Upload
lediep
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISA BIAYA DAN MANFAAT OUTSOURCING TEKNOLOGI INFORMASI
DALAM PERUSAHAAN
Sistem Informasi Manajemen
Dosen: Dr. Ir. Arif Imam Suroso, Msc (CS)
DEWI MARGARETH L TORUAN (PO56132372.48)
PROGRAM PASCASARJANA MANAJEMEN DAN BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
i Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
Abstrak
Efisiensi dan efektivitas suatu organisasi bisnis atau perusahaan merupakan salah satu isu penting yang secara terus menerus menjadi perhatian para pelaku bisnis. Dengan demikian, semua aspek dalam organisasi maupun proses bisnis itu sendiri senantiasa dievaluasi secara berkesinambungan. Salah satu aspek penting dalam proses bisnis yang terus menerus menjadi sorotan adalah efisiensi dan efektivitas fungsi-fungsi manajemen serta pengelolaan biaya. Isu ini menjadi penting karena sebagaimana prinsip bisnis itu sendiri adalah untuk dapat memaksimalkan profit dan meminimalkan cost, disamping tentunya menjadi semakin unggul dalam bersaing di pasar
Dalam perkembangan selanjutnya, efisiensi dan efektivitas proses bisnis tidak hanya berorientasi pada cost management. Lebih jauh upaya-upaya ini juga diarahkan pada pemberdayaan fungsi organisasi atau proses bisnis untuik mengembangkan core competency guna menciptakan keunggulan kompetitif yang mereka miliki. Upaya yang dilakukan untuk mencapai efisiensi dan efektivitas organisasi yang optimal, salah satunya adalah dengan mengalihkan kegiatan yang dinilai kurang strategis dan atau tidak berhubungan langsung dengan core business organisasi tersebut, kepada pihak lain dalam bentuk ikatan kontrak kerja sama (outsourcing).
Kata Kunci : Efisiensi dan efektivitas bisnis, cost management, core competency, outsourcing
ii Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
DAFTAR ISI
Hal
Abstrak ....................................................................................................................................... i
Daftar Isi ..................................................................................................................................... ii
Daftar Tabel ................................................................................................................................. iii
Daftar Gambar ............................................................................................................................ iv
BAB I Pendahuluan .................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
1.3. Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 2
BAB II Tinjauan Pustaka ........................................................................................................... 3
2.1. Pengadaan Sistem Informasi ............................................................................................ 3
2.2. Defenisi dan Jenis Outsourcing ........................................................................................ 3
2.3. Core Competence .............................................................................................................. 4
2.4. Alasan dan Motivasi Outsourcing .................................................................................... 6
2.5. Manfaat Outsourcing ........................................................................................................ 7
2.6. Kesulitan dalam melakukan Outsourcing ........................................................................ 9
2.7. Resiko dan Biaya Outsourcing ......................................................................................... 10
2.8. Mengelola Resiko Outsourcing ........................................................................................ 13
2.9. Pemilihan dan Penentuan Provider/Vendor ..................................................................... 14
BAB III Metodologi Penulisan .................................................................................................... 20
BAB IV Pembahasan................................................................................................................... 21
4.1. Outsourcing di Indonesia .................................................................................................. 21
4.2. Pro dan Kontra Outsourcing di Indonesia ........................................................................ 21
4.3. Solusi dengan tetap menggunakan Outsourcing .............................................................. 22
4.4. Solusi Co-sourcing ........................................................................................................... 23
BAB V Kesimpulan…………………………………………………….................................... 26
5.1. Kesimpulan ....................................................................................................................... 26
5.2. Saran ................................................................................................................................. 26
Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 28
iii Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Konsekuensi yang tidak diinginkan dari outsourcing Teknologi Informasi ........... 11
Tabel 2. Kaitan anrtara konsekuensi yang tidak diinginkan dan faktor resiko ..................... 12
Tabel 3. Pro dan Kontra terhadap outsourcing ...................................................................... 22
Tabel 4. Perbandingan kelebihan dan kekurangan co-sourcing ............................................ 24
iv Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Perusahaan yang menggunakan Outsource berdasarkan Jenis Industri .............. 21
1 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Outsourcing bukanlah hal baru. Sejarah outsourcing dimulai tahun 1776 ketika Adam
Smith, filosofi ekonomi dunia, melontarkan ide bahwa perusahaan lebih efektif dan efisien
apabila salah satu unit bisnisnya diserahkan pengerjaannya kepada perusahaan lain yang
memiliki kompetensi dan spesialisasi dalam proses produksi tersebut (Hatonen & Eriksson
2009). Ide Smith ini kemudian dikembangkan oleh Coase pada tahun 1973 yang
menyarankan bahwa proses produksi suatu barang seharusnya hanya diorganisir oleh
perusahaan apabila ongkos produksinya lebih rendah daripada harga dipasaran.
Tahun 1980 outsourcing dipakai pertamakali untuk customer service dan
pelayanan call center (Lacity & Hirschheim 1993). Pada era tahun 1990-an, tren penggunaan
outsourcing ini telah dilakukan di hampir semua perusahaan di dunia, sehingga masa itu
popular disebut ‘Masa Dentuman Besar Outsourcing’. Era tahun 1990-an, Australia bahkan
mulai menggunakan tenaga outsourcing untuk pegawai negeri sipilnya (Webster & Harding,
2001).
Data menarik dipublikasikan oleh Mercer dan Cranfiled School of
Management (2000) bahwa lebih dari 90 persen perusahaan di Eropa dan Amerika Utara
menggunakan outsourcing untuk salah satu bagian bisnisnya.
Perkembangan outsourcing saat ini meningkat dengan cepat, baik sifat maupun
fokusnya. Secara historis outsourcing banyak dilakukan pada industri manufaktur, dan
sekarang kegiatan outsourcing sudah mulai berkembang pesat pada industri jasa. Baik pada
industri manufaktur maupun jasa, outsourcing telah meningkat melewati batas nasional dan
global. Sifat outsourcing juga beragam. Beberapa perusahaan sekarang melakukan
outsourcing pada aktifitas produksi inti secara ekstensif sehingga mereka tidak lagi terlibat
dalam produksi (Globerman dan Vining, 2004). Inbound dan outbound logistic juga mulai di-
outsource secara luas. Perusahaan lain melakukan outsourcing secara luas terhadap aktifitas
rantai nilai kedua seperti teknologi informasi, sistem akuntansi, distribusi, aspek-aspek
manajemen sumber daya manusia dan R&D (Johnson dan Schneider, 1995).
2 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
Outsourcing teknologi informasi bukanlah fenomena baru, dimulai dengan jasa
profesional dan jasa manajemen fasilitas di bidang keuangan dan operasi pada tahun 1960-an
dan 1970 (Lee, 2003). Fokus outsourcing teknologi informasi telah berkembang mulai dari
perangkat keras komputer, perangkat lunak, standarisasi perangkat keras dan perangkat
lunak, sampai pada solusi total yang mengacu pada manajemen aktiva (Xue et al., 2005).
Meskipun kepentingan terhadap outsourcing meningkat, namun masih banyak
perusahaan belum memiliki pemahaman yang jelas mengenai manfaat dan biaya dari
kegiatan outsourcing. Sasaran strategik dari pembuatan keputusan outsourcing harus bisa
memaksimumkan manfaat bersih dari outsourcing tersebut pada aktifitas rantai nilai dalam
perusahaan. Dalam prakteknya menurut Globerman dan Vining (2004) hal ini diwujudkan
dalam bentuk meminimumkan biaya total pada kualitas dan kuantitas tertentu dari aktifitas
atau barang-barang yang di-outsource.
