u dont need to know

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/19/2019 u dont need to know

    1/1937

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan KelemahanPeradilan Non-Negara

    Penelitian yang dipaparkan sejauh ini menunjukkan bahwa ada kekuatan dan kelemahan yang jelas pada praktikperadilan non-negara saat ini di Indonesia. Beberapa kasus menunjukkan peradilan informal sering gagal untuk

    menyatu dengan standar dasar konstitusional. Para perempuan kurang terwakili, kaum minoritas merasakan

    didiskriminasi dan norma-norma tidak selalu jelas. Beberapa sanksi sifatnya sangat keras dan pelaksanaannya

    menimbulkan masalah .

    Bahkan, masyarakat desa tidak hanya lebih sering menggunakan aktor informal daripada yang formal, tapi

    mereka juga menyampaikan tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Sebagaimana ditunjukkan di Gambar 6

    dihalaman bawah, survei GDS menunjukkan bahwa 69 persen mereka puas dengan para pelaku peradilan

    informal dibandingkan dengan 58 persen aktor peradilan formal.49

    Untuk mengembangkan sebuah strategi yang melibatkan peradilan non-negara  membutuhkan pemahaman

    terhadap kekuatan dan kelemahannya. Bagian III ini menganalisa dan membahas hal tersebut secara terperinci.

    Bagian ini juga disertai dengan serangkaian “contoh perubahan” dari kondisi lapangan dan negara-negaratetangga. Langkah-langkah kecil ini memberikan beberapa pandangan yang sederhana menjadi langkah-

    langkah yang berbeda tentang bagaimana kelemahan dapat diatasi, dan kekuatan dapat dipertahankan.

    49 Yang dianggap formal adalah polisi, pengacara dan jaksa. Sisanya dianggap informal. Asia Foundation (2001), diatas n.3 mencatat

    bahwa 86 persen orang menunjukkan kepuasannya terhadap peradilan non-negara.

    Foto : Taufik Rin

  • 8/19/2019 u dont need to know

    2/1938

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    A. Kekuatan: Mengapa Orang-orang Lebih Memilih

    Peradilan Non-negara?

    ‘Pilihan masyarakat terhadap mekanisme penyelesaian sengketa informal bukan hanya disebabkan mekanisme ini

    murah, cepat dan mudah. Tetapi aspek yang lebih penting adalah kepatuhan warga terhadap suatu pendekatan

     yang memberikan rasa tertib dan tenteram dalam diri dan komunitasnya’ 

     Tokoh Agama dari Ambon, Provinsi Maluku

    Temuan utama

     • Mudah diakses, cepat dan murah. Peradilan non-negara lebih dapat diakses, cepat dan lebih murah dibandingkan

    pengadilan. Ini benar-benar berjalan baik untuk kasus-kasus ringan.

     • Menjaga keharmonisan sosial. Menjaga kerukunan sosial sangat dihargai dalam kehidupan pedesaan, dan para

    pelaku informal mengutamakan pemulihan hubungan sosial ketika terjadi masalah.

     • Fleksibel. Struktur-struktur dan norma-norma bersifat longgar, dalam arti untuk menyesuaikan dengan perubahan

    sosial.

     • Berdasarkan otoritas dan legitimasi lokal. Masyarakat lebih memilih peradilan non-negara utamanya karena

    otoritas para pelakunya di lingkungan pedesaan untuk memecahkan masalah dan melaksanakan putusan.

    Mudah Diakses, Cepat dan Murah

    Beberapa kekuatan dari peradilan informal sederhana dan ternyata. Kemudahan diakses secara nyata adalah salah

    satu keuntungan yang jelas. Ketua rukun warga (ketua RT/RW), kepala desa, pemimpin adat dan tokoh agama

    tinggal di desa, dikenal oleh masyarakat dan gampang ditemui. Sebaliknya, polisi dan pengadilan seringkali

    berada di ibu kota kabupaten/kota yang terletak jauh.

    Kekuatan berikutnya adalah kecepatan. Terutama ketika terkait dengan hak-hak ekonomi, proses penyelesaian

    yang lama dapat mempengaruhi kehidupan kaum miskin. Pada saat terjadi kekerasan akan muncul – seperti

    pada beberapa kasus di Jawa Timur – tindakan yang cepat sangat diperlukan. Dalam kasus yang berhasil

    diselesaikan, prosesnya biasanya berjalan dengan cepat. Kasus pembunuhan di Palangkaraya diselesaikan

    dalam tiga minggu, dan perkelahian di Kuala Kapuas dalam dua minggu. Kebanyakan kasus di Jawa Timur dan

    Maluku juga ditangani dalam dua-tiga minggu atau kurang.

    Sebaliknya, rata-rata waktu yang diperlukan untuk menunggu antara proses pengarsipan dan pembacaan

    kasus berkisar antara 4-6 bulan di Pengadilan Negeri, 12 bulan di Pengadilan Tinggi dan 2-3 tahun di Mahkamah

    Agung.50  Data terbaru menunjukan rata-rata waktu yang diperlukan untuk penyelesaian kasus hukum dari

    kejadian awal sampai kasasi yaitu 7-12 tahun.51 

    50 Bappenas/World Bank (1996) Law Reform in Indonesia, Cyber Consult: Jakarta, hal. 130.

    51 Mahkamah Agung RI (2003), Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung: Jakarta, hal 161.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    3/1939

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Biaya merupakan pertimbangan penting lainnya. Sengketa kecil pada umumnya diselesaikan tanpa biaya bagi

    pihak yang bertikai.52  Pada sebagian besar kasus yang diteliti tidak ada biaya untuk proses pengarsipan atau

    pembacaan kasus (sidang).53

    Gambar 6:  Kepuasan dengan pelaku formal dan informal

    0 10 20 30 40 50 60 70 80

    LSM

    Pemerintah Kabupaten

    Pemerintah Kecamatan

    Polisi

    Jaksa

    Pengacara

    Pemerintah Desa

    Keluarga/Teman

    Paralegal

     Tokoh Adat/ Masyarakat

    Formal

    Informal

    Sumber: Survei GDS

    Data pada Gambar 6, menggambarkan para responden menyatakan kepuasannya yang sangat besar terhadap

    pihak-pihak yang sudah mereka kenal – tokoh masyarakat dan tokoh adat, pendamping hukum (paralegal),

    anggota keluarga dan teman, dan pemerintah desa. Temuan ini menunjukkan dua implikasi. Pertama, strategi

    untuk memperbaiki penyelesaian sengketa sebaiknya berfokus pada tingkat desa dan komunitas, tidak hanya

    institusi-institusi negara. Kedua, hal itu juga mendukung usaha untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

    dengan para pelaku dari tingkat kecamatan dan kabupaten (LSM, para jaksa, pejabat pemerintah, dll), dapat

    membantu meningkatkan tingkat kepuasaan dan kepercayaan pada mereka juga.

    Kasus Ringan Diselesaikan Secara Cepat dan Damai

    Sebagian besar sengketa yang muncul di tingkat desa biasanya ringan – perkelahian antar tetangga atau anak-

    anak muda, pencurian kecil dan hujatan atau fitnah. Dimana resikonya kecil, mekanisme peradilan non-negara  

    biasanya berjalan efektif. Karena kasus-kasus semacam ini adalah yang paling umum terjadi, kepuasan yang

    tinggi sangat diharapkan.

    52 Sehubungan dengan keuntungan ekonomis atas peradilan non-negara, penelitian di Colombia menyimpulkan bahwa dengan

    menggunakan sistem peradilan non-negara untuk menyelesaikan sengketa tanah dan warisan, pendapatan yang didapatkan lebih besar

    dari pada menggunakan pengadilan (formal): lihat Edgardo Buscaglia (2001) ‘Justice and the Poor. Formal vs. Informal Dispute Resolution

    Mechanisms’ Makalah dipaparkan di Empowerment, Opportunity and Security through Law and Justice Conference , St. Petersburg, July

    2001, hal. 9 & 10.

    53 Penyelesaian sengketa adat  di Kalimantan Tengah adalah pengecualian. Biaya pencatatan kasus dalam kasus pekelahian pasar adalah

    Rp 600,000. Dalam kasus pembunuhan (tidak terencana), Dewan Adat membebankan biaya Rp 6 juta.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    4/190

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Studi kasus 10 :  Perkelahian (baku hantam) diselesaikan dengan cepat54

    Pak Nuri adalah seorang petani dari sebuah desa di provinsi Lampung. Suatu hari, anaknya terlibat perkelahian dengan

    teman sekolahnya. Ayah anak (laki-laki) itu ikut campur dan memukul anak laki-lakinya.

    Bukannya melaporkan kasus tersebut ke polisi, Pak Nuri mendekati Pak Parmin dan Pak Bejo, kepala dusunnya danseorang pendamping hukum (paralegal) dibawah program yang dijalankan oleh LSM bantuan hukum setempat. Seperti

    yang Pak Nuri katakan, mereka dikenal sebagai orang-orang, ’Yang dapat memecahkan masalah.’

    Parmin dan Bejo bersama memanggil pihak-pihak yang bertikai ke rumah Parmin, membicarakan masalah tersebut

    dan mampu memecahkan masalah tersebut dengan cepat dan damai. Pak Nuri berkata blak-blakan bahwa masalah-

    masalah yang dibawa ke polisi tidak akan berhasil diselesaikan dengan baik . ‘Jika dibawa ke polisi,’ kata dia, ‘mereka suka

    memukulmu dan mengurungmu. Tidak ada yang mengontrol.’

    Kewenangan dan Legitimasi Lokal

    Faktor penting dan terkait lainnya adalah kemampuan peradilan non-negara  untuk menjaga keselarasan

    hubungan. Menurut survei Asia Foundation tahun 2001, kebanyakan responden yang memilih peradilaninformal menyatakan bawa motivasi utama mereka adalah harapan mempertahankan kerukunan bersama.55

    Para pelaku peradilan informal mampu mencapai hal ini dengan kearifan kewenangan lokal mereka. Warga

    mencari bantuan dari kepala desa, pemimpin keagamaan dan tradisional karena mereka memiliki legitimasi

    sosial di lingkungan desa. Mereka bukanlah pelaku yang netral dan independen (sebagaimana yang diharapkan

    dari para hakim). Mereka secara langsung terlibat dengan perkembangan desa dari hari ke hari dan terbiasa

    dengan latar belakang sosial dan politik sengketa. Membedakan antara fungsi penyelesaian sengketa dan fungsi

    pemerintahan desa, hubungan politik dan sosial merupakan suatu usaha yang lebih teoritis. Usaha seperti ini

     jarang diikuti di tingkat lokal.

