33
USULAN PENELITIAN PENGARUH SUHU SPRAY DRYING TERHADAP KARAKTERISTIK NANOKAPSUL KAROTENOID DARI Spirulina platensis DENGAN ENKAPSULAN GUM ARAB DAN WPC Disusun oleh: RAKHMAT HIDAYAT 12/331597/PN/12701 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN

usulan penelitian 12701

Embed Size (px)

DESCRIPTION

uspen bro

Citation preview

Page 1: usulan penelitian 12701

USULAN PENELITIAN

PENGARUH SUHU SPRAY DRYING TERHADAP

KARAKTERISTIK NANOKAPSUL KAROTENOID DARI Spirulina

platensis DENGAN ENKAPSULAN GUM ARAB DAN WPC

Disusun oleh:

RAKHMAT HIDAYAT12/331597/PN/12701

PROGRAM STUDI

TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

JURUSAN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2015

Page 2: usulan penelitian 12701

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Karotenoid merupakan pigmen yang paling umum terdapat di alam dan

disintesis oleh semua organisme fotosintetik dan fungi (Vilchez et al., 2011). Sumber

karoten yang paling penting berasal dari tumbuhan. Senyawa β-karoten memiliki

aktivitas antioksidan yang tinggi sehingga banyak dimafaatkan untuk fortifikasi pada

bahan pangan. Pada tumbuhan dan algae, Salah satu sumber karotenoid yang diperoleh

dari kelompok alga adalah Spirulina platensis. Karotenoid memberikan konstribusi

yang besar bagi berbagai sektor kehidupan terutama sebagai sumber vitamin A yang

bermanfaat bagi organ visual, pewarna makaan, bahan aditif pada makanan, penambah

sel darah merah, antioksidan, antibakteria, meningkatkan imunitas, serta pengganti sel-

sel yang rusak (Ndiha dan Limantara, 2009).

Spirulina platensis merupakan mikroalga bersifat multiseluler yang termasuk

dalam golongan cyanobacterium mikroskopik berfilamen, memiliki lebar spiral antara

26-36 μm dan panjang spiralnya antara 43-57 μm. S. platensis merupakan salah satu

mikroalgae penghasil karotenoid. S. platensis mengakumulasi β-karoten lebih dari 0,8-

1,0% berat keringnya (Fretes, 2012). Kandungan β-karoten pada S. platensis yaitu

23000 IU per 10 gram, nilai tersebut lebih tinggi daripada β-karoten wortel, brokoli dan

pepaya, yang masing-masing nilainya per ½ cup setara dengan 100 gram yaitu 7250 IU,

3229 IU dan 8867 IU (Henrikson, 2000).

Senyawa karotenoid dari S. platensis dapat diperoleh dengan cara ekstraksi.

Menurut Wahyu dan Yanuar (2010), ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan dari

bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut. Pelarut yang digunakan harus dapat

mengekstrak subtansi yang dinginkan tanpa melarutkan mineral lain. Dalam

penelitiannya, Wahyu dan Yanuar (2010) melakukan ekstraksi karotenoid dari S.

platensis menggunakan pelarut n-hexan dengan sampel berbentuk flakes dan bubuk.

Kadar optimum ekstraksi karoten untuk sampel flakes diperoleh pada kondisi

temperatur 47,1°C selama 3,5 jam, sedangkan untuk sampel bubuk diperoleh pada

kondisi temperatur 51,9°C selama 3,4 jam.

Karotenoid mempunyai sifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam lemak,

mudah diisomerisasi dan dioksidasi, menyerap cahaya, meredam oksigen singlet,

memblok reaksi radikal bebas dan dapat berikatan dengan permukaan hidrofobik

Page 3: usulan penelitian 12701

karotenoid berada dalam lemak bersama-sama dengan klorofil. (Dutta et al., 2005).

Rendahnya stabilitas karotenoid terhadap panas, oksigen dan cahaya, menuntut adanya

suatu usaha untuk melindunginya, salah satunya yaitu dengan enkapsulasi. Enkapsulasi

merupakan sebuah proses, dimana bahan aktif pada material inti dikemas dalam sebuah

dinding untuk membentuk kapsul. Saat ini, sudah berkembang beberapa teknologi

enkapsulasi yaitu dengan mikroenkapsulasi dan nanoenkapsulasi. Menurut Ezhilarasi

(2012) mikrokapsul adalah partikel dengan diameter antara 3 sampai 800 μm,

sedangkan nanokapsul adalah partikel koloid dengan ukuran diameter mulai dari 10

sampai 1.000 nm. Dibandingkan dengan teknik mikroenkapsulasi, maka

nanoenkapsulasi produk pangan akan memberikan beberapa keunggulan, diantaranya

dalam hal peningkatan rasa, warna, tekstur, flavor, konsistensi produk, absorpsifitas dan

ketersediaan komponen bioaktif (Greiner, 2009). Partikel dengan ukuran nano

memungkinkan terjadinya distribusi yang lebih baik pada produk serta dapat

memperluas permukaan kontak partikel dengan bahan. Selain itu, nanoenkapsulasi

memungkinkan bahan aktif untuk lepas secara berkala melalui lapisan enkapsulan,

sehingga hal ini juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan bahan aktif (Won et al.,

2008).

Pemilihan enkapsulan untuk mendapatkan ukuran nano sangat menentukan

keberhasilan nanoenkapsulasi. Alternatif yang dapat digunakan sebagai bahan penyalut

atau enkapsulan adalah gum arab dan konsentrat protein whey. Gum arab bersifat tidak

larut dalam minyak dan pelarut organik yang memiliki sifat unik, namun larut dalam air

pada konsentrasi mencapai 40-50% (Yogaswara, 2008). Gum arab merupakan sebuah

zat pengelmusi yang dapat menjadi stabilizer yang baik untuk emulsi minyak dalam air.

