102
TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT MASYARAKAT JAMBI (Studi Kasus Di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir) HALAMAN JUDUL Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh: Luthfan Adli NIM: 1112044100027 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDATULLAH JAKARTA 2017 M / 1438 H

TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT

MASYARAKAT JAMBI

(Studi Kasus Di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir)

HALAMAN JUDUL

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Luthfan Adli

NIM: 1112044100027

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI

SYARIF HIDATULLAH

JAKARTA

2017 M / 1438 H

Page 2: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

!I

100 C 1066t'l il i0116[ 'dlN

ffiJnrnN:il rfn8ua4 'g

010 z E0L66t IsI0I16I 'dIN

l yfn8ue6 'y

Surqtutqure4 'e

ZAO I ZIEOOZ LZVO6'6I 'dIN

ffiruo-4--a@:susl.oDles '7,

n

s00 r g0t66I 8090196I 'dIN

IIBII Iffi: snlay 'I (

-----IIYASYOYN{U{I NYIfII YIIINYd

urn{nH ueq qerre.{S s€llnled u€{ogue4qese3ue61

tI0Z 11nf 0Z'elra1el

'e8renls;1um{nH Ipn}S ur?r3or6 eped (U'S) rul{nHuuefreg ru1e3 qeioraduteur leru,(s ues q?l€s te8uqes Bwlrollp qulel ruI rsdrqg'LlyZ lun1 t 1e33uq uped epeleg qe11ryu,{up111;pe,(g ue8e51 tuulsl sulsro^Iufl*ryg uep qeueXs s€trlnl?C qe.(subuun6J Sueprs tuel€p ue4fnp qu1e1 (r11

uuqnf-n1 uu1enruoo) nleg n€lnd Bse(I rO snse) rynls) ISIAIVf I\f,XVUYJ.SYntTYCV ruV]VC NVNI/Y\V-XUEd NVuVINVH ISI(VTTJ 3UC'{ 8UE'( TSdT:1S

I00I 80966 i 9IZ t6961'dIN

]\]YIf I} YITINYd NYIIYSICNI d

(" '''i -

Vt'

Page 3: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

uI

IIST?I IWLTOZYruyxvf

I{YTTNIVflH IIUYASIUCf,N I{IYTSI SYTISUflAINN

I TNXNH NY(I HYTUYAS SYITIDTYdYCUYnTtr)I [{nxnH r(Inrs RlYucou{

I00It0z66I90r0ss6l :dIN

Surqrurqua6

LZOOOIV'OZIII :WIN

IIpV u8Jqlnrl

:qalo

Gf'S) urrqng uuufmg rBIeC gelorodusyrlp;edg n3es gEIeS qnueure14tr {n1un um{nH uep quuefg w{rqed ay ueryfqq

FdIqS

(.tg1uuqn[nf uulurrruray n]ufl nulnd ssa( !( snssx Ipn]S)

IflWYfIYX\ITYASYIAI IY(IY WVTY(I NIYNIT(\Y)IIIId NYUYINVII ISI(I\TUI

Ytr\l')T'lqn^s $Bnf 'Y'H'ro

Page 4: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

At

'3UB{3.t r{ellnre,(up111

JIru,(S Nt61) 1fep ruBIsI selrsrelrun Ip rulelreq 8ue.( rs4ues eruueueru

erpesreq e.(es eleru 'ure1 Suero e[,te4 IJep u€>l€ldrf psuq ue4edrueur

nulu u,(es rlse e,&ru>1 lrsur{ ualnq rur €rrrrleq E{nqre1 ueq uerpruue{ Ip e{lf

€uu>lu1 {ellnref,uplH JIr€f S ftlUd ueEe51

urulq selrsrelrun rp mlulreq Suef uuquole4 ue8uep runses rralurruuec

efes qu1s1 rsdu{s uesrlnuod urulup uuluun8 efus Suef Joqruns eruuas

ep1e I qe11n1e.(eprg gyu,(g Ntd psEe51 tuelsl

s€llsJolrun Ip (IS) nles uueftes ruleE qeloredureu uele-rer(sred n1es qel"s

qnuetuotu {nl.un ue>pfu1p Euu.( u.(es qse e,{ral psuq ue4edrueru rur IsdFr{S

:B,^aqeq ue1e1e,(ueu u.(es rur rsdr-qs uuSueq

o

.Z

.I

uErenlsy um>lnH

urDInH uup qe.pu,(g

Lz000tvb0ztLl

rmsrunI

sBlln)Iud

I^IIN

etueN 11py uel$n'I

:rur rluzlruq rp ue8uel eprpgeq Suua

NVITSYfl)T N\TYJ,YANUf,d

IIrdV I l'ew11vl

Page 5: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

v

ABSTRAK

LUTHFAN ADLI, NIM: 1112044100027, TRADISI HANTARAN

PERKAWINAN DALAM ADAT MASYARAKAT JAMBI. (Studi Kasus

Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir).

Skripsi ini merupakan penelitian lapangan guna menjawab pertanyaan

bagaimana proses terjadinya tradisi pemberian barang hantaran sebagai syarat

perkawinan di Desa Pulau Batu Kec. Jujuhan Ilir Kab. Muara Bungo? dan

bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pemberian hantaran di Desa Pulau

Batu Kec. Jujuhan Ilir Kab. Muara Bungo?

Metode penelitian ini adalah jenis penelitian lapangan (field research).

Pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi serta wawancara guna

mencari data-data yang diperlukan dari obyek penelitian yang sebenarnya. Setelah

mendapatkan data yang diperlukan, maka data tersebut dianalisis dengan metode

deskriptif kualitatif.

Hasil penelitian menunjukan bahwa Tradisi Hantaran Sebagai Salah Satu

Syarat Perkawinan di Desa Pulau Batu adalah adat yang sudah dilaksanakan dari

zaman dahulu. Adat ini dikenal oleh masyarakat Desa Pulau Batu dan sebagian

besar melaksanakan adat ini. Proses pemberian hantaran ini biasanya dilakukan

sebelum akad nikah yakni minimal seminggu sebelum akad nikah dilangsungkan.

Pemberian hantaran biasanya dilakukan oleh calon mempelai laki-laki atau

perwakilan keluarga memepelai laki-laki dan di serahkan kepada pihak

perempuan. Pada saat penyerahan pemberian hantaran tidak ada suatu akad serah

terima yang khusus dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, hanya berupa

balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang hantaran tersebut.

Hasil Analisis Hukum Islam terhadap kewajiban pemberikan barang hantaran

merupakan „Urf atau adat-istiadat semata namun tidak ada kewajiban dalam Islam

bagi mempelai laki-laki untuk diwajibkan memberikan barang hantaran kepada

calon mempelai wanita sebagai keharusan selain pemberian wajib mahar yang

memang jelas dijelaskan dalam Al-Qur‟an.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, masyarakat diharapkan dalam

pemberian barang hantaran ini tidak memberatkan seorang pria untuk menikahi

seorang perempuan dan pemberian barang hantaran disesuaikan dengan

kemampuan si laki-laki sehingga walaupun pemberian barang hantaran ini sudah

menjadi adat kalau tidak mampu jangan dipaksakan untuk melaksanakan adat

pemberian barang hantaran ini. Apabila kewajiban pemberian barang hantaran

ini memberikan keridhoan dari semua pihak dan tidak mendatangkan beban dari

pihak laki-laki maka akan lebih baik lagi jika adat pemberian barang hantaran ini

tetap dilestarikan.

Kata Kunci : Adat Hantaran Dalam Masyarakat Jambi

Pembimbing : Dr. H. A. Juaini Syukri, Lc, MA

Daftar Pustaka : 1974 sampai 2014

Page 6: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rahmat, hidayah serta nikmat-Nya, baik jasmani maupun rohani sehingga penulis

mampu menyelesaikan penulisan skripsi dengan baik. Sholawat serta salam

semoga Allah SWT selalu melimpahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW

selaku pemimpin dari seluruh pemimpin. Sehingga dengan segala perjuangan

Beliau dalam menegakkan agama Islam kita semua dapat menjadikan perjuangan

beliau sebagai suri tauladan bagi kita semua.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan rintangan yang

penulis hadapi, tetapi dengan izin Allah SWT, kerja keras serta usaha dan do‟a

dari orang tua, guru dan teman-teman seperjuangan saya mampu menyelesaikan

skripsi dengan baik dan semoga skripsi ini mampu memberi manfaat bagi penulis

dan pembaca.

Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin

mengungkapkan rasa terima kasih yang begitu mendalam kepada.

1. Kepada kedua orang tua tercinta Bapak Drs. H. Hasan dan Ibu Hj. Umi

Nadera selaku pemberi semangat, do‟a dan support, baik materi maupun

non materi kepada penulis, semoga Allah Swt selalu melindungi beliau

baik di dunia maupun di akhirat kelak dan membalas segala jasa-jasa

beliau yang telah diberikan untuk anak-anaknya.

Page 7: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

vii

2. Teruntuk Kakak Ulfa Adilla, M.Pd, Adik Nila Auliya, Sebagai kakak dan

adik penulis yang menjadi obat pelupur lara di saat penulis mulai jenuh

dengan penelitian ini

3. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta

4. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syari‟ah dan Hukum

5. Dr. H. Abdul Halim, M,Ag dan bapak Arif Furqon. MA selaku Ketua dan

Sekretaris Program Studi Ahwal As-Syakhshiyyah Fakultas Syari‟ah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Seluruh Bapak dan Ibu dosen pada lingkungan Program Studi Ahwal As-

Syakhsiyyah Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan banyak ilmu kepada penulis

selama menjadi mahasiswa.

7. JM Muslimin, MA., Ph.D selaku dosen akademik yang telah memberikan

pengaruh serta dorongan kepada penulis untuk segera menyelesaikan

skripsi

8. Dr. H. A. Juani Syukri, Lc, MA selaku dosen pembimbing yang telah

mencurahkan segala perhatiannya kepada penulis dalam menyusun skripsi

ini

9. Kepada teman-teman seperjuangan, khususnya kepada, Hilmi, Ziyad, Faiq,

Adit, Ache, Hasna, Fiyan, Rivaldi, Saul Dll yang telah banyak menemani

dan memberikan masukan bagi penulis baik di kosan, perpus pasca

maupun perpus fakultas untuk menyelesaikan skripsi ini.

Page 8: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

viii

Semoga Amal dan kebaikan mereka semua dibalas Allah SWT dengan

balasan yang berlipat ganda dan penulis berharap semoga skripsi ini mampu

memberikan manfaat yang besar bagi penulis maupun bagi pembaca.

Jakarta, 11 April 2017

Luthfan Adli

Page 9: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................ ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK ....................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Identifikasi Masalah .................................................................. 8

C. Batasan Dan Rumusan Masalah .............................................. 9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 10

E. Review Studi Terdahulu ......................................................... 11

F. Kerangka Teori ........................................................................ 14

G. Metode Penelitian .................................................................... 15

H. Sistematika Penulisan ............................................................. 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN, SYARAT

SAH NYA PERNIKAHAN DAN ‘URF DALAM ISLAM

A. Pengertian Pernikahan ............................................................ 21

B. Hukum Melaksanakan Pernikahan ........................................ 22

C. Syarat dan Rukun Pernikahan ................................................ 26

D. Tujuan Pernikahan................................................................... 35

E. Mahar Pernikahan (Mas Kawin) ............................................ 38

F. „Urf ............................................................................................ 44

Page 10: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

x

BAB III SEJARAH SINGKAT DAN PROFIL BESERTA TRADISI

HANTARAN DESA PULAU BATU

A. Sejarah Singkat Desa Pulau Batu .......................................... 50

B. Profil Keadaan Desa Pulau Batu Berupa Letak Geografis . 50

C. Keadaan Demografi ................................................................ 54

D. Keadaan Ekonomi ................................................................... 54

E. Keadaan Pendidikan ................................................................ 55

F. Keadaan Sosial Keagamaan ................................................... 57

G. Tinjauan Umum Terhadap Proses Pelaksanaan Adat

Hantaran Pada Masyarakat Desa Pulau Batu ....................... 58

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI

PEMBERIAN BARANG HANTARAN SEBAGAI SYARAT

PERKAWINAN PADA MASYARAKAT DESA PULAU

BATU

A. Analisis Terhadap Proses Terjadinya Tradisi Pemberian

Barang Hantaran Sebagai Syarat Perkawinan Pada

Masyarakat Desa Pulau Batu ................................................. 62

B. Analisa Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemberian Barang

Hantaran Desa Pulau Batu ...................................................... 70

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN ....................................................................... 79

B. Saran-saran ............................................................................... 80

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 81

LAMPIRAN

Page 11: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Agama Islam adalah agama yang di ridhai oleh Allah SWT. Agama Islam

adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, baik dalam hal aqidah, syari‟at,

ibadah, muamalah dan lain-lain. Islam pada hakikatnya membawa ajaran yang

bukan dilihat dari satu segi kehidupan manusia melainkan membawa ajaran

kebenaran yang mengandung nilai-nilai universal yang terdiri dari akhlaq dan

aqidah yang dijadikan sebagai panduan dan pedoman hidup manusia.

Dari lubuk hati yang paling dalam, setiap pemeluk agama Islam tentu

merasakan dan memahami bahwa persoalan hukum adalah persoalan yang sentral.

Setidaknya hal tersebut bisa dilihat dari kenyataan bahwa tindakan dan perbuatan

mereka tidak lepas dari sorotan timbangan hukum. Bahkan jika ditinjau lebih

dalam lagi, hukum Islam sejatinya diturunkan untuk menjadi pertimbangan utama

bagi pemeluknya dalam memutuskan suatu perkara. Daniel Pipes, dalam The

Western Mind of Radical Islam (1995), menegaskan bahwa kunci utama yang

membedakan hukum Islam dengan hukum Barat adalah who you are, not where

you are, (siapa anda, bukan di mana anda berada). Artinya, di mana pun orang

Islam berada, syari‟at atau hukum senantiasa membayanginya.1 Salah satu dari

segi aturan syariat Islam yang terdapat dalam Al-Qur‟an adalah tentang

perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir bathin antara laki-laki dan

1

Josep Schacht (Oxpord University Press, London, 1965), Pengantar Hukum Islam,

Penerjemah Joko Supomo, (Bandung: Ujung Berung, 2010), h. 6

Page 12: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

2

perempuan untuk hidup bersama-sama dalam suatu rumah tangga yang sah

dengan melahirkan keturunan-keturunan yang sesuai dengan syari‟at Islam.

Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.

Menurut ajaran Islam, melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan ibadah.

Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran agama. “Barang

siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separoh (ajaran) agamanya, yang

separoh lagi, hendaklah ia taqwa kepada Allah SWT”, demikian sunnah qauliyah

(sunnah dalam bentuk perkataan) Rasulallah SAW.2

Secara etimologis, perkawinan adalah pencampuran, penyelarasan, atau

ikatan. Jika dikatakan bahwa sesuatu dinikahkan dengan sesuatu yang lain maka

berarti keduanya saling diikatkan. Sedangkan secara terminologi menurut para

fuqaha, perkawinan dan pernikahan itu sama. Maksud dari keduanya adalah suatu

akad demi suatu kenikmatan secara sengaja atau suatu akad yang memberi

keluasan pada setiap laki-laki dan perempuan untuk saling menikmati sepanjang

hidupnya, sesuai dengan ketentuan syari‟at.3

Perkawinan dalam kehidupan manusia adalah suatu yang dianggap sakral.

Dimana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikat hubungan antara

dua insan yang berlainan jenis kelamin. Sebab, dengan cara inilah diharapkan

2 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2002), h. 3

3 Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, (Surakarta: Era

Intermedia, 2005), h. 1

Page 13: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

3

proses regenerasi manusia dimuka bumi ini akan terus berlanjut dan

berkesinambungan dengan diperoleh dari hubungan yang sah.4

Untuk mencapai kehidupan seksual yang bersih, suci, halal, dan masuk

dalam kategori ibadah, Islam mengkonsepsikan agar seorang muslim yang telah

mampu lahir dan bathin untuk segera mengadakan perkawinan. Di sini

perkawinan dipandang sebagai suatu ikatan yang dapat menetralisir dorongan

seksual manusia, sehingga menjadi suatu rahmat yang tak terhinga nilainya. Islam

juga memandang perkawinan sebagai lembaga yang dapat mengantisipasi

terjadinya perilaku seksual yang menyimpang.5

Adapun aturan-aturan tentang perkawinan diatur dan diterangkan dengan

jelas dan terperinci, sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Dzariyat ayat 49

yang berbunyi:

)انزاسبث: نؼهكى حزكش ج ء خهمب ص كم ش ي ٩٤)

Artinya: Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar

kamu mengingat kebesaran Allah SWT (QS al-Dzariyat: 49).

Islam memperingatkan bahwa dengan kawin, Allah SWT akan

memberikan kepadanya jalan kecukupan, menghilangkan kesulitan-kesulitan

untuknya dan diberikannya kekuatan yang mampu mengatasi kemiskinan.6

4 Soemiyati, Hukum Perkawinaan Islam Dan Undang- Undang Perkawinan (Undang-

Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawian), cet ke-4, (Yogyakarta: Liberti, 1999), h. 12

5 Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial; Peralihan Tafsir

Seksualitas, cet. ke-1, (Yogyakarta: Media Pressindo, 1999), h. 57

6 Moh Thalib, Fikih Sunnah, (Bandung, PT Al-Ma‟arif, 1981), h. 9

Page 14: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

4

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa perkawinan

menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholidzon

untuk menta‟ati perintah Allah SWT dan melaksanakanya merupakan ibadah.7

Hal di atas sesuai dengan UU Perkawinan No 1 tahun 1974 pasal 1 yang

menyebutkan bahwa, “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”.8

Perkawinan bisa dikatakan sah menurut hukum Islam apabila sudah

memenuhi syarat-syarat sah rukun pernikahan. Salah satu syarat sah pernikahan

adalah dengan adanya pemberian mahar atau maskawin kepada calon mempelai

perempuan.9 Menurut kesepakatan para ulama, mahar adalah pemberian wajib

bagi calon suami kepada calon istri yang merupakan salah satu syarat sahnya

pernikahan.10

Mahar secara etimologi artinya mas kawin. Sedangkan secara terminologi

mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai

ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri

kepada calon suaminya.11

Kata mahar ini berasal dari bahasa arab dan telah

menjadi bahasa Indonesia, akan tetapi di Indonesia ada juga yang memakai kata

7 Abdurrahman, KHI di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo, 1992), h. 114

8 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 7

9 Moh. Idris Ramulto, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 16

10

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),

h. 101

11

Moh Thalib, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1990), h. 53

Page 15: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

5

maskawin.12

Mahar dalam bahasa arab disebut dengan berbagai macam nama,

yaitu: mahar, sadaq, nihlah, faridhah, hibah, ujr, uqar, dan ala‟iq, akan tetapi

juga ada yang mengatakan dengan kata thaul.13

keseluruhan kata tersebut

mengandung arti pemberian wajib sebagai imbalan dari sesuatu yang diterima.

