14
1. Memahami dan menjelaskan trauma pelvis dan uretra a. Definisi Trauma pelvis Trauma buli – buli merupakan keadaan darurat bedah yang membutuhkan penanganan segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera, dapat menimbulkan komplikasi, seperti peritonitis dan sepsis. Trauma uretra Trauma uretra adalah trauma yang biasanya terjadi pada pria dibandingkan dengan para wanita, berhubungan dengan fraktur pelvis dan “straddle injury”. Terjadi cedera yang menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial atau total. b. Klasifikasi Trauma pelvis Menurut Tile (1988) a. Tipe A: stabil A1: fraktur panggul tidak mengenai cincin- A2: stabil, terdapat pergeserancincin yang minimal dari fraktur b. Tipe B: tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikal B1:open book B2: kompresi lateralipsilateral B3: kompresi lateral c. Tipe C: tidak stabil secara rotasi dan vertikal C1: unilateral C2: bilateral C3: disertai frakturasetabulum Berdasarkan stabilitas dan komplikasia. Fraktur avulsib. Fraktur stabilc. Fraktur tidak stabild Trauma uretra Berdasarkan anatomi, diklasifikasikan menjadi: Ruptur uretra anterior : terletak di distal diafragma urogenital Ruptur uretra posterior : terletak di proksimal diafragma urogenital c. Etiologi. Trauma pelvis 1. Trauma buli – buli terbanyak karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen patah tulang pelvis yangmencederai buli – buli. 2. Trauma iatrogenik, seperti operasi ginekologik dan operasi daerah pelvis atau akibat tindakan endoskopik, seperti operasi transurethral. 3. Trauma tumpul dapat menyebabkan ruptur buli – buli, terutama dalam keadaan penuh atau terdapat kelainan patologik, seperti tuberkulosis, tumor,atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menimbulkan ruptur.

Trauma Pelvis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

pbl kaliye

Citation preview

1. Memahami dan menjelaskan trauma pelvis dan uretraa. Definisi Trauma pelvisTrauma buli buli merupakan keadaan darurat bedah yang membutuhkan penanganan segera. Bila tidak ditanggulangi dengan segera, dapat menimbulkan komplikasi, seperti peritonitis dan sepsis. Trauma uretraTrauma uretra adalah trauma yang biasanya terjadi pada pria dibandingkan dengan para wanita, berhubungan dengan fraktur pelvis dan straddle injury. Terjadi cedera yang menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial atau total.

b. Klasifikasi Trauma pelvisMenurut Tile (1988)a. Tipe A: stabilA1: fraktur panggul tidak mengenai cincin-A2: stabil, terdapat pergeserancincin yang minimal dari frakturb. Tipe B: tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikalB1:open bookB2: kompresi lateralipsilateralB3: kompresi lateralc. Tipe C: tidak stabil secara rotasi dan vertikalC1: unilateral C2: bilateralC3: disertai frakturasetabulumBerdasarkan stabilitas dan komplikasia. Fraktur avulsib. Fraktur stabilc. Fraktur tidak stabild

Trauma uretraBerdasarkan anatomi, diklasifikasikan menjadi: Ruptur uretra anterior: terletak di distal diafragma urogenital Ruptur uretra posterior: terletak di proksimal diafragma urogenital

c. Etiologi. Trauma pelvis1. Trauma buli buli terbanyak karena kecelakaan lalu lintas atau kecelakaan kerja yang menyebabkan fragmen patah tulang pelvis yangmencederai buli buli. 2. Trauma iatrogenik, seperti operasi ginekologik dan operasi daerah pelvis atau akibat tindakan endoskopik, seperti operasi transurethral. 3. Trauma tumpul dapat menyebabkan ruptur buli buli, terutama dalam keadaan penuh atau terdapat kelainan patologik, seperti tuberkulosis, tumor,atau obstruksi sehingga trauma kecil sudah menimbulkan ruptur.4. Trauma tajam akibat luka tusuk atau tembak yang jarang ditemukan.

