24
Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Terhadap Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan Galur Sprague-Dawley Indra Prawira, Nova Anita, Setiorini Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa kayu secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap peningkatan volume urine tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley. Sebanyak 25 ekor tikus dibagi dalam 5 kelompok, terdiri atas kelompok kontrol negatif yang diberi akuabides (KKN), kelompok kontrol positif yang diberi larutan furosemide dosis 3,6 mg/kg bb (KKP), dan tiga kelompok eksperimen yang diberi infusa kayu secang dosis 250 mg/kg bb (KE1), 500 mg/kg bb (KE2), dan 1.000 mg/kg bb (KE3). Penelitian menggunakan metode Lipschitz yang telah dimodifikasi. Tikus dipuasakan selama 18 jam sebelum pemberian bahan uji, kemudian urine ditampung selama 6 jam menggunakan kandang metabolisme individual. Rerata volume total urine yang diperoleh adalah sebagai berikut: KKN (1,17+0,15) ml; KKP (2,67+0,19) ml; KE1 (2,07+0,30) ml; KE2 (2,71+0,34) ml; dan KE3 (2,21+0,12) ml. Hasil uji analisis variansi (ANAVA) 1 faktor (P < 0,05) menunjukkan terdapat pengaruh pemberian infusa kayu secang terhadap peningkatan volume urine tikus putih. Hasil uji beda nyata terkecil (LSD) (P < 0,05) menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara KE2 dengan KKP. Hal tersebut membuktikan infusa kayu secang dosis 500 mg/kg bb memberikan peningkatan volume urine tertinggi dengan aktivitas diuretik kuat sebesar 122,22%. Kata kunci: Caesalpinia sappan L.; diuretik; furosemide; Rattus norvegicus L.; urine Diuretic Activity Test of Sappanwood (Caesalpinia sappan L.) Infusion in Male Sprague- Dawley Albino Rats (Rattus norvegicus L.) Abstract A study has been conducted to determine the effect of sappanwood (Caesalpinia sappan L.) infusion with the increment of urine volume in male Sprague-Dawley albino rats (Rattus norvegicus L.). A total of 25 rats were divided into 5 groups, consisting of a negative control group treated with aquabidest (KKN), a positive control group treated with a solution of furosemide at dose of 3,6 mg/kg bw (KKP), and three experimental group treated with sappanwood infusion at dose of 250 mg/kg bw (KE1), 500 mg/kg bw (KE2), and 1.000 mg/kg bw (KE3). Diuretic activity was evaluated using modified Lipschitz method. The rats were fasted for 18 hours prior to administration of the test substance, then the urine collected for 6 hours using individual metabolic cages. The mean of total urine volumes obtained, are as follows: KKN (1,17+0,15) ml; KKP (2,67+0,19) ml; KE1 (2,07+0,30) ml; KE2 (2,71+0,34) ml; and KE3 (2,21+2,21) ml. The result of the 1-factor analysis of variance (ANOVA) (P < 0,05) showed that there was an effect of sappanwood infusion along with the increased volume of rats urine. The result of the least significant difference (LSD) test (P < 0,05) showed no significant differences between KE2 to the KKP. Thus, the sappanwood infusion at dose of 500 mg/kg bw provides the highest increase in urine volume with high diuretic activity amounted to 122,22%. Keyword: Caesalpinia sappan L.; diuretic; furosemide; Rattus norvegicus L.; urine Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

  • Upload
    others

  • View
    23

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) Terhadap Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Jantan Galur Sprague-Dawley

Indra Prawira, Nova Anita, Setiorini

Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia

E-mail: [email protected]

Abstrak

Penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa kayu secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap peningkatan volume urine tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley. Sebanyak 25 ekor tikus dibagi dalam 5 kelompok, terdiri atas kelompok kontrol negatif yang diberi akuabides (KKN), kelompok kontrol positif yang diberi larutan furosemide dosis 3,6 mg/kg bb (KKP), dan tiga kelompok eksperimen yang diberi infusa kayu secang dosis 250 mg/kg bb (KE1), 500 mg/kg bb (KE2), dan 1.000 mg/kg bb (KE3). Penelitian menggunakan metode Lipschitz yang telah dimodifikasi. Tikus dipuasakan selama 18 jam sebelum pemberian bahan uji, kemudian urine ditampung selama 6 jam menggunakan kandang metabolisme individual. Rerata volume total urine yang diperoleh adalah sebagai berikut: KKN (1,17+0,15) ml; KKP (2,67+0,19) ml; KE1 (2,07+0,30) ml; KE2 (2,71+0,34) ml; dan KE3 (2,21+0,12) ml. Hasil uji analisis variansi (ANAVA) 1 faktor (P < 0,05) menunjukkan terdapat pengaruh pemberian infusa kayu secang terhadap peningkatan volume urine tikus putih. Hasil uji beda nyata terkecil (LSD) (P < 0,05) menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara KE2 dengan KKP. Hal tersebut membuktikan infusa kayu secang dosis 500 mg/kg bb memberikan peningkatan volume urine tertinggi dengan aktivitas diuretik kuat sebesar 122,22%.

Kata kunci: Caesalpinia sappan L.; diuretik; furosemide; Rattus norvegicus L.; urine

Diuretic Activity Test of Sappanwood (Caesalpinia sappan L.) Infusion in Male Sprague-Dawley Albino Rats (Rattus norvegicus L.)

Abstract

A study has been conducted to determine the effect of sappanwood (Caesalpinia sappan L.) infusion with the increment of urine volume in male Sprague-Dawley albino rats (Rattus norvegicus L.). A total of 25 rats were divided into 5 groups, consisting of a negative control group treated with aquabidest (KKN), a positive control group treated with a solution of furosemide at dose of 3,6 mg/kg bw (KKP), and three experimental group treated with sappanwood infusion at dose of 250 mg/kg bw (KE1), 500 mg/kg bw (KE2), and 1.000 mg/kg bw (KE3). Diuretic activity was evaluated using modified Lipschitz method. The rats were fasted for 18 hours prior to administration of the test substance, then the urine collected for 6 hours using individual metabolic cages. The mean of total urine volumes obtained, are as follows: KKN (1,17+0,15) ml; KKP (2,67+0,19) ml; KE1 (2,07+0,30) ml; KE2 (2,71+0,34) ml; and KE3 (2,21+2,21) ml. The result of the 1-factor analysis of variance (ANOVA) (P < 0,05) showed that there was an effect of sappanwood infusion along with the increased volume of rats urine. The result of the least significant difference (LSD) test (P < 0,05) showed no significant differences between KE2 to the KKP. Thus, the sappanwood infusion at dose of 500 mg/kg bw provides the highest increase in urine volume with high diuretic activity amounted to 122,22%.

Keyword: Caesalpinia sappan L.; diuretic; furosemide; Rattus norvegicus L.; urine

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 2: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Pendahuluan

Diuretik merupakan suatu zat yang memengaruhi mekanisme reabsorpsi pada ginjal

sehingga terjadi peningkatan pengeluaran air dan garam melalui urine (Guyton & Hall 2006:

402). Melalui mekanisme tersebut, diuretik digunakan untuk mengobati gejala hipertensi dan

edema (Kee & Hayes 1996: 471). Suatu zat dikatakan memiliki efek diuretik apabila terdapat

peningkatan produksi urine (Suryawati & Santoso 1993: 167).

Penderita penyakit tekanan darah tinggi atau hipertensi, gagal jantung kongestif, dan

edema memiliki gejala berlebihnya volume dan tingginya tekanan pada cairan ekstraseluler

tubuhnya. Secara medis, gejala dan penyakit tersebut ditangani dengan pemberian obat

dengan aktivitas diuretik. Obat diuretik secara langsung menyebabkan peningkatan volume

urine, salah satunya dengan mencegah reabsorpsi ion Na+ pada lengkung Henle dan

mengakibatkan diteruskannya ion Na+ ke tubulus distal untuk dikeluarkan dari tubuh bersama

air (Fox 2003: 545, 549--551).

Obat diuretik yang umum digunakan untuk pengobatan berasal dari golongan diuretik

lengkung. Terdapat setidaknya delapan jenis obat yang termasuk dalam golongan tersebut,

salah satunya ialah furosemide (Dearing dkk. 2001: 891). Namun, penggunaan jangka

panjang dari obat-obatan tersebut dapat menyebabkan timbulnya beberapa efek samping.

Efek samping yang dapat ditimbulkan dari obat-obatan tersebut antara lain munculnya reaksi

alergi pada kulit, radang ginjal, serta ketidakseimbangan cairan ataupun elektrolit tubuh

(Brater 1998: 393).

Penggunaan tanaman obat, merupakan salah satu alternatif pengganti obat-obatan

diuretik sintetis. Hal tersebut dikarenakan oleh beberapa kelebihan yang dimiliki oleh

tanaman obat, antara lain efek samping yang relatif kecil dengan penggunan yang tepat, efek

komplementer dan sinergis pada komponen bioaktifnya, memiliki beberapa efek

farmakologis, dan lebih sesuai untuk digunakan pada penyakit metabolik dan degeneratif

(Katno 2007: 5).

