21
Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM) Sistem kerjasama antar keperangkatan pelayanan sosial di akar rumput yang terdiri dari usaha kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya. Wahana ini merupakan jejaring kerja pada kelembagaan sosial komunitas lokal, baik yang tumbuh melalui proses alamiah dan tradisional maupun lembaga yang sengaja dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat pada tingkat lokal, sehingga dapat menumbuhkembangkan sinergi lokal dalam pelaksanaan tugas di bidang usaha kesejahteraan sosial Wali Orang atau badan yang dipercaya dan mendapat kekuasaan asuh anak sebagai orang tua Wanita Korban Tindak Kekerasan Wanita yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan tindak pidana Wanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial (WPKS) Wanita atau wanita tokoh masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk memimpin dan melaksanakan kegiatan usaha kesejahteraan sosial Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) Seorang wanita yang karena faktor kemiskinannya, keterbelakangan dan kebodohannya mengalami gangguan fungsional dalam kehidupan sosial dan atau ekonominya sehingga yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk menjalankan peranan sosialnya. (Pedoman Umum Pemberdayaan Keluarga, tahun 2005) Wawancara Teknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung lisan oleh pewawancara (pengumpul data) kepada responden atau informan dan jawaban-jawaban responden atas informan dicatat atau direkam dengan alat perekam Wawasan Kesejahteraan Sosial Cara pandang atau pemahaman tentang hakekat prinsip dasar pembangunan kesejahteraan sosial Widyaiswara Pejabat Fungsional yang bertugas dalam bidang pendidikan dan pelatihan di instansi pemerintah, adapun jenjang widyaiswara adalah widyaiswara pertama, widyaiswara muda, widyaiswara madya, widyai

Wahana Kesejahteraan Sosial

  • Upload
    citra

  • View
    39

  • Download
    3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cdsjgfckjwefsgckjesagfckjugfv

Citation preview

Wahana Kesejahteraan Sosial Berbasis Masyarakat (WKSBM)Sistem kerjasama antar keperangkatan pelayanan sosial di akar rumput yang terdiri dari usaha kelompok, lembaga maupun jaringan pendukungnya. Wahana ini merupakan jejaring kerja pada kelembagaan sosial komunitas lokal, baik yang tumbuh melalui proses alamiah dan tradisional maupun lembaga yang sengaja dibentuk dan dikembangkan oleh masyarakat pada tingkat lokal, sehingga dapat menumbuhkembangkan sinergi lokal dalam pelaksanaan tugas di bidang usaha kesejahteraan sosialWaliOrang atau badan yang dipercaya dan mendapat kekuasaan asuh anak sebagai orang tuaWanita Korban Tindak KekerasanWanita yang mengalami penderitaan fisik maupun mental serta kerugian ekonomi yang diakibatkan tindak pidanaWanita Pemimpin Kesejahteraan Sosial (WPKS)Wanita atau wanita tokoh masyarakat yang mempunyai kemampuan untuk memimpin dan melaksanakan kegiatan usaha kesejahteraan sosialWanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE)Seorang wanita yang karena faktor kemiskinannya, keterbelakangan dan kebodohannya mengalami gangguan fungsional dalam kehidupan sosial dan atau ekonominya sehingga yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk menjalankan peranan sosialnya. (Pedoman Umum Pemberdayaan Keluarga, tahun 2005)WawancaraTeknik pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung lisan oleh pewawancara (pengumpul data) kepada responden atau informan dan jawaban-jawaban responden atas informan dicatat atau direkam dengan alat perekamWawasan Kesejahteraan SosialCara pandang atau pemahaman tentang hakekat prinsip dasar pembangunan kesejahteraan sosialWidyaiswaraPejabat Fungsional yang bertugas dalam bidang pendidikan dan pelatihan di instansi pemerintah, adapun jenjang widyaiswara adalah widyaiswara pertama, widyaiswara muda, widyaiswara madya, widyai

KEBIJAKAN WANITA RAWAN SOSIAL EKONOMI

KEBIJAKAN WANITA RAWAN SOSIAL EKONOMI Oleh Bambang Rustanto Mata Kuliah Peksos Dgn Keluarga A. Kebijakan : Wanita Rawan Sosial EkonomiKebijakan merupakan suatu prinsip atau tindakan yang diambil untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan, baik yang dialami oleh perorangan, kelompok maupun masyarakat. Kebijakan terkadang diambil karena suatu kondisi atau situasi masalah yang memerlukan suatu tindakan atau penanganan secepat mungkin.

