25
HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 1/25 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila dibandingkan dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar sekarang menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena keyakinan para dokter dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan penambahan berat badan, overbite, tounge thrust, halitosis, mendengkur, gangguan bicara dan enuresis. Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan bermakna, namun masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan. Pengeluaran pelayanan medik untuk prosedur ini diperkirakan adalah setengah triliun dolar pertahun. Pada pertengahan abad yang lalu, mulai terdapat pergeseran dari hampir tidak adanya kriteria yang jelas untuk melakukan tonsilektomi menuju kriteria yang lebih tegas dan jelas. Selama ini telah dikembangkan berbagai studi untuk menyusun indikasi formal yang ternyata menghasilkan perseteruan berbagai pihak terkait. Dalam penyusunannya ditemukan kesulitan untuk memprediksi kemungkinan infeksi di kemudian hari sehingga dianjurkan terapi dilakukan dengan pendekatan personal dan tidak berdasarkan peraturan yang kaku. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah mengeluarkan rekomendasi resmi mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan para ahli. Saat ini, selain hasil analisa klinis, isu di bidang ekonomi mulai muncul dalam pertimbangan pemilihan suatu tindakan, karena mulai munculnya aturan yang ketat dalam pembayaran pelayanan kesehatan oleh pembayar pihak ketiga. Pembayar pihak ketiga mensyaratkan adanya indikasi yang jelas dan terdokumentasi sebelum suatu prosedur dilakukan. Selain itu, beberapa pembayar pihak ketiga juga mensyaratkan adanya second opinion. Walaupun fenomena ini tidak membatalkan operasi yang telah disepakati pasien (orangtua) dan dokter, namun ternyata dapat membantu dalam proses seleksi operasi tonsilektomi sehingga benar-benar dilakukan untuk kandidat yang tepat. Tonsilektomi telah dilakukan oleh dokter THT, dokter bedah umum, dokter umum dan dokter keluarga selama lebih dari 50 tahun terakhir. Namun, dalam 30 tahun terakhir, kebutuhan akan adanya standarisasi teknik operasi menyebabkan pergeseran pola praktek operasi tonsilektomi. Saat ini di Amerika Serikat tonsilektomi secara ekslusif dilakukan oleh dokter THT. Tingkat komplikasi, seperti perdarahan pascaoperasi berkisar antara 0,1-8,1% dari jumlah kasus. Kematian pada operasi sangat jarang. Kematian dapat terjadi akibat komplikasi bedah maupun anestesi. Tantangan terbesar selain operasinya sendiri adalah pengambilan keputusan dan teknik yang dilakukan dalam pelaksanaannya. B. Permasalahan Dalam praktek sehari-hari, terdapat beberapa masalah utama seputar tonsilektomi, yaitu penentuan indikasi tonsilektomi baik bagi anak maupun dewasa dan belum adanya koordinasi antara masing-masing cabang ilmu kedokteran spesialis dalam hal ini. Selain itu, ditinjau dari segi keamanan, hingga kini belum ada acuan mengenai teknik terpilih dalam melakukan tindakan tonsilektomi. C. Tujuan 1. Tujuan Umum Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar kebijakan penerapan teknologi tonsilektomi di Indonesia. 2. Tujuan Khusus Mengkaji dan menyeragamkan penentuan indikasi operasi tonsiloadenoidektomi berdasarkan bukti ilmu kedokteran yang mutakhir dan sahih (Evidence Based Medicine). Mensosialisasikan indikasi-indikasi tersebut kepada seluruh dokter THT di Indonesia agar dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan imbang “Manfaat dan Risiko”. Mengkaji dan menentukan standarisasi teknik operasi tonsiloadenoidektomi yang aman, efektif dan efisien, serta dapat dikerjakan di Indonesia.

Tonsilektomi Pada Anak Dan Dewasa2

Embed Size (px)

Citation preview

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 1/25

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang1

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling

sering dilakukan dalam sejarah operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi dilaporkan lebih banyak bila

dibandingkan dengan prosedur operasi manapun. Konsensus umum yang beredar sekarang

menyatakan bahwa tonsilektomi telah dilakukan

dalam jumlah yang tidak tepat (seharusnya) pada anak-anak pada tahun-tahun yang lalu. Besarnya

jumlah ini karena keyakinan para dokter dan orangtua tentang keuntungan tonsilektomi dan

bukan berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis. Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak hanya

dilakukan untuk tonsilitis berulang, namun juga

untuk berbagai kondisi yang lebih luas termasuk kesulitan makan, kegagalan penambahan berat

badan, overbite, tounge thrust, halitosis, mendengkur, gangguan bicara dan enuresis.

Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi telah mengalami penurunan bermakna, namun masih

menjadi operasi yang paling sering dilakukan. Pengeluaran pelayanan medik untuk prosedur ini

diperkirakan adalah setengah triliun dolar pertahun.

Pada pertengahan abad yang lalu, mulai

terdapat pergeseran dari hampir tidak adanya kriteria yang jelas untuk melakukan tonsilektomi

menuju kriteria yang lebih tegas dan jelas. Selama ini telah dikembangkan berbagai studi untuk

menyusun indikasi formal yang ternyata

menghasilkan perseteruan berbagai pihak terkait. Dalam penyusunannya ditemukan kesulitan untuk

memprediksi kemungkinan infeksi di kemudian hari sehingga dianjurkan terapi dilakukan dengan

pendekatan personal dan tidak berdasarkan

peraturan yang kaku. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery telah

mengeluarkan rekomendasi resmi mengenai tindakan tonsilektomi yang merupakan kesepakatan

para ahli.

Saat ini, selain hasil analisa klinis, isu di bidang

ekonomi mulai muncul dalam pertimbangan pemilihan suatu tindakan, karena mulai munculnya

aturan yang ketat dalam pembayaran pelayanan kesehatan oleh pembayar pihak ketiga. Pembayar

pihak ketiga mensyaratkan adanya indikasi yang

jelas dan terdokumentasi sebelum suatu prosedur dilakukan. Selain itu, beberapa pembayar pihak

ketiga juga mensyaratkan adanya second opinion.

Walaupun fenomena ini tidak membatalkan operasi

yang telah disepakati pasien (orangtua) dan dokter, namun ternyata dapat membantu dalam proses

seleksi operasi tonsilektomi sehingga benar-benar

dilakukan untuk kandidat yang tepat.

Tonsilektomi telah dilakukan oleh dokter THT, dokter bedah umum, dokter umum dan dokter

keluarga selama lebih dari 50 tahun terakhir.

Namun, dalam 30 tahun terakhir, kebutuhan akan adanya standarisasi teknik operasi menyebabkan

pergeseran pola praktek operasi tonsilektomi. Saat ini di Amerika Serikat tonsilektomi secara ekslusif

dilakukan oleh dokter THT.

Tingkat komplikasi, seperti perdarahan

pascaoperasi berkisar antara 0,1-8,1% dari jumlah kasus. Kematian pada operasi sangat jarang.

Kematian dapat terjadi akibat komplikasi bedah maupun anestesi. Tantangan terbesar selain

operasinya sendiri adalah pengambilan keputusan

dan teknik yang dilakukan dalam pelaksanaannya.

B. Permasalahan

Dalam praktek sehari-hari, terdapat beberapa

masalah utama seputar tonsilektomi, yaitu penentuan indikasi tonsilektomi baik bagi anak

maupun dewasa dan belum adanya koordinasi antara masing-masing cabang ilmu kedokteran

spesialis dalam hal ini. Selain itu, ditinjau dari segi keamanan, hingga kini belum ada acuan mengenai

teknik terpilih dalam melakukan tindakan

tonsilektomi.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar kebijakan penerapan teknologi tonsilektomi di Indonesia.

2. Tujuan Khusus Mengkaji dan menyeragamkan penentuan indikasi

operasi tonsiloadenoidektomi berdasarkan bukti ilmu kedokteran yang mutakhir dan sahih (Evidence Based Medicine).

Mensosialisasikan indikasi-indikasi tersebut kepada seluruh dokter THT di Indonesia agar

dapat dilaksanakan dengan tetap mempertimbangkan imbang “Manfaat dan

Risiko”.

Mengkaji dan menentukan standarisasi teknik operasi tonsiloadenoidektomi yang aman, efektif

dan efisien, serta dapat dikerjakan di Indonesia.

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 2/25

BAB II METODOLOGI PENILAIAN

A. Penelusuran Kepustakaan

Penelusuran literatur dilakukan secara manual dan melalui kepustakaan elektronik: Pubmed, Cochrane Library, New England Journal of Medicine, British Medical Journal, Laryngoscope, Archives Otolaryngology Head Neck Surgery, American Academy of Pediatrics, American Society of Anaesthesiologist, dalam 20 tahun terakhir (1984-

2004). Informasi juga didapatkan dari beberapa guidelines antara lain yang disusun oleh American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS), Evidence Based Medicine Guidelines, Scottish Intercollegiate Guidelines Network serta

hasil kajian HTA dari Catalonian Agency Health Technology Assessment Barcelona.

Kata kunci yang digunakan adalah

tonsillectomy, adenoidectomy, tonsilloadenoidectomy, tonsil, tonsillitis, technique, anesthesia.

B. Hierarchy of Evidence dan Derajat

Rekomendasi

Setiap makalah ilmiah yang didapat dinilai berdasarkan evidence based medicine, ditentukan

hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi. Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi

diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan definisi yang dinyatakan oleh US Agency for Health Care Policy and Research. Hierarchy of evidence:

Ia. Meta-analysis of randomised controlled trials. Ib. Minimal satu randomised controlled trials. IIa. Minimal penelitian non-randomised

controlled trials. IIb. Cohort dan Case control studies IIIa. Cross-sectional studies IIIb. Case series dan case report

IV. Konsensus dan pendapat ahli

Derajat rekomendasi :

A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib.

B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II b.

C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV.

C. Pengumpulan Data Lokal

Data lokal diperoleh dari jumlah operasi tonsilektomi

dan tonsiloadenoidektomi di RSUPNCM selama 5 tahun terakhir dan Rumah Sakit Fatmawati selama 3

tahun terakhir.

D. Ruang Lingkup

Kajian tonsilektomi pada anak dan dewasa ini

dibatasi pada indikasi, teknik operasi serta teknik anestesi terpilih untuk tonsilektomi.

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 3/25

BAB III TONSILEKTOMI

A. Definisi

Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.2,3

Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan limfoid di nasofaring yang

dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.4

B. Epidemiologi

Tonsilektomi merupakan prosedur operasi yang praktis dan aman, namun hal ini bukan berarti

tonsilektomi merupakan operasi minor karena tetap

memerlukan keterampilan dan ketelitian yang tinggi dari operator dalam pelaksanaannya.5 Di AS karena

kekhawatiran komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada operasi mayor.6,7 Di Indonesia, tonsilektomi

digolongkan pada operasi sedang karena durasi

operasi pendek dan teknik tidak sulit.8

Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,

adenoidektomi atau gabungan keduanya setiap

tahunnya di Amerika Serikat.9 Angka ini menunjukkan penurunan dari waktu ke waktu

dimana pada tahun 1996, diperkirakan 287.000 anak-anak di bawah 15 tahun menjalani

tonsilektomi, dengan atau tanpa adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak (86,4%) menjalani

tonsiloadenoidektomi dan 39.000 lainnya (13,6%)

menjalani tonsilektomi saja. Tren serupa juga ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada orang

dewasa berusia 16 tahun atau lebih, angka tonsilektomi meningkat dari 72 per 100.000 pada

tahun 1990 (2.919 operasi) menjadi 78 per 100.000

pada tahun 1996 (3.200 operasi).7

Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi

belum ada. Namun, data yang didapatkan dari RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003)

menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah

operasi tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan

puncak kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003 (152 kasus).10

Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati dalam

3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi

tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.11

C. Embriologi dan Anatomi Tonsil12

1. Embriologi

Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke II ke dinding faring

akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya

terbentuk fosa tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian

yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga terjadi kripta.

Kripta tumbuh pada bulan ke 3 hingga ke 6 kehidupan janin, berasal dari epitel permukaan.

Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel

tersebut dan terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid. Kapsul dan

jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim, dengan demikian

terbentuklah massa jaringan tonsil.

2. Anatomi

Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang

mengelilingi faring. Bagian terpentingnya adalah

tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral

faring dan kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding

posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.

a. Tonsil Palatina

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid

yang terletak di dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot

palatoglosus) dan pilar posterior (otot

palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai

10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris,

daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring.

