Upload
haritsabudiman
View
95
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
VIRUS DAN JAMUR PENYEBAB PENYAKIT PERIAPIKAL : FAKTOR VIRULENSI
DAN PATOGENESIS
1. Latar Belakang
Lesi periapikal adalah suatu lesi yang berada di daerah periapikal. Penyakit jaringan
periapikal dapat dikaitkan dengan penyakit pulpa dan non-pulpa (non - odontogen atau non
edodontik). Penyakit atau kelainan periapikal odontogen adalah proses lanjut penyakit pulpa.
Jaringan pulpa yang nekrotik akibat radang pulpa merupakan penyebab yang paling banyak
terjadi. Sedangkan penyakit atau kelainan periapikal non-odontogen adalah penyakit atau
kelainan tulang alveolar yang memberikan gambaran radiografi mirip atau sama dnegan penyakit
atau kelainan periapikal odontogen.
Penyebab utama radang periapikal adalah mikroorganisme, seperti bakteri, virus, dan
jamur. Meskipun tidak selalu mikroorganisme ditemukan pada radang periapikal, namun
penyebabnya adalah toksin mikroorganisme tersebut terdapat pada jaringan pulpa nekrotik.
Pada umumnya lesi periapikal disebabkan oleh bakteri, namun pada makalah ini akan
membahas virus dan jamur yang menyebabkan penyakit periapikal.
2. Jamur penyebab penyakit pada periapikal
Mikroorganisme dan produknya erat hubungannya dengan penyebab penyakit pulpa dan
lesi periapikal. Mereka dapat menyebabkan nekrosis pulpa oleh karena persistensinya di dalam
saluran akar setelah perawatan endodonti dan dapat menginduksi reaksi inflamasi periapikal.
Mikroorganisme seperti jamur dapat ditemukan di dalam saluran akar dengan pulpa nekrosis.
Jamur terdapat di dalam saluran akar terinfeksi yang tidak merespon baik terhadap perawatan
konservatif saluran akar. Penelitian menunjukkan bahwa jamur memiliki peranan dalam
menyebabkan kegagalan perawatatan endodonti
Berbeda dengan bakteri yang mana merupakan organism prokariotik, jamur merupakan
organism eukariotik. Jamur terdiri dali filamen kecil yang disebut hifa. Hifa adalah tabung kecil
diisi dengan sitoplasma dan nukleus. Beberapa hifa dibagi oleh segmen cross-section (dinding)
yang disebut septa. Septa memiliki lubang di mana sitoplasma dan organel dapat berpindah dari
segmen ke segmen. Di antara lebih dari 300 spesies mikroba dalam rongga mulut, terdapat
banyak spesies Candida. Terdapat 150-200 spesies Candida. Candida albicans adalah yang
paling patogen diantara tujuh spesies yang paling umum ditemukan di rongga mulut (C.
albicans, C. glabrata, C. tropicalis, C. pseudotropicalis, C. guilliermondii, C. krusei, dan C.
parapsilosis).
Candida albicans memiliki peranan yang besar dalam menyebabkan kegagalan
dibanding jamur lainnya. Salah satu mikroorganisme yang dapat ditemui pada saluran akar
adalah jamur. Candida albicans merupakan jenis jamur yang paling umum ditemui pada rongga
mulut terutama pada infeksi saluran akar maupun pada perawatan saluran akar yang gagal.
2.1 Candida albicans sebagai salah satu mikroflora yang terdapat pada infeksi
saluran akar
Candida spp. merupakan mikroflora normal yang terdapat di dalam rongga mulut yang
diisolasi dari plak, karies, mikroflora subgingival dan kavitas periodontal yang aktif. Candida
spp. adalah sel ragi gram positif yang tumbuh dengan baik pada suhu 370C dan pada media yang
sedikit asam dengan pH 5. Taksonomi Candida albicans dapat diklasifikasikan ke dalam
Kingdom Fungi, Divisi Ascomycota, Filum Saccharomycotina, Klas Endomycetes, dan
digolongkan ke dalam Famili Saccharomycetaceae, Genus Candida, Spesies Candida albicans.
2.2 Faktor Virulensi dan Patogenesis
2.2.1 Morfogenesis dan transisi morfologi
Dinding sel
Dinding sel merupakan bagian yang berinteraksi langsung dengan sel penjamu. Dinding
sel Candida mengandung zat yang penting untuk virulensinya, antara lain turunan , mannoprotein
yang mempunyai sifat imunosupresif sehingga mempertinggi pertahanan jamur terhadap
imunitas penjamu.
Sifat Morfologis
Sifat morfologis yang dinamis merupakan cara untuk beradaptasi dengan keadaan sekitar.
C. albicans dan jenis-jenis Candida adalah aerobik ragi yang dapat bereproduksi dalam kondisi
anaerobik. Jamur ini telah ditunjukkan untuk tumbuh dalam jumlah bentuk morfologi seperti ragi
(blastospore), hifa sejati, pseudohyphae, dan chlamydospores. Organisme ini dapat tumbuh baik
dalam ragi atau bentuk hifa, atau bentuk peralihan secara fisik seperti sebagai pseudohyphae.