1. Pengertian KebijakanMenurut Ealau dan Prewitt, kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku yang konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu) (Suharto, 1997). Kamus Webster memberi pengertian kebijakan sebagai prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Titmuss mendefinisikan kebijakan sebagai prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan kepada tujuan-tujuan tertentu (Suharto, 1997).Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented).Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.Kaitan kebijakan dengan program pelayanan sosial adalah kebijakan sosial harus dapat diterima oleh masyarakat, karena pada dasarnya kebijakan dibuat untuk dapat mengatasi masalah sosial yang ada pada masyarakat. Harus juga diingat bahwa kebijakan meliputi: kebijakan sosial, kebijakan kesejahteraan sosial, dan kebijakan public.

2. Landasan Pembangunan Kesejahteraan Bagi Wanita Rawan Sosial Ekonomia. Landasan Idiil Pancasila mengarahkan agar semua pembangunan dan pelayanan sosial harus merupakan penjabaran pengalaman dari sila dalam Pancasila.b. Landasan Konstitutional Undang-Undang Dasar 1945.1) UUD 1945 pasal 27 ayat 2, bahwa tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.c. Landasan struktural berupa peraturan perundang-undangan, antara lain:1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 42 tentang Hak Asasi Manusia.4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial.5) Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 84/HUK/1997 tentang Pelaksanaan Pemberian Bantuan Sosial Bagi Keluarga Miskin.6) UU No. 11 Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan

3. Pelayanan yang Berkaitan dengan Wanita Rawan Sosial EkonomiPerempuan adalah sosok yang paling rentan mengalami permasalahan di wilayah perkotaan. Apalagi ia sebagai perempuan yang ditinggalkan oleh suami dan mempunyai tanggungan anak yang masih berusia belum dewasa. Perempuan yang dengan kondisi demikian biasa disebut sebagai perempuan rawan social ekonomi.Oleh sebab itu dibutuhkan strategi pemberdayaan bagi perempuan rawan sosial ekonomi guna menanggulangi permasalahan yang ada. Pemberdayaan berasal dari kata Empowerment, yaitu sebagai upaya mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Pemberdayaan dipandang untuk menolong dengan membangkitkan tenaga dalam mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan sepanjang hidup, termasuk mengurangi efek atau akibat dari gejala- gejala pada masyarakat atau individu untuk melatih agar kekuatan itu tumbuh dengan meningkatkan kapasitas percaya diri, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. (Payne, Pendekataan pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia (people centered development) melandasi wawasan pengelolaan sumber daya lokal, yang merupakan mekanisme perencanaan yang menekankan pada teknologi pembelajaran sosial dan strategi perumusan program.Dalam hal ini, Moelyarto (1999: 37-38) mengemukakan ciri-ciri pendekatan pengelolaan sumber daya lokal yang berbasis masyarakat, meliputi:1) Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi masyarakat setempat dibuatditingkat lokal, oleh masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya sebagai partisipan dalam proses pengambilan keputusan.2) Fokus utama pengelolaan sumber daya lokal adalah memperkuat kemampuan masyarakat miskin dalam mengarahkan aset- asset yang adadalam masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhannya.3) Toleransi yang besar terhadap adanya variasi. Oleh karena itu mengakui makna pilihan individual, dan mengakui proses pengambilan keputusan yang dengan sentralistik.4) Budaya kelembagaannya ditandai oleh adanya organisasi- organisasiyang otonom dan mandiri, yang saling berinteraksi memberikan umpan balik pelaksanaan untuk mengoreksi diri pada setiap jenjang organisasi.5) Adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara para pelaku dan organisasi lokal yang otonom dan mandiri, yang mencakup kelompok penerima manfaat, pemerintah lokal, lokal dan sebagainya, yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan masyarakat atas berbagai sumber yang ada, serta kemampuan masyarakat untuk mengelola sumber daya setempat.

