18

Tradisi - erepo.unud.ac.id

  • Upload
    others

  • View
    19

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tradisi - erepo.unud.ac.id
Page 2: Tradisi - erepo.unud.ac.id

Tradisi Tumpek di Bali:

Media Menjaga Keberlanjutan Ideologi Pelestarian Lingkungan

Ni Wayan Sumitri

[email protected]

Fakultas Bahasa dan Seni Insitut Keguruan Ilmu Pendidikan PGRI Bali

[email protected]

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Abstrak

Makalah ini memaparkan Tradisi Tumpek, khususnya tumpek wariga, di Bali sebagai media yang

menjaga keberlanjutan ideologi yang merupakan sistem berpikir, sistem kepercayaan, dan

praktik-praktik simbolik (Thompson, 2003:17) terkait dengan ekologi, yakni kajian

keterhubungan antara mahkluk hidup dengan lingkungannya (KBBI, 1999:266). Kajian

komprehensif ritual tumpek wariga dalam kaitannya kelestrian lingkungan akan ditinjau dari

aspek ideologi dalam ancangan EEH (Extended Ecology Hypothesis) (Steffensen & Fill 2013,

2014) yang menelisik keterkaitan ekologi dalam Tumpek Wariga dengan ekologi sosio-kultural

masyarakat, ekologi simbolik, ekologi kognitif, dan dinamikanya secara histrois dari waktu ke

waktu. Penelitian ini adalah penelitian deskripif kualitatif dengan metode pengumpulan data

berupa pencatatan berbagai informasi dari sumber-sumber tertulis, pengamatan, dan wawancara.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kombinasi teks wacana tradisi lisan

dengan teori ekologi, antropologi linguistik dan teori keberlanjutan. Temuan menunjukkan masih

kuatnya praktek tradisi Tumpek Wariga dalam masyarakat Bali kontemporer, bahwa Tumpek

Wariga adalah tradisi lisan yang berfungsi sebagai media keberlanjutan ideologi pelestarian

lingkungan yang kaya nilai-nilai kearifan ekologis. Secara sosio-kultural-simbolik, ritual ini

adalah aktivitas religius yang unik dari masyarakat Bali Hindu yang merupakan pemujaan

Sangyang Sengkara yang merupakan manisfetasi dari Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang

Maha Esa sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan. Ritual pemujaan disertai dengan menghaturkan

banten (sesajian) dan juga dengan tindakan verbal berupa saha atau sapaan dan doa-doa sebagai

ungkapan rasa syukur atas dianugerahkannya tumbuh-tumbuhan untuk kesejahteraan umat

manusia. Fenomena ekologi simbolik ritual tumpek warigameyakini dunia makrokosmos yang

menganalogi ke alam semesta beserta isinya berada di bawah kekuasaan TuhanYang Maha Esa

yang patut dijaga keharmonisannya sesuai dengan konsep Hindu yaituTri Hita Karana. Konsep

ini mengajarkan umat Hindu Bali menjaga keseimbangan dan hubungan harmonis yang harus

ditaati yakni hubungan harmonis dengan Tuhan, yang disebut parhyangan, dengan sesama

manusia yang disebut dengan pawongan dan hubungn harmonis dengan lingkungan yang

disebut dengan palemahan. Secara ekologi kognitif ritualtumpek wariga mencerminkan

pandangan bahwa relasi manusia bagian dari lingkungan bagian dari ekosistem. Dalam kaitan

ini, manusia berperan sebagai obyek dimana harus tunduk kepada kekuatan alam, dan berperan

sebagai subjek manusia dapat mengolah alam untuk keberlangsungan dan keberlanjutan

hidupnya serta mengembangkannya. Hal tersebut menunjukkan keberadaan tradisi ritual tumpek

wariga sebagai salah satu wujud penerusan nilai-nilai budaya kearifan ekologiswarisan leluhur.

Dalam dinamikanya,ritual Tumpek Wariga dari waktu ke waktu nilai-nilai universalnya tetap

terjaga dan sejalan dengan semangat global dalam kaitannya dengan pelestarian lingkungan.

Meskipun kondisi berkurangnya lahan untuk tumbuh-tumbuhan dan tidak adanya pepohonan

terutama di perkotaan tetapi tanaman berupa pot-pot yang kecil masih bisa dipakai ritual tumpek

Page 3: Tradisi - erepo.unud.ac.id

wariga. Adaptasi sarana tidak menghilangkan simbol dan makna keselarasan ekologi dalam

modernisasi.

Kata kunci: Tradisi, Tumpek Wariga, keberlanjuta, ideologi,ekologi, pelestarian lingkungan

Page 4: Tradisi - erepo.unud.ac.id

Tumpek Tradition in Bali:

Media Maintaining the Ideology ofEnvironmental Sustainability

Ni Wayan Sumitri

[email protected]

Faculty of Language and Art Institute of Teachers (Training and Pedagogy PGRI Teachers)

Training College Bali

I Nyoman Sama

[email protected]

Faculty of Cultural Sciences Udayana University

Abstract

This paper describes the Tumpek Tradition, especially the Tumpek Wariga, in Bali as a media

for maintaining the sustainability of ideology which is a system of thinking, belief systems, and

symbolic practices (Thompson, 2003: 17) related to ecology, namely the study of the relationship

between living things and their environment. (KBBI, 1999: 266). Comprehensive study of

Tumpek Wariga rituals in relation to environmental sustainability will be reviewed from the

ideological aspects in the design of EEH (Extended Ecology Hypothesis) (Steffensen & Fill

2013, 2014) which examines the relationship of the natural ecology of Tumpek Wariga with the

socio-cultural ecology, symbolic ecology, cognitive ecology, and its dynamics are historical from

time to time. This research is a qualitative descriptive study with data collection methods in the

form of recording various information from written sources, observations, and interviews. Data

analysis was performed using a combination of oral tradition discourse textual approaches with

ecological theory, linguistic anthropology and sustainability theory. The findings show the strong

practice of the Tumpek Wariga tradition in contemporary Balinese society, that Tumpek Wariga

is an oral tradition that serves as a medium for the ideology of environmental preservation that is

rich in ecological wisdom values. In socio-cultural-symbolical way, this ritual is a unique

religious activity of the Balinese Hindu community which is the worship of Sangyang Sengkara

which is a manifestation of Ida Sanghyang Widhi Wasa, God Almighty as the god of plants.