Dibatasi oleh:

Lateral– m. konstriktor faring superior Anterior – m. palatoglosus

Posterior – m. palatofaringeus Superior – palatum mole

Inferior – tonsil lingual

Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3

komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel

(terdiri dari jaringan linfoid).

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 4/25

Fosa Tonsil

Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot

orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya

adalah otot konstriktor faring superior. Pilar anterior

mempunyai bentuk seperti kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi

lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba eustachius

dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada

tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak

terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah

terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring.

Kapsul Tonsil

Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat, yang disebut kapsul.

Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa

kapsul adalah jaringan ikat putih yang menutupi 4/5

bagian tonsil.

Plika Triangularis

Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub

bawah tonsil terdapat plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada

sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan tonsil

dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah

terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.

Pendarahan

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A.

karotis eksterna, yaitu 1) A. maksilaris eksterna (A.

fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan

cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A. lingualis dorsal; 4) A.

faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian

anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara

kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal

asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan

pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena

di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.

Aliran getah bening

Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju

rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.

Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar

toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan

sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.

Persarafan

Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina dan

bagian bawah dari saraf glosofaringeus.

Imunologi Tonsil

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang

mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit

B dan T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistim

imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel

membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses

transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel

limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa

IgG.

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit

yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi

utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama

produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.

b. Tonsil Faringeal (Adenoid)

Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang

terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari

sebuah ceruk dengan celah atau kantong

diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai

bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring.

Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat

meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium tuba

eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 5/25

mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun

kemudian akan mengalami regresi.

D. Indikasi Tonsilektomi

Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif

dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini. Dulu tonsilektomi diindikasikan untuk terapi

tonsilitis kronik dan berulang. Saat ini, indikasi yang lebih utama adalah obstruksi saluran napas dan

hipertrofi tonsil.9

Untuk keadaan emergency seperti adanya

obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun,

indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan

menyebutkan bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi.13

1. Indikasi Absolutx6 (AAO)

a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,

gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan

pengobatan medis dan drainase

c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk

menentukan patologi anatomi

2. Indikasi Relatifx6 (AAO)

a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per

tahun dengan terapi antibiotik adekuat b. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak

membaik dengan pemberian terapi medis c. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier

streptokokus yang tidak membaik dengan

pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Pada keadaan tertentu seperti pada abses peritonsilar (Quinsy), tonsilektomi dapat

dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.8

Saat mempertimbangkan tonsilektomi untuk

pasien dewasa harus dibedakan apakah mereka mutlak memerlukan operasi tersebut atau hanya

sebagai kandidat. Dugaan keganasan dan obstruksi saluran nafas merupakan indikasi absolut untuk

tonsilektomi. Tetapi hanya sedikit tonsilektomi pada

dewasa yang dilakukan atas indikasi tersebut, kebanyakan karena infeksi kronik. Akan tetapi

semua bentuk tonsilitis kronik tidak sama, gejala

dapat sangat sederhana seperti halitosis, debris

kriptus dari tonsil (“cryptic tonsillitis”) dan pada keadaan yang lebih berat dapat timbul gejala seperti

nyeri telinga dan nyeri atau rasa tidak enak di tenggorok yang menetap. Indikasi tonsilektomi

mungkin dapat berdasarkan terdapat dan beratnya

satu atau lebih dari gejala tersebut dan pasien seperti ini harus dipertimbangkan sebagai kandidat

untuk tonsilektomi karena gejala tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup walaupun tidak

mengancam nyawa.15

Kontraindikasi

Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan

sebagai kontraindikasi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan

tetap memperhitungkan imbang “manfaat dan

risiko”. Keadaan tersebut adalah:8

1. Gangguan perdarahan

2. Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat 3. Anemia

4. Infeksi akut yang berat

E. Persiapan Praoperasix8=gabungan

1. Penilaian Praoperasi

Keputusan untuk melakukan operasi tonsilektomi

pada seorang pasien terletak di tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter spesialis telinga, hidung

dan tenggorok atau dokter yang bertanggungjawab bila dalam keadaan tertentu tidak ada dokter

spesialis THT.

Mengingat tonsilektomi umumnya dilakukan di

bawah anestesi umum, maka kondisi kesehatan pasien terlebih dahulu harus dievaluasi untuk

menyatakan kelayakannya menjalani operasi tersebut. Karena sebagian besar pasien yang

menjalani tonsilektomi adalah anak-anak dan

sisanya orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan kerjasama dokter umum, dokter spesialis anak dan

dokter spesialis penyakit dalam untuk memberikan penilaian preoperasi terhadap pasien. Dalam

beberapa literatur disebutkan bahwa konsultasi

kepada dokter spesialis anak maupun penyakit dalam hanya dilakukan untuk kondisi tertentu oleh

dokter spesialis THT atau anestesi. Misalnya anak dengan malnutrisi, kelainan metabolik atau penyakit

tertentu yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas selama dan pascaoperasi. Konsultasi ini

dapat dilakukan baik oleh dokter spesialis THT

maupun spesialis anestesi.

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 6/25

Penilaian preoperasi pada pasien rawat jalan

dapat mengurangi lama perawatan di rumah sakit dan meminimalkan pembatalan atau penundaan

operasi (American Family Physician). Penilaian preoperasi secara umum terdiri dari penilaian klinis

yang diperoleh dari anamsesis, rekam medik dan

pemeriksaan fisik. Penilaian laboratoris dan radiologik kadang dibutuhkan. Sampai saat ini masih

terdapat perbedaan baik di kalangan klinisi maupun institusi pelayanan kesehatan dalam memilih

pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan secara rutin atau atas indikasi tertentu. Hal ini memiliki

dampak pada keselamatan pasien selain

meningkatnya biaya kesehatan yang harus dikeluarkan pasien, pemerintah atau pihak ketiga.

b. Anamnesis dan Rekam Medik

Riwayat kesehatan. Adanya penyulit seperti asma, alergi, epilepsi,

kelainan maksilofasial pada anak dan pada orang dewasa asma, kelainan paru, diabetes

melitus, hipertensi, epilepsi, dll. AFP: riwayat kelahiran (trauma lahir, berat dan

usia kelahiran), imunisasi, infeksi terakhir

terutama infeksi saluran napas khususnya pneumonia, Penyakit kronik terutama paru-paru

dan jantung, kelainan anatomi, obat yang sedang dan pernah digunakan beserta dosisnya.

Riwayat operasi terdahulu dan riwayat anestesi

c. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum

Status gizi: malnutrisi Penilaian jantung dan paru: peningkatan

tekanan darah, murmur pada jantung, tanda-

tanda gagal jantung kongestif dan penyakit paru obstruktif menahun.

Perlu perhatian khusus terutama bagi dokter spesialis THT untuk pasien dengan penyulit

berupa kelainan anatomis, kelainan kongenital di daerah orofaring dan kelainan fungsional.

Pada pasien ini, kelainan yang telah ada dapat

menyulitkan proses operasi. Selain itu penting untuk mendokumentasikan semua temuan

pemeriksaan fisik dalam rekam medik.

d. Pemeriksaan Penunjang17

Berdasarkan hasil kajian HTA Indonesia 2003

tentang persiapan rutin prabedah elektif, maka pemeriksaan penunjang yang direkomendasikan

untuk tonsilektomi adalah sebagai berikut: 1) Pemeriksaan darah tepi: Hb, Ht, leukosit, hitung

jenis, trombosit

2) Pemeriksaan hemostasis: BT/CT, PT/APTT

Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan atas indikasi. (lihat tabel 1)

TABEL 1. PERSIAPAN PRABEDAH ELEKTIF17

PERSIAPAN ANAK (0-18 tahun) DEWASA (>18 tahun)

Jawaban

Rekomendasi Jawaban Rekomendasi

Darah tepi

YA

Pemeriksaan darah tepi lengkap rutin (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis, trombosit) dilakukan pada anak usia<5 tahun, sedangkan untuk anak usia ≥ 5 tahun pemeriksaan darah tepi dilakukan atas indikasi, yaitu pasien yang diperkirakan menderita anemia defisiensi, pasien dengan penyakit jantung, ginjal, saluran napas atau infeksi .

TIDAK

Pemeriksaan darah tepi lengkap dilakukan pada pasien dengan penyakit hati, riwayat anemia, perdarahan dan kelainan darah lainnya, serta tergantung tipe dan derajat invasif prosedur operasi.

Kimia darah

TIDAK

Pemeriksaan kimia darah dilakukan bila terdapat risiko kelainan ginjal, hati, endokrin, terapi perioperatif, dan pemakaian obat alternatif.

TIDAK

Pemeriksaan kimia darah rutin hanya dilakukan pada pasien usia lanjut, adanya kelainan endokrin, kelainan fungsi ginjal dan hati, pemakaian obat tertentu atau pengobatan alternatif.

Hemostatis

TIDAK

Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada pasien dengan riwayat atau kondisi klinis mengarah pada kelainan koagulasi, akan menjalani operasi yang dapat menimbulkan gangguan koagulasi (seperti cardiopulmonary by-pass), ketika dibutuhkan hemostasis yang adekuat (seperti tonsilektomi), dan kemungkinan perdarahan pascabedah (seperti operasi saraf).

TIDAK

Pemeriksaan hemostasis dilakukan pada pasien yang memiliki riwayat kelainan koagulasi, atau riwayat terbaru yang mengarah pada kelainan koagulasi, atau sedang memakai obat antikoagulan, pasien yang memerlukan antikoagulan pascabedah, pasien yang memiliki kelainan hati dan ginjal.

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 7/25

PERSIAPAN ANAK (0-18 tahun) DEWASA (>18 tahun)

Jawaban

Rekomendasi Jawaban Rekomendasi

Urinalisis

TIDAK

Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada operasi yang melibatkan manipulasi saluran kemih dan pasien dengan gejala infeksi saluran kemih.

TIDAK

Pemeriksaan urin rutin dilakukan pada operasi yang melibatkan manipulasi saluran kemih dan pasien dengan gejala infeksi saluran kemih.

Foto toraks

TIDAK

Pemeriksaan foto toraks rutin prabedah tidak perlu dilakukan. TIDAK

Pemeriksaan foto toraks dilakukan pada pasien usia di atas 60 tahun, pasien dengan tanda dan gejala penyakit kardiopulmonal, infeksi saluran napas akut, riwayat merokok.

EKG

TIDAK

Hanya dilakukan atas indikasi

TIDAK

Pemeriksaan EKG dilakukan pada pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, nyeri dada, gagal jantung kongestif, riwayat merokok, penyakit vaskular perifer, dan obesitas, yang tidak memiliki hasil EKG dalam 1 tahun terakhir tanpa memperhatikan usia. Selain itu EKG juga dilakukan pada pasien dengan gejala kardiovaskular periodik atau tanda dan gejala penyakit jantung tidak stabil (unstable), dan semua pasien berusia usia >40 tahun.

Fungsi Paru

TIDAK

Hanya dilakukan atas indikasi

TIDAK

Pemeriksaan spirometri dilakukan pada pasien dengan riwayat merokok atau dispnea yang akan menjalani operasi pintasan (bypass) koroner atau abdomen bagian atas; pasien dengan dispnea tanpa sebab atau gejala paru yang akan menjalani operasi leher dan kepala, ortopedi, atau abdomen bawah; semua pasien yang akan menjalani reseksi paru dan semua pasien usia lanjut.

Puasa

YA

Lihat tabel 2

YA

Lihat tabel 2

e. Informed consent8

Informed consent perlu diberikan kepada pasien

sehubungan dengan risiko dan komplikasi yang potensial akan dialami pasien.

f. Persiapan praoperasi17

Puasa harus dilakukan sebelum operasi dilakukan.

Lama puasa dapat dilihat pada tabel 2, berdasarkan umur pasien.

