Upload
riyan-saputra
View
232
Download
0
Embed Size (px)
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan kenikmatan kesehatan baik jasmani maupun rohani sehingga pada kesempatan
ini penulis dapat menyelesaikan penyusunan tugas referat yang berjudul “Teori
Pemberian Steroid Untuk Pematangan Paru Janin”. Penulis mengharapkan saran dan
kritik yang dapat membangun dari berbagai pihak agar dikesempatan yang akan datang
penulis dapat membuatnya lebih baik lagi.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar – besarnya kepada
dr. Muslich Perangin-angin, Sp. OG serta berbagai pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan penulisan refrat ini. Referat ini dibuat untuk perbaikan ujian
Obstetri penulis.
Semoga refrat ini dapat bermanfaat untuk kita semua.
Medan, Mei 2014
Penulis
1
DAFTAR ISI
Judul
Halaman
Kata Pengantar..............................................................................................................1
Daftar Isi.......................................................................................................................2
BAB I Pendahuluan......................................................................................................3
BAB II Pembahasan
A. Patofisiologi Pematangan Paru Janin.......................................................................4
B. Kortikosteroid...........................................................................................................7
C. Penggunaan kortikosteroid saat antenatal..............................................................11
BAB III Kesimpulan
Kesimpulan.................................................................................................................18
DaftarPustaka .............................................................................................................19
2
BAB I
PENDAHULUAN
Pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada wanita yang memiliki resiko tinggi
untuk persalinan preterm telah direkomendasikan oleh beberapa ahli karena
kortikosteroid antenatal dihubungkan dengan penurunan insiden terjadinya sindroma
gawat nafas janin (RDS), kematian neonatal dan hemoragik intraventrikuler (IVH).
Dibuktikan dengan meta analisis Cochrane pada percobaan dengan pengambilan sample
acak dengan 18 wanita hamil yang menunjukkan bahwa terapi kortikosteroid antenatal
menurunkan resiko terjadinya sindroma gawat nafas janin, kematian neonatal dan
hemoragik intraventrikuler Stalker S,2004
Terapi kortikosteroid pada wanita hamil yang melahirkan secara prematur
pertama kali diperkenalkan pada tahun 1972 untuk meningkatkan pematangan paru janin.
Meta-analisis baru-baru ini berkesimpulan bahwa pemberian kortikosteroid terutama
untuk mengantipasi kelahiran preterm yang dihubungkan dengan berkurangnya insiden
kematian neonatal, RDS, IVH, dan NEC. NIH,1994
Penggunaan kortikosteroid dalam kehamilan tidak menunjukkan peningkatan
insiden infeksi maternal maupun fetal, baik pada kasus dengan prematur ruptur membran
maupun tidak.Stalker S,2004
Pada sebuah karya ilmiah penting, Liggins dan Howie memperlihatkan bahwa
pemberian terapi kortikosteroid antenatal pada wanita yang mempunyai risiko melahirkan
prematur mengurangi insiden sindrom gawat nafas (RDS) dan kematian anak. Efisiensi
terapi kortikosteroid antenatal belakangan ini telah dikonfirmasikan dengan lebih dari
selusin percobaan dengan memakai plasebo sebagai kontrol secara acak.Meneguel JF et al,2003
Konsensus konferensi pengobatan kortikosteroid antenatal tahun 1994
menguatkan penelitian awal Liggins dan Howie tentang pemberian glukokortikoid
antenatal pada ibu yang berisiko untuk terjadinya kelahiran preterm dan telah menjadi
perwatan rutin di Amerika Serikat. NIH,1994;Dudley DJ et al,2003
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Patofisiologi Pematangan Paru Janin
Paru terdiri dari 40 tipe sel yang berbeda. Sel yang melapisi alveoli terutama
terdiri dari 2 tipe sel, yaitu penumosit tipe I dan tipe II. Tipe I sebagai sel utama alveoli
merupakan epitel yang tipis melapisi dinding alveoli dan berkontak erat dengan sel
endotel kapiler, yang memungkinkan pertukaran gas bisa terjadi. Sel tipe II, yang lebih
kecil dari tipe I terletak di sudut-sudut alveoli, berbentuk kuboid dan mengandung
lamelar inclusion spesifik bila dilihat dibawah mikroskop elektron. Badan lamelar adalah
tempat penyimpanan surfaktan intraseluler. Dengan analisa biokemik ternyata badan
lamelar mengandung surfaktan sejenis phospholipid.Cunningham FG et al, 2001; Jobe AH, Soll RF, 2004
Sel tipe II menangkap prekusor pembentuk phospholipid dan protein. Sintesa terjadi
dalam retikulum endoplasma. Setelah dimodifikasi dalam aparatus golgi, komponen
surfaktan dibawa dan disimpan dalam badan lamelar. Badan lamelar ini disekresikan
dengan cara eksositosis dan dibuka diluar sel membentuk tubular mielin. Dari sini
dihasilkan surfaktan monolayer, yang diabsorbsi ke air – liquid interface. Dengan
mikroskop elektron tubular mielin terlihat seperti kisi – kisi berbentuk tabung segi empat.