Beberapa jenis tanaman Indonesia telah diteliti dan diketahui memiliki aktivitas

diuretik, yaitu daun duduk, Desmodium triquetrum (Syamsuhidayat & Hutapea 1991;

Suryawati & Santoso 1993); kacang polong, Pisum sativum (Syamsuhidayat & Hutapea 1991;

Duke 1998); buncis, Phaseolus vulgaris (Duke 1998; Syamsuhidayat & Hutapea 1994);

kacang hijau, Phaseolus radiatus (Syamsuhidayat & Hutapea 1994); sambiloto, Andrographis

paniculata (Sophia 2003); nanas, Ananas comosus (Magdalena 1998); bangkuang,

Pachyrrhizus erosus (Nur 2000); belimbing, Averrhoa carambola (Panjaitan 2000);

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 3: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

kangkung, Ipomoea aquatica (Mamun dkk. 2003); temulawak, Curcuma xanthorrhiza

(Mahmood dkk. 2004); daun kucing-kucingan, Acalypha indica (Das dkk. 2005); temu putih,

Curcuma zedoaria (Septarini 2007); dan temu mangga, Curcuma mangga (Riandisty 2007).

Tanaman lain yang dianggap memiliki aktivitas diuretik dalam pengobatan tradisional yaitu

secang, Caesalpinia sappan (Sireeratawong dkk. 2010: 55).

Secang, Caesalpinia sappan L., merupakan tanaman yang dikenal lama sebagai obat

tradisional masyarakat di Asia. Tanaman tersebut digunakan karena beberapa khasiat yang

dimilikinya, antara lain sebagai antiperadangan, antioksidan, antiaterosklerosis,

antihipoglikemia, dan antiaktivitas spasmolitik. Secang juga berkhasiat untuk memperlancar

peredaran darah (Wang dkk. 2011: 276). Pengobatan Ayurveda di India menggunakan kayu

secang sebagai obat untuk mengobati luka, sensasi bakar, penyakit kulit, diare, disentri,

epilepsi, pendarahan saat menstruasi, dan diabetes (Badami dkk. 2004: 76). Berbagai

penelitian telah dilakukan untuk membuktikan manfaat secang sebagai tanaman obat, antara

lain sebagai obat pengencer dahak (Beak dkk. 2000), imunomodulator (Choi dkk. 1997), dan

hepatoprotektif (Moon dkk. 1992).

Di Indonesia, secang telah lama digunakan sebagai bahan untuk membuat minuman

tradisional, seperti jamu, wedang secang, dan bir pletok. Minuman tradisional tersebut

digunakan untuk meredam gejala masuk angin, batuk, pilek, penghangat tubuh, mengatasi

sariawan, kelelahan, reumatik, dan pelancar peredaran darah (Paramitasari 2006: 2). Di Jawa

Tengah, Sulawesi, dan Bali, secang digunakan sebagai sirup dan teh, yang dikenal dengan

“teh cang” (Sumantera 1998: 21). Secara tradisional, dosis secang yang biasa digunakan

sebagai minuman adalah 10 gram kayu secang per hari (5 gram untuk satu kali konsumsi dan

dikonsumsi dua kali per hari) (BPOM RI 2011: 45).

Uji fitokimia yang telah dilakukan Lemmens pada tahun 1992 menunjukkan bahwa

kayu secang mengandung pigmen, tanin, brazilin, asam tanat, resin, resorsin, brazilein,

sapanin, dan asam galat (Lemmens & Wulijarni-Soetjipto 1992: 61). Safitri (2002) juga telah

mendapati senyawa alkaloid, flavonoid, triterpen, brazilin, tanin, dan glikosida pada kayu

secang (Safitri 2002: 18). Penelitian yang dilakukan oleh Masitoh (2011) juga menunjukkan

kandungan senyawa alkaloid, glikosida, tanin, dan saponin pada daun secang serta senyawa

glikosida, tanin, saponin pada akar secang (Masitoh 2011: 36). Sementara itu, Dearing dkk.

(2001) mencatat bahwa kandungan senyawa terpen, fenolik, dan alkaloid pada tanaman

berpotensi menimbulkan efek diuretik (Dearing dkk. 2001: 894). Dengan demikian, kayu

secang yang memiliki kandungan terpen, fenolik, dan alkaloid, diperkirakan memiliki

aktivitas diuretik.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 4: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian infusa kayu secang

(Caesalpinia sappan L.) secara oral dengan dosis 250; 500; dan 1.000 mg/kg berat badan

terhadap peningkatan volume urine tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-

Dawley. Hipotesis penelitian yang diajukan adalah pemberian infusa kayu secang

(Caesalpinia sappan L.) secara oral dengan dosis 250; 500; dan 1.000 mg/kg berat badan

tikus putih berpengaruh terhadap peningkatan volume urine tikus putih (Rattus norvegicus L.)

jantan galur Sprague-Dawley, dengan aktivitas diuretik tertinggi pada dosis 500 mg/kg berat

badan tikus putih.

Tinjauan Teoritis

Secang (Caesalpinia sappan L.) mengandung bermacam-macam kandungan kimia,

seperti fenol, flavonoid, homoisoflavonoid, tanin, asam galat, alkaloid, steroid, triterpen, dan

glikosida (Listyaningdyah 2006: 9). Hingga saat ini, terdapat tiga belas senyawa fenol yang

telah berhasil diketahui dari secang, yaitu protosappanin A, sappanchalkon, sappanon B, 3’-

deoksi-4-O-metil episappanol, (+)-(8S,8’S)-bisdihidrosiringenin, brazilein, 3-deoksi

sappanchalkon, (+)-lioniresinol, 3-dekosi sappanon B, protosappanin B, isoprotosappanin B,

3’-O-metilbrazilin, dan brazilin (Fu dkk. 2008: 1924).

Brazilin merupakan senyawa aktif terbesar yang terdapat pada tanaman secang.

Senyawa tersebut merupakan salah satu senyawa fenol (Nirmal dkk. 2014: 196). Beberapa

penelitian menunjukkan bahwa brazilin memiliki aktivitas antibakteri (Lim dkk. 2007),

antioksidan (Hu dkk. 2008), antidiabetik (Pawar dkk. 2008), dan antiinflamasi (Ye dkk. 2006;

Shen dkk. 2007). Brazilin yang teroksidasi oleh udara dan sinar akan menjadi brazilein.

Brazilein akan memberikan warna merah gelap, warna khas dari ekstrak kayu secang (Lioe

dkk. 2012: 537).

Ginjal merupakan salah satu organ yang berperan dalam sistem ekskresi tubuh.

Bentuknya seperti kacang merah, berjumlah sepasang, dan terletak di belakang peritonium.

Ginjal kanan terletak lebih rendah dibandingkan ginjal kiri (Marieb & Hoehn 2013: 955).

Ginjal tikus memiliki rata-rata panjang 10 mm; lebar 6 mm; dan tebal 4 mm, dengan berat

0,8--1,4 g (Krinkle 2000: 390). Ginjal berperan menghasilkan urine yang berisi bahan sisa,

seperti urea, kreatinin, dan amoniak, dari dalam tubuh. Ginjal turut berfungsi mengatur

keseimbangan air dan elektrolit dalam tubuh dan juga mengatur keseimbangan pH serta

tekanan darah (Scanlon & Sanders 2007: 420--421).

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 5: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Reabsorpsi merupakan proses penyerapan kembali filtrat glomerulus yang mengalir di

sepanjang tubulus renalis (Guyton & Hall 2006: 293). Filtrat seperti glukosa, asam amino,

dan sejumlah besar ion-ion organik seperti Na+, K+, Ca2+, Cl-, HCO3-, PO43-, dan SO4

2-,

direabsorpsi dengan transpor aktif, sedangkan air direabsorpsi ke dalam darah melalui proses

difusi. Reabsorpsi bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan osmotik pada plasma

(Kimball 1983: 573).

Tubulus proksimal memiliki aktivitas reabsorpsi senyawa terbesar pada ginjal.

Senyawa-senyawa yang sebagian besar direabsorpsi di tubulus proksimal ialah natrium

bikarbonat (NaHCO3), natrium klorida (NaCl), glukosa, asam amino dan zat organik lain

(Katzung 2001: 430). Permeabilitas tubulus proksimal terhadap air sangat tinggi sehingga air

dapat direabsorpsi dengan cepat (Guyton & Hall 2006: 423).

Reabsorpsi juga terjadi pada lengkung Henle yang terdiri atas segmen desendens dan

segmen asendens. Segmen desendens tidak berperan dalam reabsoprsi ion Na+, namun

berperan penting dalam reabsorpsi air. Segmen asendens memiliki permeabilitas air yang

sangat rendah, namun mampu mereabsorpsi ion Na+, K+, Cl-, Mg2+, dan Ca2+ (Fox 2003: 534).

