34
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat darurat suatu rumah sakit. ”No head injury is so serious that it should be despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored”, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009). Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh. Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).

Trauma kapitis rin gan m usriani AKPER PEMKAB MUNA

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit gawat

darurat suatu rumah sakit. ”No head injury is so serious that it should be despaired of, nor so

trivial as to be lightly ignored”, menurut Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang perlu

dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita

abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien

meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian

ketiga dari semua jenis trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut

penelitian yang dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa

diantara semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma kepala dan

kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala (Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh,

Zarei, 2009).

Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa trauma

kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas, 2006). Angka kematian

trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki dibanding perempuan yaitu sebanyak

26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000. Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat

trauma kepala mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami trauma

kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus (1993), dalam penelitiannya ditemukan

bahwa anak remaja hingga dewasa muda mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam

kecelakaan lalu lintas dan akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung

mengalami trauma kepala disebabkan oleh terjatuh.

Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan terjatuh

(Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang mengalami tabrakan kendaraan

bermotor merupakan penyebab trauma kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan

dengan pasien dewasa (Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi

sebanyak 1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak fatal akibat

kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).

1.2 Rumusan Masalah

Apa pengertian dari trauma kepala?

Apa saja klasifikasi dari trauma kepala?

Apa saja etiologi dari trauma kepala?

Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala?

Apa saja manifestasi klinis dari trauma kepala?

Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala?

Pemeriksaan punujang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?

Penatalaksanaan apa yang dilakuka n pada pasien trauma kepala?

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan Instruksional Umum

Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu untuk mengerti dan memahami asuhan keperawatan

pada pasien yang mengalami Trauma Kepala dengan menggunakan pendekatan proses

keperawatan

1.3.2. Tujuan Instruksional Khusus

Diharapkan pada akhir penulisan ini mahasiswa mengetahui gambaran penderita yang

mengalami trauma kepala dengan rumusan seperti berikut:

a. Anatomi dan fisiologi kepala

b. Pengertian trauma kepala

c. Etiologi trauma kepala

d. Klasifikasi trauma kepala

e. Patofisiologi trauma kepala

f. Manifestasi klinik trauma kepala

g. Penatalaksanaan trauma kepala

h. Pembuatan dan penerapan asuhan keperawaratan trauma kepala

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Anatomi dan Fisiologi

Anatomi Kepala

A. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective

tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue

atau jaringan penunjang longgar dan pericranium

B. Tulang tengkorak

Tulang kepala terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii . Tulang tengkorak terdiri dari

beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital . Kalvaria khususnya diregio

temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata

sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.

Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media

tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum .

C. Meningen

Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :

1. Dura mater

Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan

lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa

yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput

arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara

dura mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,

pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di

garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan

perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan

sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat .

Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium

(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri

ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri

meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media) .

2. Selaput Arakhnoid

Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang . Selaput arakhnoid

terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput

ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater

oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis . Perdarahan sub arakhnoid

umumnya disebabkan akibat cedera kepala .

3. Pia mater

Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri . Pia mater adarah membrana

vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang

paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya.

Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater .

D. Otak

Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg).

Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan

diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons,

medula oblongata dan serebellum .

Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus . Lobus frontal berkaitan dengan fungsi

emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi

sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital

bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem

aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata

terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi koordinasi dan

keseimbangan .

E. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi

sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju

ventrikel III, akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam

sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya

darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan

CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intrakranial . Angka rata-rata pada kelompok populasi

dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari..

F. Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari

fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

G. Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini

beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak

tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai

katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis..

Fisiologi Kepala

Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan

secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa dalam posisi

terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari lumbal pungsi yaitu 4 – 10 mmHg .

Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.

Prognosis yang buruk terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila

menetap .

Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus bertambah sementara

TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran CSS dan darah intravaskuler mencapai titik

dekompensasi maka TIK secara cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat

menerangkan tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus

selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie .Otak memperoleh suplai darah

yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan

glukosa yang cukup . Aliran darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara

50-55 ml per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar tergantung

pada usainya . ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama sejak cedera pada keadaan

cedera otak berat dan koma. ADO akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada

penderita yang tetap koma ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu

setelah cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 60-70 mmHg

sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO .

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Definisi

Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan kerusakan yang

kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput otak, dan jaringan otak itu sendiri.

Menurut Brain Injury Assosiation of America cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala,

bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik

dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan

kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Menurut David A Olson dalam artikelnya cedera kepala

didefenisikan sebagai beberapa perubahan pada mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh

suatu benturan keras pada kepala.

3.2. Klasifikasi

Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi

klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi .

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;

1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan

benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan

otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak

.

2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.

Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;

1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak . Fraktur

dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk

fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara

normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan

untuk memperbaiki tulang tengkorak .

2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural,

kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan .

Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi :

Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala digunakan Glasgow

Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5)

dan buka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya cedera kepala

dikelompokkam menjadi :

1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala berat.

2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,

3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.

3.3. Etiologi

Trauma kapitis paling sering dijumpai pada kecelakaan lalulintas (60%). Disamping itu

dapat pula dijumpai pada kecelakaan yang terjadi sewaktu berolahraga, jatuh dari pohon,

kejatuhan kelapa dll. Setiap trauma kapitis dapat menimbulkan kerusakan pada otak (brain

damage), disamping itu dapat pula dijumpai luka pada kepala atau mungkin suatu factor kranii

atau hanya luka memar saja.

Suatu fraktor kranii membuktikan bahwa trauma kapitis tersebut adalah trauma yang

cukup berat, dan trauma yang bdemikian berat biasanya menimbulkan pula kerusakan pada otak,

namun demikian tidak jarang kita lihat adanya kerusakan pada otak tanpa tanda-tanda adanya

fraktur kranii pada foto rotgen.. Bila kepala itu terbentur pada jalan aspal misalnya maka gaya

akselerasi deselerasi yang mencakup seluruh otak akan dapat menimbulkan kerusakan sel-sel

neuron, perdarahan, laserasi serebri dan kontusio serebri pada otak.

Setiap trauma kapitis yang telah menimbulkan kesadaran menurun/koma, walaupun

sangat singkat selalu/telah memberikan suatu kerusakan struktural pada otak. Kerusakan dapat

beruipa kelainan yang reversible tetapi dapat pula menjadi kerusakan yang permanen misalnya

sel-sel ganglion dalam nucleus vestibularis tampak berkurang.

Disamping kesadaran yang menurun, suatu trauma kapitis dapat pula menimbulkan

amnesia yang terbagi dalam :

1. Amnesia Retrograd ; yaitu amnesia tentang hal-hal yang terjadi beberapa saat sampai

beberapa hari terjadi trauma kapitis.

2. Amnesia pasca traumatic (PTA = Post Traumatik Amnesia) yaitu amnesia tentang hal-hal

yang terjadi sesudah trauma kpitis.

Dari panjangnya PTA ini secara retrospektif kita dapat mengetahui tentang berat ringannya

trauma kapitis tersebut. Walaupun penderita telah dapat bicara spontan namun ia tidak ingat

bahwa waktu itu telah dilakukan pemeriksaan rotgen, Eeg dll. Selain dari pada itu penderita tidak

ingat lagi siapa yang bertamu danb menengoknya pada waktu itu. Suatu trauma kapitis dapat

menimbulkan kesadaran menurun tetapi apa yang menimbulkan kesadaran itu menurun sampai

kini masih belum jelas.