Selain itu sel tipe II juga berfungsi untuk proliferasi sebagai respon terhadap trauma.
4
Setelah mengalami trauma, sel tipe I terkelupas dari dinding alveoli dan sel tipe II
berproliferasi untuk memperbaiki dinding alveoli, kemudian berkembang menjadi sel tipe
I. Serudji J, Sulin D, 2004
Clements(1957) menemukan suatu bahan yang menurunkan tegangan permukaan
terdapat dalam ekstraks – ekstraks salin dari bahan cucian paru. Sifat – sifat permukaan
aktif dari alveoli dapat dihubungkan dengan komponen – komponen suatu kompleks
lipoprotein, yaitu, surfaktan. Cunningham FG et al, 2001; Jobe AH, Soll RF, 2004
Sistem surfaktan paru merupakan suatu kompleks dari protein dan phospholipid
yang dapat menurunkan tegangan permukaan pada alveoli. Penurunan tegangan
permukaan ini mempengaruhi stabilitas alveoli selama respirasi normal. Surfaktan adalah
kompleks antara lipid dan protein, dimana 90 % adalah lipid, dan 10 % protein. 80 % dari
lipid (phospholipid) dari surfaktan terutama terdiri dari phosphatidilcholines (lecitin).
Dipalmitoylphosphatidyl choline (DPPC) merupakan komponen utama surfaktan paru
yang berjumlah hampir 50% di antara glycerophospholipid dari surfaktan.
Phosphatidylglycerol adalah komponen permukaan aktif surfaktan terbanyak kedua, yaitu
8-15%. Phosphatidylglycerol dapat mengurangi tegangan permukaan di alveoli,tapi
secara tepatnya belum diketahui. Pembentukan lapisan phospholipids dipermudah oleh
protein dalam surfaktan. Bahan ini mengandung tiga protein unik yaitu SP-A, SP-B, dan
SP-C. SP-A adalah suatu glikoprotein besar dan menyerupai kolagen dalam strukturnya.
SP-A ini diperkirakan mempunyai beberapa fungsi, termasuk mengatur umpan balik
pengambilan surfaktan oleh sel alveolus epitel tipe II yang mensekresinya. Sintesa SP-A
5
diketahui dapat ditingkatkan dengan pengobatan jaringan paru janin cyclic AMP
(analog), epidermal growth factor, dan triiodothyronine. SP-B dan SP-C adalah protein
yang lebih kecil yang memfasilitasi pembentukan lapisan phospholipids. Cunningham FG et al, 2001;
Jobe AH, Soll RF, 2004
Sel alveoli tipe II yang menghasilkan surfaktan dapat mencegah kolapsnya alveoli
pada saat akhir ekspirasi sehingga bayi dapat bernafas dengan usaha nafas yang minimal.
Dalam kehidupan lebih lanjut, pada saat alveolus ditandai dengan suatu interface air ke
jaringan, badan – badan lamelar utuh disapu ke dalam cairan amnion dengan gerakan –
gerakan semacam pernafasan yaitu: pernafasan janin. Gambaran surfaktan dalam cairan
amnion menunjukkan mulainya pematangan fungsional paru – paru. Cunningham FG et al, 2001
Perkembangan surfaktan pada jaringan paru- rongga udara, mencegah alveoli
kolaps selama ekspirasi dan membuat alveoli terbuka lebih mudah pada inspirasi
berikutnya. Pada bayi dengan paru- paru yang masih imatur tidak mempunyai surfaktan
dalam jumlah yang cukup pada saat lahir sehingga alveolus akan kolaps pada saat akhir
ekspirasi dan tidak mampu berkembang kembali pada saat inspirasi, sehingga pada waktu
inspirasi butuh usaha besar. Kolapsnya alveolus karena kurangnya surfaktan akan
menimbulkan sesak nafas pada BBL yang dikenal respiratory distress syndrome.