4. Program Prioritas Pelayanan bagi Wanita rawan sosial ekonomiKelompok Usaha Bersama (KUBE) adalah kelompok warga atau keluarga binaan sosial yang dibentuk oleh warga atau keluarga binaan sosial yang telah dibina melalui proses kegiatan PROKESOS untuk melaksanakan kegiatan kesejahteraan sosial dan usaha ekonomi dalam semangat kebersamaan sebagai sarana untuk meningkatkan taraf kesejahteraan sosialnyaPembentukan KUBE dimulai dengan proses pembentukan kelompok sebagai hasil bimbingan sosial, pelatihan ketrampilan berusaha, bantuan stimulans dan pendampingan.Tujuan KUBE diarahkan kepada upaya mempercepat penghapusan kemiskinan, melalui :1. Peningkatan kemampuan berusaha para anggota KUBE secara bersama dalam kelompok2. Peningkatan pendapatan3. Pengembangan usaha4. Peningkatan kepedulian dan kesetiakawanan sosial diantara para anggota KUBE dan dengan masyarakat sekitar.Selain KUBE yang ditumbuhkembangkan melalui Program Bantuan Kesejahteraan Fakir Miskin, langkah / kegiatan pokok pembentukan KUBE untuk sasaran PMKS lainnya adalah :1. Pelatihan ketrampilan berusaha, dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan praktis berusaha yang disesuaikan dengan minat dan ketrampilan PMKS serta kondisi wilayah, termasuk kemungkinan pemasaran dan pengembangan basil usahanya. Nilai tambah lain dari pelatihan adalah tumbuhnya rasa percaya diri dan harga diri PMKS untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi dan memperbaiki kondisi kehidupannya.2. Pemberian bantuan stimulan sebagai modal kerja atau berusaha yang disesuaikan dengan ketrampilan PMKS dan kondisi setempat. Bantuan ini merupakan hibah (bukan pinjaman atau kredit) akan tetapi diaharapkan bagi PMKS penerima bantuan untuk mengembangkan dan menggulirkan kepada warga masyarakat lain yang perlu dibantu.3. Pendampingan, mempunyai peran sangat penting bagi berhasil dan berkembangnya KUBE, mengingat sebagian besar PMKS merupakan kelompok yang paling miskin dan penduduk miskin. Secara fungsional pendampingan dilaksanakan oleh PSK yang dibantu oleh infrastruktur kesejahteraan sosial di daerah seperti Karang Taruna (KT), Pekerja Sosial Masyarakat (PSM), Organisasi Sosial (ORSOS) dan Panita Pemimpin Usaha Kesejahteraan Sosial (WPUKS).

PROPOSAL PENDAMPINGAN SOSIAL PADA WANITA RAWAN SOSIAL EKONOMI DI KELURAHAN DEPOK LAMA KECAMATAN PANCORAN MAS KOTA DEPOK

Peneliti:

BAMBANG RUSTANTO

A. Latar BelakangMasalah kemiskinan merupakan salah satu masalah konvensional, namun masih relevan untuk didiskusikan karena permasalahannya yang terus meningkat dan semakin kompleks. Data terakhir tentang keluarga miskin di Indonesia yang digunakan Pemerintah untuk menyalurkan Subsidi Langsung Tunai (SLT) berjumlah 15,8 juta kepala keluarga miskin. Atau kurang lebih 62,8 juta jiwa. Jumlah ini baru yang memiliki Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Boleh jadi jumlah ini masih terus bertambah, karena masih banyak penduduk miskin tidak terdata karena tidak mampu membuat KK dan KTP karena biayanya mahal. Dari total jumlah tersebut, sepertiganya atau 20 juta lebih berada pada kondisi yang sangat miskin (Sumber : Pikiran Rakyat Depok, 15 Maret 2006).

