39
BAB II PENGATURAN TENTANG UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DALAM PERADILAN DI INDONESIA 2.1 Cita Hukum Keadilan Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pancasila sebagai cita hukum dan sumber tertib hukum nasional Indonesia. Terdapat kaitan dan saling mempengaruhi antara pokok-pokok pikiran cita hukum (rechts idee) dan hukum dasar negara. Pokok-pokok pikiran merupakan dari dan akan memberi isi serta menjiwaiacita hukum dan asas-asas hukum yang akan terwujud dalam hukum dasar negara dan selanjutnya akan menjadi fundamen dari antara hukum yang berlaku. 1 Pancasila merupakan “sumber dari segala sumber hukum” yang berarti pemerintah menetapkan bahwa dalam pengertiannya tersebut Pancasila berfungsi sebagai cita hukum yang menjadi landasan atau pedoman bagi semua peraturan perundang-undang di Negara Republik Indonesia. 2 Pandangan hidup bangsa Indonesia telah di rumuskan secara padat dalam bentuk kesatuan rangkaian lima sila yang dinamakan Pancasila, sengaja di tempatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan kefalsafahan yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam undang - undang dasar itu. Pancasila melandasi dan menjiwai kehidupan kenegaraan di Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan melaksanakan politik hukumannya. 1 Marwah M Diah, 2003, Restrukturisasi BUMN di Indonesia, Trivatitasi atau Rerporatisasi, Penerbit Literata, Jakarta, hal 30 2 Ibid. hal. 35 1

UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI - sinta.unud.ac.id II.pdf · Dalam prakteknya, pada sistem hukum nasional pelaksanaan Pancasila ... pembahasaanya mengenai keadilan terbatas pada dunia

  • Upload
    dangnhu

  • View
    222

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

PENGATURAN TENTANG UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI

DALAM PERADILAN DI INDONESIA

2.1 Cita Hukum Keadilan

Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Pancasila sebagai cita

hukum dan sumber tertib hukum nasional Indonesia. Terdapat kaitan dan saling

mempengaruhi antara pokok-pokok pikiran cita hukum (rechts idee) dan hukum

dasar negara. Pokok-pokok pikiran merupakan dari dan akan memberi isi serta

menjiwaiacita hukum dan asas-asas hukum yang akan terwujud dalam hukum dasar

negara dan selanjutnya akan menjadi fundamen dari antara hukum yang berlaku. 1

Pancasila merupakan “sumber dari segala sumber hukum” yang berarti

pemerintah menetapkan bahwa dalam pengertiannya tersebut Pancasila berfungsi

sebagai cita hukum yang menjadi landasan atau pedoman bagi semua peraturan

perundang-undang di Negara Republik Indonesia. 2

Pandangan hidup bangsa Indonesia telah di rumuskan secara padat dalam

bentuk kesatuan rangkaian lima sila yang dinamakan Pancasila, sengaja di tempatkan

dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan kefalsafahan yang

mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan- ketentuan yang tercantum dalam

undang - undang dasar itu. Pancasila melandasi dan menjiwai kehidupan kenegaraan

di Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan melaksanakan politik hukumannya.

1 Marwah M Diah, 2003, Restrukturisasi BUMN di Indonesia, Trivatitasi atau Rerporatisasi, PenerbitLiterata, Jakarta, hal 30

2 Ibid. hal. 35

1

2

Sehubungan dengan itu, penyusunan dan penerapan tata hukum di Indonesia sejak

berlakunya Undang-undang Dasar itu harus dilandasi oleh Pancasila. 3

Dalam dinamika proses-proses kemasyarakatan, Pancasila diwujudkan

dalam berbagai bidang kehidupan, juga pada bidang kehidupan hukum. Penerapan

atau realisasi Pancasila pada bidang kehidupan hukum itu menumbuhkan ketentuan-

ketentuan hukum yang dijiwai atau diwarnai oleh Pancasila. 4

Dalam prakteknya, pada sistem hukum nasional pelaksanaan Pancasila

sebagai cita hukum yang berfungsi sebagai tolak ukur regulatif yaitu fungsi sebagai

penguji apakah suatu hukuman positif itu asli atau tidak. Sejalan dengan itu juga

hukum secara langsung diarahkan untuk mewujudkan keadilan sosial yang

memberikan kepada masyarakat sebagai kesatuan dan masing-masing warga

masyarakat kesejahteraan (materil dan spirituil) yang merata dalam keseimbangan

yang proporsional

Penegakan keadilan melalui kekuasaan kehakiman merupakan salah satu

tujuan dan prinsip Negara. Peraturan perundang-undangan tentang kekuasaan

kehakiman (sejak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 sampai dengan yang

terakhir Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009) menyatakan bahwa peradilan

dilakukan “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ketentuan ini

mengisyaratkan bahwa keadilan di Indonesia berdasarkan Ilahiah, yang dapat

diartikan bahwa keadilan yang sebenarnya adalah keadilan yang berasal dari Tuhan,

baik langsung maupun tidak langsung. Menurut kepercayaan dan keyakinan Agama,

Tuhan telah mengatur seluruh sistem kehidupan berdasarkan timbangan yang adil

3 Arif Sidharta,2008, Filsafat Hukum Pancasila, Refleksi Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalamDekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, hal 16

4 Marwah M Diah,Op cit hal. 18

3

dan keteraturan alam dengan segala isinya adalah bukti keadilan Tuhan yang dapat

diamati oleh akal manusia.

Sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 dan

undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman adalah

salah satu dari tiga kekuasaan dalam negara yang khusus menegakan keadilan

berdasarkan hukum yang berlaku. Undang-undang tersebut menjamin kemandirian

hakim dalam memutuskan perkara tanpa campur tangan pihak lain, baik eksekutif

maupun legislatif. Meskipun demikian seorang hakim harus memutuskan sesuai

dengan apa yang dipandang adil oleh hukum, yang dalam hal ini dia terikat pada

hukum materiil dan hukum acara yang ada.

Persoalan pokok mengenai keadilan (justice), juga dapat dilihat dari

hubungannya norma-norma hukum (legal justice), moral (moral justice) dan sosial

(social justice). Keadilan menurut hukum dapat dilihat dari peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan dari putusan hakim pengadilan yang mencerminkan

keadilan hukum negara dalam bentuk formal. Adil atau tidaknya suatu peraturaan

perundang-undangan atau putusan hakim ditentukan oleh keadilan menurut moral

dan keadilan sosial.

Moral justice adalah keadilan berdasarkan moralitas, yang hanya dimiliki

oleh manusia dan dengan itu manusia berusaha hidup lebih baik dalam masyarakat.

Di dunia Barat, sebagian orang seperti para teolog Kristen berpendapat bahwa

moralitas berasal dari Tuhan, sementara para pengikut Utilitarianisme menyatakan

moralitas berasal dari pemikiran dan perasaan manusia. Menurut kelompok ini yang

4

selalu menilai manfaat yang dapat diambil dari segala sesuatu, moralitas ditentukan

oleh kebahagiaan hidup yang ditimbulkannya.

Dalam kajian hukum Barat, hukum dan moralitas mempunyai kaitan erat,

tetapi hukum tidak sama dengan moralitas, hukum mengikat semua orang sebagai

warga negara, tetapi moralitas hanya mengikat orang sebagai individu. Disisi lain

hukum tidak menuntut berbuat kebaikan atau memberikan bantuan yang merupakan

kewajiban moral. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas yang baik dan

moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik.

Di Indonesia secara teoritis hukum tidak seharusnya bertentangan dengan

moralitas bangsa Indonesia. Hukum tertinggi negara adalah Undang-undang Dasar

1945, yang dimulai dengan pernyataan “Berkat rahmat Tuhan (Allah) pada

hakekatnya mengandung pengakuan terhadap agama sebagai sumber moralitas utama

dalam kehidupan bangsa Indonesia. Agama yang menetapkan tentang norma-norma

baik dan buruk, benar dan tidak benar, adil dan tidak adil, mengatur tentang cara

menimbang, memberi, dan menerima, membagi, bertransaksi, memberikan

kesaksian, menyelenggarakan pemerintahan dan sistem peradilan, dan lain-lain.

