40
VARICELLA-HERPES ZOSTER A. Definisi Varicella Zoster Virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus terdiri atas genome DNA double- stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu varicella (chicken pox) dan herpes zoster (shingles) (Lubis, 2008). Varicella merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella-zoster. Pada 3-5 dari 1000 individu, virus varicella-zoster mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes Zoster atau Shingles. (Amnil, 2010) B. Epidemiologi Varicella terdapat diseluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Varicella terutama mengenai anak-anak yang berusia dibawah 20 tahun terutam usia 3-6 tahun dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang dewasa. Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan biasanya jarang mengenai anak- anak.(2) Herpes Zoster merupakan penyakit yang jarang terjadi, diperkirakan 10-12% populasi akan mengalami serangan Herpes Zoster selama hidupnya.(Amnil, 2010) C. Patogenesis VZV masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi pernafasan (droplet infection) ataupun kontak

Ulkus mulut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ulkus mulut

Citation preview

VARICELLA-HERPES ZOSTERA. DefinisiVaricella Zoster Virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus terdiri atas genome DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan dibungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu varicella (chicken pox) dan herpes zoster (shingles) (Lubis, 2008). Varicella merupakan infeksi primer yang terjadi pertama kali pada individu yang berkontak dengan virus varicella-zoster. Pada 3-5 dari 1000 individu, virus varicella-zoster mengalami reaktivasi, menyebabkan infeksi rekuren yang dikenal dengan nama Herpes Zoster atau Shingles. (Amnil, 2010)B. EpidemiologiVaricella terdapat diseluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras maupun jenis kelamin. Varicella terutama mengenai anak-anak yang berusia dibawah 20 tahun terutam usia 3-6 tahun dan hanya sekitar 2% terjadi pada orang dewasa. Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan biasanya jarang mengenai anak-anak.(2) Herpes Zoster merupakan penyakit yang jarang terjadi, diperkirakan 10-12% populasi akan mengalami serangan Herpes Zoster selama hidupnya.(Amnil, 2010) C. PatogenesisVZV masuk ke dalam tubuh manusia dengan cara inhalasi dari sekresi pernafasan (droplet infection) ataupun kontak langsung dengan lesi kulit. Droplet infection dapat terjadi 2 hari sebelum hingga 5 hari setelah timbul lesi di kulit. VZV dapat masuk melalui mukosa saluran pernafasan bagian atas, orofaring, ataupun conjungtiva. Siklus replikasi virus pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi di lymph nodes regional, diikuti penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan kelenjar limfe, yang mengakibatkan terjadinya viremia primer. Pada sebagian besar penderita yang terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh yang belum matang sehingga akan berlanjut dengan siklus replikasi virus kedua yang terjadi di hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini, partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari ke 14-16, yang mengakibatkan timbulnya lesi di kulit yang khas. Pada herpes zoster, patogenesisnya belum seluruhnya diketahui. Selama terjadinya varicella, VZV berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensoris. Di tempat tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus itu tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus dapat diakibatkan oleh keadaan yang menurunkan imunitas seluler seperti pada penderita karsinoma, penderita yang mendapat pengobatan immunosupresif dan pada penerima organ transplantasi. (Lubis, 2008)D. Gambaran KlinisPada anak kecil jarang terdapat gejala prodromal. Sementara pada anak yang lebih besar dan dewasa, seringkali didahului oleh demam selama 2-3 hari, kedinginan, malaise, anoreksia, nyeri punggung dan pada beberapa pasien dapat disertai nyeri tenggorokan dan batuk kering.Gambaran khas dari varicella adalah adanya lesi yang muncul secara simultan (terus-menerus) di setiap area kulit dimana lesi tersebut terus berkembang. Gambaran dari lesi varicella berkembang secara cepat, yaitu lebih kurang 12 jam dimana mula-mula berupa macula eritematosa yang berkembang papul, vesikel, pustule, dan krusta. Vesikel dari varicella berdiameter2-3 mm, berbentuk elips. Vesikel biasanya superficial dan berdinding tipis, dikelilingi daerah eritematosa sehingga tampak terlihat seperti embun diatas daun mawar.(Djuanda, 2010)Sebelum lesi di rongga mulut muncul, pasien akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat, kadang-kadang rasa sakitnya seperti rasa sakit pulpitis sehingga sering salah diagnosis. Lesi diawali oleh vesikel unilateral yang kemudian dengan cepat pecah membentuk erosi atau ulserasi dengan bentuk yang tidak teratur. Tepinya meradang, berwarna merah sekali dan sering terjadi perdarahan. Pada mukosa rongga mulut yang terinfeksi herpes zoster, vesikel hanya terdapat pada satu dari divisi nervus trigeminus. Vesikel unilateral tersebut dikelompokkan dengan area sekitar eritema. Vesikel bernanah dan berbentuk pustule selama 3-4 hari. Apabila cabang kedua dan ketiga nervus trigeminal terlibat, maka akan muncul lesi-lesi di rongga mulut secara unilateral. Jika cabang kedua (nervus maxillaries) terlibat maka lokasi yang dikenai adalah palatum, bibir, dan mukosa bibir atas. Jika cabang ketiga (nervus mandibula) terlibat, maka lokasi yang dikenai adalah lidah, mukosa bibir, mukosa pipi, bibir, dan mukosa bibir bawah. (Amnil,2010)