Bila terjadi trauma kapitis maka dapat dibedakan atas :

1. Trauma Kapitis tertutup

a. Komusio cerebri

Adalah dimana sipenderita koma setelah mendapat trauma kapitis, mengalami kesadaran

menurn sejenak (± dari 10 menit), kemudian dengan cepat siuman kembali tanpa mengalami

suatu defisit neurologis.

b. Kontusio cerebri

Terdapat perdarahan jaringan otak, timbul karena adanya ruptur di kapiler subtansia grisea dan

subtansia alba. Kesadaran menurun (dapat sampai koma yang dalam), dapat berlangsung

beberapa jam sampai berhari-hari, bahkan sewaktu-waktu dapat berlangsung dalam beberapa

minggu.

c. Edema cerebri

Bila hal ini terjadi, maka :

¤ Penderita bertambah gawat.

¤ Kesadaran terus menurun, misalnya semula hanya samnolen menjadi koma misalnya

semula skor 10 menjadi skor 4.

¤ Funduskopi terlihat papil bendung, keadaan ini mengkhawatirkan karena akan dapat

menimbulkan inkaserasio inkus kedalam insisura tentorii atau tonsil serebelli

kedalam foramen magnum.

Bila penderita memperlihatkan kesadaran menurun terus, hendaknya

mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan :

¤ Hipoksia –hiperkapnoe

¤ Telah diberikan injeksi luminal, largati atau vitamin.

¤ Setelah tindakan pem,bedahan abdominal, tulang atau operasi lainnya.

d. Hematoma Epidural

Adalah suatu haematom yang terjadi diantara duramater tulang, timbul karena telah

terjadi sobekan pada arteri meningen media atau pada salah satu cabangnya dari

artericarotis ekterna yang masuk dalam rongga tengkotak melalui foramen spinosum.

Sobekan dapat terjadi bila ada garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalannya

arteri meningen media.

e. Haematoma Subdural

Timbul oleh karena adanya sobekan pad “Biridgins Veins”, dapat akau atau kronis.

Diagnosis yang kronis tidak gampang dan gejalanya sangat menyerupai gejala tumor

serebri serta terletak diantara duramater dan arachnoid yang dapat menyerap cairan

sekitarnya, oleh karena itu simptomatologi sangat menyerupai gejala tumor serebri.

Trauma kapitis ringan sehingga penderita tidak ingat kapan dan dimana kepalanya

terbentur, tidak menimbulkan kesadaran menurun. Diantaranya trauma kapitis danm

timbulnya haematoma subdural terdapat jarak yang cukup panjang.

f. Haematoma Intraserebral

g. Fraktur Kranii

Untuk mengetahui ada tidaknya fraktur kranii,sebaiknya dilakukan foto ronogen

kepala dan palpasi.

Fraktur Impresi ( fraktur depresi )

Bagian yang patah menonjol kedalam rongga tengkorak, nampak pada foto kepala

utamanya proyeksi tangensial pada tempat fraktur , tidak jarang ditemukan juga fraktur bentuk

bintang (stellate fracture ). Dikemudian hari dapat menimbulkan epilepsy, apalagi bila menekan

girus prensentralis, perlu reposisi ( oper ratif atau disedot vakum ) agr tulang kembali

kedudukannya semula.

Bila ada perlukaan kepala, sewaktu pembersihan luka sebaiknya diraba dasar luka

ditutup.

Fraktur Basis Cranii :

- Fraktur fossa kranii media, tampak :

• Perdarahan liang telingan

• Lesi N. VII, VIII dan VI (atau N.IV III dan V)

• Mungkin otoroe(keluar liquor dari liang telinga)

- Frakltur fossa kranii anterior, tampak :

• Anosmi

• Lesi N Optikus dekstra/sinistra atau keduanya

• Mungkin Rinorhea (keluar liquor dari hidung)

2. Trauma Kapitis Terbuka

Trauma Spirai :

Lesi spiral terutama servikal memerlukan tindakan penanganan ekstra karena transportasi dan

pembuatan foto leher dapoat mencelakakan penderita, terutama lesi servikal atau misalnya akibat

fraktur atau spordilostesis C1 – C2 – C3. Sebaiknya leher segera difiksasi sejak dijalan raya.

