Trauma Kapitis Melissa

Embed Size (px)

DESCRIPTION

TRAUMA KAPITIS

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus Trauma Kapitis ini tepat pada waktunya.Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Neurologi Program Studi Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta.Pada kesempatan ini, saya sebagai penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini, antara lain :1. Dr. Yuniarti, Sp. S, selaku pembimbing dalam penyusunan makalah1. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian makalah iniSaya menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Saya berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang kedokteran pada umumnya bagi para pembacanya.

Jakarta, Februari 2014

PenyusunMelissa Rosari Hartono

BAB. IPENDAHULUAN

Trauma kapitis adalah trauma yang mengenai calvaria dan atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya, dimana kerusakan tersebut bersifat non-degeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar sehingga dapat menimbulkan gangguan fisik, kognitif maupun sosial serta berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran.Insidensi trauma kapitis tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun, yaitu 32,8 orang dalam jumlah populasi 100.000 orang. Perbandingan laki-laki banding perempuan adalah 3,4 : 1. Penyebab utama trauma kapitis ini adalah kecelakaan lalu-lintas terutama kendaraan bermotor, setiap tahun sekitar 1 juta meninggal dan 20 juta orang mengalami cedera.Insiden trauma kapitis ini mencapai 26% dari semua kecelakaan, dan 33% kematian terjadi karena trauma kapitis. Insiden trauma kapitis akibat kecelakaan terdapat sekitar 50% meninggal sebelum tiba di Rumah sakit, 40% meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu perawatan. Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anamnesis dan pemeriksaan fisik umum dan neurologis harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.

BAB. IIILUSTRASI KASUS

I. IDENTITASNama: Ny. SSJenis Kelamin: Perempuan Umur : 43 tahun 5 bulanTempat, Tanggal Lahir: Jakarta, 01 November 1970Agama : IslamAlamat: Jl. Bangka V RT.10 RW. 03, Mampang, Jakarta SelatanWarga Negara: IndonesiaPendidikan: Tamat SLTAPekerjaan : Ibu rumah tanggaStatus perkawinan: CeraiTanggal masuk RS : 19 Februari 2014

II. ANAMNESISDilakukan autoanamnesis pada tanggal 20 Februari 2014 pada pukul 13.30 WIB.

Keluhan Utama : Tidak sadarkan diri sejak 15 menit SMRS post KLL.

Keluhan Tambahan :Sakit kepala, mual, dan muntah.

Riwayat Penyakit Sekarang :Pasien datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan penurunan kesadaran sejak 15 menit SMRS post Kecelakaan Lalu Lintas. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu lintas ketika sedang mengendarai sepeda motor sendirian. Pasien mengaku tidak mengingat mekanisme terjadinya kecelakaan dan berapa lama pingsannya. Pasien hanya mengingat bahwa pasien mengerem motornya secara mendadak karena motor di depannya tiba-tiba belok ke sebelah kiri karena menghindari mobil yang akan parkir. Saat itu pasien tidak mengenakan helm. Pasien sempat sadarkan diri saat dalam perjalanan ke rumah sakit dan merasa kepalanya sakit seperti berdenyut. Pasien merasa mual dan sempat muntah sebanyak 1 kali yang isinya makanan dan tidak menyembur saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Pada saat sampai di IGD, pasien baru benar-benar sadar dan mengeluhkan sakit kepala seperti berdenyut dan kadang berputar jika kepala digerakkan, serta masih terdapat perasaan mual. Pasien juga mengeluh nyeri pada daerah mata sebelah kiri dan lutut sebelah kirinya akibat luka yang dideritanya. Pasien menyangkal adanya lemah dan kesemutan pada kedua tangan kaki, nyeri pada leher, kejang, dan keluarnya darah maupun cairan dari telinga maupun hidung. Gangguan penglihatan dan pendengaran, serta bicara pelo juga disangkal oleh pasien. Pasien cenderung mengantuk dan sempat muntah lagi sebanyak 3 kali yang isinya air dan tidak menyembur, 2 kali di IGD RSUP Fatmawati dan 1 kali saat di ruang perawatan RSUP Fatmawati. Saat kejadian pasien tidak sedang mengkonsumsi alkohol maupun obat-obatan.

Riwayat Penyakit dahulu Riwayat trauma (-), kejang (-) HIV (-), hepatitis (-) Riwayat alergi makanan dan obat-obatan (-)

Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat stroke (-), kejang (-) Riwayat penyakit paru (-), jantung (-), ginjal (-), hati (-), hipertensi (-), DM (-) HIV (-), hepatitis (-) Riwayat alergi makanan dan obat-obatan (-)

Riwayat Kebiasaan: Riwayat minum minuman beralkohol (-) Riwayat merokok (-) Riwayat penggunaan obat-obatan terlarang (-)