Gambar lesi pada varicella dan herpes zoster

Gambar penyebaran lesi pada herpes zoster yang menyerang nervus trigeminus

E. DiagnosaDiagnosa Herpes zoster biasanya ditegakkan berdasarkan riwayat kasus dan gambaran klinisnya yang khas, sehingga tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium. Meskipun begitu, pemeriksaan laboratorium direkomendasikan jika gambaran klinis tidak khas atau untuk menentukan status imun terhadap virus Varisela-zoster pada orang yang beresiko tinggi. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan meliputi hapusan Tzank, deteksi antigen virus dan tes antibodi virus. (Amnil, 2010)F. Perawatan1. Farmakologi Pada individu imunokompeten, biasanya tidak diperlukan pengobatan yang spesifik dan diberikan pengobatan secara simptomatis yaitu: Lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak mudah pecah Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat diberikan salep antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder Dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tetapi tidak boleh golongan salisilat (aspirin) untuk menghindari terjadinya sindroma Reye (Lubis, 2008)2. Non FarmakologiPerawatan non farmakologi juga sangat penting. Pendidikan pasien dan dukungan penting dalam penatalaksanaan Herpes zoster. Hal tersebut meliputi penjelasan atas jalannya penyakit, rencana pengobatan, dan perlu memperhatikan aturan dosis antivirus. Tidak adanya pengetahuan pasien dan ketakutan pasien tentang Herpes zoster harus diperhatikan dan pasien harus diberitahu tentang resiko menular terhadap orang yang belum pernah cacar air. Instruksikan pasien agar tetap menjaga ruam dalam keadaan bersih dan kering untuk meminimalkan resiko infeksi bakteri, melaporkan setiap perubahan suhu badan, dan menggunakan pembalut steril basah untuk mengurangi ketidaknyamanan. Topikal antibiotik dan pembalut adesif dapat menunda penyembuhan ruam dan harus dihindari. (Amnil, 2010)

HERPES SIMPLEXA. DefinisiHerpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (VHS) yang merupakan virus DNA.Virus ini terdiri dari dua kelompok utama yang dapat menginfeksi manusia, yaitu VHS tipe 1 dan tipe 2. Penyakit ini ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan. HSV tipe 1 (HSV-1) hampir selalu dihubungkan dengan penyakit-penyakit orofasial, sedangkan HSV tipe 2 (HSV-2) hampir selalu dihubungkan dengan infeksi perigenital. Pada manusia, infeksi herpes simpleks dapat berlangsung secara primer maupun sekunder (Apriani, 2013). VHS bersifat laten atau dormant dan dapat mengalami reaktivasi. Kemungkinan terjadi rekurensi lesi sebesar 30-40%. (Marlina, 2013)B. EpidemiologiInsiden infeksi primer dengan HSV-1 yang bertanggung jawab terhadap kebanyakan kasus rekurens herpes labialis sebagian besar terjadi pada anak-anak, dimana 30-60% anak-anak terekspos oleh virus ini. Kecepatan infeksi oleh virus ini meningkat sesuai pertambahan usia diatas 30 tahun. Angka kejadian HSV-2 berhubungan dengan perilaku seksual dan prevalensi infeksi pada partner seksual yang potensial. HSV-2 juga diidentifikasi sebagai salah satu faktor untuk infeksi HIV. (Apriani, 2013)C. PatogenesisInfeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang rentan. Penularan lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung dengan lesi atau saliva yang mengandung virus. Penularan lesi genital dimulai bila sel epitel mukosa saluran genital pejamu yang rentan terpajan virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang terinfeksi. Virus akan melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan cara meleburkan diri di dalam membrane dan kemudian bereplikasi. Virus juga memasuki ujung saraf sensorik, ditransportasi ke inti sel neuron di ganglia sensorik, dan bereplikasi menghasilkan progeni atau virus akan memasuki keadaan laten tak bereplikasi. Neuron yang terinfeksi akan mengirim balik virus ke lokasi kulit tempat dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi sel epitel yang berdekatan dengan ujung saraf, sehingga terjadi penyebaran virus dan jejas sel. Setelah terjadi infeksi, sistem imunitas humoral dan selular menghasilkan respon imun. Respon imun dapat membatasi replikasi virus sehingga infeksi akut dapat membaik. Respon ini tidak dapat mengeliminasi infeksi laten yang menetap dalam ganglia seumur hidup pejamu. Infeksi laten dapat mengalami reaktivasi sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas dari ujung saraf dapat menginfeksi sel epitel di dekatnya untuk menghasilkan lesi kulit rekurens atau pelepasan virus asimtomatik. Reaktivasi HSV-1 sering terjadi dari ganglion trigeminus, sedangkan HSV-2 dari ganglion sakralis. Faktor pemicu terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan, sinar ultra violet, trauma mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi, hubungan seksual, stres emosional, dan keadaan imunokompromais. (Mitaart, 2010)D. Gambaran Klinis1. Infeksi primer Infeksi primer dapat bersifat subklinis, tetapi pada beberapa keadaan menimbulkan manifestasi berat di daerah oral disebut gingivostomatitis herpetika primer. Gingivostomatitis herpetika adalah manifestasi infeksi HSV-1 orofasial primer yang tersering, ditandai lesi khas vesikoulseratif oral dan atau perioral, kebanyakan mengenai anak-anak umur 1-5 tahun. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, nausea, dan muntah-muntah disertai rasa tidak nyaman di mulut. Satu sampai dua hari setelah gejala prodromal, timbul lesi-lesi lokal berupa vesikel kecil berkelompok di mukosa mulut, berdinding tipis dikelilingi oleh peradangan. Vesikel cepat pecah meninggalkan ulkus dangkal dan bulat yang nyeri di sekitar rongga mulut. Lesi dapat mengenai seluruh bagian mukosa mulut. Selama perlangsungan penyakit, vesikel dapat bersatu menjadi lesi yang lebih besar dengan tepi tidak teratur. Gambaran khas adalah ginggivitis marginalis akut, generalisata, edema, dan eritema ginggiva, kadang-kadang disertai beberapa ulkus pada gingiva. Pada pemeriksaan, faring posterior akan tampak kemerahan dengan pembesaran kelenjar getah bening submandibular dan servikal.Gejala ekstra oral berupa vesikel berkelompok pada bibir dan kulit di sekitar sirkum oral. Setelah beberapa hari lesi akan ditutupi krusta kekuningan. Demam biasanya akan hilang dalam 3-4 hari dan lesi akan sembuh dalam 10 hari, walaupun dalam waktu 1 bulan masih dapat ditemukan virus dalam saliva.

