50
1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR … TAHUN … TENTANG PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia yang dijamin sepenuhnya oleh negara dan harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, perlu dilakukan berbagai upaya kesehatan yang didukung oleh standar dan persyaratan obat dan makanan; c. bahwa masih terdapat obat dan makanan yang berasal dari dalam dan luar negeri yang tidak memenuhi standar dan persyaratan serta beredarnya obat dan makanan ilegal yang berdampak buruk bagi kesehatan; d. bahwa untuk melindungi masyarakat dari obat dan makanan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan diperlukan sistem pengawasan obat dan makanan yang komprehensif dan terpadu; e. bahwa selama ini pengaturan mengenai pengawasan obat dan makanan masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan belum ada pengaturan secara khusus mengenai pengawasan obat dan makanan; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengawasan Obat dan Makanan; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28H ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...5 (3) Obat bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat diserahkan kepada pasien tanpa resep dokter. Pasal 6 Obat yang termasuk

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

1

RANCANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR … TAHUN …

TENTANG

PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia

yang dijamin sepenuhnya oleh negara dan harus

diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa dalam rangka meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, perlu

dilakukan berbagai upaya kesehatan yang didukung

oleh standar dan persyaratan obat dan makanan;

c. bahwa masih terdapat obat dan makanan yang

berasal dari dalam dan luar negeri yang tidak

memenuhi standar dan persyaratan serta beredarnya

obat dan makanan ilegal yang berdampak buruk bagi

kesehatan;

d. bahwa untuk melindungi masyarakat dari obat dan

makanan yang tidak memenuhi standar dan

persyaratan diperlukan sistem pengawasan obat dan

makanan yang komprehensif dan terpadu;

e. bahwa selama ini pengaturan mengenai pengawasan

obat dan makanan masih tersebar dalam berbagai

peraturan perundang-undangan dan belum ada

pengaturan secara khusus mengenai pengawasan

obat dan makanan;

f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,

dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang

tentang Pengawasan Obat dan Makanan;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28H ayat (1) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAWASAN OBAT DAN

MAKANAN.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau

keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi

untuk manusia.

2. Bahan Obat adalah bahan, baik yang berkhasiat maupun eksipien

yang digunakan dalam pembuatan Obat dengan standar dan

persyaratan mutu sebagai bahan baku farmasi.

3. Obat Bahan Alam adalah produk mengandung bahan yang berasal dari

bahan tumbuhan, bahan hewan, dan/atau bahan mineral alam yang

dapat dalam bentuk tunggal atau campuran.

4. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik),

atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah

digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan

norma yang berlaku di masyarakat.

5. Obat Herbal Terstandar adalah sediaan Obat Bahan Alam yang telah

dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji

praklinik dan bahan bakunya telah distandardisasi.

6. Fitofarmaka adalah sediaan Obat Bahan Alam yang telah dibuktikan

keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji

klinik serta bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi.

7. Ekstrak Bahan Alam adalah sediaan dalam bentuk ekstrak sebagai

produk akhir.

8. Suplemen Kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk

melengkapi kebutuhan zat gizi, memelihara, meningkatkan, dan/atau

memperbaiki fungsi kesehatan, mempunyai nilai gizi dan/atau efek

fisiologis, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral,

3

asam amino dan/atau bahan lain bukan tumbuhan yang dapat

dikombinasi dengan tumbuhan.

9. Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk

digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut,

kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran

mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,

mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau

melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.

10. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan

cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.

11. Penandaan adalah label atau informasi berupa keterangan objektif,

lengkap, dan tidak menyesatkan dalam bentuk gambar, warna,

tulisan, atau kombinasi antara atau ketiganya atau bentuk lainnya

yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan,

atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.

12. Peredaran adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan pengadaan,

penyimpanan, penyaluran, dan/atau penyerahan Obat dan makanan,

baik dalam rangka perdagangan maupun bukan perdagangan.

13. Izin Edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran Obat, Obat Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan untuk

dapat diedarkan di wilayah Indonesia.

14. Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian,

penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah

lainnya terkait dengan penggunaan Obat.

15. Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat BPOM

adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas dan

bertanggung jawab dalam pengawasan Obat dan makanan.

16. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha baik yang

berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

17. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang

kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh

Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur

penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan

urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Pasal 2

Pengawasan Obat dan makanan diselenggarakan berdasarkan asas:

a. pelindungan;

b. keamanan dan mutu;

c. manfaat;

d. akuntabilitas;

4

e. holistik;

f. transparan;

g. keadilan; dan

h. kepastian hukum.

Pasal 3

Pengawasan Obat dan makanan bertujuan untuk:

a. menjamin standar dan persyaratan Obat dan makanan yang beredar;

b. melindungi masyarakat dari penggunaan Obat dan makanan yang

tidak memenuhi standar dan persyaratan;

c. mencegah penggunaan yang salah dari Obat dan makanan;

d. mencegah penyalahgunaan Obat dan makanan;

e. memberikan kepastian hukum;

f. menciptakan iklim usaha yang sehat dalam rangka membuat dan

mengedarkan Obat dan makanan;

g. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengawasan Obat

dan makanan;

h. melakukan pengembangan, pembinaan, dan memfasilitasi industri

Obat dan makanan dalam rangka peningkatan daya saing; dan

i. memperkuat koordinasi kelembagaan lintas program dan lintas sektor

dalam pengawasan Obat dan makanan.

Pasal 4

Ruang lingkup pengawasan Obat dan makanan meliputi Obat, Bahan Obat,

Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,

dan Pangan Olahan.

BAB II

PENGGOLONGAN

Bagian Kesatu

Penggolongan Obat

Pasal 5

(1) Obat digolongkan menjadi:

a. narkotika;

b. psikotropika;

c. Obat keras; dan

d. Obat bebas.

(2) Narkotika, Psikotropika, dan Obat keras sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c diserahkan kepada pasien

berdasarkan resep dokter.

5

(3) Obat bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat

diserahkan kepada pasien tanpa resep dokter.

Pasal 6

Obat yang termasuk dalam golongan Obat yang diserahkan kepada pasien

berdasarkan resep dokter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)

ditetapkan oleh Kepala BPOM.

Pasal 7

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.

Bagian Kedua

Penggolongan Obat Bahan Alam

Pasal 8

(1) Obat Bahan Alam digolongkan menjadi:

a. Obat Tradisional;

b. Obat Herbal Terstandar; dan

c. Fitofarmaka.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat Bahan Alam

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala

BPOM.

Bagian Ketiga

Penggolongan Pangan Olahan

Pasal 9

(1) Penggolongan jenis Pangan Olahan meliputi:

a. Pangan Olahan yang terkemas;

b. Pangan Olahan industri rumah tangga; dan

c. pangan siap saji.

(2) Ketentuan mengenai jenis Pangan Olahan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

BAB III

STANDAR DAN PERSYARATAN

Pasal 10

(1) Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan yang dibuat

atau diedarkan wajib memenuhi standar dan persyaratan.

6

(2) Standar dan persyaratan Obat,Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetika

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala

BPOM.

