Upload
others
View
59
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
UPACARA PERNIKAHAN BERDASARKAN ADAD DAYAK
LUNDAYEH DI DESA PA’PIRIT KECAMATAN KRAYAN
KABUPATEN NUNUKAN KALIMANTAN UTARA (Suatu Tinjauan Folklor)
H. Mursalim
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Samarinda
Abstrak
Kalangan masyarakat Dayak Lundayeh Krayan masih memegang teguh adat
istiadat dalam hal melangsungkan upacara pernikahan, sistem dan bentuk
pernikahan yang berlaku turun-temurun tetap mewarnai pelaksanaan suatu
pernikahan dengan serangkaian proses yang berbeda dengan aturan agama yakni
gerejawi, folklor lisan berupa tuturan dan doa-doa dari kepala adat dalam upacara
pernikahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang pelaksanaan upacara
pernikahan Adat Suku Dayak Lundayeh Krayan.
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah penelitian deskriptif
analitis. Penelitian ini melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu
menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematis, sehingga dapat lebih mudah
untuk dipahami dan disimpulkan hasil dari penelitian tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dideskripsikan bahwa dalam upacara
pernikahan adat Dayak Lundayeh terdapat perbedaan antara masyarakat kalangan
bawah dengan masyarakat kalangan atas dalam melaksanakan pesta pernikahan.
Pada masyarakat kalangan bawah tidak menjalankan sepenuhnya pesta pernikahan
dengan meriah, hanya melaksanakan syarat adat saja seperti peminangan
(Nguduk), pelaksanaan pernikahan (Fetutup), dan sebelum Fetutup atau
pelaksanaan pernikahan dilangsungkan, dilakukan suatu rangkaian acara yang
masyarakat setempat biasa dikenal dengan nama Ngaru Burung, yaitu Menyusun
Kayu Api, yang dilakukan oleh keluarga pihak pria yang dahulu menggunakan
daun sekarang dengan kain sepanjang 30 meter. Ngaru Burung ini dilakukan di
depan rumah pengantin wanita yang dibuat berbentuk gapura yang tingginya
kurang lebih tiga meter, dan dilanjutkan dengan Erau Aweh (Pesta Pernikahan)
dalam hal ini semua pemuka adat, pemuka agama, dan undangan khusus
berkumpul di rumah pengantin wanita untuk mengikuti acara pembukaan rumah
tangga baru. Setelah itu, dilakukan Ngated Biung (mengantar harta) dilakukan
oleh pihak keluarga mempelai wanita ke rumah mempelai pria.
Kata Kunci : Folklor lisan, Upacara Pernikahan, Adat Dayak Lundayeh
2
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang dijadikan dalam dua jenis
kelamin yang berbeda, yaitu pria dan wanita. Adanya penciptaan manusia
dalam dua jenis kelamin yang berbeda tersebut, maka keduanya saling
berinteraksi, saling membutuhkan, saling melengkapi, saling bekerjasama dan
saling membina hubungan yang baik satu sama lain. Adanya hubungan antara
kedua jenis kelamin yang berbeda, maka pada saat itulah timbul suatu
hubungan di antara keduanya. Hubungan antara orang yang satu dengan yang
lainnya lama-kelamaan semakin bertambah kompleks, sehingga perlu diatur
dengan suatu aturan. Aturan yang dituangkan dalam bentuk peraturan
perundang-undangan dimaksudkan untuk menghindari konflik di antara
hubungan dan kepentingan antara yang satu dengan yang lainnya dalam
masyarakat.
Pernikahan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang
wanita yang dikukuhkan secara formal dengan undang-undang. Jadi
pernikahan bukan hanya untuk campur tidur antara pria dan wanita, apalagi
yang hanya untuk memenuhi hawa nafsu. Hal ini merupakan pengertian
pernikahan secara yuridis, selain itu juga pernikahan mengandung unsur
religius sesuai dengan tujuan pernikahan untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Hadikusuma,
1995:12).
Dasar-dasar dari pernikahan itu dibentuk oleh unsur-unsur alami dari
kehidupan itu sendiri, kebutuhan akan fungsi biologis, kebutuhan akan kasih
sayang dan persaudaraan. Selanjutnya, memelihara anak-anak yang dilahirkan
dari pernikahan tersebut dan mendidik anak-anak itu menjadi anggota-anggota
masyarakat yang sempurna.
Kalangan masyarakat Dayak Lundayeh Krayan masih memegang teguh
adat istiadat dalam hal melangsungkan upacara pernikahan, sistem dan bentuk
pernikahan yang berlaku turun-temurun tetap mewarnai pelaksanaan suatu
pernikahan dengan serangkaian proses yang berbeda dengan aturan agama
3
yakni gerejawi, sehingga sebelum dilangsungkan suatu pernikahan terlebih
dahulu dilakukan suatu tahapan-tahapan sebagaimana menurut kebiasaan adat
istiadat di Suku Dayak Lundayeh yang berkaitan dengan puncak acara
pernikahannya, setelah upacara pernikahan adat dilakukan barulah dilakukan
pemberkatan di gereja.