Dua bentuk utama Candida adalah bentuk ragi dan bentuk pseudohifa yang juga disebut sebagai
miselium. Perubahan dari komensal menjadi patogen merupakan adaptasi terhadap perubahan
lingkungan sekitarnya. Dalam keadaan patogen, Candida albicans lebih banyak ditemukan
dalam bentuk miselium atau pseudohifa atau filamen dibandingkan bentuk spora. Kemampuan
Candida berubah bentuk menjadi pseudohifa merupakan salah satu faktor virulensi. Bentuk hifa
mempunyai virulensi yang lebih tinggi dibanding bentuk spora.
Sel ragi tumbuh bulat (kadang-kadang oval), sel-sel tunggal dan melalui proses tunas
mereka menimbulkan koloni. Sebaliknya, dalam bentuk pertumbuhan hifa, suatu tabung kuman
awal menyerupai kuncup diperluas menjadi panjang, filamen unconstricted di mana individu sel
dipisahkan oleh septa. Jamur dapat menunjukkan berbagai pertumbuhan bentuk yang disebut
sebagai pseudohyphae (Sudberyet al . 2004). Pertumbuhan Pseudohyphal menunjukkan
perpanjangan sel-sel yang terhubung dalam rantai yang mengarah ke filamen yang menyerupai
hifa tetapi terdiri dari ragi - seperti individu sel. Chlamydospores mewakili bagian fungsional sel
lain , menunjukkan kombinasi kompleks jenis sel. Chlamydospores bulat, refractile spora dengan
dinding sel yang tebal. Semua pola pertumbuhan kecuali chlamydospores menunjukkan
interkonversi masing-masing bentuk pertumbuhan tergantung pada lingkungan kondisi seperti
pH , suhu , dan gizi sumber.
Morfogenesis diyakini penting bagi virulensi dan telah menjadi subyek dari banyak
penelitian. Peran potensial dari pembentukan hifa dalam virulensi telah ditinjau secara rinci
sebagai dengan baik. Meskipun ada laporan yang bertentangan mengenai hal ini , studi terbaru
mendukung kesimpulan bahwa bentuk hifa penting bagi virulensi.
Ujung hifa adalah situs sekresi apikal enzim yang mampu mendegradasi protein , lipid,
dan lainnya komponen seluler yang semakin memudahkan infiltrasi ke dalam jaringan, mungkin
dengan mencairkan substrat di depan sel maju. Hifa jamur patogen juga menunjukkan fenomena
kontak penginderaan, atau thigmotropism , yang dapat memungkinkan mereka untuk menavigasi
menurut mendasari permukaan topografi dan sesuai menemukan poin dari melemahkan integritas
permukaan , sehingga mendapatkan akses ke situs rentan untuk invasi.
Kemampuan untuk berubah morfologi merupakan faktor penting dalam menentukan
infeksi dan penyebaran C. albicans pada jaringan inang. Mutan Saccharomyces cerevisiae dan C.
albicans yang tidak pathogen tidak dapat membentuk hifa dan menginvasi sel endothelium
sementara C. albicans yang patogen dapat membentuk germ tube dan hifa intraseluler. Bentuk
khamir membuat C. albicans lebih mudah melakukan penyebaran daripada bentuk hifa
sementara bentuk hifa memudahkan C. albicans melakukan penetrasi ke tubuh inang. Bentuk
hifa terdiri dari bagian–bagian yang dipisahkan oleh septa. Hifa C. albicans mempunyai
kepekaan untuk menyentuh sehingga akan tumbuh sepanjang lekukan atau lubang yang ada di
sekitarnya (sifat thigmotropisme). Sifat ini yang mungkin membantu dalam proses infiltrasi pada
permukaan epitel selama invasi jaringan. Hifa juga bersifat aerotropik dan dapat membentuk
helix apabila mengenai permukaan yang keras.
Kemampuan pembentukan hifa juga berhubungan dengan resistensi. Isolat yang resisten
tetap dapat membentuk hifa dalam lingkungan yang mengandung antifungi sementara isolat yang
rentan tidak mampu membentuk hifa.
2.2.2 Enzim
Penetrasi permukaan sel epitel oleh hifa Candida mungkin disebabkan oleh enzimatik
Proses dalam kombinasi dengan kekuatan mekanik. Proteinase aspartil disekresikan ( SAP )
menurunkan banyak protein manusia di lokasi lesi, seperti albumin hemoglobin, keratin, dan
sekretorik IgA. Sampai saat ini, sembilan gen SAP yang berbeda telah
diidentifikasi dalam C. albicans. Aktivitas proteolitik SAP telah dikaitkan dengan invasi
jaringan. Selain SAP enzim proteolitik termasuk kolagenase, glucosaminidases, asam dan basa
fosfatase, aminopeptidases, hyaluronidase, dan chondroitin sulfatase , yang bertindak atas
degradasi protein matriks ekstraseluler. Protein saliva, termasuk IgA, dapat mengalami degradasi
oleh proteinase asam Candida terutama pada kondisi pH rendah. Telah terbukti bahwa enzim
collagenolytic diproduksi oleh C. albicans dapat mencerna dentin kolagen manusia. Telah
terbukti bahwa phospholipases terkonsentrasi di ujung hifa jamur dan lokal dalam sekitar
kompartemen selular host dimana aktif invasi terjadi.