Ritual worship is accompanied by banten offerings and also verbal actions in the form of saha

greetings and prayers as an expression of gratitude for the blessing in the form of plants for the

welfare of humanity. The symbolic ecological phenomena of the Tumpek Wariga ritual believes

that the world of macrocosms that analogues to the universe and its contents is under the rule of

God who should be maintained in harmony with the Hindu concept of Tri Hita Karana. This

concept teaches Balinese Hindus to maintain a balance and harmonious relationship that must be

adhered to, namely a harmonious relationship with God, called parhyangan, with fellow human

beings called pawongan and a harmonious relationship with the environment called palemahan.

In ecological cognitive, Tumpek Wariga ritual reflects the view that human relations are part of

the environment and part of the ecosystem. In this connection, humans act as objects which must

submit to the forces of nature, and play a role as human subjects to process nature for their

survival and sustainability as well as to develop them. This shows the existence of the Tumpek

Wariga ritual tradition as one form of the continuation of the cultural values of ecological

wisdom of ancestral heritage. In the dynamics of the Tumpek Wariga ritual from time to time, its

universal values are maintained and in line with the global spirit in relation to environmental

preservation. Despite the condition of the lack of land for plants and the absence of trees,

especially in urban areas, plants in the form of small pots can still be used for Tumpek Wariga

rituals. Adaptation of tools does not eliminate the symbol and meaning of ecological harmony in

modernization.

Page 5: Tradisi - erepo.unud.ac.id

Keywords: traditions, Tumpek Wariga, sustainability, ideology, ecology, environmental

preservation

1.Pendahuluan

Tradisi merupakan aktivitas budaya dalam suatu masyarakat yang dijalani secara

berulang-ulang sebagai adat kebiasaan. Purwasito, 2003:229 menyatakan bahwa tradisi

merupakan adat kebiasaan yang diproduksi oleh suatu masyarakat berupa aturan atau kaidah

yang biasanya tidak tertulis tetapi dipatuhi oleh masyarakatnya, berupa petunjuk perilaku yang

harus dan sebaiknya dilakukan. Tradisi bahkan membangun kekuatan rasa memiliki dari setiap

anggota masyarakat. Seperti halnya yang terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat Bali

khsusunya mayarakat Bali-Hindu. Masyarakat Bali-Hindu dalam menapaki kehidupannya tidak

terlepas dari tradisi ritual keagamaan yang merupakan salah satu unsur dari tiga kerangka dasar

agama Hindu yakni lapisan paling luar yang terdiri dari aktivitas-aktivitas, namun tetap

merupakan satu kesatuan yang bukat dan utuh dengan kerangka lainnya yaitu tatwa (Filsafat),

susila (etika) (Suarjaya, 2010:139). Sampai saat ini eksistensi tradisi ritual itu masih mampu

dipertahnakan dalam kepungan arus modernitas dan globalisasi yang merambah ke berbagai

bidang kehidupan.

Salah satu dari budaya tradisional tersebut yang masih bertahan dan berkembang dalam

realitas kehidupan sosial budaya masyarakat Bali Hindu adalah dalam wujud tradisi ritual.

Tradisi ritual itu mencirikan sistem relegi, yakni adanya kepercayaan manusia terhadap

keberadaan kekuatan yang bersifat transendental yang dianggap memiliki kedudukan yang lebih

tinggi dari manusia. Untuk itulah manusia menjalankan aktivitas ritual religi sebagai cara

berkomunikasi dengan kekuatan tersebut sesuai dengan keyakinan yang dianutnya. Praktik dalam

ritual keagamaan diwujudkan dalam bentuk yang khas dan unik seperti bertapa, puasa,,

bersdzikir, bersemadi, berkorban, berdoa, tarian suci, trance dan lain sebagainya (Purawsito,

2003230). Sebagai sistem religi, upacara korban adalah salah satu wujud ritual untuk pemulihan

dan pemeliharaan keharmonisan hubungan dengan Tuhan, leluhur, dan dengan alam. Di

dalamnya termasuk tuturan pemujaan dalam upacara untuk berkomunikasi dengan alam semesta

atau dengan Tuhan dalam konteks budaya suatu masyarakat, misalnya upacara adat, upacara

kenegaraan, upacara keagamaan (Fox, 1984; Halliday, 1997:12-16).Oleh karena itu, aktivitas

ritual merupakan suatu praktek budaya untuk melihat cara-cara kelompok-kelompok masyarakat

Page 6: Tradisi - erepo.unud.ac.id

untuk untuk mengaktualisasi hal-hal yang bersifat abstrak terkait dengan pandangan hidup dan

keyakinan mereka yang dikemas dalam berbagai simbol ritual (Rumahuru dkk, 2102:37).

Dari sekian banyak tradisi ritual yang tetap bertahan dan tetap dilaksanakan oleh

masyarakat Bali-Hindu di antaranya adalah tradisiritual Tumpek. Tumpek merupakan hari

peringatan turunnya kekuatan manifestasi Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa ke dunia.