Makalah ini secara umum mencoba menguraikan beberapa aspek penting terkait
dengan pengambilan keputusan outsourcing teknologi informasi, dilihat dari sudut pandang
manfaat, resiko dan biaya outsourcing. Analisis terhadap manfaat, resiko dan biaya
outsourcing akan menentukan keputusan perusahaan untuk melakukan outsourcing.
1.2. Rumusan Masalah Untuk mengkaji dan mengulas tentang analisa biaya dan manfaat dari outsorcing,
maka diperlukan sub-pokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa pengertian, alasan dan motivasi dilakukan outsourcing?
2. Apa manfaat dan kesulitan dalam melakukan outsourcing ?
3. Apa biaya dan resiko outsourcing?
4. Bagaimana mengelola resiko outsourcing dan solusi lain yang lebih tepat untuk
pengembangan sistem dan teknologi informasi
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem
Informasi Triwulan I tahun 2013 dan menjawab pertanyaan yang ada pada rumusan
masalah. Manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
baik bagi penulis maupun bagi pembaca tentang biaya dan manfaat outsourcing.
3 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengadaan Sistem Informasi
Terdapat beberapa metode yang biasa dilakukan oleh suatu organisasi atau institusi
bisnis dalam membangun dan mengelola sistem informasi, yaitu :
1. Insourcing adalah metode pengembangan sistem informasi yang hanya
melibatkan sumber daya di dalam suatu organisasi atau suatu perusahaan.
2. Outsourcing yaitu penggunaan pihak ketiga atau vendor untuk membangun dan
mengembangkan suatu paket Sistem Informsi yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Sehingga, pihak perusahaan cukup membeli beberapa paket sistem aplikasi yang
siap pakai, karena paket aplikasi tersebut dibuat oleh vendor yang telah
memiliki spesialisasi dibidang sistem aplikasi.
3. Cosourcing yaitu penempatan tenaga outsourcing di bawah pengawasan dan di
dalam lingkungan bisnis sebagai perusahaan kliennya yang menggunakan
jasa outsourcing.
2.2. Defenisi dan Jenis Outsourcing
Outsourcing teknologi informasi (TI) merupakan pemindahan seluruh atau sebagian
fungsi atau proses TI perusahaan pada pihak luar (Benamati dan Rajkumar, 2002). Sementara
Aalders (2002) menyatakan outsourcing adalah mengontrak/menyewa pihak ketiga untuk
mengelola sebuah proses bisnis lebih efisien dan efektif daripada yang bisa dilakukan di
dalam perusahaan sendiri. Dari pengertian tersebut menunjukkan bahwa outsourcing
menyebabkan terciptanya hubungan bisnis antara perusahaan dan suplier dari luar.
Penggunaan suplier luar untuk melaksanakan aktifitas bisnis dimaksudkan untuk mencapai
efisiensi dan manfaat-manfaat lainnya. Sebuah rencana outsourcing diharapkan akan
menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi dengan membiarkan setiap kelompok lebih
memfokuskan usaha dan modalnya pada kompetensi inti.
Teknologi informasi saat ini berperan penting dalam strategi organisasi sehingga
banyak organisasi yang menggantungkan kesuksesannya pada teknologi informasi yang
dimiliki. Perkembangan dan perubahan teknologi yang sangat cepat telah menimbulkan
kesulitan dalam mengelola sumber daya vital tersebut. Dengan outsourcing seluruh atau
4 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
beberapa fungsi teknologi informasi, memberikan alternatif untuk mengelola bidang
organisasi yang sangat kompleks ini. Menurut Benamati dan Rajkumar (2002), outsourcing
teknologi informasi melibatkan pelepasan kendali atas sumber daya organisasi yang penting
pada pihak ekternal. Oleh karena itu pemilihan fungsi teknologi informasi yang paling tepat
dan kelompok ketiga yang terbaik akan menjadi sangat kompleks. Lebih lanjut McFarlan dan
Norlan, (1995) menyebutkan berbagai fungsi teknologi informasi yang sering di-outsource
seperti operasi pusat data, manajemen network, pemeliharaan/akuisisi hardware, technical
support, pelatihan/pendidikan dan pengembangan aplikasi. Outsourcing bisa dilaksanakan di
dalam perusahaan (onshore), namun sering juga dilakukan di luar perusahaan (offshore).
2.3. Core Competence
Berhasil tidaknya penerapan outsourcing pada sebuah perusahaan, sangat ditentukan
oleh kemampuan perusahaan itu untuk menentukan mana proses yang merupakan core
competence dan mana yang bukan. Kesalahan dalam menentukan aktivitas bisnis yang akan
dialihkan, dapat memberikan dampak negative yang besar atas keseluruhan operasional
perusahaan. Menurut Gareth R. Jones (2001), core competence adalah keterampilan dan
kemampuan perusahaan dalam aktivitas penciptaan nilai tertentu (value creation) yang
memungkinkan perusahaan tersebut untuk mencapai tingkat efisiensi, kualitas, inovasi dan
customer responsiveness tertentu. Sementara itu menurut Greaver (1999), core competence
adalah kombinasi yang inovativ dari pengetahuan, keterampilan special, teknologi, informasi
dan metode operasi unik, yang membuktikan bahwa produk atau jasa yang dihasilkan bernilai
dan diminati konsumen.
Menurut Mu’thi (1995), penjelasan lain tentang core competence adalah istilah yang
digunakan untuk “keahlian” dan “keterampilan” yang dimiliki perusahaan sehingga
memungkinkannya unggul dalam mengembangkan dan memasarkan produk yang berintikan
keahlian tersebut.
Menurut Prahalad & Gary Hamel (1990), terdapat 3 (tiga) hal yang dapat dijadikan
indicator dalam mengidentifikasi core competence suatu perusahaan, yaitu :
a. Suatu core competence harus memberikan kontribusi yang cukup besar atas
keunggulan yang dipersepsikan oleh pelanggan (perceived customer benefits) dari
hasil akhir, misalnya mesin mobil adalah core competence Honda
b. Suatu core competence memberikan suatu akses potensial ke dalam pasar yang luas
5 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
c. Suatu core competence harus sulit ditiru atau digantikan, dimana hal ini dilakukan
melalui harmonisasi yang kompleks antara teknologi dengan keahlian
Selanjutnya, James Brian Quinn dan Frederick G. Hilmer (1994) berpendapat bahwa core
competence yang efektif mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut :
a. Terdiri atas sekumpulan keahlian atau pengetahuan dan bukan berupa produk atau
fungsi, yaitu suatu kemampuan intelektual atau sistem manajemen yang dapat
menciptakan suatu keunggulan kompetitif. Kompetensi meliputi aktivitas
perancangan produk, penciptaan teknologi, pelayanan konsumen atau logistic yang
didasarkan pada pengetahuan dan bukan atas pemilikan asset atau produk yang mudah
ditiru atau digantikan dengan barang pengganti.
b. Bersifat fleksibel, dalam arti dapat melakukan adaptasi dan evolusi sehingga
pelanggan bisa menerima value yang diberikan untuk jangka waktu yang lama
c. Jumlah aktivitasnya terbatas, dalam arti hanya ada dua atau tiga aktivitas dari value
chain yang paling penting (critical) atsa keberhasilan pencapaian target dimasa yang
akan datang
d. Membutuhkan sumber daya yang unik, artinya bahwa perusahaan akan
mengidentifikasi peluang bisnis yang berupa ketidaksempurnaan pasar atau jurang
pengetahuan dimana perusahaan mempunyai kemampuan untuk mengisi gap tersebut
dengan kelebihan intelektual yang dimiliki
e. Terdiri atas area-area dimana perusahaan dapat mendominasi, yaitu dimana
perusahaan dapat melakukan beberapa aktivitas yang penting bagi konsumen yang
lebih efektif disbanding perusahaan lain
f. Terdiri atas elemen-elemen penting bagi konsumen untuk jangka panjang. Paling
tidak satu dari core competence perusahaan harus berhubungan langsung dengan
kebutuhan konsumen
g. Harus terikat secara ketat dalam sistem organisasi. Memelihara suatu core
competence tidak hanya diandalkan pada satu orang saja dalam organisasi, tetapi
harus merupakan suatu system organisasi yang tercermin pada system nilai, budaya
perusahaan, kreativitas, dedikasi, inisiatif dan rekrutmen para professional yang
handal.