Dalam Kompilasi Hukum Islam Mahar adalah pemberian dari calon mempelai

pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang

tidak bertentangan dengan hukum Islam.14

Dari definisi mahar tersebut di atas

jelaslah bahwa hukum taklifi dari mahar itu wajib, dengan arti seorang yang

mengawini seorang perempuan wajib menyerahkan mahar kepada istrinya.

Dasar wajibnya menyerahkan mahar itu telah ditetapkan dalam al-Qur‟an

sebagaimana yang tercantum dalam surat an-Nisa‟ ayat 4.

حهت احاانغبء صذلب ح ئ ب )‘ ئ ب يش فغ ب فكه ء ي ش نكى ػ طب (٩انغبء: فإ

Artinya: Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka

menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka

makanlah (terimalah atau ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang

sedap lagi baik akibatnya. (QS An-Nisa‟: 4).

Maksud berikanlah mahar kepada para istri sebagai pemberian wajib,

bukan pemberian atau ganti rugi. Jika istri telah menerima maharnya tanpa

paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan maharnya sebagian kepadamu,

maka terimalah dengan baik. Hal tersebut tidak disalahkan dan dianggap dosa.

12

Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1974), h. 77

13 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat

Dan Undang-Undang perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 84

14

Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2007), h. 14

Page 16: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

6

Bila istri memberikan maharnya karena malu, takut atau terkicuh, maka tidak

halal menerimanya.15

Islam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita

dengan memberikan hak kepadanya, diantaranya adalah hak untuk menerima

mahar. Ini berarti bahwa mahar adalah hak milik si wanita itu sendiri, bukan milik

ayah atau saudara lelakinya dan merupakan pemberian dari pria kepada wanita

dengan dasar kerelaan dan keikhlasan.16

Pemberian mahar ini wajib hukumnya atas laki-laki, akan tetapi tidak

menjadi rukun nikah dan apabila tidak disebut pada waktu akad, pernikahan

itupun sah. Banyak mas kawin tidak dibatasi oleh syari‟at Islam, melainkan

menurut kemampuan suami beserta keridhoan istri. Sesungguhnya demikian,

suami hendaknya benar-benar sanggup membayarnya karena mahr itu apabila

telah ditetapkan, maka rela menjadi hutang atas suami, dan wajib dibayar sebagai

hutang kepada yang lain.17

Menitik beratkan pada asumsi di atas, dalam praktiknya mengenai mahar

ini, tidak mustahil terdapat suatu hal yang berlebihan, seperti masih adanya syarat

dilaksanakan suatu pernikahan dengan memberikan barang hantaran oleh calon

suami kepada calon istri.

Ketika hukum Islam di praktekkan di tengah-tengah masyarakat yang

memiliki budaya dan adat istiadat yang berbeda, sering kali wujud yang

15

Sayyid Sabbiq, Fikih Sunnah 7, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1990), h. 53

16 Darmawan, Eksistensi Mahar Dan Walimah, (Bandung: Srikandi, 2007), h. 1

17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat

Dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 86

Page 17: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

7

ditampilkan tidak selalu sama dan seragam dengan syari‟at atau ketentuan hukum

Islam yang telah ditetapkan. Seringkali disesuaikan dengan hukum-hukum adat

yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dengan berbagai ciri khasnya.

Sebagaimana yang terjadi di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir Kabupaten

Muara Bungo Provinsi Jambi terdapat tradisi yang sampai saat ini tetap

berlangsung dan dilaksanakan dalam pelaksanaan pernikahan, yaitu ketika

seorang laki-laki dan perempuan ingin menikah, maka si calon pria diwajibkan

memberikan barang hantaran kepada calon perempuan yang pemberiannya

tersebut dilaksanakan sebelum akad nikah atau dilaksanakan jauh-hari. Adapun

waktu memberikan barang hantaran tersebut adalah setelah proses lamaran, yang

mana istilah lamaran ini dalam seloko (pribahasa) adat Desa Pulau Batu

Kecamatan Jujuhan Ilir Kabupaten Bungo ialah “mengembang tando, menetapkan

adat lembago”, setelah proses lamaran, barulah menetapkan barang hantaran dan

waktu pelaksanaan pemberian barang hantaran tersebut, setalah ditetapkan barang

hantaran beserta waktu pemberiannya, barulah menentukan waktu akad nikah,

biasanya satu minggu setelah pemberian hantaran dilaksanakan, tergantung

kesepakatan kesepakatan “nenek yang berempat, pemuko adat (suku waris dan

nenek mamak dari kedua bela pihak dan dihadiri oleh pemuka adat)”

Apabila ada kemungkinan calon suami tidak bisa memberikan barang

hantaran tersebut, maka calon suami tersebut dianggap tidak bisa menghormati

keberadaan adat yang berlaku di desa setempat, yang mana masyarakat setempat

sangat menjunjung tinggi adat dan menjaga kelestarian adat yang telah turun-

temurun dari nenek moyang mereka. Dan serta calon pihak suami dianggap tidak

Page 18: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

8

bisa menghargai calon pihak istri beserta keluarganya, karena di masyarakat

setempat menganggap perempuan adalah suatu yang berharga dan dijunjung

tinggi keberadaannya, dan calon suami dianggap tidak bisa menjaga nama baik

keluarga calon istri yang mana akan menjadi buah bibir di masyarakat setempat.

Tradisi tersebut berlaku bagi semua kalangan baik yang kaya maupun yang

miskin.

Adapun pemberian barang hantaran tersebut dikategorikan sebagai

kewajiban karena akan mengecewakan pihak calon istri beserta masyarakat

setempat dan akan menghambat proses pernikahan. Dan karena itu muncul pokok

persoalan yang membutuhkan tinjauan yang lebih jauh mengenai permasalahan

tersebut, yang mana penulis merangkum dalam satu judul skripsi yaitu “Tradisi

Hantaran Dalam Perkawinan Masyarakat Adat Jambi Desa Pulau Kecamatan

Jujuhan Ilir”.

B. Identifikasi Masalah

1. Apa syarat-syarat perkawinan di masyarakat adat desa Jambi ?

2. Apa yang dimaksud dengan hantaran dalam masyarakat adat Jambi ?

3. Bagaimana pelaksanaan hantaran ?

4. Bagaimana urgent hantaran dalam sebuah perkawinan adat Jambi ?

5. Bagaimana bentuk dari hantaran yang menjadi syarat perkawinan dalam

adat Jambi ?

6. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap adat hantaran sebagai syarat

perkawinan dalam adat Jambi ?

Page 19: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

9

C. Batasan Dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini adalah mengenai

pengaruh hukum Islam terhadap perkawinan adat jambi dengan menggunakan

hantaran sebagai salah satu syarat dilaksanakan nya suatu pernikahan, hal ini tentu

menjadi sebuah masalah apabilah kita menganalisa kembali syarat dan rukun

perkawinan dalam Islam. Dan untuk mempermudah melakukan penelitian ini,

maka peneliti memfokuskan masalah terhadap norma-norma dan aturan-aturan

dalam hukum Islam agar lebih mudah mencari titik perbedaan dari apa-apa yang

telah disyari‟takan oleh agama Islam terhadap hukum adat yang diluar syari‟at

Islam, hukum adat yang menjadi syarat dilaksanakan nya suatu pernikahan dengan

memberikan atau menyerahkan barang hantaran.

2. Rumusan Masalah

Baik dari al-Qur‟an, Hadits, dan Kitab Fiqih yang klasik dan Kontemporer,

tidak terdapat larangan pernikahan dalam satu desa atau suku. Akan tetapi,

kenyataan di desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir yang menjadikan adat

“hantaran” sebagai syarat dilaksanakan suatu pernikahan. Hal ini tentu

bertentangan dengan rukun dan syarat pernikahan yang telah di tetapkan dalam

hukum Islam. Dan hal inilah yang ingin penulis telurusi dan teliti dalam penulisan

skripsi ini dari sisi hukum Islam.

Page 20: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

10

Agar rumusan masalah tidak melebar jauh dari penelitian, maka peneliti

membuat rumusan masalah dari apa yang sudah di identifikasikan dan pembatasan

yang sudah dijelaskan diatas, oleh karena itu penulis merinci semua masalah ke

dalam pertanyaan-pertanyaan dibawah ini, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan hantaran khususnya dalam masyarakat Pulau

Batu Kecamatan Jujuhan Ilir?

2. Bagaimana proses penetapan barang hantaran ?

3. Apa pengaruh terhadap pasangan suami istri apabila tidak melakukan

pemberian adat hantaran ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan masalah yang dirumuskan di atas, maka yang menjadi tujuan

dari kegiatan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui alasan yang mendasari hantaran menjadi salah satu

syarat sah dilaksanakannya pernikahan.

2. Menganalisa hukum Islam terhadap Tradisi Hantaran Sebagai Syarat

Sah Nya Perkawinan Pada Masyarakat Adat Jambi Desa Pulau

Kecamatan Jujuhan Ilir

3. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Islam terhadap

hantaran sebagai syarat sah perkawinan dalam adat Jambi.

4. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh syarat-syarat pernikahan

menurut hukum Islam terhadap hantaran.

Page 21: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

11

2. Manfaat Peneltitian

Adapun manfaat terhadap penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi penulis, penulisan dan penelitian ini merupakan awal studi dan

menambah wawasan dalam konsep syarat-syarat perkawinan dan

memperdalam tentang adat istiadat perkawinan.

2. Fakultas, penelitian ini menambah khazanah ilmu pengetahuan dan

sebagai bahan referensi bagi mahasiswa, staff pengajar dan pengambil

kebijakan.

3. Pemuka adat dan masyarakat merupakan sumber referensi dan saran

pemikiran bagi kalangan akademisi dan praktisi

4. Mengambil kebijaksanaan dalam pelaksanaan ketentuan pemberian

barang hantaran

E. Review Studi Terdahulu

Kajian pustaka merupakan deskripsi ringkas tentang kajian atau peneltian

yang sudah pernah dilakukan seputar masalah yang pernah diteliti sehingga

terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini bukan merupakan pengulangan

atau duplikasi dari kajian yang telah ada.18

Permasalahan seputar pernikahan dalam adat masyarakat akhir-akhir mulai

mulai sering dijadikan bahan perbincangan dan perdebatan yang seru untuk

disimak. Setelah sekian lama adat sebagai penghalang pernikahan dua insan yang

18

Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Skripsi, (Surabaya: Fakultas

Syari‟ah, 2014), h. 8

Page 22: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

12

saling mencintai. Namun, setelah masyarakat terbangun dari mimpi panjang.

Berdasarkan penggalian sumber-sumber tertulis, penelitian yang berkaitan dengan

hantaran dalam upacara perkawinan adat, sejauh yang dilakukan, belum

ditemukan tulisan yang membahas mengenai tradisi hantaran yang terjadi di Desa

Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir Kabupaten Muara Bungo Provinsi Jambi.

Namun beberapa penelitian yang ada sebagai tela‟ah pustaka dalam penelitian ini,

maka penyusun perlu untuk menggunakan beberapa sumber terkait sebagai bahan

pembanding atau bahan untuk menunjukkan bahwa penelitian ini adalah kali

pertama yang dilakukan penyusun di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir

Kabupaten Muara Bungo Provinsi Jambi dengan tradisi hantaran dalam upacara

perkawinan dalam objeknya.

Adapun Penelitian sebelumnya mengenai tema yang serupa adalah sebagai

berikut:

1. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Dengan Syarat Pihak

Perempuan Harus Mengembalikan Seserahan Adat (Putusan No

012/Pdt.G/2012/PA.Rtg). Judul ini merupakan penelitian yang membahas

mengenai keharusan seorang istri untuk mengembalikan seserahan adat

yang pernah diberikan oleh suami ketika sebelum akad nikah, karena istri

menggugat cerai suami lantaran sering bersikap kasar hingga ringan

tangan dan perselisihan tiada ujung dengan alasan inilah istri menggugat

cerai suami. Lantaran suami tidak mau bercerai, maka suami menggugat

istri untuk mengembalikan barang seserahan adatnya. Karena istri tidak

mungkin seluruh seserahan adat yang ia terima, maka istri meminta

Page 23: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

13

keprawanannya dikembalikan lagi oleh suaminya. Pengadilan Agama di

daerah tersebut merasa bahwa hal ini sudah diluar kompetensi dan

wewenangnya sehingga pengadilan tidak berwenang mengadili kasus

ini.19

.

2. Penelitian selanjutnya adalah “Pemberian Barang Gawan Sebagai Syarat

Perkawinan Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analisis Pandangan

Masyarakat di Desa Brengkok Kecamatan Brondong Kabupaten

Lamongan”. Penelitian ini merupakan penelitian skripsi yang membahas

mengenai adat daerah tersebut berupa pemberian wajib calon suami

kepada keluarga calon istri sebelum sah menikahinya. Masyarakat tersebut

meyakini bahwa perkawinan dikatakan sah jika calon suami membawa

barang gawan kepada keluarga calon isteri. Barang gawan didaerah

tersebut bisa berupa perabotan rumah tangga, contohnya, dipan, sofa atau

kursi, perabotan dapur dan masih banyak lagi. Nanti nya barang gawan

tersebut entah digunakan bersama-sama pasca nikah ataupun dimanfaatkan

sepenuhnya oleh keluarga istri, tergantung kebijakan keluarga istri. Jika

seorang tidak membawa barang gawan ketika hendak menikahi wanita

daerah tersebut pada level terendah mereka dan keluarga akan jadi bahan

pembicaraan masyarakat setempat.20

19

Furidatul Ashriyah, “Analisa Hukum Islam Terhadap Putusan Perceraian Dengan

Syarat Pihak Perempuan Harus Mengembalikan Seserahan Adat”, (Surabaya: Skripsi-IAIN

Sunan Ampel, 2013)

20 Nur Aini, Pemberian Barang Gawan Sebagai Syarat Sah Perkawinan dalam Perspektif

Hukum Islam, (Surabaya: Skripsi IAIN Sunan Ampel, 2011

Page 24: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

14

F. Kerangka Teori

Persoalan perkawinan sejak awal telah mendapat perhatian yang serius

dalam Islam, bahkan merupakan tonggak awal lahirnya hukum keluarga

khususnya hukum perkawinan yang ditandai dengan adanya perkawinan antara

Nabi Adam a.s. dengan istrinya Hawa. Syari‟at yang ditetapkan Allah Swt yang

tersurat dalam surat Ar-Rum Ayat 21 yang mempunyai tujuan untuk membentuk

keuarga yang sakinah penuh dengan kebahagiaan dan kasih sayang.21

Dan adapun manfaat penulisan skripsi dan penelitian ini adalah menambah

wawasan dalam konsep hukum perkawinan menurut syari‟ah dan memperdalam

tentang adat istiadat perkawinan. Oleh karenanya sebagai sebuah terori tugas

utama daripada penelitan adat hantaran ini yaitu menberikan warna, konsepsi,

asumsi, ideology, dan jalan keluar terhadap pandangan hukum Islam tentang

adanya adat yang mengharuskan melakukan hantaran sebagai sarat sahnya

pernikahan. Di mana hal itu bertujuan memberi solusi tentang adat yang

bertentangan dengan syari‟at yang telah ditetapkan dalam hukum Islam. Adah

atau Adat artinya kebiasaan yang perilaku masyarakat yang selalu dan senantiasa

terjadi di dalam kehidupan masyarakat sehari-hari”. Dengan demikian dapat

dikatakan pula bahwa yang dimaksud dengan hukum adat adalah hukum

kebiasaan.22

21 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005), h. 4 22

Tolib Setiadi, Instasi Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung:

Alfabeta 2013), h. 4

Page 25: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

15

G. Metode Penelitian

Metode penelitian mempunyai posisi yang sangat penting, sebab metode

merupakan cara yang digunakan agar kegiatan penelitian bisa terlaksana secara

terarah dan rasional untuk mencapai hasil yang rasional.23

Peneliti menggunakan

beberapa langkah untuk memperoleh data dalam penelitian ini, antara lain:

1. Pendekatan Penelitian

Metode ini bersifat lapangan, yaitu di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan

Ilir Kabupaten Muara Bungo Provinsi Jambi, oleh karena itu, supaya peneliti

dapat menyusun dengan benar maka penulis menggunakan metode penulisan yaitu

data penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, yaitu penelitian

yang menggunakan data dalam bentuk informasi, komentar pendapat atau kalimat.

Data tersebut berupa informasi, berupa proses dan faktor-faktor yang melatar

belakangi terjadinya kewajiban pemberian hantaran dalam pernikahan, pendapat

pemuka adat dan masyarakat desa Pulau Batu mengenai pemberian hantaran

dalam pernikahan.

2. Jenis dan Sifat Penelitian

Melakukan pendekatan terhadap pemuka adat dan masyarakat, jenis

penelitian yang sumber datanya lebih banyak menggunakan data di lapangan,

komentar, dan informasi terhadap pokok-pokok permasalahan yang menjadi

bahan penelitan.

23 Yayan Sofyan, Pengantar Metode Penelitian, (ciputat: t.p., 2010), h. 27

Page 26: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

16

3. Sumber Data

Sumber data dalam melakukan penelitian ini sesuai dengan jenis

penggolongannya ke dalam penelitian lapangan. Maka sudah dapat dipastikan

data-data yang diporoleh adalah sumber data primer, yaitu data yang diperoleh

langsung dari sumbernya, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.24

Dengan kata lain, data lain diambil oleh peneliti secara langsung dari

objek penelitiannya tanpa diperantarai oleh pihak ketiga, keempat dan seterusnya.