Mengenai pelaksanaan hari tumpek terbagi dalam jenis hari suci tumpek, namun yang

dibicarakan dalam tulisan ini adalah khususTumpek Wariga. TumpekWarigaatau juga disebut

Tumpek Bubuh, Tumpek Pengatag, dan Tumpek Pengarah, adalah salah satu bentuk upacara

keagamaan dalam kehidupan masyarakat Bali-Hindu yang terkait dengan lingkungan, terutama

untuk melestarikan tumbuh-tumbuhan. Menurut KBBI, 1999:

Melalui upacara Tumpek Wariga wariga masyarakat Bali-Hindu mengucapkan rasa syukur

kehadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas diciptakannya tumbuh-

tumbuhan untuk menopang kelangsungan hidupnya di dunia. Tradisi Ritual TumpekWariga

merupakan produk dan praktek budaya warisan leluhur yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan

filosofis sebagai pedoman dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari juga memiliki

peran sebagai media keberlanjutan ideologi pelestarian lingkungan yang menjadi fokus dalam

tulisan ini.

Kajian komprehensif ritual tumpek wariga dalam kaitannya kelestrian lingkungan ini akan

ditinjau dari aspek ideologi dalam ancangan EEH (Extended Ecology Hypothesis) (Steffensen &

Fill 2013, 2014)menyatakan bahwa ekologi manusia diperluas dengan mengintegrasikan nilai

dan makna ke dalam struktur ekologi (termasuk diri kita sendiri dan satu sama lain). Kajian ini

meliputi ekologi sosial kultural masyarakat, ekologi simbolik, ekologi kognitif dan dinamikanya

secara historis dari waktu ke waktu. Tujuannya adalah untuk menelisik keterkaitan ekologi

dalam Tumpek Wariga dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Bali Hindu.

Ideologi merupakan sistem berpikir, sistem kepercayaan, dan praktik-praktik simbolik

(Thompson, 2003:17) terkait dengan ekologi, yakni kajian keterhubungan antara mahkluk hidup

dengan lingkungannya (KBBI, 1999:266).Ideologi menurut Gramsci yang dikutip Barker

(2005:79) menyatakan bahwa ideology menyediakan tata tingkah laku praktis dan perilaku-

perilaku moral yang bisa desejajarkan dengan agama dalam penegrtian sekuler, yakni suatu

kesatuan yang diyakini antara konsepsi tertentu tentang dunia dengan norma perilaku yang sesuai

termasuk pula konsepsi dengan keselarasan lingkungan.

Page 7: Tradisi - erepo.unud.ac.id

2. Metode Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian deskripif kualitatif dengan metode pengumpulan data

berupa pencatatan berbagai informasi dari sumber-sumber tertulis, pengamatan, dan wawancara.

Analisis data dilakukan dengan menggunakan pendekatan kombinasi teks wacana tradisi lisan

dengan teori ekologi, antropologi linguistik dan teori keberlanjutan.

3. Hasil dan Pemabahsan

3.1. Tradisi Tumpek di Bali:Media Menjaga Keberlanjutan Ideologi Pelestarian

Lingkungan

Tradisi tumpek wariga merupakan salah satu bentuk tradisi lisan dalam bentuk ritual

milik masyarakat Bali-Hindu. Tradisi lisan menurut Piliang (2005:6) adalah sebagai konsep

bentuk karya, gaya yang dipresentasikan sebagai kelanjutan dari masa lalu ke masa kini. Tradisi

lisan tidak pernah berubah dan dijalnakn sebagai pengulangan-pengulangan tradisi reproduksi

atas kelanjutan masa lalu akan kehilangan sifat tradis bila berubah. Di Pihak lain, Sibarani

(2012:123) menyatakan bahwa tradisi lisan adalah aktivitas budaya tardisional suatu komunitas

yang diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain

baik berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (nonverbal).

Menurut Pudentia, (2010) bahwa tradisi lisan tidak sekedar penuturan, melainkan konsep

pewarisan sebuah budaya dan bagian dari kita sendiri sebagai mahkluk sosial. Sejalan dengan

itu, Sibarani (2012:7) juga menyatkan bahwa wacana tradisi lisan tidak hanya berupa cerita,

dongeng, dan legenda dengan berbagai pesan di dalamnya tetapi juga mengenai sistem kognitif

masyarakat, sumber identitas, sarana ekpersi, sistem religi, dan kepercayaan, pembentukan dan

peneguhan adat istiadat dan sebagainya.

TumpekWariga sebagai sebuah tradisi lisan juga memiliki karakteristik seperti tersebut di

atas.Tradisi ritual Tumpek Wariga merupakanproduk dan praktik budaya warisan leluhur yang

diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.Tradisi ritual TumpekWariga dengan

berbagai kekhasan dan nilai budaya yang dimiliki sampai saat ini tetapkuat bertahan. Masih

kuatnya praktek tradisi Tumpek Wariga dalam masyarakat Bali kontemporer, bahwa Tumpek

Wariga adalah tradisi lisan yang juga berfungsi sebagai media keberlanjutan ideologi pelestarian

lingkunganyang kaya nilai-nilai kearifan ekologis. Pembangunan berkelanjutan menurut Undang-

Page 8: Tradisi - erepo.unud.ac.id

Undang No.32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bahwa arti

pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek

lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan unutk menjamin keutuhan

lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahtraan dan mutu hidup generasi masa kini dan

generasi masa depan. Realitas sosial ekonomi memiliki relevansi langsung untuk keberlajutan

pembangunan pada domain masyarakat (Espinosa dan Walker, 2011:18).Eksistensi tradisi ritual

tumpek wariga sebagai media keberlanjutan pembanguan secara ekologi mempunyai potensi

yang besar dalam mengembangkan berbagai aspek kehidupan seperti pembangunan

keberlanjutan sosial, ekonomi, pariwisata dan ekologi.Media keberlanjutan nilai-nilai kearifan

ideologis yang dimaksud dalam kaitan inimeliputi: 1) ekologi sosio-kultural masyarakat, 2)

ekologi simbolik,3) ekologi kognitif, dan dinamikanya secara histrois dari waktu ke waktu yang

diuraikan berikut ini..

