UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

  • Upload
    anindya

  • View
    218

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    1/135

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

    NOMOR 7 TAHUN 2012

     TENTANG

    PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    a.bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa

    Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan

    kesejahteraan umum, dan menegakkan hak asasi setiap warga negara

    melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, tertib, damai,

    dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang

    atas pelindungan agama, diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,

    dan harta benda;

     b.bahwa perseteruan dan/atau benturan antarkelompok masyarakat

    dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya

    stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional;

    c.bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan

    dengan penanganan konflik sosial masih bersifat parsial dan belumkomprehensif sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum

    masyarakat;

    d.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf

    a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang

    Penanganan Konflik Sosial;

    Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    nimbang:

    ngingat:

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    2/135

    Dengan Persetujuan Bersama

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

    dan

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN KONFLIKSOSIAL.

    BAB I

    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

    1.Konflik Sosial, yang selanjutnya disebut Konflik,

    adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan

    kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau

    lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan

     berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan

    dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas

    nasional dan menghambat pembangunan nasional.

    2.Penanganan Konflik adalah serangkaian kegiatan yangdilakukan secara sistematis dan terencana dalam

    situasi dan peristiwa baik sebelum, pada saat,

    maupun sesudah terjadi Konflik yang mencakup

    pencegahan konflik, penghentian konflik, dan

    pemulihan pascakonflik.

    3.Pencegahan Konflik adalah serangkaian kegiatan yang

    dilakukan untuk mencegah terjadinya Konflik dengan

    peningkatan kapasitas kelembagaan dan sistem

    peringatan dini.

    4.Penghentian Konflik adalah serangkaian kegiatan

    untuk mengakhiri kekerasan, menyelamatkan korban,

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    3/135

    Pemulihan Pascakonflik adalah serangkaian kegiatan

    untuk mengembalikan keadaan dan memperbaiki

    hubungan yang tidak harmonis dalam masyarakat

    akibat Konflik melalui kegiatan rekonsiliasi,

    rehabilitasi, dan rekonstruksi.

    Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang

    terpaksa keluar dan/atau dipaksa keluar oleh pihak

    tertentu, melarikan diri, atau meninggalkan tempat

    tinggal dan harta benda mereka dalam jangka waktu

     yang belum pasti sebagai akibat dari adanya intimidasi

    terhadap keselamatan jiwa dan harta benda, keamanan

     bekerja, dan kegiatan kehidupan lainnya.

    Status Keadaan Konflik adalah suatu status yang

    ditetapkan oleh pejabat yang berwenang tentang

    Konflik yang terjadi di daerah kabupaten/kota,

    provinsi, atau nasional yang tidak dapat diselesaikandengan cara biasa.

    Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial adalah

    lembaga bersifat ad hoc yang dibentuk untuk

    menyelesaikan Konflik di luar pengadilan melalui

    musyawarah untuk mufakat.

    Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang

    memegang kekuasaan Pemerintahan Negara Republik

    Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-

    Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Dewan Perwakilan Rakyat, yang selanjutnya disingkat

    DPR, adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana

    dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945.

    Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau wali

    kota, dan perangkat daerah sebagai unsur

    penyelenggara pemerintahan daerah.

    5.

    6.

    7.

    8.

    9.

    10.

    11.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    4/135

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang selanjutnya

    disingkat DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah

    sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

    13.Tentara Nasional Indonesia, yang selanjutnya

    disingkat TNI, terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan

    Laut, dan Angkatan Udara, adalah alat negara yang

     bertugas mempertahankan, melindungi, danmemelihara keutuhan dan kedaulatan negara.

    14.Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang

    selanjutnya disingkat Polri, adalah alat negara yang

     berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban

    masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan

    pelindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

    masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan

    dalam negeri.

    15.Pranata Adat adalah lembaga yang lahir dari nilaiadat yang dihormati, diakui, dan ditaati oleh

    masyarakat.

    16.Pranata Sosial adalah lembaga yang lahir dari nilai

    adat, agama, budaya, pendidikan, dan ekonomi yang

    dihormati, diakui, dan ditaati oleh masyarakat.

    17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang

    selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan

    tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh

    Dewan Perwakilan Rakyat.18. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, yang

    selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan

    tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh

    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

    BAB II

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    5/135

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    6/135

    Pasal 5

    Konflik dapat bersumber dari:

    a.permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi,

    dan sosial budaya;

    f. keadilan;

    g. kesetaraan gender;

    h.ketertiban dan kepastian hukum;i. keberlanjutan;

     j. kearifan lokal;

    k. tanggung jawab negara;l. partisipatif;

    m.tidak memihak; dann.tidak membeda-bedakan.

    Pasal 3

    Penanganan Konflik bertujuan:a. menciptakan kehidupan masyarakat yang

    tenteram, damai, dan sejahtera;

    aman,

     b.memelihara kondisi damai dan harmonishubungan sosial kemasyarakatan;

    dalam

    c. meningkatkan tenggang rasa dan toleransi

    kehidupan bermasyarakat dan bernegara;

    dalam

    d. memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan;

    e. melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan

    prasarana umum;f. memberikan pelindungan dan pemenuhan

    korban; dan

    hak

    g. memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakatserta sarana dan prasarana umum.

    Pasal 4

    Ruang lingkup Penanganan Konflik meliputi:

    a. Pencegahan Konflik; b. Penghentian Konflik; dan

    c. Pemulihan Pascakonflik.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    7/135

     b.perseteruan antarumat beragama dan/atau interumat

     beragama, antarsuku, dan antaretnis;

    c.sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota,

    dan/atau provinsi;

    d.sengketa sumber daya alam antarmasyarakat

    dan/atau antarmasyarakat dengan pelaku usaha;

    atau

    e.distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang

    dalam masyarakat.

    BAB IIIPENCEGAHAN KONFLIK

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 6

    (1)Pencegahan Konflik dilakukan dengan upaya:

    a.memelihara kondisi damai dalam masyarakat;

     b.mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan

    secara damai;

    c.meredam potensi Konflik; dan

    d.membangun sistem peringatan dini.

    (2)Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, danmasyarakat.

    Bagian Kedua

    Memelihara Kondisi Damai Dalam Masyarakat

    Pasal 7

    Untuk memelihara kondisi damai dalam masyarakat

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a,

    setiap orang berkewajiban:

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    8/135

    a.mengembangkan sikap toleransi dan saling

    menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai

    dengan agama dan kepercayaannya;

     b.menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat

    istiadat orang lain;

    c.mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan

    harkat dan martabatnya;

    d.mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan

    kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan

    suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,

    kedudukan sosial, dan warna kulit;

    e.mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar

    kebhinneka-tunggal-ikaan; dan/atau

    f.menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.

    Bagian KetigaMengembangkan Sistem Penyelesaian Perselisihan Secara Damai

    Pasal 8

    (1)Penyelesaian perselisihan dalam masyarakat dilakukan

    secara damai.

    (2)Penyelesaian secara damai sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) mengutamakan musyawarah untuk

    mufakat.

    (3)Hasil musyawarah mufakat sebagaimana dimaksudpada ayat (2) mengikat para pihak.

    Bagian Keempat

    Meredam Potensi Konflik

    Pasal 9

    Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban

    meredam potensi Konflik dalam masyarakat dengan:

    a.melakukan perencanaan dan pelaksanaan

    pembangunan yang memperhatikan aspirasi

    masyarakat;

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    9/135

     b.menerapkan prinsip tata kelola pemerintahan yang

     baik;

    c.melakukan program perdamaian di daerah potensi

    Konflik;

    d.mengintensifkan dialog antarkelompok masyarakat;

    e.menegakkan hukum tanpa diskriminasi;

    f.membangun karakter bangsa;

    g.melestarikan nilai Pancasila dan kearifan lokal; dan

    h.menyelenggarakan musyawarah dengan kelompok

    masyarakat untuk membangun kemitraan dengan

    pelaku usaha di daerah setempat.

    Bagian Kelima

    Membangun Sistem Peringatan Dini

    Pasal 10

    (1)Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun

    sistem peringatan dini untuk mencegah:

    a.Konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai daerah

    potensi Konflik; dan/atau

     b.perluasan Konflik di daerah yang sedang terjadi

    Konflik.