Meskipun demikian, merupakan hal yang salah jika hanya dilihat pada

keadilan struktur dasar, sosial dalam cara yang tidak lansung ini. Hal yang patut

diketahui ialah sistem hukum sebenarnya secara mendalam dan langsung menaruh

perhatian kepada hal-hal dasar tersebut seperti kebebasan politik, mendapatkan

kesempatan yang sama, pembagian sumber daya dan pemeliharaan kesejahteraan

warga negara. Dengan kata lain, sistem hukum harus merupakan cerminan dari

filsafat masyarakat tentang keadilan. Bagi para pengikat Utilitarianisme, desain

5

dasar suatu masyarakat seharusnya mengambil manfaat yang dapat diambil dari

segala sesuatu. Jika kebebasan politik dipandang tidak akan produktif, kebebasaan

tersebut harus ditarik. Seperti pada keadilan moral, bagi Utilitarianisme, keadilan

sosial adalah segala yang meningkatkan manfaat.

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa selain

melindungi segenap bangsa dan tanah air Indonesia, pemerintah Indonesia jaga ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

dan keadilan sosial. Dalam pidatonya di dalam sidang Badan Penyelidik Usaha

Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyatakan

bahwa” kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi

permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek economishe democratie yang

mampu mendatangkan kesejahteraan social. 5 Selanjutnya dalam sidang sebelumnya

dinyatakan oleh Mohammad Yamin bahwa kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar

Negara Indonesia merdeka ialah keadilan masyarakat dan keadilan sosial.

Kemerdekaan menurut Soepomo keadilan sosial adalah sesuatu yang luhur seperti

yang dipahami oleh masyarakat.

Beranjak dari uraian diatas, keadilan adalah suatu konsep yang menyeluruh,

tetapi keadilan sosial adalah distribusi manfaat-manfaat yang diterima dan beban-

beban melalui suatu masyarakat sebagaimana merupakan hasil dari institusi-institusi

sosial utama sistem-sistem kepemilikan dan organisasi-organisasi publik. Keadilan

ini berhubungan dengan permasalahan –permasalahan seperti peraturan mengenai

5 Safroedin Bahar,1992 et al, Risalah Sidang, Badan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Sekretariat Negara, Jakarta, hal 67-68

6

upah dan keuntungan alokasi perumahan, peraturan kesehatan dan manfaat

kesejahteraan dan sebagainya.

Aristoteles menyatakan keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan

hubungan antar manusia. Kemudian Aristoteles membuat formulasi tentang apa

yang disebut keadilan, Ia membedakannya dalam dua jenis keadilan yaitu keadilan

kolektif dan keadilan distributif. Berbeda dengan keadilan distributif yang

membutuhkan distribusi atas penghargaan, sedangkan keadilan kolektif didasarkan

pada transaksi (sundallagamata) baik sukarela maupun tidak.

Salah satu pendukung keadilan sosial lainnya adalah Theory of justice dari

John Rawls yang berpendapat bahwa keadilan adalah sebuah lembaga kebajikan

soasial yang pertama sebagai kebenaran dari sebuah sistem pemikiran, percaya

bahwa eksistensi suatu masyarakat sangat bergantung kepada pengaturan formal

melalui hukum serta lembaga-lembaga pendukungnya. Bila pada awalnya

pembahasaanya mengenai keadilan terbatas pada dunia filosofi Anglo Amerika yang

disibukkan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai logika dan bahasa, John Rawls

kemudian menyegarkan kembali minat kepada pertanyaan-pertanyaan yang

substantif dari filsafat politik. Secara sederhana, persoalan pokok tentang arti

keadilan dikaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti apa yang menjadikan

masyarakat adil? dan bagaimana keadilan sosial dihubungkan dengan upaya

individu mencari kehidupan yang baik ?.

Rawls yang mengajarkan mengenai prinsip-prinsip keadilan, terutama

sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana di kemukakan Hume, Bentham

dan Mill. Gagasan instusi darimana Rawls mulai mengembangkan teorinya adalah

7

sederhana tetapi dalam, yaitu setiap orang memiliki rasa keadilan yang tidak

diganggu gugat, bahkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan tidak dapat

mengesampingkannya. Dengan kata lain, upaya pencarian kesejahteraan sosial tidak

seyogyanya merusak kehidupan individu dengan membatasi hak dasar dan yang

menjadi haknya. Rawls sangat prihatin dengan prospek kehidupan seseorang yang

seringkali di rusak oleh cara-cara yang bersifat tidak mempunyai nilai moral, seperti

mempersoalkan kelas, kesukuan dan jenis kelamin dapat meningkatnya manfaat

social, hal-hal tersebut melanggar perasaan terhadap rasa adil (fairness).

Rawls percaya bahwa intuisi tentang kebajikan sosial tidak dapat ditentukan.

Permasalahan akan makin timbul, jika difokuskan pada gagasan keadilan prasudural

(procedural justice), yang berusaha membangun suatu tata cara yang dalam struktur

meliputi moral yang ideal tentang keadilan, jika tugas dikerjakan dengan baik

dipastikan hasilnya akan adil apapun prosudurnya yang digunakan. Prosudur yang

digunakan oleh Rawls dalam mengembangkan teori keadilan adalah dengan

mengadilkan suatu posisi awal (original position) suatu situasi hipotesis dimana

orang-orang yang berkemampuan sama memutuskan untuk sepakat bekerjasama

sosial, tanpa mengetahui bagaimana kedudukan didalam masyarakat. Kedudukan

tersebut memberikan suatu modal yang berisi norma moral yang dalam sebagaimana

dikatakan Rawls:

Purity of heart, if one could affain, would be to see clearly and to actwith grace and selt-command from this point of view6

6 John Rawls,Op.cit, hal 210-225

8

Model yang dikembangkan oleh Rawls mengenai purity of heart mempunyai

dua bagian. Bagian pertama melukiskan orang dalam situasi hipotesis memilih

prinsip untuk hidup bersama. Dibayangkan sebagai individu yang rasional

mempunyai minat baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama memiliki kapasitas

yang sama dan mempunyai kebutuhan yang akan dapat di penuhi lebih efektif

dengan kerja sama. Bagian kedua dari models Ralws adalah ketidak pedulian yang

terselubung (veil of ignarance), yang memastikan bahwa para pihak tidak

mengetahui dimana kedudukan dalam masyarakat baru yaitu menurut kelas, suku

atau jenis kelamin. Selubung adalah bagian yang penting sekali dari konsepsi Rawls

mengenai moral seseorangyang mematuhi “kemurnian hati “dalam bentuk sikap yang

layak dan bermoral terhadap proyek orang lain. Menurut gagasan Rawls, keadilan

sosial dipertanyakan sehingga orang-orang yang benar (Real people) seharusnya

senantiasa berusaha untuk memilih tanpa prasangka kearah kepentingan sendiri.

Menurut Rawls perlu ada keseimbangan antara kepentingan pribadi dan

kepentingan bersama. Bagaimana harus memberikan ukuran dan keseimbangan yang

disebut keadilan. Keadilan merupakan nilai yang tidak dapat ditukar lagi, karena

keadilan menjamin stabilitas hidup manusia. Peraturan-peraturan diperlukan untuk

mencegah terjadinya benturan kepentingan. Hukum baru akan di taati apabila ia

mampu meletakkan prinsip-prinsip keadilan, lebih lanjut Rawls mengatakan bahwa

kebutuhan-kebutuhan pokok meliputi hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan,

kewibawaan, kesempatan, pendapatan dan kesejahteraan. 7

Konsepsi keadilan John Rawl membuka peluang yang sama bagi semua

warga negara untuk berpartisipasi dalam politik dan pemerintahan. Kebebasan hak

7 John Rawls,, Ibid hal 210-225

9

warganegara untuk tidak mematuhi atau menolak suatu peraturan atau hukum yang

menurut keyakinan suara hatinya bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat pada

umumnya. Dengan demikaian, konsepsi ini menjamin hak warganegara untuk

melakukan perubahan terhadat peraturan perundang-undangan atau hukum yang

tidak adil dalam suatu negara, akan tetapi tuntutan perubahan harus menurut undang-

undang.