6 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
2.4. Alasan dan motivasi Outsourcing
Pada dasa warsa terakhir ini perkembangan sistem informasidemikian pesatnya dan
menjadi faktor penentu dalam mencapai keberhasilan. Ketepatan dan kecepatan informasi
menjadi faktor penting bagi organisasi dalam memenangkan persaingan. Kebutuhan
organisasi akan sistem informasisudah tidak diragukan lagi, dan outsourcing bisa menjadi
alat yang efektif dan efisien untuk memenuhi permintaan terhadap sistem informasi tersebut.
Keputusan perusahaan untuk melakukan outsourcing dipengaruhi oleh banyak faktor.
Leeet al. (2000) dalam Benamati dan Rajkumar (2002) mengemukakan bahwa sejumlah
besar keputusan outsourcing didorong oleh masalah fundamental seperti ekonomi, strategi
dan teknis. Selanjutnya Lee (2004) menemukan beberapa perusahaan melakukan
outsource untuk mencapai fleksibilitas produksi yang lebih tinggi, untuk mengembangkan
kapasitas, atau agar lebih fokus pada kompetensi inti. Namun mayoritas perusahaan
melakukan outsource terhadap aktifitas produksi untuk mengurangi biaya atau meningkatkan
kualitas produk dengan menggunakan keahlian dari supplier mereka. Microsoft adalah salah
satu perusahaan yang menggunakan outsourcing untuk memungkinkan teknologi
informasinya bisa meningkatkan kapabilitas supply chainmereka (Bardhan et al., 2006).
Melalui outsourcing Microsoft mampu menghasilkan 360game video dan sistem hiburan di
akhir tahun 2005 dengan mempercayakan pada jaringan kontraktor dan supplier untuk
menyampaikan komponen-komponen dan layanan-layanan utama yang penting bagi produk
mereka.
Banyak yang berpendapat bahwa biaya adalah motivasi utama dalam melakukan
outsourcing (Hurley dan Schaumann, 1997). Permintaan terhadap keahlian sistem informasi
sangat tinggi dan mahal. Seringkali dianggap lebih murah menyewa seorang tenaga ahli
daripada mengembangkannya sendiri. Selain itu sumber daya eksternal juga lebih siap untuk
ditambah atau dikurangi dibanding staf tetap. Namun menurut Aalders (2002), generasi
pertama yang melakukan outsourcing semata-mata karena dorongan biaya seringkali
menemui kegagalan.
Faktor motivator lain menurut Hurley dan Schaumann (1997) adalah memperbaharui
fokus pada kompetensi inti bagi organisasi atau bagi staf sistem informasi di dalam
perusahaan. Tidak semua organisasi memiliki sumber daya untuk mengembangkan sistem
informasiyang berkualitas tinggi. Usaha mereka lebih baik dipergunakan untuk fokus secara
7 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
strategik pada sisi bersaingnya. Selain itu organisasi sistem informasi yang tidak efisien juga
bisa memotivasi penggunaan outsourcing.
Banyak perusahaan yang menggunakan outsourcing untuk mengatasi masalah seperti
tidak tersedianya keahlian di dalam perusahaan, kualitas yang jelek atau produktifitas yang
rendah, permintaan yang sifatnya sementara atas keahlian tertentu, atau siklus hidup
pengembangan produk yang panjang. Namun dibalik semua motivasi tersebut, keputusan
untuk meng-outsource harus dibuat berdasarkan perspektif yang strategis dan memiliki tujuan
dan sasaran yang jelas agar perusahaan benar-benar mendapatkan manfaat dari keputusan
yang diambil.
2.5. Manfaat Outsourcing
Pertumbuhan yang sangat besar dalam outsourcing sistem informasi dibuktikan oleh
banyaknya outsourcing yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar seperti Boeing,
Bank One dan Xerox (Kim dan Chung, 2003). Tren outsourcing ini masih terus berlanjut
sampai saat ini. International Data Corporation (IDC) memprediksi bahwa pasar outsourcing
diseluruh dunia tumbuh dari $100 milyar di tahun 1998 menjadi $151 milyar pada tahun 2003
(Kim dan Chung, 2003). Alasan yang mendasari fenomena ini beragam, tetapi banyak yang
percaya bahwa outsourcing sistem atau teknologi informasi akan menghasilkan banyak
manfaat meliputi penghematan biaya, meningkatnya kualitas layanan, akses terhadap
teknologi yang up-to-date, fleksibilitas operasi dan fokus pada kompetensi inti (Slaughter dan
Ang, 1996; Smith et al., 1998 dalam Kim dan Chung, 2003).
Manfaat lain yang diperoleh dari outsourcing adalah peningkatan terhadap nilai
perusahaan (Hayes et al., 2000). Peningkatan terhadap nilai perusahaan ini disebabkan oleh
empat faktor. Pertama, skala ekonomis (economic of scale and scope). Penyedia jasa
outsourcing seringkali memiliki tingkat keahlian dan pengetahuan sistem informasi yang
lebih tinggi dalam berbagai masalah dan pengalaman, serta mereka mencurahkan seluruh
kemampuan untuk menyediakan layanan sistem informasi (Grover et al., 1996; Huff 1991;
Loh dan Venkatraman, 1992; Poppo dan Zenger, 1998; Quinn et al., 1990, dalam Hayes et
al., 2000). Kombinasi kedua hal tersebut menyebabkan provider layanan mampu
menawarkan skala ekonomis dan ruang lingkup operasi yang lebih besar yang bisa didapat
oleh perusahaan.
8 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
Faktor kedua adalah kepentingan kompetensi inti (importance of core competency).
Peningkatan nilai perusahaan didapat melalui transfer sumber daya dari fungsi staf yang tidak
memiliki nilai tambah menjadi fungsi kompetensi inti yang memiliki nilai tambah. Bettis et
al. (1992) dalam Hayes et al. (2000) mengindikasikan bahwa outsourcing seharusnya
dipandang sebagai sebuah strategi bisnis yang proaktif, dan outsourcing terhadap fungsi-
fungsi bisnis yang bukan inti bisa menghemat sumber daya sehingga perusahaan dapat
mengembangkan strategi bisnis jangka panjang. Hal yang sama diungkapkan oleh Pandey
dan Bansal (2003), outsourcing teknologi informasi menyebabkan perusahaan bisa lebih
meningkatkan fokus pada kompetensi inti, sehingga perusahaan memiliki kesempatan untuk
mendapatkan nilai tambah dari kompetensi intinya tersebut.
Ketiga, fleksibilitas (flexibility). Menurut Hayes et al. (2000) perusahaan yang
melakukan outsourcing bisa terhindar dari keusangan teknologi yang selalu berubah cepat,
karena mereka tidak perlu menginvestasikan modal dan sumber daya manusia yang besar
dalam teknologi. Perusahaan bisa meningkatkan fleksibilitasnya dengan mengarahkan
kontrak teknologi informasi secara terus menerus untuk memenuhi perubahan kebutuhan
pelanggan informasi mereka. Faktor keempat yaitu pengurangan biaya (cost reduction).