Gambar lesi infeksi virus Herpes Simpleks2. Infeksi rekuren Herpes simpleks labialis (cold sore/fever blisters) adalah bentuk herpes orofasial rekuren yang paling sering terjadi berupa lesi pada intra oral khususnya daerah mukosa yang berkeratin. Predileksi pada palatum durum regio premolar dan molar, dapat juga timbul pada bagian fasial dan bukal gingiva. Vesikel mudah pecah, terletak unilateral, tidak melewati garis tengah. Gejala dimulai dengan rasa perih diikuti oleh timbulnya vesikel berkelompok dalam 24 jam, pecah, terjadi erosi superfisial, kemudian akan ditutupi krusta. Nyeri dan rasa tidak nyaman terjadi pada beberapa hari pertama; lesi sembuh dalam waktu kurang dari 2 minggu tanpa jaringan parut. Pelepasan virus terus berlansung 35 hari setelah lesi sembuh. Herpes labialis rekuren terjadi pada 50-75% individu-individu yang terkena infeksi HSV di mulut, terjadi tiga kali lebih sering pada pasien dengan demam dibandingkan pasien tanpa demam. (Mitaart, 2010)

Gambaran lesi herpes simpleks E. Diagnosis1. Diagnosis klinis Gejala konstitusional yang klasik, distribusi dan gambaran lesi yang khas berupa ulserasi oral superfisial, bentuk bulat, multipel, bersifat akut dan adanya gingivitis marginal generalisata pada pemeriksaan fisis, ditunjang oleh tidak adanya riwayat episode herpes sebelumnya, serta adanya riwayat terpajan HSV-1 membantu menegakkan diagnosis gingivostomatitis herpetika primer. Herpes orofasial tipe ini perlu dibedakan dengan hand-foot-mouth disease, herpangina, eritema multiformis, pemfigus vulgaris, acute necrotizing ulcerative gingivitis. (Marlina. 2013) 2. Diagnosis laboratorium Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, terlihat sel raksasa berinti banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak spesifisik. Kultur virus. Sensitivitasnya rendah dan menurun dengan cepat saat lesi menyembuh. Deteksi DNA HSV dengan Polymerase chain reaction (PCR), lebih sensitif dibandingkan kultur virus Tes serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat dideteksi setelah 47 hari infeksi. Antibodi IgM dan IgG hanya memberi gambaran keadaan infeksi akut atau kronik dari penyakit herpes genitalis. Tidak ditemukannya antibodi HSV pada sampel serum akut dan ditemukannya IgM spesifik HSV atau peningkatan 4 kali antibodi IgG selama fase penyembuhan menunjukkan diagnosis HSV primer. Ditemukannya IgG antiHSV pada serum akut, IgM spesifik HSV dan peningkatan IgG anti-HSV selama fase penyembuhan merupakan diagnostik infeksi HSV rekuren. (Apriani, 2013)F. PerawatanPengobatan spesifik yang efektif belum diketahui. Terapi anti virus sistemik diberikan pada pasien imunokompeten. Pengobatan profilaksis acyclovir diberikan untuk pencegahan dan kekambuhan infeksi pada pasien imunokompeten. Pengobatan suportif berupa istirahat, rehidrasi, antipiretik dan analgesik. Untuk infeksi oral, penggunaan antiseptik misalnya chlorhexidine gluconate atau obat kumur tetrasiklin dapat menurunkan infeksi sekunder. Obat kumur analgesik akan mengurangi rasa sakit terutama saat pasien makan. Mencegah kekambuhan dengan cara menghindari faktor pencetus, mencegah infeksi melalui penyuluhan. Infeksi HSV dapat sembuh sendiri dalam 10-14 hari. (Jaya, 2009)

