Upload
hoangtruc
View
239
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT
MASYARAKAT JAMBI
(Studi Kasus Di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir)
HALAMAN JUDUL
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Luthfan Adli
NIM: 1112044100027
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDATULLAH
JAKARTA
2017 M / 1438 H
!I
100 C 1066t'l il i0116[ 'dlN
ffiJnrnN:il rfn8ua4 'g
010 z E0L66t IsI0I16I 'dIN
l yfn8ue6 'y
Surqtutqure4 'e
ZAO I ZIEOOZ LZVO6'6I 'dIN
ffiruo-4--a@:susl.oDles '7,
n
s00 r g0t66I 8090196I 'dIN
IIBII Iffi: snlay 'I (
-----IIYASYOYN{U{I NYIfII YIIINYd
urn{nH ueq qerre.{S s€llnled u€{ogue4qese3ue61
tI0Z 11nf 0Z'elra1el
'e8renls;1um{nH Ipn}S ur?r3or6 eped (U'S) rul{nHuuefreg ru1e3 qeioraduteur leru,(s ues q?l€s te8uqes Bwlrollp qulel ruI rsdrqg'LlyZ lun1 t 1e33uq uped epeleg qe11ryu,{up111;pe,(g ue8e51 tuulsl sulsro^Iufl*ryg uep qeueXs s€trlnl?C qe.(subuun6J Sueprs tuel€p ue4fnp qu1e1 (r11
uuqnf-n1 uu1enruoo) nleg n€lnd Bse(I rO snse) rynls) ISIAIVf I\f,XVUYJ.SYntTYCV ruV]VC NVNI/Y\V-XUEd NVuVINVH ISI(VTTJ 3UC'{ 8UE'( TSdT:1S
I00I 80966 i 9IZ t6961'dIN
]\]YIf I} YITINYd NYIIYSICNI d
(" '''i -
Vt'
uI
IIST?I IWLTOZYruyxvf
I{YTTNIVflH IIUYASIUCf,N I{IYTSI SYTISUflAINN
I TNXNH NY(I HYTUYAS SYITIDTYdYCUYnTtr)I [{nxnH r(Inrs RlYucou{
I00It0z66I90r0ss6l :dIN
Surqrurqua6
LZOOOIV'OZIII :WIN
IIpV u8Jqlnrl
:qalo
Gf'S) urrqng uuufmg rBIeC gelorodusyrlp;edg n3es gEIeS qnueure14tr {n1un um{nH uep quuefg w{rqed ay ueryfqq
FdIqS
(.tg1uuqn[nf uulurrruray n]ufl nulnd ssa( !( snssx Ipn]S)
IflWYfIYX\ITYASYIAI IY(IY WVTY(I NIYNIT(\Y)IIIId NYUYINVII ISI(I\TUI
Ytr\l')T'lqn^s $Bnf 'Y'H'ro
At
'3UB{3.t r{ellnre,(up111
JIru,(S Nt61) 1fep ruBIsI selrsrelrun Ip rulelreq 8ue.( rs4ues eruueueru
erpesreq e.(es eleru 'ure1 Suero e[,te4 IJep u€>l€ldrf psuq ue4edrueur
nulu u,(es rlse e,&ru>1 lrsur{ ualnq rur €rrrrleq E{nqre1 ueq uerpruue{ Ip e{lf
€uu>lu1 {ellnref,uplH JIr€f S ftlUd ueEe51
urulq selrsrelrun rp mlulreq Suef uuquole4 ue8uep runses rralurruuec
efes qu1s1 rsdu{s uesrlnuod urulup uuluun8 efus Suef Joqruns eruuas
ep1e I qe11n1e.(eprg gyu,(g Ntd psEe51 tuelsl
s€llsJolrun Ip (IS) nles uueftes ruleE qeloredureu uele-rer(sred n1es qel"s
qnuetuotu {nl.un ue>pfu1p Euu.( u.(es qse e,{ral psuq ue4edrueru rur IsdFr{S
:B,^aqeq ue1e1e,(ueu u.(es rur rsdr-qs uuSueq
o
.Z
.I
uErenlsy um>lnH
urDInH uup qe.pu,(g
Lz000tvb0ztLl
rmsrunI
sBlln)Iud
I^IIN
etueN 11py uel$n'I
:rur rluzlruq rp ue8uel eprpgeq Suua
NVITSYfl)T N\TYJ,YANUf,d
IIrdV I l'ew11vl
v
ABSTRAK
LUTHFAN ADLI, NIM: 1112044100027, TRADISI HANTARAN
PERKAWINAN DALAM ADAT MASYARAKAT JAMBI. (Studi Kasus
Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir).
Skripsi ini merupakan penelitian lapangan guna menjawab pertanyaan
bagaimana proses terjadinya tradisi pemberian barang hantaran sebagai syarat
perkawinan di Desa Pulau Batu Kec. Jujuhan Ilir Kab. Muara Bungo? dan
bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian hantaran di Desa Pulau
Batu Kec. Jujuhan Ilir Kab. Muara Bungo?
Metode penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (field research).
Pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi serta wawancara guna
mencari data-data yang diperlukan dari obyek penelitian yang sebenarnya. Setelah
mendapatkan data yang diperlukan, maka data tersebut dianalisis dengan metode
deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian menunjukan bahwa Tradisi Hantaran Sebagai Salah Satu
Syarat Perkawinan di Desa Pulau Batu adalah adat yang sudah dilaksanakan dari
zaman dahulu. Adat ini dikenal oleh masyarakat Desa Pulau Batu dan sebagian
besar melaksanakan adat ini. Proses pemberian hantaran ini biasanya dilakukan
sebelum akad nikah yakni minimal seminggu sebelum akad nikah dilangsungkan.
Pemberian hantaran biasanya dilakukan oleh calon mempelai laki-laki atau
perwakilan keluarga memepelai laki-laki dan di serahkan kepada pihak
perempuan. Pada saat penyerahan pemberian hantaran tidak ada suatu akad serah
terima yang khusus dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, hanya berupa
balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang hantaran tersebut.
Hasil Analisis Hukum Islam terhadap kewajiban pemberikan barang hantaran
merupakan „Urf atau adat-istiadat semata namun tidak ada kewajiban dalam Islam
bagi mempelai laki-laki untuk diwajibkan memberikan barang hantaran kepada
calon mempelai wanita sebagai keharusan selain pemberian wajib mahar yang
memang jelas dijelaskan dalam Al-Qur‟an.
Sejalan dengan kesimpulan di atas, masyarakat diharapkan dalam
pemberian barang hantaran ini tidak memberatkan seorang pria untuk menikahi
seorang perempuan dan pemberian barang hantaran disesuaikan dengan
kemampuan si laki-laki sehingga walaupun pemberian barang hantaran ini sudah
menjadi adat kalau tidak mampu jangan dipaksakan untuk melaksanakan adat
pemberian barang hantaran ini. Apabila kewajiban pemberian barang hantaran
ini memberikan keridhoan dari semua pihak dan tidak mendatangkan beban dari
pihak laki-laki maka akan lebih baik lagi jika adat pemberian barang hantaran ini
tetap dilestarikan.
Kata Kunci : Adat Hantaran Dalam Masyarakat Jambi
Pembimbing : Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc, MA
Daftar Pustaka : 1974 sampai 2014
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, hidayah serta nikmat-Nya, baik jasmani maupun rohani sehingga penulis
mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik. Sholawat serta salam
semoga Allah SWT selalu melimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW
selaku pemimpin dari seluruh pemimpin. Sehingga dengan segala perjuangan
Beliau dalam menegakkan agama Islam kita semua dapat menjadikan perjuangan
beliau sebagai suri tauladan bagi kita semua.
Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan rintangan yang
penulis hadapi, tetapi dengan izin Allah SWT, kerja keras serta usaha dan do‟a
dari orang tua, guru dan teman-teman seperjuangan saya mampu menyelesaikan
skripsi dengan baik dan semoga skripsi ini mampu memberi manfaat bagi penulis
dan pembaca.
Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin
mengungkapkan rasa terima kasih yang begitu mendalam kepada.
1. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Drs. H. Hasan dan Ibu Hj. Umi
Nadera selaku pemberi semangat, do‟a dan support, baik materi maupun
non materi kepada penulis, semoga Allah Swt selalu melindungi beliau
baik di dunia maupun di akhirat kelak dan membalas segala jasa-jasa
beliau yang telah diberikan untuk anak-anaknya.
vii
2. Teruntuk Kakak Ulfa Adilla, M.Pd, Adik Nila Auliya, Sebagai kakak dan
adik penulis yang menjadi obat pelupur lara di saat penulis mulai jenuh
dengan penelitian ini
3. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
4. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum
5. Dr. H. Abdul Halim, M,Ag dan bapak Arif Furqon. MA selaku Ketua dan
Sekretaris Program Studi Ahwal As-Syakhshiyyah Fakultas Syari‟ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pada lingkungan Program Studi Ahwal As-
Syakhsiyyah Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan banyak ilmu kepada penulis
selama menjadi mahasiswa.
7. JM Muslimin, MA., Ph.D selaku dosen akademik yang telah memberikan
pengaruh serta dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan
skripsi
8. Dr. H. A. Juani Syukri, Lc, MA selaku dosen pembimbing yang telah
mencurahkan segala perhatiannya kepada penulis dalam menyusun skripsi
ini
9. Kepada teman-teman seperjuangan, khususnya kepada, Hilmi, Ziyad, Faiq,
Adit, Ache, Hasna, Fiyan, Rivaldi, Saul Dll yang telah banyak menemani
dan memberikan masukan bagi penulis baik di kosan, perpus pasca
maupun perpus fakultas untuk menyelesaikan skripsi ini.
viii
Semoga Amal dan kebaikan mereka semua dibalas Allah SWT dengan
balasan yang berlipat ganda dan penulis berharap semoga skripsi ini mampu
memberikan manfaat yang besar bagi penulis maupun bagi pembaca.
Jakarta, 11 April 2017
Luthfan Adli
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 8
C. Batasan Dan Rumusan Masalah .............................................. 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 10
E. Review Studi Terdahulu ......................................................... 11
F. Kerangka Teori ........................................................................ 14
G. Metode Penelitian .................................................................... 15
H. Sistematika Penulisan ............................................................. 19
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN, SYARAT
SAH NYA PERNIKAHAN DAN ‘URF DALAM ISLAM
A. Pengertian Pernikahan ............................................................ 21
B. Hukum Melaksanakan Pernikahan ........................................ 22
C. Syarat dan Rukun Pernikahan ................................................ 26
D. Tujuan Pernikahan................................................................... 35
E. Mahar Pernikahan (Mas Kawin) ............................................ 38
F. „Urf ............................................................................................ 44
x
BAB III SEJARAH SINGKAT DAN PROFIL BESERTA TRADISI
HANTARAN DESA PULAU BATU
A. Sejarah Singkat Desa Pulau Batu .......................................... 50
B. Profil Keadaan Desa Pulau Batu Berupa Letak Geografis . 50
C. Keadaan Demografi ................................................................ 54
D. Keadaan Ekonomi ................................................................... 54
E. Keadaan Pendidikan ................................................................ 55
F. Keadaan Sosial Keagamaan ................................................... 57
G. Tinjauan Umum Terhadap Proses Pelaksanaan Adat
Hantaran Pada Masyarakat Desa Pulau Batu ....................... 58
BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI
PEMBERIAN BARANG HANTARAN SEBAGAI SYARAT
PERKAWINAN PADA MASYARAKAT DESA PULAU
BATU
A. Analisis Terhadap Proses Terjadinya Tradisi Pemberian
Barang Hantaran Sebagai Syarat Perkawinan Pada
Masyarakat Desa Pulau Batu ................................................. 62
B. Analisa Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemberian Barang
Hantaran Desa Pulau Batu ...................................................... 70
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN ....................................................................... 79
B. Saran-saran ............................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam adalah agama yang di ridhai oleh Allah SWT. Agama Islam
adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, baik dalam hal aqidah, syari‟at,
ibadah, muamalah dan lain-lain. Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang
bukan dilihat dari satu segi kehidupan manusia melainkan membawa ajaran
kebenaran yang mengandung nilai-nilai universal yang terdiri dari akhlaq dan
aqidah yang dijadikan sebagai panduan dan pedoman hidup manusia.
Dari lubuk hati yang paling dalam, setiap pemeluk agama Islam tentu
merasakan dan memahami bahwa persoalan hukum adalah persoalan yang sentral.
Setidaknya hal tersebut bisa dilihat dari kenyataan bahwa tindakan dan perbuatan
mereka tidak lepas dari sorotan timbangan hukum. Bahkan jika ditinjau lebih
dalam lagi, hukum Islam sejatinya diturunkan untuk menjadi pertimbangan utama
bagi pemeluknya dalam memutuskan suatu perkara. Daniel Pipes, dalam The
Western Mind of Radical Islam (1995), menegaskan bahwa kunci utama yang
membedakan hukum Islam dengan hukum Barat adalah who you are, not where
you are, (siapa anda, bukan di mana anda berada). Artinya, di mana pun orang
Islam berada, syari‟at atau hukum senantiasa membayanginya.1 Salah satu dari
segi aturan syariat Islam yang terdapat dalam Al-Qur‟an adalah tentang
perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara laki-laki dan
1
Josep Schacht (Oxpord University Press, London, 1965), Pengantar Hukum Islam,
Penerjemah Joko Supomo, (Bandung: Ujung Berung, 2010), h. 6
2
perempuan untuk hidup bersama-sama dalam suatu rumah tangga yang sah
dengan melahirkan keturunan-keturunan yang sesuai dengan syari‟at Islam.
Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.
Menurut ajaran Islam, melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah.
Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran agama. “Barang
siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separoh (ajaran) agamanya, yang
separoh lagi, hendaklah ia taqwa kepada Allah SWT”, demikian sunnah qauliyah
(sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulallah SAW.2
Secara etimologis, perkawinan adalah pencampuran, penyelarasan, atau
ikatan. Jika dikatakan bahwa sesuatu dinikahkan dengan sesuatu yang lain maka
berarti keduanya saling diikatkan. Sedangkan secara terminologi menurut para
fuqaha, perkawinan dan pernikahan itu sama. Maksud dari keduanya adalah suatu
akad demi suatu kenikmatan secara sengaja atau suatu akad yang memberi
keluasan pada setiap laki-laki dan perempuan untuk saling menikmati sepanjang
hidupnya, sesuai dengan ketentuan syari‟at.3
Perkawinan dalam kehidupan manusia adalah suatu yang dianggap sakral.
Dimana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikat hubungan antara
dua insan yang berlainan jenis kelamin. Sebab, dengan cara inilah diharapkan
2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h. 3
3 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (Surakarta: Era
Intermedia, 2005), h. 1
3
proses regenerasi manusia dimuka bumi ini akan terus berlanjut dan
berkesinambungan dengan diperoleh dari hubungan yang sah.4
Untuk mencapai kehidupan seksual yang bersih, suci, halal, dan masuk
dalam kategori ibadah, Islam mengkonsepsikan agar seorang muslim yang telah
mampu lahir dan bathin untuk segera mengadakan perkawinan. Di sini
perkawinan dipandang sebagai suatu ikatan yang dapat menetralisir dorongan
seksual manusia, sehingga menjadi suatu rahmat yang tak terhinga nilainya. Islam
juga memandang perkawinan sebagai lembaga yang dapat mengantisipasi
terjadinya perilaku seksual yang menyimpang.5
Adapun aturan-aturan tentang perkawinan diatur dan diterangkan dengan
jelas dan terperinci, sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Dzariyat ayat 49
yang berbunyi:
)انزاسبث: نؼهكى حزكش ج ء خهمب ص كم ش ي ٩٤)
Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar
kamu mengingat kebesaran Allah SWT (QS al-Dzariyat: 49).
Islam memperingatkan bahwa dengan kawin, Allah SWT akan
memberikan kepadanya jalan kecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan
untuknya dan diberikannya kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan.6
4 Soemiyati, Hukum Perkawinaan Islam Dan Undang- Undang Perkawinan (Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawian), cet ke-4, (Yogyakarta: Liberti, 1999), h. 12
5 Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial; Peralihan Tafsir
Seksualitas, cet. ke-1, (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999), h. 57
6 Moh Thalib, Fikih Sunnah, (Bandung, PT Al-Ma‟arif, 1981), h. 9
4
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidzon
untuk menta‟ati perintah Allah SWT dan melaksanakanya merupakan ibadah.7
Hal di atas sesuai dengan UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 1 yang
menyebutkan bahwa, “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.8
Perkawinan bisa dikatakan sah menurut hukum Islam apabila sudah
memenuhi syarat-syarat sah rukun pernikahan. Salah satu syarat sah pernikahan
adalah dengan adanya pemberian mahar atau maskawin kepada calon mempelai
perempuan.9 Menurut kesepakatan para ulama, mahar adalah pemberian wajib
bagi calon suami kepada calon istri yang merupakan salah satu syarat sahnya
pernikahan.10
Mahar secara etimologi artinya mas kawin. Sedangkan secara terminologi
mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri
kepada calon suaminya.11
Kata mahar ini berasal dari bahasa arab dan telah
menjadi bahasa Indonesia, akan tetapi di Indonesia ada juga yang memakai kata
7 Abdurrahman, KHI di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 1992), h. 114
8 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 7
9 Moh. Idris Ramulto, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 16
10
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
h. 101
11
Moh Thalib, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1990), h. 53
5
maskawin.12
Mahar dalam bahasa arab disebut dengan berbagai macam nama,
yaitu: mahar, sadaq, nihlah, faridhah, hibah, ujr, uqar, dan ala‟iq, akan tetapi
juga ada yang mengatakan dengan kata thaul.13
keseluruhan kata tersebut
mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Mahar adalah pemberian dari calon mempelai
pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang
tidak bertentangan dengan hukum Islam.14
Dari definisi mahar tersebut di atas
jelaslah bahwa hukum taklifi dari mahar itu wajib, dengan arti seorang yang
mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya.
Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu telah ditetapkan dalam al-Qur‟an
sebagaimana yang tercantum dalam surat an-Nisa‟ ayat 4.
حهت احاانغبء صذلب ح ئ ب )‘ ئ ب يش فغ ب فكه ء ي ش نكى ػ طب (٩انغبء: فإ
Artinya: Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (terimalah atau ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya. (QS An-Nisa‟: 4).
Maksud berikanlah mahar kepada para istri sebagai pemberian wajib,
bukan pemberian atau ganti rugi. Jika istri telah menerima maharnya tanpa
paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan maharnya sebagian kepadamu,
maka terimalah dengan baik. Hal tersebut tidak disalahkan dan dianggap dosa.
12
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 77
13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
Dan Undang-Undang perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 84
14
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 14
6
Bila istri memberikan maharnya karena malu, takut atau terkicuh, maka tidak
halal menerimanya.15
Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita
dengan memberikan hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima
mahar. Ini berarti bahwa mahar adalah hak milik si wanita itu sendiri, bukan milik
ayah atau saudara lelakinya dan merupakan pemberian dari pria kepada wanita
dengan dasar kerelaan dan keikhlasan.16
Pemberian mahar ini wajib hukumnya atas laki-laki, akan tetapi tidak
menjadi rukun nikah dan apabila tidak disebut pada waktu akad, pernikahan
itupun sah. Banyak mas kawin tidak dibatasi oleh syari‟at Islam, melainkan
menurut kemampuan suami beserta keridhoan istri. Sesungguhnya demikian,
suami hendaknya benar-benar sanggup membayarnya karena mahr itu apabila
telah ditetapkan, maka rela menjadi hutang atas suami, dan wajib dibayar sebagai
hutang kepada yang lain.17
Menitik beratkan pada asumsi di atas, dalam praktiknya mengenai mahar
ini, tidak mustahil terdapat suatu hal yang berlebihan, seperti masih adanya syarat
dilaksanakan suatu pernikahan dengan memberikan barang hantaran oleh calon
suami kepada calon istri.
Ketika hukum Islam di praktekkan di tengah-tengah masyarakat yang
memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda, sering kali wujud yang
15
Sayyid Sabbiq, Fikih Sunnah 7, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1990), h. 53
16 Darmawan, Eksistensi Mahar Dan Walimah, (Bandung: Srikandi, 2007), h. 1
17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat
Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 86
7
ditampilkan tidak selalu sama dan seragam dengan syari‟at atau ketentuan hukum
Islam yang telah ditetapkan. Seringkali disesuaikan dengan hukum-hukum adat
yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dengan berbagai ciri khasnya.
Sebagaimana yang terjadi di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir Kabupaten
Muara Bungo Provinsi Jambi terdapat tradisi yang sampai saat ini tetap
berlangsung dan dilaksanakan dalam pelaksanaan pernikahan, yaitu ketika
seorang laki-laki dan perempuan ingin menikah, maka si calon pria diwajibkan
memberikan barang hantaran kepada calon perempuan yang pemberiannya
tersebut dilaksanakan sebelum akad nikah atau dilaksanakan jauh-hari. Adapun
waktu memberikan barang hantaran tersebut adalah setelah proses lamaran, yang
mana istilah lamaran ini dalam seloko (pribahasa) adat Desa Pulau Batu
Kecamatan Jujuhan Ilir Kabupaten Bungo ialah “mengembang tando, menetapkan
adat lembago”, setelah proses lamaran, barulah menetapkan barang hantaran dan
waktu pelaksanaan pemberian barang hantaran tersebut, setalah ditetapkan barang
hantaran beserta waktu pemberiannya, barulah menentukan waktu akad nikah,
biasanya satu minggu setelah pemberian hantaran dilaksanakan, tergantung
kesepakatan kesepakatan “nenek yang berempat, pemuko adat (suku waris dan
nenek mamak dari kedua bela pihak dan dihadiri oleh pemuka adat)”
Apabila ada kemungkinan calon suami tidak bisa memberikan barang
hantaran tersebut, maka calon suami tersebut dianggap tidak bisa menghormati
keberadaan adat yang berlaku di desa setempat, yang mana masyarakat setempat
sangat menjunjung tinggi adat dan menjaga kelestarian adat yang telah turun-
temurun dari nenek moyang mereka. Dan serta calon pihak suami dianggap tidak
8
bisa menghargai calon pihak istri beserta keluarganya, karena di masyarakat
setempat menganggap perempuan adalah suatu yang berharga dan dijunjung
tinggi keberadaannya, dan calon suami dianggap tidak bisa menjaga nama baik
keluarga calon istri yang mana akan menjadi buah bibir di masyarakat setempat.
Tradisi tersebut berlaku bagi semua kalangan baik yang kaya maupun yang
miskin.
Adapun pemberian barang hantaran tersebut dikategorikan sebagai
kewajiban karena akan mengecewakan pihak calon istri beserta masyarakat
setempat dan akan menghambat proses pernikahan. Dan karena itu muncul pokok
persoalan yang membutuhkan tinjauan yang lebih jauh mengenai permasalahan
tersebut, yang mana penulis merangkum dalam satu judul skripsi yaitu “Tradisi
Hantaran Dalam Perkawinan Masyarakat Adat Jambi Desa Pulau Kecamatan
Jujuhan Ilir”.
B. Identifikasi Masalah
1. Apa syarat-syarat perkawinan di masyarakat adat desa Jambi ?
2. Apa yang dimaksud dengan hantaran dalam masyarakat adat Jambi ?
3. Bagaimana pelaksanaan hantaran ?
4. Bagaimana urgent hantaran dalam sebuah perkawinan adat Jambi ?
5. Bagaimana bentuk dari hantaran yang menjadi syarat perkawinan dalam
adat Jambi ?
6. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap adat hantaran sebagai syarat
perkawinan dalam adat Jambi ?
9
C. Batasan Dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah mengenai
pengaruh hukum Islam terhadap perkawinan adat jambi dengan menggunakan
hantaran sebagai salah satu syarat dilaksanakan nya suatu pernikahan, hal ini tentu
menjadi sebuah masalah apabilah kita menganalisa kembali syarat dan rukun
perkawinan dalam Islam. Dan untuk mempermudah melakukan penelitian ini,
maka peneliti memfokuskan masalah terhadap norma-norma dan aturan-aturan
dalam hukum Islam agar lebih mudah mencari titik perbedaan dari apa-apa yang
telah disyari‟takan oleh agama Islam terhadap hukum adat yang diluar syari‟at
Islam, hukum adat yang menjadi syarat dilaksanakan nya suatu pernikahan dengan
memberikan atau menyerahkan barang hantaran.
2. Rumusan Masalah
Baik dari al-Qur‟an, Hadits, dan Kitab Fiqih yang klasik dan Kontemporer,
tidak terdapat larangan pernikahan dalam satu desa atau suku. Akan tetapi,
kenyataan di desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir yang menjadikan adat
“hantaran” sebagai syarat dilaksanakan suatu pernikahan. Hal ini tentu
bertentangan dengan rukun dan syarat pernikahan yang telah di tetapkan dalam
hukum Islam. Dan hal inilah yang ingin penulis telurusi dan teliti dalam penulisan
skripsi ini dari sisi hukum Islam.
10
Agar rumusan masalah tidak melebar jauh dari penelitian, maka peneliti
membuat rumusan masalah dari apa yang sudah di identifikasikan dan pembatasan
yang sudah dijelaskan diatas, oleh karena itu penulis merinci semua masalah ke
dalam pertanyaan-pertanyaan dibawah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan hantaran khususnya dalam masyarakat Pulau
Batu Kecamatan Jujuhan Ilir?
2. Bagaimana proses penetapan barang hantaran ?
3. Apa pengaruh terhadap pasangan suami istri apabila tidak melakukan
pemberian adat hantaran ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan masalah yang dirumuskan di atas, maka yang menjadi tujuan
dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui alasan yang mendasari hantaran menjadi salah satu
syarat sah dilaksanakannya pernikahan.
2. Menganalisa hukum Islam terhadap Tradisi Hantaran Sebagai Syarat
Sah Nya Perkawinan Pada Masyarakat Adat Jambi Desa Pulau
Kecamatan Jujuhan Ilir
3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap
hantaran sebagai syarat sah perkawinan dalam adat Jambi.
4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh syarat-syarat pernikahan
menurut hukum Islam terhadap hantaran.
11
2. Manfaat Peneltitian
Adapun manfaat terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi penulis, penulisan dan penelitian ini merupakan awal studi dan
menambah wawasan dalam konsep syarat-syarat perkawinan dan
memperdalam tentang adat istiadat perkawinan.
2. Fakultas, penelitian ini menambah khazanah ilmu pengetahuan dan
sebagai bahan referensi bagi mahasiswa, staff pengajar dan pengambil
kebijakan.
3. Pemuka adat dan masyarakat merupakan sumber referensi dan saran
pemikiran bagi kalangan akademisi dan praktisi
4. Mengambil kebijaksanaan dalam pelaksanaan ketentuan pemberian
barang hantaran
E. Review Studi Terdahulu
Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau peneltian
yang sudah pernah dilakukan seputar masalah yang pernah diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini bukan merupakan pengulangan
atau duplikasi dari kajian yang telah ada.18
Permasalahan seputar pernikahan dalam adat masyarakat akhir-akhir mulai
mulai sering dijadikan bahan perbincangan dan perdebatan yang seru untuk
disimak. Setelah sekian lama adat sebagai penghalang pernikahan dua insan yang
18
Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Skripsi, (Surabaya: Fakultas
Syari‟ah, 2014), h. 8
12
saling mencintai. Namun, setelah masyarakat terbangun dari mimpi panjang.
Berdasarkan penggalian sumber-sumber tertulis, penelitian yang berkaitan dengan
hantaran dalam upacara perkawinan adat, sejauh yang dilakukan, belum
ditemukan tulisan yang membahas mengenai tradisi hantaran yang terjadi di Desa
Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir Kabupaten Muara Bungo Provinsi Jambi.
Namun beberapa penelitian yang ada sebagai tela‟ah pustaka dalam penelitian ini,
maka penyusun perlu untuk menggunakan beberapa sumber terkait sebagai bahan
pembanding atau bahan untuk menunjukkan bahwa penelitian ini adalah kali
pertama yang dilakukan penyusun di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir
Kabupaten Muara Bungo Provinsi Jambi dengan tradisi hantaran dalam upacara
perkawinan dalam objeknya.
Adapun Penelitian sebelumnya mengenai tema yang serupa adalah sebagai
berikut:
1. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Dengan Syarat Pihak
Perempuan Harus Mengembalikan Seserahan Adat (Putusan No
012/Pdt.G/2012/PA.Rtg). Judul ini merupakan penelitian yang membahas
mengenai keharusan seorang istri untuk mengembalikan seserahan adat
yang pernah diberikan oleh suami ketika sebelum akad nikah, karena istri
menggugat cerai suami lantaran sering bersikap kasar hingga ringan
tangan dan perselisihan tiada ujung dengan alasan inilah istri menggugat
cerai suami. Lantaran suami tidak mau bercerai, maka suami menggugat
istri untuk mengembalikan barang seserahan adatnya. Karena istri tidak
mungkin seluruh seserahan adat yang ia terima, maka istri meminta
13
keprawanannya dikembalikan lagi oleh suaminya. Pengadilan Agama di
daerah tersebut merasa bahwa hal ini sudah diluar kompetensi dan
wewenangnya sehingga pengadilan tidak berwenang mengadili kasus
ini.19
.
2. Penelitian selanjutnya adalah “Pemberian Barang Gawan Sebagai Syarat
Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Pandangan
Masyarakat di Desa Brengkok Kecamatan Brondong Kabupaten
Lamongan”. Penelitian ini merupakan penelitian skripsi yang membahas
mengenai adat daerah tersebut berupa pemberian wajib calon suami
kepada keluarga calon istri sebelum sah menikahinya. Masyarakat tersebut
meyakini bahwa perkawinan dikatakan sah jika calon suami membawa
barang gawan kepada keluarga calon isteri. Barang gawan didaerah
tersebut bisa berupa perabotan rumah tangga, contohnya, dipan, sofa atau
kursi, perabotan dapur dan masih banyak lagi. Nanti nya barang gawan
tersebut entah digunakan bersama-sama pasca nikah ataupun dimanfaatkan
sepenuhnya oleh keluarga istri, tergantung kebijakan keluarga istri. Jika
seorang tidak membawa barang gawan ketika hendak menikahi wanita
daerah tersebut pada level terendah mereka dan keluarga akan jadi bahan
pembicaraan masyarakat setempat.20
19
Furidatul Ashriyah, “Analisa Hukum Islam Terhadap Putusan Perceraian Dengan
Syarat Pihak Perempuan Harus Mengembalikan Seserahan Adat”, (Surabaya: Skripsi-IAIN
Sunan Ampel, 2013)
20 Nur Aini, Pemberian Barang Gawan Sebagai Syarat Sah Perkawinan dalam Perspektif
Hukum Islam, (Surabaya: Skripsi IAIN Sunan Ampel, 2011
14
F. Kerangka Teori
Persoalan perkawinan sejak awal telah mendapat perhatian yang serius
dalam Islam, bahkan merupakan tonggak awal lahirnya hukum keluarga
khususnya hukum perkawinan yang ditandai dengan adanya perkawinan antara
Nabi Adam a.s. dengan istrinya Hawa. Syari‟at yang ditetapkan Allah Swt yang
tersurat dalam surat Ar-Rum Ayat 21 yang mempunyai tujuan untuk membentuk
keuarga yang sakinah penuh dengan kebahagiaan dan kasih sayang.21
Dan adapun manfaat penulisan skripsi dan penelitian ini adalah menambah
wawasan dalam konsep hukum perkawinan menurut syari‟ah dan memperdalam
tentang adat istiadat perkawinan. Oleh karenanya sebagai sebuah terori tugas
utama daripada penelitan adat hantaran ini yaitu menberikan warna, konsepsi,
asumsi, ideology, dan jalan keluar terhadap pandangan hukum Islam tentang
adanya adat yang mengharuskan melakukan hantaran sebagai sarat sahnya
pernikahan. Di mana hal itu bertujuan memberi solusi tentang adat yang
bertentangan dengan syari‟at yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Adah
atau Adat artinya kebiasaan yang perilaku masyarakat yang selalu dan senantiasa
terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari”. Dengan demikian dapat
dikatakan pula bahwa yang dimaksud dengan hukum adat adalah hukum
kebiasaan.22
21 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005), h. 4 22
Tolib Setiadi, Instasi Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung:
Alfabeta 2013), h. 4
15
G. Metode Penelitian
Metode penelitian mempunyai posisi yang sangat penting, sebab metode
merupakan cara yang digunakan agar kegiatan penelitian bisa terlaksana secara
terarah dan rasional untuk mencapai hasil yang rasional.23
Peneliti menggunakan
beberapa langkah untuk memperoleh data dalam penelitian ini, antara lain:
1. Pendekatan Penelitian
Metode ini bersifat lapangan, yaitu di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan
Ilir Kabupaten Muara Bungo Provinsi Jambi, oleh karena itu, supaya peneliti
dapat menyusun dengan benar maka penulis menggunakan metode penulisan yaitu
data penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu penelitian
yang menggunakan data dalam bentuk informasi, komentar pendapat atau kalimat.
Data tersebut berupa informasi, berupa proses dan faktor-faktor yang melatar
belakangi terjadinya kewajiban pemberian hantaran dalam pernikahan, pendapat
pemuka adat dan masyarakat desa Pulau Batu mengenai pemberian hantaran
dalam pernikahan.
2. Jenis dan Sifat Penelitian
Melakukan pendekatan terhadap pemuka adat dan masyarakat, jenis
penelitian yang sumber datanya lebih banyak menggunakan data di lapangan,
komentar, dan informasi terhadap pokok-pokok permasalahan yang menjadi
bahan penelitan.