Aktivitas enzim ini ditemukan di kebanyakan C. albicans strain , tapi tidak di lain kurang
virulen Spesies Candida, dan menyebabkan kerusakan membran sel inang yang mengakibatkan
lisis sel ( Ghannoum 2000). Enzim yang terlibat dalam morfogenesis dari khamir ke bentuk hifa
diantaranya adalah Ras dan Rho-type GTP ase yang diketahui sebagai salah satu enzim yang
mengatur proses morfologi pada sel eukaryote termasuk stabilitas polaritas, proliferasi sel dan
pertumbuhan sebagi respon rangsangan ekstraseluler. Ras-like GTPase (Rsr1p) dan GTPase
activating protein (Bud2p) C. albicans yang terletak pada korteks sel waktu awal pembelahan sel
berfungsi sebagai penentu letak sel anakan dan penentu percabangan sel hifa. Rsr1p dan Bud2p
pada C. albicans juga penting dalam morfogenesis.
2.2.3 Pembentukan Biofilm
Kemampuan suatu mikroorganisme untuk mempengaruhi lingkungannya diantaranya
tergantung pada kemampuannya untuk membentuk suatu komunitas (biofilm). Candida albicans
juga memiliki kemampuan membentuk biofilm pada berbagai permukaan yang berbeda dan hal
inilah yang menyebabkan Candida albicans menjadi jenis yang paling virulent diantara jenis
Candida lainnya yang menghasilkan sedikit biofilm seperti C glabrata, C tropikalis, dan C
parapsilosis (Haynes K., 2001). Biofilm ini berfungsi sebagai pelindung mikroba terhadap sistem
kekebalan tubuh host.. Hasil scanning mikroskop elektron menunjukkan bahwa biofilm C.
albicans yang matang berisi sel dalam bentuk khamir maupun hifa yang menyisip dan terikat
rapat pada bahan ektraseluler yang biasanya berbentuk fibrous. Secara struktur, biofilm terbentuk
dari dua lapisan yaitu lapisan basal yang tipis dan merupakan lapisan khamir dan lapisan luar
yaitu lapisan hifa yang lebih tebal tetapi lebih renggang. Hifa-mutant memproduksi lapisan basal
saja sementara khamir-mutant memproduksi lapisan hifa.
Biofilm dari khamir-mutant yang mudah dihilangkan dari permukaan sel membuktikan
bahwa lapisan basal merupakan lapisan biofilm yang penting dalam perlekatan pad permukaan.
Di samping itu, biofilm yang dibentuk pada permukaan filter selulosa mempunyai penampakan
yang berbeda. Hifamutant dan wild-type mampu memproduksi lapisan khamir dan khamir-
mutant memproduksi lapisan hifa yang rapat pada permukaan filter. Hasil tersebut membuktikan
bahwa struktur biofilm C. albicans tergantung pada keadaan permukaan tempat kontak.
Struktur tiga dimensi biofilm C. albicans menunjukkan adanya saluran-saluran air yang
komplek. Faktor lain yang mempengaruhi pembentukan biofilm C. albicans diantaranya adalah,
ketersediaan udara. Ketersediaan udara akan mendukung pembentukan biofilm. Pada kondisi
anaerob, C. albicans dapat membentuk hifa tetapi tidak mampu membentuk biofilm.
Pembentukan biofilm C. albicans dimulai dengan perlekatan sel C. albicans pada sel inang yang
berlangsung antara 0-2 jam. Proses tersebut diikuti dengan germinasi dan pembentukan
mikrokoloni (2-4 jam). Yang diteruskan dengan pembentukan hifa (4-6 jam). Benang-benang
hifa tersebut membentuk monolayer (6-8 jam) yang akan berproliferasi (8-24 jam) untuk
kemudian mengalami maturasi (24-48 jam). Ketersediaan saliva dan serum pada masa pra-
pembentukan biofilm meningkatkan perlekatan C. albicans terhadap sel inang tetapi kurang
berpengaruh pada pembentukan biofilm.
Gen yang bertanggungjawab terhadap pembentukan biofilm adalah TEC1p dan BCR1p.
TEC1p merupakan gen regulator pembentukan hifa. Pembentukan hifa akan memicu ekpresi
BCR1p yang kemudian mengaktivasi protein permukaan sel dan gen perlekatan (Adhesion
gene). Disamping TEC1p dan BCR1p, bagian lain yang berpengaruh adalah yeast wall protein 1
(Ypw1p).
Biofilm komunitas mikroba terstruktur yang melekat pada permukaan. Mikroorganisme
dalam biofilm tertanam dalam matriks polimer ekstraseluler, dan karakteristik menampilkan
fenotipe yang sangat berbeda dari sel planktonik . Contoh pertama dari biofilm yang akan diakui
dalam sistem medis adalah plak gigi pada gigi permukaan. Tapi, menurut perkiraan dari National
Institute of Health , lebih dari 60 % dari infeksi mikroba melibatkan biofilm. Candida biofilm
terutama tahan terhadap azol dan amfoterisin B, namun tetap sensitif terhadap baru
diperkenalkan echinocandins yang menargetkan dinding sel – glucan biosintesis. Infeksi Biofilm
dapat disebabkan oleh spesies mikroba tunggal atau dengan campuran bakteri atau spesies jamur.