Every dan Mead (1959) pertama kali menunjukkan bahwa respiratory distress
syndrome disebabkan oleh defisiensi biosintesis surfaktan dalam paru-paru janin dan
neonatus. Defisiensi surfaktan paru dengan struktur dan fungsi yang imatur dari paru
dapat menimbulkan gangguan. Cunningham FG et al, 2001
Pengurangan pengembangan paru-paru berperanan penting pada hipoventilasi
alveolus, dan ventilasi- perfusi yang tidak seimbang. Hipoksemia dapat menyebabkan
asidosis metabolik, dan keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi pulmonal dan
hipoksemia yang menganggu. Jobe AH, Soll RF, 2004
Secara makroskopik, paru-paru tampak berwarna kemerahan. Paru-paru pada bayi
ini butuh tekanan terbuka yang lebih tinggi untuk mengembangkan paru-paru. Secara
mikroskopik tampak atelektasis difus pada rongga udara bagian distal dengan distensi
pada saluran nafas bagian distal dan area perilimphatik. Atelektasis yang progresif
dengan barotrauma atau volutrauma dan keracunan oksigen menimbulkan kerusakan sel
6
epitel pada saluran nafas bagian distal, sehingga menimbulkan eksudat matriks fibrin.Stalker
S, 2004
Kekurangan surfaktan menimbulkan atelektasis yang progresif , kolaps alveolar,
berkurangnya pengembangan paru, udem paru, dan pengurangan kapasitas yang sangat
besar untuk pertukaran udara. Situasi ini membuat cepat lelah, penurunan usaha bernafas,
hipoksia, sianosis, asidosis, dan berakhir pada kematian.Arias F, 1993
B. Kortikosteroid
Pengobatan kortikosteroid pada wanita hamil yang melahirkan prematur
diperkenalkan pertama kali pada tahun 1972 untuk meningkatkan maturitas paru- paru
janin. Konsensus konferensi pengobatan kortikosteroid antenatal tahun 1994 menguatkan
penelitian awal Liggins dan Howie tentang pemberian gkukokortikoid antenatal pada ibu
yang berisiko untuk terjadinya kelahiran preterm telah menjadi perawatan rutin di
Amerika Serikat. Baru-baru ini meta-analisis berkesimpulan bahwa pemberian
kortikosteroid diutamakan untuk mengantisipasi kelahiran preterm yang dihubungkan
dengan berkurangnya insiden kematian neonatal, RDS, IVH, NEC.NIH,1994;Dudley DJ et al,2003
a. Dasar Ilmiah Penggunaan Kortikosteroid
1. Farmakokinetik
Kadar steroid yang beredar dalam sirkulasi ibu dan janin setelah pemberian
steroid telah diteliti. Regimen asli yang digunakan Liggins adalah suatu suspensi
betametason fosfat 6 mg dengan betametason asetat 6 mg yang diberikan dalam 2 dosis
dengan jarak 24 jam. Campuran ini memberikan peningkatan konsentrasi glikokortikoid
yang cepat dan berkelanjutan. Kadar maksimum betamatason serum ditemukan pada ibu
1 jam dan pada janin 1-2 jam setelah pemberian. Betamatason mempunyai waktu paruh
sekitar 6 jam dan tidak dapat dideteksi 48 jam setelah dosis terakhir. Waktu paruh diduga
lebih panjang pada sirkulasi janin (12 jam). Konsentrasi dalam tali pusat lebih rendah
secara konsisten kadarnya dibanding kadarnya dalam darah ibu (rasio talipusat :darah
ibu :0,37) dan betametason tidak terdeteksi lagi pada janin yang dilahirkan ≥ 40 jam
setelah pemberian steroid terakhir pada ibu. Dudley DJ et al,2003
7
Semua steroid sintetik mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap reseptor
yang muncul secara alami dibanding kortisol. Ternyata betametason mempunyai afinitas
5,4 kali lipat dan deksametason 7,1 kali lipat lebih tinggi. Perbandingan pemberian
betametason fosfat/asetat 12 mg setiap 12 jam, deksametason 6 mg setiap 12 jam, dengan
100 mg hidrokortison setiap 8 jam menunjukkan bahwa hidrokortison, diukur setelah 8
jam sebagian besar sudah hilang (cleared). Sebaliknya betametason dan deksametason
masih terdeteksi. Masa kerja peningkatan aktivitas kortikosteroid ± 32 jam untuk
hidrokortison, 60 jam untuk deksametason, dan 72 jam untuk betametason. Ternyata
waktu total pengaruh steroid pada jaringan target adalah lebih lama dibanding jangka
waktu pendeteksian kadar plasma oleh karena pelepasan yang lambat steroid dari
reseptornya. Dudley DJ et al,2003
Karena kerjanya yang dapat diterima, regimen betametason tampak lebih disukai
daripada deksametason. Deksametason mempunyai nilai puncak yang lebih tinggi dan
variasi kadar sirkulasi lebih signifikan. Setelah pemberian betametason, konsentrasi
puncak dari steroid yang tak terikat adalah sama dengan kadar yang muncul setelah lahir
pada janin prematur yang tidak diterapi yang kemudian berkembang menjadi RDS.