Trauma uretraTrauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar (eksternal) dan cedera iatrogenik akibat instrumentasi pada uretra. Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis menyebabkan rupturnya uretra pars membranasea, sedangkan trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupturnya uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter atau businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra karena false route atau salah jalan, demikian pula dengan tindakan operasi trans-uretra dapat menimbulkan cedera uretra iatrogenik.

d. Patofisiologi Trauma pelvis1. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio atau ruptur kandung kemih.2. Pada kontusio bulibuli hanya terjadi memar pada dinding buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urin.3. Ruptur bulibuli dapat bersifat intraperitoneal atau ekstraperitoneal.4. Ruptura ekstraperitoneal biasanya terjadi oleh karena fragmen dari frakturpelvis menusuk bulibuli sehingga perforasi. Hal ini mengakibatkan terjadi ekstravasasi urin di rongga perivesikale.5. Ruptura intraperitoneal terjadi bila bulibuli dalam keadaan penuh dan terjadi trauma langsung pada daerah abdomen bawah (direct blow). Pada kasus ini, akan terjadi gejalagejala peritonitis.

Trauma uretra Ruptur uretra posteriorTrauma uretra posterior biasanya disebabkan oleh trauma tumpul atau karena fraktur pelvis. Uretra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma urogenital dan terjadi perubahan posisi prostat ke arah superior (prostat menjadi terapung / floating prostat) dengan terbentuknya hematoma periprostat dan perivesical.

Ruptur uretra anteriorUretraanterior terbungkus di dalam corpus spongiosum penis. Corpus spongiosum bersama corpora cavernosa penis dibungkus oleh fascia buck dan fascia colles. Jika ruptur uretra beserta corpus spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tapi masih terbatas pada fascia buck, di mana secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun jika fascia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fascia colles sehingga darah dapat menjalar hingga ke scrotum atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberi gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma.

e. Faktor resiko Trauma pelvisTrauma kandung kemih akibat trauma tumpul pada panggul, tetapi bisa juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan luka tusuk oleh senjata tajam, dancedera dari luar, cedera iatrogenik dan patah tulang panggul. Pecahan-pecahan tulang panggul yang berasal dari fraktur dapat menusuk kandung kemih tetapi rupturekandung kemih yang khas ialah akibat trauma tumpul pada panggul atas kandungterisi penuh.

Tenaga mendadak atas massa urinaria yang terbendung di dalamkandung kemih yang menyebabkan rupture. Perforasi iatrogen pada kandung kemihterdapat pada reseksi transurethral sistoskopi atau manipulasi dengan peralatan padakandung kemih

Trauma uretraAdanya trauma pada perut bagian bawah, panggul, genetalia eksterna maupun perineum

f. Manifestasi klinis Trauma pelvis1. Tandatanda fraktur pelvis mudah didiagnosa dengan pemeriksaan fisikdengan ditemukannya nyeri tekan dan krepitasi daerah fraktur.2. Kadangkadang fraktur pelvis disertai perdarahan hebat sehingga penderita bisa datang dengan anemia bahkan syok. 3. Pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom dan terdapatnyeri tekan di daerah suprapubik tempat hematom. 4. Pada ruptur intraperitoneal, ditemukan tandatanda abdomen akut sertaurin masuk ke rongga peritoneum sehingga memberikan tanda ada cairan diabdomen dan ada ransang peritoneum.5. Pada ruptur ekstraperitoneal, terdapat tanda adanya infitrasi urin dirongga peritoneal yang sering menyebabkan septisemia serta penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil dan kadang keluar darah dari uretra6. Trauma uretra1. Perdarahan dari uretra2. Hematoma perineal3. Retensi urin, sebelumnya masih bisa miksi walaupun nyeri4. Bila buli-buli terlalu penuh, terjadi ekstravasasi sehingga timbul nyeri

g. Diagnosis Trauma pelvis1. Foto pelvis/ foto polos perut terdapat fraktur tulang pelvis2. Katerisasi dikerjakan bila klinis tidak terdapat darah menetes sari urethra. Bila terdapat darah menetes dari urethra, harus dibuat uretrogram untuk memastikan adanya ruptur uretra. Pada katerisasi sering didapatkan gross hematuria3. Trauma VU ditegakkan dengan Sistogram: untuk mengetahui adanya ruptur VU dan lokasi ( intra/ ekstra) Sistografi : nampak kebocoran berupa ekstravasasi kontras dalam rongga perivesica (tidak dianjurkan)Cara: masukan kontras 300- 400 ml ke VUFoto antero-posterior (AP)Kosongkan VU kemudian bilas dan foto lagiDengan hasil:a. Tidak ada ekstravasasi merupakan diagnosa dari kontusio buli-bulib. Ekstravasasi seperti nyala api pada daerah perivesikal menunjukkan ruptur ekstraperitonealc. Kontras masuk rongga abdomen menunjukkan ruptur intraperitoneal

