82

Click here to load reader

TPA TANGERANG.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TPA TANGERANG.doc

1

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH REKAYASA LINGKUNGAN

STRATEGI PENGELOLAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPA) DILIHAT DARI ASPEK

ADMINISTRATIF DAN FUNGSIONAL PENATAAN RUANG

NAMA : AHMAD MUKHROJI WIRATAMA

NRP : 11 2013 152.P

FAKULTAS TEKNIK JURASAN TEKNIK SIPILUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2013

Page 2: TPA TANGERANG.doc

2

STRATEGI PENGELOLAAN TEMPAT PEMROSESAN AKHIR SAMPAH (TPA) DILIHAT DARI ASPEK ADMINISTRATIF DAN

FUNGSIONAL PENATAAN RUANG1

Oleh Ahmad Mukhroji Wiaratama

ABSTRAK

Makalah ini mencoba untuk memberikan gambaran mengenai keberadaan

Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di suatu wilayah dikaitkan dengan pertimbangan

perencanaan wilayah baik dari aspek administrative maupun fungsional. Peningkatan

jumlah sampah seiring dengan pertumbuhan penduduk membutuhkan sarana TPA yang

memadai, sedangkan ketersediaan lahan dari masing-masing daerah untuk

dialokasikan sebagai TPA semakin terbatas. Hal ini mendorong adanya pemikiran

untuk mengembangkan konsep TPA regional, sehingga TPA yang pada awalnya hanya

mempunyai fungsi ruang secara administrative pada akhirnya perlu dipikirkan untuk

ditingkatkan menjadi fungsi ruang yang bersifat fungsional.

Pemikiran ini membutuhkan adanya perencanaan wilayah partisipatif yang

melibatkan seluruh stakeholder dari masing-masing wilayah sehingga tidak akan

menimbulkan permasalahan di kemudian harinya. Dan perencanaan ini juga harus

dilandasi dengan suatu paradigm pembangunan berkelanjutan, sehingga keberadaan

TPA selain secara lingkungan aman juga tidak mematikan potensi ekonomi bagi

masyarakat yang mendapatkan manfaat dari sampah, sekaligus dapat meminimalkan

potensi konflik sosial diantara anggota masyarakat. Sedangkan untuk mengawal

pelaksanaan dan pengawasan nya, perlu pemberdayaan kelembagaan lokal di masing-

masing wilayah sehingga program TPA regional ini dapat berkelanjutan..

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sampah merupakan salah satu permasalahan yang di hadapi Kota Tangerang, yang

sampai dengan saat ini belum dapat tertangani secara baik. Berbagai upaya penanganan

yang disertai pengalokasian anggaran yang cukup besar telah dilakukan, namun hasil

yang diharapkan masih kurang optimal. Kondisi ini tercermin dari tingkat pelayanan

sampah yang hanya mencapai 70% dari minimal yang dipersyaratkan sebesar 80%.

Page 3: TPA TANGERANG.doc

3

Faktor utama yang mempengaruhi kurang optimalnya kinerja penanganan sampah

adalah belum tersedianya grand design penanganan sampah dengan target dan fokus

sasaran yang jelas, sehingga rencana kegiatan yang dilaksanakan terkesan reaktif,

parsial dan tidak terinterasi. Hakekatnya upaya penanganan sampah harus

memperhatikan aspek kelembagaan, sarana prasarana, pembiayaan, maupun peran serta

masyarakat. Oleh karenannya upaya penanganan tidak dapat dilakukan secara parsial,

namun harus secara sistematik dan komprehensif dengan memperhitungkan aspek-

aspek tersebut.

Secara geografis Kota Tangerang terletak pada 106’36 – 106’42 Bujur Timur (BT)

dan 6’6 - 6 Lintang Selatan (LS), dengan luas wilayah 183,78 km2 (termasuk luas

Bandara Soekarno-Hatta sebesar 19,69 km2). Jika diperhatikan dari posisi geografis,

Kota Tangerang memiliki letak strategis karena berada diantara DKI Jakarta,

Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Sesuai dengan Instruksi Presiden

Nomor 13 Tahun 1976 tentang Pengembangan Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang,

Bekasi), Kota Tangerang merupakan salah satu daerah penyangga Ibukota Negara DKI

Jakarta.

Posisi strategis tersebut menjadikan perkembangan Kota Tangerang

berjalan

dengan pesat. Pada satu sisi, menjadi daerah limpahan dari berbagai kegiatan di

Kota Jakarta, di sisi lainnya Kota Tangerang menjadi daerah kolektor pengembangan

wilayah Kabupaten Tangerang sebagai daerah dengan sumber daya alam yang

produktif. Pesatnya perkembangan Kota Tangerang, didukung pula dengan

sistem jaringan transportasi terpadu dengan wilayah Jabodetabek, serta aksesibilitas

dan konektivitas berskala nasional dan internasional yang baik sebagaimana

tercermin dari keberadaan Bandara International Soekarno-Hatta.

Pada umumnya TPA hanya dijadikan tempat untuk memindahkan

masalah

bukan menyelesaikan masalah mengingat pada umumnya TPA di Indonesia

masih dilakukan dengan cara – cara kuno yang berupa open dumping saja.

Disamping itu, komitmen yang dibangun kadang tidak mendapat dukungan dari

semua stakeholder serta permasalahan tersebut sering kali hanya menjadi tanggung

jawab pengelola di bidang persampahan saja. Kegiatan TPA juga menimbulkan

dampak gangguan yang meliputi; kebisingan, ceceran sampah, debu, bau, dan

Page 4: TPA TANGERANG.doc

4

timbulnya vector – vector penyakit. Belum lagi adanya perubahan rona lingkungan

yang dapat mengakibatkan peningkatan terjadinya pencemaran udara yang

berakumulasi dengan timbulnya gas H2S dan CH4 serta partikulat debu yang

sewaktu – waktu dapat menimbulkan ledakan akibat sistem pengelolaan yang tidak

benar karena sampah tidak diproses.

Sampah juga berpotensi menimbulkan konflik sosial dengan masyarakat yang

ada di sekitarnya antara kelompok masyarakat yang hidupnya sebagai pemulung

sampah dengan kelompok masyarakat yang merasa tercemari akibat pengelolaan

sampah yang tidak sempurna dan tidak ramah lingkungan sehingga dampak

lingkungan yang akan terjadi mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup

seperti yang saat ini telah terjadi di TPA.

Sejalan dengan pertambahan penduduk yang disertai dengan tingginya

arus urbanisasi memiliki korelasi yang sangat signifikan dengan semakin tingginya

volume sampah yang harus dikelola setiap hari. Kondisi tersebut dapat bertambah

sulit bagi setiap Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mengingat sangat terbatasnya

lahan untuk Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Keterbatasan lahan untuk TPA ini

dialami oleh Pemerintah Daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Tangerang,

yaitu Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Hal ini mendorong

Pemerintah Daerah tersebut intensif melakukan pendekatan ke Pemerintah Kota

Tangerang untuk dapat ikut memanfaatkan lahan TPA tersebut. Tetapi

pendekatan ini tidak disepakati oleh Pemerintah Kota Tangerang karena

berbenturan dengan Perda No. 03 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Sampah yang

melarang untuk memasukkan sampah dari luar Kota Tangerang.

Page 5: TPA TANGERANG.doc

5

Perumusan Masalah

Dengan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut :

1. Dengan tidak disepakatinya keinginan Pemerintah Kabupaten Tangerang dan

Kota Tangerang Selatan untuk ikut memanfaatkan TPA Kota Tangerang,

mengakibatkan adanya lahan-lahan TPA liar di sekitar TPA eksisting

yang menampung sampah dari luar Kota Tangerang;

2. Adanya arahan dari Perda No. 23 Tahun 2000 tentang RTRW Kota Tangerang

yang menyatakan untuk memindahkan TPA yang ada sekarang ke lokasi baru

di luar Kota Tangerang (Kabupaten Tangerang), berpotensi

memunculkan penolakan masyarakat Kota Tangerang sendiri yang

merasa mendapatkan manfaat dari keberadaan TPA saat ini serta

penolakan dari masyarakat Kabupaten Tangerang yang merasa tercemari

dengan sampah yang berasal dari luar wilayah mereka.

Page 6: TPA TANGERANG.doc

6

Tujuan

Adapun tujuan makalah ini adalah untuk mengkaji keberadaan TPA

dengan fungsinya yang khusus untuk menampung sampah Kota Tangerang serta

peluang untuk mengembangkan menjadi TPA regional

Lokasi TPA eksisting

Sumber : Masterplan Persampahan Kota Tangerang

Gambar 1 Peta Orientasi TPA Kota Tangerang

KERANGKA PEMIKIRAN

(THEORETICAL FRAMEWORK)

Pergeseran Paradigma Pembangunan

Paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia, teori demokrasi maupun

teori-teori pemberdayaan mengajarkan bahwa partisipasi masyarakat merupakan

esensi dasar dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.

Alasan-alasan

Page 7: TPA TANGERANG.doc

7

utama yang mendasari pandangan tersebut menurut Diana Conyers (1994 : hal. 154)

antara lain :

(1) Partisipasi masyarakat dibutuhkan untuk mensukseskan program dan proyek-

proyek pembangunan karena merupakan suatu alat dalam memperoleh

informasi akan kondisi, kebutuhan dan sikap masyarakat setempat;

(2) Keterlibatan masyarakat dalam proses persiapan dan perencanaan akan

meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap

proyek atau program

pembangunan karena akan muncul rasa memiliki terhadap proyek

tersebut;

(3) Timbul suatu anggapan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembangunan di

daerah mereka merupakan suatu hak demokrasi.

Dalam setiap proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan

di Indonesia secara eksplisit sudah diamanatkan untuk mengedepankan

partisipasi masyarakat sejak berdirinya negara ini. Landasan yuridis yang

mempertegas pentingnya partisipasi ini tertuang dalam Undang-Undang nomor 25

tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang menjamin

kepastian partisipasi masyarakat dalam setiap proses perencanaan pembangunan dan

keterpaduan antara pembangunan di daerah dengan arah kebijakan pembangunan

nasional.

Berdasarkan UU Nomor 25/2004 dan Surat Edaran (SE) Bersama Menteri

Negara

Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri (Nomor

1354/M.PPN/03/2004, 050/744/SJ), proses perencanaan pembangunan di Kabupaten/

Kota harus dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan seluruh komponen yang

ada di masyarakat. Perencanaan partisipatif merupakan perencanaan yang melibatkan

semua (rakyat) dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi yang

bertujuan untuk mencapai kondisi yang diinginkan,. Hal ini seperti yang dikemukakan

oleh Abe (2002 : hal. 81) sebagai berikut :

Perencanaan partisipatif adalah perencanaan yang dalam tujuannya melibatkan kepentingan

rakyat, dan dalam prosesnya melibatkan rakyat (baik secara langsung maupun tidak langsung.

Tujuan dan cara harus dipandang sebagai satu kesatuan. Suatu tujuan untuk kepentingan

rakyat dan bila dirumuskan tanpa melibatkan masyarakat, maka akan sulit dipastikan bahwa

Page 8: TPA TANGERANG.doc

8

rumusan akan berpihak pada rakyat.

Sejalan dengan adanya pergeseran paradigma pembangunan, dimana

pendekatan- pendekatan mengenai perencanaan pembangunan mulai bergeser dari

yang semula berpusat-pada-produksi menjadi berpusat-pada-rakyat, keterlibatan

masyarakat menjadi sangatlah penting. Seperti yang ditunjukkan pada gambar (2) di

bawah, pendekatan- pendekatan pembangunan yang berpusat-pada-rakyat

mengutamakan adanya partisipasi dan pemberdayaan masyarakat serta munculnya

keswadayaan lokal. Dengan demikian perencanaan partisipatif yang

memfokuskan pada keterlibatan masyarakat dan

keswadayaan lokal, yang ditunjukkan dengan proses perencanaan yang lahir dari

bawah (bottom up), merupakan salah satu jenis perencanaan pembangunan

yang cukup mewakili fenomena pergeseran paradigma itu.