23 Yayan Sofyan, Pengantar Metode Penelitian, (ciputat: t.p., 2010), h. 27
16
3. Sumber Data
Sumber data dalam melakukan penelitian ini sesuai dengan jenis
penggolongannya ke dalam penelitian lapangan. Maka sudah dapat dipastikan
data-data yang diporoleh adalah sumber data primer, yaitu data yang diperoleh
langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.24
Dengan kata lain, data lain diambil oleh peneliti secara langsung dari
objek penelitiannya tanpa diperantarai oleh pihak ketiga, keempat dan seterusnya.
Dalam penelitian ini data primer diperoleh langsung dari lapangan baik yang
berupa dokumentasi maupun yang berupa hasil wawancara tentang bagaimana
tradisi pemberian hantaran di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir. Adapun
data primer dalam penelitian ini dari sumber individu atau perseorangan yang
terlibat dalam permasalahan yang diteliti, seperti dari pemuka adat, tokoh
masyarakat, para pelaku dan orang-orang yang terkait dengan tradisi tersebut,
seperti pelaku tradisi pemberian hantaran dalam pernikahan. Sumber data
sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-
hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.25
Adapun data ini diperoleh dari sumber tidak langsung, seperti buku-buku
kepustakaan yang masih bersangkutan dengan pembahasan dalam penelitian
diantaranya:
24
Umar Husein, Metode Riset Komunikasi Organisasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2003), h. 56
25 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 62
17
1. Joko Supomo, Pengantar Hukum Islam
2. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama
3. Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah
4. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,
5. Soemiyati, Hukum Perkawinaan Islam Dan Undang- Undang
Perkawinan
6. Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial
7. Moh Thalib, Fikih Sunnah
8. Moh. Idris Ramulto, Hukum Perkawinan Islam
9. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia
10. Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan
teknik
a. Studi Dokumentasi, yaitu metode memperoleh data-data dan buku-
buku yang berhubungan dengan objek penelitian diantaranya meliputi
arsip jumlah penduduk, pekerjaan, agama, ekonomi dan pendidikan
penduduk, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek penelitian
ini, kemudian foto-foto selama penelitian berlangsung dan cacatan
lapangan atau hasil wawancara yang nantinya akan diolah menjadi
analisis data.
b. Interview, yaitu melakukan wawancara dan tanya jawab dalam
penelitian yang berlangsung secara lisan dimana terdapat dua orang
18
atau lebih untuk bertatap muka mendengar secara langsung informasi-
informasi atau keterangan-keterangan.
5. Subjek-Objek Penelitian
a. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sesuatu atau orang-orang yang mengetahui,
berkaitan dan menjadi pelaku dari penelitian yang diharapkan dapat memberikan
informasi.
b. Objek Penelitian
Sesuai dengan judul dan jenis penelitian di atas, maka objek penelitian
dalam skripsi ini adalah Tradisi Hantaran Dalam Perkawinan Masyarakat Adat
Jambi (Studi Kasus Di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir).
6. Teknik Pengelolaan Data
Teknik pengelolaan data dalam skripsi ini adalah dengan menjadikan data
yang sudah terkumpul secara sistematis sehingga dapat dipahami dan
disimpulkan.
7. Metode Analisis Data
Setelah data yang diperlukan terkumpul selanjutnya menganalisis data
tersebut menggunakan metode deskriptif, yaitu menggambarkan tentang
penetapan jumlah pemberian hantaran perkawinan bagi masyarakat desa Pulau
Batu kecamatan Jujuhan Ilir. Di mana dari analisa data ini diperoleh data bahwa,
19
apabila seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan maka si pria di minta
untuk memberikan hantaran dalam jumlah tertentu. Penelitian ini dalam
analisisnya juga menggunakan metode deduktif, yaitu cara analisis yang
digunakan dalam sebuah penelitian disaat penelitian diangkat dari sebuah teori
yang kemudian dibuktikan dengan pencarian fakta. Dalam analisis yang
dilakukan, penulis terlebih dahulu menjelaskan tentang teori perkawinan dan
mahar dalam hukum Islam, bagaimana praktek dan dan kebiasaan yang diajarkan
oleh Rasulullah SAW. Kemudian setelah itu baru penulis menganalisa praktek
kewajiban pemberian hantaran dalam pernikahan di Desa Pulau Batu Kecamatan
Jujuhan Ilir, apakah ada kesesuaian dan titik temu dengan landasan teori dan
praktik pemberian wajib dalam hukum Islam dan yang dilakukan dalam syari‟at
dan juga Rasulullah Saw.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing
menampakkan titik berat yang berbeda, saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama, adalah: merupakan bab pendahuluan yang berisi penjelasan
mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, kerangka teori,
metode penelitian dan sistematika penulisan. Bagian ini merupakan pengantar
materi untuk dibahas lebih lanjut pada bab lainya.
20
Bab kedua, berisi landasan teori tentang perkawinan meliputi pengertian
perkawinan, hukum perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, tujuan
perkawinan, tentang mahar (mas kawin) dan juga tentang „Urf
Bab ketiga, merupakan kajian tentang data laporan hasil penelitian yang
meliputi: profil keadaan Desa Pulau Batu berupa letak geografis, keadaan sosial,
keadaan ekonomi, kondisi pendidikan dan Agama, dan proses pelaksanaan
kewajiban pemberian hantaran di dalam pernikahan adat Pulau Batu.
Bab keempat, merupakan bab yang menganalisis lebih mendalam mengenai
Tradisi Hantaran Sebagai Syarat Perkawinan Pada Masyarakat Adat Jambi dalam
pernikahan di Desa Pulu Batu Kecamatan Jujuhan Ilir, yaitu analisis terhadap
Deskripsi Pandangan Hukum Islam Terhadap Tradisi Hantaran Sebagai Syarat
Perkawinan Pada Masyarakat Adat jambi Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan
Ilir.
Bab kelima, merupakan bab penutup berisi kesimpulan dan dari apa yang
telah dikemukakan penulis di atas beserta saran-saran yang mungkin dapat
memperbaiki penelitian ini.
21
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN, SYARAT SAH NYA
PERNIKAHAN DAN ‘URF DALAM ISLAM
A. Pengertian Pernikahan
Nikah menurut bahasa artinya berkumpul dan bercampur. Sedangkan
menurut istilah adalah akad ijab qobul dari seorang laki-laki kepada seorang
perempuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, bahagia dan sejahtera
dibawah naungan ridha Illahi.26
Pernikahan menurut ilmu fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan
ziwaj. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya dari arti kiasan, arti
yang sebenarnya dari nikah ialah “dzam” yang berarti menghimpit, menindih atau
berkumpul, sedangkan arti kiasannya ialah “watha” yang berarti setubuh atau
“aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam pemakaian
bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan dari
pada arti yang sebenarnya.27
Para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal makna hakiki nikah:
1. Ada yang berpendapat bahwa makna hakiki nikahnya adalah akad dan
makna kiasnya (majaz) adalah bersetubuh.28
26 Ibnu Mas‟ud, Fikih Madzhab Syafi‟I II, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2007), h. 250
27
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 2004), h. 1
28
Muhammad Ibrahim Jannati, Fikih Perbandingan Lima Madzhab III, (Jakarta: Cahaya,
2007), h. 300
22
2. Sebagian lain berpendapat bahwa makna kiasnya adalah akad dan makna
hakikinya adalah persetubuhan, karena keduanya diambil dari makna
memeluk dan bercampur.29
Dalam sebuah hadits riwayat al Baihaqi Rasullah SAW menyatakan:
“apabila seorang telah melaksanakan perkawinan, berarti ia telah
menyempurnakan separuh dari agamanya (karena telah sanggup menjaga
kehormatannya.30
B. Hukum Melaksanakan Pernikahan
Adapun sumber-sumber hukum pernikahan dalam al-Quran dan Sunnah
Rasul. Dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayatnya, seperti dalam Surat an-Nisa
ayat: 1
ب ؤ ا ٱنزيسبكى ٱحما ٱنبط ب سجبلا كثشا بث ي ب ج ب ص خهك ي حذة فظ خهمكى ي
غبءا ٱحما ٱنزي ٱلل ب ٱلسحبو ۦحغبءن إ كى س ٱلل ػه (١)انغبء لب بكب
Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan
mengawasi kamu”. (QS. an-Nisa:1)
Nikah ditinjau dari segi syar‟i ada lima macam. Terkadang hukum nikah
itu bisa wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah atau hukumnya hanya boleh
menurut syariat. Dijelaskan sebagai berikut:
29 Muhammad Ibrahim Jannati, Fikih Perbandingan Lima Madzhab III, (Jakarta: Cahaya,
2007), h.302
30
Mustafa kamal Pasha, Fikih Islam, (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, Cet I, 2002), h.
23
1. Wajib bagi orang yang takut akan terjerumus kedalam lembah perzinahan
jika ia tidak menikah. karena, dalam kondisi semacam ini, nikah akan
membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan.
Dalam masalah seperti ini Syekhul Ibnu Taimiyyah berkata, Jika
seseorang membutuhkan nikah, dan takut berbuat zinah jika tidak
melaksanakanya maka ia wajib menikah daripada melaksanakan
kewajiban ibadah haji. Para Ulama berkata, “Dalam kondisi seperti ini
tidak dibedakan hukumnya bagi orang yang mampu memberikan nafkah
dan yang belum mampu menafkahi”. Syekh Taqiyyuyiddin berkata, “Apa
yang dikatakan kebanyakan para Ulama adalah jelas dan benar. sebab
dalam kondisi seperti ini tidak diisyaratkan bagi orang tersebut untuk
mampu memberi nafkah, karena Allah menjanjikan bagi orang yang mau
melaksanakan nikah akan menjadi kaya. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam Surat an-Nur ayat: 32
أكحا ى ٱل يكى هح ى ٱنص إيبئكى إ كا فمشاء غ ػببدكى ي ي ٱلل
ۦ فضه عغ ٱلل (٢٣)انس ػهى
Artinya: “Dan nikahlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
karuniaNya, dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi Maha
Mengetahui”.(Q.S. an-Nur:32).
2. Sunnah, ketika seorang laki-laki telah memiliki syahwat (nafsu
bersetubuh), sedangkan ia tidak takut terjerumus kedealam zina. Jika ia
24
menikah, justru akan membawa maslahat serta kebaikan yang banyak, baik
laki-laki tersebut maupun yang dinikahinya.
3. Mubah atau dibolehkan, bagi orang yang syahwatnya tidak bergejolak, tapi
ia punya kemauan serta kecenderungan untuk menikah. Hukum mubah ini
juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya
untuk nikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan
melakukan nikah, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai
kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum
mempunyai kemauan yang kuat.
4. Haram, bagi seorang muslim yang berada di daerah orang kafir yang
sedang memeranginya. Karena hal itu bisa membahayakan anak
keturunannya. Selain itu pula orang-orang kafir itu bisa mengalahkannya
dan menjadikannya di bawah kendali mereka. Namun Syafi‟i mengatakan
bahwa bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan serta tanggung
jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga
sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan
istrinya maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah
haram. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195.
أفما ٱلل ف عبم ل حهما بؤ ذكى إنى هكت ٱنخ إا أحغ حب ٱلل حغ ٱن
(١٤١ )انبمشة
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik”. (Q.S al-Baqarah: 195)
25
5. Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan
pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri
sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya
tidak nikah, hanya saja orang yang tidak mempunyai keinginan yang kuat
untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.31
Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Malik bin Anas
hakikat pernikahan itu pada awalnya memang dianggap sebagai perbuatan yang
dianjurkan. Namun bagi beberapa pribadi tertentu, pernikahan itu dapat menjadi
kewajiban. Walaupun demikian, Imam Syafi‟i beranggapan bahwa menikah itu
mubah di samping ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia,
umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan perkawinan
ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama syafi‟iyah.32
Keluar dari pertimbangan perintah al-Qur‟an dan Hadits Nabi Saw adalah
pernikahan itu diwajibkan bagi seorang laki-laki yang memiliki kekayaan yang
cukup untuk membayar mahar, memberi nafkah kepada istri dan anak-anak, sehat
jasmani dan khawatir kalau tidak menikah itu justru akan menimbulkan perbuatan
zina.
Pernikahan juga diwajibkan bagi orang perempuan yang tidak memiliki
kekayaan apapun untuk membiayai hidupnya, dan dikhawatirkan kebutuhan
seksnya akan menjerumuskan kedalam perzinahan. Namun nikah itu sifatnya
mubah dan sunah bagi orang yang mempunyai dorongan seksual yang kuat. Maka
dengan pernikahan tidak akan terjerumus ke dalam bujukan setan. Sebaliknya,
31 Saleh Al Fauzan, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 641
32
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2003) h. 18
26
berkeinginan untuk menikah itu tidak akan menjauhkannya dari mengabdi kepada
Allah Swt.33
C. Syarat dan Rukun Pernikahan
Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat. Syarat adalah
yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi. Sedangkan
rukun adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad, jadi
rukun harus dipenuhi agar pernikahan menjadi sah. Menurut mayoritas ulama,
rukun terdiri atas: sighat (pernyataan ijab dan qabul dalam artian mengemukakan
dan menyatakan suatu), „aqidan (dua pihak yang melakukan akad, dan ma‟qud
„alaih obyek akad). Menurut mazhab Hanafi, rukun hanya terdiri ijab qobul
(sighat). Sedangkan hal yang lain oleh jumhur dipandang sebagai rukun, bagi
mazhab Hanafi hanya dipandang sebagai lawazim al-„aqd (hal-hal yang mesti ada
setiap pembentukan akad) dan terkadang disebut juga dengan muqawwimat al-
„aqd (tujuan akad).34
Pada Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam bagian kesatu tentang rukun
perkawinan harus ada:
a. Calon suami
b. Calon istri
c. Wali nikah
d. Dua orang saksi
33 Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), h. 155
34
AH. Azharudin Latif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 64.
27
e. Ijab dan Kabul35
Pada Pasal 15-18 Kompilasi Hukum Islam bagian kedua tentang rukun
pekawinan mengatakan:
Pasal 15
1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh
dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan
dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami
sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya
berumur 16 tahun.
2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus
mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan
(5) UU No. 1 Tahun 1974.
Pasal 16
1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai
2. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas
dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam
dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Pasal 17
1. Sebelum berlangsung perkwinan, Pegawai Penatat Nikah menanyakan
lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
2. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon
mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.
35 Rukun Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Pada Pasal 14 Bagian Kesatu,
(Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen
Agama, 2001).
28
3. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu
persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat
dimengerti.
Pasal 18
1. Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan
tidak terdapat halangan perkawinan sebagai mana diatur dalam bab VI.36
Rukun dan syarat harus menentukan suatu perbuatan hukum, terutama
yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.
Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya
merupakan sesuatu yang harus diadakan.
Dalam suatu acara perkawinan umpanya rukun dan syaratnya tidak boleh
tertinggal, dalam artian perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak
lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu
adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian suattu unsur
yang mengujudkannya, sedangkan syarat-syarat adalah sesuatu yang berbeda
diluarnya dan tidak merupakan usnsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan denga
rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada
pula syarat itu terdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur
rukun.
Dalam hal perkawinan, dalam hal menempatkan mana yang rukun dan
mana yang syarat terdapat perbedaan dikalangan ulama yang perbedaan ini tidak
bersifat substansial. Perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan oleh karena
36 Rukun Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Pada Pasal 15-18 Bagian Kedua,
(Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen
Agama, 2001).
29
berbeda melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal
yang terlibat dan harus ada dalam suatu perkawinan adalah: Akad perkawinan,
laki-laki yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang
menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau maskawin.37
Adapun syarat dan rukun perkawinan dalam Islam sebagai berikut:
a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:
1. Beragama Islam
2. Laki-laki
3. Jelas orangnya
4. Dapat memberikan persetujuan
5. Tidak mendapat halangan perkawinan
b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:
1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani
2. Perempuan
3. Jelas orangnya
4. Dapat diminta persetujuannya
5. Tidak terdapat halangan perkawinan
c. Wali nikah, syarat-syaratnya:
1. Laki-laki
2. Dewasa
3. Mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwalianya
37 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),
h. 59
30
d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:
1. Minimal dua orang laki-laki
2. Hadir dalam ijab qobul
3. dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. Dewasa
e. Ijab qobul, syarat-syaratnya:
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria
3. Memakai kata-kata nikah, tazwij terjemahan dari kata-kata nikah
atau tazwij
4. Antara ijab dan qobul bersambungan
5. Antara ijab dan qobul jelas maksudunya
6. Orang yang terkait ijab qobul tidak sedang dalam ihram haji atau
umrah
7. Majelis ijab dan qobul itu harus dihadiri minimum empat orang,
yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai
wanita atau wakilnya, dan orang saksi.