    (2)Sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) dapat berupa penyampaian informasi mengenai

    potensi Konflik atau terjadinya Konflik di daerah

    tertentu kepada masyarakat.

    (3)Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun

    sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) dan ayat (2) melalui media komunikasi.

    Pasal 11

    Membangun sistem peringatan dini sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan Pemerintah

    dan Pemerintah Daerah dengan cara:

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    10/135

     b.penyampaian data dan informasi mengenai Konflik

    secara cepat dan akurat;

    c.penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;

    d.peningkatan dan pemanfaatan modal sosial; dan

    e.penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen sesuai

    dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    BAB IVPENGHENTIAN KONFLIK

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 12Penghentian Konflik dilakukan melalui:

    a.penghentian kekerasan fisik; b.penetapan Status Keadaan Konflik;

    c.tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan

    korban; dan/ataud.bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI.

    Bagian Kedua

    Penghentian Kekerasan Fisik

    Pasal 13

    (1)Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 12 huruf a dikoordinasikan dan

    dikendalikan oleh Polri.

    (2)Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) melibatkan tokoh masyarakat, tokoh

    agama, dan/atau tokoh adat.

    (3)Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud

    pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    11/135

    Bagian Ketiga

    Penetapan Status Keadaan Konflik

    Pasal 14

    Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila Konflik tidak

    dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi

    pemerintahan.

    Pasal 15

    (1)Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 14 terdiri atas:

    a.skala kabupaten/kota;

     b.skala provinsi; atau

    c.skala nasional.

    (2)Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terjadi

    apabila eskalasi Konflik dalam suatu daerah atau

     wilayah kabupaten/kota dan memiliki dampak hanya

    pada tingkat kabupaten/kota.

    (3)Status Keadaan Konflik skala provinsi sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) huruf b terjadi apabila eskalasi

    Konflik dalam suatu daerah atau wilayah

    kabupaten/kota dan/atau beberapa kabupaten/kota

    dalam suatu provinsi dan memiliki dampak sampai

    pada tingkat provinsi.

    (4)Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) huruf c terjadi apabila eskalasi

    Konflik mencakup suatu daerah atau wilayah

    kabupaten/kota dan/atau beberapa provinsi dan

    memiliki dampak secara nasional.

    Pasal 16

    Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    12/135

    Pasal 17

    DPRD kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap

    pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan

    Konflik.

    Pasal 18

    Status Keadaan Konflik skala provinsi sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) ditetapkan oleh

    gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD

    provinsi.

    Pasal 19

    DPRD provinsi melakukan pengawasan terhadap

    pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan

    Konflik.

    Pasal 20

    Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) ditetapkan oleh Presiden

    setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR.

    Pasal 21

    DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

    Penanganan Konflik selama Status Keadaan Konflik skalanasional.

    Pasal 22

    Penetapan Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 15 ayat (1) berlaku paling lama 90 (sembilan

    puluh) hari.

    Pasal 23

    (1)Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota bertanggung jawab atas Penanganan

    K flikkb t /kt

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    13/135

    (2)Dalam Penanganan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ay

     bupati/wali kota wajib melaporkan perkembangan Penanganan Konflik k

    gubernur dengan tembusan kepada menteri yang membidangi urusan dalam

    dan/atau menteri terkait serta DPRD kabupaten/kota.

    Pasal 24

    (1)Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi, gubernur bertanggung jawab

    Penanganan Konflik provinsi.

    (2)Dalam Penanganan Konflik skala provinsi sebagaimana dimaksud pada ay

    gubernur wajib melaporkan perkembangan Penanganan Konflik kepada Pr

    melalui menteri yang membidangi urusan dalam negeri dan/atau menteri

    dengan tembusan kepada DPRD provinsi.

    Pasal 25

    (1)Dalam hal Status Keadaan Konflik skala nasional, Presiden bertanggung jawab

    Penanganan Konflik nasional.

    (2)Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pr

    dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum

    keamanan sebagai koordinator dengan melibatkan menteri/pimpinan lembaga terk

    (3)Dalam penanganan Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana dim

    pada ayat (1), Presiden menyampaikan perkembangan penanganan Status Ke

    Konflik kepada DPR.

    Pasal 26

    Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota,

     bupati/wali kota dapat melakukan:a.pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;

     b.pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    14/135

    c.penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk

    sementara waktu; dan

    d.pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik

    atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara

     waktu.

    Pasal 27

    Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi gubernur

    dapat melakukan:

    a.pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk

    sementara waktu;

     b.pembatasan orang di luar rumah untuk sementara

     waktu;

    c.penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk

    sementara waktu; dan

    d.pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik

    atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.

    Pasal 28

    Dalam Status Keadaan Konflik skala nasional Presiden

    dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi

    urusan politik, hukum, dan keamanan untuk melakukan:

    a.pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk

    sementara waktu;

     b.pembatasan orang di luar rumah untuk sementara

     waktu;c.penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk

    sementara waktu; dand.pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflikatau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.

    Pasal 29

    (1)Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian

    keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali

    kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRDkabupaten/kota dapat memperpanjang jangka waktu

    StatusKeadaan Konflikpalinglama30 (tigapuluh)

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    15/135

    (2)Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian

    keadaan Konflik skala provinsi, gubernur setelah

     berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi dapat

    memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik

    paling lama 30 (tiga puluh) hari.

    (3)Berdasarkan evaluasi terhadap perkembangan

    pengendalian keadaan Konflik skala nasional, Presiden

    setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR dapat

    memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik

    paling lama 30 (tiga puluh) hari.

    Pasal 30

    (1)Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik

    sebagaimana dimaksuddalamPasal 29 ayat (1)

    dikonsultasikan oleh bupati/wali kota kepada

    pimpinan DPRD kabupaten/kota dalam waktu 10

    (sepuluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktuStatus Keadaan Konflik.

    (2)Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik

    sebagaimana dimaksuddalamPasal 29 ayat (2)

    dikonsultasikan oleh gubernur kepada pimpinan DPRD

    provinsi dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum

     berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.

    (3)Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik

    sebagaimana dimaksuddalamPasal 29 ayat (3)

    dikonsultasikan oleh Presiden kepada pimpinan DPRdalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum berakhirnya

     jangka waktu Status Keadaan Konflik.

    (4)Dalam hal penetapan Status Keadaan Konflik dicabut,

    semua kewenangan sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 tidak berlaku.

    Pasal 31

    Dalam hal keadaan Konflik dapat ditanggulangi sebelum

     batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 22, bupati/wali kota, gubernur, atau Presiden

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    16/135

    Bagian Keempat Tindakan Darurat Penyelamatan dan Pelindungan Korban

    Pasal 32

    (1)Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan

    tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan

    korban sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan

     wewenangnya.

    (2) Tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan

    korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a.penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban

    Konflik secara cepat dan tepat;

     b.pemenuhan kebutuhan dasar korban Konflik;

    c.pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk

    kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan

    kelompok orang yang berkebutuhan khusus;

    d.pelindungan terhadap kelompok rentan;

    e.upaya sterilisasi tempat yang rawan Konflik;

    f.penyelamatan sarana dan prasarana vital;

    g.penegakan hukum;

    h.pengaturan mobilitas orang, barang, dan jasa dari

    dan ke daerah Konflik; dani.penyelamatan harta benda korban Konflik.

    (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan darurat

    penyelamatan dan pelindungan korban diatur dalam

    Peraturan Pemerintah.

    Bagian KelimaBantuan Penggunaan dan Pengerahan Kekuatan TNI

    Pasal 33

    (1)Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota,

     bupati/wali kota dapat meminta bantuan penggunaan

    kekuatan TNI kepada Pemerintah.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    17/135

    (2)Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi, gubernur

    dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI

    kepada Pemerintah.

    (3)Dalam Status Keadaan Konflik skala nasional, Presiden

     berwenang mengerahkan kekuatan TNI setelah

     berkonsultasi dengan pimpinan DPR.

    (4)Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat

    (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    Pasal 34

    (1)Pelaksanaan bantuan penggunaan kekuatan TNI

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33

    dikoordinasikan oleh Polri.