Gambar 2. Pergeseran Paradigma Pembangunan

Page 9: TPA TANGERANG.doc

9

Pembangunan Berkelanjutan

Seiring dengan perkembangan perspektif manusia, pengelolaan sumberdaya

senantiasa menyesuaikan serta dapat mengalami perubahan pada tujuan, strategi

dan bentuk-bentuk kegiatannya sehingga menjadi suatu upaya yang dinamis. Oleh

karena itu pemanfaatan sumber daya harus memperhatikan dimensi lain agar lebih

komprehensif dan mempunyai konsep-konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Paradigma pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk meniadakan atau

meminimalisir persoalan lingkungan dengan menggeser pendekatan pembangunan

yang hanya berdasarkan pertumbuhan dan kemajuan ekonomi semata, menjadi

sebuah pendekatan yang lebih holistik dan integratif dengan memberi perhatian

serius serta mensinkronkan dan memberi bobot yang sama kepada pembangunan

sosial budaya dan pembangunan lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi, sosial

budaya dan lingkungan hidup harus dipandang sebagai satu hal yang terkait erat satu

sama lain dan tidak boleh dipisahkan atau dipertentangkan satu dengan yang lainnya.

Gangguan terhadap mata rantai ekosistem akibat kerusakan lingkungan hidup

serta berkurangnya sumber daya alam dan energi ini salah satunya disebabkan oleh

kegiatan perekonomian yang menjadikan sumber daya alam dan energi menjadi

modal utama berlangsungnya proses pembangunan ekonomi. Keberpihakan akan

kemajuan ekonomi inilah yang mengakibatkan sumber daya alam dan energi menjadi

korban bagi kemajuan pembangunan. Menyadari akan hal tersebut maka

aspek kelestarian lingkungan hidup untuk kesinambungan kehidupan antar generasi

menjadi komitmen mutlak yang mendasari setiap kebijakan pengelolaan lingkungan

hidup setiap negara di masa kini maupun masa mendatang.

Aktualisasi komitmen ini diharapkan mampu diimplementasikan setiap negara

karena dalam permasalahan lingkungan sudah tidak mengenal lagi akan batas-batas

negara atau lintas negara dan bersifat global, sehingga masalah lingkungan hidup

yang terjadi di suatu negara dapat memberikan dampak buruk bagi negara lain.

Hal ini diperlukan agar dapat mengantisipasi segala akibat yang akan terjadi

sehingga dapat memperkecil malapetaka lingkungan bagi keseluruhan umat manusia.

Dalam pembangunan berkelanjutan, selain komponen lingkungan yang telah

menjadi perhatian utama, komponen sosial tidak serta merta dapat diabaikan begitu

saja.

Page 10: TPA TANGERANG.doc

10

Menurut Michael M. Cernea (1993), kegagalan untuk mengenali peran "aktor sosial" sebagai salah satu faktor yang menentukan dapat menggagalkan banyak program pembangunan. Menempatkan aspek manusia sebagai unsur utama dalam kebijakan- kebijakan dan program investasi pembangunan

merupakan suatu keharusan. Keberlanjutan seharusnya dibangun dengan mengatur komponen sosial dan ekonomi secara proposional.

Menurut pespektif ahli sosiologi, terdapat dua elemen pendekatan sosial yangdapat membantu dalam upaya pencapaian pembangunan berkelanjutan yaitu: Pertama, adanya seperangkat konsep yang dapat membantu menjelaskan perilaku sosial, hubungan antar orang, kompleksitas bentuk-bentuk organisasi sosial, pengaturan kelembagaan serta budaya, motif, dorongan dan nilai-nilai yang mengatur perilaku antar individu dan terhadap sumber daya alam sehingga menghasilkan suatu organisasi sosial. Kedua, adanya seperangkat teknik sosial yang dapat membentuk perilaku sosial yang terkoordinasi, mencegah perilaku yang merusak, membantu perkembangan suatu hubungan, membentuk pengaturan sosial alternatif serta mengembangkan modal sosial.

Sedangkan berdasarkan komponen ekonomi, pembangunan berkelanjutan ini mengandung dua gagasan penting yaitu gagasan “kebutuhan” yang menjadi prioritas utama dan kedua adalah gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan. Sebagai prioritas utama, jika dihubungankan dengan pembangunan berkelanjutan, pemenuhan kebutuhan pokok harus selaras dengan pertumbuhan ekonomi, mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan serta bersifat noneksploitasi tanpa mengabaikan peningkatan potensi produktif masyarakat dan pemerataan kesempatan bagi semua.

Kus Adi Nugroho menjelaskan pola hubungan antar komponen ekonomi, sosialdan lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan sebagaimana gambar

berikut.

Gambar 3. Pola hubungan komponen pembangunan

Page 11: TPA TANGERANG.doc

11

Berdasarkan pola hubungan di atas, suatu pembangunan dapat dikatakan

"liveable" atau "nyaman" apabila memenuhi kriteria sosial dan lingkungan sehingga

manusia dan alam dapat berkesinambungan. Suatu pembangunan juga dikatakan

sebagai "viable" atau "dapat berjalan" apabila memenuhi kriteria lingkungan dan

ekonomi. Sedangkan suatu pembangunan dapat disebut "equitable" atau "adil"

secara ekonomi dan sosial apabila memenuhi kriteria sosial dan ekonomi. Ketiga pola

hubungan tersebut masih belum mencapai kondisi yang berkelanjutan atau

sustainable karena hanya masing-masing hanya memenuhi dua kriteria, sehingga

untuk mencapai kondisi tersebut harus memenuhi ketiga kriteria yang dipersyaratkan,

kriteria sosial yaitu persamaan hak antara manusia, kriteria lingkungan yaitu

preservasi dan konservasi alam, dan juga ekonomi yaitu efisiensi yang tinggi.

Page 12: TPA TANGERANG.doc

12

Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan bertujuan untuk menemukan sistem yang berpihak pada manusia

dan kemanusiaan sebagai alternatif dalam pembangunan masyarakat. Untuk

mencapai tujuan pemberdayaan tersebut maka perlu dikembangkan suatu

mekanisme dimana masyarakat dapat berperan sebagai agen pembangunan, yang

dapat dicapai dengan meningkatkan keilmuan dan kemandirian kelompok

masyarakat yang selama ini di anggap tidak mempunyai kekuasaan (powerless).

Peningkatan kekuasaan (power) masyarakat dalam sistem masyarakat harus

diupayakan sebagai proses reformasi sosial, dimana kekuasaan antar kelompok tidak

saling meniadakan/ mengalahkan kelompok-kelompok lainnya (zero sum)

tetapi sebaliknya dapat saling meningkatkan kemanfaatan terhadap semua kelompok

(positif sum). Dalam proses inilah akan terjadi proses negoisasi antar kelompok, dan

diharapkan dengan pemberdayaan posisi tawar (bargaining power) kelompok yang

powerless akan semakin meningkat sehingga pelayanan terhadap kelompok tersebut

turut meningkat.

Peningkatan kekuasaan dalam kerangka reformasi sosial dapat dicapai dengan

beberapa upaya sebagai berikut : pertama, mendistribusikan sumber daya,

kesempatan, pengetahuan dan keterampilan (distribution of resources) kepada

masyarakat (Jim Ife,

1995), kedua, memperluas aset dan kemampuan kelompok powerless dalam

menegosiasikan kehidupannya (Deepa Narayan et.al, 2002), ketiga,

menumbuhkan konsientisasi (conscientization) atau kesadaran kritis masyarakat

terhadap realitas kehidupannya sehingga meningkatkan kemampuan mereka untuk

mentransformasikan realitas tersebut sebagai dasar guna memutuskan kebutuhan

mereka yang penting baginya (Paulo Freire, 1972). Ketiga hal tersebut diharapkan

dapat memperluas dan meningkatkan kemampuan merekadalam

menentukan masa depannya serta berpartisipasi

dalam memenuhi kebutuhan komunitasnya.

Strategi yang potensial dalam meningkatkan ekonomi, sosial, dan transformasi

budaya adalah melalui pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam

kerangka pembangunan yang berpusat pada rakyat. Sementara dalam strategi

pemberdayaan, partisipasi aktif masyarakat

Page 13: TPA TANGERANG.doc

13

diletakkan dalam efektivitas, efisiensi, dan sikap

kemandirian, dengan melakukan kegiatan kerja sama dengan sukarelawan dari LSM

maupun organisasi dan pergerakan masyarakat (Clarke, 1991).

Tetapi perlu diperhatikan bahwa pengertian sikap kemandirian bukan semata-mata

meminimalisasi intervensi dari pihak luar, karena tanpa ada dukungan dari luar

lingkungan/ komunitas masyarakat tidak dapat hidup dan berkembang

dan menimbulkan sikap pasif sehingga cenderung menjadikan mereka lebih tidak

berdaya (Katze, 1987). Sedangkan mengenai partisipasi aktif masyarakat dalam

setiap proses pengambilan keputusan, kenyataannya atas nama "pemberdayaan"

seluruhnya masih dikerjakan oleh para profesional (McArdle, 1989) dan menjadikan

masyarakat menjadi tidak mampu diberdayakan (Rose dan Black, 1983). Kedua

fenomena ini patut menjadi perhatian kita semua pada saat menerapkan konsep-

konsep pemberdayaan dalam perencanaan pembangunan, sehingga tidak terjebak

dalam retorika pemberdayaan semata.

Page 14: TPA TANGERANG.doc

14

Pengembangan Masyarakat dan Pengembangan Wilayah

Pengembangan masyarakat (Community Development) didefinisikan sebagai

"sekelompok orang dalam suatu tempat yang menginisiasi sebuah proses kegiatan

sosial untuk merubah perekonomian, sosial,budaya, dan/ atau

situasi lingkungan" (Christenson dan Robinson Jr, 1989). Sehingga

pengembangan masyarakat dapat dimaknai sebagai suatu keterkaitan secara

ekologis, ekonomis dan sosiologis dan berhubungan secara fungsional dalam suatu

sistem kelembagaan lokal.

Menurut Todaro dalam buku Ernan (2011), pembangunan dipandang sebagai

suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar

atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, disamping

tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan

pendapatan, dan pengentasan kemiskinan.

Pembangunan daerah dapat dinyatakan sebagai "proses pembangunan yang

dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju perkembangan yang lebih baik

bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah/

daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya

yang ada dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap tapi tetap

berpegang pada azas prioritas" (Riyadi dan Bratakusumah, 2003).

Pengembangan wilayah adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Banyak

cara dapat diterapkan, mulai dari konsep pengembangan sektoral, pendekatan

pada pemenuhan kebutuhan pokok, sampai pengaturan ruang secara terpadu melalui

proses pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan pengembangan

sumber daya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan.

Pengembangan wilayah adalah harmonisasi perkembangan wilayah. Banyak cara

dapat diterapkan, mulai dari konsep pengembangan sektoral, pendekatan

pada pemenuhan kebutuhan pokok, sampai pengaturan ruang secara terpadu melalui

proses pemanfaatan sumber daya alam secara sinergi dengan pengembangan

sumber daya manusia dan lingkungan hidup untuk mencapai pembangunan

berkelanjutan.

