29
REFERAT TRANSFUSI DARAH DAN TERAPI KELASI PADA THALASSEMIA Pembimbing : dr. Wahyu Djatmiko, Sp.PD Disusun oleh : Rahmah Fitri Utami G1A212042 UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN

Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

REFERAT

TRANSFUSI DARAH DAN TERAPI KELASI PADA THALASSEMIA

Pembimbing :

dr. Wahyu Djatmiko, Sp.PD

Disusun oleh :

Rahmah Fitri Utami G1A212042

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERANSMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJOPURWOKERTO

2013

Page 2: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

TRANSFUSI DARAH DAN TERAPI KELASI PADA THALASSEMIA

Diajukan untuk memenuhi syarat

Mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior

Dibagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo, Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal: Februari 2013

Disusun oleh :

Rahmah Fitri Utami G1A212042

Purwokerto, Februari 2013

Pembimbing,

dr.Wahyu Djatmiko, Sp.PD

Page 3: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

3

I. Transfusi Darah

A. Tujuan Transfusi

Pasien thalassemia bergantung pada transfusi untuk mempertahankan

kadar hemoglobin (Hb) yang cukup bagi oksigenasi jaringan. Terapi diberikan

secara teratur untuk mempertahankan kadar Hb di atas 10 gr/dL. Regimen ini

mempunyai keuntungan klinis yang nyata, sebab memungkinkan pasien

beraktifitas normal dengan nyaman, mencegah ekspansi sumsum tulang dan

masalah kosmetik progresif yang terkait dengan perubahan tulang-tulang

muka, dan meminimalkan dilatasi jantung dan osteoporosis (Ratih, Susanto, &

Sudarmanto, 2011).

B. Penentuan Awal Transfusi

Keputusan untuk memulai program transfusi didasarkan pada kadar Hb

< 6 gr/dL dalam interval 1 bulan selama 3 bulan berturut-turut dan adanya

gejala eritropoiesis yang tidak efektif. Secara klinis, ketidakmampuan untuk

mengkompensasi hemoglobin rendah ditandai oleh adanya tanda-tanda usaha

jantung meningkat, takikardia, berkeringat, nafsu makan, dan pertumbuhan

yang buruk. Sedangkan, gejala eritropoiesis yang tidak efektif akan ditandai

dengan adanya ekspansi sumsum tulang dan splenomegali massif.

C. Persiapan Transfusi

Sebelum dilakukan transfusi pertama, status besi dan folat pasien harus

diukur, vaksin hepatitis B diberikan, dan fenotip sel darah merah secara

lengkap ditentukan, sehingga alloimunisasi yang timbul dapat dideteksi.

Selain itu, kadar bilirubin, transaminase, dan ferritin serum harus diperiksa

sebelum transfusi dimulai.

D. Transfusi Darah

Produk darah pilihan yang biasa digunakan adalah packed red cells

depleted of leucocytes dan cocok dengan fenotip antigen sel darah merah

Page 4: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

pasien. Darah utuh atau darah tanpa leukodepletion tidak cocok untuk

transfusi rutin, karena dapat menimbulkan reaksi transfusi non-hemolitik.

Jumlah darah yang diterima pada hari transfusi ditentukan oleh kadar

hemoglobin sebelum transfusi. Targetnya adalah untuk mempertahankan

kadar hemoglobin sebelum transfusi yaitu antara 9 dan 10 g / dL. Upaya untuk

mempertahankan hemoglobin pre-transfusi di atas 10 g / dL akan

meningkatkan kebutuhan transfusi dan tingkat pembebanan besi. Transfusi

harus diberikan dalam pengaturan rawat jalan dengan tim yang berpengalaman

transfusi dengan menggunakan tindakan pencegahan untuk keselamatan yang

tepat (pasien / darah gelang identifikasi). Darah harus ditransfusikan pada 5

mL / kg per jam, dan hemoglobin pasca transfusi tidak boleh melebihi 14 g /

dL.