Menurut praktek keadilan pidana di Indonesia, upaya hukum Peninjauan

Kembali telah mengalami pergeseran, seakan meninggalkan tujuannya yang hakiki,

itulah yang terjadi sekarang dalam praktek yaitu pengajuan Peninjauan Kembali oleh

Jaksa/Penuntut Umum terhadap putusan bebas dari Mahkamah Agung.

Praktek penerapan ketentuan terhadap upaya hukum Peninjauan Kembali

perlu dikaji secara mendalam dari sudut hukum pidana.

2.2. Sistem Peradilan Pidana dan Hukum Acara Pidana.

Upaya penegakan hukum dalam hukum pidana tidak dapat dipandang sebagai

tanggung jawab secara persial dari pihak tertentu. Hal itu karena ada keterkaitan

berbagai pihak dalam penanganannya sebagai suatu sistem peradilan pidana itu

sendiri.

Istilah sistem peradilan pidana dalam berbagai referensi digunakan sebagai

dasar pedoman dari criminal justice system. Dalam Block’s Raw Dictionary difinisi

criminal justice system disebutkan sebagai “The system typically has three

components : law enforcement (police, sheriffs, marshals), The judreal process

(judges, prosecutors, defense lawyers) and corrections (prison officials, probation

officers, parole officers).8 Pengertian tersebut lebih menekankan pada “komponen”

8 Bryan A Garner,1999, Black’s Law Dictionary,Seventh Edition, West Group, St.Paul Minn, hal 381

10

dalam sistem penegakan hukum yang terdiri dari Polisi, Jaksa/Penuntut Umum,

Hakim, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan. Disamping itu pengertian diatas

juga menekankan kepada fungsi komponen untuk “menegakkan hukum pidana” yaitu

fungsi penyelidikan, proses peradilan dan pelaksanaan pidananya.

Berbeda dengan pengertian Black’s Law Dictionary diatas, pengertian

sistem peradilan pidana seperti dikemukakan oleh Muladi, bahwa sistem peradilan

pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum

pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana sebagai materiil, hukum pidana

formil maupun hukum pelaksanaan pidana. 9 Pengertian yang dikemukakan Muladi

tersebut, disamping memberi penekanan pada suatu “jaringan” peradilan juga

menekankan adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan dalam melaksanakan

tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum acara pidana

maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut, sedangkan

dalam pengertian Black’s Law Dictionary terlihat lebih menekankan pada

kelembagaannya (komponen).

Pemahaman pengertian “sistem” dalam pendapat yang lain menurut Gordon

B.Davis sebagaimana dikutif Muladi dalam hal ini harus dilihat dalam konteks baik

sebagai physical system, dalam arti seperangkat elemen yang secara terpadu bekerja

untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system, dalam arti gagasan-

gagasan yang merupakan susunan yang teratur satu sama lain berada dalam

ketergantugan.10 Dari pemahaman tersebut, pengertian “sistem” dalam sistem

9 Muladi, Op cit, hal 4

10 Op.cit hal 15

11

peradilan pidana meliputi keterpaduan bekerjanya elemen-elemen pendukung

peradilan pidana maupun gagasan-gagasan yang tersistematis.

Difinisi yang lain seperti dikemukakan Remington dan Ohlin sebagaimana

dikutif oleh Romli Atmasasmita, bahwa Criminal Justice system dapat diartikan

sebagai pemakaian sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan

peradilan sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-

undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem

itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang disiapkan secara

rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala

keterbatasannya. 11 Pengertian tersebut memberi pemahaman bahwa sistem peradilan

pidana merupakan proses interaksi secara terpadu antara peraturan peraturan

perundang-undangan pidana, praktek administrasi yang dijalankan lembaga peradilan

pidana dan pelaksanaannya.

Dari pengertian diatas, oleh Hagan seperti dikutip Romli Atmasasmita,

membedakan pengertian antara Criminal justice system dan criminal justice process.

Menurut Hagan, Criminal justice process adalah setiap tahap dari suatu putusan yang

dihadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penentuan

pidana baginya. Sedangkan Criminal justice system adalah interkoneksi antara

keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. 12

Peradilan pidana sebagai “proses” menurut pengertian Hagan, didalamnya terdapat

pentahapan penanganan oleh komponen-komponen terkait yang masing - masing

memberikan suatu keputusan hingga ada penentuan status hukum bagi

11 Romli Atmasasmita, 1996, Sistim Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme,Bina Cipta, Bandung, hal 14

12 Ibid, hal 14

12

tersangka/terdakwa. Sedangkan peradilan pidana sebagai “sistem” didalamnya

terdapat keterkaitan hubungan keputusan yang dibuat setiap komponen terkait dalam

prosesnya kearah suatu tujuan.

Dari definisi-definisi tersebut diatas terlihat adanya beberapa penekanan,

yaitu :

Pertama, adanya sistem dari suatu proses yang merupakan proses

pelaksanaan tanggung jawab yang terdapat dalam suatu lembaga peradilan. Jadi

terdapat tahapan-tahapan yang bertujuan secara sistematis dalam melaksanakan

peradilan pidana.

Kedua, adanya fungsi komponen-komponen yang berperan menjalankan

proses tersebut. Komponen-komponen tersebut dengan mengambil batasan yang

diberikan Mardjono Reksodipoetro, bahwa yang dimaksud dengan sistem peradilan

pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. 13 Jadi komponen

dimaksud adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat,

maka Advokat sudah selayaknya menjadi bagian komponen didalamnya.

Apabila dilihat dari fungsi masing-masing komponen tersebut, yaitu

kopolisian yang berfungsi melakukan tugas penyidikan, kejaksaan bertugas

melakukan fungsi penuntutan, pengadilan yang berfungsi melakukan tugas

mengadili, advokat berfungsi melakukan tugas mendampingi dan memberikan jasa

bantuan hukum terhadap tersangka terdakwa/terpidana, serta fungsi lembaga

13 Mardjono Reksodipoetro,1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan danPenegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), PidatoPengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar TetapDalam Ilmu Hukum pada Universitas Indonesia, Jakarta (Selanjutnya disebut Murdjono Reksodipoetro I), hal 1

13

pemasyarakatan yang bertugas menjalankan putusan penghukuman dan

pemasyarakatan narapidana, urutan tersebut menunjukkan rangkaian proses yang

harus dilalui dari suatu sistem yang bekerja untuk suatu tujuan tertentu.

Ketiga, adanya penekanan bagaimana tiap-tiap komponen menjalankan

tugasnya. Meskipun setiap komponen peradilan pidana dalam menjalankan tugasnya

sebagai institusi yang berdiri sendiri dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda,

namun dalam menjalankan fungsinya tersebut semua komponen harus bekerja secara

terpadu. Keterpaduan tersebut diharapkan untuk menjalin kerja antar komponen

secara terkait, sehingga terlaksana seluruh tahap dalam proses peradilan pidana yang

sinergis guna mencapai tujuan yang tertentu.

Keempat, adanya tujuan dari proses bekerjanya komponen-komponen dalam

sistem tersebut. Tujuan disini dipandang sebagai tujuan secara keseluruhan atas hasil

kerjanya seluruh komponen. Oleh karenanya pemahaman tiap-tiap komponen dari

seluruh tahapan mengenai tujuan tersebut menjadi penting dan menjadi peran yang

sangat besar dalam mewujudkan tujuan atas proses yaitu dalam rangka

penanggulangan kejahatan.