Salah satu kelompok yang termasuk dalam kemiskinan adalah perempuan. Perempuan secara statiskik di Indonesia jumlahnya lebih tinggi dari pada jumlah pria, akan tetapi akses dan kesempatan untuk menerima pembangunan berbeda. Dalam sektor pendidikan jumlah perempuan buta huruf dua kali lipat lebih besar dibanding dengan laki-laki. Angka yang paling menyolok terlihat pada jenjang pendidikan SMU ke atas, yaitu 20,5 % laki-laki bisa mencapai pendidikan tersebut, sedangkan perempuan 14,9 %. Pada sektor kesehatan, perempuan jauh lebih rentan karena memiliki fungsi reproduksi yang berhubungan dengan hamil dan melahirkan dari pada laki-laki. Dalam sektor pekerjaan, tenaga kerja perempuan yang terserap di dunia kerja 45,6 %, sedangkan pria 73,5 % (Kementrian Pemberdayaan Perempuan : 2002). Dalam sektor ekonomi Pusdatin Departemen Sosial, mencatat data tentang jumlah WRSE terus bertambah. Pada tahun 2000 sebanyak 1.360.263 dan pada tahun 2002 berjumlah 1.449.203, bertambah sekitar 6.53 % dalam kurun waktu 2 tahun.

Permasalahan yang dihadapi perempuan bukan hanya ketidakadilan dalam mengakses sistem sumber pada tatanan mezzo dan makro, akan tetapi perlakuan ketidakadilan yang diperoleh dalam keluarganya sendiri. Tidak sedikit kasus yang dialami perempuan karena kemiskinan yang dialami keluarganya, dia yang lebih menderita. Banyak kasus yang bersumber dari kemiskinan keluarga berdampak pada kekerasan terhadap perempuan. Pada tahun 2000 terdapat 10.392 kasus, tahun 2002 meningkat menjadi 28.562, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan mencatat bahwa sekitar 24 juta perempuan terutama di pedesaan pernah mengalami kekerasan dalam keluarganya.

Telah banyak program dan proyek yang berusaha memerangi kemiskinan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun belum juga membuahkan hasil yang diharapkan. Sejak tahun 1948 sampai dengan sekarang (2006), tidak kurang dari 29 jenis program (Sumber : Pikiran Rakyat, 6 Maret 2006) yang diluncurkan oleh Pemerintah untuk memerangi kemiskinan. Tetapi kemiskinan tetap bertahan. Ada anggapan yang muncul, mungkin memang kemiskinan terlalu tangguh bilamana ditangani dengan ketidakseriusan, penyelewengan, dan salah pengertian. Atau mungkin juga karena yang diperangi sesungguhnya bukan kemiskinan atau si miskin. Pernyataan ini sering dikenal dengan sebutan salah sasaran.

Permasalahan di atas muncul antara lain karena pendekatan yang digunakan tidak melibatkan orang miskin dalam proses perencanaan program maupun dalam pelaksanaannya. Orang miskin dianggap tidak memiliki potensi dan kekuatan sehingga mereka dianggap sebagai objek. Pendekatan ini secara tidak langsung memperparah kondisi orang miskin, karena mengakibatkan ketergantungan baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Ketergantungan ekonomi, dia hanya menerima apa yang diberikan orang lain kepadanya tanpa ada upaya untuk memperolehnya. Ketergantungan sosial, menyangkut ketidakmampuan untuk mengakses sistem sumber sebagai dasar produksi. Ketergantungan politik adanya ketidakberanian dalam mengambil keputusan untuk menentukan masa depan dan nasibnya sendiri. Kondisi ini yang kemudian disebut dengan ketidakberdayaan atau powerless. Menurut Hill dalam Zastrow (1995), ketidakberdayaan tersebut terutama banyak dialami oleh kaum perempuan (Feminization of Poverty).

Kelurahan Depok lama terletak 10 KM arah Utara dari ibu kota Depok. Apabila menggunakan kendaraan bermotor dapat ditempuh selama 1/2 jam. Pemerintahan Kelurahan Depok lama terdiri dari 8 RW dan 26 RT. Kelurahan tersebut dihuni oleh 4.384 dan 1.406 KK. Apabila dirinci dari segi mata pencahariannya, maka yang menonjol adalah pedagang sebanyak 26 %, buruh tani 26 %, dan petani 19 %. Jumlah keluarga miskin di Kelurahan Depok lama berjumlah 326 KK dengan WRSE sebanyak 38 KK dan semua menerima BLT.Kondisi sosial masyarakat Kelurahan Depok lama cukup baik. Hal ini nampak dengan adanya pranata-pranata social seperti kelompok pengajian, kelompok arisan yang mewadahi partisipasi masyarakat dan kekerabatan warga. Kelembagaan ekonomi juga tersedia dengan adanya koperasi yang beraggota 200 orang warga, 3 buah kelompok simpan pinjam yang beranggotakan 75 orang, 14 kelompok sosial yang berjumlah 100 orang. Namun lembaga-lembaga ekonomi tersebut belum dapat mewadahi seluruh warga miskin, apalagi WRSE, sehingga masih banyak WRSE yang mempunyai usaha skala mikro yang belum tersentuh program bantuan ekonomi. Kalaupun ada namun sifatnya masih pemberian bantuan, seperti pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT), infak, zakat, dan hadiah. Program tersebut tidak mengajak mereka untuk berdialog, tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk mengekspresikan perasaannya, kebutuhannya, apalagi rencana hidupnya di masa mendatang.