    Ini terbukti dalam kasus-kasus tanah di desa Panangguan dan Souhoku yang digambarkan diatas (Studi kasus

    2 & 3). Dalam kejadian-kejadian ini, kepala desa dan Raja mampu mencapai sebuah jalan keluar yang disetujui

    bersama. Bukan menentukan kebenaran yang obyektif atau merujuk kepada norma hukum apapun, tapihasilnya diterima oleh pihak-pihak yang bertikai. Kewenangan satu-satunya kepala desa sudah mencukupi

    untuk menyelesaikan sengketa dan menjamin penyelenggaraannya.

    Mengacu Norma-norma yang Lebih Tinggi

    Di banyak tempat di Indonesia, para pelaku peradilan non-negara  dianggap memiliki kekuatan supernatural –

    faktor ini meningkatkan kapasitas mereka untuk menyelesaikan sengketa lokal dan menjamin pelaksanaannya.

    Banyak masyarakat perdesaan di Maluku, contohnya, percaya melanggar sanksi adat yang berhubungan dengan

    perlindungan lingkungan, dikenal sebagai sasi , dapat menyebabkan sakit atau bahkan kematian. Di Jawa Timur

    dan Lombok, Kyai dan Tuan Guru sering mendapatkan penghargaan kesetiaan yang tinggi dari para pengikutnya,

    karena berdasarkan kemampuan mereka untuk mengacu norma “yang lebih tinggi”. Dalam sebuah kasus di

    Jawa Timur, seorang kyai mampu mencegah gerombolan orang yang ingin membunuh seorang penduduk

    desa yang dituduh melakukan praktik ilmu hitam. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Tokoh masyarakat,Desa Paengaan Daja, Pamekasan, Jawa Timur:

    54 Kasus ini diambil dari catatan lapangan oleh Alpian, Pieter Evers dan Cathy McWilliam dari perjalanan lapangan ke Lampung tahun 2007

    untuk mengevaluasi salah satu program dari Justice for the Poor, Bantuan Hukum Berbasis Masyarakat.

    55 The Asia Foundation (2001), diatas n.3

  • 8/19/2019 u dont need to know

    5/1941

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Hamzah dituduh melakukan praktik santet, dan sebuah rencana dibuat untuk membunuhnya. Akan tetapi, seorang kyai

    mendengar tentang rencana itu, dan berdiri di depan jamaah Jum’at di Mesjid dan bersumpah bahwa Hamzah tidak akan

    melakukan praktik santet lagi.

    Dalam kasus di atas ini, kewenangan dan legitimasi pribadi dari para aktor peradilan non-negara terbukti berperanefektif. Pengadilan resmi dan sistem formal tidak selalu memiliki legitimasi ini. Kasus Tanah Ayu dari Lombok yang

    disebutkan di atas merupakan salah satu dari banyak contoh dimana keputusan pengadilan resmi diabaikan.56 

    Ketika Anggeng (Studi Kasus 8), menolak sanksi adat di pengadilan, Dewan Adat menambah hukumannya.

    Fleksibilitas

    ‘Jika sungai penuh karena hujan, pencucian piring berpindah. Dengan adanya pergantian raja maka adat juga berubah’ 

    Pepatah adat Minangkabau57

    Peradilan non-negara  bersifat longgar (fleksibel). Karena norma, proses dan sanksinya biasanya tidak tertulis,

    para aktor dapat menemukan solusi dan menyediakan pendekatan yang cocok secara sosial, dan dibuat khususuntuk konteks masing-masing kasus.

    Sebagaimana diperlihatkan melalui contoh-contoh perubahan yang dicatat nanti di bagian ini, peradilan

    informal bisa menjadi longgar dan terbuka terhadap perubahan dinamika dan kenyataan sosial. Contoh-contoh

    perubahan tersebut memang sederhana – para perempuan mendapat suaranya di Sumatera Barat; klarifikasi

    atas norma dan proses di Nusa Tenggara Barat; kekuatan kesadaran hukum untuk membuka pilihan. Meskipun

    sederhana, contoh-contoh tersebut memberi kesan adanya potensi untuk menjalankan reformasi di tingkat

    lokal - dan peluang seperti itu saat ini mungkin tidak ada di pengadilan dan institusi keadilan formal lainnya.

    B. Kelemahan: Ketika Mekanisme Peradilan

    Informal Gagal‘Sulit hadapi orang yang kuat, pandai dan kaya,’

    Penduduk desa perempuan, Palangkaraya, Kalimantan Timur.

    Temuan utama

    • Kesewenang-wenangan dan kurangnya pengawasan.  Walaupun otoritas sosial menjadi kekuatan inti atas

    peradilan non-negara, pelaksanaannya yang tidak dikontrol, menjadi kelemahan utama. Kurangnya prosedur dan

    norma yang jelas dan tidak adanya akuntabilitas akan membuat pihak yang lemah dan terpinggirkan kurang dilayani,

    tanpa alternatif lain.

    56 Seorang hakim Pengadilan Negeri di Ambon, menyampaikan kepada tim peneliti setidaknya satu sengketa tanah di wilayah tersebut,

    dimana orang-orang mengabaikan keputusan Mahkamah Agung.

    57 Pepatah yang menyatakan bahwa adat Minangkabau pada dasarnya dinamis. Disebutkan dalam makalah Timothy Lindsey (1998)

    ‘Square Pegs & Round Holes: Fitting Modern Title into Traditional Societies in Indonesia’ 7 Pacific Rim Law and Policy Journal, 699.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    6/192

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

     • Bias terhadap perempuan. Perempuan memiliki modal politik yang terbatas di tingkat desa, sehingga hanya sedikit

    manfaat untuk melindungi kepentingan mereka. Masalah-masalah hukum yang dihadapi perempuan (seperti isu-

    isu hukum keluarga, kekerasan dalam rumah tangga), seringkali tidak ditanggapi secara serius atau diabaikan demi

    menjaga kerukunan komunal.

    • Eksklusivitas Etnis. Terutama sekali untuk sistem adat, banyak institusi-institusi peradilan non-negara didominasi

    oleh kaum elit etnis asli. Hal ini dapat bertentangan dengan penyelesaian efektif untuk sengketa antar etnis.

    • Sengketa antar kelompok (trans-communal).  Mekanisme peradilan non-negara  tidak dapat menunjukkan

    otoritas di luar batas desa. Akibatnya, sengketa antar desa dan yang melibatkan pihak-pihak ketiga yang berkuasa

    akan sulit untuk diselesaikan.

    • Pertentangan antara sistem formal dan informal.  Mekanisme informal hancur ketika bertentangan, daripada

    bekerjasama, dengan sistem formal

    Penelitian ini diluncurkan dengan fokus pada pengalaman dan pandangan kaum perempuan dan kelompok

    minoritas. Hal ini didasari pemikiran bahwa bias gender adalah salah satu penyebab utama kemiskinan, dan

    diskriminasi antara kelompok identitas memicu kekerasan dan ini menjadi inti persoalan konflik sosial yang telah

    melanda Indonesia di jaman pasca Soeharto. Memahami bagaimana peradilan non-negara mempertahankanmasalah-masalah ini, dan pada saat yang sama, bagaimana bisa menjadi bagian dari solusi adalah salah satu hasil

    utama yang diharaplan dari studi ini.

    Ketidakseimbangan kekuasaan yang melekat pada peradilan non-negara mendiskriminasi pihak yang lemah

    telah dicatat dengan baik.58  Otoritas sosial mungkin menjadi kekuatan kunci dari peradilan informal, tapi

    pelaksanaannya yang tanpa pengawasan sekaligus menjadi kelemahan pokoknya. Akibatnya, peradilan informal

    menghadapi kelemahan baik internal dan terkait dengan pihak luar. Di bagian ini kita mengemukakan tiga dari

    kelemahan-kelemahannya. Ketiga hal tersebut adalah: menyediakan akses terhadap keadilan bagi perempuan;

    memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum minoritas etnis; dan akhirnya sengketa antar desa dan pihak ketiga

    yang berasal dari luar.

    Akses Perempuan Terhadap Keadilan

    ‘Sangat sulit memikirkan bahwa perempuan akan memutuskan nasib kita.’  

     Tokoh adat laki-laki di Sumatera Barat.

    Secara keseluruhan mekanisme peradilan informal tidak melindungi dan melayani kepentingan perempuan

    dengan baik.59  Peradilan informal cenderung untuk mempertahankan keberadaan norma sosial dan hubungan

    baik. Perempuan dipisahkan dari struktur kewenangan lokal; kepentingan mereka sering diabaikan. Melindungi

    hak perempuan tidak begitu bermanfaat secara politik atau sosial. Hal ini disebabkan dan dicerminkan dengan

    kurangnya keterwakilan perempuan dalam mekanisme penyelesaian lokal dan sebuah paradigma yang

    mengobyektifikasi hak-hak perempuan. Akibatnya, banyak permasalahan hukum perempuan yang diabaikan

    atau tidak ditangani dengan serius.

    58 ‘Pernyataan yang tegas bahwa laki-laki yang kuat memperoleh perlakuan yang lebih baik dalam penerapan hukum adat sangat jelas.’Odinkalu ( 2005) diatas n.5 dan World bank (2005) n.26. Lihat juga Sinclair Dinnen (2001) “Building Bridges - Law and Justice Reform in

    Papua New Guinea” State, Society & Governance in Melanesia Project Working Paper  01/3; Australian National University : Canberra. Tentu

    saja banyak penelitian mengindikasikan bahwa sistem hukum formal tidak jauh berbeda. Lihat, contohnya, artikel seminal oleh Mark

    Galanter “Why the ‘Haves’ Come Out Ahead: Speculations on the Limits of Legal Change” (1974) 9 Law & Society Review 95.