Adapun salah satu syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan bagi
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua
orang tua. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, ijin cukup
31
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu
menyatakan kehendaknya. Bila kedua orang tua meninggal dunia atau tidak
mampu menyatakan kehendaknya, izin diperoleh dari wali atau orang yang
memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan dekat dalam garis
keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
Adapun dispenisasi hukum perkawinan Indonesia mengatur bahwa
perkawinan hanya diijinkan jika calon mempelai pria telah mencapai usia 19
tahun dan calon mempelai wanita telah berusia 16 tahun. Jika terjadi
penyimpangan atau kedua calon mempelai atau salah seoarang diantara mereka
berada dibawah usia yang ditentukan, dapat diminta dispensasi kepada
pengadilanatau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun
wanita, sebaimana dalam Peraturan Menteri Agama RI no 3 Tahun 1975 dalam
pasal 13.38
Sedangkan Undang-Undang perkawinan yang mengatur syarat-syarat
perkawinan dalam Bab II Pasal 6 sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau
dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin
38
Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung, Mandar Maju, 1997),
h. 22-23
32
dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup
atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari
wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan
darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam
ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara
mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah
hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang
bersangkutan tidak menentukan lain.39
Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku
antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang
menajadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang dilkukan
oleh kedua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang lainnya
seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan.
Ulama Hanafiyah membagi syarat itu kepada.
39 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
2013), h. 56
33
1. Syuruth al-in‟iqad yaitu syarat yang menentukan terlaksanya suatu akad
perkawinan. Karena kelangsungan terdapat pada akad, maka syarat disini
adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenan dengan akad itu
sendiri. Bila akad itu tertinggal maka akad perkawinan disepakati batalnya.
2. Syuruth ash-shihhah yaitu suatu keberadaanya yang menentukan suatu
perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan
akibat hukum, dalam arti bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka
perkawinan itu tidak sah, seperti adanya mahar pada setiap perkawinan.
3. Syuruth al-nufuz yaitu syarat yang menentukan kelangsungan suatu
perkawinan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya perkawinan
tergantung kepada adanya syarat-syarat itu tidak terpenuhi mengakibatkan
fasad nya perkawinan, seperti wali yang melangsungkan akad perkawinan
adalah seorang yang berwenang untuk itu.
4. Syuruth al-luzum yaitu syarat yang menentukan kepastian sesuatu
perkawinan dalam arti tergantung kepada kelanjutan perkawinan
berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya
syarat tersebut tidak mungkin perkawinan yang sudah berlangsung itu
dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi perkawinan
dapat dibatalkan, seperti suami harus sekufu dengan istrinya.40
Menurut Ulama Syafi‟iyah yang dimaksud dengan perkawinan disini
adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan
segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun
40 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),
h. 60
34
perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.
Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin,
akad kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsunkan akad dengan si
suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan
itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai
berikut:
a. Calon mempelai laki-laki
b. Calon mempelai perempuan
c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan
d. Dua orang saksi
e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qobul yang dilakukan oleh suami.
Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam
rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan
tidak mesti diserahkan kepada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian,
mahar itu termasuk kedalam syarat perkawinan.
Undang-Undang perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun
perkawinan. Undang-Undang hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan,
yang mana syarat-syarat tersebut yang banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau
rukun perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagai
yang terdapat dalam pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh
syafi‟I dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.41
41 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),
h. 61
35
D. Tujuan Pernikahan
Manusia diciptakan Allah Swt mempunyai naluri manusiawi yang perlu
mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah Swt untuk
mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktivitas
hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan
biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya,
Allah Swt mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan.42
Allah SWT mensyari‟atkan perkawinan dalam Islam untuk mencapai
tujuan-tujuan mulia, di antaranya:
a. Menjaga keturunan
b. Menjaga wujud manusia
c. Mengarahkan penyaluran kebutuhan biologis
d. Melindungi masyarakat dari dekadensi moral dan perilaku menyimpang
e. Menumbuhkan perasaan kasih sayang dan kebersamaan.
f. Menciptakan rasa kebakan dan keibuan.43
Tujuan pernikahan adalah menurut (mentaati) perintah Allah Untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan membina rumah
tangga yang damai dan teratur. Untuk mencapai tujuan ini suami dan istri harus
saling mempergauli (menurut cara yang ma‟ruf), yaitu saling mencintai, berbuat
42 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group,
2003), h. 22
43
Muhammad Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Cipinang Muara, Jakarta: CV.
Cendakia Santri Muslim), h. 11
36
baik. Suami mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan nafkah sehari-hari
bagi istri dan anaknya.44
Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.
Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir batin disebabkan terpenuhinya keperluan
hidup lahir dan batin, sehingga timbul kebahagiaan, yakni kasih sayang antara
keluarga. Tujuan dan hikmah agama Islam dalam mensyariatkan pernikahan
diantaranya sebagai berikut:
1. Membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, pernyaataan
tersebut terdapat dalam surat ar-Rum ayat: 21.
2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah Swt.
3. Untuk memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan
4. Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan rasa
kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya rasa kasih
sayang antara sesama anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang
dalam keluarga ini akan dirasakan pula dalam masyarakat atau umat,
sehingga terbentuklah umat yang diliputi cinta dan kasih sayang.
5. Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas ayah,
kakek dan sebagainya hanya diperoleh dengan pernikahan. Dengan
demikian akan jelas pula orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
44 Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, (Yogyakarta: Gadja Mada University
Press Anggota Ikapi, 1990), h. 30
37
anak-anak, yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga menjadilah
ia seorang muslim yang dicita-citakan. Karena itu agama Islam
mengharamkan zina, tidak mensyariatkan poliandri, menutup segala pintu
yang mungkin melahirkan anak di luar pernikahan, yang tidak jelas asal-
usulnya.45
Naluri seksual merupakan naluri yang paling kuat, yang selalu mendesak
manusia untuk mencari dan menemukan penyalurannya. Oleh karena itu jika
jalannya tertutup dan tidak menemui kepuasan, manusia akan mengalami
kegelisahan dan keluh kesah, yang akan menyeretnya kepada penyelewengan-
penyelewengan yang tidak diinginkan. Pernikahan adalah suatu cara yang alamiah
yang sebaik-baiknya dan corak kehidupan yang paling tepat untuk memuaskan
dan menyalurkan naluri ini. Dengan demikian badan jasmani tidak akan menderita
kegoncangan lagi, nafsu kelamin dapat dikendalikan, dan hasrat keinginannya
dapat dipenuhi dengan barang yang dihalalkan Allah.46
Dasar perkawinan tersebut dalam Undang-Undang No, 1 tahun 1974
tentang perkawinan tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Pasal 1
1. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
45 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), h. 14
46
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), h. 248.
38
Pasal 2
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang
berlaku.47
E. Mahar Pernikahan (Mas Kawin)
Salah satu dari keistimewaan Islam adalah memperhatikan dan
menghargai kedudukan wanita, yaitu berupa memberi hak untuk wanita
memegang urusannya, salah satunya ialah hak mahar. Mahar secara bahasa
diambil dari kata bahasa arab yang bentuk mufradnya yaitu al-mahru ( ش (ان
sedangkan bentuk jamaknya yaitu al-muhuuron (ا س yang secara bahasa (ان
mempunyai arti maskawin.48
Kata mahar dalam al-Qur‟an tidak ditemukan, yang digunakan adalah kata
shaduqah )صذلت) sebagaimana dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟: 4.
ءاحا ٱنغبء ب فكه فغا ء ي نكى ػ ش فإ طب حهتا خ
ش ا صذل (٩)انغبء ب ا ب ي
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya”. (an-Nisa‟: 4).
Allah Swt memerintahkan kepada laki-laki untuk memberikan mahar
kepada istri sebagai pemberian suka rela. Perintah ini merupakan kewajiban. Dan
47 Dasar Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pada Pasal 1 dan 2.
48
M.A. Tihami dan sohari Sahrani, Fiqh Pernikahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010), h. 36
39
kalau si istri berbaik hati, memberikan secara ikhlas dari mahar tersebut, baik
sebagian atau seluruhnya, maka suami atau wali boleh memakannya dengan
penuh kelapahan dan berharap makanan tersebut akan membawa akibat baik.
Rasulullah SAW bersabda:
كغبكى )س انخشيزي( لدكى ي أ إ كغبكى أطب يب أكهخى ي إ49
Artinya: Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan ialah (berasal)
dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah hasil dari usaha
kalian. (HR. Tirmidzi).
Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar
adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati
calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih kepada calon istri.50
Kata mahar
ini berasal dari bahasa arab dan telah menjadi bahasa Indonesia, akan tetapi
digunakan dengan istilah shaduqah.51
Menurut Sayyid Sabiq, Pemberian mahar ini bersifat wajib, sekalipun
mahar tidak termasuk dalam rukun perkawinan di dalam Islam, akan tetapi karena
sebab seorang laki-laki memberi mahar pada wanita tersebut sesuai dengan
keinginan wanita dan kemampuan laki-laki tersebut, mahar akan menjadikan istri
berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.52
49 HR. Tirmidzi (no. 1358) Kitab Al-Ahkaam, dan dia menilai sebagai Hadits Shahih, Abu
Dawud (no. 3530) kitab Al-Buyuu‟, An-Nasa‟i (no. 4450), Ibnu Majah (no. 2290) Kitab At-
Tijaaraat, Ahmad (n0. 25126), Mu‟jamul Ausath (no. 4486, 4487).
50
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka setia,
1999, cet ke-1), h. 105
51
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), h. 77
52
Sayyid Sabbiq, fiqih Sunnah Jilid II , (Bandung: Alma‟arif, 1990), h. 53
40
Mahar menurut istilah ialah suatu pemberian yang disampaikan oleh pihak
mempelai laki-laki kepihak mempelai perempuan dikarenakan adanya ikatan
perkawinan.53
Pemberian mahar dari calon mempelai pria kepada calon mempelai
wanita, baik berbentuk barang, uang, atau yang tidak bertentangan dengan hukum
Islam (Ps. 1 huruf d KHI). Hukumnya wajib, yang menurut kesepakatan para
ulama merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan. Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia merumuskannya pada pasal 30 yang berbunyi. “Calon mempelai pria
wajib membayar mahar kepada mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan
jenisnya disepakati oleh kedua bela pihak”. Penentuan besarnya mahar didasarkan
atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam (Ps. 31
KHI), atau dalam bahasa agama disebut dengan patut (ma‟ruf).
Adapun mahar dalam istilah ulama fiqh disebut nihlah, sadaq, faridah dan
ajrun yang di dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama yaitu mahar atau
maskawin. Menurut istilah shara‟ mahar ialah suatu pemberian yang wajib
diberikan oleh suami kepada istri dengan sebab pernikahan.54
Mahar berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta
perdagangan, atau benda-benda yang lainnya yang mempunyai harga, diisyaratkan
mahar harus jelas dan detail. Misalnya seratus lire atau semisal sekarung gandum,
kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang mumungkinkan diperoleh
penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali maliki, akad
tetap sah, maharnya batal. Sedangkan maliki berpendapat bahwa, akadnya fasid
53 Mustafa Kamal, fiqh Islam, Cet III, (Jogjakarta: Citra Karya Mandiri, 2002), h. 263
54
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 84
41
(tidak sah) dan di fask sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri,
akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil. Sementara itu Syafi‟i,
Hanafi, Hambali dan mayoritas ulama madzhab imamiyah berpendapat bahwa,
akad tetap sah, dan si istri berhak atas mahar mitsil. Sebagian ulama madzhab
Imamiyah memberi batasan bagi hak istri atas mahar mitsil dengan adanya
percampuran. Sedangkan sebagian yang lain, sependapat dengan empat madzhab,
memutlakkannya tidak memberi batasan.55
Para Fuqaha‟ berbeda pendapat dalam status mahar, apakah sebagai
pengganti pemanfa‟atan suami terhadap organ vital wanita atau sebagai pemberian
semata yang telah ditentukan oleh Allah kepada seorang istri. Pada intinya
hubungan dari kedua pendapat ini ialah orang yang melihat wujud mahar sebagai
imbalan pemanfaatan organ vital perempuan terhadap laki-laki yang mengatakan
mahar merupakan kompensasi atas pemanfaatan organ vital perempuan terhadap
laki-laki. Sedangkan yang berpendapat mahar hanyalah pemberian wajib seorang
suami pada istri yang telah ditentukan oleh Allah Swt, maka istri bersenang-
senang pada suami sebaliknya suami bersenang-senang atas istrinya, maka mahar
atau maskawin merupakan penghormatan dan pemberian suami yang telah
ditentukan oleh Allah Swt untuk mewujudkan cinta dan kasih saying antara
pasangan suami istri tersebut.56
Sebagian Ulama Hanafiah mendefinisikan mahar
sebagai berikut:
55 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta, PT Lantera Basritama,
1999), h. 365
56
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
(Jakarta: Amzah, 2011), h. 176
42
طء ان انشءة بؼمذ انكبح أ يب غخحم ش ان57
Artinya: “Mahar adalah suatu yang berhak dimiliki oleh seorang wanita
sebab adanya akad nikah atau bersetubuh”.
Sedangkan menurut sebagian Ulama Malikiyah mahar adalah:
با خبع ب عخ ش ل ظ جت ف يبجؼم نهض ش ن58
Artinya: “Mahar adalah sesuatu yang dijadikan (dibayar) kepada istri
sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksualitas”.
Malikiyah memandang mahar adalah yang diwajibkam dalam nikah
sebagai alat pembayaran bagi istri atas pelayanan seksualitas pada suami, dan
yang ini adalah pandangan yang matrealistis.
Sedangkan menurut sebagian Ulama Safi‟iyah mahar adalah:
حفج بضغ طء أ جب بكبح أ يب 59الش بؤ
Artinya: Sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya „aqad nikah atau
watha‟ atau karena merusakkan kehormatan wanita secara paksa (memperkosa).
Dari Aisyah ra ia berkata, “maskawin Nabi Muhammad Saw bagi istrinya
sebesar dua belas uqiyah, satu uqiyah dua belas dirham. Umar bin Khatab berkata,
Rasulullah SAW tidak menikahi istri-istrinya dan tidak pula menikahkan putri-
putrinya lebih dari dua belas uqiyah. Rasulallah Saw juga bersabda:
غش )س أبداد( ذاق أ شانص 60خ
57 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IX, (Beirut: Dar al-Fikr), h.
6758
58
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IX, (Beirut: Dar al-Fikr), h.
6758
59
Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IX, (Beirut: Dar al-Fikr), h.
6758
60
HR. Abu Dawud (no. 2117) Kitab An-Nikah, al-Hakim (II/182), Ia mensahihkannya
dan menilainya sesuai syarat Syaikhan (al-Bukhori Muslim), dan Syaikh al-Albani menilainya
sesuai syarat Muslim.
43
Artinya: Sebaik-baik maskawin adalah yang paling murah. (Riwayat Abu
Daud)
Banyak para penulis yang mengatakan dalam masalah ini bahwa
mengambil jalan tengah, tidak berlebih-lebihan, tidak sombong dan membangga-
banggakan diri termasuk salah satu faktor yang dapat menunjang kebahagiaan
suami istri dan mempertautkan kasih diantara keduanya.61
Syafi‟i, Hanbali, dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas
minimal dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli
boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy.
Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah mahar minimal sepuluh
dirham, kalau suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad
tetap sah, dan wajib wajib membayar mahar sepuluh dirham. Kemudian maliki
mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan
dengan kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka harus
suami membayar tiga dirham, tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih
antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau memfasakh
akad, lalu membayar separuh mahar musamma (mahar yang disepakati oleh
pengantin laki-laki dan perempuan yang disebut dalam redaksi akad.62
Tidak ada ketentuan hukum yang disepakati Ulama tantang batas
maksimal pemberian mahar, demikian juga batasan minimalnya. Yang jelas,
meskipun sedikit, pemberian mahar tersebut wajib ditunaikan. Dasarnya adalah
Hadis Sahl ibn Sa‟ad al-Sa‟idi yang disepakati kesahihanya. Mahar diberikan
61 Nasir bin Sulaiman Al-‟Urf, Sendi-Sendi Kebahagiaan Suami Istri, (Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, 1993), h. 25
62
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta, PT Lantera Basritama,
1999), h. 364
44
langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi barang hak
pribadinya (Ps. 32 KHI). Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Namun
apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh
ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Karena mahar yang belum
ditunaikan penyerahnya menjadi utang calon mempelai pria (Ps. 33 KHI).
Undang-Undang perkawinan tidak mengatur mengenai mahar ini. Hal ini karena
mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan (Ps. 34 (1).63
F. ‘Urf
Secara etimologi al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf „ain, ra‟,
dan fa‟, yang berarti kenal, dari kata ini muncul kata ma‟rifah (yang dikenal),
ta‟rif (definisi), kata ma‟ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata „urf
(kebisaan yang baik).64
Pengertian „urf dari segi bahasa berasal dari kata „arafa ya‟rifu ػشف–
ف( Sering juga dikatakan dengan alma‟ruf (ؼشف( ؼش yang berarti suatu yang )ان
dikenal atau berarti yang baik. Pengertian dikenal ini lebih dekat kepada
pengertian yang diakui oleh orang lain. Jadi „urf secara bahasa adalah sesuatu
yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.65
Sedangkan secara istilah ialah sesuatu yang yang telah sering dekenal oleh
manusia dan telah menjadi tradisinya baik berupa ucapan atau perbuatannya dan
atau hal yang meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Dan ada juga
63 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2013), h. 85-86
64
Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqh, (Jakarta: Parangontama Jaya, 2011), h. 209
65
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Cet I, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 333
45
mendefinisikan bahwa „urf ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai
dimana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan.66
Allah Swt berfirman dalam Surat al-A‟raf: 199
خز أيش ب ٱنؼف ٲنؼشف أػشض ػ ) الػشاف ه ( ١٤٤ ٱنج
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. (Q.S al-A‟raf:
199).