Penggunaan konsentrat protein whey berfungsi sebagai emulsifier dan pembentukan

film sedangkan gum arab sebagai karbohidrat berfungsi sebagai filler dan pembentuk

matriks. Gum arab dan konsentrat protein whey dalam hal ini berfungsi sebagai

emulsifier dan pembentuk film, sehingga harapannya dengan menggunakan kombinasi

antara gum arab dengan konsentrat protein whey mampu menghasilkan sifat emulsi dan

enkapsulasi bahan inti dengan lebih baik. Gardjito et al. (2006) menyatakan bahwa

kombinasi enkapsulan konsentrat protein whey : gum arab (1:2) untuk mikrokapsul β-

karoten dari buah labu kuning menghasilkan dinding mikrokapsul yang lebih tebal dan

rapat dibandingkan kombinasi enkapsulan konsentrat protein whey : maltodekstrin.

Page 4: usulan penelitian 12701

Artinya, gum arab memiliki potensi yang besar dalam membentuk dinding yang lebih

tebal dan rapat. Salah satu metode nanoenkapsulasi yang sering digunakan yaitu dengan

spray drying.

Keuntungan spray dryer antara lain adalah kelarutan bahan kering yang

dihasilkan sangat baik karena partikelnya yang halus, mudah terdispersi dalam air,

kontak dengan panas sangat singkat dan mudah untuk mengoperasikannya (Sutejo,

1999). Suhu spray drying dapat mempengaruhi struktur nanokapsul. Ketidaksesuaian

antara bahan pengkapsul dan suhu spray drying dapat mengakibatkan adanya retakan

pada dinding kapsul yang dapat mengakibatkan kebocoran dan menurunkan retensi

bahan aktif. Beberapa penelitian dengan karotenoid menyebutkan suhu inlet dan outlet

80-60°C yang digunakan Gardjito et al. (2006) untuk mikroenkapsulasi β-karoten dari

buah labu kuning dengan enkapsulan whey dan karbobidrat, suhu 90-50°C yang

digunakan Hidayah et al. (2012) untuk mikroenkapsulasi Spirulina platensis dengan

pati tapioka termodifikasi, dan suhu 175-95°C yang digunakan loksuwan (2007) untuk

mikroenkapsulai β-karoten murni dengan menggunakan pati tapioka termodifikasi, pati

tapioka murni, dan maltodekstrin.

Dengan mengimplementasikan kondisi nanoenkapsulasi yang sesuai, produk

nanokapsul akan mempunyai sifat dan fungsi seperti yang diinginkan. Penelitian ini

dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu spray drying terhadap karakteristik

nanokapsul karotenoid dari Spirulina platensis dengan enkapsulan gum arab dan

konsentrat protein whey.

B. Tujuan

1. Mengetahui pengaruh suhu inlet dan outlet terhadap karakteristik nanokapsul

karotenoid dari Spirulina platensis dengan enkapsulan gum arab dan WPC

2. Mendapatkan produk nanokapsul karotenoid dari Spirulina platensis yang

memiliki retensi yang tinggi

C. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi

dan pengetahuan mengenai pengaruh suhu spray drying terhadap karakteristik

nanokapsul karotenoid dari Spirulina platensis yang dienkapsulasi dengan gum arab dan

Page 5: usulan penelitian 12701

WPC serta Mendapatkan produk nanokapsul karotenoid dari Spirulina platensis yang

memiliki retensi yang tinggi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Karotenoid

Karotenoid merupakan pigmen organik yang terdapat secara alami pada

khromoplast dari tanaman, organisme photosintesis seperti alga (Spirulina plantesis,

Dunaliella sp) serta beberapa tipe dari jamur dan bakteri (Wahyu dan Yanuar, 2010).

Karotenoid memegang dua peranan penting pada tanaman dan alga yaitu untuk

menyerap energi cahaya yang akan digunakan dalam proses fotosintesisi dan

melindungi klorofil dari fotodamage (Armstrong G.A., Hearst J.E., 1996). Pada

organisme fotosintesis, khususnya tanaman, karotenoid memegang peranan yang sangat

penting dalam reaksi utama fotosintesis karena berpartisipasi dalam proses transfer

energi, atau melindungi reaksi utama dari auto-oxidation. Pada organisme non-

fotosintesis, khususnya manusia karotenoid berhubungan dengan mekanisme

pencegahan oksidasi (Cogdell et al., 2000).

Sifat-sifat dari karotenoid yaitu karotenoid dapat rusak jika disimpan pada

tempat yang terdapat oksigen. Perawatan yang baik harus dilakukan untuk memastikan

bahwa sample yang digunakan seperti untuk investigasi bebas dari peroksida dan

produk degradasi lainnya. Karotenoid radikal dan ion radikal stabil dengan adanya

delokalisasi dari elektron yang tidak berpasangan sepanjang rantai polyene dan

mempunyai sifat khusus yang berkaitan dengan fungsi dari karotenoid. Misalnya pada

fotosintesis dan anti-oksidan atau pro-oksidan (Wahyu dan Yanuar, 2010).

