18
TRANSFORMASI SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN (STUDI PERILAKU MASYARAKAT NEGERI KAMARIAN KECAMATAN KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU) Marcus, F. Pessireron Abstract Change of cultural social represent a isu which will never finish to in to operating on. Change of cultural social of study menyakngkut in sociology science covering three dimension that is different time, first ( past), now ( future and present) ( future). There no society which do not experience of change, because life of cultural social is dynamic. Change of cultural social have an in with individual behavior or society, representing friction of value of symptom life of social so that change of cultural social represent normal social symptom. that Change symptom can be seen from system assess or norm which is on in a moment go into effect and when not applicable different again or a[n civilization which disagree with change at is present day. Keywords; Social Cultural Transformation, Development, Soceity Behavior A. Pendahuluan Indonesia meruapakan negara kepulauan terdiri dari pulau-pulau kecil dan besar terbentang dari sabang samapai merouke. Keberagaman pulau-pulau tersebut, maupun keberagamam agama, budaya adat istiadat, bahasa, dan suku merupakan bentuk dari struktur budaya masyarakat yang tersebar di seluruh kepulau di Indonesia. Struktur keberagaman dan perbedaan tidak menjadi tantangan membangun kebudayaan nasional dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 merupakan pedoman dan doktrin negara terkandung di dalamnya aturan-aturan hukum, norma dan nilai-nilai yang mengatur perjalanan hidup bangsa Indonesia kedepan. Sebelum abad ke 15 umumnya masayarakat tradisonal di Maluku, yakni di Pulau Ambon, Kepulauan Lease, dan Pulau Seram sangat berpegang teguh pada aturan-aturan adat yang mengatur masyarakat setempat khususnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Di Pulau Seram ada suatu budaya masyarakat setempat sampai saat ini masih kental terpelihara dan selalu dipraktekkan hingga kini dari generasi-kegenerasi yakni budaya Pasawari adat. Masyarakat setempat berpandangan bahwa upacara Pasawari adat itu adalah suatu bentuk doa yang dilantumkan dalam bahasa tanah untuk meminta restu dari para leluhur terhadap sesuatu maksud yang

Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Umumnya masyarakat adat di Maluku negeri Kamarian sebelum melaksanakan kegiatan pembangunan biasanya diawali dengan upacara Pasawari adat.

Citation preview

Page 1: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

TRANSFORMASI SOSIAL BUDAYA DALAM PEMBANGUNAN PEDESAAN (STUDI PERILAKU MASYARAKAT NEGERI KAMARIAN

KECAMATAN KAIRATU KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT PROVINSI MALUKU)

Marcus, F. Pessireron

Abstract

Change of cultural social represent a isu which will never finish to in to operating on. Change of cultural social of study menyakngkut in sociology science covering three

dimension that is different time, first ( past), now ( future and present) ( future). There no society which do not experience of change, because life of cultural social is

dynamic. Change of cultural social have an in with individual behavior or society, representing friction of value of symptom life of social so that change of culturalsocial represent normal social symptom. that Change symptom can be seen from

system assess or norm which is on in a moment go into effect and when not applicable different again or a[n civilization which disagree with change at is

present day.

Keywords; Social Cultural Transformation, Development, Soceity Behavior

A. Pendahuluan

Indonesia meruapakan negara kepulauan terdiri dari pulau-pulau kecil dan besar terbentang dari sabang samapai merouke. Keberagaman pulau-pulau tersebut, maupun keberagamam agama, budaya adat istiadat, bahasa, dan suku merupakan bentuk dari struktur budaya masyarakat yang tersebar di seluruh kepulau di Indonesia. Struktur keberagaman dan perbedaan tidak menjadi tantangan membangun kebudayaan nasional dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 merupakan pedoman dan doktrin negara terkandung di dalamnya aturan-aturan hukum, norma dan nilai-nilai yang mengatur perjalanan hidup bangsa Indonesia kedepan.

Sebelum abad ke 15 umumnya masayarakat tradisonal di Maluku, yakni di Pulau Ambon, Kepulauan Lease, dan Pulau Seram sangat berpegang teguh pada aturan-aturan adat yang mengatur masyarakat setempat khususnya dalam pelaksanaanupacara-upacara adat. Di Pulau Seram ada suatu budaya masyarakat setempat sampai saat ini masih kental terpelihara dan selalu dipraktekkan hingga kini dari generasi-kegenerasi yakni budaya Pasawari adat. Masyarakat setempat berpandangan bahwa upacara Pasawari adat itu adalah suatu bentuk doa yang dilantumkan dalam bahasa tanah untuk meminta restu dari para leluhur terhadap sesuatu maksud yang

Page 2: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

hendak dilaksanakan. F, Cooley (1987: 179) menyebut upacara Pasawari adat itu adalah suatu bentuk syair-syair, puji-pujian, kapatah-kapatah yang dilantumkankepada pencipta.

Pada umum masyarakat adat di Maluku negeri Kamarian sebelummelaksanakan suatu kegiatan pembangunan misalnya pembangun proyek air bersih, rumah ibadah, pembangunan menera lonceng gereja, gedung sekolah, puskemas,kantor desa, rumah adat (rumah baeleu), maupun rumah pejabat seperti rumah raja, dan rumah pendeta, ataupun berbagai kegiatan lain dalam masyarakat seperti hendak membuka (ewang) hutan atau lahan baru untuk berkebun (bercocok tanam) biasanya di awali dengan melakukan upacara Pasawari adat. Adapun tujuan utama dari masyarakat melaksanakan upacara Pasawari adat adalah, pertama untuk memeliharanorma dan nilai-nilai budaya adat-istiadat sebagai warisan para leluhur, kedua untuk kelancaran pembangunan fisik dan nonfisik terutama pada proses peningkatan kesejateraan masyarakat baik jasmani maupun rohani.

Pada abad 15 dan 16 dalam perkembangannya di bawah pengaruh militer dan politik masuknya pedangang-pedagang Arab dan Eropa ke Maluku untuk mencari rempah-rempah sekaligus menyiarkan agama menyebabkan budaya dan adat-istiadat masyarakat Maluku mengalami perubahan yang sangat signifikan(Cooley, F. 1987). Menurut John Pattikaihatu (1991: 9) bahwa pola kebudayaan lama atau tradisional itu didesak dan diganti dengan pola kebudayaan Barat. Akibatnya timbul berbagai persoalan sosial terutama terjadinya perubahan pola pikir sikap dan perilaku masyarakat terhadap pelaksanaan upacara adat tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan ketidak hadiran masyarakat secara bersama raja dan tua-tua adat untuk melakukan upacara Pasawari adat karena dianggap telah melakukan dualisme penyembahan, kedua masyarakat tidak lagi menghargai dan meghormati upacara dilaksanakan karena dianggap kekafiran dan penyembahan berhala. Hal mana dapat terlihat dari kegiatan-kegiatan pembangunan yang dilaksanakan dalam negeri atau desa biasanya upacara adat merupakan faktor utama. Ketika dunia semakin modern, dengan berbagai kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, globalisasi sekarang ini, masalah sosial yang muncul adalah bagaimana merubah pola pikir dan karakter masyarakat setempat sudah lama danterbiasa melaksanakan upacara-upacara tersebut, agar tidak bergantung terhadapbudaya-budaya tertentu mendiskritifkan dan menkridilkan cara berfikir yangsesungguhnya tidak membuat masyarakat maju dan berkembang. Artinya mauditegaskan bahwa tanpa upacara adatpun pembangunan dilaksanakan di desa dapat terlaksana tanpa ada hambatan.