Pembuatan foto sangat hati-hati atau ditunda dahulu dan dipasang kawat likasi atau traksi leher

secepatrnya, jangan dilakukan funksi lumbal atau pemeriksaan kaku kuduk dan valsava.

Umumnya tidak diperlukan obat khusus tetapi anti oedema dapat menolong. Lesi spiral lain yang

sering adalah ovulsi radialis terutama dari regio fleksus brachialis yang sangat nyeri, secara

dermatomal jelas dan dapat mengakibatkan paresis anggota badan terkait. Diagnosis ovulsi

diperkuat oleh EEG, evaked potensial, mielografi dan MRI

3.4. Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi.

Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak

tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar

akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan

bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma.

Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar

glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses

metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat,

hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob.

Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik.

Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr.

jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.

Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas atypical-myocardial,

perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah

perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.

Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan

tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi . Pengaruh persarafan

simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan

coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan

pergerakan kepala. Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada

sisi yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah

benturan. Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan .;

1. Rear end Impact

keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil. Otak pertama kali akan

menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun kepala pada awalnya bergerak ke

belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak bagian depan.

2. Backward/forward motion of head

Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga pergerakan otak terlambat dari

tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang tengkorak bagian depan. Pada keadaan

ini, terdapat daerah yang secara mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang

antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat otak

bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah menjadi tekanan tinggi dan

menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya gelembung yang mendadak

sangat berbahaya bagi pembuluh darah otak karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang

memperoleh suplai darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga

bila terjadi pergerakan kepala ke depan.

Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi 2

1. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian

cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi

permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel

yang sakit dapat menjalani proses penyembuhan yang optimal

2.Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih merupakan

fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat, pencegahan cedera kepala skunder

dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan/keluaran penderita.Penyebab cedera kepala skunder

antara lain; penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan

hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema,

pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi)

Aspek patologis

Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural (perdarahan yang

terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural (perdarahan yang terjadi

antara dura mater dan arakhnoidea), higroma subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan

arakhnoidea), perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yangterjadi di dalam ruangan

antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak

jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan secara

berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama

berupa sulsi dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia

dan hematoma serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak .

3.6. Mekanisme Klinis

Gejala :

1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat.

2. Muntah proyektil.

3. Papil edema.

4. Kesadaran makin menurun.

5. Perubahan tipe kesadaran.

6. Tekanan darah menurun, bradikardia.

7. An isokor.

8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.

Tipe / macam Trauma kepala antara lain :

1. Trauma kepala terbuka.

Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan otak dan melukai :

Merobek duramater -----LCS merembes.

Saraf otak

Jaringan otak.

Gejala fraktur basis :

Battle sign.

Hemotympanum.

Periorbital echymosis.

Rhinorrhoe.

Orthorrhoe.

Brill hematom.

2. Trauma kepala tertutup

a) Komosio

Cidera kepala ringan

Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.

Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit.

Tanpa kerusakan otak permanen.

Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.

Disorientasi sementara.

Tidak ada gejala sisa.

MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi tanda-tanda vital.

Tidak ada terapi khusus.

Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap, duduk --- berdiri -- pulang.

Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.

b) Kontosio.

Ada memar otak.

Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal --- perdarahan.

Gejala :

·Gangguan kesadaran lebih lama.

·Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi.

·Gejala TIK meningkat.

·Amnesia retrograd lebih nyata.

c) Hematom epidural.

Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.

Lokasi tersering temporal dan frontal.

Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.

Katagori talk and die.

Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).

Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa menit - beberapa jam) --

-- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi, dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala

hebat, reflek patologik positip.

d) Hematom subdural.

Perdarahan antara duramater dan arachnoid.

Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis.

· Akut :

Gejala 24 - 48 jam.

Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.

PTIK meningkat.

Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.