Sifat fisik dan kimia dari karotenoid dipengaruhi oleh interaksi dengan molekul

lainya, seperti lemak dan protein. Karotenoid dapat mempengaruhi struktur, sifat matrik

dari molekul yang berada disekitarnya. Karotenoid merupakan senyawa kimia yang

sangat hidrophobik, sehingga akan diasosiasikan dengan lemak atau struktur hirophobic

atau membran. Molekul hidrophobic sering dilokasikan ke membran alami dan

merupakan bagian integral struktur membran komplek, karena hidrophobik yang sangat

tinggi, karotenoid menunjukan kecenderungan untuk mengalami aggregrasi dan

kristalisasi. Aggregation mengubah sifat dari karotenoid seperti penyerapan cahaya dan

kereaktifan kimia (Wahyu dan Yanuar, 2010).

Page 6: usulan penelitian 12701

Karotenoid merupakan kelompok pigmen alami yang penting dan menyuplai

70% kebutuhan manusia akan vitamin A. Karotenoid memberikan konstribusi yang

besar bagi berbagai sektor kehidupan terutama sebagai sumber vitamin A yang

bermanfaat bagi organ visual, pewarna makaan, bahan aditif pada makanan, penambah

sel darah merah, antioksidan, antibakteria, meningkatkan imunitas, serta pengganti sel-

sel yang rusak (Ndiha dan Limantara, 2009).

Karotenoid menunjukan aktivitas biologis sebagai anti-oksidan, mempengaruhi

pertumbuhan regulasi sel, memodulasi ekspresi gen dan respon kekebalan tubuh. Anti-

oksidan merupakan senyawa yang dapat mencegah proses oksidasi radikal bebas. Pada

manusia reaksi oksidasi didorong oleh spesies oksigen reaktif, yang tidak dinonaktifkan

oleh karotenoid maka akan menyebabkan kerusakan protein dan mutasi DNA dan pada

akhirnya akan menyebabkan penyakit kardiovaskular, beberapa jenis kanker, penyakit

degenaratif, dan penuaan. Karoteoid mampu menyerap energi eksitasi singlet oksigen

radikal ke dalam rantai, sehingga melindungi jaringan dari kerusakan kimiawi (Rao dan

Rao, 2007).

B. Spirulina platensis Sebagai Sumber Karotenoid

Spirulina platensis merupakan mikroalga bersifat multiseluler yang termasuk

dalam golongan cyanobacterium mikroskopik berfilamen, memiliki lebar spiral antara

26-36 μm dan panjang spiralnya antara 43-57 μm (Yudiati et al., 2011). Menurut

Babadzhanov et al. (2004) Spirulina secara alami hidup di perairan tawar hingga

salinitas tinggi (salinitas 15-30 ppt). Mikroalga jenis ini termasuk mikroalga yang

mudah untuk dibudidayakan, karena budidayanya dapat dilakukan di dalam maupun di

luar ruangan, dan pemanenannya mudah dilakukan. Morfologi Spirulina platensis dapat

dilihat pada gambar 1. Klasifikasi Spirulina platensis Menurut Kabinawa (2006) adalah

sebagai berikut:

Devisi : Chyanophyta

Kelas : Chyanophyceae

Ordo : Nostocales

Famili : Oscillatoriaceae

Genus : Spirulina

Page 7: usulan penelitian 12701

Spesies : Spirulina platensis

Gambar 1. Morfologi Spirulina platensis (Tsuki, 2003)

Spirulina platensis mengandung β-karoten, klorofil-α dan pigmen fikosianin

yang merupakan pewarna alami dan mempunyai aktivitas antioksidan tinggi (Yudiati et

al., 2011). Konsumsi antioksidan dalam jumlah memadai dapat juga menurunkan ke-

jadian penyakit degeneratif, seperti kardiovaskuler, kanker, aterosklerosis, dan

osteoporosis. Konsumsi makanan yang mengandung antioksidan juga dapat

meningkatkan status imunologis dan menghambat timbulnya penyakit degeneratif

akibat penuaan. Oleh sebab itu, kecukupan asupan antioksidan secara optimal

diperlukan pada semua kelompok umur. Antioksidan juga merupakan senyawa yang

dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang

reaktif yang dapat me-nghambat kerusakan sel (Winarsi, 2007). Komposisi nutrisi dari

Spirulina platensis bergantung pada kondisi lingkungan tempat tumbuhnya. Komposisi

nutrisi Spirulina platensis bubuk komersial yang dibudidayakan di air tawar dapat

dilihat pada tabel 1 dan Spirulina plantesis kering bentuk flakes (A) dan bentuk serbuk

(B) dapat dilihat pada gambar 2.

Page 8: usulan penelitian 12701

Gambar 2. Spirulina plantesis kering bentuk flakes (A) dan bentuk serbuk (B) (Wahyu

dan Yanuar, 2010).

Tabel 1. Komposisi nutrisi Spirulina platensis bubuk komersial (per 100 gram)

Energy Content 373 kcal Total Fat

- Saturated fat - PUFA - MUFA - Cholesterol - Gamma-Linolenic acid (GLA)

4,3 g 1,95 g1,93 g0,26 g< 0,1 g1080 mg

Carbohydrate 17,8 g Protein 63 g Vitamin A (β-Carotene) 352.000 IU Total Carotenoids

- β-carotene - Zeaxanthin

504 mg 211 mg 101 mg

Vitamin K 1090 μg Vitamin B1 0,5 mg Vitamin B2 4,5 mg Niacin 14,9 mg Vitamin B6 0,96 mg Vitamin B12 162 μg Calcium 468 mg Phosphorus 961 mg Iron 87,4 mg Iodine 142 μg Magnesium 319 mg Zinc 1,45 mg Selenium 25,5 mg Copper 0,47 mg Potassium 1660 mg Manganese 3,26 mg Sodium 641 mg

Sumber: Guangwen, 2011.

Spirulina platensis adalah mikroalga yang yang berbentuk filamen yang

menghasilkan senyawa bioaktif salah satunya karotenoid. Komponen karotenoid yang

teridentifikasi pada Spirulina platensis dapat dilihat pada tabel 2.