Kata al-„urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya,
oleh Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi
kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai
perintah untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap baik sehingga telah menjadi
tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‟ruf artinya sesuatu yang diakui baik
oleh hati. Ayat diatas tidak diragukan lagi bahwa suruan ini didasarkan pada
pertimbangan yang baik pada umat, dan hal menurut kesepakatan mereka berguna
bagi kemaslahatan mereka. Oleh karena itu kata al-ma‟ruf hanya disebutkan untuk
hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam soal
mu‟amalah maupun adat istiadat.
Dalam Istilah fuqaha „urf ialah kebiasaan, kebanyakan orang dalam kata-
kata dan perbuatannya, “adatu jumhuri qaumin fi qaulin aw‟amalin”. Dari
pengertian ini kita mengetahui bahwa „urf dalam sesuatu perkara tidak bisa
terwujud kecuali apabila „urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya berlaku pada
perkara tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai „urf tersebut selalu
memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi unsur pembentukan „urf
66 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali, 1993), h. 134
46
ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya terdapat pada
keadaan terus-menerus atau sering-seringnya dan kalau tidak demikian, maka
disebut perbuatan perseorangan.67
Sementara kata yang sepadan atau sinonim dari „urf ialah kata adat yang
berasal dari kata bahasa arab yaitu „ada ya‟uudu, artinya perulangan. Sebenarnya
tidak ada perbedaan antara adat dan „urf, karena keduanya sama-sama mengacu
kepada peristiwa yang berulang kali dilakukan sehingga diakui dan dikenal
orang.68
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah „urf berarti ialah sesuatu
yang telah dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka
baik berupa perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut
dengan adat. Menurut istilah ahli syara‟, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat
(adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian „urf
lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat disaping telah dikenal
oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan
telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang
melarangnya.69
Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli
dengan tukar menukar secara langsung tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan
seperti kebiasaan manusia menyebut alwalad secara mutlak berarti anak laki-laki,
bukan anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak
67 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: N.V. Bulan Bintang,
1970) h. 89
68
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Cet ke I, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 98
69
Muin Umar dkk, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Depag RI, 1986), h. 150
47
mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaaan manusia
menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma‟
yang terbentuk dari kesepkatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara
umum.70
„Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu‟amalah (hubungan kepentingan)
yang telah menjadi adat kebiasaan dan yang telah berlangsung ajeg (konstan) di
tengah masyarakat. „Urf muncul dari sebuah pemikiran dan pengalaman dari
mayoritas masyarakat, karena sadar akan kenyataan bahwa adat atau sebuah
kebiasaan telah memiliki peranan penting dalam sebuah dinamika kehidapan
masyarakat, maka syari‟at Islam mengakui „urf sebagai sumber hukum atau dalil
dalam bidang furu‟iyah (muamalah). Adat atau kebiasaan berkedudukan sebagai
dari hukum yang tidak tertulis, akan tetapi sebuah adat atau kebiasaan telah
menjadi tradisi dan menyatu dengan setiap lapisan masyarakat sehingga adat
kebiasaan tersebut berlanjut dari satu generasi ke generasi selanjutnya. „Urf ada
kaitannya dengan tata nilai yang dianggap baik oleh masyarakat.71
Adapun sebuah
adat yang dapat dikategorikan sebagai „urf apabila memenuhi tiga syarat dalam
„urf, yaitu, pertama, adanya kemantapan jiwa. Kedua, sejalan dengan
pertimbangan akal sehat. Ketiga, dapat diterima oleh watak (fitrah) bawaan
manusia, dalam artian sejalan dengan watak asal manusia.72
70 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam), (Jakarta: Pustaka
Amani, 1977), h. 117
71
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Pasar Minggu, Jakarta: PT Pustaka Firdaus,
2012), h. 417
72
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat, (Yogyakarta: Nur-Kutub al-Islami Cahaya, 2010),
h. 79
48
Adat atau „urf yang dimaksud sebagai sumber hukum Islam bukan hanya
adat orang Arab saja, melainkan semua adat yang berlaku disuatu tempat dan
masyarakat tertentu, dalam arti adat yang terjadi di suatu tempat bisa dijadikan
sebagai sumber hukum, dan produk hukum yang berlaku dan bersifat lokalitas,
tanpa mengikat pada tempat yang lain.73
Ulama ushul fiqh membagi „urf dalam tiga macam, yaitu, pertama dilihat
dari segi objeknya, kedua dari segi cakupanya dan ketiga dari segi keabsahanya.
a. Bedasarkan objeknya, „urf terbagi menjadi dua yaitu:
1) Al-„urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan
ungkapan atau lafal tertentu dalam mengungkapkan sesuatu.
Sehingga makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut
menjadi hal yang sudah difahami dan selalu terlintas difikiran
masyarakat. Misalnya, ungkapan, daging yang berarti daging sapi.
Padahal ungkapan daging mencakup seluruh daging yang ada tidak
hanya daging sapi saja. Hal ini, sudah menjadi kebiasaan
masyarakat setempat dalam mengartikan secara khusus bahwa
yang dimaksud daging yaitu daging sapi.
2) Al-„urf al-„amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan
dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan. Perbuatan
biasa yang dimaksud adalah perbuatan masyarakat dalam masalah
kehidupan yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.
Misalnya, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus, atau
73 Nourouzzaman Siddiqi, Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 122
49
kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam
acara-acara khusus.74
b. Berdasarkan cakupannya terbagi menjadi dua yaitu:
1) Al-„urf al-„am, yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara umum
di masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, adat kebiasaan
yang berlaku di masyarakat dalam memakai ungkapan, engkau
telah haram aku gauli kepada istrinya sebagai ungkapan untuk
menceraikan istrinya.
2) Al-„urf al-khash, yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus
dalam suatu masyarakat.75
Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi
menyebut kalimat‚ satu tumbuk tanah‛ untuk menunjuk pengertian
luas tanah 10x10 meter.
c. Berdasarkan keabsahannya terbagi menjadi dua yaitu:
1) Al-„urf al-shahih, yaitu kebiasaan yang dilakukan manusia tidak
bertentangan dengan dengan dalil shara‟. Misalnya, dalam masa
pertunangan pihak laki-lai memberikan hadiah kepada pihak
perempuan dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin
2) Al-„urf al-fasid, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia
tetapi bertentangan dengan shara‟.76
Misalnya, minum-minuman
keras, hidup bersama tanpa nikah.
74 Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos ,1996), h. 139
75
Satria Effendi, Ushul fiqh, Cet Ke I, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 154
76
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, Terjemah Faiz el
Muttaqin, Cet I, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h. 117
50
BAB III
SEJARAH SINGKAT DAN PROFIL BESERTA TRADISI HANTARAN
DESA PULAU BATU
A. Sejarah Singkat Desa Pulau Batu
Pada zaman dulu, Dusun Pulau Batu dijadikan tempat persinggahan oleh
pemburu dari salah satu kerajaan Melayu, beberapa dari sebagian pemburu
tersebut melihat lokasi tersebut sangatlah strategis dengan tanah yang subur, maka
timbullah keinginan dari mereka untuk bertani disekitar persinggahan tersebut.
Seiring berjalannya waktu, lama-kelamaan berkembanglah penduduknya,
dan pada akhirnya muncullah ide dari setiap masyarakat atau beberapa warga
untuk mengadakan musyawarah dusun. Dan dari musyawarah dusun tersebut
disepakatilah untuk membuat suatu wilayah atau dusun, pada musyawarah
tersebut telah mufakat setiap warga untuk memberi nama dusun dengan nama
Pulau Batu. Dan diambillah Pulau Batu dari para pemburu yang singgah pertama
kali di desa tersebut.77
B. Profil Keadaan Desa Pulau Batu Berupa Letak Geografis
Desa Pulau Batu merupakan desa penduduk asli Melayu yang populasi
awal 15 KK, dan sekarang berkembang menjadi 767 KK. Dengan sebagian
penduduk Desa Pulau Batu bekerja dalam sektor pertanian dan perkebunan serta
pegawai pemerintahan dan swasta. Desa Pulau Batu merupakan Desa yang
terletak di Kecamatan Jujuhan Ilir, Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi.
77 Dokumen RKP-Dus Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir
51
Desa Pulau Batu merupakan salah satu dari 7 (tujuh) desa diwilayah Kecamatan
jujuhan Ilir, yang terletak 1 km kearah selatan dari kota kecamatan. Sedangkan
jarak menuju pemerintahan Kabupaten Muara Bungo ialah 75 km dan jarak dari
provinsi adalah 336 km. Iklim Desa Pulau Batu seperti desa-desa lainnya di
wilayah Indonesia yang mempunyai iklim kemarau dan hujan, hal tersebut
mempunyai pengaruh terhadap pola tanam yang ada di Desa Pulau Batu
Kecamatan Jujuhan Ilir.
Adapun Desa yang tergabung dalam Kecamatan Jujuhan Ilir terdapat 7
(tujuh) Desa, yaitu:
1. Desa Tepiandanto
2. Desa Aur Gading
3. Desa Lubuk Tenam
4. Desa Pulau Batu
5. Desa Bukit Sari
6. Desa Sari Mulya
7. Desa Kuamang
Desa Pulau Batu terdiri dari 5 (lima) Dusun, dari setiap Dusun tersebut
memiliki kepala kampung tersendiri, yang mana kepala kampung di setiap dusun
tersebut bertugas sebagai pembantu Datuk Rio (Kepala Desa) untuk mentertibkan
desa dan memberi kenyamanan dalam bermasyarakat. Adapun Dusun yang
tergabung di Desa Pulau Batu antara lain ialah:
1. Dusun Cempaka Putih
2. Dusun Tebat
52
3. Dusun Tengah
4. Dusun Sungai Pinang I
5. Dusun Sungai Pinang II
Adapun batasan-batasan wilayah Desa Pulau Batu meliputi:
1. Sebelah Utara: Desa Sari Mulya Kecamatan Jujuhan Ilir
2. Sebelah Selatan: Desa Sido Rukun
3. Sebelah Barat: Desa Lubuk Tenam Kecamatan Jujuhan Ilir
4. Sebelah Timur: Desa Teluk Kayu Putih Kecamatan Tujuh Koto Kabupaten
Tebo
Luas wilayah Desa Pulau Batu 1874 ha, dengan rincian wilyah yang
meliputi:
1. Tanah Perkebunan Masyarakat : 1580 ha
2. Tanah Pekarangan : 200 ha
3. Tanah Lapangan Bola : 4 ha
4. Pasar Tradisional : 15 ha
5. Rawa/Kolam : 14 ha
6. Perairan Umum : 15 km
Desa Pulau Batu memiliki satu tempat pemakaman yang terletak di Dusun
Tengah, luas tanah pemakaman sekitar 10 ha. Pada hari raya idul fitri ke 3 (tiga),
masyarakat Desa Pulau Batu mempunyai kebiasaan atau adat yang mana adat
tersebut adalah dengan mengunjungi atau ziarah kemakam keluarga masing-
masing yang telah meniggal dunia, adapun agenda pada ziarah tersebut ialah
membaca Yasin, bersih-bersih makam keluarga, dan pada pukul 11:00 WIB,
53
seluruh kegiatan yang bersangkutan dengan ziarah akan diberhenti untuk
sementara oleh ustadz ataupun panitia hari besar Islam (PHBI), dengan maksud
mengajak masyarakat yang berziarah untuk mendengarkan atau menyimak
ceramah yang biasanya disampaikan oleh ustadz ataupun imam mesjid Desa Pulau
Batu. Dan biasanya ceramah tersebut bermaterikan tentang kematian. Adapun
durasi waktu untuk penyampaian ceramah tersebut sekitar 1 (satu) jam 30 (tiga
puluh) menit ataupun 20 menit sebelum waktu sholat dzuhur. Kebiasaan seperti
ini dilakukan sekali dalam satu tahun pada hari raya idul fitri ke 3 (tiga)78
.
Desa Pulau Batu juga memiliki tanah lapangan bola kaki yang dinamakan
oleh masyarakat Desa Pulau Batu dengan sebutan Gelora Bintang Timur Fc.
Bukan hanya lapangan bola kaki saja yang berada di Gelora Bintang Timur Fc ini,
akan tetapi gelora bintang timur fc ini mencakupi beberapa lapangan olahraga, di
antara nya ialah lapangan sepak takraw, lapangan bola voli, dan lapangan futsal.
Letak gelora bintang timur fc ini satu arah menuju pasar tradisional yaitu Dusun
Sungai Pinang II. Adapun luas tanah lapangan bola (gelora bintang timur fc) ini
ialah 4 Ha. Setiap tahun biasanya diadakan tournament ataupun kegiatan olahraga.
Biasanya warga mengadakan tournament bola kaki antar Dusun atau Desa. Pada
17 (tujuh belas) agustus lapangan bola kaki ini biasanya dipakai untuk acara
upacara bendera, dan setelah itu barulah dibuka acara olahraga memperingati hari
kemerdekaan, biasanya dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari, adapun
yang ikut serta dalam memperingati hari 17 agustus ini atau hari kemerdekaan ini
ialah seluruh Desa yang tergabung dalam Kecamatan Jujuhan Ilir, adapun agenda
78 Baijuri (Tokoh Adat), Wawancara, Pulau Batu, 9 Januari 2017
54
untuk memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia ini ialah sepak bola,
sepak takraw, bola voli, futsal, dan tenis meja. Biasanya kegiatan 17 agustus ini di
buka oleh Bapak camat Jujuhan Ilir yang mana setelah upacar 17 agustusan
selesai.79
C. Keadaan Demografi
Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir terdiri dari 3760 jiwa, yang
tersebar disetiap Dusun, yang mana setiap Dusun memiliki Kepala Dusun
tersendiri. Mayoritas penduduk Desa Pulau Batu ialah bersuku melayu, sekalipun
terdapat beberapa penduduk dari etnis lain. Meskipun demikian masyarakat Desa
Pulau Batu secara keseluruhan masih memegang erat adat atau tradisi yang pernah
diwariskan oleh nenek moyangnya. Adapun rincian dari penduduk Desa Pulau
Batu sebagai berikut:
TABEL I
Jumlah Penduduk Desa Pulau Batu Menurut Jenis Kelamin
NO Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki-laki 1773 Jiwa
2 Perempuan 1987 Jiwa
D. Keadaan Ekonomi
Keadaan penduduk Desa Pulau Batu apabila dilihat dari segi
perekonomian, Desa Pulau Batu memiliki potensi yang dapat dikembangkan oleh
79 Muhammad Zami (Staf Datuk Rio), Wawancara, Pulau Batu, 11 Januari 2017
55
masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Hal ini dengan jumlah
perkebunan karet dan sawit yang masih banyak dikelola oleh setiap warga Desa
Pulau Batu. Untuk lebih jelasnya mengenai mata pencarian penduduk dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
TABEL II
Data Mata Pencarian Pokok Masyarakat Desa Pulau Batu
No Petani Pedagang DLL PNS Buruh
1 1792 35 20 121
(Sumber: Dokumen RKP-Dus Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir)
Mata pencarian pokok masyarakat Desa Pulau Batu kebanyak dari kebun
karet dan sawit, mereka kebanyakan mempunyai lahan kebun karet dan sawit
sendiri, ada juga yang mempunyai anak buah, istilah anak buah di Desa Pulau
Batu ini ialah orang yang kerja untuk menyadap pohon karet, kebanyakan anak
buah (pegawai) rata-rata adalah transmigrasi. Ada yang berasal dari Jawa Tengah
(Jawa Pati), Jawa Timur. Dan ada juga yang berasal dari dalam pulau sumatra
seperti medan,, padang, riau, bengkulu dan dan tidak sedikit pula penduduk dari
pribumi.80
E. Keadaan Pendidikan
Ditinjau dari segi pendidikan, masyarakat Desa Pulau Batu tergolong
masyarakat yang mengenal baca tulis, hal ini dapat dilihat dari mayoritas
penduduk yang menyekolahkan anak-anaknya dari jenjang TK hingga ke
80
Akmal (masyarakat), Wawancara, Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir,15 Januari
2017
56
perguruan tinggi. Sekalipun tidak semuanya dapat memberikan pendidikan hingga
perguruan tinggi pada anak-anaknya, namun mereka berusaha memberikan
pendidikan agar anak-anaknya dapat membaca, menghitung dan menulis serta
dapat hidup lebih baik lagi. Dibuktikan dengan adanya bangunan-bangunan
sekolah sebagai berikut.