· Sub Akut :

Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala

TIK meningkat --- kesadaran menurun.

· Kronis :

Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan.

Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.

Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

e) Hematom intrakranial.

Perdarahan intraserebral ± 25 cc atau lebih.

Selalu diikuti oleh kontosio.

Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi mendadak.

Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.

3.7. Komplikasi

Koma. Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma. Pada situasi ini, secara

khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun,

sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa

vegetative statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon

reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan

sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari satu tahun jarang sembuh .

Seizure. Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali

seizure pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang

menjadi epilepsy

Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran (meningen) sehingga

kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki

potensial untuk menyebar ke sistem saraf yang lain .

Kerusakan saraf. Cedera pada basis tengkorak dapat menyebabkan kerusakan pada nervus

facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk

pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan ganda .

1. Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses

informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala

berat mengalami masalah kesadaran .

2. Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala resiko perkembangan

terjadinya penyakit alzheimer tinggi dan sedikit terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi

tergantung frekuensi dan keparahan cedera

2.7. Pemeriksaan klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi anamnesis, pemeriksaan

fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital

juga dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu

badan Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus dilakukan yaitu dengan

Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun

1974 yang digunakan sebagai standar internasional

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale

Nilai GCS = ( E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3

Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan wajah, respon

sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu dilakukan. Pupil pada penderita cedera

Glasgow Coma Scale Nilai

Responmembukamata (E)

Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

4

3

2

1

Respon verbal (V)

Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

5

4

3

2

1

Respon motorik (M)

Mengikuti perintah

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

6

5

4

3

2

1

kepala didak berdilatasi pada keadaan akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan

sebagai tanda awal terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak

ekstrimitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula spinalis.

Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat kesadaran dengan memberikan

rangsangan pada kulit penderita CT scan merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi

penderita cedera kepala CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan

kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>. CT scan dapat

memperlihatkan tanda terjadinya fraktur, perdarahan pada otak (hemoragi), gumpalan darah

(hematom), luka memar pada jaringan otak (kontusio), pada jaringan otak dan udem.Selain itu

juga dapat digunakan foto rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken tomografik

terkomputerisasi. Pada pasien cedera kepala berat, penundaan transportasi penderita karena

menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis serta terapi yang cepat sangat penting..

3.8. PENATALAKSANAAN

Pedoman Resusitasi dan Penilaian awal

1. Menilai jalan napas: bersihkan jalan napas, lepaskan gigi palsu, pertahankan tulang servikal

segaris dengan badan, pasang guedel, bila perlu intubasi.

2. Menilai pernapasan: tentukan apakah pasien bernapas spontan atau tidak.

3. Menilai sirkulasi: otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan.

Pasang jalur intravena yang besar, ambil darah vena untuk pemeriksaan darah perifer lengkap,

ureum, elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan larutan koloid, larutan kristaloid

(dekstrosa atau dekstrosa dalam salin) dapat menimbulkan eksaserbasi edema otak pasca cedera

kepala.

4. Obati kejang: Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat

diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15

mg/kgBB diberikan intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit.

5. Menilai tingkat keparahan.

Pedoman Penatalaksanaan

1. Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan foto tulang belakang servikal

(proyeksi antero-posterior. lateral, dan odontoid), kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan

bahwa seluruh tulang servikal Cl -C7 normal.

2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan prosedur berikut:

- Pasang jalur intravena dengan larutan salin normal (NaCI 0,9%) atau larutan Ringer laktat:

cairan isotonis lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis, dan

larutan ini tidak menambah edema serebri.