Di dalam proses upacara pernikahan terdapat harapan berupa tuturan doa,
pantun yang terucap yang dilakukan keluarga besar kedua pengantin laki-laki
dan pengantin perempuan. Dengan mengacu kepada uraian tersebut di atas,
maka pembahasan perihal seluk beluk pelaksanaan Upacara Pernikahan Adat
Dayak Lundayeh di Desa Pa’Pirit Kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan
(Suatu Kajian Folklor)”, sangatlah perlu dideskripsikan dalam penulisan ini.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang mau dicapai dalam penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan tentang pelaksanaan upacara pernikahan Adat Suku Dayak
Lundayeh Krayan. Selanjutnya, manfaat penulisan ini adalah (a) untuk
memperkaya khasanah ilmu pengetahuan mengenai folklor lisan Dayak
Lundayeh khususnya dalam upacara pernikahan. (b) menjadi bahan masukan
atau bahan informasi untuk penelitian sejenis selanjutnya, dan (c) sebagai
bahan masukan dan sumbangan bagi perkembangan ilmu budaya khususnya
mengenai folklor lisan yang terdapat di dalam upacara pernikahan Dayak
Lundayeh Kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan.
1. Hakikat Folkor
Menurut Dananjaja, (1984:2) folklor tidak lain adalah sebagian
kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun,
di antara kolektif macam apa saja, secara tradisoanal dalam versi yang berbeda,
baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau
alat pembantu pengingat.
4
2. Bentuk Folklor
Folklor jika diperhatikan dari segi bentuknya, ternyata ada dua, yaitu bentuk
lisan dan sebagian lisan (Danandjaja, 1984: Bab III).
Bentuk folklor lisan antar lain seperti berikut.
a. Bahasa rakyat, yakni bentuk folklore Indonesia yang termasuk dalam
kelompok bahasa rakyat, adalah logat atau dialek bahasa-bahasa Nusantara.
b. Ungkapan tradisonal yakni yang termasuk dalam bentu folklore semacam
ini adalah peribahasa (peribahasa yang sesungguhnya, peribahasa tidak
lengkap kalimatnya, peribahasa perumpamaan) dan ungkapan (ungkapan-
ungkapan yang mirip peribahasa).
c. Pertanyaan tradisoanal yakni yang lebih dikenal sebagai teka-teki
merupakan pertanyaan yang bersifat tradisonal dan mempunyai jawaban
yang tradisional pula.
d. Sajak dan puisi rakyat yakni folklor lisan yang memiliki kekhususan,
kalimatnya tidak berbentuk bebas, tapi terikat. Sajak dan puisi rakyat
merupakan kesusastraan yang sudah tertentu betuknya, baik dari segi jumlah
larik maupun persajakan yang mengekhiri setiap lariknya. Yang termasuk
ke dalam jenis ini adalah parikan, rarakitan, wawangian, dll.
Sejalan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai maka
pembicaraan secara teoritis tentang folkor berkisar sekitar cerita (prosa)
rakyat meliputi mite, dan legenda.
3. Mite
Menurut Bascom (1985b: 3-20 dalam Danandjaja, 1984: 50), mite
adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap
suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh dewa atau makhluk
setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain atau di dunia yang bukan
seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Adapun legenda
adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-ciri yang mirip dengan mite, yaitu
dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Berbeda
5
dengan mite, legenda ditokohi manusia walaupun ada kalanya mempunyai
sifat-sifat luar biasa, dan sering juga dibantu makhluk-makhluk ajaib.
4. Legenda
Seperti halnya dengan mite, legenda adalah cerita prosa rakyat yang
dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-
sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler
(keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan
bertempat di dunia seperti yang kita kenal (Danandjaja, 1984:66).
5. Bentuk-bentuk Folklor
Folklor dilihat dari bentuknya, dapat dibedakan menjadi tiga.
Brunvand (dalam Danandjaja, 2007:21), mengungkapkan bahwa folklor
dibedakan menjadi tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu :
1. Folklor lisan (verbal folklor), adalah folklor yang bentuknya memang
murni lisan. Bentuk-bentuk (genre) folklor yang termasuk ke dalam
kelompok besar ini antara lain :
a. Ungkapan tradisional, seperti bahasa, pepatah, dan pemeo.
b. Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki.
c. Cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; dan
d. Nyanyian rakyat.
2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklor) adalah folklor yang
bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan.
Kepercayaan rakyat, misalnya, yang oleh orang “modern” seringkali
disebut takhayul itu, terdiri dari pernyataan yang bersifat lisan ditambah
dengan gerak isyarat yang dianggap mempunyai makna gaib, seperti
tanda salib bagi orang Kristen Katolik yang dianggap dapat melindungi
seseorang dari gangguan hantu, atau ditambah dengan benda material
yang dianggap berkhasiat untuk melindungi diri atau dapat membawa
rejeki, seperti batu-batu permata tertentu.
3. Folklor bukan lisan (nonverbal folklor) adalah folklor yang bentuknya
bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
6
6. Pengertian Adat Istiadat
Menurut JC. Mokoginta (1996:77), “adat istiadat adalah bagian dari
tradisi yang sudah mencakup dalam pengertian kebudayaan. Karena itu, adat
atau tradisi ini dapat dipahami sebagai pewarisan atau penerimaan norma-
norma adat istiadat”.
7. Tujuan Pernikahan
Pendapat yang dikemukakan oleh Wantjik (1976) tujuan
melangsungkan pernikahan adalah untuk menciptakan hidup rumah tangga
yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi pilihan dan untuk
meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina keluarga, setiap
orang menginginkan kehidupan yang bahagia bersama pasangannya sampai
akhir waktu.