Page 9: usulan penelitian 12701

Tabel 2. Komponen Karotenoid yang Teridentifikasi pada Spirulina platensis

Kandungan yang teridentifikasi Kadar (%) karotenoid dalam SpirulinaNeoxanthin 1,96Violaxanthin 1,19Xanthaxanthin 1,21Echinenone 13,49Myxoxanthophyll 17,20Zeaxanthin 8,70Lutein 3,51Phytofluence 2,84Phytoene 2,84β-Cryptoxanthin 20,32β-karoten 26,74

Sumber: Sethu et al., (1996) cit Wahyu dan Yanuar (2010)

C. Ekstraksi Senyawa Karotenoid dari Spirulina platensis

Senyawa karotenoid dapat diperoleh dengan melakukan ekstraksi dari Spirulina

platensis. Ekstraksi adalah pemisahan satu atau beberapa bahan baik padatan maupun

cairan. Proses ekstraksi dimulai dengan terjadinya penggumpalan ekstrak dalam pelarut

kemudian terjadi kontak antar muka bahan dan pelarut sehingga pada bidang muka

terjadi pengendapan massa dengan cara difusi. Selanjutnya pelarut akan menembus

kapiler dalam suatu bahan dan melarutkan ekstrak larutan dengan konsentrasi lebih

tinggi terbentuk dibagian dalam bahan ekstraksi. Dengan cara difusi maka akan terjadi

keseimbangan konsentrasi larutan di dalam dengan larutan diluar bahan (Bernasconi et

al., 1995).

Wahyu dan Yanuar (2010) melakukan ekstraksi karotenoid dari Spirulina

platensis menggunakan pelarut n-hexane dengan sampel berbentuk flakes dan bubuk.

Kadar optimum ekstraksi karoten untuk sampel flakes diperoleh pada kondisi

temperatur 47,1°C selama 3,5 jam, sedangkan untuk sampel bubuk diperoleh pada

kondisi temperatur 51,9°C selama 3,4 jam. Dey dan Rathod (2013) dalam penelitiannya

melakukan ekstraksi β-karoten dari Spirulina platensis dengan menggunakan pelarut

polar berupa metanol dan pelarut non polar berupa n-heptane dengan cara ekstraksi

ultrasonik.

Page 10: usulan penelitian 12701

D. Stabilitas Karotenoid

Karotenoid sebagian besar berupa hidrokarbon yang larut dalam air dan lemak,

serta berikatan dengan senyawa yang strukturnya menyerupai lemak. Muchtadi, 1992

cit Erawati, 2006 mengatakan bahwa pengaruh suhu terhadap oksidasi karotenoid

adalah kerotenoid belum mengalami kerusakan pada pemanasan 60oC tetapi reaksi

oksidasi karotenoid dapat berjalan lebih cepat pada suhu yang relatif tinggi. Menurut

Walfford (1980) oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis

logam, khususnya tembaga, besi dan mangaan. Oksidasi dapat terjadi secara acak pada

rantai karbon yang mengandung ikatan ganda. Erawati (2006) menyatakan semakin

tinggi temperatur maka akan terjadi peningkatan laju reaksi menyebabkan total karoten

yang dihasilkan juga semakin besar. Namun setelah mencapai titik tertentu peningkatan

temperatur akan merusak pigmen itu sendiri dan akan menurunkan total karoten.

Beberapa macam kerusakan karotenoid yang mungkin terjadi:

1. Kerusakan pada suhu tinggi

Eskin (1979) menyebutkan bahwa karotenoid akan mengalami kerusakan pada suhu

tinggi yaitu melalui degradasi thermal sehingga terjadi dekomposisi karotenoid yang

mengakibatkan turunnya intensitas warna karoten atau terjadi pemucatan warna. Hal

ini terjadi dalam kondisi oksidatif.

2. Oksidasi

Eskin (1979) menyebutkan pula bahwa oksidasi dapat dikelompokkan menjadi 2

yaitu oksidasi enzimatis dan oksidasi non enzimatis. Oksidasi enzimatis dikatalis

oleh enzim lipoksigenase. Hasil proses oksidasi ini berupa hidroksi beta karoten,

semi karoten, beta karotenon, aldehid, dan hidroksi beta neokaroten yang

menyebabkan penyimpangan citarasa.

3. Isomerisasi

Bentuk all trans memberikan warna kuat. Makin banyak ikatan cis, warna makin

terang. Rantai poliene pada karoten bertanggung jawab akan ketidakstabilan karoten

seperti kepekaannya terhadap oksidasi oleh oksigen dan peroksida, penambahan

Page 11: usulan penelitian 12701

elektrofil (H+ dan asam Lewis), isomerisasi E/Z oleh panas, cahaya dan bahan kimia

(Britton et al., 1995).

E. Nanoenkapsulasi dengan Spray Dryer

Enkapsulasi adalah teknologi yang berkembang pesat dengan banyak aplikasi

potensial termasuk di bidang industri farmasi dan makanan. Enkapsulasi merupakan

sebuah proses, dimana bahan aktif pada material inti dikemas dalam sebuah dinding

untuk membentuk kapsul. Metode enkapsulasi dikembangkan untuk melindungi

komponen bioaktif (polifenol, mikronutrient, enzim, dan antioksidan), untuk melindungi

dari lingkungan yang merugikan dan juga untuk mengontrol rilis pada target yang dituju

(Ezhilarasi, 2012).