- Lakukan pemeriksaan: hematokrit, periksa darah perifer lengkap, trombosit, kimia darah:

glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin atau masa tromboplastin parsial, skrining

toksikologi dan kadar alkohol bila perlu

3. Lakukan CT Scan dengan jendela tulang: foto rontgen kepala tidak diperlukan jika CT- Scan

dilakukan, karena CT Scan ini lebih sensitif untuk mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera

kepala ringan, sedang, atau berat, harus dievaluasi adanya:

- Hematoma epidural

- Darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel

- Kontusio dan perdarahan jaringan otak

- Edema serebri

- Obliterasi sisterna perimesensefalik

- Pergeseran garis tengah

- Fraktur kranium, cairan dalarn sinus, dan pneumosefalus.

4. Pada pasien yang korna (skor GCS < 8) atau pasien dengan tanda-tanda hemiasi, lakukan

tindakan berikut ini :

- Elevasi kepala 30o

- Hiperventilasi

- Berikan manitol 20 % 1g/kgbb intravena dalarn 20-30 menit. Dosis ulangan dapat diberikan 4-6

jam kemudian 1/4 dosis semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama

- Pasang kateter Foley

- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi

Penatalaksanaan Khusus

1. Cedera kepala ringan: pasien dengan cedera kepala ini umumnya dapat dipulangkan ke rumah

tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila memenuhi kriteria berikut:

- Hasil pemeriksaan neurologis (terutama status mini mental dan gaya berjalan) dalam batas

normal

- Foto servika1jelas normal

- Ada orang yang bertanggung-jawab untuk mengamati pasien selama 24 jam pertama, dengan

instruksi untuk segera kembali ke bagian gawat darurat jika timbul gejala perburukan

Kriteria perawatan di rumah sakit:

- Adanya darah intrakranial atau fraktur yang tampak pada CT Scan

- Konfusi, agitasi, atau kesadaran menurun

- Adanya tanda atau gejala neurologis fokal

- Intoksikasi obat atau alcohol

- Adanya penyakit medis komorbid yang nyata

- Tidak adanya orang yang dapat dipercaya untuk mengamati pasien di rumah.

2. Cedera kepala sedang: pasien yang menderita konkusi otak (komosio otak), dengan skala

korna Glasgow 15 dan CT Scan normal, tidak pertu dirawat. Pasien ini dapat dipulangkan untuk

observasi di rumah, meskipun terdapat nyeri kepala, mual, muntah, pusing, atau amnesia. Risiko

timbuInya lesi intrakranial lanjut yang bermakna pada pasien dengan cedera kepala sedang

adalah minimal.

3. Cedera kepala berat: Setelah penilaian awal dan stabilisasi tanda vital, keputusan segera pada

pasien ini adalah apakah terdapat indikasi intervensi bedah saraf segera (hematoma intrakranial

yang besar). Jika ada indikasi, harus segera dikonsulkan ke bedah saraf untuk tindakan operasi.

Penatalaksanaan cedera kepala berat seyogyanya dilakukan di unit rawat intensif.

- Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi

- Monitor tekanan darah

- Pemasangan alat monitor tekanan intrakranial pada pasien dengan skor GCS < 8, bila

memungkinkan.

- Penatalaksanaan cairan: hanya larutan isotonis (salin normal atau larutan Ringer laktat) yang

diberikan kepada pasien dengan cedera kepala karena air bebas tambahan dalam salin 0,45% atau

dekstrosa 5 % dalam air (D5W) dapat menimbulkan eksaserbasi edema serebri.

- Nutrisi: cedera kepala berat menimbulkan respons hipermetabolik dan katabolik, dengan

keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.

- Temperatur badan: demam mengeksaserbasi cedera otak dan harus diobati secara agresif

dengan asetaminofen atau kompres dingin.

- Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus intravena, kemudian 300 mg/hari intravena. Jika

pasien tidak menderita kejang, fenitoin harus dihentikan setelah 7- 10 hari. Steroid: steroid tidak

terbukti mengubah hasil pengobatan pasien dengan cedera kepala dan dapat meningkatkan risiko

infeksi, hiperglikemia, dan komplikasi lain. Untuk itu, Steroid hanya dipakai sebagai pengobatan

terakhir pada herniasi serebri akut (deksametason 10 mg intravena sebap 4-6 jam selama 48-72

jam).