Sebagai contoh ketika perusahaan PT Djayanti Group melakukan penebangan kayu meranti dan kayu bessi serta berbagai jenis kayu lain di pegunungan Pulau Seram di negeri Kamarian ditemukan bahwa mobil perusahaanpengangkut bahan baku kayu dari pegunungan ke pesisir pantai mengalami musibah

Page 3: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

yakni terbalik ke jurang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Bahkan disebutkan bahwa berbagai jenis kayu olahan yang di angkut semuanya rusak berlubang (dalam dialek ambon balobang). Hal mana di jumpai pula bahwa para penebang kayu mengalami musibah tertindis kayu dan meninggal dunia. Dalam menghadapi peristiwa seperti di atas dievalwasi bahwa hutan tempat pengambilan kayu oleh perusahaan adalah wilayah adat yang sakaral (sacret), ini diakui oleh masyarakatbahwa tempat tersebut adalah pamali sehingga ditakuti untuk di masuki oleh masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan.

Contoh lain bahwa ketika alat berat (traktor) dipakai untuk pengusuranjalan trans di Pulau Seram negeri Kamarian dan pembangunan jembatan yang dikerjakan oleh para kontraktor menghubungkan negeri (desa) satu dengan lain serta dengan kota kecamatan, tibah-tibah traktor mengalami kerusakan dan tidak beroperasi selama tiga bulan. Bahkan sopir traktor tersebut mendadak sakit danmeninggal dunia. Sendakan karyawan lain yang mengerjakan pembangunan jembatan sungai waaiyira dan waaiaka juga mengalami musibah yakni seorang pekerja diterkam oleh seekor buaya (crocodile). Sementara diceriterakan oleh masyarakat setempat bahwa disungai tempat pembangunan jembatan tidak pernah ada buaya yang hidup disana. Kejadian-kejadian aneh membuat masyarakat dan para pekerja selalu berhati-hati di dalam melakukan pekerjaan.

Peristiwa-peristiwa serupa yang terjadi yakni misalnya pembangunan pelabuhan dermarga penyeberangan spid bood di Kamarian Pulau Seram menuju keKota Ambon juga mengalami masalah. Para pekerja pada saat meyelam untuk melakukan tiang pemancang pambangunan jembatan hilang dihatam glombang dan arus laut sampai saat ini jasatnya hilang tidak ditemukan. Pada Juni 2012 di Pulau Ambon bertempat di desa Galala dilakukan upacara adat oleh tua-tua adat dan rajanegeri Halong sebagai awal dilakukan megaproyek pembangunan jembatan merah putih yang menghubungkan desa Poka dan Galala. Hal senada pula dilaksanakanupacara adat untuk pembangunan megaproyek listrik tenaga surya yang lokasihnya bertempat di negeri Waai.

Berbagai fenomena sosial terjadi pada masyarakat diatas menurut Emile Durkheim (dalam Peter Beilharz, 2002: 104) bahwa ilmu sosiologi sebagai bidang penelitian yang absah dan objek studinya berupa fakta-fakta sosial yang tidak dapat dijelaskan dan dianalisis dengan kerangka ilmu psikologi, dan fakta-fakta sosial berada diluar individu, dan ditopang oleh kekuatan koersif. Ini menjadi catatanpenting untuk di tindak lanjuti, agar kedepan tidak tejadi korban jiwa dan hilangnyaharta benda. Karena itu diperlukan langka-langka prefentif demgan lebih awal dilakukan upacara pasawari adat oleh tua-tua adat, raja dan masyarakat setempat sebelum melaksanakan suatu kegiatan pembangunan. Dengan di laksanakanyaupacara adat dimaksud maka semua kegiatan pembangunan yang hendak diadakandalam masyarakat akan berjalan dengan lancar tanpa ada hambatan.

Page 4: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

B. Pembahasan

Berdasarkan berbagai fenomena dan fakta sosial di temukan penyebabmasalah yakni terjadinya perbedaan pandagan antar masyarakat pos-modernisme dan pos-tradisional. Pemikiran masyarakat pos-modernisme yang sudah (mampan) maju dan berkembang berpandagan bahwa upacara-upacara adat yang di laksanakan oleh masyarakat tradisional di atas adalah sesuatu yang rendah, bodoh, penipuan, kuno, tidak cocok dengan kondisi dan perkembangan zaman, sehingga sukar untuk menerima perubahan dan pembaharuan. Bahkan dinilai sebagai penghambat berbagai kegiatan pembangunan, dan kemajuan masyarakat. Karena itu menurut pemikiran modern upacara-upacara adat merupakan tradisi budaya yang masih terpelihara sampai saat ini dalam masyarakat tidak perlu dipertahankan. Hal senada disampaikan bahwa budaya-budaya tersebut (seperti Pasawari dan sejenis) yangdilaksankan adalah bentuk dari kemiskinan, ketertinggalan dan keterbelakanganbudaya terhadap berbagai perubahan dan kemajuan pembangunan masyarakat. Ini dikarenakan masyarakat masih terikat dengan aturan-aturan kebudayaan yakni adat-istiadat sehingga tidak bebas untuk berkembang.

Sementara pandangan masyarakat pos-tradisional secara fisik (mereka)sudah masuk dalam dunia kemoderenan (modern) dengan kemajuan dan perkembangan ilmu pengethuan dan teknologi, globalisasi, tetapi cara berfikirnyatidak menunjukan kemoderenan. Ini tidak dipungkiri bahwa masyarakat teresebutmasih berfikir dan berperilaku mengunakan pola-pola lama. Akibat dari pemikiran yang sempit dan dangkal mendiskritipkan kemoderenan itu, dengan demikianglobalisasi dan modernisasi dituduh penyebab terjadinya pengikisan terhadap nilai-nilai budaya dan adat-istiadat masyarakat lokal. Akhirnya masyarakat dengan mudah melangkahi aturan-aturan budaya dan adat-istiadat, terutama pada kelompok masyarakat tertentu dengan bersikap atau berperilaku tidak beretika dan bermoral.Permasalahan sosial yang ditemukan yakni masyarakat tersebut berada dalam dilema, bersikap memilih posisi berada pada padangan tradisional atau modern ataupun sebalaiknya masyarakat berada ditengah diantara keduannya. Terjadinya perjumpaanperadaban modern dan tradisional melahirkan nilai-nilai baru dalam masyarakat menyebabkan sikap dan perilaku masyarakat terus mengalami perubahan mengikuti perkembangan dan perubahan zaman.

Anthony Giddens (dalam Ashad Kusuma Djaya, 2012: 93-94), berpandangan bahwa globalisasi dan modernisasi sebagai kebudayaan modern berjumpa dengan kebudayaan tradisional sebagai proses dua arah, dimana keduanya saling mempengaruhi dan berhadap-hadapan. Namun tidak dipungkiri bahwa di abad modern dan memasuki melinium ketiga sekarang ini ada sebagian masyarakat secara tradisional masih mempertahankan kultur lama berserta nilai-nilai dan norma-norma(kearifan lokal) dengan tetap terus menyesuikan diri mengikuti nilai-nilai baru

Page 5: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Giddens berpandangan bahwa globalisasi dan modernisasi melemahkan budaya lokal agar tidak berkembang, namunsebaliknya Giddens menegaskan pandangannya lagi bahwa justru gobalaisasi dan modernisasi membantu membangkitkan budaya lokal tersebut.