HERPANGINAA. DefinisiHerpangina adalah infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus Coxsackie tipe A. Virus Coxsackie termasuk dalam family Picornaviridae, genus Enterovirus. Virus coxsackie terbagi menjadi kelompok A dan B. Coxsackievirus kelompok A serotipe tertentu menyebabkan penyakit herpangina Penyakit Tangan, Kaki, dan Mulut (PTKM) dan konjungtivitas hemoragik akut. Coxsackievirus kelompok B dapat menyebabkan penyakit pleurodinia, miokarditis, perikarditis, dan meningoensefalitis. (Gompf, 2014)B. Etiologi dan patogenesis Infeksi virus akut ini penyebabnya adalah Coxsackie tipe A (tipe A2-6, A8, A10 dan mungkin lainnya). Penyakit ini ditularkan melalui saliva yang terkontaminasi dan terkadang melalui feses yang terkontaminasi. Penyakit ini juga dapat menyebar melalui saluran pernapasan jika sekresi/droplet menyebar ke udara. Herpangina biasanya memiliki masa inkubasi 4-14 hari. Viremia terjadi setelah inokulasi dan kemudian muncul di tempat yang jauh dari infeksi. Replikasi virus di tempat-tempat sekunder menyebabkan gejala klinis yang khas dan lesi orofaringeal. Bisa terjadi limfadenopati anterior, bilateral, servikal sebagai akibat dari infeksi di posterior orofaring. Virus Coxsackie A dapat pulih dari nasofaring, feces, darah, urin, dan cairan serebrospinal. Setelah gejala klinis menghilang, infeksi enterovirus dapat bertahan dalam saluran pencernaan tanpa gejala. (Gompf, 2014)C. Gambaran klinisHerpangina biasanya mewabah pada musim panas atau awal musim gugur. Lebih sering terjadi pada anak-anak daripada orang dewasa. Periode inkubasi adalah 2-9 hari. Keluhan umumnya berupa demam, malaise dysphagia dan sakit tenggorokan, setelah masa inkubasi yang singkat. Nafsu makan menurun karena adanya rasa sakit di rongga mulut. Intraoral terdapat erupsi vesikel pada palatum mole, pilar faucial dan tonsil. Pharyngitis difus eritematous juga terjadi. Lesi dimulai dari macula, lalu dengan cepat macula akan menjadi papula dan vesikel yang ada di faring bagian posterior, tonsil, faucial pillars dan palatum molle. Lesi ini sedikit ditemukan pada bagian lidah, buccal mukosa dan palatum durum. Dalam waktu 24-48 jam vesikel akan rupture membentuk ulserasi 1-2mm. (Gunawan, 2010)

Gambaran kinis lesi HerpanginaD. PerawatanHerpangina adalah penyakit self limited. Dengan demikian, tidak ada terapi khusus yang diindikasikan. Saat ini, tidak ada terapi antivirus efektif terhadap herpangina. Terapi anti bakteri juga tidak begitu bermanfaat. Manajemen tertuju pada kontrol demam dan sakit pada mulut, perawatan suportif, dan membatasi kontak dengan orang lain untuk mencegah penyebaran infeksi. Secara ringkas perawatan Herpangina yaitu: Diet Lunak Hidrasi Antipiretik kumur antiseptik khlorhexidine pemberian analgesik (Gunawan, 2010)