Trauma uretra1. Ax/ : riwayat trauma , mekanisme trauma hematome.2. PD/ : Trias rupture uretra posterior: bloody discharge, retensi urin, floating prostatRuptur uretra anterior: hematom/ darah memar pada penis dan skrotumRuptur total: tidak bisa BAK sejak trauma ( raba VU penuh), nyeri perut bagian bawah dan daerah suprapubikkarena kateter: obstruksi oleh edema /bekuan darah ekstravasasi urin dapat menambah atau mengurangi darah sehingga dapat meluas juah trgantung fasia yang rusak dan timbul infiltrat: infiltrat urin menimbulkan infeksi kemudian selulitis dan septisemia. Trias ruptur uretra anterior: bloody discharge, retensio urin, dan hematom/ jejas peritoneal/ urin infiltrat.3. Lab. : urinalisis eritrosit positif.4. Radiologis : uretrografi, AP pelvic foto.

h. Tata laksana Trauma pelvisDatang syok diberikan resusitasi cairan IV/ darah. Setelah sirkulasi stabil, lakukan reparasi VU dengan prinsip memulihkan ruptur VU:a. Penyaliran ruang perivesikalb. Pemulihan dinding, penyaliran VU, dan perivesikalc. Jaminan arus urin melalui kateter

Operasi dikerjakan dengan insisi mediana suprapubik. Pada ruptur ekstraperitoneal, setelah buli-buli dibuka, dilakukan repair. Dilakukan juga inspeksi rongga peritoneum untuk memastikan adakh cairan berdarah, yang merupakan indikasi untuk eksplorasi rongga peritoneum lebih lanjut. Luka ditutup dengan meninggalkan sistosomi suprapubik dan juga dipasang kateter uretra. Pada ruptur intraperitoneal operasi dilakukan dengan langsung membuka peritoneum, dan repair buli-buli dilakukan dengan membuka buli-buliUntuk luka yang lebih berat, biasanya dilakukan pembedahan untuk menentukan luasnya cedera dan untuk memperbaiki setiap robekan. Selanjutnya air kemih dibuang dari kandung kemih dengan menggunakan 2 kateter, 1 terpasang melalui uretra (kateter trans-uretra) dan yang lainnya terpasang langsung ke dalam kandung kemih melalui perut bagian bawah (kateters suprapubik). Kateter tersebut dipasang selama 7-10 hari atau diangkat setelah kandung kemih mengalami penyembuhan yang sempurna.

Trauma uretraPenatalaksanaan trauma urethra posterior Kateterisasi urethra merupakan kontraindikasi pada pasien ruptur urethra. Setelah kegawatan dapat diatasi, maka dipasang sistosomisuprapubik dengan membuka buli buli dan melakukan inspeksi buli buli secara baik untuk meyakinkan ada / tidaknya laserasi buli buli. Dalam minggu pertama setelah dipasang sistosomi suprapubik,pemasangan kateter urethra dapat dicoba dengan bantuan endoskopidengan anestesi.Bila tindakan ini berhasil, kateter dipertahankan kuranglebih 4 minggu (kateter silikon).Komplikasi trauma urethra posterior Striktura urethra, impotensi dan inkontinensia Komplikasi akan tinggi bila dilakukan repair segera, dan akanmenurun bila hanya melakukan sistostomi suprapubik terlebih dahulu dankemudian repair dilakukan belakangan .Penatalaksanaan trauma urethra anterior Eksplorasi segera pada daerah ruptura dan dilakukan repair urethra

Komplikasi trauma urethra anterior Perdarahan, infeksi/sepsis dan striktura urehtra .