Penekanan adrenal diukur sampai 72 jam setelah pemberian betametason, ini lebih sedikit
daripada stressed sick newborns. Karena itu betametason prenatal dapat dibandingkan
dengan respon stress fisiologik yang dialami oleh neonatus. Dudley DJ et al,2003
Betametason dan deksametason hanya sedikit berbeda dalam hal kadar sirkulasi
glukokortikoid aktif pada janin. Betametason kadar puncaknya lebih rendah tapi
peningkatan aktivitasnya lebih lama. Hal ini meramalkan efektifitas yang sama pada
kedua regimen. Klinis tidak terdapat kerugian secara teoritis untuk berpindah- pindah
regimen ke yang lain. Injeksi langsung ke janin tidak mempunyai keuntungan karena obat
ini dapat dengan cepat berpindah melalui plasenta dalam bentuk aktifnya. Dudley DJ et al,2003
b. Metabolisme dan Ekskresi
Hanya sedikit proporsi kortikosteroid yang diekskresikan melalui ginjal, dan
clearance ginjal tidak meningkatkan selama kehamilan. Tempat utama untuk clearance
betametason adalah hati ibu. Suatu mekanisme yang mungkin untuk peningkatan
clearance pada wanita hamil adalah metabolisme betametason oleh unit plasenta janin.
8
Penelitian yang mendukung teori ini termasuk adalah gradian plasma transplasental yang
rendah, metabolisme invitro betametason dalam system human plasenta invitro, tidak
adanya peningkatan dalam metabolisme hepatik intrinsik dari betametason, dan tidak ada
bukti peningkatan ekskresi ginjal. Dudley DJ et al,2003
c. Mekanisme Kerja
1. Pengaruh secara fisiologi
Efek fisiologi glukokortikoid pada perkembangan paru adalah meningkatkan
surfaktan paru. Penelitian-penelitian awal yang dilakukan terhadap kelinci dan domba
menunjukkan bahwa glukokortikoid merangsang pembentukan struktur paru dan mulai
timbul produksi surfaktan paru. Secara histologi dapat diamati sebagai pendataran epitel,
penipisan septum alveolus, peningkatan differensiasi sel. Selain dari efek terhadap
surfaktan , glukokortikoid meningkatkan compliance paru dan volume maksimal paru.
Pemberian glukokortikoid janin juga mengurangi kebocoran protein dari pembuluh
pulmoner ke ruang udara dan meningkatkan clearance cairan paru sebelum kelahiran. Hay
WW,2001; Dudley DJ et al,2003; Cunningham FG et al, 2001
2. Pengaruh secara biokimia
Mekanisme betametason atau kortikosteroid lainnya yang terbaru untuk
menurunkan frekuensi respiratory distress syndrome, melibatkan induksi protein yang
mengatur sistem biokimia dengan sel tipe II pada paru janin yang memproduksi
surfaktan. Dudley DJ et al,2003; Cunningham FG et al, 2001
Pada sel-sel paru janin manusia yang dikultur, pemberian deksametason
meningkatkan kandungan protein surfaktan A, B, C, D, sambil merangsang aktifitas
semua enzim penting untuk biosintesis fosfolipid. Karena itu, konsentrasi fosfatidilkolin
yang larut meningkat. Pada gilirannya hal ini merangsang perkembangan badan – badan
lamelar, yang kemudian disekresikan ke dalam lumen ruang udara. Glukokortikoid
mempunyai efek- efek tambahan yang membantu pernapasan, dengan cara meningkatkan
aktifitas enzim anti oksidan dan menginduksi protein yang terlibat dalam clearance
cairan paru. Masing-masing efek ini menunjukkan suatu sisi dari pematangan paru janin
9
dan berlanjut dengan memfasilitasi transisi dalam pernapasan setelah kelahiran. Dudley DJ et
al,2003; Cunningham FG et al, 2001
3. Pengaruh terhadap jaringan lain
Observasi klinis terhadap efek multisistem terapi steroid terhadap bayi baru lahir
konsisten dengan data yang didapat dari penelitian hewan. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa kortikosteroid membantu perkembangan hati, usus, kulit, glandula
adrenal, ginjal, dan jantung janin. Contoh-contoh ini menggambarkan efek global steroid
terhadap transisi perkembangan mayor dan menyediakan suatu dasar ilmiah untuk
penggunaan terapi steroid antenatal untuk mempercepat fase perkembangan pada janin
manusia sebelum kelahiran preterm. Dudley DJ et al,2003
d. Tipe kortikosteroid
Deksametason dan betametason merupakan kortikosteroid yang lebih banyak
digunakan untuk terapi antenatal, tapi hidrokortison tidak menunjukkan keuntungan yang
sama. Dua komponen ini identik dalam aktifitas biologi dan dengan mudah melewati
plasenta dalam aktivitas biologinya. Mereka sama sekali tanpa aktifitas
mineralokortikoid, secara relatif lemah dalam aktifitas imunosupresif, dan mempunyai
durasi yang lebih lama daripada kortisol dan metilprednisolon. Mereka juga
kortikosteroid antenatal yang paling luas diteliti untuk peningkatan maturitas janin.NIH, 1994
Komposisi kimia kedua obat ini hanya berbeda pada deksametason mempunyai
suatu kelompok metil di posisi 16 dalam konfigurasi alfa, sedangkan betametason
mempunyai metil di posisi beta. Dudley DJ et al,2003
Liggins dan Howie meggunakan suspensi betametason pada penelitian mereka
karena kortikosteroid fluorinasi melewati plasenta dari ibu ke janin dan mencapai level
darah janin lebih kurang 30% dari level darah ibu, dan juga karena garam asetat
merupakan larutan yang bebas.
