12
B1 SENIN, 5 OKTOBER 2009 EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965 D ia penerima Bin- tang Sakti, ko- mandan resimen elite Tjakrabirawa. Pada 1 Oktober 1965, dia menculik para jenderal. Banyak perannya di sekitar peristiwa itu yang masih gelap: soal kedekatannya dengan Soeharto, mengapa di Tjakra hanya kompinya yang terlibat, mengapa ia percaya Dewan Jen- deral, bagaimana per- tautannya dengan Sjam Kamaruzzaman—gem- bong Biro Chusus PKI. Inilah sepotong kisah muram Tentara Nasio- nal Indonesia, yang ke- lahirannya diperingati hari ini, 5 Oktober. KISAH PERWIRA KESAYANGAN SOEHARTO B2 B4 B6 B8 B10 KENANGAN PERNIKAHAN LELAKI KEDUNG BAJUL SEBUAH KUNCI DARI SWEDIA TJAKRABIRAWA, DUL ARIEF, DAN 'MADURA CONNECTION' MISTERI REKAMAN TAPE

Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

  • Upload
    astaga

  • View
    3.346

  • Download
    17

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Edisi Khusus Tragedi September-Oktober 1965 - Koran Tempo

Citation preview

Page 1: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

B1S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

D ia penerima Bin-tang Sakti, ko-mandan resimen

elite Tjakrabirawa. Pada1 Oktober 1965, diamenculik para jenderal.Banyak perannya di

sekitar peristiwa ituyang masih gelap: soalkedekatannya denganSoeharto, mengapa diTjakra hanya kompinyayang terlibat, mengapaia percaya Dewan Jen-deral, bagaimana per-tautannya dengan SjamKamaruzzaman—gem-bong Biro Chusus PKI. Inilah sepotong kisah

muram Tentara Nasio-nal Indonesia, yang ke-lahirannya diperingatihari ini, 5 Oktober.

KISAH PERWIRA KESAYANGAN SOEHARTO B2 B4 B6 B8 B10KENANGAN PERNIKAHAN

LELAKI KEDUNG BAJUL SEBUAH KUNCI DARI SWEDIA

TJAKRABIRAWA, DUL ARIEF, DAN'MADURA CONNECTION'

MISTERI REKAMAN TAPE

Page 2: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

B2S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

Hari Selasa, pengujung tahun 1966.Penjara Militer Cimahi, Bandung,Jawa Barat. Dua pria berhadap-an. Yang satu bertubuh gempal,potongan cepak berusia 39 tahun.

Satunya bertubuh kurus, usia 52 tahun.Mereka adalah Letnan Kolonel UntungSamsuri dan Soebandrio, Menteri LuarNegeri kabinet Soekarno.

Suara Untung bergetar. "Pak Ban, sela-mat tinggal. Jangan sedih," kata Untungkepada Soebandrio.

Itulah perkataan Untung sesaat sebelumdijemput petugas seperti ditulis Soeban-drio dalam buku Kesaksianku tentangG30S. Dalam bukunya, Soebandrio men-ceritakan, selama di penjara, Untung ya-kin dirinya tidak bakal dieksekusi. Untungmengaku G-30-S atas setahu PanglimaKomando Cadangan Strategis AngkatanDarat Mayor Jenderal Soeharto.

Keyakinan Untung bahwa ia bakal dise-lamatkan Soeharto adalah salah satu "mis-teri" tragedi September-Oktober. Kisahpembunuhan para jenderal pada 1965 ada-lah peristiwa yang tak habis-habisnya di-kupas. Salah satu yang jarang diulas ada-lah spekulasi kedekatan Untung denganSoeharto.

Memperingati tragedi September kaliini, Koran Tempo bermaksud menurunkanedisi khusus yang menguak kehidupanLetkol Untung. Tak banyak informasi ten-tang tokoh ini, bahkan dari sejarawan"Data tentang Untung sangat minim, bah-

kan riwayat hidupnya," kata sejarawanAsvi Warman Adam.

***Tempo berhasil menemui saksi hidup

yang mengenal Letkol Untung. Salah satusaksi adalah Letkol CPM (Purnawirawan)Suhardi. Umurnya sudah 83 tahun. Ia ada-lah sahabat masa kecil Untung di Solo danbekas anggota Tjakrabirawa. Untung ting-gal di Solo sejak umur 10 tahun. Sebelum-nya, ia tinggal di Kebumen. Di Solo, ia hi-dup di rumah pamannya, Samsuri. Sam-suri dan istrinya bekerja di pabrik batikSawo, namun tiap hari membantu kerja dirumah Ibu Wergoe Prajoko, seorang priayiketurunan trah Kasunan, yang tinggal didaerah Keparen, Solo. Wergoe adalahorang tua Suhardi.

"Dia memanggil ibu saya bude dan me-manggil saya Gus Hardi," ujar Suhardi.Suhardi, yang setahun lebih muda dariUntung, memanggil Untung: si Kus. Namaasli Untung adalah Kusman. Suhardiingat, Untung kecil sering menginap di ru-mahnya. Tinggi Untung kurang dari 165sentimeter, tapi badannya gempal. "Po-tongannya seperti preman. Orang-orangCina yang membuka praktek-praktek pe-rawatan gigi di daerah saya takut semuakepadanya," kata Suhardi tertawa. Menu-rut Suhardi, Untung sejak kecil selalu se-rius, tak pernah tersenyum. Suhardi ingat,pada 1943, saat berumur 18 tahun, Untungmasuk Heiho. "Saya yang mengantarkan

Presiden Soekarno menerima Batalion Linud 454 pada perayaan untuk veteran pembebasan Irian Baratdi Istana Negara, pada 19 Februari 1963. Tampak Mayor Untung (kiri, Komandan Batalion Linud 454)dan Jenderal Soeharto (Komandan Mandala).

IPPHOS

KISAH PERWIRA KESAYANGAN SOEHARTO

Page 3: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

Untung ke kantor Heiho di perempatanNonongan yang ke arah Sriwedari."

Setelah Jepang kalah, menurut Suhardi,Untung masuk Batalion Sudigdo, yangmarkasnya berada di Wonogiri. "Batalionini sangat terkenal di daerah Boyolali. Inisatu-satunya batalion yang ikut PKI (Par-tai Komunis Indonesia)," kata Suhardi.Menurut Suhardi, batalion ini lalu terlibatgerakan Madiun sehingga dicari-cari olehGatot Subroto.

Clash yang terjadi pada 1948 antaraRepublik dan Belanda membuat penge-jaran terhadap batalion-batalion kiri ter-henti. Banyak anggota batalion kiri bisabebas. Suhardi tahu Untung kemudianbalik ke Solo. "Untung kemudian masukKorem Surakarta," katanya. Saat itu, me-nurut Suhardi, Komandan Korem Sura-karta adalah Soeharto. Soeharto sebelum-nya adalah Komandan Resimen Infanteri14 di Semarang. "Mungkin perkenalanawal Untung dan Soeharto di situ," kataSuhardi.

Keterangan Suhardi menguatkan banyaktinjauan para analisis. Seperti kita ketahui,Soeharto kemudian naik menggantikanGatot Subroto menjadi Panglima DivisiDiponegoro. Untung lalu pindah ke DivisiDiponegoro, Semarang. Banyak pengamatmelihat, kedekatan Soeharto dengan Un-tung bermula di Divisi Diponegoro ini. Ke-terangan Suhardi menambahkan kemung-kinan perkenalan mereka sejak di Solo.

Hubungan Soeharto-Untung terjalin lagisaat Soeharto menjabat Panglima Kostradmengepalai operasi pembebasan Irian Ba-rat, 14 Agustus 1962. Untung terlibat dalamoperasi yang diberi nama Operasi Mandalaitu. Saat itu Untung adalah anggota Bata-lion 454 Kodam Diponegoro, yang lebih di-kenal dengan Banteng Raiders.

Di Irian, Untung memimpin kelompokkecil pasukan yang bertempur di hutanbelantara Kaimana. Sebelum OperasiMandala, Untung telah berpengalaman dibawah pimpinan Jenderal Ahmad Yani. Iaterlibat operasi penumpasan pemberon-takan PRRI atau Permesta di Bukit Gom-bak, Batusangkar, Sumatera Barat, pada1958. Di Irian, Untung menunjukkan ke-lasnya. Bersama Benny Moerdani, ia men-dapatkan penghargaan Bintang Sakti dariPresiden Soekarno. Dalam sejarah Indone-sia, hanya beberapa perwira yang menda-patkan penghargaan ini. Bahkan Soeharto,selaku panglima saat itu, hanya memper-oleh Bintang Dharma, setingkat di bawahBintang Sakti.

"Kedua prestasi inilah yang menyebab-kan Untung menjadi anak kesayangan Ya-ni dan Soeharto," kata Kolonel Purnawira-wan Maulwi Saelan, mantan Wakil Ko-mandan Tjakrabirawa, atasan Untung diTjakrabirawa, kepada Tempo.

Untung masuk menjadi anggota Tjakra-birawa pada pertengahan 1964. Dua kom-pi Banteng Raiders saat itu dipilih menjadianggota Tjakrabirawa. Jabatannya sudahletnan kolonel saat itu.

Anggota Tjakrabirawa dipilih melaluiseleksi ketat. Pangkostrad, yang kala itudijabat Soeharto, yang merekomendasikanbatalion mana saja yang diambil menjadiTjakrabirawa. "Adalah menarik mengapaSoeharto merekomendasikan dua kompiBatalion Banteng Raiders masuk Tjakrabi-rawa," kata Suhardi. Sebab, menurut Su-hardi, siapa pun yang bertugas di Jawa Te-ngah mengetahui banyak anggota Raiderssaat itu yang eks gerakan Madiun 1948."Pasti Soeharto tahu itu eks PKI Madiun."

Di Tjakrabirawa, Untung menjabat Ko-mandan Batalion I Kawal Kehormatan Re-simen Tjakrabirawa. Batalion ini berada diring III pengamanan presiden dan tidaklangsung berhubungan dengan presiden.

Maulwi, atasan Untung, mengaku tidak

banyak mengenal sosok Untung. Untung,menurut dia, sosok yang tidak mudah ber-gaul dan pendiam.

Suhardi masuk Tjakrabirawa sebagaianggota Detasemen Pengawal Khusus.Pangkatnya lebih rendah dibanding Un-tung. Ia letnan dua. Pernah sekali waktumereka bertemu, ia harus menghormat ke-pada Untung. Suhardi ingat Untung me-natapnya. Untung lalu mengucap, "Gus,kamu ada di sini...."

Menurut Maulwi, kedekatan Soehartodengan Untung sudah santer tersiar di ka-langan perwira Angkatan Darat pada awal1965. Para perwira heran mengapa, misal-nya, pada Februari 1965, Soeharto yangPanglima Kostrad bersama istri mengha-diri pesta pernikahan Untung di desa ter-pencil di Kebumen, Jawa Tengah. "Meng-apa perhatian Soeharto terhadap Untungbegitu besar?" Menurut Maulwi, tidak adasatu pun anggota Tjakra yang datang keKebumen. "Kami, dari Tjakra, tidak adayang hadir," kata Maulwi.