Pada pasien dengan anemia berat (hemoglobin kurang dari 5 g / dL)

atau cardiac compromise, tingkat transfusi harus dikurangi menjadi 2 mL / kg

per jam untuk menghindari overload cairan. Diuretik seperti furosemide (1

sampai 2 mg / kg) mungkin diperlukan untuk beberapa pasien.

Transfusi umumnya diberikan dengan dosis 15-20 mL/kgBB Packed

Red Cells (PRC) biasanya diperlukan setiap 4-5 minggu. Akan tetapi, jika ada

insufisiensi jantung, kadar hemoglobin pra-transfusi yang lebih tinggi (10

sampai 12 g / dL) harus dipertahankan dengan volume transfusi yang lebih

kecil dan diberikan setiap satu atau dua minggu.

E. Pasca Transfusi

Pada pasien thalassemia juga diberikan vitamin C, vitamin E, dan asam

folat. Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari bertujuan untuk meningkatkan

ekskresi besi dan hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Asam folat 2-5

mg/hari diberikan untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat, dan vitamin E

200-400 IU/hari bertujuan untuk memperpanjang umur sel darah merah.

Pemeriksaan kadar feritin juga perlu dilakukan setiap 1-3 bulan untuk

memantau kadar besi dalam darah.

Page 5: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

5

F. Dampak Transfusi Akut

1. Reaksi Tipe Cepat

a) Hemolisis Intravaskular Akut

Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah

(intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma

donor yang mengandung eritrosit dapat merupakan antigen (major

incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang

berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang

antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai

terbentuknya C5b6789 (membrane attack complex). Pada beberapa

kasus juga dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan

eritrosit resipien sebagai antigen (minor incompatability). Malah dapat

terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit donor

sendiri sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada saat

diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti ini jarang sekali (Drews,

2003; Strobel, 2008).

Hemolisis yang terjadi juga dapat melibatkan IgG dengan atau

tanpa melibatkan komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara

ekstravaskular. Ikatan antigen-antibodi akan mengaktivasi reseptor Fc

dari sel sitotoksik atau sel K (large lymphocytes) yang menghasilkan

perforin (antibody dependent cellular cytotoxicity, ADCC) dan

mengakibatkan lisis dari eritrosit (Strobel, 2008).

Hal ini sering terjadi karena kesalahan penulisan formulir

permintaan darah, pemberian label yang salah pada tabung sampel

yang dikirim ke bank darah, dan pengecekan darah yang kurang

memadai terhadap identitas pasien sebelum transfusi dimulai. Pasien

thalassemia memiliki risiko lebih besar untuk menerima darah yang

salah jika sering berganti rumah sakit.

Pada pasien yang sadar, tanda dan gejala biasanya muncul

dalam beberapa menit sesudah transfusi dimulai. Kadang-kadang tanda

dan gejala tersebut timbul pada pemberian < 10 mL darah. Pada pasien

Page 6: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

yang tidak sadar, keadaan hipotensi dan perdarahan yang tidak

terkendali akibat Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

mungkin merupakan satu-satunya tanda yang menunjukkan transfusi

yang tidak kompatibel (Wu, Mantha, & Snyder, 2008).

b) Kontaminasi Bakteri dan Syok Septik

Tanda-tandanya biasanya muncul dengan cepat sesudah

transfusi dimulai, meskipun kemunculannya bisa saja tertunda selama

beberapa jam. Reaksi yang hebat dapat ditandai dengan panas tinggi

yang onsetnya mendadak, menggigil, dan hipotensi. Tindakan suportif

yang segera dan pemberian antibiotik dosis tinggi intravena sangat

diperlukan.

c) Overload Cairan

Dapat menimbulkan gagal jantung dan edema paru. Overload

cairan dapat terjadi karena terlalu banyak cairan yang ditransfusikan,

pemberian transfusi (infus) terlalu cepat, atau fungsi ginjal terganggu.