Betametason dan deksametason adalah secara struktur fluorinasi
kortikosteroidnya mirip, dan mempunyai potensi genomik yang sama. Betametason
secara signifikan mengurangi kematian, sedangkan deksametason tidak. Pada penelitian
retrospektif Baud dkk dilaporkan bahwa deksametason dihubungkan dengan peningkatan
10
kualitatif periventricular leukomalacia, dimana betametason secara signifikan
mengurangi periventricular leukomalacia.
Betametason adalah rangsangan yang lebih poten untuk pematangan paru, efek
kemudian dari perkembangan saraf pada tikus kurang dibandingkan deksametason. Pada
manusia efek variabilitas denyut jantung janin pada betametason kurang dibanding
deksametason, tapi perbedaan ini tidak dijumpai pada penelitian lain. Peningkatan
periventricular leukomalacia yang dihubungkan dengan deksametason antenatal
merupakan hasil dari bahan pengawet sulfit yang terkandung dalam produk itu. Sulfit
dapat merusak sel neural in vitro. Jadi disimpulkan bahwa betametason dan
deksametason tidaklah sama ,dan betametason merupakan obat pilihan untuk pengobatan
kortikosteroid antenatal.Jobe AH et al, 2004
Tabel 1. Glukokortikoid Relatif, Aktifitas Mineralokortikoid dan Dosis Equivalent Pada Steroid Adrenal Natural dan Sintetik
Glukokortikoid Perkiraan dosis equivalent ( mg )
Potensi Relatif Anti inflamasi
(Glukokortikoid )
Potensi Relatif Mineralokortikoid
Kortison 25 0.8 2
Hidrokortison 20 1 2
Prednison 5 4 1
Prednisolon 5 4 1
Triamsinolon 4 5 0
Metilprednisolon 4 5 0
Deksametason 0.75 20-30 0
Betametason 0.65-0.75 20-30 0
Dari Mercer BM.Assesment and Induction of Fetal Pulmonary Maturity.In Maternal Fetal Medicine 4rd ed WB Saunders Company Philadelphia, p.456. 2001
C. Penggunaan kortikosteroid saat antenatal
Pemberian kortikosteroid saat antenatal pada wanita hamil dengan resiko
kelahiran preterm adalah merupakan salah satu terapi yang paling efektif dan penting.
Pemberian kortikosteroid ini dapat memperbaiki fungsi paru janin dan melindungi janin
dari kematian dini.Newnham JP et al, 2002
11
a. Indikasi
Beberapa indikasi penggunaan kortikosteroid saat antenatal pada usia kehamilan
24 – 34 minggu :
Persalinan preterm
Perdarahan antepartum (HAP)
Premature ruptur of the membran (PROM)
Ketika usia kehamilan bertambah, wanita hamil yang dirawat sebaiknya diberikan
kortikosteroid untuk mencegah peningkatan insiden RDS.Stalker S, 2004
b. Kontraindikasi
Satu – satunya kontraindikasi penggunaan steroid antenatal adalah infeksi uterin
yang terbukti secara klinis. The British National Formulary menyatakan bahwa terapi
kortikosteroid merupakan kontraindikasi untuk infeksi sistemik. Pada wanita dengan
kelahiran preterm yang mungkin menderita infeksi intra uterin subklinis, anjuran
pemberian steroid pada masa kehamilannya masih dipertanyakan. Mereka meneliti 169
bayi yang mendapat steroid dengan korioamnionitis histologi ditemukan pada evaluasi
patologi post partum terhadap 358 bayi dengan korioamnionitis histologi tanpa terapi
steroid antenatal. Terdapat peningkatan sepsis neonatus yang tidak bermakna (18,3 % vs
14 %). Mereka menyimpulkan bahwa pengobatan steroid antenatal pada wanita dengan
infeksi intra uterin subklinis bukan merupakan kontraindikasi. Dudley DJ et al, 2003;Stalker S, 2004
c. Dosis dan cara pemberian
Dosis yang digunakan adalah untuk deksametason 6 mg intramuskular 4 kali
dengan interval 12 jam. Untuk betametason 12 mg intramuskular 2 kali berjarak 24 jam.