    (2)Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan penggunaankekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Pasal 35

    Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 berakhir apabila:

    a.telah dilakukan pencabutan penetapan Status Keadaan

    Konflik; atau

     b.berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.

    BAB VPEMULIHAN PASCAKONFLIK

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 36

    (1)Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban

    melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secaraterencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    18/135

    (2)Upaya Pemulihan Pascakonflik sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) meliputi:

    a.rekonsiliasi;

     b.rehabilitasi; dan

    c.rekonstruksi.

    Bagian Kedua

    Rekonsiliasi

    Pasal 37

    (1)Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan

    rekonsiliasi antara para pihak dengan cara:

    a.perundingan secara damai;

     b.pemberian restitusi; dan/atau

    c.pemaafan.

    (2)Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dapat dilakukan dengan Pranata Adat dan/atau

    Pranata Sosial atau Satuan Tugas Penyelesaian Konflik

    Sosial.

    Bagian Ketiga

    Rehabilitasi

    Pasal 38

    (1)Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan

    rehabilitasi di daerah pascakonflik dan daerah terkena

    dampak Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    36 ayat (2) huruf b, sesuai dengan tugas, tanggung

     jawab, dan wewenangnya.

    (2)Pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) meliputi:

    a. pemulihan psikologis korban Konflik dan

    pelindungan kelompok rentan;

     b.pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya,

    keamanan, dan ketertiban;

    c. perbaikan dan pengembangan lingkungan

    dan/atau daerah perdamaian;

    d.penguatan relasi sosial yang adil untuk

    kesejahteraan masyarakat;

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    19/135

    e.penguatan kebijakan publik yang mendorong

    pembangunan lingkungan dan/atau daerah

    perdamaian berbasiskan hak masyarakat;

    f.pemulihan ekonomi dan hak keperdataan, serta

    peningkatan pelayanan pemerintahan;

    g.pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan,

    anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;

    h.pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan

    reproduksi bagi kelompok perempuan;

    i.peningkatan pelayanan kesehatan anak-anak; dan

     j.pemfasilitasian serta mediasi pengembalian dan

    pemulihan aset korban Konflik.

    Bagian Keempat

    Rekonstruksi

    Pasal 39

    (1)Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan

    rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36

    ayat (2) huruf c sesuai dengan tugas, tanggung jawab,

    dan wewenangnya.

    (2)Pelaksanaan rekonstruksi sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) meliputi:

    a.pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan

    publik di lingkungan dan/atau daerah

    pascakonflik; b.pemulihan dan penyediaan akses pendidikan,

    kesehatan, dan mata pencaharian;

    c.perbaikan sarana dan prasarana umum daerah

    Konflik;

    d.perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja

     yang menyebabkan ketidaksetaraan dan

    ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;

    e.perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan

    pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan,

    anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;

    f perbaikandanpemulihantempatibadah

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    20/135

    BAB VIKELEMBAGAAN DAN MEKANISME PENYELESAIAN KONFLIK

    Bagian KesatuKelembagaan

    Pasal 40Kelembagaan penyelesaian Konflik terdiri atas Pemerintah,

    Pemerintah Daerah, Pranata Adat dan/atau Pranata

    Sosial, serta Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.

    Bagian Kedua

    Mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial

    Pasal 41

    (1)Penyelesaian Konflik dilaksanakan oleh Pemerintah dan

    Pemerintah Daerah dengan mengedepankan Pranata

     Adat dan/atau Pranata Sosial yang ada dan diakui

    keberadaannya.

    (2)Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui hasil

    penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat

    dan/atau Pranata Sosial.

    (3)Hasil kesepakatan penyelesaian Konflik melalui

    mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki

    kekuatan yang mengikat bagi kelompok masyarakat yang terlibat dalam Konflik.

    (4)Dalam hal penyelesaian Konflik melalui mekanisme

    Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan, maka

    penyelesaian Konflik dilakukan oleh Satuan Tugas

    Penyelesaian Konflik Sosial.

    (5)Penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat

    dan/atau Pranata Sosial sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) difasilitasi oleh Pemerintah Daerah

    kabupaten/kota dengan melibatkan aparatur

    kecamatan dan kelurahan/desa setempat.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    21/135

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    22/135

    Pasal 44

    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 43 ayat (1), Satuan Tugas Penyelesaian

    Konflik Sosial menyelenggarakan fungsi:

    a.pencarian fakta dan pemberian kesempatan kepada

    pihak yang berkonflik untuk menyampaikan fakta dan

    penyebab terjadinya Konflik;

     b.pencarian data atau informasi di instansi pemerintah

    dan/atau swasta terkait sesuai dengan ketentuan

    peraturan perundang-undangan;

    c.koordinasi dengan instansi terkait untuk memberikan

    pelindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku,

    dan barang bukti sesuai dengan ketentuan peraturan

    perundang-undangan;

    d.perumusan opsi yang dapat disepakati dengan

    mempertimbangkan kepentingan pihak yang berkonflik;

    e.perumusan kesepakatan yang telah dicapai;

    f.penghitungan jumlah kerugian dan besaran

    kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan/atau

    rekonstruksi;

    g.penyampaian rekomendasi kepada Pemerintah

    dan/atau Pemerintah Daerah dalam upaya

    rehabilitasi dan Pemulihan Pascakonflik; dan

    h.penyampaian laporan akhir pelaksanaan tugas dan

    fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

    kepada Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan

    tembusan kepada DPR/DPRD.

    Paragraf Tiga

    Pembentukan, Penetapan, dan Pembubaran

    Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

    Pasal 45

    Pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosialsebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilakukan melalui

    mekanisme:

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    23/135

    a.pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik

    Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala

    kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/wali kota;

     b.pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik

    Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala provinsi

    dilakukan oleh gubernur; dan /atau

    c.pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik

    Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala nasional

    diusulkan oleh menteri yang membidangi koordinasi

    urusan politik, hukum, dan keamanan kepada

    Presiden.

    Pasal 46

    (1)Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial berakhir

    apabila:a.Konflik telah diselesaikan melalui musyawarah

    untuk mufakat; atau

     b.penyelesaian Konflik diajukan oleh pihak yang

     berkonflik melalui pengadilan.

    (2)Dalam hal keadaan Konflik skala kabupaten/kota

    meningkat menjadi keadaan Konflik skala provinsi,

    Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

    kabupaten/kota tidak dengan sendirinya dibubarkan.

    (3)Dalam hal keadaan Konflik skala provinsi meningkat

    menjadi keadaan Konflik skala nasional, Satuan Tugas

    Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota dan

    provinsi tidak dengan sendirinya dibubarkan.

    (4)Penyelesaian Konflik selama proses di pengadilan

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

    difasilitasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah

    Daerah.

    (5)Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

    mencakup pemantauan, pengendalian, dan

    pengamanan terhadap pihak yangberkonflik tanpa

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    24/135

    Paragraf EmpatKeanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

    Pasal 47

    (1)Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

    kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    45 huruf a terdiri atas unsur Pemerintah Daerah danmasyarakat.

    (2)Unsur Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) terdiri atas:

    a.bupati/wali kota;

     b.ketua DPRD kabupaten/kota;

    c.instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja

    perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan;

    d.kepala kepolisian resor;

    e.komandan distrik militer/komandan satuan unsur

     TNI; danf.kepala kejaksaan negeri.

    (3)Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) terdiri atas:

    a.tokoh agama;

     b.tokoh adat;

    c.tokoh masyarakat;

    d.pegiat perdamaian; dan

    e.wakil pihak yang berkonflik.

    (4)Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

    (3) harus memperhatikan keterwakilan perempuansekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).

    Pasal 48

    (1)Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

    provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf

     b terdiri atas unsur Pemerintah Daerah dan

    masyarakat.

    (2)Unsur Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) terdiri atas:

    a.gubernur; b.ketua DPRD provinsi;

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    25/135

    c.instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja

    pemerintah daerah provinsi sesuai dengan

    kebutuhan;

    d.kepala kepolisian daerah;

    e.panglima daerah militer/komandan satuan unsur

     TNI;

    f.kepala kejaksaan tinggi; dang.unsur Pemerintah Daerah pada Satuan Tugas

    Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.

    (3)Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) terdiri atas:

    a.tokoh agama;

     b.tokoh adat;

    c.tokoh masyarakat;

    d.pegiat perdamaian; dan

    e.wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas

    Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.(4)Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

    (3)harus memperhatikan keterwakilan perempuan

    sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).