Tabel 2. JANGKA WAKTU PUASA PERSIAPAN RUTIN PRABEDAH ELEKTIF17

Usia Jangka waktu puasa Makanan padat Cairan jernih

Anak <6 bulan 4 jam 2 jam 6 –36 bulan 6 jam 3 jam >36 bulan 8 jam 3 jam

Dewasa 8 jam 3 jam

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 8/25

2. Penilaian Praanestesia

Penilaian preanestesia (preanesthesia evaluation)

merupakan proses evaluasi/penilaian klinis yang dilakukan sebelum melaksanakan pelayanan

anestesi baik untuk prosedur bedah maupun

nonbedah. Penilaian preanestesi ini merupakan tanggung jawab dokter ahli anestesia dan terdiri

dari:18

a. Anamnesis dan Evaluasi rekam medik

Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan sangat

bermanfaat dalam mengetahui riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah atau sedang diderita

pasien. Terutama adanya infeksi saluran pernapasan atas yang dapat mengganggu manajemen anestesi.

Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi yang

baik dan persiapan untuk mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang mungkin akan

dihadapi dokter anestesi yang bersangkutan. Beberapa studi menyatakan bahwa terdapat kondisi-

kondisi tertentu yang didapatkan dengan anamnesis disamping data dari rekam medik.

a. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik minimum: evaluasi jalan napas, test Malampatti untuk feasibility intubasi, evaluasi

paru-paru, jantung dan catatan mengenai tanda

vital pasien.

Penilaian praanestesia dilakukan sebelum pelaksanaan operasi.

b. Tes praoperasi

Tes yang dilakukan sebelum operasi terdiri dari tes rutin dan tes yang dilakukan atas dasar indikasi

tertentu.

F. Teknik Operasi Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada abad 1 Masehi oleh

Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari

tangan.9,19 Selama bertahun-tahun, berbagai teknik dan instrumen untuk tonsilektomi telah

dikembangkan. Sampai saat ini teknik tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas yang rendah masih

menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan dan kekurangan. Tidak seperti

kebanyakan operasi dimana luka sembuh per

primam, penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi per sekundam.19

Diskusi terkini dalam memilih jenis teknik operasi

difokuskan pada morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pascaoperatif serta

durasi operasi.19 Selain itu juga ditentukan oleh kemampuan dan pengalaman ahli bedah serta

ketersediaan teknologi yang mendukung.20

Beberapa teknik dan peralatan baru ditemukan dan dikembangkan di samping teknik tonsilektomi

standar.9

Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan

diseksi.

1. Guillotine

Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara luas

sejak akhir abad ke 19, dan dikenal sebagai teknik

yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur yang menyebutkan kapan

tepatnya metode ini mulai dikerjakan. Tonsilotom modern atau guillotine dan berbagai modifikasinya

merupakan pengembangan dari sebuah alat yang dinamakan uvulotome. Uvulotome merupakan alat

yang dirancang untuk memotong uvula yang

edematosa atau elongasi.5

Laporan operasi tonsilektomi pertama dilakukan oleh Celcus pada abad ke-1, kemudian Albucassis di

Cordova membuat sebuah buku yang mengulas

mengenai operasi dan pengobatan secara lengkap dengan teknik tonsilektomi yang menggunakan

pisau seperti guillotine. Greenfield Sluder pada sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20

merupakan seorang ahli yang sangat

merekomendasikan teknik Guillotine dalam tonsilektomi. Beliau mempopulerkan alat Sluder

yang merupakan modifikasi alat Guillotin.5

Hingga kini, di UK tonsilektomi cara guillotine masih banyak digunakan. Hingga dikatakan bahwa

teknik Guillotine merupakan teknik tonsilketomi

tertua yang masih aman untuk digunakan hingga sekarang. Negara-negara maju sudah jarang yang

melakukan cara ini, namun di beberapa rumah sakit masih tetap dikerjakan. Di Indonesia, terutama di

daerah masih lazim dilkukan cara ini dibandingkan

cara diseksi.5

Kepustakaan lama menyebutkan beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat, komplikasi

anestesi kecil, biaya kecil.21

2. Diseksi

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan

metode diseksi. Hanya sedikit ahli THT yang secara

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 9/25

rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik

Sluder.22 Di negara-negara Barat, terutama sejak para pakar bedah mengenal anestesi umum dengan

endotrakeal pada posisi Rose yang mempergunakan alat pembuka mulut Davis, mereka lebih banyak

mengerjakan tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara

ini juga banyak digunakan pada pasien anak.x11

Walaupun telah ada modifikasi teknik dan penemuan peralatan dengan desain yang lebih baik

untuk tonsilektomi, prinsip dasar teknik tonsilektomi tidak berubah. Pasien menjalani anestesi umum

(general endotracheal anesthesia). Teknik operasi

meliputi: memegang tonsil, membawanya ke garis tengah, insisi membran mukosa, mencari kapsul

tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan manipulasi hati-hati. Lalu

dilakukan hemostasis dengan elektokauter atau

ikatan. Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah tersebut dengan salin.9

Bagian penting selama tindakan adalah

memposisikan pasien dengan benar dengan mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala digunakan oleh

ahli bedah dan harus diposisikan serta dicek

fungsinya sebelum tindakan dimulai. Mouth gag diselipkan dan bilah diposisikan sehingga pipa

endotrakeal terfiksasi aman diantara lidah dan bilah. Mouth gag paling baik ditempatkan dengan cara

membuka mulut menggunakan jempol dan 2 jari

pertama tangan kiri, untuk mempertahankan pipa endotrakeal tetap di garis tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan didorong ke inferior dengan hati-hati agar ujung bilah tidak mengenai palatum superior

sampai tonsil karena dapat menyebabkan

perdarahan. Saat bilah telah berada diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke gigi dan mouth gag dibuka. Tindakan ini harus dilakukan dengan

visualisasi langsung untuk menghindarkan kerusakan mukosa orofaringeal akibat ujung bilah.

Setelah mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan

secara hati-hati untuk mengetahui apakah pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir tidak terjepit,

sebagian besar dasar lidah ditutupi oleh bilah dan kutub superior dan inferior tonsil terlihat. Kepala di

ekstensikan dan mouth gag dielevasikan. Sebelum

memulai operasi, harus dilakukan inspeksi tonsil, fosa tonsilar dan palatum durum dan molle.1

Mouth gag yang dipakai sebaiknya dengan bilah

yang mempunyai alur garis tengah untuk tempat pipa endotrakeal (ring blade). Bilah mouth gag tersedia dalam beberapa ukuran. Anak dan dewasa

(khususnya wanita) menggunakan bilah no. 3 dan laki-laki dewasa memerlukan bilah no. 4. Bilah no. 2

jarang digunakan kecuali pada anak yang kecil.

Intubasi nasal trakea lebih tepat dilakukan dan

sering digunakan oleh banyak ahli bedah bila tidak dilakukan adenoidektomi.1

Berbagai teknik diseksi baru telah ditemukan dan

dikembangkan disamping teknik diseksi standar,

yaitu:

1. Electrosurgery (Bedah listrik)20

Awalnya, bedah listrik tidak bisa digunakan bersama anestesi umum, karena mudah memicu terjadinya

ledakan. Namun, dengan makin berkembangnya zat

anestetik yang nonflammable dan perbaikan peralatan operasi, maka penggunaan teknik bedah

listrik makin meluas.

Pada bedah listrik transfer energi berupa radiasi

elektromagnetik (energi radiofrekuensi) untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio

yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0.1 hingga 4 MHz. Penggunaan

gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan konduksi saraf atau jantung. Pada teknik

ini elektroda tidak menjadi panas, panas dalam

jaringan terbentuk karena adanya aliran baru yang dibuat dari teknik ini. Teknik ini menggunakan listrik

2 arah (AC) dan pasien termasuk dalam jalur listrik (electrical pathway).

Teknik bedah listrik yang paling paling umum adalah monopolar blade, monopolar suction,

bipolar dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Tenaga listrik dipasang pada kisaran 10 sampai 40

W untuk memotong, menyatukan atau untuk

koagulasi. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan memotong

dan hemostase dalam satu prosedur. Dapat pula digunakan sebagai tambahan pada prosedur operasi

lain.

2. Radiofrekuensi24

Pada teknik radiofrekuensi, elektroda disisipkan

langsung ke jaringan. Densitas baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi untuk membuat kerusakan

bagian jaringan melalui pembentukan panas.

Selama periode 4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan

berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan pada medium

penghantar seperti larutan salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini dapat menerima cukup

energi untuk memecah ikatan kimia di jaringan.

Karena proses ini terjadi pada suhu rendah (400C-700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar yang

rusak.

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 10/25

Alat radiofrekuensi yang paling banyak tersedia

yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the Somnus somnoplasty

system (bekerja pada 460 kHz), the ArthroCare coblation system dan Argon plasma coagulators.

Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang

seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat

menurunkan morbiditas tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi yang lebih besar dengan desain

yang baik untuk mengevaluasi keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini.

3. Skalpel harmonik25

Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasikan jaringan

dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini

menggunakan suhu yang lebih rendah dibandingkan elektrokauter dan laser. Dengan elektrokauter atau

laser, pemotongan dan koagulasi terjadi bila temperatur sel cukup tinggi untuk tekanan gas

dapat memecah sel tersebut (biasanya 1500C-4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik

temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih rendah

(biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel harmonik terdiri atas generator 110 Volt, handpiece dengan

kabel penyambung, pisau bedah dan pedal kaki.

Alatnya memiliki 2 mekanisme memotong yaitu

oleh pisau tajam yang bergetar dengan frekuensi 55,5 kHz sejauh lebih dari 80 µm (paling penting),

dan hasil dari pergerakan maju mundur yang cepat dari ujung pemotong saat kontak dengan jaringan

yang menyebabkan peningkatan dan penurunan

tekanan jaringan internal, sehingga menyebabkan fragmentasi berongga dan pemisahan jaringan.

Koagulasi muncul ketika energi mekanik ditransfer kejaringan, memecah ikatan hidrogen tersier

menjadi protein denaturasi dan melalui pembentukan panas dari friksi jaringan internal

akibat vibrasi frekuensi tinggi.

Skalpel harmonik memiliki beberapa keuntungan

dibanding teknik bedah lain, yaitu: Dibandingkan dengan elektrokauter atau laser,

kerusakan akibat panas minimal karena proses

pemotongan dan koagulasi terjadi pada

temperatur lebih rendah dan charring, desiccation (pengeringan) dan asap juga lebih

sedikit. Tidak seperti elektrokauter, skalpel harmonik tidak memiliki energi listrik yang

ditransfer ke atau melalui pasien, sehingga tidak ada stray energi (energi yang tersasar) yang

dapat menyebabkan shock atau luka bakar.

Dibandingkan teknik skalpel, lapangan bedah

terlihat jelas karena lebih sedikit perdarahan,

perdarahan pasca operasi juga minimal. Dibandingkan dengan teknik diseksi standar dan

elektrokauter, teknik ini mengurangi nyeri

pascaoperasi. Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien

terutama yang tidak bisa mentoleransi

kehilangan darah seperti pada anak-anak, pasien dengan anemia atau defisiensi faktor VIII

dan pasien yang mendapatkan terapi

antikoagulan.

4. Coblation26

Teknik coblation juga dikenal dengan nama plasma-mediated tonsillar ablation, ionised field tonsillar ablation; radiofrequency tonsillar ablation; bipolar radiofrequency ablation; cold tonsillar ablation.

Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe

untuk menghasilkan listrik radiofrekuensi (radiofrequency electrical) baru melalui larutan

natrium klorida. Keadaan ini akan menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan

sekitar. Coblation probe memanaskan jaringan sekitar lebih rendah dibandingkan probe diatermi

standar (suhu 600C (45-850C) dibanding lebih dari

1000C).

National Institute for clinical excellence menyatakan bahwa efikasi teknik coblation sama

dengan teknik tonsilektomi standar tetapi teknik ini

bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan.

5. Intracapsular partial tonsillectomy27

Intracapsular tonsillectomy merupakan tonsilektomi

parsial yang dilakukan dengan menggunakan

mikrodebrider endoskopi. Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan merupakan peralatan ideal untuk

tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat

ini dalam membersihkan jaringan tonsil tanpa

melukai kapsulnya.

Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya otot-otot

faring akibat tindakan operasi dan memberikan

lapisan “pelindung biologis” bagi otot dari sekret. Hal ini akan mencegah terjadinya perlukaan jaringan

dan mencegah terjadinya peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri

pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan. Jaringan tonsil yang tersisa akan meningkatkan

insiden tonsillar regrowth. Tonsillar regrowth dan

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 11/25

tonsilitis kronis merupakan hal yang perlu mendapat

perhatian khusus dalam teknik tonsilektomi intrakapsuler. Tonsilitis kronis dikontraindikasikan

untuk teknik ini.