Terkait dengan pemahaman atas tujuan dari sistem peradilan pidana, olehAlan Coffey sebagaimana dikutip Mardjono Reksodipoetro, dikemukakan bahwa :peradilan pidana hanya dapat berfungsi secara sistematis apabila setiap sistemtersebut mengingat akan tujuan yang hendak dicapai oleh keseluruhan bagianlainnya. Dengan kata lain, sistem tersebut tidak akan sistematis jika hubungan antaraPolisi dan Penuntut Hukum, Polisi dengan Pengadilan, Penuntut Hukum denganLembaga Kemasyarakatan, Lembaga kemasyarakatan dan hukum, dan seterusnya,tidak harmonis. Diabaikannya hubungan fungsional diantara bagian-bagian tersebutmenyebabkan sistem peradilan pidana rentan terhadap perpecahan (Fragmentasi) dantidak efektif. 14

14 Mardjono Reksodipoetro, 1983, Bahan Bacaan Wajib Mata Kuliah Sistem Peradilan Pidana, RisetDokumentasi Hukum UI, Jakarta (selanjutnya disebut Mardjono Reksodipoetro III, hal 82

14

Pemahaman diatas menegaskan bahwa proses bekerjanya peradilan pidana

baru dapat terbentuk sebagai suatu proses yang sistematis apabila ada pemahaman

yang sama diantara komponen-komponen peradilan pidana tentang tujuan sistem

peradilan pidana. Apabila tidak terciptanya pemahaman yang sama diantara

komponen peradilan pidana berpotensi akan terfragmentasi dan berjalan sendiri-

sendiri sehingga akan menyebabkan penegakan hukum dengan menggunakan sistem

ini tidak akan berhasil dengan baik. Oleh Mardjono Reksodipoetro, tujuan sistem

peradilan dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana.3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatannya. 15

Atas tujuan tersebut Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa empat

komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan

lembaga kemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk

suatu integrited criminal justice system. 16 Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem

tidak dilakukan oleh Mardjono Reksodipoetro diperkarakan akan terdapat tiga

kerugian, yaitu :

1. Kesukaran menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan 2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-

masing instansi (sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana)3. Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi,

maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas menyeluruh darisistem peradilan pidana.17

15 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15

16 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15

17 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15

15

Dirangkaikannya istilah “integrated” terhadap Criminal justice system,

menurut Muladi dipandang sebagai suatu keputusan yang berlebihan (overbodig),

sebab tidak ada sistem yang tidak terintegrasi atau terpadu. .18 Hal itu apabila ditarik

dari pengertian system menurut Muladi, karena dalam istilah system seharusnya

sudah terkandung keterpaduan (integration and coordination) 19 Keterpaduan tersebut

didasarkan atas indikator-indikator sebagai berikut:

1. Berorientasi pada tujuan (purposive behaviour)

2. Menyeluruh dari pada sekedar penjumlahan bagian-bagiannya (wholism)

3. Sistem selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar (openness)

4. Operasionalisasi bagian-bagiannya menciptakan sistem nilai tertentu

(transpormation)

5. Antar bagian sistem harus cocok satu sama lain (interrelatedness)

6. Adanya mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu

(control mechanism). 20

Meskipun demikian Muladi setuju apabila penyebutan istilah tersebut

diarahkan untuk lebih memberi tekanan agar integrasi dan koordinasi lebih

diperhatikan, sebab fragmentasi dalam sistem peradilan pidana nampaknya

merupakan disturbing issue. 21 Kiranya pelaksanaan sistem peradilan pidana yang

tidak dilakukan secara terintegrasi dan koordinasi dengan baik, menurut pandangan

para ahli hukum dimungkinkan tercipta fragmentasi yang dapat menghambat

tercapainya tujuan sistem tersebut dalam penegakan hukum. Adanya wewenang

diskresi yang dapat memicu timbulnya fragmentasi dalam sistem peradilan pidana

tersebut. Jika tidak ada rasa saling pengertian dan kerjasama diantara sub sistem-

18 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15

19 Muladi, Op.cit, hal 1

20 Muladi, Op.cit, hal 119

21 Muladi, Op.cit, hal 1

16

sistem peradilan pidana, dapat menimbulkan berbagai kecurigaan yang tidak perlu,

dan juga dapat berdampak negatif terhadap pencapaian tujuan sistem peradilan

pidana.

Keserempakan dan keselarasan sebagai kandungan makna-makna dari

sinkronisasi sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem, menurut Muladi dapat

bersifat :

Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu keserempakan dankeselarasan dalam administrasi peradilan pidana (the administration ofjustice) dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum dapat pulasinkronisasi substansial (substansial syncronization), yaitu keserempakandan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dalamhukum positif, dan dapat pula bersifat sinkronisasi kultural (culturalsincronization), yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayatipandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruhmendasari jalannya sistem peradilan pidana. 22

Pendapat yang lain sehubungan dengan tujuan sistem peradilan pidana

sebagaimana dikemukakan oleh Herbert L Packer, bahwa : a pragmatic approach to

the central question of what the criminal law is good for would require both a

general assessment of whether the criminal proses is a highspeed or a lows peed

instrument of social control and a series of specific aesessment of its fitnes for

handling particular kinds of anti social behaviour. 23 Menurut packer, bahwa suatu

pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuan baik dari adanya

hukum pidana memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu

proses pidana merupakan suatu kendali sosial yang memiliki kecepatan tinggi atau

rendah dari penyelidikan lanjutan dan bersifat khusus mengenai kemampuannya

untuk mengantisipasi perilaku anti sosial.

22 Romli Atmasasmita, Op.cit, hal 15

23 Herbert L Packer, 1986, The Limits of The Criminal Sanction, Stanford University Press, Stanford,California, hal 152

17

Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut diatas menurut Packer

adalah dengan mengabstraksi kenyataan dan membangun sebuah model. One way to

do this kind of job is to abstract from reality, to build a model. 24 Model yang hendak

dibangun adalah :

1. It has considerable utility as an index of current value choices........about how

the system actually operates (yang memiliki kegunaan sebagai indeks dari

suatu pilihan nilai masa kini tentang bagaiman suatu sitem

diimplementasikan)

2. The kind of model that might emerge from an attempt to cut loose from the

law on the books and to describe, as accurately as possible, what actually

goes on in the real life (sebuah model yang terbentuk dari usaha untuk

membedakan secara tajam hukum dalam buku teks dan menuangkan seakurat

mungkin apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-sehari).

3. The kind of model we need is one that permits us to recognize explicifly the

value choice that underlie the details of criminal process (sebuah model yang

dapat dipergunakan untuk mengenali secara eksplisit pilihan nilai yang

melandasi rincian suatu proses pidana). 25

Bentuk model yang cocok untuk mencapai hal diatas menurut Packer adalah

model-model normatif, dan dari beberapa model normatif yang ada, tidak akan lebih

dari dua model saja yang cocok, yaitu the due process model dan the crime control

model, 26 Terhadap model-model yang dibangun Packer tersebut, Muladi berpendapat

terdapat kelemahan atas model-model itu, yaitu :

1. Crime control model, sebagaimana di gambarkan oleh John Griffiths sebagai

model yang bertumpu pada the proposition that the repression of criminal

conduct is by for the most important function to be performed by the criminal

24 Ibid, hal 152

25 Ibid, hal 152-153

26 Ibid

18

process. 27 Model ini berpandangan tindakan yang bersifat represif sebagai

terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana. Menurut Muladi,

model ini merupakan bentuk asli dari adversarymodel dengan ciri-ciri

penjahat dilihat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi atau

diasingkan, efisiensi, ketertiban umum berada diatas segalanya, tujuan

pemidanaan adalah pengasingan. 28

2. Due process model, menurut Muladi tidak sepenuhnya meguntungkan, sebab

meskipun model ini diliputi oleh the concept of the individual and the

complementary concept of limitation on official power dan bersifat anti

outhoritarian values, namun tetap berada dalam kerangka adversary model.29

Konsep due process model menempatkan individu pada kedudukan yang

istimewa dan pembatasan kekuasaan aparat dan bersifat anti nilai-nilai

kepatuhan yang mutlak. Dalam pandangan Muladi, hal tersebut jelas tidak

sesuai dengan falsafah Pancasila, yang melihat pelaku tindak pidana baik

sebagai mahluk individual maupun sebagai mahluk sosial. 30

3. Family model, dari Griffiths dinilai juga kurang memadai, karena masih

terlalu offender oriented, padahal disisi lain masih terdapat korban (the victim

of crime) yang memerlukan perhatian serius. 31

Atas penilaian tersebut menurut Muladi, dengan mendasarkan diripada

konsep equal justice, model yang sesuai dengan sistem peradilan pidana Indonesia

27 Muladi, Op.cit, hal 5

28 Muladi, Op.cit, hal 5

29 Muladi, Op.cit, hal 5

30 Muladi, Op.cit, hal 5

31 Muladi, Op.cit, hal 5

19

adalah model yang realistik yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus

dilindungi oleh hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum,

kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban

kejahatan. 32 Model tersebut oleh Muladi disebut sebagai model keseimbangan, yaitu

model yang bertumpu pada konsep daad dader strafrecht tersebut terlihat belum

terakomodir dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, yaitu Undang-undang

Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP), yang bertumpu pada konsep dader strafrecht yang

lebih memberi penekanan pelaku tindak pidana.