    59 Untuk mendapatkan lebih banyak infomasi tentang topik ini, lihat juga Julia Suryakusuma (2004) Sex Power and Nation, Metafor: Jakarta.

    Pengacara dari LBH - APIK (LSM Bantuan Hukum untuk perempuan) di Lombok juga mengatakan perempuan lebih baik dilayani dengan

    peradilan formal. Penemuan serupa muncul dalam penelitian tentang akses perempuan terhadap keadilan yang dilaksanakan oleh Bank

    Dunia di tiga provinsi selama 2007, Yohanna M.L. Gultom Hardiyanto et al (2008), Akses Perempuan Terhadap Keadilan di Indonesia: Studi

    Kasus Atas Perempuan Desa Pencari Keadilan di Cianjur, Brebes dan Lombok, Jakarta: World Bank.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    7/1943

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Kita perhatikan di atas, wakil perempuan dalam kepemimpinan desa hampir tidak ada dan biasanya tidak ada

    peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembuatan keputusan dalam struktur adat. Di Sumatera

    Barat, contohnya, meskipun masyarakat Minangkabau menganut paham matrilineal, keanggotaan Dewan Adat

    terbatas untuk laki-laki. Para perempuan tergantung pada paman dari pihak ibu untuk mewakili kepentingan

    mereka dalam Dewan Adat, seringkali membawa akibat sosial ekonomi yang signifikan.

    Studi Kasus 11:  Lahan Bu Marnis dijual saudara laki-lakinya: Sumpur, Sumatera Barat

    Ibu Marnis dan saudara-saudara perempuan di keluarganya menemukan bawa paman dari pihak ibu (mamak) berencana

    untuk menjual tanah warisan tanpa ijin dari para perempuan untuk membayar hutang yang dibuat oleh anak laki-lakinya.

    Ketika mereka menolak, mamak  mengancam mereka secara lisan (langsung) dan fisik. Mereka memohon kepada empat

    keturunan tetua (ninik mamak) untuk mendesak mamak  untuk tidak menjual tanahnya.

     Tapi ninik mamak  mendukung si mamak dan terjadilah penjualan. Mereka lebih memikirkan kemungkinan si mamak  

    mendapat malu jika keluarganya tidak dapat membayar hutang daripada akibat yang harus ditanggung pihak perempuan

    sebagai pemilik tanah. Pihak perempuan ditekan untuk menandatangai perjanjian dan pada akhirnya dilakukan juga,

    tapi hanya dengan syarat bahwa tidak ada tanah warisan yang lainnya yang disita. Namun si mamak  terus menjual tanah

    warisan lagi di tahun berikutnya. Si mamak  sekarang sudah meninggal, tapi sudah lebih dari 20 tahun Ibu Marnis masih

    menggunakan tabungannya untuk membeli kembali tanah yang dijual si mamak.

    Kurangnya keterwakilan belum tentu sama dengan kurangnya akses terhadap keadilan untuk perempuan.

    Berbeda dengan Studi Kasus 7 diatas dari desa Sepa, perkosaan dan pelecehan seksual pada umumnya dianggap

    sangat serius dan diserahkan langsung kepada polisi. Contohnya, dalam sebuah kasus di Kabupaten Sampang,

    Jawa Timur, pemimpin keagamaan dan LSM sukses mendorong dibelakang si korban untuk memaksa polisi

    menahan dan menghukum si pelaku.

    Kekerasan dalam rumah tangga tidak dipandang sama. Menurut survei Asia Foundation, hanya 12 persen

    responden menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai masalah hukum. Stigma yang melekat

    terhadap kekerasan dalam rumah tangga bahwa pihak perempuan tidak melaporkan kasus. Seorang perempuan

    di Jawa Timur menyatakan ‘Saya malu melapor, karena orang akan bertanya apa yang telah saya lakukan sampai

    dipukuli.’60

    Perempuan tidak mungkin mengorbankan perkawinannya karena ketergantungan ekonomi. Dalam diskusi

    kelompok terfokus (Focus Group Discussion/FGD) di Jawa Timur, seorang peneliti lokal dari STAIN (Sekolah Tinggi

    Agama Islam Negeri) menyatakan, penelitian kuantitatif tentang Pengadilan Agama setempat menunjukkan

    bahwa para perempuan di perdesaan dari kelas bawah lebih sering meminta cerai dibanding perempuan

    perkotaan dan kelas menengah atas. Penjelasannya adalah para perempuan ini sering mengerjakan tanah dan

    memberikan proporsi besar terhadap pendapatan rumah tangga, alias kurang bergantung secara ekonomi pada

    suaminya. Observasi ini ditolak secara cepat oleh kebanyakan (pria di perkotaaan) partisipan FGD. Kata mereka

    fenomena ini terjadi karena para perempuan itu tidak berpendidikan dan tidak mengerti posisi mereka dalam

    Islam.

    Cara lain, menghindari konflik merupakan “strategi” umum bagi para perempuan.61  Seperti dikatakan oleh

    seorang pemimpin komunitas di desa Henda, Kalimantan Tengah:

    Memang terjadi disini (kekerasan dalam rumah tangga). Sering juga. Yang dipukul diam aja. Yang mukul diam aja. Tunggu

    aja sampai semuanya tenang, dan masalahnya selesai.

    60 Wawancara, 26 Februari 2005, Pamekasan, Jawa Timur.

    61 Juga lihat Stephens (2003), diatas n.47 mendiskusikan kasus-kasus dari Flores, propinsi NTT: ‘Seringkali para perempuan tidak mengadukan

    ke siapa-siapa dan tetap diam mengenai masalah mereka,’ hal. 231.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    8/194

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Bahkan ketika kekerasan dalam rumah tangga memang dilaporkan, belum pasti bahwa peradilan formal atau

    informal akan merespon dengan baik.

    Studi Kasus 12: ’Itu cuma kelebihan nafsu’

    Sri tinggal di sebuah rumah sederhana dengan suaminya di salah satu jalan utama di Kecamatan Pahandut, dekat pusat

    Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Menurut saudara perempuan Sri, Eka, ketika terlibat hubungan seksual, suami

    Sri bisa menjadi sangat kasar, memukul dan mengigitnya. Tidak sanggup menerimanya lagi, Sri pergi meninggalkan

    suaminya dan memberitahu ayahnya apa yang terjadi. Mereka melaporkannya kepada polisi. Setelah dua minggu tanpa

    ada tindakan, polisi menyarankan masalah tersebut diselesaikan melalui damang, pemimpin adat tradisional.

    Dalam adat Dayak, jika seorang istri meninggalkan suaminya, anggapan dasar adalah dia sedang meminta

    (mengusahakan) perceraian. Jadi, ketika keluarga-keluarga itu bertemu dihadapan damang, suami Sri meminta

    perceraian. Adat Dayak juga memerintahkan bahwa dalam perceraian, harta kekayaan dan barang-barang harus

    diserahkan kepada istri, sesuai dengan perjanjian pra-pernikahan yang tertulis. Sri tidak ingin bercerai hanya ingin

    kekerasan dihentikan. Bagaimanapun perceraian akhirnya diteken. Suaminya menandatangani dan dia merasa terpaksa

    untuk menandatanganinya juga. Ini antara lain karena ada ancaman dari pengacara si suami bahwa dia akan didenda

    Rp 100 juta karena melarikan diri. Sri, tidak mengerti hukum dan tidak mampu membayar penasehat hukum, tidak tahu

    apa-apa lagi. Eka, saudara perpempuannya, menilai, ‘Sulit hadapi orang yang kuat, pandai dan kaya.’

    Si  Damang  tidak menanggapi aspek kekerasan dalam rumah tangga, merasa hal ini ditangani oleh polisi. Si Polisi,

    bagaimanapun juga, telah menyerahkan masalah ini kepada si damang. Jadi, berantakanlah semua. Si suami tidak

    menghargai (melaksanakan) pembagian harta kekayaan yang disetujui. ‘Mereka tidak peduli,’ kata Eka. Meskipun si

    damang tinggal benar-benar di seberang jalan, dia tidak mengambil tindakan apapapun untuk mendorong pelaksanaan

    perjanjian. Tidak ada sanksi sosial yang diterapkan terhadap suaminya juga – dia masih diundang ke acara sekitar

    lingkungan rumah dan adat. Sungguh, kekerasan dalam rumah tangga tidak dianggap sebagai masalah serius. Ketika

    ditanya mengenai kasus tersebut, Sekretaris damang tertawa dan bekata ’Itu cuma kelebihan nafsu.’

    Ketidakmampuan Sri untuk mendapatkan hak atas harta kekayaannya setelah perceraian, terjadi juga di beberapa

    provinsi penelitian lainnya. Survei awal untuk program “Pemberdayaan Hukum Perempuan” Bank Dunia juga

    menunjukkan bahwa perempuan tidak menuntut harta kekayaan mereka atau hak tunjangan atas perceraian.

    Ini terkait stigma sosial dan kurangnya pengetahuan akan hak-hak dan prosedur hukum.62  Hal ini menimbulkan

    akibat sosial dan ekonomi yang signifikan buat si istri. Sri sendiri sekarang tinggal kembali dengan orang tuanya,

    bekerja dengan gaji rendah.

    Paradigma Perlindungan dan Dominasi Laki-Laki

    Kebanyakan hukum adat biasanya dimaksudkan melindungi perempuan dari pelanggaran “moral”, seperti

    kehamilan diluar nikah dan pelecehan seksual. Seorang kepala desa di Lombok mengatakan bahwa perempuan

    adalah “pembawa hukum”. Dengan kata lain, melindungi kesucian perempuan adalah salah satu prinsip dasar

    utama dalam sistem hukum adat. Meskipun hal ini dapat melindungi hak-hak perempuan di keadaan tertentu,

    hal tersebut juga mencerminkan sebuah paradigma dimana perempuan dinilai sebagai obyek bukan subyek

    aktif terhadap hak mereka sendiri.

    Bagaimanapun, mengatasi bias jender adalah mungkin. Boks 2 memberikan dua contoh perubahan yang dicatatselama penelitian lapangan. Contoh-contoh ini menunjukkan pentingnya memahami dan berkerja dalam

    sistem, begitu juga dengan kemampuan kepemimpinan masyarakat dan mobilisasi sosial untuk mengubahnya.