Keuntungan teknik ini angka kejadian nyeri dan

perdarahan pasca operasi lebih rendah dibanding tonsilektomi standar. Tetapi masih diperlukan studi

dengan desain yang baik untuk menilai keuntungan teknik ini.

6. Laser (CO2-KTP)28

Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phospote) untuk

menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini mengurangi volume tonsil dan

menghilangkan „recesses‟ pada tonsil yang

meyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

LTA dilakukan selama 15-20 menit dan dapat dilakukan di poliklinik dengan anestesi lokal. Dengan

teknik ini nyeri pascaoperasi minimal, morbiditas menurun dan kebutuhan analgesia pascaoperasi

berkurang. Tekhnik ini direkomendasikan untuk

tonsilitis kronik dan rekuren, sore throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan nafas yang

disebabkan pembesaran tonsil.

G. Penyulit

Berikut ini keadaan-keadaan yang memerlukan pertimbangan khusus dalam melakukan tonsilektomi

maupun tonsiloadenoidektomi pada anak dan

dewasa:4 1. Kelainan anatomi:

- Submucosal cleft palate (jika adenoidektomi dilakukan)

- Kelainan maksilofasial dan dentofasial 2. Kelainan pada komponen darah:

- Hemoglobin < 10 g/100 dl

- Hematokrit < 30 g% - Kelainan perdarahan dan pembekuan

(Hemofilia) 3. Infeksi saluran nafas atas, asma, penyakit paru

lain

4. Penyakit jantung kongenital dan didapat (MSI) 5. Multiple Allergy 6. Penyakit lain, seperti:

- Diabetes melitus dan penyulit metabolik lain

- Hipertensi dan penyakit kardiovaskular - Obesitas, kejang demam, epilepsi

H. Teknik Anestesi29

Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi

ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana

serta keterampilan dokter bedah, dokter anestesi

dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah anestesi umum, teknik

anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa anestesi

umum biasanya dilakukan untuk tonsilektomi pada

anak-anak dan orang dewasa yang tidak kooperatif dan gelisah. Pilihan untuk menggunakan anestesi

lokal bisa merupakan keputusan pasien yang tidak menginginkan tonsilektomi konvensional atau dalam

keadaan yang tidak memungkinkan untuk menjalani

anestesi umum. Biasanya ditujukan untuk tonsilektomi pada orang dewasa. Dimana

sebelumnya pasien telah diseleksi kondisi kesehatannya terlebih dahulu dan

mempertimbangkan tingkat keterampilan dokter bedah yang bersangkutan sehingga pasien dinilai

dapat mentoleransi teknik anestesi ini dengan baik.

Tujuan tindakan anestesi pada operasi tonsilektomi

dan adenoidektomi: 1. Melakukan induksi dengan lancar dan

atraumatik

2. Menciptakan kondisi yang optimal untuk pelaksanaan operasi

3. Menyediakan akses intravena yang digunakan untuk masuknya cairan atau obat-obatan yang

dibutuhkan

4. Menyediakan rapid emergence.

Premedikasi30

Pemberian premedikasi ditentukan berdasarkan evaluasi preoperasi. Saat pemberian obat

premedikasi dilakukan setelah pasien berada di

bawah pengawasan dokter/perawat terlatih. Anak-anak dengan riwayat sleep apneu atau obstruksi

saluran napas intermitten atau dengan tonsil yang sangat besar harus lebih diperhatikan.

Anestesi Umum

Ada berbagai teknik anestesi untuk melakukan tonsiloadenoidektomi. Obat anestesia eter tidak

boleh digunakan lagi jika pembedahan menggunakan kauter/diatermi. Teknik anestesi yang

dianjurkan adalah menggunakan pipa endotrakeal,

karena dengan ini saturasi oksigen bisa ditingkatkan, jalan napas terjaga bebas, dosis obat

anestesi dapat dikontrol dengan mudah. Dokter ahli

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 12/25

anestesi serta perawat anestesi walaupun berada di

luar lapangan operasi namun masih memegang kendali jalan napas.31

1. Anestesi endotrakea30,31

- Pasien dibaringkan di atas meja operasi. Pasang elektroda dada untuk monitor ECG (bila tidak

ada, dapat menggunakan precordial stetoskop). Manset pengukur tekanan darah dipasang di

lengan dan infus dextrose 5% atau larutan Ringer dipasang di tangan.

- Jika sulit mencari akses vena pada anak kecil,

induksi anestesi dilakukan dengan halotan. Karena halotan menyebabkan dilatasi pembuluh

darah superfisial, infus menjadi lebih mudah dipasang setelah anak tidur.

- Pada anak, induksi menggunakan sungkup

dapat dilakukan dengan halotan atau sevoflurane dengan oksigen dan nitrous oxide.

Kehadiran orangtua di ruang operasi selama induksi inhalasi bisa membantu menenangkan

anak yang gelisah. - Intubasi endotrakea dilakukan dalam anestesi

inhalasi yang dalam atau dibantu dengan

pelemas otot nondepolarisasi kerja pendek. Untuk menghindari masuknya darah ke dalam

trakea, jika ETT tidak memiliki cuff, perlu diletakkan kasa bedah di daerah supraglotik

tepat di atas pita suara dan sekitar endotrakeal

tube. - Selama maintenance, pernapasan dibantu

(assisted) atau dikendalikan (controlled). - Antisialalogue (atropin) dapat diberikan untuk

meminimalkan sekresi di lapangan operasi.

- Setelah operasi selesai, faring dan trakea dibersihkan dengan penghisap (suction),

dilakukan oksigenasi dan kemudian ekstubasi. Setelah ekstubasi, dipasang pharyngeal airway

dan oksigenasi dilanjutkan dengan sungkup. - Ekstubasi dapat dilakukan bila pasien sudah

sadar, dimana jalan napas sudah terjagabebas

(intact protective airway reflexes).32 Ekstubasi juga dapat dilakukan saat pasien masih dalam

anestesi dalam. Pemberian lidocaine 1-1.5 mg/kg IV bisa mengurangi risiko batuk dan

laringospasme pada saat ekstubasi.

- Pasien kemudian dibaringkan dengan dengan posisi lateral dengan kepala lebih rendah

daripada panggul (tonsil position) sehingga memudahkan sisa-sisa darah mengumpul di

sekitar pipi dan mudah dihisap keluar. - Kejadian mual dan muntah setelah tonsilektomi

adalah sebesar 60% sehingga dapat diberikan

antiemetik sebagai pencegahan.

Perdarahan pascatonsilektomi32

- Pada perdarahan pasca tonsilektomi, lambung pasien bisa penuh berisi darah yang tertelan.

Darah dalam lambung dapat memicu muntah secara spontan maupun pada waktu induksi

anestesi untuk re-operasi. Pengosongan

lambung dengan oro/nasogastric tube diperlukan sebelum anestesi.

Perkembangan baru adalah menggunakan Laryngeal Mask Airway (LMA) sebagai pengganti pipa endotrakeal. Keuntungan LMA dibanding ETT adalah

berkurangnya risiko stridor postoperasi. Obstruksi

saluran napas postoperasi juga lebih sedikit. Tetapi cara ini memerlukan perhatian khusus seperti: 30

- Selama anestesi anak harus bernapas spontan. Pemberian ventilasi tekanan positif akan

meningkatkan risiko regurgitasi isi lambung

terutama bila tahanan jalan napas besar dan compliance paru rendah.

- Pemasangan LMA akan sulit pada pasien dengan pembesaran tonsil.

- LMA harus dilepaskan sebelum pasien sadar kembali.

- Manfaat penggunaan LMA pada tonsilektomi

harus ditimbang juga dengan risiko yang mungkin terjadi dan pengambilan keputusan

harus berdasarkan pertimbangan per individu.

2. Modifikasi Crowe-Davis mouth gag31

Keberatan dokter ahli THT tentang penggunaan

intubasi endotrakeal adalah karena pipa ETT menyita lapangan operasi. Dengan modifikasi

Crowe-Davis mouth gag ETT dapat diletakkan pada

celah sepanjang permukaan bawah dari bilah lidah. Sehingga lapang operasi menjadi bebas.

Pengamatan selama operasi

Selama operasi yang harus dipantau: - Jalan napas tetap bebas, posisi ETT yang baik

tidak mengganggu operasi

- Pernapasan dan gerak dada cukup - (kalau ada) Saturasi oksigen di atas 95%

- Denyut nadi yang teratur - Jumlah perdarahan dan jumlah cairan infus

yang masuk

Alat monitoring tambahan yang dianjurkan:

- Pulse oxymetri Pada pasien yang menjalani tonsilektomi untuk

tatalaksana obstructive sleep apnea, ketersediaan monitoring postoperatif dan pulseoksimetri

merupakan keharusan. Begitu juga dengan pasien

dengan sindroma Down yang bisa mengalami depresi susunan saraf pusat untuk waktu yang lama

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 13/25

setelah anestesi umum selama tonsilektomi

berlangsung.

Observasi Pasca Operasi di Ruang Pemulihan (PACU-Post anesthesia care unit)

Pasca operasi, pasien dibaringkan dalam posisi tonsil. Yaitu dengan berbaring ke kiri dengan posisi

kepala lebih rendah dan mendongak.33 Pasien diobservasi selama beberapa waktu di ruang

pemulihan untuk meminimalkan komplikasi selain untuk memaksimalkan efektivitas biaya dari

pelayanan kesehatan. Saat ini, pasien yang

menjalani tonsilektomi sudah bisa pulang pada hari yang sama untuk pasien-pasien yang telah diseleksi

secara tepat sebelumnya. Belum ada kesepakatan mengenai lama observasi optimum sebelum pasien

dipulangkan. Umumnya, observasi dilakukan selama

minimal 6 jam untuk mengawasi adanya perdarahan dini.30

Evaluasi keadaan/status pasien di unit

perawatan pascaanestesi (PACU) memerlukan dokter spesialis anestesi, perawat dan dokter ahli

bedah yang bekerja sebagai sebuah tim. Bersama-

sama, dilakukan observasi adanya masalah terkait medis, bedah dan anestesi dengan tujuan dapat

memberikan terapi secara cepat sehingga dapat meminimalkan efek komplikasi yang timbul.

Idealnya, penilaian rutin postoperasi meliputi pulse oximetry, pola dan frekuensi respirasi,

frekuensi denyut dan irama jantung, tekanan darah dan suhu. Frekuensi pemeriksaan tergantung

kondisi pasien, namun paling sering dilakukan setiap

15 menit untuk jam pertama dan selanjutnya setiap setengah jam.

Untuk menentukan secara objektif kapan pasien

bisa dipulangkan, dapat digunakan sistem skoring. Sistem yang saat ini digunakan secara luas adalah

Skor Aldrete yang dimodifikasi:

- Kesadaran 2= sadar penuh

1= respons bila nama dipanggil 0= tidak ada respons

- Aktivitas atas perintah 2= menggerakkan semua ektrimitas

1= menggerakkan 2 ekstrimitas 0= tidak bergerak

- Pernapasan

2= bernapas dalam tanpa hambatan

1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi pernapasan

0= apneu

- Sirkulasi

2= tekanan darah dalam kisaran 20% nilai preoperasi

1= tekanan darah dalam kisaran 50- 20% nilai preoperasi

0= tekanan darah 50% atau kurang

dari nilai preoperasi

- Saturasi oksigen 2= SpO2 > 92% pada udara ruangan

1= dibutuhkan tambahan O2 untuk mempertahankan SpO2 > 92%

0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2

Skor total= 10; skor < atau = 9 membutuhkan

PACU

Perawatan postoperasix20

Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai diet.

Belum ada bukti ilmiah yang secara jelas menyatakan bahwa memberikan pasien diet biasa

akan menyebabkan perdarahan postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian cairan secara rutin

saat pasien bangun dan secara bertahap pindah ke

makanan lunak merupakan standar di banyak senter. Cairan intravena diteruskan sampai pasien

berada dalam keadaan sadar penuh untuk memulai intake oral. Kebanyakan pasien bisa memulai diet

cair selama 6 sampai 8 jam setelah operasi dan bisa

dipulangkan. Untuk pasien yang tidak dapat memenuhi intake oral secara adekuat, muntah

berlebihan atau perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan

keputusan untuk tetap mengobservasi pasien sering

hanya berdasarkan pertimbangan perasaan ahli bedah daripada adanya bukti yang jelas dapat

menunjang keputusan tersebut.

