Upload
dede-yusuf-f
View
61
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
VARICELLA ZOSTER VIRUS
DISUSUN
OLEH:
DEWI UTAMI1307101030144
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALADARUSSALAM-BANDA ACEH
TAHUN 2013
Definisi
Varisela salah satu penyakit menular yang sangat cepat dan penyebab penyakit infeksi
virus. Penyebab penyakit ini adalah sejenis virus yang termasuk golongan herpes virus, yaitu
Varicella Zooster Virus (VZV). sedangkan herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan
oleh VZV yang sifatnya terlokalisir, terutama menyerang orang dewasa dengan ciri khas
berupa nyeri radikuler, unilateral dan gerombolan vesikel yang tersebar sesuai dermatom
Gb 1. Varisela
Epidemiologi
Varisela dapat menyerang siapa saja. Namun lebih sering mengenai anak-anak yang
berusia dibawah 10 tahun terutama usia 3-6 tahun. Di Amerika, varisela sering terjadi pada
awal musim dingin sampai pertengahan musim semi. Di Indonesia, Kepala Bidang
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Dinkes mengatakan terdapat
lebih dari limaratus penderita varisela, akan tetapi jumlah tersebut menurun dibandingkan
tahun 2006. Berdasarkan data tersebut diperlukan usaha pencegahan berupa vaksinasi untuk
mengontrol penyebaran penyakit varisela. Vaksin ini memiliki kemampuan 70-90% untuk
mencegah varisela dengan efektifitas 95% dalam mencegah varisela berat (Lubis, 2008).
Insiden terjadinya herpes zoster meningkat pada musim dingin. Di Amerika herpes
zoster jarang terjadi pada anak-anak dimana lebih dari 70% terjadi pada usia lebih dari 50
tahun kurang dari 10% dibawah 20 tahun dan 5% dibawah usia 15 tahun. Sekitar 2-3% terjadi
pada anak-anak dengan imunocompromised dan keganasan (Harper, 2000).
Etiologi
Varicella Zoster Virus (VZV) merupakan virus sejenis alpha herpes virus DNA double
stranded. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varisela sehingga dikatakan
infeksi akut primer. Virus berkapsul berdiameter berkisar 1500-200nm, bersifat infeksius.
Penderita dapat sembuh atau penderita sembuh dengan virus yang menjadi laten dalam
ganglia sensoris dorsalis, jika kemudian terjadi reaktivasi maka virus akan menyebabkan
penyakit herpes zoster.
Gb 2. Herpes zoster
Patogenesis
VZV masuk kedalam tubuh manusia melalui mukosa saluran nafas atas, atau setelah
penderita berkontak dengan lesi kulit penderita, selama masa inkubasinya terjadi viremia
primer. Infeksi pertama terjadi pada selaput lendir saluran pernafasan atas. Selanjutnya virus
ini menyebar melalui peredaran darah dan sistem limfa ke hepar dan berkumpul dalam
monosit, disana virus bereplikasi sampai berkumpul kedalam limfosit T, kemudian virus
menyebar ke mukosa dan kulit dan bereplikasi di epidermis memberi gambaran sesuai lesi
varisela (Lubis, 2008).
Reaktivasi virus varicella zoster yang laten di dalam ganglion posterior atau ganglion
intracranial yang akan menyebabkan herpes zoster. Virus ini dibawa ke tepi ganglion spinal
atau ganglion trigeminal, sampai menjadi laten. Kelainan kulit yang timbul memberikan
lokasi yang setingkat dengan daerah persarafan ganglion tersebut. Virus membentuk infeksi
laten didalam ganglia dan bertahan hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada dermatom
di mana ruam dari varisela mencapai densitas tertinggi yang pertama diinervasi oleh
(ophtalmic) divisi saraf trigeminal dan oleh spinal sensori ganglia dari T1 ke L2. Walaupun
virus bersifat laten, ganglia mempertahankan potensi untuk inefektivitas penuh, reaktifasi
yang terjadi bersifat sporadis, jarang, dan terkait dengan imunosupresi, radiasi dari columna
vertebralis, tumor, trauma local (manipulasi bedah tulang belakang dan sinusitis frontalis).