i. Komplikasi Trauma pelvisKomplikasi segera Trombosis vena ilio femoral Robekan kandung kemih Robekan uretra Trauma rektum dan vagina Trauma pembuluh darah besar Trauma pada sarafKomplikasi lanjut- Pembentukan tulang heterotrofik Nekrosis avaskuler Gangguan pergerakan sendi

Trauma uretraTerjadinya striktur uretra dan resiko impotent. Impotensi terjadi karena corpora kavernosa penis, pembuluh darah, dan suplay syaraf pada area ini mengalami kerusakan.

j. Prognosis Trauma uretraApabila komplikasi dapat dihindari, prognosisnya baik

2. Memahami dan menjelaskan kesadaran dan struktur cerebralKesadaran adalah keadaan yang mencerminkan pengintegrasian implus aferen dan eferen.Gangguan keasadaran adalah dimana tidak terdapat aksi dan reaksi, walaupun dirangsang secara kasar.

a. Mekanisme gangguan kesadaranProses supratentorial dapat menyebabkan penurunan tingkat kesadaran1. Disfungsi difus kortikal dari korteks serebri seperti ensefalitis, neoplasma, trauma kepala tertutup dengan perdarahan, empiema subdural (akumulasi nanah) intraserebral.2. Disfungsi subkortikal bilateral seperti trauma batang otak, GPDO.3. Kelainan lokal hemisfer serebri disebabkan masa yang menjepit, menekan struktur bagian dalam diensefalon, herniasi mengganggu talamus dan activating hipotalamus.

Proses infratentorial, penuruan kesadaran.1. Destruksi langsung pada ARAS2. Batang otak rusak akibat invasi langsung (GPDO, diemilinasi, neoplasma, granuloma)3. Kompresi ARAS langsung pada pons dan midbrain, iskemik dan edema, yang dapat menyebabkan herniasi keatas serebelum dan kebawah.

b. Cara penilaian kesadaran (kualitatif dan kuantitatif)Penilaian secara kualitatifKualitas kesadaran atau isi kesadaran menunjukkan kemampuan dalam mengenal diri sendiri dan sekitarnya yang merupakan fungsi hemisfer serebri.

Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : Kompos mentis, inkompos mentis (apati, delirium, somnolen, sopor, koma) Kompos mentis :Keadaan waspada dan terjaga pada seseorang yang bereaksi sepenuhnya dan adekuat terhadap rangsang visuil, auditorik dan sensorik. Apatis : Sikap acuh tak acuh, tidak segera menjawab bila ditanya. Delirium :Kesadaran menurun disertai kekacauan mental dan motorik seperti desorientasi, iritatif, salah persepsi terhadap rangsang sensorik, sering timbul ilusi dan halusinasi. Somnolen : Penderita mudah dibangunkan, dapat lereaksi secara motorik atau verbal yang layak tetapi setelah memberikan respons, ia terlena kembali bila rangsangan dihentikan. Sopor (stupor) : Penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang. Koma : Tidak ada sama sekali jawaban terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun hebatnya

Penilaian secara kuantitatif(Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 6 tergantung responnya.Eye (respon membuka mata) :(4) : spontan(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :(5) : orientasi baik(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan waktu.(3) :kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak)(2) : suara tanpa (mengerang)(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :(6) : mengikuti perintah(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri)(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).(2): extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol EVM..Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil : GCS : 14 15 = CKR (cidera kepala ringan) GCS : 9 13 = CKS (cidera kepala sedang. GCS : 3 8 = CKB (cidera kepala berat)Sistem penilai tingkat kesadaran yang digunakan secara luas saat ini adalah Skala Koma Glasgow. Tiga petunjuk utama dari kesadaran adalah: membuka mata, respons verbal dan respons motor. Tabel 1

Glasgow Coma ScaleGlasgow Coma Score

Eye opening (E)

Spontaneous with blinking 4

To call 3

To pain 2

None 1

Motor response (M)

Obeys commands 6

Localizes pain 5

Normal flexion (withdrawal) 4

Abnormal flexion (decorticate) 3

Extension (decerebrate) 2

None (flaccid)1

Verbal response (V)