C. albicans memiliki kemampuan untuk membentuk biofilm pada permukaan yang berbeda,
yang diusulkan menjadi salah satu alasan utama untuk meningkat patogenisitas. Selain itu,
fenomena co - agregasi dan co - adhesi antara Candida dan bakteri yang berbeda dan efek
modulasi faktor-faktor seperti air liur , gula , dan pH meningkatkan pembentukan biofilm dan
kolonisasi mukosa mulut dan jaringan gigi. Misalnya, ketika ada jamur dalam bentuk biofilm ,
mereka adalah lima sampai delapan kali lebih tahan terhadap agen anti jamur klinis penting
seperti amfoterisin B, flukonazol, flusitosin, itraconazole, dan ketaconazole daripada sel
planktonik.
2.2.4Switching fenotipic
Candida albicans memiliki kecendrungan untuk perubahan fenotip, yang berperan untuk
adaptasi lingkungan. Perubahan fenotip meliputi perubahan morfologi koloni dan aktivitas
protease. Fenomena ini dikenal sebagai switching fenotipic, dan mungkin sering terjadi terutama
di bawah tekanan.
2.2.5Adhesi
Beberapa faktor yang berpengaruh pada patogenitas dan proses infeksi adalah adhesi,
perubahan dari bentuk khamir ke bentuk filamen dan produksi enzim ektraselular. Adhesi
melibatkan interaksi antara ligand dan reseptor pada sel inang dan proses melekatnya sel C.
albicans ke sel inang. Perubahan bentuk dari khamir ke filamen diketahui berhubungan dengan
patogenitas dan proses penyerangan Candida terhadap sel inang yang diikuti pembentukan
lapisan biofilm sebagai salah satu cara Candida spp untuk mempertahankan diri dari obat-obat
antifungi. Produksi enzim hidrolitik ektraseluler seperti aspartyl proteinase juga sering
dihubungkan dengan patogenitas C. albicans.
C. albicans dapat tumbuh pada suhu 37oC dalam kondisi aerob atau anaerob. Pada
kondisi anaerob, C. albicans mempunyai waktu generasi yang lebih panjang yaitu 248 menit
diandingkan dengan kondisi pertumbuhan aerob yang hanya 98 menit. Walaupun C. albicans
tumbuh baik pada media padat tetapi kecepatan pertumbuhan lebih tinggi pada media cair pada
suhu 37oC.
Pertumbuhan juga lebih cepat pada kondisi asam dibandingkan dengan pH normal atau
alkali.
Tahap pertama dalam proses infeksi ke tubuh hewan atau manusia adalah perlekatan
(adhesi). Kemampuan melekat pada sel inang merupakan tahap penting dalam kolonisasi
dan penyerangan (invasi) ke sel inang. Bagian pertama dari C. albicans yang berinteraksi
dengan sel inang adalah dinding sel. Dinding sel C. albicans terdiri dari enam lapisan dari
luar ke dalam adalah fibrillar layer, mannoprotein, β-glucan, β-glucan-chitin, mannoprotein
dan membran plasma. Perlekatan lapisan dinding sel dengan sel inang terjadi karena
mekanisme kombinasi spesifik (interaksi antara ligand dan reseptor) dan nonspesifik (kutub
elektrostatik dan ikatan van der walls) yang kemudian menyebabkan serangan C. albicans
ke berbagai jenis permukaan jaringan. Faktor lain yang mempengaruhi interaksi C. albicans
dengan sel inang adalah hidrofobisitas pada awal perlekatan. Diduga protein pada dinding
sel terlibat dalam perubahan hidrofobisitas permukaan sel dengan melepaskan glukanase
digestion dalam jumlah tertentu. Interaksi sel C. albicans dengan sel inang (cel-cel
interaction) juga melibatkan fisikomekanik, fisikokimia dan enzimatik materi mikroba serta
interaksi mikro yang mengarah pada kolonisasi dan infeksi seperti perubahan medan magnet
pada permukaan sel yang berinteraksi yang menyebabkan sel-sel saling melekat.
Mekanisme perlekatan sendiri sangat dipengaruhi oleh keadaan sel tempat dinding sel C.
albicans melekat (misalnya sel epitelium), mekanisme invasi ke dalam mukosa dan sel epitelium
serta reaksi adhesi tertentu yang mempengaruhi kolonisasi dan patogenitas C. Albicans.
Perlekatan dan kontak fisik antara C. albicans dan sel inang selanjutnya mengaktivasi mitogen
activated protein kinase. (Map-kinase). Protein kinase tersebut merupakan bagian dari jalur
integritas yang diaktivasi oleh stress pada dinding sel (tempat C. albicans dan sel host
melakukan kontak). Map-kinase juga diperlukan untuk pertumbuhan hifa invasive dan
perkembangan biofilm pada tahap selanjutnya. Selain aktivasi Map-kinase pada C. albicans,
dalam waktu yang hampir bersamaan terjadi pengaturan kembali aktin pada sel inang.