Peningkatan nilai perusahaan bisa didapat dengan memasukkan program pengurangan biaya
yang didisain untuk memelihara atau meningkatkan posisi besaing perusahaan (Bettis et al.,
1992; Huff 1991; Loh dan Venkatraman, 1992, dalam Hayes et al., 2000).
Perusahaan bisa menurunkan harga pembelian beberapa input dengan mengambil
keuntungan dari biaya supplier yang lebih rendah, atau meningkatkan kualitas input dengan
pembelian beberapa kapabilitas superior dari supplier luar (Globerman dan Vining, 2004).
Penghematan biaya juga bisa dihasilkan dari perubahan kewajiban yang dihadapi oleh
perusahaan dibawah hukum pemerintah dan peraturan atau kesepakatan dengan serikat buruh,
misalnya kewajiban membayar biaya kesehatan bagi pekerja full-time (Abraham dan Taylor,
1996 dalam Globerman dan Vining, 2004). Aktifitas outsourcing memungkinkan perusahaan
untuk mendapatkan pekerja yang sama dari supplier luar sebagai karyawan sementara.
Menurut Hayes et al. (2000) dorongan untuk memotong biaya menyebabkan
perusahaan secara sembarangan memilih fungsi teknologi atau sistem informasi yang akan
di-outsource, yang berarti perusahaan tidak memisahkan fungsi sistem informasi yang tidak
memiliki nilai tambah dari fungsi kompetensi inti sistem informasi yang memiliki nilai
tambah. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan outsource seharusnya tidak hanya
9 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
didorong semata-mata oleh keinginan untuk mengurangi biaya, tetapi juga dimotivasi oleh
manfaat strategis jangka panjang yang didapat dari outsourcing (Quinn et al.,1990 dalam
Hayes et al., 2000)
Kapabilitas tertentu yang dimiliki perusahaan merupakan faktor penggerak bagi
suksesnya persaingan. Kapabilitas yang sulit untuk ditiru merupakan kunci keunggulan
bersaing yang terus menerus (Barney, 1991 dalam Globerman dan Vining, 2004). Untuk
kapabilitas yang sulit ditiru, perusahaan bisa mendapatkannya melalui outsourcing. Bukti
memperlihatkan bahwa pengurangan biaya untuk mendapatkan kapabilitas yang sulit ditiru
merupakan salah satu manfaat yang diharapkan dari kegiatan outsourcing disamping
meningkatkan fleksibilitas, kualitas dan kontrol.
2.6. Kesulitan Dalam Melakukan Outsourcing
Meskipun banyak perusahaan yang merasa puas dengan outsourcing, namun banyak
perangkap yang bila tidak dipersiapkan dengan baik akan membuat perusahaan yang
melakukan outsourcing terjatuh ke dalamnya. Menurut Barthelemy (2001), dari survey
terhadap 50 perusahaan, sekitar 14% operasi outsourcing mengalami kegagalan. Selama
proses transisi, perusahaan bergerak dari lingkungan in-sourced menuju lingkungan
outsouced, perusahaan harus berhadapan dengan berbagai perubahan proses dan perubahan
budaya (Aalder, 2001; Lanser, 2003). Perubahan ini, terutama perubahan budaya, bukanlah
hal yang mudah karena terdapat sebuah perubahan dalam budaya perusahaan yang menjadi
dasar bagi seluruh proses kerja dan kebiasaan karyawan. Untuk mengatasi masalah yang
berkaitan dengan outsourcing teknologi informasi, banyak penelitian yang dilaksanakan
untuk memberikan pemahaman mengenai topik tersebut.
Teirlynck (1998) menyatakan pengembangan strategi outsourcing bisa dibagi ke
dalam empat tahap. Pertama, tahap persiapan. Pada tahap ini perusahaan harus menentukan
keahlian inti dan bukan inti yang dimilikinya, menilai kinerja saat ini, mengevaluasi peluang
outsourcing untuk yang bukan keahlian inti, menguraikan implikasi outsourcing bagi
organisasi, dan memilih model hubungan untuk membangun hubungan dengan penyedia
(provider) outsourcing. Kedua, melakukan seleksi. Tahap ini merupakan penentuan kriteria
penilaian bagi provider, menyaring provider, dan mengevaluasi proposal dari provider.
Ketiga adalah tahap negosiasi, meliputi audit terhadap calon yang terdaftar, pemilihan
prioritas calon, penentuan ruang lingkup dan struktur kontrak, dan transfer rincian
perencanaan pada provider. Sedangkan tahap keempat merupakan tahap implementasi,
10 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
meliputi re-engineering perantara, penyesuaian internal organisasi, dan penetapan sistem
pengukuran provider. Xue et al. (2005) menyatakan bahwa kesuksesan outsourcing teknologi
informasi terutama yang dilakukan diluar perusahaan (offshore), berhubungan erat dengan
kinerja virtual team. Oleh karena perusahaan yang melakukan outsourcing dan provider
outsourcing bekerja sama dalam jarak yang jauh, diperlukan kolaborasi dari seluruh anggota
virtual team yang terdistribusi secara geografis.
2.7. Resiko dan Biaya Outsourcing
Resiko diidentifikasi sebagai salah satu faktor penting dalam keputusan outsourcing,
yang mana jika diabaikan akan meningkatkan kemungkinan gagalnya proyek yang di-
outsource (Benamati dan Rajkumar, 2002). Manajer sistem informasi mungkin
mempercayai bahwa outsourcing akan mengurangi timbulnya resiko karena ia dapat
menyediakan personel atau keahlian yang dibutuhkan oleh organisasi, namun outsourcing
juga bisa memunculkan resiko-resiko baru seperti biaya yang tersembunyi, masalah
penurunan moral staff, dan kehilangan kendali atas posisi/sumber daya tertentu. O’Keeffe
dan Vanlandingham (2007) menyebutkan, strategi outsourcing telah terbukti efektif, tapi
diikuti oleh resiko yang harus disadari dan dikelola dengan baik. Dalam outsourcing,
perusahaan mempercayakan orang lain untuk menjalankan fungsi bisnis tertentu. Jika tidak
dikelola secara baik, mungkin akan berpengaruh negatif pada operasi dan konsumen
perusahaan. Produk dan jasa bisa di-outsource, tetapi resiko tidak.
Aubert et al. (1998) menyatakan istilah resiko mengacu pada dua konsep yang
berbeda. Pertama, resiko kadang-kadang digunakan sebagai sebuah ungkapan umum yang
mengacu pada hasil negatif, misalnya biaya yang tersembunyi (hidden cost), penurunan
dalam kinerja sistem, atau hilangnya kemampuan inovatif. Kedua, istilah resiko mengacu
pada faktor-faktor yang menyebabkan hasil negatif, seperti kurangnya komitmen dari
manajemen tingkat atas, staf yang tidak berpengalaman, atau ketidakpastian bisnis ketika
mendiskusikan outsourcing teknologi informasi (Earl, 1996).
Jenis resiko pertama berupa hasil negatif, merupakan konsekuensi yang tidak
diinginkan dari outsourcing dan berhubungan dengan biaya yang tersembunyi, yang mana
kadang-kadang dikatakan sebagai masalah outsourcing teknologi informasi yang paling besar
(Lacity et al., 1995). Biaya tersebut meliputi biaya transisi (seperti biaya set up, biaya
relokasi dsb) dan biaya manajemen sumber daya manusia yang harus ditempatkan untuk
mengelola kontrak outsourcing. Dalam mendiskusikan aspek biaya-manfaat keputusan
11 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
akuisisi software, Nelson et al. (1996) mengidentifikasi jenis biaya lain yang bisa
dimasukkan ke dalam biaya transisi dan biaya manajemen, yaitu biaya kontrak yang meliputi
biaya-biaya yang berhubungan dengan pencarian dan penilaian vendor yang sesuai,
benchmark layanan yang ditawarkan, penentuan kontrak secara hukum, menegosiasikan
kontrak dan penyelesaian perselisihan.