Dalam penelitian ini data primer diperoleh langsung dari lapangan baik yang

berupa dokumentasi maupun yang berupa hasil wawancara tentang bagaimana

tradisi pemberian hantaran di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir. Adapun

data primer dalam penelitian ini dari sumber individu atau perseorangan yang

terlibat dalam permasalahan yang diteliti, seperti dari pemuka adat, tokoh

masyarakat, para pelaku dan orang-orang yang terkait dengan tradisi tersebut,

seperti pelaku tradisi pemberian hantaran dalam pernikahan. Sumber data

sekunder yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-

hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya.25

Adapun data ini diperoleh dari sumber tidak langsung, seperti buku-buku

kepustakaan yang masih bersangkutan dengan pembahasan dalam penelitian

diantaranya:

24

Umar Husein, Metode Riset Komunikasi Organisasi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2003), h. 56

25 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 62

Page 27: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

17

1. Joko Supomo, Pengantar Hukum Islam

2. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama

3. Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah

4. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah,

5. Soemiyati, Hukum Perkawinaan Islam Dan Undang- Undang

Perkawinan

6. Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial

7. Moh Thalib, Fikih Sunnah

8. Moh. Idris Ramulto, Hukum Perkawinan Islam

9. Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia

10. Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan

teknik

a. Studi Dokumentasi, yaitu metode memperoleh data-data dan buku-

buku yang berhubungan dengan objek penelitian diantaranya meliputi

arsip jumlah penduduk, pekerjaan, agama, ekonomi dan pendidikan

penduduk, serta tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek penelitian

ini, kemudian foto-foto selama penelitian berlangsung dan cacatan

lapangan atau hasil wawancara yang nantinya akan diolah menjadi

analisis data.

b. Interview, yaitu melakukan wawancara dan tanya jawab dalam

penelitian yang berlangsung secara lisan dimana terdapat dua orang

Page 28: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

18

atau lebih untuk bertatap muka mendengar secara langsung informasi-

informasi atau keterangan-keterangan.

5. Subjek-Objek Penelitian

a. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah sesuatu atau orang-orang yang mengetahui,

berkaitan dan menjadi pelaku dari penelitian yang diharapkan dapat memberikan

informasi.

b. Objek Penelitian

Sesuai dengan judul dan jenis penelitian di atas, maka objek penelitian

dalam skripsi ini adalah Tradisi Hantaran Dalam Perkawinan Masyarakat Adat

Jambi (Studi Kasus Di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir).

6. Teknik Pengelolaan Data

Teknik pengelolaan data dalam skripsi ini adalah dengan menjadikan data

yang sudah terkumpul secara sistematis sehingga dapat dipahami dan

disimpulkan.

7. Metode Analisis Data

Setelah data yang diperlukan terkumpul selanjutnya menganalisis data

tersebut menggunakan metode deskriptif, yaitu menggambarkan tentang

penetapan jumlah pemberian hantaran perkawinan bagi masyarakat desa Pulau

Batu kecamatan Jujuhan Ilir. Di mana dari analisa data ini diperoleh data bahwa,

Page 29: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

19

apabila seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan maka si pria di minta

untuk memberikan hantaran dalam jumlah tertentu. Penelitian ini dalam

analisisnya juga menggunakan metode deduktif, yaitu cara analisis yang

digunakan dalam sebuah penelitian disaat penelitian diangkat dari sebuah teori

yang kemudian dibuktikan dengan pencarian fakta. Dalam analisis yang

dilakukan, penulis terlebih dahulu menjelaskan tentang teori perkawinan dan

mahar dalam hukum Islam, bagaimana praktek dan dan kebiasaan yang diajarkan

oleh Rasulullah SAW. Kemudian setelah itu baru penulis menganalisa praktek

kewajiban pemberian hantaran dalam pernikahan di Desa Pulau Batu Kecamatan

Jujuhan Ilir, apakah ada kesesuaian dan titik temu dengan landasan teori dan

praktik pemberian wajib dalam hukum Islam dan yang dilakukan dalam syari‟at

dan juga Rasulullah Saw.

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang masing-masing

menampakkan titik berat yang berbeda, saling mendukung dan melengkapi.

Bab pertama, adalah: merupakan bab pendahuluan yang berisi penjelasan

mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, kerangka teori,

metode penelitian dan sistematika penulisan. Bagian ini merupakan pengantar

materi untuk dibahas lebih lanjut pada bab lainya.

Page 30: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

20

Bab kedua, berisi landasan teori tentang perkawinan meliputi pengertian

perkawinan, hukum perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, tujuan

perkawinan, tentang mahar (mas kawin) dan juga tentang „Urf

Bab ketiga, merupakan kajian tentang data laporan hasil penelitian yang

meliputi: profil keadaan Desa Pulau Batu berupa letak geografis, keadaan sosial,

keadaan ekonomi, kondisi pendidikan dan Agama, dan proses pelaksanaan

kewajiban pemberian hantaran di dalam pernikahan adat Pulau Batu.

Bab keempat, merupakan bab yang menganalisis lebih mendalam mengenai

Tradisi Hantaran Sebagai Syarat Perkawinan Pada Masyarakat Adat Jambi dalam

pernikahan di Desa Pulu Batu Kecamatan Jujuhan Ilir, yaitu analisis terhadap

Deskripsi Pandangan Hukum Islam Terhadap Tradisi Hantaran Sebagai Syarat

Perkawinan Pada Masyarakat Adat jambi Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan

Ilir.

Bab kelima, merupakan bab penutup berisi kesimpulan dan dari apa yang

telah dikemukakan penulis di atas beserta saran-saran yang mungkin dapat

memperbaiki penelitian ini.

Page 31: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

21

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN, SYARAT SAH NYA

PERNIKAHAN DAN ‘URF DALAM ISLAM

A. Pengertian Pernikahan

Nikah menurut bahasa artinya berkumpul dan bercampur. Sedangkan

menurut istilah adalah akad ijab qobul dari seorang laki-laki kepada seorang

perempuan untuk membentuk rumah tangga yang kekal, bahagia dan sejahtera

dibawah naungan ridha Illahi.26

Pernikahan menurut ilmu fiqh dipakai perkataan nikah dan perkataan

ziwaj. Nikah menurut bahasa mempunyai arti sebenarnya dari arti kiasan, arti

yang sebenarnya dari nikah ialah “dzam” yang berarti menghimpit, menindih atau

berkumpul, sedangkan arti kiasannya ialah “watha” yang berarti setubuh atau

“aqad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam pemakaian

bahasa sehari-hari perkataan “nikah” lebih banyak dipakai dalam arti kiasan dari

pada arti yang sebenarnya.27

Para ahli fikih berbeda pendapat dalam hal makna hakiki nikah:

1. Ada yang berpendapat bahwa makna hakiki nikahnya adalah akad dan

makna kiasnya (majaz) adalah bersetubuh.28

26 Ibnu Mas‟ud, Fikih Madzhab Syafi‟I II, (Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2007), h. 250

27

Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan

Bintang, 2004), h. 1

28

Muhammad Ibrahim Jannati, Fikih Perbandingan Lima Madzhab III, (Jakarta: Cahaya,

2007), h. 300

Page 32: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

22

2. Sebagian lain berpendapat bahwa makna kiasnya adalah akad dan makna

hakikinya adalah persetubuhan, karena keduanya diambil dari makna

memeluk dan bercampur.29

Dalam sebuah hadits riwayat al Baihaqi Rasullah SAW menyatakan:

“apabila seorang telah melaksanakan perkawinan, berarti ia telah

menyempurnakan separuh dari agamanya (karena telah sanggup menjaga

kehormatannya.30

B. Hukum Melaksanakan Pernikahan

Adapun sumber-sumber hukum pernikahan dalam al-Quran dan Sunnah

Rasul. Dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayatnya, seperti dalam Surat an-Nisa

ayat: 1

ب ؤ ا ٱنزيسبكى ٱحما ٱنبط ب سجبلا كثشا بث ي ب ج ب ص خهك ي حذة فظ خهمكى ي

غبءا ٱحما ٱنزي ٱلل ب ٱلسحبو ۦحغبءن إ كى س ٱلل ػه (١)انغبء لب بكب

Artinya: “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang

telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu”. (QS. an-Nisa:1)

Nikah ditinjau dari segi syar‟i ada lima macam. Terkadang hukum nikah

itu bisa wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah atau hukumnya hanya boleh

menurut syariat. Dijelaskan sebagai berikut:

29 Muhammad Ibrahim Jannati, Fikih Perbandingan Lima Madzhab III, (Jakarta: Cahaya,

2007), h.302

30

Mustafa kamal Pasha, Fikih Islam, (Jogjakarta: Citra Karsa Mandiri, Cet I, 2002), h.

Page 33: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

23

1. Wajib bagi orang yang takut akan terjerumus kedalam lembah perzinahan

jika ia tidak menikah. karena, dalam kondisi semacam ini, nikah akan

membantunya menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan.

Dalam masalah seperti ini Syekhul Ibnu Taimiyyah berkata, Jika

seseorang membutuhkan nikah, dan takut berbuat zinah jika tidak

melaksanakanya maka ia wajib menikah daripada melaksanakan

kewajiban ibadah haji. Para Ulama berkata, “Dalam kondisi seperti ini

tidak dibedakan hukumnya bagi orang yang mampu memberikan nafkah

dan yang belum mampu menafkahi”. Syekh Taqiyyuyiddin berkata, “Apa

yang dikatakan kebanyakan para Ulama adalah jelas dan benar. sebab

dalam kondisi seperti ini tidak diisyaratkan bagi orang tersebut untuk

mampu memberi nafkah, karena Allah menjanjikan bagi orang yang mau

melaksanakan nikah akan menjadi kaya. Sebagaimana firman Allah SWT

dalam Surat an-Nur ayat: 32

أكحا ى ٱل يكى هح ى ٱنص إيبئكى إ كا فمشاء غ ػببدكى ي ي ٱلل

ۦ فضه عغ ٱلل (٢٣)انس ػهى

Artinya: “Dan nikahlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan

orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang

perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan

karuniaNya, dan Allah maha luas (pemberianNya) lagi Maha

Mengetahui”.(Q.S. an-Nur:32).

2. Sunnah, ketika seorang laki-laki telah memiliki syahwat (nafsu

bersetubuh), sedangkan ia tidak takut terjerumus kedealam zina. Jika ia

Page 34: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

24

menikah, justru akan membawa maslahat serta kebaikan yang banyak, baik

laki-laki tersebut maupun yang dinikahinya.

3. Mubah atau dibolehkan, bagi orang yang syahwatnya tidak bergejolak, tapi

ia punya kemauan serta kecenderungan untuk menikah. Hukum mubah ini

juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya

untuk nikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan

melakukan nikah, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai

kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum

mempunyai kemauan yang kuat.

4. Haram, bagi seorang muslim yang berada di daerah orang kafir yang

sedang memeranginya. Karena hal itu bisa membahayakan anak

keturunannya. Selain itu pula orang-orang kafir itu bisa mengalahkannya

dan menjadikannya di bawah kendali mereka. Namun Syafi‟i mengatakan

bahwa bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan serta tanggung

jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga

sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan

istrinya maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah

haram. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 195.

أفما ٱلل ف عبم ل حهما بؤ ذكى إنى هكت ٱنخ إا أحغ حب ٱلل حغ ٱن

(١٤١ )انبمشة

Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan

janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan

berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang

berbuat baik”. (Q.S al-Baqarah: 195)

Page 35: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

25

5. Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan

pernikahan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri

sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya

tidak nikah, hanya saja orang yang tidak mempunyai keinginan yang kuat

untuk dapat memenuhi kewajiban suami istri dengan baik.31

Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal, dan Malik bin Anas

hakikat pernikahan itu pada awalnya memang dianggap sebagai perbuatan yang

dianjurkan. Namun bagi beberapa pribadi tertentu, pernikahan itu dapat menjadi

kewajiban. Walaupun demikian, Imam Syafi‟i beranggapan bahwa menikah itu

mubah di samping ada yang sunnat, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia,

umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan perkawinan

ialah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama syafi‟iyah.32

Keluar dari pertimbangan perintah al-Qur‟an dan Hadits Nabi Saw adalah

pernikahan itu diwajibkan bagi seorang laki-laki yang memiliki kekayaan yang

cukup untuk membayar mahar, memberi nafkah kepada istri dan anak-anak, sehat

jasmani dan khawatir kalau tidak menikah itu justru akan menimbulkan perbuatan

zina.

Pernikahan juga diwajibkan bagi orang perempuan yang tidak memiliki

kekayaan apapun untuk membiayai hidupnya, dan dikhawatirkan kebutuhan

seksnya akan menjerumuskan kedalam perzinahan. Namun nikah itu sifatnya

mubah dan sunah bagi orang yang mempunyai dorongan seksual yang kuat. Maka

dengan pernikahan tidak akan terjerumus ke dalam bujukan setan. Sebaliknya,

31 Saleh Al Fauzan, Fikih Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani, 2006), h. 641

32

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2003) h. 18

Page 36: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

26

berkeinginan untuk menikah itu tidak akan menjauhkannya dari mengabdi kepada

Allah Swt.33

C. Syarat dan Rukun Pernikahan

Suatu akad harus memenuhi beberapa rukun dan syarat. Syarat adalah

yang mesti ada pada setiap rukun, tetapi bukan merupakan esensi. Sedangkan

rukun adalah unsur yang harus ada dan merupakan esensi dalam setiap akad, jadi

rukun harus dipenuhi agar pernikahan menjadi sah. Menurut mayoritas ulama,

rukun terdiri atas: sighat (pernyataan ijab dan qabul dalam artian mengemukakan

dan menyatakan suatu), „aqidan (dua pihak yang melakukan akad, dan ma‟qud

„alaih obyek akad). Menurut mazhab Hanafi, rukun hanya terdiri ijab qobul

(sighat). Sedangkan hal yang lain oleh jumhur dipandang sebagai rukun, bagi

mazhab Hanafi hanya dipandang sebagai lawazim al-„aqd (hal-hal yang mesti ada

setiap pembentukan akad) dan terkadang disebut juga dengan muqawwimat al-

„aqd (tujuan akad).34

Pada Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam bagian kesatu tentang rukun

perkawinan harus ada:

a. Calon suami

b. Calon istri

c. Wali nikah

d. Dua orang saksi

33 Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2002), h. 155

34

AH. Azharudin Latif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 64.

Page 37: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

27

e. Ijab dan Kabul35

Pada Pasal 15-18 Kompilasi Hukum Islam bagian kedua tentang rukun

pekawinan mengatakan:

Pasal 15

1. Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh

dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan

dalam pasal 7 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami

sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya

berumur 16 tahun.

2. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus

mendapat izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan

(5) UU No. 1 Tahun 1974.

Pasal 16

1. Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai

2. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas

dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam

dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17

1. Sebelum berlangsung perkwinan, Pegawai Penatat Nikah menanyakan

lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

2. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon

mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

35 Rukun Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Pada Pasal 14 Bagian Kesatu,

(Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen

Agama, 2001).

Page 38: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

28

3. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu

persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat

dimengerti.

Pasal 18

1. Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan

tidak terdapat halangan perkawinan sebagai mana diatur dalam bab VI.36

Rukun dan syarat harus menentukan suatu perbuatan hukum, terutama

yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum.

Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya

merupakan sesuatu yang harus diadakan.

Dalam suatu acara perkawinan umpanya rukun dan syaratnya tidak boleh

tertinggal, dalam artian perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak

lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu

adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian suattu unsur

yang mengujudkannya, sedangkan syarat-syarat adalah sesuatu yang berbeda

diluarnya dan tidak merupakan usnsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan denga

rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada

pula syarat itu terdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur

rukun.

Dalam hal perkawinan, dalam hal menempatkan mana yang rukun dan

mana yang syarat terdapat perbedaan dikalangan ulama yang perbedaan ini tidak

bersifat substansial. Perbedaan di antara pendapat tersebut disebabkan oleh karena

36 Rukun Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Pada Pasal 15-18 Bagian Kedua,

(Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen

Agama, 2001).

Page 39: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

29

berbeda melihat fokus perkawinan itu. Semua ulama sependapat dalam hal-hal

yang terlibat dan harus ada dalam suatu perkawinan adalah: Akad perkawinan,

laki-laki yang akan kawin, wali dari mempelai perempuan, saksi yang

menyaksikan akad perkawinan, dan mahar atau maskawin.37

Adapun syarat dan rukun perkawinan dalam Islam sebagai berikut:

a. Calon mempelai pria, syarat-syaratnya:

1. Beragama Islam

2. Laki-laki

3. Jelas orangnya

4. Dapat memberikan persetujuan

5. Tidak mendapat halangan perkawinan

b. Calon mempelai wanita, syarat-syaratnya:

1. Beragama, meskipun Yahudi atau Nasrani

2. Perempuan

3. Jelas orangnya

4. Dapat diminta persetujuannya

5. Tidak terdapat halangan perkawinan

c. Wali nikah, syarat-syaratnya:

1. Laki-laki

2. Dewasa

3. Mempunyai hak perwalian

4. Tidak terdapat halangan perwalianya

37 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),

h. 59

Page 40: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

30

d. Saksi nikah, syarat-syaratnya:

1. Minimal dua orang laki-laki

2. Hadir dalam ijab qobul

3. dapat mengerti maksud akad

4. Islam

5. Dewasa

e. Ijab qobul, syarat-syaratnya:

1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali

2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria

3. Memakai kata-kata nikah, tazwij terjemahan dari kata-kata nikah

atau tazwij

4. Antara ijab dan qobul bersambungan

5. Antara ijab dan qobul jelas maksudunya

6. Orang yang terkait ijab qobul tidak sedang dalam ihram haji atau

umrah

7. Majelis ijab dan qobul itu harus dihadiri minimum empat orang,

yaitu: calon mempelai pria atau wakilnya, wali dari mempelai

wanita atau wakilnya, dan orang saksi.

Adapun salah satu syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa untuk melangsungkan perkawinan bagi

seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin dari kedua

orang tua. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia

atau dalam dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, ijin cukup

Page 41: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

31

diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu

menyatakan kehendaknya. Bila kedua orang tua meninggal dunia atau tidak

mampu menyatakan kehendaknya, izin diperoleh dari wali atau orang yang

memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan dekat dalam garis

keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat

menyatakan kehendaknya.