Tahap setelah perlekatan adalah invasi. Studi tentang tahapan invasi C. albicans dilakukan
pada kultur jaringan epitel mulut manusia (reconstuted human oral epithelium ; rhoe)
untuk mengetahui penampakan ultrastruktur oral candidiasis. Hifa C. albicans melakukan
penetrasi ke dalam permukaan epitelium terutama pada cell junction bersamaan dengan
internalisasi sel khamir. Penetrasi pada Brain Microvascular Endothelial Cell (BMEC)
menginduksi sel tersebut untuk melakukan vakuolasi tetapi C. albicans tidak hanya mampu
bertahan hidup dan beradaptasi dalam BMEC tetapi juga mampu berkembang dan
membentuk hifa. pH optimal C. albicans yang sekitar pH 5 sangat dekat dengan pH pada
vakuola endosom yang memungkinkan C albicans dapat bertahan bahkan berkembang
menjadi hifa. Invasi dan pathogenesis C. albicans juga ditandai dengan sekresi proteinse
aspartat (Saps) yang dikode oleh 10 gen. Ekspresi gen SAP diyakini berhubungan dengan
kerusakan pada kulit. Salah satu penanda invasi C. albicans adalah perubahan khamir ke
dalam bentuk hifa (filamen). Perubahan bentuk khamir ke hifa sangat dipengaruhi oleh
lingkungan mikro sel inang yang terdeteksi oleh C. albicans selama proses invasi.
2.2.4 Infeksi saluran akar primer
Infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme menjajah jaringan pulpa yang nekrotik dan
saluran akar dentin didefinisikan sebagai infeksi saluran akar primer. Secara umum, infeksi
primer dicampur dan didominasi oleh fakultatif atau obligat anaerob bakteri , tergantung pada
lingkungan mikro yang perubahan dan tekanan. Karena jamur tidak terisolasi dalam mikroba
awal flora kebanyakan infeksi saluran akar, mereka biasanya tidak dilaporkan untuk menjadi
anggota umum dari populasi mikroba diisolasi dari infeksi endodontik primer. Meskipun ragi
yang hadir dalam sampel asli , mereka mungkin tidak dapat ditemukan pada piring yang dipilih
untuk kultur karena mereka memiliki nomor Unit pembentuk koloni ( CFU ) rendah
dibandingkan dengan bakteri. Selain itu, mereka mungkin sering dianggap sebagai kontaminan
terutama dari udara. Egan et al . (2002) menyelidiki prevalensi relatif dan keanekaragaman
ragi dalam air liur dan saluran akar gigi terkait dengan periodontitis apikal dari pasien yang
sama. Selain C. albicans dan C. sake, Rodotorula mucilaginosa diisolasi dari saluran akar .
mereka juga menemukan bahwa kehadiran ragi dalam saluran akar adalah bermakna dikaitkan
dengan kehadiran mereka dalam air liur.
2.2.5.Infeksi saluran akar sekunder
Jenis infeksi endodontik disebabkan oleh mikroorganisme yang belum di saluran akar
sebelumnya, tetapi telah merambah ke ruang endodontik selama pengobatan , antara janji , atau
setelah perawatan endodontik ( Siqueira 2002) . Sebagaimana dinyatakan oleh Waltimo et al .
( 2003b ) , ragi mungkin baik hadir dalam jumlah yang rendah atau tidak ada sama sekali pada
infeksi endodontik primer. selama endodontik prosedur , mereka dapat mencapai persentase yang
lebih tinggi dalam Jumlah tumbuhan yang bisa diolah atau spesies ragi baru dapat menembus ke
dalam sistem saluran akar . Lana et al. ( 2001) meneliti status mikroba saluran akar utuh dengan
pulp nekrotik . C. tropicalis dan S. cerevisiae yang pulih dari dua saluran akar ( 7,4 % ) sebelum
endodontik prosedur telah dimulai . Setelah instrumentasi, irigasi dengan 2,5 % NaOCl dan
desinfeksi dengan kalsium hidroksida , ragi tersebut tidak hadir dalam saluran akar , namun , C.
guilliermondii dan C. parapsilosis itu ditemukan di kedua dan ketiga koleksi, masing-masing.
Hal ini sangat mungkin bahwa yang terakhir spesies memperoleh akses ke saluran akar karena
isolasi miskin atau rongga segel . Pinheiro et al . ( 2003 )menunjukkan hubungan yang signifikan
antara koronal membukanya gigi dan Candida spp . Wilson dan Balai ( 1968) melaporkan
prevalensi ragi di SD infeksi endodontik 1,9 % . Dalam kedua berikutnya dan kunjungan ketiga ,
kejadian ini meningkat menjadi 6,8 % . Ketika mereka memeriksa kasus dengan positif budaya
ragi , mereka mengamati bahwa baik sementara restorasi memiliki cacat atau waktu yang sangat
panjang waktu ( 3-4 bulan ) telah berlalu antara dua kunjungan ( empat kasus ) . Jackson dan
Halder ( 1963) ditentukan kehadiran ragi setinggi 26 % pada awal kunjungi terapi endodontik .
Pada kunjungan berikutnya setelah menggunakan kloramfenikol sebagai ganti menengah,
mereka terisolasi ragi dari gigi yang telah negatif pada budaya awal. Mereka menyimpulkan
bahwa penggunaan dari agen antibakteri mungkin mendukung pertumbuhan berlebih yang
ragi dalam saluran akar .
