6
8/19/2019 Wacana Seni dalam Antropologi Budaya http://slidepdf.com/reader/full/wacana-seni-dalam-antropologi-budaya 1/6  Wacana Seni dalam Antropologi Budaya : Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis 1 REVIEW WACANA SENI DALAM ANTROPOLOGI BUDAYA : TEKSTUAL, KONTEKSTUAL, DAN POST-MODERNISTIS KARYA HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA Sebagai Tugas Mata Kuliah Antropologi Seni I oleh : DHEVI ENLIVENA IRM NIM. 492/S2/KS/11 PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2011

Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

  • Upload
    enli

  • View
    213

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

8/19/2019 Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

http://slidepdf.com/reader/full/wacana-seni-dalam-antropologi-budaya 1/6

 

Wacana Seni dalam Antropologi Budaya : Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis 1

REVIEW

WACANA SENI DALAM

ANTROPOLOGI BUDAYA :

TEKSTUAL, KONTEKSTUAL, DAN POST-MODERNISTIS

KARYA HEDDY SHRI AHIMSA-PUTRA

Sebagai Tugas Mata Kuliah Antropologi Seni I

oleh :

DHEVI ENLIVENA IRM

NIM. 492/S2/KS/11

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT SENI INDONESIA

SURAKARTA

2011

Page 2: Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

8/19/2019 Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

http://slidepdf.com/reader/full/wacana-seni-dalam-antropologi-budaya 2/6

 

Wacana Seni dalam Antropologi Budaya : Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis 2

Dalam tulisan ―Wacana Seni dalam Antropologi Budaya: Tekstual,

Kontekstual, dan Post-Modernisme‖, Ahimsa-Putra lebih menyoroti berbagai

paradigma yang digunakan oleh para ahli antropologi dalam menafsirkan sebuah

fenomena seni atau kesenian. Sehingga tidak heran apabila pembahasan yang

dikupas oleh Ahimsa-Putra tidak pada bidang seninya, tapi lebih pada

paradigmanya, hal tersebut ditegaskan melalui keyakinan Ahimsa-Putra bahwa

berbicara pada tataran paradigma akan membawa manfaat lebih besar daripada

bicara pada tataran bidang seni. (Ahimsa-Putra, 2000:400).

Poin menarik pada awal tulisan Ahimsa-Putra terkait fokus kajian seni dan

kesenian yang dibagi menjadi dua bentuk, yakni (a) kajian yang memandang

fenomena kesenian—musik, tari, sastra, sastra lisan, dan sebagainya—sebagai

suatu teks yang relatif berdiri sendiri dan (b) kajian yang menempatkan

fenomena tersebut dalam konteks yang lebih luas, yaitu konteks sosial-budaya

masyarakat tempat fenomena seni tersebut muncul atau hidup. (Ahimsa-Putra,

2000:400)

Kedua bentuk kajian tersebut, akan tetap dominan dalam wacana

antropologi budaya tentang seni, karena kajian semacam itu telah mendapat

suntikan tenaga baru dari aliran pemikiran postmodernisme. Dari sekian ciri studi

antropologi budaya yang bercorak postmodern, ada dua ciri yang dianggap

relevan dalam konteks pembicaraan ini, yakni warna tekstualistis yang semakin

pekat—yang berarti pula semakin partikularistik, dan ‗kesadaran politis‘  yang

semakin kuat, dalam etnografi yang dihasilkan (Ahimsa-Putra, 2000:401). Dua

kajian yang menurut Ahimsa-Putra disebut sebagai ‗menteks‘ dan ‗mengonteks‘.