Saat ini, sudah berkembang beberapa teknologi enkapsulasi yaitu dengan

mikroenkapsulasi dan nanoenkapsulasi. Menurut Ezhilarasi (2012) mikrokapsul adalah

partikel dengan diameter antara 3 sampai 800 μm, sedangkan nanokapsul adalah

partikel koloid dengan ukuran diameter mulai dari 10 sampai 1.000 nm.

Nanoenkapsulasi komponen bioaktif telah dikembangkan untuk mengatasi masalah

yang berhubungan dengan lambat dan rendahnya serapan dan kestabilan komponen

bioaktif pada teknik mikroenkapsulasi (Carvajal et al., 2010). Distribusi dan penyerapan

senyawa bioaktif ke berbagai bagian dalam tubuh secara langsung dipengaruhi oleh

ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel dapat meningkatkan bioavailabilitas,

sistem distribusi dan kelarutan komponen aktif di dalam tubuh karena akan

memperbesar luas permukaan per satuan volume (Ezhilarasi, 2012).

Nanoenkapsulasi memiliki banyak fungsi, salah satunya adalah untuk

mengangkut bahan fungsional untuk mencapai tempat yang diinginkan. Selain

kompatibel dengan atribut produk pangan seperti rasa, tekstur, dan umur simpan, fungsi

lain dari nanoenkapsulasi adalah melindungi dari bahan kimia atau degradasi biologis,

seperti oksidasi, dan mengendalikan tingkat fungsional bahan yang rilis di bawah

kondisi lingkungan tertentu. Partikel dengan ukuran nano memungkinkan terjadinya

distribusi yang lebih baik pada produk serta dapat memperluas permukaan kontak

partikel dengan bahan. Selain itu, nanoenkapsulasi memungkinkan bahan aktif untuk

Page 12: usulan penelitian 12701

lepas secara berkala melalui lapisan enkapsulan, sehingga hal ini juga dapat

meningkatkan efisiensi penggunaan bahan aktif.

Nanopartikel tersebut dapat berupa nanocapsules dan nanospheres.

Nanocapsules dicirikan dengan senyawa aktif terletak tepat ditengah kapsul dan

bertindak sebagai inti yang dikelilingi membran polimer, sedangkan pada nanospheres

senyawa aktif tersebar merata di seluruh kapsul. Struktur dari nanocapsules dan

nanospheres dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Struktur dari (a) nanocapsules dan (b) nanospheres (Wukirsari, 2006).

Salah satu metode nanoenkapsulasi yang sering digunakan yaitu dengan spray

drying. Proses pengeringan semprot digunakan untuk meningkatkan konservasi produk

dalam bentuk padat kering. Keuntungan spray dryer antara lain adalah kelarutan bahan

kering yang dihasilkan sangat baik karena partikelnya yang halus, mudah terdispersi

dalam air, kontak dengan panas sangat singkat dan mudah untuk mengoperasikannya

(Sutejo, 1999). Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi retensi bahan aktif dalam

spray drying di antaranya adalah jenis bahan pengkapsul, nisbah bahan aktif dan bahan

pengkapsul serta suhu inlet dan outlet spray drying (Bhandari dan D’Arcy, 1996). Suhu

spray drying dapat mempengaruhi struktur mikrokapsul. Ketidaksesuaian antara bahan

pengkapsul dan suhu spray drying dapat mengakibatkan adanya retakan pada dinding

kapsul yang dapat mengakibatkan kebocoran dan menurunkan retensi bahan aktif.

Laju alir bahan yang rendah menghasilkan suhu outlet yang tinggi, sedangkan

laju alir bahan yang tinggi menghasilkan suhu outlet yang rendah. Hal ini berhubungan

dengan laju transfer panas selama spray drying, dimana pada laju alir yang tinggi

jumlah bahan yang dikeringkan lebih besar sehingga laju transfer panas yang terjadi

lebih rendah daripada pada laju alir bahan yang lebih rendah. Pada suhu inlet yang

sama, transfer panas yang berjalan lebih lambat mengakibatkan suhu outlet yang lebih

rendah.

Bebrapa penelitian mengenai enkapsulasi karotenoid dengan menggunakan

spray drying. Suhu inlet dan outlet yang digunakan Gardjito et al. (2006) yaitu suhu 80-

60°C untuk mikroenkapsulasi β-karoten dari buah labu kuning dengan enkapsulan whey

Page 13: usulan penelitian 12701

dan karbobidrat, suhu inlet dan outlet yang digunakan Hidayah et al. (2012) yaitu 90-

50°C untuk mikroenkapsulasi Spirulina platensis dengan pati tapioka termodifikasi, dan

suhu inlet dan outlet yang digunakan loksuwan (2007) yaitu 175-95°C untuk

mikroenkapsulai β-karoten murni dengan menggunakan pati tapioka termodifikasi, pati

tapioka murni, dan maltodekstrin.

F. Bahan Enkapsulan

Enkapsulan merupakan bahan yang ditambahkan dalam proses pengolahan

pangan untuk melapisi komponen inti, meningkatkan jumlah total padatan,

mempercepat proses pengeringan dan mencegah kerusakan bahan aktif akibat panas

(Dziezak, 1988). Pemilihan jenis dan komposisi bahan enkapsulan merupakan hal

penting dalam proses enkapsulasi karena akan mempengaruhi stabilitas emulsi yang

terbentuk dari campuran bahan enkapsulan yang bersifat larut air dengan minyak.

Enkapsulan jenis karbohidrat memerlukan tambahan bahan pengemulsi sedangkan

enkapsulan jenis protein tidak memerlukan bahan pengemulsi karena molekul protein

dapat sekaligus berperan sebagai bahan pengemulsi. Stabilitas emulsi tinggi dibutuhkan

pada saat proses spray drying dilakukan (Elisabeth, 2003).