III. PEMERIKSAAN FISIKPemeriksaan fisik di Ruang Perawatan RSUP Fatmawati tanggal 20 Februari 2014, pukul 13.40 WIB.

Keadaan Umum: Tampak sakit sedangKesadaran : Compos Mentis, GCS E4M6V5 = 15Sikap : Berbaring Kooperasi : Kooperatif Keadaan Gizi: CukupTekanan Darah: 110 / 70 mmHgNadi : 104 x/mntSuhu : 36,9 0CPernafasan : 20 x/mnt

Keadaan LokalTrauma Stigmata:Terdapat vulnus laceratum pada regio occipital sinistra dengan ukuran 2 x 1 x 0,5 cm yang sudah terjahit dan terpasang verban, multiple vulnus eksoriatum pada regio fronto orbita sinistra, vulnus eksoriatum pada apeks nasi, vulnus eksoriatum pada regio genue sinistra, multiple vulnus eksoriatum pada regio dorsum pedis sinistraPulsasi A.Carotis: Teraba, kanan = kiri, reguler Perdarahan Perifer: Capillary refill < 2 detik Columna Vertebralis: Letak ditengah, skoliosis (-), lordosis (-) Kulit:Warna sawo matang, sianosis (-), ikterik (-)Kepala:Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabutMata:Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), ptosis (-/-), lagoftalmus (-/-), pupil bulat isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+), hematoma periorbita (-/+), hematom palpebra (-/-), oedem palpebra (-/-) Telinga:Normotia (+/+), perdarahan (-/-), otorrea (-/-), lapang (-/-), hematoma retroaurikuler (-/-)Hidung: Deviasi septum (-/-), perdarahan (-/-), rhinorrea (-/-)Mulut: Bibir pucat dan kering, sianosis (-), lidah kotor (-)Tenggorok: Faring hiperemis (-), tonsil T1-T1Leher:Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran KGB dan tiroid.

Pemeriksaan JantungInspeksi : Ictus cordis tidak tampak Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5 linea midklavikula sinistra.Perkusi : Batas kanan jantung di ICS 4 linea sternalis dekstra, batas kiri jantung di 1 ICS 5 linea midklavikula sinistra, pinggang jantung di ICS 3 linea para sternalis sinistra. Auskultasi: S1 dan S2 normal reguler, murmur (-), gallop (-)

Pemeriksaan Paru Inspeksi: Pergerakkan dada simetris pada statis dan dinamisPalpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri samaPerkusi : Perkusi di seluruh lapang paru sonorAuskultasi : Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Pemeriksaan AbdomenInspeksi : Datar, efloresensi (-), venektasi (-) Auskultasi : Bising usus (+) normal, 2 x/menitPalpasi : Soepel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba membesarPerkusi : Timpani

Pemeriksaan EkstremitasAtas : Akral hangat (+/+), edema (-/-)Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-)

IV. STATUS NEUROLOGISa. Tanda rangsang meningealKaku kuduk: NegatifLaseque: >700 / >700Kernig: >1350 / >1350Brudzinski I: (-/-)Brudzinski II: (-/-)

b. Peningkatan Tekanan IntrakranialNyeri kepala: (+)Muntah proyektil: (-)Penurunan kesadaran: (-)Papil oedem: Tidak dilakukan pemeriksaanPupil anisokor: (-)Trias Cushing: (-)

c. BicaraAfasia motorik: (-)Afasia sensorik: (-)Disartria: (-)

d. Nervus kranialisN. I (Olfaktorius)Subjektif: Normosmia (+/+)

N.II (Optikus)Acies Visus (kualitatif): Baik/baikVisus Campus (kualitatif): Baik/baikMelihat warna (kualitatif): Baik/baikFundus okuli: Tidak dilakukan

N. III, IV, VI (Occulomotorius, Trochlearis, Abducen)Pergerakan bulbus: Baik ke segala arah dan tidak ada hambatan. Strabismus: (-/-)Nistagmus: (-/-)Eksoftalmus: (-/-)Pupil: Bulat isokor, 3mm/3mmRefleks cahaya langsung: (+/+)Refleks cahaya tidak langsung: (+/+)Refleks akomodasi: (+/+)

N. V (Trigeminus)Membuka mulut: (+/+)Mengunyah: (+/+)Menggigit: (+/+)Refleks kornea: (+/+)Sensibilitas muka: Baik/baik

N. VII (Facialis)Mengerutkan dahi: (+/+)Menutup mata: (+/+)Memperlihatkan gigi: (+/+) Perasaan lidah (2/3 anterior): Tidak dilakukan

N.VIII (Vestibulokokhlearis)Detik arloji: (+/+)Suara berbisik: (+/+)Tes Swabach: Tidak dilakukanTes Rinne: Tidak dilakukanTes Weber: Tidak dilakukan

N.IX (Glossofaringeus)Perasaan lidah (1/3 posterior) : Tidak dilakukan

N.X (Vagus)Arkus faring: Arcus faring simetris, uvula di tengahBerbicara: Tidak serakMenelan: Baik

N.XI (Accesorius)Mengangkat bahu: Tidak valid dinilaiMemalingkan kepala: Tidak valid dinilai