TABEL III
Data Jumlah Sarana Pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Jumlah Bangunan
1 PAUD 01 Buah
2 TK 01 Buah
3 SD 01 Buah
4 MIN 01 Buah
5 MTSN 01 Buah
6 MA 01 Buah
(Sumber: Dokumen RKP-DUS Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir)
Meskipun Desa Pulau Batu belum memiliki SMAN atau sederajatnya yang
mempunyai rana prasarana pendidikan lebih memadai ataupun kualitas
pendidikannya lebih tinggi seperti sekolah-sekolah negri lainnya, akan tetapi tidak
sedikit juga yang bersekolah di luar desa seperti bersekolah di Provinsi dan ada
juga yang bersekolah di luar Provinsi bahkan di luar pulau Sumatera. Hal ini
membuktikan betapa pentingnya menuntut ilmu setinggi-tingginya. Kemudian
untuk jelasnya, keadaan pendidikan penduduk Desa Pulau Batu dapat dilihat dari
tingkat pendidikannya sebagai berikut:
57
TABEL IV
Tingkat Pendidikan warga Desa Pulau Batu
No. Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Tidak Tamat SD 48 Orang
2 Tamat SD/Sederajat 240 Orang
3 Tamat SMP/Sederajat 215 Orang
4 Tamat SMA/Sederajat 115 Orang
5 Sarjana 205 Orang
(Sumber: Dokumen RKP-DUS Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir)
Dari tabel di atas diketahui, bahwasannya sudah banyak warga Desa Pulau
Batu yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi diri sendiri ataupun anak-
anaknya untuk masa depan yang lebih baik lagi. Sekalipun jumlah tamatan SD
atau sederajatnya masih banyak akan tetapi jumlah jiwa tersebut ialah mereka
yang telah menua. Kebanyak mereka putus sekolah sampai SD atau sederajatnya
karena faktor biaya sekolah yang zaman dahulu masih dirasa mahal dan mereka
lebih mendahulukan atau lebih mementingkan biaya kebutuhan pangan sehari-hari
dibandingkan biaya pendidikan pada saat itu.
F. Keadaan Sosial Keagamaan
Masyarakat Desa Pulau Batu merupakan masyarakat pemeluk Agama
Islam seluruhnya, sehingga mereka menjunjung tinggi kekompakan dan
kerukunan sesamanya. Hal ini menjadi kelebihan tersendiri bagi masyarakat Desa
58
Pulau Batu, karena dengan penduduk yang homogen dalam artian memiliki
Agama yang sama, maka mereka akan dengan mudah menjunjung tinggi nilai-
nilai keagamaan dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Hal ini
dibuktikan dengan adanya acara rutinan keagamaan yang dilaksanakan
masyarakat setempat, moment tersebut memberikan kesempatan bagi masyarakat
untuk lebih sering bertemu, silaturrahim dan bersosialisasi satun sama lain.
Adapun rutinan keagamaan tersebut ialah yasinan rutin yang di adakan disetiap
rumah warga secara bergiliran dan pengajian setiap subuhnya, yasinan seperti ini
di bagi atas kelompok Rt/Rw, setiap Rt/Rw mempunyai kelompok yasinan yang
setiap kamis malam rutin dilakukan dalam satu kali satu minggu. Hal ini membuat
intensitas bertemunya masyarakat lebih sering sehingga mereka mendapatkan
suasana kekeluargaan.
G. Tinjauan Umum Terhadap Proses Pelaksanaan Adat Hantaran Pada
Masyarakat Desa Pulau Batu
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemberian barang hantaran
nikah atau uang hantaran ialah barang atau uang sebagai pemberian dari pihak
laki-laki kepada calon mempelai untuk biaya perkawinan, dalam istilah lain
disebut juga uang jujur, yaitu uang yang diberikan calon pangantin laki-laki
kepada calon pengantin perempuan.81
81
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), h.1766
59
Pada dasarnya pemberian hantaran nikah ini merupakan tradisi
masyarakat yang telah dibangun sejak zaman dahulu oleh Nenek Moyang
masyarakat setempat. Seperti yang berlaku di Desa Pulau Batu Kecamatan
Jujuhan Ilir ini, walaupun di desa-desa atau tempat daerah lain banyak juga yang
melakukan hal serupa, akan tetapi proses pelaksanaannya dan kata-kata atau
pantun sebelum memulai pemberian hantaran yang membedakan, biasanya
masyarakat Pulau Batu sebelum memberikan hantaran ada penyampaian kata-
kata dengan berbalas pantun antara ninek mamak kedua calon mempelai.
Pemberian barang hantaran sudah menjadi bagian yang umum dalam
rangkaian pernikahan dalam masyarakat Desa Pulau Batu. Hantaran merupakan
simbolis dari pihak mempelai pria sebagai wujud tanggung jawab kepada pihak
keluarga terutama orang tua calon pengantin wanita. Sejarah dimulainya tradisi ini
pun masih belum diketahui sejak kapan. Tidak ada tulisan yang menjelaskan asal
muasal tradisi ini dimulai. Diperkirakan sebelum agama Islam masuk ke
Indonesia, tradisi ini dimulai oleh para nenek moyang terdahulu. Setelah agama
Islam masuk pun, tradisi atau prosesi simbolis ini masih dipertahankan karena
menyimpan nilai yang luhur dan moral tanggung jawab yang tinggi dalam
mengaruhi bahterah rumah tangga ke depannya. Itulah alasan kenapa tradisi
hantaran ini masih dipertahankan.
Masyarakat Pulau Batu mengartikan hantaran sebagai suatu pemberian
yang diberikan oleh pihak laki-laki pada saat sebelum terjadinya akad nikah atau
pernikahan, pemberian hantaran menjadi salah satu bagian penting dalam
rangkaian upacara pernikahan. hantaran merupakan simbol tanggung jawab pihak
60
keluarga terutama orang tua calon pengantin perempuan, karena peran orang tua
wanita dalam menghargai anak agar di lepas tangan yang bisa sepenuhnya
bertanggung jawab. Adapun dilaksanakannya adat hantaran baisanya satu minggu
sebelum akad pernikahan, biasanya pemberian hantaran dilakukan beberapa hari
sebelum akad pernikahan di langsungkan.
Adapun bentuk dari hantaran tersebut ialah berupa uang, emas perhiasan,
pakaian, makanan, buah-buahan ataupun perlengkapan lainnya. Barang hantaran
tidak mesti seperti diatas, akan tetapi sesuai budget atau kesepakatan kedua calon
mempelai. Intinya ialah barang hantaran biasanya yang bisa dipakai calon
penganti perempuan.82
Masyarakat Desa Pulau Batu memang kaya akan adat atau
tradisi-tradisi. Tradisi yang ada di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir tidak
hanya saat kematian, acara keagaman, dan kehidupan sehari-hari saja, akan tetapi
yang menuju pada terjadinya suatu pernikahan seperti pemberian hantaran.
Proses Hantaran pada awalnya iring-iringan dari pihak laki-laki memasuki
rumah pihak wanita yang diiringi dengan barang hantaran belanja yang telah
ditetapkan kedua calon mempelai sebelumnya dengan dibawa oleh dayang-
dayang atau gading-gading dari pihak laki-laki.
Adapun bentuk dari hantaran tersebut ialah berupa, emas perhiasan,
pakaian, perawatan tubuh, kosmetik, pakaian perlengkapan wanita, perlengkapan
ibadah, makanan dan buah-buahan. Ada juga sejumlah uang yang sebelumnya
telah ditetapkan sebagai nominal jumlah uang hantaran dan semuanya dikemas
dalam bentuk wadah yang unik dan menarik. Barang hantaran tidak mesti seperti
82
Baijuri, (Tokoh Adat), Wawancara, Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir, 15
Januari 2017
61
diatas, akan tetatapi sesuai budget atau kesepakatan kedua calon mempelai.
Intinya ialah, barang hantaran biasanya yang bisa dipakai oleh calon penganti
perempuan. Dan adapun barang yang akan dijadikan sebuah hantaran biasanya
atas kesepakatan kedua bela pihak dari laki-laki maupun perempuan dan
terkadang hanya pihak laki-laki saja yang menentukan barang hantaran yang akan
diberikan, tergantung kesepakatan ninik mamak antar kedua bela pihak calon
mempelai (utusan perwakilan dari kedua mempelai). Namun yang sering terjadi
kesepakatan antara kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan.
Setelah barang hantaran telah ditetapkan, kemudian kedua calon
mempelai pria dan wanita menentukan tanggal ataupun hari untuk melakukan
pemberian hantaran tersebut. Setelah hari pemberian hantaran telah ditetapkan
oleh kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan, barulah memasuki proses-
proses pemberian hantaran tersebut. Proses pemberian hantaran ialah dengan
memasuki rumah pihak wanita, rombongan dari pihak laki-laki dipersilahkan
duduk. Dan utusan dari pihak laki-laki dan wanita saling bersalaman, kemudian
utusan dari pihak laki-laki mulai menyampaikan beberapa bait pantun terlebih
dahulu yang kemudian akan dibalas oleh utusan dari pihak perempuan sebagai
kata pengantar dan pantun ini diucapkan sebelum acara pemberian hantaran di
mulai.83
83 Baijuri, (Tokoh Adat), Wawancara, Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir, 15
Januari 2017
62
BAB IV
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PEMBERIAN
BARANG HANTARAN SEBAGAI SYARAT PERKAWINAN PADA
MASYARAKAT DESA PULAU BATU
A. Analisis Terhadap Proses Terjadinya Tradisi Pemberian Barang
Hantaran Sebagai Syarat Perkawinan Pada Masyarakat Desa Pulau
Batu
Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah Swt sebagai jalan bagi
manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah
masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan. Perkawinan salah satu sunnatullah yang umum
berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-
tumbuhan.84
Begitulah kehendak Allah Swt, dalam segala ciptaanNya, dari jenis
manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Melalui perkawinan antara pasang-
pasangan itulah semuanya beranak pinak dan berkembang biak, sehingga
menjamin kesinambungan jenis masing-masing, terus menerus sampai akhir yang
dikehendaki olehNya.
Untuk itulah, dalam diri masing-masing pasangan yang laki-laki dan
perempuan (pada jenis manusia) atau yang jantan dan yang betina (pada jenis
hewan), Allah Swt menciptakan berbagai instrumen khusus, yang memiliki
84
Moh Thalib, Fikih Sunnah, (PT Al-Ma‟arif: Bandung, 1981), h. 5
63
insting atau hasrat seksual (syahwah) yang saling tarik menarik antar keduanya.
Dengan insting itu, mereka saling terdorong untuk melaksanakan tugas masing-
masing dengan sebaik-baiknya, demi mencapai tujuan yang mulia yang memang
telah ditetapkan olehNya. Khusus kepada jenis manusia, Allah Swt berfirman:
لببئم ب ب جؼهب كى شؼ ثى أ ركش ب انبط إب خهمب كى ي : انحجشاث... )نخؼبسفاآ أ
١٢)
Artinya: Wahai manusia sekalian, sungguh kami telah menciptakan kamu
dari jenis laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal... (QS Al-Hujurat: 13).
Disamping itu, Allah Swt tidak menghendaki menjadikan manusia
makhluk yang paling dimuliakan olehNya. Allah Swt menjadikan semua makhluk
itu sama seperti makhluk-makhluk yang lainnya, yang menyalurkan syahwah
(hasrat seksual) nya dalam hubungan antara kedua jenis kelamin yaitu laki-laki
dan perempuan atau (jantan dan betina) secara bebas-sebebasnya, tanpa batas dan
tanpa aturan, akan tetapi ditetapkan bagi manusia aturan main yang aman dan
sempurna, yang menjaga kemuliaannya dan menjaga kehormatannya. Yaitu dalam
sebuah lembaga yang dikenal sebagai “pernikahan”, dan yang dalam agama Islam,
bahkan dalam semua agama samawi, dijadikan sebagai satu-satunya cara
penyaluran yang sah dan di ridhai Allah Swt.85
Adapun dalam istilah hukum syariat, nikah adalah akad yang
menghalalkan pergaulan sebagai suami-istri (termasuk hubungan seksual) antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan bukan mahram yang memenuhi berbagai
85 Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Mizan Media Utama: Bandung, 2002),
h. 1
64
persyaratan tertentu, dan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing demi
membangun keluarga yang sehat secara lahir dan batin. Dan adapun tujuan dari
perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, warahmah.86
Pernikahan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat sah
dan rukun nikah. Salah satu syarat sah pernikahan adalah dengan adanya
pemberian mahar atau maskawin kepada calon mempelai istri. Islam sangat
memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak
kepadanya, di antaranya, adalah hak untuk menerima mahar.
Mahar secara etimologi artinya maskawin, sedangkan secara termonologi
mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri
kepada calon suaminya. Mahar terbagi menjadi dua yaitu, mahar musamma dan
mahar misil. Mahar musamma adalah mahar yang disebut dengan jelas jumlah
dan jenisnya dalam suatu akad nikah, sedangkan mahar misil adalah mahar yang
tidak disebutkan jumlah dan jenisnya dalam suatu akad nikah.
Menurut Imam Syafi‟i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang
wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dapat
menguasai seluruh badannya. Sedangkan menurut Imam Maliki adalah, karena
mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Maliki mengatakannya
86 Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Mizan Media Utama: Bandung, 2002),
h. 3
65
sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.87
Allah SWT
berfirman dalam surat an-Nisa‟ ayat 24
فشضت ... )انغبء: س أج فئبح ي خؼخى ب ب عخ (٣٩... ف
Artinya: Maka istri-istri yang kamu nikmati (campuri) di antara mereka,
berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu
kewajiban. (QS an-Nisa‟: 24)
Selain itu kewajiban juga disebutkan dalam as-Sunnah, sebagai berikut:
بس د حبصو ب إب كغ ػ حذثب عهى حذثب ح صم هللا ػه انب م عؼذ أ ع ػ
حذذ )سا بخبسي( بخبحى ي ن ج لبل نشجم حض88
Artinya: Telah berkata Yahya, telah berkata Waqiq dari Abi Hazim bin
Dinar dari Sahal bin Said. Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda
kepada seorang laki-laki: Hendaklah kamu menikah walaupun dengan cincin dari
besi. (HR. Bukhori).
Hadits ini menerangkan mengenai kewajiban memberikan mahar
sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian pula tidak ada keterangan bahwasanya
Nabi Muhammad SAW pernah meninggalkan mahar pada suatu pernikahanNya.
Jika mahar tidak wajib maka nabi pernah meninggalkannya walaupun sekali
dalam kehidupannya yang berarti menunjukkan ketidakwajibannya.89
Menarik sebuah kesimpulan pada ayat al-Qura‟an dan Hadits di atas
bahwasannya memberikan sebuah mahar tidak harus dengan barang yang mewah
ataupun barang yang mahal, akan tetapi menurut kesanggupan seseorang apabila
87
Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (CV Pustaka Setia: Bandung, 1999),
h. 107
88
Imam Hafidh Ibn Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al Bukhari, Sahih Bukhari, (Riyadh:
Baitul Afkar Abdauliyah, 1998), h. 601
89
Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,
(Jakarta: Amzah, 2011), h. 177
66
hendak melaksanakan pernikahan dan menjadi suatu kewajiban untuk
membayarnya apabila telah terjadi dukhul atau telah dicampuri. Akan tetapi pada
masyarakat Desa Pulau Batu selain memberikan mahar dari calon suami kepada
calon istri pada saat akad nikah masih ada tradisi ataupun kewajiban pemberian
barang hantaran menjelang pernikahan. Pemberian barang hantaran yaitu
penyerahan barang dari pihak calon pria atau calon suami kepada calon istri.
Pemberian barang hantaran ini biasanya dilaksanakan satu minggu sebelum akad
pernikahan dilaksanakan, penetapan pelaksanaan pemberian barang hantaran ini
dilaksanakan setelah keputusan dari ninek mamak kedua bela pihak (perwakilan
dari kerabat kedua belah pihak).
Tradisi pemberian barang hantaran ini telah ada sejak zaman dulu, tidak
ada ketetapan lahirnya atau kapan tradisi pemberian barang hantaran ini ada.
Tradisi pemberian barang hantaran ini sudah menjadi adat kebiasaan apabila
hendak melaksanakan pernikahan oleh masyarakat Desa Pulau Batu. Pemberian
barang hantaran ini berbeda dengan mahar yang disebut sangat jelas pada saat
akad nikah.
Tradisi pemberian barang hantaran ini tidak bisa disamakan dengan
dengan mahar, adapun perbedaan diantara keduanya adalah:
1. Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai
ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih kepada
calon istrinya. Sedangkan tradisi pemberian barang hantaran adalah
pemberian sebagai rasa kasih sayang, pemberian untuk menghormati adat
67
yang telah berlaku sejak zaman dulu dan serta untuk menghormati
keberadaan keluarga calon istri, pemberian barang hantaran ini tidak
wajib hukumnya karena tidak ada aturan yang berlaku dalam syari‟at
Islam.
2. Pemberian mahar dari calon suami kepada calon istri sudah jelas
perintahnya dalam al-Qur‟an dan Hadits, sedangkan pemberian barang
hantaran ini tergantung terhadap sebuah kebiasaan atau adat yang berlaku,
tidak ada perintah yang jelas untuk mewajibkan pemberian barang
hantaran tersebut.