2.2.6.Infeksi saluran akar Persistent
Setelah memperoleh akses ke dalam sistem saluran akar , yang mikroorganisme dapat
bertahan melawan kondisi yang keras seperti prosedur intrakanal , desinfeksi , dan obturasi , dan
menyebabkan infeksi persisten . tambahan untuk pembentukan kehadiran ragi di SD dan infeksi
sekunder pada penelitian sebelumnya , ada Data yang cukup bahwa ragi juga dapat mengambil
bagian dalam mikrobiota saluran akar gagal perawatan endodontik . Insiden ragi berbudaya dari
gigih infeksi endodontik dilaporkan 2,9-22,2 % . sebagai dinyatakan sebelumnya , penggunaan
media selektif signifikan mempengaruhi prevalensi dalam saluran akar ( Tabel 9.2 ) . Ketika
media selektif digunakan , insiden meningkat 2,9-8,3 % menjadi 6,8-18 % . Ragi terisolasi baik
budaya sebagai murni atau bersama-sama dengan bakteri lain dalam endodontik therapyresistant
kasus. Sementara C.albicans adalah isolat yang paling umum , C. glabrata , C. guilliermondii , C.
inconspicua , dan Geotrichium candidum juga terisolasi . Jamur yang ditunjukkan sebagai kultur
murni dalam enam kasus . Oleh karena itu, dianjurkan bahwa mereka memiliki peran patogenik
yang pasti dalam mengembangkan periodontitis apikal . Dalam sebagian besar jamur - positif
kasus , fakultatif bakteri Gram – positif dan spesies Streptococcus nonhemolytic hadir .
Onthe sisi lain , isolateswere Gram -negatif yang ditemukan acak . Peciuliene et al . ( 2001)
melaporkan prevalensi C. albicans pada gigi akar - diisi dengan periodontitis apikal kronis
setinggi 18 % , dan jamur ini pulih dari akar canals 50 % dengan E. faecalis dan 50 % dengan
bakteri lainnya . Namun, ragi merupakan hanya 1 % dari total flora mikroba yang bisa diolah .
mereka telah menyimpulkan bahwa ekologi dalam saluran akar yang tidak cukup diisi dapat
mendukung tertentu pertumbuhan E. faecalis dan C. albicans . Adib et al . ( 2004)
mengidentifikasi flora mikroba bisa diolah di akar – diisi gigi dengan periodontitis apikal gigih
dan jelas microleakage koronal . Selain kehadiran Gram-positif anaerob fakultatif ( 75 % ) ,
enam strain Candida diisolasi dari dentin koronal , akar dentin , dan akar sampel getah perca
dalam tiga dari delapan subyek . Terlepas dari studi budaya , kehadiran jamur dalam terapi
saluran akar gagal telah terbukti baik menggunakan teknik biologi molekuler atau mikroskopik .
Nair et al . ( 1990) menganalisis bagian apikal dari sembilan kasus terapi-tahan dengan cahaya
dan mikroskop elektron . Dua spesimen mengungkapkan mikroorganisme ragi - seperti
dalam saluran akar dan foramen apikal. di sana yang banyak ragi tunas , menunjukkan bahwa
mereka berada di proliferasi aktif . Mereka menunjukkan jamur sebagai nonbacterial , penyebab
mikroba potensi nonhealed periodontitis apikal .
Penghindaran C. Albicans Dari Sel–Sel Pertahanan Tubuh
Dinding sel merupakan bagian C. albicans yang terlibat interaksi paling awal dengan sel
inang dan berpengaruh besar terhadap aktivasi sel-sel kekebalan inang. Aktivasi terjadi ketika
terjadi kontak antara sel inang dengan dinding sel C. albicans sebagai akibat adanya antigen C.
albicans pada dinding sel. Sel inang memberikan respon seluler dan antibodi untuk mengurangi
invasi dan mengeliminasi C. albicans dari jaringan yang terinfeksi. Sebaliknya C. albicans juga
melakukan upaya pengindaran dari sistem kekebalan dengan menginduksi aktivitas sel T dan sel
B supresif sehingga C. albicans lebih mudah menginvasi sel inang. Kemampuan menghindar C.
albicans dari makrofag juga dipengaruhi oleh keberadaan phospholipomannan (PLM) sebuah
glikolipid unik dengan phytoceramid moiety yang diekspresikan pada permukaan dan dilepaskan
oleh C. albicans. Penambahan PLM pada makrofag menyebabkan disregulasi dalam makrofag
dan membuat S cerevisiae dan C. albicans yang sensitive mampu bertahan hidup lebih lama
dalam sel.
3. Virus penyebab penyakit periapikal
Virus adalah mikroorganisme yang paling sederhana dan terkecil yang dapat menginfeksi
manusia. Virus terdiri dari baik DNA atau RNA yang dikelilingi oleh lapisan protein disebut
sebagai "kapsid”. Virus yang paling umum dikenal dalam rongga mulut adalah virus herpes.
Virus harpes merupakan virus DNA terpenting yang dapat menyebabkan penyakit mulut pada
manusia. Ciri dari infeksi virus herpes adalah penurunan kekebalan tubuh.
Gambar 1. Mekanisme proses infeksi virus herpes
Replikasi herpesvirus dilakukan di nukleus sel host dan melalui tahap immediate-early,
early, dan late hingga akhirnya terjadi reaktivasi harpesvirus. Kebanyakan virus harppes didapat
sejak lahir dan biasanya menginfeksi individu yang berasa dari daerah dan ekonomi terbelakang
(Britt and Alford 1996; Rinckinson and Kueff 1996). Transmisi virus herpes muncul melaui
kontak dengan cairan yang terinfeksi, seperti saliva, darah, dan sekresi genital.