Adapun dispenisasi hukum perkawinan Indonesia mengatur bahwa

perkawinan hanya diijinkan jika calon mempelai pria telah mencapai usia 19

tahun dan calon mempelai wanita telah berusia 16 tahun. Jika terjadi

penyimpangan atau kedua calon mempelai atau salah seoarang diantara mereka

berada dibawah usia yang ditentukan, dapat diminta dispensasi kepada

pengadilanatau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun

wanita, sebaimana dalam Peraturan Menteri Agama RI no 3 Tahun 1975 dalam

pasal 13.38

Sedangkan Undang-Undang perkawinan yang mengatur syarat-syarat

perkawinan dalam Bab II Pasal 6 sebagai berikut:

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21

(dua puluh satu) tahun harus mendapat ijin kedua orang tua

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau

dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya maka izin

38

Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, (Bandung, Mandar Maju, 1997),

h. 22-23

Page 42: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

32

dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup

atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan

tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari

wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan

darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan

dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam

ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara

mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah

hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas

permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu

mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu dari yang

bersangkutan tidak menentukan lain.39

Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku

antara pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan itu. Oleh karena itu, yang

menajadi rukun perkawinan oleh golongan ini hanyalah akad nikah yang dilkukan

oleh kedua pihak yang melangsungkan perkawinan, sedangkan yang lainnya

seperti kehadiran saksi dan mahar dikelompokkan kepada syarat perkawinan.

Ulama Hanafiyah membagi syarat itu kepada.

39 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,

2013), h. 56

Page 43: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

33

1. Syuruth al-in‟iqad yaitu syarat yang menentukan terlaksanya suatu akad

perkawinan. Karena kelangsungan terdapat pada akad, maka syarat disini

adalah syarat yang harus dipenuhi karena ia berkenan dengan akad itu

sendiri. Bila akad itu tertinggal maka akad perkawinan disepakati batalnya.

2. Syuruth ash-shihhah yaitu suatu keberadaanya yang menentukan suatu

perkawinan. Syarat tersebut harus dipenuhi untuk dapat menimbulkan

akibat hukum, dalam arti bila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka

perkawinan itu tidak sah, seperti adanya mahar pada setiap perkawinan.

3. Syuruth al-nufuz yaitu syarat yang menentukan kelangsungan suatu

perkawinan. Akibat hukum setelah berlangsung dan sahnya perkawinan

tergantung kepada adanya syarat-syarat itu tidak terpenuhi mengakibatkan

fasad nya perkawinan, seperti wali yang melangsungkan akad perkawinan

adalah seorang yang berwenang untuk itu.

4. Syuruth al-luzum yaitu syarat yang menentukan kepastian sesuatu

perkawinan dalam arti tergantung kepada kelanjutan perkawinan

berlangsungnya suatu perkawinan sehingga dengan telah terdapatnya

syarat tersebut tidak mungkin perkawinan yang sudah berlangsung itu

dibatalkan. Hal ini berarti selama syarat itu belum terpenuhi perkawinan

dapat dibatalkan, seperti suami harus sekufu dengan istrinya.40

Menurut Ulama Syafi‟iyah yang dimaksud dengan perkawinan disini

adalah keseluruhan yang secara langsung berkaitan dengan perkawinan dengan

segala unsurnya, bukan hanya akad nikah itu saja. Dengan begitu rukun

40 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),

h. 60

Page 44: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

34

perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam suatu perkawinan.

Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin,

akad kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsunkan akad dengan si

suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan

itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai

berikut:

a. Calon mempelai laki-laki

b. Calon mempelai perempuan

c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan

d. Dua orang saksi

e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qobul yang dilakukan oleh suami.

Mahar yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam

rukun, karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan

tidak mesti diserahkan kepada waktu akad itu berlangsung. Dengan demikian,

mahar itu termasuk kedalam syarat perkawinan.

Undang-Undang perkawinan sama sekali tidak berbicara tentang rukun

perkawinan. Undang-Undang hanya membicarakan syarat-syarat perkawinan,

yang mana syarat-syarat tersebut yang banyak berkenaan dengan unsur-unsur atau

rukun perkawinan. KHI secara jelas membicarakan rukun perkawinan sebagai

yang terdapat dalam pasal 14, yang keseluruhan rukun tersebut mengikuti fiqh

syafi‟I dengan tidak memasukkan mahar dalam rukun.41

41 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),

h. 61

Page 45: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

35

D. Tujuan Pernikahan

Manusia diciptakan Allah Swt mempunyai naluri manusiawi yang perlu

mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah Swt untuk

mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktivitas

hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi manusia yang antara lain keperluan

biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti tujuan kejadiannya,

Allah Swt mengatur hidup manusia dengan aturan perkawinan.42

Allah SWT mensyari‟atkan perkawinan dalam Islam untuk mencapai

tujuan-tujuan mulia, di antaranya:

a. Menjaga keturunan

b. Menjaga wujud manusia

c. Mengarahkan penyaluran kebutuhan biologis

d. Melindungi masyarakat dari dekadensi moral dan perilaku menyimpang

e. Menumbuhkan perasaan kasih sayang dan kebersamaan.

f. Menciptakan rasa kebakan dan keibuan.43

Tujuan pernikahan adalah menurut (mentaati) perintah Allah Untuk

memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan membina rumah

tangga yang damai dan teratur. Untuk mencapai tujuan ini suami dan istri harus

saling mempergauli (menurut cara yang ma‟ruf), yaitu saling mencintai, berbuat

42 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group,

2003), h. 22

43

Muhammad Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, (Cipinang Muara, Jakarta: CV.

Cendakia Santri Muslim), h. 11

Page 46: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

36

baik. Suami mempunyai tanggung jawab untuk menyediakan nafkah sehari-hari

bagi istri dan anaknya.44

Tujuan perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk

agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.

Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera

artinya terciptanya ketenangan lahir batin disebabkan terpenuhinya keperluan

hidup lahir dan batin, sehingga timbul kebahagiaan, yakni kasih sayang antara

keluarga. Tujuan dan hikmah agama Islam dalam mensyariatkan pernikahan

diantaranya sebagai berikut:

1. Membentuk keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, pernyaataan

tersebut terdapat dalam surat ar-Rum ayat: 21.

2. Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah Swt.

3. Untuk memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan

4. Untuk menimbulkan rasa cinta antara suami dan istri, menimbulkan rasa

kasih sayang antara orang tua dengan anak-anaknya dan adanya rasa kasih

sayang antara sesama anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang

dalam keluarga ini akan dirasakan pula dalam masyarakat atau umat,

sehingga terbentuklah umat yang diliputi cinta dan kasih sayang.

5. Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas ayah,

kakek dan sebagainya hanya diperoleh dengan pernikahan. Dengan

demikian akan jelas pula orang-orang yang bertanggung jawab terhadap

44 Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, (Yogyakarta: Gadja Mada University

Press Anggota Ikapi, 1990), h. 30

Page 47: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

37

anak-anak, yang akan memelihara dan mendidiknya sehingga menjadilah

ia seorang muslim yang dicita-citakan. Karena itu agama Islam

mengharamkan zina, tidak mensyariatkan poliandri, menutup segala pintu

yang mungkin melahirkan anak di luar pernikahan, yang tidak jelas asal-

usulnya.45

Naluri seksual merupakan naluri yang paling kuat, yang selalu mendesak

manusia untuk mencari dan menemukan penyalurannya. Oleh karena itu jika

jalannya tertutup dan tidak menemui kepuasan, manusia akan mengalami

kegelisahan dan keluh kesah, yang akan menyeretnya kepada penyelewengan-

penyelewengan yang tidak diinginkan. Pernikahan adalah suatu cara yang alamiah

yang sebaik-baiknya dan corak kehidupan yang paling tepat untuk memuaskan

dan menyalurkan naluri ini. Dengan demikian badan jasmani tidak akan menderita

kegoncangan lagi, nafsu kelamin dapat dikendalikan, dan hasrat keinginannya

dapat dipenuhi dengan barang yang dihalalkan Allah.46

Dasar perkawinan tersebut dalam Undang-Undang No, 1 tahun 1974

tentang perkawinan tercantum dalam pasal 1 dan 2.

Pasal 1

1. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

45 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1993), h. 14

46

Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003), h. 248.

Page 48: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

38

Pasal 2

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaan itu

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undang yang

berlaku.47

E. Mahar Pernikahan (Mas Kawin)

Salah satu dari keistimewaan Islam adalah memperhatikan dan

menghargai kedudukan wanita, yaitu berupa memberi hak untuk wanita

memegang urusannya, salah satunya ialah hak mahar. Mahar secara bahasa

diambil dari kata bahasa arab yang bentuk mufradnya yaitu al-mahru ( ش (ان

sedangkan bentuk jamaknya yaitu al-muhuuron (ا س yang secara bahasa (ان

mempunyai arti maskawin.48

Kata mahar dalam al-Qur‟an tidak ditemukan, yang digunakan adalah kata

shaduqah )صذلت) sebagaimana dalam al-Qur‟an surat an-Nisa‟: 4.

ءاحا ٱنغبء ب فكه فغا ء ي نكى ػ ش فإ طب حهتا خ

ش ا صذل (٩)انغبء ب ا ب ي

Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka

menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka

makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik

akibatnya”. (an-Nisa‟: 4).

Allah Swt memerintahkan kepada laki-laki untuk memberikan mahar

kepada istri sebagai pemberian suka rela. Perintah ini merupakan kewajiban. Dan

47 Dasar Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pada Pasal 1 dan 2.

48

M.A. Tihami dan sohari Sahrani, Fiqh Pernikahan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2010), h. 36

Page 49: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

39

kalau si istri berbaik hati, memberikan secara ikhlas dari mahar tersebut, baik

sebagian atau seluruhnya, maka suami atau wali boleh memakannya dengan

penuh kelapahan dan berharap makanan tersebut akan membawa akibat baik.

Rasulullah SAW bersabda:

كغبكى )س انخشيزي( لدكى ي أ إ كغبكى أطب يب أكهخى ي إ49

Artinya: Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan ialah (berasal)

dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah hasil dari usaha

kalian. (HR. Tirmidzi).

Mahar secara etimologi artinya maskawin. Secara terminologi, mahar

adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati

calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih kepada calon istri.50

Kata mahar

ini berasal dari bahasa arab dan telah menjadi bahasa Indonesia, akan tetapi

digunakan dengan istilah shaduqah.51

Menurut Sayyid Sabiq, Pemberian mahar ini bersifat wajib, sekalipun

mahar tidak termasuk dalam rukun perkawinan di dalam Islam, akan tetapi karena

sebab seorang laki-laki memberi mahar pada wanita tersebut sesuai dengan

keinginan wanita dan kemampuan laki-laki tersebut, mahar akan menjadikan istri

berhati senang dan ridha menerima kekuasaan suaminya kepada dirinya.52

49 HR. Tirmidzi (no. 1358) Kitab Al-Ahkaam, dan dia menilai sebagai Hadits Shahih, Abu

Dawud (no. 3530) kitab Al-Buyuu‟, An-Nasa‟i (no. 4450), Ibnu Majah (no. 2290) Kitab At-

Tijaaraat, Ahmad (n0. 25126), Mu‟jamul Ausath (no. 4486, 4487).

50

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat I, (Bandung: CV. Pustaka setia,

1999, cet ke-1), h. 105

51

Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang,

1974), h. 77

52

Sayyid Sabbiq, fiqih Sunnah Jilid II , (Bandung: Alma‟arif, 1990), h. 53

Page 50: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

40

Mahar menurut istilah ialah suatu pemberian yang disampaikan oleh pihak

mempelai laki-laki kepihak mempelai perempuan dikarenakan adanya ikatan

perkawinan.53

Pemberian mahar dari calon mempelai pria kepada calon mempelai

wanita, baik berbentuk barang, uang, atau yang tidak bertentangan dengan hukum

Islam (Ps. 1 huruf d KHI). Hukumnya wajib, yang menurut kesepakatan para

ulama merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan. Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia merumuskannya pada pasal 30 yang berbunyi. “Calon mempelai pria

wajib membayar mahar kepada mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan

jenisnya disepakati oleh kedua bela pihak”. Penentuan besarnya mahar didasarkan

atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam (Ps. 31

KHI), atau dalam bahasa agama disebut dengan patut (ma‟ruf).

Adapun mahar dalam istilah ulama fiqh disebut nihlah, sadaq, faridah dan

ajrun yang di dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang sama yaitu mahar atau

maskawin. Menurut istilah shara‟ mahar ialah suatu pemberian yang wajib

diberikan oleh suami kepada istri dengan sebab pernikahan.54

Mahar berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, binatang, jasa, harta

perdagangan, atau benda-benda yang lainnya yang mempunyai harga, diisyaratkan

mahar harus jelas dan detail. Misalnya seratus lire atau semisal sekarung gandum,

kalau tidak bisa diketahui dari berbagai segi yang mumungkinkan diperoleh

penetapan jumlah mahar, maka menurut seluruh mazhab kecuali maliki, akad

tetap sah, maharnya batal. Sedangkan maliki berpendapat bahwa, akadnya fasid

53 Mustafa Kamal, fiqh Islam, Cet III, (Jogjakarta: Citra Karya Mandiri, 2002), h. 263

54

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan

Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 84

Page 51: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

41

(tidak sah) dan di fask sebelum terjadi percampuran. Tetapi bila telah dicampuri,

akad dinyatakan sah dengan menggunakan mahar mitsil. Sementara itu Syafi‟i,

Hanafi, Hambali dan mayoritas ulama madzhab imamiyah berpendapat bahwa,

akad tetap sah, dan si istri berhak atas mahar mitsil. Sebagian ulama madzhab

Imamiyah memberi batasan bagi hak istri atas mahar mitsil dengan adanya

percampuran. Sedangkan sebagian yang lain, sependapat dengan empat madzhab,

memutlakkannya tidak memberi batasan.55

Para Fuqaha‟ berbeda pendapat dalam status mahar, apakah sebagai

pengganti pemanfa‟atan suami terhadap organ vital wanita atau sebagai pemberian

semata yang telah ditentukan oleh Allah kepada seorang istri. Pada intinya

hubungan dari kedua pendapat ini ialah orang yang melihat wujud mahar sebagai

imbalan pemanfaatan organ vital perempuan terhadap laki-laki yang mengatakan

mahar merupakan kompensasi atas pemanfaatan organ vital perempuan terhadap

laki-laki. Sedangkan yang berpendapat mahar hanyalah pemberian wajib seorang

suami pada istri yang telah ditentukan oleh Allah Swt, maka istri bersenang-

senang pada suami sebaliknya suami bersenang-senang atas istrinya, maka mahar

atau maskawin merupakan penghormatan dan pemberian suami yang telah

ditentukan oleh Allah Swt untuk mewujudkan cinta dan kasih saying antara

pasangan suami istri tersebut.56

Sebagian Ulama Hanafiah mendefinisikan mahar

sebagai berikut:

55 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta, PT Lantera Basritama,

1999), h. 365

56

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,

(Jakarta: Amzah, 2011), h. 176

Page 52: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

42

طء ان انشءة بؼمذ انكبح أ يب غخحم ش ان57

Artinya: “Mahar adalah suatu yang berhak dimiliki oleh seorang wanita

sebab adanya akad nikah atau bersetubuh”.

Sedangkan menurut sebagian Ulama Malikiyah mahar adalah:

با خبع ب عخ ش ل ظ جت ف يبجؼم نهض ش ن58

Artinya: “Mahar adalah sesuatu yang dijadikan (dibayar) kepada istri

sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksualitas”.

Malikiyah memandang mahar adalah yang diwajibkam dalam nikah

sebagai alat pembayaran bagi istri atas pelayanan seksualitas pada suami, dan

yang ini adalah pandangan yang matrealistis.

Sedangkan menurut sebagian Ulama Safi‟iyah mahar adalah:

حفج بضغ طء أ جب بكبح أ يب 59الش بؤ

Artinya: Sesuatu yang menjadi wajib dengan adanya „aqad nikah atau

watha‟ atau karena merusakkan kehormatan wanita secara paksa (memperkosa).

Dari Aisyah ra ia berkata, “maskawin Nabi Muhammad Saw bagi istrinya

sebesar dua belas uqiyah, satu uqiyah dua belas dirham. Umar bin Khatab berkata,

Rasulullah SAW tidak menikahi istri-istrinya dan tidak pula menikahkan putri-

putrinya lebih dari dua belas uqiyah. Rasulallah Saw juga bersabda:

غش )س أبداد( ذاق أ شانص 60خ

57 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IX, (Beirut: Dar al-Fikr), h.

6758

58

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IX, (Beirut: Dar al-Fikr), h.

6758

59

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IX, (Beirut: Dar al-Fikr), h.

6758

60

HR. Abu Dawud (no. 2117) Kitab An-Nikah, al-Hakim (II/182), Ia mensahihkannya

dan menilainya sesuai syarat Syaikhan (al-Bukhori Muslim), dan Syaikh al-Albani menilainya

sesuai syarat Muslim.

Page 53: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

43

Artinya: Sebaik-baik maskawin adalah yang paling murah. (Riwayat Abu

Daud)

Banyak para penulis yang mengatakan dalam masalah ini bahwa

mengambil jalan tengah, tidak berlebih-lebihan, tidak sombong dan membangga-

banggakan diri termasuk salah satu faktor yang dapat menunjang kebahagiaan

suami istri dan mempertautkan kasih diantara keduanya.61

Syafi‟i, Hanbali, dan Imamiyah berpendapat bahwa tidak ada batas

minimal dalam mahar. Segala sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli

boleh dijadikan mahar sekalipun hanya satu qirsy.

Sementara itu Hanafi mengatakan bahwa jumlah mahar minimal sepuluh

dirham, kalau suatu akad dilakukan dengan mahar kurang dari itu, maka akad

tetap sah, dan wajib wajib membayar mahar sepuluh dirham. Kemudian maliki

mengatakan, jumlah minimal mahar adalah tiga dirham. Kalau akad dilakukan

dengan kurang dari jumlah tersebut, kemudian terjadi percampuran, maka harus

suami membayar tiga dirham, tetapi bila belum mencampuri, dia boleh memilih

antara membayar tiga dirham (dengan melanjutkan perkawinan) atau memfasakh

akad, lalu membayar separuh mahar musamma (mahar yang disepakati oleh

pengantin laki-laki dan perempuan yang disebut dalam redaksi akad.62

Tidak ada ketentuan hukum yang disepakati Ulama tantang batas

maksimal pemberian mahar, demikian juga batasan minimalnya. Yang jelas,

meskipun sedikit, pemberian mahar tersebut wajib ditunaikan. Dasarnya adalah

Hadis Sahl ibn Sa‟ad al-Sa‟idi yang disepakati kesahihanya. Mahar diberikan

61 Nasir bin Sulaiman Al-‟Urf, Sendi-Sendi Kebahagiaan Suami Istri, (Jakarta: Pustaka

Al-Kautsar, 1993), h. 25

62

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, (Jakarta, PT Lantera Basritama,

1999), h. 364

Page 54: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

44

langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi barang hak

pribadinya (Ps. 32 KHI). Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Namun

apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh

ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Karena mahar yang belum

ditunaikan penyerahnya menjadi utang calon mempelai pria (Ps. 33 KHI).