Antibiotika postoperasi diberikan oleh kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi randomized

oleh Grandis dkk. Menyatakan terdapat hubungan

antara berkurangnya nyeri dan bau mulut pada pasien yang diberikan antibiotika postoperasi.

Antibiotika yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif terhadap flora rongga mulut, biasanya penisilin

yang diberikan per oral. Pasien yang menjalani

tonsilektomi untuk infeksi akut atau abses peritonsil atau memiliki riwayat faringitis berulang akibat

streptokokus harus diterapi dengan antibiotika. Penggunaan antibiotika profilaksis perioperatif harus

dilakukan secara rutin pada pasien dengan kelainan jantung.

Pemberian obat antinyeri berdasarkan keperluan, bagaimanapun juga, analgesia yang

berlebihan bisa menyebabkan berkurangnya intake

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 14/25

oral karena letargi. Selain itu juga bisa

menyebabkan bertambahnya pembengkakan di faring. Sebelum operasi, pasien harus dimotivasi

untuk minum secepatnya setelah operasi selesai untuk mengurangi keluhan pembengkakan faring

dan pada akhinya rasa nyeri.

I. Komplikasi

Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang

dilakukan dengan anestesi umum maupun lokal, sehingga komplikasi yang ditimbulkannya

merupakan gabungan komplikasi tindakan bedah

dan anestesi. Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani tonsilektomi meninggal baik akibat

perdarahan maupun komplikasi anestesi dalam 5-7 hari setelah operasi.35

1. Komplikasi anestesi30

Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi dan

adenoidektomi (brookwood ent associates). Komplikasi ini terkait dengan keadaan status

kesehatan pasien. Adapun komplikasi yang dapat

ditemukan berupa: - Laringospasme

- Gelisah pasca operasi - Mual muntah

- Kematian saat induksi pada pasien dengan

hipovolemi32 - Induksi intravena dengan pentotal bisa

menyebabkan hippotensi dan henti jantung32

- Hipersensitif terhadap obat anestesi

2. Komplikasi bedahx22

a. Perdarahan.

Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1% dari

jumlah kasus).37 Perdarahan dapat terjadi selama

operasi, segera sesudah operasi atau di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1:35.000

pasien. Sebanyak 1 dari 100 pasien kembali karena masalah perdarahan dan dalam jumlah yang sama

membutuhkan transfusi darah.

Perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama

dikenal sebagai early bleeding, perdarahan primer atau “reactionary haemorrage” dengan

kemungkinan penyebabnya adalah hemostasis yang tidak adekuat selama operasi. Umumnya terjadi

dalam 8 jam pertama. Perdarahan primer ini sangat

berbahaya, karena terjadi sewaktu pasien masih dalam pengaruh anestesi dan refleks batuk belum

sempurna. Darah dapat menyumbat jalan napas

sehingga terjadi asfiksia. Perdarahan dapat

menyebabkan keadaan hipovolemik bahkan syok. Perdarahan yang terjadi setelah 24 jam disebut

dengan late/delayed bleeding atau perdarahan sekunder. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10

pascabedah. Perdarahan sekunder ini jarang terjadi,

hanya sekitar 1%. Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, bisa karena infeksi sekunder

pada fosa tonsilar yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah dan perdarahan dan trauma

makanan yang keras.

b. Nyeri

Nyeri pascaoperasi muncul karena kerusakan

mukosa dan serabut saraf glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang

menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut

sampai otot diliputi kembali oleh mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.

Nyeri tenggorok muncul pada hampir semua

pasien pascatonsilektomi. Penggunaan elektrokauter menimbulkan nyeri lebih berat dibandingkan teknik

“cold” diseksi dan teknik jerat. Nyeri pascabedah

bisa dikontrol dengan pemberian analgesik. Jika pasien mengalami nyeri saat menelan, maka akan

terdapat kesulitan dalam asupan oral yang meningkatkan risiko terjadinya dehidrasi. Bila hal ini

tidak dapat ditangani di rumah, perawatan di rumah

sakit untuk pemberian cairan intravena dibutuhkan.

3. Komplikasi lain

Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan

terhadap suara (1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,

stenosis faring, lesi di bibir, lidah, gigi dan pneumonia.

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 15/25

BAB IV HASIL DAN DISKUSI

A. Indikasi

Catalonian Agency Health Technology Assessment (CAHTA) dalam laporannya tahun 1999 menyatakan bahwa meskipun bukti empiris praktek tonsilektomi

masih sedikit, tetapi terdapat kesepakatan diantara para ahli mengenai kegunaan tonsilektomi pada

kasus infeksi berulang. Akan tetapi terdapat

kontroversi mengenai keparahan dan frekuensi infeksi tersebut dan waktu yang optimal untuk

melakukan tindakan karena kurangnya bukti ilmiah yang ada. Berbagai perkumpulan ilmuwan dan

tenaga ahli mengeluarkan rekomendasi untuk praktek tonsilektomi, umumnya berusaha mereview

bukti ilmiah yang ada dan karena kurangnya bukti

ilmiah, rekomendasi sebagian besar berdasarkan konsensus diantara tenaga ahli.3

Cochrane review (2004) melaporkan bahwa

efektivitas tonsilektomi belum dievaluasi secara

formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan tonsillitis akut atau kronik, tetapi tidak

ada bukti ilmiah randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam memformulasikan indikasi

bedah untuk anak dan dewasa. Tidak ditemukan

studi RCT yang mengkaji efektivitas tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT

(Mawson 1967; McKee 1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi yang

diikutkan dalam review hanya 2 studi (Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak

memenuhi kriteria. Studi pertama oleh Paradise

(1984), dilakukan pada anak yang dengan infeksi tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat

kesimpulan yang tegas tentang tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya

perbedaan kelompok operasi dengan kelompok

kontrol dalam hal riwayat episode infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok operasi meliputi anak

dengan penyakit yang lebih berat) dan status sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status

sosial ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan

sebagai satu kelompok operasi. Disamping itu, studi

ini meliputi hanya anak dengan infeksi tenggorok berat, pada pemantauan, banyak kelompok kontrol

yang memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi kedua oleh Paradise (1992) meliputi

anak dengan infeksi sedang tidak dapat dievaluasi

karena saat review dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari desain dan bagaimana penelitian ini

dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk abstrak).2

Darrow dan Siemens (2002) melakukan review uji klinis untuk memberikan dasar bagi klinisi dalam

memutuskan bedah adenotonsilar untuk pasiennya.

Dilaporkan bahwa indikasi absolut tonsiloadenoidektomi adalah hiperplasia

adenotonsilar dengan obstructive sleep apnea, gagal tumbuh (failure to thrive) atau perkembangan

dentofacial abnormal; kecurigaan keganasan; dan

(untuk tonsilektomi) tonsillitis perdarahan. Indikasi relatif tonsiloadenoidektomi adalah hiperplasia

adenotonsilar dengan obstruksi saluran nafas atas, disfagia, penurunan kemampuan bicara dan

halitosis. Indikasi relatif lain untuk adenoidektomi saja adalah otitis media dan rinosinusitis atau

adenoiditis rekuren atau kronik. Indikasi relatif lain

untuk tonsilektomi saja adalah faringotonsilitis rekuren atau kronik, abses peritonsilar dan infeksi

streptokokus.6

1. Anak

a. Infeksi Tenggorok Berat dan Berulang2,7,38

Paradise dkk. (1984) melakukan randomized dan

nonrandomized clinical trials secara paralel pada

187 anak yang berusia 3-15 tahun dengan infeksi tenggorok berat dan berulang. Dilaporkan bahwa

pada pemantauan selama 2 tahun pascaoperasi, insiden infeksi tenggorok pada kelompok operasi

lebih rendah dan bermakna secara statistik (p≤0,05) dibanding kelompok nonoperasi. Setelah tiga tahun

pemantauan tidak terdapat perbedaan bermakna

diantara kedua kelompok. Pada pemantauan tiap tahun kelompok nonoperasi, ditemukan bahwa

episode infeksi < 3 kali dan sebagian besar infeksi ringan.

Hasil studi ini mendukung tonsilektomi untuk anak-anak dengan kriteria yang sesuai dengan studi

ini (memiliki ≥7 episode infeksi tengggorokan pada tahun sebelumnya atau ≥5 episode tiap tahun pada

2 tahun sebelumnya atau ≥3 episode tiap tahun pada 3 tahun sebelumnya; episode ditandai dengan

gambaran klinik spesifik [temperatur >38,50C,

adenopati servikal >2 cm, terdapat eksudat pada

tonsil atau kultur positif streptokokus -hemolitikus

kelompok A (GABHS)]; telah diobati dengan

antibiotika ketika infeksi streptokokus diduga atau

terbukti; dan setiap episode didokumentasikan), tetapi juga mendukung untuk penanganan

nonoperasi, sehingga pilihan terapi untuk anak-anak tersebut harus berdasarkan individualisasi. Saat ini

penelitian ini hanya dipublikasikan dalam bentuk

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 16/25

abstrak sehingga tidak dapat dilakukan telaah lebih

lanjut.

b. Infeksi Tenggorok Sedang dan Berulang7

Paradise dkk. (1992) melakukan 2 randomized, unblinded, controlled trials secara paralel di Pittsburgh pada 203 anak. Keluaran utama berupa

timbulnya episode infeksi tenggorok dalam follow up selama 3 tahun. Dilaporkan bahwa insidens infeksi

tenggorok secara signifikan lebih rendah pada kelompok yang menjalani operasi dibandingkan

dengan kelompok kontrol selama 3 tahun

pemantauan. Namun, di antara pasien dalam kelompok kontrol, episode infeksi sedang maupun

rendah secara rata-rata memang rendah (berkisar antara 0.16-0.43 per tahun).

Untuk studi ini, kriteria inklusi yang digunakan untuk sampel adalah berusia 3 sampai 15 tahun dan

memiliki riwayat infeksi tenggorok berulang (tonsilitis, faringitis, atau tonsilofaringitis). Selain itu,

pasien harus memenuhi kriteria frekuensi atau gambaran klinis atau dokumentasi dan tidak

memiliki lebih dari 1 kriteria tersebut (penjelasan

kriteria sama dengan penelitian sebelumnya untuk infeksi tenggorok berat dan berulang). Kriteria

inklusi ini lebih ketat bila dibandingkan dengan national guidelines yang dikeluarkan oleh the

American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (3 atau lebih infeksi pada tonsil dan atau adenoid per tahun dengan terapi medis yang

adekuat).

Sehingga disimpulkan bahwa walaupun terdapat

manfaat tonsilektomi, harus dipertimbangkan juga kemungkinan risiko yang akan ditemui, morbiditas

serta biaya operasi. Dalam keadaan biasa, kriteria indikasi tonsilektomi yang digunakan dalam

penelitian ini dan yang berasal dari national guidelines sudah cukup untuk digunakan sebagai

pedoman dalam praktek sehari-hari.

c. Infeksi Tenggorok Ringan39

Staaj dkk. (2004) melakukan sebuah RCT yang melibatkan 300 pasien anak berusia 2 sampai 8

tahun yang mengalami infeksi tenggorok berulang, obstruksi saluran napas atau infeksi saluran napas

atas berulang dan membutuhkan

tonsiloadenoidektomi.

Anak-anak yang menjalani tonsiloadenoidektomi mengalami episode demam 0.21 lebih rendah (95%

CI -0.12 – 0.54) dibandingkan anak-anak yang hanya diobservasi ketat. Pada 6 bulan pertama

observasi, jumlah episode demam lebih sedikit pada

kelompok tonsiloadenoidektomi, namun setelah 6 bulan tidak terdapat perbedaan pada kedua

kelompok. Dibandingkan dengan kelompok observasi ketat, pasien pada kelompok

tonsiloadenoidektomi memiliki episode infeksi

tenggorok yang lebih rendah (0.21, 95% CI 0.06-0.36), episode nyeri tenggorok yang lebih rendah

(0.60, 95% CI 0.30-0.90) dan episode infeksi saluran napas atas yang lebih rendah (0.5,95% CI

0.08-0.97)

Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa

tindakan tonsiloadenoidektomi pada pasien dengan keluhan infeksi tenggorok atau hipertrofi

adenotonsiler ringan hanya memberikan sedikit manfaat klinis dibandingkan dengan observasi ketat.

Perbedaan klinis hanya nampak pada 6 bulan

pertama setelah tindakan dilakukan.