Bab akhir bab pendahuluan ini, Ahimsa-Putra juga melontarkan perihal

kesulitan ahli antropologi dalam membedakan antara ‗seni‘  dan yang ‗bukan

seni‘. Mengenai kesulitan tersebut tampaknya jalan tengah yang dipakai Turner

ada benarnya, bahwa pemakaian konsep semacam itu (―seni‖ atau ―kesenian‖

untuk menunjuk fenomena tertentu  –  peny.) tidak lebih sekedar untuk

memudahkan berlangsungnya diskusi tentang fenomena tersebut. (cf. Turner

dalam Ahimsa-Putra, 2000:401)

Pada bab kedua ―Pendekatan Tekstual : Karya Seni sebagai Teks‖,

 Ahimsa-Putra mengurai pembahasan melalui pendekatan tekstual. Telaah

Page 3: Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

8/19/2019 Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

http://slidepdf.com/reader/full/wacana-seni-dalam-antropologi-budaya 3/6

 

Wacana Seni dalam Antropologi Budaya : Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis 3

tekstual tersebut, atau juga bisa disebut sebagai telaah hermeneutik, secara

garis besar dibedakan menjadi dua, yakni telaah simbolik—yang mengkaji karya

seni sebagai lambang—dan telaah struktural—yang mengkaji struktur di balik

karya seni.

Perspektif telaah simbolik, menjadikan sebuah karya seni layaknya

sebagai sebuah teks yang ‗dibaca‘  atau ‗ditafsirkan‘. ‗Pembacaan‘-nya sendiri

bisa dilakukan dengan bebas tergantung oleh si penikmatnya, sehingga bisa

terjadi kemungkinan perbedaan penafsiran antara penikmat yang satu dengan

penikmat yang lain. Mengenai hal ini, menarik kiranya pernyataan Ahimsa-Putra,

dimana setiap tafsir (yang seringkali berbeda satu sama lain  –  peny.) ada

benarnya. Yang penting adalah bahwa si peneliti dapat mengemukakan datayang mampu memperkuat atau mendukung tafsir yang dikemukakannya,

sehingga tafsir tersebut menjadi terasa logis, masuk akal atau mempunyai dasar

tertentu (Ahimsa-Putra, 2000:404).

Pada sub-bab ―Struktur di Balik Karya Seni‖, Ahimsa-Putra mencoba

memaparkan analisis struktural terhadap suatu fenomena kesenian. Berangkat

dari pemikiran Levi-Strauss, ada beberapa asumsi yang kebanyakan diantaranya

bersumber dari ilmu bahasa struktural  –  antara lain aspek langue (bahasa) dan

aspek parole (tuturan). Selain itu, model kedua adalah pembedaan antara aspek

paradigmatik dan aspek sintagmatik dari bahasa. Mengenai kedua model

tersebut, secara gamblang dijelaskan oleh Ahimsa-Putra melalui contoh-contoh

kajian yang memakai pendekatan struktural semacam itu.

Satu hal yang menarik di akhir uraian sub-bab yang sangat ‗kaya‘ ini,

adalah pernyataan Ahimsa-Putra mengenai paradigma struktural yang sangat

sesuai untuk diterapkan dalam kajian kesenian-kesenian di Jawa. Hal tersebut,

dikarenakan pendekatan struktural yang berusaha menemukan ‗logika‘, atau

menemukan invariant , yang ada di balik berbagai macam fenomena akan dapat

dengan baik memberikan ‗penjelasan‘  tentang fenomena tersebut. Sayang,

paradigma ini, terutama strukturalisme Levi-Strauss, masih sangat asing bagi

kebanyakan pengamat fenomena kesenian di Indonesia. (Ahimsa-Putra,

2000:413)

Berbeda dengan pendekatan tekstual, Ahimsa-Putra mencoba

mamaparkan pendekatan kontekstual dalam bab selanjutnya, yakni ―Pendekatan

Page 4: Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

8/19/2019 Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

http://slidepdf.com/reader/full/wacana-seni-dalam-antropologi-budaya 4/6

 

Wacana Seni dalam Antropologi Budaya : Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis 4

Kontekstual : Karya Seni dalam Konteks‖. Uraian pada bab ini didasarkan pada

keyakinan Ahimsa-Putra bahwa salah satu ciri penting dari antropologi adalah

pendekatannya yang bersifat holistik   atau menyeluruh. Maksudnya adalah

bahwa dalam memahami fenomena sosial-budaya, seorang ahli antropologi akan

berusaha untuk melihat keterkaitan fenomena tersebut dengan fenomena-

fenomena lain dalam kebudayaan yang bersangkutan (Ahimsa-Putra, 2000:413).