    Contoh-contoh itu juga menitikberatkan pentingnya anggota komunitas terpinggirkan untuk meraih kesadaran

    tentang bagaimana sistem berjalan dan norma-norma diterapkan dan dapat dimanipulasi.

    62 Untuk laporan lebih rinci tentang metodologi dan temuan survei baseline, lihat www. www.justiceforthepoor.or.id.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    9/1945

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Boks 2:  Contoh perubahan I: Menghadapi kurangnya keterwakilan perempuan dan bias gender

    melalui pemberdayaan hukum

    Kasus Afrida: Menangatasi bias jender di Sumatera Barat dengan memahami hukum adat.

    Afrida, seorang perempuan yang tidak berpendidikan dan miskin, lelah karena melihat tanah leluhurnya (warisan/ 

    pusaka) dijual oleh kepala sukunya (ninik mamak ). Pada suatu kesempatan, Afrida mendapati para pejabat dari kantor

    pemerintahan (petugas BPN) mengukur tanah ibunya dan, mengantisipasi kalau-kalau akan ada penjualan berikutnya,

    dia memanggil kepala desa untuk meminta agar pengukuran tanah itu dihentikan. Ketika si ninik mamak  mendengar

    hal itu dia datang dan, membawa pisau, dengan marah mengancam Afrida, bertanya kenapa pengukuran tanah-tanah

    itu dihentikan. Meskipun ada protes, tanah ibunya tetap dijual.

    Meskipun Afrida merasa sistem peradilan formal lebih adil ketimbang mekanisme informal, karena terkait kepentingan

    keluarganya (si mamak  adalah saudara laki-laki ibunya) dan takut akan ada pembalasan dari sekitarnya maka dia merespon

    dengan mengembangkan pengertian tentang norma dan proses adat serta mencoba untuk mengubahnya.

    Afrida bergabung dan berpartisipasi secara aktif dalam musyawarah kepala suku. Bukan hanya sekedar menyediakan

    minuman dan makanan kecil, peran yang biasanya disediakan untuk perempuan, dia secara berani menyampaikan

    kepentingan perempuan dan mendesak adanya partisipasi yang lebih besar untuk perempuan dalam penjualan tanah.Afrida sukses mendesak agar semua kepala suku mesti menyetujui kalau ada tanah yang ingin dijual. Hal ini efektif

    menghilangkan monopoli satu pihak (kaum laki-laki) atas penjualan tanah dan menyebarkan hak dalam membuat

    keputusan diantara kelompok pemimpin keturunan, meskipun laki-laki. Usaha Afrida telah berhasil mencegah penjualan

    tanah yang tidak adil dan telah mengangkat statusnya. Dia sekarang dipercaya untuk menjaga dokumen silsilah yang

    berharga. Kemampuannya dalam mempelajari “permainan” adat dan berbicara dalam musyawarah, membuatnya dia

    sekarang diajak berunding mengenai isu-isu mengenai harta kekayaan dan silsilah.

    Perempuan Mengorganisasi dan Melobi untuk Aksi

    Di Batu Gadang, Sumatera Barat, sebuah kelompok perempuan, yang awalnya dibentuk karena aktivitas bisnis kecil-

    kecilan, menjadi aktif dalam menengahi perselisihan masyarakat. Pada tahun 2002 mereka adalah bagian dari koalisi

    yang menyelesaikan perikaian lingkungan antara komunitas dan perusahaan besar, Semen Padang. Di tingkat yang

    lebih kecil, kelompok itu juga telah berhasil menengahi perselisihan mengenai pencurian listrik dan melobi untuk

    mendapatkan sebuah jalan desa. Mereka berhasil menjamin alokasi kursi di parlemen desa dan juga sedang memintaperwakilan perempuan dalam Dewan Adat.

    Kesuksesan mereka didasari tiga faktor. Pertama, kelompok tersebut mempunyai hubungan dengan sebuah institusi

    para perempuan yang berbasis tradisional di Sumatera Barat, Bundo Kanduang. Hal ini memberikan keabsahan

    sehingga perempuan dinilai bisa memperbaiki majelis yang sudah ada daripada memperkenalkan struktur baru. Yang

    kedua, dengan mengembangkan ekonomi mandiri, para perempuan memperoleh penghargaan dan meningkatkan

    pengaruh dalam desa. Terakhir, hubungan dengan LSM lokal membantu para perempuan dalam mempelajari strategi

    untuk mengatur bersama- sama dan meningkatkan kesadaran hukum. Hal ini telah membuat mereka siap bergerak

    lebih aktif tidak hanya untuk memecahkan masalah tetapi juga untuk mendapatkan kedudukan desa.

    Ekslusivitas Etnis

    ‘Kenapa kok lewat adat sih? Lebih baik hukum Indonesia’

    Warga etnis minoritas Madura yang baru kembali ke Kalimantan Tengah

  • 8/19/2019 u dont need to know

    10/196

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Proses penyelesaian sengketa yang berdasarkan adat biasanya tidak cocok untuk sengketa antar etnis.63  Provinsi-

    provinsi yang dipelajari bermacam-macam dalam komposisi etnis dan hubungan antar etnis. Kalimantan Tengah

    mengalami konflik berdarah berskala besar antara orang Dayak dan Madura. Karena kebangkitan kembali adat

    setempat sangat terkati dengan kekuasaan etnis Dayak, warga etnis minoritas menganggap penyelesaian

    sengketa adat tidak adil buat mereka. Sama halnya di Maluku, para pendatang tidak selalu mengakui Raja, jadiadat tidak selalu merupakan sebuah jalan keluar untuk menyelesaikan pertikaian yang melibatkan pendatang.64 

    Di Jawa Timur, homogenitas etnis berarti masalah jarang muncul.65

    Kasus di Sumatera Barat

    Di Sumatera Barat, adat Minangkabau bisa disebut eksklusif, dalam hal semua warga nagari  diharuskan untuk

    tunduk pada adat tersebut. Ini memberi akibat khusus bagi pedagang etnis Cina yang telah hidup dari beberapa

    generasi di Sumatera Barat, dan juga pada transmigran orang Jawa dan anggota kelompok etnis lainnya,

    terutama Batak dari Sumatera Utara. Anggota-anggota kelompok ini disyaratkan untuk ‘diangkat’ oleh marga

    sehingga mereka bisa diakui oleh seorang mamak  yang dapat mewakili mereka di nagari. Hal ini dikenal dengan

    ‘bermamak ’. Meskipun diangkat ke dalam suku lokal, penduduk non-Minang dihalangi untuk mendapatkan

    posisi kepemimpinan. Hukum adat itu asing dan sering kurang dipahami oleh warga pendatang. Hal ini dapat

    menimbulkan diskriminasi dan berakibat pada kekerasan, sebagaimana yang terlihat dalam kasus di bawah ini.

    Studi Kasus 13:  Konik antara Etnis Batak dan Minang di Kinali

    Di desa yang berpenduduk 13.000, sekitar 2.000 diantaranya merupakan etnis Batak dari Sumatera Utara. Kasus ini

    muncul di pasar Tempurung di akhir tahun 2000, sebagai sengketa pribadi antara orang Batak dan Minang, yang sedang

    berjudi. Perkelahian terjadi antara mereka dan kemudian berkembang menjadi konflik besar antara komunitas dua

    etnis. 94 rumah yang dimiliki oleh orang Batak dibakar dan penduduk Batak melarikan diri atau dievakuasi dari nagari. 

    Selama tiga bulan, pasar itu ditutup, tidak ada anak-anak yang pergi ke sekolah dan para orang tua tidak pergi kerja.

    Sebelumnya, ada sekitar 400 keluarga Batak yang berada di komunitas tersebut. Sekarang sisa 56. Menurut pemimpin

    dusun Minang di wilayah tersebut, latar belakang sosial atas konflik tersebut adalah perlakuan yang tidak adil terhadap

    orang Batak oleh pemimpin suku.

    Upaya penyelesaian dilakukan oleh kepala adat dan pejabat pemerintah kecamatan. Perwakilan dari penduduk Batak dan

    Minang, termasuk 32 kepala suku, bertemu dengan pejabat pemerintah senior dan kesepakatan ditanda-tangani olehdua pihak di kantor kecamatan. Pemerintah daerah memberi ganti rugi kepada pemilik rumah yang telah kehilangan

    harta benda dengan Rp 2 juta per-rumah, terlalu sedikit untuk membangun kembali rumah tersebut. Orang-orang

    Batak diberikan dusun mereka sendiri dan dapat menggunakan adat mereka. Mereka hanya perlu melaporkan kepada

    pemimpin adat Minang untuk pernikahan. Menurut orang-orang Batak, interaksi antara dua komunitas masih terbatas.

    Kasus Kalimantan Tengah 

    Perselisihan hukum dan norma, diperparah dengan tidak adanya kerangka kerja penyelesaian sengketa yang

    efektif untuk mempertemukan perbedaannya, akan meningkatkan resiko yang justru memungkinkan sengketa

    meledak menjadi kekerasan. Sebagaimana pengamatan Kane et al , ‘masalah ini lebih gawat di daerah paska

    konflik...dimana ada kebutuhan yang mendesak untuk mencari cara yang tepat untuk menyelesaikan konflik

    63 Seperti pengamatan Benda Beckman, ‘Hukum adat lokal ... jarang mewakili nilai dan aspirasi dari semua anggota penduduk desa.’ Franz

    von Benda Beckman (2000) “Legal Plurarism and Social Justice in Economic and Political Development”, Makalah dipresentasikan dalam

    IDS Internasional Woorkshop on Rule of Law and Development , 1-3 Jun1 2000.

    64 Untuk pandangan yang bersifat kesejarahan tentang Maluku dan dampak ketertutupan hukum adat atas penduduk tidak asli lihat Franz

    von Benda Beckmann (1990) diatas n.20 dan Beckmann, ibid  —’seringkali para pendatang memiliki status politik dan ekonomi kelas

    kedua dibawah hukum adat tuan rumahnya’, hal.11.

    65 78 persen penduduk adalah suku Jawa dan 20 persen suku Madura .