Dalam bukunya, Soebandrio melihat ke-datangan seorang komandan dalam pestapernikahan mantan anak buahnya adalahwajar. Namun, kehadiran Pangkostrad didesa terpencil yang saat itu transportasi-nya sulit adalah pertanyaan besar. "Jikatak benar-benar sangat penting, tidakmungkin Soeharto bersama istrinya meng-hadiri pernikahan Untung," tulis Soeban-drio. Hal itu diiyakan oleh Suhardi. "Pastiada hubungan intim antara Soeharto danUntung," katanya.

***Dari mana Untung percaya adanya De-

wan Jenderal? Dalam bukunya, Soebandriomenyebut, di penjara, Untung pernah ber-cerita kepadanya bahwa ia pada 15 Sep-tember 1965 mendatangi Soeharto untukmelaporkan adanya Dewan Jenderal yangbakal melakukan kup. Untung menyam-paikan rencananya menangkap mereka.

"Bagus kalau kamu punya rencana begi-tu. Sikat saja, jangan ragu-ragu," demikiankata Soeharto seperti diucapkan Untungkepada Soebandrio.

Bila kita baca transkrip sidang peng-adilan Untung di Mahkamah Militer LuarBiasa pada awal 1966, Untung menjelas-kan bahwa ia percaya adanya Dewan Jen-deral karena mendengar kabar beredarnyarekaman rapat Dewan Jenderal di gedungAkademi Hukum Militer Jakarta, yang

membicarakan susunan kabinet versi De-wan Jenderal.

Maulwi melihat adalah hal aneh bilaUntung begitu percaya adanya informasikudeta terhadap presiden ini. Sebab, sela-ma menjadi anggota pasukan Tjakrabira-wa, Untung jarang masuk ring I atau ringII pengamanan presiden. Dalam catatanMaulwi, hanya dua kali Untung bertemudengan Soekarno. Pertama kali saat mela-por sebagai Komandan Kawal Kehormat-an dan kedua saat Idul Fitri 1964. "Jadi,ya, sangat aneh kalau dia justru yang pa-ling serius menanggapi isu Dewan Jende-ral," kata Maulwi.

Menurut Soebandrio, Soeharto membe-rikan dukungan kepada Untung untukmenangkap Dewan Jenderal dengan me-ngirim bantuan pasukan. Soeharto mem-beri perintah per telegram Nomor T.220/9pada 15 September 1965 dan mengulangi-nya dengan radiogram Nomor T.239/9 pa-da 21 September 1965 kepada Yon 530Brawijaya, Jawa Timur, dan Yon 454 Ban-teng Raiders Diponegoro, Jawa Tengah.Mereka diperintahkan datang ke Jakartauntuk defile Hari Angkatan Bersenjata pa-da 5 Oktober.

Pasukan itu bertahap tiba di Jakarta se-jak 26 September 1965. Yang aneh, pasuk-an itu membawa peralatan siap tempur."Memang mencurigakan, seluruh pasukanitu membawa peluru tajam," kata Suhardi.Padahal, menurut Suhardi, ada aturan te-gas di semua angkatan bila defile tidakmenggunakan peluru tajam. "Itu ada pe-tunjuk teknisnya," ujarnya.

Pasukan dengan perlengkapan siaga Iitu kemudian bergabung dengan PasukanKawal Kehormatan Tjakrabirawa pimpin-an Untung. Mereka berkumpul di dekatMonumen Nasional.

Dinihari, 1 Oktober 1965, seperti kitaketahui, pasukan Untung bergerak mencu-lik tujuh jenderal Angkatan Darat. Malamitu Soeharto , menunggui anaknya, Tom-my, yang dirawat di Rumah Sakit PusatAngkatan Darat Gatot Subroto. Di rumahsakit itu Kolonel Latief, seperti pernahdikatakannya sendiri dalam sebuahwawancara berusaha menemui Soeharto.

Dalam perjalanan pulang, Soehartoseperti diyakini Subandrio dalam bukun-ya, sempat melintasi kerumunan pasukandengan mengendarai jip. Ia dengan te-nangnya melewati pasukan yang beberapasaat lagi berangkat membunuh para jende-

ral itu. Adapun Untung, menurut Maulwi, hing-

ga tengah malam pada 30 September 1965masih memimpin pengamanan acara Presi-den Soekarno di Senayan. Maulwi masihbisa mengingat pertemuan mereka terakhirterjadi pada pukul 20.00. Waktu itu Maul-wi menegur Untung karena ada satu pintuyang luput dari penjagaan pasukan Tjakra.Seusai acara, Maulwi mengaku tidak me-ngetahui aktivitas Untung selanjutnya.

Ketegangan hari-hari itu bisa dirasakandari pengalaman Suhardi sendiri. Pada 29September, Suhardi menjadi perwira piketdi pintu gerbang Istana. Tiba-tiba ada ang-gota Tjakra anak buah Dul Arief, peleton dibawah Untung, yang bernama Djahuruphendak masuk Istana. Menurut Suhardi,tindakan Djahurup itu tidak diperbolehkankarena tugasnya adalah di ring luar se-hingga tidak boleh masuk. "Saya tegur dia."

Pada 1 Oktober pukul 07.00, Suhardi su-dah tiba di depan Istana. "Saya heran, darisekitar daerah Bank Indonesia, saat itu ba-nyak tentara." Ia langsung mengendarai jipmenuju markas Batalion 1 Tjakrabirawadi Tanah Abang. Yang membuatnya heranlagi, pengawal di pos yang biasanya meng-hormat kepadanya tidak menghormat lagi."Saya ingat yang jaga saat itu adalah Ko-pral Teguh dari Banteng Raiders," kataSuhardi. Begitu masuk markas, ia melihatsaat itu di Tanah Abang semua anggotakompi Banteng Raiders tidak ada.

Begitu tahu hari itu ada kudeta dan Un-tung menyiarkan susunan Dewan Revolu-si, Suhardi langsung ingat wajah sahabatmasa kecilnya dan sahabat yang sudah di-anggap anak oleh ibunya sendiri tersebut.Teman yang bahkan saat sudah menjabatkomandan Tjakrabirawa bila ke Solo sela-lu pulang menjumpai ibunya. "Saya takheran kalau Untung terlibat karena sayatahu sejak tahun 1948 Untung dekat de-ngan PKI," katanya.

Kepada Oditur Militer pada 1966, Un-tung mengaku hanya memerintahkan me-nangkap para jenderal guna dihadapkanpada Presiden Soekarno. "Semuanya terse-rah kepada Bapak Presiden, apa tindakanyang akan dijatuhkan kepada mereka," ja-wab Untung.

Heru Atmodjo, Mantan Wakil Asisten Di-rektur Intelijen Angkatan Udara, yang na-manya dimasukkan Untung dalam susunanDewan Revolusi, mengakui Sjam Kamaruz-zaman-lah yang paling berperan dalam ge-rakan tersebut. Keyakinan itu muncul keti-ka pada Jumat, 1 Oktober 1965, Heru seca-ra tidak sengaja bertemu dengan para pim-pinan Gerakan 30 September: Letkol Un-tung, Kolonel Latief, Mayor Sujono, SjamKamaruzzaman, dan Pono. Heru melihatjustru Pono dan Sjam-lah yang paling ba-nyak bicara dalam pertemuan itu, sementa-ra Untung lebih banyak diam.

"Saya tidak melihat peran Untung da-lam memimpin rangkaian gerakan atauoperasi ini (G-30-S)," kata Heru saat dite-mui Tempo.

Soeharto, kepada Retnowati AbdulganiKnapp, penulis biografi Soeharto: The Lifeand Legacy of Indonesia’s Second Presi-dent, pernah mengatakan memang kenaldekat dengan Kolonel Latif maupunUntung. Tapi ia membantah isu bahwapersahabatannya dengan mereka ada kait-annya dengan rencana kudeta. “Itu takmasuk akal,” kata Soeharto. ”Saya me-ngenal Untung sejak 1945 dan dia meru-pakan murid pimpinan PKI, Alimin. Sayayakin PKI berada di belakang gerakanLetkol Untung,” katanya kepadaRetnowati.

Demikianlah Untung. Kudeta itu bisadilumpuhkan. Tapi perwira penerima Bin-tang Sakti itu sampai menjelang ditembakpun masih percaya bakal diselamatkan. �

B3S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

Letkol CPM (Purnawirawan)Suhardi, teman kecil Untung.

DWIANTO WIBOWO (TEMPO)

Page 4: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

B4S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

D usun yang tak jauh dari PantaiKrakal, di bagian timur Kebumen,siang itu begitu panas menyengat

ketika Tempo mengunjunginya Hawanyagersang, khas kawasan pesisir.

Sebagian besar penduduknya bekerjasebagai perajin dan pedagang peci. Dulu,daerah itu basis Angkatan Oemat Islam,organisasi yang didirikan untuk melawanpendudukan Belanda sekitar 1945-1950.

Orang-orang Kedung Bajul, DesaBojongsari, nama daerah itu, tergolongpemeluk Islam yang taat. Tua-muda rajinberibadah dan mendaras Al-Quran.Dusun itu merupakan tempat kelahiranLetnan Kolonel Untung. Tetangga danteman masa kecil mengingatnya sebagaiKusmindar atau Kusman. Kus, begitu iabiasa dipanggil.

Dari percakapan dengan penduduksetempat, Tempo mendapat informasiUntung tak punya darah militer maupunpolitik dari kedua orang tuanya. Slamet,kakek Kusman, cuma tukang sapu diPasar Seruni di desa itu. Ayahnya,Abdullah Mukri, buruh peralatan batik diSolo, Jawa Tengah.

Meski cuma buruh, Mukri dikenalsebagai penakluk wanita. Ia kawin-ceraisampai tujuh kali. Untung lahir dari istrikedua Mukri. "Ibunya pemain wayangorang desa kami," kata Sadali, 71 tahun,tetangga dekat Untung di Kedung Bajul.Sadali, yang sekarang berdagang peci, takingat nama perempuan yang minggat,menikah dengan lelaki lain ketikaUntung masih 10 tahun, itu.

Sepeninggal ibunya, Untung hijrah keSolo. Ia diasuh adik ayahnya, Samsuri,yang tak punya anak. Karena itu, "Dialebih dikenal sebagai Untung bin

KENANGANPERNIKAHAN LELAKI KEDUNG BAJULDi Kebumen, Soeharto datang menghadiri pernikahan Untung. Kedatangan Soeharto dan

Tien yang mendadak membuat tuan rumah kebingungan menyambutnya.

Seorang warga sedang menjemur pakaian di bekas rumah Letkol Untung di Dukuh Kedung Bajul, Desa Bojongsari, Kecamatan Alian, Kebumen, 17September lalu. Rumah Untung saat ini sudah tak berbekas. Oleh pemilik baru, Yono, tanah bekas rumah Untung ditanami sayuran.

ARIS ANDRIANTO (TEMPO)

Page 5: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

Samsuri," kata Sadali, yang kakaknyasekelas dengan Untung di Sekolah RakyatSeruni, Kebumen, hingga kelas III.