    Pasal 49

    (1)Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

    skala nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45

    huruf c terdiri atas unsur Pemerintah dan

    masyarakat.

    (2)Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) terdiri atas:

    a.kementerian yang membidangi koordinasi urusan

    politik, hukum, dan keamanan;

     b.kementerian yang membidangi koordinasi urusan

    kesejahteraan rakyat;

    c.kementerian yang membidangi urusan dalam

    negeri;

    d.kementerian yang membidangi urusan

    pertahanan;

    e.kementerian yang membidangi urusan keuangan

    negara;

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    26/135

    h.kementerian yang membidangi urusan agama;

    i.Polri;

     j.TNI;

    k.Kejaksaan Agung;

    l.Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

    m.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;

    n.unsur Pemerintah Daerah dari Satuan TugasPenyelesaian Konflik Sosial skala provinsi yang

     berkonflik; dan

    o.instansi pemerintah terkait lainnya sesuai dengan

    kebutuhan.

    (3)Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) terdiri atas:

    a.tokoh agama;

     b.tokoh adat;

    c.tokoh masyarakat;

    d.pegiat perdamaian;e.wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas

    Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi; dan

    f.lembaga masyarakat lain yang terkait sesuai

    dengan kebutuhan.

    (4)Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat

    (3)harus memperhatikan keterwakilan perempuan

    sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).

    Pasal 50

    Penetapan anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik

    Sosial unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1)

    dengan mempertimbangkan ketokohan, integritas, dan

    moralitas.Pasal 51

     Anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

     berhenti atau diberhentikan karena:

    a.masa tugas Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

    telah berakhir;

     b.penggantian personel oleh instansi yang bersangkutan;

    c meninggaldunia;

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    27/135

    e.melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugasdan fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosialdan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    BAB VII

    PERAN SERTA MASYARAKAT

    Pasal 52

    (1)Masyarakat dapat berperan serta dalam PenangananKonflik.

    (2)Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud padaayat (1) dapat berupa:

    a.pembiayaan; b.bantuan teknis;

    c.penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban

    Konflik; dan/atau

    d.bantuan tenaga dan pikiran.

    (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai peran sertamasyarakat dalam Penanganan Konflik diatur dengan

    Peraturan Pemerintah.

    BAB VIIIPENDANAAN

    Pasal 53

    (1)Pendanaan Penanganan Konflik digunakan untukPencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan

    Pemulihan Pascakonflik.(2)Pendanaan Penanganan Konflik sebagaimanadimaksud pada ayat (1) menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah dan Pemerintah Daerah yangdialokasikan pada APBN dan/atau APBD sesuaidengan tugas, wewenang, dan tanggung jawabmasing-masing.

    Pasal 54

    (1) Pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk

    Pencegahan Konflik melalui anggarankementerian/lembaga yang bertanggung jawab sesuai

    tugasdanfungsinya

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    28/135

    (2) Pemerintah Daerah mengalokasikan dana APBD

    untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran satuan

    kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab

    sesuai tugas dan fungsinya.

    Pasal 55

    (1)Pendanaan Penghentian Konflik dan rekonsiliasi

    pascakonflik diambil dari dana siap pakai pada APBN

    dan/atau dana belanja tidak terduga pada APBD oleh

    Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagai

    unsur Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal

    48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1) yang dapat dipakai

    sewaktu-waktu secara langsung oleh Pemerintah

    dan/atau Pemerintah Daerah.

    (2)Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

     bersumber dari dana bagian anggaran bendahara

    umum negara.

    Pasal 56

    (1)Pemerintah mengalokasikan dana pascakonflik

    melalui anggaran kementerian/lembaga yang

     bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.

    (2)Pemerintah Daerah mengalokasikan dana

    pascakonflik melalui APBD.

    (3)Dana pascakonflik digunakan untuk mendanai

    kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap

    pascakonflik yang terjadi di daerah.

    Pasal 57

    (1) Pemerintah Daerah yang daerahnya mengalami konflik

    dan memiliki keterbatasan kemampuan pendanaan

    dapat mengajukan permintaan dana pascakonflik

    kepada Pemerintah melalui dana alokasi khusus

    (DAK) dengan melampirkan kerangka acuan kegiatan

    rehabilitasi dan rekonstruksi pascakonflik besertarencana anggaran biaya.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    29/135

    (2) Pengajuan dana pascakonflik yang diajukan olehPemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dikoordinasikan oleh kementerian yangmembidangi urusan dalam negeri.

    Pasal 58

    Ketentuan mengenai perencanaan, penganggaran,penyaluran, penatausahaan, pelaporan, danpertanggungjawaban pengelolaan pendanaanPenanganan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal53 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    BAB IX

    KETENTUAN PERALIHAN

    Pasal 59

    Semua program dan kegiatan yang berkaitan denganPenanganan Konflik yang telah berlangsung sebelumditetapkannya Undang-Undang ini dapat terusdilaksanakan sampai dengan berakhirnya program dankegiatan tersebut.

    BAB X

    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 60

    Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semuaperaturan perundang-undangan yang berkaitan denganpenanganan konflik dinyatakan tetap berlaku sepanjangtidak bertentangan atau belum dibentuk berdasarkanUndang-Undang ini.

    Pasal 61

    Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudahditetapkan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun 6(enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini

    diundangkan.

    Pasal62

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    30/135

     Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan

    pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya

    dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

    Disahkan di Jakarta pada tanggal 10 Mei

    2012

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.

    DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

    Diundangkan di Jakarta pada tanggal 10 Mei 2012

    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

    ttd.

     AMIR SYAMSUDIN

    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 116

    Salinan sesuai dengan aslinyaKEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI Asisten Deputi Perundang-undangan

    Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,ttd.

     Wisnu Setiawan

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    31/135

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

    NOMOR 7 TAHUN 2012

     TENTANG

    PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

    I. UMUM

    Keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya Indonesia dengan

     jumlah penduduk lebih dari 230 juta jiwa, pada satu sisi merupakan

    suatu kekayaan bangsa yang secara langsung ataupun tidak langsung

    dapat memberikan kontribusi positif bagi upaya menciptakan

    kesejahteraan masyarakat. Namun pada sisi lain, kondisi tersebut dapat

    membawa dampak buruk bagi kehidupan nasional apabila terdapat

    ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial danekonomi, serta ketidakterkendalian dinamika kehidupan politik.

    Di samping itu, transisi demokrasi dalam tatanan dunia yang makin

    terbuka mengakibatkan makin cepatnya dinamika sosial, termasuk

    faktor intervensi asing. Kondisi tersebut menempatkan Indonesia sebagai

    salah satu negara yang rawan Konflik, terutama Konflik yang bersifat

    horisontal. Konflik tersebut, terbukti telah mengakibatkan hilangnya rasa

    aman, timbulnya rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan,

    kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis seperti

    dendam, benci, dan antipati, sehingga menghambat terwujudnya

    kesejahteraan umum.

    Sistem penanganan Konflik yang dikembangkan selama ini lebih

    mengarah pada penanganan yang bersifat militeristik dan represif. Selain

    itu, peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan

    Konflik masih bersifat parsial dan dalam bentuk peraturan perundang-

    undangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah seperti dalam bentuk

    Instruksi Presiden, Keputusan Presiden dan Peraturan Presiden.

    Berbagai . . .

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    32/135

    Pencegahan Konflik seperti regulasi mengenai kebijakan dan strategi

    pembangunan yang sensitif terhadap Konflik dan upaya Pencegahan

    Konflik. Kedua, kerangka regulasi bagi kegiatan Penanganan Konflik pada

    saat terjadi Konflik yang meliputi upaya penghentian kekerasan dan

    pencegahan jatuhnya korban manusia ataupun harta benda. Ketiga,

    kerangka regulasi bagi penanganan pascakonflik, yaitu ketentuan yang

     berkaitan dengan tugas penyelesaian sengketa/proses hukum sertakegiatan pemulihan, reintegrasi, dan rehabilitasi. Kerangka regulasi yang

    dimaksud adalah segala peraturan perundang-undangan, baik yang

    tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

    1945 maupun dalam peraturan perundang-undangan yang lain,

    termasuk di dalamnya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP

    MPR).