  • 8/19/2019 u dont need to know

    11/19 7

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    antara anggota komunitas yang berbeda.’66

     

    Meskipun demikian, di beberapa daerah paska konflik di seluruh Indonesia, daripada membuat mekanisme lokal

    yang mewakili semua anggota masyarakat, pemerintah daerah berinisiatif untuk memperkuat penyelesaian

    sengketa dengan mengembalikan ke struktur dan proses adat. Kembalinya ke “cara lama”, yang didorong olehkebijakan politik, menegaskan kembali berlakukanya identitas regional dan etnis. Hal itu justru mempertegas

    perbedaan, bukannya persamaan.

    Di Kalimantan Tengah, contohnya, salah satu dari dampak yang paling terlihat dari konflik etnis pada 2001

    merupakan sebuah penegasan kembali atas identitas kebudayaan Dayak. Seperti dinyatakan oleh seorang

    pejabat pemerintah di Kabupaten Kuala Kapuas, ‘Rasa bangga Dayak udah bangkit sejak konflik.’ Banyak yang

    lainnya menyampaikan pandangan seperti disampaikan seorang pejabat Pemerintah Provinsi, yaitu ’Kalau orang

    luar menghormati adat kita, mungkin konflik tidak akan terjadi’.

     

    Respon politik untuk membangkitkan peran pemimpin adat belum begitu berdampak di daerah tersebut.

    Sebagaimana yang dikatakan oleh anggota DPRD provinsi, ‘Hukum adat itu belum begitu dominan. Apa yang

    ada di dalam peraturan belum merefleksikan apa yang ada di bawah.’ Para damang tidak memiliki sumber

    daya, kurang keahlian dan ilmu, dan dapat dipengaruhi dan dimanipulasi oleh kepentingan pemerintah dan/ atau perusahan swasta. Damang di Pondok Demar di Kabupaten Seruyan, contohnya, menerima upah bulanan

    Rp 750,000 dari perkebunan kelapa sawit yang terlibat dalam sejumlah sengketa tanah di daerah tersebut. Dia

    menyebutnya sebagai biaya penghubung antara perusahaan dengan masyarakat, tapi LSM lokal dan masyarakat

    desa menyebutnya sebagai uang sogok.

    Namun, dari sisi politik, usaha untuk membangkitkan kembali peran adat tidak berjalan dengan tanpa diketahui

    oleh orang yang non-Dayak. Sebelum konflik, adat dianggap tidak efektif dalam menyelesaikan sejumlah masalah

    yang meningkat antara orang Madura dan Dayak. Di saat yang bersamaan, banyak orang Dayak percaya bahwa

    sistem peradilan formal dikuasai oleh orang Madura.67  Orang Madura yang diwawancarai untuk penelitian ini

    mengungkapkan bahwa lebih menyukai penyelasaian oleh pemerintah lokal atau sistem hukum formal. Mereka

    melihat adat benar-benar milik suku Dayak. Jadi, perubahan-perubahan aturan yang disahkan sejak otonomi

    daerah telah memperkuat posisi orang Dayak, tapi tidak merupakan sebuah jalan untuk penyelesaian masalah

    lintas etnis.

    Kondisi ini merupakan permasalahan besar di Kalimantan Tengah paska-konflik. Orang-orang Madura kembali

    lagi dalam jumlah yang banyak.68 Banyak yang kembali dengan kondisi yang sulit. Peraturan Daerah di Kabupaten

    Kotawaringin Timur, salah satu dari pusat konflik utama, membuat kriteria untuk orang Madura untuk dapat

    kembali dan tinggal.69 Orang Madura yang dapat diterima oleh masyarakat lokal mungkin mendapati dirinya

    sebagai gelandangan, akibat banyak lingkungan orang-orang Madura yang dihancurkan selama konflik. Rumah-

    rumah mereka yang masih berdiri mungkin sekarang ditempati oleh keluarga lain. Dalam kasus lainnya, barang-

    barang milik orang Madura telah dicuri atau dijual. Dalam kasus seperti itu, orang-orang Madura yang meminta

    untuk kembali ke rumah mereka menghadapi negosiasi yang sulit dengan orang-orang yang menghuni tempat

    tinggal mereka. Banyak yang sudah menghabiskan atau kehilangan segala-galanya ketika melarikan diri dari

    Kalimantan setelah kerusuhan, jadi untuk kembali kepada kehidupan biasa tergantung kepada penjaminan

    terhadap hak atas harta kekayaan mereka.66 M.Kane, J.Oola-Onyango & A. Tejan-Cole ( 2005) ‘Reassessing Customary Law Systems as a Vehicle for Providing Equitable Access to

    Justice for the Poor.’ Mak alah dipaparkan dalam konferensi Arusha, New Frontiers of Social Policy, Desember 12-15, 2005.

    67 Dalam sebuah wawancara pada tahun 2003, mantan Kapolda Provinsi Kalimantan Tengah memberitahu kami bahwa polisi pada

    kenyataannya tidak berpihak (berat sebelah) atas dasar etnis tapi hanya sekedar mendukung kepada siapapun yang membayar mereka

    paling banyak. Hal ini umumnya terjadi pada orang Madura.

    68 Sampai dengan Desember 2004, ada 9.000 yang terdaftar telah kembali dari 120.000 orang Madura yang telah mengungsi.

    69 Peraturan Daerah Kotawaringin Timur Tahun 2004 tentang Pengawasan Kependudukan di Kotawaringin Timur.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    12/198

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

     Tentu saja mereka pada dasarnya merasa bahwa posisi tawar mereka masih sangat lemah. Kapanpun mereka

    dapat dikembalikan ke Madura. Ancaman-ancaman masih sangat umum terjadi. Sebagai orang Madura

    kelahiran Kalimantan, Ova, bercerita kepada kami, ‘Sebelum konflik, orang Madura keras. Sekarang kami harus

    merendahkan diri… posisi kami sangat lemah.’ Hal ini disebabkan rasa takut akan adanya balas dendam dan

    terulangnya kembali kekerasan pada February 2001. ‘Pokoknya kami takut,’ dia menambahkan. Ova menceritakankembali bagaimana rumah salah satu temannya ditempati oleh orang Dayak setelah mereka melarikan diri ke

    Madura akibat konflik tersebut. Keluarga Dayak tersebut kemudian menjual rumahnya ke sebuah keluarga etnis

    Cina. Teman Ova itu sekarang harus membeli kembali rumah mereka sendiri, bahkan tanpa uang, tanpa kekuatan

    yang nyata untuk menjamin hak-hak atas harta kekayaan mereka.

    Meskipun beberapa orang damang memberitahu tim peneliti bahwa mereka berpikir adanya sebuah lembaga

    multi-etnis untuk menyelesaikan sengketa akan berguna, belum ada tindakan sama sekali untuk memperbaiki

    proses penyelesaian sengketa untuk menangani masalah-masalah seperti itu. ‘Tidak ada lembaga yang dapat

    melindungi kami,’ Ova menilai.

    Sikap yang sama ditunjukan di Pulau Buru, Maluku oleh para transmigran yang menghadapi sengketa pertanahan

    yang besar, yang bermula sejak tahun 1954 (Studi kasus 22). Kepala desa yang orang Jawa dan sekretarisnya

    tidak ingin menyelesaikannya berdasarkan hukum adat, karena mereka tidak mengerti dan merasa hukum itumendiskriminasi pendatang baru. Hal ini menciptakan ketegangan di wilayah tersebut. Sekretaris desa dari desa

    transmigran tersebut dengan merujuk kepada konflik etnis di Sambas, Kalimantan Barat, tahun 1999 menyatakan,

    ‘Ini bisa menjadi Sambas kedua’. Raja dari desa tetangga setempat mengakui, ‘Muncul ketegangan disana.’

    Sengketa Antar Kelompok Masyarakat

    Kekuasaan pelaku peradilan non-negara jarang melampaui batas lingkungan pengaruh mereka, apakah itu

    berdasarkan batas wilayah (kepala desa dan lingkungan rumah), berdasarkan marga (tokoh adat) atau sosial

    (tokoh agama). Lebih jauh lagi, kepercayaan dan sanksi sosial penting bagi keberlangsungan perjanjian yang

    dimediasikan. Sebagaimana dalam Gambar 7 di bawah, responden GDS dilaporkan memiliki tingkat kepercayaan

    sosial yang lebih rendah secara drastis terhadap orang-orang dari desa yang bersebelahan dibandingkan dengan

    lingkungan tempat tinggal mereka sendiri.

    Gambar 7:  Kepercayaan terhadap tetangga dekat dan desa-desa sekitar

    0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

    Kepercayaan terhadapdesa-desa sekitar

    Kepercayaan terhadaptetangga

    Semua Orang Beberapa Sedikit Tak Satu Pun Kurang Tahu

    Sumber: Survei GDS

    Dua faktor tersebut, yaitu ketidakmampuan untuk mempunyai kewenangan sosial dan kurangnya kepercayaan

    sosial – dengan ketidakhati-hatian mengkompromikan kemampuan para pelaku desa untuk menyelesaikan

    sengketa antar masyarakat. Kasus di bawah ini merupakan contoh yang luar biasa atas masalah tersebut, dari

    pulau wisata Lombok, Nusa Tenggara Barat.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    13/1949

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Studi Kasus 14:  Tembok berlinnya Lombok: Karang Genteng vs Patemon70

    Konflik dimulai pada pertengahan tahun 1999 ketika seorang penduduk Patemon memperoleh hak milik tanah atas sebuah

    kuburan yang berlokasi diantara desanya dan desa sebelah, Karang Genteng. Masyarakat Karang Genteng memperselisihkan

    sertifikat, merasa tanah itu berada dalam wilayah mereka. Tidak seorangpun yakin saat ini apa yang memicu kekerasan, tapi

    perkelahian yang memanas pecah di bulan Juli 1999 ketika penduduk Karang Genteng menyerang Patemon. Konflik tersebutmemanas sepanjang sisa tahun 1999, memuncak pada bulan Januari 2000, menyebabkan banyak luka-luka dan kematian.71

    Sengketa itu sekarang telah berkembang tidak hanya sekedar soal ketidaksetujuan atas tanah dan terjadi saling balas dendam.

    Sebagaimana yang diamati oleh Sibawai, pemimpin keagamaan di Karang Geteng, ‘Yang penduduk tahu, bahwa ada anggota

    keluarga mereka yang telah dibunuh si anu atau si anu...yang tinggalnya di Kampung Patemon.’