Mengenai fenomena-fenomena lain dalam kebudayaan yang

bersangkutan, pada uraian selanjutnya, Ahimsa-Putra menyoroti keterkaitan erat

karya seni terutama dengan politik, pariwisata, dan perubahan teknologi.

Mengenai hubungan antara seni dengan politik, seperti dipaparkan dalam sub-

bab ―Kesenian dan Politik‖ dijelaskan melalui beberapa contoh studi yangmenerapkan pendekatan semacam itu.

Satu hal yang menarik disini adalah paparan mengenai antropolog

Inggris—Bronislaw Malinowski—mengenai mithos. Berangkat dari analisis

Malinowski mengenai keterkaitan mithos orang Trobriand, didapat kesimpulan

yang menarik, bahwa mithos bukanlah sekedar cerita untuk menjelaskan

berbagai macam hal yang dianggap sulit dipahami oleh masyarakat setempat,

namun ternyata memiliki manfaat praktis yang sangat jelas yakni sebagai social

charter —piagam sosial—yang dapat melegitimasi tuntutan-tuntutan suatu klen

atau kelompok sosial tertentu atas suatu sumber daya alam yang dipandang

penting dalam kehidupan mereka. (Malinowski dalam Ahimsa-Putra, 2000:415)

Dari temuan Malinowski tersebut, tentu sangat menarik ketika mengetahui

keterkaitan erat antara seni dengan sebuah bentuk legitimasi atau politik pada

cakupan yang lebih luas. Pendekatan semacam ini, menurut Ahimsa-Putra, akan

dapat menjawab dengan baik berbagai pertanyaan seputar fenomena kesenian

yang ada di Indonesia, khususnya kesenian tradisional di Jawa.

Mengenai keterkaitan antara seni dengan pariwisata, Ahimsa-Putra

memberikan contoh yang paling telihat di Indonesia adalah fenomena kesenian

yang ada di Bali. Pengemasan ulang suatu karya seni atau kesenian agar dapat

dinikmati oleh masyarakat yang lebih umum—dalam hal ini wisatawan—

merupakan kasus yang tidak terelakan. Ahimsa-Putra memberikan suatu

gambaran contoh bagaimana pertunjukan Barong di Bali mengalami pergeseran

semacam itu. Pemendekan durasi pertunjukan wayang wong—atau jelas terlihat

Page 5: Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

8/19/2019 Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

http://slidepdf.com/reader/full/wacana-seni-dalam-antropologi-budaya 5/6

 

Wacana Seni dalam Antropologi Budaya : Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis 5

pada wayang kulit—untuk lebih mudah diikmati, juga menjadi kasus tersendiri

kaitannya seni dengan pariwisata.

Lebih jauh, pengaruh perubahan teknologi terhadap seni dipaparkan

 Ahimsa-Putra dalam sub-bab terakhir ―Kesenian dan Teknologi‖. Melalui

tulisannya dijelaskan secara singkat bahwa kaitan antara seni dengan teknologi

sudah ada sejak dahulu dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan.

Perkembangan seni yang semakin marak, seiring perubahan teknologi dalam

kehidupan yang semakin modern ini tentu menawarkan banyak fenomena yang

menanti untuk diteliti.