Pasal 11

Dalam menetapkan standar dan persyaratan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 10 ayat (2), BPOM mengikutsertakan institusi terkait,

akademisi, organisasi profesi, pakar, dan asosiasi terkait.

Pasal 12

(1) Standar dan persyaratan untuk Obat, Bahan Obat, dan Suplemen

Kesehatan yang meliputi keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu

dilaksanakan sesuai standar dan persyaratan dalam farmakope.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan persyaratan dalam

farmakope sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Kepala BPOM.

Pasal 13

(1) Standar dan persyaratan untuk Obat Bahan Alam dan Ekstrak Bahan

Alam yang meliputi keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu

dilaksanakan sesuai standar dan persyaratan dalam farmakope herbal

dan standar lainnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan persyaratan dalam

farmakope herbal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Kepala BPOM.

Pasal 14

(1) Standar dan persyaratan untuk Kosmetika yang meliputi keamanan,

manfaat, dan mutu dilaksanakan sesuai standar dan persyaratan

dalam kodeks kosmetika Indonesia dan standar lain yang diakui.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan persyaratan kodeks

kosmetika Indonesia dan standar lain yang diakui sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.

Pasal 15

Standar dan persyaratan untuk Pangan Olahan yang meliputi keamanan,

mutu, dan gizi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

7

Pasal 16

Setiap Orang yang membuat dan/atau mengedarkan Obat, Bahan Obat,

Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,

dan Pangan Olahan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 dikenai

sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;

c. perintah penarikan produk;

d. perintah pemusnahan;

e. penghentian sementara kegiatan;

f. pembekuan sertifikat;

g. pencabutan sertifikat;

h. pembekuan Izin Edar;

i. pencabutan Izin Edar; dan/atau

j. rekomendasi pencabutan izin usaha.

BAB IV

PEMBUATAN/PRODUKSI

Pasal 17

Pembuatan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, dan Kosmetika serta produksi Pangan Olahan harus

mengutamakan bahan yang diproduksi di dalam negeri.

Pasal 18

Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak

Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika, atau

memproduksi Pangan Olahan untuk diedarkan wajib memenuhi standar

dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan

Pasal 15.

Pasal 19

(1) Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika, atau

memproduksi Pangan Olahan wajib memiliki izin usaha industri.

(2) Izin usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

(1) Setiap Orang yang membuat Obat dan/atau Bahan Obat yang

termasuk dalam golongan narkotika, selain memiliki izin sebagaimana

8

dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) harus memperoleh izin khusus

untuk memproduksi narkotika.

(2) Perolehan izin khusus untuk memproduksi narkotika sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

Izin industri Obat Bahan Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat

(2) yang berupa usaha mikro Obat Bahan Alam dan usaha kecil Obat Bahan

Alam, menjadi kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 22

Izin industri Pangan Olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat

(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 23

Izin industri Obat Bahan Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat

(2) dikecualikan bagi usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan yang

dibuat oleh perorangan.

Pasal 24

Izin produksi Pangan Olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat

(1) dikecualikan bagi Pangan Olahan yang dibuat oleh perorangan.

Pasal 25

(1) Pembuatan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetika harus dilakukan sesuai

dengan cara pembuatan yang baik.

(2) Ketentuan mengenai cara pembuatan yang baik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.

Pasal 26

(1) Produksi Pangan Olahan harus dilakukan sesuai dengan cara produksi

yang baik.

(2) Ketentuan mengenai cara produksi yang baik sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 27

(1) Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

dan/atau Suplemen Kesehatan tidak sesuai dengan cara pembuatan

9

yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi

administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;

c. perintah penarikan produk;

d. perintah pemusnahan;

e. penghentian sementara kegiatan;

f. pembekuan sertifikat;

g. pencabutan sertifikat;

h. pembekuan Izin Edar;

i. pencabutan Izin Edar; dan/atau

j. rekomendasi pencabutan izin usaha.

(2) Setiap Orang yang membuat Ekstrak Bahan Alam yang tidak sesuai

dengan pedoman cara pembuatan yang baik dikenai sanksi

administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;

c. perintah penarikan produk;

d. perintah pemusnahan;

e. penghentian sementara kegiatan;

f. pembekuan sertifikat; dan/atau

g. pencabutan sertifikat.

(3) Setiap Orang yang memproduksi Kosmetika dan/atau Pangan Olahan

yang tidak sesuai dengan cara produksi yang baik dikenai sanksi

administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;

c. perintah penarikan produk;

d. perintah pemusnahan;

e. penghentian sementara kegiatan;

f. pembekuan sertifikat;

g. pencabutan sertifikat;

h. pembekuan Izin Edar;

i. pencabutan Izin Edar; dan/atau

j. rekomendasi pencabutan izin usaha.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat

(3) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.

10

BAB V

PENANDAAN

Pasal 28

(1) Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika, atau

memproduksi Pangan Olahan wajib memenuhi persyaratan Penandaan

sebelum diedarkan di masyarakat.

(2) Penandaansebagaimana dimaksud pada ayat (1)berisi keterangan

mengenai Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan secara lengkap,

benar, objektif, dan tidak menyesatkan.

(3) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Obat,Obat

Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan

memuat paling sedikit mengenai:

a. nama produk;

b. nama dan alamat badan usaha, lembaga, atau perorangan yang

membuat atau memasukkan Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen

Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan;

c. komponen pokok/komposisi atau daftar bahan;

d. keterangan kedaluwarsa;

e. kode produksi/nomor batch;

f. nomor Izin Edar; dan

g. berat bersih atau isi bersih.

(4) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Bahan Obat

dan Ekstrak Bahan Alam memuat paling sedikit mengenai:

a. nama produk;

b. nama dan alamat badan usaha, lembaga, atau perorangan yang

membuat atau memasukkan Bahan Obat dan Ekstrak Bahan

Alam;

c. komponen pokok/komposisi atau daftar bahan;

d. keterangan kedaluwarsa;

e. kode produksi/nomor batch; dan

f. berat bersih atau isi bersih.

(5) Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penandaan

dapat berisi keterangan tambahan sesuai dengan keterangan dan/atau

lampiran yang ada dalam Izin Edar.

(6) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat

(5) dicetak secara tegas dan jelas menggunakan bahasa Indonesia agar

mudah dimengerti oleh masyarakat.

(7) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat

(5)dapat menggunakan istilah asing apabila tidak ada padanannya

atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia.

11

Pasal 29

(1) Penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)

dikecualikan bagi:

a. jamu gendong dan jamu racikan yang dibuat oleh perorangan;

b. Pangan Olahan yang:

1. kemasannya terlalu kecil;

2. dijual dan dikemas secara langsung; atau

3. dijual dalam jumlah besar.

(2) Pengecualian Penandaan untuk Pangan Olahan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 30

(1) Setiap Orangyang tidak memenuhi persyaratan Penandaan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dikenai sanksi administratif

berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;

c. perintah penarikan produk;

d. perintah pemusnahan;

e. penghentian sementara kegiatan;

f. pembekuan sertifikat;

g. pencabutan sertifikat;

h. pembekuan Izin Edar;

i. pencabutan Izin Edar; dan/atau

j. rekomendasi pencabutan izin usaha.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Kepala BPOM.

BAB VI

PEREDARAN

Bagian Kesatu

Izin Edar

Pasal 31

Setiap Orang yang membuat dan/atau mengedarkan Obat, Obat Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan wajib memiliki

Izin Edar.

12

Pasal 32

(1) Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, atau

Pangan Olahan hanya dapat dibuat dan/atau diedarkan setelah

memperoleh Izin Edar dari Kepala BPOM.

(2) Izin Edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas dasar

permohonan secara tertulis kepada Kepala BPOM.

(3) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

disertai dengan keterangan dan/atau data mengenai Obat, Obat Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan yang

dimohonkan.

(4) Izin Edar dari Kepala BPOM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diterbitkan setelah Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,

Kosmetika, atau Pangan Olahan memenuhi standar dan persyaratan.

(5) Izin Edar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan paling lama

3 (tiga) bulan setelah produk memenuhi standar dan persyaratan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan Izin Edar

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala

BPOM.

Pasal 33

(1) Pangan Olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib

memiliki sertifikat produksi pangan industri rumah tangga.

(2) Sertifikat produksi pangan industri rumah tangga sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota.

Pasal 34

(1) Izin Edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikecualikan

bagi:

a. Obat untuk penggunaan khusus atau permintaan dokter, donasi,

dan uji klinik;

b. Obat Bahan Alam berupa Obat Tradisional yang meliputi jamu

gendong dan jamu racikan;

c. Obat Bahan Alam dan Suplemen Kesehatan untuk kebutuhan

donasi;

d. Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetika

yang digunakan untuk penelitian, pengembangan produk, sampel

untuk registrasi, pameran, dan penggunaan khusus dalam jumlah

terbatas dan tidak diperjualbelikan/diedarkan;

e. Pangan Olahan yang:

1. mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari;

2. diimpor dalam jumlah kecil untuk keperluan:

a) sampel dalam rangka permohonan pendaftaran;

13

b) penelitian; atau

c) konsumsi sendiri.

3. digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku dan tidak dijual

secara langsung kepada konsumen akhir; dan/atau

4. dijual dan dikemas langsung di hadapan pembeli dalam

jumlah kecil sesuai permintaan konsumen.

(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

tetap memperhatikan standar dan persyaratan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian Izin Edar sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.

Bagian Kedua

Distribusi

Pasal 35

(1) Distribusi Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahanwajib dilakukan

dengan berpedoman pada cara distribusi yang baik.

(2) Distributor yang telah menerapkan cara distribusi yang baik diberikan

sertifikat cara distribusi yang baik.

(3) Ketentuan mengenai cara distribusi Obat, Bahan Obat, Obat Bahan

Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan

Pangan Olahan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Kepala BPOM.

Pasal 36

(1) Distributor yang tidak melakukan distribusi Obat, Bahan Obat, Obat

Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,

dan Pangan Olahan sesuai dengan pedoman cara distribusi yang baik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dikenai sanksi

administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. larangan mengedarkan produk untuk sementara;

c. perintah penarikan produk;

d. perintah pemusnahan;

e. penghentian sementara kegiatan;

f. pembekuan izin edar;

g. pencabutan izin edar;

h. pembekuan sertifikat;

i. pencabutan sertifikat; dan/atau

j. rekomendasipencabutan izin usaha.

14

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaansanksi

administratifsebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Kepala BPOM.

Pasal 37

(1) Distribusi Obat hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi, pedagang

besar farmasi, dan instalasi farmasi pemerintah.

(2) Industri farmasi dan pedagang besar farmasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.

(3) Pedagang besar farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 38

(1) Industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) hanya

dapat mendistribusikan Obat kepada:

a. pedagang besar farmasi; dan

b. instalasi farmasi pemerintah.

(2) Pedagang besar farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

hanya dapat mendistribusikan Obat kepada:

a. pedagang besar farmasi lainnya;

b. apotek;

c. instalasi farmasi pemerintah;

d. instalasi farmasi rumah sakit;

e. puskesmas;

f. instalasi farmasi klinik;

g. toko obat; dan

h. lembaga ilmu pengetahuan.

(3) Instalasi farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b, hanya dapat mendistribusikan Obat kepada:

a. instalasi farmasi pemerintah lainnya;

b. instalasi farmasi rumah sakit pemerintah;

c. pusat kesehatan masyarakat; dan

d. instalasi farmasi klinik pemerintah.

(4) Pendistribusian Obat oleh pedagang besar farmasikepada toko obat

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f hanya untuk golongan

Obat tanpa resep dokter.

Pasal 39

(1) Distribusi Bahan Obat hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi

yang membuat Bahan Obatdan pedagang besar farmasi.

15

(2) Industri farmasi yang membuat Bahan Obat dan pedagang besar

farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan

hukum.

(3) Pedagang besar farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 40

(1) Industri farmasi yang membuat Bahan Obat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 39 ayat (1) hanya dapat mendistribusikan Bahan Obat

kepada industri farmasi lainnya dan pedagang besar farmasi.

(2) Pedagangbesar farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya

dapat mendistribusikan Bahan Obat kepada:

a. industri farmasi;

b. pedagang besar farmasi lainnya;

c. lembaga ilmu pengetahuan;

d. instalasi farmasi rumah sakit yang memiliki fasilitas pembuatan

obat untuk keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah

sakit yang bersangkutan;

e. apotek; dan

f. lembaga yang diberikan izin khusus.

(3) Pendistribusian Bahan Obat oleh pedagang besar farmasi kepada

apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e hanya untuk

Bahan Obat tertentu.

(4) Industri farmasi dan pedagang besar farmasi dapat mendistribusikan

Bahan Obat tertentu kepada industri Suplemen Kesehatan dan

Kosmetika.

(5) Ketentuan mengenai pendistribusian Bahan Obat tertentu

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan

Peraturan Kepala BPOM.

Pasal 41

(1) Distribusi Obat dan/atau Bahan Obat yang termasuk golongan

narkotikadan psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pedagang besar

farmasi dan instalasi farmasi pemerintah.

(2) Pedagang besar farmasi dan instalasi farmasi pemerintah wajib

memiliki izin khusus pendistribusian narkotika dan psikotropika

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 42

(1) Distribusi Obat Bahan Alam,Ekstrak Bahan Alam, Suplemen

Kesehatan,Kosmetika, dan/atau Pangan Olahan dilakukan oleh pelaku

usaha.

16

(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan

distribusi Obat Bahan Alam,Ekstrak Bahan Alam, Suplemen

Kesehatan, Kosmetika, dan/atau Pangan Olahan dapat melakukan

kerjasama dengan pihak ketiga.

Pasal 43

Setiap Orang yang tanpa hak dilarang mendistribusikan Obat dan/atau

Bahan Obat.

Pasal 44

(1) Apotek, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, pusat

kesehatan masyarakat, dan toko obat dilarang melakukan kegiatan

pendistribusian Obat dan/atau Bahan Obat.

(2) Larangan melakukan kegiatan pendistribusian Obat dan/atau Bahan

Obat sebagaimana dimaksud ayat (1) dikecualikan terhadap:

a. apotek yang mendistribusikan Obat kepada tenaga kesehatan

untuk pemenuhan Obat pada daerah terdepan, terpencil, atau

terluar; dan

b. instalasi farmasi rumah sakit yang mendistribusikan Obat

dan/atau Bahan Obat tertentu kepada instalasi farmasi rumah

sakit lain.

(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 45

(1) Setiap Orang yang menjual Obat secara online wajib memiliki surat izin

sebagai fasilitas pelayanan kefarmasian.

(2) Obat yang dijual secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

hanya dapat berupa obat bebas.

(3) Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menjual

obat keras dan/atau psikotropika secara online.

Bagian Ketiga

Penyerahan

Pasal 46

(1) Penyerahan Obatuntuk digunakan dalam pelayanan kesehatan

dilakukan atas dasar:

a. resep dokter; atau

b. tanpa resep dokter.

(2) Penyerahan Obat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh

17

fasilitas kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Pasal 47

(1) Obat berdasarkan resep dokter hanya dapat diserahkan oleh apoteker

di fasilitas pelayanan kefarmasian berdasarkan resep dari tenaga

medis.

(2) Obat tanpa resep dokter dapat diserahkan di apotek, toko obat dan

instalasi kefarmasian lainnya.

(3) Penyerahan Obat dengan resep dokter sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan penyerahan Obat tanpa resep dokter sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk daerah terdepan, terpencil,

atau terluar.

(4) Pengecualian untuk daerah terdepan, terpencil, atau terluar

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 48

(1) Penyerahan Obat yang termasuk golongan narkotika atau psikotropika

hanya dapat dilakukan oleh apotek, instalasi farmasi rumah sakit,

pusat kesehatan masyarakat, instalasi farmasi klinik, dan dokter.

(2) Penyerahan Obat yang termasuk ke dalam golongan narkotika atau

psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat

Farmakovigilans

Pasal 49

(1) Industri farmasi dan fasilitas pelayanan kesehatan melakukan

farmakovigilans.

(2) Dalam hal industri farmasi dan fasilitas pelayanan kesehatan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan Bahan Obat yang

tidak memenuhi standar dan persyaratan dan/atau menimbulkan efek

samping atau masalah lainnya terkait keamanan penggunaan Obat,

industri farmasi dan fasilitas pelayanan kesehatan wajib melapor

kepada Kepala BPOM.

(3) Kepala BPOM melakukan evaluasi farmakovigilans dan melakukan

tindakan pengawasan untuk melindungi masyarakat dalam

penggunaan Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika, dan Suplemen

Kesehatan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai farmakovigilans diatur dengan

Peraturan Kepala BPOM.

18

BAB VII

PEMASUKAN DAN PENGELUARAN

Bagian Kesatu

Pemasukan

Pasal 50

(1) Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Kosmetika, Suplemen Kesehatan, Pangan Olahan, dan bahan baku

lainnya yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia harus mendapat

persetujuan pemasukan dari Kepala BPOM.

(2) Obat dan/atau Bahan Obat yang termasuk dalam golongan narkotika,

psikotropika, dan prekursor farmasi yang dimasukkan ke dalam

wilayah Indonesia harus mendapat persetujuan pemasukan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan

Olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan tujuan

untuk diedarkan harus memiliki Izin Edar dari Kepala BPOM.

Pasal 51

Setiap Orang yang akan memasukkan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan

Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, Pangan

Olahan, dan bahan baku lainnya ke dalam wilayah Indonesia harus

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 52

Ketentuan mengenai tata cara mendapatkan persetujuan pemasukan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) diatur dengan Peraturan

Kepala BPOM.

Bagian Kedua

Pengeluaran

Pasal 53

(1) Setiap Orang yang akan mengeluarkan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan

Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, Pangan

Olahan, dan bahan baku lainnya dari wilayah Indonesia harus

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

(2) Dalam hal untuk memenuhi persyaratan negara tujuan pengeluaran,

Kepala BPOM dapat menerbitkan surat keterangan ekspor atau surat

persetujuan pengeluaran berdasarkan pengajuan permohonan oleh

pemohon.

19

Pasal 54

Setiap Orang yang mengeluarkan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, Pangan Olahan,

dan bahan baku lainnya dari wilayah Indonesia bertanggung jawab atas

keamanan, khasiat/manfaat/gizi, dan mutu yang dipersyaratkan negara

tujuan.

Pasal 55

Ketentuan mengenai tata cara pengajuan surat keterangan ekspor atau

surat persetujuan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat

(2) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.

BAB VIII

PROMOSI DAN IKLAN

Pasal 56

(1) Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetikahanya

dapat dipromosikan dan diiklankan setelah mendapat Izin Edar dari

Kepala BPOM.

(2) Pangan Olahan yang wajib memiliki Izin Edar hanya dapat

dipromosikan dan diiklankan setelah memiliki Izin Edar sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 57

(1) Promosi dan iklan Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,

Kosmetika, dan Pangan Olahan harus mendapat persetujuan terlebih

dahulu dari Kepala BPOM.

(2) Promosi dan iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus objektif

dan tidak menyesatkan.

(3) Persetujuan promosi dan iklan Kosmetika dan Pangan Olahan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertahap

berdasarkan tingkat risiko.

Pasal 58

Pelaku usaha dilarang mempromosikan dan/atau mengiklankan produk

Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan/atau Obat Bahan Alam yang berupa

Obat Tradisional atau Obat Herbal Terstandar seolah-olah dapat berfungsi

sebagai Obat.

Pasal 59

Golongan Obat dengan resep dokter hanya dapat dipromosikan dan

diiklankan pada media ilmiah kedokteran atau media ilmiah farmasi.

20

Pasal 60

(1) Setiap Orangyang tidak memenuhi persyaratan promosi dan iklan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59

dikenai sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. pengumuman kepada publik;

c. larangan mengedarkan produk untuk sementara;

d. perintah penarikan produk;

e. perintah pemusnahan;

f. penghentian sementara kegiatan;

g. pembekuan Izin Edar;

h. pencabutan Izin Edar;

i. pembekuan sertifikat;

j. pencabutan sertifikat; dan/atau

k. rekomendasi pencabutan izin usaha.

(2) Ketentuanlebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Kepala BPOM.

Pasal 61

Ketentuan lebih lanjut mengenai promosi dan iklan Obat, Obat Bahan

Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 diatur dengan Peraturan

Kepala BPOM.

BAB IX

PENGAMBILAN SAMPEL, PENGUJIAN, PENARIKAN, DAN PEMUSNAHAN

Bagian Kesatu

Pengambilan Sampel dan Pengujian

Pasal 62

(1) BPOM melakukan pengambilan sampel untuk melindungi masyarakat

dari peredaran Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan yang tidak

memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu.

(2) Pengambilan sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

dalam rangka pemeriksaan dan/atau pengujian laboratorium.

(3) Pengambilan sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan:

a. secara berkala;

b. secara intensif dalam waktu tertentu;

21

c. karena adanya data atau informasi terbaru terkait standar dan

persyaratan produk;

d. karena adanya dugaan pelanggaran peraturan perundang-

undangan; dan

e. karena adanya kejadian luar biasa atau wabah.

Pasal 63

Pengujian laboratorium Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak

Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) dilakukan oleh BPOM.

Bagian Kedua

Penarikan dari Peredaran

Pasal 64

(1) Penarikan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan dilakukan

apabila:

a. tidak sesuai dengan standar dan persyaratan;

b. tidak sesuai dengan penandaan; dan/atau

c. dicabut Izin Edarnya.

(2) Penarikan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan dari peredaran

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemilik Izin

Edar dan/atau pelaku usaha.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan Obat, Bahan

Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,

Kosmetika, dan Pangan Olahan dari peredaran sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.

Pasal 65

(1) Kepala BPOM menyebarluaskan informasi berkenaan dengan Obat,

Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen

Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan yang sedang dalam

penarikan dari peredaran kepada masyarakat.

(2) Penyebarluasan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan melalui media massa.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyebarluasan informasi kepada

masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Kepala BPOM.

22

Bagian Ketiga

Pemusnahan

Pasal 66

Pemusnahan dilaksanakan terhadap Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan

yang:

a. dibuat tanpa memenuhi standar dan persyaratan;

b. dibuat tidak sesuai dengan cara pembuatan yang baik;

c. berhubungan dengan tindak pidana di bidang pengawasan Obat dan

makanan;

d. dicabut Izin Edarnya;

e. kedaluwarsa; dan/atau

f. tidak memenuhi standar dan persyaratan untuk digunakan.

Pasal 67

(1) Pemusnahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dilaksanakan oleh:

a. badan usaha yang membuat dan/atau mengedarkan Obat, Bahan

Obat, Ekstrak Bahan Alam, Obat Bahan Alam, Suplemen

Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan;

b. pihak yang bertanggung jawab atas sarana pembuatan,

penyaluran, dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Ekstrak

Bahan Alam, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,

dan Pangan Olahan; dan/atau

c. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.

(2) Pemusnahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen

Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) yang berhubungan dengan tindak pidana di bidang

pengawasan Obat dan makanan dilaksanakan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 68

PemusnahanObat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,

Kosmetika, dan Pangan Olahan dilaksanakan dengan memperhatikan

dampak terhadap kesehatan manusia serta upaya pelestarian lingkungan

hidup.

Pasal 69

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemusnahan Obat, Bahan Obat,

Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan

23

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 68 diatur

dengan Peraturan Kepala BPOM.

BAB X

KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu

Kedudukan

Pasal 70

(1) BPOM berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab

kepada Presiden.

(2) BPOM berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi

seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.

(3) BPOM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai perwakilan di

daerah provinsi dan kabupaten/kota.

(4) BPOM dapat membentuk wilayah kerja instansi vertikal di daerah

perbatasan sebagai perpanjangan unit kerja perwakilan di daerah.

Pasal 71

(1) Perwakilan BPOM di provinsi berkedudukan di ibukota provinsi.

(2) Perwakilan BPOM di kabupaten/kota berkedudukan di ibukota

kabupaten/kota.

Pasal 72

BPOM provinsi dan BPOM kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 71 merupakan instansi vertikal.

Pasal 73

Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan BPOM sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 diatur dengan Peraturan Presiden.

Bagian Kedua

Tugas, Fungsi, dan Wewenang

Pasal 74

BPOM bertugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang

pengawasan obat dan makanan.

24

Pasal 75

Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan makanan, BPOM

berfungsi:

a. menyusun kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan

makanan;

b. melaksanakan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan

makanan;

c. menyusun dan menetapkan norma, standar, produk, dan kriteria di

bidang pengawasanObat dan makanan sebelum beredar dan selama

beredar;

d. melaksanakan pengawasan Obat dan makanan sebelum beredar dan

selama beredar;

e. mengoordinasikan pelaksanaan pengawasan Obat dan makanan

dengan instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;

f. memberikan bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan

Obat dan makanan; dan

g. melaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan makanan.

Pasal 76

Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan makanan, BPOM

berwenang:

a. menetapkan standar dan persyaratan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan

Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan

Pangan Olahan;

b. menerbitkan Izin Edar Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,

Kosmetika, dan Pangan Olahan;

c. menerbitkan sertifikat untuk Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan

Olahan yang telah sesuai dengan standar dan persyaratan;

d. melakukan pemeriksaan sarana/fasilitas produksi, sarana/fasilitas

distribusi, fasilitas pelayanan kefarmasian, dan fasilitas kesehatan;

e. melakukan pengujian Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak

Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

f. melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan

makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 77

Dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya, BPOM dapat

bekerja sama dengan Badan Usaha dan masyarakat di dalam negeri

dan/atau di luar negeri.

25

Pasal 78

Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan wewenang BPOM

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 77 diatur

dengan Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga

Susunan Organisasi

Pasal 79

(1) BPOM dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang

sekretaris utama dan beberapa deputi.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi BPOM diatur

dengan Peraturan Presiden.

BAB XI

KOORDINASI

Pasal 80

(1) BPOM dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya

berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan Pemerintah

Daerah.

(2) Dalam berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan

Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPOM

berkedudukan sebagai koordinator.

BAB XII

PEMBINAAN

Pasal 81

(1) Kepala BPOM, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah

nonkementerian terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan

pembinaan terhadap penyelenggaraan pengawasan Obat dan makanan

sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:

a. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Obat, Bahan Obat, Obat

Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen

Kesehatan, dan Pangan Olahan sesuai dengan persyaratan

keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu;

b. melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan Obat, Bahan

Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika,

Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang tidak tepat

26

dan/atau tidak memenuhi persyaratan keamanan,

khasiat/manfaat, dan mutu; dan

c. menjadikan industri nasional di bidang Obat, Bahan Obat, Obat

Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen

Kesehatan, dan Pangan Olahan sebagai industri yang mempunyai

daya saing tinggi dan sumber devisa negara yang berkelanjutan.

(3) Kepala BPOM melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilaksanakan dalam bidang:

a. informasi;

b. edukasi;

c. pembuatan;

d. peredaran; dan

e. sumber daya manusia.

(4) Ketentuan mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.

BAB XIII

TANGGUNG JAWAB DAN TANGGUNG GUGAT

Pasal 82

(1) Pelaku usaha selaku pembuat bertanggung jawab terhadap pembuatan

Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan agar sesuai

dengan cara pembuatan yang baik.

(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk

penandaan yang tidak sesuai dengan persyaratan dan efek samping

atau efek yang tidak diharapkan apabila efek samping atau efek yang

tidak diharapkan atau hal yang perlu menjadi perhatian tidak

diinformasikan secara jelaspada penandaan Obat, Obat Bahan Alam,

Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan.

(3) Pelaku usaha selaku pembuat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertanggung gugat atas tuntutan kerugian konsumen akibat Obat,

Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika,

Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang tidak sesuai dengan

cara pembuatan yang baik.

Pasal 83

(1) Pelaku usaha selaku distributor bertanggung jawab terhadap

pelaksanaan penyaluran Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan

Olahan agar sesuai dengan cara distribusi yang baik.

27

(2) Pelaku usaha selaku distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertanggung gugat atas tuntutan kerugian konsumen akibat Obat,

Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika,

Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang distribusinya tidak

sesuai dengan caradistribusi yang baik.

Pasal 84

(1) Pelaku usaha selaku pemilik Izin Edar bertanggung jawab terhadap

pelaksanaan penyaluran Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika,

Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan agar sesuai denganstandar

dan persyaratan.

(2) Pelaku usaha selaku pemilik Izin Edar sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) bertanggung gugat atastuntutan kerugian konsumen akibat

Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan

Olahan yang tidak sesuai denganstandar dan persyaratan.

Pasal 85

(1) Penanggungjawab fasilitas kesehatan yang melakukan penyerahan

Obat berdasarkan resep dokter bertanggung jawab terhadap standar

dan persyaratan Obat yang diserahkannya.

(2) Penanggungjawab fasilitas kesehatanyang melakukan penyerahan

Obat berdasarkan resep dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bertanggung gugat atastuntutan kerugian konsumen akibat Obat

dengan resep dokter tersebut diserahkan kepada orang atau fasilitas

yang tidak berhak.

Pasal 86

Pengajuan gugatan atas kerugian yang diderita oleh konsumen

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 85 diajukan

melalui mekanisme gugatan pelindungan konsumen sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XIV

PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 87

(1) Penelitian dan pengembangan dilaksanakan untuk memilih dan

menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang

diperlukan dalam rangka pengawasan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan

Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan

Pangan Olahan.

28

(2) Penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian Obat,

Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan

Pangan Olahan pada manusia dilaksanakan dengan memperhatikan

kaidah ilmiah, kaidah etik, norma agama dan norma yang berlaku

dalam masyarakat.

(3) Ketentuan mengenai penelitian, pengembangan dan penerapan hasil

penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 88

Dalam penelitian dan pengembangan, produsen harus melakukan uji klinik

terhadap:

a. Obat baru;

b. Obat Bahan Alam berupa fitofarmaka baru;

c. Kosmetika baru;

d. Suplemen Kesehatan tertentu baru; dan/atau

e. Pangan Olahan tertentu.

Pasal 89

(1) Uji klinik yang dilakukan harus memberikan manfaat nyata bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan kepentingan masyarakat.

(2) Uji klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu kepada

pedoman cara uji klinik yang baik.

Pasal 90

(1) Pelaksanaan uji klinik harus mendapatkan persetujuan dari Kepala

BPOM.

(2) Ketentuan mengenai persetujuan uji klinik sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.

BAB XV

PARTISIPASI MASYARAKAT

Pasal 91

(1) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam melakukan pengawasan obat

dan makanan.

(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan dalam bentuk:

a. pemberian informasi dan laporan dugaan adanya penyalahgunaan

Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan;

29

b. pelaporan terhadap efek samping atau efek yang tidak diharapkan

karena penggunaan Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika,

Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan;

c. penyampaian saran dan pendapat kepada BPOM terkait

pengawasan obat dan makanan;

d. pengawasan penyelenggaran pengawasan Obat dan makanan;

e. keikutsertaan dalam penelitian dan pengembangan yang

berhubungan dengan kegiatan pengawasan Obat dan makanan;

dan/atau

f. keikutsertaan dalam penyebarluasan informasi kepada

masyarakat terkait dengan penggunaan Obat, Obat Bahan Alam,

Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang tepat

serta memenuhi standar dan persyaratan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk partisipasi masyarakat

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala

BPOM.

BAB XVI

TENAGA PENGAWAS

Pasal 92

BPOM mengangkat tenaga pengawas untuk melakukan pemeriksaan

terhadap fasilitas:

a. pembuatan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan;

b. pendistribusian Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan; dan

c. pelayanan dan/atau penyerahanObat, Bahan Obat, dan Obat Bahan

Alam.

Pasal 93

Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada pasal 92 berwenang

melaksanakan pemeriksaan dan/atau penilaian di bidang Obat dan

Makanan meliputi:

a. memasuki setiap tempat yang digunakan dalam kegiatan produksi,

penyimpanan, distribusi, serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat,

Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen

Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan;

b. membuka, memeriksa, dan meneliti produk Obat, Bahan Obat, Obat

Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,

dan Pangan Olahan;

c. memeriksa, meneliti, dan mengambil sampel segala sesuatu yang

digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, distribusi, serta

30

pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan

Olahan;

d. mengambil sampel Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak

Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan di

fasilitas produksi, distribusi, serta pelayanan dan/atau penyerahan

untuk dilakukan pengujian laboratorium sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

e. memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat

keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, distribusi,

serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Obat Bahan Alam,

Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan

Olahan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;

f. mengambil gambar, foto, dan/atau video seluruh atau sebagian

fasilitas dan peralatan yang digunakan dalam produksi, penyimpanan,

distribusi, serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Obat Bahan

Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan

Pangan Olahan; dan/atau

g. melaksanakan pengujian di bidang pengawasan Obat dan makanan.

Pasal 94

Setiap Orang yang bertanggung jawab atas fasilitas produksi, distribusi,

serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan

Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan

Olahan tempat dilakukannya pemeriksaan dan pengambilan sampel wajib

mengizinkan tenaga pengawas obat dan makanan untuk melakukan

tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93.

Pasal 95

Setiap Orang yang bertanggung jawab atas fasilitas produksi, distribusi,

serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan

Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan

Olahan tempat dilakukannya pemeriksaan dan pengambilan sampeloleh

tenaga pengawas berhak untuk menolak dilakukannya pemeriksaan dan

pengambilan sampel jika tenaga pengawas tidak dilengkapi dengan tanda

pengenal dan surat tugas pemeriksaan.

Pasal 96

(1) Dalam hal pengawasan peredaran Obat, Bahan Obat, Obat Bahan

Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan

Pangan Olahan pada fasilitas produksi, distribusi, serta pelayanan

dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak

Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan

31

memerlukan klarifikasi dan konfirmasi lebih lanjut, tenaga pengawas

dapat melakukan tindakan pengamanan setempat.

(2) Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi:

a. tindakan inventarisasi;

b. tindakan pengamanan terhadap bahan, produk, sarana dan/atau

alat dengan membuat garis pengaman;

c. larangan mengedarkan untuk sementara waktu; dan/atau

d. pengambilan sampel untuk uji laboratorium dan/atau penilaian

Penandaan.

(3) Pemilik Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan bertanggung

jawab atas Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan yang dilakukan

tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dituangkan dalam berita acara pengamanan setempat.

(5) Dalam hal hasil pemeriksaan fasilitas produksi, distribusi, serta

pelayanan dan/atau penyerahan Obat,Bahan Obat, Obat Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan menunjukkan

adanya dugaan adanya tindak pidana di bidang pengawasan Obat dan

makanan, dilakukan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(6) Ketentuan lebih lanjutmengenai tindakan pengamanan setempat

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala

BPOM.

BAB XVII

PENYIDIKAN

Pasal 97

(1) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai negeri

sipil tertentu di lingkungan BPOM diberi wewenang khusus sebagai

penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang

mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan

penyidikan tindak pidana di bidang pengawasan Obat dan makanan.

(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan BPOM berwenang:

a. menerima pengaduan atau laporan tentang adanya dugaan tindak

pidana di bidang pengawasan Obat dan makanan;

b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran pengaduan atau laporan

berkenaan dengan dugaan tindak pidana di bidang pengawasan

obat dan makanan;

32

c. melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap barang

bukti tindak pidana;

d. melakukan pemanggilan terhadap seseorang yang diduga

melakukan tindak pidana di bidang Obat dan Makanan;

e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain

tentang tindak pidana di bidang pengawasan obat dan makanan;

f. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan

hukum sehubungan dengan tindak pidana;

g. melakukan pengujian laboratorium terhadap bahan dan/atau

barang bukti tindak pidana;

h. meminta bantuan dan/atau keterangan ahli dalam rangka

pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;

i. memeriksa tanda pengenal dan mengambil sidik jari;

j. memotret dan/atau merekam melalui audio visual terhadap

orang, barang/sarana pengangkut atau apa saja yang dapat

dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang obat dan

makanan;

k. melakukan penangkapan dan/atau penahanan tersangka yang

diduga melakukan tindak pidana di bidang obat dan makanan;

l. meminta bantuan kepada instansi yang berwenang untuk

melakukan pencegahan atau melarang berpergian ke luar negeri

terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam tindak pidana di

bidang pengawasan obat dan makanan dengan;

m. meminta perusahaan jasa pengiriman barang untuk melakukan

pembukaan dan pemeriksaan barang kiriman yang diduga terkait

dengan tindak pidana di bidang pengawasan obat dan makanan;

n. menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui

koordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;

o. memberitahukan dimulainya penyidikan kepada jaksa penuntut

umum melalui koordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara

Republik Indonesia;

p. menghentikan penyidikan;

q. meminta instansi yang berwenang di bidang transaksi keuangan

untuk memberikan data-data atau informasi tentang transaksi

keuangan yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang Obat

dan makanan;

r. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan/atau

sarana kegiatan teknologi informasi yang diduga digunakan

sebagai sarana untuk bertransaksi secara elektronik Obat dan

makanan ilegal; dan

s. meminta informasi yang terdapat dalam sistem elektronik atau

informasi yang dihasilkan oleh sistem elektronik kepada orang

33

atau penyelenggara yang terkait dengan tindak pidana dalam

transaksi elektronik Obat dan makanan ilegal.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaan

tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik

Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

BAB XVIII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 98

Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak

Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika, atau

memproduksi Pangan Olahan untuk diedarkan yang tidak memenuhi

standar dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh) tahun dan pidana denda

paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 99

Setiap Orang yang membuat dan/atau mengedarkan Obat, Obat Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan tanpa Izin

Edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dipidana dengan pidana

penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak

Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 100

Setiap Orang yang tanpa hak mendistribusikan Obat dan/atau Bahan Obat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara

paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak

Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 101

Setiap Orang yang menjual Obat secara online tanpa memiliki surat izin

sebagai fasilitas pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 45 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun

dan pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 102

Setiap Orang yang dengan sengaja menjual obat keras, dan/atau

psikotropika secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana

denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

34

Pasal103

Pelaku usaha yang dengan sengaja mempromosikan dan/atau

mengiklankan produk Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan/atau Obat

Bahan Alam yang berupa Obat Tradisional atau Obat Herbal Terstandar

seolah-olah dapat berfungsi sebagai Obat sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 58 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan

pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00(enam miliar rupiah)

Pasal 104

Setiap Orang yang menghalangi tenaga pengawas obat dan makanan untuk

melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling

banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

Pasal 105

Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal

103 merupakan kejahatan.

BAB XIX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 106

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Ordonansi Obat Keras

(Sterkwerkende Geneesmiddelen Ordonnantie 1949, Staatsblad 1949: 419)

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal107

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-

undangan di bidang pengawasan Obatdanmakanan dinyatakan masih tetap

berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-

Undang ini.

Pasal108

Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling

lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 109 Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapannya yang

menangani urusan pemerintahan di bidang kesehatan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

35

Pasal 110

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-

Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal ...

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal ...

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...

36

PENJELASAN

ATAS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR… TAHUN…

TENTANG

PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN

I. UMUM

Salah satu tujuan bernegara dalam Pembukaan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk

melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.

Sejalan dengan tujuan bernegara tersebut, negara juga menjamin

bahwa kesehatan merupakan hak dasar manusia sebagaimana diatur

dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup

sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan”. Sejalan dengan tujuan bernegara serta untuk

mewujudkan jaminan hak dasar atas kesehatan tersebut, negara

memiliki kewajiban untuk menjalankan pembangunan kesehatan serta

pelindungan masyarakat, khususnya dari Obat, Obat Bahan Alam,

Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan yang berisiko

terhadap kesehatan.

Globalisasi telah membawa perubahan yang cepat dan signifikan

pada industriObat,Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan

Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan sehingga

masih terdapat produk yang berasal dari dalam dan luar negeri yang

tidak memenuhi standar dan persyaratan serta beredarnya produk

ilegal yang berdampak buruk bagi kesehatan dan keamanan

masyarakat. Selain itu, konsumsi masyarakat terhadap produk Obat,

Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan

Olahan cenderung meningkat, namun pengetahuan masyarakat akan

produk yang beredar tersebut masih belum memadai untuk dapat

memilih dan menggunakan produk Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen

Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan secara tepat, benar, dan

aman.

Secara yuridis, belum ada undang-undang yang mengatur secara

khusus mengenai pengawasan obat dan makanan. Pengaturan

mengenai Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,Ekstrak Bahan

Alam,Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahanmasih

tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan

hal tersebut, diperlukan sistem pengawasan obat dan makanan yang

komprehensif dan terpadu untuk melindungi masyarakat dari Obat,

37

Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen

Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan yang tidak memenuhi

standar dan persyaratan.

Pengawasan terhadap obat dan makanan dilakukan dari hulu ke

hilir yang meliputi produk sebelum diedarkan (premarket) hingga

produk setelah diedarkan kepada masyarakat (postmarket).

Pengawasan obat dan makanan mempunyai lingkup yang luas dan

kompleks karena berdampak luas pada keselamatan dan kesehatan

konsumen. Oleh karena itu, pengawasan tidak dapat dilakukan secara

parsial hanya pada produk akhir yang beredar di masyarakat, tetapi

harus dilakukan secara komprehensif dan sistematis, mulai dari

produksi, peredaran, promosi dan iklan, sampai dengan pengambilan

sampel, pengujian, penarikan, dan pemusnahan Obat, Bahan Obat,

Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,

Kosmetika, atau Pangan Olahan.

Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang ini mengatur

mengenai penggolongan/kategori; standar dan persyaratan;

pembuatan/produksi; penandaan; peredaran; pemasukan dan

pengeluaran; promosi dan iklan; pengambilan sampel, pengujian,

penarikan, dan pemusnahan; kelembagaan; koordinasi; pembinaan;

tanggung jawab dan tanggung gugat; penelitian dan pengembangan;

peran serta masyarakat; tenaga pengawas; penyidikan; ketentuan

pidana; dan ketentuan penutup.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Huruf a

Yang dimaksud dengan “asas pelindungan” adalah bahwa

pengawasan Obat dan makanan dilakukan dalam rangka

melindungi masyarakat dari Obat dan makanan yang tidak

memenuhi standar dan persyaratan.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas keamanan dan mutu” adalah

bahwa pengawasan Obat dan makanan memberikan jaminan

atas keamanan dan keselamatan kepada warga negara dalam

penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan Obat dan

makanan yang dikonsumsi serta menjamin rasio manfaat

lebih besar daripada risiko kesehatan.

38

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa

pengawasan Obat dan makanan harus memberikan manfaat

dari aspek:

a. kesehatan, yang ditujukan untuk memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat;dan

b. edukasi, yang ditujukan untuk memberikan

edukasi/pemahaman kepada masyarakat mengenai

kriteria Obat dan makanan yang memenuhi standar dan

persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah bahwa

pelaksanaan pengawasan Obat dan makanan harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf e

Yang dimaksud dengan “asas holistik” adalah pelaksanaan

pengawasan Obat dan makanan dilakukan secara

menyeluruh dimulai dari pre sampai post market.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “asas transparan” adalah

pelaksanaan pengawasan Obat dan makanan harus

dilakukan secara terbukasesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa

pengawasan Obat dan makanan harus mencerminkan

keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara

Huruf h

Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah

bahwa setiap kebijakan dalam pengawasan Obat dan

Makanan harus berdasarkan hukum dan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Pasal 3

Cukup jelas.

39

Pasal 4

Cukup jelas.

Pasal 5

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Huruf a

Obat Tradisional antara lain jamu gendong dan jamu

racikan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Yang dimaksud dengan “instansi terkait” antara lain Kementerian

Kesehatan,dan Badan Standarisasi Nasional.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

40

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Yang dimaksud dengan „‟jamu gendong” adalah usaha yang

dilakukan oleh perorangan dengan menggunakan bahan Obat

Tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar dengan

tujuan untuk dijajakan langsung kepada konsumen.

Yang dimaksud dengan “jamu racikan” adalah usaha yang

dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya yang dimiliki

perorangan dengan melakukan pencampuran sediaan jadi

dan/atau segar Obat Tradisional untuk dijajakan langsung

kepada konsumen.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

41

Pasal 27

Cukup jelas.

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “objektif” adalah memberikan

informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh

menyimpang dari sifat kemanfaatan, cara penggunaan, dan

keamanan.

Yang dimaksud dengan “tidak menyesatkan” adalah

memberikan informasi yang akurat dan bertanggungjawab

serta tidak memanfaatkan kekhawatiran masyarakat

terhadap sesuatu masalah kesehatan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 29

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

huruf b

Angka 1

Yang dimaksud dengan “kemasannya terlalu

kecil” adalah kemasan tersebut secara teknis

sulit memuat seluruh keterangan yang

diwajibkan sebagaimana berlaku bagi produk

pangan lainnya.

Angka 2

Cukup jelas.

Angka 3

Yang dimaksud dengan “dijual dalam jumlah

besar” adalah pangan yang dikemas dalam

wadah, sehingga volume bersih pangan yang

42

bersangkutan lebih dari 500 (lima ratus) liter

atau berat bersih pangan yang bersangkutan

lebih dari 500 (lima ratus) kilogram.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yaitu satuan kerja

perangkat daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya

di bidang kesehatan.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Pedagang Besar Farmasi” adalah

perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin

untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau

bahan obat dalam jumlah besar sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-perundangan.

Yang dimaksud dengan “instalasi farmasi pemerintah” adalah

sarana tempat penyimpanan dan penyaluran sediaan farmasi

43

kesehatan milik pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 38

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

44

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “objektif” adalah memberikan

informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh

menyimpang dari sifat kemanfaatan, cara penggunaan, dan

keamanan.

Yang dimaksud dengan “tidak menyesatkan” adalah

memberikan informasi yang akurat dan bertanggungjawab

serta tidak memanfaatkan kekhawatiran masyarakat

terhadap sesuatu masalah kesehatan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

45

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Waktu tertentu antara lain menjelang hari raya

keagamaan dan tahun baru.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Media massa antara lain media cetak, media elektronik, dan

internet.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

46

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “menteri terkait” antara lain menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di

47

bidang perdagangan, di bidang perindustrian, dan di bidang kesehatan.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Pembinaan dalam bidang informasi dilakukan antara

laindengan menyebarluaskan informasi kepada

masyarakat mengenai pengawasan obat dan

makanan.

Huruf b

Pembinaan dalam bidang edukasi dilakukan antara

laindengan melakukan penyuluhan mengenai proses

pembuatan yang memenuhi standar dan persyaratan,

serta menyelenggarakan pemantauan standar dan

persyaratan secara berkala, dan memberikan

pembinaan tentang efek samping obat dan makanan

kepada masyarakat.

Huruf c

Pembinaan dalam bidang pembuatan dilakukan

antara lain denganmeningkatkan kemampuan teknik

dan penerapan cara pembuatan obat dan makanan

yang baik, meningkatkan potensi nasional yang

tersedia dalam pembuatan obat dan makanan,

danmelaksanakan penelitian dan pengembangan

pembuatan obat dan makanan dalam rangka

perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan.

Huruf d

Pembinaan dalam bidang peredaran dilakukan dengan

memberikan pembinaan cara distribusi obat dan

makanan yang sesuai dengan standar dan

persyaratan obat dan makanan yang diedarkan, dan

mengembangkan jaringan peredaran obat dan

makanan yang merata.

Huruf e

Pembinaan dalam bidang sumber daya

manusiadilakukan dengan meningkatkan

keterampilan teknis pelaku usaha dalam rangka

membuat danmengedarkan obat dan makanan, serta

mengembangkan lembaga pendidikan dan/atau

lembaga pelatihan di bidang obat dan makanan, dan

menyediakan tenaga penyuluh atau ahli di bidang

obat dan makanan.

48

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 82

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “tanggung gugat” adalah bahwa

pelaku usaha selaku pembuat bertanggung jawab dan

bersedia digugat dalam tuntutan kerugian konsumen akibat

Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,

Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang

tidak sesuai dengan cara pembuatan yang baik.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Yang dimaksud dengan "Pangan Olahan tertentu" adalah:

49

a. Pangan Olahan untuk konsumsi bagi kelompok

tertentu, misalnya: formula untuk bayi, pangan yang

diperuntukkan ibu hamil atau menyusui, dan

pangan khusus bagi penderita penyakit tertentu;

atau

b. Pangan Olahan lain yang mempunyai pengaruh

besar terhadap perkembangan kualitas kesehatan

manusia.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Ayat (1)

Masyarakat antara lain organisasi, lembaga swadaya

masyarakat, dan komunitas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

50

Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas.

Pasal 103

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Cukup jelas.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.

Pasal 109

Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...