Untuk kedua obat ini, suatu dosis pengobatan menghabiskan waktu 48 jam. Dosis yang
lebih tinggi atau lebih sering tidak meningkatkan keuntungan terapi kortikosteroid dan
mungkin meningkatkan kerugian dari efeknya.NIH, 1994; Dudley DJ et al; Cunningham FG et al, 2001; Mupanemunda RH et al, 1997;
Martin JN, 2003
Liggins dan Howie (1972) melakukan studi random dengan pemberian
betametason 12 mg intramuskuler, 2 kali berjarak 24 jam, menghasilkan pengurangan
signifikan insiden respiratory distress syndrome dan penurunan angka kematian perinatal
12
yang dilahirkan sebelum 34 minggu. Efek ini hanya terjadi bila kelahiran lebih dari 24
jam dan sebelum 7 hari setelah pemberian terapi glukokortikoid. Mercer BM, 2004; Arias F, 1993
Pasien rawat jalan yang diberikan deksametason oral juga telah dipertimbangkan
pada pasien yang rawat jalan yang mempunyai risiko melahirkan prematur.
Deksametason digunakan sebagai obat oral dengan absorpsi yang baik. Pada sebuah
penelitian yang membandingkan pemberian deksametason antenatal secara intamuskular
dan oral pada 170 pasien yang kemudian dihentikan karena terdapat peningkatan yang
signifikan neonatal sepsis (10.1% oral vs 1.2% im) dan IVH (10.1% oral vs 2.4% im).
Tidak ada penjelasan efek buruk pada janin pada pemakaian deksametason oral ini.
Mereka menyimpulkan bahwa deksametason oral sebaiknya tidak diberikan pada yang
sudah mendapatkan intramuskular. Keuntungan klinis pemberian steroid intravena belum
diteliti pada kehamilan manusia. Jobe AH, 2004
d. Waktu pemberian
Terdapat bukti kuat keuntungan pada neonatal pada pengobatan kortikosteroid
antenatal dimulai 24 jam dan paling lambat sampai 7 hari setelah pengobatan. Fakta ini
percaya bahwa berkurangnya kematian, RDS, dan IVH bahkan pengobatan yang diawali
kurang dari 24 jam pertama kelahiran. Baik secara klinik dan fakta invitro percaya bahwa
efek biologi kortikosteroid berlangsung sampai 7 hari dari awal pengobatan.
Keuntungan klinis melebihi 7 hari setelah terapi kortikosteroid antenatal tidak
mempunyai data yang adekuat. Juga keuntungan atau risiko pengulangan pemberian
terapi setelah 7 hari belum diketahui.NIH, 1994; Evoy CM, 2000
Pada analisis sekunder berdasarkan interval waktu antara pemberian dan
kelahiran, bayi yang dilahirkan antara 48 jam dan 7 hari setelah pemberian pengobatan
glukokortikoid menunjukkan keuntungan yang paling besar (odds ratio 0,35 ). Odds ratio
untuk bayi yang dilahirkan kecil 24 jam – 48 jam pemberian pengobatan (0,8) atau lebih
7 hari (0,63) mengindikasikan potensi kecendrungan efek menguntungkan tetapi tidak
mencapai angka statistik yang bermakna. Crowley P, 1997; Dudley DJ,2003
13
Liggins dan Howie mencatat bahwa frekuensi gawat pernapasan akan meningkat
kalau bayi dilahirkan antara 7-21 hari setelah terapi dengan betametason dibandingkan
dibandingkan frekuensi gawat pernapasan pada bayi yang dilahirkan 1 hingga 7 hari
setelah terapi itu selesai.17,25 Lebih lanjut, Brown dkk (1979) menemukan pada janin
domba bahwa peningkatan kadar surfaktan akan turun kembali kepada nilai sebelum
terapi dalam waktu 8 hingga 10 hari. Karena itu, jika akan digunakan senyawa ini, terapi
ulang harus dipertimbangkan kalau persalinan bayi belum terjadi dalam waktu 7 hari
sejak terapi pertama, dan bila risiko persalinan dini masih terdapat.27 Dua penelitian besar
menunjukkan pengurangan RDS setelah pemberian steroid antenatal. Liggins dan Howie
menemukan bahwa pengobatan betametason antenatal mengurangi insiden RDS 30 %,
dari 15,6 % menjadi 10 % (P=0,02) pada 853 bayi. Ada 60 % pengurangan , dari 23,7 %
menjadi 8,8 %(p=0,001), pada subgroup yang melahirkan di atas 24 jam , tetapi kurang 7
hari setelah pengobatan. Di Amerika Serikat, pada sebuah uji random multisenter
menggunakan deksametason, insiden RDS berkurang dari 16,1 % menjadi 10,1 % pada
janin tunggal yang diberi glukokortikoid antenatal. Dudley DJ,2003
Compliance paru pada bayi yang menerima kortikosteroid antenatal dosis tunggal