Oriented 5

Confused coversation4

Inappropriate words 3

Incomprehensible sounds 2

None 1

GCS cum score = (E+M+V); best possible score = 15;worst possible score = 33. Memahami dan mejelaskan kasus kegawatdaruratan mataa. DefinisiKedaruratan mata adalah sikap keadaan yang mengancam tajam penglihatan seseorang berupa penurunan tajam penglihatan sampai terjadinya kebutaan.

b. KlasifikasiBerdasrkan konsep penanganan masalah gawat darurat maka kedaruratan mata dapat dikelompokkan dalam beberapa keadaan :1. Sight threatening condition.Dalam situasi ini mata akan mengalami kebutaan atau cacat yang menetap dengan penurunan penglihatan yang berat dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit saja bila tidak segera mendapatkan pertolongan yang tepat. Cedera mata akibat bahan kimia basa (alkali) termasuk dalam keadaan ini. Oklusi arteria sentralis retina merupakan keadaan bukan trauma yang termasuk dalam kelompok ini.2. Mayor conditionDalam situasi ini pertolongan harus diberikan tetapi dengan batasan waktu yang lebih longgar, dapat beberapa jam sampai beberapa hari. Bila pertolongan tidak diberikan maka penderita akan mengalami hal yang sama seperti disebutkan pada sight threatening condition3. Monitor conditionSituasi ini tidak akan menimbulkan kebutaan meskipun mungkin menimbulkan suatu penderitaan subyektif pada pasien bila terabaikan pasien mungkin dapat masuk kedalam keadaan mayor condition.

c. EtiologiKedaruratan mata dapat terjadi karena dua hal :1. Tidak ada hubungannya dengan trauma mata, misalnya Glaukoma akuta. Oklusi arteria sentralis retina.2. Disebabkan trauma.Ada dua macam trauma yang mempengaruhi mata, yaitu : Trauma langsung terhadap mata. Trauma tidak langsung dengan akibat pada mata, misalnya : Trauma kepala dengan kebutaan mendadak Trauma dada dengan akibat kelainan pada retina.

Pembagian sebab-sebab trauma langsung terhadap mata adalah sebagai berikut:1. Trauma mekanik.a. Trauma tajam, biasanya mengenai struktur dibola mata (tulang orbita dan kelopak mata) dan mengenai bola mata (ruptura konjungtiva, ruptur kornea).b. Trauma tumpul, Fraktur dasar orbita ditandai dengan enoftalmus. Dapat terjadi kebutaan pasca trauma tumpul orbita. Hematoma palpebra biasanya dibatasi oleh rima orbita, selalu dipikirkan cedera pada sinus paranasal.c. Trauma ledakan / tembakan.Ada 3 hal yang terjadi yaitu: Tekanan udara yang berubah. Korpus alineum yang dilontarkan ke arah mata yang dapat bersifat mekanik maupun zat kimia tertentu. Perubahan suhu / termis.2. Trauma non-mekanik.a. Trauma kimia dibedakan menjadi dua, trauma yang disebabkan oleh zat yang bersifat asam, dan trauma yang disebabkan oleh zat yang bersifat basa.b. Trauma termik, Trauma ini disebabkan seperti panas, umpamanya percikan besi cair, diperlukan sama seperti trauma kimia.c. Trauma radiasi, disebabkan oleh infra merah dan ultraviolet.

d. Manifestasi klinisLebamOedemaNyeriLakrimasiAdanya benda asingPupil bergeser (T10 meningkat)Adanya zat kimiaPerubahan visus

e. Diagnosis banding Trauma kimia (agen asam) ODS

f. Tata laksana1. Trauma oftalmik. Bila dicurigai ada laserasi,cedera tembus, ruptur bola mata jangan lakukan penekanan. Penekanan dapat diakibatkan ekstrusi isi intraokuler dak kerusakan yang tidak dapat diperbaiki. Robekan kelopak mata, letakkan ibu jari dan jari telunjuk pada atas dan bawah orbita.2. Cedera bola mata. Hindari manipulasi mata sampai saat perdarahan. Pasang balutan ringan tanpa tekanan, dan perisai logam yang bersandar pada tulang orbita diplester kedahi dan pipi. Pembalutan bilateral, jaga jarak bola mata minimal. Kolaborasi antibiotik, analgesik, anti tetanus. Bila ruptur bola mata sudah teratasi periksakan struktur lain dapat dilakukan laserasi kelopak mata, penjahitan.3. Benda asing, lakukan irigasi tanpa menyentuh kornea.4. Abrasi kornea, balut tekan mata mengkolaborasi antibiotik, anastesi. Monitor efeki anatesi, terlambat penyembuhan.5. Luka bakar kimia,irigasi segera dengan air bersih atau NaCl , bilas terus sampai 20 menit atau sampai bersih.6. Ruptur bola mata, pasang perisai, hindari manipulasi, jangan pakai tetes mata.7. Trauma tumpul, kontusio orbita, kompres es, istirahatkan