Jenis enkapsulan yang digunakan tergantung pada metode enkapsulasi. Bahan

yang biasanya digunakan sebagai enkapsulan antara lain adalah maltodekstrin, gum

arab, pati termodifikasi, sukrosa, siklodekstrin, garam, gelatin, protein susu, protein

nabati, dan lemak (Bhandary dan D’Arcy, 1996).

1. Gum Arab

Gum arab merupakan hidrokoloid yang dihasilkan dengan eksudasi alami dari pohon

akasia, merupakanhidrokoloid yang sangat mudah larut dalam air panas maupun air

dingin, membentuk larutan dengan viskositas rendah, akan tetapi tidak larut pada

alkohol

dan pelarut organik lainnya. Gum arab dapat mempertahankan flavor dari makanan

yang

Page 14: usulan penelitian 12701

dikeringkan dengan metode spray drying karena gum ini dapat membentuk lapisan yang

dapat melindungi dari oksidasi, absorbsi dan evaporasi (Bertolini et al., 2001). Karena

sifat viskositasnya yang rendah dan tidak adanya rasa dan warna, maka gum arab

dapatditambahkan dalam jumlah tertentu tanpa mengganggu sifat organoleptik produk

pangan dimana gum arab ditambahkan (Mosilhey, 2003).

2. Whey Protein Consentrat

Page 15: usulan penelitian 12701

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan November

2015-Maret 2016. Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Ikan,

Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ikan Jurusan Perikanan, Laboratorium Teknologi Ikan,

Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta serta Laboratorium Teknologi

Farmasi, Fakultas Farmasi.

B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat ekstraksi yang terdiri

dari labu leher tiga, pendingin balik spiral, sumbat karet, termometer, hot plate stirrer,

magnetic stirrer, water pump, dan selang. Selanjutnya alat yang digunakan adalah

spektofotometer UV-Vis, oven, sentrifuge, timbangan analitik, chromameter,

refrigerator, spray dryer, krus porselen, desikator, kuvet kaca, tabung falcon,

viscometer, a-meter, rotary vacuum evaporator, regulatoralmunium foil, tabung gas dan

hair dryer.

Bahan yang digunakanpadapenelitianiniantara lain bubuk Spirulina platensis

kering komersial, konsentrat protein whey merk Carnivor yang memiliki flavor vanilla,

gum arab, heksana teknis, heksana pro analis, etanol pro analis, akuabides, akuades, gas

nitrogen, VCO (Virgin Coconut Oil) komersial.

C. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL)

dengan faktor berupa rasio perlakuan suhu inlet dan outlet metode spray drier pada

proses nanoenkapsulasi β-karoten dari Spirulina platensis yang terdiri atas 3 perlakuan

yaitu 80-60°C (Gardjito et al., 2006), 90-50°C (Hidayah, 2012) dan 175-95°C

(loksuwan, 2007) dengan pengulangan tiap perlakuan sebanyak 3 kali.

Page 16: usulan penelitian 12701

D. Tata Laksana

1. Ekstraksi karotenoid Spirulina platensis (Wahyu dan Yanuar, 2010 dan

Pahlevi et al., 2008)

Ekstrak karotenoid diperoleh dari Spirulina platenis yang dibudidayakan di

perairan laut. Proses ekstraksi dimulai dengan menimbang 9 gram Spirulina

platenis lalu dimasukkan dalam labu leher tiga yang sudah dilapisi dengan

alumunium foil dan ditambahkan 27 mL etanol dan 270 mL pelarut heksana.

Labu leher tiga lalu dipasang pada pendingin balik dan hot plate stirrer, diatur

kecepatan konstan dan suhu 59,1°C, kemudian diekstraksi selama 3,4 jam.

Larutan ekstrak karotenoid dipisahkan dari pelet dan tampung dalam jerigen

yang bagian luarnya sudah dilapisi alumunium foil (Wahyu dan Yanuar, 2010).

Larutan ekstrak karoteoid kemudian dievaporasi menggunakan rotatory vacuum

evaporator pada suhu 45°C selama 20 menit, selanjutnya hasil evaporasi

disemprot gas nitrogen sampai pelarut yang tersisa teruapkan semua dan

diperoleh ekstrak karotenoid kental (Pahlevi et al., 2008). Ekstrak karotenoid

ditampung dalam cawan petri yang dilapisi dengan alumunium foil lalu

disimpan di freezer.

2. Pembuatan Nanokapsul Karotenoid Spirulina platensis (Loksuwan, 2007

dengan modifikasi)

2.1. Pembuatan Larutan Enkapsulan (Fraksi Air) untuk

Nanoenkapsulasi

Pembuatan fraksi air dilakukan dengan menimbang 30% bahan enkapsulan

dengan rasio 2:1 (gum arab: konsentrat protein whey) dari volume pelarut

(akuabides) kemudian dilarutkan di dalam labu ukur 100 ml (Liang et al, 2013).

Rasio bahan enkapsulan yang digunakan diperoleh berdasarkan hasil optimasi

dalam penelitian pendahuluan pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil optimasi rasio enkapsulan

Perbandingan Enkapsulan

(Gum Arab: Konsentrat Protein

Whey)

Jam Ke-

6 12 18 24 168 336 384

Page 17: usulan penelitian 12701

2:1 √ √ √ √ √ √ √

1:1 - - - - - - -

1:2 - - - - - - -

Keterangan: √ = emulsi stabil − = emulsi tidak stabil

Bahan enkapsulan selanjutnya dihomogenkan menggunakan hot plate stirer

dengan kecepatan 600 rpm pada suhu 60°C selama 30 menit (Ilyasoglu dan

Nehir, 2013 dengan modifikasi).