1) Ekologi Sosio-kulutal Masyarakat

Tradisi ritual tumpekwariga sebagai warisan leluhur yang sampai saat ini masih tetap

bertahan dan tetap dilaksanakan secara berkesinambungan oleh masyarakat pendukungnya yaitu

masyarakat Bali-Hindu. Perayaan hari tumpek wariga yang rutin diperingati oleh masyarakat

Bali Hindu setiap enam bulan sekali (210) hari tepatnya 25 hari sebelum perayaan hari raya

galungan.tepatnya jatuh pada hari sabtu kliwon, wuku wariga (urutan ketujuh) berdasarkan

kalender pawukon Bali yang berjumlah 30 jenis wuku1.

Secara sosio-kultural-simbolik, ritual ini adalah aktivitas religius yang unik dari

masyarakat Bali Hindu yang merupakan pemujaan Sangyang Sengkara yang merupakan

manisfetasi dari Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa sebagai dewanya tumbuh-

tumbuhan. Ungkapan doa dan rasa syukur tersebut diwujudkannyadalam bentuk sarana

persembahan berupa banten (sesaji).Banten adalah persembahan suci yang dibuat dari sarana

tertentu, antara lain berupa bunga, buah-bu seperti buahan, daun tertentu seperti sirih, dan dari

makanan seperti nasi dengan lauk pauk, jajan dan sebagainya, di samping sarana yang sangat

penting lainnya adalah air dan api (Titib, 2000:134).Banten adalah bahasa simbol yang sakral

1Pawukon/wuku adalah perhitungan kalender Bali yang berjumlah 30 wuku yang terdiri atas: sinta, landep, ukir,

kulantir, toulu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Juluwangi, Sungsang, Dunggulan, Kuningan. Langkir, Medangsia,

Pujut, Pahang, Klurut, Merakih, Tambir, Medangkungan, Matal, Uye, Menail, Perangbakat, Bala, Ugu, Wayang,

Kelawu, Dukut, Watugunung. Masing-masing wuku ini datangnya setiap tujuh hari sekali (Udayana, 2009:11-12).

Page 9: Tradisi - erepo.unud.ac.id

menurut pandangan umat Hindu. Sebagai bahasa simbol, banten sebagai media untuk

memvisualisasikan ajaran-ajaran Hindu untuk menyampaikan rasa bakti yang sarat dengan nilai

filosofis. Banten juga disebut sebagai wali atau wakil untuk berhubungan dengan yang dipuja

atau yang dimulyakan (Suarjaya, tt: 64-65).

Adapan bentuk bantenkhas dalam perayaan hari tumpek wariga untuk tumbuh-tumbuhan

selain banten (sesaji) lainnya seperti canang pesucian, bantena cau berisi bubuh (bubur) yang

beraneka warna : seperti putih, bang (merah), hijau, dan kuning dan jenis banten lainnya di

depan sekumpulan tetumbuhan atau pohon, biasanya di depan pohon kelapa sebagai

perwakilan.Dalam kaitan ini, bukan berarti banten atau sesaji itu semata-mata ditujukan kepada

tumbuh-tumbuhan atau pepohonan tetapi dihaturkan kepada Sanghyang Sengkara sebagai

manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta segala jenis

tumbuh-tumbuhan untuk kesejahtraan umat manusia dalam menunjang kehidupannya di dunia

seperti bahan sandang pangan2. Bubur putih yang dipersembahkan itu sebagai simbolisasi dari

tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan umbi. Umbi ini jika diolah dapat dijadikan bubur seperti

misalnya ketela rambat, ketela pohon, umbi keladi, dan ubi. Bubur abang (merah) adalah simbol

bersyukur atas diciptakannya jenis padang-padangan (padi-padian dan palawija), seperti padi,

jagung, godem, dan lain sebagianya. Bubur hijau sebagai simbolisasi jenis tumbuh-tumbuhan

pepohonan yang berbuah melalui penyerbukan (bunga putik, dan bubur kuning sebagai rasa

bersykur atas diciptakannya tumbuh-tumbuhan berbuah yang buahnya keluar dari batang (lihat

Sudarsana, 2003, Udayana, 2009).

Persembahanbanten (sesjian) ini disertai dengan sahe (sesontengan) atau ungkapandengan

berbagai versi sesuai daerah setempat (seperti terlihat pada contoh (1) dan (2) yang bunyinya

adalah sebagai berikut:

(1) Dadong dadong kaki dija? Ia jumah, ia ngudiang jumah ia gelem kebus dinginngetor

ngeed ngeed ngeed buin selae galungane mangda mabuah nged, nged, nged

Terjemahannya:

“artinya nenek nenek kakek kemana? Ia di rumah, Ia ngapain di rumah? Ia sakit panas

dingin mengigil, lebat lebat lebat, lagi dua puluh lima hari upacara galungan supaya

berbuah lebat.lebat, lebat”.

2Hasil wawancara dengan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Gandha Kusuma,di Geria giri Gandha Madhana Penatih Pada tanggal

18 Juli 2019, dan I Gede Anom Ranuara, 19 Juli 2019 di Kesiman Denpasar.

Page 10: Tradisi - erepo.unud.ac.id

(2) Kaki kaki dadong dija? Dadong jumah, ia gelem kebus dingin ngetor. Ngetor ngeed,

ngeed, ngeed, ngeed, ngeed kaja, ngeed kelod, ngeed kangin, ngeed kauh, buin selale

lemeng galungan mabuah pang ngeeed.

Terjemahannya:

“Kakek kakek, nenek di mana? Nenek di rumah sakit panas menggigil. Menggigil lebat,

lebat lebat lebat, lebat utara, lebat selatan, lebat timur, lebat barat, lagi dua puluh lima

hari hari raya galungan agar berbuah lebaaat”

Ungkapan (1) dan (2) di atas adalahpenyebutankaki dan dadong „kakek dan nenek‟ adalah orang

yang sudah tua, dalam kaitan ini dengan tujuan untuk memuliakan tumbuhan-tumbuhan yang

jauh lebih dahulu ada dari pada manusia seperti pohon kelapa, pohon manggga dan lain

sebagainya. Ungkapan gelem kebus dingin ngetor ngeed ngeed ngeed „sakit panas dingin

mengigil lebat lebat lebat. Ini ungkapan metaforis jika kita sakit panas dinginsampai menggigil

tentu badan kita akan berbuah. Ungkapan tersebut adalah sebuah harapan agar tumbuhan

berbuah lebat dan mendapatkan hasul yang melimpah sebagai sumber kehidupan dan

kemakmuran manusia seperti terlihat pada kutipan di atas yakni kata ngeed, ngeeed, ngeed,

ngeed yang diharapkan berbuah lebat.