Kelembagaan Lokal dan Kapital Sosial

Page 15: TPA TANGERANG.doc

15

Kelembagaan lokal merupakan kumpulan orang, komunitas dan/ atau

organisasi bersifat lokal, baik formal maupun informal, yang dibalut oleh sistem norma

dan pola- pola hubungan, sedangkan kapital sosial itu sendiri meliputi norma,

hubungan sosial, dan institusi sosial yang mempunyai 4 dimensi integrasi, pertalian

(linkage), integritas organisasional dan sinergi, yang menggambarkan keterikatan

dan relasi di dalam kelembagaan, antar kelembagaan maupun dengan institusi negara.

Potensi kapital sosial yang dihasilkan oleh kelembagaan dapat dipakai sesuai

keputusan kelompok dengan pertimbangan tertentu dalam upaya efisiensi/efektivitas

proses produksi (dapat dilihat dari sisi sebagai entitas dan perspektif). Sedangkan

kemampuan anggotakelompok/ masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu

pola hubungan yang sinergis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan

kuat tidaknya kapital sosial suatu kelompok. Oleh karenanya hubungan antara

kelembagaan lokal dan kapital sosial relatif bersifat reciprocity (timbal balik) dan saling

mempengaruhi.

Pengembangan kelembagaan seiring sejalan dengan semakin

meningkatnya kapital sosial yang dibentuk atas kepentingan yang

saling menguntungkan. Kepercayaan, hubungan sosial dan norma merupakan

tiga komponen penting yang mampu menjadi perekat dalam pengembangan

kelembagaan/ masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka

kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien.

Kriteria dalam mengukur tingkat efektivitas suatu lembaga meliputi kapasitas untuk

membatasi tujuan operasional dan menilai seberapa baik suatu organisasi berjalan

dibanding dengan standarnya sendiri maupun berasal dari luar lembaga tersebut.

Sedangkan konsep efisiensi hanya mengacu pada bagaimana sumberdaya yang

tersedia dipakai untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mendapatkan

rasio keluaran-masukan yang tinggi, tanpa memperhatikan benar tidaknya tujuan

tersebut.

Pengembangan kelembagaan seiring sejalan dengan semakin

meningkatnya kapital sosial yang dibentuk atas kepentingan yang

saling menguntungkan. Kepercayaan, hubungan sosial dan norma merupakan tiga

komponen penting yang mampu menjadi perekat dalam pengembangan

kelembagaan/ masyarakat. Apabila semuanya dapat berjalan dengan baik maka

kapital sosial akan mampu menggerakkan sebuah lembaga yang efektif dan efisien.

Page 16: TPA TANGERANG.doc

16

Kriteria dalam mengukur tingkat efektivitas suatu lembaga meliputi kapasitas untuk

membatasi tujuan operasional dan menilai seberapa baik suatu organisasi berjalan

dibanding dengan standarnya sendiri maupun berasal dari luar lembaga tersebut.

Sedangkan konsep efisiensi hanya mengacu pada bagaimana sumberdaya yang

tersedia dipakai untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan mendapatkan

rasio keluaran-masukan yang tinggi, tanpa memperhatikan benar tidaknya tujuan

tersebut.

Dalam membangun kelembagaan lokal yang kuat harus dibangun kapital

sosia yang juga kuat. Keberadaan kelembagaan lokal selalu merupakan unsur

kelembagaan yang efektif. Kapital sosial akan memfasilitasi kerjasama antar pihak

yang terlibat dan dapat menurunkan biaya. Kapital sosial dan kelembagaan lokal

adalah modal dalam pengembangan masyarakat yang mendukung pelaksanaan

perencanaan partisipatif dalam pelaksanaan pengembangan wilayah, karena kapital

sosial dimanfaatkan untuk memperkuat kelembagaan-kelembagaan lokal yang

menjadi basis pembangunan masyarakat, sehingga dapat dicapai pengembangan

wilayah yang merata, berkelanjutan dan partisipatif dalam rangka peningkatan

kesejahteraan masyarakat sebagai acuan keberhasilan pembangunan yang sebenarnya.

Page 17: TPA TANGERANG.doc

17

ANALISA

Potret Persampahan Kota Tangerang

Sebagai daerah penyangga Ibu kota Negara, Kota Tangerang merupakan daerah

yang cukup padat dimana setiap kilometer persegi (km2) rata-rata dihuni 10.930

jiwa dan juga memiliki salah satu kecamatan yaitu Kecamatan Larangan yang

merupakan kecamatan terpadat dengan penghuni 17.436 jiwa untuk setiap kilometer

perseginya.

Tingkat pelayanan pengangkutan sampah oleh DKP Kota Tangerang dari tahun ke

tahun terus meningkat. Diketahui bahwa persentase tingkat pelayanan sampah tahun

2009, 2010, 2011, 2012

Tabel 1 Jumlah sampah terangkut ke TPA pada tahun 2009 s/d 2012

TahunJumlah Timbulan Jumlah Sampah Terangkut Tingkat Pelayanan

2009 3458 m3/hari 2421 m3/hari 70%2010 4027 m3/hari 2931 m3/hari 72.78%2011 4173 m3/hari 3049,5 m3/hari 73,1%2012 4319 m3/hari 3201 m3/hari 74,1

Sumber : Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Tangerang, 2012

berturut-turut yaitu 70%; 72,78%; 73,1%; 74,1% (dari jumlah timbulan sampah

total). Namun demikian, tingkat pelayanan tersebut masih dibawah Standar

Pelayanan Minimal (SPM) bagi kawasan perkotaan yaitu sebesar 80%.Di samping

itu target MDGs sektor persampahan menurut versi Kementerian PU adalah 86,5%

sehingga masih besar selisih antara SPM serta target MDGs sektor persampahan

dengan tingkat pelayanan real disebabkan karena sarana dan prasarana kebersihan

yang dimiliki Pemerintah Kota Tangerang belum memadai.

Page 18: TPA TANGERANG.doc

18

Peningkatan jumlah penduduk dan gaya hidup sangat berpengaruh pada volume

sampah, dimana untuk produksi sampah dalam kehidupan setiap hari per orang

mencapai 2,25 liter/orng/hari (0,5625 kg/orng/hari). Masalah yang sering muncul dalam

penanganan sampah kota adalah masalah biaya operasional yang tinggi dan semakin

sulitnya ruang yang pantas untuk pembuangan. Sehingga kebanyakan kota-kota di

Indonesia hanya mampu mengumpulkan dan membuang 60% dari seluruh produksi

sampahnya. Namun demikian berbeda dengan Kota Tangerang yang mampu

memberikan pelayanan pengangkutan sampai 73,1 %, hanya saja system

penanganannya masih menggunakan cara – cara kuno dengan open dumping tidak

ramah lingkungan. Berkaitan dengan hal tersebut saat ini Dinas Kebersihan dan

Pertamanan sudah memulai kegiatan pengelolaan sampah melalui sistem pemanfaatan

sampah menjadi metan yang baru mencapai 10 % saja dari luas yang dimanfaatkan

sebesar 3 Ha.

Tempat Pemrosesan Akhir (TPA)

Pada saat ini pemrosesan akhir sampah Kota Tangerang dilakukan di TPA Rawa

Kucing dengan luas lahan terpakai 20,83 ha dari luas lahan total 35 ha yang sudah

dimiliki Pemerintah Kota Tangerang. TPA ini terletak di Kelurahan Kedaung Wetan,

Kecamatan Neglasari, sekitar 7 km dari Pusat Kota Tangerang. TPA Rawa Kucing telah

beroperasi sejak tahun 1990. Jarak TPA dari pusat kota 7 km, dari DAS (Sungai

Cisadane) ±500 m. Batas wilayah TPA Rawa Kucing :

• Sebelah Utara : Lahan kosong dan Permukiman Penduduk

• Sebelah Selatan : Permukiman Penduduk

• Sebelah Barat : Jl. Iskandar Muda

• Sebelah Timur : Lahan pertanian masyarakat

Sampai dengan tahun 2005 TPA Rawa Kucing masih dioperasikan secara

penimbunan terbuka (open dumping), kemudian secara bertahap sistem operasional

Page 19: TPA TANGERANG.doc

19

ditingkatkan agar menjadi penimbunan terkendali (controlled dumping). Beberapa

kegiatan peningkatan telah dilakukan antara lain meliputi penetapan zona penimbunan

sampah, penyediaan jalan operasional berupa balok-balok beton yang dapat menjangkau

seluruh area penimbunan sampah, aplikasi tanah penutup pada sel sampah yang tidak

aktif secara berkala yang dilakukan maskimal 1 kali dalam setahun, mengingat kendala

dalam proses pengadaan tanah penutup, pengendalian leachate (pengumpulan di kolam),

pengadaan jembatan timbang (dalam keadaan rusak), serta penghijauan di lingkungan

TPA.

Persyaratan Lokasi TPA

Pemilihan lokasi TPA sampah perkotaan harus sesuai dengan ketentuan yang ada (SNI

03-3241- 1994 tentang tata cara pemilihan lokasi TPA)

Jenis dan Fungsi Sarana TPA

Untuk dapat dioperasikan dengan baik maka TPA perlu dilengkapi dengan prasarana

dan sarana yang meliputi:

a. Prasarana Jalan

Prasarana dasar ini sangat menentukan keberhasilan pengoperasian TPA. Semakin

baik kondisi jalan ke TPA akan semakin lancar kegiatan pengangkutan

sehingga efisiensi keduanya menjadi tinggi.

Konstruksi jalan TPA cukup beragam disesuaikan dengan kondisi setempat

sehingga dikenal jalan TPA dengan konstruksi: hotmix, beton, aspal, perkerasan situ,

atau kayu.

Dalam hal ini TPA perlu dilengkapi dengan:

Jalan masuk/akses, yang menghubungkan TPA dengan jalan umum yang telah tersedia

dengan spesifikasi jalan, termasuk jembatan, sesuai dengan

Page 20: TPA TANGERANG.doc

20

tonnase beban kendaraan;

Jalan penghubung, yang menghubungkan antara satu bagian dengan bagian

lain dalam wilayah TPA;

Jalan operasi/kerja, yang diperlukan oleh kendaraan pengangkut menuju

titik pembongkaran sampah (working face).

Pada TPA dengan luas dan kapasitas pembuangan yang terbatas biasanya jalan

penghubung dapat juga berfungsi sekaligus sebagai jalan kerja/operasi.

b. Prasarana Drainase

Drainase di TPA berfungsi untuk mengendalikan aliran limpasan air hujan

dengan tujuan untuk memperkecil aliran yang masuk ke timbunan sampah. Seperti

diketahui, air hujan merupakan faktor utama terhadap debit leachate yang dihasilkan.

Semakin kecil rembesan air hujan yang masuk ke timbunan sampah akan semakin

kecil pula debit leachate yang dihasilkan yang pada gilirannya akan memperkecil

kebutuhan unit pengolahannya.

Secara teknis drainase TPA dimaksudkan untuk menahan aliran limpasan air hujan

dari luar TPA agar tidak masuk ke dalam area timbunan sampah. Drainase

penahan ini umumnya dibangun di sekeliling blok atau zona penimbunan. Selain

itu, untuk lahan yang telah ditutup tanah, drainase TPA juga dapat berfungsi sebagai

penangkap aliran limpasan air hujan yang jatuh di atas timbunan sampah tersebut.