    Berlusin-lusin peperangan terjadi selama lebih dari 10 tahun terakhir. ‘Sampai kapanpun kita akan melawan mereka,’ kata

    kepala desa Patemon. ‘Bahkan saya sudah perintahkan kepada laki-laki di atas 16 tahun sampai 50 tahun untuk harus selalu

    siap sedia berperang melawan Kampung Karang Geteng, … bilamana tidak bersedia lebih baik tidak menjadi warga Kampung

    Patemon!’ Penduduk di Patemon menyiapkan persediaan senjata seperti batu, botol, tombak, dan bahkan senjata tangan

    buatan. ‘Kalau sudah ada isyarat akan terjadi penyerangan,’ lanjut kepala desa Patemon, didukung oleh kepala organisasi

    pemuda setempat, ‘kami memesan batu atau botol beberapa truk untuk menyerang dan bertahan.’

    Respon pemerintah setempat luar biasa. Benteng setinggi 3 meter dibangun sepanjang jalan membatasi dua desa. Sekolah dan

    fasilitas kesehatan terpisah juga telah dibangun sehingga para penduduk tidak perlu berinteraksi. ‘Coba perhatikan saja,’ kataSibawai, ‘melerai pertikaian antar warga, kok yang dilakukan pemerintah malah membuat benteng! apa menurut pemerintah

    konflik ini sekedar masalah fisik? Tentunya kan yang harus dilakukan adalah pembenahan secara sosial kemasyarakatan.’ 

    Pengaruh ekonomi yang timbul atas tembok tersebut benar-benar signifikan. ‘Masyarakat mungkin mulai berfikir,’ kata kepala

    desa Patemon. ‘Yang semula perputaran roda bisnis sekitar Rp 35 juta perhari, menjadi sampai Rp 100 ribu pun tidak dapat.

    Konflik ini tidak lebih hanya mengorbankan segalanya sampai nyawa.’

    LSM lokal telah mencoba untuk mendamaikan dua desa, tapi upaya hanya pada tingkat permulaan. Belum ada upaya untuk

    mempertemukan pihak-pihak yang berbeda secara bersama. Sementara itu, dinding setinggi tiga meter diantara dua desa

    berdiri sebagai sebuah simbol pemisahan.

     Tidak adanya forum yang diakui sebagai wadah komunikasi dan pertemuan perdamaian yang melewati

    batas wilayah dapat menyebabkan pertentangan atas nilai dan membuat perselisihan kecil berubah menjadi

    konflik kekerasan masal. Lebih jauh lagi, ketidakmampuan pelaku peradilan di luar lembaga Negara untukmemproyeksikan kewenangan di luar batas pengaruh mereka, yang dianggap bisa meningkatkan pengakuan

    sosial lewat tindakan ”nasionalisme lokal” di mana mereka berperan sebagai pendukung atau pendamping desa

    mereka dan bukan sebagai fasilitator netral yang bertindak sebagai penengah dalam sengketa

    Sengketa Melibatkan Pihak Ketiga

    Sengketa yang melibatkan warga desa dan pihak ketiga, khususnya perusahaan-perusahaan kehutanan dan

    perkebunan kelapa sawit, menjadi hal yang semakin biasa terjadi di lokasi-lokasi penelitian. Sistem informal

    biasanya tidak mampu menangani pertikaian-pertikaian seperti itu, ketika sengketa tersebut melibatkan pihak-

    pihak di luar kontrol sosial desa. Di Kalimantan Tengah, perselisihan seperti ini makin sering terjadi seiring

    dengan kebijakan otonomi daerah yang mendorong perluasan perkebunan kelapa sawit ke dalam tanah adat.71 

    Didukung oleh pemerintah, perkebunan sering mendapatkan tanah dengan cara tidak adil atau dengan memberiganti rugi yang tidak mencukupi. Warga desa di seluruh Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin, contohnya,

    melaporkan bahwa mereka secara rutin menerima rata-rata Rp 400,000 per hektar sebagai kompensasi atas

    70 Kami tidak memiliki angka (jumlah) yang pasti, karena masyarakat satu desa tidak terbuka memberi data yang konkrit dan polisi tidak

    bisa memastikan datanya.

    71 Lihat John F McCarthy (2004) “Changing to Gray: Decentralization and the Emergence of Volatile Socio-legal Configurations in Central

    Kalimantan, Indonesia.” World  Development . 32(7) hal. 1199-1223, Juli 2004.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    14/1950

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    tanah mereka yang jatuh ke pihak perkebunan. Kepala Divisi Ekonomi Pemerintah Kabupaten Kotawaringin

     Timur, menginformasikan, bahwa kompensasi minimum diharapkan sekitar Rp 600.000,- sampai Rp 1 juta.

    Kasus pertambangan batu kapur Sari Gunung di Sampang, Jawa Timur, yang digambarkan dibawah merupakan

    contoh bagaimana kewenangan para aktor lokal tidak cukup untuk mencegah kerusakan lingkungan yangdisebabkan oleh pertambangan baru kapur.

    Studi Kasus 15:  Pertambangan Sari Gunung menciptakan Kekacauan72

    Batu kapur telah ditambang di dekat desa Sampang di Jawa Timur sejak masa penjajahan Belanda. Sejak kemerdekaan,

    pengoperasiannya dimiliki oleh pemerintah setempat tapi ditangani oleh perusahaan swasta, PT. Sari Gunung.

    Selama lebih dari 20 tahun masyarakat setempat telah menyampaikan keluhan kepada perusahaan dan Pemerintah

    Kabupaten tentang kerusakan lingkungan hidup dan kerusakan terhadap infrastruktur desa. Pertambangan itu

    memproduksi cukup banyak  grosok , sebuah produk tidak berguna campuran dari kepingan-kepingan dan lumpur keras.

    Karena pertambangan tersebut berada di atas bukit di atas perdesaan, selama musim hujan grosok tersebut jatuh ke

    bawah, dari pertambangan tersebut ke perdesaan. Selama hujan deras grosok menyebabkan kerusakan yang parah pada

     jalan-jalan dan beberapa rumah warga.

    Di tahun 1980-an, Sekretaris Desa mengirimkan surat keluhan kepada Bupati, ditandatangani Camat, Kepala Dusun

    dan Kepala Desa. Mereka berpikir karena itu merupakan perusahaan milik pemerintah maka Bupati akan mengambil

    tanggung jawab. Namun demikian, Bupati menyatakan bahwa masalah grosok  itu bukanlah prioritas.

     Tiba-tiba pada tahun 1997 Pemerintah Kabupaten membangun saluran air sehingga air hujan dan grosok  akan dialirkan

    menjauh dari perdesaan. Akan tetapi, langkah ini mengalihkan masalah itu dari dusun di sebelah barat ke dusun yang

    di sebelah timur. Hujan deras yang terjadi pada tahun itu menyebabkan rumah-rumah di bagian timur juga sawah yang

    berada jauh di hilir dibanjiri dengan air bercampur grosok .

    Surat lainnya dikirimkan, kali ini ke DPRD dan Badan Perencanaan Daerah, tapi lagi-lagi tidak ada respon. Mengalihkan

    masalah dari dusun yang di sebelah barat ke yang ke di sebelah timur mulai memicu ketegangan antar kelompok

    masyarakat. Pada tahun 2003, sekelompok anak muda dan petani yang lelah membersihkan grosok setelah hujan deras

    dan melihat sawah tercemar air kotor, menyumbat saluran yang mengalihkan air. Menanggapi aksi protes ini Kepala Desa

    memanggil anak-anak muda ke rumahnya untuk sebuah pertemuan. Masyarakat di dusun sebelah timur mengartikan hal

    ini sebagai gerakan permusuhan oleh Kepala Desa, dan sekitar 20 orang warga desa dari dusun bagian timur mendatangi

    Kepala Desa. Tidak ingin memanaskan ketegangan, Kepala Desa menerima aksi protes mereka dan saluran tersebut tetap

    disumbat.

    Hujan berlanjut dan air grosok membanjiri jalan utama dan sejumlah toko serta rumah-rumah. Tidak seorangpun

    berani untuk membuka saluran atau bahkan membersihkan air grosok. Dwi Pertiwi, anggota Badan Perwakilan Desa,

    menyatakan, ‘Tidak seorangpun di komunitas lainnya berani membersihkannya, bisa timbul keributan jika seseorang

    membersihkannya.’ Sudah banyak kecelakaan motor terjadi di jalan utama, menjadi licin karena grosok itu.

    Aksi mereka tidak pernah dianggap apalagi dipertimbangkan oleh Pemerintah Desa. Direktur pertambangan

    tersebut menjelaskan jika setiap tahun dia memberikan keuntungan perusahaan kepada Pemerintah Kabupaten, jadi,

    menurutnya terserah mereka apakah mereka akan menyelesaikan masalah grosok tersebut atau tidak. Karena perusahan

    mempekerjakan orang-orang desa, Kepala Desa dan Kecamatan merasa segan untuk menghujat perusahaan tersebut.

    Pada saat laporan ini ditulis, sengketa tersebut tetap tidak terselesaikan. Ketegangan sosial tetap tinggi, khususnya antara

    dusun di sebelah timur dan barat ak ibat penyumbatan saluran tersebut.

    72 Kasus ini dari Patrick Baron, Rachel Diprose dan Michael Woolclock (2006) Local Conflict and Community Development in Indonesia:

     Assessing the Impact of the Kecamatan Development Program, Kertas Kerja 10, Social Development, World Bank, Jakarta.

     

  • 8/19/2019 u dont need to know

    15/1951

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Warga desa takut menentang kepentingan yang berkuasa dalam kasus penyalahgunaan hak tanah atau

    kerusakan lingkungan. Penduduk desa Sembuluh II di Kalimantan Tengah mengeluhkan penyakit kulit dari

    polusi air yang mereka yakini disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit setempat. Bahkan, seorang perempuan

    mengatakan, ‘Kami bergantung kepada mereka untuk pekerjaan dan duit. Kami sih takut melaporkan masalah

    ini.’ Kondisi ini dapat menyebabkan ketegangan horisontal antara warga desa yang pro dan kontra terhadapmasuknya investasi dari luar.