Aubert et al. (1998) merangkum resiko-resiko berupa konsekuensi yang tidak
diinginkan dari outsourcing teknologi informasi seperti terlihat pada Tabel 1 berikut :
Biaya tersembunyi Biaya transisi yang tersembunyi dan biaya manajemen
Biaya layanan yang tersembunyi
Kesulitan dalam kontrak Biaya amandemen kontrak
Perselisihan dan pengajuan perkara
Kesulitan dalam menegosiasikan lagi kontrak
Penurunan nilai layanan Berkurangnya kualitas layanan
Meningkatnya biaya layanan
Hilangnya kompetensi
organisasi
Hilangnya keahlian IT
Hilangnya kemampuan inovatif
Hilangnya kendali terhadap aktifitas
Hilangnya keunggulan bersaing
Tabel 1. Konsekuensi yang tidak diinginkan dari outsourcing teknologi informasi
Tabel 1 di atas memperlihatkan beberapa hasil negatif yang ditimbulkan dari aktifitas
outsourcing teknologi informasi. Disamping konsekuensi di atas, outsourcing juga
menimbulkan berbagai masalah yang berkaitan dengan staf. Menurut Grover et al.(1994)
seringkali staf memandang outsourcing sebagai ancaman bagi posisi kerja mereka seperti
pemecatan atau dipindahkan ke bagian lain perusahaan. Situasi yang tidak pasti ini
menciptakan kegelisahan dan perasaan tidak aman yang mungkin akan menyebabkan
menurunnya produktifitas karyawan selama periode menuju penandatanganan kontrak atau
bahkan setelah kontrak ditandatangani.
Konsekuensi yang tidak diinginkan dari outsourcing pada dasarnya disebabkan oleh
faktor-faktor resiko yang bisa dilihat dari tiga perspektif yaitu agen (provider), principal, dan
12 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
transaksi outsourcing itu sendiri. Menurut Aubert et al. (1998), faktor resiko yang ditinjau
dari ketiga perspektif tersebut antara lain: perilaku opportunis agen (provider), kurangnya
pengalaman dan keahlian dengan aktifitas yang di-outsource, kurangnya pengalaman dan
keahlian dalam mengelola kontrak outsourcing, jumlah supplier/vendor outsourcing yang
terbatas/sedikit, ketidakpastian kebutuhan di waktu yang akan datang, tingkat ketergantungan
aktifitas yang di-outsource, serta kedekatan dengan kompetensi inti. Tabel berikut
memperlihatkan hubungan antara faktor resiko dan konsekuensi yang tidak diinginkan dari
outsourcing teknologi informasi.
Konsekuensi yang tidak diinginkan Faktor resiko
Transisi yang tidak diharapkan dan biaya manajemen
Kurangnya pengalaman dan keahlian dari principal mengenai aktifitas
Lock-in Ketegasan transaksi
Jumlah supplier/vendor yang sedikit
Biaya perubahan kontrak Ketidakpastian
Teknologi yang terputus
Perselisihan dan sengketa Masalah pengukuran
Kurangnya pengalaman dan keahlian dari principal dan agen mengenai kontrak outsourcing
Penurunan layanan Ketergantungan aktifitas
Kurangnya pengalaman dan keahlian agen mengenai aktifitas
Ukuran supplier
Stabilitas keuangan supplier
Meningkatnya biaya layanan Perilaku opportunis agen
Kurangnya pengalaman dan keahlian dari principal mengenai manajemen kontrak
Hilangnya kompetensi organisasi Kedekatan dengan kompetensi inti
Tabel 2. Kaitan antara konsekuensi yang tidak diinginkan dan faktor resiko
13 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
Tabel 2 mengklasifikasikan beberapa hasil negatif dari outsourcing berdasarkan
faktor penyebabnya. Meskipun motivasi utama melakukan outsourcing adalah untuk
memotong biaya, namun bila tidak diantisipasi dengan baik outsourcing bisa memunculkan
biaya-biaya baru seperti biaya manajemen, biaya perubahan kontrak, dan meningkatnya biaya
layanan kepada konsumen. Outsourcing juga bisa menyebabkan hilangnya kompetensi
perusahaan bila pemilihan fungsi sistem informasi yang akan di-outsource dilakukan secara
sembarangan. Upaya untuk meminimalkan resiko outsourcing dapat dilakukan dengan
mengendalikan faktor yang menjadi penyebab timbulnya konsekuensi yang tidak diinginkan
tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa alternatif mengelola resiko outsourcing.
2.8. Mengelola Resiko Outsourcing
Aktifitas outsourcing membawa sejumlah resiko yang signifikan. Resiko akan lebih
besar jika perusahaan memilih untuk melakukan outsourcing total. Banyak perusahaan yang
menyadari resiko ini dan merespon dengan mengadopsi proses analisis resiko secara
menyeluruh yang digabungkan dengan menjalankan manajemen resiko agar bisa mengurangi
resiko outsourcing secara efektif. Manajer sistem informasi juga harus mempertimbangkan
alternatif-altenatif lain seperti melakukan outsourcing melalui banyak penawaran (multiple
bidders)(Yost dan Harmon, 2002; Currie, 1998). Dengan outsourcing yang selektif,
perusahaan dapat mempertahankan pengetahuan internal yang dibutuhkan untuk menangani
outsourcing provider. Dengan pilihan multiple bidders, perusahaan dapat menegosiasikan
kontrak outsourcing dengan banyak vendor yang berbeda kompetensi, pengalaman dan posisi
pasarnya. Namun strategi ini juga memiliki resiko, Cross (1995) menyatakan sulit untuk
mengelola dan mengkoordinasikan kerja dari beberapa provider. Sementara Loh dan
Venkatraman (1992) menyebutkan bahwa tidak mudah menentukan tanggung jawab masing-
masing provider terutama bila aktifitas yang di-outsource saling tergantung satu sama lain.
Pandey dan Bansal (2003) menyatakan untuk meminimalkan resiko maka perusahaan
harus mempertimbangkan aktifitas-aktifitas perusahaan yang dipandang paling kritis dalam
memutuskan apakah akan melakukan outsourcing teknologi informasi atau tidak. Ada empat
aktifitas yang dipandang paling kritis, yaitu perencanaan kebutuhan bahan (MRP/Material
Requirement Planning), keuangan, manajemen sumber daya manusia (seperti pembayaran
gaji), serta pengembangan dan pemeliharaan website. Disamping itu perusahaan sebaiknya
juga menyewa seorang konsultan untuk membuat keputusan outsourcing, serta ikut
mempertimbangkan trend yang sedang berlaku di pasar.
14 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
O’Keeffe dari lembaga konsultan resiko independen Protiviti menjelaskan untuk
menanggulangi resiko dalam kontrak outsourcing perusahaan sebaiknya mengembangkan
sebuah rencana kontrak dan mendokumentasikan semua aspek-aspek kesepakatan yang
meliputi kesepakatan mengenai tingkat pelayanan (service level), spesifikasi produk,
persyaratan perubahan, peran dan tanggung jawab serta hal-hal yang dikecualikan.