Penelitian terbaru telah menyelidiki keberadaan virus herpes pada lesi periapikal (Sabeti
et al. 2003a, b, c; Sabeti dan Slots 2004). Identifikasi cDNA dari akhir transkipsi gen selama
siklus infeksi harpes virus digunakan untuk mengindikasi infeksi aktif virus harpes (Sabeti et al.
2003a). Pada keadaan infeksi laten, setiap jenis harpesvirus berada diberbagai macam sel sebagai
host. Reaktivasi virus harpes yang laten terjadi akibat trauma fisik, stres, immunosuppression,
disfungsi imun, dan radioterapi. Berikut tabel jenis virus herpes dan host-nya.
Jenis Virus Herpes Host
HSV Tipe 1 dan 2 Ganglia saraf sensori dan monosit
Virus Epatein-Barr Limfosit dan jaringan kelenjar saliva
Varicella-zoster Ganglia saraf sensori
Virus CytomegaloMonosit, makrofag, limfosit, dan
jaringan kelenjar saliva
HSV Tipe 6Limfosit dan epitel duktus kelenjar
saliva
HSV Tipe 7 Limfosit dan jaringan kelenjar saliva
HSV Tipe 8 Limfosit dan makrofag
3.1 Virus-virus Herpes
No
.Jenis-Jenis Virus
Letak pada
fase latenPenyakit
1Virus Herpes Simplex
tipe 1 dan tipe 2
Ganglia
saraf
sensorik
dan
monosit
Gingivostomatitis
herpetik
2 Virus Epstein-barr B-limfosit
dan
jaringan
kelenjar
Mononukleosis,
nasofaringeal
karsinoma,
lymphoproliferative
saliva
disorders,
burkitt’slymphoma,
rheumatoid atritis,
shodgkin’s disease,
chronic fatigue
syndrome
3 Varicella-zoster
Ganglia
saraf
sensorik
chickenpox
4 Human Cytomegalovirus
Monosit,
makrofag,
limfosit,
dan
jaringan
kelenjar
saliva
Pasien terinfeksi HIV,
necrotizing netiritis
5 Human Herpervirus-6
Limfosit
dan duktus
kelenjar
saliva
Periodontitis,Mononuk
leosis, tumor, pada
rongga mulut
penumonia, meningitis
dan encephalitis
6 Human Herpervirus-7
Limfosit
dan
jaringan
kelenjar
saliva
Periodontal pocket
7 Human Herpervirus-8
Limfosit
dan
makrofag
Kaposi’s sarcoma,
Castleman disease and
anti-immunoblastic
lymphadenopathy
3.2 Patogenesis dan Virulensi
Virus Herpes mungkin menyebabkan penyakit sebagai akibat dari infeksi dan replikasi viral
atau sebagai hasil dari penurunan ketahanan host.
Patogenensis virus herpes memiliki beberapa mekanisme, cara kerja sendiri maupun
kombinasi, dan mungkin melibatkan seluler dan respon host:
1. Virus-virus herpes dapat menyebabkan efek-efek sitopatik secara langsung pada fibroblas
periapikal, hasilnya yang dapat mengganggu pergantian dan perbaikan jaringan, bahkan
kehilangan jaringan.
2. HCMV dan EBV dapat menginfeksi dan memecah fungsi monosit, makrofag, limfosit, dan
polimorfonuklear leukosit. Terganggunya pertahanan sel host menyebabkan mudahnya
pertumbuhan bakteri patogen endodontik. Aktivasi virus herpes dapat menyebabkan efek
immunospuresif dam immunomodulatory pada daerah periapikal secara signifikan. Virus
herpes dapat memicu sebuah susunan repson host yang termasuk disregulasi makrofag dan
limfosit, dan mempunyai sebuah tujuan untuk mengatur respon imun host antiviral.
Lemahnya host termasuk pembunuh sel secara natural, inhibisi apoptosis dan hancurnya
jalan komponen MHC kelas I dan kelas II dalam makrofag , yang nyatanya mempengaruhi
peran utama host dalam penyajian antigen. Selain itu. HCMVmengkode sebuah
intlekleukin(IL)-10 homolog yang unik, sebuah sitokin Th2 yang antagonis dengan respon
Th1, dan sifat immunosupresif dapat membantu deteksi dan penghancuran circumvent
HCMV oleh sistem imun host. HCMV juga memilki kemampuan menghambat ekspresi
reseptor permukaan makrofag untuk lipopolisakarida yang mengganggu respon terhadapa
infkesi bakteri gram-negatif.
3. Infeksi virus herpes menimbulkan proinflamasi sitokin dan kemokin yang dilepas dari sel-
sel inflamatori. Interleukin - 1β dan tumor necrosis factor - α hadir dalam tingkat yang
signifikan pada lesi periapikal , dan prostaglandin E2 (PGE2) konsentrasi lebih tinggi pada
akut dibandingkan pada lesi periapikal kronis. Mediator inflamasi ini, yang kemungkinan
besar diproduksi secara lokal oleh makrofag periapikal, adalah agen yang merangsang
resorpsi tulang potent. Penelitian sebelumnya telah difokuskan pada lipopolisakarida sebagai
induktor produksi sitokin makrofag, tetapi infeksi HCMV mungkin memiliki potensi lebih
tinggi untuk upregulate ekspresi gen interleukin - 1β dan tumor necrosis factor α pada
monosit dan makrofag. Mungkin hubungan makrofag dan produk mereka untuk pathosis
periapikal adalah sebagian karena HCMV-dimediasi pelepasan sitokin dari makrofag
periapikal . EBV adalah poliklonal aktivator B - limfosit kuat, mampu merangsang
proliferasi dan diferensiasi sel-sel yang mensekresi imunoglobulin. Infeksi EBV periapikal
mungkin sebagian bertanggung jawab atas sering terjadinya sel B pada lesi periapikal.