Pada bab selanjutnya ―Pendekatan Post-Modernistis : Etnografi sebagai

Karya Seni‖, sedikit diuraikan pandangan post-modernistis dalam wacana

antropologi budaya. Poin menarik dalam pembukaan bab ini adalah pemikiran-

pemikiran beberapa tokoh post-modernistis, yang kemudian mempengaruhi

beberapa ahli antropologi untuk tidak ragu-ragu untuk mengatakan bahwa dalam

artian tertentu sebuah etnografi adalah juga sebuah karya ‗fiksi‘, seperti karya

sastra. Jika demikian, masih dapatkah antropologi—yang fondasinya adalah

etnografi—disebut sebagai sains, ilmu pengetahuan, kalau data yang

mendasarinya adalah karya-karya ‗fiksi‘ yang selama ini dianggap sebagai karya-

karya yang obyektif yang merepresentasikan dunia di luar sana? (Ahimsa-Putra,

2000:423)

 Anggapan post-modernistis semacam itu, pada sub-bab ―Etnografi:

Medan Seni dan Ilmu‖ diuraikan jalan tengahnya, bahwa pada umumnya tidak

bertujuan untuk melakukan analisis atau memahami suatu fenomena, tetapi

mendekostruksinya, meruntuhkannya atau mempertanyakannya kembali

(Ahimsa-Putra, 2000:423). Sedang kaitannya secara praktis terhadap wacana

antropologi budaya terlihat dari perspektif tertentu, antropologi yang post-

modernistis sebenarnya merupakan sebuah antropologi yang lebih jujur dan apa

adanya dalam menampilkan apa yang dilihat, didengar, dan ditemukan seorang

peneliti selama dia berada di lapangan. Namun karena itu pula konsep

‗kebudayaan‘—sebagai konsep pokok dalam antropologi budaya—menjadi

kehilangan artinya, dan wacana tentang kebudayaanpun dengan sendirinya

terhenti.‖ (Ahimsa-Putra, 2000:425)

Page 6: Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

8/19/2019 Wacana Seni dalam Antropologi Budaya

http://slidepdf.com/reader/full/wacana-seni-dalam-antropologi-budaya 6/6

 

Wacana Seni dalam Antropologi Budaya : Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis 6

Lebih lanjut, Ahimsa-Putra memaparkan bahwa dengan masuknya arus

pemikiran post-modernistis dalam antropologi budaya, proses analisis,

pemaparan hasilnya, serta ekspresi diri seorang ahli antropologi yang sedang

menulis tentang etnografi kini tidak lagi menjadi sesuatu yang terpisah-pisah,

tetapi menyatu. Implikasi lain yang juga tidak kalah pentingnya adalah

munculnya kesadaran bahwa sebuah penulisan etnografi bukanlah sebuah

proses yang ‗netral‘—tidak memihak. Akibat lebih lanjut dari kesadaran semacam

itu adalah lahirnya pandangan bahwa ‗menulis etnografi adalah juga sebuah

tindakan politik‘, karena sebuah etnografi selain memaparkan, menampilkan

sesuatu, dia sekaligus juga menyembunyikan sesuatu. Kesadaran semacam

inilah yang membuat etnografi antropologi post-modern akan banyak diwarnai

oleh pemaparan konteks ekonomi-politik ketika proses penulisan berlangsung

(Ahimsa-Putra, 2000:425-426).

Selanjutnya, seperti yang tertulis pada akhir tulisan ini, pengaruh dari

paradigma post-modernisme bukan tidak mungkin akan terus menguat.

Menghasilkan berbagai etnografi eksperimental, yang semakin mengaburkan

batas antara ‗seni‘  dan ‗ilmiah‘  serta menyadarkan penulisnya akan dampak

politis tulisannya.

Terakhir, seperti judul tulisan ―Wacana Seni dalam Antropologi Budaya :

Tekstual, Kontekstual, dan Post-Modernistis‖, apa yang telah Ahimsa-Putra tulis

memberikan sebuah gambaran mengenai wacana seni dari tiga pendekatan

tersebut, berikut contoh, dan implikasinya. Tulisan tersebut sangat kaya akan

pandangan, sekaligus menawarkan beberapa lubang-lubang pada setiap

pandangan itu untuk dikaji dan diteliti secara lebih mendalam bagi siapapun yang

berkenan.

DAFTAR PUSTAKA

 Ahimsa-Putra, Heddy Shri. ―Wacana Seni dalam Antropologi2000. Budaya‖ dalam Ketika Orang Jawa Nyeni . Yogyakarta :

Galang Press