Pengelolaan terhadap resiko outsourcing sudah harus dimulai pada saat perencanaan kontrak
dilakukan, tahap negosiasi dan tahap setelah kontrak disepakati. Mekanisme umpan balik
kinerja yang efektif harus diikuti dengan pengawasan terhadap kontrak dan kinerja secara
berkala. Disamping itu kejelasan mengenai peran dan tanggung jawab masing-masing pihak
akan mendukung pencapaian efisiensi dan tujuan pengendalian dari suplier dan kontrak
menajemen. Dengan mekanisme pengawasan yang baik dan kejelasan mengenai kesepakatan
kontrak akan dapat meminimalkan resiko sehubungan dengan aktifitas outsourcing.
Untuk mengatasi resiko hilangnya kompetensi perusahaan menurut Hayes et al.
(2000), perusahaan harus memisahkan fungsi sistem informasi yang tidak memiliki nilai
tambah dari fungsi kompetensi inti sistem informasi yang memiliki nilai tambah. Dengan
demikian outsourcing sistem informasi akan menghasilkan manfaat strategis jangka panjang.
2.9. Pemilihan dan Penentuan Provider/Vendor
Salah satu aspek penting dalam tercapainya kesuksesan outsourcing adalah penentuan
provider yang tepat. Greaver (1999), menjelaskan bahwa terdapat beberapa aspek yang dapat
dijadikan criteria dalam menentukan provider, dimana aspek-aspek tersebut dikelompokkan
menjadi hard and soft qualifications. Hard qualifications merupakan aspek-aspek yang
didasari oleh pengalaman penting provider dan dapat dibuktikan secara logis melalui due
diligence. Adapun aspek tersebut adalah :
a. Demonstrated ability to deliver today
Provider harus mampu menunjukkan kemampuan dan kesiapannya untuk
memberikan hasil yang diharapkan pada saat ini. Salah satu hal yang perlu
diperhatikan adalah jumlah pelanggan yang sedang ditangani provider tersebut,
karena suatu provider mungkin saja mengalami kesulitan ketika harus menangani
pelanggan dalam jumlah besar
15 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
b. Provider strengths
Provider harus memiliki kekuatan yang relevan dengan alasan perusahaan untuk
melakukan outsourcing. Misalnya ketika outsourcing di bidang teknologi
dilakukan dengan pertimbangan fleksibilitas dalam beradaptasi dengan
perubahannya, maka provider yang sesuai adalah yang memiliki fleksibilitas
tinggi dalam hal tersebut
c. Superior Performance
Alasan yang seringkali mendasari diterapkannya outsourcing adalah peningkatan
performance dan biaya rendah. Oleh karena itu, provider harus memiliki
performance yang lebih baik dari unit internal pelanggannya.
d. Proven Customer Satisfaction
Adanya bukti kepedulian provider terhadap kepuasan pelanggan merupakan salah
satu hal penting karena akan terkait dengan responsiveness mereka terhadap
keluhan yang disampaikan pelanggannya
e. Strong Capitalization/Financial Stability
Stabilitas keuangan provider menjadi penting karena terkait dengan kelanggengan
keberadaan provider tersebut dan terutama ketika diperlukan pembelian faktor
produksi penting (misalnya peralatan dan teknologi) dalam kerja yang disepakati
dengan pelanggan
f. Proven Management Capabilities
Kapabilitas manajemen provider perlu mendapat perhatian karena dapat dijadikan
salah satu jaminan dalam menerapkan proses kerja dan sistem control yang
efektif.
g. Shared approach to problem solving
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah kesediaan provider untuk membuka
diri (tidak defensive) dan bekerja sama dalam menyelesaikan persoalan yang
timbul selama pelaksanaan outsourcing
16 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
h. Commitment to continuous Improvement
Aspek ini menjadi penting terutama ketika ikatan kerjasama dalam jangka
panjang. Dalam jangka panjang tersebut perlu diperhatikan apakah provider akan
melakukan improvement bagi diri mereka sendiri secara terus menerus, karena
selama pelaksanaan outsourcing maka sebagian dari competitive advantage
perusahaan terikat pada perubahan terus menerus yang dilakukan provider
i. Strong transition experience
Pengalaman provider dalam menangani berbagai permasalahan selama proses
transisi di awal proses outsourcing menjadi penting karena kegagalan dalam tahap
ini dapat menyebabkan persoalan lain atau yang lebih besar
j. Commitment of specific resource
Penting pula diperhatikan tentang kemampuan provider dalam mengelola sumber
daya yang dimilikinya, baik manusia, kualitas, rencana cadangan dan sebagainya
karena hal ini dapat mencerminkan kelanggengan dan ketersediaan jasa yang
diberikan.
Selain aspek yang tergolong hard qualification sebagaimana yang telah diuraikan
diatas, ada hal-hal lain (soft element) yang perlu diperhatikan dalam menentukan provider.
Berkaitan dengan hal tersebut, ada tujuh aspek yang merupakan bagian penting dalam
pertimbangan untuk menentukan provider, atau yang lebih dikenal dengan The “7 Soft C’s”,
yaitu :
a. Context
Context yang dimaksudkan disini adalah situasi dan latarbelakang yang mungkin
menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan pekerjaan. Untuk itu aspek yang perlu
dipahami dan dipertimbangkan adalah situasi internal perusahaan, situasi
pelanggan, permasalahan yang ada dalam industri, persaingan dan sejarah
pekerjaan yang terkait
b. Culture
Yang dimaksudkan disini adalah bahwa penting adanya kesesuaian buadaya
antara provider dengan perusahaan pengguna. Dalam hal ini, kemampuan pihak
17 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
provider dalam memahami visi kliennya menjadi sangat penting. Aspek-aspek
yang berkaitan dengan budaya yang dimaksudkan disini adalah harapan, gaya
(styles), nilai, tingkat layanan (service tingkat), humor, profesionalisme,
formalitas dan latarbelakang.
c. Chemistry
Dalam hal ini hal yang perlu dipertimbangkan adalah apakah para karyawan dapat
bekerja sama secara harmonis dan merasa nyaman berinteraksi dengan provider.
Demikian pula sebaliknya apakah provider memiliki perilaku social dan tata cara
dalam berkomunikasi yang sesuai dengan tim/karyawan perusahaan
d. Credibility
Hal-hal yang dipertimbangkan dalam kaitannya dengan aspek ini adalah nilai yang
dimiliki dan dapat menjadi dasar kredibilitas provider tersebut serta apakah
provider benar-benar memiliki pengalaman yang bernilai dan dapat dihargai.
Dengan kata lain, reputasi provider adalah salah satu aspek penting yang harus
dipertimbangkan
e. Credentials
Beberapa aspek yang termasuk didalamnya untuk dipertimbangkan adalah tempat
provider memperoleh pengalaman dan keahliannya, apakah provider benar-benar
memiliki pengalaman yang luas atau hanya sekedar “terlibat” dalam persoalan
sejenis, dan pendidikan atau pengetahuan yang dimiliki provider dalam persoalan
yang relevan dengan tugas atau proyek terkait.
f. Commitment
Dari sisi perusahaan perlu diperhatikan ada tidaknya dukungan atau justru
hambatan dalam mencapai sukses dan resiko yang mungkin dialami
perusahaan jika proyek tersebut gagal, misalnya kehilangan waktu untuk
pemasaran, biaya, reputasi, keunggulan kompetitif, dsb
Dari sisi provider perlu diperhatikan alasan provider menerima pekerjaan
ini, dukungan yang dimiliki provider untuk mencapai kesuksesan dalam
proyek, resiko yang akan dialami provider jika proyek gagal, misalnya
18 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
waktu yang terbuang, biaya, reputasi, kehilangan kesempatan, dan
penurunan bisnis lainnya
g. Confidence
Yang dimaksudkan disini adalah kemampuan provider dalam
mengkomunikasikan rasa percaya diri mereka dengan cara yang tepat dan
proporsional. Hal itu dapat dijadikan tolak ukur dalam menentukan kesesuaian
kualifikasi provider dengan persyaratan yang diberikan perusahaan.