    Berdasarkan pemikiran tersebut, pada dasarnya terdapat tiga

    argumentasi pentingnya Undang-Undang tentang Penanganan Konflik

    Sosial, yaitu argumentasi filosofis, argumentasi sosiologis, dan

    argumentasi yuridis.

     Argumentasi filosofis berkaitan dengan pertama, jaminan tetap

    eksisnya cita-cita pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

    mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, tanpa diganggu akibat

    perbedaan pendapat atau Konflik yang terjadi di antara kelompok

    masyarakat.Kedua, tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

    melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri atas beragam suku

     bangsa, agama, dan budaya serta melindungi seluruh tumpah darah

    Indonesia, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari

    rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana

    diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

     Tahun 1945.

    Ketiga, tanggung jawab negara memberikan pelindungan, pemajuan,

    penegakan, dan pemenuhan hak asasi melalui upaya penciptaan

    suasana yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera baik lahir maupun

     batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan diri pribadi,

    keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda serta hak atas rasa

    aman dan pelindungan dari ancaman ketakutan. Bebas dari rasa takut

    merupakan jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai, adil, dan

    sejahtera.

    Selanjutnya . . .

    Selanjutnya argumentasisosiologispembentukanUndang-Undang

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    33/135

    ketidakadilan, dan kesenjangan sosial, ekonomi dan politik, berpotensi

    melahirkan Konflik di tengah masyarakat.

    Kedua, Indonesia pada satu sisi sedang mengalami transisi

    demokrasi dan pemerintahan, membuka peluang bagi munculnya

    gerakan radikalisme di dalam negeri, dan pada sisi lain hidup dalam

    tatanan dunia yang terbuka dengan pengaruh asing sangat rawan dan

     berpotensi menimbulkan Konflik.Ketiga, kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan

     yang makin terbatas dapat menimbulkan Konflik, baik karena masalah

    kepemilikan maupun karena kelemahan dalam sistem pengelolaannya

     yang tidak memperhatikan kepentingan masyarakat setempat.

    Keempat, Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman, timbulnya

    rasa takut, rusaknya lingkungan dan pranata sosial, kerugian harta

     benda, jatuhnya korban jiwa, timbulnya trauma psikologis (dendam,

     benci, antipati), serta melebarnya jarak segresi antara para pihak yang

     berkonflik sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan

    umum.Kelima, Penanganan Konflik dapat dilakukan secara komprehensif,

    integratif, efektif, efisien, akuntabel, dan transparan serta tepat sasaran

    melalui pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan

    hukum yang memadai.

    Keenam, dalam mengatasi dan menangani berbagai Konflik

    tersebut, Pemerintah Indonesia belum memiliki suatu format kebijakan

    Penanganan Konflik komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel

    dan transparan, serta tepat sasaran berdasarkan pendekatan dialogis

    dan cara damai.

     Argumentasi yuridis pembentukan Undang-Undang tentangPenanganan Konflik Sosial adalah mengenai permasalahan peraturan

    perundang-undangan terkait Penanganan Konflik yang masih bersifat

    sektoral dan reaktif, dan tidak sesuai dengan perkembangan sistem

    ketatanegaraan.

    Beberapa undang-undang yang erat kaitannya, bahkan menjadi

    dasar dan acuan bagi Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial adalah

    sebagai berikut:

    1. Undang . . .

    1.Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan

    B h b i tlh dibh d kli t khi d

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    34/135

    4.Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

    Republik Indonesia;

    5.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara;

    6.Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan

    Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

    2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi

    Undang-Undang;7.Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

    Pembangunan Nasional;

    8.Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

    Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang

    Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

    Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

    9.Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan

    Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;

    10. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional

    Indonesia;11. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

    Bencana;

    12. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan

    Sosial.

    Pembentukan Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial

    dilakukan melalui analisis sinkronisasi dan harmonisasi dengan peraturan

    perundang-undangan yang terkait dengan Penanganan Konflik Sosial.

    Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial menentukan

    tujuan penanganan Konflik yaitu menciptakan kehidupan masyarakat yangaman, tenteram, damai, dan sejahtera; memelihara kondisi damai dan

    harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan; meningkatkan tenggang

    rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;

    memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan; melindungi jiwa, harta

     benda, serta sarana dan prasarana umum; memberikan pelindungan dan

    pemenuhan hak korban; serta memulihkan kondisi fisik dan mental

    masyarakat.

    Undang...

    Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial mengatur mengenai

    Penanganan Konflik Sosialyang dilakukan melaluitiga tahapan,yaitu

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    35/135

    penghentian kekerasan fisik; penetapan Status Keadaan Konflik; tindakan

    darurat penyelamatan dan pelindungan korban; dan/atau pengerahan dan

    penggunaan kekuatan TNI. Status Keadaan Konflik berada pada keadaan

    tertib sipil sampai dengan darurat sipil sebagaimana dimaksud dalam

    Undang-Undang Nomor 23 Prp Tahun 1959. Selanjutnya, Penanganan

    Konflik pada pascakonflik, Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban

    melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur melalui upaya rekonsiliasi; rehabilitasi; dan

    rekonstruksi. Undang-Undang ini juga mengatur mengenai peran serta

    masyarakat dan pendanaan Penanganan Konflik.

    II. PASAL DEMI PASAL

    Pasal 1

    Cukup jelas.

    Pasal 2

    Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan“ adalah bahwa

    penanganan Konflik harus mencerminkan pelindungan dan

    penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat

    setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara

    proporsional.

    Huruf b

     Yang dimaksud dengan “asas hak asasi manusia” adalah

    Penanganan Konflik harus menghormati dan menjunjung

    tinggi hak-hak yang secara kodrati melekat pada manusia dan

    tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi,dihormati, dan ditegakkan oleh setiap orang, negara, hukum,

    dan Pemerintah, demi peningkatan martabat kemanusiaan,

    kesejahteraan, kebahagiaan, serta keadilan.

    Huruf c

     Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan“ adalah bahwa

    Penanganan Konflik harus mencerminkan sifat dan watak

     bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap memelihara

    prinsip negara kesatuan Republik Indonesia.

    Huruf d

    Yangdimaksud dengan “asaskekeluargaan“adalah bahwa

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    36/135

     Yang dimaksud dengan “asas kebhinneka-tunggal-ikaan“

    adalah bahwa Penanganan Konflik harus memperhatikan

    keragaman penduduk, agama, suku, dan golongan serta

    kondisi khusus daerah dan budayanya, khususnya yang

    menyangkut masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,

     berbangsa dan bernegara.

    Huruf f

     Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa

    Penanganan Konflik harus mencerminkan keadilan secara

    proporsional bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali.

    Huruf g

     Yang dimaksud dengan “asas kesetaraan gender” adalah bahwa

    kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk

    memperoleh kesempatan dan haknya sebagai manusia agar

    mampu berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum,ekonomi, sosial budaya, dan pendidikan sehingga memperoleh

    manfaat dan mampu berpartisipasi secara setara dan adil

    dalam pembangunan.

    Huruf h

     Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum“

    adalah bahwa Penanganan Konflik harus dapat menimbulkan

    ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya

    kepastian hukum.

    Huruf i

     Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan“ adalah bahwa

    Penanganan Konflik harus dilakukan secara terus-menerus

    dan berkesinambungan untuk menciptakan suasana tenteram

    dan damai.

    Huruf j

     Yang dimaksud dengan “asas kearifan lokal“ adalah bahwa

    Penanganan Konflik harus memperhatikan nilai-nilai yang

    hidup dan dihormati di dalam masyarakat.

    Huruf k

    Y di k dd “ t j b “ dlh

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    37/135

    Huruf l

     Yang dimaksud dengan “asas partisipatif“ adalah bahwa

    Penanganan Konflik melibatkan masyarakat dalam

    keseluruhan prosesnya, dari perencanaan, pembiayaan, hingga

    pengawasan.

    Huruf m

     Yang dimaksud dengan “asas tidak memihak” adalah bahwa

    Penanganan Konflik berpegang teguh pada norma dengan tidak

     berpihak pada pihak manapun.