N.XII (Hipoglossus)Pergerakan lidah: Baik Menjulurkan lidah: Simetris Tremor lidah: (-)Fasikulasi: (-)Atrofi: (-) Artikulasi: Jelas

e. Anggota gerakEkstremitas superiorMotorik: 5555/5555Sensoris: Baik/baikTrofi: Eutrofi/eutrofiTonus: (+/+)Refleks fisiologis: +2/+2Refleks patologis: (-/-)

Ekstremitas inferiorMotorik: 5555/5555Sensoris: Baik/baikTrofi: Eutrofi/eutrofiTonus: (+/+)

Refleks fisiologisBiceps : +2/+2 Triceps: +2/+2 Patella : +2/+2 Achilles: +2/+2

Refleks patologis Hoffman Tromer: (-/-)Babinsky : (-/-)Chaddok : (-/-)Gordon : (-/-)Schaefer : (-/-)Klonus patella: (-/-)Klonus achilles: (-/-)

f. Koordinasi, gait, dan keseimbanganCara berjalan: Tidak dilakukanTes Romberg: Tidak dilakukanDisdiadokinesia: BaikJari-hidung: BaikTumit-lutut: BaikRebound phenomena: (-)

g. Gerak abnormalTremor: (-)Athetose: (-)Mioklonik: (-)Chorea: (-)

h. Fungsi luhur Astereognosia: (-) Apraxia : (-) Afasia : (-)

i. Fungsi otonomMiksi: BaikDefekasi: Baik

j. Keadaan psikisIntelegensia: BaikTanda regresi: (-)Demensia: (-)

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

PEMERIKSAANHASILSATUANNILAI NORMAL

HEMATOLOGI

Hb13.0g/dL11.7 15.5

Ht40%33 45

Leukosit13.3103/uL5.0 10.0

Trombosit392103/uL150 440

Eritrosit4.37106/Ul3.80-5.20

VER/HER/KHER/RDW

VER92.2fl80.0 100.0

HER29.7pg26.0 34.0

KHER32.3g/dl32.0 36.0

RDW15.0%11.5 14.5

FUNGSI HATI

SGOT21U/l0-34

SGPT15U/l0-40

FUNGSI GINJAL

Ureum Darah24mg/dl20 - 40

Kreatinin Darah0.6mg/dl0.6 1.5

DIABETES

GDS86mg/dl70 - 240

ELEKTROLIT

Natrium137mmol/L135 147

Kalium4.32mmol/L3.10 5.10

Klorida109mmol/L95 108

VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

1. Foto Thoraks AP

Deskripsi : Trakhea di tengah Mediastinum superior tidak melebar Cor : kesan tidak membesar, aorta baik Pulmo : kesan hilus kedua paru tidak menebal, corakan bronkhovaskular normal, tidak tampak infiltrate/nodul di kedua lapang paru Diafragma dan sinus costophrenicus normal Tulang-tulang dan jaringan lunak baik

Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal

2. CT Scan kepala tanpa kontras, potongan axial, mulai setinggi garis orbitomeatal, tebal irisan 3-10mm

Deskripsi : Sulci dan gyri baik. Fissura silvii tidak menyempit Tidak tampak hematom epidural/subdural Tidak tampak perdarahan intraparenkimal/subarachnoid Sistem ventrikel dan cysterna baik Tidak tampak pergeseran struktur midline Tampak kalsifikasi fisiologis di basal ganglia bilateral Pons dan cerebellum tidak tampak kelainan Tulang-tulang tidak tampak fraktur Sinus paranasalis yang tervisualisasi tidak berselubung Soft tissue tidak tampak kelainan

Kesan : Tidak tampak adanya hematom epidural/subdural, perdarahan intraparenkimal/subarachnoid atau edema cerebri Tidak tampak fraktur

VII. RESUMESeorang pasien perempuan datang ke IGD RSUP Fatmawati dengan penurunan kesadaran sejak 15 menit SMRS post Kecelakaan Lalu Lintas. Sebelumnya pasien mengalami kecelakaan lalu lintas ketika sedang mengendarai sepeda motor sendirian. Pasien mengaku tidak mengingat mekanisme terjadinya kecelakaan dan berapa lama pingsannya. Pasien hanya mengingat bahwa pasien mengerem motornya secara mendadak karena motor di depannya tiba-tiba belok ke sebelah kiri karena menghindari mobil yang akan parkir. Pasien sempat sadarkan diri saat dalam perjalanan ke rumah sakit dan merasa kepalanya sakit seperti berdenyut. Pasien merasa mual dan sempat muntah sebanyak 1 kali yang isinya makanan dan tidak menyembur saat dalam perjalanan ke rumah sakit. Pada saat sampai di IGD, pasien baru benar-benar sadar dan mengeluhkan sakit kepala seperti berdenyut dan kadang berputar jika kepala digerakkan, serta masih terdapat perasaan mual. Pasien juga mengeluh nyeri pada daerah mata sebelah kiri dan lutut sebelah kirinya akibat luka yang dideritanya. Pasien cenderung mengantuk dan sempat muntah lagi sebanyak 3 kali yang isinya air dan tidak menyembur, 2 kali di IGD RSUP Fatmawati dan 1 kali saat di ruang perawatan RSUP Fatmawati. Dari pemeriksaan fisik didapatkan vulnus laceratum pada regio occipital sinistra dengan ukuran 2 x 1 x 0,5 cm yang sudah terjahit dan terpasang verban, multiple vulnus eksoriatum pada regio fronto orbita sinistra, vulnus eksoriatum pada apeks nasi, vulnus eksoriatum pada regio genue sinistra, dan multiple vulnus eksoriatum pada regio dorsum pedis sinistra. Terdapat pula hematoma periorbita sinistra. Pemeriksaan Neurologis dalam batas normal. Pada Pemeriksaan Laboratorium didapatkan Leukosit 13.300/ul. Hasil pemeriksaan foto thoraks dan CT Scan dalam batas normal.