Seperti kakaknya, Samsuri buruh pera-jin batik di Solo. Meski begitu, Samsurimemperhatikan pendidikan sang kepona-kan. Suhardi, teman kecil sekaligus juniorUntung di Tjakrabirawa, bercerita, darisekolah rakyat di Kebumen, Untung dipin-dahkan ke Sekolah Rakyat di Jayengan,Kartopuran, Solo.

Barangkali karena Samsuri berada dilingkungan pedagang yang kuat, selepassekolah rakyat Untung dimasukkan keKlienhandel, sekolah dagang Belanda se-tingkat SMP. Toh, setamat sekolah dagang,Untung tidak jadi saudagar. Ia malahmasuk Heiho pada 1943, yakni ketikaJepang masuk ke Indonesia. Sejak itu iaterus berkarier di militer.

Sejak pindah ke Solo, Untung tak per-nah lagi pulang ke Kedung Bajul. Sekitar1957-1958, menurut Sadali, yang kala ituberdagang batik, dia beberapa kali berte-mu dengan Untung. Temannya itu, kata

Sadali, pulang ke rumah Samsuri sabanbulan ketika masih berdinas di kesatuanBanteng Raiders di Gombel, Semarang.

Bagi Sadali, Untung orang yang ramah,halus tutur katanya dan rajin mengajihingga dewasa. Jika bertemu, ia senangmengajak ngobrol Sadali, bahkan menasi-hati. "Sesama orang Kebumen di peran-tauan harus saling membantu."

Selebihnya, orang-orang Kedung Bajultak tahu lagi kabarnya hingga pernikahan-nya dengan Hartati digelar megah pada1963, setahun setelah kepulangannya dariIrian Barat. "Pesta paling meriah waktuitu," kata Syukur Hadi Pranoto, 71 tahun,tetangga Hartati di Kelurahan Kebumen.

Untung menikahi Hartati setelah berte-mu di rumah Yudo Prayitno diKecamatan Klirong, pesisir selatanKebumen, pada sebuah acara keluarga."Usia Hartati jauh lebih muda dariUntung," kata Siti Fatonah, kerabat

Hartati di Kebumen. Hartati adalah anak kelima dari tujuh

anak Sukendar, pemborong besar yangkaya dan terpandang. "Dia punya banyakkuli," ujar Syukur. Beberapa gedung besardi Kebumen adalah hasil karyanya.

Tak aneh jika pesta pernikahan Hartati-Untung yang digelar siang hari dibikinmegah. Tenda besar dibentang.Hiburannya wayang orang Grup NgestiPandawa dari Semarang yang sedang nge-top. Jalanan sekitar rumah Sukendarditutup. Mobil tetamu berjajar di sepan-jang jalan di sekitar rumah Sukandar.

Menikah dengan adat Jawa, Untungmengenakan beskap dan blangkon.Setelah itu ia mengenakan pakaian kebe-saran militer.

Tamunya kebanyakan petinggi pemerin-tahan, pejabat militer, dan anggota Dewan.Soeharto dan Tien Soeharto pun datang."Soeharto datang mendadak, membuat

tuan rumah sedikit kebingungan menyam-but kedatangannya," kata Syukur, yangsempat dipenjara enam tahun karenadituduh terlibat G-30-S.

Di antara para tamu, tak ada tetanggadan kerabat dari Kedung Bajul yang diun-dang. Dikabari pun tidak. "Mungkin kare-na ia sudah menjadi orang besar," kataMashud, tetangga dekat Untung di dusun.Padahal keluarga besar Slamet masihberada di dusun itu hingga sekarang.

Setelah menikah, Untung memboyongHartati ke Jakarta. Siti Fatonah, kerabatHartati yang masih tinggal di Kebumen,mengatakan, dari pernikahannya denganHartati, Untung mendapat seorang anaklelaki, Anto. Fatonah menyebutnya,Insinyur Anto.

Sepeninggal Untung, Hartati menikahlagi dengan seorang petinggi sebuahperusahaan tekstil di Bandung.

� ENDRI KURNIAWATI | ARIS ANDRIANTO | ERWIN DARIYANTO

B5S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

D i mata Sadali, teman masa kecilnya,Untung adalah seorang prajurit cerdas.Sadali, yang sekarang berdagang peci,

masih ingat perjalanan karier karibnya itu.Untung, kata Sadali, memulai dinas militer-nya di Heiho pada 1943.

Setelah Jepang hengkang, Untung berga-bung dengan Tentara Nasional Indonesia.Kariernya mulai bersinar terang di kesatuanBanteng Raiders, Diponegoro, yang bermar-kas di Gombel, dekat Semarang, Jawa Te-ngah. Pada 1961, pangkatnya sudah mayor."Ada satu melati putih di pangkatnya."

Warga Dukuh Kedung Bajul, tempat kela-hiran Untung, di Kebumen, Jawa Tengah,amat mengingat Untung ikut berjasa membe-baskan Irian Barat pada 1962. Bahkan, Sa-dali percaya, Untunglah arsitek di balik pere-butan Irian Barat dari tangan Belanda.

Dari mulut Sadali terurai strategi Untungyang cerdik dan tak lazim. Setelah diterjun-

kan di Irian Barat, konon Untung memadam-kan semua lampu di kota-kota. Sebaliknyahutan-hutan dibuatnya benderang. "Belandatertipu," kata Sadali. "Untung bersama pa-sukannya berhasil masuk ke kota-kota." En-tah dengan cara apa Untung menerangi rim-ba Papua yang ganas itu.

Prestasi di Irian Barat membuat Untungmenjadi salah satu penerima penghargaanBintang Sakti, yang langsung disematkanPresiden Soekarno. Penerima penghargaanlainnya adalah Mayor L.B. Moerdani. PangkatUntung dinaikkan menjadi letnan kolonel.Dia pun secara khusus diminta PresidenSoekarno menjadi anggota pasukan penga-wal Tjakrabirawa.

Hingga dieksekusi pada pertengahan1966, pangkat Untung masih letnan kolonel.Namun, bagi warga Kedung Bajul, pangkatUntung terus terdongkrak beberapa tingkatsekaligus. Dengan takzim mereka menyebut-

nya Jenderal Untung. "Jenderal Untung dikenal karismatis,"

Mashud Efendi, 69 tahun, yang tinggal ber-dekatan dengan rumah Untung, memuji. Ke-pala Desa Bojongsari Mohamad Asibun ikutmenyebutnya Jenderal Untung. "Paling tidakada orang Kebumen yang berhasil membe-baskan Irian Barat," ujar Asibun, 40 tahun.

Mereka bukannya tak tahu soal keterlibatanUntung dalam penculikan para jenderal Angkat-an Darat. Tapi mereka tidak terlalu peduli.

Syukur Hadi Pranoto, yang tinggal di bela-kang rumah Sukendar, mertua Untung, menge-tahui keterlibatan Untung dalam peristiwa G-30-S melalui radio. Massa yang marah sempatmenjadikan rumah Sukendar sebagai sasaran.

"Sekitar seratus orang siap membakar ru-mah Sukendar dengan bom molotov," kataSyukur, yang kini 71 tahun. Beruntung ru-mah itu bisa diselamatkan seorang anggotadewan perwakilan rakyat daerah.

Kendati Syukur mendengar Untung terlibatG-30-S, ia tak percaya pria itu bersalah. "Diahanya alat atau korban politik. Dalangnya,ya, Soeharto." Sebaliknya, ia yakin Untungorang yang jujur dan bertanggung jawab.Dan, seperti warga dukuh lainnya, ia banggaada putra Kebumen yang menjadi pahlawanpembebasan Irian Barat.

Bahkan Siti Fatonah, 78 tahun, yang ma-sih terhitung kerabat Hartati, istri Untung,tak percaya warga kebanggaan Kedung Bajulitu terlibat penculikan para jenderal. Padamalam kejadian, kata dia, Untung nongkrongmakan bakso di Hotel Des Indes Harmoni,Jakarta, atau Duta Merlin sekarang.

Yang lebih unik, seorang kerabat dekatHartati lainnya percaya Untung masih hidupdan tinggal di Kopeng, Salatiga, Jawa Te-ngah. "Ia menjadi kasepuhan atau paranor-mal," kata orang yang tak pernah bertemudengan Untung itu. � ENDRI KURNIAWATI | ARIS ANDRIANTO

Dia Jenderal, Bukan Letnan Kolonel

Soeharto

Mayor Untung, Komandan Batalion Linud 454, pada perayaan bagi veteran pembebasan Irian Barat di Tanjung Priok, Jakarta, 26 Februari 1963.

Page 6: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

Letnan Kolonel Untung

Samsuri diyakini ditanam

Sjam Kamaruzzaman di

Tjakrabirawa melalui

Kapten Rochadi. Kapten

itu eksil dan meninggal

di Swedia.

30 September 1965. Jam menunjukpukul 7 malam di Istora Sena-yan, Jakarta. Tamu besar, Presi-

den Soekarno, sudah datang untuk me-nutup Musyawarah Kaum Teknisi In-donesia. Terasa benar Istora kian bungah.

Wakil Komandan Tjakrabirawa KolonelMaulwi Saelan tak ikut larut pada pestayang berlangsung hingga tengah malamitu. Ia makin waspada. Malam itu, dialahyang bertanggung jawab menjaga kesela-matan Presiden. Atasannya, BrigadirJenderal Moch. Saboer, sedang keBandung. Sekali lagi ia memeriksa setiapjengkal gedung itu.

Lhakadalah..., satu pintu yang mestinyatertutup dibiarkan ngeblong. Ia berteriakkepada seorang anak buahnya. Tentara itukekarnya setanding dengan dia, namunlebih pendek. "Kenapa pintu itu terbuka?"Maulwi menghardik.

Yang ditegur menjawab singkat, lalumenjalankan perintah Maulwi. DialahLetnan Kolonel Untung Samsuri, Koman-dan Batalion I Kawal Kehormatan Tjak-rabirawa.

Kepada Tempo dua pekan lalu, Maulwimenceritakan kembali kisah ini. Inilahpertemuan terakhirnya dengan Untung,sebelum peristiwa penculikan para jen-deral beberapa jam kemudian.

Maulwi mengaku sempat heran ataskelalaian Untung kala itu. "Dia itu tahutugasnya apa. Saya heran, kenapa malamitu dia bisa sangat ceroboh dan lalai begi-tu," ujarnya.

Tapi ia tak memperpanjang urusantersebut. Ia tahu Untung sebenarnya da-pat diandalkan.

Untung memang tentara bermutu kelassatu. Dalam Operasi Mandala di IrianJaya, ia menerima anugerah BintangSakti. Di medan tempur itu, cuma adasatu orang lagi yang menerima penghar-gaan tertinggi untuk tentara tersebut. Diaadalah L.B. Moerdani, yang juga pernahdigadang-gadang untuk menjadi Ko-mandan Tjakra di awal berdirinya resimenini.

Tapi Heru Atmodjo, mantan AsistenDirektur Intelijen Angkatan Udara, men-duga bergabungnya Untung denganTjakra tak semata karena prestasinya. "Iabagian dari strategi Sjam Kamaruzzamandari Biro Chusus PKI," ujarnya.

Heru—namanya dimasukkan Untungdalam susunan Dewan Revolusi—menya-takan penaut Untung dan Sjam adalahKapten Sujud Surachman Rochadi. "Sjamyang memasukkan Untung ke Tjak-rabirawa melalui Rochadi," ujar Heru."Dia itu agen yang disusupkan Sjam keTjakra."