Temuan Penelitian dan Pembahasan
1.Letak Geografis dan Administratif
Krayan adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan
Utara, Indonesia. Kecamatan Krayan terletak di bagian barat Kabupaten
Nunukan dan berbatasan dengan Serawak Malaysia. Terdiri dari 65 desa yang
berpusat pemerintahan di Long Bawan, jumlah penduduknya 8.438 jiwa yang
sebagian besarnya ialah penduduk asli pedalaman Kalimantan yaitu Suku
Dayak Lundayeh. Masuk di dalamnya adalah Kecamatan Krayan, Kabupaten
Nunukan, Kalimantan Timur (Waluyo, 2013)
Sebagian besar wilayah Kecamatan Krayan merupakan persawahan dan
kawasan hutan. Sebagian wilayah Kecamatan Krayan berada di Taman
Nasional (TN) Kayan Mentarang. Pengelolaan Taman Nasional Kayan
Mentarang (TNKM) (Waluyo, 2013).
Batas-batas Wilayah Kecamatan Krayan adalah sebagai berikut.
Sebelah Utara : Sabah, Malaysia
Sebelah Selatan : Kabupaten Malinau dan Kecamatan Krayan Selatan
Sebelah Barat : Sarawak, Malaysia
7
Sebelah Timur : Kabupaten Malinau
Satu-satunya akses ke Kecamatan Krayan dari kota-kota di Indonesia
adalah menggunakan transportasi udara. Ada dua maskapai yang melayani
penerbangan dari Kota Malianau, Kota Nunukan dan Kota Tarakan ke Long
Bawan, yaitu MAF dan Susi Air. Jika menggunakan transportasi udara, waktu
tempuh dari Kota Malinau ke Long Bawan adalah 45 menit.
Suku Dayak Lundayeh Kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan
Kalimantan Timur, merupakan suku kecil dari Dayak Tidung atau anak suku
Dayak Dusun Murut.
Hasil Wawancara dengan Kepala Adat Desa Pa’pirit
Bagaimanakah awal proses dalam upacara pernikahan pernikahan suku
Dayak Lundayeh?
Untuk proses awal sebelum diadakan pernikahan, biasanya ada perantara
dari pihak pria yang datang kepada pihak wanita untuk mengajukan lamaran
dan persyaratan apa yang akan di inginkan oleh keluarga pihak wanita,
selanjutnya apabila sudah dikatakan maka pihak perantara dari mempelai
pria akan mengabarkan kepada keluarga bahwa pihak wanita meminta
beberapa mas kawin, tetapi setiap keluarga dari wanita berbeda yang akan
diminta (11 Maret 2016).
Setelah perantara dari pihak pria melakukan perundingan dengan
keluarga mempelai wanita apakah ada kesepakatan?
Akan ada perundingan sampai disepakati kata bersama karena biasanya
pihak pria tidak begitu sanggup dengan mas kawin yang diajukan pihak
wanita yang terlalu banyak, bentuknya macam-macam dari emas, kain, babi,
mandau dan lainnya dan sampai semalam suntuk melakukan perundingan
(11 Maret 2016).
Apakah ada perbedaan antara kalangan masyarakat bawah dengan
kalangan masyarakat ke atas dalam melaksanakan upacara pernikahan
adat?
8
Perbedaan pasti ada dalam segi pernikahan, dimana masyarakat yang
kurang memiliki dana lebih akan merayakan upacara pernikahan dengan
sederhana, dan masyarakat yang memiliki dana lebih biasaya melaksanakan
upacara pernikahan dengan sangat meriah sekali, nak chandra... (11 Maret
2016).
Bagaimana dengan kayu api atau kayu burung apa ada perbedaan dulu
dan sekarang?
Dulu sama sekarang ada perbadaannya, kalau dulu itu pakai daun dibentang
kalau sekarang pakai kain warna warni sepanjang 30 meter, tapi kayu tetap
3 mter sebagai gapura yang beda itu kain sama daun saja...(11 Maret 2016).
Adakah doa apabila lamaran diterima?
Kalau doa khusus biasanya tidak ada, tetapi bila ada kata sepakat biasanya
diadakan doa bersama seperti ini : “terima kasih Tuhan akhirnya
kesepakatan ini berjalan dengan baik dan lancar semoga kami dari kedua
pihak wanita dan pria dapat melaksanakan upacara pernikahan dengan
baik” (11 Maret 2016).
Selanjutya proses apa yang akan dilakukan?
Perantara dari pihak pria akan menyampaikan kepada keluarga mempelai
pria dan akan mengumumkan kapan dilaksanakan upacara pernikahan di
langsungkan (11 Maret 2016).
Apakah suku Dayak Lundayeh dalam pernikahan terus
mempertahankan tradisi yang ada?
Tradisi upacara tetap di pertahankan akan tetapi sekarang dilakukan
pemberkatan di gereja oleh pendeta kalau dulu cukup dari kepala adat saja
yang meresmikan dengan ucapan : “saya menyatukan dua pasang anak
manusia ini dihadapan para leluhur dan Tuhan agar senantiasa dapat
menjalani bahtera pernikahan dengan baik hingga maut memisahkan” dan
hal ini disaksikan semua orang dan keluarga ikut mendoakan mempelai (11
Maret 2016).
9
Hasil Wawancara dengan Pendeta/ Gembala Jemaat GBI Desa Pa’Pirit
Apakah pendeta menikahkan kedua mempelai?
Ya, saya menikahkan apabila dari pihak mempelai berserta keluarga
mengijinkan untuk menyatukan dua insan yang akan berumah tangga (12
Maret 2016)
Doa apa yang di ucapkan?