Undang-Undang perkawinan tidak mengatur mengenai mahar ini. Hal ini karena

mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan (Ps. 34 (1).63

F. ‘Urf

Secara etimologi al-„urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf „ain, ra‟,

dan fa‟, yang berarti kenal, dari kata ini muncul kata ma‟rifah (yang dikenal),

ta‟rif (definisi), kata ma‟ruf (yang dikenal sebagai kebaikan), dan kata „urf

(kebisaan yang baik).64

Pengertian „urf dari segi bahasa berasal dari kata „arafa ya‟rifu ػشف–

ف( Sering juga dikatakan dengan alma‟ruf (ؼشف( ؼش yang berarti suatu yang )ان

dikenal atau berarti yang baik. Pengertian dikenal ini lebih dekat kepada

pengertian yang diakui oleh orang lain. Jadi „urf secara bahasa adalah sesuatu

yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.65

Sedangkan secara istilah ialah sesuatu yang yang telah sering dekenal oleh

manusia dan telah menjadi tradisinya baik berupa ucapan atau perbuatannya dan

atau hal yang meninggalkan sesuatu juga disebut adat. Dan ada juga

63 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2013), h. 85-86

64

Abd. Rahman Dahlan, Ushul fiqh, (Jakarta: Parangontama Jaya, 2011), h. 209

65

Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqh, Cet I, (Jakarta: Amzah, 2005), h. 333

Page 55: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

45

mendefinisikan bahwa „urf ialah sesuatu yang dikenal oleh khalayak ramai

dimana mereka bisa melakukannya, baik perkataan maupun perbuatan.66

Allah Swt berfirman dalam Surat al-A‟raf: 199

خز أيش ب ٱنؼف ٲنؼشف أػشض ػ ) الػشاف ه ( ١٤٤ ٱنج

Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang

ma´ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. (Q.S al-A‟raf:

199).

Kata al-„urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya,

oleh Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi

kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai

perintah untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap baik sehingga telah menjadi

tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‟ruf artinya sesuatu yang diakui baik

oleh hati. Ayat diatas tidak diragukan lagi bahwa suruan ini didasarkan pada

pertimbangan yang baik pada umat, dan hal menurut kesepakatan mereka berguna

bagi kemaslahatan mereka. Oleh karena itu kata al-ma‟ruf hanya disebutkan untuk

hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam soal

mu‟amalah maupun adat istiadat.

Dalam Istilah fuqaha „urf ialah kebiasaan, kebanyakan orang dalam kata-

kata dan perbuatannya, “adatu jumhuri qaumin fi qaulin aw‟amalin”. Dari

pengertian ini kita mengetahui bahwa „urf dalam sesuatu perkara tidak bisa

terwujud kecuali apabila „urf itu mesti berlaku atau sering-seringnya berlaku pada

perkara tersebut, sehingga masyarakat yang mempunyai „urf tersebut selalu

memperhatikan dan menyesuaikan diri dengannya. Jadi unsur pembentukan „urf

66 Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Rajawali, 1993), h. 134

Page 56: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

46

ialah pembiasaan bersama antara orang banyak, dan hal ini hanya terdapat pada

keadaan terus-menerus atau sering-seringnya dan kalau tidak demikian, maka

disebut perbuatan perseorangan.67

Sementara kata yang sepadan atau sinonim dari „urf ialah kata adat yang

berasal dari kata bahasa arab yaitu „ada ya‟uudu, artinya perulangan. Sebenarnya

tidak ada perbedaan antara adat dan „urf, karena keduanya sama-sama mengacu

kepada peristiwa yang berulang kali dilakukan sehingga diakui dan dikenal

orang.68

Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah „urf berarti ialah sesuatu

yang telah dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka

baik berupa perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut

dengan adat. Menurut istilah ahli syara‟, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat

(adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian „urf

lebih umum dibanding dengan pengertian adat karena adat disaping telah dikenal

oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan

telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang

melarangnya.69

Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli

dengan tukar menukar secara langsung tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan

seperti kebiasaan manusia menyebut alwalad secara mutlak berarti anak laki-laki,

bukan anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak

67 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: N.V. Bulan Bintang,

1970) h. 89

68

Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, Cet ke I, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 98

69

Muin Umar dkk, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Depag RI, 1986), h. 150

Page 57: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

47

mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaaan manusia

menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma‟

yang terbentuk dari kesepkatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara

umum.70

„Urf (tradisi) adalah bentuk-bentuk mu‟amalah (hubungan kepentingan)

yang telah menjadi adat kebiasaan dan yang telah berlangsung ajeg (konstan) di

tengah masyarakat. „Urf muncul dari sebuah pemikiran dan pengalaman dari

mayoritas masyarakat, karena sadar akan kenyataan bahwa adat atau sebuah

kebiasaan telah memiliki peranan penting dalam sebuah dinamika kehidapan

masyarakat, maka syari‟at Islam mengakui „urf sebagai sumber hukum atau dalil

dalam bidang furu‟iyah (muamalah). Adat atau kebiasaan berkedudukan sebagai

dari hukum yang tidak tertulis, akan tetapi sebuah adat atau kebiasaan telah

menjadi tradisi dan menyatu dengan setiap lapisan masyarakat sehingga adat

kebiasaan tersebut berlanjut dari satu generasi ke generasi selanjutnya. „Urf ada

kaitannya dengan tata nilai yang dianggap baik oleh masyarakat.71

Adapun sebuah

adat yang dapat dikategorikan sebagai „urf apabila memenuhi tiga syarat dalam

„urf, yaitu, pertama, adanya kemantapan jiwa. Kedua, sejalan dengan

pertimbangan akal sehat. Ketiga, dapat diterima oleh watak (fitrah) bawaan

manusia, dalam artian sejalan dengan watak asal manusia.72

70 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Kaidah Hukum Islam), (Jakarta: Pustaka

Amani, 1977), h. 117

71

Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Pasar Minggu, Jakarta: PT Pustaka Firdaus,

2012), h. 417

72

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat, (Yogyakarta: Nur-Kutub al-Islami Cahaya, 2010),

h. 79

Page 58: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

48

Adat atau „urf yang dimaksud sebagai sumber hukum Islam bukan hanya

adat orang Arab saja, melainkan semua adat yang berlaku disuatu tempat dan

masyarakat tertentu, dalam arti adat yang terjadi di suatu tempat bisa dijadikan

sebagai sumber hukum, dan produk hukum yang berlaku dan bersifat lokalitas,

tanpa mengikat pada tempat yang lain.73

Ulama ushul fiqh membagi „urf dalam tiga macam, yaitu, pertama dilihat

dari segi objeknya, kedua dari segi cakupanya dan ketiga dari segi keabsahanya.

a. Bedasarkan objeknya, „urf terbagi menjadi dua yaitu:

1) Al-„urf al-lafzhi adalah kebiasaan masyarakat dalam menggunakan

ungkapan atau lafal tertentu dalam mengungkapkan sesuatu.

Sehingga makna yang terkandung dalam ungkapan tersebut

menjadi hal yang sudah difahami dan selalu terlintas difikiran

masyarakat. Misalnya, ungkapan, daging yang berarti daging sapi.

Padahal ungkapan daging mencakup seluruh daging yang ada tidak

hanya daging sapi saja. Hal ini, sudah menjadi kebiasaan

masyarakat setempat dalam mengartikan secara khusus bahwa

yang dimaksud daging yaitu daging sapi.

2) Al-„urf al-„amali adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan

dengan perbuatan biasa atau mu‟amalah keperdataan. Perbuatan

biasa yang dimaksud adalah perbuatan masyarakat dalam masalah

kehidupan yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain.

Misalnya, kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus, atau

73 Nourouzzaman Siddiqi, Fiqh Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 122

Page 59: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

49

kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam

acara-acara khusus.74

b. Berdasarkan cakupannya terbagi menjadi dua yaitu:

1) Al-„urf al-„am, yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara umum

di masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, adat kebiasaan

yang berlaku di masyarakat dalam memakai ungkapan, engkau

telah haram aku gauli kepada istrinya sebagai ungkapan untuk

menceraikan istrinya.

2) Al-„urf al-khash, yaitu adat kebiasaan yang berlaku secara khusus

dalam suatu masyarakat.75

Misalnya, kebiasaan masyarakat Jambi

menyebut kalimat‚ satu tumbuk tanah‛ untuk menunjuk pengertian

luas tanah 10x10 meter.

c. Berdasarkan keabsahannya terbagi menjadi dua yaitu:

1) Al-„urf al-shahih, yaitu kebiasaan yang dilakukan manusia tidak

bertentangan dengan dengan dalil shara‟. Misalnya, dalam masa

pertunangan pihak laki-lai memberikan hadiah kepada pihak

perempuan dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas kawin

2) Al-„urf al-fasid, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh manusia

tetapi bertentangan dengan shara‟.76

Misalnya, minum-minuman

keras, hidup bersama tanpa nikah.

74 Nasroen Haroen, Ushul Fiqh I, (Jakarta: Logos ,1996), h. 139

75

Satria Effendi, Ushul fiqh, Cet Ke I, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 154

76

Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, Terjemah Faiz el

Muttaqin, Cet I, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h. 117

Page 60: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

50

BAB III

SEJARAH SINGKAT DAN PROFIL BESERTA TRADISI HANTARAN

DESA PULAU BATU

A. Sejarah Singkat Desa Pulau Batu

Pada zaman dulu, Dusun Pulau Batu dijadikan tempat persinggahan oleh

pemburu dari salah satu kerajaan Melayu, beberapa dari sebagian pemburu

tersebut melihat lokasi tersebut sangatlah strategis dengan tanah yang subur, maka

timbullah keinginan dari mereka untuk bertani disekitar persinggahan tersebut.

Seiring berjalannya waktu, lama-kelamaan berkembanglah penduduknya,

dan pada akhirnya muncullah ide dari setiap masyarakat atau beberapa warga

untuk mengadakan musyawarah dusun. Dan dari musyawarah dusun tersebut

disepakatilah untuk membuat suatu wilayah atau dusun, pada musyawarah

tersebut telah mufakat setiap warga untuk memberi nama dusun dengan nama

Pulau Batu. Dan diambillah Pulau Batu dari para pemburu yang singgah pertama

kali di desa tersebut.77

B. Profil Keadaan Desa Pulau Batu Berupa Letak Geografis

Desa Pulau Batu merupakan desa penduduk asli Melayu yang populasi

awal 15 KK, dan sekarang berkembang menjadi 767 KK. Dengan sebagian

penduduk Desa Pulau Batu bekerja dalam sektor pertanian dan perkebunan serta

pegawai pemerintahan dan swasta. Desa Pulau Batu merupakan Desa yang

terletak di Kecamatan Jujuhan Ilir, Kabupaten Muara Bungo, Provinsi Jambi.

77 Dokumen RKP-Dus Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir

Page 61: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

51

Desa Pulau Batu merupakan salah satu dari 7 (tujuh) desa diwilayah Kecamatan

jujuhan Ilir, yang terletak 1 km kearah selatan dari kota kecamatan. Sedangkan

jarak menuju pemerintahan Kabupaten Muara Bungo ialah 75 km dan jarak dari

provinsi adalah 336 km. Iklim Desa Pulau Batu seperti desa-desa lainnya di

wilayah Indonesia yang mempunyai iklim kemarau dan hujan, hal tersebut

mempunyai pengaruh terhadap pola tanam yang ada di Desa Pulau Batu

Kecamatan Jujuhan Ilir.

Adapun Desa yang tergabung dalam Kecamatan Jujuhan Ilir terdapat 7

(tujuh) Desa, yaitu:

1. Desa Tepiandanto

2. Desa Aur Gading

3. Desa Lubuk Tenam

4. Desa Pulau Batu

5. Desa Bukit Sari

6. Desa Sari Mulya

7. Desa Kuamang

Desa Pulau Batu terdiri dari 5 (lima) Dusun, dari setiap Dusun tersebut

memiliki kepala kampung tersendiri, yang mana kepala kampung di setiap dusun

tersebut bertugas sebagai pembantu Datuk Rio (Kepala Desa) untuk mentertibkan

desa dan memberi kenyamanan dalam bermasyarakat. Adapun Dusun yang

tergabung di Desa Pulau Batu antara lain ialah:

1. Dusun Cempaka Putih

2. Dusun Tebat

Page 62: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

52

3. Dusun Tengah

4. Dusun Sungai Pinang I

5. Dusun Sungai Pinang II

Adapun batasan-batasan wilayah Desa Pulau Batu meliputi:

1. Sebelah Utara: Desa Sari Mulya Kecamatan Jujuhan Ilir

2. Sebelah Selatan: Desa Sido Rukun

3. Sebelah Barat: Desa Lubuk Tenam Kecamatan Jujuhan Ilir

4. Sebelah Timur: Desa Teluk Kayu Putih Kecamatan Tujuh Koto Kabupaten

Tebo

Luas wilayah Desa Pulau Batu 1874 ha, dengan rincian wilyah yang

meliputi:

1. Tanah Perkebunan Masyarakat : 1580 ha

2. Tanah Pekarangan : 200 ha

3. Tanah Lapangan Bola : 4 ha

4. Pasar Tradisional : 15 ha

5. Rawa/Kolam : 14 ha

6. Perairan Umum : 15 km

Desa Pulau Batu memiliki satu tempat pemakaman yang terletak di Dusun

Tengah, luas tanah pemakaman sekitar 10 ha. Pada hari raya idul fitri ke 3 (tiga),

masyarakat Desa Pulau Batu mempunyai kebiasaan atau adat yang mana adat

tersebut adalah dengan mengunjungi atau ziarah kemakam keluarga masing-

masing yang telah meniggal dunia, adapun agenda pada ziarah tersebut ialah

membaca Yasin, bersih-bersih makam keluarga, dan pada pukul 11:00 WIB,

Page 63: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

53

seluruh kegiatan yang bersangkutan dengan ziarah akan diberhenti untuk

sementara oleh ustadz ataupun panitia hari besar Islam (PHBI), dengan maksud

mengajak masyarakat yang berziarah untuk mendengarkan atau menyimak

ceramah yang biasanya disampaikan oleh ustadz ataupun imam mesjid Desa Pulau

Batu. Dan biasanya ceramah tersebut bermaterikan tentang kematian. Adapun

durasi waktu untuk penyampaian ceramah tersebut sekitar 1 (satu) jam 30 (tiga

puluh) menit ataupun 20 menit sebelum waktu sholat dzuhur. Kebiasaan seperti

ini dilakukan sekali dalam satu tahun pada hari raya idul fitri ke 3 (tiga)78

.

Desa Pulau Batu juga memiliki tanah lapangan bola kaki yang dinamakan

oleh masyarakat Desa Pulau Batu dengan sebutan Gelora Bintang Timur Fc.

Bukan hanya lapangan bola kaki saja yang berada di Gelora Bintang Timur Fc ini,

akan tetapi gelora bintang timur fc ini mencakupi beberapa lapangan olahraga, di

antara nya ialah lapangan sepak takraw, lapangan bola voli, dan lapangan futsal.

Letak gelora bintang timur fc ini satu arah menuju pasar tradisional yaitu Dusun

Sungai Pinang II. Adapun luas tanah lapangan bola (gelora bintang timur fc) ini

ialah 4 Ha. Setiap tahun biasanya diadakan tournament ataupun kegiatan olahraga.

Biasanya warga mengadakan tournament bola kaki antar Dusun atau Desa. Pada

17 (tujuh belas) agustus lapangan bola kaki ini biasanya dipakai untuk acara

upacara bendera, dan setelah itu barulah dibuka acara olahraga memperingati hari

kemerdekaan, biasanya dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) hari, adapun

yang ikut serta dalam memperingati hari 17 agustus ini atau hari kemerdekaan ini

ialah seluruh Desa yang tergabung dalam Kecamatan Jujuhan Ilir, adapun agenda

78 Baijuri (Tokoh Adat), Wawancara, Pulau Batu, 9 Januari 2017

Page 64: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

54

untuk memperingati hari Kemerdekaan Republik Indonesia ini ialah sepak bola,

sepak takraw, bola voli, futsal, dan tenis meja. Biasanya kegiatan 17 agustus ini di

buka oleh Bapak camat Jujuhan Ilir yang mana setelah upacar 17 agustusan

selesai.79

C. Keadaan Demografi

Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir terdiri dari 3760 jiwa, yang

tersebar disetiap Dusun, yang mana setiap Dusun memiliki Kepala Dusun

tersendiri. Mayoritas penduduk Desa Pulau Batu ialah bersuku melayu, sekalipun

terdapat beberapa penduduk dari etnis lain. Meskipun demikian masyarakat Desa

Pulau Batu secara keseluruhan masih memegang erat adat atau tradisi yang pernah

diwariskan oleh nenek moyangnya. Adapun rincian dari penduduk Desa Pulau

Batu sebagai berikut:

TABEL I

Jumlah Penduduk Desa Pulau Batu Menurut Jenis Kelamin

NO Jenis Kelamin Jumlah

1 Laki-laki 1773 Jiwa

2 Perempuan 1987 Jiwa

D. Keadaan Ekonomi

Keadaan penduduk Desa Pulau Batu apabila dilihat dari segi

perekonomian, Desa Pulau Batu memiliki potensi yang dapat dikembangkan oleh

79 Muhammad Zami (Staf Datuk Rio), Wawancara, Pulau Batu, 11 Januari 2017

Page 65: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

55

masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan kesehariannya. Hal ini dengan jumlah

perkebunan karet dan sawit yang masih banyak dikelola oleh setiap warga Desa

Pulau Batu. Untuk lebih jelasnya mengenai mata pencarian penduduk dapat dilihat

pada tabel dibawah ini:

TABEL II

Data Mata Pencarian Pokok Masyarakat Desa Pulau Batu

No Petani Pedagang DLL PNS Buruh

1 1792 35 20 121

(Sumber: Dokumen RKP-Dus Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir)

Mata pencarian pokok masyarakat Desa Pulau Batu kebanyak dari kebun

karet dan sawit, mereka kebanyakan mempunyai lahan kebun karet dan sawit

sendiri, ada juga yang mempunyai anak buah, istilah anak buah di Desa Pulau

Batu ini ialah orang yang kerja untuk menyadap pohon karet, kebanyakan anak

buah (pegawai) rata-rata adalah transmigrasi. Ada yang berasal dari Jawa Tengah

(Jawa Pati), Jawa Timur. Dan ada juga yang berasal dari dalam pulau sumatra

seperti medan,, padang, riau, bengkulu dan dan tidak sedikit pula penduduk dari

pribumi.80

E. Keadaan Pendidikan

Ditinjau dari segi pendidikan, masyarakat Desa Pulau Batu tergolong

masyarakat yang mengenal baca tulis, hal ini dapat dilihat dari mayoritas

penduduk yang menyekolahkan anak-anaknya dari jenjang TK hingga ke

80

Akmal (masyarakat), Wawancara, Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir,15 Januari

2017

Page 66: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

56

perguruan tinggi. Sekalipun tidak semuanya dapat memberikan pendidikan hingga

perguruan tinggi pada anak-anaknya, namun mereka berusaha memberikan

pendidikan agar anak-anaknya dapat membaca, menghitung dan menulis serta

dapat hidup lebih baik lagi. Dibuktikan dengan adanya bangunan-bangunan

sekolah sebagai berikut.