Proses upacara ini aplikasinya dalam kehidupan, yang diyakini memiliki nilai strategis

untuk menjaga kesadaran manusia agar tidak merusak alam. Selain menggunakan saha juga

menggunakan bahasa dalam bentuk mantra dan doa-doa. Mantra adalah komposisi aksara atau

huruf-huruf yang diatur sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan dan mampu memberi

akibat sebagaimana yang diharapkan (Puja, 1985:40). Mantra berasal dari kata man „pikiran‟,

dan tra „menyebebrangkan‟ Jadi mantra adalah audio yang sakral dengan tujuan untuk

menyebrangkan pikiran yang terang (Wiana, 2001:2). Kata-kata dalam doa mantra adalah ucapan

pikiran atau pernyataan apa yang terpikir, dan ditunjukkan kepada Tuhan (Puja, 2007:38-39).

Bahasa yang diujarkan dalam bentuk mantra tersebut sebagai rangkaian tindakan yang

memainkan peranan sebagai pengungkap pola pikir masyarakat pemiliknya (lihat

Duranti,1997:6). Memaknai bahasa dalam kaitannya dengan budaya penuturnya tidak hanya

terajut dalam kode bahasa, tetapi juga dalam nilai sosial, kepercayaan, hubungan sosial dan

interaksi masyarakat yang lebih luas, serta sistem pendukungnya termasuk struktur sosial

keluarga dan organisasi kemasyarakatan (Duranti, 1997:277) seperti halnya kepercayaan umat

Hindu Bali yang tercermin dalam ritual tumpek wariga.

Bahasa mantra yang digunakan dalam ritual tumpek wariga menggunakan bahasa

Sansekerta. Secara formal linguistik, mantrayang berbahasa Sansekerta tersebut diungkapdalam

Page 11: Tradisi - erepo.unud.ac.id

bentuk bahasa puisi dengan pilihan-pilihan kata dalam pola paralelisme, dan bersajak.

Mantra/doa-doa ini diantarkan oleh seorang Sulinggih atau Pemangku(orang yang mengantarkan

upacara) pada semua upacara3 termasuk tumpek wariga. Menurut keyakinan umat Hindu Bali

mantra inilah yang akan dapat menyelesaikan suatu upacara yadnya (korban suci) seperti

kutipan mantra berikut.

(3) Om śaṅkara deva mūrtiṇam, „Hyang Sengkara berbentuk kedewaan‟

Vāyavye ca pratiṣṭhaṇam, „kesucian berkedudukan di barat-Laut,

Sarva jagat pavitraṇaṁ,’ „seluruh dunia disucikan‟

Mṛta bhūmi nugrahkam’ „memberi kehidupan bumi penuh kasih

(Goudriaan dan Hoykaas, 2004:209)

Pada data (2) di atas pada tataran fonologis menunjukkan adanya pola-pola bunyi paralel atau

paralelisme bunyi berupa asonansi berstruktur simetris a-a terdapat pada kata sarwa „seluruh‟

beransonansi vokal a-a dengan jagat „dunia‟. Selain itu, terdapat pula pola kata bersajak berupa

perulangan bunyi yang sama berupa permainan bunyi berupa rima akhir pada kata mūrtiṇam,

pratiṣṭhaṇam, pavitraṇaṁ, nugrahkam.

Penggunaan pola-pola seperti tersebut di atas, selain untuk menampilkan keindahan

bentuk dan menimbulkan efek musikalitas, juga untuk membangun kekuatan daya afektifmagis4.

Manifestasi „kekuaatan dalam bahasa‟ bisa beragam, tetapi intinya adalah, seperti dinyatakan

oleh Bourdieu (1991:57-58), tetap pada pemilihan bahasa, bentuk, ranah atau gaya bahasa itu

sendiri. Mantra/doa-doa sebagai instrumen pengungkap makna yang diujarkan dalam upacara

TumpekWariga selalu berkaitan dengan eksistensi kekuatan/luar bahasa yakni menyingkap

seperangkap norma dan nilai yang mengarah pada bentuk penghormatan, pemujaan,

penyembahan, dan harapan. Hal itu, menyiratkan adanya keharmonisan hubungan antar manusia,

lingkungan, dan dengan kekuatan supranatural. Resapan doa itu, diekspresikan secara verbal

dengan menggunakan berbagai modus kalimat seperti desideratif, imperatif, dan indikatif yang

gayut dengan keyakinan/kepercayaan atas eksistensi Tuhan sebagai hakikat tertinggi penguasa

dunia seperti contoh berikut.

(4) Om bhuh loka manṇḑala purṇaṁ,‟Sang penguasa dunia keduaniawian

3Hasil wawancara dengan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Gandha Kusuma, di Geria giri Gandha Madhana Penatih Pada tanggal 8

Agustus 2019. 4Hasil wawancara dengan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Gandha Kusuma,di Geria giri Gandha Madhana Penatih Pada tanggal 8

Juli 2019, dan dengan mangku I Wayan Sadiasa di Br. Saba Penatih Denpasar, tanggal 10 Juli 2019.

Page 12: Tradisi - erepo.unud.ac.id

dipuaskan‟

śaṅkara deva nugrāṇam, ‘Dewa Sangkara sang dewa kasih‟

Dīrghāyu bhvana sa pūrṇaṁ, ‘Umur panjang bumi diisi sepenuhnya dengan baik‟

Sarvamaraṇamokṣaṇnam „bebaskan dari semua wabah penyakit‟

(Goudriaan dan Hoykaas, 2004: 209).