Keberpihakan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana pada pelaku tindak pidana, terlihat dari sepuluh asas

yang terkandung didalamnya, yaitu :

1. Perlakuan yang sama dimuka hukum tanpa diskriminasi apapun

2. Praduga tak bersalah

3. Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti rugi) dan rehabilitasi

4. Hak untuk memperoleh bantuan hukum

5. Hak kehadiran terdakwa dimuka pengadilan

6. Peradilan yang bebas dilakukan dengan cepat dan sederhana

7. Peradilan yang terbuka untuk umum

8. Pelanggaran atas hak-hak warga negara (penangkapan, penahanan,

penggeledahan, dan penyitaan) harus didasarkan pada undang-undang

dan dilakukan dengan surat perintah (tertulis)

9. Hak seseorang tersangka untuk diberitahukan tentang persangkaan dan

pendakwaan terhadapnya

32 Muladi, Op.cit, hal 5

20

10. Kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan putusan. 33

Penegakan hukum pidana dalam kerangka sistem peradilan pidana di

Indonesia yang sampai saat ini masih berlandaskan pada Undang-undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana, memang dirasakan belum mewakili

berbagai kepentingan sebagai salah satu contoh mengenai kepentingan korban dalam

proses peradilan pidana yang diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum, juga masih ada

perbedaan menjolok dengan kepentingan pelaku tindak pidana. Oleh karenanya

tujuan yang hendak dicapai dalam sistem peradilan pidana sebagaimana

dikemukakan Mardjono Reksodipoetro yaitu antara lain menyelesaikan kasus

kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan,

agaknya tidak akan terlaksana secara baik.

Dalam literatur pengertian Sistem Peradilan Pidana merujuk pada konsep

hukum yang bukan sekedar ketentuan normatifnya saja. Termasuk didalamnya dasar

teori, filosofi dan konsepnya. Sementara pengertian hukum acara pidana merujuk

pada hanya ketentuan normatifnya saja. Konkritnya hukum acara pidana adalah

pasal-pasal ketentuan prosedural yang dirumuskan dalam undang – undang yang

mengatur tentang acara peradilan pidana, oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa

sistem peradilan pidana adalah hukum acara pidana dalam arti yang luas, sementara

hukum acara pidana saja adalah sistem peradilan dalam arti sempit. 34

Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,

karena merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana

33 Mardjono Reksodipoetro III, Op.cit, hal 11-12

34 Luhut NP Pangaribuan, 2013, Hukum Acara Pidana, Surat Resmi Advokat di Pengadilan, PenerbitPapas Sinar Sinanti, Jakarta, hal 13

21

badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan

harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana. 35

Hukum acara pidana itu sangat penting gunanya dalam mewujudkan hukum

pidana. Dengan demikian hukum pidana baru bisa dilaksanakan dengan adanya

pengaturan hak – hak dan kewajiban, yaitu kewajiban para penegak hukum serta

hak – hak dan kewajiban tersangka atau terdakwa. Apabila hukum acara pidana

berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan hukum pidana sudah barang tentu

didalam mewujudkan fungsi tersebut diperlukan perangkat pelaksana penegak

hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan advokat. Para penegak hukum itu didalam

melaksanakan tugasnya tidak boleh menyimpang dari asas – asas hukum acara

pidana. 36

Fungsi hukum acara pidana sebagai kumpulan ketentuan – ketentuan dengan

tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila

terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil, berarti

memberikan kepada hukum acara ini suatu hubungan yang mengabdi terhadap

hukum materiil. 37 Dengan terdapatnya kata – kata “ yang mengabdi pada hukum

materiil” bahwa jelas hukum acara pidana itu sangat erat hubunganya dengan hukum

pidana sebagaimana dikatakan oleh R. Wirjono Prodjodikoro.

Sedangkan menurut R. Soesilo menyatakan bahwa pengertian hukum acara

pidana atau hukum pidana formal adalah kumpulan peraturan – peraturan hukum

yang memuat ketentuan – ketentuan mengatur soal – soal sebagai berikut :

35 R.Wirjono Prodjodikoro, 1970, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Penerbit Sumur Bambung, hal 13

36 C.Djisman Samosir,2013, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, Penerbit Nuansa Aula, Bandung,Mei 2013, hal 8-9

37 SM.Amin, 1976, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Penerbit Pradnya Paramita, hal 15

22

a. Cara bagaimana harus diambil tindakan – tindakan kalau adasangkaan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimanamencari kebenaran – kebenaran tentang tindak pidana apa yang telahdilakukan.

b. Setelah ternyata bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan siapadan cara bagaimana harus mencari, menyelidiki dan menyidik orang –orang yang disangka bersalah terhadap tindak pidana itu, caramenangkap, menahan, dan memeriksa orang itu.

c. Cara bagaimana mengumpulkan barang – barang bukti, memeriksa,menggeledah badan dan tempat – tempat lain serta menyita barang –barang bukti itu untuk membuktikan kesalahan tersangka.

d. Cara bagaimana pemeriksaan dalam sidang pengadilan terhadapterdakwa oleh hakim sampai dapat dijatuhkan pidana.

e. Oleh siapa dan cara bagaimana putusan penjatuhan pidana itu harusdilaksanakan sebaiknya atau dengan singkat dapat dikatakan bahwahukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang carabagaimana mempertahankan atau menyelengggarakan hukum pidanamateriil, sehingga memperoleh putusan hakim dan cara bagaimana isiputusan itu harus dilaksanakan. 38

Adapun van Bemmelen mengemukan pengertian dengan menggunakan

istilah ilmu hukum acara pidana, yaitu mempelajari peraturan – peraturan yang

diciptakan oleh negara karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang – undang

pidana :

a. Negara melalui alat – alatnya menyidik kebenaran.

b. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.

c. Mengambil tindakan – tindakan yang perlu atau menangkap si pelakudan kalau perlu menahannya.

d. Mengumpulkan bahan – bahan bukti ( bewijs material ) yang telahdiperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakimdan membawa terdakwa kedepan hakim tersebut.

e. Hakim memberi putusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yangdituduhkan kepada terdakwa dan unntuk itu menjatuhkan pidana atastindakan tak tertib.

f. Aparat hukum tidak melawan putusan tersebut.