Tubulus distal tidak permeabel terhadap air, dan reabsorpsi terhadap ion Na+, K+, dan

Cl- tidak sebanyak yang terjadi pada tubulus proksimal dan segmen asendens lengkung Henle

(Katzung 2001: 434). Tubulus kolektivus merupakan tempat terakhir penentuan konsentrasi

Na+ dalam urine dan bersifat tidak permeabel terhadap air. Reabsorpsi ion Na+ terjadi melalui

kanal ion sepanjang membran apikal sel tubulus dan melalui pompa ion Na+/K+-ATPase pada

membran basolateral sel tubulus. Sedangkan air akan hanya direabsorpsi bila terdapat

pengaruh aldosteron dan ADH (Guyton & Hall 2006: 434).

Transpor zat di dalam tubulus ginjal dapat berlangsung secara aktif dan pasif.

Transpor aktif membutuhkan energi yang berasal dari metabolisme sehingga suatu zat terlarut

dapat melawan gradien elektrokimia (Syaifuddin 2002: 229). Transpor aktif dapat dibagi

menjadi transpor aktif primer dan transpor aktif sekunder. Transpor aktif primer merupakan

transpor yang berhubungan langsung dengan suatu sumber energi seperti adenosin trifosfat

(ATP). Transpor aktif sekunder berlangsung karena menggunakan energi yang dilepaskan

oleh zat lain (Alberts dkk. 2002: 621). Contoh transpor aktif primer ialah pompa ion natrium-

kalium dengan enzim adenosin trifosfatase (Na+/K+-ATPase), sedangkan contoh transpor aktif

sekunder ialah reabsorpsi glukosa, fosfat dan asam amino yang terjadi di tubulus proksimal

(Guyton & Hall 2006: 419--420).

Transpor pasif merupakan perpindahan zat mengikuti gradien elektrokimianya. Proses

tersebut tidak memerlukan energi dan berlangsung secara spontan. Transpor pasif di

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 6: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

antaranya terjadi melalui peristiwa difusi sederhana maupun difusi terfasilitasi dengan

bantuan protein carrier dan kanal ion (Alberts dkk. 2002: 618). Air merupakan zat yang

direabsorpsi secara pasif melalui peristiwa osmosis oleh sel epitel tubulus. Zat-zat yang dapat

direabsorpsi melalui peristiwa difusi membran tubulus yaitu ion K+, ion magnesium (Mg2+)

dan ion Cl- (Guyton & Hall 2006: 292--293).

Diuretik merupakan senyawa yang dapat menyebabkan diuresis, yaitu suatu peristiwa

meningkatnya volume cairan yang dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan produksi urine

pada ginjal. Diuretik antara lain digunakan pada pasien hipertensi (Roopesh dkk. 2011: 163).

Cara kerja utama diuretik ialah dengan meredakan edema, yaitu suatu kondisi berlebihnya

cairan tubuh pada pasien hipertensi. Hasilnya, volume cairan tubuh dan tekanan darah

kembali menjadi normal (Nafrialdi 2009: 389).

Diuretik dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu: diuretik osmotik dan diuretik

penghambat mekanisme transpor elektrolit dalam tubulus renalis (Nafrialdi 2009: 389).

Diuretik osmotik bekerja menghambat reabsorpsi Na+ dan air dengan cara meningkatkan

tekanan osmotik dalam lumen tubulus renalis. Diuretik penghambat mekanisme trasnpor

elektrolit bekerja menghambat reabsorpsi Na+ dan air dengan cara menghambat fungsi protein

spesifik yang mengatur transpor ion pada membran sel tubulus renalis. Contoh dari diuretik

golongan ini adalah diuretik penghambat karbonat anhidrase, diuretik lengkung, diuretik

tiazid, dan diuretik penghambat kompetitif aldosteron (Fox 2003: 550). . Situs kerja dari

obat-obatan diuretik pada tubulus ginjal dapat dilihat pada Gambar 2.4.5.

Penggunaan diuretik dalam bidang klinis yang paling umum adalah untuk menurunkan

tekanan darah pada penderita hipertensi melalui peningkatan volume urine. Peningkatan

volume urine disebabkan karena kerja diuretik yang menghambat reabsorpsi ion Na+ di ginjal,

sehingga ion Na+ berlebih dikeluarkan melalui urine (Dearing dkk. 2001: 891).

Tikus putih memiliki beberapa galur, antara lain galur Sprague-Dawley, Wistar, dan

Long Evans. Tikus putih (Rattus norvegicus L.) galur Sprague-Dawley memiliki ciri-ciri

tubuh berwarna putih, mata berwarna merah, ukuran kepala kecil, dan ekornya lebih panjang

dari tubuhnya (Gambar 2.5). Massa tubuh ketika dewasa dapat mencapai 300--400 g pada

jantan dan 250--300 g pada betina. Tikus putih jantan dewasa galur Sprague-Dawley

digunakan sebagai hewan uji diuretik karena hewan tersebut merupakan tikus percobaan yang

memiliki ukuran tubuh yang paling besar dibandingkan dengan galur lainnya, dengan volume

urine yang dihasilkan sebesar 2,3--3,3 ml/100 g bb perhari (Smith & Mangkoewidjojo 1988:

37). Diharapkan urine yang dihasilkan akan lebih banyak.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 7: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Metode Penelitian

1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Rumah Hewan dan Laboratorium Fisiologi Hewan

Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Indonesia (FMIPA UI), Depok, Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama kurang lebih 6 bulan

(Januari--Juni 2015).

2. Bahan

2.1. Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan adalah simplisia kayu secang (Caesalpinia sappan L.).

Simplisia kayu secang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat dan Rempah (Balittro),

Jalan Tentara Pelajar nomor 3, Bogor, Jawa Barat.

2.2. Hewan Uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur

Sprague-Dawley sebanyak 25 ekor, berumur sekitar 2--3 bulan dengan berat 200--250 g.

Hewan uji diperoleh dari Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat.

2.3. Makanan dan Minuman Hewan Uji

Makanan hewan uji berupa pelet yang diperoleh dari PD. Kasman, Jalan Bentengan

Blok C1 nomor 8, Sunter Jaya, Jakarta Utara. Air minum yang diberikan berupa air minum

masak. Makanan disediakan dalam wadah plastik yang diletakkan pada alas kandang,

sedangkan air minum diberikan dalam botol yang diletakkan pada tutup kandang.

2.4. Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan adalah akuabides, asam pikrat, tablet Furosemide dosis

40 mg [Kimia Farma], gom arab, dan sabun [Sunlight].

3. Peralatan

3.1. Pemeliharaan Tikus Putih

Peralatan yang digunakan meliputi kandang berupa bak plastik berukuran (50x40x30)

cm3 yang diberi serbuk kayu sebagai alas; tutup kandang terbuat dari anyaman kawat dengan

jarak anyaman 0,50 cm; timbangan tikus [Krisbow]; exhaust fan [National]; lampu fluoresens

20 watt [Phillips]; pemanas air elektrik [Sayota]; dan wadah plastik.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 8: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

3.2. Pembuatan Infusa Kayu Secang dan Larutan Furosemide

Peralatan yang digunakan meliputi gelas ukur 25 ml [Pyrex]; labu takar 25 ml [Pyrex];

Erlenmeyer 100 ml [Pyrex]; gelas Beaker 250 ml [Pyrex]; batang pengaduk; corong kaca;

magnetic stirrer beserta pemanas [Cole Parmer Instrument Company]; dan timbangan analitik

listrik [Shimadzu tipe AEL 200 no. 60412].

3.3. Pemberian Infusa Kayu Secang dan Larutan Furosemide

Peralatan yang digunakan meliputi jarum cekok (gavage needle) dan disposable

syringe 3 ml [Terumo].

3.4. Pengambilan Data

Peralatan yang digunakan meliputi alat tulis; arloji; gelas Beaker 25 ml [Pyrex]; pipet

ukur 10 ml [Pyrex]; bulb karet; kandang metabolisme individual [buatan sendiri] (Gambar

3.3.4); dan kamera [Olympus].

4. Cara Kerja

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian bersifat eksperimental, menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).

