktif yang kegiatannya diarahkan ke bidang produksi dengan mengutamakan keterkaitan usaha koperasi dengan kegiatan perusahaan. Secara bertahap koperasi tenaga kerja diarahkan tidak semata-mata bergerak dalam bidang konsum-si, tetapi sekaligus secara tidak langsung turut menentukan per-kembangan perusahaan.

3) Perlindungan Tenaga Kerja

Dalam Repelita VI dilaksanakan perlindungan tenaga kerja yang khususnya mencakup tenaga kerja wanita, anak yang terpaksa bekerja dan tenaga kerja yang bekerja di luar negeri. Upaya per-lindungan tenaga kerja didukung oleh pengawasan, keselamatan dan kesehatan kerja (K3), higiene perusahaan dan kesehatan kerja (hiperkes), pelayanan keluarga berencana, serta jaminan sosial tenaga kerja.

139

(a) Perlindungan Tenaga Kerja Wanita

Secara kodrati wanita memiliki berbagai keadaan fisiologis yang berbeda dengan pria. Tenaga kerja wanita harus mendapatkan perlindungan dan perlakuan sebagai wanita seutuhnya dalam peker-jaan dengan memperhatikan harkat, martabat, dan kodratnya dalam melakukan peran gandanya. Hak tenaga kerja wanita yang harus dilindungi sesuai dengan Undang-Undang No.1 Tahun 1951 antara lain mencakup hak (1) cuti haid, hamil, melahirkan dan gugur kandungan, (2) kesempatan untuk menyusukan anaknya, (3) penghapusan perbedaan perlakuan terhadap tenaga kerja wanita, dan (4) larangan bekerja untuk wanita di dalam tambang dan di tempat-tempat yang berbahaya.

Dalam Repelita VI, perlindungan tenaga kerja wanita dilaksanakan dengan memperluas jangkauan perlindungan ke sektor informal, khususnya di unit-unit produksi industri rumah tangga dalam bidang hiperkes, ergonomi, keselamatan dan kesehatan kerja secara terpadu dengan kegiatan-kegiatan pembangunan lainnya.

Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat, upaya untuk melindungi tenaga kerja wanita dilaksanakan dengan mendo-rong organisasi wanita agar berperan serta melaksanakan kegiatan penyuluhan. Materi penyuluhan mencakup hak dan kewajiban tenaga kerja wanita, penghapusan diskriminasi, perlindungan fungsi keibuan, waktu kerja dan waktu istirahat, keselamatan dan kesehatan kerja, serta hubungan ketenagakerjaan. Selain itu, juga dilaksanakan penyuluhan tentang gizi keluarga serta perlindungan tenaga kerja wanita yang bekerja pada malam hari dengan menye-diakan fasilitas antarjemput oleh perusahaan.

(b) Perlindungan Tenaga Kerja Anak

Menurut ketentuan yang ada anak-anak berusia 14 tahun ke bawah dilarang bekerja. Dalam rangka melaksanakan ketentuan tersebut, dalam Repelita VI anak-anak tersebut secara bertahap

140

diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan dasar 9 tahun. Dengan demikian, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun akan mengurangi anak-anak yang terpaksa bekerja.

Anak yang terpaksa bekerja merupakan masalah penting mengingat anak merupakan sumber daya manusia yang perlu dibina sejak usia dini. Upaya penanggulangan bagi anak yang terpaksa bekerja menyangkut pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan aspek lainnya, dalam rangka menjamin pertumbuhan jasmani, rohani, sosial, dan intelektual anak secara wajar.

Untuk itu, pengawasan dan perlindungan ditingkatkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang membahayakan keselamatan dan masa depan anak-anak. Perhatian dan pengawasan dilaksanakan secara efektif dan terpadu yang menyangkut antara lain izin dari orang tua atau walinya, ketentuan mengenai jam kerja, larangan kerja pada tempat yang berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan serta larangan kerja pada malam hari. Upah yang diberikan kepada anak yang terpaksa bekerja disesuaikan dengan tingkat upah yang berlaku. Selain itu, bagi anak yang terpaksa bekerja disedia-kan waktu untuk mengikuti program bekerja sambil belajar (program kejar) oleh perusahaan dengan partisipasi serikat pekerja dan pengusaha.