38 R. Soesilo, 1982, Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAPBagi Penegak Hukum, Bogor, Politika, hal 3

23

g. Akhirnya melaksanakan putusan tentang pidana dan tindakan taktertib. 39

Sedangkan L.J Apeldoorn mengatakan bahwa hukum acara pidana adalah

cara bagaimana pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana

materiil. 40

Kemudian Yan Pramadya Puspa memberikan batasan atau pengertian hukum

acara pidana adalah ketentuan – ketentuan hukum yang mengatur dengan cara

bagaimana tertib hukum pidana harus ditegakkan atau dilaksanakan dengan baik,

seandainya terjadi pelanggaran dan dengan cara bagaimanakah negara menyesuaikan

hak pidana atau hak menghukumnya kepada si pelanggar hukum (terdakwa)

seandainya terjadi pelangggaran hukum pidana. Pihak negara diwakili oleh Penuntut

Umum atau Jaksa, dimana Jaksa harus menuntut (mengajukan) tuntutan perkara itu

dimuka pengadilan. 41

Sementara itu Soesilo Yuwono menyebutkan bahwa hukum acara pidana

adalah ketentuan – ketentuan hukum yang memuat tentang :

a. Hak dan kewajiban dari mereka yang tersangkut dalam proses pidana.

b. Tata cara dari suatu proses pidana.

c. Tindakan apa yang dapat dan wajib dilakukan untuk mengenakanpelaku tindak pidana.

d. Bagaimana tatacaranya menghadapkan orang yang didakwamelakukan tindak pidana kedepan pengadilan.

e. Bagaimana tatacaranya melakukan pemeriksaan didepan pengadilanterhadap orang yang didakwa melakukan tindak pidana, serta

f. Bagaimana tatacaranya untuk melaksanakan putusan pengadilan yangsudah berkekuatan hukum tetap. 42

39 Andi Hamzah, 1983,Pengantar Hukum acara pidana Indonesia, Graha Indonesia, Jakarta, hal 17

40 L.J Van Apeldoorn, 2001, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal 335

41 Yan Pradnya Puspa, 1977, Kamus Hukum (Edisi Lengkap), Aneka, Semarang, hal 441-442

24

Dalam perkembangannya pendapat R. Wirjono Prodjodikoro sebagaimana

dikemukakan didepan, ternyata banyak dikritik dan bahkan terjadi kecenderungan

sudah ditinggalkannya, karena kenyataannya dalam perkembangannya sekarang

bahwa hukum acara pidana tidak hanya terbatas untuk melaksanakan hukum pidana

saja dan tidak pula semata – mata dari sudut pandang negara. Adnan Buyung

Nasution misalnya melihat perumusan hukum acara pidana diadakan terbatas hanya

melaksanakan ketentuan hukum pidana saja sangatlah sempit dan tidak aktual sesuai

perkembangan zaman. Pandangan yang sempit demikian menurutnya akan membawa

konsekuensi bahwa suatu hukum acara pidana hanya akan berorientasi pada

punishment semata seolah – olah apabila semakin banyak orang yang dimasukkan ke

penjara maka sistem peradilan pidana itu semakin berhasil. Padahal fungsi hukum

acara pidana seharusnya lebih daripada itu. Hukum acara pidana diadakan untuk

menegakkan keadilan melalui penerapan hukum pidana memberantas kejahatan dan

mencegah kejahatan sekaligus. Dengan demikian maka hukum acara pidana akan

berorientasi pada kesisteman, suatu sistem untuk menegakkan keadilan memberantas

kejahatan dan mencegah kejahatan. 43 Oleh karena itu dalam undang – undang tentang

kekuasaan kehakiman menentukan bahwa setiap putusan pengadilan pidana selalu

harus dimulai dengan irah – irah “ Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa “

Dalam perkembangan sistem peradilan pidana yang mutakhir diperkenalkan

konsep in-rem yaitu suatu konsep yang memisahkan “ hasil kejahatan “ dan

42 Soesilo Yuwono,1982, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP (Sistem dan Prosudur),Alumni, Bandung, hal 5

43 Luhut MP Pangaribuan, Op cit hal 14

25

pelakunya dimana “ hasil kejahatan “ itu dapat diproses secara berdiri sendiri

sekalipun pelakunya belum dinyatakan bersalah. Konsep in-rem ini disebut juga

dengan civil assets for feiture sebagai konsep tambahan, konsep justice collaborator

dan perlindungan terhadap saksi yang bekerjasama ( whistle blower ) juga sudah

diberlakukan.

Pembuktian terbalik yang tidak dikenal dalam tindak pidana umum juga telah

dianut dalam tindak pidana pencucian uang. Dalam tindak pidana korupsi disebut

sebagai beban pembuktian terbalik terbatas, artinya terdakwa berhak untuk

membuktikan bahwa ia tidak bersalah tetapi kewajiban Jaksa/Penuntut Umum

membuktikan surat dakwaannya tetap ada. Semua hal ini diadakan untuk mencapai

tujuan sistem peradilan pidana yang menegakkan keadilan melalui penerapan hukum

pidana, memberantas kejahatan dan mencegah kejahatan sekaligus.

2.3 Sejarah Hukum Perkembangan Upaya Hukum Peninjauan Kembali

Sebagai Upaya Hukum Luar Biasa Di Indonesia

Pada zaman Hindia Belanda Lembaga Peninjauan Kembali ( herzeining )

terdapat dalam Reglement Op de Strafvordering ( RSv ) Staatblad Nomor 40 jo 57

pada 1847 Khususnya dalam titel 18, Pasal 365 sampai dengan Pasal 360

Reglement Op de Strafvordering adalah merupakan hukum acara pidana yang

diberlakukan pada Raad Van Justitie dimasa Hindia Belanda yaitu peradilan yang

berlaku bagi golongan Eropa. Dimana lembaga herzeining yang terdapat dalam RSv

(Reglement Op De Strafvordering ) tersebut tidak berlaku pada Landraad, peradilan

untuk golongan Bumi Putra.

26

Pasal 356 Reglement Op de Strafvordering ( RSv ) herziening dapat diajukan

terhadap putusan pemidanaan ( Veroordeling ) yang sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap ( in kracht van gewijsde ) dengan alasan :

1. Atas dasar kenyataan bahwa dalam berbagai

putusan terdapat pernyataan yang telah dinyatakan terbukti, ternyata

bertentangan satu dengan yang lainya.

2. Atas dasar pada waktu pemeriksaan di pengadilan,

tidak diketahui dan tidak mungkin diketahui baik berdiri sendiri

maupun sehubungan dengan bukti-bukti yang telah diajukan. Apabila

keadaan itu diketahui maka hasil pemeriksaan akan berupa putusan

bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan

Penuntut Umum tidak dapat diterima, atau terhatap perkara itu akan

ditetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan. Alasan-alasan tersebut

dapat diajukan dalam suatu permohonan Peninjauan Kembali, bila

dalam suatu putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap

suatu perbuatan yang didakwa telah dinyatakan terbukti, tetapi tidak

ada suatu pemidanaan.44

Pasal 357 RSv menyebutkan, upaya hukum Peninjauan Kembali dapat

diajukan dengan suatu permohonan ke Mahkamah Agung oleh Jaksa Agung

( door den procureur general ) atau seorang terpidana yang dijatuhi hukuman pidana

dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dengan melaui kuasa

44 H. Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Pidana. Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Jakarta, Hal 289.

27

khusus untuk keperluan tersebut45. Ternyata bahwa meskipun dalam RSv

permohonan herziening boleh diajukan oleh Jaksa Agung, namun hanyalah terhadap

putusan menghukum terdakwa yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi

walaupun RSv memberi kemungkinan kepada negara mengajukan herziening ,

namun tetap ditujukan untuk kepentingan terpidana, bukan untuk kepentingan pihak

lain, misalnya : negara atau korban atau yang lainnya. Hal ini membuktikan bahwa

latar belakang dan jiwa dibentuknya lembaga Peninjauan Kembali didalam RSv ialah

se-mata-mata untuk kepentingan terpidana dan bahwa lembaga kejaksaan bukan

lembaga yang semata-mata mengejar orang untuk dimasukkan kepenjara, melainkan

mempunyai fungsi yang sama dengan lembaga penegak hukum lainnya, antara lain

Pengadilan, Advocat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Bilamana keadilan

terpidana telah dirampas oleh putusan hakim yang salah atau sesat, maka lembaga

kejaksaan ikut bertanggung jawab untuk memulihkan hak-hak dan keadilan terpidana

yang telah dirampas tersebut. Demikianlah jiwa atau rasio dari ketentuan bahwa

Jaksa Agung diberi hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan

pemidanaan.46

Jiwa Lembaga Peninjauan Kembali yang diatur dalam RSv tersebut ternyata

kemudian ditransfer atau dipindahkan kedalam Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) Nomor 1 tahun 1980 maupun Peraturan Mahkamah Agung sebelumnya

yaitu PERMA Nomor 1 tahun 1969.47 Setelah kemerdekaan ketentuan Peninjauan

Kembali baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana “Pertama Kali”45 M Yahya Harahap, Op.cit, hal 613-614

46 H.Adam Chazawi, 2010, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan HukumDalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat, Sinar Grafika, Jakarta, , Halaman 14-15.(selanjutnya disebutH.Adam Chazawi II)

47 Anonim, Kumpulan Surat Edaran Mahkamah Agung Dalam Kurun Waktu 40 Tahun

28

terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969. Adapun dasar

pertimbangan dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung, sebagaimana terdapat dalam

ketentuan : Menimbang dari Peraturan Mahkamah Agung tersebut yaitu :

1. Lembaga Peninjauan Kembali menjadi kebutuhan hukum yang mendesak

terbukti banyaknya permohonan Peninjauan Kembali itu diajukan ke

Pengadilan Negeri atau langsung ke Mahkamah Agung.