TABEL III

Data Jumlah Sarana Pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Bangunan

1 PAUD 01 Buah

2 TK 01 Buah

3 SD 01 Buah

4 MIN 01 Buah

5 MTSN 01 Buah

6 MA 01 Buah

(Sumber: Dokumen RKP-DUS Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir)

Meskipun Desa Pulau Batu belum memiliki SMAN atau sederajatnya yang

mempunyai rana prasarana pendidikan lebih memadai ataupun kualitas

pendidikannya lebih tinggi seperti sekolah-sekolah negri lainnya, akan tetapi tidak

sedikit juga yang bersekolah di luar desa seperti bersekolah di Provinsi dan ada

juga yang bersekolah di luar Provinsi bahkan di luar pulau Sumatera. Hal ini

membuktikan betapa pentingnya menuntut ilmu setinggi-tingginya. Kemudian

untuk jelasnya, keadaan pendidikan penduduk Desa Pulau Batu dapat dilihat dari

tingkat pendidikannya sebagai berikut:

Page 67: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

57

TABEL IV

Tingkat Pendidikan warga Desa Pulau Batu

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1 Tidak Tamat SD 48 Orang

2 Tamat SD/Sederajat 240 Orang

3 Tamat SMP/Sederajat 215 Orang

4 Tamat SMA/Sederajat 115 Orang

5 Sarjana 205 Orang

(Sumber: Dokumen RKP-DUS Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir)

Dari tabel di atas diketahui, bahwasannya sudah banyak warga Desa Pulau

Batu yang sadar akan pentingnya pendidikan bagi diri sendiri ataupun anak-

anaknya untuk masa depan yang lebih baik lagi. Sekalipun jumlah tamatan SD

atau sederajatnya masih banyak akan tetapi jumlah jiwa tersebut ialah mereka

yang telah menua. Kebanyak mereka putus sekolah sampai SD atau sederajatnya

karena faktor biaya sekolah yang zaman dahulu masih dirasa mahal dan mereka

lebih mendahulukan atau lebih mementingkan biaya kebutuhan pangan sehari-hari

dibandingkan biaya pendidikan pada saat itu.

F. Keadaan Sosial Keagamaan

Masyarakat Desa Pulau Batu merupakan masyarakat pemeluk Agama

Islam seluruhnya, sehingga mereka menjunjung tinggi kekompakan dan

kerukunan sesamanya. Hal ini menjadi kelebihan tersendiri bagi masyarakat Desa

Page 68: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

58

Pulau Batu, karena dengan penduduk yang homogen dalam artian memiliki

Agama yang sama, maka mereka akan dengan mudah menjunjung tinggi nilai-

nilai keagamaan dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Hal ini

dibuktikan dengan adanya acara rutinan keagamaan yang dilaksanakan

masyarakat setempat, moment tersebut memberikan kesempatan bagi masyarakat

untuk lebih sering bertemu, silaturrahim dan bersosialisasi satun sama lain.

Adapun rutinan keagamaan tersebut ialah yasinan rutin yang di adakan disetiap

rumah warga secara bergiliran dan pengajian setiap subuhnya, yasinan seperti ini

di bagi atas kelompok Rt/Rw, setiap Rt/Rw mempunyai kelompok yasinan yang

setiap kamis malam rutin dilakukan dalam satu kali satu minggu. Hal ini membuat

intensitas bertemunya masyarakat lebih sering sehingga mereka mendapatkan

suasana kekeluargaan.

G. Tinjauan Umum Terhadap Proses Pelaksanaan Adat Hantaran Pada

Masyarakat Desa Pulau Batu

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pemberian barang hantaran

nikah atau uang hantaran ialah barang atau uang sebagai pemberian dari pihak

laki-laki kepada calon mempelai untuk biaya perkawinan, dalam istilah lain

disebut juga uang jujur, yaitu uang yang diberikan calon pangantin laki-laki

kepada calon pengantin perempuan.81

81

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Pusat Bahasa, 2008), h.1766

Page 69: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

59

Pada dasarnya pemberian hantaran nikah ini merupakan tradisi

masyarakat yang telah dibangun sejak zaman dahulu oleh Nenek Moyang

masyarakat setempat. Seperti yang berlaku di Desa Pulau Batu Kecamatan

Jujuhan Ilir ini, walaupun di desa-desa atau tempat daerah lain banyak juga yang

melakukan hal serupa, akan tetapi proses pelaksanaannya dan kata-kata atau

pantun sebelum memulai pemberian hantaran yang membedakan, biasanya

masyarakat Pulau Batu sebelum memberikan hantaran ada penyampaian kata-

kata dengan berbalas pantun antara ninek mamak kedua calon mempelai.

Pemberian barang hantaran sudah menjadi bagian yang umum dalam

rangkaian pernikahan dalam masyarakat Desa Pulau Batu. Hantaran merupakan

simbolis dari pihak mempelai pria sebagai wujud tanggung jawab kepada pihak

keluarga terutama orang tua calon pengantin wanita. Sejarah dimulainya tradisi ini

pun masih belum diketahui sejak kapan. Tidak ada tulisan yang menjelaskan asal

muasal tradisi ini dimulai. Diperkirakan sebelum agama Islam masuk ke

Indonesia, tradisi ini dimulai oleh para nenek moyang terdahulu. Setelah agama

Islam masuk pun, tradisi atau prosesi simbolis ini masih dipertahankan karena

menyimpan nilai yang luhur dan moral tanggung jawab yang tinggi dalam

mengaruhi bahterah rumah tangga ke depannya. Itulah alasan kenapa tradisi

hantaran ini masih dipertahankan.

Masyarakat Pulau Batu mengartikan hantaran sebagai suatu pemberian

yang diberikan oleh pihak laki-laki pada saat sebelum terjadinya akad nikah atau

pernikahan, pemberian hantaran menjadi salah satu bagian penting dalam

rangkaian upacara pernikahan. hantaran merupakan simbol tanggung jawab pihak

Page 70: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

60

keluarga terutama orang tua calon pengantin perempuan, karena peran orang tua

wanita dalam menghargai anak agar di lepas tangan yang bisa sepenuhnya

bertanggung jawab. Adapun dilaksanakannya adat hantaran baisanya satu minggu

sebelum akad pernikahan, biasanya pemberian hantaran dilakukan beberapa hari

sebelum akad pernikahan di langsungkan.

Adapun bentuk dari hantaran tersebut ialah berupa uang, emas perhiasan,

pakaian, makanan, buah-buahan ataupun perlengkapan lainnya. Barang hantaran

tidak mesti seperti diatas, akan tetapi sesuai budget atau kesepakatan kedua calon

mempelai. Intinya ialah barang hantaran biasanya yang bisa dipakai calon

penganti perempuan.82

Masyarakat Desa Pulau Batu memang kaya akan adat atau

tradisi-tradisi. Tradisi yang ada di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir tidak

hanya saat kematian, acara keagaman, dan kehidupan sehari-hari saja, akan tetapi

yang menuju pada terjadinya suatu pernikahan seperti pemberian hantaran.

Proses Hantaran pada awalnya iring-iringan dari pihak laki-laki memasuki

rumah pihak wanita yang diiringi dengan barang hantaran belanja yang telah

ditetapkan kedua calon mempelai sebelumnya dengan dibawa oleh dayang-

dayang atau gading-gading dari pihak laki-laki.

Adapun bentuk dari hantaran tersebut ialah berupa, emas perhiasan,

pakaian, perawatan tubuh, kosmetik, pakaian perlengkapan wanita, perlengkapan

ibadah, makanan dan buah-buahan. Ada juga sejumlah uang yang sebelumnya

telah ditetapkan sebagai nominal jumlah uang hantaran dan semuanya dikemas

dalam bentuk wadah yang unik dan menarik. Barang hantaran tidak mesti seperti

82

Baijuri, (Tokoh Adat), Wawancara, Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir, 15

Januari 2017

Page 71: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

61

diatas, akan tetatapi sesuai budget atau kesepakatan kedua calon mempelai.

Intinya ialah, barang hantaran biasanya yang bisa dipakai oleh calon penganti

perempuan. Dan adapun barang yang akan dijadikan sebuah hantaran biasanya

atas kesepakatan kedua bela pihak dari laki-laki maupun perempuan dan

terkadang hanya pihak laki-laki saja yang menentukan barang hantaran yang akan

diberikan, tergantung kesepakatan ninik mamak antar kedua bela pihak calon

mempelai (utusan perwakilan dari kedua mempelai). Namun yang sering terjadi

kesepakatan antara kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan.

Setelah barang hantaran telah ditetapkan, kemudian kedua calon

mempelai pria dan wanita menentukan tanggal ataupun hari untuk melakukan

pemberian hantaran tersebut. Setelah hari pemberian hantaran telah ditetapkan

oleh kedua calon mempelai laki-laki dan perempuan, barulah memasuki proses-

proses pemberian hantaran tersebut. Proses pemberian hantaran ialah dengan

memasuki rumah pihak wanita, rombongan dari pihak laki-laki dipersilahkan

duduk. Dan utusan dari pihak laki-laki dan wanita saling bersalaman, kemudian

utusan dari pihak laki-laki mulai menyampaikan beberapa bait pantun terlebih

dahulu yang kemudian akan dibalas oleh utusan dari pihak perempuan sebagai

kata pengantar dan pantun ini diucapkan sebelum acara pemberian hantaran di

mulai.83

83 Baijuri, (Tokoh Adat), Wawancara, Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir, 15

Januari 2017

Page 72: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

62

BAB IV

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI PEMBERIAN

BARANG HANTARAN SEBAGAI SYARAT PERKAWINAN PADA

MASYARAKAT DESA PULAU BATU

A. Analisis Terhadap Proses Terjadinya Tradisi Pemberian Barang

Hantaran Sebagai Syarat Perkawinan Pada Masyarakat Desa Pulau

Batu

Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih Allah Swt sebagai jalan bagi

manusia untuk beranak, berkembang biak dan kelestarian hidupnya, setelah

masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam

mewujudkan tujuan perkawinan. Perkawinan salah satu sunnatullah yang umum

berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-

tumbuhan.84

Begitulah kehendak Allah Swt, dalam segala ciptaanNya, dari jenis

manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Melalui perkawinan antara pasang-

pasangan itulah semuanya beranak pinak dan berkembang biak, sehingga

menjamin kesinambungan jenis masing-masing, terus menerus sampai akhir yang

dikehendaki olehNya.

Untuk itulah, dalam diri masing-masing pasangan yang laki-laki dan

perempuan (pada jenis manusia) atau yang jantan dan yang betina (pada jenis

hewan), Allah Swt menciptakan berbagai instrumen khusus, yang memiliki

84

Moh Thalib, Fikih Sunnah, (PT Al-Ma‟arif: Bandung, 1981), h. 5

Page 73: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

63

insting atau hasrat seksual (syahwah) yang saling tarik menarik antar keduanya.

Dengan insting itu, mereka saling terdorong untuk melaksanakan tugas masing-

masing dengan sebaik-baiknya, demi mencapai tujuan yang mulia yang memang

telah ditetapkan olehNya. Khusus kepada jenis manusia, Allah Swt berfirman:

لببئم ب ب جؼهب كى شؼ ثى أ ركش ب انبط إب خهمب كى ي : انحجشاث... )نخؼبسفاآ أ

١٢)

Artinya: Wahai manusia sekalian, sungguh kami telah menciptakan kamu

dari jenis laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa

dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal... (QS Al-Hujurat: 13).

Disamping itu, Allah Swt tidak menghendaki menjadikan manusia

makhluk yang paling dimuliakan olehNya. Allah Swt menjadikan semua makhluk

itu sama seperti makhluk-makhluk yang lainnya, yang menyalurkan syahwah

(hasrat seksual) nya dalam hubungan antara kedua jenis kelamin yaitu laki-laki

dan perempuan atau (jantan dan betina) secara bebas-sebebasnya, tanpa batas dan

tanpa aturan, akan tetapi ditetapkan bagi manusia aturan main yang aman dan

sempurna, yang menjaga kemuliaannya dan menjaga kehormatannya. Yaitu dalam

sebuah lembaga yang dikenal sebagai “pernikahan”, dan yang dalam agama Islam,

bahkan dalam semua agama samawi, dijadikan sebagai satu-satunya cara

penyaluran yang sah dan di ridhai Allah Swt.85

Adapun dalam istilah hukum syariat, nikah adalah akad yang

menghalalkan pergaulan sebagai suami-istri (termasuk hubungan seksual) antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan bukan mahram yang memenuhi berbagai

85 Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Mizan Media Utama: Bandung, 2002),

h. 1

Page 74: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

64

persyaratan tertentu, dan menetapkan hak dan kewajiban masing-masing demi

membangun keluarga yang sehat secara lahir dan batin. Dan adapun tujuan dari

perkawinan adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, warahmah.86

Pernikahan bisa dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat-syarat sah

dan rukun nikah. Salah satu syarat sah pernikahan adalah dengan adanya

pemberian mahar atau maskawin kepada calon mempelai istri. Islam sangat

memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak

kepadanya, di antaranya, adalah hak untuk menerima mahar.

Mahar secara etimologi artinya maskawin, sedangkan secara termonologi

mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai

ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri

kepada calon suaminya. Mahar terbagi menjadi dua yaitu, mahar musamma dan

mahar misil. Mahar musamma adalah mahar yang disebut dengan jelas jumlah

dan jenisnya dalam suatu akad nikah, sedangkan mahar misil adalah mahar yang

tidak disebutkan jumlah dan jenisnya dalam suatu akad nikah.

Menurut Imam Syafi‟i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang

wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk dapat

menguasai seluruh badannya. Sedangkan menurut Imam Maliki adalah, karena

mahar merupakan syarat sahnya nikah, bahkan Imam Maliki mengatakannya

86 Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, (Mizan Media Utama: Bandung, 2002),

h. 3

Page 75: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

65

sebagai rukun nikah, maka hukum memberikannya adalah wajib.87

Allah SWT

berfirman dalam surat an-Nisa‟ ayat 24

فشضت ... )انغبء: س أج فئبح ي خؼخى ب ب عخ (٣٩... ف

Artinya: Maka istri-istri yang kamu nikmati (campuri) di antara mereka,

berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu

kewajiban. (QS an-Nisa‟: 24)

Selain itu kewajiban juga disebutkan dalam as-Sunnah, sebagai berikut:

بس د حبصو ب إب كغ ػ حذثب عهى حذثب ح صم هللا ػه انب م عؼذ أ ع ػ

حذذ )سا بخبسي( بخبحى ي ن ج لبل نشجم حض88

Artinya: Telah berkata Yahya, telah berkata Waqiq dari Abi Hazim bin

Dinar dari Sahal bin Said. Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda

kepada seorang laki-laki: Hendaklah kamu menikah walaupun dengan cincin dari

besi. (HR. Bukhori).

Hadits ini menerangkan mengenai kewajiban memberikan mahar

sekalipun sesuatu yang sedikit. Demikian pula tidak ada keterangan bahwasanya

Nabi Muhammad SAW pernah meninggalkan mahar pada suatu pernikahanNya.

Jika mahar tidak wajib maka nabi pernah meninggalkannya walaupun sekali

dalam kehidupannya yang berarti menunjukkan ketidakwajibannya.89

Menarik sebuah kesimpulan pada ayat al-Qura‟an dan Hadits di atas

bahwasannya memberikan sebuah mahar tidak harus dengan barang yang mewah

ataupun barang yang mahal, akan tetapi menurut kesanggupan seseorang apabila

87

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (CV Pustaka Setia: Bandung, 1999),

h. 107

88

Imam Hafidh Ibn Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al Bukhari, Sahih Bukhari, (Riyadh:

Baitul Afkar Abdauliyah, 1998), h. 601

89

Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat,

(Jakarta: Amzah, 2011), h. 177

Page 76: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

66

hendak melaksanakan pernikahan dan menjadi suatu kewajiban untuk

membayarnya apabila telah terjadi dukhul atau telah dicampuri. Akan tetapi pada

masyarakat Desa Pulau Batu selain memberikan mahar dari calon suami kepada

calon istri pada saat akad nikah masih ada tradisi ataupun kewajiban pemberian

barang hantaran menjelang pernikahan. Pemberian barang hantaran yaitu

penyerahan barang dari pihak calon pria atau calon suami kepada calon istri.

Pemberian barang hantaran ini biasanya dilaksanakan satu minggu sebelum akad

pernikahan dilaksanakan, penetapan pelaksanaan pemberian barang hantaran ini

dilaksanakan setelah keputusan dari ninek mamak kedua bela pihak (perwakilan

dari kerabat kedua belah pihak).

Tradisi pemberian barang hantaran ini telah ada sejak zaman dulu, tidak

ada ketetapan lahirnya atau kapan tradisi pemberian barang hantaran ini ada.

Tradisi pemberian barang hantaran ini sudah menjadi adat kebiasaan apabila

hendak melaksanakan pernikahan oleh masyarakat Desa Pulau Batu. Pemberian

barang hantaran ini berbeda dengan mahar yang disebut sangat jelas pada saat

akad nikah.