Keadaan ini terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronis berat

atau pasien dengan penyakit kardiovaskular.

d) Reaksi Anafilaksis

Terjadi beberapa menit sesudah transfusi dimulai dan ditandai

oleh kolaps kardiovaskular, gawat nafas, dan tanpa febris. Risiko

terjadinya reaksi anafilaksis akan meningkat pada pemberian transfusi

yang cepat, khususnya bila digunakan Fresh Frozen Plasma (FFP)

sebagai cairan penukar dalam terapi pertukaran plasma.

Sitokin plasma dapat menjadi salah satu penyebab

bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada beberapa resipien tertentu.

Defisiensi IgA pada resipien merupakan kelainan langka yang dapat

menyebabkan reaksi anafilaksis yang sangat berat. Keadaan ini dapat

ditimbulkan oleh setiap produk darah.

e) Transfusion-Related Acute Lung Injury (TRALI)

Biasanya disebabkan oleh anti-netrofil spesifik atau anti-HLA

antibodi dalam plasma donor. Kegagalan faal paru yang terjadi dengan

Page 7: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

7

cepat biasanya muncul dalam waktu 1-4 jam sesudah transfusi dimulai,

terlihat gambaran opasitas yang difus pada rontgen toraks. Gejala

TRALI berupa dispnoe, takikardia, febris, dan hipotensi.

Penatalaksanaannya meliputi pemberian oksigen, kortikosteroid,

diuretik, dan jika perlu digunakan ventilator.

Pedoman untuk penegakan diagnosis dan penatalaksanaan reaksi

transfusi akut (tipe cepat) dapat dilihat dalam tabel 1 dan 2 berikut ini.

Tabel 1. Penegakan Diagnosis Reaksi Transfusi Tipe Cepat

KATEGORI I : REAKSI RINGAN

Tanda Gejala Kemungkinan Penyebab

Urtikaria

Ruam

Pruritus Hipersensitifitas

KATEGORI II : REAKSI CUKUP BERAT

Tanda Gejala Kemungkinan Penyebab

Flushing

Urtikaria

Menggigil

Febris

Gelisah

Takikardia

Kecemasan

Pruritus

Palpitasi

Dispnoe ringan

Sakit kepala

Hipersensitifitas sedang-

berat

Reaksi transfusi febris

nonhemolitik :

- Antibodi terhadap

leukosit, trombosit

- Antibodi terhadap

protein (IgA)

Kemungkinan

kontaminasi dgn bakteri

Page 8: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

KATEGORI III : REAKSI YANG MENGANCAM JIWA

Tanda Gejala Kemungkinan Penyebab

Menggigil

Febris

Gelisah

Hipotensi (TD ↓

20%)

Hemoglobinuria

DIC

Kecemasan

Nyeri dada

Nyeri di tempat

transfusi

Sesak nafas

Nyeri pinggang /

punggung

Sakit kepala

Dispnoe

Hemolisis akut

intravaskular

Kontaminasi bakteri /

syok septik

Overload cairan

Anafilaksis

TRALI

Tabel 2. Penatalaksanaan Reaksi Transfusi Tipe Cepat

KATEGORI I : REAKSI RINGAN

Perlambat transfusi.

Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).

Jika dalam 30 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila

tanda/gejalanya memburuk, lakukan penatalaksanaan kategori 2.

KATEGORI II : REAKSI CUKUP BERAT

Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur

infus tetap terbuka dengan pemberian salin normal.

Antihistamin IM (misalnya klorfeniramin 0.1 mg/kgBB).

Antipiretik oral/rektal (misalnya parasetamol 10 mg/kgBB).

Hindari aspirin pada pasien dengan trombositopenia.

Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala

anafilaksis (misalnya stridor, bronkospasme).

Kumpulkan urin 24 jam untuk pemeriksaan hemolisis.

Jika terjadi perbaikan klinis, mulai lagi transfusi secara perlahan

Page 9: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

9

dengan unit darah yang baru.

Jika dalam 15 menit tidak tampak perbaikan klinis atau bila

tanda/gejalanya memburuk, lakukan penatalaksanaan kategori 3.