2. Untuk mengisi kekosongan hukum dan bersifat sementara sebelum

adanya undang-undang yang mengatur tentang Peninjauan Kembali

tersebut.

3. Dikeluarkannya peraturan tersebut, dengan maksud menambah hukum

acara Mahkamah Agung dengan hukum acara pidana Peninjauan Kembali

yang telah terdapat dalam undang-undang Nomor : 13 Tahun 1965

tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah

Agung dimana dalam Pasal 31 nya menyatakan : terhadap putusan

Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat

dimintakan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung sesuai dengan

ketentuan yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 15 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan

pokok kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa terhadap putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dapat dimohonkan Peninjauan

Kembali, hanya apabila terdapat hal-hal atau keadaan yang ditentukan dengan

undang-undang.48

Dari ketentuan-ketentuan tersebut Mahkamah Agung nampaknya belum

memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus permintaan Peninjauan

Kembali, berhubung tidak terdapat hukum acaranya, sebagai aturan pelaksanaannya.

48 Undang-Undang Nomor19 tahun 1964 tentang ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan kehakiman

29

Kemudian setelah Reglement Of The Straf Vordering terbitlah Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 tahun 1969 sebagai upaya untuk melengkapi hukum acara

Mahkamah Agung.

Dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 ketentuan khusus

mengenai Peninjauan Kembali perkara pidana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4,

sedangkan Pasal 5 dan Pasal 6 memuat ketentuan mengenai putusan Peninjauan

Kembali dijatuhkan, baik PK perdata maupun PK pidana.49 Dimana dalam Pasal 3

nya dirumuskan sebagai berikut :

1. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim

atau suatu kekeliruan yang mencolok.

2. Apabila dalam putusan itu terdapat keterangan-keterangan yang dianggap

terbukti, akan tetapi ternyata satu sama lain bertentangan.

3. Apabila terdapat keadaan-keadaan baru sehingga menimbulkan

pertimbangan mendalam bahwa apabila keadaan keadaan itu diketahui

pada waktu sidang yang masih berlangsung, putusan yang akan

dijatuhkan akan mengandung pembebasan terpidana, melepaskan dari

segala tuntutan atas dasar bahwa perbutan yang dituduhkan itu tidak

merupakan tindak pidana, tidak dapat diterimanya perkara yang diajukan

oleh jaksa kepada pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana

lain yang lebih ringan.

4. Apabila dalam putusan itu suatu perbuatan yang dituduhkan telah

dinyatakan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa

pernyataan terbukti itu diikuti oleh suatu pemidanaan.

Sedangkan ketentuan Pasal 4 nya dirumuskan sebagai berikut :

49 Anonim, Kumpulan Surat Edaran, Op.cit, hal 796-800

30

1. Permohonan Peninjauan Kembali suatui putusan pidana yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh terpidana

atau pihak yang berkepentingan atau Jaksa Agung.

2. Permohonan Peninjauan Kembali suatu putusan pidana tidak dibatasi

dengan suatu jangkla waktu.

3. Permohonan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-

jelasnya alasan yang diajukan dasar permohonan itu dan dimasukkan di

kepaniteraan pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya.

4. Apabila pemohon tidak dapat menulis maka ia diperbolehkan

menguraikan permohonannya secara liasan di hadapan ketua pengadilan

tersebut, yang akan membuat catatan tentang permohonan itu.

5. Ketua pengadilan itu selekas-lekasnya mengirimkan surat permohonan

atau catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas perkaranya

kepada Ketua Mahkamah Agung disertai pertimbangannya.

6. Mahkamah Agung akan memberi putusan setelah mendengar pendapat

Jaksa Agung.50

Dari ketentuan tersebut ternyata, Jaksa Agung boleh mengajukan

permintaan Peninjauan Kembali karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

1969 meniru pada Reglement of The Strafvordering tersebut. Namun pengajuan

Peninjauan Kembali oleh Jaksa Agung bukan perkecualian dari asas Peninjauan

Kembali yang ditujukan bagi kepentingan terpidana. Artinya meskipun Jaksa Agung

diperbolehkan mengajukan Peninjauan Kembali , namun tetap dalam koridor untuk

kepentingan terpidana pirnsip Peninjauan Kembali hanya boleh diajukan terhadap

putusan pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap sebagai perwujudan dari prinsip

50 Anonim, Surat Edaran, Op.cit, hal 796-800

31

pokok Peninjauan Kembali hanya untuk menegakkan kepentingan terpidana tetap

dipertahankan oleh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969.

Ternyata Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969 tidak berumur

panjang, karena pada tanggal 30 Nopember 1971 telah dicabut dengan Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1971. Alasan dicabutnya Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 tahun 1969 karena nampaknya timbul reaksi dari parlemen

( Dewan Perwakilan Rakyat) pada waktu itu terhadap Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 tahun 1969, yang dikembalikan kepada pertanyaan apakah Mahkamah

Agung itu berwenang untuk mengeluarkan peraturan dan apakah soal Peninjauan

Kembali tidak semestinya menjadi objek dari perundang-undangan. Waktu itu pula

diadakan suatu pendekatan dengan Mahkamah Agung yang akhirnya Uitmonden

(dituangkan ) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1971, tanggal 30

Nopember 1971 tersebut, yang diktumnya sebagai berikut :

1. Mencabut kembali Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1969

(beserta surat edaran Nomor 18 tanggal 23 Oktober 1969 )

2. Mengenai permohonan-permohonan Peninjauan Kembali yang

dialamatkan kepada Mahkamah Agung berdasarkan Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 tahun 1969 Jo berdasarkan Surat Edaran Nomor 18 tahun

1969 telah ditahan di kepaniteraan Pengadilan Negeri, supaya pemohon-

pemohonnya dipanggil dan diberitahukan. Sekedar mengenai putusan

pengadilan perdata bahwa mereka dapat mengajukan gugatan request

civil menurut cara gugatan biasa dengan berpedoman pada peraturan

Burgerlijk Rechtvordering sedangkan yang mengetahui putusan

pengadilan pidana tidak dapat dilayani karena belum ada undang-

undangnya.51

51 H. Oemar Seno Adji,1981, Herziening, Ganti Rugi, Suap Perkembangan Delik, Erlangga, Jakarta, 1981, Hal 28-29

32

Sejak dicabut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969, oleh

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1971, terjadi kekosongan hukum

mengenai lembaga Peninjauan Kembali perkara pidana sampai keluarnya Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 pada tanggal 1 Desember 1980. Dimana

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 ini jauh lebih lengkap dari pada

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969.

Putusan Mahkamah Agung mengenai permohonan “Herziening”

(Peninjauan Kembali ) terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang

tetap, berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 Undang-

undang Pokok Kekuasaan Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970 belum diikuti oleh

tuntutan ganti rugi, yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan sesudah

dijatuhkan putusan mengenai permohonan “Herziening” (Peninjauan Kembali )

tersebut yang di dimana dalam hukum acara negara lain itu sudah ada peraturannya.52

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, syarat materiil

mengajukan Peninjauan Kembali dicantumkan dalam Pasal 9, sementara syarat

formilnya dicantumkan dalam Pasal 10.