3. Mahar adalah barang tertentu permintaan calon istri dan hasil dari
persetujuan istri, sedangkan pemberian barang hantaran tergantung atas
kesepakatan ninek mamak kedua belah pihak.
4. Mahar digunakan sepenuhnya untuk istri dan suami, boleh menggunakan
mahar atas dasar izin dari istri, sedangkan barang hantaran bisa digunakan
untuk kepentingan kedua calon mempelai baik suami maupun istri,
tergantung manfaat barang yang diberikan oleh calon suami.
5. Bentuk dari mahar biasanya untuk keperluan istri saja, sedangkan barang
hantaran bisa untuk keperluan kedua calon suami ataupun istri.
6. Mahar tidak bisa ditarik kembali apabila telah terjadi setubuh (dukhul)
antara keduanyaa, sedangkan barang hantaran bisa ditarik kembali
sepenuhnya apabila terjadi setubuh dukhul.
7. Mahar menjadi hak istri sepenuhnya apabila sudah terjadi setubuh dukhul
antara si suami dan si istri, sedangkan barang hantaran menjadi hak
68
sepenuhnya atas suami baik sebelum atau sesudah pernikahannya
walaupun sudah terjadi setubuh (dukhul) dan walaupun sudah dikarunia
anak.
Pemberian barang hantaran adalah tanda untuk menghormati adat yang
berlaku serta untuk menghargai keberadaan dari keluarga calon suami kepada
calon istri. Pemberian barang hantaran ini bisa dikategorikan sebagai bukti
bahwasannya calon suami telah siap dan serius sepenuhnya untuk menikah dan
memimpin rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Pada saat
pemberian barang hantaran ini terdapat kata-kata penyampaian khusus yang
disampaikan oleh ninek mamak dari pihak calon suami dan kemudian dibalas pula
oleh ninek mamak dari calon mempelai istri, adapun kebiasaan khusus kata-kata
penyampaian ini biasa dinamakan “kato-kato pengulur atau pengantar dari pihak
jantan” (kata-kata pengantar dari pihak laki-laki), dan adapun dari pihak
perempuan adalah “kato-kato penjawat dari pihak betino” (kata menerima dari
pihak perempuan).
Tradisi pemberian barang hantaran ini berlaku bagi pihak perempuan yang
berasal dari Desa Pulau Batu, dan apabila perempuan ada yang berasal dari luar
wilayah yang tidak tergolong dalam seloko sepucuk jambi sembilan lurah Provinsi
Jambi (satu kesatuan rakyat dan wilayah Jambi dalam bingkai Negara kesatuan
Republik Indonesia) yang menggunakan adat pemberian hantaran yang serupa,
maka boleh dilaksanakan dan boleh tidak, tergantung permintaan dari ninek
mamak pihak perempuan ataupun kesepakatan bersama dalam memakai adat
hantaran tersebut.
69
Akibat hukum dari pemberian barang hantaran tersebut ialah apabila
kemungkinan pihak laki-laki tidak bisa memberikan barang hantaran tersebut
maka laki-laki tersebut dianggap tidak bisa menghormati keberadaan adat yang
berlaku di desa setempat, serta pihak laki-laki tidak bisa menghargai pihak
perempuan beserta keluarganya, karena pada masyarakat setempat menganggap
perempuan sesuatu yang sangat berharga dan di junjung tinggi keberadaannya,
serta laki-laki tersebut tidak bisa menjaga nama baik keluarga perempuan yang
mana akan menjadi buah bibir dimasyarakat setempat apabila pihak laki-laki tidak
bisa memberikan barang hantaran tersebut. Disamping itu pihak laki-laki
dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan ada kemungkinan
pihak laki-laki akan mempermalukan pihak perempuan. Tradisi tersebut berlaku
bagi semua kalangan baik itu orang kaya maupun orang yang tidak mampu.
Dalam hukum Islam pemberian barang hantaran sebagai syarat sah nya
perkawinan selain mahar ini memang tidak dijelaskan dan apabila tidak
dilaksanakan tidak melanggar syariat Islam, akan tetapi apabila pemberian barang
hantaran ini tidak terpenuhi maka hal ini dianggap telah melanggar norma
kebiasaan, karena masyarakat Desa Pulau Batu sendiri menganggap pemberian
barang hantaran ini harus selalu terlaksana dalam setiap pernikahan yang akan
dilaksanakan.
Adapun pemberian barang hantaran tersebut dikategorikan sebuah
kewajiban apabila tidak terpenuhi maka akan menghambat proses perkawinan,
karena calon mempelai perempuan dan pihak keluarga akan menjadi bahan
gunjingan serta merasa dipermalukan ditengah-tengah masyarakat karena tidak
70
mendapat barang hantaran yang mana sudah menjadi sebuah kebiasaan apabila
hendak melaksanakan perkawinan. Pemberian barang hantaran ini adalah simbol
utama bagi calon laki-laki bahwasannya telah mampu untuk melaksanakan
pernikahan dan pihak perempuan merasa dihargai dan percaya bahwasannya
anaknya berada ditangan suami yang bisa bertanggung jawab sebagai seorang
pemimpin rumah tangga apabila suatu saat jauh dari orang tuanya. Pernikahan
memang tidak selalu berujung dengan kebahagiaan, terkadang pernikahan
berujung dengan pertengkaran dan kemudian berakhir dengan perceraian. Di Desa
Pulau Batu apa bila terjadi perceraian maka barang hantaran yang diberikan pada
saat mejelang pernikahan boleh diambil kembali oleh pihak laki-laki, hak
sepenuhnya tergantung pihak laki-laki, boleh dibawa kembali dan boleh ditinggal
untuk anak-anaknya.90
B. Analisa Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemberian Barang Hantaran
Desa Pulau Batu
Hukum Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar akan
kenyataan bahwa adat kebiasaan dan tradisi telah memainkan peran penting dalam
mengatur kehidupan manusia dikalangan anggota masyarakat. Adat kebiasaan
kedudukan pula sebagai hukum yang tidak tertulis, namun sangat dipatuhi oleh
masyarakat.
90
Baijuri (Tokoh Adat), Wawancara, Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir, 17
Februari 2017
71
Dalam kehidupan masyarakat banyak sekali kegiatan dan aturan yang ada
berasal dari nenek moyang. Adat atau tradisi ini telah turun temurun dari generasi
ke generasi yang tetap dipelihara hingga sekarang. Dalam aktivitas praktis
manusia, tradisi menjadi hal yang begitu penting. Fungsi tradisi memberikan
pedoman untuk bertindak dan memberikan setiap orang nilai-nilai perilaku sesuai
adat atau kebiasaan yang berlaku.
Agama Islam sebagai agama yang bersifat rahmatan lil‟alamiin tidak
melarang pelaksanaan adat dan tradisi selama hal tersebut tidak bertentangan
dengan syariat Islam. Selama adat dan tradisi berjalan sesuai dengan hukum
Islam, maka tradisi tersebut pengakuan dari syara‟ sebagai bentuk keefektifan adat
istiadat dalam interpretasi hukum.
Terkait dengan tradisi yang berlaku di Desa Pulau Batu yaitu Tradisi
Pemberian Barang Hantaran ini tidak bisa ditinggalkan dan sudah menjadi sebuah
hukum yang tidak tertulis secara turun-temurun yang berlaku pada masyarakat
setempat.
Secara penelusuran literatur, penulis tidak menemukan nash al-Qur‟an
baik yang bersifat qoth‟i maupun dzonni yang membahas tentang pemberian
barang hantaran sebagai syarat perkawinan, begitupun dengan hadits, ijma‟
maupun pembahasan pada kitab-kitab fikih klasik tidak ada yang menerangkan
tentang barang hantaran sebagai syarat perkawinan, untuk itu peneliti akan
menggunakan tinjauan al-„urf (adat kebiasan) sebagai upaya pencarian hukum.
Pelaksanaan tradisi pemberian barang hantaran walaupun tidak tercantum
dalam hukum Islam, hal ini tidak bertentangan dengan syari‟at Islam dan tidak
72
merusak akidah karena salah satu fungsi dari pemberian barang hantaran ini
adalah sebagai tanda kesanggupan atau tanda bahwasannya mempelai laki-laki
siap menjadi pemimpin dan memikul beban tanggung jawab sebagai kepala rumah
tangga. Adat seperti ini disebut dengan al-„Urf al-Shahih yaitu adat yang baik,
sudah benar dan bisa dijadikan pertimbangan hukum.
Adapun penetapan beberapa persyaratan untuk diterimanya „urf tersebut
adalah:
1. Adat atau „urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat
2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang
berada dalam lingkungan adat itu, atau dikalangan sebagian besar
warganya.
3. „Urf yang dijadikan sandran dalam penetapan hukum itu telah berlaku
pada saat itu, bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti „urf itu
harus telah ada sebelum penetapan hukum.
4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada ataj
bertentangan dengan prinsip yang pasti
5. „Urf itu harus termasuk „urf yang shahih dalam arti tidak bertentangan
dengan ajaran al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah.
Tradisi pemberian barang hantaran sebagai syarat pernikahan dalam
sebuah problema ketentuan pernikahan ini merupakan tradisi yang sesuai dengan
syarat-syarat diterimanya „urf, sehingga tradisi pemberian barang hantaran ini
boleh dikerjakan oleh masyarakat.
73
Tradisi pemberian barang hantaran di dalam pernikahan menurut Islam
yaitu:
1. „Urf Shahih yaitu sesuatu yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak
bertentangan dalil syara‟, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan,
dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib. Tradisi pemberian barang
hantaran di dalam pernikahan di Desa Pulau Batu ini sudah dikenal dan
sebagian masyarakat desa Pulau Batu melaksanakan tradisi atau adat
kebiasaan ini, dan juga tradisi ini tidak bertentangan dengan dalil-dalil
syara‟ ataupun tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
wajib.
2. „Urf Fi‟li yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan Tradisi ini
merupakan tradisi pemberian barang hantaran di dalam pernikahan di Desa
Pulau Batu berbentuk perbuatan yakni penyerahan barang hantaran yang
biasanya berupa kasur, lemari, alat-mandi dan lain-lain yang bisa digunakan
oleh pasangan suami istri apabila sudah menjadi pasangan suami istri yang
sah. Biasanya pemberian barang hantaran ini biasanya dilaksanakan satu
minggu sebelum ijab kobul, tergantung kesepakatan ninek mamak kedua
mempelai.
3. „Urf Khusus yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat
tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku disemua tempat dan
disembarang waktu. Tradisi pemberian barang hantaran di dalam
pernikahan di Desa Pulau Batu merupakan tradisi khusus karena model
74
tradisi pemberian barang hantaran di dalam pernikahan di Desa Pulau
Batu yang ada di Desa tersebut khususnya lebih umum se Provinsi Jambi.
Adapun dalil tentang kehujjahan al-„urf sebagai seumber hukum Islam
adalah dalam surat al-A‟raaf ayat 199
)الػشاف: ه نجب أػشض ػ أيش ببنؼشف (١٤٤خز انؼف
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma‟ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A‟raaf”
199). Kata al-„urf dalam ayat tersebut, yang mana manusia disuruh
mengerjakannya, oleh Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan
telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami
sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap baik sehingga telah
menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‟ruf artinya sesuatu yang
diakui baik oleh hati. Ayat diatas tidak diragukan lagi bahwa suruan ini
didasarkan pada pertimbangan yang baik pada umat, dan hal menurut kesepakatan
mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Oleh karena itu kata al-ma‟ruf hanya
disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia,
baik dalam soal mu‟amalah maupun adat istiadat. Dan ayat tersebut juga bisa
dikategorikan sebuah isyarat agar manusia mengerjakan kebiasaan yang baik,
kaidah menunjukkan pengertian bahwa perintah untuk melakukan perkawinan
juga mengandung arti perintah untuk melakukan upaya untuk tercapainya tujuan
perkawinan, meskipun tidak diatur dalam al-Qur‟an dan sunnah.
Tradisi pemberian barang hantaran apabila ditinjau dari segi sosiologi
hukum, dimana sosiologi hukum merupakan disiplin ilmu yang sudah sangat
75
berkembang. Suatu pendekatan sosiologis biasanya bersifat pragmatis yang
artinya menganalisis gejala-gejala sosial dengan seidkit mengabaikan kebudayaan
yang ada secara menyeluruh. Pendekatan sosiologis biasanya bersifat lebih pada
orientasi permasalahan, pendekatan sosiologis memusatkan pada perhatian
terhadap bagian tertentun dari masyarakat atau kebudayaan.
Hukum sosial didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, dan
kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta memperlancar
proses interaksi tersebut. Sehingga sering sekali hukum sosial dinamakan “a
system of stabilized interactional expentacies”
Konteks sosial dari masing-masing suku bangsa akan memberikan corak
warna tertentu pada setiap daerah. Sama halnya dengan Desa Pulau Batu yang
mempunyai tradisi pemberian barang hantaran, tradisi ini merupakan himpunan
nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perilaku yang berkisar pada kebutuhan-
kebutuhan pokok manusia.
Dalam teori Fungsionalis Strukturalis menyatakan bahwasannya setiap
elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas, fungsionalis cenderung
melihat masyarakat secara informal yang diikat oleh norma, nilai dan moral.
Fungsionalis memusatkan perhatian pada sesuatu yang diciptakan oleh nilai
kebersama masyarakat.
Adapun nilai moral yang berperan dalam tradisi ini, diantaranya adalah:
1. Nilai Kerukunan.
Dalam fakta dilapangan filosofi yang diambil dari tradisi
pemberian barang hantaran ini adalah keinginan masyarakat desa Pulau
76
Batu untuk menciptakan kerukunan antar keluarga pasangan yang akan
melaksanakan pernikahan. Oleh karena itu, tradisi pemberian hantaran ini
tetap dilaksanakan dan dilestarikan agar tercapai tujuan yang diharapkan
oleh masyarakat Pulau Batu
2. Nilai Keharmonisan
Dalam sebuah pernikahan apabila tidak tercapai suatu tujuan yang
diharapkan masyarakat dimana dalam suatu pernikahan tersebut tradisi
pemberian barang hantaran tidak sesuai dengan harapan maka akan
menimbulkan kendala dalam proses pernikahannya, dikarenakan keluarga
mempelai perempuan akan menjadi bahan gunjingan oleh masyarakat
setempat dikarenakan tidak terpenuhnya pemberian barang hantaran
tersebut. Oleh karena itu, masyarakat dalam menyikapi kondisi seperti ini
seharusnya membuat suatu aturan yang disepakati oleh sebagian besar
lapisan masyarakat agar kerukunan dan keharmonisan antara keluarga
tetap terjaga, maka dari aspek sosiologi tradisi pemberian barang hantaran
dibenarkan dan sudah seharusnya dilestarikan.
Pemberian barang hantaran di Desa Pulau Batu merupakan suatu
kewajiban yang harus terpenuhi dan terkadang dengan jumlah yang tidak
sedikit. Namun demikian dari hasil wawancara diperoleh bahwa laki-laki
yang ingin menikahi wanita dari Desa Pulau Batu merasa tidak terbebani
dengan nilai uang yang akan dibelikan untuk barang berupa hantaran yang
relatif cukup tinggi jumlah pengeluarannya karena dalam penentuan
barang hantaran itu sudah tidak menjadi rahasia umum lagi dan dianggap
77
masih dalam jangkauan kemampuan pihak laki-laki untuk memenuhi
pemberian barang hantaran yang dijadikan sebagai syarat pernikahan.
Selain itu para laki-laki memang telah mengetahui sebelumnya akan adat
tentang pemberian barang hantaran sehingga mereka telah mempersiapkan
segalanya sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Selama pemberian barang hantaran tidak mempersulit terjadinya
pernikahan maka hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam dan
yang paling penting adalah jangan sampai ada unsur keterpaksaan dalam
pemberian barang hantaran sebagai mana yang dijelaskan dalam firman
Allah SWT surah al-Baqoroh ayat 185 bahwa Allah SWT tidak
menghendaki kesukaran bagi hamba-hambaNya.
Hukum Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar
akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah mendapat peran penting dalam
mengatur ketertiban hubungan sosial dikalangan anggota masyarakat. Adat
kebiasaan berkedudukan pula sebagai hukum yang tidak tertulis dan
dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan rasa kesadaran hukum mereka.
Adat kebiasaan yang tetap sudah menjadi tradisi dan telah mendarah
daging dalam kehidupan masyarakatnya.
Menurut pemuka adat Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir,
pemberian barang hantaran ini adalah sebagai „urf karena sudah menjadi
kebiasaan turun-temurun di masyarakat dan rata-rata sudah menjadi
sebuah tradisi pada adat Jambi dimana pada Desa tersebut masih kental
adat istiadatmya. Namun penulis tidak sepakat apabila pelaksanaan
78
pemberian barang hantran cenderung memberatkan serta menimbulkan
dampak buruk bagi calon mempelai laki-laki, maka bisa dianggap tradisi
atau adat seperti ini sebagai „urf fasid sedangkan apabila tidak
memberatkan dan terdepat suatu kerelaan serta menimbulkan keridhaan
dan serta kedamaian bagi semua pihak maka dapat dikategorikan sebagai
„urf shahih dan sepantasnya kebiasaan atau adat pemberian barang
hantaran tetap dilaksanakan dan dilestarikan.