    Komunitas lokal, didukung LSM advokasi mulai belajar mengorganisir diri sendiri dan belajar menghadapi

    kepentingan-kepentingan yang melanggar atas hak-hak tanah mereka. Keterbukaan politik dan demokrasi

    mendukung gerakan-gerakan seperti itu. Tapi secara umum, mekanisme peradilan non-negara tidak dapat

    menghadapi kekuatan yang tidak berimbang tersebut.

    Seperti pada pengalaman orang-orang Madura di Kalimantan Tengah, salah satu tantangan paling mendasar

    bagi masyarakat yang bukan penduduk asli dalam memahami dan menjalankan sistem norma adat adalah

    kenyataan bahwa prosedur dan substansi tidak tertulis dan tidak jelas buat mereka. Salah satu cara yang telah

    diusahakan masyarakat untuk mengatasinya adalah kodifikasi norma dan struktur penyelesaian sengketa. Boks

    3 dibawah ini menggambarkan sebuah contoh serupa dari Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

    Boks 3:  Contoh Perubahan II: Memperjelas norma dan struktur resolusi perselisihan di NTB

    ‘Desa Bentek, dan desa-desa lain yang bergabung dalam Perekat Ombara merasa perlu memformalkan lembaga yudikatif

    di tingkat desa. Disamping fungsinya yang positif di masyarakat, juga secara legal, Kepala Desa sebagaimana ditetapkan

    Undang-undang Otonomi Daerah (Pasal 101e UU No. 22/99, penulis) wajib dan berwenang menyelesaikan permasalahan

    atau sengketa di wilayah pemerintahannya. Jadi dengan pembentukan secara formal Mahkamah Adat Desa yang menjadi

    salah satu bagian dari aparat pemerintahan desa, kami bukan sedang melakukan percobaan yang mengada-ada. Dan ini

     pembelajaran berharga bagi masyarakat, karena bermasyarakat juga tidak lepas dari konflik, yang juga harus ada saluran

    untuk penyelesaiannya. 

    - Kamardi, Kepala Desa dan Pendiri Perekat Ombara, Lombok, NTB.

    Di Kabupaten Lombok Barat, dua puluh lima desa bergabung bersama di tahun 2000 untuk membentuk Persekutuan

    Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara). Aliansi tersebut awalnya dibentuk untuk merespon kerusakanlingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan kehutanan di wilayah tersebut. Sejak itu, Perekat Ombara

    telah meluas ke 32 desa di seluruh kecamatan dan menjadi sebuah pergerakan untuk memperbaharui institusi desa,

    termasuk dalam penyelesaian sengketa.

    Masing-masing desa anggota telah mengkaji proses penyelenggaran penyelesaian sengketa dengan membentuk

    pengadilan desa, yang dikenal sebagai  Mahkamah  Adat atau Majelis Krama  Adat yang terdiri dari tiga pihak yang

    berwenang yaitu pemerintah, adat dan pemimpin keagamaan. Beberapa memilih untuk menyusun hukum adat untuk

    diterapkan di dalam desa mereka. Desa-desa tersebut memiliki badan eksekutif (kepala desa), legislatif (BPD) dan yudikatif

    (dewan adat). Aliansi tersebut juga telah mendirikan sebuah dewan untuk mendengarkan sengketa-sengketa di tingkat

    antar desa, memperkenalkan sistem pengawasan untuk tingkat di bawahnya, melalui hak untuk banding.

     Tidak seperti kebangkitan adat yang bersifat dari atas-ke-bawah di lokasi-lokasi penelitian lainnya, Perekat Ombara

    merupakan gerakan alami. Dengan dukungan dari luar, organisasi tersebut sekarang bergerak untuk memperkuat

    posisi perempuan dan kaum minoritas di institusi-institusi setempat. Hal ini termasuk partisipasi dalam pembukuanadat setempat, diikuti oleh analisa hukum adat yang memiliki perspektif gender dan hak asasi manusia. Karena

    berbasis tradisional, kepemimpinan Perekat Ombara memiliki pengertian yang luas tentang “adat” sebagai hal yang

    dinamis, perubahan yang bertahap, sejalan dengan fakta sosial modern. Kepemimpinan tersebut menganggap bahwa

    mengulurkan tangan kepada kaum perempuan sebagai bagian penting untuk pengakuan sosial.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    16/1952

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Benturan Antara Sistem Formal dan Informal

    Pluralisme hukum mengandung maksud bahwa norma dan sistem hukum yang berbeda kadang-kadang akan

    berbenturan. Kasus yang dipelajari menunjukkan bahwa persinggungan diartikan secara luas dalam arti yang 

    khusus— jika ketentuan perpaduan keduanya tidak ditegaskan, dapat mengakibatkan kesewenang-wenangandan kekacauan. Studi kasus dibawah ini menggambarkan bagaimana perselisihan norma-norma dan sanksi-

    sanksi antara yang formal dan informal yang berasal dari ketentuan mereka yang berbeda.

    Studi Kasus 16:  Penusukan di Kota – Resolusi Dua Jalur73

    Empat orang laki-laki pergi minum-minum bersama di pusat Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah di malam hari tanggal 31

    Agustus 2003. Dua dari mereka salah paham dan terjadilah perkelahian. Setelah saling pukul, Ranno Jonfrid Siae yang berusia

    18 tahun menodongkan pisau dan menusuk temannya Syahmanto. Rano melarikan diri dari tempat kejadian, sementara

    teman-temannya membawa Syahmanto ke rumah sakit terdekat. Dia meninggal, tidak lama setelah itu.

    Rano ditangkap dan ditahan oleh polisi selama dua bulan selama mereka melakukan penyelidikan. Di saat yang bersamaan

    proses penyelesaian secara adat dijalankan secara berbarengan. Kedua pelaku dan korban adalah orang Dayak dan tidak

    lama setelah kejadian tersebut keluarga mereka bertemu di rumah Ketua RT dar i korban untuk mengusahakan penyelesaian

    cara adat. Dua pandangan berbeda muncul di antara dua keluarga, yang dimediasi oleh Ketua RT. Ketika persetujuan dicapai,kemudian itu dibawa ke damang untuk mendapat pengakuan resmi.

    Selanjutnya daftar barang-barang yang diminta untuk dibayar oleh keluarga Ranno disusun, jumlah keseluruhannya Rp36 juta. 75 Ayah Ranno, Jonfrid, dan pengacaranya merasa kalau harga beberapa barang tertentu nilainya berlebihan, tapi

    posisi tawar Jonfrid sangat lemah dalam situasi tersebut dan dia mengakui, ‘Sulit bernegosiasi dengan mereka, karena bisa

    membuat mereka sangat emosional.’ Dia memutuskan untuk tetap mengikuti proses adat meskipun beberapa teman dan

    keluarga mendesaknya mundur... ‘Saya dapat saja membatalkan proses adat, tetapi secara pribadi rasanya nggak benar. Yang

    anak saya lakukan nggak benar...menyentuh perasaan dan emosi.’ Jonfrid menerangkan.

    Hanya 18 hari setelah kejadian tersebut, persetujuan ditanda-tangani dan Jonfrid membayar denda. Motivasi utamanya

    adalah mengurangi ketegangan dan menjamin kerukunan dengan keluarga si korban. ‘Ini mengurangi balas dendam dan

    ketakutan... dan itu sudah terbukti.’ Dia juga tahu jalan tengah atau mediasi akan diterima dengan baik di pengadilan dan

    diharapkan dapat mengurangi hukuman untuk Ranno. Memang, pengacaranya sudah memberitahu contoh-contoh yang

    pernah terjadi sebelumnya. Sekretaris damang juga menjelaskan, tujuan dari resolusi adat adalah membantu ’mengurangi

    hukuman penjara.’ Dia menambahkan, bagaimanapun, pelaku membutuhkan ’pengampunan ilahi’ untuk mengurangiberatnya dosa. ‘ Di penjara hal seperti itu tidak ada’ dia mengatakan dengan muka masam.

    Untuk kasus-kasus seserius ini, penyelesaian adat jarang yang menjadi akhir dari penyelesaian masalah. Tuntutan pidana

    berlanjut. Sadar akan proses adat dan permohonan keluarga korban yang sudah ditujukkan ke pengadilan untuk memintakeringanan hukuman yang paling rendah, Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya menjatuhkan hukuman 1 tahun penjara.

    Keputusan Pengadilan menyatakan:

    …karena antara pihak keluarga korban dan pihak keluarga terdakwa telah mengadakan perdamaian adat, perdamaian

    mana pihak terdakwa telah memenuhi semua tuntutan menurut Hukum Adat Dayak, sehingga ni lai-nilai yang hidup dalam

    masyarakat tersebut, patut diperhatikan dan dihormati, oleh karena mana disamping memperhatikan aspek yuridis dan

    aspek filisofis Majelis Hakim juga memperhatikan aspek sosiologis...

    Hukuman tersebut kemudian diperkuat oleh banding ke Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Ranno sekarang sudah

    keluar dari penjara dan bekerja di kabupaten lain. Kedua keluarga telah bertemu dua kali dan menyatakan bahwa hubungan

    antara mereka baik.

    74

    73 Studi kasus ini berdasarkan wawancara dengan ayah pelaku dan pengacara, keluarga korban, jaksa penuntut umum dan salah satu

    hakim dalam kasus tersebut dan diskusi dengan si-Damang yang membantu menyelesaikannya. Studi kasus ini juga mempergunakan

    Keputusan Pengadilan Negeri Kota Palangkaraya279/Pid.B/2003 & Keputusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah 14/Pid/2004/PT.PR

    16 Feruari 2004. Kutipan ini berasal dari keputusan Pengadilan Negeri.

    74 Daftar tersebut meliputi barang-barang untuk upacara adat, dua babi, satu kerbau, satu sapi, 15 ayam, 500kg beras dan 100kg gula dan

    piring dan mangkok khusus. Jumlah ini juga termasuk Rp 6 juta untuk biaya kasus kepada damang dan perangkat adatnya.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    17/1953

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Kasus tersebut membedakan dasar pikir kedua sistem peradilan. Bagi keluarga tersebut dan damang, hal yang

    utama adalah mempercepat penyelesaian dan ”mengurangi balas dendam dan ketakutan.” Sebaliknya tujuan

    utama pengadilan formal yaitu untuk menyelenggarakan keadilan untuk kepentingan umum dan untuk

    memberikan aspek jera.