Pada penilaian kualitas hidup anak yang menderita penyakit tonsil dan adenoid ditemukan

bahwa status kesehatan secara keseluruhan dan

kualitas hidup anak dengan penyakit tonsil dan adenoid bermakna lebih buruk dibandingkan anak

yang sehat (studi cross-sectional oleh Stewart dkk.40 2000). Keadaan ini ditunjukkan oleh rendahnya

beberapa nilai rata-rata Child Health Questionnaire version PF28 (CHQ-PF28), meliputi kesehatan

umum, fungsi fisik, perilaku, bodily pain, dan

pengaruh terhadap orang tua (emosional), yang menunjukkan status kesehatan yang jelek.

Tabel 3. Nilai rata-rata subskala CHQ-PF28 pada anak-anak dengan penyakit tonsil dan adenoid serta anak sehat40

Subskala Anak-anak dengan penyakit tonsil

dan adenoid (n= 55)*

Anak-anak sehat

(n= 391)

Fungsi fisik 75,2 (67,3-83,1) 95,0‡

Keterbatasan peranan/sosial - perilaku/emosional - fisik

83,0 ( 74,5-91,5) 81,7 (72,6-90,8)

92,5‡ 93,7‡

Bodily pain/discomfort 63,5 (54,8-72,3) 81,3‡

Perilaku 59,1 (53,2-64,9) 70,8‡

Kesehatan mental 76,1 (70,9-81,4) 79,7

Kepercayaan diri 77,0 (69,7-84,4) 80,1

Persepsi kesehatan umum 58,5 (52,6-64,5) 74,0‡

Pengaruh terhadap orangtua (emosional) 53,2 (45,5-60,9) 81,3‡

Aktivitas famili 66,3 (56,3-76,4) 88,4‡

Kohesi famili 62,5 (54,3-70,7) 91,1‡

78,4 (73,2-83,7) 72,4‡

* (95% CI) ‡ perbedaan bermakna secara statistik (P<0.05)

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 17/25

Dari studi pengamatan sebelum dan sesudah

operasi yang dilakukan oleh Goldstein dkk.41 (2002), dilaporkan bahwa kelainan perilaku dan emosional

yang ditemukan pada anak dengan sleep-disordered breathing preoperasi membaik setelah dilakukan

operasi dan nilai dari pegukuran standar perilaku

(the Child Behavior Checklist/CBCL) berhubungan bermakna dengan nilai survei kualitas hidup (Pediatric Obstructive Sleep Apnea [OSA-18]). Studi ini melibatkan 64 anak dengan usia 2-18 tahun yang

menjalani tonsilektomi dan adenoidektomi untuk penanganan sleep disorder breathing dan tonsilitis

rekuren. Nilai rata-rata OSA-18 preoperasi 3,9 (1,5)

dan perubahan nilai setelah operasi 2,3 (95% CI 1,9-2,7), perubahan paling besar terhadap kualitas

hidup terjadi untuk gangguan tidur, caregiver concern dan gejala fisik (perubahan skor ≥ 1,5).

Total problem score rata-rata 7,3 poin lebih rendah

setelah operasi (95% CI 4,9-9,7) dan bermakna secara statistik ( P<0,001). Total problem score

preoperasi konsisten dengan kelainan perilaku pada 16 anak (25%), dan pascaoperasi skor abnormal

hanya pada 5 anak (8%), P=0,03. Survey score rata-rata OSA-18 preoperasi berhubungan fair to good dengan CBCL total problem T score preoperasi

(r=0,50, P<0,01) dan perubahan skor OSA-18 berhubungan fair to good dengan perubahan nilai

CBCL total problem T score (r=0,54, P<0,001).

2. Dewasa

Muis dkk.42 (1998) melaporkan hasil studi analisa

retrospektif dari 240 rekam medik pasien yang berusia 16 tahun atau lebih yang menjalani

tonsilektomi pada tahun 1988-1993 di California.

Jumlah kunjungan dokter rata-rata dan penggunaan antibiotik untuk infeksi tenggorok bermakna lebih

tinggi sebelum tonsilektomi dibandingkan sesudah tonsilektomi. Perbedaan jumlah kunjungan dokter

sebelum dan sesudah tonsilektomi 3,5 (P<0,001) dan perbedaan penggunaan antibiotik 2,11

(P<0,001). Pada 35 pasien dengan kultur tenggorok

positif streptokokus, kunjungan klinik sebelum

operasi juga lebih sering (p=0,01), begitu juga

dengan penggunaan antibiotik (P<0,01) bila dibandingkan dengan pasien yang streptokokusnya

negatif. Perbedaan diantara kedua kelompok tidak bermakna lagi setelah operasi baik untuk kunjungan

dokter maupun penggunaan antibiotik. Saat survei

melalui telepon, sebagian besar responden melaporkan radang tenggorok mereka jarang

muncul dan merekomendasikan operasi ini (88% pasien), radang tenggorok yang muncul lebih ringan

(87% pasien) dan kehilangan hari kerja atau sekolah lebih sedikit (90% pasien). Disimpulkan

bahwa tonsilektomi dini pada pasien dengan infeksi

tenggorok berulang dapat memperbaiki kepuasan pasien, kesehatan dan penggunaan sumber

pengobatan.

Bhattacharya dkk.43 (2001) melaporkan studi

cross-sectional pada 65 pasien yang berusia rata-rata 27,3 tahun (16-60 tahun) yang telah menjalani

tonsilektomi minimal satu tahun sebelumnya. Waktu pemantauan pada studi ini rata-rata 46,2 bulan

(15,9 bulan-76,2 bulan). Dari studi ini ditemukan adanya perbaikan Glasgow Benefit Inventory (GBI)

yang bermakna secara statistik (P<0,001), yakni

pada skor total (+27,1), subskor kesehatan umum (+34,7), subskor fungsi sosial (+14,4) dan subskor

fungsi fisik (+9,5). Hal ini menunjukkan adanya keuntungan tonsilektomi yang bermakna terhadap

kesehatan. Setelah tonsilektomi, juga dicatat

adanya penurunan yang bermakna secara statistik (P<0,001) dalam jumlah rata-rata minggu

menerima antibiotik (-7,8 minggu), rata-rata kunjungan dokter (-5,4) dan rata-rata kehilangan

hari kerja (-6,3 hari).

Disimpulkan bahwa tonsilektomi pada dewasa

bermakna memperbaiki kualitas hidup pada pasien dengan tonsilitis kronik. Tonsilektomi bermakna

mengurangi penggunaan sumber pengobatan dan kehilangan hari kerja setelah tonsilektomi. Faktor

tersebut harus dimasukkan dalam pengambilan

keputusan untuk melakukan tonsilektomi.

Tabel 4. Dampak Tonsilitis Kronis Sebelum dan Sesudah Tonsilektomi43

Rata-rata (SD) Pengukuran keparahan penyakit 12 bulan

sebelum tonsilektomi

12 bulan sesudah

tonsilektomi

Mean net change

Nilai P

Jumlah minggu mendapat antibiotik 6,9 (7,0) 0,6 (0,9) -7,8 <0,001 Jumlah kehilangan hari kerja 8,0 (11,,3) 0,5 (1,4) -6,3 <0,001 Jumlah kunjungan dokter 5,8 (5,9) 0,3 (0,8) -5,4 <0,001

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 18/25

B. Teknik Operasi

Berbagai kepustakaan yang didapatkan mengenai

perbandingan berbagai teknik terbaru tonsilektomi tidak ada yang membandingkan secara langsung

keuntungan dan kerugian dari masing-masing

teknik. Kebanyakan dari kepustakaan tersebut membandingkan 2 teknik terbaru. Penilaian

umumnya berdasarkan durasi operasi, perdarahan intra dan pascaoperasi serta nyeri pascaoperasi.

Cochrane review44 (2004) yang membandingkan

morbiditas dihubungkan teknik tonsilektomi diseksi

dengan diatermi menyimpulkan bahwa data yang ada tidak cukup untuk menunjukkan keunggulan

salah satu dari metode tonsilektomi. Terdapat bukti bahwa nyeri lebih banyak terjadi dengan teknik

diseksi monopolar dibandingkan cold dissection. RCT

yang lebih besar dengan desain yang baik diperlukan untuk menjelaskan metode yang

optimum untuk tonsilektomi. dari review ini ditemukan sejumlah 22 studi tetapi 20 studi tidak

diikuitkan karena tidak memenuhi kriteria inklusi untuk metode randomisasi, kontrol dan kriteria

outcome. Sejumlah 2 studi yang memenuhi kriteria,

salah satu membandingkan monopolar dissection diathermy dengan conventional cold dissection pada

anak dan yang lainnya membandingkan microscopic bipolar dissection dengan cold dissection pada anak

dan dewasa. Pada kedua studi tersebut, perdarahan

intraoperasi pada kelompk diatermi lebih sedikit dibanading kelompok diseksi. Tidak ada perdarahan

primer dilaporkan pada kedua studi. Kejadian perdarahan sekunder jarang pada kedua studi dan

tidak ada perbedaan antara kelompok diseksi

dengan diatermi. Kebutuhan akan analgesik pada 24 jam pertama tidak berbeda diantara kedua

kelompok. Tetapi dosis total yang dibutuhkan dalam 12 hari pertama bermakna lebih tinggi (p=0,02)

pada kelompok diatermi. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik dari jumlah hari sebelum

kembali ke aktivitas normal. Tidak ada perbedaan

waktu operasi rata-rata diantara kedua keklompok ditemukan pada salah satu studi.

Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan

dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli THT

yang secara rutin melakukan tonsilektomi dengan teknik Sluder. Holmer dkk.22 (2000) melaporkan

studi prospektif skala kecil (N=86 pasien) yang membandingkan nyeri pascaoperasi pada teknik

diseksi dan guillotine. Dari studi didapatkan bahwa teknik Guillotine lebih sedikit menimbulkan nyeri

pascaoperasi dibandingkan teknik diseksi (p<0.001).

Risiko relatif untuk mengalami nyeri pascaoperasi yang berat pada teknik Guillotine adalah 0.36 (95%

CI 0.18-0.72). Penemuan ini terutama bermakna

pada pasien anak-anak. Berdasarkan hal ini, maka

teknik Guillotine dapat direkomendasikan terutama untuk anak-anak.

C. Teknik Anestesi

1. Anestesia umum

Secara umum, dilakukan dengan anestesi endotrakea. Belum ditemukan cukup artikel ilmiah

yang memaparkan tentang efektivitas penggunaan anestesi umum dengan anestesi endotrakea.

Adapun artikel yang didapatkan sejauh ini hanya

berupa daftar pustaka dari artikel berbahasa Rusia, Jerman, Jepang, Brazil dan Belanda. Artikel-artikel

tersebut diterbitkan sekitar tahun 1960 dan 70-an.

Mengenai pemakaian LMA, didapatkan beberapa

abstrak yang mendukung penggunaannya sebagai alternatif intubasi endotrakeal.

Sebuah metaanalisis yang dilaporkan oleh Kretrz

FJ dkk.45 pada tahun 2000 menyatakan bahwa laryngeal mask airway (LMA) terbukti merupakan

sebuah alternatif lain untuk intubasi yang aman

pada tonsiloadenoidektomi dengan anestesi umum.

Webster AC dkk.46 (1993) melaporkan hasil studi RCT mengenai perbandingan teknik anestesi

intubasi endotrakea dengan penggunaan LMA pada

tonsiloadenoidektomi. Studi ini dilakukan pada 109 anak. Didapatkan hasil bahwa patensi jalan napas

dapat diperoleh lebih cepat pada kelompok dengan LMA dan keadaan ini dapat dipertahankan selama

operasi. Selain itu, LMA tidak menghalangi akses ke

lapangan operasi. Detak jantung, tekanan darah rerata dan jumlah darah yang hilang bermakna lebih

rendah daripada kelompok dengan ETT. Pada akhir operasi, dengan fibreoptic laryngoscopy tidak

ditemukan darah pada laring pada 19 pasien dengan LMA.

2. Anestesia lokal

Bredenkamp JK dkk.47 (1990) melaporkan hasil analisis retrospektif 64 kasus tonsilektomi pada

remaja dan dewasa, ditemukan bahwa anestesi

lokal merupakan alternatif yang aman dan efektif serta lebih cost-effective bila dibandingkan dengan

anestesi umum. Anestesi lokal diberikan bersama dengan sedasi intravena dan dilakukan dalam ruang

operasi minor. Operasi dilakukan oleh residen dan dokter ahli THT. Dari studi ini didapatkan jumlah

darah yang hilang pada anestesi lokal 42 ml, tidak

ada kasus perdarahan postoperasi, sedangkan pada anestesi umum jumlah darah yang hilang 198 ml

dan 2 kasus perdarahan postoperasi.