Untuk itu permukaan tanah penutup harus dijaga kemiringannya mengarah pada

saluran drainase.

c. Fasilitas Penerimaan

Fasilitas penerimaan dimaksudkan sebagai tempat pemeriksaan sampah yang datang,

penimbangan, pencatatan data, dan pengaturan kedatangan truk sampah. Pada

umumnya fasilitas ini dibangun berupa pos pengendali dan pencatatan sampah di

pintu masuk TPA. Pada TPA besar dimana kapasitas pembuangan telah melampaui

50 ton/hari maka dianjurkan penggunaan jembatan timbang untuk efisiensi

dan ketepatan pendataan. Sementara TPA kecil bahkan dapat memanfaatkan pos

Page 21: TPA TANGERANG.doc

21

tersebut sekaligus sebagai kantor TPA sederhana dimana kegiatan administrasi

ringan dapat dijalankan.

d. Lapisan Kedap Air

Lapisan kedap air berfungsi untuk mencegah rembesan air leachate yang mengalir ke

dasar TPA dan/atau kolam pengolahan leachate ke dalam lapisan tanah di bawahnya.

Untuk itu lapisan ini harus dipasang di seluruh permukaan dalam TPA dan/atau

kolam pengolahan leachate, baik dasar maupun dinding.

Bila tersedia di tempat, tanah lempung (k < 10-7 ) setebal + 50 cm

merupakan alternatif yang baik sebagai lapisan kedap air. Namun bila tidak

dimungkinkan, dapat diganti dengan lapisan sintetis lainnya dengan konsekuensi biaya

yang relatif tinggi.

e. Fasilitas Pengamanan Gas

Gas yang terbentuk di TPA umumnya berupa gas karbon dioksida (CO2),

dan metan(CH4) dengan komposisi hampir sama; disamping gas-gas lain yang

sangat sedikit jumlahnya seperti hidrogen sulfida (H2S), dan ammonia (NH3).

Kedua gas gas karbon dioksida (CO2), dan metan (CH4) memiliki potensi

besar dalam proses pemanasan global terutama gas metan; karenanya perlu

dilakukan pengendalian agar gas tersebut tidak dibiarkan lepas bebas ke atmosfer.

Untuk itu perlu dipasang pipa- pipa ventilasi agar gas dapat keluar dari timbunan

sampah pada titik-titik tertentu. Untuk ini perlu diperhatikan kualitas dan kondisi

tanah penutup TPA. Tanah penutup yang porous atau banyak memiliki rekahan akan

menyebabkan gas lebih mudah lepas ke udara bebas. Pengolahan gas metan

dengan cara pembakaran sederhana dapat menurunkan potensinya dalam pemanasan

global.

Page 22: TPA TANGERANG.doc

22

Page 23: TPA TANGERANG.doc

23

Fasilitas Penangkap Gas

Gas metan penting, tidak berbau tetapi mudah terbakar dan bersifat mudah meledak

apabila konsentrasi di udara antara 5% sampai dengan 15%. Gas cenderung

terakumulasi di ruang yang kosong didalam landfill dan lepas melalui rekahan

ditanah atau bahan penutup, karenanya perlu dilakukan

pengontrolan timbulan dan perpindahan gas-gas ini. Untuk ini perlu

diperhatikan kualitas dan kondisi tanah penutup TPA. Tanah penutup yang

porous atau banyak memiliki rekahan akan menyebabkan gas lebih mudah lepas

ke udara bebas. Pengolahan gas metan dengan cara pembakaran sederhana dapat

menurunkan potensinya dalam pemanasan global.

Gas dapat dikontrol dengan memasang pipa ventilasi agar gas dapat keluar ke atmosfir

dari timbunan sampah pada titik-titik tertentu. Karena metan bersifat mudah terbakar,

maka gas metan dapat digunakan sebagai energi. Recovery dan pemanfaatan metan

untuk tujuan komersial hanya dapat dilakukan apabila landfill menerima sampah

lebih besar dari pada 200 tons sampah perhari.

Page 24: TPA TANGERANG.doc

24

f. Fasilitas Pengamanan Leachate

Leachate merupakan air yang terbentuk dalam timbunan sampah yang

melarutkan banyak sekali senyawa yang ada sehingga memiliki kandungan

pencemar khususnya zat organik sangat tinggi. Leachate sangat berpotensi

menyebabkan pencemaran air baik air tanah maupun permukaan sehingga perlu

ditangani dengan baik.

Tahap pertama pengamanan adalah dengan membuat fasilitas pengumpul leachate

yang dapat terbuat dari: perpipaan berlubang-lubang, saluran pengumpul

maupun pengaturan kemiringan dasar TPA; sehingga leachate secara otomatis begitu

mencapai dasar TPA akan bergerak sesuai kemiringan yang ada mengarah

pada titik pengumpulan yang disediakan.

Tempat pengumpulan leachate umumnya berupa kolam penampung yang ukurannya

dihitung berdasarkan debit leachate dan kemampuan unit pengolahannya.

Aliran leachate ke dan dari kolam pengumpul secara gravitasi sangat

menguntungkan; namun bila topografi TPA tidak memungkinkan, dapat

dilakukan dengan cara pemompaan.

Pengolahan leachate dapat menerapkan beberapa metode

diantaranya: penguapan/evaporasi terutama untuk daerah dengan

kondisi iklim kering, sirkulasi leachate ke dalam timbunan TPA untuk

menurunkan baik kuantitas maupun kualitas pencemarnya, atau pengolahan biologis

seperti halnya pengolahan air limbah.

g. Bahan Penutup

Salah satu yang membedakan antara sanitary landfill dan open dumping adalah

penggunaaan bahan penutup untuk memisahkan sampah dari lingkungan luar pada

setiap akhir hari kerja

Penutupan setiap hari sangat penting untuk keberhasilan sanitary landfill

karena mempunyai kinerja sebagai berikut :

Menghindari gangguan lalat,binatang pengerat seperti tikus.

Mencegah kebakaran dan asap

Mengurangi bau

Mengurangi jumlah air yang masuk ke dalam sampah

Mengarahkan gas menuju ventilasi keluar dari sanitary landfill

Page 25: TPA TANGERANG.doc

25

h. Alat Berat

Alat berat yang sering digunakan di TPA umumnya berupa: bulldozer, excavator

dan loader. Setiap jenis peralatan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda

dalam operasionalnya.

Bulldozer sangat efisien dalam operasi perataan dan pemadatan tetapi kurang

dalam kemampuan penggalian. Excavator sangat efisien dalam operasi

penggalian tetapi kurang dalam perataan sampah. Sementara loader sangat efisien

dalam pemindahan baik tanah maupun sampah tetapi kurang dalam kemampuan

pemadatan.

Untuk TPA kecil disarankan dapat memiliki bulldozer atau excavator, sementara

TPA yang besar umumnya memiliki ketiga jenis alat berat tersebut.

i. Penghijauan

Penghijauan lahan TPA diperlukan untuk beberapa maksud diantaranya

adalah: peningkatan estetika lingkungan, sebagai buffer zone untuk pencegahan bau

dan lalat yang berlebihan. Untuk itu perencancaan daerah

penghijauan ini perlu mempertimbangkan letak dan jarak kegiatan masyarakat di

sekitarnya (permukiman, jalan raya, dll). Luas lahan yang dibutuhkan untuk

penghijauan serta fasilitas penunjang (kantor, bengkel, garasi, dll) adalah 40%

dari total lahan TPA.

j. Fasilitas Penunjang

Beberapa fasilitas penunjang masih diperlukan untuk membantu pengoperasian

TPA yang baik diantaranya: pemadam kebakaran, kesehatan/keselamatan kerja,

toilet, dan lain lain.

Page 26: TPA TANGERANG.doc

26

PENENTUAN LOKASI TPA

Penentuan lokasi TPA sampah, dapat berdasarkan SNI 03-3241-1994 tentang Tata

Cara Pemilihan Lokasi TPA Sampah dengan beberapa pertimbangan-pertimbangan antara

lain;

1.TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut;

2.Disusun berdasarkan 3 tahapan yaitu : pertama, Tahap regional yang merupakan

tahapan untuk menghasilkan peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut

yang terbagi menjadi beberapa zona kelayakan. kedua, Tahap penyisih yang merupakan

tahapan untuk menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang

dipilih dari zona-zona kelayakan pada tahap regional. Ketiga, Tahap penetapan yang

merupakan tahap penentuan lokasi terpilih oleh Instansi yang berwenang.

3.Dalam hal suatu wilayah belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA

Sampah ditentukan berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dengan criteria

pemilihan lokasi TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian ;

A.Kriteria regional, yaitu kriteria yang digunakan untuk menentukan zona  layak atau tidak

layak sebagai berikut ;

 1) Kondisi geologi

  a.tidak berlokasi di zona holocene fault

b.tidak boleh di zona bahaya geologi

 2) Kondisi hidrogeologi

a.tidak boleh mempunyai muka air tanah kurang dari 3 meter

b.tidak boleh kelulusan tanah lebih besar dari 10-6 cm/det

c.jarak terhadap sumber air minum harus lebih besar dari 100 meter di hilir aliran

d.dalam hal tidak ada zona yang memenuhi kriteria-kriteria tersebut di atas, maka

harus diadakan masukan teknologi

3) Kemiringan zona harus kurang dari 20 %

4) Jarak dari lapangan terbang harus lebih besar dari 3.000 meter untuk penerbangan

turbo jet dan harus lebih besar dari 1.500 meter untuk jenis lain.

5)Tidak boleh pada daerah lindung/cagar alam dan daerah banjir dengan periode ulang 25

tahun

Page 27: TPA TANGERANG.doc

27

B.Kriteria penyisih yaitu kriteria yang digunakan untuk memilih lokasi    TPA  terbaik

yaitu teridiri dari kriteria regional ditambah dengan kriteria berikut ;

 1) iklim

a.hujan : intensitas hujan makin kecil dinilai makin baik

b.angin : arah angin dominan tidak menuju kepermukiman dinilai makin baik

2) utilitas : tersedia lebih lengkap dinilai lebih baik

3) lingkungan biologi

a.habitat : kurang bervariasi dinilai makin baik

b.daya dukung : kurang menunjang kehidupan flora dan fauna, dinilai makin baik

4) ketersediaan tanah

a.produktifitas tanah : tidak produktif dinilai lebih tinggi

b.kapasitas dan umur : dapat menampung lahan lebih banyak dan lebih lama di nilai

lebih baik

c.ketersediaan tanah penutup : mempunyai tanah penutup yang cukup,dinilai  lebih baik

d.status tanah : makin bervariasi dinilai tidak baik.

5) Demografi : kepadatan penduduk lebih rendah dinilai makin baik

6) Batas administrasi : dalam batas administrasi dinilai semakin baik

7) Kebisingan : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik

8) Bau : semakin banyak zona penyangga dinilai semakin baik

9) Estetika : semakin tidak terlihat dari luar dinilai semakin baik

10)Ekonomi : semakin kecil biaya satuan pengelolaan sampah (per m3/ton)dinilai

semakin  baik

       

 C.Produk yang dihasilkan

Produk yang dihasilkan sebagai berikut :

1)Tahap regional yaitu peta dasar skala 1 : 25.000, yang berisi :

a.centroid sampah yang terletak di wilayah tersebut

b.kondisi hidrogeologi

c.badan-badan air

d.TPA sampah yang sudah ada

e.Pembagian zona-zona

                    zona 1 = zona tidak layak

Page 28: TPA TANGERANG.doc

28

                    zona 2 = zona layak untuk TPA sampah kota

2)Tahap penyisih yaitu rekomendasi lokasi TPA sampah kota dilengkapi :

           a.peta posisi calon-calon lokasi yang potensial

           b.peta detail dengan skala 1 : 25.000 dari sedikitnya 2 lokasi yang terbaik

           

 3)Tahap penetapan yaitu keputusan penetapan lokasi TPA sampah kota

               Pemilihan lokasi perlu mempertimbangkan aspek-aspek penataan ruang sebagai

berikut :

1.Lokasi TPA sampah diharapkan berlawanan arah dengan arah perkembangan daerah

perkotaan (Urbanized Area).