Infeksi virus herpes juga mempengaruhi jaringan sitokin. Sitokin dan kemokin memainkan
peran penting dalam baris pertama pertahanan terhadap infeksi virus herpes manusia dan
juga memberikan kontribusi signifikan terhadap regulasi respon imun. Namun, dengan
beragam strategi, virus herpes dapat mengganggu produksi sitokin atau mengalihkan respon
sitokin antivirus poten, yang memungkinkan virus untuk bertahan hidup sepanjang masa
infeksi HCMV melalui host. Infeksi HCMV biasanya menginduksi profil sitokin
proinflamasi, dengan produksi IL - 1β , IL - 6 , IL - 12 , tumor necrosis factor ( TNF ) - α ,
interferon ( IFN ) - α/ β, dan IFN - γ, Dan PGE2 . Infeksi EBV merangsang produksi IL - 1β ,
IL-1 receptor antagonis ( IL - 1Ra ) , IL - 6 , IL8 , IL - 18 , TNF - α, IFN - α/ β , IFN - γ ,
Monokin diinduksi oleh IFN -γ(MIG), IFN-γ-Inducible protein 10 ( IP - 10 ) , dan faktor
granulosit-makrofag colony-stimulating. Kegiatan proinflamasi biasanya melayani tujuan
biologis positif dengan bertujuan untuk mengatasi infeksi atau invasi oleh agen infeksi,
tetapi juga dapat memberi efek merugikan ketika tantangan menjadi luar biasa atau dengan
stimulus patofisiologi kronis. Dalam upaya untuk menangani peradangan berkelanjutan,
respon proinflamasi awal memicu pelepasan mediator anti - inflamasi , seperti transforming
growth factor - β dan IL-10 . Selain itu, virus menampilkan keunikan yang besar ketika
datang untuk mengalihkan respon sitokin antivirus poten untuk keuntungan mereka . PGE2
yang merupakan mediator kunci dari respon inflamasi periapikal, meningkat dengan cepat
dalam menanggapi paparan sel untuk HCMV, lipopolisakarida bakteri , dan sitokin IL - 1β
dan TNF -α , dan PGE2 , dalam kondisi tertentu dapat mendukung replikasi HCMV. Tidak
diragukan lagi , infeksi HCMV periapikal dapat menyebabkan banyaknya reaksi
imunomodulator yang saling berhubungan, dan berbagai tahap infeksi akan menampilkan
berbagai tingkat sel-sel inflamasi spesifik dan mediator, menggaris bawahi kompleksitas
interaksi HCMV - host penyakit periapikal
4. Virus-virus herpes dapat memproduksi kerusakan jaringan periapikal sebagai hasil dari
repson immunopatologi. Sel Th1, yang menonjol pada lesi periapikal, adalah mediator
hipersensitivitas delayed-type. HCMV memiliki potensial untuk menimbulkan
immunosupresi cell-mediated oleh ekspresi permukaan sel downregulating dari molekul-
molekul histokompatibilitas mayor kompleks kelas I, sehingga mengganggu pengenalan
sitotoksik limfosit T, tujuan utama yaitu untuk mengenali dan menghancurkan sel yang
terinfeksi virus, tetapi secaara sekunder juga menghambat berbagai aspek dari respon imun.
Daftar Pustaka
Fuad, Asraf. Chapter 8&9: Endodontic Microbiology. Department of Endodontics, Prosthodontics and Operative Dentistry Director, Advanced Specialty Program in Endodontics Dental School, University of Maryland Baltimore, MD, USA
Ingle II, Backland LK.. Endodontics. 5th ed. Chapter 3 : Microbiology of endododontics and asepsis in endodontic practice. Baumgartner JC, Bakland LK, Sugita EI. London : BC Decker Inc. Hamilton. 2002. p. 63-79
Eni Kusumaningtyas.Mekanisme Infeksi Candida Albicans Pada Permukaan Sel. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis
Grossman , Louis. 1995. Ilmu Endodontik Dalam Praktek ed.11 .Jakarta : EGC
Walton, Richard E. 2008. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsia. Jakarta : EGC
MAKALAH BIOLOGI ORAL 3
VIRUS DAN JAMUR PENYEBAB PENYAKIT PERIAPIKAL : FAKTOR VIRULENSI
DAN PATOGENESIS
Disusun Oleh :
1. Repika Ayu Yulanda (04121004056)
2. Bebbi Arisya Kesumaputri (04121004058)
3. Harentya Suci Sabillah (04121004059)
4. Haritsa Budiman (04121004060)
5. Febri Rusdi (04121004061)
Dosen Pembimbing : drg. Shanty Chairani, M,Si
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN GIGI
2014