Ada suatu pengakuan bahwa unsur yang baru tersebut memiliki kegunaan atau fungsi bagi masyarakat setempat. Suatu unsur kebudayaan akan ditolak oleh masyarakat jika unsur kebudayaan ini tidak memiliki nilai guna. Sebagai contoh ditemukan listrik, atau kereta api dan berbagai peralatan lain bagi hidup manusia dapat diterima oleh masyarakat, sebab berbagai pertemuan dan perjumpaan tersebut memiliki manfaat untuk menunjang hidup masyarakat. Penemuan-penemuan ini membawa dampak pada perubahan di berbagai bidang kehidupan lain seperti perubahan pada pola-pola perilaku manusia atau individu yang berujung pada perubahan nilai-nilai dan norma-norma dijadikan sebagai pandangan hidup untuk mencapai arah dan tujuan hidup bersama.

Perilaku masyarakat mengalami perubahan bukan pada pemahaman percayayang dimaksudkan pada penyembahan kepada leluhur dalam budaya upacaraPasawari adat, tetapi perilaku atau sikap-sikap masyarakat mengalami trasformasi budya dalam penyembahan yang dimaksaudkan dalam pengertian penghormatan pada nilai-nilai dan norma-norma serta aturan-aturan adat-istiadat yang merupakan warisan leluhur, mengatur masyarakat agar hidup tertib dan beradap telah mengalami pergeseran nilai pada perilaku sosial masyarakat. Masyarakat telah kehilagan ruhnyaserta makna hidup sehingga perilakunya mengalami transformasi budaya akibat dipengaruhi oleh kemajuan pembangunan dan pemikiran modern. Globalisasi dan modernisasi hadir sebagai bentuk baru dari kebudayaan modern, merubah pola pikir dan perilaku masyarakat tradisional yang berciri khas lokal kultural. Menurut George Ritzer (2011 : 70), bahwa kebudayaan masyarakat tersusun dalam tingkalaku atau dengan kata lain kebudayaan adalah tingka laku yang berpola. Sedangkan Emile Durkheim (dalam Peter Beilharz 2002: 103), mempertahnkan suatu pandangan sosial radikal tentang perilaku manusia sebagai sesuatu yang dibentuk oleh kultur dan struktur sosial.

Karena itu kemajuan IPTEK, globalisasi dan modernisasi, menurut Ritzer(2011), dapat dianalisis secara budaya, ekonomi, politik, agama dan atau institutional bahwa kecenderungan kearah homogenitas sering diasosiasikan dengan implementasi budaya, atau dengan kata lain, meningkatnya pengaruh internalisasi dari kebudayaan tertentu. Artinya adanya percampuran budaya atau penyatuan budaya dari beberapa unsur menjadi satu atau homogenitas. Ini akan terjadi disaat budaya globalisasi dan modernisasi (modern) akan menguasai dan menekan budaya lokal tradisional.Namun dibalik setiap peristiwa yang terjadi masyarakat hendaknya bersikap kritis dan rasional menerima perubahan yang datang dari luar demi kemajuan dan perkembangan pembangunan dalam masyarakat.

Page 6: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

Berbagai data dan faktor telah dikemukakan mengenai kondisi riel masyarakat desa Kamarian, karena itu peneliti tertarik untuk memfokuskan penelitian pada Transformasi Sosial Budaya Dalam Pembangunan Pedesaan ; Studi Perilaku Masyarakat Negeri Kamarian Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat Provinsi Maluku. Peneliti berasumsi bahwa walaupun masyarakat setempat sudah menegetahui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, globalisasi dan modernisasi tetapi masyarakat masih terpola mengunakan gaya berfikir tradisioanl dengan kebudayaan lamanya. Karena itu menurut hemat penulis faktor penghabat kegagalan pembangun bukanlah terletak pada upacara Pasawari adat atau budaya tertentu tetapi cara berfikir masyarakat yang dangkal atau sempit sehingga sulit untukmenerima berbagai perubahan yang terjadi.

C. Asal-Usul Terbentuknya Negeri (Desa) dan Kebudayaan

Masyarakat negeri atau desa umumnya di Pulau Seram terbentuk, semula diawali dengan adanya persekutuan hidup bersama manusia dalam berkelompok sebagai makhluk sosial dari orang-orang primitif yang saling bekerja sama mencari makan melalui kegiatan berburu, meramu, dan mengumpulkan berbagai bahan makanan. Menurut John Pattikaihatu (2007: 106) bahwa kelompok manusia masa primitif hidup secara berpindah-pindah (nomad) yang masing-masing kelompok berjumbalah sepuluh sampai tiga puluh orang. Perpindahan dari suatu tempat ketempat lainnya di dasari oleh ada tidaknya persediaan bahan makanan ditempat itu. Jika di suatu tempat masih ada persediaan makanan, maka kelompok-kelompok tersebut menetap diwilayah ini, dan jika persediaan makanan ditempat tersebut sudah habis, maka mereka berpindah tempat ke tempat yang masih ada persediaan makanan.

Hal lain menurut Subyakto (dalam Koentjaraningrat, 1995: 182) adanya gangguan keamanan yang sering menjadi acaman bagi keselamtan kelompok terutama jika terjadinya perang saudara antar orang-orang Nuaulu dari suku Wemale (Halune) dan Alune (Memale) di Seram Barat. Karena itu kelompok masyarakat selalu berpindah tempat dan mencari wilayah yang di rasakan aman untuk melindungi diri dari serangan musuh yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan. Akan tetapi, hidup secara nomad dirasa tidak membawa kenyamanan menyangkut kesulitan mendapatkan bahan makanan dan tempat perlindungan yang memadai atau faktor keamanan, mengingat persediaan makanan semakin lama semakin sukar di dapat, maka akhirnya kelompok nomad menemukan cara yang tepat untuk menetap pada suatu wilayah yang dirasahkan aman dimana akan mengolah tanah dan menanam tanaman dijadikan sebagai bahan makanan. Selain mengolah tanah berkebun (bercocok tanam) meramu, dan berburu berbagai jenis hewan (binatang)dan ungas, menagkap ikan untuk menambah kebutuhan ekonomi. Dalam fase inilah kultur sosial mulai terbentuk sebagai persekutuan hidup kelompok manusia menjadi suatu perkampungan yang di dalamnya terdapat hubungan antar kelompok-kelompok sosial masyarakat tersebut.

Page 7: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

Pattikaihatu (2007: 108), mengatakan bahwa sebelum kedatangan bangsa Barat dan pengaruhnya pada abad 16 - 17, sudah ada penduduk yang membagun pemukiman di pegunungan dan pesisir pantai. Pemukiman-pemukiman itu dikenal dengan nama Soa atau Uku, Aman, Hena atau Negeri. Van Hoevell, G. 1877 (dalam Ziwar Efendi. 1987: 25) bahwa kelompok itu kemudian membentuk suku-suku atau clan-clan. Pengelompokan itu berdasarkan satu garis keturunan atau genealogis dan bisa juga karena kesatuan wilayah tempat tinggal (territoire) atau karena kedua-duannya genealogis territorial. Dasar pengelompokan yang tertua adalah keturunan atau hubungan darah, dan ini dapat di bagi lagi kepada matrilineal di mana garis keturunan tersusun menurut garis ibu dan patrilineal menurut garis ayah. Susunan masyarakat mulai dari keluarga sebgai unit terkecil, selanjutnya berkembang menjadi Rumatau (matarumah atau family) Uku atau Soa (kampong kecil) dan masyarakat Hena atau Aman (negeri atau desa).