tapi dilahirkan setelah 7 hari pengobatan tidak berbeda dengan bayi yang tidak mendapat
pengobatan, yang meyakini bahwa perbaikan compliance paru adalah phenomen yang
dibatasi waktu dimana jika persalinan preterm tidak terjadi , maka pool surfaktan ini
menghilang. Kapasitas residual fungsional pada bayi yang dilahirkan setelah dosis
berulang tapi dengan pengobatan yang optimal ditemukan lebih tinggi daripada bayi
yang tidak mendapat pengobatan. Penelitian pada binatang telah diperlihatkan bahwa
struktur histologi berubah dengan meningkatnya volume rongga udara setelah pemberian
kortikosteroid antenatal.Evoy CM et al, 2000
e. Umur kehamilan saat pemberian terapi
Berdasarkan usia kehamilan, Howie dan Liggins menunjukkan bahwa efek terapi
yang paling baik pada janin antara usia kehamilan 30-32 minggu. Pengurangan insiden
RDS yang signifikan pada bayi adalah usia kehamilan dibawah 30 minggu dan antara
usia kehamilan 32-34 minggu. Setelah 34 minggu pengobatan hanya memberikan
pengaruh yang sedikit pada outcome pernapasan bayi yang baru lahir.Arias F, 1993
14
Untuk bayi yang lahir pada usia kehamilan 29-34 minggu, pengobatan dengan
kortikosteroid antenatal jelas mengurangi insiden RDS dan mortalitas. Untuk neonatus
yang lahir pada minggu ke 24-28 minggu usia kehamilan, kortikosteroid antenatal tidak
jelas menurunkan angka RDS, tetapi terapi ini berhubungan dengan penurunan derajat
berat RDS, insiden IVH, dan mortalitas. Sedikit bukti yang mendukung pemakaian
kortikosteroid antenatal sebelum usia kehamilan 24 minggu meskipun baru terdapat
sedikit alveoli yang sederhana pada usia kehamilan ini. Penggunaan kortikosteroid
antenatal tidak dianjurkan sebelum usia kehamilan mencapai 24 minggu atau sesudah 34
minggu.NIH,1994; Martin JN, 2003
Pada semua janin yang berisiko kelahiran preterm dipertimbangkan untuk
pemberian pengobatan antenatal dengan kortikosteroid pada usia kehamilan antara 24-34
minggu. NIH,1994
National Institute of Health (NIH), American College of Obstetricians and
Gynecologist (ACOG), dan Royal College of Medicine telah memberikan seluruh
pengobatan dengan kortikosteroid antenatal yang telah direkomendasikan terhadap
wanita yang mempunyai risiko melahirkan prematur pada awal 34 minggu usia
kehamilan. NIH,1994; Arias F,1993; Guinn DA et al, 2001
Pada semua janin yang berisiko kelahiran preterm dipertimbangkan untuk
pemberian pengobatan antenatal dengan kortikosteroid pada usia kehamilan antara 24-34
minggu. NIH,1994
f. Keuntungan dan Kerugian Pemberian Kortikosteroid saat antenatal
1. Keuntungan jangka pendek pada bayi
Pengobatan kortikosteroid antenatal pada bayi prematur pada banyak penelitian
secara random telah mengurangi mortalitas neonatal dan insiden RDS. Apabila
dikombinasi dengan pengobatan surfaktan post natal, angka kematian semakin lebih
rendah. Pada meta-analisis menunjukkan pengurangan insiden RDS dengan odds rasio
0.5 (95% Cl 0.4-0.6) dan pengurangan mortalitas neonatal dengan odds rasio 0.6 (95% Cl
0.5-0.8). Data ini signifikan tidak hanya secara statistik, tapi secara klinis juga
menunjang. Perbaikan stabilitas sirkulasi dan berkurangnya kebutuhan oksigen dan
15
bantuan ventilasi merupakan keuntungan tambahan pada penelitian tersebut.NIH, 1994; Meneguel
JF et al, 2003
Perbandingan apgar score pada menit pertama dan kelima, bayi baru lahir yang
mendapat kortikosteroid antenatal secara signifikan mempunyai apgar score pada menit
pertama lebih besar daripada bayi yang tidak mendapat kortikosteroid antenatal. Apgar
score yang tinggi ini mungkin karena stabilnya kardiovaskular dan respirasi pada
neonatus prematur yang mendapat kortikosteroid antenatal. Penelitian pada binatang
menunjukkan efek kortikosteroid pada mekanisme adaptasi pada kehidupan ekstra uterin.
Stein dkk mendemostrasikan pada anak domba prematur bahwa kortikosteroid
memperbaiki ventilasi, sirkulasi, dan fungsi metabolik dengan meningkatkan aktifitas
adenil siklase miokardium.