2.2. Pembuatan Ekstrak Karotenoid Spirulina platensis

(Fraksi Minyak) untuk Nanoenkapsulasi (Rosanita, 2014)

Ekstrak karotenoid ditimbang 0,3 % untuk satu perlakuan, lalu dimasukkan

dalam wadah berlapis alumunium foil dan ditambahkan VCO (Virgin Coconut

Oil) hingga volume 10 ml untuk melarutkan ekstrak karotenoid, kemudian

diaduk sampai ekstrak karotenoid terlarut semuanya dalam VCO (Virgin

Coconut Oil) (Pahlevi et al., 2008).

3. Pembuatan Nanoemulsi

Pembuatan nanoemulsi dilakukan dengan menggunakan metode Liang et al

(2013) dengan modifikasi. Rasio fraksi air dan fraksi minyak yaitu 5% (5 ml

VCO dan 95 ml akuades), 7,5% (7,5 ml VCO dan 92,5 ml akuades), 10% (10 ml

VCO dan 90 ml akuades), 12,5% (12,5 ml VCO dan 87,5 ml akuades), dan 15%

(15 ml VCO dan 85 ml akuades). Fraksi air berupa larutan enkapsulan yang

terdiri dari konsentrat protein whey dan gum arab sebanyak 30% dilarutkan

dalam akuades hingga 100 ml dan diaduk dengan stirrer selama 30 menit. Fraksi

minyak berupa larutan ekstrak karotenoid yang dilarutkan dalam VCO (Virgin

Coconut Oil) sebanyak 0,3% dari volume total. Kedua fraksi tersebut dilarutkan

didalam labu takar 100 ml, kemudian dipindahkan kedalam gelar beker yang

dilapisi dengan alumunium foil. Hasil emulsi yang terbentuk dihomogenkan

menggunakan homogenizer dengan kecepatan tinggi, yaitu 24.000 rpm selama

1,5 menit (Liang, 2013 dengan modifikasi). Setelah terbentuk nanoemulsi yang

baik dilanjutkan tahap pengeringan dengan metode spray drying pada 3 variasi

perlakuan suhu inlet dan outlet yaitu 80-60°C (Gardjito et al, 2006), 90-50°C

Page 18: usulan penelitian 12701

(Hidayah, 2012) dan 175-95°C (loksuwan, 2007). Nanokapsul yang dihasilkan

selanjutnya dikemas dalam plastik dan ditimbang beratnya lalu dilapisi dengan

alumunium foil dan dikemas lagi dalam plastik klip berisi silika gel.

4. Optimasi suhu Spray drying (Rosanita, 2014)

Optimasi suhu spray drying dimulai dengan menimbang 30 gram bahan

enkapsulan gum arab dan konsentrat protein whey dengan perbandingan 2:1.

Bahan enkapsulan dilarutkan dengan 150 ml aquabides dalam erlenmeyer 250

ml, kemudian dihomogenkan menggunakan hot plate stirer dengan kecepatan

600 rpm pada suhu 60°C selama 30 menit. Bahan enkapsulan dipanaskan

bertenanan dengan menggunakan autoklaf suhu 121°C dan tekanan 1 atm selama

5 menit, kemudian didinginkan dan dilanjutkan dengan variasi suhu inlet dan

outlet yaitu 80-60°C (Gardjito et al, 2006), 90-50°C (Hidayah, 2012) dan 175-

95°C (loksuwan, 2007), kemudian dilanjutkan dengan uji rendemen.

E. Parameter yang diamati

1. Rendemen (AOAC, 1995)

Persentase rendemen diperoleh dengan menimbang berat sampel akhir dengan

timbangan analitik, kemudian dibandingkan dengan berat awal sampel (AOAC,

1995).

% Rendemen = Berat Akhir(gram)Berat Awal(gram)

x 100

2. Kelarutan Bubuk (Singh dan Singh, 2003)

Pengujian kelarutan bubuk dilakukan dengan melarutkan 1 gram bubuk

nanokapsul dalam 100 mL akuades dan dihomogenkan dengan magnetic stirrer

selama 30 menit pada suhu kamar, lalu 30 mL larutan pati diambil dan disentrifuge

dengan kecepatan 430 g (1870 rpm) selama 15 menit. Kemudian diambil 10 mL

supernatan dan diuapkan/dikeringkan dengan oven pada suhu 110oC selama 24 jam.

Kelarutan bubuk dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Page 19: usulan penelitian 12701

Kelarutan bubuk (%) = Berat supernatan kering x fp

Berat sampelawal x 100

Dengan, Fp = 10

3. Warna (Chromameter)

Sampel bubuk nanokapsul dianalisis warnanya menggunakan chromameter

berdasarkan indikator kecerahan (L), kemerahan (a), dan kekuningan (b), kemudian

ditentukan warna yang tepat menggunakan diagram CIELAB untuk mengetahui

titik warna yang tercipta berdasarkan indikator L, a, dan b. Untuk mengetahui

warna yang terdeteksi digunakan software Photoshop CS6.

4. Ukuran Partikel

Perhitungan ukuran partikel dianalisis menggunakan Particle Size Analyzer

(PSA) Nano Partica (Horiba Scientific). Analisis dilakukan dengan menimbang 5

mg sampel nanokapsul kemudian dilarutkan dengan akuades dengan rasio 1:500,

selanjutnya ditera pada alat.

5. SEM (Scanning Electron Microscopy)

Morfologi partikel dianalisis menggunakan Scanning Electron Microscopy

(SEM). SEM dapat mengidentifikasi morfologi permukaan, bentuk dan ukuran

sampel yang ditampilkan dalam sebuah gambar. Foto SEM didapatkan dengan cara

menghitung perbandingan jumlah partikel berukuran nano terhadap seluruh partikel

baik nano maupun mikro dalam satu foto SEM tersebut (Wahyono, 2010).