KATEGORI III : REAKSI YANG MENGANCAM JIWA

Hentikan transfusi. Ganti set transfusi dan pertahankan jalur

infus tetap terbuka dengan pemberian salin normal.

Infus salin normal (20-30 mL/kgBB) untuk mempertahankan TD

sistolik. Jika ada hipotensi, berikan infus tersebut selama 5 menit

dan tinggikan kedua tungkai pasien.

Pertahankan saluran nafas, beri oksigen aliran tinggi lewat

masker oksigen.

Adrenalin (larutan 1:1000) IM 0.01 mg/kgBB.

Kortikosteroid dan bronkodilator IV jika timbul gejala

anafilaksis (misalnya stridor, bronkospasme).

Diuretik IV (misalnya furosemid 1 mg/kgBB).

Periksa urin untuk menemukan tanda hemoglobinuria.

Kumpulkan urin 24 jam untuk memantau keseimbangan cairan.

Perhatikan perdarahan/luka di tempat tusukan. Jika terdapat

bukti klinis/laboratorium yang menunjukkan adanya DIC,

berikan:

o Konsentrat trombosit (dosis dewasa 5-6 unit), dan

o Kriopresipitat (dosis dewasa 12 unit) atau FFP (dosis

dewasa 3 unit)

Jika masih hipotensi, ulang pemberian infus salin normal (20-30

mL/kgBB) dalam 5 menit. Berikan preparat inotropik jika

tersedia.

Jika terjadi gagal ginjal akut (K+, ureum, kreatinin ↑):

o Pertahankan keseimbangan cairan secara akurat.

o Ulangi suntikan diuretik.

Page 10: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

o Berikan dopamin jika tersedia.

o Rujuk ke dokter spesialis jika diperlukan dialisis renal.

Jika curiga bakteremia (menggigil, febris, kolaps tanda ada bukti

reaksi hemolitik), berikan antibiotik broad spectrum IV.

2. Reaksi Tipe Lambat

a) Delayed Haemolytic Transfusion Reactions (DHTR)

Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan

evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan

antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa

eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan crossmatch

sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons

imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka

kejadiannya diperkirakan 1 : 6 000 sampai 33 000 (Strobel, 2008).

DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di

intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular.

Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major

incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada

resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan

dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh

antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan

antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan

dihancurkan di lien (Rosse, Hillmen, & Schreiber, 2004; Wu, Mantha,

& Snyder, 2008).

Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah

transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit,

peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan

dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Haptoglobin yang

menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang

terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang

Page 11: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

11

mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit

(Marik & Corwin, 2008; Wu, Mantha, & Snyder, 2008).

Gejala timbul 5-10 hari sesudah transfusi berupa febris, anemia,

ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak dilakukan

terapi. Reaksi transfusi hemolitik lambat yang berat disertai dengan

gejala syok, gagal ginjal, serta DIC yang mengancam jiwa pasien

merupakan kejadian yang langka. Jika terjadi hipotensi dan oligouria,

maka dilakukan terapi seperti keadaan hemolisis intravaskular akut

(Marik & Corwin, 2008; Wu, Mantha, & Snyder, 2008).

b) Purpura Pasca Transfusi

Komplikasi yang jarang terjadi, tetapi berakibat fatal pada tindakan

transfusi sel darah merah atau konsentrat trombosit. Penyebabnya

adalah adanya antibodi terhadap antigen spesifik-trombosit dalam darah

resipien. Paling banyak dijumpai pada pasien wanita. Gejala berupa

adanya tanda perdarahan, dan trombositopenia akut berat (<

100.000/mm3) yang terjadi 5-10 hari sesudah transfusi.

Penatalaksanaan:

a. Kortikosteroid dosis tinggi.

b. Imunoglobulin intravena 2 gr/kgBB atau 0.4 gr/kgBB selama 5 hari.

c. Terapi pertukaran plasma.

d. Pantau jumlah trombosit resipien (N: 150.000-440.000/mm3).

e. Sebaiknya diberikan konsentrat trombosit dengan golongan ABO

yang sama seperti golongan darah pasien. Berikanlah konsentrat

trombosit yang tidak mengandung antigen spesifik-trombosit.

Pemulihan jumlah trombosit biasanya terjadi sesudah 2-4 minggu.

c) Graft vs Host Disease (GVHD)

Terjadi pada resipien cangkokan sumsum tulang yang mengalami

imunodefisiensi, dan pada pasien imunokompeten yang mendapat

transfusi darah dari donor yang tipe jaringannya kompatibel dengan

pasien tersebut dan biasanya memiliki hubungan darah. Secara tipikal

terjadi 10-12 hari sesudah transfusi, ditandai dengan adanya febris,

Page 12: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

ruam dan deskuamasi kulit, diare, hepatitis, serta pansitopenia. Terapi

bersifat suportif dan tidak ada yang spesifik. Sebagai pencegahan,

dilakukan terapi sinar γ pada komponen sel darah untuk menghentikan

proliferasi limfosit.

G. Dampak Transfusi Berulang pada Thalassemia

1. Hemosiderosis

Hemosiderosis adalah akibat terapi transfusi jangka panjang yang

tidak dapat dihindari, karena dalam setiap 500 mL darah dibawa 200 mg

besi ke jaringan. Pada individu normal, semua besi plasma terikat pada

transferin. Kapasitas transferin untuk mengikat besi terbatas sehingga bila

terjadi kelebihan besi seperti pada pasien thalassemia, seluruh transferin

akan berada dalam keadaan tersaturasi. Akibatnya besi akan berada dalam

plasma dalam bentuk tidak terikat, atau disebut juga Non-Transferrin

Bound Plasma Iron (NTBI). NTBI akan menyebabkan pembentukan

radikal bebas hidroksil dan mempercepat peroksidasi lipid membran in

vitro sehingga menyebabkan kerusakan sel dan kematian (Laksmitawati,et

al., 2003; Rund & Rachmilewitz, 2005).

Besi yang berlebihan dalam tubuh terbanyak berakumulasi dalam

hati, namun efek paling fatal disebabkan oleh akumulasi di jantung.

Siderosis miokardium merupakan faktor penting yang ikut berperan pada

kematian awal penderita. Gejala kelainan jantung lain yang ditemui adalah

perikarditis dan gagal jantung kongestif. Gagal jantung yang berkelanjutan

akan menyebabkan blok atrioventrikular sehingga dapat menyebabkan

blok jantung total atau kanan atau kiri. Juga ditemukan aritmia atrial pada

setengah pasien thalassemia yang mendapat transfusi teratur tanpa terapi

pengikatan besi (Theil, 2003; Thein, 2005).

Pada pasien-pasien yang lebih tua, penyakit hati adalah penyebab

kematian yang umum, dan sering diperberat dengan infeksi virus hepatitis

C. Kelainan fungsi endokrin juga ditemukan, dimana kelebihan besi di

hipofisis anterior dapat menyebabkan gangguan maturasi seksual.

Page 13: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

13

Beberapa penelitian menunjukkan sebagian pasien thalassemia mengalami

hambatan pubertas. Lebih jauh lagi, dapat terjadi amenore sekunder pada

seperempat pasien yang berusia > 15 tahun, diabetes mellitus pada 5-10%

pasien dewasa, serta kerusakan kelenjar tiroid, paratiroid, dan adrenal.

Selain itu, kelebihan besi juga telah dihubungkan dengan penurunan

densitas tulang, hipertensi pulmonal, dan penurunan fungsi paru

(Jaruratanasirikul et al., 2007 ; Ratih, Susanto, & Sudarmanto, 2011).

Kadar kelebihan besi dalam tubuh dapat diukur dengan melakukan

berbagai pemeriksaan penunjang, baik pengukuran secara langsung

maupun tidak langsung.

a. Tidak langsung

1) Konsentrasi feritin serum/plasma

2) Saturasi transferin serum

3) Tes deferoksamin 24 jam

4) Pencitraan (CT scan hati, MRI hati, MRI jantung, MRI hipofisis

anterior)

5) Evaluasi fungsi organ

b. Langsung

Biopsi jumlah besi di hati dan jantung

Hemosiderosis dapat diturunkan atau bahkan dicegah dengan

pemberian parenteral obat pengkelasi besi (iron chelating drugs). Obat

pengkelasi besi yang dikenal adalah deferoksamin, deferipron, dan

deferasirox.

2. Infeksi Virus Hepatitis

Penyakit ini dilaporkan sebagai penyebab kematian tersering pada

pasien thalassemia di atas 15 tahun. Kerusakan hepar yang disebabkan

besi, yang berhubungan dengan komplikasi sekunder dari transfusi dan

infeksi virus hepatitis C merupakan penyebab tersering hepatitis pada anak

dengan thalassemia.

Page 14: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

3. Infeksi Yersinia

Infeksi Yersinia enterocolitica pertama kali ditemukan pada 2 pasien

thalassemia β pada tahun 1970. Infeksi harus dicurigai pada pasien dengan

kelebihan besi yang menderita panas tinggi dan fokus infeksi tidak

ditemukan, seringkali disertai dengan diare. Tanda-tanda kontaminasi

bakteri dan syok septik biasanya muncul dengan cepat sesudah transfusi

dimulai, kendati kemunculannya bisa saja tertunda selama beberapa jam.

Reaksi yang hebat dapat ditandai dengan panas tinggi yang onsetnya

mendadak, menggigil, dan hipotensi. Meskipun pada kultur darah tidak

ditemukan adanya kuman Yersinia enterocolitica, terapi Gentamisin

intravena dan Trimetoprim + Sulfametoksazol oral sebaiknya diberikan

segera dan diteruskan sedikitnya 8 hari.

4. Hipersplenisme

Sebagian besar pasien thalassemia mayor akan mengalami

pembesaran limpa yang bermakna yang disebabkan oleh eritropoeisis

ekstramedular. Meskipun hipersplenisme kadang-kadang dapat dihindari

dengan transfusi lebih awal dan teratur, namun banyak pasien yang

memerlukan splenektomi. Indikasi terpenting untuk splenektomi adalah

meningkatnya kebutuhan transfusi, yang menunjukkan unsur

hipersplenisme. Kebutuhan transfusi melebihi 240 mL/kg PRC/tahun

biasanya merupakan bukti hipersplenisme dan merupakan indikasi untuk

mempertimbangkan splenektomi. Splenektomi dapat menurunkan

kebutuhan sel darah merah sampai 30% pada pasien yang indeks

transfusinya melebihi 200 mL/kgBB/tahun. Karena adanya risiko infeksi,

splenektomi sebaiknya ditunda hingga usia 5 tahun. Sedikitnya 2-3

minggu sebelum dilakukan splenektomi, pasien sebaiknya divaksinasi

dengan vaksin pneumococcal dan Haemophilus influenzae tipe B dan

sehari setelah operasi diberi penisilin profilaksis.

Page 15: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

15

II. Terapi Kelasi

A. Tujuan

Kelebihan besi merupakan komplikasi yang fatal pada thalassemia bila

tidak diatasi dengan baik, karena itu hal ini menjadi fokus utama dalam tata

laksana thalassemia. Bila seorang pasien thalassemia tidak mendapatkan kelasi

besi, akan terjadi disfungsi pada hati, jantung, dan kelenjar endokrin yang

progresif berakibat timbulnya fibrosis hati, sirosis hati, gagal jantung, diabetes

melitus, hipogonadisme, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme hingga kematian.

Sehingga tujuan utama terapi kelasi besi adalah mencapai kadar besi tubuh

yang aman. Pemberian terapi kelasi besi yang adekuat dan kepatuhan pasien

sangat menentukan keberhasilan terapi ini (Gatot et al., 2007).

B. Penentuan Pemberian Kelasi

Terapi kelasi besi secara umum harus dimulai setelah kadar feritin serum

mencapai 1000 µg/L, yaitu kira-kira 10-20 kali transfusi (± 1 tahun). Beberapa

penelitian menyarankan pemeriksaan kadar besi hati dengan biopsi hati

sebelum memulai terapi kelasi besi. Terapi hanya dimulai bila konsentrasi besi

hati minimal 3.2 mg/g berat kering hati. Apabila biopsi tidak mungkin

dilakukan, terapi kelasi besi dapat dimulai pada pasien usia < 3 tahun yang

sudah mendapat transfusi teratur selama 1 tahun (Gatot et al., 2007).

C. Macam Obat Kelasi Besi

1) Deferoksamin (DFO)

Merupakan obat kelasi standar pilihan utama untuk penimbunan besi

karena transfusi berulang. Deferoksamin adalah molekul berbentuk

heksadentat dengan berat molekul 560 kDa, dengan demikian

deferoksamin sulit diabsorpsi di saluran cerna. Satu molekul DFO dapat

mengikat 1 atom besi dan memiliki stabilitas yang tinggi terhadap Fe3+.

Deferoksamin merupakan suatu molekul hidrofilik sehingga ambilan

ke dalam sel dan kompartemen subselular menjadi lambat, tetapi ambilan

ke dalam hepatosit cukup cepat. Kadar terapi dicapai dalam waktu singkat

Page 16: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

yaitu 5-10 menit dan akan hilang segera setelah penghentian terapi yaitu

sekitar 20 menit (Gatot et al., 2007).

Ekskresi obat terjadi melalui urin dan feses. Dosis yang biasa

diberikan adalah 40 mg/kg secara infus subkutan diberikan 8-12 jam,

dalam 5-7 hari perminggu. Pemberian vitamin C sebesar 2-3 mg/kg

peroral akan meningkatkan ekskresi besi di urin.

Lokasi infus yang umum adalah di abdomen, daerah deltoid, maupun

paha lateral. Penderita yang menerima regimen ini dapat mempertahankan

kadar feritin serum < 1000 µg/L. Efek samping yang mungkin terjadi

adalah toksisitas retina, pendengaran, gangguan tulang dan pertumbuhan,

reaksi lokal dan infeksi (Vichinsky, 2007).

2) Deferipron (DFP)

Merupakan terapi kelasi pilihan kedua yang diberikan secara oral

untuk terapi penimbunan besi pada pasien thalassemia mayor bila terdapat

kontraindikasi terhadap DFO atau tidak adekuat. Deferipron adalah

molekul berbentuk bidentat dengan berat molekul 139 kDa. Konsentrasi

puncak plasma DFP dicapai dalam waktu 45 menit, dan rerata waktu paruh

eliminasi antara 53-166 menit. Ekskresi utama deferasirox adalah melalui

feses (Gatot et al., 2007).

Terapi standar biasanya menggunakan dosis 75 mg/kgBB/hari dibagi

dalam 3 dosis. Kelebihan deferipron dibanding deferoksamin adalah efek

proteksinya terhadap jantung. Beberapa penelitian menemukan bahwa

pasien thalassemia yang menggunakan deferipron memiliki insiden

penyakit jantung dan kandungan besi jantung yang lebih rendah daripada

mereka yang menggunakan deferoksamin. Meskipun begitu, masih

terdapat kontroversi mengenai keamanan dan toksisitas deferipron sebab

deferipron dilaporkan dapat menyebabkan agranulositosis, artralgia,

kelainan imunologi, dan fibrosis hati. (Vichinsky, 2008).

3) Deferasirox (ICL-670)

Deferasirox adalah molekul tridentat yang molekulnya akan

membentuk ikatan 2 kelator dengan 1 atom besi (2:1). Afinitas deferasirox

Page 17: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

17

terhadap besi sangat tinggi, mudah diabsorpsi,dan dapat bersirkulasi

selama beberapa jam. Hal ini terjadi karena konsentrasi puncak plasma

dicapai dalam waktu 2 jam, dan masih dapat terdeteksi selama 24 jam;

rerata waktu paruh eliminasi antara 11-16 jam. Dengan demikian

deferasirox dapat diberikan hanya dosis tunggal untuk mencapai kadar

terapi. Ekskresi utama deferasirox adalah melalui feses (Gatot et al.,

2007).

Terapi standar yang dianjurkan adalah 20-40 mg/kgBB/hari dosis

tunggal. Deferasirox menunjukkan potensi 4-5 kali lebih besar dibanding

deferoksamin dalam memobilisasi besi jaringan hepatoseluler, dan efektif

dalam mengatasi hepatotoksisitas. Capellini dkk, dalam penelitiannya

yang memberikan deferasirox per oral satu kali sehari pada pasien β-

thalassemia mendapatkan penurunan kadar ferritin terjadi setelah duabelas

minggu terapi. Efek samping yang mungkin terjadi pada pemberian obat

tersebut adalah sakit kepala, mual, diare, dan ruam kulit (Capellini, Cohen,

& Piga, 2006).

4) Terapi Kombinasi

Dapat berupa terapi kombinasi secara simultan maupun sekuensial.

Terapi kombinasi secara simultan adalah pemberian deferoksamin 2-6 hari

seminggu dan deferipron setiap hari selama 6-12 bulan. Terapi kombinasi

sekuensial adalah pemberian deferipron oral 75 mg/kgBB selama 4 hari

diikuti deferoksamin subkutan 40 mg/kgBB selama 2 hari setiap

minggunya. Terapi kombinasi diharapkan dapat menurunkan dosis

masing-masing obat, sehingga menurunkan toksisitas obat namun tetap

menjaga efektifitas kelasi (Vichinsky, 2008).

Page 18: Transfusi Pada Thalassemia by Rahmah

DAFTAR PUSTAKA

Capellini, M., Cohen, A., & Piga, A. (2006). A phase 3 study of deferasirox

(ICL670), a once daily oral iron chelator, in patients with β-thalassemia.

Blood , 107, 3455-62.

Drews, R. (2003). Critical issues in hematology : anemia, thrombocytopenia,

coagulopathy, and blood product transfusions in critically ill patients. Clin

Chest Med , 24, 607-22.

Gatot, D., Amalia, P., Sari, T. T., & Chozie, N. A. (2007). Pendekatan Mutakhir

Kelasi Besi pada Thalassemia. Sari Pediatri , 8 (4), 78-84.

Marik, P., & Corwin, H. (2008). Efficacy of red blood cell transfusion in the

critically ill : A systematic review of the literature. Crit Care Med , 36 (9),

2667-74.

Ratih, D., Susanto, R., & Sudarmanto, B. (2011). Pengaruh Deferasirox Terhadap

Kadar T4 dan TSH pada β-Thalassemia Mayor dengan Kadar Ferritin

Tinggi. Sari Pediatri , 12 (6), 433-9.

Rosse, W., Hillmen, P., & Schreiber, A. (2004). Immune mediated hemolytic

anemia. Hematology , 1, 48-62.

Strobel, E. (2008). Hemolytic transfusion reaction. Transfus Med Hemother , 35,

346-53.

Theil, E. (2003). Ferritin:at the crossroads of iron and oxygen metabolism. J. Nutr

, 1549-53.

Thein, S. (2005). Genetic modifiers of β- thalassemia. Haematologica , 90, 649-

60.

Vichinsky, E. (2007). Clinical application of deferasirox: practical patient

management. Am J Hematol , 1-5.

Vichinsky, E. (2008). Oral iron chelators and the treatment of iron overload in

pediatric patients with chronic anemia. Pediatrics , 121, 1253-6.

Wu, Y., Mantha, S., & Snyder, D. (2008). Transfusion reactions. In Hoffman,

Hematology : Basic principles and practices Edisi ke-5 (p. 153).

Philadelphia: Churchill Livingstone.