Dalam menentukan provider, tidak berarti bahwa seluruh aspek hard maupun soft
element harus dipenuhi. Kriteria yang digunakan akan berbeda sesuai dengan alasan
diterapkannya outsourcing dan kebutuhan perusahaan.
19 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
Metode yang digunakan pada penulisan Analisa Biaya dan Manfaat Outsourcing
Teknologi Informasi Dalam Perusahaan, adalah Studi Literatur ; dengan menggunakan buku-
buku dan literatur-literatur yang berhubungan dengan penulisan ini, kami mengambil inti sari
didalamnya yang dapat digunakan sebagai pendukung, juga landasan teorinya. Selain itu,
penggunaan internet sebagai sarana untuk mencari dokumen yang menjadi sarana ilmu.
20 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1. Outsourcing di Indonesia
Menurut riset yang dilakukan Divisi Riset PPM Manajemen (Agustus, 2008) terlihat
bahwa dari 44 perusahaan yang diriset hampir seluruh perusahaan baik dari industri
perbankan, industri alat berat, industri farmasi, industri telekomunikasi, industri kertas,
industri jasa pendidikan, industri pengelolaan karet & plastik dan industri makanan-minuman
telah menggunakan outsource dalam perusahaannya termasuk dalam hal pengembangan
sistem informasinya. Hasil riset dapat dilihat pada gambar 1 dibawah.
TIDAK
YA
100%
100%
100%
100%
60,00%
80,00%
57,14%
100,00%
40,00%
20,00%
42,86%
Industri Makanan & Minuman
Industri Pengolahan Karet & Plastik
Industri Jasa Pendidikan
Industri Kertas
Industri Telekomunikasi & Informasi Teknologi
Industri Farmasi & Kimia Dasar
Industri Alat Berat, Mesin, dan Sarana Transportasi (otomotif dan suku cadang)
Industri Perbankan
Gambar 1. Perusahaan Yang Menggunakan Outsource Berdasarkan Jenis Industri
4.2. Pro dan Kontra Outsourcing di Indonesia
Penerapan outsourcing di Indonesia tidak terlepas dari pro dan kontra. Umumnya dari
sisi pekerja yang tidak setuju dengan penerapan outsourcing. Berikut ini perbandingan antara
yang pro dan kontra yang dikutip dari berbagai sumber oleh Divisi Riset Manajemen PPM.
21 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
PRO OUTSOURCING KONTRA OUTSOURCING
- Business owner bisa fokus pada core
business.
- Cost reduction.
- Biaya investasi berubah menjadi biaya
belanja.
- Tidak lagi dipusingkan dengan oleh turn
over tenaga kerja.
- Bagian dari modenisasi dunia usaha
(Sumber : Pekerjaan Waktu Tertentu dan
“Outsourcing, www.sinarharapan.co.id)
- Ketidakpastian status
ketenagakerjaan dan ancaman PHK
bagi tenaga kerja. (Sumber:
www.hukumonline.com)
- Perbedaan perlakuan Compensation
and Benefit antara karyawan internal
dengan karyawan outsource. (Sumber:
“Outsourcing, Pro dan Kontra”
http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
- Career Path di outsourcing
seringkali kurang terencana dan
terarah. (Sumber: “Outsourcing, Pro dan
Kontra”
http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
- Perusahaan pengguna jasa sangat
mungkin memutuskan hubungan
kerjasama dengan outsourcing
provider dan mengakibatkan
ketidakjelasan status kerja buruh.
(Sumber: “Outsourcing, Pro dan Kontra”
http://recruitmentindonesia.wordpress.com)
- Eksploitasi manusia (Sumber :
Pekerjaan Waktu Tertentu dan “Outsourcing,
www.sinarharapan.co.id)
Tabel 3 Pro dan Kontra Terhadap Outsourcing
4.3. Solusi Dengan Tetap Menggunakan Outsourcing
Penerapan outsourcing dalam pengembangan sistem dan teknologi informasi oleh
perusahaan tetap masih tepat. Namun perusahaan perlu memperhatikan hal-hal terkait dengan
kesuksesan dalam penerapan outsourcing TI. Sparrow, 2003 dalam mygreenworld blog ;
menyatakan bahwa untuk mendapatkan keberhasilan dalamoutsourcing IT, maka hal-hal yang
harus dilakukan adalah :
22 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
Menentukan tujuan; tujuan utama-pengurangan biaya; beberapa tujuan – value for
money dan pengembangan teknologi; manajemen krisis- untuk mengatasi kesulitan
keuangan
Memahami tujuan dari para stakeholder
Menganalisa tujuan yang telah ditentukan
Menyeleksi vendor outsource
Benchmarking
Perbaikan internal; staff, system, proses, etc
Menentukan servis yang diinginkan dari vendor outsource
Analisa business case
Mentransfer staff
Manajemen outsourcing (pengelolaan outsourcing, pengukuran keberhasilan,
pembatasan dan alokasi resiko serta pengontrolan)
Dan dalam menentukan vendor hendaknya memperhatikan kriteria-kriteria berikut
a. Pemahaman terhadap kebutuhan bisnis klien
b. Pengalaman dan kompetensi sumber daya manusia
c. Adanya business case yang jelas
d. Adanya perjanjian service level yang jelas
e. Reputasi dan komitmen perusahaan outsourcer, mengingat kontrak IT
outsourcing biasanya dilakukan untuk jangka panjang.
4.4. Solusi dengan Co-Sourcing
Dengan adanya pro dan kontra terhadap penerapan outsourcing, kelebihan dan
kekurangan outsourcing, serta adanya model outsourcing. Maka timbul dilema bagi
perusahaan model lain apa yang tepat digunakan untuk pengembangan sistem informasi
23 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
ataupun pengelolaan teknologi dan sistem informasi. Salah satu pendekatan yang mungkin
cocok sebagai solusi hal tersebut adalah penerapan model co-sourcing.
Co-sourcing adalah penggabungan sumber daya internal dan eksternal perusahaan
untuk mengerjakan layanan tertentu. Co-sourcing yang berkaitan dengan teknologi informasi
dapat diartikan sebagai kerja sama antara sumber daya internal dan eksternal dalam satu tim
yang sama untuk mengembangkan dan implementasi suatu sistem. Co-sourcing dapat juga
dikatakan sebagai perusahaan patungan, karena dalam mengerjakan layanan tertentu
menggabungkan antara sumber daya internal dan eksternal perusahaan.
Suatu perusahaan menggunakan co-sourcing adalah karena perusahaan mempunyai
komponen informasi internal yang sangat mendukung kebutuhan pihak ketiga, subyek yang
akan dikembangkan oleh perusahaan merupakan core kompetensi mereka sehingga
perusahaan dapat bekerjasama dalam beberapa hal (bukan keseluruhan) dari keahlian pihak
ketiga sehingga memberi kontribusi terbaik bagi perusahaan.
Salah satu keuntungan dengan penerapan co-sourcing adalah dengan bekerja bersama
dengan pihak ketiga (vendor) maka dapat membangun soft skill kritis sumber daya internal.
Serta mampu meningkatkan kesempatan untuk belajar praktek-praktek terbaik dan akan
mengenal alat-alat baru atau teknologi baru. Dikutip kembali dari Mia, keuntungan dan
kelemahan dari penggunaan co-sourcing dapat dilihat pada tabel 4 di bawah.
Kelebihan Co-sourcing Kekurangan Co-sourcing
Biaya pengembangan akan lebih murah
karena biaya ditanggung bersama
perusahaan patner (sharing cost)
Rahasia perusahaan diketahui patner
Sharing knowledge antar organisasi Keamanan sistem
Perencanaan pengembangan lebih
terpadu dan holistik
Perbedaan kepentingan organisasi
Tim berada langsung dibawah arahan
dan kontrol langsung perusahaan
sehingga kinerja pihak ketiga dapat
langsung diawasi oleh perusahaan.
Program bersifat general
24 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
Kelebihan Co-sourcing Kekurangan Co-sourcing
Tim yang dibentuk memiliki standar
kualitas tinggi sesuai dengan kebutuhan
baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Harus menyesuaikan dengan hardware di
masing-masing organisasi
Standart, prosedur dan metodologi sesuai
dengan kebutuhan perusahaan.
Kemungkinan akan terbaginya SDM yang
memiliki kompetensi dalam fokus bisnis
yang dilaksanakan
Tim mempunyai sense of ownership and
accountabledalam membangun system
Keterlibatan SDM dari perusahaan hanya
disertakan sampai rancangan penyusunan
dan pengembangan sistem sehingga
perusahaan sulit melakukan perbaikan dan
pengembangannya lebih lanjut.
Pekerjaan yang dilakukan dapat menjadi
sarana pembelajaran bagi seluruh
komponen perusahaan
Tabel 4 Perbandingan Kelebihan dan Kekurangan co-sourcing
25 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Sistem informasi berperan penting dalam keberhasilan bisnis karena sistem informasi
dapat berfungsi sebagai sistem pendukung operasi (operations support system) yang dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasional perusahaan, selain itu sistem informasi
juga berperan didalam sistem pendukung manajemen (management support system) yang
dapat meningkatkan pengambilan keputusan manajerial kearah yang lebih baik. Metode
pembangunan dan pengelolaan informasi dapat berupa pendekatan insourcing, cosourcing,
maupun outsorcing. Setiap metode pengembangan dan pengelolaan informasi baik
itu insourcing, cosourcing, maupun outsorcing, memiliki keunggulan dan kelemahan masing-
masing, sehingga penggunaanya sangat tergantung kepada kebutuhan perusahaan.
Outsourcing tidak hanya memberi manfaat bagi perusahaan, seperti meningkatnya
nilai perusahaan, meningkatkan fleksibilitas operasi, mengurangi biaya dan perusahaan bisa
lebih fokus pada kompetensi inti, namun outsourcing juga diikuti oleh munculnya resiko-
resiko baru seperti penurunan dalam kinerja sistem, penurunan moral staf, atau hilangnya
kemampuan inovatif. Resiko tersebut menyebabkan munculnya biaya-biaya yang
tersembunyi (hidden cost). Resiko ini umumnya muncul bila keputusan outsourcing didasari
semata-mata oleh dorongan untuk memotong biaya dan pemilihan sistem informasi yang
akan di-outsource dilakukan secara sembarangan. Untuk meminimalkan resiko tersebut
pengambil keputusan harus memisahkan fungsi sistem informasi yang tidak memiliki nilai
tambah dari fungsi kompetensi inti sistem informasi yang memiliki nilai tambah. Disamping
itu pengambil keputusan di perusahaan harus bisa menentukan tingkat resiko yang bisa
ditolerir pada biaya yang paling minimal. Pertimbangan terhadap resiko, biaya dan manfaat
dari aktifitas outsourcing akan mempengaruhi keputusan perusahaan untuk melakukan
outsourcing atau tidak.
5.2. Saran
Terdapat beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam aktivitas
outsourcing pada khususnya maupun pihak yang menerapkan outsourcing pada umumnya :
a. Dilakukan evaluasi berkala dalam jangka waktu minimal 6 bulan sekali terhadap
pelaksanaan outsourcing . Evaluasi berkala ini dimaksudkan agar manfaat dan
26 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
tujuan utamanya dapat dijaga agar tetap berada dalam garis kebijakan semula,
yaitu untuk mencapai efektivitas dan efisiensi proses bisnis yang dilakukan. Selain
itu perubahan tuntutan iklim bisnis juga akan dapat lebih cepat ditanggapi
(responsive) dan diadaptasikan dengan aktivitas outsourcing tersebut.
b. Melakukan studi banding terhadap beberapa perusahaan sejenis dalam kaitannya
dengan penentuan provider dalam kegiatan outsourcing, baik pada saat sebelum
maupun selama kesepakatan outsourcing dilaksanakan. Dalam hal ini aspek yang
perlu diperhatikan adalah masalah biaya, kualitas dan kuantitas pekerjaan. Dengan
demikian efisiensi maupun efektivitas kegiatan outsourcing dapat terus dievaluasi
atas dasar aspek-aspek tersebut
c. Untuk menjaga konsistensi terhadap tujuan awal penerapan outsourcing dan
strategi perusahaan secara umum, maka evaluasi terhadap kebijakan outsourcing
tersebut juga harus dilaksanakan secara berkala. Adapun jangka waktu evaluasi
hendaknya ditentukan berdasarkan besar kecil dan kompleksitas aktivitasnya
.
27 Dewi Margareth L Toruan, MB‐IPB, E‐48
DAFTAR PUSTAKA
Aalders, R (2001). The IT Outsourcing Guide. Chichester:Wiley,
Aubert, Benoit A.., Patry, M., and Rivard, S (1998). Assessing the Risk of IT Outsourcing. Cirano, Scientific Series.
Bartel, Ann., Lach, Saul., and Sicherman, Nachum (2006). Outsourcing and Technological Change. Columbia University Institute for Social and Economic Research and Policy.
Barthelemy, J (2001). The Hidden Costs of IT Outsourcing, MIT Sloan Management Review, Spring, pp. 60-69.
Benamati, J.S and Rajkumar, T.M (2002). The Application Development Outsourcing Decision : An Application of The Technology Acceptance Model. Journal of Computer Information Systems, Summer, pp 35-43.
Currie, W.L. (1998). Using Multiple Suppliers to Mitigate the Risk of IT Outsourcing at ICI and Wessex Water. Journal of Information Technology, Vol 13, No 3, pp 169-180.
Cross, J. (1995). IT Outsourcing: British Petroleum’s Competitive Approach. Harvard Business Review, Mei-Juni, pp 94-102.
Earl, M.J (1996). The Risk of Outsourcing IT. Sloan Management Review, Spring, pp26-32.
Grover, V., Cheon, M.J. and Teng, T.C. (1994). A Descriptive Study on the Outsourcing of Information Systems Functions. Information & Management, Vol 27, No 1, pp 33-44.
Hurley, M and F. Schaumann (1997). KPMG Survey : The IT Outsourcing Decision. Information Management and Computer Security, Vol 5, No 4, pp 126-132.
Kim, Sung and Chung, Y.S (2003). Critical Success Factors for IS Outsourcing Implementation From An Interorganizational Relationship Perspective. Journal of computer Information Systems, Summer, pp 81-90.
Lanser, E.G. (2003). Core Competencies of Successful Outsourcing, Healthcare Executive, Vol 18, No 4.
Loh, L. and Venkatraman, N. (1992). Determinants of Information Technology Outsourcing: A crosssectionalAnalysis. Journal of Management Information Systems, Vol 19, No1, pp 7-28.
O’Keeffe, Philip and Vanlandingham (2007). Managing The Risk of Outsourcing. Protiviti Independen Risk Consulting.
Reid, Warren, S (2003). Outsourcing : The 20 Step to Success. Management Technology and Litigation Consulting.