    Kasus tersebut juga mencerminkan bagaimana sistem tersebut saling mendekati satu sama lain. Keinginan untuk

    menghindari resiko dimana pelaku bisa saja “disidang” dan dihukum dua kali untuk pelanggaran yang sama,

    membawa pengadilan termasuk Mahkamah Agung, untuk mengetahui sanksi adat. Sama halnya si damang 

    dan pengacara Ranno mengerti sanksi adat sehingga dapat mengurangi besarnya hukuman penjara. Dalam

    kasus tersebut, “benturan” antara norma dan ketentuan yang berlaku berhasil dinegosiasikan untuk memberikan

    kepuasan bagi semua pihak.

    Sebaliknya, pembunuhan karena “ilmu hitam” yang tercatat di Jawa Timur (Studi Kasus 18 & 19) menggambarkan

    adanya kesulitan-kesulitan pada persidangan pengadilan untuk menentukan aturan yang tepat atas apa

    yang dimaksud sebagai, “adat-istiadat dan nilai lokal” dan sejauh mana hal ini harus digunakan sebagai bahan

    pertimbangan. Di Jawa Timur, praktik santet  dianggap tindak pidana. Pada saat yang bersamaan, juga

    dipraktikkan secara luas. Dalam banyak kasus, polisi melindungi anggota masyarakat yang dituduh melakukan

    santet. Bagi sebagian besar masyarakat menerima keterlibatan polisi. Akan tetapi, jika masyarakat memutuskanuntuk menangani sendiri kasus ini dan meminta keadilan bagi orang yang dituduh melakukan santet, polisi

     jarang bertindak untuk menyelidiki pembunuhan tersebut.

    Singkatnya, sistem formal tidak menentukan, secara konsisten dan dapat diprediksi, nilai pantas terhadap adat-

    istiadat dan tidak menjelaskan tindakan apa yang tidak mencapai nilainya. Dalam kasus penusukan di atas,

    pengadilan memandang hasil dari proses peradilan non-negara sebagai hal yang absah dibandingkan dalam

    kasus “penculikan” anak Haji Anggeng (Studi Kasus 8), dimana penyelesaian informal ditolak. Tapi tidak ada satu

    catatan penjelasan tentang bagaimana keputusan-keputusan ini dicapai. Batas yurisdiksi antara sistem formal

    dan informal tidak ditegaskan, artinya meskipun diluar kewenangannya, kasus pidana berat kadang kadang

    masih dapat dimediasi di tingkat desa. Standar dan perlindungan prosedural tidak disebutkan. Atas dasar apa

    proses tersebut dinyatakan tidak sah dalam salah satu kasus dan sah di kasus lainnya? Demikian juga, apa yang

    menjadi pedoman kebijakan polisi untuk menengahi atau menuntut? Persinggungan tersebut tidak diperjelas

    dan, sebagaimana yang digambarkan dalam kasus kekerasan rumah tangga di Kalimantan dan kasus Anggeng,

    kadang-kadang menghasilkan ambiguitas dan ketidakpastian hukum yang menguntungkan pihak yang kaya

    dan berkuasa.

    Memperjelas Persinggungan - Contoh-contoh dari Beberapa Negara

    Tetangga.

    Negara-negara sekitar menghadapi tantangan pluralism hukum yang sama dan mengadopsi pendekatan-

    pendekatan praktis untuk menghadapi hubungan formal-informal. Negara tetangga Papua Nugini, contohnya,

    mengakui pentingnya peran peradilan tradisional, dengan membuat sebuah mekanisme pemerintah untuk

    menyelaraskan sistem formal dan informal.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    18/1954

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Mempertimbangkan Keadilan Non-negara di Indonesia

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Boks 4:  Contoh-contoh Perubahan III: Meningkatkan kesesuaian antara peradilan formal dan

    informal dan membangun kapasitas – Unit Perantara Peradilan Komunitas Papua Nugini

    Seperti Indonesia, sistem informal merupakan bentuk peradilan yang dominan di negara tetangga Papua Nugini. Dengan

    tujuan meningkatkan kesesuaian dan konsistensi antara sistem formal dan informal; untuk meningkatkan kapasitas

    pelaku peradilan di luar negara; untuk mendokumentasikan dan menyebarkan inovasi lokal yang bersifat progresif; untukmendukung keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam sektor peradilan dan untuk mendorong peradilan yang saling

    menguatkan, Pemerintah Papua Nugini telah mendirikan sebuah Unit Perantara Peradilan Komunitas (Community Justice

    Liaison Unit atau CJLU) sebagai bagian resmi dari Sektor Hukum dan Peradilan.

    Melalui pelatihan reguler, pengawasan, peningkatan kesadaran dan program khusus untuk perempuan dan kelompok

    yang rentan, CJLU merupakan ekspresi kebijakan yang nyata atas peradilan non-negara. Tapi pada saat yang bersamaan

    sebuah praktik untuk menemukan titik keseimbangan antara dua wilayah peradilan.

    Sumber: Pemerintah Papua Nugini (2007)

    Beberapa ketidakpastian, ambiguitas dan potensi benturan norma-norma dapat dikurangi, dengan

    mendefinisikan secara jelas yurisdiksi antara putusan pengadilan dan penyelesaian sengketa di desa. Hal ini

    secara tepat menjadi pendekatan yang diadopsi di negara tetangga dekat Indonesia, Filipina.75

    Boks 5:  Contoh Perubahan IV: Mendenisikan Persinggungan–Sistem Peradilan Barangay di Filipina.

    Sistem Peradilan Barangay di Filipina (BJS) merupakan program konsiliasi dan mediasi wajib di tingkat barangay   atau

    desa, dilaksanakan di semua 42,000 barangay   di Filipina. Didirikan di tahun 1978, BJS merupakan perpaduan antara

    penyelesaian sengketa formal dan informal. Sistem ini mencoba untuk memperoleh kekuatan mediasi di masyarakat,

    dengan pelaksanaan kekuasaan negara.

    Filosofi dasar dari BJS bahwa tidak ada sengketa yang boleh ditangani oleh pengadilan sebelum ada usaha awal untuk

    menengahinya di tingkat barangay.  Mediasi dengan sistem ini dilaksanakan secara informal tanpa pilihan untuk

    pembuktian alat bukti. Hal tersebut pada pokoknya merupakan lingkungan yang “tidak resmi”.

    BJS tersebut terdiri atas sebuah badan mediasi di masing-masing desa. Kepala desa, atau pemimpin Barangay , mengetuai

    badan tersebut yang terdiri dari 10-20 anggota tergantung pada ukuran desa. Kasus-kasus tersebut awalnya dibawa ke

    pemimpin barangay  untuk mendapatkan usaha perdamaian. Jika penyelesaian sudah didapat, lalu ditulis dan ditanda-

    tangani oleh kedua belah pihak. Penyelesaian tersebut kemudian mendapat status sama dengan keputusan pengadilan.

    Jika pemimpinnya gagal menghasilkan penyelesaian yang memuaskan, kasus tersebut ditingkatkan ke 3 orang dewan

    majelis yang dipilih oleh pihak yang bertikai. Jika gagal, maka kemudian kasus tersebut dapat dibawa untuk diselesaikan

    melalui proses peradilan di pengadilan.

    Yuridiksi BJS meliputi semua tipe sengketa dengan pengecualian dibawah ini:

    • salah satu pihak adalah pejabat pemerintah

    • pelaku tindak pidana dapat diberi hukuman penjara melebihi satu tahun atau denda lebih dari 5000 peso.

    • ketika sengketa melibatkan pengembang perumahan yang berlokasi di kota-kota yang berbeda; dan

    • sengketa lainnya yang oleh Kepala Barangay dianggap lebih tepat diselesaikan pengadilan demi kepentingan keadilan.

    (Undang-undang Pemerintah Daerah 1991 Pasal 408)

    Walaupun jauh dari sempurna, Sistem Peradilan Barangay secara konsisten memberikan tingkat kepuasan yang tinggi

    dan menangani banyak kasus.

    75 Untuk informasi lebih lengkap mengenai Sistem Peradilan Barangay, lihat Gerry Roxas Foundation (2000a), Report on the Effi cacy of

    the Katarungang Pambarangay Justice System in the National Capital Region, Manila: Gerry Roxas Foundation; Gerry Roxas Foundation

    (2000b), The Panay and Guimaras Experience in Barangay Justice. Manila: Gerry Roxas Foundation; GC Sosmena Jr. (1996), ‘Barangay Justice:

    a Delegalisation Mechanism’ 20 Hiroshima Law Journal  404; & G. Sidney Silliman (1985), ‘A Political Analysis of the Philippines Katarungang

    Pambarangay System of Informal Justice Through Mediation’ 19 Law & Society Review 279.

  • 8/19/2019 u dont need to know

    19/19

    Menemukan Titik Keseimbangan:

    Bagian III:

    Kekuatan dan Kelemahan Peradilan Non-Negara

    Menegaskan batas yurisdiksi antara sistem formal dan informal melalui perundang-undangan nasional, seperti

    contoh Filipina di atas, memperjelas batas-batas kewenangan polisi dan membatasi kapasitas mekanisme

    informal untuk menengahi kasus-kasus tindak pidana berat serius, misalnya perkosaan dan kekerasan seksual.

     Tentu saja sekedar mengatur hal ini tidak lantas mewujudkannya menjadi kenyataan di lapangan. Di Filipina,

    tindak pidana serius terus dimediasi di tingkat barangay walaupun bertentangan dengan hukum negara. Tetapi mengklarifikasi isu ini membantu mengurangi kebingungan dan memberi pedoman untuk pelaksanaan

    kebijakan.76

    Contoh-contoh dari negara tetangga ini dapat memberikan beberapa inspirasi bagi pembuat kebijakan di

    Indonesia.

    76 Alfredo Tadiar (1988) ‘Institutionalising Traditional Dispute Resolution: the Philippine Experience’ di Asia-Pacific Organization for Mediation

    (APOM), Transcultural Mediation in the Asia-Pacific , Manila.