STOMATITIS AFTOSA REKUREN (SAR)A. DefinisiStomatitis Aftosa Rekuren atau disingkat SAR yang juga dikenal dengan istilah aphtae, atau cancer sores merupakan suatu penyakit mukosa mulut yang paling sering terjadi. Di Indonesia orang awam lebih mengenalnya dengan istilah sariawan (Suling dkk, 2013). Stomatitis aftosa rekuren (SAR) merupakan suatu kondisi peradangan mukosa rongga mulut dengan karakteristik ulserasi ulang kambuh dan masa bebas ulkus selama beberapa hari hingga minggu. (Wulandari dkk, 2008) Sebenarnya SAR merupakan penyakit yang relatif ringan karena tidak bersifat membahayakan jiwa dan tidak menular, namun bagi sebagian orang ini sangat mengganggu. Orang-orang yang mengalami SAR akan merasa sangat terganggu terutama dalam hal fungsi pengunyahan, penelanan dan berbicara. Masa penyembuhan SAR yang relatif lama, berkisar antara 7 hari bahkan sampai berbulan-bulan dan sifat penyakit ini yang sering kambuh juga membuat pasien menjadi kurang nyaman. (Suling, 2013)B. EpidemiologiSAR merupakan suatu kondisi yang sangat umum dengan prevalensi sebesar 20% dari populasi penduduk di seluruh dunia dan prevalensi pada kelompok anak-anak sebesar 5-10%. (2) SAR lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria, pada orang dibawah 40 tahun, orang kulit putih, tidak merokok, dan pada anak-anak. SAR dapat terjadi pada semua kelompok umur tetapi lebih sering ditemukan pada masa dewasa muda. (Nisa, 2011)C. Faktor predisposisiSampai saat ini, etiologi SAR masih belum diketahui dengan pasti. Ulser pada SAR bukan karena satu faktor saja tetapi multifaktorial yang memungkinkannya berkembang menjadi ulser. (Nisa, 2011) Beberapa faktor yang dianggap menjadi penyebab timbulnya RAS adalah trauma, genetik, gangguan immunologi, alergi dan sensitifitas, stres, defisiensi nutrisi, hormonal, merokok, infeksi bakteri, penyakit sistemik, dan obat-obatan.1. TraumaUlser dapat terbentuk pada daerah bekas terjadinya luka penetrasi akibat trauma. Umumnya ulser terjadi karena tergigit saat berbicara, kebiasaan buruk, atau saat mengunyah, akibat perawatan gigi, makanan atau minuman terlalu panas, dan sikat gigi. Trauma bukan merupakan faktor yang berhubungan dengan berkembangnya SAR pada semua penderita tetapi trauma dapat dipertimbangkan sebagai faktor pendukung.2. GenetikFaktor ini dianggap mempunyai peranan yang sangat besar pada pasien yang menderita SAR. Faktor genetik SAR diduga berhubungan dengan peningkatan jumlah human leucocyte antigen (HLA), namun beberapa ahli masih menolak hal tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa bila kedua orangtua menderita SAR maka besar kemungkinan timbul SAR pada anak-anaknya. Pasien dengan riwayat keluarga SAR akan menderita SAR sejak usia muda dan lebih berat dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga SAR.3. ImunologiRespon imun mungkin merupakan peran utama stomatitis umum terjadi pada pasien dengan imunodefisiensi sel B dan 40% dari pasien-pasien stomatitis mempunyai kompleks dari sirkulasi imun. Ulserasi dapat disebabkan oleh pengendapan imonoglobulin dan komponen-komponen komplemen dalam epitel atau respons imun seluler terhadap komponen-komponen epitel. Antibodi bergantung pada mekanisme sitotoksik atau proses penetralisir racun yang masuk ke dalam tubuh. Sehingga jika sistem imunologi mengalami abnormalitas, maka dengan mudah bakteri ataupun virus menginfeksi jaringan lunak disekitar mulut.4. StresStres merupakan respon tubuh dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan yang terjadi terus menerus yang berpengaruh terhadap fisik dan emosi. Beberapa peneliti telah membuktikan adanya hubungan yang signifikan antara stresor psikologis dengan pengaruh sistem imun, dimana respon imun tubuh dapat dimodulasi oleh stresor psikologis. Stres akibat stresor psikologis dapat mengakibatkan perubahan tingkat molekul pada berbagai sel imunokompeten. Berbagai perubahan tersebut dapat mengakibatkan keadaan patologis pada sel epitel mukosa rongga mulut, sehingga sel epitel lebih peka terhadap rangsangan.5. Defisiensi nutrisiBerdasarkan penelitian, didapatkan hasil bahwa pada penerita SAR terdapat defisiensi nutrisi yang terdiri dari zat besi (57%), asam folat (15%), dan vitamin B12 (13%). Penderita SAR dengan defisiensi zat besi, vitamin B12 dan asam folat diberikan terapi subtitusi vitamin tersebut hasilnya 90% dari pasien tersebut mengalami perbaikan. Faktor nutrisi lain yang berpengaruh pada timbulnya SAR adalah vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6 dan Zink.6. HormonalPada wanita, sering terjadinya SAR di masa pra menstruasi bahkan banyak yang mengalaminya berulang kali. Keadaan ini diduga berhubungan dengan faktor hormonal. Hormon yang dianggap berperan penting adalah estrogen dan progesterone. Dua hari sebelum menstruasi akan terjadi penurunan estrogen dan progesteron secara mendadak. Penurunan estrogen mengakibatkan terjadinya penurunan aliran darah sehingga suplai darah utama ke perifer menurun dan terjadinya gangguan keseimbangan sel-sel termasuk rongga mulut, memperlambat proses keratinisasi sehingga menimbulkan reaksi yang berlebihan terhadap jaringan mulut dan rentan terhadap iritasi lokal sehingga mudah terjadi SAR. 7. Alergi dan sensitifitasAlergi adalah suatu respon imun spesifik yang tidak diinginkan (hipersensitifitas) terhadap alergen tertentu. Alergi merupakan suatu reaksi antigen dan antibody. SAR dapat terjadi karena sensitifitas jaringan mulut terhadap beberapa bahan pokok yang ada dalam pasta gigi, obat kumur, lipstik atau permen karet dan bahan gigi palsu atau bahan tambalan serta bahan makanan. Setelah berkontak dengan beberapa bahan yang sensitif, mukosa akan meradang dan edematous. Gejala ini disertai rasa panas, kadang-kadang timbul gatal-gatal, dapat juga berbentuk vesikel kecil, tetapi sifatnya sementara dan akan pecah membentuk daerah erosi kecil dan ulser yang kemudian berkembang menjadi SAR.8. Obat-obatanPenggunaan obat nonsteroidal anti-inflamatori (NSAID), beta blockers, agen kemoterapi dan nicorandil telah dinyatakan berkemungkinan menempatkan seseorang pada resiko yang lebih besar untuk terjadinya SAR.9. Penyakit Sistemik Beberapa kondisi medis yang berbeda dapat dikaitkan dengan kehadiran SAR. Bagi pasien yang sering mengalami kesulitan terus-menerus dengan SAR harus dipertimbangkan adanya penyakit sistemik yang diderita dan perlu dilakukan evaluasi serta pengujian oleh dokter. Beberapa kondisi medis yang dikaitkan dengan keberadaan ulser di rongga mulut adalah penyakit disfungsi neutrofil, penyakit gastrointestinal, dan HIV-AIDS.10. Merokok Terdapat hubungan terbalik antara perkembangan SAR dengan merokok. Pasien yang menderita SAR biasanya adalah bukan perokok, dan terdapat prevalensi dan keparahan yang lebih rendah dari SAR diantara perokok berat berlawanan dengan yang bukan perokok. Beberapa pasien melaporkan mengalami SAR setelah berhenti merokok. (Nisa, 2011)D. Gambaran klinisStomatitis Aftosa Rekuren(SAR) merupakan suatu kelainan ulser yang kambuhan pada mukosa mulut dengan ciri khas ulser single atau multiple, kambuhan, kecil, bulat atau oval dengan batas jelas kemerahan, dan dasar abu-abu atau kuning (Rosarina dkk, 2009). Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) mempunyai 3 gambaran klinis yaitu: 1. Stomatitis Aftosa Minor Sebagian besar pasien (80%) yang menderita bentuk minor ditandai dengan ulser berbentuk bulat atau oval dan dangkal serta pada bagian tepinya terdiri dari eritematous. Ulserasi bisa tunggal ataupun merupakan kelompok yang terdiri atas empat atau lima. Ulkus yang berkelompok dapat menetap dalam jangka waktu beberapa bulan. Ulserasi yang menetap seringkali sangat sakit dan biasanya mempunyai gambaran tak teratur. Pasien dengan ulser minor mengalami ulserasi yang berulang dan lesi individual dapat terjadi dalam jangka waktu pendek dibandingkan dengan tiga jenis yang lain. Ulser ini sering muncul pada mukosa nonkeratin seperti pada mukosa labial dan bukal, dasar mulut, dan pada lateral dan ventral lidah. Lesi ini didahului dengan rasa terbakar, gatal dan rasa pedih dan adanya pertumbuhan makula eritematus. Klasiknya, ulserasi berdiameter 3-10 mm dan sembuh tanpa luka dalam 7-14 hari. (Wardiningsih, 2011)