79
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah meneliti dan mengamati system pelaksanaan dan kewajiban
pemberian barang hantaran Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir Kabupaten
Muara Bungo Provinsi Jambi maka penyusun dapat mengambil kesimpulan
bahwa: Masyarakat Desa Pulau Batu kaya akan tradisi, seperti tradisi
pemberian barang hantaran pada saat menjelang pernikahan. Pemberian barang
hantaran adalah pemberian suatu barang calon suami kepada calon istri.
Pemberian ini sebagai tanda bukti keseriusan dan kemampuan calon suami untuk
hidup bersama dalam sebuah keluarga bersama calon istri. Sebagian besar
masyarakat Desa Pulau Batu melakukan tradisi seperti ini, sehingga apabila terjadi
perceraian baik sebelum atau sesudah dukhul maka barang hantaran bisa ditarik
kembali. Tradisi pemberian barang hantaran ini sudah dikenal oleh semua
masyarakat Desa Pulau Batu dan dilaksanakan dari dahuku kala. Tradisi ini adalah
adat yang dianggap baik oleh masyarakat dan dilestarikan oleh masyarakat pula,
akan tetapi tradisi ini boleh ditinggalkan kalau memang tidak mampu dan
memberatkan calon mempelai pria karena pada dasarnya pemberian barang
hantaran tidak dijelaskan dalam syariat Islam. Status hukum kewajiban
pemberian barang hantaran di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir termasuk
„urf shahih karena tradisi tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan
norma-norma yang ada. Selain itu juga tradisi pemberian barang hantaran
80
termasuk „urf „amali karena tradisi tersebut berbentuk perbuatan yang
dilaksanakan
B. Saran-saran
Berdasarkan permasalahan yang penulis bahas dalam skripsi ini, penulis
hendak menyampaikan saran sebagai berikut:
1. Hendaknya pemberian barang hantaran ini tidak memberatkan seorang
pria untuk menikahi seorang perempuan karena pemberian tersebut
sifatnya tidak wajib berbeda dengan mahar yang pemberiannya diwajibkan
oleh Allah Swt dan pemberian barang hantaran ini disesuaikan atas
kemampuan pihak laki-laki sehingga walaupun pemberian barang
hantaran ini sudah menjadi adat kalau tidak mampu jangan dipaksakan
untuk melaksanakan adat pemberian barang hantaran ini.
2. Apabila pemberian barang hantaran ini memberikan keridhoan dari semua
pihak dan tidak mendatangkan beban dari pihak laki-laki maka akan lebih
baik lagi jika adat pemberian barang hantaran ini tetap dilestarikan.
81
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemannya
Josep Schacht (Oxpord University Press, London, 1965), Pengantar Hukum
Islam, Penerjemah Joko Supomo, Bandung: Ujung Berung, 2010
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002
Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Surakarta:
Era Intermedia, 2005
Soemiyati, Hukum Perkawinaan Islam Dan Undang- Undang Perkawinan
(Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawian), cet ke-4,
Yogyakarta: Liberti, 1999
Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial; Peralihan
Tafsir Seksualitas, cet. ke-1, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999
Moh Thalib, Fikih Sunnah, Bandung, PT Al-Ma‟arif, 1981
Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademia Pressindo, 1992
Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2007
Moh. Idris Ramulto, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1995
Moh Thalib, Fikih Sunnah, Bandung: Al-Ma‟arif, 1990
Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1974
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang perkawinan, Jakarta: Kencana, 2009
Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2007
Sayyid Sabbiq, Fikih Sunnah 7, Bandung: Al-Ma‟arif, 1990
Darmawan, Eksistensi Mahar Dan Walimah, Bandung: Srikandi, 2007
82
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2009
Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Skripsi, Surabaya:
Fakultas Syari‟ah, 2014
Furidatul Ashriyah, “Analisa Hukum Islam Terhadap Putusan Perceraian Dengan
Syarat Pihak Perempuan Harus Mengembalikan Seserahan Adat”,
Surabaya: Skripsi-IAIN Sunan Ampel, 2013
Nur Aini, Pemberian Barang Gawan Sebagai Syarat Sah Perkawinan dalam
Perspektif Hukum Islam, (Surabaya: Skripsi IAIN Sunan Ampel, 2011
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2005
Aham Zahro Al-Hasany, Islam dan Perempuan (Diskursus Islam, Pemikiran R.A
Kartini dan Feminisme), dalam Mansour fakih dkk, membincangkan
Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. Ke-2 Surabaya:
Risalah Gusti, 2000
A, Ghafur Aryono dan Moh, Isnanto (ed), membangun keluarga sakinah dan
maslahah, Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga dan IISEP-CIDA, 2006
Tolib Setiadi, Instasi Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),
Bandung: Alfabeta 2013
Yayan Sofyan, Pengantar Metode Penelitian, ciputat: t.p., 2010
Umar Husein, Metode Riset Komunikasi Organisasi, Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2005
Ibnu Mas‟ud, Fikih Madzhab Syafi‟I II, Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2007
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2007
Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, Bandung, Mandar Maju, 1997
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo
Persada, 2011
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana,
2007
83
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana Prenada Media
Group, 2003
Muhammad Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, Cipinang Muara, Jakarta: CV.
Cendakia Santri Muslim
Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, Yogyakarta: Gadja Mada University
Press Anggota Ikapi, 1990
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan
Bintang, 1993
Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003.
Dasar Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pada Pasal 1 dan
2.
M.A. Tihami dan sohari Sahrani, Fiqh Pernikahan, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2010
HR. Tirmidzi (no. 1358) Kitab Al-Ahkaam, dan dia menilai sebagai Hadits
Shahih, Abu Dawud (no. 3530) kitab Al-Buyuu‟, An-Nasa‟i (no. 4450),
Ibnu Majah (no. 2290) Kitab At- Tijaaraat, Ahmad (n0. 25126),
Mu‟jamul Ausath (no. 4486, 4487)
LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA
Narasumber Al-Baijuri
Pekerjaan Kepala Adat dan Imam Masjid
Tempat Wawancara Rumah
Waktu Wawancara 13.00-15.20 WIB
Tanggal Wawancara 17 Februari 2017
1. Menurut bapak apa yang dimaksud dengan Hantaran ?
Hantaran adalah pemberian beberapa barang dari laki-laki kepada pihak
perempuan yang berupa barang perabotan rumah tangga yang mana
disepakti oleh ninik mamak kedua bela pihak calon mempelai
2. Apa pengaruh terhadap pasangan suami istri apabila tidak melakukan
pemberian hantaran ?
Sebagai mana yang telah menjadi adat kebiasaan dari zaman dahulu,
apabila terdapat pihak pasangan calon suami istri tidak melaksanaka adat
hantaran ini, maka ada hal-hal yang tidak baik untuk didengar oleh
kalangan keluarga yang akan melaksnakan pernikahan tersebut, baik dari
kalangan mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan, adapun
dampak buruknya adalah mendapat gosip atau gunjingan dari masyarakat
setempat, untuk mempelai laki-laki adalah berkurangnya kepercayaan dari
pihak perempuan untuk dalam membina rumah tangga karena dari hal
yang kecil saja tidak mampu untuk bertanggung jawab apalagi untuk
menafkahi
3. Bagaimana pelaksanaan hantaran di kalangan masyarakat desa pulau batu
kabupaten muara bungo ?
Pada awalnya iring-iringan pihak laki-laki memasuki rumah pihak
perempuan diiringi dengan membawa barang hantaran yang dibawa oleh
dayang-dayang dari pihak laki-laki, barang hantran ini berupa peralatan
kosmetik, pakaian, perabotan, perlengkapan wanita, makanan dan buah-
buahan dan sejumlah uang yang sebelumnya telah disepakati sebagai
nominal jumlah uang, uang ini boleh diberi dan boleh tidak, menurut
kesepakat dari remukan ninek mamak kedua belapihak, kalau memang
ada, jumlah uang ini dibentuk dan dikemas denfan wadah yang unik dan
menarik. Setelah memasuki rumah wanita, rombongan dari pihak laki-laki
dipersilahkan duduk. Dan kemudian utusan dari pihak laki-laki dan wanita
bersalaman dengan beberapa buah pantun sebagai kata pengantar. Dan
kemudian barulah pihak laki-laki menyambut satu persatu barang hantaran
ini.
4. Apa pendapat bapak tentang adat hantaran jika dikaitkan dengan hukum
Islam, apakah bertentangan dengan hukum Islam atau tidak bertentangan
dengan hukum Islam ?
Tidak bertentangan dengan hukum Islam selama tidak ada ijtihad ulama
yang mengharamkan adat hantaran karena di dalam al-Quran dan hadis
tidak dibahas dan adat ini tidak memberatkan karena sesuai dengan
kesepakatan kedua mempelai
HASIL WAWANCAR
Narasumber Supendri
Pekerjaan Petani
Tempat Wawancara Rumah
Waktu Wawancara 20.15-21.30 Wib.
Tanggal Wawancara 10 Februari 2017
1. Menurut bapak apa yang dimaksud dengan Hantaran ?
Hantaran itu adalah pemberian suatu barang dari pihak laki-laki kepada
pihak perempuan yang mana barang hantaran tersebut telah disepakati oleh
kedua belapihak mempelai laki-laki maupun perempuan, kesepakatan oleh
kedua nenek mamak dari kedua mempelai.
2. Pada tanggal, bulan dan tahun berapa bapak melaksanakan pernikahan ?
Saya melaksanakan pernikahan waktu itu pada tanggal 18 maret 2010
3. Istri bapak berasal dari daerah mana ?
Istri saya berasal dari desa yang sama sehingga tidak repot-repot untuk
mencocokkan adat yang akan kita pakai
4. Pada waktu itu barang apa saja yang anda berikan kepada istri bapak ?
Pada waktu saya memberikan barang hantaran waktu itu berupa, Kasur,
lemari, gordeng, baju tidur, mukenah, piring dan gelas (satu lusin), dan
peratan mandi (sabun, sikat gigi, shampo).
5. Apakah adat hantaran ini memberatkan bapak waktu ingin melaksanakan
pernikahan pada waktu itu ?
Adat yang seperti ini tidak memberatkan sama sekali, karena adat hantaran
ini akan menentukan kesiapan kita dari segi nefkahi anak dan istri kita
kelak
6. Apa pendapat bapak tentang kesiapan dalam menafkahi dengan adanya
adat yang seperti ini ?
Disini kita di uji kesiapan kita dalam membangun rumah tangga dalam
segi ekonomi untuk memberi nafkah anak istri kita, seandainya kita siap
dalam memberikan hantaran, maka untuk kedepannya kita punya modal
dan tanggung jawab untuk kewajiban kita atas itri dan anak-kita,
seandainya peraturan dasar dari adat saja kita tidak bisa memenuhi,
bagaimana kedua orang tua dari pihak perempuan akan mempercayai
kalau kita telah mampu dan siap sepenuhnya membangun rumah tangga
yang akan menentukan nasib anak dan istri kita.
7. Dengan adanya adat pemberian barang hantaran ini, berarti anda setuju
dengan adat yang berlaku ?
Sebagai masyarakat, saya setuju dan mendukung adanya adat pemberian
barang hantaran ini, karena adat ini bisa dikatan sebuah uji coba kesiapan
untuk calon mempelai laki-laki dan selama adat itu masih diterima
dikalangan orang banyak serta tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan
syariat yang berlaku
d1s.ry 'te8runp;1 urnInH rpnlg uerSorcJ slrslaDlas .Z
tunlnH uep qurru,(g sulpllu{ uuumslsuqtstua;tr + TrLuapB>lV Beqnsey .l:epeda>1 luurroq uu8uap uelpduresr6
:uEsnqluaI
'rIIsET Erur.reJ ueldern rure>l EJEpnes rruerpasa{ su}u qp1upr>lruraC
,,e1re1u[ qellnludeprg;ue,(g NIn urn{nH uep tierru,(gsPlln{pd rsdrr4g uesrlnuacl ueuropad,, nilrq epeda4 Trfnraru e,(edns uesrlnuad Ilu>lal
.z
uuBtrrndrua(uad uup uuqeqnrad ue>leperp ledep nJrad euuurlp ault ruo uep ueseqEq {ldor .I:tn{rraq re8uqas qpiapg uulSuequrqradrp ledep Buel 1eq uduraqag
(tul utnqnh[ uX ryag naln(Ilsaetp stlsox lpr49 lcpn{ Tapy ryqa.mrtsayt1 apacl uuutmw4acl anluoH tstputl
(9e.,{drqsqledg pr"rqy) etue8y uelrperad
/z}o}LwozltLIIpV uuJrllnl
rsdrrlg inpnlIPOId
I^iINuruEN
qry o\u ta qa m qu Llrua wp )a m un41u p naa p s s v
u1ru1e{ NIn um{nH uup qurruf,g se}F{uC uasoc
VHI'r.I'Ir{nds IuIEn[O'V'H'rOtuurroqral 8uu1
;sd;r1g Sulqruyquatr rpufuatu upelpasay uoqotr J: IBHlesodor4 so{rag (nres1 1: druel
9L0Z / zlhg / o' oo' cld /w fiuun : JoruoN
:enslsErlEur rsdrnls Surqurrqurad rpefuaru rnjun eJBpnps ueerpaserue{deruq8uatu e1re1u{ qe1p1e,(eprg 1re,{g NIn urnrnH uep qel.redg sqlnrec uuurdrur4
H 8€rI uPrreqnr\i,n9-i0Z:5q6iTOE,e1 r e 1 e I
qtll blu u qo m 14u11ryaru1p )D m u t
FfJETTfr.t-n@ilEf suru n q : IIBIU tr .p;.c u.14 [u ; n..tr^r,rr : a]lsqail\LtsrtLPL (rzo)'drar
uBlEIoS Suura8uua 1u1ndJ3 S6 'oN BpuBnf 'H xI 'll'
WO>IOH NIY(I HYTUVAS SYITOXYdYIUY>IYf HYTTTIIYAYOIH CruY,,T. SNrn) rugc ut{ rlirrrsr svrrsu'f,ArNlrr
I IIFT IIII I
YWY [) Y NIYTU UI I{ EIAI f>T
900 r €0?66r
100 r 0L/86t B0v0zpd'til 'qnrng p
rZ96 L'dlN Ico6; 's.r6Y
eqesn e1e1 ue16eg egedayuel€o 'u.E
' q /u' J /t4' Lu Dl ! e p, n u e p ss e /1
'q!seI eutrel ueldecn rurel 'e{uuenlueq uep euJese[rar1 selv
'pnsIEru!pisdlrls uest;nued eun6 elep Llaloredurau: euas eiecue/v\e^ Inlun uegnlEuesleq'6uert 'euueuou ledep nqlftedeg eriuetgl uoqoturp';sdr.r>1s uesrlnued ueqeq rde>16ue;eur {n}un
(.1111 ueqn[nl ueteueray nteg nelnd esa6 !O snse) lpnrs]ISWVTJ-VAV IVXVAVASVW VAVd NVNIIAVXA]d HVS IVAVAS IV7V€]3S NWVINVH ISICJVAL
:1npnI ue6uep rsdgtls unsn(uaui 6uepas 6ue/t euerei" Llelln]e{ep1p1 lrie,ig 1,111-1urnrnH uBp r-{ElreIg se1ln1eJ e/ stseqeu ueln>l6ues:eq 6ueI leuaq L{Blepe
: i3/v\Lleq uel6uelauauleire)ier qellnler(ep15 l1reIg Nln unInH uep qeltelg se1ln1eg uBIeo
'qA )/v1'wrullep,nuuelesSf
0088009stE80
Irlg ueqn[nf '3a) 'n]eg nelnd(qe,{r(rqsqe[g gerrqy) efu enlay u]nlnH
OILZOOOIWOZTIT
V66T taret4 91 / o8ung eren6tlpv uelqlnl
dgTdgal
leuelvlpnls urel6o16
JelseuesyuN
1e66ue14edue1PUJeN
gedualrp
ooued ereny\ esec lepv elnued.rllA
epedey
eJesuEn E/WBleO ueuoqouJod : let
LrcavLrco'ro'wx/?r/ro.N; ; "]ff; LLjZ tJenuet e0 ,eueler
FfSETTI-uTfr"jqqi'sB un q : t! Bru g . p r.cu;1:$fr n .t"n.u : et [s q aA\
LEsilLtL (rzo)'dtatuBrBl?S Buu.roBuul 1r1ndy3 56 'oN BpuBnf 'H .J
IAiNXNH I{Y(t HYTUYAS SYITNXYdYItt\DIYf HYTTNIYAY(IIH dIUYAS0urn) tufloflN nryrsr srrrrsuflArNn
YI{YCY NYrUIINSWI}T
Wawancara Tokoh Adat