VIII. DIAGNOSIS KERJADiagnosis klinis:Riwayat penurunan kesadaran, vomitus, cephalgia, vulnus laceratum regio occipital sinistra, multiple vulnus eksoriatum regio fronto orbita sinistra, vulnus eksoriatum pada apeks nasi, vulnus eksoriatum regio genue sinistra, multiple vulnus eksoriatum regio dorsum pedis sinistra, hematoma periorbita sinistra, leukositosis reaktifDiagnosis etiologi:Komosio CerebriDiagnosis topis:Regio occipital sinistra, regio fronto orbita sinistra, apeks nasi, regio genue sinistra, regio dorsum pedis sinistra, periorbita sinistra, parenkim otak

IX. TATALAKSANANon Medikamentosa : Head elevation 30 Diet tinggi kalori, tinggi protein, dan tinggi serat 1800 kkal/hari dengan konsistensi makanan lunak Perawatan luka

Medikamentosa : IVFD NaCl 0,9% 500 cc/12 jam + Cernevit 1x1 gr (drip) Manitol 4x100 cc Brainact 2x500 mg iv Ceftriaksone 2x1 g iv Ketorolac 2x1 ampul iv Ranitidine 2 x 50 mg iv

X. PROGNOSISAd vitam: bonamAd functionam: bonamAd sanationam: bonam

BAB. IIITINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI KEPALAAnatomi kepala terdiri dari : Kulit kepala (scalp) Tulang tengkorak Meningen Otak Cairan serebrospinalis TentoriumKulit kepala terdiri dari 5 lapisan (SCALP) yang menutupi tulang tengkorak yaitu : 1. Skin atau kuli2. Connective tissue atau jaringan penyambung3. Aponeorosis galea yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan otak4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longga5. Perikranium Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi pembuluh kulit kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.

Tulang tengkorakTulang tengkorak atau kranium terdiri dari atap atau kalvarium dan basis atau dasar kranium. Kalvaria dibagian Temporal adalah tipis namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranium berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga ini berperan dalam cedera otak saat otak bergerak terhadap tulang tengkorak saat terjadi akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dibagi atas 3 fossa yaitu : Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping, lantainya dibentuk oleh os frontale pars orbitale, pars cribriformis os ethmoidal, dan bagian depan dari alae minor os sphenoid. Fossa ini menampung traktus olfaktorius dan permukaan basal dari lobus frontalis, dan hipofise. Fossa anterior dan media dipisahkan di lateral oleh tepi posterior alae minor os sphenoidale, dan di medial oleh jugum sphenoidale. Pada fossa cranii anterior terdapat sinus frontalis di bagian depan, alae minor os sphenoidale yang dengan bersama-sama pars orbitalis os frontal membentuk atap orbita dengan struktur-struktur di midline, diantaranya terdapat crista galli, pars cribriformis dan pars sphenoidal.Fossa media lebih dalam dan lebih luas daripada fossa anterior, terutama ke arah lateral. Di bagian anterior dibatasi oleh sisi posterior alae minor, processus clinoideus anterior, dan sulcus chiasmatis. Di belakang dibatasi oleh batas atas os temporal dan dorsum sellae os sphenoid. Di lateral dibatasi oleh pars squamosa ossis temporalis, os parietal dan alae major os sphenoid. Merupakan tempat untuk permukaan basal dari lobus temporal, hipotalamus, dan fossa hipofiseal di tengah. Di kedua sisi lateralnya terdapat tiga foramina (foramen spinosum, foramen ovale, dan foramen rotundum). Pars anterior dinding lateral fossa media dibentuk oleh alae major os sphenoidal. Sisa dinding lateral lainnya dibentuk oleh pars squamosa os temporal yang merupakan tempat processus mastoideus dan mastoid air cells serta kanalis auditorius eksternus. Pyramid petrous mengandung membrane tympani, tulang-tulang pendengaran (malleus, incus, dan stapes), dan cochlea pada telinga dalam. Fossa media dan fossa posterior dibatasi satu sama lain di lateral oleh bagian atas os petrosus, dan di medial oleh dorsum sellae.Fossa posterior adalah fossa yang terbesar dan terdalam merupakan tempat untuk cerebellum, pons, dan medulla. Di bagian anteromedial dibatasi oleh dorsum sellae yang melanjutkan diri menjadi clivus. Bagian anterolateral dibatasi oleh sisi posterior pars petrosa ossis temporalis, di lateral oleh os parietal, dan di posterior oleh os occipital. Lubang paling besar yang ada di basis cranii terdapat pada os occipital yaitu foramen magnum, dilalui oleh medulla oblongata. Meatus akustikus interna terdapat pada bagian posteromedial pars petrosa ossis temporalis. Foramen jugular berada di kedua sisi lateral foramen magnum. Foramen jugular dilalui oleh vena jugularis yang perluasan ke anterior dari sinus sagitalis superior dan melanjutkan diri menjadi sinus transversus dan sinus sigmoideus. Jenis penyebab dan pola fraktur, tipe, perluasan, dan posisi adalah hal-hal yang penting dalam menentukan cedera yang ada. Tulang tengkorak menebal di daerah glabella, protuberansia eksternal occipital, processus mastoideus, dan processus angular eksternal dan disatukan oleh 3 arches pada masing-masing sisinya. Lapisan tulang tengkorak disusun oleh tulang cancellous (diplo) menyerupai roti sandwich di antara dua tablets, lamina externa (1.5 mm), dan lamina interna (0.5 mm). Diplo tidak ditemukan pada bagian tulang tengkorak yang dilapisi oleh otot, sehingga lebih tipis dan rentan terhadap fraktur.

MeningenSelaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu: dura mater, araknoid dan piamater. Dura mater adalah selaput yang keras terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau bagian dalam kranium. Karena dura mater tidak melekat dengan selaput araknoid yang berada dibawahnya, maka terdapat ruangan/rongga yang potensial diantaranya yang disebut ruang subdural dimana perdarahan dapat terjadi dan berkumpul disana yang dinamakan perdarahan subdural.Pada cedera kepala, pembuluh-pembuluh darah vena yang berjalan pada permukaan otak yang menuju ke sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan sehingga menyebabkan perdarahan subdural. Pada beberapa tempat tertentu dura mater terbelah menjadi 2 lapis membentuk sinus-sinus venosa yang besar yang mengalirkan sebagian besar darah vena dari otak. Sinus Sagitalis Superior di garis tengah mengalirkan darah vena ke Sinus Transversus dan Sinus Sigmoideus. Sinus Sigmoideus sisi kanan umumnya lebih dominan. Robekan atau laserasi sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.Arteri-arteri meningea terletak diantara dura mater dengan tabula interna tengkorak, yaitu terletak pada ruang epidural. Patah tulang tengkorak didaerah dimana ada arteri tersebut dapat menyebabkan robekan pada arterinya sehingga menyebabkan Perdarahan Epidural. Pembulah darah meningea yang sering tercederai adalah Arteri Meningea Media yang berlokasi di fossa temporal (fossa media).Dibawah dura mater terdapat lapisan meningen kedua yaitu selaput araknoid yang tipis dan transparan.Lapisan ketiga meningen adalah pia mater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan pia mater dalam ruang subaraknoid. Perdarahan ke rongga ini disebut Perdarahan Subaraknoid yang sering disebabkan oleh cedera kepala.2

Otak Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak. Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan dura mater yang berada dibawah sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia yang bekerja dengan tangan kanan, dan juga pada 85% orang kidal. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus frontalis berperan dalam fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi yang dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus parietalis berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Pada orang-orang yang bekerja dengan tangan kanan dan sebagian besar orang kidal, lobus temporalis kirinyamengandung area-area yang bertanggung jawab untuk pusat penerimaan dan integrasi bicara. Lobus oksipitalis berfungsi dalam penglihatan.Batang otak terdiri dari Mesensefalon (midbrain), Pons dan Medula Oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistim aktivasi retikuler yang berbertanggung jawab atas kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang selanjutnya memanjang menjadi Medula Spinalis. Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat. Namun demikian lesi-lesi di batang otak sering tidak tampak jelas pada CT Scan kepala. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa posterior, serta berhubungan dengan medula spinalis, batang otak dan akhirnya dengan kedua hemisfer serebri.