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 19/25

Sebuah studi RCT dilakukan oleh Agren K dkk.48

(1989) untuk membandingkan anestesi umum dengan anestesi lokal pada tonsilektomi. Parameter

yang dinilai adalah lama pasien berada di ruang operasi, durasi operasi, perdarahan preoperasi,

jumlah ikatan yang dibutuhkan untuk hemostasis,

perdarahan postoperasi, infeksi dan penurunan berat badan. Selain itu, juga dianalisis rasa tidak

nyaman pada pasien setelah operasi yang diukur melalui skala analog visual dan tes minum.

Konsumsi analgesik selama postoperasi juga dilaporkan. Dari keseluruhan parameter tersebut,

dapat disimpulkan bahwa anestesi lokal merupakan

alternatif yang aman untuk anestesi umum. Selain itu, anestesi lokal dapat menghemat beberapa

sumber daya yang harus digunakan bila menggunakan anestesi umum.

Hasil serupa juga dilaporkan oleh McClairen WC Jr dan Strauss M pada tahun 1986, bahwa dengan

anestesi lokal didapatkan perbedaan yang signifikan pada beberapa parameter, yaitu durasi operasi lebih

singkat, perdarahan intraoperasi lebih sedikit dan biaya yang dikeluarkan lebih kecil. Namun, tidak

terdapat perbedaan yang bermakna untuk insidens

komplikasi postoperasi atau morbiditas antara kedua teknik ini. Studi dilakukan dengan analisis

restrospektif pada 73 pasien dewasa yang menjalani tonsilektomi dalam periode 8,5 tahun.49

3. Infiltrasi anestesi lokal pada tonsilektomi.

Saat ini banyak dokter ahli THT menyarankan pemberian anestesi lokal berupa infiltrasi pada

tonsilektomi, namun belum ada bukti ilmiah yang

sahih dan mutakhir yang jelas-jelas mendukung penggunaannya untuk mengurangi nyeri. Adapun

penelitian-penelitian yang telah ada terbatas pada besar sampel yang kecil baik yang pro maupun

kontra.

Kountakis SE50 (2002) melaporkan bahwa tidak

ada perbedaan yang bermakna dari intensitas rasa nyeri yang dirasakan pasien yang diberikan infiltrasi

lokal bupivacaine pada tonsilektomi dibandingkan kelimpok kontrol. Sampel RCT ini terdiri dari 34

pasien dewasa dan keluaran yang dinilai adalah

intensitas rasa nyeri postoperasi.

Olhms LA melakukan sebuah analisis mengenai injeksi anestesi lokal pada anak-anak berdasarkan

studi-studi yang telah dilakukan sebelumnya. Tujuan anestesi lokal tersebut adalah untuk mengurangi

nyeri, jumlah darah yang hilang dan memudahkan

proses diseksi. Kehilangan darah dapat dikurangi

sedikit dengan penyuntikan anestesi lokal dengan

epinefrin. Namun, keadaan tersebut hanya bermakna pada beberapa keadaan seperti pada

anak yang sangat kecil. Namun, secara keseluruhan, penggunaannya untuk mengurangi kehilangan

darah pada kebanyakan pasien tidak bermakna

secara klinis. Sedangkan untuk kemudahan dalam diseksi, sangat ditentukan oleh keahlian dari dokter

yang melakukan pembedahan itu sendiri. Komplikasi yang terjadi tetap harus diperhitungkan, walaupun

jarang, dilaporkan komplikasi dapat berat dan mengancam nyawa. Sehingga berdasarkan studi

yang ada mengenai pemakaian anestesi lokal dan

manfaat serta risiko dari penggunaannya, sampai saat ini, sebelum dilakukan studi dengan kontrol dan

besar sampel yang mencukupi, risiko pemakaian anestesi lokal tetap lebih besar daripada manfaat

yang diterima pasien.51

D. Komplikasi

The British Association of Otorhinolaryngologists - Head and Neck Surgeons (BAO-HNS) bersama

dengan the Clinical Effectiveness Unit of The Royal College of Surgeons of England (CEU-RCS) melakukan audit tonsilektomi terhadap 13.554 kasus

tonsilektomi pada tahun 2003-2004. Dilaporkan sebanyak 0,5% pasien yang menjalani tonsilektomi

mengalami perdarahan primer dan 2,9% lainnya

mengalami perdarahan sekunder. Dua pertiga di antaranya dikategorikan mengalami perdarahan

berat dan membutuhkan operasi ulang dan atau transfusi darah. Komplikasi lain yang menyebabkan

penundaan waktu kepulangan pasien seperti nyeri,

demam, atau muntah dialami oleh 0,9% pasien.52

Studi oleh Paradise dkk. Tahun 1992 tentang efektivitas tonsilektomi pada infeksi tenggorok

sedang dan berulang melaporkan: dari 203 pasien, 16 pasien (7,9%) mengalami komplikasi operasi

baik intraoperatif maupun pascaoperatif.7

Penelitian-penelitian terbaru menemukan bahwa

risiko terjadinya perdarahan pasca tonsilektomi adalah 2-4% dengan mortalitas 1 per 20.000

prosedur.53

Krishna dan Lee (2001) melakukan sebuah

meta-analisa dari 4 studi prospektif dan 8 studi retrospektif, didapatkan bahwa insiden komlikasi

perdarahan pascatonsilektomi antara 2.3%-11.2%, dengan sensitifitas 0.00-0.16 dan spesifitas 0.93-

1.00.53

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 20/25

BAB V BIAYA

Suatu jenis terapi untuk dapat diterima baik oleh

pemberi layanan kesehatan, perencana pelayanan

kesehatan maupun oleh pihak ke tiga, harus terbukti efektif secara klinis dan cost-effective dalam

penanganan suatu penyakit.54

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling

sering dilakukan dalam sejarah operasi. Saat ini jumlah operasi ini telah menurun bermakna, namun

masih menjadi operasi yang paling sering dilakukan. Diperkirakan pengeluaran pelayanan medik untuk

operasi ini mencapai setengah triliun dolar per tahun.1

Dari studi kohort yang dilakukan oleh Bhattacharya dan Kepnes (2002) dilaporkan bahwa

pada populasi dewasa, tonsilektomi terbukti efektif secara klinis, dimana setelah dilakukan tonsilektomi

terdapat perbaikan kualitas hidup yang bermakna

(skor total GBI +27,54 [±95%CI ±4,63, p<0,001]). Setelah 12 bulan tonsilektomi juga ditemukan

penurunan rata-rata pertahun yang bermakna dalam jumlah minggu penggunaan antibiotik

(menurun 5,9 minggu [p<0,001]), jumlah

kehilangan hari kerja karena tonsilitis (menurun 8,7 hari [p<0,001]) dan jumlah kunjungan dokter untuk

tonsilitis (menurun 5,3 kunjungan [p<0,001]).54

Selain terbukti efektif secara klinis, tonsilektomi pada pasien dewasa juga memiliki pengaruh

ekonomi. Setelah 12 bulan tonsilektomi ditemukan

adanya penghematan biaya sebesar $1,275,82/tahun dibanding sebelum dilakukan

tonsilektomi.54

Di Amerika serikat, total biaya yang harus

dikeluarkan oleh pasien untuk operasi tonsilektomi

adalah sebesar $3,094.34. Biaya ini terdiri atas biaya medik (jasa bedah, anestesi, rumah sakit dan

pengobatan pasca operasi) yakni sebesar $2,444,91 dan biaya yang hilang (pengaruh ekonomi) karena

tidak bekerja selama 5 hari yakni sebesar $649,43.

Break-event point biaya medik tonsilektomi tercapai setelah 12,7 tahun, sedangkan break-event point pengaruh ekonomi secara keseluruhan (biaya medik dan biaya akibat kehilangan hari kerja) tercapai

setelah 2,3 tahun. Break event point adalah saat dimana biaya yang telah dikeluarkan untuk suatu

intervensi (contoh tindakan bedah) tertutupi oleh

penurunan biaya pelayanan kesehatan (contoh berkurangnya penggunaan obat atau kunjungan

dokter) pada penanganan suatu penyakit dalam tahun-tahun setelah dilakukan intervensi.

Di Indonesia belum ada studi yang menilai efektivitas tonsilektomi secara klinis dan cost-effectiveness tonsilektomi. Pada kajian ini baru dapat disajikan data mengenai tarif tonsilektomi di

rumah sakit pemerintah ataupun swasta di

Indonesia. Data yang ada diwakili oleh satu rumah sakit pemerintah di Jakarta dan Yogyakarta dan satu

rumah sakit swasta di Jakarta. Dari data tersebut didapatkan bahwa untuk operasi tonsilektomi, total

biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien bervariasi dari Rp 1.450.000,00-Rp 4.000.000,00 untuk rumah

sakit pemerintah dan Rp 3.111.500,00-Rp 6.

054.000,00 untuk rumah sakit swasta. Besarnya biaya ini tergantung pada jenis perawatan pilihan

pasien.

Tabel 5. Dampak Ekonomi Tonsilektomi54

12 bulan sebelum

tonsilektomi 12 bulan sesudah

tonsilektomi Penghematan biaya

Biaya rata-rata pengobatan tonsilitis kronis

$242,89/pasien $14,17/pasien $228,72/tahun

Biaya rata-rata dihubungkan dengan kehilangan hari kerja akibat tonsilitis kronis

$1,128,88/pasien

$81,78/pasien $1,047.10/tahun

Total penghematan biaya ekonomi

$1,275,82/tahun

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 21/25

BAB VI REKOMENDASI

A. BATASAN

1. Tonsilektomi adalah operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina.

2. Tonsiloadenoidektomi adalah operasi pengangkatan seluruh tonsil palatina dan tonsil

faringeal (adenoid).

3. Tonsiloadenoidektomi dilakukan oleh dokter spesialis THT berdasarkan kompetensi.

B. INDIKASI

1. Indikasi absolut

a. Hipertrofi tonsil yang menyebabkan: - Obstruksi saluran napas misal pada

OSAS (Obstructive Sleep Apnea Syndrome)

(Derajat rekomendasi C)

- Disfagia berat yang disebabkan obstruksi

(Derajat Rekomendasi C) - Gangguan tidur

(Derajat Rekomendasi C)

- Gangguan pertumbuhan dentofacial (Derajat Rekomendasi C)

- Gangguan bicara (hiponasal) (Derajat Rekomendasi C)

- Komplikasi kardiopulmoner (Derajat Rekomendasi C)

b. Riwayat abses peritonsil.

(Derajat Rekomendasi C) c. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk

menentukan patologi anatomi terutama untuk hipertrofi tonsil unilateral.

(Derajat Rekomendasi C)

d. Tonsilitis kronik atau berulang sebagai fokal infeksi untuk penyakit-penyakit lain.

(Derajat Rekomendasi C)

2. Indikasi relatif a. Terjadi 7 episode atau lebih infeksi tonsil

pada tahun sebelumnya, atau 5 episode

atau lebih infeksi tonsil tiap tahun pada 2 tahun sebelumnya atau 3 episode atau lebih

infeksi tonsil tiap tahun pada 3 tahun sebelumnya dengan terapi antibiotik

adekuat.

(Derajat rekomendasi B) b. Kejang demam berulang yang disertai

tonsilitis. (Derajat Rekomendasi C)

c. Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak

membaik dengan pemberian terapi medis.

(Derajat rekomendasi C) d. Tonsilitis kronik atau berulang pada karier

streptokokus B-hemolitikus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik

resisten β-laktamase.

(Derajat rekomendasi C)

3. Operasi tonsilektomi pada anak-anak tidak selalu disertai adenoidektomi, adenoidektomi

dilakukan hanya bila ditemukan pembesaran adenoid.