Secara sosial politik ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa berlakulah Undang-undang No. 5. 1979 dimana status negeri-negeri adat di Maluku berubah menjadi desa sama seperti desa-desa yang berada di Pulau Jawa, (Peran Fungsi LMD Dalam Penyelenggaraan Pemrintahan Desa, 1990: 7). Menurut Saleh Putuhena (2001: 9) bahwa Uundang-undang tersebut sesungguhnya tidak cocok dengan sistem pemerintahan adat di Maluku. Hal ini secara kasad mata hendak menghancurkan dan menghilangkan kultur lokal orang Maluku dan diganti dengan budaya lain, akibanya sistem pemerintahan tidak berjalan sebagaimana diharapkan menimbulkan banyak masalah dalam masyarakat. Struktur pemerintahan negeri diatur dengan auturan-aturan adat-istiadat. Ketika berlakunya otonomi daerah, maka pemerintah Provinsi Maluku dan Kabupaten Kota mengelurkan peraturan daerah mengatur sistem pemerintahan berdasarkan adat-istiadat. Dan itu telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dengan dikeluarkannya peraturan daerah No. 4. Tahun 2004, yang berisi tentang diberlakukannya sistem pemerintahan negeri berdasarkan adat-istiadat di negeri raja-raja. Berdasrkan latar belakang dan ikatan-ikatan budaya dan adat- istiadat maka hubungan-hubungan sosial tardisioanl secara oraganik masih nampak dilakukan oleh masyarakat setempat.

Ferdinand, Tonnies (dalam Nanag Martono 2010: 45) memiliki teori yang sangat penting, dan mampu membedakan konsep masyarakat tradisonal dan masyarakat modern. Tonnies menyebut masyarakat tradisonal dengan Gemeinschaft dan modern dengan Gesellschaft. Gemeinschaft merupakan situasi yang beroryentasi pada nilai, aspiratif, memiliki peran dan terkadang sebagai kebiasaan asal yang mendominasi kekuatan sosial. Gemeinschaft lahir dari dalam individu; keinginan untuk berhubungan didasarkan atas kesamaan dalam keinginan dan tindakan. Kesamaan individu dalam hal ini merupakan faktor penguat hubungan sosial, yang kemudian diperkuat dengan adanya hubungan emosional serta interkasi antar individu. Sedangkan Gesellschaft merupakan sebuah konsep yang menunjuk pada hubungan anggota masyarakat yang memiliki ikatan lemah, kadangkala antar individu tidak saling mengenal, nilai, norma dan sikap menjadi kurang berperan dengan baik.

Page 8: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

Ada pandangan dari orang-orang modern yang sudah maju dan berkembang mengatakan bahwa masyarakat desa adalah orang-orang tertinggal, keterbelakangan, dan lemah suberdaya manusiannya. Untuk itu, lebih tepatnya kesan tentang kehidupan masyarakat pedesaan adalah masyarakat yang masih menganut pola-pola kehidupan tradisional. Darmawan Salaman (2012: 76) berpandangan bahwa masyarakat ini memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap hutan sebagai sumber matapencahariannya. Pekerjaan keseharian adalah meramu rotan dan damar, mengambil air nira, menebang kayu untuk bangunan rumah dan kayu bakar, menangkap ternak dan burung (ungas) serta berladang berpindah, di dalam hutan. Dengan bentuk seperti itu, motif persentuhannya dengan hutan masih berbasis subsistensi, sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari. Terlihat dari pola perilaku masyarakat yang di dasarkan pada budaya dan adat-istiadat lama, yakni aturan-aturan adat yang sudah mapan menyangkut segalah konsepsi sistem budaya mengatur tindakan atau perbuatan manusia dalam kehidupan sosialnya. Jadi kehidupan masyarakat pedesaan sebagian besar didasarkan pada cara atau kebiasaan-kebisaan lama yang di turunkan dari para leluhur (nenek moyang). Sumner dan Keller (1927: 8) menelusuri pembentukan kebudayaan dari apa yang di sebut kebiasaan-kebisaan. Sumner berargumen bahwa insting yang dimiliki masyarakat sejak lahir menjadi kebiasaan-kebiasaan tindakan yang terbentuk secara kultural sebagai hasil dari pembelajaran sosial. Ketika kebisaan dan kecenderungan yang serupa diikuti oleh seluruh masyarakat, maka akan menjadi kebiasaan adat-istiadat yang berjalan melalui norma-norma perilaku bersama. Jika masyarakat bercermin pada norma-norma dan nilai-nilai, dan mengadopsinya sebagai prinsip dalam tindakan secara umum, maka masyarakat atau individu lebih didefenisikan menurut standart-standart etika moral yang lebih abstrak. Akan tetapi kebanyakan masyarakat bertindak berdasrkan adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan, serta perubahan-perubahan dalam lembaga sosial terjadi secara bertahap dan tidak direncanakan. John Scott (2012: 59) berpendapat bahwa adat-istiadat dan kebiasaan-kebisaan muncul dari prinsip-prinsip dan ide-ide bersama yang menyusun sebuah kebudayaan dan sebuah rangkain teori yang terkait yang menggali prinsip-prinsip itu sendiri. Hal mana dapat terlihat dilaksankan berbagai kegiatan budaya seperti upacara-upacara adat. Salah satu bentuk budaya yang sering dilaksanakan adalah upacara Pasawari adat. Masyarakat setempat sangat bergantung pada pelaksnaan Pasawari adat, karena apabila tidak dihargai dan dihormati atau di indahkan akan membawa kutukan, malapetaka atau bencana kepada masyarakat seperti musibah menimpah negeri, wabah penyakit, kematian yang tak henti, perkelahian antara soa (wiek), gagal panen, kekeringan, banjir dan lain-lain. Hal serupa dilakukan masyarakat desa Taraudu kecamatan Sahu Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara bisanya melakukan upacara adat Waleng untuk melakukan suatu kegiatan pertanian seperti hendak membuka kebun baru (bercocok tanam) dan atau melakukan panen hasil dan lain-lain (J. J. Patipelohy. 2008: 151). Hal senada pula di lakukan masyarakat negeri Lumoli di Pulau Seram sebelum melakukan bercocok

Page 9: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

tanam lebih awal dilakukan upacara adat Kabasa, agar tanah pertanian dapat memberi kesuburan dan mendatangkan hasil kebun yang banyak (TJA. Uneputy dan KK. 1980: 67).

D. Defenisi Perubahan Sosial Dan Budaya

Masyarakat (adat) secara makro berada dalam sebuah strukur sosial yang teratur, memiliki fungsi dan peran masing-masing di masyarakat. Di dalam struktur masyarakat itu ada sistem dipakai untuk mengontrol jaringan-jaringan yang tidak berfungsi pada waktu yang tidak menentu dapat mengalami gangguan dan perubahan karena berbagai faktor.. Menurut Walter Buckley (1967: 41) bahwa masyarakat sebagai susunan elemen-elemen atau komponen-komponen yang secara langsung atau tak langsung berkaitan di dalam jaringan kausal sedemikian rupa sehingga masing-masing komponen dikaitkan dengan setidaknya beberapa komponen lain dalam cara yang kurang lebih stabil dan dalam periode waktu.