    Huruf n

     Yang dimaksud dengan “asas tidak membeda-bedakan” adalah

     bahwa dalam Penanganan Konflik harus memberikan

    perlakuan yang sama dengan tidak membedakan

    antarkelompok masyarakat.

    Pasal 3

    Cukup jelas.

    Pasal 5

    Cukup jelas.

    Pasal 6

    Cukup jelas.

    Pasal 7

    Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini difasilitasi oleh

    Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui penguatan capacity

    building, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan budi pekerti,

    pendidikan agama, dan menanamkan nilai-nilai integrasi bangsa.

    Pasal 8

     Ayat (1)

    Cukup jelas.

     Ayat (2)

    Cukup jelas.

     Ayat (3)

    Bahwa hasil penyelesaian perselisihan secara damai harus

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    38/135

     Yang dimaksud dengan “perencanaan dan pelaksanaan

    pembangunan memperhatikan aspirasi masyarakat” adalah

     bahwa suatu proses perancangan pembangunan beserta

    pelaksanaannya menampung harapan dan keinginan

    masyarakat.

    Huruf b

    Cukup jelas.

    Huruf c

    Kegiatan ini dilaksanakan melalui pendidikan membangun

    perdamaian (peace building), memelihara dan melestarikan

    perdamaian(peace keeping), menciptakan perdamaian(peace

    making), toleransi, multikulturalisme, inklusivisme, dan

    pendidikan kewarganegaraan.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    39/135

    Huruf d

    Cukup jelas.

    Huruf e

     Yang dimaksud dengan “menegakkan hukum tanpa diskriminasi“ adalah upaya

    menegakkan atau memfungsikan norma hukum secara nyata sebagai pedoman pe

    dalam hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara

    membedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna

    golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya.

    Huruf f

    Cukup jelas.

    Huruf g

    Cukup jelas.Huruf h

    Pelaku usaha yang dimaksud adalah pelaku usaha dalam bidang perkebunan, perik

    pertanian, pertambangan, dan kehutanan.

    Pasal 10 Ayat (1)

    Cukup jelas.

     Ayat (2)

    Cukup jelas.

     Ayat (3)

     Yang dimaksud dengan “media komunikasi” mencakup media komunikasi trad

    serta media massa cetak dan elektronik.

    Pasal 11

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    40/135

    Pasal 12

    Huruf a

     Yang dimaksud dengan “kekerasan” adalah tindakan yang dapat melukai fisik sese

     baik yang dilakukan dengan menggunakan senjata maupun yang dilakukan dengan

    menggunakan senjata yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa

    kerugian/hilangnya harta benda.

    Huruf b

    Cukup jelas.

    Huruf c

    Cukup jelas.

    Huruf d

    Cukup jelas.

    Pasal 13

    Cukup jelas.

    Pasal 14 Yang dimaksud dengan “tidak dapat dikendalikan oleh Polri” adalah kondisi dimana es

    Konflik makin meningkat dan resiko makin meluas karena terbatasnya jumlah person

    peralatan kepolisian setempat.

     Yang dimaksud dengan “terganggunya fungsi pemerintahan” adalah terganggunya ke

    administrasi pemerintahan dan fungsi pelayanan Pemerintahan kepada masyarakat.

    Pasal 15

    Cukup jelas.

    Pasal 16

    Cukup jelas.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    41/135

    Pasal 18Cukup jelas.

    Pasal 19

    Cukup jelas.

    Pasal 20

    Cukup jelas.

    Pasal 21

    Cukup jelas.

    Pasal 22

    Cukup jelas.

    Pasal 23

    Cukup jelas.

    Pasal 24

    Cukup jelas.

    Pasal 25

    Cukup jelas.

    Pasal 26

    Cukup jelas.

    Pasal 27

    Cukup jelas.

    Pasal 28

    Cukup jelas.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    42/135

    Pasal 30

    Cukup jelas.

    Pasal 31

    Cukup jelas.

    Pasal 32

    Cukup jelas.

    Pasal 33

    Cukup jelas.

    Pasal 34

     Ayat

    (1)

    Cukup jelas.

     Ayat (2)

    Materi muatan Peraturan Pemerintah termasuk pengaturanteknis mengenai kendali operasional di lapangan.

    Pasal 35

    Cukup jelas.

    Pasal 36

    Cukup jelas.

    Pasal 37

     Ayat (1)

    Huruf a

    Cukup jelas.

    Huruf b

     Yang dimaksud dengan ”restitusi” adalah pembayaran

    ganti rugi atas kerusakan harta benda dan/atau

    penderitaan yang dialami oleh korban dan/atau

    keluarganya.

    Huruf c

    Cukup jelas.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    43/135

     Ayat (2)Cukup jelas.

    Pasal 38

     Ayat (1)

    Cukup jelas.

     Ayat (2)

    Huruf a

    Cukup jelas.Huruf b

    Pemulihan kondisisosial, ekonomi,

     budaya, keamanan,

    dan ketertiban

    merupakan

    serangkaian

    kegiatan untuk

    mengembalikan

    kondisi masyarakat yang terkena dampak Konflik agar

    kembali pada kondisi aman, tenteram, damai, dan sejahtera.

    Huruf cCukup jelas.

    Huruf d

     yang adil untuk kesejahteraan serangkaian upaya pembauran meniadakan

    sifat eksklusif

    masyarakat guna mempererat antarkelompok masyarakat mencapai

    kesatuan dan

    Huruf e

    Cukup jelas.

    Huruf fCukup jelas.

    Huruf g

     Yang dimaksud dengan “pemenuhan kebutuhan dasar” adalah

     bantuan makanan, minuman, pakaian, kesehatan, termasuk

    sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan tempat tinggal.

     Yang dimaksud dengan “kebutuhan spesifik perempuan”

    adalah kebutuhan yang diperlukan oleh kaum perempuan

     yang terkait dengan kodratnya sebagai perempuan dalam

    kehidupan sehari-hari.

    Penguatan relasi sosialmasyarakat merupakan

    masyarakat untuk

    antarkelompok dalam

    kembali hubungan

    Pascakonflik untuk

    kesejahteraan.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    44/135

    Huruf hCukup jelas.

    Huruf i

    Cukup jelas.

    Huruf j

    Cukup jelas.

    Pasal 39

    Cukup jelas.

    Pasal 40

    Cukup jelas.

    Pasal 41

    Cukup jelas.

    Pasal 42

    Cukup jelas.

    Pasal 43

    Cukup jelas.

    Pasal 44

    Cukup jelas.

    Pasal 45

    Cukup jelas.

    Pasal 46

    Cukup jelas.

    Pasal 47

     Ayat (1)

    Cukup jelas.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    45/135

     Ayat (2)

    Cukup jelas.

     Ayat (3)

    Huruf a

    Cukup jelas.

    Huruf b

    Cukup jelas.

    Huruf c

    Cukup jelas.

    Huruf d

     Yang dimaksud dengan “pegiat perdamaian” adalah setiap

    orang yang aktivitasnya memberikan perhatian pada

    urusan yang mendorong terwujudnya perdamaian.

    Huruf eCukup jelas.

     Ayat (4)

    Cukup jelas.

    Pasal 48

    Cukup jelas.

    Pasal 49

    Cukup jelas.

    Pasal 50

    Cukup jelas.

    Pasal 51

    Cukup jelas.

    Pasal 52

    Pasal 53 . . .

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    46/135

    Pasal 53Cukup jelas.

    Pasal 54

    Cukup jelas.

    Pasal 55

    Cukup jelas.

    Pasal 56

    Cukup jelas.

    Pasal 57

    Cukup jelas.

    Pasal 58

    Cukup jelas.

    Pasal 59

    Cukup jelas.

    Pasal 60

    Cukup jelas.

    Pasal 61

    Cukup jelas.

    Pasal 62

    Cukup jelas.

    PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

    NOMOR 24 TAHUN 2007

     TENTANG

     TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5315

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    47/135

    PENAN GGULANGAN BENCANA

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

    a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa

    Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan

    terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka

    mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan

    dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

     b. bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,

    hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan oleh

    faktor alam, faktor nonalam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya korban jiwa

    manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis yang dalam

    keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional;

    c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanggulangan bencana yang ada

     belum dapat dijadikan landasan hukum yang kuat dan menyeluruh serta tidak sesuai dengan

    perkembangan keadaan masyarakat dan kebutuhan bangsa Indonesia sehingga menghambat

    upaya penanggulangan bencana secara terencana, terkoordinasi, dan terpadu;

    d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c

    perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanggulangan Bencana;

    Pasal 20 dan Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    Dengan

    Menimbang :

    Mengingat :

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    48/135

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 2 -

    Dengan Persetujuan Bersama

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

    dan

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGGULANGAN BENCANA

    BAB I

    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

    1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

    mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik

    oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga

    mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,

    kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

    2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

    serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa

     bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah

    longsor.

    3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa ataurangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal

    modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

    4. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau

    serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik

    sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.

    5. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang

    meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,

    kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.6. Kegiatan...................

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    49/135

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 3 -

    6. Kegiatan pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan

    sebagai upaya untuk menghilangkan dan/atau mengurangi ancaman bencana.

    7. Kesiapsiagaan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

    mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang

    tepat guna dan berdaya guna.

    8. Peringatan dini adalah serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera

    mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada

    suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.

    9. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik

    melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

    menghadapi ancaman bencana.

    10.Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan

    segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang

    ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta

     benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

    11.Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik

    atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana

    dengan sasaran utama untuk normalisasi atau beijalannya secara wajar semua

    aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pascabencana.

    12.Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,

    kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan

    maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya

    kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,

    dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan

     bermasyarakat pada wilayah pascabencana.

    13.Ancaman bencana adalah suatu kejadian atau peristiwa yang bisa

    menimbulkan bencana.

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 4 -

    14.Rawan bencana adalah kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis,

    klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi padasuatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan

    mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk

    menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.

    15.Pemulihan adalah serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi

    masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan

    14.Rawan

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    50/135

    memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan

    melakukan upaya rehabilitasi.

    16.Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk

    mengurangi atau menghilangkan risiko bencana, baik melalui pengurangan

    ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.

    17.Risiko bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada

    suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka,

    sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau

    kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat.

    18.Bantuan darurat bencana adalah upaya memberikan bantuan untuk

    memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.19. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang ditetapkan oleh

    Pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar rekomendasi Badan yang

    diberi tugas untuk menanggulangi bencana.

    20.Pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa

    keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai

    akibat dampak buruk bencana.

    21.Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan

    hukum.

    22.Korban bencana adalah orang atau sekelompok orang yang menderita atau

    meninggal dunia akibat bencana.

    23.Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik

    Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik

    Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945.24.Pemerintah.....................

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 5 -

    24. Pemerintah daerah adalah gubemur, bupati/walikota, atau perangkat daerahsebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

    25.Lembaga usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk badan

    usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, atau swasta yang

    didirikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

    menjalankan jenis usaha tetap dan terus menerus yang bekerja dan

     berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    26.Lembaga internasional adalah organisasi yang berada dalam

    lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau

     yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan

    Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya dan

    lembaga asing nonpemerintah dari negara lain di luar

    Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    BAB II

    LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    51/135

    Pasal 2

    Penanggulangan bencana berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang

    Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    Pasal 3

    (1) Penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 2 berasaskan:

    a. kemanusiaan;

     b. keadilan;

    c. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

    d. keseimbangan, keselarasan, dan keserasian;e. ketertiban dan kepastian hukum;

    f. kebersamaan;

    g. kelestarian lingkungan hidup; dan

    h. ilmu pengetahuan dan teknologi.

    (2)Prinsip-prinsip dalam penanggulangan bencana

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, yaitu:

    a. cepat dan tepat;

     b. prioritas;

    c. koordinasi...............

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 6 -

    c. koordinasi dan keterpaduan;

    d. berdaya guna dan berhasil guna;

    e. transparansi dan akuntabilitas;

    f. kemitraan;

    g. pemberdayaan;

    h. nondiskriminatif; dan

    i. nonproletisi.

    Pasal 4

    Penanggulangan bencana bertujuan untuk:

    a. memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;

     b. menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;

    c. menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana,

    terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;

    d. menghargai budaya lokal;

    e. membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;

    f. mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dankedermawanan; dan

    g. menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

    dan bernegara.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    52/135

    BAB III

     TANGGUNG JAWAB DAN WEWENANG

    Pasal 5

    Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam

    penyelenggaraan penanggulangan bencana.

    Pasal 6

     Tanggung jawab Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan

     bencana meliputi:a. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko

     bencana dengan program pembangunan;

     b. perlindungan...............

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 7 -

     b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;

    c. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana

    secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum;

    d. pemulihan kondisi dari dampak bencana;

    e. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran

    Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai;

    f. pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap

    pakai; dan

    g. pemeliharaan arsip/dokumen otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak

     bencana.

    Pasal 7

    (1)Wewenang Pemerintah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana

    meliputi:

    a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana selaras dengan kebijakan

    pembangunan nasional;

     b. pembuatan perencanaan pembangunan yang

    memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana;

    c. penetapan status dan tingkatan bencana nasional dan daerah;

    d. penentuan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan

    negara lain, badan-badan, atau pihak- pihak internasional lain;

    e. perumusan kebijakan tentang penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai

    sumber ancaman atau bahaya bencana;

    f. perumusan kebijakan mencegah penguasaan dan pengurasan sumber daya

    alam yang melebihi kemampuan alam untuk melakukan pemulihan; dan

    g. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala

    nasional.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    53/135

    (2)Penetapan status dan tingkat bencana nasional dan daerah sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat indikator yang meliputi:

    a. jumlah korban;

     b. kerugian harta benda;

    c. kerusakan prasarana dan sarana;

    d. cakupan luas wilayah yang terkena bencana; dan

    e. dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan.

    (3)Ketentuan.................

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 8 -

    (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana

    sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

    Pasal 8

     Tanggung jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan

     bencana meliputi:

    a. penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi

     yang terkena bencana sesuai dengan standar pelayanan

    minimum;

     b. perlindungan masyarakat dari dampak bencana;

    c. pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana

    dengan program pembangunan; dan

    d. pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam

     Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang memadai.

    Pasal 9

     Wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan

     bencana meliputi:

    a. penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada

     wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah;

     b. pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur

    kebijakan penanggulangan bencana;

    c. pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan

    provinsi dan/atau kabupaten/kota lain;

    d. pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman

    atau bahaya bencana pada wilayahnya;

    e. perumusan kebijakan pencegahan penguasaan dan pengurasan sumber daya

    alam yang melebihi kemampuan alam pada wilayahnya; dan

    f. pengendalian pengumpulan dan penyaluran uang atau barang yang berskala

    provinsi, kabupaten/kota.

    BAB IV

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    54/135

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 9 -

    BAB IV

    KELEMBAGAAN

    Bagian Kesatu

    Badan Nasional Penanggulangan Bencana

    Pasal 10

    (1) Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk

    Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

    (2)Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud pada ayat

    (1) merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri.

    Pasal 11

    Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) terdiri atas unsur:

    a. pengarah penanggulangan bencana; dan

     b. pelaksana penanggulangan bencana.

    Pasal 12

    Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai tugas:

    a. memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan

     bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat,

    rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;

     b. menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan

     bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;

    c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;

    d. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap

    sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi

    darurat bencana;

    e. menggunakan dan mempertanggungjawabkan

    sumbangan/bantuan nasional dan internasional;

    f. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran

    Pendapatan dan Belanja Negara;

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 10 -

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    55/135

    g. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan;

    dan

    h. menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

    Pasal 13

    Badan Nasional Penanggulangan Bencana mempunyai fungsi meliputi:

    a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan

    penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan

    efisien; dan

     b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara

    terencana, terpadu, dan menyeluruh.

    Pasal 14

    (1)Unsur pengarah penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal

    11 huruf a mempunyai fungsi:

    a.merumuskan konsep kebijakan penanggulangan bencana nasional;

     b. memantau; dan

    c.mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.

    (2)Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) terdiri atas:a. pejabat pemerintah terkait; dan

     b. anggota masyarakat profesional.

    (3)Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud padaayat (2) huruf b dipilih melalui uji kepatutan yang

    dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

    Pasal 15

    (1)Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 11 huruf b merupakan kewenangan Pemerintah.