Gambar Lesi Stomatitis Aftosa Minor2. Stomatitis Aftosa MayorRekuren apthous stomatitis major diderita kira-kira 10% dari penderita RAS dan lebih hebat dari bentuk minor. Secara klasik, ulser ini berdiameter kira-kira 1-3 cm, disertai rasa sakit dan berlangsung selama empat minggu atau lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut termasuk daerah-daerah yang berkeratin. Ulser meluas sampai hamper pada seluruh rongga mulut termasuk palatum molle, tonsil dan orofaring. Ulser mayor dikenal sebagai periadenitis mukosa nekrosis yang rekuren atau disebut juga penyakit Sutton. Penyebabnya belum diketahui secara pasti, namun banyak bukti yang berhubungan dengan defek imun. Tanda adanya ulser seringkali dilihat pada penderita bentuk mayor. Jaringan parut terbentuk karena keparahan dan lamanya lesi terjadi. Awal dari ulser mayor terjadi setelah masa puberti dan akan terus menerus tumbuh hingga 20 tahun atau lebih. (Wardiningsih, 2011)

Gambar Lesi Stomatitis Aftosa Mayor3. Stomatitis HerpetiformisIstilah herpertiformis digunakan karena bentuk klinis dari ulserasi herpetiformis (yang dapat terdiri atas 100 ulser kecil pada satu waktu) mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer tetapi virus-virus herpes tidak mempunyai peranan dalam etiologi ulserasi herpertiformis atau dalam setiap bentuk ulserasi aptosa.Herpertiformis apthous stomatitis menunjukkan lesi yang besar dan frekuensi terjadinya berulang. Pada beberapa individu, lesi berbentuk kecil dan berdiameter rata-rata 1-3 mm. Gambaran dari ulser ini adalah erosi-erosi kelabu putih yang jumlahnya banyak, berukuran sekepala jarum yang membesar, bergabung dan mnjadi tak jelas batasnya. Pada awalnya ulkus-ulkus tersebut berdiameter 1-2 mm dan timbul berkelompok terdiri atas 10-100. Mukosa disekitar ulkus tampak eritematous dan terasa sakit. Predileksi ulser ini pada ujung lidah dan dasar mulut, dan sembuh setelah 7-14 hari. (Wardiningsih, 2011)

Gambar Lesi Stomatitis Aftosa HerpetiformisE. DiagnosaDiagnosa SAR didasarkan pada anamnesa dan gambaran klinis dari ulser. Biasanya pada anamnesa, pasien akan merasakan sakit dan terbakar pada mulutnya, lokasi ulser berpindah-pindah dan sering berulang. Harus ditanyakan sejak dari umur berapa terjadi, lama (durasi), serta frekuensi ulser. Setiap hubungan dengan faktor predisposisi juga harus dicatat. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan ulser pada bagian mukosa mulut dengan bentuk yang oval dengan lesi 1 cm yang jumlahnya sekitar 2-6. Pemeriksaan tambahan diperlukan seperti pemeriksaan sitologi, biopsi, dan kultur bila ulser tidak kunjung sembuh. (Nisa, 2011)F. PerawatanDalam upaya melakukan perawatan terhadap pasien SAR, tahapannya adalah : 1. Edukasi bertujuan untuk memberikan informasi mengenai penyakit yang dialami yaitu SAR agar mereka mengetahui dan menyadarinya. 2. Instruksi bertujuan agar dapat dilakukan tindakan pencegahan dengan menghindari faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya SAR. 3. Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala yang dihadapi agar pasien dapat mendapatkan kualitas hidup yang menyenangkan. (Nisa, 2011) Terapi stomatitis aftosa rekuren tidak memuaskan dan tidak ada yang pasti. Terapi dilakukan secara siptomatik. Telah banyak obat yang dicoba menanggulangi stomatitis namun tidak ada yang efektif. Penatalaksanaan stomatitis aftosa rekuren ditujukan untuk mengurangi rasa sakit, atau mencegah timbulnya lesi baru. Rasa sakit dapat dikurangi dengan cara menghindari makanan yang berbumbu, asam, atau minuman beralkohol. Anastetikum topikal merupakan obat yang umumnya digunakan dalam pengobatan stomatitis. Pengolesan anastetikum sebelum makan dapat mengurangi rasa sakit. (Wardiningsih, 2011)Tindakan pencegahan timbulnya SAR dapat dilakukan diantaranya dengan menjaga kebersihan rongga mulut, menghindari stres serta mengkonsumsi nutrisi yang cukup, terutama yang mengandung vitamin B12 dan zat besi. Menjaga kebersihan rongga mulut dapat juga dilakukan dengan berkumur-kumur menggunakan air garam hangat atau obat kumur. SAR juga dapat dicegah dengan mengutamakan konsumsi makanan kaya serat seperti sayur dan buah yang mengandung vitamin C, B12, dan mengandung zat besi. (Nisa, 2011)