Contoh data (3) di atas menyingkap resapan keinginan dan harapan agar diberi kepuasan, diberi

umur panjang, dan dibebaskan dari semua wabah penyakit. Sesuai dengan konsespsi masyarakat

Hindu di Bali bahwa atribut Sengkara„dewa Sengkara‟ adalah manifestasi Tuhan sebagai

pemujaan pada hari raya tumpek wariga memiliki kekuasaan untuk memberi sumber kehidupan

pada tumbuha-tumbuhan sebagai penopang kesejahtraan umat manusia. Penggunaan bahasa

ritual seperti itu diyakini memiliki kekuatan dan kekuasaan karena mengandung unsur magis

dengan pemberian nama dan atribut adjektiva yang menggambarkan sosok Tuhan sebagai

hakikat tertinggi sesuai kerangka konseptual masyarakat Bali Hindu.

Secara kontekstual mantra/doa tumpek wariga dicirikan sebagai bahasa ritual, yang di

dalamnya terdapat urutan tindakan ragawi berkaitan dengan penggunaan simbol verbal dan non

verbal. Media simbolik tersebut merupakan wahana untuk menyingkap resapan harapan kepada

Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa untuk memperoleh keselamatan ragawi dan

jiwa manusia. Bahasa mantra/doa ritual tidak bisa menyelesaikan masalah secara nyata, tetapi

memberikan kekuatan spiritual dan dorongan moral bagi umat manusia yang disikapinya secara

rohaniah.

Ekologi Simbolik

Fenomena ekologi simbolik ritual tumpek wariga yaknimeyakini dunia makrokosmos

yang menganalogi ke alam semesta beserta isinya berada di bawah kekuasaan Tuhan Yang Maha

Esa yang patut dijaga keharmonisannya sesuai dengan konsep Hindu yaituTri Hita Karana.

Konsep ini mengajarkan umat Hindu Bali menjaga keseimbangan dan hubungan harmonis yang

harus ditaati yakni hubungan harmonis dengan Tuhan, yang disebut parhyangan, dengan sesama

manusia yang disebut dengan pawongan dan hubungn harmonis dengan lingkungan yang

disebut dengan palemahan.Keberadaan semua benda-benda yang hadir dalam alam ini beserta

seluruh ekosistem dan lingkungan yang melatarinya merupakan bukti kekuasaan Tuhan Sang

Maha Pencipta. Menurut keyakinan Masyarakat Bali-Hindu bahwa alam mempunyai kekuatan

yang bersifat magis seperti dewa penguasa langit, penguasa bumi, penguasa tumbuh-tumbuhan,

Page 13: Tradisi - erepo.unud.ac.id

dewa kesuburan, dan lain sebagainya5. Kekuatan magis itu dipuja dengan berbagai kegiatan

ritualuntuk menjaga kelestariannya. Itulah sebabnya Masyarakat Bali-Hindu diajarkan agar

menghormati, memelihara, dan mengembangkan berbagai potensi alam tersebut. Ajaran tersebut

tertuang dalam ajaran upacara yajna, yakni korban suci dengan tulus dan ihklas. Jadi

pelaksanaan ritual tumpek wariga adalah simbolkeseimbangan dan keharmonisan yang didasari

atas keyakinan Masyarakat Bali-Hindu atas kekuasaan Tuhan sebagai penguasa alam semesta

beserta isinya. Sehubungan dengan itu, Suarjaya, 2010:116 menyatakan bahwa Alam semesta

adalah kesatuan yang dapat menghidupkan segala ciptaan Tuhan. Ini artinya bahwa di samping

diri manusia sebagai “pribadi” maka akan menerima alam semesta sebagai “yang dipribadikan”.

Pandangan tersebut menyiratkan bahwa manusia dengan alam terjadi hubungan secara timbal

balik. Alam tidak akan dapat berproses dengan baik tanpa bantuan manusia, demikian juga

sebaliknya manusia tidak dapat hidup tanpa alam. TumbuhanTumbuh-tumbuhan sebagai salah

satu sumber daya alam yang mampu menyediakan bahan-bahan kebutuhan dasar manusia seperti

pangan, papan, dan obat-obatan dan juga sebagai sumber pendapatan keluarga. Selain itu,

tumbuh-tumbuhan membantu manusia menjaga kelestarian lingkungan misalnya mencegah

erosi, menyuburkan tanah, dan mengikat tanah.

. Wujud keyakinan masyarakat Bali-Hindu dalam ritual Tumpek wariga tersebut berupa

pemujaan yang terekspresi melaluipersembahan banten (sesajian). Persembahan itu ditujukan

kepada Sangyang Sengkara, manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai dewa tumbuh-

tumbuhan seperti yang sudah disinggung di depan. Adapun peresembahan sesajian itu,antara lain

berupabubuh (bubur) yang beraneka warnadengan mengemban berbagai simbol seperti bubur

putih sebagai simbolisasi dari tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan umbi misalnya ketela

rambat, ketela pohon, umbi keladi, dan sebagainya. Bubur abang (merah) adalah simbol

bersyukur atas diciptakannya jenis padang-padangan (padi-padian dan palawija), seperti padi,

jagung, gandum, dan lain sebagianya. Bubur hijau sebagai simbolisasi jenis tumbuh-tumbuhan

pepohonan yang berbuah melalui penyerbukan (bunga putik) seperti mangga, durian, belimbing,

dan lain sebaginya, dan pepohonan yang berbuah melalui proses buah keluar dari batang

disimbolkan dengan bubur berwarna kuning(lihat Sudarsana, 2003:27).

5Hasil wawancara dengan dengan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Gandha Kusuma, di Geria giri Gandha Madhana Penatih Pada

tanggal 8 Agustus 2019, dan I Wayan Sadiasa di Br Saba Penatih Denpasar pada tanggal 9 Agustus 2019.