Ketentuan Pasal 9 Peraturan Mahkamah Agung tersebut mengatur hal-hal

sebagai berikut :

1. Mahkamah Agung dapat meninjau kembali suatu putusan pidana

yang mengandung pemidanaan yang telah memperoleh kekuatan

hukum yang tetap, atas dasar alasan :

52 Oemar Sono Adji, Ibid, hal 52

33

a. Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat keadaan-

keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi ternyata satu sama

lain bertentangan.

b. Apabila terdapat suatu keadaan sehingga menimbulkan

persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu diketahui pada

waktu sidang masih berlangsung, putusan yang akan dijatuhkan

akan mengandung :

pembebasan terpidana dari tuduhan,

pelepasan dari tuntutan hukum atas dasar bahwa perbuatanyang dituduhkan itu tidak dapat dipidana,

pernyataan tidak diterimanya tuntutan jaksa untukmenyerahkan perkara ke persidangan pengadilan atau

penerapan ketentuan-ketentuan lain yang lebih ringan.

2. Atas dasar alasan yang sama Mahkamah Agung dapat meninjau

kembali suatu putusan pidana yang menyatakan suatu perbuatan yang

dituduhkan sebagai terbukti, akan tetapi tanpa ketentuan bahwa

terbukti itu diikuti oleh suatu ketentuan pemidanaan.

Dalam ketentuan Pasal 10 dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

1980 dirumuskan sebagai berikut :

1. Permohonan Peninjauan Kembali suatu putusan pidana yang telah

memperoleh kekuatan hukum yang tetap harus diajukan oleh Jaksa

Agung, oleh terpidana atau pihak yang berkepentingan.

2. Permohonan diajukan secara tertulis, dengan menyebutkan sejelas-

jelasnya alasan yang diajukan sebagai dasar permohonan itu dan

dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri yang bersangkutan

atau diajukan langsung ke Mahkamah Agung.

34

3. Apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia mengajukan

permohonannya secara lisan dihadapan Ketua Pengadilan tersebut

atau seorang hakim yang ditunjuk olehnya yang akan membuat

catatan tentang permohonan itu.

4. Pengadilan itu selekas-lekasnya mengirimkan surat permohonan atau

catatan tentang permohonan lisan itu beserta berkas-berkas

perkaranya kepada Ketua Mahkamah Agung.

Kalau diperhatikan ternyata syarat formil untuk mengajukan Peninjauan

Kembali dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dengan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 adalah sama. Namun syarat

materiil menurut Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 menyebutkan 3

(tiga) alasan yaitu :

1. Terdapatnya keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, namun saling

bertentangan.

2. Terdapat keadaan baru

3. Putusan yang menyatakan suatu perbuatan yang dituduhkan terbukti,

namun tidak diikuti suatu pemidanaan.

Alasan karena adanya putusan yang memperlihatkan suatu kekhilafan hakim,

tidak terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980. Dimana

syarat materiil dalam mengajukan Peninjauan Kembali dalam Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 1980 ini adalah mengambil oper dari Reglement op de

Strafvordering.

Adapun pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali , baik

dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 maupun dalam Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 adalah sama yaitu :

35

- Terpidana

- Pihak yang berkepentingan atau

- Jaksa Agung, terhadap putusan pemidanaan yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 sifatnya sementara

dengan tujuan utama untuk mengatasi kesalahan negara yang telah terlanjur

menghukum Sengkon Bin Yakin dan Karta Bin Salam yang kemudian terbukti tidak

bersalah. 53

Sifat sementara ini dikarenakan hukum acara mengenai Peninjauan Kembali

tidak lagi seharusnya dibuat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, melainkan

harus melalui undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak

Mahkamah Agung mengulangi lagi, kembali mengeluarkan Peraturan Mahkamah

Agung sebagaimana Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 yang sudah

dicabut karena mendapat reaksi dari pihak parlemen. Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 1980 dikeluarkan dengan mengacu pada Pasal 21 Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok –pokok Kekuasaan Kehakiman. 54

H.Oemar Seno Adji sebagai Ketua Mahkamah Agung waktu itu menyatakan

bahwa Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 merupakan ketentuan

previsoris, temporer, transitor dan diterapkan untuk kebutuhan pada saat itu, untuk

kemudian menyediakan tempatnya bagi perundang-undangan kelak, sebagai

53 Hadari Djenawi Taher, 1982, Bab Tentang Herzeining Didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung, Hal 20.

54 H.Adami Chazawi II, Op.cit,hal 21

36

pelaksanaan dari ketentuan Pasal 21 undang-undang pokok kehakiman, (Undang-

undang Nomor 14 Tahun 1970). 55

Satu bulan setelah diberlakukan dengan menggunakan Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 1980 tersebut, pada tanggal 31 januari 1981 Sengkon dan

Karta dibebaskan oleh Mahkamah Agung melalui putusan Peninjauan Kembali atas

permohonan yang diajukan oleh Jaksa Agung.

Bahwa sebenarnya sebelum dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 1980, Pasal 1 Desember 1980, kuasa hukum Senglon dan Karta

telah pernah mengajukan permintaan Peninjauan Kembali terhadap putusan yang

mempidana Sengkon dan Karta, menyusul tertangkap dan dipidanya pembunuhnya

Sulaiman Bin Nazir dan istrinya yang sebenarnya. Akan tetapi permintaan

Peninjauan Kembali tersebut oleh Mahkamah Agung dinyatakan tidak dapat

diterima, karena pada waktu itu belum ada dasar hukumnya56.

Peristiwa kasus Sengkon dan Karta itu pula yang menjiwai lembaga

Peninjauan Kembali dalam Bab XVIII Bagian Kedua, Pasal 263 sampai dengan

Pasal 269 KUHAP.57 Memperlihatkan deskripsi ketentuan peraturan-peraturan yang

dikemukakan tersebut diatas pada dasarnya terdapat “ tali kesinambungan “ yang

tidak terputus dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 263 KUHAP. Pada

dasarnya Peninjauan Kembali yang diatur dala Pasal 263 KUHAP merupakan

kelanjutan yang “ditransfer “ dari Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969

dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dimana kedua Peraturan55 H.Oemar Seno Adji, Op.cit, hal 5256 H. Oemar Seno Adji, Ibid, hal 55

57 Hadari Djenawi Tahir, Op.cit. hal 5

37

Mahkamah Agung itu bersumber dari ketentuan Pasal 356 dan Pasal 357 RSv

(Reglement op de Strafvordering ) yaitu persamaan dari peraturan-peraturan tersebut,

mengenai :

1. Bahwa putusan perkara pidana yang dapat diajukan Peninjauan

Kembali hanya terbatas meliputi “ putusan pemidanaan “ saja, dimana

disebutkan :

- Dalam Pasal 356 RSv disebut putusan yang berisi pemidanaan

- Dalam peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 disebut

putusan pidana yang tidak mengandung pembebasan dari semua

tuduhan.

- Dalam Peraturan Mahkamah Agung 1980 disebut putusan pidana yang

mengandung pemidanaan.

- Dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP disebut “ kecuali putusan bebas

atau lepas dari segala tuntutan hukum “.

2. Alasan-alasan Peninjauan Kembali sama bahwa alasan Peninjauan

Kembali sedang diatur dalam Pasal 263 ayat 2 dan ayat 3 KUHAP,

redaksi dan substansinya pada dasarnya sama persis seperti yang diatur

dalam Pasal 356 RSv, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

1969 maupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980.

Letak perbedaanya dari peraturan yang mengatur Peninjauan Kembali

tersebut diatas adalah mengenai “pihak atau obyek” yang dapat atau berhak

mengajukan Peninjauan Kembali , yaitu :

38

1. Dalam KUHAP, yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali hanya

terbatas “terpidana” atau “ahli warisnya” sedangkan penuntut umum

tidak dicantumkan sebagai pihak yang dapat mempersiapkan Peninjauan

Kembali .

2. Dalam RSv maupun Peraturan-Peratuaran Mahkamah Agung tersebut,

Penuntut Umum diberikan hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali ,

bahkan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970

maupun Peraturan Mahkamah Agung itu yang dapat mengajukan

Peninjauan Kembali meliputi pula pihak yang berkepentingan58.

58 M Yahya Harahap. Op.cit,hal 646-647

39