ERITEMA MULTIFORME

A. DefinisiErythema Multiforme (EM) merupakan suatu penyakit akut dari kulit dan membran mukosa yang dapat menyebabkan beberapa jenis lesi kulit, karenanya dinamakan multiforme. Penyakit ini merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, dengan karakteristik adanya lesi target pada kulit atau lesi ulserasi pada mukosa. EM terbagi atas 2 tipe yaitu tipe minor dan tipe mayor serta varian dengan gejala yang lebih parah disebut Steven Johnson syndrome. (Lukisari, 2010)B. EpidemiologiEritema Multiforme sering terjadi pada dewasa muda dan prevalensi tertinggi pada usia 20-40 tahun, jarang terjadi pada anak-anak (20%) atau orang tua dan lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. (Lukisari, 2010)C. Etiologi dan PatogenesisPenyebabnya EM belum jelas. Diduga adalah suatu reaksi hipersensitivitas dan dianggap suatu penyakit imunologi dimana terjadi suatu reaksi kompleks imun yang ditimbulkan sebagai akibat adanya respon imun pada antigen tertentu seperti herpes simplex virus atau beberapa jenis obat tertentu. EM terjadi karena adanya peningkatan kadar kompleks antigen-antibodi (imun) yang menyebabkan vaskulitis. Faktor-faktor spesifik penyebab vaskulitis kompleks imun adalah alergi makanan, reaksi terhadap mikroorganisme, radioterapi, penyakit sistemik, dan keganasan.Beberapa penelitian melaporkan keterlibatan beberapa mikroorganisme sebagai pencetus EM termasuk virus dan terutama herpes simplex virus (HSV) yang persentasenya mencapai 70% pada kasus-kasus yang rekuren. HSV yang mencetuskan terjadinya Erythema Multiforme disebut herpes associated EM (HAEM). Pemakaian obat-obatan juga dapat memicu terjadinya EM, penelitian melaporkan 59% terjadinya EM oleh karena hal ini. Penyebab EM lainnya adalah penggunaan phenytoin dan pemberian terapi radiasi cranial. (George, 2005)D. Gambaran Klinis1. Erythema Multiforme MinorHal ini terjadi pada 20-30 % kasus. Pada tipe EM minor jarang sekali terjadi hanya pada bagian rongga mulut saja. Lesi berupa vesikula yang banyak dan pecah, meninggalkan daerah erosi yang sakit dan ditutupi pseudomembran putih.Sering terjadi pada mukosa genital, dan jarang terjadi pada konjungtiva.Pada kulit biasanya muncul macula papula kemerahan. Paling sering muncul dengan khas berupa lesi target.2. Erythema Multiforme MayorTipe ini melibatkan dua atau lebih membran mukosa dengan lebih banyak lagi daerah kulit yang terlibat. Lesi pada mukosa rongga mulut lebih sering terjadi pada kasus EM tipe mayor. Awalnya adalah daerah kemerahan, berubah dengan cepat menjadi bentuk vesikula dan segera pecah dan meninggalkan daerah erosi kemerahan yang ditutupi pseudomembran putih dan krusta akibat perdarahan. Pada kulit terdapat dengan bentukan lesi merah yang edematous, melepuh, dan adanya lesi target. (Lukisari, 2010)Gambaran klinis lesi Eritema MultiformeE. DiagnosaBerdasarkan adanya manifestasi klinis yang khas, yaitu adanya bulosa yang cepat pecah dan menimbulkan perdarahan, serta krusta pada bibir. Sedangkan pada kulit didapat adanya lesi target. Gambaran EM lainnya yang dapat dipertimbangkan adalah: onsetnya yang akut, erosi pada mukosa rongga mulut terutama pada bibir dan anterior mulut dan lesi pleomorfik pada kulit dan lainnya. Tidak ada pemeriksaan diagnostik yang spesifik untuk EM sehingga perlu dilakukan pemeriksaan biopsi untuk melihat histopatologinya. Pemeriksaan darah lengkap, urea, elektrolit, erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan fungsi liver bersamaan dengan serologi HSV dan mikoplasma, kultur mikrobial dari darah, sputum dan daerah yang erosif perlu dilakukan pada pasien-pasien yang parah. (Lukisari, 2010)F. Terapi1. Terapi secara sistemik Menghindari faktor penyebab atau mengobatinya, terutama karena adanya reaksi hipersensitivitas karena pemakaian obat . Pemakaian kortikosteroid secara oral, terutama setelah hari ke2-4, untuk mengurangi periode erupsi akut dan gejala. Tipe minor diberikan 20-40 mg/hari selama 4-6 hari lalu diberikan secara tapering dosis tak lebih dari 2 minggu. Pada tipe mayor diberikan antara 40-80 mg/hari selama 2-3 minggu. Pemberian antibiotik untuk menghindari infeksi sekunder. Obat-obat antivirus diindikasikan untuk pasien HAEM, dengan pemberian acyclovir 200 mg, lima kali sehari sejak terlihat pertamakali munculnya lesi atau 400 mg, empat kali sehari selama 6 bln atau melanjutkan terapi menggunakan valacyclovir, pemberian 500 mg dua kali sehari disarankan sebagai profilaksis2. Terapi secara topikalInstruksi pada pasien untuk diet lunak, pemakaian anastesi topikal, obat kumur yang berisi antibiotik, dan kortikosteroid topikal untuk mengurangi ketidaknyamanan pada pasien. (George, 2005)