Page 14: Tradisi - erepo.unud.ac.id

Tindakan seperti itu merupkan salah satu bentuk perwujudan ucapan rasa terima kasih

masyaraka Bali-Hindu kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas

karunianya berupa tumbuh-tumbuhan untuk kesejahtraan umat manusia. Keberadaan Tumpek

Wariga sebagai simbol keseimbangan alam semesta beserta isinyayang patut dijaga dan ditaati.

Keseimbangan sebagai prasyarat keharmonisan diharapkan terjadi antara semua aspek

kehidupan. Dalam kaitan ini, setiap insan manusia diharapkan mampu menempati dirinya secara

seimbang dan serasi dengan lingkungan dan posisi diri sehingga kedamaian bisa tercapai.Seperti

itulah dalam prakteknya masyarakat Bali-Hindu memaknai perayaan tumpek wariga sebagai

cermin menjaga keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan hidup dengan lingkungan alam.

Ekologi Kognitif

Secara ekologi kognitif ritualtumpek wariga mencerminkan pandangan bahwa relasi

manusia bagian dari lingkungan bagian dari alam. Dalam kaitan ini, manusia berperan sebagai

obyek maupun subjek. Sebagai objek manusia harus tunduk kepada kekuatan alam, dan berperan

sebagai subjek manusia dapat mengolah alam untuk keberlangsungan dan keberlanjutan

hidupnya serta mengembangkannya. Hal tersebut menunjukkan keberadaan tradisi ritual Tumpek

Wariga sebagai sistem budaya masyarakat Bali-Hindu merupakan salah satu wadah penerusan

nilai-nilai budaya kearifan ekologis warisan leluhur.Tumpek Warigadengan berbagai

kekhasannya merupakan wujud dari sisiosistem masyarakat Bali-Hindu dalam cara memandang

dan menghargai ekosistemnya. Semua itu, merupakan sumber kehidupan bagi manusia,

semuanya memiliki potensi yang saling berkait dalam mendukung kehidupan manusia. Potensi

alam yang tersedia itu jumlahnya amat banyak dan beraneka ragam, seperti mineral, energi,

tumbuhan, binatang, udara, iklim, air, dataran, dan pegunungan, memiliki potensi untuk

mendukung kehidupan manusia asalkan manusia mampu memnfaatkan dengan baik. Dalam

pemahaman orang Hindu di Bali manusia harus bersahabat dengan alam, tidak ada istilah

menundukkan alam. Apabila dipandang sebagai sahabat, manusia juga sebagai bagian dari alam,

oleh karena itu, alam harus diperlakukan sebagai diri sendiri (Udayana (2009:28). Manusia

mengupayakan pengelolaan tumbuh-tumbuhan agar dapat menjamin kesinambungan

pemanfaatannya. Bagi masyarakat Bali Hindu berbagai jenis tumbuhan dan berbagai potensi

yang dimiliki bukan hanya sekedar komoditi melainkan sebagai bagian dari sistem kehidupan

mereka. Oleh karena itu, pemanfaatannya tidak didasari pada kegiatan eksploitatif tetapi lebih

Page 15: Tradisi - erepo.unud.ac.id

dilandasi pada usaha-usaha untuk memelihara kesinambungan dan keberlanjutan sumber daya

alam terutama tumbuh-tumbuhan.

Ritual tumpek wariga merupakan pencerminan dari kesadaran yang mendasari

masyarakat Bali-Hindu, terutama bagaimana manusia melihat dirinya sendiri dalam kaitannya

dengan lingkungan. Seringkali manusia beranggapan bahwa mereka bisa saja mengambil apa

saja dari alam apabila mereka siap bekerja untuk keharmonisan. Dengan memiliki kemampuan

berpikir, manusia bisa menciptakan kemakmuran dan kesejahtraan dengan mengeksploitasi

lingkungan hidup. Hal ini sebagai tanda bahwa manusia ciptaan Tuhan sebagai mahkluk individu

yang dianugrahi kelebihan berpikir.

Tradis ritual Tumpek Wariga dengan berbagai kekhasan dan nilai budaya yang dimiliki

merupakan produk budaya warisan leluhur. Tradisi ritual tersebut mencerminkan kekayaan

intelektual Masyarakat Bali-Hindu yang memuat pengetahuan terkait dengan pelestarian

lingkungan. Keberadaan tradisi ritual Tumpek wariga adalah sebagai salah satu wujud penerusan

tradisi warisan leluhur. Hal ini sejalan dengan pandangan Simatupang (2013:204-205) yang

menyatakan bahwa warisan adalah sesuatu yang berasal dari masa lampau yang dimiliki,

digunakan, dan dihargai oleh orang-orang dewasa. Oleh karena itu, hadirnya ritual Tumpek

Wariga menyiratkan fungsi dan makna pewarisan nilai-nilai budaya tradisi. Pengetahauan yang

termua itu, nantinya dapat diupayakan untuk menjadi pedoman dalam bertingkah laku dalam

kehidupan sehari-hari. Pengetahuan itu terutama terkait dengan pengetahaun tentang

lingkungan.Dengan kata lain ritual tumpek wariga memuat pesan dan informasi untuk

pengelolaan lingkungan terutama tumbuh-tumbuhan yang patut ditaati, dijaga, dan dilestraikan.

3.2 Tumpek Wariga : Dinamikanya dari Waktu ke Waktu

Tumpek Wariga merupakan salah unsur kebudayaan Bali-Hindu tradisional yang

dilaksanakan secara rutin. Tradisi ritual tersbeut memuat sistem budaya ekologi secara

keberlanjutan. Berbagai nilai tradisional terkait dengan kelestarian lingkungan yang ditemukan

dalam tradisi ritual tumpekwariga sesungguhnya sangat relevan dengan perkembangan inovasi

kekinian dengan berbagai isu pencemaran lingkungan terutama terkait dengan pembangunan

berkelanjutan. Dalam 'Laporan Brundtland' pada tahun 1987 pembangunan berkelanjutan

didefinisikan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan

Page 16: Tradisi - erepo.unud.ac.id

kemampuan masa depan generasi untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri WCED, 1987, hal

43).