Cairan serebrospinalisCairan serebro spinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus (yang berlokasi di atap-atap Ventrikel lateralis dan ventrikel IV) dengan kecepatan produksi 0,2-0,35 mL per menit atau sekitar 500 mL per 24 jam atau kira-kira 20 ml/jam. Cairan serebrospinalis ini mengalir dari dalam ventrikel lateralis baik kanan maupun kiri melalui Foramen Monro ke dalam Ventrikel III dan selanjutnya ke dalam Ventrikel IV melalui Akuaduktus Sylvii. Kemudian mengalir dari sistim ventrikel ini ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis lalu akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang bermuara ke sinus sagitalis superior. Adanya perdarahan ke cairan serebrospinalis dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan selanjutnya menyebabkan peningkatan tekanan intra cranial (hidrosefalus komunikans paska trauma).Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan serebrospinal yang berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan tekanan dari venous sinus. Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah transventricular absorption, dural absorption, nerve root sleeves absorption dan unrepaired meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya terjadi pada frontal dan temporal horns, seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi dari corpus callosum, penegangan atau perforasi dari septum pellucidum, penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction).TentoriumTentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior). Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dengan pons dan medula oblongata yang keberadaannya melalui suatu celah lebar tentorium serebeli yang disebut Insisura Tentorial. Nervus okulomotorius (saraf otak ke III) berjalan di sepanjang tepi tentorium, dan saraf ini dapat tertekan bila terjadi herniasi lobus temporalis yang umumnya diakibatkan oleh adanya masa supratentorial ataupun edema otak.Serabut-serabut parasimpatik yang berperan untuk melakukan konstriksi pupil mata berada pada permukaan nervus okulomotorius ini. Paralisis serabut-serabut parasimpatis tersebut yang disebabkan oleh penekanan tadi akan mengakibatkan dilatasi pupil karena aktivitas serabut simpatik tidak terhambat.Bagian otak besar yang sering mengalami herniasi melalui insisura tentorial adalah bagian medial lobus temporalis yang disebut Girus Unkus. Herniasi Unkus juga menyebabkan penekanan terhadap traktus piramidalis di Mesensefalon. Traktus piramidalis atau traktus motorik ini menyilang garis tengah menuju sisi berlawanan di level foramen magnum, sehingga penekanan pada traktus ini di level mesensefalon akan menghasilkan paresis otot-otot sisi tubuh kontralateral (hemiplegia kontralateral). Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral dikenal sebagai sindrom klasik herniasi unkal. Kadang-kadang lesi massa ini dapat mendorong bagian dari mesensefalon sisi kontralateral dari lesi massa tersebut, ke tepi tentorial serebelli sehingga menimbulkan Hemiplegia Ipsilateral dan Pupil Dilatasi Ipsilateral yang dikenal sebagai Sindrom Kernohans Notch.

B. FISIOLOGI KEPALATekanan Intrakranial (TIK)Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan menganggu perfusi otak dan akan memacu terjadinya Iskemia. Tekanan intrakranial normal pada saat istrahat adalah 10 mmHg. Tekanan intrakranial yang lebih dari 20 mmHg khususnya bila berkepanjangan dan sulit diturunkan akan menyebabkan hasil outcome yang buruk terhadap penderita.

Doktrin Monro-KellieAdalah suatu konsep sederhana namun penting sekali dapat menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume total intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin mekar atau membesar.Oleh karena itu segera setelah cedera kepala, suatu massa perdarahan dapat membesar sementara tekanan intrakranial masih tetap normal. Namun bila batas penggeseran cairan serebrospinal dan darah intravaskuler terlampaui maka tekanan intrakranial akan mendadak meningkat dengan cepat.

Doktrin Monro-Kellie : Kompensasi Intrakranial terhadap masa yang berkembang. Volume isi intrakranial akan selalu konstan. Bila terdapat penambahan masa seperti adanya hematoma akan menyebabkan tergesernya CSS dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini terlampaui maka kenaikan jumlah masa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan TIK yang tajam, seperti tampak pada gambar di bawah ini.

Kurva Volume-Tekanan: Isi intrakranial dapat mengkompensasi sejumlah masa baru intrakranial, seperti perdarahan subdural atau epidural sampai pada titik tertentu. Bila volume masa perdarahan ini telah mencapai 100 150 ml, akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang sangat cepat dan akan menyebabkan penghentian aliran darah otak.