Nama Rochadi juga disebut anggotaProvoost Tjakrabirawa, Letkol CPM(Purnawirawan) Suhardi. "Ke-PKI-anRochadi dibina langsung oleh Sjam,"ujarnya.

Suhardi mengatakan informasi soalRochadi-Sjam didapatnya dari KaptenSoewarno, komandan kompi lainnya diBatalion I Kawal Kehormatan. Soewarnomengaku kepadanya bahwa ia bersamaRochadi sering bertandang ke mes tentaraJalan Kemiri di bilangan Senen. "Di tem-pat itulah Sjam melakukan pembinaanterhadap keduanya," kata Suhardi.

Jelas Rochadi orang penting PKI.Namun, menurut Heru, namanya tak per-nah disebut dalam berbagai cerita tentangGerakan 30 September 1965, "Karenapada 26 September ia berangkat ke Peking(sekarang Beijing) untuk menghadiriperingatan Hari Nasional RRC."

"Ia berangkat bersama Adam Malik dantak kembali lagi ke Indonesia," katanya."Posisinya di Tjakra waktu itu digantikanoleh Dul Arief, yang memimpin operasipenculikan para jenderal."

Cerita ini membikin Maulwi heran.Mengaku tak ingat ada anak buahnyayang bernama Rochadi, dia mengatakankeikutsertaan seorang Tjakrabirawadalam sebuah delegasi tak lazim terjadi."Tjakra hanya bertolak ke mancanegarajika Presiden berangkat ke luar negeri,"ujarnya.

Heru juga menggarisbawahi soal ini.Rochadi, yang cuma seorang kapten, takmungkin ikut delegasi itu jika bukanorang penting—resmi maupun tak resmi.

Tempo tak menemukan dokumen yangberkaitan dengan keberangkatan Rochadikala itu. Namun, soal ini sudah diveri-fikasi Heru. Dia bahkan telah menemukanjejaknya di Swedia. Di sana ia sebagaieksil. Namanya sudah berganti menjadiRafiudin Umar. Heru bercerita, saat iamengontak Rochadi lewat telepon danmemanggil dengan nama aslinya, Rochadilangsung menutup telepon itu.

Ahli sejarah Lembaga IlmuPengetahuan Indonesia, Asvi WarmanAdam, juga pernah mencari Rochadi diSwedia setelah ia mendengar kisah Heru.Gagal. Dari para eksil Indonesia di negeriitu diperoleh keterangan bahwa Rochaditak pernah bergaul dengan orang-orangyang diasingkan pemerintah Orde Baru."Orangnya disebut-sebut agak misterius.Dia juga tak pernah bercerita alasan sam-pai ia melarikan diri ke Eropa," ujar Asvi.

Jejak Rochadi dibaca Asvi dalamsebuah otobiografi di perpustakaanInstitut Sejarah Sosial Indonesia yangdiperoleh sejarawan asal UniversitasColumbia, John Roosa, saat menulis bukutentang G-30-S/PKI. Dalam riwayathidup setebal 31 halaman bertahun 1995itu, tertulis Rochadi lahir pada 1927 daripasangan Umar dan Kartini. Pada usia 17tahun, ia masuk Heiho.

Di masa-masa awal kemerdekaan, iabergabung dengan pasukan DivisiIV/Panembahan Senopati. Menjelangperistiwa Madiun 1948, divisinya sempatbentrok dengan Divisi Siliwangi, yang

dikirim pemerintah untuk meredam ge-rakan Musso dan Amir Sjarifuddin.Mengacu pada catatan itu, Rochadi tam-paknya sejak awal sudah "kekiri-kirian"dan bersimpati pada gerakan AmirSjarifuddin. Bagi Rochadi, peristiwa itubukan pemberontakan PKI, melainkanprovokasi dari pemerintah pusat yangdisokong oleh Blok Amerika Serikatuntuk memberangus PKI.

Dalam catatan itu, Rochadi tak menulisnama kesatuannya di Panembahan.Namun, menurut Heru, dia berada diBatalion Mayor Sudigdo. "Di sanalah awalpertautan Rochadi dan Untung," kata dia.

Rochadi berhasil lolos dari pembersihanPKI di tubuh Batalion Sudigdo, yangdilakukan Gatot Subroto, karena Belandakeburu melakukan agresi yang kedua.Seusai agresi itu, dia ikut operasipenumpasan gerakan separatis RepublikMaluku Selatan pada akhir 1950. Sepuluhtahun kemudian, ia menjadi komandankompi Cadangan Umum (sejak 1963namanya menjadi Kostrad) Resimen 15,yang kemudian digabungkan dalamBatalion Raiders 430 di bawah KomandoDaerah Militer VII Diponegoro.

Pada Februari 1963, setahun setelahTjakrabirawa berdiri, kompinya diboyongke Jakarta untuk bergabung dalamResimen Tjakrabirawa. Menurut bukuHimpunan Peraturan-peraturan ResimenTjakrabirawa, Rochadi diangkat sebagaisalah satu komandan kompi Batalion IKawal Kehormatan pada 3 April tahunitu. Pangkatnya letnan satu. Salah satubawahan langsungnya adalah Boengkoes,yang pada penculikan para jenderal me-nembak mati Mayjen M.T. Harjono.

Otobiografi Rochadi berhenti pada1964. Setelah tahun itu, jejaknya di Tjakratak jelas. "Ia meninggal empat tahun laludi Swedia. Sayang, pada periode itu, iadisebut-sebut tengah memainkan peranpenting karena ikut menentukan seleksianggota Tjakra, termasuk memasukkanUntung," ujar Asvi.

Tempo mencoba mendapatkan ceritadari putranya, yang kini tinggal diSwedia. Soalnya, menilik bagian pem-bukaan otobiografi itu, Rochadi menu-jukkannya bagi anaknya. Sayangnya,hingga tulisan ini diterbitkan, putranyatak bisa dihubungi. Namun, dari ceritayang didapatkan Asvi dari komunitaseksil di Swedia, putra Rochadi juga taktahu banyak tentang kehidupan ayahnya."Jadi peran Kapten Rochadi ini masihsamar-samar," ujar Asvi. "Sungguhpun

B6S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

SEBUAH KUNCIDARI SWEDIA

GEOCITIES.COM

Proses pengadilan Sjam Kamaruzzaman.

Ulang tahun pertama Tjakrabirawa. KOLEKSI MAYOR (PURN) SUHARDI | REPRO FOTO: DWIANTO WIBOWO (TEMPO)

Page 7: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

begitu, kemunculan namanya itu baguskarena berarti ada banyak hal yang masihbisa diungkap dari peristiwa 30 Septem-ber."

Dari Maulwi—yang tak menampik ke-mungkinan Tjakra disusupi tentara kiriatau tentara yang sudah dipengaruhiSjam—ada versi lain soal kedatanganUntung ke Tjakra. Dia mengatakan Tjakratak ikut menentukan seleksi anggotanya."Semua keputusan seleksi anggota Tjakraada di angkatan masing-masing. Jadikami terima bersih," katanya.

Maka Maulwi melihat, yang paling ber-

peran atas masuknya Untung ke Tjakra-birawa adalah para perwira tinggi diAngkatan Darat. Keputusan mengangkatUntung sebagai komandan batalion,ujarnya, diambil pada sebuah rapat diMarkas Besar Angkatan Darat. "Untunglolos dari sana karena ia kesayangan(Ahmad) Yani dan Soeharto. Yani,Soeharto, dan Untung juga berasal dariKodam Diponegoro."

Tapi Maulwi menduga kuat Soehartolahyang paling berperanmerekomendasikan Untungmasuk Tjakrabirawa.Pasalnya, Batalion Raiders ber-ada di bawah kendali Kostrad.Apalagi Untung dan Soeharto—yangsudah saling kenal jauh sebelumOperasi Mandala—memang dekat."Terbukti, saat Untung menikah diKebumen, Jawa Tengah, Soeharto danistrinya naik jip dari Jakarta ke Kebumenuntuk menghadiri resepsinya," ujar dia.

Ada kisah dari Boengkoes, yang men-dukung cerita Maulwi tentang peranSoeharto. Boengkoes mengatakan, ketikamengikuti seleksi Tjakra, dia sudah meng-aku menderita wasir dan disentri sehinggalangsung meninggalkan rumah sakit mi-liter di Semarang. Eh, besoknya dia diberitahu bahwa dia sehat dan lulus.

Kala itu, kata Boengkoes, ada seratusanpersonel Banteng Raiders yang juga lolosseleksi. "Dari Jawa Tengah, jumlah kamiyang lolos seleksi cukup untuk memben-tuk satu kompi," ujar Boengkoes.

Mana yang benar? Wallahualam. Tapi,menurut Asvi, menyusupkan orang keTjakrabirawa adalah bagian penting daristrategi. "Karena gerakan dijalankan de-ngan alasan menyelamatkan presiden,yang paling cocok menjalankannya adalahpasukan pengawal presiden." �

B7S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

I dul Adha, Mei 1962. Presiden Soekarnopagi itu salat di lapangan rumput IstanaPresiden. Ia di saf terdepan.

Tiba-tiba seorang pria di saf keempat berdirimenghunus pistol. Ia membidik Presiden. Tar!Tembakannya luput. Peluru mengoyak dadaKH Zainul Arifin. Ketua DPR Gotong Royong itumeninggal setahun kemudian.

Sudah berkali-kali Soekarno dicoba dibunuh.Ia pernah digranat, dibidik pesawat MIG, tapiinsiden Hari Raya Kurban inilah yang tergawat.Detasemen Kawal Pribadi Presiden kecolongandi halaman Istana, yang dijaganya 24 jam.

Karena itu, Kepala Staf Angkatan Bersenja-ta Jenderal Abdul Haris Nasution memanggilLetnan Kolonel Moch. Saboer, ajudan Presi-den, untuk membicarakan pembentukan pa-sukan pengawal presiden. Sebenarnya itu bu-kan gagasan baru, tapi selalu ditolak Soekar-no. Namun, kali ini Nasution berhasil meyakin-kan Soekarno bahwa keberadaan pasukan itulazim di semua negara.

Karena tak ada waktu untuk menyeleksipersonel kesatuan baru itu, Nasution meme-rintahkan setiap angkatan menyetorkan pa-sukan khususnya. Masing-masing satu bata-lion. Kepolisian menyumbangkan Mobrig (Bri-mob), Angkatan Laut memberikan Korps Ko-mando (KKO), dan Angkatan Udara menyetorPasukan Gerak Tjepat.

Angkatan Darat seharusnya mengirimkanResimen Para Komando Angkatan Darat(RPKAD). L.B. Moerdani—waktu itu masih ber-pangkat mayor RPKAD—sudah digadang-ga-dang sebagai komandan di kesatuan itu. Na-mun, pasukan elite ini menolak tugas tersebutdengan alasan ingin berkonsentrasi sebagaipasukan tempur. Sebagai gantinya, merekamemberikan pasukan Kostrad (waktu itu Tja-dangan Umum Angkatan Darat, Tjaduad). Duakompi di antaranya dari Batalion 454/KodamVII Diponegoro, yang dikenal dengan sebutanBatalion Raiders atau Banteng Raiders.

Batalion ini sebenarnya punya catatan bu-ruk di masa lalu. Sebagian anggotanya ber-asal dari Batalion Sudigdo, yang terlibat pem-berontakan PKI di Madiun pada 1948. Ketikapemberontakan itu dipadamkan, batalion inisempat dibersihkan dari unsur PKI. Namun,sebelum rampung, Belanda melancarkan agre-si militer kedua.

Tapi soal itu sepertinya tertutupi oleh pa-mor tim tempur ini yang moncer dalam opera-si PRRI/Permesta dan Operasi Trikora di IrianBarat. Apalagi Jenderal Ahmad Yani, yang de-kat dengan Soekarno, dulu dari batalion ini.

Pada hari ulang tahunnya, 6 Juni 1962, Soe-karno meresmikan resimen itu. Ia memberi na-ma Tjakrabirawa, senjata pamungkas Batara

Kresna dalam lakon wayang kegemarannya. Iapulalah yang memilihkan seragamnya: bajuwarna cokelat tua dengan baret merah gelap.

Setahun kemudian, pasukan ini sudah da-lam kekuatan penuh. Senjata mereka serbacanggih. Maklum, pasukan ini mendapat ang-garan langsung dari pemerintah pusat, bukandari kantong ABRI.

Lalu, 30 September 1965, Letnan KolonelUntung Sjamsuri, Komandan Batalion I KawalKehormatan, melakukan makar. Kisah Tjakra-birawa setelah itu cuma berisi tragedi.

Sebenarnya cuma dua kompi Tjakra yang ja-hat. Ini kesaksian mantan Provoost Tjakra,Letkol CPM (Purnawirawan) Suhardi. Pagi 1Oktober 1965, ujar Suhardi kepada Tempo,ia—saat itu kapten—menemukan, di markas-nya di Wisma Kala Hitam hanya ada kompi Ja-wa Barat dan Jawa Timur. "Harusnya ada em-pat. Kompi Raiders dari Jawa Tengah dua-dua-nya tidak ada."

Belakangan, sebagian anggota kompi itutertangkap di Cirebon. Rupanya, setelah aksimakarnya gagal, mereka melakukan longmarch ke pangkalannya di Srondol, Semarang,di bawah pimpinan Dul Arief. Sial, di KotaUdang, pasukan ini kehabisan ransum. Berda-sarkan pemeriksaan di Cirebon oleh MayorSoetardjo, diketahui bahwa yang terlibat ge-rakan Untung hanya 86 orang.

Tapi ada versi lain. Menurut Antonie Dakedalam bukunya, Soekarno File, ada banyakTjakra terlibat. Mereka bahkan sudah menyi-apkan kedatangan Soekarno ke Halim seharisebelum 30 September.

Ini dibantah Kolonel Maulwi Saelan. Menu-rut Maulwi, langkah mengungsikan Soekarnoke Halim diambil semata-mata agar dia dekatdengan pesawat kepresidenan Jet Star, yangmangkal di sana.

Tudingan terhadap Tjakra juga dilontarkanpengamat politik militer Australia, Ulf Sundha-ussen. Dia mengatakan, pada 3 Oktober Sael-

an memimpin Tjakrabirawa pergi ke LubangBuaya untuk menghilangkan jejak penculikanatas perintah Soekarno.

"Itu kebohongan yang menjijikkan," ujarMaulwi. "Seperti laporan Soetardjo, yang terli-bat hanya 86 orang."

Ia memang ke Lubang Buaya bersama pa-sukannya. Tapi ini berkat informasi dari agenpolisi Sukitman, yang terculik bersama parajenderal dan kemudian ditemukan oleh pasuk-annya. Ketika memeriksa lokasi yang disebutSukitman—yang sudah mereka serahkan keKostrad—pasukannya menemukan sumurtempat para jenderal itu dibuang.

Gara-gara aksi Untung, resimen ini bahkancoreng-moreng oleh perbuatan yang tidak me-reka lakukan. Pada 1996, misalnya, Tjakra di-tuduh menembak mahasiswa Universitas Indo-nesia, Arief Rahman Hakim. Maulwi, dalambukunya, Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabi-rawa, menulis, penembaknya sebetulnya ang-gota Pom Dam V yang jadi patroli garnisun.

Riwayat resimen ini tamat pada 22 Maret1966. "Tugas kalian sudah selesai," kata Ke-pala Staf Angkatan Darat Jenderal MaradenPanggabean kepada para petinggi resimen inidi Markas Angkatan Darat. Ia meminta anggotaTjakra, yang disebutnya de beste zoneri (putraterbaik angkatan), kembali ke kesatuannya.

Enam hari setelahnya, Saboer menyerahkanpengawalan presiden kepada Polisi MiliterAngkatan Darat. Namun, kisah Tjakra masihberlanjut. Untung divonis mati. Dul Arief hilangtak berbekas. Anggota kompinya dijebloskanke rumah tahanan militer.

Memang banyak anggota Tjakra yang tak di-penjara dan dipulangkan ke kesatuan lama-nya. Namun, menurut Maulwi, di kesatuannya,mereka rata-rata disisihkan. "Kami yang dipe-rintahkan setia kepada Presiden dianggap ke-kuatan Soekarno yang harus disingkirkan,"ujar Maulwi. "Saya kasihan pada anggota Tja-kra. Mereka prajurit cemerlang tapi berada diposisi salah."

"Tjakra seperti bertukar nasib dengan Tjadu-ad," Maulwi menambahkan. "Tjaduad hanyatempat untuk tentara yang sudah masuk kotak...seperti Soeharto, yang akan dipensiunkan." �

Yang Terbaik Lalu Terbalik

YO

SE

P A

RK

IAN

(T

EM

PO

)

YOSEP ARKIAN (TEMPO)

Penangkapan Letnan Kolonel Untung

D.A. PERANSI

Kolonel (Purnawirawan) Maulwi Saelan.

Letkol Udara (Purnawirawan) Heru Atmodjo

Page 8: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

B8S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

L elaki tua itu duduk bersandar di atassebuah dipan besi. Dengan susah pa-yah ia menyuapkan nasi dan lauk itu

ke mulutnya. Beberapa butir nasi jatuh diatas seprai.

Sudah enam bulan ini Boengkoes, namalelaki 82 tahun itu, terbaring lemah di tem-pat tidur. Stroke melumpuhkannya. Man-tan bintara Tjakrabirawa itu, seperti dili-hat Tempo di rumah anaknya di Besuki,Situbondo, Jawa Timur, kini menghabiskansisa hidupnya di atas dipan besi.

Boengkoes adalah salah seorang pelakudalam tragedi 30 September 1965. Priaberdarah Madura, yang saat itu berpang-kat sersan mayor, ini bertugas menjemputMayor Jenderal M.T. Harjono, Deputi IIIMenteri/Panglima Angkatan Darat.

Dalam sebuah wawancara dengan Tem-po setelah bebas dari LP Cipinang pada1999, Boengkoes menceritakan tugasnyaitu dengan terperinci. Pada 30 September1965 sekitar pukul 15.00. "Dalam briefingitu dikatakan ada sekelompok jenderalyang akan 'mengkup' Bung Karno, yangdisebut Dewan Jenderal. Wah, ini gawat,menurut saya."

Ia menyangka perintah itu baru akan di-laksanakan setelah 5 Oktober 1965. Na-mun, pada pukul 08.00, dipimpin oleh DulArief, pasukannya kembali ke Halim. Seki-tar pukul 03.00 keesokan harinya, kataBoengkoes, komandan-komandan pasukanberkumpul lagi. "Lalu, pasukan Tjakra di-bagi tujuh oleh Dul Arief dan dikasih tahusasarannya. Saya kebagian (Mayor) Jende-ral M.T. Harjono," ujar Boengkoes. Boeng-koes kemudian berhasil menembak M.T.Harjono. "Setelah sampai sana (LubangBuaya), mayatnya saya serahkan ke PakDul Arief."

Seluruh pengakuan Boengkoes ini mena-rik minat Ben Anderson, Indonesianis dariUniversitas Cornell. Ben pada 2002 sampaidatang lagi ke Indonesia menemui Boeng-koes di Besuki. Pertemuannya itu mengha-silkan paper setebal 61 halaman, TheWorld of Sergeant-Mayor Bungkus, yangdimuat di Jurnal Indonesia Nomor 78, Ok-tober 2004.

Paper ini, menurut Ben, melengkapi Cor-nell Paper yang terkenal itu. Pada 1966—setahun setelah peristiwa berdarah—bersa-ma Ruth McVey dan Fred Bunnel, Ben me-nulis Cornell Paper. Pada saat itu Ben me-ngira bahwa inti serdadu yang bergerak dilapangan adalah orang-orang Jawa. Ang-gapan ini berubah setelah Ben bertemu de-ngan Boengkoes. Ia melihat fakta menarikbahwa hampir semua serdadu yang ditu-gasi menculik berdarah Madura. Pimpinanlapangannya juga berdarah Madura.

Pimpinan lapangan penculikan, sepertidikatakan Boengkoes di atas, adalah DulArief. Dul Arief adalah serdadu berdarahMadura. Nah, menurut Ben, Dul Ariefadalah orang yang sangat dekat dengan AliMoertopo, intelijen Soeharto. Dul dikenalAli sejak Benteng Raiders memerangi Da-rul Islam di Jawa Tengah dan Jawa Baratpada 1950-an.

Perihal apakah benar Dul Arief dekat de-ngan Ali Moertopo, Tempo mencoba me-ngecek kepada Letnan Kolonel Udara (Pur-nawirawan) Heru Atmodjo, yang oleh Un-tung diikutkan dalam Dewan Revolusi. He-ru sendiri berdarah Madura. Dan ternyatajawabannya mengagetkan: "Dul Arief ituanak angkat Ali Moertopo," kata Heru ke-pada Erwin Dariyanto, dari Tempo.

Dalam paper Ben, anggota Tjakra lainyang berdarah Madura adalah Djahurup.Ini pun informasi menarik. Sebab, Djahu-rup, oleh Letnan Kolonel CPM (Purnawira-wan) Suhardi diceritakan (baca: PerwiraKesayangan Soeharto), adalah orang yangingin menerobos Istana pada 29 September,tapi kemudian dihadangnya.

TJAKRABIRAWA, DUL ARIEF,DAN 'MADURA CONNECTION' Benedict Anderson menemukan indikasi bahwa

eksekutor lapangan Tjakrabirawa yang menculik

para jenderal adalah "komunitas Madura", yang

di antaranya sudah dikenal oleh Ali Moertopo,

intelijen Soeharto sejak 1950-an.

Ulang tahun pertama Tjakrabirawa.

KOLEKSI MAYOR (PURN) SUHARDI. (REPRO FOTO: TEMPO/DWIANTO WIBOWO)

Page 9: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

"Gelap. Saya coba cari stop kontak, sayaraba-raba dinding. Tiba-tiba ada bayangan pu-tih lari. Anak buah saya berteriak, 'Pak, adabayangan putih.' Saya mengangkat senjatadan dor...."

H ernawati baru saja menyiapkan makansiang untuk ayahnya. Menunya: nasiputih dan telur mata sapi. Meski rapuh,

lelaki tua itu menolak disuapi. Ia berkerasmakan dengan tangannya sendiri. "Sambilmelatih tangan," kata Hernawati, 50 tahun.

Lelaki yang kini berusia 82 tahun itu ada-lah Boengkoes, mantan bintara Tjakrabirawa.Pangkat terakhirnya sebelum mendekam se-lama 33 tahun di Lembaga PemasyarakatanCipinang, Jakarta, adalah sersan mayor.

Menurut Hernawati, anak kedua Boeng-koes, sudah enam bulan ini ayahnya tergoleklemah karena stroke. Ia susah berbicara. Ta-ngan dan kedua kakinya setengah lumpuh. Iakini terbaring di rumah anak keempatnya, Ju-watinah, yang berdempetan dengan rumahHernawati di Jalan PG Demaas, Dusun Ka-lak, Desa Demaas, Kecamatan Besuki, Situ-bondo, Jawa Timur.

Hernawati tak mengizinkan Tempo mene-mui ayahnya. Ia hanya mengizinkan SlametWagiyanto, 30 tahun, anak keduanya, untuk

memotret sang kakek. "Percuma, Bapak ti-dak bisa bicara dan ingat apa pun," ujar Her-nawati.

Boengkoes tinggal di Situbondo setelahmendapatkan grasi dari Presiden B.J. Habi-bie pada 25 Maret 1999. Di kota inilah istridan anak-anaknya tinggal setelah Boengkoesmasuk bui. Sebelumnya, keluarga Boeng-koes tinggal di Semarang, Jawa Tengah. Iamenikah dengan Jumaiyah (kini 70 tahun)dan dianugerahi enam anak.

Hernawati berkisah, sebelum menderitastroke, ayahnya lebih banyak menghabiskanwaktunya di pekarangan belakang rumah. Diatas lahan berukuran 10 x 15 meter itu,Boengkoes merawat 10 ayam kampung dansuka menanam pisang. "Ayamnya sekarangtinggal tiga ekor karena nggak ada yang nge-rawat lagi," kata Hernawati.

Hobi lain lelaki kelahiran Desa Buduan, Be-suki, itu adalah menyanyikan lagu keroncong.Lagu favoritnya: Sepasang Mata Bola dan Be-ngawan Solo. Menurut Hernawati, hanya itu-lah kegiatan Boengkoes setelah bebas daribui. Ia tak aktif di kegiatan kampung. Boeng-koes juga tak pernah bertemu dengan teman-temannya sesama mantan tahanan politik.Kepada anak-anaknya pun ia tak pernah ber-cerita tentang pengalamannya di dalam penja-

ra atau saat berdinas di Tjakrabirawa. Hernawati mengatakan ayahnya tak mau

menambah beban keluarganya. Dulu, setiaptahun beban itu terasa makin berat ketika te-levisi memutar film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Saat film itu diputar, keluarganya takpernah berani keluar dari rumah. Hampir se-isi kampung tahu Boengkoes terlibat dalampembunuhan para jenderal.

Namun, sepahit apa pun pengalaman masalalu ayahnya, Hernawati tetap yakin ayahnyatak bersalah. "Ayah cuma bawahan yang men-

jalankan perintah atasan," tuturnya. Boeng-koes pada 1999, selepas keluar dari penjara,dalam sebuah kesempatan wawancara, me-ngatakan hal yang sama, "Nggak ada, tentarakok merasa bersalah, mana ada...."

Boengkoes kini terkena stroke. Entah apa-kah ia masih ingat detik-detik ketika masukmendobrak rumah M.T. Harjono. Thompson-nya melepaskan tembakan pada bayanganputih itu. Dan, saat lampu dinyalakan, tubuhM.T. Harjono tak berdaya. Peluru menembustubuhnya dari punggung sampai perut. �

Ben menemukan fakta bahwa ternyataBoengkoes telah mengenal akrab Dul Ariefsejak 1947. Saat itu mereka bergabung da-lam Batalion Andjing Laut di Bondowoso.Boengkoes mengawali karier semasa revo-lusi di Batalion Semut Merah Tentara Ke-amanan Rakyat (TKR) pada 1945 di Situ-bondo. Setelah Semut Merah dihancurkanBelanda pada Juli 1947, ia bergabung de-ngan Batalion Andjing Laut di Bondowosodengan pangkat prajurit satu. Sebagianbesar personel Andjing Laut adalah orang-orang setempat keturunan Madura.

Selama clash kedua dengan Belanda,Boengkoes bertempur di sejumlah daerah,seperti di Kediri, Madiun, dan Yogyakarta.Ia juga pernah bertugas di Seram. Pada1953, pasukan Andjing Laut ditarik dariSeram. Seluruh personel Andjing Laut takkembali ke Brawijaya, melainkan berga-bung dengan Divisi Diponegoro di Salati-ga, Jawa Tengah.

Di Divisi Diponegoro, nomor batalionberubah dari 701 menjadi 448. Namun, na-ma Andjing Laut tetap mereka pertahan-kan. Kemudian Andjing Laut menjadi ba-gian dari Brigade Infanteri. Hampir selu-ruh personelnya berdarah Madura.

"Dul Arief, Djahurup, dan Boengkoesberada dalam satu batalion 448 KodamDiponegoro," kata Heru Atmodjo. Danyang mengejutkan lagi: "Komandannyawaktu itu Kolonel Latief," kata Heru.

Itu artinya, dapat kita simpulkan bahwaKolonel Latief pun sudah mengenal paraeksekutor Tjakrabirawa sejak dulu. Sete-lah menyelesaikan Sekolah Kader Infante-ri, Boengkoes dipindah ke CadanganUmum di Salatiga. Cadangan Umum ada-lah gabungan pasukan Garuda I dan IIyang baru pulang bertugas di Kongo. Adadua unit pasukan Cadangan Umum di Se-marang, yakni baret hijau di Srondol danbaret merah di Mudjen. Dan informasiyang mengagetkan lagi: komandan barethijau di Srondol saat itu, menurut Boeng-

koes, adalah Untung!Ketika bertugas di Cadangan Umum ini-

lah Boengkoes direkrut masuk BantengRaiders I di Magelang. Tak lama kemudiania direkrut pasukan Tjakrabirawa. Meskisudah bersama dengan Untung sejak diBanteng Raiders, Boengkoes mengaku ke-pada Ben Anderson baru bertemu denganUntung ketika sudah di Jakarta. "Saya be-lum kenal dia waktu di Srondol," tuturnya.

Boengkoes tidak menghadapi kesulitansaat masuk Tjakrabirawa. Padahal Boeng-koes menderita wasir dan disentri. "Penya-kit itu saya sudah katakan. Tapi besoknya,saya diberi tahu bahwa saya sehat. Jadisaya senang."

Boengkoes tak sendirian. Ada seratusanpersonel Banteng Raiders yang juga lolosseleksi. "Dari Jawa Tengah, jumlah kamiyang lolos seleksi cukup untuk membentuksatu kompi," ujar Boengkoes. Tugas mere-ka menggantikan Polisi Militer berjaga diIstana Presiden.

Kepada Ben, Boengkoes menyebut DulArief sebagai kawan sehidup-semati. Ke-duanya kerap berbincang dalam bahasaMadura. Bongkoes bercerita, suatu waktudia dan Dul Arief pergi jalan-jalan ke PasarSenen, Jakarta. Di sebuah pertigaan, adawarung cendol. Di papan namanya tertulis

"Dawet Pasuruan". Ada dua gadis berparasmanis yang membantu pedagang cendol itu.

"Kami duduk ngobrol dan ngrasani ga-dis itu dengan bahasa Madura. Tapi kokmereka kemudian tersenyum-senyum. Sa-ya mulai curiga," ujar Boengkoes. Ternyatakemudian, pemilik warung tersebut meng-aku berasal dari Pasuruan, Jawa Timur.Dan kedua gadis tersebut mengerti bahasaMadura. "Wah, mati aku," ujar Boengkoes.

Yang aneh, menurut Ben Anderson, sete-lah tragedi September itu Dul Arief, sianak angkat Ali Moertopo, dan Djahurupseolah hilang tak berbekas. Menurut Heru,beberapa hari setelah G-30-S dinyatakangagal, 60 anggota Batalion I Kawal Kehor-matan Tjakrabirawa berusaha lari dari Ja-karta menuju Jawa Tengah. Di Cirebon,pasukan CPM menghadang mereka.

Kepada Tempo, Maulwi Saelan, mantan

Wakil Komandan Resimen Tjakrabirawa,menceritakan ke-60 orang tersebut mam-pir di sebuah asrama TNI di Cirebon kare-na tidak membawa bekal makanan. Salahsatu prajurit di asrama tersebut berinisia-tif melapor kepadanya. "Saya perintahkanmereka untuk ditahan dulu. Pasukan dariJakarta yang akan menjemput," kataMaulwi.

Tapi kemudian Dul Arief dan Djahuruphilang, lenyap. Hanya Kopral Hardiono,bawahan Dul Arief, yang kemudian disi-dang di Mahkamah Militer Luar Biasapada 1966 dan dituduh bertanggung jawabatas penculikan para jenderal tersebut.

"Dul Arief dan Djahurup tidak bisa di-hadirkan dalam persidangan (Mahmilub),"kata Heru. Apakah keduanya "diamankan"Ali Moertopo? Entahlah.

� SAPTO YUNUS | IKA NINGTYAS

B9S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

Stroke Mengalahkan Penyuka Keroncong Itu

KOLEKSI MAYOR (PURN) SUHARDI. (REPRO FOTO: TEMPO/DWIANTO WIBOWO)

Dul Arief itu anak angkat Ali Moertopo.

❞Letnan Kolonel Udara (Purnawirawan)Heru Atmodjo

IKA NINGTYAS (TEMPO)

Boengkoes di kamarnya.

Page 10: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

B10S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

L etnan Kolonel Untung bin Syamsurilayaknya seorang pelaku kriminal. Tu-run dari panser, lelaki cepak bertubuh

tegap itu tampak menggigil ketakutan.Kepalanya menunduk, takut menatap ra-tusan orang yang tak henti menghujatnya.Bekas Komandan Batalion I Tjakrabirawaitu juga gamang ketika akan menembusbarikade massa Kesatuan Aksi MahasiswaIndonesia, yang menyemut di pelataranparkir gedung Badan Perencanaan Pemba-ngunan Nasional, Jakarta.

Kala itu, Rabu, 23 Februari 1966, pukul9 pagi. Di lantai dua gedung di Jalan Ta-man Suropati Nomor 2 itu, MahkamahMiliter Luar Biasa (Mahmilub) mengadiliUntung, 40 tahun, bekas Ketua Dewan Re-volusi Indonesia, dengan tuduhan makar.Saat akan memasuki gedung itulah Un-tung terus mendapat hujatan dan cemooh-an massa.

Letnan I Dra Sri Hartani, yang saat itumenjadi protokoler atau semacam pemba-wa acara sidang, ingat intimidasi massatersebut membuat nyali Untung ciut. "Un-tung terlihat takut dan tidak terlihat se-perti ABRI. Padahal kalau ABRI tidak be-gitu," kata Sri, kini 69 tahun, kepada Tem-po di rumahnya di Jakarta Pusat padapertengahan September lalu.

Sri menyatakan Untung menjadi orangkedua setelah Njono, tokoh Partai Komu-nis Indonesia, yang diperiksa dan diadili diMahmilub 2 Jakarta. Di depan Mahmilub,Untung sangat yakin bahwa Dewan Jen-deral itu ada. Menurut Untung, ia mende-ngar adanya Dewan Jenderal dari RudhitoKusnadi Herukusumo, seorang perwiramenengah Staf Umum Tentara NasionalIndonesia Angkatan Darat-6. Untung me-ngatakan, kepada dirinya, Rudhito meng-aku mendengar rekaman tape hasil rapatDewan Jenderal pada 21 September 1965di gedung Akademi Hukum Militer (AHM),Jalan Dr Abdurrachman Saleh I, Jakarta.Rekaman itu berisi pembicaraan tentangkudeta dan susunan kabinet setelah kude-ta. Itu sebabnya, Untung ngotot mengha-dirkan Rudhito sebagai saksi dalam persi-dangan.

Rudhito kemudian dihadirkan di Mah-milub 2. Dalam kesaksiannya, seperti da-pat kita baca dalam buku proses mahmi-lub Untung (1966), Rudhito memangmengaku pernah melihat tape rekamantersebut dan sudah melaporkannya kepadaPresiden Soekarno.

Rudhito menjelaskan, dirinya menerimatape rekaman yang dia dengar dan catatantentang isinya pada 26 September 1965 diruangan depan gedung Front Nasional.Dia menerima bukti itu dari empat orang,yakni Muchlis Bratanata dan Nawawi Na-sution, keduanya dari Nahdlatul Ulama,plus Sumantri Singamenggala dan AgusHerman Simatoepang dari IP-KI.

Menurut Rudhito, keempat orang itumengajaknya membantu melaksanakanrencana-rencana Dewan Jenderal. Merekamengajak karena kapasitasnya selaku Ke-tua Umum Ormas Central Comando Pen-dukung Negara Kesatuan Republik Indo-nesia. Rencana Dewan Jenderal itu adalahmengudeta Soekarno seperti cara-cara diluar negeri. Misalnya Soekarno akan di-singkirkan seperti matinya Presiden Re-publik Korea Selatan Sihgman Ree.

Selanjutnya, tutur Rudhito, jika belumberhasil, akan dibuat seperti hilangnyaPresiden Bhao dari Vietnam Selatan. "Ka-lau masih tidak bisa juga, Soekarno akan'di-Ben Bella-kan’," pria berusia 40 tahunini menjelaskan isi rekaman di depanMahkamah. "Di-Ben Bella-kan" maksud-nya adalah dikudeta dengan cara sepertiJenderal Boumedienne terhadap PresidenAljazair bernama Ahmad Ben Bella.

Lebih jauh rekaman tersebut, menurut

Rudhito, juga berisi pembicaraan menge-nai siapa nanti yang duduk dalam kabinetapabila kudeta sukses dijalankan. Ada na-ma Jenderal Abdul Haris Nasution sebagaicalon perdana menteri, Letnan JenderalAhmad Yani sebagai wakil perdana mente-ri I merangkap menteri pertahanan dankeamanan, Letnan Jenderal Ruslan AbdulGani sebagai wakil perdana menteri II me-rangkap menteri penerangan, dan MayorJenderal S. Parman sebagai menteri jaksaagung serta masih ada beberapa nama la-gi. "Dalam rekaman, saya ingat almarhumJenderal S. Parman yang membacakan su-sunan kabinet itu," ujar Rudhito.

Bukti dokumen-dokumen Dewan Jende-ral, menurut Rudhito, sebagian besar adapada Brigadir Jenderal Supardjo. Doku-men itu juga sudah sampai di tangan Pre-siden Soekarno, Komando Operasi Ter-tinggi Retuling Aparatur Revolusi dan De-partemen Kejaksaan Agung.

Nah, dari dokumen yang dipegang Su-pardjo itu sebenarnya terendus ada uangcek penerimaan dari luar negeri untukanggota Dewan Jenderal yang aktif. "Ka-lau tidak salah hal itu telah dipidatokanPresiden Soekarno bahwa uang Rp 150 ju-ta itu merupakan suatu fondsen atau danapensiun bagi masing-masing anggota De-wan Jenderal yang aktif," tutur Rudhito.

Hanya, Rudhito—mengaku di Mahmi-lub—tak menyimpan tape rekaman itu.Dan hal itu dinilai oleh Mahkamah seba-gai unus testis nullus testis, yang berarti

keterangan saksi sama sekali tak diperku-at alat-alat bukti lainnya, sehingga takmempunyai kekuatan bukti sama sekali.

Selain itu, apa yang dikemukakan Ru-dhito, menurut Mahkamah, sama sekalitak benar. Rapat Dewan Jenderal yang di-adakan di gedung AHM pada 21 Septem-ber 1965 nyatanya cuma suatu comman-der's call Komando Pendidikan dan Latih-an Angkatan Darat—berdasarkan suratbukti hasil rapat tersebut yang didapatMahkamah.

Mahkamah berpendapat, Dewan Jende-ral yang hendak melakukan kudeta ter-nyata baru merupakan info yang bersum-ber dari Sjam Kamaruzzaman dan Pono—utusan Ketua CC PKI D.N. Aidit—yangtak terbukti kebenarannya.

Berdasarkan itu, Mahkamah memvonisUntung bersalah karena melakukan keja-hatan makar, pemberontakan bersenjata,samen-spanning atau konspirasi jahat, dandengan sengaja menggerakkan orang lainmelakukan pembunuhan yang direncana-kan.

Ahad, 6 Maret 1966, Mahkamah memu-tuskan menghukum Untung dengan hu-kuman mati. Saat itu yang bertindak seba-gai hakim ketua adalah Letnan KolonelSoedjono Wirjohatmojo, SH, dengan oditurLetnan Kolonel Iskandar, SH, dan paniteraKapten Hamsil Rusli. Dan tak lama berse-lang Untung dikabarkan meregang nyawadi depan regu tembak.

� HERU TRIYONO

MISTERI REKAMAN TAPE

Di depan Mahkamah

Militer Luar Biasa,

Untung menghadirkan

saksi Perwira Rudhito

Kusnadi Herukusumo,

yang mendengar

rekaman rahasia

rapat Dewan Jenderal.

RudhitoKusnadiHerukusumo

REPRO

RE

PR

O M

AH

MIL

UB

UN

TU

NG

PengadilanLetnan KolonelUntung (atas).

Page 11: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

“C ornell Paper", yang disusun Ben Anderson dan RuthMcVey setelah meletus Gerakan 30 September, menge-sankan bahwa gerakan itu merupakan peristiwa inter-

nal Angkatan Darat dan terutama menyangkut Komando DaerahMiliter Diponegoro. Tentu saja pandangan tersebut merupakanversi awal yang belum lengkap walau tetap menarik untuk diulasdan diteliti lebih lanjut.

Setelah tiga dekade di penjara, Soebandrio, Wakil PerdanaMenteri/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen, me-ngelaborasi versi di atas. Walaupun sama-sama berasal dariDiponegoro, terdapat trio untuk dikorbankan (Soeharto, Untung,Latief) dan ada trio untuk dilanjutkan (Soeharto, Yoga Soegama,dan Ali Moertopo).

Dari dua trio itu terlihat bahwa baik pelaku gerakan maupunpihak yang menumpasnya berasal dari komando daerah militeryang sama, yakni Kodam Diponegoro. Itu pula yang menjelaskanbahwa gerakan tersebut tampil hanya di Jakarta dan di wilayahKodam Diponegoro (Semarang dan Yogyakarta) dan dapatdipadamkan dalam hitungan hari. Alasan itulah yang digunakankenapa Soeharto tidak masuk daftar orangyang diculik: ia dianggap "kawan", mini-mal "bukan musuh". Soeharto dan Latiefsama-sama ikut dalam Serangan Umum 1Maret 1949, yang kemudian dijadikan harisangat bersejarah oleh pemerintah OrdeBaru.

Pada malam 30 September 1965, Latiefmenemui Soeharto di Rumah Sakit PusatAngkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta.Bahkan beberapa hari sebelumnya, Latiefbersama istrinya sempat berkunjung kerumah Soeharto di Jalan Agus Salim.Walau tidak sedekat dengan Latief,Soeharto berhubungan baik denganUntung. Kabarnya, sewaktu Untungmenikah di Kebumen, Soeharto meng-hadirinya. Di jalur yang lain, hubunganYoga Soegama dan Ali Moertopo terbinaketika mereka melakukan serangkaianmanuver untuk mendukung Soeharto men-jadi Komandan Teritorium IV, yang kemu-dian menjadi Kodam Diponegoro.

Ketika pasukan Tjakrabirawa dibentuk pada 6 Juni 1962, terda-pat satu batalion Angkatan Darat. Sejak Mei 1965, batalion inidipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, yang karena keberanian-nya dalam operasi Tritura mendapatkan Bintang Sakti. Ada infor-masi yang perlu diteliti lagi bahwa Kapten Rochadilah yang"mengajak" Untung bergabung ke pasukan pengamanan presiden.Rochadi adalah anggota Tjakrabirawa yang ikut dalam salah saturombongan delegasi Indonesia ke Beijing pada 25 September 1965dan sejak itu terhalang pulang. Terakhir ia memperoleh suaka diSwedia dan berganti nama menjadi Rafiuddin Umar (meninggalpada 2005). Di kalangan eksil 65 di Swedia, ia agak tertutup.Kapten Rochadi berasal dari batalion yang pernah dipimpinLetnan Kolonel Untung di Kodam Diponegoro.

Ben Anderson memulai analisisnya dengan mengutarakankarakter "Jawa" dari Divisi Diponegoro yang Panglima Kodamnyasejak awal sampai 1965 berasal dari "Yogya-Banyumas-Kedu".Sulit dibayangkan seorang Batak atau Minahasa menjadiPanglima Kodam Diponegoro, seperti yang terjadi pada Kodam

Siliwangi. Kodam Diponegoro berada pada wilayah yang sangatpadat penduduk, pangan tidak seimbang, serta berpaham komu-nisme dan sentimen anti-aristokrat cukup kuat. Ketidakpuasanmuncul di kalangan perwira Diponegoro, seperti KolonelSuherman, Kolonel Marjono, dan Letnan Kolonel UsmanSastrodibroto (dan di Jakarta terdapat Kolonel Latief dan LetnanKolonel Untung) terhadap para perwira tinggi yang dinilai hidupmewah di tengah kemiskinan rakyat, termasuk tentara.

Stroke ringan yang dialami Presiden Soekarno (4 Agustus 1965),beredarnya dokumen Gilchrist dan isu Dewan Jenderal akanmelakukan kudeta (5 Oktober 1965) menambah panas suasanapolitik. Sebagai komandan batalion militer dalam pasukan yangtugasnya mengamankan presiden, Untung "terpanggil" untukmenyelamatkan presiden dari ancaman para jenderal tersebutdengan "mendului" mereka melalui Gerakan 30 September.

Walaupun namanya tertulis sebagai komandan gerakan terse-but, kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa Untungbukanlah pemimpin utama aksi ini, karena berbagai hal diten-tukan oleh Sjam Kamaruzzaman dari Biro Chusus PKI. Ketika

banyak persiapan (tank, senjata, logistik, danpersonel) masih kacau, Untung tidakmengambil keputusan menunda aksi ini.Mereka lebih mendengar Sjam, yang berujar,"Kalau mau revolusi ketika masih muda, ja-ngan tunggu sampai tua," dan "Ketika awalrevolusi banyak yang takut, tetapi ketikarevolusi berhasil semua ikut."

Gerakan 30 September yang dilakukansecara ceroboh itu rontok dalam hitunganhari. Dokumen Supardjo—dianggap cukupsahih—memperlihatkan bahwa kelemahanutama Gerakan 30 September adalah tidakadanya satu komando. Terdapat dua kelom-pok pimpinan, yakni kalangan militer(Untung, Latief, dan Sudjono) dan pihakBiro Chusus PKI (Sjam, Pono, dan Bono).Sjam memegang peran sentral karena iaberada dalam posisi penghubung di antarakedua pihak ini. Namun, ketika upaya initidak mendapat dukungan dari PresidenSoekarno, bahkan diminta agar dihentikan,

kebingungan terjadi. Kedua kelompok itu terpecah. Kalanganmiliter ingin mematuhi, sedangkan Biro Chusus melanjutkan.

Ini dapat menjelaskan mengapa antara pengumuman pertamadan kedua serta ketiga terdapat selang waktu sampai lima jam.Sesuatu yang dalam upaya kudeta merupakan kesalahan besar.Pada pagi hari, mereka mengumumkan bahwa presiden dalamkeadaan selamat. Sedangkan pengumuman berikutnya pada sianghari sudah berubah drastis (pembentukan Dewan Revolusi danpembubaran kabinet). Jadi, dalam tempo lima jam, operasi"penyelamatan Presiden Soekarno" berubah 180 derajat menjadi"percobaan makar melalui radio".

Uraian di atas sekali lagi memperlihatkan bahwa Untungbukanlah komandan Gerakan 30 September yang sesungguhnya.Ia bisa diatur oleh Sjam Kamaruzzaman. Untung dieksekusi pada1969. Sebelumnya, di penjara Cimahi, ia menuturkan kepada HeruAtmodjo (Letnan Kolonel Udara Heru Atmodjo pada 1965 menja-bat Asisten Direktur Intelijen AURI) bahwa ia tidak percaya akanditembak mati karena hubungan baiknya dengan JenderalSoeharto. Namun, Untung memang tidak beruntung.

Untung dan Jejaring DiponegoroB11S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

GUNAWAN WICAKSONO (TEMPO)

DR ASVI WARMAN ADAM

SEJARAWAN LIPI, PENULIS BUKU 1965: ORANG-ORANG DI BALIK TRAGEDI

YUYUN N (TEMPO)

IKLAN

Page 12: Untung dan Tragedi Tjakrabirawa

B12S E N I N , 5 O K T O B E R 2 0 0 9EDISI KHUSUS TRAGEDI SEPTEMBER-OKTOBER 1965

R esimen Khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkanSurat Keputusan Panglima Tertinggi AngkatanPerang Republik Indonesia No. 211/PLT/1962 tang-

gal 5 Juni 1962. Tjakrabirawa dibentuk sebagai suatu resi-men khusus di bawah Presiden yang diberi tanggungjawab penuh untuk menjaga keselamatan pribadiPresiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RepublikIndonesia beserta keluarganya. Resimen ini terdiri atasDetasemen Kawal Pribadi, Batalion Kawal Pribadi, danBatalion Kawal Kehormatan.

Pembentukan Tjakrabirawa merupakan tanggapanstrategis atas upaya pembunuhan terhadap PresidenSoekarno, yang terjadi pada 14 Mei 1962 saat Presidenbersembahyang Idul Adha di Masjid Baitturahman dikompleks Istana Merdeka, Jakarta.

Sebagai suatu resimen khusus, Tjakrabirawa dipersiap-kan sebagai suatu kesatuan militer yang memiliki kuali-fikasi setingkat kesatuan komando. Dalam suatu wawan-cara dengan Benedict Anderson dan Arief Djati (IndonesiaNo. 78, Oktober 2004), mantan komandan peletonTjakrabirawa, Sersan Mayor Boengkoes, menceritakansulitnya rangkaian tes yang harus dijalani oleh seorangprajurit ABRI untuk dapat bergabung di Tjakrabirawa.

Tidak seperti pembentukan kesatuan-kesatuan barulainnya yang sekadar mengandalkan penggabungan daribeberapa peleton dan kompi untuk membentuk satu batal-ion, resimen khusus Tjakrabirawa dibentuk berdasarkankumpulan individu yang berhasil lulus dari rangkaian tesseleksi. Keketatan tes seleksi Tjakrabirawa tampak daridata bahwa hanya 3-4 prajurit dari satu kompi suatubatalion yang berkualifikasi raider atau paratrooper atauairborne yang mendapat panggilan untuk mengikuti tesseleksi.

Letnan Kolonel Untung, yang berperan sebagai pimpin-an militer Gerakan 30 September, misalnya, dari 1954sampai 1965 bertugas di Batalion 454 Banteng Raidersyang memiliki kualifikasi paratroop-airborne. Pada 1961,Untung memimpin salah satu kompi relawan dalamOperasi Naga yang mengawali tahap infiltrasi penyerbuanIrian Barat di bawah pimpinan Panglima KomandoMandala Mayor Jenderal Soeharto.

Atas keberaniannya dalam Operasi Naga, Untung,bersama L.B. Moerdani sebagai pimpinan kompi relawanlainnya, mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dariPresiden Soekarno. Pada Februari 1965, Letkol Untung,yang saat itu menjabat Komandan Batalion 454 BantengRaiders, dipromosikan menjadi Komandan Batalion ITjakrabirawa.

Kualifikasi khusus yang dimiliki Tjakrabirawa tidaklangsung menjadikan Tjakrabirawa suatu kesatuan militeryang mampu melakukan kudeta pada 1 Oktober 1965.Kompi Tjakrabirawa di bawah pimpinan Letnan Satu DulArief dipilih menjadi penjuru Pasukan Pasopati untukmelaksanakan operasi penculikan para jenderal karenakesatuan ini berada langsung di bawah Presiden (bukan dibawah Markas Besar AD) sehingga saat melaksanakanoperasi tidak akan menimbulkan kecurigaan dari para jen-deral TNI-AD.

Keterlibatan Tjakrabirawa lebih ditentukan oleh sosokLetkol Untung, yang memiliki rekam jejak militer yang

memungkinkannya membangun jejaring militer dengankesatuan-kesatuan AD lainnya yang bergabung dalamGerakan 30 September, yaitu Batalion 454, Batalion 530,dan Brigade I. Beberapa peleton dari ketiga kesatuan inimemperkuat Pasukan Pasopati. Batalion 454 dan 530 jugadigelar untuk melakukan pengamanan Istana dan kantorRRI.

Jejaring Letkol Untung dengan Batalion 454 telahdibangun sejak 1954. Saat Gerakan 30 September digelar,Batalion 454 dipimpin oleh Mayor Kuntjoro Judowidjojo,yang menjadi wakil komandan batalion saat LetkolUntung menjabat Komandan Batalion 454. KedekatanLetkol Untung dengan Komandan Brigade I Kodam DjayaKolonel A. Latief, yang juga berperan dalam Gerakan 30September, diawali di Batalion 454. Sebelum dipindahkanke Jakarta pada 1963, Brigade I merupakan bagian dariTjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) yangbermarkas di Ungaran, dekat dengan markas Batalion 454.

Jika jejaring Letkol Untung yang dijadikan rujukanuntuk mengurai keterlibatan kesatuan-kesatuan ADdalam Gerakan 30 September, pusat jejaring Gerakan inibisa dilacak dari Batalion 454 Banteng Raiders. Secarataktis militer, bisa dikatakan bahwa titik awal dan titikakhir Gerakan 30 September adalah Batalion 454.

Karier militer cemerlang Letkol Untung yang mem-bawanya ke jabatan Komandan Batalion I Tjakrabirawaberawal dari Batalion 454. Komandan KompiTjakrabirawa yang juga Komandan Pasukan Pasopati,Letnan Satu Dul Arif, juga pernah bertugas di BantengRaiders langsung di bawah pimpinan Mayor Ali Moertopo.Penugasan ini terjadi pada akhir 1952, saat BantengRaiders digelar melawan Batalion 426 yang memberontakdan bergabung dalam gerakan Darul Islam di perbatasanJawa Tengah-Jawa Barat.

Kesatuan Banteng Raiders sendiri dibentuk oleh KolonelAhmad Yani pada Juni 1952. Sebagai komandan brigadedi wilayah Jawa Tengah bagian barat, Kolonel AhmadYani memiliki ide membentuk kesatuan khusus yang dapatdiandalkan untuk melawan pemberontakan Darul Islam.Kesatuan Banteng Raiders bentukan Ahmad Yani iniakhirnya menjadi Batalion 454. Pada 1961, Batalion 454(dan Batalion 530) dijadikan bagian dari Tjaduad yangdipimpin oleh Mayor Jenderal Soeharto. Tjaduad yangdibentuk oleh KSAD Jenderal A.H. Nasution ini dit-ingkatkan menjadi Kostrad pada Februari 1963.

Sebagai pimpinan Kostrad, Mayor Jenderal Soehartomengundang Batalion 454 (dan Batalion 530) untukberpartisipasi dalam perayaan 5 Oktober 1965. SebagaiPanglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto mengambilalih kepemimpinan operasional AD dan memimpin operasipenumpasan Gerakan 30 September. Dalam operasipenumpasan ini, Panglima Kostrad memerintahkanpasukan baret merah RPKAD menghentikan petualanganmiliter pasukan baret hijau Batalion 454.

Sejarah akhirnya mencatat bahwa penumpasanGerakan 30 September berakhir dengan gelar operasikhusus yang dipimpin oleh Letkol Ali Moertopo yang jugaalumnus Banteng Raiders. Operasi khusus ini menjadiawal kelahiran Kopkamtib yang turut memperkuat rezimpolitik-militer Orde Baru. �

Resimen KhususTjakrabirawa dan G-30-S

ANDI WIDJAJANTO, PENGAMAT MILITER DARI UNIVERSITAS INDONESIA

KOORDINATOR: SENO JOKO SUYONO, YOSEP SUPRAYOGI | EDITOR: SENO JOKO SU-YONO, YOSEP SUPRAYOGI, NUGROHO DEWANTO, NGARTO FEBRUANA | PENULIS:ERWIN DARIYANTO, HERU TRIYONO, OKTAMANDJAYA WIGUNA, SAPTO YUNUS, EN-DRI KURNIAWATI, NURDIN KALIM | REPORTER: ARIS ANDRIANTO, IKA NINGTYAS |RISET FOTO: GUNAWAN WICAKSONO | DESAIN: YUYUN NURRACHMAN

TIM EDISI KHUSUS UNTUNG DAN TRAGEDITJAKRABIRAWA