B. Permasalahan PenelitianProgram penanganan masalah kemiskinan semakin gencar, namun sifatnya masih reaktif dan tidak substansial. Oleh karena itu masalah kemiskinan bukan berkurang, tetapi semakin kompleks. Masalah tersebut semakin dirasakan terutama oleh kelompok miskin perempuan. Perempuan yang paling merasakan dampak kemiskinan keluarganya, karena selain mengalami serba kekurangan dia juga harus mengalami tindak kekerasan. Dalam program pengentasan kemiskinan, perempuan miskin hampir dilupakan keberadaannya, kalaupun ada hanya sebagai pelengkap untuk memenuhi persyaratan di dalam pengarusutamaan jender.

Sebagai kelompok masyarakat miskin perempuan juga memiliki hak untuk menjadi subjek pelaku pembangunan, terutama pembangunan yang akan berkaitan dengan kehidupannya. Pelibatan perempuan miskin dalam perencanaan dan pelaksanaan program merupakan model hipotetik pemberdayaan perempuan yang dalam nomenklatur Departemen Sosial disebut Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE) sekaligus sebagai kerangka dasar pengembangan kapasitas perempuan di tingkat lokal.

Berdasarkan pernyataan masalah tersebut, maka pertanyaan pokok dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Pendampingan Sosial Wanita Rawan Sosial Ekonomi (WRSE). Pertanyaan tersebut, kemudian dijabarkan ke dalam sub-sub pertanyaan sebagai berikut :1. Bagaimana gambaran lokasi penelitian ?2. Bagaimana Permasalahan yang dihadapi WRSE ?3. Bagaimana Sumber Daya yang dimiliki WRSE?4. Bagaimana Proses Pendampingan Sosial WRSE?5. Bagaimana pelaksanaan program pendampingan sosial WRSE?6. Faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pelaksanaan program pendampingan sosial WRSE?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian1. TujuanPenelitian ini bertujuan untuk :a. Menerapkan pendampingan sosial dalam menyusun program sosial WRSEb. Menghasilkan program pendampingan sosial yang memberi kesempatan kepada WRSE untuk menentukan nasib dan masa depannya berdasarkan kekuatannya sendiri.c. Untuk mengetahui perubahan tingkat keberdayaan WRSE2. ManfaatManfaat dalam penelitian adalah : a. Menghasilkan teknologi pekerjaan social yang siap pakai dalam pengembangan masyarakatb. Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi semua pihak pemerhati kemiskinan dan perempuan termasuk Departemen Sosial dalam menetapkan kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial, terutama yang terkait dengan pemberdayaan keluarga miskin khususnya pemberdayaan WRSE.

I. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIRA. Tinjauan Pustaka1. Kemiskinan dan Pekerjaan SosialPada awal perkembangannya usaha kesejahteraan sosial tidak dapat dilepaskan dari kegiatan-kegiatan charitatif untuk menolong orang-orang miskin baik akibat korban peperangan maupun korban persaingan industrialisasi. Pada awal abad 17, di Eropah dikeluarkan undang-undang pengentasan kemiskinan. Undang-undang tersebut dikenal dengan nama Elizabeth Poor Law. Sejak undang-undang tersebut muncul, kegiatan pekerjaan sosial mulai dirintis walupun sifatnya masih charitas. Tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan pekerjaan sosial terus berkembang sampai pada akhirnya muncul kebutuhan akan pekerjaan sosial sebagai suatu profesi yang dibangun melalui pendidikan formal.