Talcott Parson (dalam George Ritzer & Douglas J. Goodmand 2004: 121) medesain skema AGIL untuk digunakan pada semua tingkatan sistem teorinya. Menurut Parson sistem itu dapat berubah dan bertahan dengan menggunakan empat fungsi yaitu pertama, Adaptation (Adaptasi): sebuah sistem harus menaggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem itu harus mampu menyusuaikan diri dengan lingkungan dan menyusuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya, kedua, Goal attainment (Pencapain tujuan): sebuah sistem harus mendevenisikan dan mencapai tujuan utamanya, ketiga, Integration (Integrasi): sebuah sistem harus mengatur antar hubungan bagian-bagian fungsi yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antar hubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L), keempat, Latency (Latensi atau pemeliharaan pola): sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola cultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

Artinya apabila masyarakat mengalami perubahan maka otomatis akan berpengaruh kepada sikap dan perilaku dari komponenen-komponenen sistem akan terganggu pula. Tepatnya perubahan itu terjadi terdapat perbedaan antar keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu yang berlainan. Untuk itu konsep dasar tentang perubahan sosial menyangkut tiga hal yaitu : pertama, studi mengenai perbedaankedua, studi harus dilakukan pada waktu yang berbeda dan ketiga, pengamatan pada sistem sosial yang sama (Piotr, Sztompka. 1984: 2). Artinya bahwa untuk dapat melakukan studi perubahan sosial, harus melihat adanya perbedaan pada perubahan kondisi objek yang menjadi fokus, atau dapat melihat pada konteks objek dari perilaku individu.

Perubahan sosial menurut beberapa para ahli Sosiologi antara lain pertama,Sole Sumardjan (dalam Elly Setiadi dan Usman Kolip, 2010: 610) bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-laembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam

Page 10: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

masyarakat, kedua, Lauer, (dalam Nanang Martono, 2011: 4) perubahan sosial dimaknai sebagai perubahan fenomena sosial diberbagai tingkatan kehidupan manusia, mulai dari tingakat individu-individu sampai dengan tingakat dunia, ketiga, Moore, mendefenisiskan perubahan sebagai struktur sosial, yaitu pola-pola perilaku dan interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. keempat, Macionis (dalam Piotr Sztompaka, 2010: 5-6) bahwa perubahan sosial merupakan transformasi dalam organisasi masyarakat dan dalam pola pikir serta dalam berperilaku pada waktu tertentu. Kelima, mengacu pada variasi hubungan antar individu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu. Aartinya bahwa perubahan sosial-budaya adalah perubahan perilaku berdampak pada perubahan nilai-nilai, norma-norma serta aturan-aturan budaya, hubungan-hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu.

Artinya tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, sebab kehidupan sosial budaya adalah dinamis. Perubahan sosial budaya berpengaruh pada perilaku individu atau masyarakat, merupakan pergeseran nilai dari gejala kehidupan sosial, sehingga perubahan sosial budaya merupakan gejala sosial yang normal. Perubahan sosial budaya tidak hanya dapat dipandang hanya dari satu sisi, sebab perubahan ini mengakibatkan perubahan terjadi disektor-sektor dan menjalar kebidang-bidang lainnya. Gejala perubahan itu dapat dilihat dari sistem nilai maupun norma yang pada suatu saat berlaku dan pada waktu yang berbeda tidak berlaku lagi atau suatu peradaban yang sudah tidak sesuai dengan peradaban pada masa kini.

William Ogburn (dalam Soerjono Soekamto, 1986: 283) berpendapat bahwa batasan ruang lingkup perubahan sosial, mencakup unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat matriil maupun yang tidak bersifat matrial (immatrial) dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan yang matrial terhadap unsur-unsur immaterial. Sikap tradisional suatu masyarakat yang menjadi faktor penghalang terjadinya perubahan, kebanyakan berasal dari kaum konservatif. Sedankan lawan dari konservatif adalah radikal (radikalisme) adalah gerakan dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengubah sendi-sendi kehidupan sosial budaya yang di lakukan secara keras. Kelompok konservatif selalu diartikan sebagaikaum yang mengagung-agungkan kebudaayaan masa lampau atau disebut kebudayaan lokal tradisional seperti pelaksanan upacara Pasawari adat di negeri Kamarian dianggap memiliki sifat sakral (suci), mulia sehingga keberadaan kebudayaan harus dipertahankan merupakan sesuatu yang absulut (harga mati).

Siapa pun orang yang hendak melakukan perubahan akan dianggap sebagai bentuk penyimpangan. Golongan konservatif ini biasanya berakar kuat didalam struktur masyarakat feodal. Masyarakat feodal bisanya bersikap atau berperilaku tidak kooperatif terhadap perubahan, sebab perubahan akan dianggap sebagai bentuk pergeseran nilai-nilai feodalisme, sehingga akan sangat berpotensi juga dalam menggeser posisi sosial budaya termasuk status dan paranannya di dalam masyarakat.

E. Pengaruh Kebudayaan Dalam Pembangunan Desa

Page 11: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

Berdasarkan realitas sosial atau fakta sosial di masyarakat bahwa pagaruh kebudayaan terhadap proses percepatan pembangunan dalam masyarakat sangatlah besar terlihat dari berbagai kegiatan pembangunan di negeri Kamarian pertama-pertama diawali dengan melakukan upacara Pasawari adat (Tesisi : Pasawari adat, M, F. Pessireron, 2004: 176). Hal mana nampak pulah di temui berbagai perubahanakibat berkembangnya Ilmu penegetahuan dan teknologi, globalisasi, modernisasi. Akan tetapi secara garis besar perubahan sosial tidak akan lepas dari kebudayaan dimana manusia turut serta melakukan perubahan itu. Kecenderungan ini melahirkan konsep-konsep perubahan yang tersusun melalui berbagai program yang laizim disebut sebagai program pembagunan. Dengan demikian menurut Hari Susanto, (2003: 181) bahwa pembangunan merupakan seperangkat usaha terencana untuk mengubah keadaan, baik keadaan alam lingkungan maupun sosial budaya untuk mencapai target kehidupan yang lebih ideal, layak, dan mapan. Sebagai mana termuat dalam tujuan pokok pembangunan nasional yakni untuk mencapai kehidupan bangsa yang adil makmur, baik matrial, dan spiritual berdasrkan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga menjadi bangsa yang mandiri dan mememiliki daya saing yang kuat dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Sayarif Hidayat (dalam Masyhuri & Syaraif (2001: 213)pembangunan bukanlah proses alami, tetapi ia adalah proses perubahan yang direncanakan melalui berbagai program perencanaan dan pelaksanaan yang nantinya menghasilkan perubahan secara linier, sebab perubahan ini ditunjukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hal mana terlihat pada masyarakat tradisional bahwa setiap kegiatan pembangunan yang hendak dilaksanakan mesti di awali dengan upacara Pasawari adat pada masyarakat setempat. Menurut Yasraf Amir Pilian (2011: 211) bahwa menghidupkan kembali budaya lokal sama artinya dengan menghidupkan identitas lokal, oleh karena identitas merupakan unsur yang tidak dipisahkan dari kebudayaan. Identitas itu sendiri menjadi sebuah isu takkalah segala sesuatu yang telah dianggap stabil sebagai warisan kultural masa lalu diambil alih oleh pengaruh-pengaruh dari luar, khususnya akibat berlangsungnya proses globalisasi dan modernisasi, yang menciptakan homegenisasi budaya. Pilian menegaskan bahwa krisis identitas muncul ketika apa-apa yang telah melekat dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat lagi dipertahankan, karena ia telah di renggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dari luar. Jonathan Rutherford (1990: 10) berpandangan bahwa identitas budaya merupakan matarantai yang menghubungkan nilai-nilai sosial-budaya masa lalu dengan masa sekarang. Arinya identitas itu memiliki sejarahnya ikthisar masa lalu, yang membentuk masa kini, dan mungkin juga masa mendatang. Dalam konteks sosialnya, identitas merupakan sesuatu yang dimiliki secara bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat lainnya. Identitas menunjuk padakebudayaan modernitas dari kemodernan terfokus pada tahapan pertumbuhanpembangunan ekonomi (the stages of economic growth) kapitalis dan pengembagan sumber daya manusia. Rutherford menegaskan pembangunan fisik tidak hanya sekedar tujuan dari tindakan rasional manusia dalam melakukan tindakan berupa