(c) Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri

Perlindungan tenaga kerja yang bekerja di luar negeri ditingkatkan antara lain melalui kerja sama dengan pemerintah setempat. Perlindungan antara lain mencakup legalisasi dan pemu-tihan izin kerja, kondisi kerja, jaminan sosial tenaga kerja, kesela-matan dan kesehatan kerja, upah serta perlakuan lainnya bagi tenaga kerja sesuai dengan harkat, martabat dan harga diri warga negara yang merdeka, serta memperoleh bantuan hukum. Selain itu, di dalam negeri ditingkatkan perlindungan tenaga kerja sesuai dengan peraturan yang mengatur pengiriman tenaga kerja Indone-sia ke luar negeri melalui pengawasan.

141

(d) Pengawasan Tenaga Kerja

Pengawasan ketenagakerjaan diupayakan mencakup seluruh aspek ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan norma ketenagakerjaan. Dalam Repelita VI agar peng-usaha dan pekerja menaati, mematuhi, dan melaksanakan peratur-an perundang-undangan secara efektif dan efisien, frekuensi dan obyek pengawasan, mutu serta jumlah pengawas ketenagakerjaan ditingkatkan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku juga dimasyarakatkan melalui penyuluhan massal. Dalam rangka itu, koordinasi dengan instansi penegak hukum dalam melaksanakan pengawasan ketenagakerjaan ditingkatkan. Peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan pembangunan di bidang ketenagakerjaan disempurnakan.

(e) Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hiperkes)

Dalam rangka memasyarakatkan dan membudayakan kese-lamatan dan kesehatan kerja (K3) dan hiperkes, penerapan dan pengawasannya diarahkan untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja di perusahaan. Untuk meningkat-kan pelaksanaan K3 dan hiperkes menuju tercapainya kecelakaan kerja nihil dilakukan kegiatan (1) meningkatkan fungsi dan mendorong terbentuknya Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) di perusahaan dengan memantapkan koordinasi fungsional antara perusahaan dengan PT Astek dalam pembinaan teknis dan manajemen K3, (2) melaksanakan penelitian dan menetapkan standar K3 dan hiperkes sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan risiko akibat kerja dan gangguan terhadap kesehatan tenaga kerja dan masyarakat, (3) mengembangkan jaringan sistem informasi K3 dan hiperkes yang telah dirintis, baik di pusat maupun di wilayah untuk menunjang sistem pengawasan dan penerapannya secara mandiri dan profesional di perusahaan, (4) memasyarakatkan K3 dan hiperkes dengan mengikutsertakan peran masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi profesi kerja melalui

142

pelatihan teknis bagi kader K3 dan hiperkes di perusahaan, dan (5) memberikan pelayanan jasa kesehatan bagi tenaga kerja di sektor industri kecil dan rumah tangga melalui balai hiperkes.

(f) Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Dalam Undang-Undang No.3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) pada hakikatnya memberikan kepastian bagi berlangsungnya arus penerimaan penghasilan keluarga sebagai pengganti sebagian atau seluruhnya penghasilan yang hilang pada waktu bekerja. Dalam pelaksanaannya, Jamsostek memperhatikan aspek pemberian perlindungan dasar bagi pekerja beserta keluar-ganya untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan penghargaan pekerja yang telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya kepada perusa-haan tempat bekerja.

Pelaksanaan Jamsostek mencakup (1) pemberian kompensasi tunai untuk santunan cacat akibat kecelakaan kerja, hari tua, meninggal dunia, (2) pelayanan kuratif untuk perawatan sakit dan kecelakaan kerja, serta promotif melalui pendidikan atau nasehat kesehatan, dan (3) pemberian bantuan pelatihan keterampilan dan bea siswa bagi anak pekerja.

Dalam Repelita VI diharapkan Jamsostek dapat mengikut-sertakan sekitar 60 ribu perusahaan yang mencakup 10,0 juta pekerja dan menghimpun dana sekitar Rp 8 triliun (Tabel 10-5).

2. Program Penunjang

a. Program Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan Ketenagakerjaan

Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan sekaligus kemampuan, keahlian, dan keterampilan bagi aparatur pemerintah dilaksanakan (1) pendidikan dan pelatihan penjenjangan maupun teknis yang dikaitkan dengan sistem promosi, (2) penyesuaian-penyesuaian silabus, kurikulum, modul, sarana dan prasarana

143

pendidikan dan pelatihan, (3) pendidikan dan penataran lanjutan kepada widyaiswara dan instruktur, dan (4) tambahan pendidikan dan pelatihan bagi pejabat-pejabat struktural, nonstruktural, dan tenaga-tenaga fungsional terutama bagi aparat di daerah. Di-samping itu, untuk membina generasi muda yang akan memasuki pasar kerja, dilaksanakan penyuluhan mengenai (1) bimbingan jabatan, dan (2) peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan hubungan industrial Pancasila (HIP).

Untuk memenuhi tenaga kerja terampil bagi tenaga kerja wanita dikembangkan pola pembinaan di sektor informal. Pembi-naan dilaksanakan secara bertingkat melalui calon pembina dan pemandu usaha yang mencakup antara lain aspek-aspek produksi, permodalan, manajemen, dan perlindungan tenaga kerja yang menyangkut keselamatan dan kesehatan kerja. Bagi tenaga kerja wanita yang bekerja di sektor formal dilakukan penyuluhan tentang lingkungan kerja yang memenuhi ketentuan norma kerja, penye-diaan tempat penitipan anak dan penyediaan fasilitas keluarga berencana.

b. Program Penelitian dan Pengembangan Ketenagakerjaan

Dalam Repelita VI program penelitian dan pengembangan ketenagakerjaan ditujukan bagi penelitian masalah strategis kebi-jaksanaan pengembangan tenaga kerja, baik masalah jangka pendek maupun jangka panjang. Aspek yang diteliti meliputi (1) cara untuk meningkatkan etos kerja dan produktivitas tenaga kerja Indonesia, (2) kesesuaian pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia dengan kebutuhan pembangunan, (3) pola pertumbuhan ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja secara maksimal, (4) masalah yang dihadapi oleh tenaga kerja tertentu seperti wanita, anak-anak yang terpaksa bekerja, pemuda, dan tenaga kerja usia lanjut, (5) kecenderungan-kecenderungan perkembangan angkatan kerja Indonesia di masa depan, (6) pasar tenaga kerja luar negeri, dan (7) masalah kesejahteraan tenaga kerja.

144

VI. RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN DALAM REPELITA VI

Program-program pembangunan tersebut di atas dilaksanakan baik oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat. Dalam program-program tersebut, yang merupakan program dalam bidang tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja, yang akan dibiayai dengan anggaran pembangunan selama Repelita VI (1994/95 - 1998/99) adalah sebesar Rp l.073.200,0 juta. Rencana anggaran pem- bangunan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja untuk tahun pertama dan selama Repelita VI menurut sektor, sub sektor dan program dalam sistem APBN dapat dilihat dalam Tabel 10-6.

145

Tabel 10—6

RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNANTENAGA KERJA DAN PERLUASAN KESEMPATAN KERJA

Tahun Anggaran 1994/95 dan Repelita VI (1994/95 — 1998/99)

(dalam juta rupiah)

No.Kode Sektor/Sub Sektor/Program 1994/95 1994/95 — 1998/99

04 SEKTOR TENAGA KERJA

04.1 Sub Sektor Tenaga Kerja

04.1.01 Program Pelatihan dan Peningkatan Keterampilan TenagaKerja 77,510.0 527,600.0

04.1.02 Program Penyebaran dan Pendayagunaan Tenaga Kerja 47,393.0 355,940.004.1.03 Program Pembinaan dan Pengembangan Produktivitas dan

Kesempatan Kerja 9,315.0 86,260.004.1.04 Program Pembinaan Hubungan Industrial dan Perlindungan

Tenaga Kerja 12,314.0 103,400.0

146