Sampai saat ini, masalah kemiskinan tetap merupakan masalah yang masih relevan untuk didiskusikan, karena walaupun program pengentasan kemiskinan sudah banyak diluncurkan, namun masalah kemiskinan bukan berkurang, melainkan terus bertambah. Salah satu penyebab angka kemiskinan terus bertambah karena kemiskinan merupakan masalah yang multidimensional.

Banyak para ahli yang menyatakan bahwa kemiskinan pada dasarnya adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Sedangkan faktor penyebabnya sangat kompleks, sehingga relatif sulit untuk memeranginya. Zastrow (1982 : 94) menyatakan banyak hal yang menyebabkan kemiskinan. Masalah tersebut terkait dengan masalah-masalah sosial yang lainnya seperti tingkat pengangguran yang tinggi, kesehatan yang rendah, masalah emosional, tingkat pendidikan rendah, dan sebagainya. Oleh karena itu Zastrow menggambarkan bahwa kemiskinan merupakan siklus, di mana orang yang sudah masuk di dalamnya sulit untuk keluar. Seperti digambarkan dalam diagram berikut :

Lingkaran kemiskinanmenjadi lengkap, dankemiskinan berlanjut kegenerasi beikutnya

Diagram 1 : Lingkaran Kemiskinan menurut Zastrow (1982 : 96)

Menurut Chamber dalam Soetrisno (1997 : 18), ada lima ketidakberuntungan yang melingkari kehidupan orang miskin, yaitu kemiskinan itu sendiri, fisik yang lemah, kerentanan, keterisolasian, dan ketidakberdayaan . Lima kondisi dari Chamber tersebut apabila digolongkan berdasarkan perspektif kultural dan struktural menjadi 2 besaran, yaitu kultural yang memandang kemiskianan sebagai dampak dari budaya orang miskin yang malas, tidak memiliki etos kerja, memiliki pendidikan yang rendah, dan sebagainya yang berhubungan dengan perilaku orang miskin itu sendiri. Sedangkan perspektif struktural memandang bahwa seseorang miskin disebabkan karena ketidakberdayaannya dalam menembus truktur yang tidak berpihak kepadanya.

Mengingat kemiskinan bersifat multidimensional, maka penanganannya tidak hanya berorientasi pada masalah dan bersifat reaktif, melainkan membutuhkan penanganan yang terpadu pada berbagai determinan yang mempengaruhinya. Oleh karena itu paradigma penanganan masalah kemiskinan harus mulai dirubah dari bantuan sosial yang bersifat charitas ke pemberdayaan.

2. Pendampingan Sosial WRSE

Arus globalisasi yang sangat kuat ternyata telah memperkokoh faham kapitalisme dalam berbagai pendekatan pembangunan di Indonesia. Faham ini ditandai dengan efisiensi, rasionalisasi, dan indikator-indikator ekonomi lainnya. Oleh karena itu faham ini telah melahirkan kritikan yang sangat tajam terhadap faham welfare state . Kritik tersebut memunculkan anggapan bahwa welfare state merupakan sistem yang boros, tidak mampu memberdayakan masyarakat, menimbulkan stigmatisasi dan bahkan jebakan kemiskinan (poverty trap) terhadap populasi sasarannya Edi Suharto (2005 : 37). Salah satu kritik yang sering dilontarkan kepada welfare state adalah terlalu dominannya peran pemerintah dalam merencanakan dan sekaligus melakukan intervensi terhadap penanganan masalah. Selain menimbulkan beban terhadap anggaran negara, pendekatan ini sering menimbulkan ketergantungan kepada penerima pelayanan. Dalam praktik pekerjaan sosial, pekerja sosial dipandang sebagai penolong yang serba bisa. Sementara klien dipandang sebagai penerima bantuan yang seakan-akan tidak memiliki kemampuan untuk menolong dirinya.

Pandangan di atas saat ini mulai bergeser. Selain globalisasi yang berdampak pada faham kapitalisme, lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, ternyata juga telah membawa atmosfir baru dalam pendekatan pembangunan termasuk pembangunan kesejahteraan sosial. Pemerintah telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membangun dirinya sendiri. Atmosfir ini kemudian oleh Jim Ife disebut sebagai Change from Below. Atmosfir ini telah memberi kesempatan kepada penerima pelayanan untuk mengambil keputusan dalam rangka menentukan nasibnya sendiri. Mereka dipandang sebagai aktor yang memiliki potensi dan kemampuan untuk mengatasi masalahnya sendiri.