Page 12: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

perubahan ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, akan tetapi yang lebih penting adalah adanya secercah harapan manusia untuk mengubah nasibnya, baik secara materi maupun rohaninya menjadi yang lebih baik. Selain itu, pembangunan merupakan tumpuan aspirasi atau keinginan untuk memperbaiki nasib pada suatu masyarakat dengan berpedoman pada indikator tertentu yang telah ditetapkan mengikuti pola-pola hidup modern yang disebut dengan modernisasi.

Berkaitan dengan berbagai kegiatan pembangunan yang dilakukan di desa, dan masuknya illegal loging oleh perusahaan yang mengatongi ijin HPH oleh pemerintah. Sikapkultural para cukong kayu dengan tamak membabat habis hutan tanpa melakukan reboisasi ataupun oleh PT Barito Permai membuka perusahaan kayu bulat di desa Kamarian maka secara langsung dapat membantu masyarakat untuk dipekerjakan pada perusahaan tersebut. Dengan cara demikian akan menekan tingakat pengangguran dan mengatasi kemiskinan pada masyarakat setempat. Namun mimpi indah itu tidak kesampain karena masyarakat tidak mempunyai kemampuan dan keahlian akibat lemahnya sumber daya manusiannya. Karena itu tenaga kerja yang dipakai pada perusahaan tersebut adalah kebanyakan para pendatang yang berasal dari luar perkampungan. Ini memunculkan ketidak seimbangan yang mengarah pada konflik sosial antar masyarakat setempat dengan pihak perusahaan. Menghadapi realita yang ada terciptalah kemiskinan baru pada masyarakat setempat. Hal mana Seperti yang di sampaikan Peluso (dalam Darmawan Salaman 2012: 77) bahwa kemiskinan lalu menjadi fenomena umum dan signifikan pada desa pinggiran hutan. Pada hutan yang masih kaya, kemiskinan itu menjelma karena negara memberikan HPH kepada pemodal, sementara rayat sekitar hutan dilarang keras bermatapencaharian didalamnya. Inilah pendampingan ironis dari hutan yang kaya dengan rayat yang miskin. Pada hutan yang sudah tandus, kemiskinan itu menjelma karena memang tidak ada lagi yang bisa diambil oleh rayat atas hutan. Inilah penyejajaran yang lebih ironis lagi di mana hutan miskin dan rayat juga miskin. Terkait dengan perspektif diatas, menurut Mulder, M (2001: 147) bahwa hal penting dipergunakan untuk pengembangan kompentensi adalah kesanggupan untuk menempatkan yang sudah ada atau pengetahuan yang baru kedalam inovasi dan aksi. Pengembangan kapasitas terkait dengan perubahan transfornasional yang memberdayakan individu, pemimpin kelompok, organisasi, jaringan, sistem dan masyarakat agar dapat mampu untuk mengaplikasikan pengetahuan ke dalam tindakan. Artinya segala kemampuan ilmu pengetahuan berupa talenta yang dianugerahkan Tuhan pada manusia (masyarakat atau individu) diberdayakan lewat pelatihan-pelatihan ketrampilan dilakukan pemerintah atau lembaga suadaya masyarakat (LSM), swata atau lembaga donor luar lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Bagi Max Weber (dalam Ritzer, G. & Douglas, J. Goodman, 2008: 15-16) masalah paling menonjol dari dunia modern adalah ekspresi rasionalitasasi ekonomi kapitalisme. Jika ukuran dari modernisasi dititik beratkan pada aspek ekonomi, maka kapitalisasi dijadikan sebagai tolak ukur bagi modernisasi dibidang ekonomi yang

Page 13: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

mampu memiliki sikap mental cakap menghitung, meramal, dan mengawasi secara seksama pertumbuhan ekonomi dari kapitalisme dan industrialisasi. Akan tetapi perlu diingat kembali bahwa kapitalisasi yang menjadi idola negara-negara industri Barat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi sehingga menjadikan negara-negara ini cukup makmur. Pikiran Weber bahwa kapitalisasi yang diterapkan oleh negara-negara dunia ketiga, seperti Amarika Latin, Negara Asia Afrika justru menimbulkan keterbelakangan dan ketertinggalan disebabkan karena karakteristik kultural dari sikap tradisional para kapital feodal mempertahankan kebudayaannya. Jadi pengaruh budaya terhadap proses pembagunan global kapitalisme tidak hanya berkaitan dengan ekspresi toritorial pada objek kapital atau pemilik modal penguasaan pasar, tetapi ekspresinya lebih penekanannya pada nilai-nilai kultural, adat-istiadat, etika moral dan keagamaan.

F. Globalisasi Dan Perilaku Manusia

Pada tingkat kultural, globalisasi dapat dipandang sangat mempengaruhi perilaku masyarakat, bahwa budaya global terproses dalam penyatuan kesalingberkaitan dan kesalingterhubungkan. Dengan lain kata budaya modern danglobal dilihat sebagai homogenitas budya yaitu penyeragaman kebudayaaan-kebudayaan yang sesungguhnya berbeda. Menurut Aspike, V. Peterson (dalam Eleonore Kofirman & Gillian Youngs, 1996: 12) berpandagan bahwa globalisasi budaya atau budaya global juga dilihat sebagai heterogintas budaya, yaitu sebagai pengakuan akan nilai-nilai tradisi, lokalitas dan trabalitas. Pandangan Roland Robertson (dalam Hans Haferkamp & Neil J. Smels. 1992: 409) bahwa budaya globalisasi dapat dilihat sebagai penyatuan kebudayaan-kebudayaan dari sikap-sikap atau perilaku-perilaku berbeda kedalam budaya tunggal (monoculture), akan tetapi sekaligus juga penguatan budaya-budaya lokal (heterocutural). Trancey Skelton (dalam Eleonore, Kofman & Gillian Youngs. 1992: 322) berpendapat bahwa budaya global adalah pluralitas dalam kesatuan heteroginitas danhomogenitas, penganekaragaman dalam penyeragaman perilak-perilaku dalam kesatuan terpadu. Artinya masyarakat modernisasi dan tradisional akan terpola mengikuti perkembangan dan perubahan dari sikap-sikap dan nilai-nilai baru dari suatu kemajuan yang lebih mapan. Tingakat perubahan perilaku masyarakat terjadi pada level pergeseran nilai-nilai, etika moral dan adat-istiadat lokal masyarakat. Pada tahap puncak, sebagai pintu maka masyarakat modern dan tradisional akan kembali pada titik awal untuk menemukan identitasnya kembali sebagai manusia yang beradab. Menurut Mus Hulliselan (2001: 1) bahwa pemberdayaan kebudayaan lokal di tengah-tegah arus globalisasi-modernisasi dan penerapan otonomi daerah dalam sistem kenegaraan sangatlah penting. Pengaruh global dan budaya modern begitu cepat melalui informasi menuntut berbagai perubahan nilai dari budaya lokal agar eksis sebagai warga dunia. Di lain pihak penerapan otonomi daerah dalam sistem kenegaraan telah mendorong masyarakat etnik menoleh kembali ke kebudayaan lokal