    (2)Unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    mempunyai fungsi koordinasi, komando, dan pelaksana dalam

    penyelenggaraan penanggulangan bencana.

    (3)Keanggotaan

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 11 -

    (3)Keanggotaan unsur pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    terdiri atas tenaga profesional dan ahli.

    Pasal 16

    Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

    huruf b, unsur pelaksana penanggulangan bencana mempunyai tugas

    secara terintegrasi yang meliputi:

    a. prabencana;

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    56/135

     b. saat tanggap darurat; dan

    c. pascabencana.

    Pasal 17

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur

    organisasi, dan tata kerja Badan Nasional Penanggulangan Bencana

    diatur dengan Peraturan Presiden.

    Bagian Kedua

    Badan Penanggulangan Bencana Daerah

    Pasal 18

    (1)Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 membentuk

    Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

    (2)Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) terdiri atas:

    a. badan pada tingkat provinsi dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah

    gubernur atau setingkat eselon Ib;dan

     b. badan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di

     bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa.

    Pasal 19(1)Badan Penanggulangan Bencana Daerah terdiri atas unsur:

    a. pengarah penanggulangan bencana; dan

     b. pelaksana penanggulangan bencana.

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 12 -

    (2)Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah sebagaimana dimaksud

    pada ay at (1) dilaksanakan melalui koordinasi dengan Badan Nasional

    Penanggulangan Bencana.

    Pasal 20

    Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi:

    a. perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan

    penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien;

    serta

     b. pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara

    terencana, terpadu, dan menyeluruh.

    Pasal 21

    Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas:

    a. menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah

    daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    57/135

    penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan

    darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara;

     b. menetapkan standardisasi serta kebutuhan

    penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan

    Perundang-undangan;

    c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana;

    d. menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana;

    e. melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya;

    f. melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah

    setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi

    darurat bencana;g. mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang;

    h. mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran

    Pendapatan dan Belanja Daerah; dan

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 13 -

    i. melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-

    undangan.

    Pasal 22

    (1)Unsur pengarah penanggulangan bencana daerah sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 19 ay at (1) huruf a mempunyai fungsi:

    a. menyusun konsep pelaksanaan kebijakan

    penanggulangan bencana daerah;

     b. memantau; dan

    c.mengevaluasi dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana

    daerah.

    (2) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiriatas:

    a. pejabat pemerintah daerah terkait; dan

     b. anggota masyarakat profesional dan ahli.

    (3) Keanggotaan unsur pengarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b

    dipilih melalui uji kepatutan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat

    Daerah.

    Pasal 23

    (1)Pembentukan unsur pelaksana penanggulangan bencana

    daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b

    merupakan kewenangan pemerintah daerah.

    (2)Unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi:

    a. koordinasi;

     b. komando; dan

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    58/135

    c.pelaksana dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana pada

     wilayahnya.

    (3)Keanggotaan unsur pelaksana penanggulangan bencana

    daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tenaga

    profesional dan ahli.

    Pasal 24

    Untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat

    (2), unsur pelaksana penanggulangan bencana daerah mempunyai tugas

    secara terintegrasi yang meliputi:

    a. prabencana;

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 14 -

     b. saat tanggap darurat;dan

    c. pascabencana.

    Pasal 25

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, fungsi, tugas, struktur

    organisasi, dan tata keija Badan Penanggulangan Bencana Daerah diatur

    dengan Peraturan Daerah.

    BAB V

    HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT

    Bagian Kesatu

    Hak Masyarakat

    Pasal 26

    (1)Setiap orang berhak:

    a. mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok

    masyarakat rentan bencana;

     b. mendapatkan pendidikan, pelatihan, dan ketrampilan dalam penyelenggaraan

    penanggulangan bencana.

    c. mendapatkan informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan

    penanggulangan bencana.

    d. berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian, dan pemeliharaan program

    penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial;

    e. berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatanpenanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan

    komunitasnya; dan

    f. melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas

    pelaksanaan penanggulangan bencana.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    59/135

    (2)Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan

    kebutuhan dasar.

    (3)Setiap orang berhak untuk memperoleh ganti kerugian karena terkena bencana

     yang disebabkan oleh kegagalan konstruksi.

    Bagian Kedua.

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 15 -

    Bagian Kedua

    Kewajiban Masyarakat

    Pasal 27

    Setiap orang berkewajiban:

    a. menjaga kehidupan sosial masyarakat yang harmonis, memelihara

    keseimbangan, keserasian, keselarasan, dan kelestarian fungsi lingkungan

    hidup;

     b. melakukan kegiatan penanggulangan bencana; dan

    c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan

     bencana.

    BAB VI

    PERAN LEMBAGA USAHA

    DAN LEMBAGA INTERNASIONAL

    Bagian Kesatu

    Peran Lembaga Usaha

    Pasal 28

    Lembaga usaha mendapatkan kesempatan dalam penyelenggaraan

    penanggulangan bencana, baik secara

    tersendiri maupun secara bersama dengan pihak lain.

    Pasal 29

    (1)Lembaga usaha menyesuaikan kegiatannya dengan

    kebijakan penyelenggaraan penanggulangan bencana.

    (2)Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan

    kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas melakukan

    penanggulangan bencana sertamenginformasikannya kepada publik secara transparan.

    (3)Lembaga usaha berkewajiban mengindahkan prinsip

    kemanusiaan dalam melaksanakan fungsi ekonominya

    dalam penanggulangan bencana.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    60/135

    Bagian Kedua.

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 16 -

    Bagian KeduaPeran Lembaga Internasional

    Pasal 30

    (1)Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah

    dapat ikut serta dalam kegiatan penanggulangan bencana dan

    mendapat jaminan perlindungan dari Pemerintah terhadap para

    pekerjanya.

    (2)Lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah

    dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan secara

    sendiri-sendiri, bersama-sama, dan/atau bersama dengan mitra

    keija dari Indonesia dengan memperhatikan latar belakang sosial,

     budaya, dan agama masyarakat setempat.

    (3)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kegiatan penanggulangan

     bencana oleh lembaga internasional dan lembaga asing nonpemerintah diatur

    dengan Peraturan Pemerintah.

    BAB VII

    PENYELENGGARAAN PENANGGULANGAN

    BENCANA

    Bagian KesatuUmum

    Pasal 31

    Penyelenggaraan penanggulangan bencana dilaksanakan berdasarkan 4

    (empat) aspek meliputi:

    a. sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat;

     b. kelestarian lingkungan hidup;

    c. kemanfaatan dan efektivitas; dan

    d. lingkup luas wilayah.

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    61/135

    -

    salina

    n-

    Pasal 35...

    PRESIDEN

    REPUBLIK INDONESIA

    - 17 -

    Pasal 32

    (1)Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah dapat:

    a. menetapkan daerah rawan bencana menjadi daerah terlarang untuk

    pemukiman;dan/atau

     b. mencabut atau mengurangi sebagian atau seluruh hak kepemilikan setiap

    orang atas suatu benda sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.

    (2)Setiap orang yang hak kepemilikannya dicabut atau dikurangi sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) huruf b berhak mendapat ganti rugi sesuai dengan

    Peraturan Perundang-undangan.

    Bagian Kedua

     Tahapan

    Pasal 33

    Penyelenggaraan penanggulangan bencana terdiri atas 3 (tiga) tahap

    meliputi:

    a. prabencana;

     b. saat tanggap darurat; dan

    c. pascabencana.

    Paragraf Kesatu

    Prabencana

    Pasal 34

    Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf a meliputi:

    a. dalam situasi tidak terjadi bencana; dan

     b. dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

    PRESIDENREPUBLIK INDONESIA

    - 18 -

    Pasal 35

  • 8/18/2019 UU 24-2007, UU 07-2012, UU 29-2014

    62/135

    -

    salina

    n-

    Pasal 64...

    Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak

    terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a

    meliputi:

    a. perencanaan penanggulangan bencana;

     b. pengurangan risiko bencana;

    c. pencegahan;

    d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan;

    e. persyaratan analisis risiko bencana;

    f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;

    g. pendidikan dan pelatihan; dan

    h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.

    Pasal 36

    (1)Perencanaan pen