g. Komplikasi

1. Mengancam penglihatan. Glaukoma kronik Perdarahan vitreus Eksoftalmus unilateral Kelainan syaraf

2. Kerusakan permanen. Benda asing Abrasi kornea Laserasi bola mata Infeksi konjungtivitis berat, selulitis orbita Penyumbatan arteri Pengelupasan retina Ensoftalmos

h. PrognosisPrognosis: Ropel-Hall System Grading Grade 1: prognosis sangat baik Grade 2: prognosis baik Grade 3: prognosis harus berhati-hati Grade 4: prognosis sangat buruk

4. Memahami dan menjelaskan hifemaa. DefinisiHifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu daerah di antara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan.

b. EtiologiHifema biasanya disebabkan trauma tumpul pada mata yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar. Gaya-gaya kontusif akan merobek pembuluh darah iris dan merusak sudut camera oculi anterior (COA). Tetapi dapat juga terjadi secara spontan atau pada patologi vaskuler ocular. Darah ini dapat bergerak dalam kamera anterior, mengotori permukaan dalam kornea. Inflamasi yang parah pada iris, sel darah yang abnormal dan kanker mungkin juga bisa menyebabkan perdarahan pada bilik depan mata. Kadang-kadang pembuluh darah baru yang terbentuk pada kornea pasca bedah katarak dapat pecah sehingga timbul hifema.Perdarahan dapat terjadi segera sesudah trauma yang disebut perdarahan primer. Perdarahan primer dapat sedikit dapat pula banyak. Perdarahan sekunder biasanya timbul pada hari ke 5 setelah trauma. Perdarahannya biasanya lebih hebat daripada yang primer. Oleh karena itu seseorang dengan hifema harus dirawat sedikitnya 5 hari. Dikatakan perdarahan sekunder ini terjadi karena resorpsi dari bekuan darah terjadi terlalu cepat sehingga pembuluh darah tak mendapat waktu yang cukup untuk regenerasi kembali.Perdarahan spontan dapat terjadi pada mata dengan rubeosis iridis, tumor pada iris, retinoblastoma, dan kelainan darah. Hifema spontan pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukemia dan retinoblastoma.Pada penyembuhan darah pada hifema dikeluarkan dari COA dalam bentuk sel darah merah melalui sudut COA menuju kanal Schiem sedangkan sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris. Penyerapan pada iris dipercepat dengan adanya enzim fibrinolitik di daerah ini. Sebagian hifema dikeluarkan setelah terurai dalam bentuk hemosiderin. Bila terdapat penumpukan dari hemosiderin ini, dapat masuk ke dalam lapisan kornea, menyebabkan kornea menjadi bewarna kuning dan disebut hemosiderosis atau imbibisio kornea, yang hanya dapat ditolong dengan keratoplasti. Imbibisio kornea dapat dipercepat terjadinya oleh hifema yang penuh disertai glaukoma.Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan. Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari luar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di bagian terendah.

c. KlasifikasiTingkatan dari hifema ditentukan oleh banyaknya perdarahan dalam bilik depan bola mata. Pembagian mengenai tingginya hifema sangat berbeda-beda dari berbagai pengarang. Tetapi pembagian yang cukup berguna dan paling sering digunakan adalah pembagian menurut :

Edward Layden: Hifema tingkat 1: bila perdarahan kurang dari1/3 bilik depan mata. Hifema tingkat II: bila perdarahan antara 1/3 sampai 1/2 bilik depan mata. Hifema Tingkat III bila perdarahan lebih dari bilik depan mata.Rakusin membaginya menurut : Hifema tk I: perdarahan mengisi 1/4 bagian bilik depan mata. Hifema tk II : perdarahan mengisi 1/2 bagian bilik depan mata. Hifema tk III: perdarahan mengisi 3/4 bagian bilik depan mata. Hifema tk IV : perdarahan mengisi penuh biIik depan mata.

Berdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi: Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan pecahnya pembuluh darah iris dan badan silier akibat trauma pada segmen anterior bola mata. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata). Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga pembuluh darah pecah. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile xanthogranuloma). Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).

Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu: Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.

d. PatofisiologiTrauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan hidraulis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta merobek lapisan otot spingter sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi jernih kembali.

Umumnya pendarahan yang timbul dapat berasal dari: Kumpulan arteri utama dan cabang dari badan ciliar, Arteri koroid, Vena badan siliar dapat juga terlibat/tidak, Pembuluh darah iris pada sisi pupil.

e. Manifestasi KlinisPasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Selain itu, dapat terjadi peningkatan tekanan intra ocular, sebuah keadaan yang harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya glaucoma.Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea.Terdapat pula tanda dan gejala yang relative jarang: penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat

f. DiagnosisPemeriksaan lengkap perlu dilakukan pada pasien trauma bola mata untuk menyingkirkan trauma terbuka pada bola mata. Dan setiap kunjungan selanjutnya ketajaman visus, keadaan jaringan mata lainnya, luas hifema, dan tekanan bola mata harus diperiksa.Pemeriksaan menggunakan slit lamp digunakan untuk menilai jumlah akumulasi darah, memastikan tidak ada darah yang menggeras (clot), dan penyerapan darah tetap lancar. Pemeriksaan Laboratorium; seluruh orang kulit hitam dan keturunan Hispanik dengan hifema harus diketahui keadaan sel darah sabitnya6. Pemeriksaan Radiologi; tidak terlalu diperlukan, tetapi dapat menilai adanya tulang orbita yang patah atau retak. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus dapat menurun akibat kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler, glaukoma. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal contact, aqueous flare, dan synechia posterior. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO normal atau meningkat ringan.

g. PenatalaksanaanPenatalaksanaan hifema tanpa komplikasi glaukoma dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 45 derajat pada kepala dan mata ditutup (bukan dibebat tekan). Pada penderita yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Biasanya hifema akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari (4-7 hari) tergantung dari banyaknya darah. Selama perawatan harus dimonitor tekanan intra okuler untuk mencegah terjadinya glaukoma.Untuk mengurangi nyeri, dapat diberikan paracetamol. Tidak disarankan pemberian pereda nyeri jenis aspirin, karena salah satu efek aspirin akan menyebabkan perdarahan spontan kembali pada sumber perdarahan yang sudah berhenti. Obat-obatan untuk mengurangi tekanan intraokuler golongan penghambat anhidrase karbonat misalnya asetazolamid dapat diberikan. Prinsip penanganan adalah untuk mencegah perdarahan ulang dan mencegah tekanan intra okuler yang tinggi.Pada hifema yang telah disertai dengan glaukoma, maka penanganannya bertujuan untuk menghentikan perdarahan serta berusaha secepat mungkin menghilangkan darah yang berada di kamera anterior. Untuk menghentikan perdarahan dapat diberikan koagulansia agar darah dapat membeku dengan cepat, dapat pula dengan memperkuat dinding pembuluh darah. Mencegah perdarahan sekunder perlu pula dilakukan. Perdarahan sekunder sering terjadi akibat inflamasi, sehingga pemberian obat anti inflamasi dapat membantu mencegah perdarahan sekunder.Pada beberapa kasus, prosedur pembedahan parasentesis (mengeluarkan darah dari bilik mata depan) dilakukan bila terdapat hifema yang penuh dan berwarna hitam, imbibisi kornea, glaukoma akibat hifema, atau bila setelah 5 hari tidak ada tanda-tanda hifema akan berkurang. Parasentesis dilakukan dengan membuat insisi pada kornea dekat limbus, kemudian diberi salep mata antibiotik dan mata ditutup dengan verband.

h. PrognosisTergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah mencapai 1/ 60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.

5. Memahami dan menjelaskan GCS