Aliran Darah ke Otak (ADO)Pada orang dewasa ADO kira-kira 50-55 mL / 100 gr jaringan otak per menit. Pada anak-anak ADO lebih tinggi tergantung usianya. Pada umur 1 tahun menyerupai orang dewasa, tetapi pada usia 5 tahun aliran darah otaknya normal 90 ml/100 gr jaringan otak/ menit yang kemudian secara bertahap turun ke level seperti orang dewasa pada usia pertengahan atau akhir remaja.Suatu cedera otak yang cukup adekuat dapat menyebabkan koma, dapat menyebabkan penurunan 50 % aliran darah otak pada 6-12 jam pertama paska trauma. Biasanya akan meningkat pada 2-3 hari berikutnya, namun pada pasien-pasien yang tetap koma biasanya aliran darah otaknya tetap dibawah normal untuk beberapa hari bahkan beberapa minggu paska trauma.Sekarang semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa tingkatan aliran darah otak yang begitu rendah tidak akan mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera setelah cedera sehingga Iskemia serebri yang regional bahkan global sering terjadi.Sebagai tambahan, untuk mempertahankan ADO yang konstan, pembuluh-pembuluh darah otak Prekapiler normal mempunyai kemampuan untuk berkonstriksi dan berdilatasi sebagai respon terhadap perubahan tekanan darah Sistolik rata-rata antara 50 s/d 160 mmHg (Autoregulasi Tekanan). Pembuluh-pembuluh darah ini juga secara normal berkonstriksi dan dilatasi sebagai respon terhadap perubahan PO2 dan PCO2 darah (Autoregulasi Kimiawi). Cedera kepala yang berat dapat merusak kedua sistim autoregulasi ini. Sebagai konsekuensinya parenkim otak yang tercederai sangat rentan terhadap iskemia dan infark sebagai akibat penurunan hebat aliran darah otak sebagai akibat lesi cedera otak itu sendiri. Timbulnya iskemia awal ini sangat dipermudah oleh adanya Hipotensi, Hipoksia atau Hipokapnu/Hipokarbia, yang sangat mungkin terjadi secara Iatrogenik sebagai akibat Hiperventilasi berlebihan yang kita lakukan.Oleh karena itu semua upaya pertolongan harus ditujukan kepada perbaikan perfusi serebral dan perbaikan aliran darah otak dengan cara menurunkan tekanan intrakranial yang meningkat, mempertahankan volume intravaskuler normal, memelihara Tekanan darah Arteri Rata-rata (TAR) atau MAP (Mean Arterial Blood Pessure) yang normal dan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dan Normokapnu (Normokarbia).Memelihara Tekanan Perfusi Otak (TPO) atau CPP (Cerbral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arteral Pressure - Intra Cranial Pressure / ICP), pada level 60-70 mmHg sangat dianjurkan untuk memperbaiki aliran darah otak.Sekali mekanisme kompensasi tidak bekerja serta terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang eksponensial maka perfusi otak akan sangat buruk terutama pada pasien-pasien yang mengalami hipotensi. Oleh sebab itu bila ada perdarahan intrakranial harus segera dievakuasi dan tekanan darah sistemik yang adekuat harus dipertahankan.

C. DEFINISIBerdasarkan konsensus nasional penanganan trauma kapiris dan trauma spinal oleh Perhimpunan Dokter Spesialis SaraF (PERDOSSI), cedera kepala adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen. Telah disepakati juga bahwa cedera kepala memiliki nama lain antara lain trauma kapitis, head injury, trauma kranioserebral, Traumatic Brain Injury.1 Definisi lain menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepalaadalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.2

D. EPIDEMIOLOGIDi Amerika dilaporkan terdapat 1,5 juta kasus orang yang mengalami cedera kepala. Dari data tahun 2003 dilaporkan juga di Amerika bahwa orang lanjut usia yang dirawat di rumah sakit dan menigggal karena cedera kepala meningkat jumlahnya.6 Untuk di Eropa rata-rata orang yang dirawat di rumah sakit karena cedera kepala adalah 91 kasua dari 100.000 pasien setiap tahunnya. Berdasarkan data dari Central Disease Control (CDC) 50.000 orang mati karena cedera kepala setiap tahunnya di Amerika selain itu jumlah yang menderita cacat permanen adalah 2 kali lipat.Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di Jakarta, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70% dengan cidera kepala ringan (CKR), 15%-20% Cidera Kepala Sedang (CKS), dan sekitar 10% dengan Cidera Kepala Berat (CKB). Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.3 Data-data yang didapat dari RSCM terjadi 96% trauma kapitis yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, dimana 76% dari padanya terjadi pada usia muda 25 tahun. Sekitar 28% saja penderita cedera kepala bisa menjalani pemeriksaan CT-scan.4 Jumlah jenis kelamin laki-laki yang dirawat di rumah sakit karena cidera kepala lebih banyak dua kali lipat dibandingkan wanita

E. KLASIFIKASIBerdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi. 1. Mekanisme Cedera Kepala Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.5

2. Beratnya Cedera Kepala Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :

3. Morfologia. Fraktur Kranium Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone Universitas Sumatera Utara window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat. Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut; Gambaran fraktur, dibedakan atas : Linier Diastase Comminuted Depressed Lokasi Anatomis, dibedakan atas : Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak ) Basis cranii ( dasar tengkorak ) Keadaan luka, dibedakan atas : Terbuka Tertutup

b. Lesi Intra Kranial Cedera otak difus Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan Universitas Sumatera Utaraprognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.6

Perdarahan Epidural Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

Perdarahan Subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi. F. PATOFISIOLOGIPada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup.7Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).

Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.8Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.9

G. DIAGNOSISAnamnesis :Hampir selalu ditemukan riwayat trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau trauma lainnya. Anamnesis yang lebih terperinci meliputi sifat kecelakaan atau sebab-sebab trauma untuk estimasi berat ringannya benturan, saat terjadi beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit, ada tidaknya benturan kepala langsung dan keadaan penderita saat kecelakaan misalnya kejang, kelemahan motorik, gangguan bicara dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa serta adanya nyeri kepala, mual muntah. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwa sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).