Apabila virus berkembang biak dalam ganglion menyebabkan nekrosis neuron dan
peradangan hebat, sebuah proses yang sering disertai neuralgia berat. Infeksi VZV kemudian
menyebar ke saraf sensorik, dilepaskan di sekitar ujung akhiran saraf sensorik di kulit, di
mana ia menghasilkan karakteristik kluster vesikula zoster. Penyebaran infeksi ganglionic
secara proksimal sepanjang radix saraf posterior menuju meninges dan corda menghasilkan
leptomeningitis lokal, cairan cerebrospinal pleocytosis, dan segmental myelitis. Infeksi motor
neuron di kornu anterior dan radang pada syaraf di bagian radix anterior dicatat untuk palsies
lokal yang mungkin menyertai erupsi kutaneus, dan perluasan infeksi di dalam sistem saraf
pusat dapat dihasilkan pada komplikasi jarang herpes zoster (Straus et al., 2012).
Gambaran Klinis
Masa inkubasi pada varisela 10-20 hari. Pada anak-anak terdapat gejala ringan seperti
malese, nyeri kepala sedangkan pada orang dewasa gejalanya lebih berat dan lebih lama.
Suhu tubuh meningkat 4-5 hari dan dapat disertai rasa gatal. Setelah stadium prodromal,
makula/papula yang timbul cepat berubah menjadi vesikula. Selama beberapa hari akan
timbul vesikula baru sehingga umur lesi tidak sama. Kulit disekitar lesi eritematus. Pada
anamnesis didapatkan adanya kontak dengan penderita varisela atau herpes zoster. Lesi
terdapat di kepala, badan, wajah, dan ektremitas. Khas infeksi virus pada vesikula adanya
bentuk umbilikasi (delle) yaitu vesikula dengan bagian tengah cekung kedalam (Murtiastutik,
2013).
Gejala prodromal herpes zoster dapat dimulai dengan berupa rasa gatal dan nyeri serta
adanya respon sistemik, misalnya demam, nyeri kepala. Pada stadium erupsi timbul plakat
berbentuk urtika yang setelah 1-2 hari akan timbul gerombolan vesikula di atas kulit yang
eritematus sedangkan kulit di antara gerombolan tetap normal, usia lesi pada satu gerombolan
adalah sama akan tetapi usia pada gerombolan satu dengan yang satunya tida sama. Lokasi
sesuai dengan dermatom, unilateral. Pada stadium krusta vesikula menjadi purulen,
mengalami krustasi lepas dalam waktu 1-2 minggu (Murtiastutik, 2013).
Pemeriksaan Laboratorium
a. Tzanck smear, akan ditemui sel datia berinti banyak.
b. Direct flourescent assay (DFA), tes ini dapat menemukan antigen virus varisela zoster
dan dapat membedakan antara VZV dengan herpes simplek virus.
c. Polymerase Chain Reaction (PCR), tes in dapat menemukan asam nukleat dari virus
varisela zoster.
d. Biopsi kulit, hasil pemeriksaan histopatologis tampak vesikel intraepidermal dengan
degenerasi sel epidermal dan acantholisis. Pada dermis bagian atas dijumpai adanya
infiltrat limfositik (Lubis, 2008).
Diagnosa Banding
Varisela:
1. Folikulitis
2. Impetigo bulosa
3. Insect bite
4. Herpes Zoster
Herpes zoster:
1. Dermatitis kontak alergika
2. Varisela
3. Herpes Zoster
4. Bulous pemfigoid
Penatalaksanaan
Pada penderita yang imunokompeten, pengobatan diberikan bersifat simptomatis, yaitu:
1. Lesi yang berbentuk vesikel dapat diberikan bedak tabur agar tidak mudah pecah
2. Vesikel yang sudah pecah atau berbentuk krusta dapat di berikan salap antibiotik agar
tidak terjadi infeksi sekunder.
3. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tidak boleh
golongan salisilat (aspirin) agar tidak terjadi Sindroma Reye
4. Memotong kuku agar tidak menjadi infeksi sekunder karena garukan
Antiviral yang diberikan dapat berupa asiklovir, valasiklovir dan famasiklovir agar
mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu penyembuhan menjadi lebih singkat
Neonatus = Asiklovir 500mg/m2 IV setiap 8 jam selama 10 hari
Anak (2-12 tahun) = Asiklovir 4x20 mg/kgbb/hari/oral selama 5 hari
Pubertas dan dewasa = Asiklovir 5x800mg/ hari/oral selama 7 hari
Valasiklovir 3x1gr/hari/ oral selama 7 hari
Famasiklovir 3x500mg/hari/oral selama 7 hari (Sugito, 2003).
Komplikasi
Varisela:
1. Infeksi sekunder dengan bakteri S.aureus
2. Varisela pneumonia
3. Reye sindrom
Herpes zoster:
1. PHN (post hepatic neuralgia)
2. Herpes zoster oftalmikus
3. Ensefalitis
Edukasi
Karena penyakit ini merupakan infeksi primer, pasien diingatkan untuk menjaga
kebersihan lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder. Pasien sebaiknya dilarang menggaruk
berlebihan khususnya pada gelembung dan tetap dianjurkan untuk mandi agar meredakan
gatal yang dirasakan, hindari tempat-tempat panas, meningkatkan daya tahan tubuh dengan
istirahat dan makan makanan yang bergizi (Sugito, 2003).
Pencegahan
1. Imunisasi pasif:
VZIG (Varicella-Zoster Immune Globulin), sebaiknya dipertimbangkan pada pasien
yang beresiko tinggi untuk terkena, seperti wanita hamil yang belum pernah terkena
varisela, bayi baru lahir, dosis yang dibeikan 125 IU/10kgBB, 250 IU/10-20kgBB,
375 IU/20-30kgBB, 500IU/30-40kgBB, 625IU/<40kgBB.
2. Asiklovir sebagai postexposure prophylaxis sangat efektif jika diberikan 8-9 hari
setelah kontak selama 7 hari.
3. Imunisasi aktif
Vaksin varisela dapat juga berguna untuk pencegahan jika diberikan 3-5 hari setelah
kontak. Vaksin varisela semula berasal dari virus hidup (live attenuated). Pemberian
secara subkutan, diberikan pada anak usia 12-18 bulan. Anak yang berusia <13 tahun
yang tidak menderita varisela direkomendasikan diberikan dosis tunggal dan anak
lebih tua diberikan dalam dua dosisdengan jarak 4-8 minggu (Sugito, 2003).
Prognosis
Pada anak-anak prognosis varisela lebih baik dibandingkan orang dewasa. Pada
neonatus dan anak anak yang menderita leukimia, imunodefisiensi, sering menimbulkan
komplikasi hingga angka kematian meningkat.
Pada neonatus kematian umunya disebabkan karena gagal nafas akut, sedangkan pada
anak dengan degenerasi maligna dan immunodefisiensi tanpa vaksinasi atau pengobatan anti
virus, kematian biasanya disebabkan oleh komplikasinya adalah pneumonia dan ensefalitis
(Sugito, 2003).
Daftar Pustaka
Harper, J. 2000. Varicella (Chickenpox). In textbook of Pediatric Dermatology. Blackwell Science. 336-39.
Lubis, RD. 2008. Varicella dan Herpes Zoster. Medan: Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara.
Murtiastutik , Dwi; Evy Ervianti; Indropo Agusni; Sunarso Suyoso. 2013. Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi kedua. Surabaya: Badan Penerbit dan Percetakan Unair.
Straus, SE; Michael NO; Kenneth ES. 2008. Varricella and Herpes Zoster. In: Goldsmith LAKatz SI, Gilchrest BA, Palerr AS, Leffell DJ, Wolff K, editors. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine. 7thed. New York: McGraw Hill.p.1885.
Sugito, TL. 2003. Infeksi Virus Varicella-Zoster pada Bayi dan Anak. Dalam Boediardja Infeksi Kulit pada Bayi dan Anak. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p.17-33.