Merujuk pandangan K Lenin dalam Ensiklopedia Indonesia mengatakan bahwa dinamika

merupakan esensi dari seluruh proses interaksi yang dikembangkan individu yang menyadari

adanya struktur yang relatif stabil (Shadily, 1980: 824). Misalnya, seperti norma, peran, tradisi

atau kebiasaan dan kekuatan yang secara relatif berubah. Proses berdinamikanya tumpek wariga

dalam masyarakat Bali adalah melalui tiga tahapan yaitu; internalisasi, sosialisasi, dan

enkulturasi. Menurut Koentjaraningrat (2002: 142) internalisasi merupakan proses belajar sistem

budaya di tingkat individu. Sosialisasi adalah proses belajar individu tentang sistem budaya di

tingkat sistem sosial. Sedangkan enkulturasi merupakan proses belajar dan menyesuaikan alam

pikiran, sikap terhadap adat, sistem norma dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan

suatu masyarakat.

Jika dicermati ritual tumpek wariga dalam kehidupan masyarakat Bali Hindu sejalan

dengan konsep internalisasi ternyata orang Bali sejak dilahirkan hingga akhir hidupnya telah

banyak mempelajari tradisi yang ada dalam tumpek tersebut. Kemudian, untuk memahami lebih

dalam lagi tentang makna yang ada di balik tradisi tumpek wariga mereka (orang Bali) secara

intensif bergaul dengan lingkungan sosialnya, sehingga dapat dimengerti, dan dipahami tentang

makna yang sesungguhnya dari tradisi tumpek wariga. Istilah enkulturasi dapat disejajarkan

dengan konsep yang lebih dekat lagi yaitu pembudayaan yang dalam bahasa Inggrisnya sering

disebut dengan istilah institutionalization. Tampaknya terkait dengan tradisi tumpek wariga

rupanya orang Bali sejak kecil telah membudayakan tradisi ini dalam alam pikiran mereka.

Seringkali mereka belajar dengan memperhatikan tindak-tanduk orang tua mereka, baik

menyangkut tradisi tumpek tersebut maupun yang lainnya. Langkah meniru yang dilakukan

secara berulang-ulang oleh generasi penerus tradisi tumpek wariga dipola mantapkan dalam

norma kehidupan generasi muda Hindu Bali yang sering pula disebut “dibudayakan”.

Dalam dinamikanya,ritual Tumpek Wariga dari waktu ke waktu nilai-nilai universalnya

tetap terjaga dan sejalan dengan semangat global dalam kaitannya dengan pelestarian

lingkungan. Di tengah gerusan arus globalisasi yang menerpa masyarakat Bali-Hindu datang dari

berbagai lini, tetapi masih tetap dapat mempertahankan keajegan budaya tradisional yang

berorientasi pada pemahaman bahwa lingkungan alam termasuk tumbuh-tumbuhan sebagai

wujud keseimbangan yang patut dijaga dan dilestarikan. Hal ini seperti yang terimpelementasi

Page 17: Tradisi - erepo.unud.ac.id

dalam spirit ritual tumpek wariga yang merupakan wujud rasa syukur dan terima kasih kepada

Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa atas karunianya menciptakan tumbuh-

tumbuhan untuk menopang kehidupan manusia adalah bentuk tindakan yang tepat dalam

menjaga lingkungan6.

Meskipun kondisi berkurangnya lahan untuk tumbuh-tumbuhan dan tidak adanya

pepohonan terutama di perkotaan tetapi tanaman berupa pot-pot yang kecil masih bisa dipakai

ritual tumpek wariga. Adaptasi sarana tidak menghilangkan simbol dan makna keselarasan

ekologi dalam modernisasi.Hal tersebut mengilustrasikan bahwa bagaimana tradisi kearifan

lokal Bali sebagai pondasi dalam gerakan pembangunan ekologi secara berkelanjutan di Bali

yang dapat saling memperkuat, memiliki sinergi yang saling menguntungkan, membentuk ibu

kota sosial budaya berbasis budaya lokal yang mendukung pariwisata yang berkembang di Bali

dewasa ini.

Namun demikian, perlu ada langkah-langkah dokumentasi modern dan penggalian

berbagai pengetahuan ritual-tradisional sehingga ada referensi lengkap terkait dengan ini, untuk

kepentingan ilmiah dan praktis, utamanya untuk keberlajutan nilai-nilai budaya sebagai kearifan

budaya lokal yang lebih sistematis. Ini menjadi sangat penting mengingat tantangan dalam era

modern yang sudah merambah dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk potensinya untuk

mengikis kekayaan budaya dan tradisi.Implikasi keberlanjutan tumpek Wariga untuk

kelestarian/keberlajutan ekosistem yang holistik dalam lahan tumbuh-tumbuhan dalam

menunjang kesejahtraan masyarakat, penunjang pariwisata, dan peningkatan ekonomi

masyarakat.

4. Simpulan

Daftar Pustaka

6Hasil wawancara dengan Hasil wawancara dengan dengan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Gandha Kusuma, di Geria giri

Gandha Madhana Penatih Pada tanggal 8 Agustus 2019, I Gede Anom Ranuara di Kesiman Denpasar pada tanggal 9 Agustus

2019.

Page 18: Tradisi - erepo.unud.ac.id

Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta, Dian Rakyat.

Piliang, Tasraf Amir.2005. Cultural Studies dan Posmodernisme: Isyu, Teori dan Metode.

Makalah disampaikan dalam seminar pada Program Magister dan Doktor Kajian Budaya

Universitas Udayana, 12 Juli 2005.

Shadily, Hassan. 1980. Ensiklopedia Indonesia (seri A, B , C, dan D)