Jumlah perlakuan sebanyak 5 dan jumlah ulangan yang dilakukan adalah 5, yang diperoleh

dari rumus Frederer yaitu (t-1)(n-1) > 15, t merupakan jumlah perlakuan sedangkan n

merupakan jumlah ulangan (Sudjana 1992: 172--173). Perlakuan-perlakuan yang diberikan

meliputi:

a. Kelompok kontrol negatif (KKN), yaitu kelompok yang diberikan akuabides,

setelah 18 jam dipuasakan.

b. Kelompok kontrol positif (KKP), yaitu kelompok yang diberikan larutan

furosemide dosis 3,6 mg/kg bb, setelah 18 jam dipuasakan.

c. Kelompok eksperimen 1 (KE1), yaitu kelompok yang diberikan infusa simplisia

kayu secang dengan dosis 250 mg/kg bb, setelah 18 jam dipuasakan.

d. Kelompok eksperimen 2 (KE2), yaitu kelompok yang diberikan infusa simplisia

kayu secang dengan dosis 500 mg/kg bb, setelah 18 jam dipuasakan.

e. Kelompok eksperimen 3 (KE3), yaitu kelompok yang diberikan infusa simplisia

kayu secang dengan dosis 1.000 mg/kg bb, setelah 18 jam dipuasakan.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 9: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

4.2. Pemeliharaan Tikus Putih

Tikus putih jantan sebanyak 25 ekor dipelihara dalam kandang berukuran (50x40x30)

cm3, yang dialasi dengan serutan kayu dan ditutupi dengan anyaman kawat. Setiap kandang

berisi 5 ekor tikus putih yang masing-masing mewakili 5 perlakuan, yaitu KKN, KKP, KE1,

KE2, dan KE3. Setiap individu diberi tanda dengan menggunakan asam pikrat. Tikus putih

jantan yang digunakan dalam penelitian diadaptasikan terlebih dahulu di dalam kandang

selama 14 hari atau sampai berat badannya naik.

Tikus putih diberi makanan berupa pelet yang diletakkan di wadah plastik pada alas

kandang dan minuman berupa air masak dalam botol yang diletakkan di tutup kandang.

Makanan dan minuman diberikan secara ad libitum. Kandang dibersihkan setiap 3 hari

dengan dicuci menggunakan sabun hingga bersih dan dibilas air. Alas kandang selanjutnya

diganti dengan serutan kayu yang baru. Kandang diletakkan di atas rak dalam Rumah Hewan

FMIPA UI. Penerangan menggunakan lampu fluoresens selama 12 jam setiap hari dan

pertukaran udara dalam ruangan dibantu dengan exhaust fan.

4.3. Pembuatan Serbuk Simplisia Kayu Secang

Simplisia kayu secang dalam bentuk serutan diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman

Obat dan Rempah (Balittro), Jalan Tentara Pelajar nomor 3, Bogor, Jawa Barat. Serutan

tersebut dibuat menjadi bentuk serbuk dengan dihaluskan menggunakan blender dan disaring

dengan ayakan. Serbuk tersebut ditempatkan dalam wadah kaca dan kedap udara dan

disimpan dalam suhu ruangan.

4.4. Pembuatan Infusa Kayu Secang

Infusa kayu secang dengan dosis 250 mg/kg bb dibuat dengan cara memasukkan 625

mg serbuk simplisia kayu secang ke dalam labu ukur 25 ml, kemudian ditambahkan

akuabides hingga tanda batas. Setelah itu, suspensi tersebut dituang ke dalam Erlenmeyer dan

diletakkan di dalam penangas air hingga 90 °C selama 15 menit. Setelah itu suspensi tersebut

disaring dengan corong yang dilapisi kertas saring kasar ke dalam labu ukur 25 ml. Apabila

volume berkurang maka ditambahkan akuabides panas melalui ampasnya hingga tanda batas.

Infusa kayu secang dengan dosis 500; dan 1.000 mg/kg bb dibuat dengan cara yang sama,

dengan menimbang serbuk simplisia kayu secang berturut-turut 1,25 dan 2,5 gram.

4.5. Pembuatan Larutan Furosemide

Satu tablet Furosemide dengan berat 148,0 mg mengandung 40 mg furosemide.

Larutan furosemide dosis 3,6 mg/kg bb dibuat dengan cara melarutkan 33,3 mg tablet

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 10: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Furosemide. Furosemide tidak larut dalam air, sehingga memerlukan gom arab sebanyak 1,7

mg untuk melarutkannya. Tablet Furosemide dan gom arab digerus dengan mortar hingga

halus. Campuran tersebut dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan ditambahkan akuabides

panas sampai tanda batas. Campuran tersebut kemudian dituang ke dalam Erlenmeyer dan

dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer.

4.6. Perlakuan Terhadap Tikus Putih

Tikus putih dipuasakan selama 18 jam sebelum pemberian larutan uji. Setelah itu,

tikus putih ditimbang dan diberikan larutan bahan uji secara oral dengan menggunakan jarum

cekok. Volume larutan bahan uji yang diberikan, disesuaikan dengan berat badan tikus.

Sebanyak 1 ml larutan setara dengan 100 gram berat badan tikus putih (Suryawati & Santoso

1993: 50). Uji aktivitas diuretik dilakukan dengan cara menempatkan 1 ekor tikus putih di

dalam satu kandang metabolisme individual.

4.7. Metode Pengukuran Aktivitas Diuretik dan Pengambilan Data

Penelitian yang dilakukan menggunakan metode Lipschitz (1943). Menurut metode

Lipschitz (1943), tikus putih dipuasakan terlebih dahulu selama 17 hingga 24 jam sebelum

diberi perlakuan. Setelah diberi perlakuan, urine dari setiap individu tikus putih ditampung

selama 5 jam dan 24 jam (Hart 2007: 459--460). Berdasarkan hal-hal tersebut dan penelitian-

penelitian yang sudah ada (Nur 2000; Sophia 2003), maka dalam penelitian tikus putih akan

dipuasakan selama 18 jam sebelum diberi perlakuan, dimulai pukul 16.00 WIB hingga pukul

10.00 WIB keesokannya. Urine akan ditampung selama 6 jam, dimulai pukul 10.00 WIB

hingga pukul 16.00 WIB. Selama perlakuan, tikus putih tidak diberikan makan dan minum.

Urine ditampung dalam gelas Beaker 25 ml selama 6 jam setelah perlakuan, diukur

volumenya menggunakan pipet ukur 5 ml. Volume urine yang didapatkan kemudian dicatat.

Penghitungan persentase aktivitas diuretik suatu bahan uji dilakukan menurut rumus berikut:

Suatu bahan uji dikatakan memiliki aktivitas diuretik lemah apabila nilai penghitungan

persentase aktivitas diuretik berada dalam kisaran 50--80%, diuretik sedang 80--100%, dan

diuretik kuat lebih dari 100% (Suryawati & Santoso 1993: 60).

4.8. Analisis Data

Data yang diperoleh disusun dalam tabel dan kemudian diolah dengan menggunakan

program statistik Statistical Product and Service Solutions (SPSS) Base 16.0 for Windows,

% Aktivitas Diuretik = !"#$%& !"#$ !"#$ !"!!"#$%!&!"#$%& !"#$"% !"#$ !"#$%"&'(

. 100%

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 11: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

dengan pendekatan uji nilai probabilitas. Kesimpulan hasil uji didapatkan dengan

membandingkan nilai taraf nyata (α) dengan nilai probabilitas (P) yang diperoleh melalui

komputasi SPSS (Santoso 2001: 166--169).

Normalitas distribusi data diketahui dengan melakukan uji normalitas Shapiro-Wilk

(Conover 1980: 363--365). Homogenitas data diketahui dengan uji homogenitas Levene

(Sudjana 1992: 251--255). Analisis data dilanjutkan dengan menggunakan uji parametrik

analisis variansi (ANAVA) 1 faktor (Alhusin 2002: 138--139). Uji parametrik ANAVA 1

faktor digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan antar perlakuan. Pengujian

dilanjutkan dengan menggunakan uji perbandingan berganda beda nyata terkecil (LSD)

(Santoso 2000: 123) untuk mengetahui perbedaan yang nyata antara pasangan perlakuan

(Conover 1980: 370--373).

Hasil Penelitian

Hasil pengamatan terhadap rata-rata volume total urine tikus putih (Rattus norvegicus

L.) jantan galur Sprague-Dawley pada kelompok kontrol negatif (KKN), kelompok kontrol

positif (KKP), kelompok eksperimen 1 (KE1), kelompok eksperimen 2 (KE2), dan kelompok

eksperimen 3 (KE3) berturut-turut, yaitu: 1,17+0,15; 2,67+0,19 ; 2,07+0,30; 2,71+0,34; dan

2,21+2,21 ml (Tabel 1). Diagram batang rata-rata volume total urine tikus putih dapat dilihat

pada Gambar 1.