Kortikosteroid juga meningkatkan resptor adrenergik pada dinding pembuluh
darah dan miokardium, yang berpengaruh terhadap stabilnya kardiosirkulasi pada saat
lahir. Hal ini berpengaruh secara tidak langsung dengan berkurangnya frekuensi RDS. Meneguel JF et al, 2003
2. Keuntungan jangka panjang pada bayi
Beberapa studi pada penelitian random telah mengikuti perkembangan bayi
selama 12 tahun . Peningkatan kelangsungan hidup pada pengobatan pada bayi tidak
menghasilkan dampak yang merugikan pada jangka panjang.NIH, 1994
3. Kerugian jangka pendek pada bayi
Risiko pada janin dan neonatus setelah pemberian glukokortikoid antenatal
muncul lebih jarang dan reversibel. Dalam meta-analisis Crowley(1989) tidak ada bukti
yang meyakinkan akan adanya efek samping yang signifikan. Mercer BM, 2004
4. Kerugian jangka panjang pada bayi
Risiko jangka panjang dari pemberian preparat glukokortikoid pada bayi yang
berhasil diselamatkan masih belum diketahui. Penelitian yang diawali pada tahun 1970-
an, yang telah mengikuti perkembangan anak-anak yang telah diobati kortikosteroid
antenatal sampai berumur 12 tahun, menunjukkan bahwa tidak ada efek yang merugikan
pada daerah motor skill, bahasa, kognisi, memori, konsentrasi.
5. Kerugian jangka pendek dan jangka panjang pada ibu
Kerugian jangka pendek dan panjang pada ibu belum pernah dilaporkan.
16
17
BAB III
KESIMPULAN
1. Terapi kortikosteroid antenatal yang diberikan untuk pematangan paru dapat
mengurangi angka kematian RDS pada bayi preterm.
2. Keuntungan paling luas pemberian kortikosteroid antenatal bila diberikan pada
kehamilan antara 24-34 minggu usia kehamilan, dan tidak dibatasi oleh jenis
kelamin dan ras.
3. Pemberian kortikosteroid antenatal memberikan keuntungan jangka pendek untuk
janin melebihi risiko jangka pendek untuk janin dan ibu.
4. Kortikosteroid akan optimal memperbaiki outcome bayi bila diberikan antara 24
jam sampai 7 hari setelah pemberian
5. Drug of choice untuk kortikosteroid ini adalah betametason.
6. Karena kurangnya data ilmiah dari penelitian mengenai efektivitas dan keamanan
pengulangan kortikosteroid, seharusnya penggunaannya tidak diberikan secara
rutin
18
DAFTAR PUSTAKA
Arias F: Preterm Labor, In Practical Guide to High-Risk Pregnancy and Delivery. Mosby Year Book, Inc, 1993; 71-99.
Crowley P: Prevention of Respiratory Distress Syndrome, In Preterm Labor. Churchill Livingstone Inc, 1997; 319 – 327
Cuningham FG, Macdonald PC, Gant NF Preterm Birth: In Williams Obstetric 21st Ed. The Mc Graw-Hill Companies,New York,2001; 689 – 718.
Dudley DJ, Waters TP, Nathanielsz PW: Current Status of Single-Course Antenatal Steroid Therapy. Clinical Obsteric and Gynecology. (46) (1), 2003, l32-149.
Evoy CM, Bowling S, Williamson K, Collins J, Tolaymat L, Maner J. Timing of Antenatal Corticosteroid and Neonatal Pulmonary Mechanics. Am. J. Obstet. Gynecol. 2000; 183 (4): 845 – 99.
JohnWiley & Sons, Ltd. Different corticosteroids and regimens for accelerating fetal lung maturation for women at risk of preterm birth. Discipline of Obstetrics and Gynaecology, The University of Adelaide. 2004
J Obstet Gynecol India. FETAL LUNG MATURITY Vol. 55, No. 3 : May/June 2005 Pg 215-217
French NP, Hagan R, Evan SF. Repeated Antenatal Corticosteroid: Size at Birth and Subsequent Development. Am J Obstet Synecol 1999; 180 (1). 114 – 121.
Guinn DA : Repeat Courses of Antenatal Corticosteroids: The Controversy Continues. Am J Obstet Gynecol, 2004; Vol 190. No.3. 586 – 7.
Walter de Gruyter J. Perinat. Med. Recommendations and guidelines for perinatal practice Guideline for the use of antenatal corticosteroids for fetal maturation. New York 36 (2008) 191–196
Stalker S. Antenatal Corticosteroids to Prevent Respiratory Distress Syndrome. Available from http://www.Rcog.org.uk/resources/public/antenatal Corticosteroid No. 7. 2004.
19