2. Lokasi TPA sampah harus berada di luar dari daerah perkotaan yang didorong

pengembangannya (Urban Promotion Area)

3. Diupayakan transportasi menuju TPA sampah tidak melalui jalan utama menuju

perkotaan/daerah padat.

4. Selain hal-hal tersebut di atas, perencanaan TPA sampah perkotaan perlu

memperhatikan halhal sebagai berikut :

1.Rencana pengembangan kota dan daerah, tata guna lahan serta  rencana pemanfaatan

lahan bekas TPA.

2.Kemampuan ekonomi pemerintah daerah setempat dan masyarakat, untuk menentukan

teknologi sarana dan prasarana TPA yang layak secara ekonomis, teknis dan lingkungan.

3.Kondisi fisik dan geologi seperti topografi, jenis tanah, kondisi badan air sekitarnya,

pengaruh pasang surut, angin iklim, curah hujan, untuk menentukan metode pembuangan

akhir sampah.

4.Rencana pengembangan jaringan jalan yang ada, untuk menentukan rencana jalan

masuk TPA.

5.Rencana TPA di daerah lereng agar memperhitungkan masalah kemungkinan terjadinya

longsor.

6.Tersedianya biaya operasi dan pemeliharaan TPA.

7.Sampah yang dibuang ke TPA harus telah melalui pengurangan volume sampah sedekat

mungkin dengan sumbernya.

8.Sampah yang dibuang di lokasi TPA adalah hanya sampah perkotaan yang bukan

berasal dari industri, rumah sakit yang mengandung B3.

Page 29: TPA TANGERANG.doc

29

9.Kota-kota yang sulit mendapatkan lahan TPA di wilayahnya, perlu melaksanakan model

TPA regional serta perlu adanya institusi pengelola kebersihan yang bertanggungjawab

dalam pengelolaan TPA tersebut secara memadai.

10.Aksesibilitas jalan menuju TPA sampah harus tersedia guna memudahkan kendaraan

pengangkut membuang limbah/sampah sampai ditempatnya, kebutuhan lahan yang

relatifcukup luas disesuaikan dengan konsep pengelolaan TPA sampah misalnya Buffer

zone untuk menghindari dampak dari bau, kebisingan, lalat dan vektor penyakit dengan

ditanami pohon pelindung dengan ketebalan berkisar antara 20m sampai dengan 50m dari

batas luar daerah operasional TPA yang didukung dengan penanaman jenis pohon yang

cepat tumbuh dalam waktu 1 tahun mencapai 4m, dan tidak mudah patah akibat pengaruh

angin misalnya sengon, mahoni, tanjung dan lain-lain dengan kerapatan/jarak antar pohon

2m. Selain itu ditetapkan pula Free Zone yang merupakan zona bebas dimana

kemungkinan masih dipengaruhi leachate, sehingga harus merupakan Ruang Terbuka

Hijau dan apabila dimanfaatkan disarankan bukan merupakan tanaman pangan, dengan

ketebalan 50 sampai dengan 80m dari batas luar buffer zone, sehinggaTPA sampah dapat

difungsikan secara terpadu dengan pengelolaannya, sistem pengolahan limbah organik

dan non organik dilakukan secara terpisah agar setiap dampak/implikasi limbah dapat

disortir sesuai dengan sifat dan jenisnya sehingga dapat diketahui limbah yang

mengandung B3 (Bahan Beracun dan Berbahaya) disertai penanganannya, pengolahan

limbah juga harus memperhatikan dampak terhadap lingkungan seperti air buangan dari

limbah organik, materi limbah padat yang tidak dapat diolah atau didaur ulang sehingga

perlu penanganan pemusnahan, pemisahan limbah padatpun harus sesuai dengan sifat dan

jenis limbah tersebut. Pendekatan pengelolaan sampah yang berasal dari limbah organik

dengan cara diproses menjadi pupuk atau kompos, merupakan pendekatan yang perlu pula

menjadi alternatif pilihan pengelolaan limbah, karena dapat memberikan nilai tambah

baik secara ekologis, psikologis dan ekonomis.

Page 30: TPA TANGERANG.doc

30

PEMROSESAN AKHIR SAMPAH

1.Pemrosesan Akhir Sampah

Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap

terakhir dalam pengelolaannya sejak mulai timbul di sumber,pengumpulan,

pemindahan/ pengangkutan, pengolahan dan pembuangan. TPA merupakan tempat

dimana sampah diisolasi secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap

lingkungan sekitarnya. Karenanya diperlukan penyediaan fasilitas dan perlakuan yang

benar agar keamanan tersebut dapat dicapai dengan baik.

Berdasarkan data SLHI tahun 2007 tentang kondisi TPA di Indonesia, sebagian besar

merupakan tempat penimbunan sampah terbuka (open dumping) sehingga

menimbulkan masalah pencemaran pada lingkungan. Data menyatakan bahwa 90%

TPA dioperasikan dengan open dumping dan hanya 9% yang dioperasikan dengan

controlled landfill dan sanitary landfill. Perbaikan kondisi TPA sangat diperlukan

dalam pengelolaan sampah pada skala kota. Beberapa permasalahan yang sudah

timbul terkait dengan operasional TPA yaitu (Damanhuri, 1995):

1. Pertumbuhan vektor penyakit

Sampah merupakan sarang yang sesuai bagi berbagai vektor

penyakit. Berbagai jenis rodentisida dan insektisida seperti, tikus, lalat,

kecoa, nyamuk, sering dijumpai di lokasi ini.

2. Pencemaran udara

Gas metana (CH4) yang dihasilkan dari tumpukan sampah ini,jika

konsentrasinya mencapai 5 – 15 % di udara, maka metana dapat

mengakibatkan ledakan

3. Pandangan tak sedap dan bau tak sedap

Meningkatnya jumlah timbulan sampah, selain sangat mengganggu estetika,

tumpukan sampah ini menimbulkan bau tak sedap

4. Asap pembakaran

Apabila dilakukan pembakaran, akan sangat mengganggu terutama dalam

transportasi dan gangguan kesehatan

5. Pencemaran leachate

Page 31: TPA TANGERANG.doc

31

Leachate merupakan air hasil dekomposisi sampah, yang dapat meresap dan

mencemari air tanah.

6. Kebisingan

Gangguan kebisingan ini lebih disebabkan karena adanya kegiatan

operasi kendaraan berat dalam TPA (baik angkutan pengangkut sampah

maupun kendaraan yang digunakan meratakan dan atau memadatkan

sampah).

7. Dampak sosial

Keresahan warga setempat akibat gangguan-gangguan yang disebutkan

di atas.

Terkait dengan permasalahan diatas PP no 16/2005 tentang

Pengembangan Penyediaan Air Minum mensyaratkan bahwa penanganan

sampah yang memadai perlu dilakukan untuk perlindungan air baku air minum.

TPA wajib dilengkapi dengan zona penyangga dan metode pembuangan akhirnya

dilakukan secara sanitary landfill (kota besar/metropolitan) dan controlled landfill

(kota sedang/kecil). Perlu dilakukan pemantauan kualitas hasil pengolahan

leachate (efluen) secara berkala. Regulasi berdasarkan UU No. 18 / 2008

mengisyaratkan ketentuan penutupan TPA open dumping menjadi sanitary

landfill dalam waktu 5 (lima) tahun, sehingga diperlukan berbagai upaya untuk

melakukan revitalisasi TPA.

TPA yang dulu merupakan tempat pembuangan akhir, berdasarkan UU no 18

Tahun 2008 menjadi tempat pemrosesan akhir didefinisikan sebagai

pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu

hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan secara aman. Selain itu di

lokasi pemrosesan akhir tidak hanya ada proses penimbunan sampah tetapi juga

wajib terdapat 4 (empat) aktivitas utama penanganan sampah di lokasi TPA, yaitu

(Litbang PU, 2009):

• Pemilahan sampah

• Daur-ulang sampah non-hayati (an-organik)

• Pengomposan sampah hayati (organik)

Page 32: TPA TANGERANG.doc

32

• Pengurugan/penimbunan sampah residu dari proses di atas di

lokasi pengurugan atau penimbunan (landfill)

Pada unit materi ini akan lebih banyak dijelaskan mengenai landfill berserta inovasi proses dan perancangan landfill. Landfill merupakan suatu kegiatan penimbunan sampah padat pada tanah. Jika tanah memiliki muka air yang cukup dalam, tanah bisa digali, dan sampah bisa ditimbun didalamnya. Metode ini kemudian dikembangkan menjadi sanitary landfill yaitu penimbunan sampah dengan cara yang sehat dan tidak mencemari lingkungan. Sanitary landfill didefinisikan sebagai sistem penimbunan sampah secara sehat dimana sampah dibuang di tempat yang rendah atau parit yang digali untuk menampung sampah, lalu sampah ditimbun dengan tanah yang dilakukan lapis demi lapis sedemikian rupa sehingga sampah tidak berada di alam terbuka (Tchobanoglous, et al., 1993). Pada prinsipnya landfill dibutuhkan karena:

Pengurangan limbah di sumber, daur ulang atau minimasi limbah tidak dapat menyingkirkan seluruh limbahPengolahan limbah biasanya menghasilkan residu yang harus ditanganilebih lanjutKadangkala limbah sulit diuraikan secara biologis, sulit diolah secara kimia, atau sulit untuk dibakar

Beberapa hal yang sangat diperhatikan dalam operasional sanitary landfill adalah adanya pengendalian pencemaran yang mungkin timbul selama operasional dari landfill seperti adanya pengendalian gas, pengolahan leachate dan tanah penutup yang berfungsi mencegah hidupnya vector penyakit.

Berdasarkan peletakkan sampah di dalam sanitary landfill, maka klasifikasi dari landfill dapat dibedakan menjadi (Gambar1) :

a. Mengisi Lembah atau cekungan.Metode ini biasa digunakan untuk penimbunan sampah yang dilakukan pada daerah lembah, seperti tebing, jurang, cekungan kering, dan bekas galian. Metode ini dikenal dengan depression method. Teknik peletakan dan pemadatan sampah tergantung pada jenis material penutup yang tersedia, kondisi geologi dan hidrologi lokasi, tipe fasilitas pengontrolan leachate dan gas yang digunakan, dan sarana menuju lokasi.

b. Mengupas Lahan secara bertahapPengupasan membentuk parit-parit tempat penimbunan sampah dikenal sebagai metode trench. Metode ini digunakan pada area yang memiliki muka air tanah yang dalam. Area yang digunakan digali dan dilapisi dengan bahan yang biasanya terbuat dari membran sintetis, tanah

Page 33: TPA TANGERANG.doc

33

liat dengan permeabilitas yang rendah (low-permeability clay), atau kombinasi keduanya, untuk membatasi pergerakan leachate dan gasnya.

c. Menimbun Sampah di atas lahan.