Pernyataan di atas sesuai dengan pandangan Jim Ife tentang pemberdayaan. Ife mendefinisikan pemberdayaan sebagai suatu proses pendistribusian kekuasaan dari yang memiliki kepada yang tidak/kurang memiliki baik secara individu, kelompok, maupun masyarakat. Dengan pendistribusian tersebut terkandung makna adanya suatu keyakinan bahwa pihak yang menerima pendistribusian kekuasaan memiliki potensi dan kekuatan serta sumber-sumber untuk mengambil keputusan dalam menentukan nasibnya sendiri.

Pandangan Jim Ife di atas diperkuat dengan pandangan Priyono dan Pranarka (1997), bahwa pemberdayaan selain pendistribusian kekuasaan (Distribution of Power), juga merupakan proses perubahan pola relasi dari subjek-objek menjadi subjek-subjek. Dalam pengembangan masyarakat relasi demikian dikenal dengan pendekatan partisipatif.

Pengembangan masyarakat dengan pendekatan partisipatif dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menganalisis permasalahan yang dihadapainya dan merencanakan pemecahannya. Dengan demikian masyarakat dengan kekuatannya sendiri mampu mengupayakan pembangunan untuk dirinya sendiri yang berkelanjutan dalam bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan secara otonom.

Pendekatan partisipatif dalam pengembangan masyarakat mengarahkan komunitas/masyarakat lokal untuk menyadari adanya prinsip hubungan kesetaraan dan kebersamaan antara dirinya dengan pihak luar seperti pemerintah, pengusaha, dan LSM. Aspek penyadaran inilah yang membedakan antara proses pendekatan pengembangan masyarakat yang mengandalkan pola hubungan subjek-objek (masyarakat pasif) dengan proses pendekatan partisipatif yang mengedepankan pola hubungan subjek-subjek (masyarakat aktif). Pendekatan tersebut akan mengurangi terjadinya proses marjinalisasi masyarakat, sehingga hubungan masyarakat dengan pihak luar (pemerintah, pengusaha, LSM) akan menjadi lebih sepadan dan egaliter, dan tidak lagi ada hubungan searah dan otoriter. Proses ini memberi kepercayaan kepada masyarakat untuk mampu mempertahankan kehidupannya sesuai dengan kemampuan, sumber daya, dan budaya yang mereka miliki.

Proses Pendampingan sosial tersebut mengakomodir prinsip pemberdayaan Jim Ife tentang penghargaan akan (1). Pengetahuan lokal; ( 2). Budaya lokal; (3) Sumber daya lokal; (4) Keterampilan lokal; (5) Proses lokal, dan (6) Bekerja dalam suasana kebersamaan. Melalui Pendampingan Sosial telah terjadi pendistribusian kekuasaan, di mana WRSE yang selama ini dianggap powerless diberi kepercayaan untuk mengambil keputusan dalam menentukan masa depan dan nasibnya sendiri melalui kekuatannya tersebut. Dengan demikian melalui proses penelitian WRSE diharapkan berdaya. Keberdayaan tersebut ditandai dengan peningkatan kemampuan yang dikemukaan oleh Lorrancaine Gitierrez dalam Jenkins Marry Bricker (1991:199) yaitu kemampun secara personal, interpersonal dan politik. Kemampuan personal adalah kemampuan individu dalam mengidentifikasi dan memahami kekuatan yang dimilikinya. Kemampuan interpersonal adalah kemampuan individu dalam mempengaruhi orang lain dengan menggunakan kekuatan sosialnya. Kekuatan politik adalah kemampuan dalam pengambilan keputusan bersama dan kemampuan dalam mengalokasikan sumber di dalam organisasi atau masyarakat, baik secara formal maupun informal.

II. Metode Penelitian

1. Disain PenelitianPenelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif baik dengan pendekatan kualitatif maupuan pendekatan kuantitatif. Metode penelitian deskriptif merupakan metode penelitian untuk menggambarkan fenomena sosial seperti apa adanya terkait dengan pendampingan sosial bagi wrse. Penggunaan pendekatan kualitatif maupun kuantitatif tersebut digunakan untuk saling melengkapi dalam penjaringan data dari berbagai sumber.