- Profflaksis trombosis vena dalam

- Profilaksis ulkus peptic

- Antibiotik masih kontroversial. Golongan penisilin dapat mengurangi risiko meningitis

pneumokok pada pasien dengan otorea, rinorea cairan serebrospinal atau udara intrakranial tetapi

dapat meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang lebih virulen.

- CT Scan lanjutan

Komplikasi Cedera Kepala Berat

1. Kebocoran cairan serebrospinal

2. Fistel karotis-kavemosus ditandai oleh trias gejala: eksolftalmos, kemosis, dan bruit orbita,

dapat timbul segera atau beberapa hari setelah cedera.

3. Diabetes insipidus oleh kerusakan traumatik pada tangkai hipofisis.

4. Kejang pasca trauma

3.8. Penatalaksanaan

2.9.1. Tindakan dan terapi

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk

memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan

umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit .

Untuk penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support (2004) telah

menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan cedera yaitu ringan, sedang dan

berat .

Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei sekunder.

Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain : A (airway), B

(breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure/environmental control) yang

kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera

kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder dan menjaga

homeostasis otak .

Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus diperhatikan.Jika

penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat.

Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh

benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk

membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervicalspinecontrol), yaitu

tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita

dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui

hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau

suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa

orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke

mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah

yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas

belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan

intubasi endotrakheal

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi

(circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan

eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi

perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif

normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya

dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut

nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri

radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis

yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya

teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan

eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka

Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan resusitasi

yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan duajalur intra vena.

Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya

terhadap cedera otak dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan.

Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah

dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan

intracranial

Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat menentukan keluaran

penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila keadaan penderita sudah stabil yang berupa

pemeriksaan keseluruhan fisik penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala

meliputi respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil, gerakan bola

mata (doll's eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori dengan suhu dingin (refleks

okulo vestibuler) dan refleks kornea

Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi perawatan di

rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT scan abnormal, semua cedera

tembus, riwayat hilangnya kesadaran, kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi

alkohol/obat-obatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna,

GCS<15>..

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan

suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa

pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan

antikonvulsan .

Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial >30 ml, midline

shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak depres dengan kedalaman >1 cm

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. PENGKAJIAN

Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan

sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya

komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)

nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan

darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.

2. Riwayat kesehatan :

Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah

simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya

liquor dari hidung dan telinga dan kejang

Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan

maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama

yang mempunyai penyakit menular.

Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-

data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.

3. Pemeriksaan Fisik

Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang,

tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku

kuduk, hemiparese.

Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema

otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.

4. Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala :

Obat-obatan :

Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai

dengan berat ringanya trauma.

Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.

Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa

40 % atau gliserol 10 %.

Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi

anaerob diberikan metronidasol.

Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan

apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari

terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami

penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka

hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam

pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari

selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube

(2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.

Pembedahan.

5. Pemeriksaan Penujang

· CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,

determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark /

iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

· MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

· Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan

jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

· Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

· X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur

garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

· BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

· PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

· CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.

· ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika

terjadi peningkatan tekanan intrakranial

· Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan

tekanan intrkranial

· Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan

kesadaran.

Penatalaksanaan

Konservatif:

· Bedrest total

· Pemberian obat-obatan

· Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

Prioritas Perawatan:

1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak

2. Mencegah komplikasi

3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal

4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga

5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan, dan

rehabilitasi.

Tujuan:

1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap

2. Komplikasi tidak terjadi

3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain

4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan

5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh keluarga sebagai

sumber informasi.

3.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:

1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.

2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.

3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan odem otak

4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma)

5. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.

6 Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya

sirkulasi perifer.

3.3. INTERVENSI

1.Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di otak.

~Tujuan :

Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.

~Kriteria evaluasi :

Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak

ada dan gas darah dalam batas-batas normal.