Untuk daerah yang datar, dengan muka air tanah tinggi, dilakukan dengan

cara menimbun sampah di atas lahan. Cara ini dikenal sebagai metode

area. Sampah dibuang menyebar memanjang pada permukaan tanah, dan tiap

lapis dalam proses pengisian (biasanya per 1 hari), lapisan dipadatkan, dan

ditutup dengan material penutup setebal 15-30 cm. Luas area penyebaran

bervariasi tergantung pada volume timbulan sampah dan luas lahan yang

tersedia

Klasifikasi Landfill Berdasarkan Metode Peletakkan Sampah

Beberapa penelitian dan perencanaan sanitary landfill melakukan berbagai

upaya inovasi untuk memperbaiki proses degradasi sampah di dalam landfill,

antara lain (Gambar 2):

Page 34: TPA TANGERANG.doc

34

a. Landfill semi anaerobic, yang berfungsi untuk mempercepat proses degradasi

sampah dan mengurangi dampak negatif dari leachate dengan melakukan proses

resirkulasi leachate ke dalam tumpukan sampah. Leachate dianggap sebagai nutrisi

sebagai sumber makanan bagi mikoorganisme di dalam sampah.

b. Landfill aerobic, dengan menambahkan oksigen ke dalam tumpukan sampah

di sanitary landfill yang berfungsi mempercepat proses degradasi sampah sehingga

mendapatkan material stabil seperti kompos.

c.Reusable landfill atau landfill mining and reclamation. Definisi dari proses ini

adalah sebuah sistem pengolahan sampah yang berkesinambungan dengan

menggunakan metode Supply Ruang Penampungan Sampah. Proses ini sering

digunakan dalam revitalisasi TPA, dimana material yang dapat digali dari TPA

yang lama akan dimanfaatkan. Bekas galian TPA akan dirancang untuk menerima

sampah kembali

dengan konsep sanitary landfill.

Aerobic landfill

Landfill mining

Page 35: TPA TANGERANG.doc

35

Berbagai Inovasi Proses di dalam Landfill

Metode Pengurugan

Metode pengurugan sampah berdasarkan kondisi topografi, sumber materi

penutup dan kedalaman air tanah dibedakan metode trench dan area.

1. Metode Trench atau

ditch

Metode ini diterapkan ditanah yang datar. Dilakukan penggalian tanah secara

berkala untuk membuat parit sedalam dua sampai 3 meter. Tanah disimpan

untuk dipakai sabagai bahan penutup. Sampah diletakan di di dalam parit,

disebarkan, dipadatkan dan ditutup dengan tanah.

2. Metode Area

Untuk area yang datar dimana parit tidak bisa dibuat, sampah disimpan

langsung diatas tanah asli smapai ketinggian beberapa meter. Tanah penutup bisa

diambil dari luar TPA atau diambil dari bagian atas tanah.

Page 36: TPA TANGERANG.doc

36

Pengurugan Metode Area

3. Kombinasi Kedua Metode

Karena kedua cara ini sama dalam pengurugannya, maka keduanya

dapat dikombinasikan agar pemanfaatan tanah dan bahan penutup

yang baik serta meningkatkan kinerja operasi.

Pembentukan Gas di dalam Landfill

Landfill gas dihasilkan dari proses dekomposisi sampah yang tertimbun di dalam

landfill oleh aktivitas mikroorganisme. Proses dekomposisi berlangsung secara

anaerobik dengan melalui beberapa tahapan yaitu :

a. Hydrolisis yaitu pemecahan rantai karbon panjang menjadi rantai karbon yang

lebih sederhana pada proses degradasi sampah oleh mikroorganisme.

b. Acidogenesis, dari senyawa dengan rantai karbon yang lebih pendek

dirubah menjadi asam asam organik akibat adanya aktivitas dari

mikroorgansime acidogen.

c. Methanogenesis, adalah tahap degradasi yang menghasilkan gas methan dan gas

Page 37: TPA TANGERANG.doc

37

lain akibat aktivitas mikrooganisme pembentuk methan.

Secara umum dekomposisi sampah di dalam landfill berlangsung secara anaerobik

dan tahapan proses tersebut dapat dilihat pada gambar :

Proses dekomposisi sampah secara anerobik seperti yang disebutkan diatas

akan membentuk gas. Komposisi gas yang dihasilkan

sangatdipengaruhioleh mikroorganisme yang mendekomposisi sampah

dan secara umum gas yang dihasilkan sangat tekait dengan fase-fase penguraian

sampah secara anerobik (Gambar 7).

Pada tahap awal disebut dengan fase aerobik, dimana terjadi saat awal penimbunan

sampah di TPA dan oksigen masih ada di dalam tumpukan sampah. Fase kedua

dan ketiga disebut dengan fase transisi asam yang terkait erat dengan proses

Page 38: TPA TANGERANG.doc

38

acidogenesis dan mulai terbentuk gas CO2. Gas mulai terbentuk pada tahap

metagonesis yaitu fase ke-4 yang menghasilkan CH 4 dan CO2. Fase ke-5 adalah

fase pematangan dimana sampah sudah menjadi produk yang lebih stabil.

Tahap Pembentukan Gas

Karakteristik gas yang dihasilkan dari proses dekomposisi sampah ditentukan oleh karakteristik sampah yang ditimbun. Unsur-unsur pokok gas yang timbul dari hasil dekomposisi sampah dapat dilihat pada Tabel 1.

Komposisi terbesar dari gas yang dihasilkan adalah gas methan (CH4) dan

karbon diokasida (CO2). Gas-gas ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi

yang sangat potensial dan jika tidak dikelola dengan baik juga akan menimbulkan pencemaran. Gas methan dan CO2 merupakan salah satu gas yang mempunyai

kontribusi terhadap Gas Rumah Kaca (GRK). Berdasarkan data penelitian yang telah banyak dilakukan gas methan mempunyai kekuatan 21 kali lebih kuat dalam menyimpan panas dibandingkan dengan gas CO2.

Page 39: TPA TANGERANG.doc

39

Tabel 1. Unsur-unsur pokok yang timbul pada sampah landfill

Komponen Persen (volume kering)MethanKarbon dioksida

Nitrogen OksigenSulfida, disulfida, merchaptan,dll.

Ammonia

HidrogenKarbon monoksidaUnsur-unsur lain

45 – 6040 – 602 – 50.1 – 1.00 – 1.00.1 – 1.00 – 0.20 – 0.20.01 – 0.6

Karakteristik NilaiTemperatur, F Specific gravitasi KelembabanAngka pembakaran, Btu / sft3

100 – 1201.02 – 1.06 saturated400 – 550

Sumber : Tchobanoglous et al., 1993

Kondisi ini yang menyebabkan pengelolaan sampah di landfill merupakan salah satu kontributor dalam penyebab pemanasan global. Berdasarkan data SLHI tahun 2007, diketahui bahwa pengelolaan sampah di landfill yang tidak mengelola gas dengan baik menyumbang 3% efek pemasan global di Indonesia. Gambar 8 menunjukkan data gas methan yang dihasilkan dari lokasi landfill di berbagai kota (khususnya Tangerang) di Indonesia.

Page 40: TPA TANGERANG.doc

40

Perbandingan Potensi gas methan dari landfill di beberapa kota (termasuk Tangerang).

Terkait dengan hal ini Rencana Aksi Nasional (RAN) Perubahan Iklim

dalam skala nasional memasukkan upaya pengelolaan gas di landfill sebagai salah

satu upaya mitigasi untuk mengurangi pemanasan global. Gas methan yang

dihasilkan harus dikelola dengan baik dan bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi.

Secara teoritis berdasarkan reaksi kimia ini maka gas CH4 dan CO2 merupakan

gas yang paling dominan dihasilkan dari proses degradasi sampah secara

anerobik ini. Jumlah atau produksi gas yang dihasilkan sangat tergantung dari

beberapa faktor yaitu:

a. Unsur-unsur pembentukan sampah seperti karbon, hidrogen dan nitrogen

serta oksigen yang diperoleh dari analysis karakteristik sampah yaitu ultimate

analysis.

b. Tergantung dari kecepatan degradasi sampah yang dibedakan atas sampah yang

cepat terurai dan lambat terurai. Waktu untuk penguraian bahan organik yg

mudah terurai adalah 5 tahun, sedangkan waktu penguraian bahan organik yang

lambat terurai adalah 15 tahun.

Ketika gas mulai dihasilkan maka tekanan di dalam landfill akan meningkat sehingga

memungkinkan adanya pergerakan gas di dalam landfill. Pergerakan gas bisa

terjadi secara vertikal dan horisontal, jika tekanan diluar (barometrik) lebih kecil

dibandingkan tekanan di dalam maka gas akan cenderung bergerak ke arah

vertikal dan keluar, sedangkan jika tekanan diluar lebih besar maka gas

cenderung bertahan di dalam landfill, sampai mencapai keseimbangan tekanan.

Pergerakan gas sangat sulit untuk diprediksikan dari beberapa penelitian diketahui

Page 41: TPA TANGERANG.doc

41

pergerakan gas methan ke arah horisontal dapat mencapai jarak lebih dari 1500

feet.

Gas yang dihasilkan selama proses dekomposisi tidak boleh lepas begitu saja ke

udara karena gas methan yang dihasilkan jika kontak dengan udara > 5% akan

menimbulkan ledakan, sehingga diperlukan kontol dan monitoring terhadap Landfill

gas. Kontrol gas secara umum dapat dilakukan dengan pembakaran gas atau

memanfaatkan sebagai sumber energi. Terutama untuk gas methan bisa

dimanfaatkan sumber energi yang sangat potensial.

Pembentukan Leachate

Sampah yang dibuang ke landfill mengalami beberapa perubahan fisik, kimia

dan biologis secara simultan yang diantaranya menghasilkan cairan yang disebut

leachate. Leachate bisa didefinisikan sebagai cairan yang telah melewati sampah

yang telah mengekstrasi material terlarut/tersuspensi dari sampah tersebut

(Tchobanoglous,1993). Leachate diproduksi ketika cairan melakukan kontak

dengan sampah yang terutama berasal dari buangan domestik, dimana hal

tersebut tidak dapat dihindari pada lahan pembuangan akhir. Leachate dihasilkan

dari infiltrasi air hujan ke dalam tumpukan sampah di TPA dan dari cairan yang

terdapat di dalam sampah itu sendiri. Apabila tidak terkontrol, landfill yang dipenuhi

air leachate dapat mencemari air bawah tanah dan air permukaan

Pada umumnya leachate terdiri dari cairan yang merupakan hasil dekomposisi

buangan dan cairan yang masuk ke landfill dari luar, misalnya air permukaan, air

tanah, air hujan, dll. Masuknya cairan tersebut dapat menambah volume leachate

yang kemudian disimpan dalam rongga antar komponen sampah dan akan

mengalir jika memungkinkan. Sehingga berdasarkan material balance dari leachate,

sumber utama leachate berasal sumber eksternal, seperti permukaan drainase, air

hujan, air tanah, dan air dari bawah tanah, sedangkan sumber internal adalah cairan

yang diproduksi dari dekomposisi sampah.

Pada umumnya karakteristik leachate adalah : cairan berwarna coklat,

mempunyai kandungan organik (BOD,COD) tinggi, kandungan logam berat

Page 42: TPA TANGERANG.doc

42

biasanya juga tinggi dan berbau septik. Komposisi zat kimia dari leachate berubah-

ubah tergantung pada beberapa hal antara lain :

Karakteristik dan Komposisi sampah

Secara alami, fraksi organik sampah dipengaruhi oleh degradasi sampah

dalam landfill dan juga kualitas leachate yang diproduksi. Hadirnya zat-zat

beracun bagi bakteri akan memperlambat proses degradasi.

Jenis tanah penutup landfill

Porositas tanah penutup landfill akan mempengaruhi banyak tidaknya air

hujan yang masuk ke dalamnya yang nantinya juga akan mempengaruhi jumlah

leachate yang dihasilkan. Untuk itu diperlukan persyaratan khusus bagi

tanah penutup harian maupun tanah penutup akhir.

Musim

Pergantian musim akan memberikan dampak yang berbeda pada jumlah

produksi leachate dan juga konsentrasinya. Pada musim penghujan jumlah

leachate yang dihasilkan umumnya akan lebih besar namun memiliki

konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan pada saat musim kemarau karena

air hujan yang masuk ke dalam landfill akan berperan sebagai pengencer.

pH dan kelembaban

Nilai pH akan mempengaruhi proses kimia yang merupakan basis dari

transfer massa dalam sistem leachate sampah.