Tradisi pemberian barang hantaran ini tidak bisa disamakan dengan

dengan mahar, adapun perbedaan diantara keduanya adalah:

1. Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai

ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih kepada

calon istrinya. Sedangkan tradisi pemberian barang hantaran adalah

pemberian sebagai rasa kasih sayang, pemberian untuk menghormati adat

Page 77: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

67

yang telah berlaku sejak zaman dulu dan serta untuk menghormati

keberadaan keluarga calon istri, pemberian barang hantaran ini tidak

wajib hukumnya karena tidak ada aturan yang berlaku dalam syari‟at

Islam.

2. Pemberian mahar dari calon suami kepada calon istri sudah jelas

perintahnya dalam al-Qur‟an dan Hadits, sedangkan pemberian barang

hantaran ini tergantung terhadap sebuah kebiasaan atau adat yang berlaku,

tidak ada perintah yang jelas untuk mewajibkan pemberian barang

hantaran tersebut.

3. Mahar adalah barang tertentu permintaan calon istri dan hasil dari

persetujuan istri, sedangkan pemberian barang hantaran tergantung atas

kesepakatan ninek mamak kedua belah pihak.

4. Mahar digunakan sepenuhnya untuk istri dan suami, boleh menggunakan

mahar atas dasar izin dari istri, sedangkan barang hantaran bisa digunakan

untuk kepentingan kedua calon mempelai baik suami maupun istri,

tergantung manfaat barang yang diberikan oleh calon suami.

5. Bentuk dari mahar biasanya untuk keperluan istri saja, sedangkan barang

hantaran bisa untuk keperluan kedua calon suami ataupun istri.

6. Mahar tidak bisa ditarik kembali apabila telah terjadi setubuh (dukhul)

antara keduanyaa, sedangkan barang hantaran bisa ditarik kembali

sepenuhnya apabila terjadi setubuh dukhul.

7. Mahar menjadi hak istri sepenuhnya apabila sudah terjadi setubuh dukhul

antara si suami dan si istri, sedangkan barang hantaran menjadi hak

Page 78: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

68

sepenuhnya atas suami baik sebelum atau sesudah pernikahannya

walaupun sudah terjadi setubuh (dukhul) dan walaupun sudah dikarunia

anak.

Pemberian barang hantaran adalah tanda untuk menghormati adat yang

berlaku serta untuk menghargai keberadaan dari keluarga calon suami kepada

calon istri. Pemberian barang hantaran ini bisa dikategorikan sebagai bukti

bahwasannya calon suami telah siap dan serius sepenuhnya untuk menikah dan

memimpin rumah tangga yang sakinah mawaddah warahmah. Pada saat

pemberian barang hantaran ini terdapat kata-kata penyampaian khusus yang

disampaikan oleh ninek mamak dari pihak calon suami dan kemudian dibalas pula

oleh ninek mamak dari calon mempelai istri, adapun kebiasaan khusus kata-kata

penyampaian ini biasa dinamakan “kato-kato pengulur atau pengantar dari pihak

jantan” (kata-kata pengantar dari pihak laki-laki), dan adapun dari pihak

perempuan adalah “kato-kato penjawat dari pihak betino” (kata menerima dari

pihak perempuan).

Tradisi pemberian barang hantaran ini berlaku bagi pihak perempuan yang

berasal dari Desa Pulau Batu, dan apabila perempuan ada yang berasal dari luar

wilayah yang tidak tergolong dalam seloko sepucuk jambi sembilan lurah Provinsi

Jambi (satu kesatuan rakyat dan wilayah Jambi dalam bingkai Negara kesatuan

Republik Indonesia) yang menggunakan adat pemberian hantaran yang serupa,

maka boleh dilaksanakan dan boleh tidak, tergantung permintaan dari ninek

mamak pihak perempuan ataupun kesepakatan bersama dalam memakai adat

hantaran tersebut.

Page 79: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

69

Akibat hukum dari pemberian barang hantaran tersebut ialah apabila

kemungkinan pihak laki-laki tidak bisa memberikan barang hantaran tersebut

maka laki-laki tersebut dianggap tidak bisa menghormati keberadaan adat yang

berlaku di desa setempat, serta pihak laki-laki tidak bisa menghargai pihak

perempuan beserta keluarganya, karena pada masyarakat setempat menganggap

perempuan sesuatu yang sangat berharga dan di junjung tinggi keberadaannya,

serta laki-laki tersebut tidak bisa menjaga nama baik keluarga perempuan yang

mana akan menjadi buah bibir dimasyarakat setempat apabila pihak laki-laki tidak

bisa memberikan barang hantaran tersebut. Disamping itu pihak laki-laki

dianggap tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga dan ada kemungkinan

pihak laki-laki akan mempermalukan pihak perempuan. Tradisi tersebut berlaku

bagi semua kalangan baik itu orang kaya maupun orang yang tidak mampu.

Dalam hukum Islam pemberian barang hantaran sebagai syarat sah nya

perkawinan selain mahar ini memang tidak dijelaskan dan apabila tidak

dilaksanakan tidak melanggar syariat Islam, akan tetapi apabila pemberian barang

hantaran ini tidak terpenuhi maka hal ini dianggap telah melanggar norma

kebiasaan, karena masyarakat Desa Pulau Batu sendiri menganggap pemberian

barang hantaran ini harus selalu terlaksana dalam setiap pernikahan yang akan

dilaksanakan.

Adapun pemberian barang hantaran tersebut dikategorikan sebuah

kewajiban apabila tidak terpenuhi maka akan menghambat proses perkawinan,

karena calon mempelai perempuan dan pihak keluarga akan menjadi bahan

gunjingan serta merasa dipermalukan ditengah-tengah masyarakat karena tidak

Page 80: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

70

mendapat barang hantaran yang mana sudah menjadi sebuah kebiasaan apabila

hendak melaksanakan perkawinan. Pemberian barang hantaran ini adalah simbol

utama bagi calon laki-laki bahwasannya telah mampu untuk melaksanakan

pernikahan dan pihak perempuan merasa dihargai dan percaya bahwasannya

anaknya berada ditangan suami yang bisa bertanggung jawab sebagai seorang

pemimpin rumah tangga apabila suatu saat jauh dari orang tuanya. Pernikahan

memang tidak selalu berujung dengan kebahagiaan, terkadang pernikahan

berujung dengan pertengkaran dan kemudian berakhir dengan perceraian. Di Desa

Pulau Batu apa bila terjadi perceraian maka barang hantaran yang diberikan pada

saat mejelang pernikahan boleh diambil kembali oleh pihak laki-laki, hak

sepenuhnya tergantung pihak laki-laki, boleh dibawa kembali dan boleh ditinggal

untuk anak-anaknya.90

B. Analisa Hukum Islam Terhadap Tradisi Pemberian Barang Hantaran

Desa Pulau Batu

Hukum Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar akan

kenyataan bahwa adat kebiasaan dan tradisi telah memainkan peran penting dalam

mengatur kehidupan manusia dikalangan anggota masyarakat. Adat kebiasaan

kedudukan pula sebagai hukum yang tidak tertulis, namun sangat dipatuhi oleh

masyarakat.

90

Baijuri (Tokoh Adat), Wawancara, Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir, 17

Februari 2017

Page 81: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

71

Dalam kehidupan masyarakat banyak sekali kegiatan dan aturan yang ada

berasal dari nenek moyang. Adat atau tradisi ini telah turun temurun dari generasi

ke generasi yang tetap dipelihara hingga sekarang. Dalam aktivitas praktis

manusia, tradisi menjadi hal yang begitu penting. Fungsi tradisi memberikan

pedoman untuk bertindak dan memberikan setiap orang nilai-nilai perilaku sesuai

adat atau kebiasaan yang berlaku.

Agama Islam sebagai agama yang bersifat rahmatan lil‟alamiin tidak

melarang pelaksanaan adat dan tradisi selama hal tersebut tidak bertentangan

dengan syariat Islam. Selama adat dan tradisi berjalan sesuai dengan hukum

Islam, maka tradisi tersebut pengakuan dari syara‟ sebagai bentuk keefektifan adat

istiadat dalam interpretasi hukum.

Terkait dengan tradisi yang berlaku di Desa Pulau Batu yaitu Tradisi

Pemberian Barang Hantaran ini tidak bisa ditinggalkan dan sudah menjadi sebuah

hukum yang tidak tertulis secara turun-temurun yang berlaku pada masyarakat

setempat.

Secara penelusuran literatur, penulis tidak menemukan nash al-Qur‟an

baik yang bersifat qoth‟i maupun dzonni yang membahas tentang pemberian

barang hantaran sebagai syarat perkawinan, begitupun dengan hadits, ijma‟

maupun pembahasan pada kitab-kitab fikih klasik tidak ada yang menerangkan

tentang barang hantaran sebagai syarat perkawinan, untuk itu peneliti akan

menggunakan tinjauan al-„urf (adat kebiasan) sebagai upaya pencarian hukum.

Pelaksanaan tradisi pemberian barang hantaran walaupun tidak tercantum

dalam hukum Islam, hal ini tidak bertentangan dengan syari‟at Islam dan tidak

Page 82: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

72

merusak akidah karena salah satu fungsi dari pemberian barang hantaran ini

adalah sebagai tanda kesanggupan atau tanda bahwasannya mempelai laki-laki

siap menjadi pemimpin dan memikul beban tanggung jawab sebagai kepala rumah

tangga. Adat seperti ini disebut dengan al-„Urf al-Shahih yaitu adat yang baik,

sudah benar dan bisa dijadikan pertimbangan hukum.

Adapun penetapan beberapa persyaratan untuk diterimanya „urf tersebut

adalah:

1. Adat atau „urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat

2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata dikalangan orang-orang yang

berada dalam lingkungan adat itu, atau dikalangan sebagian besar

warganya.

3. „Urf yang dijadikan sandran dalam penetapan hukum itu telah berlaku

pada saat itu, bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti „urf itu

harus telah ada sebelum penetapan hukum.

4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara‟ yang ada ataj

bertentangan dengan prinsip yang pasti

5. „Urf itu harus termasuk „urf yang shahih dalam arti tidak bertentangan

dengan ajaran al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah.

Tradisi pemberian barang hantaran sebagai syarat pernikahan dalam

sebuah problema ketentuan pernikahan ini merupakan tradisi yang sesuai dengan

syarat-syarat diterimanya „urf, sehingga tradisi pemberian barang hantaran ini

boleh dikerjakan oleh masyarakat.

Page 83: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

73

Tradisi pemberian barang hantaran di dalam pernikahan menurut Islam

yaitu:

1. „Urf Shahih yaitu sesuatu yang saling dikenal oleh manusia, dan tidak

bertentangan dalil syara‟, tidak menghalalkan sesuatu yang diharamkan,

dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib. Tradisi pemberian barang

hantaran di dalam pernikahan di Desa Pulau Batu ini sudah dikenal dan

sebagian masyarakat desa Pulau Batu melaksanakan tradisi atau adat

kebiasaan ini, dan juga tradisi ini tidak bertentangan dengan dalil-dalil

syara‟ ataupun tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang

wajib.

2. „Urf Fi‟li yaitu kebiasaan yang berlaku dalam bentuk perbuatan Tradisi ini

merupakan tradisi pemberian barang hantaran di dalam pernikahan di Desa

Pulau Batu berbentuk perbuatan yakni penyerahan barang hantaran yang

biasanya berupa kasur, lemari, alat-mandi dan lain-lain yang bisa digunakan

oleh pasangan suami istri apabila sudah menjadi pasangan suami istri yang

sah. Biasanya pemberian barang hantaran ini biasanya dilaksanakan satu

minggu sebelum ijab kobul, tergantung kesepakatan ninek mamak kedua

mempelai.

3. „Urf Khusus yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat

tertentu atau pada waktu tertentu, tidak berlaku disemua tempat dan

disembarang waktu. Tradisi pemberian barang hantaran di dalam

pernikahan di Desa Pulau Batu merupakan tradisi khusus karena model

Page 84: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

74

tradisi pemberian barang hantaran di dalam pernikahan di Desa Pulau

Batu yang ada di Desa tersebut khususnya lebih umum se Provinsi Jambi.

Adapun dalil tentang kehujjahan al-„urf sebagai seumber hukum Islam

adalah dalam surat al-A‟raaf ayat 199

)الػشاف: ه نجب أػشض ػ أيش ببنؼشف (١٤٤خز انؼف

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang

ma‟ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh. (QS. al-A‟raaf”

199). Kata al-„urf dalam ayat tersebut, yang mana manusia disuruh

mengerjakannya, oleh Ulama Ushul Fiqh dipahami sebagai sesuatu yang baik dan

telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami

sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap baik sehingga telah

menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‟ruf artinya sesuatu yang

diakui baik oleh hati. Ayat diatas tidak diragukan lagi bahwa suruan ini

didasarkan pada pertimbangan yang baik pada umat, dan hal menurut kesepakatan

mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Oleh karena itu kata al-ma‟ruf hanya

disebutkan untuk hal yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia,

baik dalam soal mu‟amalah maupun adat istiadat. Dan ayat tersebut juga bisa

dikategorikan sebuah isyarat agar manusia mengerjakan kebiasaan yang baik,

kaidah menunjukkan pengertian bahwa perintah untuk melakukan perkawinan

juga mengandung arti perintah untuk melakukan upaya untuk tercapainya tujuan

perkawinan, meskipun tidak diatur dalam al-Qur‟an dan sunnah.

Tradisi pemberian barang hantaran apabila ditinjau dari segi sosiologi

hukum, dimana sosiologi hukum merupakan disiplin ilmu yang sudah sangat

Page 85: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

75

berkembang. Suatu pendekatan sosiologis biasanya bersifat pragmatis yang

artinya menganalisis gejala-gejala sosial dengan seidkit mengabaikan kebudayaan

yang ada secara menyeluruh. Pendekatan sosiologis biasanya bersifat lebih pada

orientasi permasalahan, pendekatan sosiologis memusatkan pada perhatian

terhadap bagian tertentun dari masyarakat atau kebudayaan.

Hukum sosial didasarkan pada proses interaksi dalam masyarakat, dan

kemudian berfungsi sebagai pola untuk mengorganisasikan serta memperlancar

proses interaksi tersebut. Sehingga sering sekali hukum sosial dinamakan “a

system of stabilized interactional expentacies”

Konteks sosial dari masing-masing suku bangsa akan memberikan corak

warna tertentu pada setiap daerah. Sama halnya dengan Desa Pulau Batu yang

mempunyai tradisi pemberian barang hantaran, tradisi ini merupakan himpunan

nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola-pola perilaku yang berkisar pada kebutuhan-

kebutuhan pokok manusia.

Dalam teori Fungsionalis Strukturalis menyatakan bahwasannya setiap

elemen masyarakat berperan dalam menjaga stabilitas, fungsionalis cenderung

melihat masyarakat secara informal yang diikat oleh norma, nilai dan moral.

Fungsionalis memusatkan perhatian pada sesuatu yang diciptakan oleh nilai

kebersama masyarakat.

Adapun nilai moral yang berperan dalam tradisi ini, diantaranya adalah:

1. Nilai Kerukunan.

Dalam fakta dilapangan filosofi yang diambil dari tradisi

pemberian barang hantaran ini adalah keinginan masyarakat desa Pulau

Page 86: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

76

Batu untuk menciptakan kerukunan antar keluarga pasangan yang akan

melaksanakan pernikahan. Oleh karena itu, tradisi pemberian hantaran ini

tetap dilaksanakan dan dilestarikan agar tercapai tujuan yang diharapkan

oleh masyarakat Pulau Batu

2. Nilai Keharmonisan

Dalam sebuah pernikahan apabila tidak tercapai suatu tujuan yang

diharapkan masyarakat dimana dalam suatu pernikahan tersebut tradisi

pemberian barang hantaran tidak sesuai dengan harapan maka akan

menimbulkan kendala dalam proses pernikahannya, dikarenakan keluarga

mempelai perempuan akan menjadi bahan gunjingan oleh masyarakat

setempat dikarenakan tidak terpenuhnya pemberian barang hantaran

tersebut. Oleh karena itu, masyarakat dalam menyikapi kondisi seperti ini

seharusnya membuat suatu aturan yang disepakati oleh sebagian besar

lapisan masyarakat agar kerukunan dan keharmonisan antara keluarga

tetap terjaga, maka dari aspek sosiologi tradisi pemberian barang hantaran

dibenarkan dan sudah seharusnya dilestarikan.

Pemberian barang hantaran di Desa Pulau Batu merupakan suatu

kewajiban yang harus terpenuhi dan terkadang dengan jumlah yang tidak

sedikit. Namun demikian dari hasil wawancara diperoleh bahwa laki-laki

yang ingin menikahi wanita dari Desa Pulau Batu merasa tidak terbebani

dengan nilai uang yang akan dibelikan untuk barang berupa hantaran yang

relatif cukup tinggi jumlah pengeluarannya karena dalam penentuan

barang hantaran itu sudah tidak menjadi rahasia umum lagi dan dianggap

Page 87: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

77

masih dalam jangkauan kemampuan pihak laki-laki untuk memenuhi

pemberian barang hantaran yang dijadikan sebagai syarat pernikahan.

Selain itu para laki-laki memang telah mengetahui sebelumnya akan adat

tentang pemberian barang hantaran sehingga mereka telah mempersiapkan

segalanya sebelum melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Selama pemberian barang hantaran tidak mempersulit terjadinya

pernikahan maka hal tersebut tidak bertentangan dengan hukum Islam dan

yang paling penting adalah jangan sampai ada unsur keterpaksaan dalam

pemberian barang hantaran sebagai mana yang dijelaskan dalam firman

Allah SWT surah al-Baqoroh ayat 185 bahwa Allah SWT tidak

menghendaki kesukaran bagi hamba-hambaNya.

Hukum Islam mengakui adat sebagai sumber hukum karena sadar

akan kenyataan bahwa adat kebiasaan telah mendapat peran penting dalam

mengatur ketertiban hubungan sosial dikalangan anggota masyarakat. Adat

kebiasaan berkedudukan pula sebagai hukum yang tidak tertulis dan

dipatuhi karena dirasakan sesuai dengan rasa kesadaran hukum mereka.

Adat kebiasaan yang tetap sudah menjadi tradisi dan telah mendarah

daging dalam kehidupan masyarakatnya.