6. Efisiensi Enkapsulasi dan Retensi karotenoid

6.1. Pembuatan Kurva Standar

Sebanyak 5,5 mg karotenoid murni dilarutkan di dalam labu ukur 10 mL

dengan n-hexane pro analis hingga tanda batas. Diambil 1 mL larutan lalu

diencerkan dalam labu ukur 10 mL dengan n-hexane sampai tanda batas. Dibuat

seri pengenceran dan ditera pada panjang gelombang 450 nm kemudian dicari

persamaannya. Panjang gelombang diperoleh dari hasil Scanning serapan

maksimum karotenoid pada spektrofotometer yang digunakan.

Page 20: usulan penelitian 12701

6.2. Karoten Total (Desorby et al., 1997 dengan modifikasi)

Karoten total dihitung dengan menimbang 50 mg bubuk nanokapsul,

dimasukkan ke dalam erlenmeyer 125 mL kemudian ditambahkan akuades 2,5

mL dan diekstrak dengan heksana pro analis 25 mL, kemudian dimodifikasi oleh

Rosanita (2014) dengan akuades 0,5 mL dan heksana proanalis 5 mL.

Selanjutnya larutan diaduk dengan kecepatan 500 rpm selama 30 menit pada

suhu ruang. Ekstrak heksana ditera dengan spektrofotometer pada panjang

gelombang 450 nm. Absorbansi yang terbaca dimasukkan ke dalam persamaan

kurva standar karotenoid.

6.3. Karotenoid Permukaan (Desorby et al., 1997 dengan modifikasi)

Karoten total dihitung dengan menimbang 50 mg bubuk nanokapsul,

dimasukkan ke dalam erlenmeyer 125 mL kemudian ditambahkan akuades 2,5

mL dan diekstrak dengan heksana pro analis 25 mL, kemudian dimodifikasi oleh

Rosanita (2014) dengan jumlah heksana yang digunakan yaitu 5 mL.

Selanjutnya diaduk selama 15 detik dengan kecepatan 100 rpm kemudian

disentrifuge selama 1 menit dengan kecepatan 1000g. Supernatan ditera dengan

spektrofotometer pada panjang gelombang 450 nm. Absorbansi yang terbaca

kemudian dimasukkan kedalam kurva standar.

6.4. Efisiensi Enkapsulan

Efisiensi enkapsulan dilakukan untuk mengukur keefektifan proses

nanoenkapsulasi dalam memerangkan core material. Efisiensi enkapsulan dapat

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% EE = (KarotenTotal−KarotenPermukaan)

KarotenTotal x 100

6.5. Retensi Karoten

Page 21: usulan penelitian 12701

Retensi karoten merupakan nilai perbandingan antara kadar karoten yang

terdapat pada nanokapsul setelah spray drying dengan kadar ekstrak karoten

awal sebelum mengalami proses nanoenkapsulasi. Retensi karoten dapat

dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% Retensi karoten = Karoten Total

Ekstrak Karoten Awal x 100

7. Kadar Air (SNI 01-2354-2.2006)

Pengujian kadar air dilakukan dengan menimbang sampel sebanyak 2 gram ke

dalam cawan dan dimasukkan ke dalam oven pada suhu 105oC selama 16-24 jam.

Sebelumnya, cawan yang akan digunakan dioven terlebih dahulu minimal selama 2

jam, kemudian dipindahkan kedalam desikator selama 30 menit dan ditimbang berat

kosongnya. Setelah dioven, cawan yang berisi sampel dikeluarkan dan dimasukkan

ke dalam desikator selama 30 menit kemudian ditimbang berat akhirnya. Persentase

kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

% kadar air =

berat cawan+sampel awal(gram)−berat cawankosong (gram)berat cawan+sampelawal (gram)−berat cawan+sampelakhir (gram) x 100

8. Aktivitas Air (Loksuwan, 2007)

Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan alat berupa aw meter. Sampel

berupa bubuk nanokapsul diletakkan pada wadah secara merata, kemudian aw

meter dipasang diatas wadah dan dinyalakan, alat akan menunjukkan angka hasil

pengukuran setelah selang waktu 5 menit.

F. Analisis Data

Page 22: usulan penelitian 12701

Data hasil penelitian kemudian akan dianalisis menggunakan analisis varian

(ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95%. Apabila diperoleh hasil analisis varian yang

menunjukkan beda nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT)

menggunakan software SPSS 19.

G. Hipotesis

Perlakuan perbedaan suhu spray drying mampu melindungi karotenoid yang

diekstrak dari S. platensis

H0 = Tidak terdapat perbedaan secara nyata antara perlakuan suhu spray drying dalam

melindungi karotenoid yang diekstrak dari S. platensis.

H1 = Terdapat perbedaan secara nyata antara perlakuan suhu spray drying dalam

melindungi karotenoid yang diekstrak dari S. platensis.

H. Rencana Pelaksanaan Kegiatan Kerja Lapangan

Rencana pelaksanaan kegiatan penelitian yang akan dilakukan ditunjukkan dalam

Tabel 1.

Tabel 1. Rencana pelaksanaan kegiatan penelitian

KegiatanOktober

‘15Novemb

er ‘15Desember

‘15Januari

‘15Februari

‘15Maret ‘15 April ‘15

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

Proposal

Optimasi

Perijinan

Pelaksanaan

Laporan

Ujian

Keterangan

: Kegiatan

Page 23: usulan penelitian 12701