Page 14: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

sebagai landasan pijak penegakkan identitas diri yang telah hilang selama ini akibat uniformilitas di berbagai bidang. Uniformilitas yang telah diterapkan pemerintah Orde Baru melalui berbagai peraturan selama berpuluh tahun ternyata telah melemahkan kebudayaan lokal di Maluku sehingga keseimbangan hubungan sosial dan kreatifitas diri menjadi terganggu. Dengan demikian Hulliselen menegaskan bahwa ada dua sisi penting yang akan dihadapi masyarakat Maluku adalah pertama,tuntutan masyarakat dunia akan adanya beberapa nilai yang universal sifatnya dan kedua, adanya kecenderungan yang sempit untuk mempertahankan identitas diri melalui pemulihan kebudayaan lokal.

Keseimbangan atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrium) adalah keadaan dimana lembaga-lembaga kemasyarakatan, benar-benar berfungsi dan saling mengisi. Biasanya kedaan demikian menjadi dambaan masyarakat, bahwa masing-masing individu merasakan adanya ketentraman atau ketenangan sebagai akibat tidak adanya pertentangan atau perselisihan dengan nilai-nilai baru. Dalam keadaan demikian, setiap gangguan (setiap unsur-unsur baru) yang menimbulkan ketidakseimbangan sosial (social disbalancy) akan ditolak secara bersama-sama oleh masyarakat. Akan tetapi jika gangguan ini tidak mampu ditangkal, maka unsur-unsur baru ini sedikit banyak akan mempengaruhi nilai-nilai dan norma-norma sosial yang ada.

Elly, M. Setiadi & Usaman Kolip (2010: 662) mengatakan bahwa jika kadar pertentangan dari unsur-unsur baru itu tinggi, maka keguncangan sosial akan tinggi juga dalam kehidupan sosial. Akan tetapi, ketidak seimbangan sosial tidak dikehendaki oleh masyarakat, sehingga unsur-unsur baru yang menimbulkan keguncangan sosial tentu akan diusahakan untuk dikembalikan oleh masyarakat dalam keadaan semula. Pulihnya keguncangan sosial untuk mencari keseimbangan sosial disebut adjustment. Jika keguncangan sosial tidak berhasil dinormalisasikan kembali sehingga kehidupan sosial akan mengalami disintegrasi, maka keadaan ini disebut maladjustment, yaitu suatu perubahan sebagai akibat adanya unsur-unsur baru yang tidak berhasil ditangkal oleh masyarakat.

Ricard Barnet & John Cavangh (dalam Jerry Mander & Edward Goldamith. 1996: 73-74) mengatakan bahwa budaya global adalah proses meluasnya pengaruhperilaku kapitalisme dan sistem demokrasi liberal, yang menggiring kearah homegenisasi budaya yang menyebabkan setiap tempat, termasuk lingkungan urban, tampak sama dan seragam: bentuk aristektur, mobil, fashion, gadget, alat hiburan. Homegenisasi budaya menyebabkan lingkungan urban semakin kehilangan karakter urbannya. Lingkungan urban nyaris tampak seragam: hotel, shopping, mall, perkantoran, jalan tol, restoran, café, tempat hiburan: acara televisi, fashion show, music, gaya berjalan, gaya berpakain, gaya rekreasi tampak sama disemua sudut dunia.

Artinya keseragaman dalam kesamaan budaya global itu terlihat dari gayaperilaku individu atau sikap-sikap masyarakat dalam beraktifitas megikuti perkembnagan dan perubahan zaman, dari waktu-kewaktu di segala tempat. Perilaku menunjuk pada identitas mendapat tempat dalam persaingan dan perubahan dari

Page 15: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

kemajuan itu. Goldamith dan Mannder, menegaskan bahwa gaya hidup konsumerisme adalah gaya komsumsi yang ditopang oleh proses penciptaan diferensi secara terus-menerus lewat mekanisme tanda, citra, dan makna-makan simbolik, atau dapat dikatakan bahwa budaya berbelanja yang proses perubahan dan perkembangannya di dorong oleh logika, hastrat dan keinginan, ketimbang logika kebutuhan. Artinya dapat dikatakan bahwa perilaku berbelanja bukan terletak pada logika kebutuhan-kebutuhan sehari-hari individu dan masyarakat, namun hanya di dorong pada logika keinginan-keinginan yang tidak punya tujuan tertentu. Dengan lain kata berbelanja hanya sebagai bentuk pemuasan keinginan dari kehampaan gaya hidup yang tidak jelas.

Pip Jones (2010: 6, 8) berpendapat bahwa pembicaraan tetntang gaya hidup yang objeknya adalah pada perilaku sosial tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang identitas (cultural identity) dan perbedaan (cultural defference), sebagai dua fondasi utama dari perilaku hidup. Gaya hidup dibagun sebagai cara untuk memperlihatkan identitas atau karakter, sekaligus pelepas hasrat untuk berbeda. Gaya hidup adalah sikap atau tata cara menggunakan barang, tempat dan waktu, khas kelompok masyarakat tertentu. Artinya dapat disimpulkan bahwa semua perilaku manusia yang dilakukan baik secara individual maupun secara kelompok tidak sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam kelompok masyarakat tertentusecara umum.

Hal ini ditegaskan oleh Jones (2010) bahwa mempelajari aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat dapat berinterkasi dengan manusia lain, karena sama-sama diasosiasikan, orang-orang yang berbeda-beda akan berperilaku sama. Aturan-aturan kebudayaan itu yang menstrukturkan perilaku individu atau masyarakat, akan terpola dalam suatu sistem yang disebut norma atau nilai. Menurut Soerjono Soekanto (2010: 40) bahwa apabila hal itu terjadi maka biasanya gejala sosial itu menunjuk pada perilaku yang berkaitan dengan nilai-nilai, dan norma yang secara rasional beroryentasi pada tujuan-tujuan ataupun kedua-duannya.