Menurut pemuka adat Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir,

pemberian barang hantaran ini adalah sebagai „urf karena sudah menjadi

kebiasaan turun-temurun di masyarakat dan rata-rata sudah menjadi

sebuah tradisi pada adat Jambi dimana pada Desa tersebut masih kental

adat istiadatmya. Namun penulis tidak sepakat apabila pelaksanaan

Page 88: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

78

pemberian barang hantran cenderung memberatkan serta menimbulkan

dampak buruk bagi calon mempelai laki-laki, maka bisa dianggap tradisi

atau adat seperti ini sebagai „urf fasid sedangkan apabila tidak

memberatkan dan terdepat suatu kerelaan serta menimbulkan keridhaan

dan serta kedamaian bagi semua pihak maka dapat dikategorikan sebagai

„urf shahih dan sepantasnya kebiasaan atau adat pemberian barang

hantaran tetap dilaksanakan dan dilestarikan.

Page 89: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

79

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah meneliti dan mengamati system pelaksanaan dan kewajiban

pemberian barang hantaran Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir Kabupaten

Muara Bungo Provinsi Jambi maka penyusun dapat mengambil kesimpulan

bahwa: Masyarakat Desa Pulau Batu kaya akan tradisi, seperti tradisi

pemberian barang hantaran pada saat menjelang pernikahan. Pemberian barang

hantaran adalah pemberian suatu barang calon suami kepada calon istri.

Pemberian ini sebagai tanda bukti keseriusan dan kemampuan calon suami untuk

hidup bersama dalam sebuah keluarga bersama calon istri. Sebagian besar

masyarakat Desa Pulau Batu melakukan tradisi seperti ini, sehingga apabila terjadi

perceraian baik sebelum atau sesudah dukhul maka barang hantaran bisa ditarik

kembali. Tradisi pemberian barang hantaran ini sudah dikenal oleh semua

masyarakat Desa Pulau Batu dan dilaksanakan dari dahuku kala. Tradisi ini adalah

adat yang dianggap baik oleh masyarakat dan dilestarikan oleh masyarakat pula,

akan tetapi tradisi ini boleh ditinggalkan kalau memang tidak mampu dan

memberatkan calon mempelai pria karena pada dasarnya pemberian barang

hantaran tidak dijelaskan dalam syariat Islam. Status hukum kewajiban

pemberian barang hantaran di Desa Pulau Batu Kecamatan Jujuhan Ilir termasuk

„urf shahih karena tradisi tersebut tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan

norma-norma yang ada. Selain itu juga tradisi pemberian barang hantaran

Page 90: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

80

termasuk „urf „amali karena tradisi tersebut berbentuk perbuatan yang

dilaksanakan

B. Saran-saran

Berdasarkan permasalahan yang penulis bahas dalam skripsi ini, penulis

hendak menyampaikan saran sebagai berikut:

1. Hendaknya pemberian barang hantaran ini tidak memberatkan seorang

pria untuk menikahi seorang perempuan karena pemberian tersebut

sifatnya tidak wajib berbeda dengan mahar yang pemberiannya diwajibkan

oleh Allah Swt dan pemberian barang hantaran ini disesuaikan atas

kemampuan pihak laki-laki sehingga walaupun pemberian barang

hantaran ini sudah menjadi adat kalau tidak mampu jangan dipaksakan

untuk melaksanakan adat pemberian barang hantaran ini.

2. Apabila pemberian barang hantaran ini memberikan keridhoan dari semua

pihak dan tidak mendatangkan beban dari pihak laki-laki maka akan lebih

baik lagi jika adat pemberian barang hantaran ini tetap dilestarikan.

Page 91: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

81

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemannya

Josep Schacht (Oxpord University Press, London, 1965), Pengantar Hukum

Islam, Penerjemah Joko Supomo, Bandung: Ujung Berung, 2010

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 2002

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Surakarta:

Era Intermedia, 2005

Soemiyati, Hukum Perkawinaan Islam Dan Undang- Undang Perkawinan

(Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Tentang Perkawian), cet ke-4,

Yogyakarta: Liberti, 1999

Rahmat Sudirman, Konstruksi Seksualitas Islam Dalam Wacana Sosial; Peralihan

Tafsir Seksualitas, cet. ke-1, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999

Moh Thalib, Fikih Sunnah, Bandung, PT Al-Ma‟arif, 1981

Abdurrahman, KHI di Indonesia, Jakarta: Akademia Pressindo, 1992

Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2007

Moh. Idris Ramulto, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996

Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

1995

Moh Thalib, Fikih Sunnah, Bandung: Al-Ma‟arif, 1990

Kamal Muhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan

Bintang, 1974

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh

Munakahat Dan Undang-Undang perkawinan, Jakarta: Kencana, 2009

Kompilasi Hukum Islam, Bandung: Fokus Media, 2007

Sayyid Sabbiq, Fikih Sunnah 7, Bandung: Al-Ma‟arif, 1990

Darmawan, Eksistensi Mahar Dan Walimah, Bandung: Srikandi, 2007

Page 92: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

82

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqh

Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2009

Fakultas Syari‟ah IAIN Sunan Ampel, Petunjuk Teknis Skripsi, Surabaya:

Fakultas Syari‟ah, 2014

Furidatul Ashriyah, “Analisa Hukum Islam Terhadap Putusan Perceraian Dengan

Syarat Pihak Perempuan Harus Mengembalikan Seserahan Adat”,

Surabaya: Skripsi-IAIN Sunan Ampel, 2013

Nur Aini, Pemberian Barang Gawan Sebagai Syarat Sah Perkawinan dalam

Perspektif Hukum Islam, (Surabaya: Skripsi IAIN Sunan Ampel, 2011

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005

Aham Zahro Al-Hasany, Islam dan Perempuan (Diskursus Islam, Pemikiran R.A

Kartini dan Feminisme), dalam Mansour fakih dkk, membincangkan

Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, cet. Ke-2 Surabaya:

Risalah Gusti, 2000

A, Ghafur Aryono dan Moh, Isnanto (ed), membangun keluarga sakinah dan

maslahah, Yogyakarta: PSW UIN Sunan Kalijaga dan IISEP-CIDA, 2006

Tolib Setiadi, Instasi Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan),

Bandung: Alfabeta 2013

Yayan Sofyan, Pengantar Metode Penelitian, ciputat: t.p., 2010

Umar Husein, Metode Riset Komunikasi Organisasi, Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama, 2003

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2005

Ibnu Mas‟ud, Fikih Madzhab Syafi‟I II, Bandung: Pustaka Setia, Cet. II, 2007

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana,

2007

Bahder Johan Nasution, Hukum Perdata Islam, Bandung, Mandar Maju, 1997

Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo

Persada, 2011

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta: Kencana,

2007

Page 93: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

83

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana Prenada Media

Group, 2003

Muhammad Fu‟ad Syakir, Perkawinan Terlarang, Cipinang Muara, Jakarta: CV.

Cendakia Santri Muslim

Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, Yogyakarta: Gadja Mada University

Press Anggota Ikapi, 1990

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan

Bintang, 1993

Musthafa Kamal Pasha, Fikih Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003.

Dasar Perkawinan Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pada Pasal 1 dan

2.

M.A. Tihami dan sohari Sahrani, Fiqh Pernikahan, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2010

HR. Tirmidzi (no. 1358) Kitab Al-Ahkaam, dan dia menilai sebagai Hadits

Shahih, Abu Dawud (no. 3530) kitab Al-Buyuu‟, An-Nasa‟i (no. 4450),

Ibnu Majah (no. 2290) Kitab At- Tijaaraat, Ahmad (n0. 25126),

Mu‟jamul Ausath (no. 4486, 4487)

Page 94: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

LAMPIRAN

Page 95: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

HASIL WAWANCARA

Narasumber Al-Baijuri

Pekerjaan Kepala Adat dan Imam Masjid

Tempat Wawancara Rumah

Waktu Wawancara 13.00-15.20 WIB

Tanggal Wawancara 17 Februari 2017

1. Menurut bapak apa yang dimaksud dengan Hantaran ?

Hantaran adalah pemberian beberapa barang dari laki-laki kepada pihak

perempuan yang berupa barang perabotan rumah tangga yang mana

disepakti oleh ninik mamak kedua bela pihak calon mempelai

2. Apa pengaruh terhadap pasangan suami istri apabila tidak melakukan

pemberian hantaran ?

Sebagai mana yang telah menjadi adat kebiasaan dari zaman dahulu,

apabila terdapat pihak pasangan calon suami istri tidak melaksanaka adat

hantaran ini, maka ada hal-hal yang tidak baik untuk didengar oleh

kalangan keluarga yang akan melaksnakan pernikahan tersebut, baik dari

kalangan mempelai laki-laki maupun mempelai perempuan, adapun

dampak buruknya adalah mendapat gosip atau gunjingan dari masyarakat

setempat, untuk mempelai laki-laki adalah berkurangnya kepercayaan dari

pihak perempuan untuk dalam membina rumah tangga karena dari hal

Page 96: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

yang kecil saja tidak mampu untuk bertanggung jawab apalagi untuk

menafkahi

3. Bagaimana pelaksanaan hantaran di kalangan masyarakat desa pulau batu

kabupaten muara bungo ?

Pada awalnya iring-iringan pihak laki-laki memasuki rumah pihak

perempuan diiringi dengan membawa barang hantaran yang dibawa oleh

dayang-dayang dari pihak laki-laki, barang hantran ini berupa peralatan

kosmetik, pakaian, perabotan, perlengkapan wanita, makanan dan buah-

buahan dan sejumlah uang yang sebelumnya telah disepakati sebagai

nominal jumlah uang, uang ini boleh diberi dan boleh tidak, menurut

kesepakat dari remukan ninek mamak kedua belapihak, kalau memang

ada, jumlah uang ini dibentuk dan dikemas denfan wadah yang unik dan

menarik. Setelah memasuki rumah wanita, rombongan dari pihak laki-laki

dipersilahkan duduk. Dan kemudian utusan dari pihak laki-laki dan wanita

bersalaman dengan beberapa buah pantun sebagai kata pengantar. Dan

kemudian barulah pihak laki-laki menyambut satu persatu barang hantaran

ini.

4. Apa pendapat bapak tentang adat hantaran jika dikaitkan dengan hukum

Islam, apakah bertentangan dengan hukum Islam atau tidak bertentangan

dengan hukum Islam ?

Tidak bertentangan dengan hukum Islam selama tidak ada ijtihad ulama

yang mengharamkan adat hantaran karena di dalam al-Quran dan hadis

Page 97: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

tidak dibahas dan adat ini tidak memberatkan karena sesuai dengan

kesepakatan kedua mempelai

Page 98: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

HASIL WAWANCAR

Narasumber Supendri

Pekerjaan Petani

Tempat Wawancara Rumah

Waktu Wawancara 20.15-21.30 Wib.

Tanggal Wawancara 10 Februari 2017

1. Menurut bapak apa yang dimaksud dengan Hantaran ?

Hantaran itu adalah pemberian suatu barang dari pihak laki-laki kepada

pihak perempuan yang mana barang hantaran tersebut telah disepakati oleh

kedua belapihak mempelai laki-laki maupun perempuan, kesepakatan oleh

kedua nenek mamak dari kedua mempelai.

2. Pada tanggal, bulan dan tahun berapa bapak melaksanakan pernikahan ?

Saya melaksanakan pernikahan waktu itu pada tanggal 18 maret 2010

3. Istri bapak berasal dari daerah mana ?

Istri saya berasal dari desa yang sama sehingga tidak repot-repot untuk

mencocokkan adat yang akan kita pakai

4. Pada waktu itu barang apa saja yang anda berikan kepada istri bapak ?

Pada waktu saya memberikan barang hantaran waktu itu berupa, Kasur,

lemari, gordeng, baju tidur, mukenah, piring dan gelas (satu lusin), dan

peratan mandi (sabun, sikat gigi, shampo).

Page 99: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

5. Apakah adat hantaran ini memberatkan bapak waktu ingin melaksanakan

pernikahan pada waktu itu ?

Adat yang seperti ini tidak memberatkan sama sekali, karena adat hantaran

ini akan menentukan kesiapan kita dari segi nefkahi anak dan istri kita

kelak

6. Apa pendapat bapak tentang kesiapan dalam menafkahi dengan adanya

adat yang seperti ini ?

Disini kita di uji kesiapan kita dalam membangun rumah tangga dalam

segi ekonomi untuk memberi nafkah anak istri kita, seandainya kita siap

dalam memberikan hantaran, maka untuk kedepannya kita punya modal

dan tanggung jawab untuk kewajiban kita atas itri dan anak-kita,

seandainya peraturan dasar dari adat saja kita tidak bisa memenuhi,

bagaimana kedua orang tua dari pihak perempuan akan mempercayai

kalau kita telah mampu dan siap sepenuhnya membangun rumah tangga

yang akan menentukan nasib anak dan istri kita.

7. Dengan adanya adat pemberian barang hantaran ini, berarti anda setuju

dengan adat yang berlaku ?

Sebagai masyarakat, saya setuju dan mendukung adanya adat pemberian

barang hantaran ini, karena adat ini bisa dikatan sebuah uji coba kesiapan

untuk calon mempelai laki-laki dan selama adat itu masih diterima

dikalangan orang banyak serta tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan

syariat yang berlaku

Page 100: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

d1s.ry 'te8runp;1 urnInH rpnlg uerSorcJ slrslaDlas .Z

tunlnH uep qurru,(g sulpllu{ uuumslsuqtstua;tr + TrLuapB>lV Beqnsey .l:epeda>1 luurroq uu8uap uelpduresr6

:uEsnqluaI

'rIIsET Erur.reJ ueldern rure>l EJEpnes rruerpasa{ su}u qp1upr>lruraC

,,e1re1u[ qellnludeprg;ue,(g NIn urn{nH uep tierru,(gsPlln{pd rsdrr4g uesrlnuacl ueuropad,, nilrq epeda4 Trfnraru e,(edns uesrlnuad Ilu>lal

.z

uuBtrrndrua(uad uup uuqeqnrad ue>leperp ledep nJrad euuurlp ault ruo uep ueseqEq {ldor .I:tn{rraq re8uqas qpiapg uulSuequrqradrp ledep Buel 1eq uduraqag

(tul utnqnh[ uX ryag naln(Ilsaetp stlsox lpr49 lcpn{ Tapy ryqa.mrtsayt1 apacl uuutmw4acl anluoH tstputl

(9e.,{drqsqledg pr"rqy) etue8y uelrperad

/z}o}LwozltLIIpV uuJrllnl

rsdrrlg inpnlIPOId

I^iINuruEN

qry o\u ta qa m qu Llrua wp )a m un41u p naa p s s v

u1ru1e{ NIn um{nH uup qurruf,g se}F{uC uasoc

VHI'r.I'Ir{nds IuIEn[O'V'H'rOtuurroqral 8uu1

;sd;r1g Sulqruyquatr rpufuatu upelpasay uoqotr J: IBHlesodor4 so{rag (nres1 1: druel

9L0Z / zlhg / o' oo' cld /w fiuun : JoruoN

:enslsErlEur rsdrnls Surqurrqurad rpefuaru rnjun eJBpnps ueerpaserue{deruq8uatu e1re1u{ qe1p1e,(eprg 1re,{g NIn urnrnH uep qel.redg sqlnrec uuurdrur4

H 8€rI uPrreqnr\i,n9-i0Z:5q6iTOE,e1 r e 1 e I

qtll blu u qo m 14u11ryaru1p )D m u t

FfJETTfr.t-n@ilEf suru n q : IIBIU tr .p;.c u.14 [u ; n..tr^r,rr : a]lsqail\LtsrtLPL (rzo)'drar

uBlEIoS Suura8uua 1u1ndJ3 S6 'oN BpuBnf 'H xI 'll'

WO>IOH NIY(I HYTUVAS SYITOXYdYIUY>IYf HYTTTIIYAYOIH CruY,,T. SNrn) rugc ut{ rlirrrsr svrrsu'f,ArNlrr

I IIFT IIII I

YWY [) Y NIYTU UI I{ EIAI f>T

900 r €0?66r

Page 101: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

100 r 0L/86t B0v0zpd'til 'qnrng p

rZ96 L'dlN Ico6; 's.r6Y

eqesn e1e1 ue16eg egedayuel€o 'u.E

' q /u' J /t4' Lu Dl ! e p, n u e p ss e /1

'q!seI eutrel ueldecn rurel 'e{uuenlueq uep euJese[rar1 selv

'pnsIEru!pisdlrls uest;nued eun6 elep Llaloredurau: euas eiecue/v\e^ Inlun uegnlEuesleq'6uert 'euueuou ledep nqlftedeg eriuetgl uoqoturp';sdr.r>1s uesrlnued ueqeq rde>16ue;eur {n}un

(.1111 ueqn[nl ueteueray nteg nelnd esa6 !O snse) lpnrs]ISWVTJ-VAV IVXVAVASVW VAVd NVNIIAVXA]d HVS IVAVAS IV7V€]3S NWVINVH ISICJVAL

:1npnI ue6uep rsdgtls unsn(uaui 6uepas 6ue/t euerei" Llelln]e{ep1p1 lrie,ig 1,111-1urnrnH uBp r-{ElreIg se1ln1eJ e/ stseqeu ueln>l6ues:eq 6ueI leuaq L{Blepe

: i3/v\Lleq uel6uelauauleire)ier qellnler(ep15 l1reIg Nln unInH uep qeltelg se1ln1eg uBIeo

'qA )/v1'wrullep,nuuelesSf

0088009stE80

Irlg ueqn[nf '3a) 'n]eg nelnd(qe,{r(rqsqe[g gerrqy) efu enlay u]nlnH

OILZOOOIWOZTIT

V66T taret4 91 / o8ung eren6tlpv uelqlnl

dgTdgal

leuelvlpnls urel6o16

JelseuesyuN

1e66ue14edue1PUJeN

gedualrp

ooued ereny\ esec lepv elnued.rllA

epedey

eJesuEn E/WBleO ueuoqouJod : let

LrcavLrco'ro'wx/?r/ro.N; ; "]ff; LLjZ tJenuet e0 ,eueler

FfSETTI-uTfr"jqqi'sB un q : t! Bru g . p r.cu;1:$fr n .t"n.u : et [s q aA\

LEsilLtL (rzo)'dtatuBrBl?S Buu.roBuul 1r1ndy3 56 'oN BpuBnf 'H .J

IAiNXNH I{Y(t HYTUYAS SYITNXYdYItt\DIYf HYTTNIYAY(IIH dIUYAS0urn) tufloflN nryrsr srrrrsuflArNn

YI{YCY NYrUIINSWI}T

Page 102: TRADISI HANTARAN PERKAWINAN DALAM ADAT …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44240/1/LUTHFAN ADLI-FSH.pdf · balas pantun saja sebagai pembuka acara pemberian barang

Wawancara Tokoh Adat