(Derajat rekomendasi C)

C. PERSIAPAN OPERASI

1. Anamnesis untuk mendeteksi adanya penyulit

(lihat bab penyulit) 2. Pemeriksaan fisik untuk mendeteksi adanya

penyulit (lihat bab penyulit) 3. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan darah tepi: Hb, leukosit, hitung

jenis, trombosit b. Pemeriksaan hemostasis: BT/CT dan atau

PT/APTT

D. TEKNIK OPERASI

1. Teknik tonsilektomi yang direkomendasikan

adalah teknik Guillotine dan teknik Diseksi 2. Pelaksanaan operasi dapat dilakukan secara

rawat inap atau one day care. 3. Dianjurkan untuk melakukan penelitian untuk

membandingkan teknik Guillotine dan Diseksi di

rumah sakit pendidikan. 4. Dianjurkan untuk mengembangkan teknik

Diseksi modern khususnya di rumah sakit pendidikan.

E. TEKNIK ANESTESI

1. Anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan teknik perlindungan jalan nafas.

2. Pemantauan ditujukan atas fungsi nafas dan sirkulasi. Pulse oxymeter dianjurkan sebagai alat

monitoring.

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 22/25

Tabel 6. Indikasi tonsilektomi dari Berbagai Sumber

NO. SUMBER INDIKASI

1. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS)14

Indikasi Absolut Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner

Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam

Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi

Indikasi Relatif Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat

Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten

Hipertrofi tonsil unilateral yang dicurigai merupakan suatu keganasan.

2. Scottish Intercollegiate Guidelines Network55 Indikasi tonsilektomi pada anak dan dewasa berdasarkan bukti ilmiah, observasi klinis dan hasil audit klinis dimana pasien harus memenuhi semua kriteria di bawah: Sore throat yang disebabkan oleh tonsilitis

5 atau lebih episode sore throat per tahun

Gejala sekurang-sekurangnya dialami selama 1 tahun.

Keparahan episode sore throat sampai mengganggu pasien dalam menjalani fungsi kehidupan normal

3. Evidence Based Medicine Guidelines56 Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun). Dengan catatan hasil kultur bakteri harus dicantumkan dalam surat rujukan

Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses peritonsiler, septikemia. Pasien dengan abses peritonsiler berusia <40 tahun langsung diterapi dengan tonsilektomi.

Curiga adanya keganasan (pembesaran asimetri atau ulserasi) Sumbatan jalan napas yang disebabkan tonsil (T3-T3), sleep apnea, kelainan oklusi gigi

Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif tonsilektomi. Tindakan dianjurkan apabila pasien mengalami halitosis, nyeri tenggorok, gagging, dan keluhan tidak hilang

dengan pengobatan biasa.

4. INSALUD (National Institute of Health) Spanyol3 Indikasi absolut

Kanker tonsil Penyumbatan saluran nafas berat pada rinofaring dengan desaturasi atau retensi CO2

Indikasi relatif Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat dibedakan dengan jelas dari common cold, dengan 7 atau lebih episode pada tahun ini, atau 5 episode pertahun pada 2

tahun sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3 tahun sebelumnya. Abses peritonsilar

Tidak diindikasikan

Otitis media akut atau kronik Sinusitis akut atau kronik

Ketulian

Infeksi saluran nafas atas atau bawah Penyakit sistemik

5.

National Health & Medical Research Council, 1991

(Australia)3 Faringitis rekuren

Faringitis kronik

Obstruksi jalan nafas Dugaan neoplasma

6.

Henry Ford Medical Group, 1995 (USA)3 Berdasarkan hasil literatur review:

Tonsilitis Hipertrofi tonsil

Experience

7. Infectious Disease Society of America3 Berdasarkan hasil literatur review: Faringitis streptokokus rekuren

8. American Academy of Pediatrics3 Berdasarkan hasil literatur review:

Faringitis rekuren

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 23/25

DAFTAR PUSTAKA

1. Eibling DE. Tonsillectomy. In: Myers EN, editor. Operative Otolaryngology Head and Neck Surgery. Philadelphia: WB Saunders Company 1997.p.186-97

2. Burton MJ, Towler B, Glasziou P. Tonsillectomy versus non-surgical treatment for chronic/recurrent acute tonsillitis (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3, 2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.

3. Larizgoita I. Tonsillectomy: scientific evidence, clinical practice and uncertainties. Barcelona: CAHTA 1999

4. Bailey BJ. Tonsillectomy. In: Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR, Newlands SD, Vrabec JT, editors. Atlas of Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2001.2nd edition.p.327-2-327-6

5. Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article guillotine tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United Kingdom. The Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91

6. Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy. Laryngoscope 2002;112:6-10

7. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK,

Bernard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky M. Tonsillectomy and adenoidectomy for recurrent throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002;110:7-15

8. Hasil rapat Tim Ahli Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa, HTA Indonesia.

9. Younis RT, Lazar RH. History and current practice of tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:3-5

10. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003 Bagian THT FKUI-RSUPNCM.

11. Data operasi Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004 RS Fatmawati.

12. Zuniar. Kumpulan karya ilmiah: Gambaran mikrobiologi pada tonsilitis kronis dari hasil usapan tenggorok dan bagian dalam tonsil. FKUI-PPDS bidang studi ilmu THT 2001.

13. Berkowitz RG, Zalzal GH. Tonsillectomy in children under 3 years of age. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 1990; 116:685-6.[Abstract]

14. Drake A. Carr MS. Tonsillectomy. October, 2004. Available at: http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm

15. Bhattacharya N. When does an adult need tonsillectomy? Cleveland Clinic Journal of Medicine 2003:70;698-701

16. x8=gabungan mona 17. Rahardjo E, Sunatrio H, Mustafa I, Umbas R,

Thayeb U, Windiastuti E, dkk. Persiapan rutin

prabedah elektif. HTA Indonesia 2003 18. Pasternak LR, Arens JF, Caplan RA, Connis RT,

Fleisher LA, Flowerdew R, et al. Practice advisory for preanesthetic evaluation. A report by the American Society of Anesthesiologists Task Force on Preanesthesia Evaluation 2003

19. Bäck L. Paloheimo M, Ylikoski J. Traditional tonsillectomy compared with bipolar radiofrequency thermal ablation tonsillectomy in adults. Arch otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:1106-12

20. Maddern BR. Bedah listrik for tonsillectomy. Laryngoscope 2002;112:11-13

21. Nawawi F. Studi Perbandingan cara Guillotine dan Diseksi. FKUI 1990

22. Webster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a

comparison between tracheal intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth 1993;40:757-8 [Abstract]

23. x11 24. Plant RL. Radiofrequency treatment of tonsillar

hypertrophy. Laryngoscope 2002:112;20-2 25. Wiatrak BJ, Willging JP. Skalpel harmonik for

tonsillectomy. Laryngoscope 2002:112;14-16 26. National Institute for Clinical Excellence.

Coblation tonsillectomy. Available from: http://www.nice.org.uk/ip175overview

27. Koltai PJ, Solares A, Mascha EJ, Meng Xu. Intracapsular partial tonsillectomy for tonsillar hypertrophy in children. Laryngoscope 2002,112:17-19.

28. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. Tonsillectomy procedures. Available from: http://www.entlink.net/KidsENT/tonsil_procedures.cfm

29. Practice advisory for preanesthesia evaluation. A report by the American Society of anesthesiologists task force on preanesthesia evaluation. 2003.

30. Ferrari LR, Vassalo SA. Anesthesia for otolaryngology procedures. In: Cote CJ, Todres ID, Ryan JF, Goudsouzian NG, editors. A Practice of anesthesia for infants and children. Philadelphia: WB Saunders Company 2001. 3rd ed.p.461-67.

31. Tonsillectomy and adenoidectomy. In: Snow JC. Anesthesia in otolaryngology and ophthalmology.USA:Charles C Thomas 1979.p.245-57.

32. Joseph MM. Anesthesia for ear, nose, and throat surgery. In: Longnecker DE, Tinker JH, Morgan GE,editors. Principles and practice of anesthesiology. London: Mosby 1998.2nd ed.p.2208-10.

33. Keith Allman, Iain Wilson. Oxford Handbook of Anaesthesia, 1 st Edition. Oxford University Press, 2001, 517

34. x20 35. Frey RJ. Gale Encyclopedia of Medicine.

Published December, 2002 by the Gale Group 36. x22 37. Randal DA, Hoffer ME. Complication of

tonsillectomy and adenoidectomy. Otolaryngol Head Neck Surg 1998;118:61-8

38. Paradise JL, Bluestone CD, Bachman RZ, Colborn DK, Bernard BS, Taylor FH, et al.

HTA Indonesia_2004_Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa_hlm 24/25

Efficacy of tonsillectomy for recurrent throat infection in severely affected children. Result of parallel randomized and nonrandomized clinical trials. JAMA 1984;310:674-683 [Abstract]

39. van Staaij BK, van den Akker EH, Rovers MM, Hordijk GJ, Hoes AW, Schilder AGM. Effectiveness of adenotonsillectomy in children with mild symptoms of throat infections or adenotonsillar hypertrophy: open, randomised controlled trial. BMJ, doi:10.1136/bmj.38210.827917.7C (published 10 September 2004)

40. Stewart MG, Friedman EM, Sulek M, Hulka GF, Kuppersmith RB, Harrill WC, et al. Quality of life and health status in pediatric tonsil and

adenoid disease. Arch Otolaryngol, Head Neck Surg 2000;126:45-8

41. Goldstein NA, Fatima M, Campbell TF, Rosenfeld RM. Child behavior and quality of life before and after tonsillectomy and adenoidectomy. Arch Otolaryngol, Head Neck Surg 2002;128:770-5

42. Muis S, Rasgon BM, Hilsinger RL Jr. Efficacy of tonsillectomy for recurrent throat infection in adults. Laryngoscope 1998;108:1325-8

43. Bhattacharya N, Kepnes LJ, Shapiro J. Efficacy and quality-of-life impact of adult tonsillectomy. Arch of Otolaryngol and Head Neck Surg 2001;127:1347-50

44. Pinder D, Hilton M. Dissection versus diathermy

for tonsillectomy (Cochrane Review). In: The Cochrane Library, Issue 3,2004. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.

45. Kretz FJ, Reimann B, Stelzner J, Heumann H, Lange-Stumpf U. The laryngeal mask in pediatric adenotonsillectomy. A meta-analysis of medical studies. Anaesthetist 2000;49:706-12 [Abstract] Article in German

46. Ebster AC, Morley-Forster PK, Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a comparison between tracheal intubation and the armoured laryngeal mask airway. Can J Anaeth 1993;40:757-8.[Abstract]

47. Bredenkamp JK, Abemayor E, Wackym PA, Ward PH. Tonsillectomy under local anesthesia: a safe and effective alternative. Am J Otolaryngol 1990;11:18-22 [Abstract]

48. Agren K, Angquiat S, Danneman A, Feychting B. Local versus general anesthesia in tonsillectomy. Clin Otolaryngol 1989;14:97-100 [Abstract]

49. McClairen WC Jr, Strauss M. Tonsillectomy: a clinical study comparing the effects of local versus general anesthesia. Laryngoscope 1986;96:308-10 [Abstract]

50. Kountakis SE. Effectiveness of perioperative bupivacaine infiltration in tonsillectomy patients. Am J Otolaryngol 2002;23:76-80

51. Ohlms LA. Injection of local anesthetic in tonsillectomy. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2001;127:1276-8

52. National Prospective Tonsillectomy Audit. Interim report 2004. Available from: http://www.tonsil-audit.org

53. Krishna P, Lee D. Post-tonsillectomy bleeding: A meta-analysis. Laryngoscope 2001;111:1358-61

54. Bhattacharya N, Kepnes LJ. Economic benefit of tonsillectomy in adults with chronic tonsillitis. Arch of Otolaryngol and Head Neck Surg 2002;127:1347-50

55. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of sore throat and indications for tonsillectomy. January, 1999. Available at: http://www.sign.ac.uk/pdf/sign34.pdf

56. EBM Guidelines. Sore throat and tonsillitis. April, 2001. Available at: http://www.ebm-guidelines.com

PANEL AHLI dr.Bambang Hermani, SpTHT Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Darnila Fachrudin, SpTHT Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Syahrial M.H., SpTHT Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Bambang Udjidjoko Riyanto, SpTHT Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta dr. Susilo, SpAnKIC Departemen Anestesi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. H.N. Nazar, FinaCS Ikatan Dokter Bedah Indonesia TIM TEKNIS Ketua : Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K) Anggota : Prof.Dr.dr. H.R.Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Dr.dr. Akmal Taher, SpB, SpU dr. Ratna Mardiati, SpKJ dr. Wuwuh Utami N., MKes dr. Monalisa Nasrul dr. Mutiara Arcan dr. Nastiti Rahajeng