Umur Timbunan (Usia landfill)

Usia landfill dapat tercermin dari variasi komposisi leachate dan jumlah

polutan yang terkandung. Umur landfill berpengaruh penentuan karakteristik

leachate yang akan diatur oleh tipe proses stabilisasi.

Tipikal komposisi leachate dapat dilihat pada Tabel.

Dengan kandungan bahan organik dan bahan kimia yang tinggi pada leachate, jika

tidak dilakukan pengolahan dengan baik akan menjadi sumber pencemar bagi

badan air penerima, air tanah maupun topsoil tanah sebagai tempat tumbuhan

mendapatkan nutrisi (Pfeffer, 1992). Keberadaan leachate tanpa pengolahan

yang baik pada akhirnya akan menjadi sumber penyakit bagi penduduk sekitarnya.

Kandungan logam berat yang tinggi juga akan sangat berbahaya, yang bisa

menyebabkan cacat bahkan kematian. Seperti contoh, selain mencemari air tanah,

Page 43: TPA TANGERANG.doc

43

sumur penduduk, juga bisa mencemari tambak, dimana leachate tersebut bersifat

toksik terhadap ikan yang dibudidayakannya. Sehingga perlu dilakukan

pengelolaan leachate. Gambar Sistem penyaluran leachate. Pada gambar di bawah

lapisan dasar landfill dibagi atas beberapa seri yang berbentuk rectangular yang

dipisahkan oleh lapisan tanah liat. Pipa penyaluran leachate ditempatkan diatas lapisan

geomembran.

Tabel Tipikal Komposisi Leachete Dari Landfill Baru Dan Landfill Lama

UnsurAngka satuan dalam (mg/L)

Landfill baru

(kurang dari 2

Landfill

lama( 10 th)

Range Tipikal

Page 44: TPA TANGERANG.doc

44

BOD5 (Biochemical Oxygen Demand setelah 5 hari)TOC (Total Organic Carbon)COD (Chemical Oxygen Demand) Total suspended solidNitrogen organik Nitrogen ammonia NitratTotal phosphorus Ortho phosphorus Alkalinity (dalam CaCO3) pHKesadahan total (dalam CaCO3) KalsiumMagnesium Potassium Sodium Clorida

2000 – 300001500 – 200003000 – 60000200 – 2000

10 – 80010 – 800

5 – 405 – 1004 – 801000 – 10000

4.5 – 7.5300 – 10000200 - 300050 –

100060001800

0500200200253020

30006

3500100025030050050030060

100 – 200

80 – 160100 – 500

100 – 400

80 – 12020 – 405 – 105 – 104 – 8200 – 1000

6.6 – 7.5200 – 500

100 – 400

50 – 20050 - Sumber : Tchobanoglous et al., (1993)

Berdasarkan karakteristik dari leachate, pengolahan sangat diperlukan

sebelum leachate dibuang ke badan air. Pengolahan terutama bertujuan untuk

mengurangi kandungan bahan organik di dalam leachate, mengurangi kandungan

nutrient seperti NH4 dan kandungan logam berat yang diperkirakan ikut larut

didalam leachate. Pengolahan leachate bisanya merupakan kombinasi baik

pengolahan fisik, kimia dan biologis. Pengolahan leachate merupakan salah satu

dari penanganan effluen leachate yang dapat dilakukan. Alternatif lainnya yang dapat

dilakukan antara lain:

Memanfaatkan sifat-sifat hidrolis dengan pengaturan air tanah sehingga aliran

leachate tidak menuju air tanah.

Mengisolasi lahan urug landfill sehingga air eksternal tidak masuk dan

leachatenya tidak keluar.

Mencari lahan yang mempunyai tanah dasar dengan kemampuan yang baik

untuk menetralisir cemaran

Mengembalikan (resirkulasi) leachate ke arah timbunan sampah

Mengalirkan leachate menuju pengolahan air buangan domestik

Mengolah leachate dengan unit pengolahan sendiri.

Page 45: TPA TANGERANG.doc

45

Sistem Penyaluran Leachate dengan Pipa (Atas) dan Gambar Detail Pipa (Bawah)

Pemilihan proses pengolahan leachate sangat ditentukan oleh berbagai faktor, yang

terpenting adalah; baku mutu (standar) efluent leachate, ketersediaan lahan,

kemampuan sumberdaya manusia dan kemampuan ekonomi.

Pengolahan leachate merupakan pengolahan kombinasi antara fisik-kimia dan

biologi. Pengolahan fisik bertujuan mengurangi zat padat baik tersuspensi maupun

terlarut di dalam leachate. Pengolahan ini biasanya digabungkan dengan pengolahan

kimia dan biologis. Pengolahan secara kimiawi bertujuan mengurangi kandungan ion-

ion di dalam leachate dan proses koagulasi dan flokulasi untuk mengurangi

kandungan zat padat tersuspensi di dalam leachate. Proses pengolahan biologis

tertutama gabungan dari pengolahan anerobik dan aerobik bertujuan mengurangi

kandungan bahan organic di dalam leachate. Alternatif sistem pengolahan yang

dapat digunakan untuk mengolah leachate adalah sebagai berikut (Hermana, 2007):

Page 46: TPA TANGERANG.doc

46

1. Pengolahan dengan Proses Biologis

a. Kombinasi Kolam Stabilisasi, untuk lokasi dengan ketersediaan lahan

yang memadai, dengan alternatif kombinasi sebagai berikut:

Kolam Anaerobik, Fakultatif, Maturasi dan Biofilter (alternatif 1)

Kolam Anaerobik, Fakultatif, Maturasi dan land treatment / Wetland

(alternatif 2)

b. Kombinasi Proses Pengolahan Anaerobik – Aerobik, untuk lokasi

dengan ketersediaan lahan yang lebih terbatas, yaitu kombinasi antara

Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dengan Aerated Lagoon (alternatif 3)

2. Pengolahan dengan Proses Fisika-Kimia

Pengolahan ini tepat digunakan apabila dikehendaki kualitas efluen leachate

yang lebih baik sehingga dapat digunakan untuk proses penyiraman atau

pembersihan peralatan dalam lokasi TPA atau dibuang ke badan air Kelas II (PP

No. 82 Tahun 2001). Kombinasi sistem pengolahan yang digunakan adalah sebagai

berikut:

Proses Koagulasi - Flokulasi, Sedimentasi, Kolam Anaerobik atau ABR

(alternatif 4)

Proses Koagulasi - Flokulasi, Sedimentasi I, Aerated Lagoon, Sedimentasi

II (alternatif 5)

Dalam area TPA harus direncanakan sistem drainase yang memadai. Sistem

drainase ini mencegah air hujan yang jatuh di atas daerah TPA non-landfill masuk

ke dalam lanfill. Hal ini penting dilakukan karena air hujan yang mengalir sebagai

air pemukaan, jika mengalir ke daerah landfill akan menambah volume leachate

yag dihasilkan di landfill tersebut. Daerah yang harus dilayani oleh sistem drainase

meliputi jalan fasilitas TPA, kantor, halaman, taman, dan daerah fasilitas penunjang

lainnya.

Luas daerah pelayanan tiap saluran merupakan daerah dimana semua air hujan

di daerah tersebut mengalir masuk ke dalam saluran tertentu/ yang diinginkan.

Untuk menentukan daerah ini serta arah aliran setiap saluran, mulai dari saluran

Page 47: TPA TANGERANG.doc

47

terkecil sampai saluran terbesar, diperlukan data topografi dengan skala minimal 1 :

20.000. Peta topografi dengan skala 1 : 5.000 lebih diinginkan.

Koefisien pengaliran C ditentukan berdasarkan penutupan lahan di daerah

perencanaan. Pedoman penentuan nilai C disajikan pada tabel

Tabel Nilai Koefisien Limpasan, C pada lokasi TPA

Penututupan Lahan CLahan terbuka:

Tanah berpasir, lahan datar, 2% 0,05 – 0,10Tanah berpasir, lahan landai, 2% - 7% 0,10 – 0,15Tanah berpasir, lahan miring, > 7% 0,15 – 0,20Tanah berat, lahan datar, 2% 0,13 – 0,17Tanah berat, lahan landai, 2% - 7% 0,18 – 0,22Tanah berat, lahan miring, > 7% 0,25 – 0,35

Taman 0,10 – 0,40Kantor, rumah jaga, bengkel, gudang, garasi, bangunantertutup lainnya

0,6 – 0,75

Jalan lingkungan, lahan parkir:Aspal 0,70 – 0,95Beton 0,80 – 0,95Batu bata/paving stone 0,6 – 0,85

Sumber: Asdak, 2004, dimodifikasi

Perencanaan Pengelolaan TPA Dalam Perspektif Penataan Ruang

Perkembangan suatu kawasan diera globalisasi ini semakin pesat baik dari

segiekonomi, politik, sosial dan budaya bahkan dalam hal pertahanan keaman.

Perkembangan-perkembangan ini menyisakan berbagai permasalahan. Sampah sebagai

salah satu dampak dari perkembangan era globalisasi menyisakan berbagai macam

persoalan dalam hal pengelolaanya. TPA sbagaii jalan utama penyelesaian dan pusat

pengolahan sampah harus dibuat seefisien mungkindengan memperhatikan tiga aspek

penting yaitu TPA sampah tidak boleh berlokasi di danau, sungai dan laut. Disusun

berdasarkan tiga tahapan yaitu tahap regional, merupakan tahapan untuk menghasilkan

peta yang berisi daerah atau tempat dalam wilayah tersebut yang terbagi menjadi

Page 48: TPA TANGERANG.doc

48

beberapa zona kelayakan; kedua, tahap penyisih yang merupakan tahapan untuk

menghasilkan satu atau dua lokasi terbaik diantara beberapa lokasi yang dipilih dari

zona-zona kelayakan pada tahap regional; ketiga tahap penetapan yang merupakan

tahap penentuan lokasi terpilih olehInstansi yang berwenang. Dalam hal suatu wilayah

belum bisa memenuhi tahap regional, pemilihan lokasi TPA Sampah ditentukan

berdasarkan skema pemilihan lokasi TPA sampah ini dengan criteria pemilihan lokasi

TPA sampah dibagi menjadi tiga bagian. Disamping itu penempatan dan pembuatan

TPA juga harus memperhatikan aspek demografi penduduk sekitar, dan ekologi

lingkungan yang ada di sekitarnya, sehingga berbagai dampak dapat dikurangi.

Dengan keterbatasan lahan dan tingkat timbulan sampah yang semakin

meningkat, pada saat ini perencanaan pengelolaan sampah di TPA masih

berbasis perencanaan wilayah secara struktural, dimana sampah yang

diperbolehkan untuk ditimbun di TPA Kota Tangerang hanya sampah yang berasal

dari Kota Tangerang dan diangkut oleh armada truk sampah Dinas Kebersihan dan

Pertamanan Kota Tangerang, sesuai dengan Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2009.

Walaupun demikian, berdasarkan hasil Master Plan Persampahan Kota

Tangerang tahun 2012 - 2031 didapatkan bahwa kondisi pengelolaan sampah saat

ini, dengan tingkat pertumbuhan penduduk serta kegiatan multisektor di Kota

Tangerang sebagai penyangga Ibu Kota, menghadapi tantangan yang cukup berat

dalam teknis operasional pengelolaan persampahan Kota Tangerang yaitu

mempertahankan masa layan TPA Rawa Kucing hingga 20 tahun mendatang

(2033). Hal tersebut menuntut upaya yang sangat besar dan kuat dalam menekan

jumlah sampah yang ditimbun di TPA.

Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Sistem Pengelolaan

Persampahan (KSNP-SPP) disajikan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum

No.21/PRT/M/2006 merupakan salah satu acuan bagi penyusunan Master Plan

Pengelolaan Sampah suatu kota. Kebijakan dan Strategi Nasional

Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan dirumuskan sebagai berikut:

Kebijakan (1) : Pengurangan sampah semaksimal mungkin dimulai dari

sumbernya

Kebijakan (2) : Peningkatan peran aktif masyarakat dan dunia usaha/swasta

sebagai mitra pengelolaan

Kebijakan (3) : Peningkatan cakupan pelayanan dan kualitas sistem pengelolaan

Page 49: TPA TANGERANG.doc

49

KSNP-SPP menyampaikan bahwa

:

Sasaran pembangunan bidang persampahan juga mengakomodir sasaran

Millennium Development Goals tahun 2015 untuk menyediakan akses

pelayanan persampahan kepada masyarakat mampu melayani masyarakat

dengan kapasitas

80 % untuk wilayah perkotaan.

Pencapaian pengurangan kuantitas sampah sebesar 20 %.

Tercapainya peningkatan kualitas pengelolaan TPA menjadi Sanitary

Landfill untuk kotametropolitan dan kota Besar, serta Controlled Landfill

untuk kota

Sedang dan kota Kecil; serta tidak dioperasikannya TPA secara Open Dumping.

Tercapainya peningkatan kinerja institusi pengelola persampahan yang mantap

dan berkembangnya pola kerjasama regional.

Berdasarkan KSNP-SPP tersebut di atas, isu perencanaan pengelolaan sampah

di TPA sudah harus mulai beralih ke dalam perencanaan wilayah berbasis fungsional.

Hal ini dipengaruhi oleh semakin terbatasnya ketersediaan lahan untuk lokasi

TPA di masing-masing Kota/ Kabupaten, sehingga perlu dilakukan studi

pengelolaan sampah TPA skala regional.

Urgensi ini dipertegas dengan terjadinya konflik sampah perkotaan yang terjadi

di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bojong, Klapanunggal, Kabupaten

Bogor (Kompas 25 November 2004). Konflik persampahan di TPST Bojong,

merupakan kasus kedua yang terjadi di lokasi pengolahan akhir sampah DKI

Jakarta. Kasus pertama terjadi di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah

Bantargebang, Kota Bekasi, 10

Desember 2001 dan awal Januari 2004 yang berdampak terhadap penutupan

TPA

Bantargebang (Komunitas Jurnalis Bekasi,

2003).

Keterbatasan lahan, pertumbuhan penduduk yang pesat, mobilitas lintas wilayah

(komuter) yang tinggi, serta tuntutan standar lingkungan yang makin ketat

membutuhkan adanya pemanfaatan teknologi untuk pengelolaan sampah yang ramah

lingkungan. Berkaitan dengan alasan tersebut, dalam Perda Kota Tangerang

Page 50: TPA TANGERANG.doc

50

No.23

Tahun 2000 tentang RTRW disebutkan bahwa lokasi TPA diusulkan untuk

dipindahkan

ke wilayah Kabupaten Tangerang, tetapi hal tersebut mendapat banyak penentangan

baik dari masyarakat sekitar TPA eksisting yang mendapat manfaat dari keberadaan

TPA saat ini dan dari masyarakat Kabupaten Tangerang yang khawatir wilayahnya

akan tercemari dengan keberadaan TPA. Penentangan tersebut terjadi karena

tidak dilibatkannya masyarakat dan para stakeholder lainnya dalam penyusunan Perda

RT RW tersebut.

Dalam hal perencanaan lokasi TPA selain pertimbangan kondisi lingkungan

juga perlu pertimbangan sosial-ekonomi masyarakat, karena tidak bisa dipungkiri

TPA juga mempunyai potensi ekonomi yang cukup menarik bagi masyarakat

sekitar. Sesuai dengan paradigma pembangunan berkelanjutan, untuk keberlanjutan

keberadaan TPA tersebut perlu dipertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan

ekonomi. Sehingga dari sisi lingkungan diharapkan keberadaaan TPA tidak akan

menimbulkan pencemaran, tanpa mengabaikan potensi ekonomi yang bisa

dimanfaatkan dari sampah, serta dapat meminimalkan potensi konflik sosial antar

masyarakat yang mendapat manfaat dengan masyarakat yang merasa tercemari oleh

keberadaan TPA.

Berkaitan dengan aspek lingkungan, saat ini di TPA Kota Tangerang sudah mulai

dikembangkan sarana penangkap gas methane dari sampah organik dan peningkatan

kualitas sistem operasional pengelolaan sampah menuju sistem sanitary landfill.

Dan pada pertengahan tahun 2012 kemarin, Departemen Pekerjaan Umum telah

melakukan studi kelayakan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF),

yaitu sistem pengolahan sampah antara sebelum dibuang ke TPA di Kota Tangerang.

Sedangkan untuk aspek sosial dan ekonomi, direncanakan mulai tahun 2013 ini

pemulung yang ada di dalam dan di luar TPA dapat ditempatkan dalam satu area

khusus untuk menampung aktivitas mereka, sehingga diharapkan potensi ekonomi

yang selama ini dimanfaatkan oleh para pemulung tidak sampai menimbulkan konflik

sosial dengan masyarakat umum di luar pemulung. Selain itu diharapkan dengan

pengembangan sarana penangkap gas methane, suatu saat gas tersebut dapat dialirkan

ke rumah-rumah penduduk sekitar TPA sebagai bahan bakar alternatif.

Sebagai salah satu upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah

Page 51: TPA TANGERANG.doc

51

untuk mengurangi sampah yang harus ditimbun di TPA, Dinas Kebersihan

dan Pertamanan Kota Tangerang mulai dari tahun 2004 telah mengikutsertakan

masyarakat untuk mengolah sampah rumah tangga mereka sendiri di lingkungan

masing-masing. Saat ini sudah mulai terbentuk kader-kader pengelola

sampah, muncul bank-bank sampah dan TPST (Tempat Pengelolaan Sampah

Terpadu) skala RW yang tersebar.

Page 52: TPA TANGERANG.doc

52

Berdasarkan skenario pengelolaan hasil kajian Masterplan Persampahan

Kota Tangerang tahun 2012, untuk mengoptimalkan kapasitas dan kemampuan

kelola TPA terhadap sampah Kota Tangerang sampai 20 tahun ke depan diperlukan

penambahan

105 TPST dan 140.896 komposter, optimalisasi kapasitas pengolahan ITF 500

ton/hari

serta penambahan lahan seluas 7

hektar.

Apabila orientasi pengelolaannya dikembangkan menjadi TPA regional

diperlukan adanya penambahan beberapa sarana ITF dan TPST yang ditempatkan di

perbatasan antara Kota Tangerang dengan wilayah-wilayah lain, dimana masing-

masing ITF tersebut diharapkan akan mampu mengolah sebagian sampah dari tiap

wilayah sebelum diarahkan ke TPA Kota Tangerang.

Keberhasilan program TPA regional tersebut membutuhkan dukungan yang

kuat dari para stakeholder baik dari Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang maupun

Kota Tangerang Selatan. Selain itu perlu penguatan kelembagaan lokal dari masing-

masing wilayah untuk mengawal pelaksanaan pengurangan sampah, sehingga

sampah yang harus ditimbun di TPA dapat diminimalkan untuk memperpanjang usia

pelayanan dari TPA tersebut. Selain itu, pengelolaan TPA berbasis wilayah

regional membutuhkan sinkronisasi RTRW dari ketiga daerah tersebut sekaligus

peningkatan peran serta masyarakat mulai dari penyusunan, pelaksanaan dan

pengawasannya, sehingga dapat mengurangi potensi konflik dan penolakan dari

masyarakat.

Dengan sinergitas program-program tersebut di atas diharapkan, keberadaan TPA

tidak lagi menjadi suatu masalah tetapi dapat menjadi suatu solusi bersama

akan permasalahan pembuangan akhir sampah.

Page 53: TPA TANGERANG.doc

53

SIMPULAN

Selama ini konsep pengelolaan TPA masih berbasis perencanaan wilayah secara

struktural karena adanya isu masalah lingkungan akibat potensi pencemaran

dari operasional TPA tersebut, sehingga setiap Kota/ Kabupaten yang sudah

mempunyai lahan TPA seringkali membatasi operasi penimbunan hanya bagi sampah

yang berasal dari Kota/ Kabupaten yang bersangkutan.

Berdasarkan Kebijakan dan Strategi Nasional untuk Pengembangan Sistem

Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP), yang disajikan dalam Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum No.21/PRT/M/2006, diamanatkan

bahwa isu perencanaan pengelolaan sampah di TPA

sudah harus mulai beralih ke dalam perencanaan wilayah berbasis fungsional yaitu

dengan mengembangkan pola kerjasama regional untuk mengatasi masalah

keterbatasan lahan.

Perlu adanya sinergitas program Pemerintah Pusat, Pemerintah Kota

dan pemberdayaan masyarakat untuk dapat mengoptimalkan kapasitas dan

kemampuan kelola TPA. Sehingga di samping upaya pengurangan sampah dari

sumber, kualitas dan kemampuan TPA harus ditingkatkan agar dapat beroperasi secara

optimal.

Page 54: TPA TANGERANG.doc

54

DAFTAR PUSTAKA

Abe, Alexander. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Pembaharuan, 2005.

Basyarat, Ade. 2006. Kajian Terhadap Penetapan Lokasi Tpa Sampah

Leuwinanggung

– Kota Depok. Tesis tidak diterbitkan. Pembangunan Wilayah Dan Kota,

Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.

Conyers, Diana. Perencanaan Sosial Di Dunia Ketiga Suatu Pengantar. Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 1994.

Cernea, Michael M. 1993. The Sociologist's Approach to Sustainable Development.

Paper Series No. 2. wORLD bANK (HAL. 7-9)

Dokumen Master Plan Persampahan Kota Tangerang Tahun 2012-2033. DKP Kota

Tangerang.Friedman, John. 1993. Empowerment: The Politics of

Alternative Development. Cambridge Mass: Balckwell Book. (Hal. 14-36).

Hickey, Sam dan Giles Mohan. 2004. Relocating Participation within a Radical

Polities of Development. Development and Change, 36(2). (Hal. 237-262).

Ife, Jim dan Frank Tesoriero. 2008. Community Development: Alternatif

Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar (Hal. 335-366).

Kompas, 25 November 2004. Konflik Sampah, Lemahnya Manajemen Persampahan.

Jakarta.

M. Barori. Perencanaan Pembangunan Dan Partisipatif Masyarakat.

h tt p: / / f r y z h o . b l o g s p o t . c o m /2012 / 04/pe r e n c a n aa n - p e m b a n g u n a n - d a n -

partisipati.html. (Diakses pada 17 Januari 2013).

Nugroho, Kus Adi. h tt p : / / k o nv e r s i . w o r dp r e ss . c o m /2010 / 04/30 / p e m b a n g u n a n -

berkelanjutan-bag-1/.21 Maret 2011. (Diakses pada 2 Februari 2013)

Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 23 tahun 2000 tentang RTRW Kota Tangerang.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.21/PRT/M/2006. 2006. Kebijakan dan

Strategi

Nasional untuk Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-

SPP). Kementerian Pekerjaan Umum. Jakarta.

Riyadi dan Deddy Supriady Bratakusumah. 2004. Perencanaan Pembangunan Daerah

Page 55: TPA TANGERANG.doc

55

Strategi Menggali Potensi dalam Mewujudkan Otonomi Dae rah. Jakarta:

Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.

Rustiadi, Ernan et.al. 2011. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Bogor: Crespent

Press dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta

Page 56: TPA TANGERANG.doc

56

Page 57: TPA TANGERANG.doc

57