Tabel 1. Volume total urin (ml) tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley selama 6 jam setelah pencekokan

Ulangan KKN KKP KE1 KE2 KE3

1 1,31 2,65 2,22 2,77 2,35 2 1,17 2,95 2,48 3,25 2,17 3 1,15 2,74 2,07 2,35 2,28 4 0,93 2,45 1,85 2,54 2,20 5 1,28 2,58 1,73 2,65 2,04 ∑x 5,84 13,37 10,35 13,56 11,04 𝒙 1,17 2,67 2,07 2,71 2,21

SD 0,15 0,19 0,30 0,34 0,12 Keterangan: KKN = kelompok kontrol negatif (akuabides) KKP = kelompok kontrol positif (larutan Furosemide 3,6 mg/kg bb) KE1 = kelompok perlakuan 1 (infusa kayu secang 250 mg/kg bb) KE2 = kelompok perlakuan 2 (infusa kayu secang 500 mg/kg bb) KE3 = kelompok perlakuan 3 (infusa kayu secang 1.000 mg/kg bb) ∑x = jumlah volume urine 𝑥 = rerata volume urine SD = standar deviasi

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 12: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Keterangan: KKN = kelompok kontrol negatif (akuabides) KKP = kelompok kontrol positif (larutan Furosemide 3,6 mg/kg bb) KE1 = kelompok perlakuan 1 (infusa kayu secang 250 mg/kg bb) KE2 = kelompok perlakuan 2 (infusa kayu secang 500 mg/kg bb) KE3 = kelompok perlakuan 3 (infusa kayu secang 1.000 mg/kg bb) Huruf menunjukkan perbedaan nyata pasangan kelompok perlakuan Garis (bar) menunjukkan standar deviasi

Gambar 1. Diagram batang rerata volume urine (ml) tikus putih (Rattus norvegicus L.)

jantan galur Sprague-Dawley selama 6 jam setelah pencekokan

Hasil perhitungan rata-rata aktivitas diuretik infusa simplisia kayu secang pada KKN,

KKP, KE1, KE2, dan KE3 berturut-turut, yaitu: 54,87+5,91%; 125,53+11,14%;

94,74+9,77%; 122,22+5,25%; dan 101,32+5,35% (Tabel 2). Diagram batang rata-rata

aktivitas diuretik infusa simplisia kayu secang dapat dilihat pada Gambar 2.

Hasil uji normalitas Shapiro-Wilk dan uji homogenitas Levene menunjukkan bahwa

data volume total urine tikus putih yang diperoleh berdistribusi normal dan bervariansi

homogen. Hasil uji parametrik analisis variansi (ANAVA) 1 faktor (P < 0,05) menunjukkan

adanya pengaruh pemberian infusa simplisia kayu secang terhadap peningkatan volume total

urine tikus. Hasil uji perbandingan berganda beda nyata terkecil (BNT) (α = 0,05)

menunjukkan perbedaan nyata antara KKN dengan KKP, KE1, KE2, dan KE3; serta KKP

dengan KE1 dan KE3. Perbedaan tidak nyata terdapat antara KKP dengan KE2.

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

3.50

1 2 3 4 5

Rer

ata

volu

me

urin

e (m

l)

Kelompok perlakuan

KKN KKP KE1 KE2 KE3

a

b

c

b

c

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 13: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Tabel 1. Volume total urin (ml) tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley

selama 6 jam setelah pencekokan

Ulangan KKN KKP KE1 KE2 KE3

1 1,31 2,65 2,22 2,77 2,35 2 1,17 2,95 2,48 3,25 2,17 3 1,15 2,74 2,07 2,35 2,28 4 0,93 2,45 1,85 2,54 2,20 5 1,28 2,58 1,73 2,65 2,04 ∑x 5,84 13,37 10,35 13,56 11,04 𝒙 1,17 2,67 2,07 2,71 2,21

SD 0,15 0,19 0,30 0,34 0,12 Keterangan: KKN = kelompok kontrol negatif (akuabides) KKP = kelompok kontrol positif (larutan Furosemide 3,6 mg/kg bb) KE1 = kelompok perlakuan 1 (infusa kayu secang 250 mg/kg bb) KE2 = kelompok perlakuan 2 (infusa kayu secang 500 mg/kg bb) KE3 = kelompok perlakuan 3 (infusa kayu secang 1.000 mg/kg bb) ∑x = jumlah volume urine 𝑥 = rerata volume urine SD = standar deviasi

Keterangan: KKN = kelompok kontrol negatif (akuabides) KKP = kelompok kontrol positif (larutan Furosemide 3,6 mg/kg bb) KE1 = kelompok perlakuan 1 (infusa kayu secang 250 mg/kg bb) KE2 = kelompok perlakuan 2 (infusa kayu secang 500 mg/kg bb) KE3 = kelompok perlakuan 3 (infusa kayu secang 1.000 mg/kg bb) Huruf menunjukkan perbedaan nyata pasangan kelompok perlakuan Garis (bar) menunjukkan standar deviasi

Gambar 2. Diagram batang aktivitas diuretik (%) larutan uji pada tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley selama 6 jam setelah pencekokan

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

140.00

160.00

1 2 3 4 5

Akt

ivita

s diu

retik

(%)

Kelompok perlakuan KKN KKP KE1 KE2 KE3

a

b

c

b

c

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 14: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Pembahasan Uji analisis variansi (ANAVA) 1 faktor (P < 0,05) menunjukkan adanya perbedaan

rata-rata volume total urin antar kelompok perlakuan. Dengan demikian, hipotesis yang

menyatakan bahwa pemberian infusa kayu secang dosis 250 mg/kg bb; 500 mg/kg bb; dan

1.000 mg/kg bb berpengaruh terhadap peningkatan volume urine tikus putih jantan galur

Sprague-Dawley, dapat diterima. Hasil tersebut dapat dilihat pada rerata volume total urine

tikus putih kelompok eksperimen (KE1, KE2, dan KE3) yang dicekok dengan infusa kayu

secang lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif (KKN) yang dicekok

dengan akuabides. Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa infusa kayu secang yang

diberikan memiliki aktivitas diuretik. Hal tersebut sesuai dengan Suryawati dan Santoso yang

mengatakan suatu zat memiliki aktivitas diuretik apabila terjadi peningkatan volume urine

pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok kontrol (Suryawati & Santoso

1993: 167).

Rerata volume total urine paling besar dimiliki oleh kelompok eksperimen 2 (KE2)

yaitu 2,71+0,34 ml, dengan dosis infusa kayu secang sebesar 500 mg/kg berat badan tikus

putih. Hasil uji perbandingan berganda beda nyata terkecil (LSD) menunjukkan bahwa KE2

tidak berbeda nyata dengan KKP yang memiliki rerata volume total urine sebesar 2,67+0,19

ml. Dengan demikian, hipotesis yang menyatakan bahwa pemberian infusa kayu secang dosis

500 mg/kg bb sebagai dosis dengan aktivitas diuretik paling tinggi, dapat diterima.

Suatu bahan uji dikatakan memiliki aktivitas diuretik lemah apabila nilai

penghitungan berada dalam kisaran 50--80%, diuretik sedang 80--100%, dan diuretik kuat

lebih dari 100% (Suryawati & Santoso 1993: 60). Hasil yang diperoleh juga menunjukkan

rerata aktivitas diuretik dari kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Rerata aktivitas

diuretik paling tinggi dimiliki oleh kelompok kontrol positif (KKP) yaitu sebesar 125,53%

kemudian, disusul oleh kelompok eksperimen 2 (KE2) dengan besar 122,22% dan kelompok

eksperimen 3 (KE3) dengan besar 101,32%. Ketiga kelompok tersebut dikatakan memiliki

aktivitas diuretik kuat, sedangkan rerata aktivitas diuretik pada KKN (54,87%) dan KE1

(94,74%) menunjukkan aktivitas diuretik sedang.

Dearing dkk. (2001) mengatakan bahwa golongan senyawa metabolit sekunder

tumbuhan yang dapat berperan menimbulkan efek diuretik ialah terpen, fenol, dan alkaloid

(Dearing dkk. 2001: 894; Gupta & Arya 2011: 618). Secang memiliki ketiga senyawa

metabolit sekunder tersebut (Widowati 2011: 27). Berdasarkan penelitian yang telah

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 15: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

dilakukan, diduga secang memiliki kerja diuretik serupa dengan diuretik hemat kalium dan

diuretik lengkung.

Diuretik hemat kalium, seperti amiloride dan triamterene, bekerja sebagai penghalang

aliran ion Na+ melalui kanal ion pada lumen tubulus kontortus distal dan tubulus kolektivus

ginjal. Hal tersebut turut mengurangi aktivitas pompa Na+/K+-ATPase pada membran

basolateral sel tubulus, sehingga tidak terjadi reabsorpsi ion Na+ ke dalam tubuh. Sementara

itu, ion K+ tidak akan disekresikan ke dalam lumen tubulus (Guyton & Hall 2006: 404).

Penghambatan reabsorpsi ion Na+ dan sekresi ion K+ akan menyebabkan penumpukan ion

Na+ pada lumen tubulus. Hal tersebut meningkatkan tekanan osmotik dan laju masuknya air

pada lumen tubulus, sehingga terjadi peningkatan volume air. Peningkatan volume air akan

turut meningkatkan volume urine dan disebut sebagai diuresis (Du 2006: 11--12; Zeggwagh

dkk. 2007: 144). Mekanisme kerja diuretik hemat kalium dapat dilihat pada gambar 4.2(1).