2. Lokasi PenelitianPenelitian ini dilaksanakan di Kota Depok Kecamatan Pancoran Mas Kelurahan Depok Lama..

3. Teknik Sampel Teknik sampel yang digunakan pada tahap pertama dalam penelitian ini yaitu stratified random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak berdasarkan stratum/lapisan sosial dalam masyarakat di setiap Desa atau Kelurahan (Suhartono, 2005). Sampel dihitung berdasarkan data lapisan/strata sosial yang tersedia, yaitu data keluarga sejahtera dari BKKBN/PL-KB dengan klasifikasi sebagai berikut :a. Keluarga Pra Sejahterab. Keluarga Sejahatera 1c. Keluarga Sejahtera 2Dikarenakan jumlah populasi di setiap klasifikasi proporsional maka diambil sampel dengn menggunakan random sampling, sesuai dengan tingkatan dalam komunitas sebesar 10% dari populasi (Sarantakos, 2002).4. Informan PenelitianSelanjutnya setelah diketahui jumlah sampel dari masing-masing strata sosial, ditentukan jumlah keluarga yang akan dijadikan informan penelitian. Untuk mendapatkan keterwakilan keluarga, dibutuhkan wakil dari keluarga utuh dan keluarga dengan orang tua tunggal. Selanjutnya dipilih lagi keluarga sebanyak 5% dari sampel (Sarantakos,2002) yang akan mewakili kelompok sample untuk wawancara mendalam

4. Teknik Analisis DataTeknik analisa data akan dilakukan dengan analisis data kuantitatif dan analisis data kualitatif melalui tahapan sebagai berikut :

a. Reduksi dataData yang terkumpul diberkaskan menggunakan alat analisis SPSS untuk data kuantitatif dan V-Info untuk data kualitatif. Data tersebut didukung dokumen transkrip, dan catatan lapangan.

b. Klasifikasi/Thematik dataData yang sudah diberkaskan disunting berdasarkan klasifikasi maupun topik-topik pertanyaan penelitian. Tahapan ini merupakan tahapan pengorganisasian data, penajaman, dan seleksi data yang relevan dengan penelitian sehingga data dapat diverifikasi dan ditarik kesimpulan.

c. Umpan balik/Klarifikasi DataData yang sudah dianalisis diserahkan kembali kepada responden dan informan untuk mengecek keabsahan dan kecocokan data dengan makna-makna yang disampaikan mereka. Dengan demikian, data yang dikumpulkan mencapai validasi yang dapat diterima.

d. Pelaporan dan Penyajian dataData yang sudah diklasifikasikan dan diklarifikasikan kemudian dinterpretasikan dan dianalisis untuk diambil kesimpulan dan disajikan secara sistematik baik dalam bentuk narasi, gambar, maupun tabel dan penyajian dalam bentuk lainnya. Kemudian hasilnya di buat laporan untuk disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan hasil penelitian ini.

1.6.9. Tahapan dan Waktu PenelitianNoTahapWaktu/Bulan1Persiapana. kerangka penelitianb. ruang lingkup dan fokus penelitianc. metodologi penelitian .Mei 2010 (2 Hari Orang Kerja-HOK)2Review konsep dan Data lapangan serta menentuan sampel/responden/informanMei 2010 (3 HOK)3Penyusunan Instrumenta. Instrument Surveyb. Instrument Observasic. Instrument Wawancara mendalamd. Instrument FGDe. Instrumen AssesmentMei 2010 (7 HOK)4Pelatihan Penelitian dan Uji Coba Instrumen di Lapangan untuk peneliti localJuni 2010 (7 HOK)5Pengumpulan data/verifikasi/ dan analisa serta rekomendasiJuni 2010 (15 HOK)6Penulisan LaporanJuli 2010 (5 HOK)7Review dan Umpan balik/ValidasiJuli 2010 (6 HOK)8Desiminasi / Penyebarluasan hasilAgustus 2010 (3 HOK)9Penulisan Akhir/FinalisasiAgustus 2010 (5 HOK)

Total55 hari kerja