Pemeriksaan fisik :1. Pemeriksaan kesadaran Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu: pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi : GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat GCS 9 13 : cedera kepala sedang GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974. Sejak itu GCS merupakan tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera kepala. GCS seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera terutama sebelum mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat kesadaran tampaknya mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosa.Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS sesudah resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada beberapa penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada atau yang bengkak dan setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi rediksi yang kuat; penderita dengan skor mototrik 1 (bilateral flaksid) mempunyai mortalitas 90 %. 10Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60 tahun merupakan kombinasi yang mematikan. Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting.

2. Pemeriksaan Pupil Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala. 3. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

4. Pemeriksaan Scalp dan TengkorakScalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

Pemeriksaan penunjang :1. X-ray Tengkorak Indikasi foto polos kepala Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran. Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique. 2. CT-Scan Penemuan awal computed tomography scanner (CT Scan) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.11Indikasi CT scan : Nyeri kepala menetap atau muntahmuntah yang tidak menghilang setelah pemberian obatobatan analgesia/anti muntah. Adanya kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dicebandingkan dengan kejang general. Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktorfaktor ekstracranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll). Adanya lateralisasi. Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan. Luka tembus akibat benda tajam dan peluru Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS. Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit). 3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik.Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.12

H. PENATALAKSANAANPenatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat.Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.13Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain :a. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)b. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)c. Penurunan tingkat kesadarand. Nyeri kepala sedang hingga berate. Intoksikasi alkohol atau obatf. Fraktur tengkorakg. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrheah. Cedera penyerta yang jelasi. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggung jawabkanj. CT scan abnormal

Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena, hiperventilasi, pemberian manitol, steroid, furosemid, barbitirat dan antikonvulsan. Pada penanganan beberapa kasus cedera kepala memerlukan tindakan operatif. Indikasi untuk tindakan operatif ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :a. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorialb. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinisc. Tanda fokal neurologis semakin beratd. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebate. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mmf. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.g. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scanh. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otaki. Terjadi kompresi/obliterasi sisterna basalis 14

I. KOMPLIKASI 151. Koma Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.

2. Kejang/Seizure Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy.

3. InfeksiFraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.

4. Hilangnya kemampuan kognitifBerfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran.

5. Penyakit Alzheimer dan ParkinsonPada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.

J. PROGNOSISBerdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators (2008), Umur yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi dianggap sebagai 3. Apabila penanganan pasien yang mengalami cedera kepala sudah mendapat terapi yang agresif, terutama pada anak-anak biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita yang berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala. Selain itu lokasi terjadinya lesi pada bagian kepala pada saat trauma juga sangat mempengaruhi kondisi kedepannya bagi penderita.

DAFTAR PUSTAKA1. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kepala dan Medula Spinalis. Jakarta: Pehimpunan Dokter Spesialis Saraf(PERDOSSI). 2006. p3-18.2. Dowudo ST. Traumatic Brain Injury (TBI) Definition, Epedemilogy, Patophysiology. Available at : http://emedicine.medscape.com/article/326510-overview#a1. Accessed on 23 February 2014).3. PERDOSSI cabang Pekanbaru. Simposium Trauma Kranio-serebral tanggal 3 November 2007. Pekanbaru.4. Alfa AY. Penatalaksanaan Medis (Non Bedah) Cedera Kepala. In:Kegawatan Neurologi. Basuki A, Dian S, editors. Bandung: UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD/RS. Hasan Sadikin. 2009. p67.5. Buku Pedoman SPM dan SPO NEUROLOGI. PERDOSSI. Bab. IX. Neurotrauma. Hal.147-58.6. Lenzlinger PM, Saatman K, Raghupati R. Overview of basic mechanism underlying neuropathological consequences of head trauma. In: Miller LP, Hayer RL, editors. Head trauma basic, preclinical and clinical directions. New York: Wiley-Liss; 2001. p. 3-23.7. Mardjono mahar, Sidharta priguna. Neurologi Klinis Dasar. Cetakan ke 9. Dian Rakyat.2003.Bab.VIII Mekanisme trauma susunan saraf. Hal 248-63.8. Anderson S. McCarty L., Cedera Susunan Saraf Pusat, Patofisiologi, edisi 4, Anugrah P. EGC, Jakarta,1995, 1014-1016.9. A Mardjono M. Sidharta P., Mekanisme Trauma Susunan Saraf, Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2003, 254-259.10. Markam S, Trauma Kapitis, Kapita Selekta Neurologi, Edisi kedua, Harsono, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, 314.11. Buergener F.A, Differential Diagnosis in Computed Tomography, Baert A.L. Thieme Medical Publisher, New York,1996, 22.12. Dahnert W, MD, Brain Disorders, Radiology Review Manual, second edition, Williams & Wilkins, Arizona, 1993, 117 178.13. Proceeding Updates In Neuroemergencies II. Hotel Aston Atrium. 28 Februari. FKUI. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranio serebral. Hal 51-72.14. Penatalaksanaan fase akut cedera kepala, Cermin Dunia Kedokteran No. 77, 1992.15. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong, 1997, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC, Jakarta.4