1. Amnil, A. 2010. Postherpetic Neuralgia Setelah Menderita Herpes Zoster Oris. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara2. Apriani, Andi F. 2013. Herpes Simpleks. Makassar: Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia3. Djuanda, Adhi. 2010. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Enam Cetakan Kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia4. George, Laskaris. 2005. Treatment of Oral Disease : A Concise Textbook. Thieme; p.66-75. Gompf, Sandra G. 2014. Herpangina. American College of Physicians and Infectious Diseases Society of America6. Gunawan, Mega. 2010. Penyakit Flu Singapura atau HFMD (Coxsackie virus A16). Yogyakarta: Fakultas Farmasi USD7. Jaya, P.; Harijanti, K. 2009. Gingivostomatitis Herpetika Primer (laporan Kasus), dalam Oral Medicine Dental Journal vol. 1 no. 2 June-Dec 2009; 6-9. Surabaya: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga8. Lubis, Ramona D. 2008. Varicella dan Herpes Zoster. Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara9. Lukisari, C.; Hadi, P. 2010. Erythema Multiforme. Surabaya: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga10. Marlina, E; Soebardi, B. 2013. Penatalaksanaan Infeksi Herpes Simpleks Oral Rekuren. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga 11. Mitaart, Adolf H. 2010. Infeksi Herpes pada Pasien Imunokompeten. Manado: SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou12. Nisa, Rafeatun. 2011. Stomatitis Aftosa Rekuren yang Dipicu oleh Stres pada Mahasiswa Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara13. Rosarina, A.; Hendarti, H. T.; Soenartyo, H. 2009. Prevalensi Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) yang Dipicu oleh Stres Psikologis (di Klinik Penyakit Mulut RSGM FKG Unair September - Oktober 2009). Surabaya: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga 14. Suling, P. L.; Tumewu, E.; Soewantoro, J. S.; Darmanta, A. Y.. 2013. Angka Kejadian Lesi yang Diduga sebagai Stomatitis Aftosa Rekuren pada Mahasiwa Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado: Universitas Sam Ratulangi 15. Wardiningsih, Rahmy. 2011. Prevalensi Stomatitis pada Masa Pubertas Berdasarkan Penyebabnya (Studi Pada SMU Samudera Nusantara Makassar). Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin 16. Wulandari, E. A; Setyawati, T. 2008. Tatalaksana SAR Minor untuk Mengurangi Frekuensi dan Keparahan (Laporan Kasus), dalam Indonesian Journal of Dentistry 2008; 15 (2): 147-154. Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia

KASUSGingivostomatitis Herpetika Primer

Dilaporkan kasus anak perempuan 5 tahun yang datang berobat ke klinik Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga pada 4 Desember 2008 dengan keluhan gusi belakang bawah kanan sakit dan terdapat sariawan multipel pada lidah. Rasa sakit dan sariawan timbul sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga menderita demam dan malaise, kemudian berobat ke dokter umum. Pasien mendapat terapi paracetamol syrup dan multivitamin berbentuk puyer. Keadaan umum pasien tersebut baik. Pasien dan keluarganya tidak mempunyai riwayat penyakit yang mengganggu kesehatannya.

Penatalaksanaan Kunjungan I (4 Desember 2008) 1. Anamnesis: pasien mengeluh sakit pada gusi belakang bawah kanan dan lidah. pasien menderita demam sejak tiga hari yang lalu.2. Pemeriksaan ekstra oral: Kelenjar submandibular terdapat pembengkakan. Intraoral: di gingiva rahang bawah kanan terdapat oedem dengan ulser berdiameter lebih kurang 3 mm, tepi irreguler dikelilingi daerah eritematous dan terasa sakit. Pada lidah terdapat ulser bulat, multipel 3 buah, diameter lebih kurang 1 mm, dikelilingi daerah eritematous. 3. Diagnosis sementara: gingivostomatitis herpetika primer. 4. Diagnosis banding: hand foot and mouth disease dan stomatitis aftosa. 5. Perawatan: Di klinik lesi diulasi dengan povidone iodine 10% setelah itu diulasi dengan triamsinolone acetonid 0,1%. Pasien diberi resep Chlorhexidine obat kumur 3X sehari, multivitamin syrup 1X1 sendok teh dan dianjurkan minum susu yang mengandung tinggi protein dan tinggi kalori. Pasien disarankan untuk kontrol 5 hari lagi.

Kunjungan II (9 Desember 2008)1. Anamnesis: pasien sudah tidak merasa sakit lagi tapi gusi belakang bawah kanan masih terasa mengganjal. Pasien mematuhi anjuran terapi tetapi untuk susu yang tinggi protein tinggi kalori tidak dibeli, pasien tetap minum susu yang diminum sehari-hari. Nafsu makan pasien normal. 2. Pemeriksaan: Ekstraoral: tidak terdapat kelainan Intraoral: terlihat pada gingiva bawah kanan regio gigi molar satu permanen terdapat ulser dengan diameter lebih kurang 3 mm, dikelilingi daerah eritematous dan oedem pada lokasi yang sama dengan kunjungan pertama. Pada gingival rahang atas regio gigi molar satu susu terdapat ulser baru diameter lebih kurang 1 mm, dikelilingi daerah eritematous. Pada lidah sudah tidak terlihat adanya ulser. 3. Perawatan: lesi pada rongga mulut dibersihkan dengan povidone iodine 10% dan diulasi dengan triamsinolone acetonid 0,1%. Terapi Chlorhexidine obat kumur 3X sehari, multivitamin syrup 1X1 sendok teh tetap dilanjutkan. Pasien disarankan untuk kontrol seminggu kemudian.

Kunjungan III (6 Januari 2009)1. Anamnesa: pasien merasa sudah sembuh dan tidak sakit lagi serta tidak ada gusi yang mengganjal sejak seminggu setelah kunjungan kedua. 2. Pemeriksaan: Ekstraoral: tidak ada kelainan. Intraoral: sudah tidak ditemukan ulser baik di gingival rahang bawah kanan, gingiva rahang atas kanan maupun pada lidah.