G. Kesimpulan

Masyarakat manusia sebagai makhluk organisme dalam perkembangannya terus mengalami berbagai perubahan dari waktu-kewaktu baik secara cepat maupun laban. Perubahan yang berlangsung sangat cepat biasanya mengakibatkan disorganisasi karena dalam masyarakat ada proses penyusuaian diri atau adaptasi. Disorganisasi yang diikuti oleh proses reorganisasi akan menghasilkan pemantapan kaidah-kaidah dan nilai yang baru. Perubahan tersebut akan berkaitan dengan masalah penerimaan cara-cara baru atau suatu perubahan terhadap cara-cara hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal mana nampak dari cara berfikir dan bertingka laku yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikpeknikatif. Jadi perubahan sosial budaya tidak dapat dibatasi pada aspek kebendaan fisik atau spiritual, karena keduanya mempunyai kekuatan timbal-balik yang sangat kuat.

Page 16: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

DAFTAR PUSTAKA

Ashad, Kusuma. Djaya., 2012. Teori-Teori Modernitas Dan Globalisasi, Melihat Modernitas Cair, Neoriberalisme, Serta Berbagai Bentuk Modernitas Muktahir. Kreasi Wacana.

Aspike, V. Peterson., 1996. Remapping in the Context of Globalization, dalam Eleonore Kofiman & Gillian Youngs., Globalization Theory and Pracitice, Pinter.

Barnet, Richard. & John Cavangh., 1996. Homogenization of Global Culture., dalam Jerry Mander & Edward Goldsmith., (eds), The CaseAgainst Global Economy: And for a turn Tawads the Local, Sierra Club Books, San Fransisco.

Beilharz, Peter., 1991. Social Theory: A Guide to Central Thinkers. Llen & Unwin Pty Ltd, 8 Napier Sreet, N Oorth Sydney, NSW 2059, Australia. (Di Indonesiakan oleh Sigit Jatmiko., 2002), Teori-Teori Sosial. Observasi Kritis Terhadap Para Filosif Terkemuka. Jakarta. Pustaka Pelajar.

Cooley, L. Frank., 1961. Altar and Throne in Central Moluccan Society. Yale University.

Darmawan, Salaman., 2012. Sosiologi Desa, Revolusi Senyap dan Tarian Kompleksitas. Makassar, Inawa.

Elly, M. Setiadi & Usman, Kolip., 2010. Pengantar Sosiologi, Pemahaman Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial, Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

F, M. Pessireron., 2004. Pasawari Adat: Suatu Telaah Teologi Kontekstual. Tesis. Program Pasca Sarjana, Sosiologi Agama Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, Jawa Tengah.

George, Ritzer., 2011. Sosiology Theory, McGraw-Hill, New York.

-------------------., 2011. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. PT. Rajagrafindo Persad. Jakarta.

Hari, Susanto., 2003. Otonomi Daerah dan Pembangunan Ekonomi Lokal. Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (L2E-LIPI), Jakarta.

Jonathan, Ruthrford., 1990. Identity, Community, Culture, Difference, Lawrence & Wishart, London.

Page 17: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

John, Pattikaihatu., 2008. Negeri-Negeri Di Jazirah Leihitu Pulau Ambon. Yogyakarta. Citra Aji Parama.

………………….., 1991. Maluku Sebelum Kedatangan Bangsa Eropa Dan Selama Penjajahan. Makala Pada Seminar Short Term Seminar On History And Societes Of East Indonesia Yang Di Selenggarakan Universitas Patimura-Unoversitas Of Hawaii Ambon 9-29 Juni.

J, J. Patipelohy., 2008. Kearifan Tradisional Masyarakat Sahu Pada Bidang Pertanian. Jurnal Penelitian. Seri Penerbitan Penelitian Sejarah Dan Budaya. Depertemen Kebudayaan Dan Parawisata Balai Pelestarian Sejarah Dan Nilai Tradisional Provinsi Maluku Dan Maluku Utara.

Koentjaraningrat., 1995. Kebudayaan Ambon; Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta. Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT).

Mulder, M., 2011. Competence in Scientific Agriculture. Journal of Agricultural Education and Extension, 17 (5).

Mus, Hulliselan., 2001. Dialog Nasional Pemberdayaan Kebudayaan Maluku TengahUntuk Rehabilitasi Dan Pengembangan Masyarakat Maluku Menuju Indonesia Baru. Tual Maluku Tenggara 14-17 Maret. Oleh The Go-East Institute- Jakarta, Crisis Center-Ambon, Pemda Tingkat I Provinsi Maluku.

Nanang, Martono., 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Prespektif Klasik, Modern, Posmodern, dan Poskolonial. Jakarta. Rajawali Pers.

Piotr, Sztompaka., 2010. Sosiologi Perubahan Soasial. Jakarta. Prenada Media Group.

Peran Fungsi LMD Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Desa.., 1990. Pekan Orientasi Temu Karya Nasional LMD, Direktur Jenderal Pemerintahan dan Otonomi Daerah Depertemen Dalam Negeri. Malang.

Pip, Jones., 2010. Pengantar Teori-Teori Sosial, Dari Teori Fungsionalisme Hingga Pos-Modernisme. Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Ritzer, George & Douglas, J. Goodman., 2008. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Kreasi Wacana, Yogyakarta.

Roland, Robertson., 1992. Globality and Images of World Order, dalam Hans Haferkamp & Neil J. Smelser., Social Change and Modernity, California University Press.

Page 18: Transformasi Sosial Budaya dalam Pembangunan Pedesaan

Soerjono, S., 1986. Sosiologi Suatu Pengatar. Edisi 2. Jakarta. Rajawai Perss.

………….., 2010. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta. Rajagrafindo Persada.

Saleh, Putuhena., 2001. Dialog Nasional; Kebudayaan Lokal Masyarakat Maluku Indonesia Baru. Beberapa Pokok Pikiran Tentang Pemberdayaan Kebudayaan Lokal Di Maluku Tengah. Tual Maluku Tenggara 14-17 Maret. Oleh The Go-East Institute-Jakarta, Crisis Center-Ambon, Pemda Tingkat I Provinsi Maluku.

Sumner, W. Graham & Kaller, Albert Galloway., 1927. The Science of Society (4 vol), New Haven : Yale University Press

Sayraif, Hidayat., 2001. Prespektif Ekonomi Politik: Sebuah Tinjauan Teoritis, dalam Masyhuri dan Syarif (ed), 2001. Menyikap Akar Persoalan Kepentingan Ekonomi Di Daerah-Sebuah Kajian Ekonomi Politik. Jakarta, Parmator

Trancey, Skelton., 1996. Galobalization Culture and Land: Cerribean, dalam Eleonore Kofiman & Gillian Youngs., Globalization Theory and Pracitice, Pinter

TJA, Uneputty., H, Meilissa., dan TH, F. Pattiselano., 1980. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Maluku. Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi Dan Dokomentasi Kebudayaan Daerah. Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Provinsi Maluku.

Van, Hoevell, G. W.W.C., Iets Over de Vijf Voornaamte dialecten der Ambonsche Landtall (Bahasa Tanah), Bijdragen tot de Taal, Land en Volkenkunde.(Seri ke – 4 Jilid- 1). dalam Ziwar Evendi., 1987. Hukum Adat MalukuAmbon-Lease, Susunan Masyarakat di Ambon. Cetakan -1. Jakarta. PT. Prandya Paramita.

Yasraf, Amir. Piliang., 2011. Dunia yang Dilipat. Tamasya Melapauwi Batas-Batas Kebudayaan. Edidisi 3. Bandung. Matahari.