Saya selaku pendeta menikahkan kedua mempelai setelah diadakan prosesi
upacara adat yang selanjunya di gereja ini kami lakukan pemberkatan saja
jika perlu dicatat melalui catatan sipil sebagai syah pernikahan, kalau doa
sama saja seperti umat nasraninya yaitu :
Idih bang nadan Tuhan Yesus, Wih mutup dehduah luk ngaweh nih febatun
Tuhan, adeh ko fian malap yah me ke awan do’o bang ulun sing eped ulun
sing ate luk miyek metad (Didalam nama Tuhan Yesus, saya nikahkan kedua
mempelai dihadapan Tuhan, apakah saudara bersedia menjadi pasangan
sehidup semati sampai maut memisahkan” selanjutnya kedua mempelai akan
menjawab dan kemudian selesai acara pemberkatan (12 Maret 2016).
Setelah itu apa yang dilakukan setelah dilakukan pemberkatan di
gereja?
Kedua mempelai biasanya akan kembali ke acara adat untuk dilakukan pesta
pernikahan (12 Maret 2016).
Berdasarkan hasil wawancara di atas dengan gembala/pendeta dapat
disimpulkan bahwa pernikahan dijalankan sesuai agama yaitu Nasrani di
Gereja, kemudian dilakukan pemberkatan dan doa baru dikembalikan kepada
acara adat selanjutnya.
2. Adat Pernikahan Masyarakat Dayak Lundayeh
Pernikahan itu adalah perjanjian antara bakal suaminya atau wakilnya
dan wali perempuan atau wakilnya. Pernikahan adalah nikah dan menurut
syarat-syarat hakikat nikah itu adalah akad antara calon pengantin laki-laki
dan wali laki-laki dan perempuan untuk membolehkan keduanya bergaul
suami isteri (Koentjaraningrat, 2009: 33).
10
Upacara pernikahan yang dilaksanakan dalam masyarakat adat Dayak
Lundayeh Desa Pa’Pirit Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan
dilangsungkan dalam tahap-tahap yang merupakan suatu kebiasaan yang
bersifat turun-temurun. Untuk masa peminangan ini dapat digolongkan 3
(tiga) kegiatan, yaitu seperti berikut.
3. Peminangan Pendahuluan atau Tidak Resmi (Ngitun Aweh)
Mendahului peminangan yang resmi, maka keluarga pria mengutus
seseorang Lun Nginul (Perantara Pernikahan) untuk mendapat informasi dari
keluarga wanita apakah mereka akan menerima Lun Nginul (Perantara
Pernikahan) resmi keluarga pria untuk berkunjung ke rumah keluarga wanita
untuk melamar anak gadisnya. Lun Nginul (Perantara Pernikahan) yang tidak
resmi ini boleh pria atau seorang wanita namun utusan resmi biasanya
seorang pria, tua-tua dalam adat. Suasana pertemuan tidak resmi, tetapi agak
tegang karena jawaban yang diperoleh akan menentukan tindakan
selanjutnya. Biasanya yang menerima utusan pribadi ini adalah orang tua
wanita, bersama kakek, nenek, kemudian hal tersebut disampaikan kepada
anak perempuannya. Jika sebelumnya antara kedua sejoli sudah saling kenal
dan keduanya bersedia untuk menikah, maka Lun Nginul (Perantara
Pernikahan) tidak resmi hanya menanyakan kepada orang tua si wanita
apakah bersedia menerima niat keluarga pihak pria untuk melakukan
peminangan resmi.
4. Peminangan Resmi (Nguduk)
Keluarga pria bersama Lun Nginul (Perantara Pernikahan) resminya
datang ke rumah wanita untuk melakukan peminangan resmi. Acara ini
melibatkan keluarga besar kedua belah pihak tua-tua adat, pendeta dan
masyarakat satu lokasi di mana peminangan akan dilangsungkan. Dalam
peminangan resmi ini biasanya dipakai dua orang perantara, satu orang dari
pihak pria dan satunya lagi dari pihak wanita. Lun Nginul (perantara
pernikahan) akan bertanya kepada kedua calon suami isteri apakah mereka
benar-benar bersedia untuk menikah, jika ada kesepakatan, maka
11
dilanjutkan dengan membicarakan furut (mas kawin). Dalam membicarakan
furut (mas kawin) kedua Lun Nginul (perantara pernikahan) terlebih dahulu
menanyakan kepada keluarga pihak pria apakah sudah bersedia membayar
mas kawin yang ditetapkan adat berupa 3 (tiga) ekor Kerbau betina yang
sudah pernah beranak kepada pihak wanita, apabila disanggupi, maka
pelamaran ini dilanjutkan dan jika tidak disanggupi maka acara pelamaran
dihentikan sampai keluarga pria sudah bisa menyiapkan Furud (mas kawin)
yang sudah ditetapkan adat tersebut. Adapun jenis barang-barang Furut
(mas kawin) yang biasa diminta keluarga pihak wanita selain Furut (mas
kawin) yang ditetapkan adat berupa 3 (tiga) ekor kerbau betina, antara lain:
Kerbau (Kerbau), Berek (Babi), Rubih (Tempayan), Tawak (Gong), Bau
Tolang (Manik dari tulang), Karit (Mandau), Rigit (Uang), Motor (Sepeda
Motor), Simso, Igin Fade (Mesin Giling), Telam (Kasur), Senapang Futul
(Senjata Api), Eput (Sumpi) dll. Furut (mas kawin) ini biasanya tidak harus
berupa benda/ jenis barang yang diminta, barang-barang tersebut bisa
diuangkan, yang besarnya sesuai kesepakatan bersama keluarga kedua belah
pihak.