~Rencana tindakan :

· Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat

menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan

menyebabkan asidosis respiratorik.

· Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal

volume.

· Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari

inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan

pertukaran gas.

· Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi /

cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.

· Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak

adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.

· Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat

bila ada gangguan pada ventilator.

2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.

~Tujuan :

Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi

~Kriteria Evaluasi :

Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena

peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.

~Rencana tindakan :

1. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan

pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.

2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan

suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan

sputum.

3. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak.

Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.

4. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan

memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.

3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan Odem otak

~Tujuan :

Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.

~Kriteria hasil :

Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.

~Rencana tindakan :

A. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.

Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.

Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus eksternal dan indikasi

keadaan kesadaran yang baik.

Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk menentukan refleks batang

otak.

Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal peningkatan tekanan

intracranial adalah terganggunya abduksi mata.

1) Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.

Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat kesadaran dan tanda-tanda

peningkatan tekanan intrakranial. Adanya pernapasan yang irreguler indikasi terhadap adanya

peningkatan metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda

keadaan syok akibat perdarahan.

3) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.

Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena jugularis ,

menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan tekanan intrakranial.

4) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran urin dan

hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat mencetuskan respon otomatik peningkatan

intracranial

5) Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.

Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan tekanan intrakrania.

B. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.

Dapat menurunkan hipoksia otak.

C. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar (kolaborasi).

Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti osmotik diuritik untuk

menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat menurunkan udem otak, steroid (dexametason) untuk

menurunkan inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan

kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan tekanan

intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat meningkatkan pemakaian oksigen

otak.

4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma )

~Tujuan :

Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.

~Kriteria hasil :

Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan

kebutuhan, oksigen adekuat.

~Rencana Tindakan :

1) Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.

Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada

pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.

2) Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.

Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut,

telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk

meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.

3) Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.

Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga

kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori,

dan waktu.

4) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang

aman dan bersih.

Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu

agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.

5) Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.

Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.

5.Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.

~Tujuan :

Kecemasan keluarga dapat berkurang

~Kriteri evaluasi :

Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan

Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien

Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan meningkat.

~Rencana tindakan :

1. Bina hubungan saling percaya.

Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.

Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.

2. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan pada pasien.

Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.

3. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.

Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.

4. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.

Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan keimanan dan ketabahan

dalam menghadapi krisis.

6.Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak adekuatnya

sirkulasi perifer.

~Tujuan :

Gangguan integritas kulit tidak terjadi

~Rencana tindakan :

1. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan

kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.

2. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.

3. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.

4. Ganti posisi pasien setiap 2 jam

5. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan

terjadinya kerusakan kulit.

6. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.

7. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.

8. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.

9. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan

menggunakan H2O2.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisistas untuk membatasi

trauma kepala bila terbentur benda tumpul

2. Adanya fenomena yang meningkat setiap tahunnya untuk angka kejadian trauma kepala.

Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak. Klasifikasi cedera kepala

meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme

cedera yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).

Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral, laserasi atau hemorragi.

Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan

autoregulasi pang pada akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah

dan PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta cedera otak

menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh. Komplikasi dari trauma kepala

adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi. Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma

kepala adalah dilakukan observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus

dipuasakan terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan

pembedahan.

4.2. Saran

1. Untuk mahasiswa diharapkan supaya lebih bekerja sama dalam pembuatan makalah asuhan

keperawatan Trauma Kapitis.

2. Mahasiswa diharapkan supaya lebih aktif meningkatkan ilmu pengetahuan dan keterampilan

dalam bidang keperawatan khususnya Asuhan Keperawatan Trauma Kapitis.

DAFTAR PUSTAKA

http://myjxt-myjxt.blogspot.com/2011/11/asuhan-keperawatan-trauma-kepala.html

http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/trauma-kapitis/

file:///D:/temp/TRAUMA%20KAPITIS%20%C2%AB%20DokMud%27s%20zone.htm