Salah satu senyawa aktif pada tanaman secang yang merupakan senyawa fenol adalah

Brazilin (Nirmal dkk. 2014: 196). Brazilin merupakan senyawa aktif terbesar yang terdapat

pada tanaman secang. Dalam golongan fenol, brazilin termasuk sebagai senyawa

homoisoflavonoid, yang merupakan subgrup dari flavonoid (Sinsawasdi 2012: 73).

Batchelder (1995) mengatakan bahwa flavonoid merupakan salah satu senyawa yang dapat

menyebabkan diuresis (Batchelder 1995: 4). Vanamala dkk. (2012) juga mencatat beberapa

jenis tanaman yang memiliki aktivitas diuretik dengan senyawa aktif terbesar berupa

flavonoid (Vanamala dkk. 2012: 29--30). Gasparotto dkk., pada tahun 2011, meneliti

aktivitas diuretik isoquercetin, salah satu senyawa golongan flavonoid dari tanaman

Tropaeolum majus, yang diberikan pada tikus putih. Hasil penelitian menunjukkan adanya

peningkatan volume urine serta kadar natrium dalam urine, namun dengan kadar kalium yang

lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol dengan pemberian hidroklorotiazid. Hal

tersebut menunjukkan isoquercetin bekerja dengan menghambat reabsorpsi ion Na+ dari

lumen, yang diikuti oleh penghambatan sekresi ion K+ ke dalam lumen. Dengan demikian,

Gasparotto dkk. menyimpulkan isoquercetin memiliki mekanisme kerja diuresis yang sama

dengan diuretik hemat kalium (Gasparotto dkk. 2011: 214). Berdasarkan hal-hal tersebut,

brazilin dari tanaman secang diduga bekerja sebagai penghalang aliran ion Na+ melalui kanal

ion pada lumen tubulus kontortus distal dan tubulus kolektivus ginjal.

Senyawa metabolit sekunder pada kayu secang yang juga diduga memiliki aktivitas

diuretik serupa dengan brazilin ialah alkaloid. Alkaloid banyak terkandung pada kayu secang

(Jansen & Cardon 2005: 51). Salah satu tanaman dari suku Leguminoceae yang memiliki

aktivitas diuretik karena senyawa alkaloidnya dan telah digunakan sebagai obat diuretik, ialah

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 16: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Cystisus scoparius. Sparteine merupakan senyawa alkaloid terbesar pada tanaman tersebut.

Mekanisme kerja sparteine sama dengan obat diuretik hemat kalium, yaitu dengan

menghambat aliran ion Na+ melalui kanal ion, sehingga ion Na+ tidak dapat melintasi

membran untuk direabsorpsi ke dalam tubuh. Hal tersebut meningkatkan tekanan osmotik

dan laju masuknya air pada lumen tubulus, sehingga terjadi peningkatan volume air dan urine

(Roberts & Wink 1998: 453). Dengan demikian, alkaloid pada kayu secang juga diduga

bekerja dengan mekanisme yang sama.

Furosemide merupakan salah satu jenis obat diuretik dari golongan diuretik lengkung

(loop diuretic). Obat tersebut digunakan sebagai kontrol positif karena telah umum

digunakan dalam pengobatan dengan gejala edema akibat gagal jantung kongestif, sirosis hati,

dan sindrom nefrotis (Ellison 2013: 1368). Selain itu, furosemide dikenal sebagai high

ceiling diuretic, yaitu obat dengan aktivitas diuretik kuat (Dearing dkk. 2001: 891).

Furosemide meningkatkan ekskresi ion Na+, K+, dan Cl-, dengan menghambat sistem

kotranspor Na+/K+/2Cl- pada lengkung Henle. Mekanisme tersebut menyebabkan ion-ion

yang berada di dalam lumen tubulus tidak dapat direabsorpsi kembali ke tubuh. Hal tersebut

kemudian diikuti dengan peningkatan ekskresi air, karena tekanan osmotik tubulus yang

meningkat (Guyton & Hall 2006: 510). Furosemide juga bekerja dengan menghambat kerja

pompa ion Na+/K+-ATPase pada membran basolateral sel tubulus, sehingga ion Na+ tidak

dapat direabsorpsi oleh tubuh (Proverbio dkk. 1990: 279). Penggunaan furosemide yang

terus-menerus dapat menimbulkan alergi kulit, radang ginjal, dan ototoksisitas. Bahaya

utama dari furosemide ialah terganggunya keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh (Brater

1998: 393). Mekanisme kerja furosemide dapat dilihat pada Gambar 4.2(2).

Salah satu senyawa terpen yang terdapat pada kayu secang ialah saponin (Safitri 2002:

18; Sarumathy dkk. 2011: 36). Penelitian yang telah dilakukan pada beberapa tanaman obat

oleh Lacaille-Dubois & Wagener (1996), Bruneton (1999), dan Haloui dkk. (2000)

menunjukkan bahwa saponin memiliki aktivitas diuretik (lihat Diniz dkk. 2009: 278). De

Souza dkk. (2004) melakukan penelitian terhadap penghambatan pompa ion Na+/K+ dengan

induksi oleh saponin steroid yang diisolasi dari akar tanaman pacing (Costus spicatus). Hasil

yang didapatkan menunjukkan bahwa saponin yang mampu untuk menghambat peran enzim

Na+/K+-ATPase dalam melakukan transpor aktif ion Na+ pada membran basolateral sel

tubulus ginjal. Hal tersebut mengakibatkan ion Na+ tidak dapat direabsorpsi, sehingga terjadi

peningkatan tekanan osmotik pada lumen tubulus, yang mengakibatkan peningkatan volume

urine (De Souza dkk. 2004: 435). Mekanisme saponin dalam menghambat pompa ion

Na+/K+-ATPase belum diketahui secara jelas, namun Mahmmoud (2005) pernah meneliti

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 17: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

mekanisme penghambatan pompa ion Na+/K+-ATPase yang dilakukan oleh kurkumin, suatu

senyawa fenol yang menghasilkan diuresis (Mahmmoud 2005: 244).

Pompa natrium kalium adenosin trifosfatase (Na+/K+-ATPase) merupakan pompa

yang terletak pada membran basolateral epitel sepanjang tubulus ginjal. Pompa tersebut

berfungsi untuk menjaga homeostasis elektrolit agar kadar natrium dalam sel tetap rendah

(Rhoades & Tanner 1995: 435). Kerja dari pompa tersebut akan menimbulkan suatu gradien

konsentrasi yang menyebabkan masuknya ion Na+ dari lumen tubulus ke dalam sel epitel

tubulus dan sekresi ion K+ menuju lumen ginjal (Fox 2003: 532).

Transpor ion Na+ dan K+ berlangsung melalui suatu proses yang melibatkan dua

konformasi enzim yaitu E1 yang memiliki afinitas tinggi terhadap ion Na+ dan E2 yang

memiliki afinitas tinggi terhadap ion K+. Proses transpor ion Na+ dari dalam sel menuju

cairan ekstraseluler dimulai dengan pengikatan ion Na+ pada situs aktif enzim E1. Satu gugus

fosfat (P) yang dihasilkan dari hidrolisis ATP (adenosin trifosfat) menjadi ADP (adenosin

difosfat) akan berfosforilasi dengan E1 menjadi fosfoenzim E1P. Fosfoenzim E1P kemudian

akan mengubah konformasinya menjadi E2P yang memiliki afinitas tinggi terhadap ion K+.

Akibat peristiwa tersebut, E2P akan melepaskan ion Na+ ke luar sel dan mengikat ion K+.

Terkumpulnya ion K+ pada E2P akan menyebabkan enzim terdefosforilasi menjadi E2.

Enzim E2 akan mengalami perubahan konformasi kembali membentuk E1 yang memiliki

afinitas rendah terhadap ion K+, sehingga terjadi pelepasan ion K+ ke dalam sel. Enzim E1

selanjutnya akan kembali digunakan untuk siklus berikutnya (Alberts 2002: 625). Mekanisme

pompa ion Na+/K+-ATPase dapat dilihat pada gambar 4.2(3).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mahmmoud (2005: 242--244), kurkumin

bekerja dengan cara menghalangi masuknya ion K+ pada situs pengumpulnya di E2P. Hal

tersebut menyebabkan keseimbangan enzim bergeser menuju ke arah pembentukan E1P yang

memiliki afinitas tinggi terhadap ion Na+, sehingga ion Na+ tidak dapat ditranspor keluar sel

dan terjadi penumpukan ion Na+ di dalam sel. Penumpukan tersebut mengakibatkan

penurunan laju reabsorpsi ion Na+ dari lumen tubulus menuju sel epitel tubulus, sehingga

terjadi pula penumpukan ion Na+ di lumen tubulus. Peristiwa tersebut meningkatkan tekanan

osmotik dan laju masuknya air ke dalam lumen tubulus, sehingga terjadi peningkatan volume

air dan urine (Guyton & Hall 2006: 509). Berdasarkan hal-hal tersebut, diduga saponin pada

secang memiliki mekanisme diuretik yang serupa.

Mekanisme aktivitas diuretik fenol, alkaloid, dan terpen pada secang masih berupa

dugaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, untuk mengetahui pengaruh

masing-masing senyawa tersebut terhadap peningkatan volume urine. Selain itu perlu

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 18: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme kerja masing-masing senyawa

tersebut pada sistem tubulus ginjal.

Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk menguji aktivitas diuretik infusa

kayu secang (Caesalpinia sappan L.) terhadap tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur

Sprague-Dawley diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemberian infusa kayu secang (Caesalpinia sappan L.) secara oral dengan dosis 250;

500; dan 1.000 mg/kg berat badan, meningkatkan volume urine tikus putih (Rattus

norvegicus L.) jantan galur Sprague-Dawley.

2. Pemberian infusa kayu secang (Caesalpinia sappan L.) dosis 250 mg/kg berat badan

memiliki aktivitas diuretik sedang (94,74%), serta dosis 500 dan 1000 mg/kg berat

badan memiliki aktivitas diuretik kuat (122,22% dan 101,32%), dengan aktivitas

diuretik tertinggi pada dosis 500 mg/kg berat badan (122,22%).

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan kayu secang

(Caesalpinia sappan L.) yang memiliki aktivitas diuretik.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui mekanisme kerja kandungan

kayu secang (Caesalpinia sappan L.) yang memiliki aktivitas diuretik.

Daftar Referensi Alberts, B., A. Johnson, J. Lewis, M. Raff, K. Roberts & P. Walter. 2002. Molecular biology

of the cell. 4th ed. Garland Science, New York: xxxiv + 1463 hlm.

Alhusin, S. 2002. Aplikasi statistik praktek dengan menggunakan SPSS 10 for windows. J & J

Learning, Yogyakarta: xii + 383 hlm.

Badami, S., S. Moorkoth & B. Suresh. 2004. Caesalpinia sappan: a medicinal and dye

yielding plant. Natural Product Radiance 3(2): 75--82.

BPOM RI (=Badan Pengawas Obat dan Makanan RI). 2011. Acuan sediaan herbal. BPOM

RI, Jakarta: 89 hlm.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 19: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Beak, N.I., S.G. Jeon, E.M. Ahn, J.T. Hahn, J.H. Bahn, J.S. Jang, S.W. Cho, J.K. Park & S.Y.

Choi. 2000. Anticonvulsant compounds from the wood of Caesalpinia sappan L.

Archives of Pharmacal Research 23(4): 344--348.

Batchelder, H.J. 1995. Pharmacognosy. 6 hlm. http://www.biologie.uni-hamburg.de/b-

online/1bc99/poison/pharmacognosy1.html. 14 Mei 2015, pk. 18.29 WIB.

Brater, D.C. 1998. Diuretic therapy. The New England Journal of Medicine 339(6): 387--395.

Conover, M.J. 1980. Practical non-parametric statistics. 2nd ed. John-Wiley & Sons, Inc.,

New York: xiv + 493 hlm.

Choi, S. Y., K.M. Yang, S.D. Jeon, J.H. Kim, L.Y. Khil & T.S. Chang. 1997. Brazilin

modulates immune function mainly by augmenting T cell activity in halothane

administered mice. Planta Medica 63: 405--408.

Das, A.K., F. Ahmed, N.N. Biswas, S. Dev & M.M. Masud. 2005. Diuretic activity of

Acalypha indica. Dhaka University Journal of Pharmaceutical Sciences 4(1): 3 hlm.

De Souza, A.M., L.S. Lara, J.O. Previato, A.G. Lopes, C. Caruso-Neves, B.P. da Silva & J.P.

Parente. 2004. Modulation of sodium pumps by steroidal saponins. Zeitschrift für

Naturforschung 59: 432--436.

Dearing, M.D., A.M. Magione & W.H. Karasov. 2001. Plant secondary compounds as

diuretics: an overlooked consequence. American Zoology 41: 890--901.

Diniz, L.R.L., P.C. Santana, A.P.A.F. Ribeiro, V.G. Portella, L.F. Pacheco, N.B. Meyer, I.C.

Cesar, G.P. Cosenza, M.G.L Brandao & M.A.R. Vieira. 2009. Effect of triterpene

saponins from roots of Ampelozizyphus amazonicus Ducke on diuresis in rats. Journal

of Ethnopharmacology 123: 275--279.

Du, X. 2006. Diuretics. 16 hlm.

http://www.uic.edu/classes/pcol/pcol425/restricted/Du/diuretics.pdf, 23 Maret 2015,

pk. 14.21 WIB.

Duke, J.A. 1998. Plant with a diuretic activity. 1 hlm. http://www.ars-grin.gov/cgi-

bin/duke/activity.pl, 18 Februari 2015, pukul 18.27 WIB.

Ellison, D.H. 2013. Physiology and pathophysioloy of diuretic action. 5th ed. Dalam: Alpern,

R.J., M.J. Caplan & O.W. Moe. Seldin and Giebisch’s the kidney: phsiology and

pathophysiology. Academic Press, San Diego: xix + 3215 hlm.

Fox, S.I. 2003. Human physiology. 8th ed. McGraw-Hill Higher Education, New York: xxiv +

683 + A-4 + G-17 + C-1 + I-19.

Fu, L.C., X.A. Huang, Z.Y. Lai, Y.J. Hu, H.J. Liu & X.L. Cai. 2008. A new 3-benzylchroman

derivative from sappan lignum (Caesalpinia sappan). Molecules 13: 1923--1930.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 20: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Gasparotto, A., Jr., F.M. Gasparotto, M.A. Boffo, E.L.B. Lourenço, M.E.A. Stefanello, M.J.

Salvador, J.E. da Silva-Santos, M.C.A Marques & C.A.L. Kassuya. 2011. Diuretic and

potassium-sparing effect of isoquercitrin—An active flavonoid of Tropaeolum majus

L. Journal of Ethnopharmacology 134(2): 210--215.

Gupta, V.K. & V. Arya. 2011. A review on potential diuretics of Indian medicinal plants.

Journal of Chemical and Pharmaceutical Research 3(1): 613--620.

Guyton, A.C. & J.E. Hall. 2006. Textbook of medical physiology. 11th ed. Elsevier Saunders,

Philadelphia: xxxv + 1106 hlm + I-49.

Hart, S.A. 2007. Activity on urineary tract. Dalam: Vogel, H.G. Drug discovery and

evaluation: pharmacological assays. 3rd ed. Springer, Berlin: lvii + 2038 hlm + I-32.

Hu, J., X. Yan, W. Wang, H. Wu, L. Hua & L. Du. 2008. Antioxidant activity in vitro of the

three constituents from Caesalpinia sappan L. Tsinghua Science and Technology 13:

474–479.

Jansen, P.C.M. & D. Cardon. 2005. Plant resources of tropical Africa 3: dye and tannins.

Prota, Wageningen: 216 hlm.

Katno. 2007. Tingkat manfaat keamanan dan efektifitas tanaman obat dan obat tradisional.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: viii + 58 hlm.

Katzung, B.G. 2001. Basic and clinical pharmacology. 8th ed. Penerbit Buku Kedokteran

EGC, Jakarta: xvi + 1216 hlm.

Kee, J.L. & E.R. Hayes. 1996. Farmakologi: pendekatan proses keperawatan. Ed. ke-1. Terj.

dari Pharmacology: a nursing process approach, oleh P. Anugerah. Penerbit Buku

Kedokteran EGC, Jakarta: xxiv + 802 hlm.

Kimball, J.W. 1983. Biologi. Ed. ke-5. Terj. dari Biology, oleh S. Soemarmi dan N. Sugiri.

Erlangga, Jakarta: xii + 755 hlm.

Krinkle, G.J. 2000. The laboratory rat. Academic Press, London: xv + 628 hlm.

Lemmens, R.H.M.J. & N. Wulijarni-Soetjipto. 1992. Plant recources of South East Asia no. 3

dye and tannin producing plants. Prosea, Wageningen: 195 hlm.

Lim, M.Y., J.H. Jeon, E.Y. Jeong, C.H. Lee & H.S. Lee. 2007. Antimicrobial activity of 5-

hydroxy-1,4-naphthoquinone isolated from Caesalpinia sappan toward intestinal

bacteria. Food Chemistry 100: 1254--1258.

Lioe, H.N., D.R. Adawiyah & R. Anggraeni. 2012. Isolation and characterization of the major

natural dyestuff component of brazilwood (Caesalpinia sappan L.). International

Food Research Journal 19(2): 537--542.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 21: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Listyaningdyah, M. 2006. Studi isolasi dan penentuan struktur molekul serta uji aktifitas

antioksidan senyawa kimia hati kayu tumbuhan secang. Skripsi S1 Departemen Kimia

FMIPA-UI, Depok: x + 56 hlm.

Magdalena, L. 1998. Efek diuretik ekstrak buah Ananas comosus L. terhadap tikus putih

(Rattus norvegicus L.) jantan galur Wistar. Skripsi S1 Departemen Biologi FMIPA-

UI, Depok: xi + 57 hlm.

Mahmmoud, Y.A. 2005. Curcumin modulation of Na,K-ATPase: Phosphoenzyme

accumulation, decreased K+ occlusion; and inhibtion of hydrolytic activity. British

Journal of Pharmacology. 145: 236--245.

Mahmood, M.K., S.C. Bachar, M.S. Islam & M.S. Ali. 2004. Analgesic and diuretic activity

of Curcuma xanthorrhiza. Dhaka University Journal of Pharmaceutical Sciences 3(1--

2): 6 hlm.

Mamun, M.M., M.M. Billa, M.A. Ashek, M.M. Ahasan, M.J. Hossain & T. Sultana. 2003.

Evaluation of diuretic activity of Ipomoea aquatica (kalmisak) in mice model study.

Journal of Medical Science 3(5--6): 395--400.

Marieb, E.N. & K. Hoehn. 2013. Human anatomy & physiology. 9th ed. Pearson, Glenview:

xxiv + 1107 hlm + A-34 + G-23 + C-3 + I-60.

Masitoh, Siti. 2011. Penapisan fitokimia ekstrak etanol beberapa tanaman obat Indonesia serta

uji aktivitas anti diabetes melitus melalui penghambatan enzim α-glukosidase. Skripsi

S1 Departemen Farmasi FMIPA-UI, Depok: xiv + 93 hlm.

Moon, C. K., K.S. Park, S.G. Kim, H.S. Won & J.H. Chung. 1992. Brazilin protects cultured

rat hepatocytes from trichlorobromethane-induced toxicity. Drug and Chemical

Toxicology 15: 81--91.

Nafrialdi. 2009. Diuretik dan antidiuretik. Dalam: Gunawan, S.G. Farmakologi dan terapi. Ed

ke-5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK-UI, Jakarta: xvii + 926 hlm.

Nirmal, N.P., R.G.S.V. Prasad & S. Keokitichai. 2014. Wound healing activity of

standardized brailin rich extract from Caesalpinia sappan heartwood. Journal of

Chemical and Pharmaceutical Research 6(10): 195--201.

Nur, R.M. 2000. Efek diuretik air perasan umbi bangkuang (Pachyrrhizus erosus Urb.)

terhadap tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague-Dawley. Skripsi S1

Departemen Biologi FMIPA-UI, Depok: vii + 62 hlm.

Panjaitan, R.G.P. 2000. Potensi sari buah belimbing manis (Averrhoa carambola L.) sebagai

antihipertensi dan diuretik. Tesis S2 Departemen Biologi FMIPA-IPB, Bogor: xi + 47

hlm.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 22: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Paramitasari, R. 2006. Studi isolasi dan identifikasi molekul senyawa kimia dalam fraksi etil

asetat dari kulit batang secang (Caesalpinia sappan L.). Skripsi S1 Departemen Kimia

FMIPA-UI, Depok: ix + 55 hlm.

Pawar, C.R., A.D. Landge & S.J. Surana. 2008. Phytochemical and pharmacological aspects

of Caesalpinia sappan. Journal of Pharmacy Research 1(2): 131--138.

Proverbio, F., R. Marin & T. Proverbio. 1990. The ouabain-insensitive sodium pump.

Comparative Biochemistry and Physiology 99A(3): 279--283.

Rhoades, R.A. & G.A. Tanner. 1995. Medical physiology. 1st ed. Little Brown and Company,

Boston: x + 839 hlm.

Riandisty, Y. 2007. Uji efek diuretik ekstrak rimpang temu putih (Curcuma zedoaria (Berg.)

Rosc.) terhadap mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY. Skripsi S1 Departemen

Biologi FMIPA-UI, Depok: ix + 90 hlm.

Roberts, M.F. & M. Wink. 1998. Alkaloids: biochemistry, ecology, and medicinal aplications.

Plenum Press, New York: xix + 493 hlm.

Roopesh, C., K.R. Salomi, S. Nagarjuna & Y.P. Reddy. 2011. Diuretic activity of methanoic

and ethanolic extracts of Centella asiatica leaves in rats. International Research

Journal of Pharmacy 2(11): 163--165.

Safitri, R. 2002. Karakterisasi sifat antioksidan in vitro beberapa senyawa yang terkandung

dalam tumbuhan secang (Caesalpinia sappan L.). Disertasi Program Pascasarjana

Biologi FMIPA-Universitas Padjajaran, Bandung: 60 hlm.

Santoso, S. 2000. Buku latihan SPSS statistik parametrik. PT. Elex Media Komputindo,

Jakarta: x + 390 hlm.

Santoso, S. 2001. SPSS versi 10: mengolah data statistik secara profesional. PT. Elex Media

Komputindo, Jakarta: ix + 573 hlm.

Sarumathy, K., M.S.D. Rajan, T. Vijay & A. Dharani. 2011. In vitro study on antioxidant

activity and phytocemical analysis of Caesalpinia sappan. International Journal of

Institutional Pharmacy and Life Sciences 1(1): 31--39.

Scanlon, V.C. & T. Sanders. 2007. Essential of anatomy and physiology. 5th ed. F.A. Davis

Company, Philadelphia: xvi + 546 hlm + G-42 + I-14.

Septarini, M. 2007. Uji efek diuretik ekstrak rimpang temu mangga (Curcuma mangga Val. &

Van Zijp.) terhadap mencit (Mus musculus L.) jantan galur DDY. Skripsi S1

Departemen Biologi FMIPA-UI, Depok: ix + 61 hlm.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 23: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Shen, J., H. Zhang, H. Lin, H. Su, D. Xing & L. Du. 2007. Brazilein protects the brain against

focal cerebral ischemia reperfusion injury correlating to inflammatory response

suppression. European Journal of Pharmacology 558: 88--95.

Sinsawasdi, V.K. 2012. Sappanwood water extract: evaluation of color properties, functional

properties, and toxicity. Disertasi S3 Graduate School of The University of Florida,

Gainesville: 108 hlm.

Sireeratawong, S., T. Singhalak, R. Temsiririrkkul, N. Ruangwises & N. Lerdvuthisopon.

2010. Toxicity evaluation of sappan wood extract in rats. Journal of the Medical

Association of Thailand 93(7): S50--S57.

Sophia, R.A. 2003. Uji efek diuretik suspensi simplisia daun sambiloto (Andrographis

paniculata Nees.) terhadap tikus putih (Rattus norvegicus L.) jantan galur Sprague-

Dawley. Skripsi S1 Departemen Biologi FMIPA-UI, Depok: x + 47 hlm.

Syamsuhidayat, S.S. & J.R. Hutapea. 1991. Inventaris tanaman obat Indonesia (I).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: iv + 616 hlm.

Syamsuhidayat, S.S. & J.R. Hutapea. 1994. Inventaris tanaman obat Indonesia (III).

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: v + 332 hlm.

Smith, J.B. & S. Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, pembiakan, dan penggunaan hewan

percobaan di daerah tropis. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta: xvi + 276 hlm.

Sudjana. 1992. Metode statistika. Ed. ke-5. Penerbit Tarsito, Bandung: x + 508 hlm.

Sumantera, I.W. 1998. Pemanfaatan secang (Caesalpinia sappan L.) dan pelestariannya di

Bali. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 4(3): 18--23.

Suryawati, S. & B. Santoso. 1993. Penapisan farmakologi, pengujian fitokima dan pengujian

klinik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta: xvi + 240 hlm.

Syaifuddin. 2002. Fungsi sistem tubuh manusia. Widya Medika, Jakarta: xii + 298 hlm.

Vanamala, U., A. Elumalai, M.C. Eswaraiah & A. Shaik. 2012. An update review on diuretic

plants-2012. International Journal of Pharmaceutical & Biological Archives 3(1): 29--

31.

Wang, Y.Z., S.Q. Sun & Y.B. Zhou. 2011. Extract of the dried heartwood of Caesalpinia

sappan L. attenuates collagen-induced arthritis. Journal of Ethnopharmacology

136(1): 271--278.

Widowati, W. 2011. Uji fitokimia dan potensi antioksidan ekstrak etanol kayu secang

(Caesalpinia sappan L.). Jurnal Kedokteran Maranatha 11(1): 23--31.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015

Page 24: Uji Aktivitas Diuretik Infusa Kayu Secang (Caesalpinia

Ye, M., W. Xie, F. Lei, Z. Meng, Y. Zhao, H. Su & L. Du. 2006. Brazilein, an important

immunosuppressive component from Caesalpinia sappan L. International

Immunopharmacology 6: 426–432.

Zeggwagh, N.A., J.B. Michel & M. Eddouks. 2007. Acute hypotensive and diuretic activities

of Chamaemelum nobile aqueous extract in normal rats. American Journal of

Pharmacology and Toxicology 2(3): 140--145.

Uji aktivitas..., Indra Prawira, FMIPA UI, 2015