5. Gambaran tentang Foklor Lisan dalam Pernikahan Adat Dayak Lundayeh
Sejarah tentang asal usul suku Dayak sendiri berawal dari kedatangan
penduduk Yunan (sebelah Selatan Gurun Gobi, Cina) yang mendarat di
sebelah Barat dan Timur Pulau Kalimantan, mengakibatkan terdesaknya
masyarakat Melayu Tua ke pedalaman Pulau Kalimantan. Penduduk yang
menyebar di pedalaman/pegunungan Kalimantan merupakan penduduk asli
Kalimantan, karena bermukim jauh di daerah pedalaman/pegunungan maka
disebut orang Darat atau Daye, dan selanjutnya dikenal dengan Dayak.
Bentuk pernikahan yang berlaku dalam suatu masyarakat, erat kaitannya
dengan sistem kekerabatan yang dianutnya.
Dijelaskan dalam upacara pernikahan adat apabila ada seorang
mempelai tidak mengikuti upacara pernikahan sesuai adat maka akan
mengalami kesulitan dalam rumah tangga.
12
6. Furut (mas kawin) Sebagai Denda atau Sangsi
Pernikahan adat Lundayeh didasarkan pada pemberian furut (mas kawin),
bukan saja sebagai ikatan hubungan dari kedua belah pihak, melainkan
sebagai sangsi bila pernikahan tersebut menghadapi masalah.
1. Bila laki-laki penyebab masalah terjadi peceraian maka :
a. semua barang yang diberikan pada waktu perkawinan tidak
dikembalikan;
b. pihak laki-laki didenda dengan penyebab perceraian tersebut yaitu :
semua hasil usaha yang diperoleh selama perkawinan diberikan
kepada pihak perempuan.
2. Bila pihak perempuan penyebab perceraian maka semua barang yang
diberikan pada pihak perempuan pada saat pernikahan dikembalikan
kepada pihak laki-laki.
7. Pelaksanaan Pernikahan (Fetutup)
Pelaksanaan perkawinan (Fetutup) dibagi atas 2 (dua) bagian, yaitu
sebagai berikut.
Ngaru Burung (Menyusun Kayu Api)
Sebelum Fetutup (Pelaksanaan Pernikahan) dilangsungkan,
dilakukan suatu rangkaian acara yang masyarakat setempat biasa dikenal
dengan nama Ngaru Burung, yaitu Menyusun Kayu Api, yang dilakukan
oleh keluarga pihak pria. Ngaru Burung (Menyusun Kayu Api) ini
dilakukan di depan rumah si wanita yang dibuat berbentuk gapura yang
tingginya kurang lebih 3 meter, dari puncak susunan kayu api ditarik kain
merah ke arah rumah si wanita yang panjangnya kurang lebih 100
(seratus) meter, kain itu diikat disetiap sudut rumah si wanita. Setelah
Ngaru Burung (menyusun kayu api) selesai dilakukan penyerahan mas
kawin oleh pihak pria kepada pihak wanita, yang dilangsungkan di dekat
susunan kayu api yang sudah berdiri.
8. Fetutup (Pelaksanaan Pernikahan)
13
Setelah Ngaru Burung (penyusunan kayu api) dan penyerahan mas
kawin dilakukan, dilanjutkan dengan acara Fetutup (pelaksanaan
pernikahan), upacara ini dilangsungkan di Gereja, menyikuti tata cara
Gereja dan dalam bahasa Indonesia. Setelah pemberkatan pernikahan,
dilanjutkan dengan penandatanganan surat nikah yang dikeluarkan oleh
Gereja di mana perkawinan tersebut dilaksanakan. Pengesahan dan
pencatatan merupakan salah satu syarat pernikahan. Di lingkungan
masyarakat Suku Dayak Lundayeh dalam kenyataan masih banyak
pelaksaan perkawinan yang dilakukan berdasarkan Hukum Adat dan hanya
mendapat pengesahan dari lembaga keagamaan saja tanpa diikuti pencatatan
oleh lembaga catatan sipil.
9 Pesta Pernikahan (Erau Aweh)
Dalam pesta Pernikahan ini dibagi dalam dua kegiatan yaitu seperti
berikut.
10. Erau Aweh (Pesta Pernikahan)
Sebelum dilakukan pesta pernikahan pihak keluarga pria atau wanita
diwakili ketua adat memberikan suatu tuturan berupa :
“Semoga sepasang pengantin senantiasa berbahagia dan terima kasih kepada
para undangan atau hadirin yang telah datang dan mendoakan sepasang
mempelai”.
Setelah upacara Pernikahan dilakukan, dilanjutkan dengan Erau Aweh
(pesta pernikahan) dalam hal ini semua pemuka adat, pemuka agama dan
undangan khusus berkumpul di rumah pengantin wanita untuk mengikuti
acara pembukaan rumah tangga baru. Sedangkan anggota masyarakat
lainnya mengambil tempat di rumah-rumah tetangga yang berdekatan
dengan rumah si wanita untuk makan bersama-sama. Dalam acara membuka
rumah tangga baru tersebut dilakukan pemotongan peta sebagai lambang
pembukaan rumah tangga baru dan pemotongan kue pengantin oleh kedua
mempelai, setelah itu dilanjutkan dengan makan-makan bersama.
14
Dalam pesta pernikahan dikalangan masyarakat Dayak Lundayeh,
menu utamanya adalah Luba Laya (nasi lembek), Daging Babi, Biter, Ubud
Baung dan Benak/ tinafe, semua menu ini harus direbus. Dalam acara pesta
tua-tua adat saling bersuapan dengan lemek berek (lemak babi) yang
panjangnya ½ m (setengah meter), sebagai tanda keakrapan satu sama lain.
11. Ngated Biung (mengantar harta)
Perwakilan pihak wanita dalam mengantar harta ke mempelai pria
yang diwakili atau yang telah ditunjuk menuturkan,
“Dihantarkan berupa harta kepada mempelai pria agar sang mempelai pria
dapat bertanggung jawab dalam rumah tangga dan mencari nafkah dan
menjadi pemimpin yang baik dan bijaksana dalam menuntun keluarganya”.
Ngated Biung ini dilakukan oleh pihak keluarga mempelai wanita ke
rumah mempelai pria. Biasanya harta atau barang-barang yang diberikan
berupa segala sesuatu kebutuhan kedua mempelai untuk berumah tangga
seperti: alat-alat dapur, papan buat rumah, Ogam (tikar), Raing (bakul),
Buan (bakul rotan), Bekang, Raung (saung), Karit (parang), Ubuh, Rinuh
dan lain-lain.
Setelah acara pernikahan dilakukan kedua mempelai sudah resmi
sebagai suami istri.
Bentuk dan Sistem Pernikahan Suku Dayak Lundayeh
Pembahasan
Upacara pernikahan adat Suku Dayak Lundayeh di Desa Pa’Pirit
Kecamatan Krayan Kabupaten Nunukan dalam suatu kajian folklor berupa
lisan dalam bentuk tuturan-tuturan dan doa dari kepala adat dan pendeta dalam
melaksanakan pernikahan dan melaksanakan tradisi dalam berbagai simbol
seperti nguduk, fetutup dan erau aweh yang harus dilaksanakan apabila tidak
dilaksanakan maka pernikahan dianggap tidak sah dan yang menjalankan
pernikahan kedua mempelai akan mengalami kesulitan di dalam berumah
tangga.
15
Pernikahan yang dilaksanakan dalam masyarakat adat Dayak Lundayeh
Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan dilangsungkan dalam tahap-tahap
yang merupakan suatu kebiasaan yang bersifat turun- temurun. Kegiatan yang
melibatkan banyak orang tersebut diadakan terpisah-pisah, tetapi merupakan
suatu keseluruhan yang terdiri atas tiga kegiatan utama dalam upacara
penikahan, yakni peminangan (Nguduk) dimana pria mengutus seseorang Lun
Nginul (perantara pernikahan) untuk mendapat informasi dari keluarga wanita
apakah mereka akan menerima Lun Nginul (perantara pernikahan) resmi
keluarga pria untuk berkunjung ke rumah keluarga wanita untuk melamar anak
gadisnya. Lun Nginul (perantara pernikahan) yang tidak resmi ini boleh pria
atau seorang wanita namun utusan resmi biasanya seorang pria, tua-tua dalam
adat. Suasana pertemuan tidak resmi, tetapi agak tegang karena jawaban yang
diperoleh akan menentukan tindakan selanjutnya. Biasanya yang menerima
utusan pribadi ini adalah orang tua wanita, bersama kakek, nenek, kemudian
hal tersebut disampaikan kepada anak perempuannya.
Dalam membicarakan furut (mas kawin) kedua Lun Nginul (perantara
pernikahan) terlebih dahulu menanyakan kepada keluarga pihak pria apakah
sudah bersedia membayar mas kawin yang ditetapkan adat berupa tiga ekor
Kerbau betina yang sudah pernah beranak kepada pihak wanita, apabila
disanggupi, maka pelamaran ini dilanjutkan dan jika tidak disanggupi maka
acara pelamaran dihentikan sampai keluarga pria sudah bisa menyiapkan Furud
(mas kawin) yang sudah ditetapkan adat tersebut. Tetapi hal ini jarang terjadi,
karena biasanya Furut (mas kawin) ditanggung bersama-sama keluarga besar
pihak pria atau orang lain, yang dalam masyarakat Adat Dayak Lundayeh
dikenal dengan Balui (gantian).
Apabila keluarga pihak pria sudah bersedia membayar Furud (mas
kawin) tiga kerbau yang sudah ditetapkan tersebut, maka acara pelamaran
dilanjutkan dan kedua Lun Nginul (perantara pernikahan) menyampaikan hal
itu kepada keluarga pihak wanita. Selain Furud (mas kawin) yang sudah
ditetapkan adat tersebut, ada kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat adat
16
suku Dayak Lundayeh Krayan yaitu memberi Furut (mas kawin) kepada semua
keluarga besar pihak wanita, yang jenis dan jumlahnya disesuaikan dengan
permintaan masing-masing anggota keluarga si wanita, seperti kakek, nenek,
bapak, ibu, kakak, adik, om, tante, dan orang lain yang menagih hutang furut
(mas kawin) dari keluarga besar siwanita.\
Adapun jenis barang-barang Furut (mas kawin) yang biasa diminta
keluarga pihak wanita selain Furut (mas kawin) yang di tetapkan adat berupa
tiga ekor kerbau betina, antara lain: Krobau (Kerbau), Berek (Babi), Rubih
(Tempayan), Tawak (Gong), Bau Tolang (Manik dari tulang), Karit (Mandau),
Rigit (Uang), Motor (Sepeda Motor), Simso, Igin Fade (Mesin Giling), Telam
(Kasur), Senapang Futul (Senjata Api), Eput (Sumpi) dan lainnya. Furut (mas
kawin) ini biasanya tidak harus berupa benda/ jenis barang yang diminta,
barang-barang tersebut bisa diuangkan, yang besarnya sesuai kesepakatan
bersama keluarga kedua pihak.
Apabila Nguduk (pertunangan) disetujui kedua belah pihak, maka si
wanita akan diberikan Tuduk (tanda pertunangan) oleh pihak pria berupa benda
berharga seperti, cincin, kalung, gelang dan manik serta karit (parang) untuk
orang tua si wanita. Sebagai tanda pertunangan sudah jadi, maka dilakukan
pemotongan babi yang nantinya dimakan bersama semua orang, yang ikut
menyaksikan acara pertunangan tersebut. Setelah peminangan resmi (Nguduk)
dilakukan dan disetujui maka diadakanlah pengumuman untuk
memberitahukan kehendak kedua calon mempelai untuk melangsungkan
pernikahan. Caranya adalah dengan membuat surat pemberitahuan tentang
adanya acara pernikahan, yang nantinya akan disampaikan kesetiap kampung-
kampung yang berdekatan dengan kampung asal kedua mempelai.
Pengumuman ini sekaligus sebagai undang pernikahan kedua calon mempelai,
pengumuman pemberitahuan pernikahan ini memuat beberapa hal itu seperti
hari dan jam dilaksanakan pernikahan.
Kemudian akan dilaksanakan acara sebelum Fetutup (pelaksanaan
pernikahan) dilangsungkan, dilakukan suatu rangkaian acara yang masyarakat
17
setempat biasa kenal dengan nama Ngaru Burung, yaitu Menyusun Kayu Api,
yang dilakukan oleh keluarga pihak pria. Ngaru Burung (menyusun kayu api)
ini dilakukan di depan rumah si wanita yang dibuat berbentuk gapura yang
tingginya kurang lebih 3 meter, dari puncak susunan kayu api ditarik kain
merah ke arah rumah si wanita yang panjangnya kurang lebih 100 (seratus)
meter, kain itu diikat disetiap sudut rumah si wanita. Setelah ngaru burung
(menyusun kayu api) selesai dilakukan penyerahan mas kawin oleh pihak pria
kepada pihak wanita, yang dilangsungkan di dekat susunan kayu api yang
sudah berdiri.
Ada perbedaan antara dahulu dengan sekarang di mana dahulu hanya
menggunakan daun sebagai pembentang, akan tetapi dengan perkembangan
zaman penggunaan daun sebagai pembentang digantikan oleh kain sepanjang
30 meter dengan warna warni, akan tetapi warna yang mendominasi adalah
warna merah, di mana warna merah merupakan simbol dari suku Dayak
Lundayeh yang bermakna berani, bijaksana dan adil. Dalam acara Ngaru
Burung (menyusun kayu api) ini diadakan pesta kecil/ makan-makan bersama
yang disiapkan oleh keluarga si wanita. Ngaru Burung atau yang dikenal
dengan menyusun kayu api memiliki arti bahwa kayu burung yang berdiri
tegak di depan rumah seorang penduduk, memberi arti yaitu sebuah informasi
kepada masyarakat banyak bahwa ada pernikahan antara pengantin laki-laki
dan pengantin perempuan. Kayu burung layaknya berdiri di depan rumah
seorang tua dari seorang pengantin perempuan. Saat ada pernikahan, keluarga
besar dari pihak pengantin laki-laki membawa kayu api beramai-ramai
mengantar kayu api ini di depan rumah orang tua pihak pengantin perempuan.
Setelah Ngaru Burung (penyusunan kayu api) dan penyerahan mas kawin
dilakukan, dilanjutkan dengan acara Fetutup (pelaksanaan pernikahan), upacara
ini dilangsungkan di Gereja, mengikuti tata cara Gereja dan dalam bahasa
Indonesia. Setelah pemberkatan pernikahan, dilanjutkan dengan
penandatanganan surat nikah yang dikeluarkan oleh Gereja di mana pernikahan
tersebut dilaksanakan.
18
Di lingkungan masyarakat Suku Dayak Lundayeh dalam kenyataan
masih banyak pelaksaan perkawinan yang dilakukan berdasarkan Hukum Adat
dan hanya mendapat pengesahan dari lembaga keagamaan saja tanpa diikuti
pencatatan oleh lembaga catatan sipil. Barulah diadakan pesta pernikahan
dilaksanakan setelah acara dari gereja dilaksanakan kemudian ketua adat
kembali mendoakan sepasang pengantin. Awe dehduah luk ngaweh megai
mawang niat me ngalap awa kuan dah luk yada’a me lun-luk idih narih ne
sebayang kuan dehduah luk ngaweh (Semoga sepasang pengantin senantiasa
berbahagia dan terima kasih kepada para undangan atau hadirin yang telah
datang dan mendoakan sepasang mempelai). Setelah upacara pernikahan
dilakukan, dilanjutkan dengan Erau Aweh (pesta pernikahan) dalam hal ini
semua pemuka adat, pemuka agama dan undangan khusus berkumpul di rumah
pengantin wanita untuk mengikuti acara pembukaan rumah tangga baru.
Sedangkan anggota masyarakat lainnya mengambil tempat di rumah-rumah
tetangga yang berdekatan dengan rumah si wanita untuk makan bersama-sama.
Setelah pesta perkawinan dilakukan pada sore harinya dilangsungkan
acara Ngated Biung (mengantar harta). Ngated Biung ini dilakukan oleh pihak
keluarga mempelai wanita ke rumah mempelai pria. Dalam hal ini jika kedua
mempelai dalam satu lokasi yang sama atau kampung berdekatan maka barang-
barang tersebut bisa diantar langsung ke rumah mempelai pria dan jika rumah
mempelai pria jaraknya lebih jauh maka barang-barang tersebut diantar ke
rumah adat setempat sebagai pengganti rumah mempelai pria, dan setelah acara
antar harta tersebut dilakukan keluarga mempelai pria boleh mengambil
barang-barang tersebut dari rumah adat.
Kalangan masyarakat Suku Dayak Lundayeh pelaksanaan upacara
pernikahan dilakukan secara aturan adat dan aturan Gerejawi, yaitu perkawinan
yang prosesinya berdasarkan hukum adat dan pengesahannya dilakukan oleh
Gereja, dalam hal ini adalah Pendeta, karena masyarakat Suku Dayak
Lundayeh menganut agama Kristen Protestan kurang lebih 97% (sembilan
puluh tujuh persen).
19
Masyarakat Suku Dayak Lundayeh yang melakukan pernikahan
berdasarkan campuran antara aturan adat dan aturan Gereja, masih tergolong
sedikit, hal ini disebabkan kepatuhan masyarakat Suku Dayak Lundayeh
terhadap hukum adat masih kuat dibandingkan dengan hukum agama yang
dianutnya. Menurut pandangan masyarakat Suku Dayak Lundayeh hukum adat
adalah hukum yang hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat, dan
mempunyai efek yang sangat besar pada sistem hukum yang berlaku dalam
masyarakat tersebut, dan pelaksanaannya tidak boleh bertentangan dengan
aturan agama yang dianutnya. xcix
Berdasarkan perjelasan tersebut di atas maka, dapat disimpulkan bahwa
ketaatan masyarakat Suku Dayak Lundayeh Krayan terhadap taradisi adat,
dapat mempengaruhi pelaksanaan upacara pernikahan. Hal ini disebabkan
karena tradisi adat merupakan warisan leluhur mereka, yang bersifat turun-
temurun yang susah dipisahkan dari kehidupan masyarakat, di mana tradisi itu
dipercayakan dapat mengatur setiap segi kehidupan bermasyarakat dalam
melaksanakan kehidupan berumah tangga yang lebih baik.
Penutup
Berdasarkan hasil penelitian dan penjelasan yang telah dikemukakan
pada uraian sebelumnya dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Sistem Budaya Upacara Pernikahan Adat Dayak Lundayeh
a. Peminangan (Nguduk), mendahului peminangan yang resmi, maka
keluarga pria mengutus seseorang Lun Nginul (Perantara Pernikahan)
untuk mendapat informasi dari keluarga wanita. Keluarga pria bersama
Lun Nginul (Perantara Pernikahan) resminya datang kerumah wanita
untuk melakukan peminangan resmi.
b. Pelaksanaan Pernikahan (Fetutup), sebelum Fetutup (pelaksanaan
pernikahan) dilangsungkan, dilakukan suatu rangkaian acara yang
masyarakat setempat biasa kenal dengan nama Ngaru Burung, yaitu
Menyusun Kayu Api, yang dilakukan oleh keluarga pihak pria dan ada
20
perbedaan dahulu hanya menggunakan daun sebagai pembentang
sekarang menggunakan kain sepanjang 30 meter.
c. Pesta Pernikahan (Erau Aweh), setelah upacara pernikahan dilakukan,
dilanjutkan dengan Erau Aweh (pesta pernikahan) dalam hal ini semua
pemuka adat, pemuka agama dan undangan khusus berkumpul di rumah
pengantin wanita untuk mengikuti acara pembukaan rumah tangga baru.
d. Fetutup (Pelaksanaan Pernikahan), upacara ini dilangsungkan di
Gereja, menyikuti tata cara Gereja dan dalam bahasa Indonesia.
Setelah pemberkatan pernikahan, dilanjutkan dengan penandatanganan
surat nikah yang dikeluarkan oleh Gereja di mana pernikahan tersebut
dilaksanakan.
-0-
21
Daftar Pustaka
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta:
Grafiti.
Kebudayaan dan Pariwisata. 2014. Profil Kabupaten dan Kecamatan Nunukan.
Nunukan.
Endraswara. Suwardi. 2010. Falsafah Hidup. Jakarta. Bhuana Ilmu Populer.
e-Journal Dinas Sosiatri - Sosiologi Volume 3, Nomor 2, 2015: 81-95
Hadikusuma, Hilman. 2005. Hukum Perkawinan Adat. Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti
http://www.sarjanaku.com/2013/01/pengertian perkawinan makalah masalah.
Html (diakses pada tangal 29 Oktober 2013). Perubahan Proses
Perkawinan Masyarakat Adat Dayak Lundayeh (Ramsis).
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta.
Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT Remaja
Rosdakarya
Suryati, S.H, 2008. pelaksanaan perkawinan menurut hukum adat Suku dayak
lundayeh (Skripsi) Semarang.
Waluyo, Kusworo. 2013. Sekapur Sirih Dayak Lundayeh Kabupaten Nunukan.
Dinas Pariwisata Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara.