Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR … TAHUN …
TENTANG
PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia
yang dijamin sepenuhnya oleh negara dan harus
diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa dalam rangka meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, perlu
dilakukan berbagai upaya kesehatan yang didukung
oleh standar dan persyaratan obat dan makanan;
c. bahwa masih terdapat obat dan makanan yang
berasal dari dalam dan luar negeri yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan serta beredarnya
obat dan makanan ilegal yang berdampak buruk bagi
kesehatan;
d. bahwa untuk melindungi masyarakat dari obat dan
makanan yang tidak memenuhi standar dan
persyaratan diperlukan sistem pengawasan obat dan
makanan yang komprehensif dan terpadu;
e. bahwa selama ini pengaturan mengenai pengawasan
obat dan makanan masih tersebar dalam berbagai
peraturan perundang-undangan dan belum ada
pengaturan secara khusus mengenai pengawasan
obat dan makanan;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang
tentang Pengawasan Obat dan Makanan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28H ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGAWASAN OBAT DAN
MAKANAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau
keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi
untuk manusia.
2. Bahan Obat adalah bahan, baik yang berkhasiat maupun eksipien
yang digunakan dalam pembuatan Obat dengan standar dan
persyaratan mutu sebagai bahan baku farmasi.
3. Obat Bahan Alam adalah produk mengandung bahan yang berasal dari
bahan tumbuhan, bahan hewan, dan/atau bahan mineral alam yang
dapat dalam bentuk tunggal atau campuran.
4. Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik),
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah
digunakan untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat.
5. Obat Herbal Terstandar adalah sediaan Obat Bahan Alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji
praklinik dan bahan bakunya telah distandardisasi.
6. Fitofarmaka adalah sediaan Obat Bahan Alam yang telah dibuktikan
keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji
klinik serta bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi.
7. Ekstrak Bahan Alam adalah sediaan dalam bentuk ekstrak sebagai
produk akhir.
8. Suplemen Kesehatan adalah produk yang dimaksudkan untuk
melengkapi kebutuhan zat gizi, memelihara, meningkatkan, dan/atau
memperbaiki fungsi kesehatan, mempunyai nilai gizi dan/atau efek
fisiologis, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral,
3
asam amino dan/atau bahan lain bukan tumbuhan yang dapat
dikombinasi dengan tumbuhan.
9. Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk
digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut,
kuku, bibir, dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran
mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan atau
melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
10. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan
cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
11. Penandaan adalah label atau informasi berupa keterangan objektif,
lengkap, dan tidak menyesatkan dalam bentuk gambar, warna,
tulisan, atau kombinasi antara atau ketiganya atau bentuk lainnya
yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan,
atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
12. Peredaran adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan pengadaan,
penyimpanan, penyaluran, dan/atau penyerahan Obat dan makanan,
baik dalam rangka perdagangan maupun bukan perdagangan.
13. Izin Edar adalah bentuk persetujuan pendaftaran Obat, Obat Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan untuk
dapat diedarkan di wilayah Indonesia.
14. Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian,
penilaian, pemahaman, dan pencegahan efek samping atau masalah
lainnya terkait dengan penggunaan Obat.
15. Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disingkat BPOM
adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas dan
bertanggung jawab dalam pengawasan Obat dan makanan.
16. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha baik yang
berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
17. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh
Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
18. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan
urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
Pasal 2
Pengawasan Obat dan makanan diselenggarakan berdasarkan asas:
a. pelindungan;
b. keamanan dan mutu;
c. manfaat;
d. akuntabilitas;
4
e. holistik;
f. transparan;
g. keadilan; dan
h. kepastian hukum.
Pasal 3
Pengawasan Obat dan makanan bertujuan untuk:
a. menjamin standar dan persyaratan Obat dan makanan yang beredar;
b. melindungi masyarakat dari penggunaan Obat dan makanan yang
tidak memenuhi standar dan persyaratan;
c. mencegah penggunaan yang salah dari Obat dan makanan;
d. mencegah penyalahgunaan Obat dan makanan;
e. memberikan kepastian hukum;
f. menciptakan iklim usaha yang sehat dalam rangka membuat dan
mengedarkan Obat dan makanan;
g. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengawasan Obat
dan makanan;
h. melakukan pengembangan, pembinaan, dan memfasilitasi industri
Obat dan makanan dalam rangka peningkatan daya saing; dan
i. memperkuat koordinasi kelembagaan lintas program dan lintas sektor
dalam pengawasan Obat dan makanan.
Pasal 4
Ruang lingkup pengawasan Obat dan makanan meliputi Obat, Bahan Obat,
Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,
dan Pangan Olahan.
BAB II
PENGGOLONGAN
Bagian Kesatu
Penggolongan Obat
Pasal 5
(1) Obat digolongkan menjadi:
a. narkotika;
b. psikotropika;
c. Obat keras; dan
d. Obat bebas.
(2) Narkotika, Psikotropika, dan Obat keras sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c diserahkan kepada pasien
berdasarkan resep dokter.
5
(3) Obat bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat
diserahkan kepada pasien tanpa resep dokter.
Pasal 6
Obat yang termasuk dalam golongan Obat yang diserahkan kepada pasien
berdasarkan resep dokter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)
ditetapkan oleh Kepala BPOM.
Pasal 7
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.
Bagian Kedua
Penggolongan Obat Bahan Alam
Pasal 8
(1) Obat Bahan Alam digolongkan menjadi:
a. Obat Tradisional;
b. Obat Herbal Terstandar; dan
c. Fitofarmaka.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat Bahan Alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala
BPOM.
Bagian Ketiga
Penggolongan Pangan Olahan
Pasal 9
(1) Penggolongan jenis Pangan Olahan meliputi:
a. Pangan Olahan yang terkemas;
b. Pangan Olahan industri rumah tangga; dan
c. pangan siap saji.
(2) Ketentuan mengenai jenis Pangan Olahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB III
STANDAR DAN PERSYARATAN
Pasal 10
(1) Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan yang dibuat
atau diedarkan wajib memenuhi standar dan persyaratan.
6
(2) Standar dan persyaratan Obat,Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetika
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
BPOM.
Pasal 11
Dalam menetapkan standar dan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10 ayat (2), BPOM mengikutsertakan institusi terkait,
akademisi, organisasi profesi, pakar, dan asosiasi terkait.
Pasal 12
(1) Standar dan persyaratan untuk Obat, Bahan Obat, dan Suplemen
Kesehatan yang meliputi keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu
dilaksanakan sesuai standar dan persyaratan dalam farmakope.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan persyaratan dalam
farmakope sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala BPOM.
Pasal 13
(1) Standar dan persyaratan untuk Obat Bahan Alam dan Ekstrak Bahan
Alam yang meliputi keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu
dilaksanakan sesuai standar dan persyaratan dalam farmakope herbal
dan standar lainnya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan persyaratan dalam
farmakope herbal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala BPOM.
Pasal 14
(1) Standar dan persyaratan untuk Kosmetika yang meliputi keamanan,
manfaat, dan mutu dilaksanakan sesuai standar dan persyaratan
dalam kodeks kosmetika Indonesia dan standar lain yang diakui.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar dan persyaratan kodeks
kosmetika Indonesia dan standar lain yang diakui sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.
Pasal 15
Standar dan persyaratan untuk Pangan Olahan yang meliputi keamanan,
mutu, dan gizi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
7
Pasal 16
Setiap Orang yang membuat dan/atau mengedarkan Obat, Bahan Obat,
Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,
dan Pangan Olahan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 15 dikenai
sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;
c. perintah penarikan produk;
d. perintah pemusnahan;
e. penghentian sementara kegiatan;
f. pembekuan sertifikat;
g. pencabutan sertifikat;
h. pembekuan Izin Edar;
i. pencabutan Izin Edar; dan/atau
j. rekomendasi pencabutan izin usaha.
BAB IV
PEMBUATAN/PRODUKSI
Pasal 17
Pembuatan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, dan Kosmetika serta produksi Pangan Olahan harus
mengutamakan bahan yang diproduksi di dalam negeri.
Pasal 18
Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak
Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika, atau
memproduksi Pangan Olahan untuk diedarkan wajib memenuhi standar
dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sampai dengan
Pasal 15.
Pasal 19
(1) Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika, atau
memproduksi Pangan Olahan wajib memiliki izin usaha industri.
(2) Izin usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 20
(1) Setiap Orang yang membuat Obat dan/atau Bahan Obat yang
termasuk dalam golongan narkotika, selain memiliki izin sebagaimana
8
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) harus memperoleh izin khusus
untuk memproduksi narkotika.
(2) Perolehan izin khusus untuk memproduksi narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 21
Izin industri Obat Bahan Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) yang berupa usaha mikro Obat Bahan Alam dan usaha kecil Obat Bahan
Alam, menjadi kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Izin industri Pangan Olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 23
Izin industri Obat Bahan Alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(2) dikecualikan bagi usaha jamu gendong dan usaha jamu racikan yang
dibuat oleh perorangan.
Pasal 24
Izin produksi Pangan Olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat
(1) dikecualikan bagi Pangan Olahan yang dibuat oleh perorangan.
Pasal 25
(1) Pembuatan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetika harus dilakukan sesuai
dengan cara pembuatan yang baik.
(2) Ketentuan mengenai cara pembuatan yang baik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.
Pasal 26
(1) Produksi Pangan Olahan harus dilakukan sesuai dengan cara produksi
yang baik.
(2) Ketentuan mengenai cara produksi yang baik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 27
(1) Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
dan/atau Suplemen Kesehatan tidak sesuai dengan cara pembuatan
9
yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;
c. perintah penarikan produk;
d. perintah pemusnahan;
e. penghentian sementara kegiatan;
f. pembekuan sertifikat;
g. pencabutan sertifikat;
h. pembekuan Izin Edar;
i. pencabutan Izin Edar; dan/atau
j. rekomendasi pencabutan izin usaha.
(2) Setiap Orang yang membuat Ekstrak Bahan Alam yang tidak sesuai
dengan pedoman cara pembuatan yang baik dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;
c. perintah penarikan produk;
d. perintah pemusnahan;
e. penghentian sementara kegiatan;
f. pembekuan sertifikat; dan/atau
g. pencabutan sertifikat.
(3) Setiap Orang yang memproduksi Kosmetika dan/atau Pangan Olahan
yang tidak sesuai dengan cara produksi yang baik dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;
c. perintah penarikan produk;
d. perintah pemusnahan;
e. penghentian sementara kegiatan;
f. pembekuan sertifikat;
g. pencabutan sertifikat;
h. pembekuan Izin Edar;
i. pencabutan Izin Edar; dan/atau
j. rekomendasi pencabutan izin usaha.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat
(3) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.
10
BAB V
PENANDAAN
Pasal 28
(1) Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika, atau
memproduksi Pangan Olahan wajib memenuhi persyaratan Penandaan
sebelum diedarkan di masyarakat.
(2) Penandaansebagaimana dimaksud pada ayat (1)berisi keterangan
mengenai Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan secara lengkap,
benar, objektif, dan tidak menyesatkan.
(3) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Obat,Obat
Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan
memuat paling sedikit mengenai:
a. nama produk;
b. nama dan alamat badan usaha, lembaga, atau perorangan yang
membuat atau memasukkan Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen
Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan;
c. komponen pokok/komposisi atau daftar bahan;
d. keterangan kedaluwarsa;
e. kode produksi/nomor batch;
f. nomor Izin Edar; dan
g. berat bersih atau isi bersih.
(4) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk Bahan Obat
dan Ekstrak Bahan Alam memuat paling sedikit mengenai:
a. nama produk;
b. nama dan alamat badan usaha, lembaga, atau perorangan yang
membuat atau memasukkan Bahan Obat dan Ekstrak Bahan
Alam;
c. komponen pokok/komposisi atau daftar bahan;
d. keterangan kedaluwarsa;
e. kode produksi/nomor batch; dan
f. berat bersih atau isi bersih.
(5) Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penandaan
dapat berisi keterangan tambahan sesuai dengan keterangan dan/atau
lampiran yang ada dalam Izin Edar.
(6) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat
(5) dicetak secara tegas dan jelas menggunakan bahasa Indonesia agar
mudah dimengerti oleh masyarakat.
(7) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat
(5)dapat menggunakan istilah asing apabila tidak ada padanannya
atau tidak dapat diciptakan padanannya dalam bahasa Indonesia.
11
Pasal 29
(1) Penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1)
dikecualikan bagi:
a. jamu gendong dan jamu racikan yang dibuat oleh perorangan;
b. Pangan Olahan yang:
1. kemasannya terlalu kecil;
2. dijual dan dikemas secara langsung; atau
3. dijual dalam jumlah besar.
(2) Pengecualian Penandaan untuk Pangan Olahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 30
(1) Setiap Orangyang tidak memenuhi persyaratan Penandaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dikenai sanksi administratif
berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian mengedarkan produk untuk sementara;
c. perintah penarikan produk;
d. perintah pemusnahan;
e. penghentian sementara kegiatan;
f. pembekuan sertifikat;
g. pencabutan sertifikat;
h. pembekuan Izin Edar;
i. pencabutan Izin Edar; dan/atau
j. rekomendasi pencabutan izin usaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala BPOM.
BAB VI
PEREDARAN
Bagian Kesatu
Izin Edar
Pasal 31
Setiap Orang yang membuat dan/atau mengedarkan Obat, Obat Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan wajib memiliki
Izin Edar.
12
Pasal 32
(1) Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, atau
Pangan Olahan hanya dapat dibuat dan/atau diedarkan setelah
memperoleh Izin Edar dari Kepala BPOM.
(2) Izin Edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas dasar
permohonan secara tertulis kepada Kepala BPOM.
(3) Permohonan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disertai dengan keterangan dan/atau data mengenai Obat, Obat Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan yang
dimohonkan.
(4) Izin Edar dari Kepala BPOM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diterbitkan setelah Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,
Kosmetika, atau Pangan Olahan memenuhi standar dan persyaratan.
(5) Izin Edar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan paling lama
3 (tiga) bulan setelah produk memenuhi standar dan persyaratan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan Izin Edar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala
BPOM.
Pasal 33
(1) Pangan Olahan yang diproduksi oleh industri rumah tangga wajib
memiliki sertifikat produksi pangan industri rumah tangga.
(2) Sertifikat produksi pangan industri rumah tangga sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 34
(1) Izin Edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikecualikan
bagi:
a. Obat untuk penggunaan khusus atau permintaan dokter, donasi,
dan uji klinik;
b. Obat Bahan Alam berupa Obat Tradisional yang meliputi jamu
gendong dan jamu racikan;
c. Obat Bahan Alam dan Suplemen Kesehatan untuk kebutuhan
donasi;
d. Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetika
yang digunakan untuk penelitian, pengembangan produk, sampel
untuk registrasi, pameran, dan penggunaan khusus dalam jumlah
terbatas dan tidak diperjualbelikan/diedarkan;
e. Pangan Olahan yang:
1. mempunyai masa simpan kurang dari 7 (tujuh) hari;
2. diimpor dalam jumlah kecil untuk keperluan:
a) sampel dalam rangka permohonan pendaftaran;
13
b) penelitian; atau
c) konsumsi sendiri.
3. digunakan lebih lanjut sebagai bahan baku dan tidak dijual
secara langsung kepada konsumen akhir; dan/atau
4. dijual dan dikemas langsung di hadapan pembeli dalam
jumlah kecil sesuai permintaan konsumen.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan
tetap memperhatikan standar dan persyaratan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian Izin Edar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.
Bagian Kedua
Distribusi
Pasal 35
(1) Distribusi Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahanwajib dilakukan
dengan berpedoman pada cara distribusi yang baik.
(2) Distributor yang telah menerapkan cara distribusi yang baik diberikan
sertifikat cara distribusi yang baik.
(3) Ketentuan mengenai cara distribusi Obat, Bahan Obat, Obat Bahan
Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan
Pangan Olahan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Kepala BPOM.
Pasal 36
(1) Distributor yang tidak melakukan distribusi Obat, Bahan Obat, Obat
Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,
dan Pangan Olahan sesuai dengan pedoman cara distribusi yang baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. larangan mengedarkan produk untuk sementara;
c. perintah penarikan produk;
d. perintah pemusnahan;
e. penghentian sementara kegiatan;
f. pembekuan izin edar;
g. pencabutan izin edar;
h. pembekuan sertifikat;
i. pencabutan sertifikat; dan/atau
j. rekomendasipencabutan izin usaha.
14
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaansanksi
administratifsebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala BPOM.
Pasal 37
(1) Distribusi Obat hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi, pedagang
besar farmasi, dan instalasi farmasi pemerintah.
(2) Industri farmasi dan pedagang besar farmasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
(3) Pedagang besar farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 38
(1) Industri farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) hanya
dapat mendistribusikan Obat kepada:
a. pedagang besar farmasi; dan
b. instalasi farmasi pemerintah.
(2) Pedagang besar farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
hanya dapat mendistribusikan Obat kepada:
a. pedagang besar farmasi lainnya;
b. apotek;
c. instalasi farmasi pemerintah;
d. instalasi farmasi rumah sakit;
e. puskesmas;
f. instalasi farmasi klinik;
g. toko obat; dan
h. lembaga ilmu pengetahuan.
(3) Instalasi farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, hanya dapat mendistribusikan Obat kepada:
a. instalasi farmasi pemerintah lainnya;
b. instalasi farmasi rumah sakit pemerintah;
c. pusat kesehatan masyarakat; dan
d. instalasi farmasi klinik pemerintah.
(4) Pendistribusian Obat oleh pedagang besar farmasikepada toko obat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f hanya untuk golongan
Obat tanpa resep dokter.
Pasal 39
(1) Distribusi Bahan Obat hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi
yang membuat Bahan Obatdan pedagang besar farmasi.
15
(2) Industri farmasi yang membuat Bahan Obat dan pedagang besar
farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan
hukum.
(3) Pedagang besar farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 40
(1) Industri farmasi yang membuat Bahan Obat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 ayat (1) hanya dapat mendistribusikan Bahan Obat
kepada industri farmasi lainnya dan pedagang besar farmasi.
(2) Pedagangbesar farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya
dapat mendistribusikan Bahan Obat kepada:
a. industri farmasi;
b. pedagang besar farmasi lainnya;
c. lembaga ilmu pengetahuan;
d. instalasi farmasi rumah sakit yang memiliki fasilitas pembuatan
obat untuk keperluan pelaksanaan pelayanan kesehatan di rumah
sakit yang bersangkutan;
e. apotek; dan
f. lembaga yang diberikan izin khusus.
(3) Pendistribusian Bahan Obat oleh pedagang besar farmasi kepada
apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e hanya untuk
Bahan Obat tertentu.
(4) Industri farmasi dan pedagang besar farmasi dapat mendistribusikan
Bahan Obat tertentu kepada industri Suplemen Kesehatan dan
Kosmetika.
(5) Ketentuan mengenai pendistribusian Bahan Obat tertentu
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Kepala BPOM.
Pasal 41
(1) Distribusi Obat dan/atau Bahan Obat yang termasuk golongan
narkotikadan psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pedagang besar
farmasi dan instalasi farmasi pemerintah.
(2) Pedagang besar farmasi dan instalasi farmasi pemerintah wajib
memiliki izin khusus pendistribusian narkotika dan psikotropika
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42
(1) Distribusi Obat Bahan Alam,Ekstrak Bahan Alam, Suplemen
Kesehatan,Kosmetika, dan/atau Pangan Olahan dilakukan oleh pelaku
usaha.
16
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan
distribusi Obat Bahan Alam,Ekstrak Bahan Alam, Suplemen
Kesehatan, Kosmetika, dan/atau Pangan Olahan dapat melakukan
kerjasama dengan pihak ketiga.
Pasal 43
Setiap Orang yang tanpa hak dilarang mendistribusikan Obat dan/atau
Bahan Obat.
Pasal 44
(1) Apotek, instalasi farmasi rumah sakit, instalasi farmasi klinik, pusat
kesehatan masyarakat, dan toko obat dilarang melakukan kegiatan
pendistribusian Obat dan/atau Bahan Obat.
(2) Larangan melakukan kegiatan pendistribusian Obat dan/atau Bahan
Obat sebagaimana dimaksud ayat (1) dikecualikan terhadap:
a. apotek yang mendistribusikan Obat kepada tenaga kesehatan
untuk pemenuhan Obat pada daerah terdepan, terpencil, atau
terluar; dan
b. instalasi farmasi rumah sakit yang mendistribusikan Obat
dan/atau Bahan Obat tertentu kepada instalasi farmasi rumah
sakit lain.
(3) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang menjual Obat secara online wajib memiliki surat izin
sebagai fasilitas pelayanan kefarmasian.
(2) Obat yang dijual secara online sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat berupa obat bebas.
(3) Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menjual
obat keras dan/atau psikotropika secara online.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 46
(1) Penyerahan Obatuntuk digunakan dalam pelayanan kesehatan
dilakukan atas dasar:
a. resep dokter; atau
b. tanpa resep dokter.
(2) Penyerahan Obat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh
17
fasilitas kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 47
(1) Obat berdasarkan resep dokter hanya dapat diserahkan oleh apoteker
di fasilitas pelayanan kefarmasian berdasarkan resep dari tenaga
medis.
(2) Obat tanpa resep dokter dapat diserahkan di apotek, toko obat dan
instalasi kefarmasian lainnya.
(3) Penyerahan Obat dengan resep dokter sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan penyerahan Obat tanpa resep dokter sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk daerah terdepan, terpencil,
atau terluar.
(4) Pengecualian untuk daerah terdepan, terpencil, atau terluar
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 48
(1) Penyerahan Obat yang termasuk golongan narkotika atau psikotropika
hanya dapat dilakukan oleh apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
pusat kesehatan masyarakat, instalasi farmasi klinik, dan dokter.
(2) Penyerahan Obat yang termasuk ke dalam golongan narkotika atau
psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Farmakovigilans
Pasal 49
(1) Industri farmasi dan fasilitas pelayanan kesehatan melakukan
farmakovigilans.
(2) Dalam hal industri farmasi dan fasilitas pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menemukan Bahan Obat yang
tidak memenuhi standar dan persyaratan dan/atau menimbulkan efek
samping atau masalah lainnya terkait keamanan penggunaan Obat,
industri farmasi dan fasilitas pelayanan kesehatan wajib melapor
kepada Kepala BPOM.
(3) Kepala BPOM melakukan evaluasi farmakovigilans dan melakukan
tindakan pengawasan untuk melindungi masyarakat dalam
penggunaan Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika, dan Suplemen
Kesehatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai farmakovigilans diatur dengan
Peraturan Kepala BPOM.
18
BAB VII
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN
Bagian Kesatu
Pemasukan
Pasal 50
(1) Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Kosmetika, Suplemen Kesehatan, Pangan Olahan, dan bahan baku
lainnya yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia harus mendapat
persetujuan pemasukan dari Kepala BPOM.
(2) Obat dan/atau Bahan Obat yang termasuk dalam golongan narkotika,
psikotropika, dan prekursor farmasi yang dimasukkan ke dalam
wilayah Indonesia harus mendapat persetujuan pemasukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan
Olahan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia dengan tujuan
untuk diedarkan harus memiliki Izin Edar dari Kepala BPOM.
Pasal 51
Setiap Orang yang akan memasukkan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan
Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, Pangan
Olahan, dan bahan baku lainnya ke dalam wilayah Indonesia harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 52
Ketentuan mengenai tata cara mendapatkan persetujuan pemasukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) diatur dengan Peraturan
Kepala BPOM.
Bagian Kedua
Pengeluaran
Pasal 53
(1) Setiap Orang yang akan mengeluarkan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan
Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, Pangan
Olahan, dan bahan baku lainnya dari wilayah Indonesia harus
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(2) Dalam hal untuk memenuhi persyaratan negara tujuan pengeluaran,
Kepala BPOM dapat menerbitkan surat keterangan ekspor atau surat
persetujuan pengeluaran berdasarkan pengajuan permohonan oleh
pemohon.
19
Pasal 54
Setiap Orang yang mengeluarkan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, Pangan Olahan,
dan bahan baku lainnya dari wilayah Indonesia bertanggung jawab atas
keamanan, khasiat/manfaat/gizi, dan mutu yang dipersyaratkan negara
tujuan.
Pasal 55
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan surat keterangan ekspor atau
surat persetujuan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat
(2) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.
BAB VIII
PROMOSI DAN IKLAN
Pasal 56
(1) Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetikahanya
dapat dipromosikan dan diiklankan setelah mendapat Izin Edar dari
Kepala BPOM.
(2) Pangan Olahan yang wajib memiliki Izin Edar hanya dapat
dipromosikan dan diiklankan setelah memiliki Izin Edar sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 57
(1) Promosi dan iklan Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,
Kosmetika, dan Pangan Olahan harus mendapat persetujuan terlebih
dahulu dari Kepala BPOM.
(2) Promosi dan iklan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus objektif
dan tidak menyesatkan.
(3) Persetujuan promosi dan iklan Kosmetika dan Pangan Olahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertahap
berdasarkan tingkat risiko.
Pasal 58
Pelaku usaha dilarang mempromosikan dan/atau mengiklankan produk
Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan/atau Obat Bahan Alam yang berupa
Obat Tradisional atau Obat Herbal Terstandar seolah-olah dapat berfungsi
sebagai Obat.
Pasal 59
Golongan Obat dengan resep dokter hanya dapat dipromosikan dan
diiklankan pada media ilmiah kedokteran atau media ilmiah farmasi.
20
Pasal 60
(1) Setiap Orangyang tidak memenuhi persyaratan promosi dan iklan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59
dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pengumuman kepada publik;
c. larangan mengedarkan produk untuk sementara;
d. perintah penarikan produk;
e. perintah pemusnahan;
f. penghentian sementara kegiatan;
g. pembekuan Izin Edar;
h. pencabutan Izin Edar;
i. pembekuan sertifikat;
j. pencabutan sertifikat; dan/atau
k. rekomendasi pencabutan izin usaha.
(2) Ketentuanlebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala BPOM.
Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai promosi dan iklan Obat, Obat Bahan
Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 56 sampai dengan Pasal 59 diatur dengan Peraturan
Kepala BPOM.
BAB IX
PENGAMBILAN SAMPEL, PENGUJIAN, PENARIKAN, DAN PEMUSNAHAN
Bagian Kesatu
Pengambilan Sampel dan Pengujian
Pasal 62
(1) BPOM melakukan pengambilan sampel untuk melindungi masyarakat
dari peredaran Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan yang tidak
memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu.
(2) Pengambilan sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam rangka pemeriksaan dan/atau pengujian laboratorium.
(3) Pengambilan sampel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan:
a. secara berkala;
b. secara intensif dalam waktu tertentu;
21
c. karena adanya data atau informasi terbaru terkait standar dan
persyaratan produk;
d. karena adanya dugaan pelanggaran peraturan perundang-
undangan; dan
e. karena adanya kejadian luar biasa atau wabah.
Pasal 63
Pengujian laboratorium Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak
Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) dilakukan oleh BPOM.
Bagian Kedua
Penarikan dari Peredaran
Pasal 64
(1) Penarikan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan dilakukan
apabila:
a. tidak sesuai dengan standar dan persyaratan;
b. tidak sesuai dengan penandaan; dan/atau
c. dicabut Izin Edarnya.
(2) Penarikan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan dari peredaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pemilik Izin
Edar dan/atau pelaku usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan Obat, Bahan
Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,
Kosmetika, dan Pangan Olahan dari peredaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.
Pasal 65
(1) Kepala BPOM menyebarluaskan informasi berkenaan dengan Obat,
Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen
Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan yang sedang dalam
penarikan dari peredaran kepada masyarakat.
(2) Penyebarluasan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan melalui media massa.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyebarluasan informasi kepada
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala BPOM.
22
Bagian Ketiga
Pemusnahan
Pasal 66
Pemusnahan dilaksanakan terhadap Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan
yang:
a. dibuat tanpa memenuhi standar dan persyaratan;
b. dibuat tidak sesuai dengan cara pembuatan yang baik;
c. berhubungan dengan tindak pidana di bidang pengawasan Obat dan
makanan;
d. dicabut Izin Edarnya;
e. kedaluwarsa; dan/atau
f. tidak memenuhi standar dan persyaratan untuk digunakan.
Pasal 67
(1) Pemusnahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dilaksanakan oleh:
a. badan usaha yang membuat dan/atau mengedarkan Obat, Bahan
Obat, Ekstrak Bahan Alam, Obat Bahan Alam, Suplemen
Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan;
b. pihak yang bertanggung jawab atas sarana pembuatan,
penyaluran, dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Ekstrak
Bahan Alam, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,
dan Pangan Olahan; dan/atau
c. Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Pemusnahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen
Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yang berhubungan dengan tindak pidana di bidang
pengawasan Obat dan makanan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 68
PemusnahanObat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,
Kosmetika, dan Pangan Olahan dilaksanakan dengan memperhatikan
dampak terhadap kesehatan manusia serta upaya pelestarian lingkungan
hidup.
Pasal 69
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemusnahan Obat, Bahan Obat,
Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan
23
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 sampai dengan Pasal 68 diatur
dengan Peraturan Kepala BPOM.
BAB X
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 70
(1) BPOM berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
(2) BPOM berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi
seluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) BPOM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai perwakilan di
daerah provinsi dan kabupaten/kota.
(4) BPOM dapat membentuk wilayah kerja instansi vertikal di daerah
perbatasan sebagai perpanjangan unit kerja perwakilan di daerah.
Pasal 71
(1) Perwakilan BPOM di provinsi berkedudukan di ibukota provinsi.
(2) Perwakilan BPOM di kabupaten/kota berkedudukan di ibukota
kabupaten/kota.
Pasal 72
BPOM provinsi dan BPOM kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 71 merupakan instansi vertikal.
Pasal 73
Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan BPOM sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 diatur dengan Peraturan Presiden.
Bagian Kedua
Tugas, Fungsi, dan Wewenang
Pasal 74
BPOM bertugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan.
24
Pasal 75
Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan makanan, BPOM
berfungsi:
a. menyusun kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
makanan;
b. melaksanakan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
makanan;
c. menyusun dan menetapkan norma, standar, produk, dan kriteria di
bidang pengawasanObat dan makanan sebelum beredar dan selama
beredar;
d. melaksanakan pengawasan Obat dan makanan sebelum beredar dan
selama beredar;
e. mengoordinasikan pelaksanaan pengawasan Obat dan makanan
dengan instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
f. memberikan bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan
Obat dan makanan; dan
g. melaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengawasan Obat dan makanan.
Pasal 76
Dalam melaksanakan tugas pengawasan Obat dan makanan, BPOM
berwenang:
a. menetapkan standar dan persyaratan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan
Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan
Pangan Olahan;
b. menerbitkan Izin Edar Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,
Kosmetika, dan Pangan Olahan;
c. menerbitkan sertifikat untuk Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan
Olahan yang telah sesuai dengan standar dan persyaratan;
d. melakukan pemeriksaan sarana/fasilitas produksi, sarana/fasilitas
distribusi, fasilitas pelayanan kefarmasian, dan fasilitas kesehatan;
e. melakukan pengujian Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak
Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan
makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
Dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya, BPOM dapat
bekerja sama dengan Badan Usaha dan masyarakat di dalam negeri
dan/atau di luar negeri.
25
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan wewenang BPOM
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 sampai dengan Pasal 77 diatur
dengan Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi
Pasal 79
(1) BPOM dipimpin oleh seorang kepala dan dibantu oleh seorang
sekretaris utama dan beberapa deputi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur organisasi BPOM diatur
dengan Peraturan Presiden.
BAB XI
KOORDINASI
Pasal 80
(1) BPOM dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya
berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan Pemerintah
Daerah.
(2) Dalam berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan
Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPOM
berkedudukan sebagai koordinator.
BAB XII
PEMBINAAN
Pasal 81
(1) Kepala BPOM, menteri terkait, kepala lembaga pemerintah
nonkementerian terkait, Gubernur, dan Bupati/Walikota melakukan
pembinaan terhadap penyelenggaraan pengawasan Obat dan makanan
sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
a. memenuhi kebutuhan masyarakat akan Obat, Bahan Obat, Obat
Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen
Kesehatan, dan Pangan Olahan sesuai dengan persyaratan
keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu;
b. melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan Obat, Bahan
Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika,
Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang tidak tepat
26
dan/atau tidak memenuhi persyaratan keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu; dan
c. menjadikan industri nasional di bidang Obat, Bahan Obat, Obat
Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen
Kesehatan, dan Pangan Olahan sebagai industri yang mempunyai
daya saing tinggi dan sumber devisa negara yang berkelanjutan.
(3) Kepala BPOM melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dalam bidang:
a. informasi;
b. edukasi;
c. pembuatan;
d. peredaran; dan
e. sumber daya manusia.
(4) Ketentuan mengenai pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.
BAB XIII
TANGGUNG JAWAB DAN TANGGUNG GUGAT
Pasal 82
(1) Pelaku usaha selaku pembuat bertanggung jawab terhadap pembuatan
Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan agar sesuai
dengan cara pembuatan yang baik.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk
penandaan yang tidak sesuai dengan persyaratan dan efek samping
atau efek yang tidak diharapkan apabila efek samping atau efek yang
tidak diharapkan atau hal yang perlu menjadi perhatian tidak
diinformasikan secara jelaspada penandaan Obat, Obat Bahan Alam,
Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan.
(3) Pelaku usaha selaku pembuat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung gugat atas tuntutan kerugian konsumen akibat Obat,
Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika,
Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang tidak sesuai dengan
cara pembuatan yang baik.
Pasal 83
(1) Pelaku usaha selaku distributor bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan penyaluran Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan
Olahan agar sesuai dengan cara distribusi yang baik.
27
(2) Pelaku usaha selaku distributor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung gugat atas tuntutan kerugian konsumen akibat Obat,
Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika,
Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang distribusinya tidak
sesuai dengan caradistribusi yang baik.
Pasal 84
(1) Pelaku usaha selaku pemilik Izin Edar bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan penyaluran Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika,
Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan agar sesuai denganstandar
dan persyaratan.
(2) Pelaku usaha selaku pemilik Izin Edar sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bertanggung gugat atastuntutan kerugian konsumen akibat
Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan
Olahan yang tidak sesuai denganstandar dan persyaratan.
Pasal 85
(1) Penanggungjawab fasilitas kesehatan yang melakukan penyerahan
Obat berdasarkan resep dokter bertanggung jawab terhadap standar
dan persyaratan Obat yang diserahkannya.
(2) Penanggungjawab fasilitas kesehatanyang melakukan penyerahan
Obat berdasarkan resep dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung gugat atastuntutan kerugian konsumen akibat Obat
dengan resep dokter tersebut diserahkan kepada orang atau fasilitas
yang tidak berhak.
Pasal 86
Pengajuan gugatan atas kerugian yang diderita oleh konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 sampai dengan Pasal 85 diajukan
melalui mekanisme gugatan pelindungan konsumen sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XIV
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Pasal 87
(1) Penelitian dan pengembangan dilaksanakan untuk memilih dan
menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang
diperlukan dalam rangka pengawasan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan
Alam, Ekstrak Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan
Pangan Olahan.
28
(2) Penelitian, pengembangan, dan penerapan hasil penelitian Obat,
Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan
Pangan Olahan pada manusia dilaksanakan dengan memperhatikan
kaidah ilmiah, kaidah etik, norma agama dan norma yang berlaku
dalam masyarakat.
(3) Ketentuan mengenai penelitian, pengembangan dan penerapan hasil
penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 88
Dalam penelitian dan pengembangan, produsen harus melakukan uji klinik
terhadap:
a. Obat baru;
b. Obat Bahan Alam berupa fitofarmaka baru;
c. Kosmetika baru;
d. Suplemen Kesehatan tertentu baru; dan/atau
e. Pangan Olahan tertentu.
Pasal 89
(1) Uji klinik yang dilakukan harus memberikan manfaat nyata bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan kepentingan masyarakat.
(2) Uji klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu kepada
pedoman cara uji klinik yang baik.
Pasal 90
(1) Pelaksanaan uji klinik harus mendapatkan persetujuan dari Kepala
BPOM.
(2) Ketentuan mengenai persetujuan uji klinik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala BPOM.
BAB XV
PARTISIPASI MASYARAKAT
Pasal 91
(1) Masyarakat dapat berpartisipasi dalam melakukan pengawasan obat
dan makanan.
(2) Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan dalam bentuk:
a. pemberian informasi dan laporan dugaan adanya penyalahgunaan
Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan;
29
b. pelaporan terhadap efek samping atau efek yang tidak diharapkan
karena penggunaan Obat, Obat Bahan Alam, Kosmetika,
Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan;
c. penyampaian saran dan pendapat kepada BPOM terkait
pengawasan obat dan makanan;
d. pengawasan penyelenggaran pengawasan Obat dan makanan;
e. keikutsertaan dalam penelitian dan pengembangan yang
berhubungan dengan kegiatan pengawasan Obat dan makanan;
dan/atau
f. keikutsertaan dalam penyebarluasan informasi kepada
masyarakat terkait dengan penggunaan Obat, Obat Bahan Alam,
Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang tepat
serta memenuhi standar dan persyaratan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk partisipasi masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala
BPOM.
BAB XVI
TENAGA PENGAWAS
Pasal 92
BPOM mengangkat tenaga pengawas untuk melakukan pemeriksaan
terhadap fasilitas:
a. pembuatan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan;
b. pendistribusian Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan; dan
c. pelayanan dan/atau penyerahanObat, Bahan Obat, dan Obat Bahan
Alam.
Pasal 93
Tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada pasal 92 berwenang
melaksanakan pemeriksaan dan/atau penilaian di bidang Obat dan
Makanan meliputi:
a. memasuki setiap tempat yang digunakan dalam kegiatan produksi,
penyimpanan, distribusi, serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat,
Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen
Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan;
b. membuka, memeriksa, dan meneliti produk Obat, Bahan Obat, Obat
Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika,
dan Pangan Olahan;
c. memeriksa, meneliti, dan mengambil sampel segala sesuatu yang
digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, distribusi, serta
30
pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan
Olahan;
d. mengambil sampel Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak
Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan di
fasilitas produksi, distribusi, serta pelayanan dan/atau penyerahan
untuk dilakukan pengujian laboratorium sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
e. memeriksa dokumen atau catatan lain yang diduga memuat
keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, distribusi,
serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Obat Bahan Alam,
Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan
Olahan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
f. mengambil gambar, foto, dan/atau video seluruh atau sebagian
fasilitas dan peralatan yang digunakan dalam produksi, penyimpanan,
distribusi, serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Obat Bahan
Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan
Pangan Olahan; dan/atau
g. melaksanakan pengujian di bidang pengawasan Obat dan makanan.
Pasal 94
Setiap Orang yang bertanggung jawab atas fasilitas produksi, distribusi,
serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan
Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan
Olahan tempat dilakukannya pemeriksaan dan pengambilan sampel wajib
mengizinkan tenaga pengawas obat dan makanan untuk melakukan
tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93.
Pasal 95
Setiap Orang yang bertanggung jawab atas fasilitas produksi, distribusi,
serta pelayanan dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan
Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan
Olahan tempat dilakukannya pemeriksaan dan pengambilan sampeloleh
tenaga pengawas berhak untuk menolak dilakukannya pemeriksaan dan
pengambilan sampel jika tenaga pengawas tidak dilengkapi dengan tanda
pengenal dan surat tugas pemeriksaan.
Pasal 96
(1) Dalam hal pengawasan peredaran Obat, Bahan Obat, Obat Bahan
Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan
Pangan Olahan pada fasilitas produksi, distribusi, serta pelayanan
dan/atau penyerahan Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak
Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan
31
memerlukan klarifikasi dan konfirmasi lebih lanjut, tenaga pengawas
dapat melakukan tindakan pengamanan setempat.
(2) Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. tindakan inventarisasi;
b. tindakan pengamanan terhadap bahan, produk, sarana dan/atau
alat dengan membuat garis pengaman;
c. larangan mengedarkan untuk sementara waktu; dan/atau
d. pengambilan sampel untuk uji laboratorium dan/atau penilaian
Penandaan.
(3) Pemilik Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan bertanggung
jawab atas Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan yang dilakukan
tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dituangkan dalam berita acara pengamanan setempat.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan fasilitas produksi, distribusi, serta
pelayanan dan/atau penyerahan Obat,Bahan Obat, Obat Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika, dan Pangan Olahan menunjukkan
adanya dugaan adanya tindak pidana di bidang pengawasan Obat dan
makanan, dilakukan penyidikan oleh penyidik pegawai negeri sipil
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjutmengenai tindakan pengamanan setempat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala
BPOM.
BAB XVII
PENYIDIKAN
Pasal 97
(1) Selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai negeri
sipil tertentu di lingkungan BPOM diberi wewenang khusus sebagai
penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang
mengatur mengenai hukum acara pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang pengawasan Obat dan makanan.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan BPOM berwenang:
a. menerima pengaduan atau laporan tentang adanya dugaan tindak
pidana di bidang pengawasan Obat dan makanan;
b. melakukan pemeriksaan atas kebenaran pengaduan atau laporan
berkenaan dengan dugaan tindak pidana di bidang pengawasan
obat dan makanan;
32
c. melakukan penggeledahan dan/atau penyitaan terhadap barang
bukti tindak pidana;
d. melakukan pemanggilan terhadap seseorang yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang Obat dan Makanan;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain
tentang tindak pidana di bidang pengawasan obat dan makanan;
f. meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan
hukum sehubungan dengan tindak pidana;
g. melakukan pengujian laboratorium terhadap bahan dan/atau
barang bukti tindak pidana;
h. meminta bantuan dan/atau keterangan ahli dalam rangka
pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana;
i. memeriksa tanda pengenal dan mengambil sidik jari;
j. memotret dan/atau merekam melalui audio visual terhadap
orang, barang/sarana pengangkut atau apa saja yang dapat
dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang obat dan
makanan;
k. melakukan penangkapan dan/atau penahanan tersangka yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang obat dan makanan;
l. meminta bantuan kepada instansi yang berwenang untuk
melakukan pencegahan atau melarang berpergian ke luar negeri
terhadap seseorang yang diduga terlibat dalam tindak pidana di
bidang pengawasan obat dan makanan dengan;
m. meminta perusahaan jasa pengiriman barang untuk melakukan
pembukaan dan pemeriksaan barang kiriman yang diduga terkait
dengan tindak pidana di bidang pengawasan obat dan makanan;
n. menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui
koordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
o. memberitahukan dimulainya penyidikan kepada jaksa penuntut
umum melalui koordinasi dengan penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia;
p. menghentikan penyidikan;
q. meminta instansi yang berwenang di bidang transaksi keuangan
untuk memberikan data-data atau informasi tentang transaksi
keuangan yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang Obat
dan makanan;
r. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan/atau
sarana kegiatan teknologi informasi yang diduga digunakan
sebagai sarana untuk bertransaksi secara elektronik Obat dan
makanan ilegal; dan
s. meminta informasi yang terdapat dalam sistem elektronik atau
informasi yang dihasilkan oleh sistem elektronik kepada orang
33
atau penyelenggara yang terkait dengan tindak pidana dalam
transaksi elektronik Obat dan makanan ilegal.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaan
tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik
Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XVIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 98
Setiap Orang yang membuat Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak
Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, dan/atau Kosmetika, atau
memproduksi Pangan Olahan untuk diedarkan yang tidak memenuhi
standar dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 sepuluh) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 99
Setiap Orang yang membuat dan/atau mengedarkan Obat, Obat Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan tanpa Izin
Edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 100
Setiap Orang yang tanpa hak mendistribusikan Obat dan/atau Bahan Obat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 101
Setiap Orang yang menjual Obat secara online tanpa memiliki surat izin
sebagai fasilitas pelayanan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 102
Setiap Orang yang dengan sengaja menjual obat keras, dan/atau
psikotropika secara online sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
34
Pasal103
Pelaku usaha yang dengan sengaja mempromosikan dan/atau
mengiklankan produk Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan/atau Obat
Bahan Alam yang berupa Obat Tradisional atau Obat Herbal Terstandar
seolah-olah dapat berfungsi sebagai Obat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 58 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan
pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00(enam miliar rupiah)
Pasal 104
Setiap Orang yang menghalangi tenaga pengawas obat dan makanan untuk
melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 105
Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal
103 merupakan kejahatan.
BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 106
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Ordonansi Obat Keras
(Sterkwerkende Geneesmiddelen Ordonnantie 1949, Staatsblad 1949: 419)
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal107
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-
undangan di bidang pengawasan Obatdanmakanan dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini.
Pasal108
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling
lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 109 Pemerintah Pusat harus melaporkan pelaksanaan Undang-Undang ini kepada Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapannya yang
menangani urusan pemerintahan di bidang kesehatan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
35
Pasal 110
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal ...
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal ...
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN ... NOMOR ...
36
PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR… TAHUN…
TENTANG
PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN
I. UMUM
Salah satu tujuan bernegara dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia.
Sejalan dengan tujuan bernegara tersebut, negara juga menjamin
bahwa kesehatan merupakan hak dasar manusia sebagaimana diatur
dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Sejalan dengan tujuan bernegara serta untuk
mewujudkan jaminan hak dasar atas kesehatan tersebut, negara
memiliki kewajiban untuk menjalankan pembangunan kesehatan serta
pelindungan masyarakat, khususnya dari Obat, Obat Bahan Alam,
Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan yang berisiko
terhadap kesehatan.
Globalisasi telah membawa perubahan yang cepat dan signifikan
pada industriObat,Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan
Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan sehingga
masih terdapat produk yang berasal dari dalam dan luar negeri yang
tidak memenuhi standar dan persyaratan serta beredarnya produk
ilegal yang berdampak buruk bagi kesehatan dan keamanan
masyarakat. Selain itu, konsumsi masyarakat terhadap produk Obat,
Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan
Olahan cenderung meningkat, namun pengetahuan masyarakat akan
produk yang beredar tersebut masih belum memadai untuk dapat
memilih dan menggunakan produk Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen
Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan secara tepat, benar, dan
aman.
Secara yuridis, belum ada undang-undang yang mengatur secara
khusus mengenai pengawasan obat dan makanan. Pengaturan
mengenai Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam,Ekstrak Bahan
Alam,Suplemen Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahanmasih
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
hal tersebut, diperlukan sistem pengawasan obat dan makanan yang
komprehensif dan terpadu untuk melindungi masyarakat dari Obat,
37
Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen
Kesehatan, Kosmetika, atau Pangan Olahan yang tidak memenuhi
standar dan persyaratan.
Pengawasan terhadap obat dan makanan dilakukan dari hulu ke
hilir yang meliputi produk sebelum diedarkan (premarket) hingga
produk setelah diedarkan kepada masyarakat (postmarket).
Pengawasan obat dan makanan mempunyai lingkup yang luas dan
kompleks karena berdampak luas pada keselamatan dan kesehatan
konsumen. Oleh karena itu, pengawasan tidak dapat dilakukan secara
parsial hanya pada produk akhir yang beredar di masyarakat, tetapi
harus dilakukan secara komprehensif dan sistematis, mulai dari
produksi, peredaran, promosi dan iklan, sampai dengan pengambilan
sampel, pengujian, penarikan, dan pemusnahan Obat, Bahan Obat,
Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam, Suplemen Kesehatan,
Kosmetika, atau Pangan Olahan.
Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang ini mengatur
mengenai penggolongan/kategori; standar dan persyaratan;
pembuatan/produksi; penandaan; peredaran; pemasukan dan
pengeluaran; promosi dan iklan; pengambilan sampel, pengujian,
penarikan, dan pemusnahan; kelembagaan; koordinasi; pembinaan;
tanggung jawab dan tanggung gugat; penelitian dan pengembangan;
peran serta masyarakat; tenaga pengawas; penyidikan; ketentuan
pidana; dan ketentuan penutup.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas pelindungan” adalah bahwa
pengawasan Obat dan makanan dilakukan dalam rangka
melindungi masyarakat dari Obat dan makanan yang tidak
memenuhi standar dan persyaratan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas keamanan dan mutu” adalah
bahwa pengawasan Obat dan makanan memberikan jaminan
atas keamanan dan keselamatan kepada warga negara dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan Obat dan
makanan yang dikonsumsi serta menjamin rasio manfaat
lebih besar daripada risiko kesehatan.
38
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas manfaat” adalah bahwa
pengawasan Obat dan makanan harus memberikan manfaat
dari aspek:
a. kesehatan, yang ditujukan untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat;dan
b. edukasi, yang ditujukan untuk memberikan
edukasi/pemahaman kepada masyarakat mengenai
kriteria Obat dan makanan yang memenuhi standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas akuntabilitas” adalah bahwa
pelaksanaan pengawasan Obat dan makanan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas holistik” adalah pelaksanaan
pengawasan Obat dan makanan dilakukan secara
menyeluruh dimulai dari pre sampai post market.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas transparan” adalah
pelaksanaan pengawasan Obat dan makanan harus
dilakukan secara terbukasesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa
pengawasan Obat dan makanan harus mencerminkan
keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah
bahwa setiap kebijakan dalam pengawasan Obat dan
Makanan harus berdasarkan hukum dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 3
Cukup jelas.
39
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Obat Tradisional antara lain jamu gendong dan jamu
racikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan “instansi terkait” antara lain Kementerian
Kesehatan,dan Badan Standarisasi Nasional.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
40
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Yang dimaksud dengan „‟jamu gendong” adalah usaha yang
dilakukan oleh perorangan dengan menggunakan bahan Obat
Tradisional dalam bentuk cairan yang dibuat segar dengan
tujuan untuk dijajakan langsung kepada konsumen.
Yang dimaksud dengan “jamu racikan” adalah usaha yang
dilakukan oleh depot jamu atau sejenisnya yang dimiliki
perorangan dengan melakukan pencampuran sediaan jadi
dan/atau segar Obat Tradisional untuk dijajakan langsung
kepada konsumen.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
41
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “objektif” adalah memberikan
informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh
menyimpang dari sifat kemanfaatan, cara penggunaan, dan
keamanan.
Yang dimaksud dengan “tidak menyesatkan” adalah
memberikan informasi yang akurat dan bertanggungjawab
serta tidak memanfaatkan kekhawatiran masyarakat
terhadap sesuatu masalah kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “kemasannya terlalu
kecil” adalah kemasan tersebut secara teknis
sulit memuat seluruh keterangan yang
diwajibkan sebagaimana berlaku bagi produk
pangan lainnya.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan “dijual dalam jumlah
besar” adalah pangan yang dikemas dalam
wadah, sehingga volume bersih pangan yang
42
bersangkutan lebih dari 500 (lima ratus) liter
atau berat bersih pangan yang bersangkutan
lebih dari 500 (lima ratus) kilogram.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yaitu satuan kerja
perangkat daerah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang kesehatan.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pedagang Besar Farmasi” adalah
perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin
untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat dan/atau
bahan obat dalam jumlah besar sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-perundangan.
Yang dimaksud dengan “instalasi farmasi pemerintah” adalah
sarana tempat penyimpanan dan penyaluran sediaan farmasi
43
kesehatan milik pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
44
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “objektif” adalah memberikan
informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh
menyimpang dari sifat kemanfaatan, cara penggunaan, dan
keamanan.
Yang dimaksud dengan “tidak menyesatkan” adalah
memberikan informasi yang akurat dan bertanggungjawab
serta tidak memanfaatkan kekhawatiran masyarakat
terhadap sesuatu masalah kesehatan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
45
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Waktu tertentu antara lain menjelang hari raya
keagamaan dan tahun baru.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Media massa antara lain media cetak, media elektronik, dan
internet.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
46
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “menteri terkait” antara lain menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
47
bidang perdagangan, di bidang perindustrian, dan di bidang kesehatan.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Pembinaan dalam bidang informasi dilakukan antara
laindengan menyebarluaskan informasi kepada
masyarakat mengenai pengawasan obat dan
makanan.
Huruf b
Pembinaan dalam bidang edukasi dilakukan antara
laindengan melakukan penyuluhan mengenai proses
pembuatan yang memenuhi standar dan persyaratan,
serta menyelenggarakan pemantauan standar dan
persyaratan secara berkala, dan memberikan
pembinaan tentang efek samping obat dan makanan
kepada masyarakat.
Huruf c
Pembinaan dalam bidang pembuatan dilakukan
antara lain denganmeningkatkan kemampuan teknik
dan penerapan cara pembuatan obat dan makanan
yang baik, meningkatkan potensi nasional yang
tersedia dalam pembuatan obat dan makanan,
danmelaksanakan penelitian dan pengembangan
pembuatan obat dan makanan dalam rangka
perluasan dan pemerataan pelayanan kesehatan.
Huruf d
Pembinaan dalam bidang peredaran dilakukan dengan
memberikan pembinaan cara distribusi obat dan
makanan yang sesuai dengan standar dan
persyaratan obat dan makanan yang diedarkan, dan
mengembangkan jaringan peredaran obat dan
makanan yang merata.
Huruf e
Pembinaan dalam bidang sumber daya
manusiadilakukan dengan meningkatkan
keterampilan teknis pelaku usaha dalam rangka
membuat danmengedarkan obat dan makanan, serta
mengembangkan lembaga pendidikan dan/atau
lembaga pelatihan di bidang obat dan makanan, dan
menyediakan tenaga penyuluh atau ahli di bidang
obat dan makanan.
48
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tanggung gugat” adalah bahwa
pelaku usaha selaku pembuat bertanggung jawab dan
bersedia digugat dalam tuntutan kerugian konsumen akibat
Obat, Bahan Obat, Obat Bahan Alam, Ekstrak Bahan Alam,
Kosmetika, Suplemen Kesehatan, dan Pangan Olahan yang
tidak sesuai dengan cara pembuatan yang baik.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "Pangan Olahan tertentu" adalah:
49
a. Pangan Olahan untuk konsumsi bagi kelompok
tertentu, misalnya: formula untuk bayi, pangan yang
diperuntukkan ibu hamil atau menyusui, dan
pangan khusus bagi penderita penyakit tertentu;
atau
b. Pangan Olahan lain yang mempunyai pengaruh
besar terhadap perkembangan kualitas kesehatan
manusia.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Ayat (1)
Masyarakat antara lain organisasi, lembaga swadaya
masyarakat, dan komunitas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
50
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR ...