Tonsil It Is Kronik Dengan Penyulit Rinitis Alergi Dan Asma Oman Baru

Embed Size (px)

Citation preview

TONSILITIS KRONIK DENGAN PENYULIT RINITIS ALERGI DAN ASMA Norman I R, Denny Satria Utama, Eddy Mart Salim

Abstrak Penatalaksanaan rinitis alergi meliputi menghindari penyebab/faktor pemicu, menggunakan medikamentosa dan imunoterapi yang membutuhkan waktu lama, biaya besar dan kepatuhan dari penderita. Kebanyakan rinitis alergi disertai dengan asma bronkhial yang juga membutuhkan pelaksanaan yang sama pada penderita rinitis alergi. Salah satu penyebab faktor terjadinya rinitis alergi yang disertai asma bronkhiale adalah alergi makanan dan obat. Dilaporkan 1 kasus pasien wanita, 26 tahun, didiagnosa tonsilitis kronis yang mempunyai riwayat rinitis alegi dengan asma yang sudah dilakukan skin prick test, hasil adalah udang, kerang dan debu Kata kunci : rinitis alergi, asma, skin prick test Abstrac Management of allergic rhinitis includes avoiding the cause / trigger factors, use of prolong medication and immunotherapy, cost and compliance of patients. Most allergic rhinitis accompanied with bronchial asthma also requires the same implementation as patients with allergic rhinitis. One of the factor causes allergic rhinitis accompanied with bronchial asthma is food allergy. A 26 years old, female with chronic tonsil. She has allergic rhinitis and astma. The result of skin prick test are lobster, kerang, and dust.

PENDAHULUAN1

Tonsilitis Kronis merupakan radang kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil. Kelainan ini merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT. Untuk seluruh kasus, prevalensinya tertinggi setelah nasofaring akut, yaitu 3,8% dengan insidensi sekitar 6,75% dari jumlah seluruh kunjungan. Pada tonsilitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsilitis kronis hipertrofi.1-5 Tonsilitis kronis dengan hipertrofi tonsil dapat menyebabkan berbagai gangguan tidur, seperti mendengkur sampai dengan terjadinya apnea obstruktif sewaktu tidur (Obstructive Sleep apnea). Obstructive sleep apnea atau OSA merupakan kondisi medik yang serius, ditandai dengan episode obstruksi saluran napas atas selama tidur sehingga menyebabkan berkurangnya asupan oksigen secara periodik. Beberapa ahli memperkirakan kelainan ini secara epidemiologi merupakan kelainan yang umum di masyarakat, namun sering tidak terdiagnosis. Mengingat dampak yang ditimbulkan, maka tonsilitis kronis hipertrofi yang disertai dengan sleep apnea harus segera ditindak-lanjuti dengan pendekatan operatif.2,4 Alergi adalah suatu potensi terjadinya reaksi imun yang tidak diinginkan, terdapat pada lingkungan alam sekitar. Respon tersebut merupakan hipersensitivitas terhadap pajanan ulangan alergen yang menimbulkan pelepasan mediator inflamasi dan kelainan fungsi organ. Reaksi alergi merupakan hipersensitivitas Tipe 1 klasik dari Coombs dan Gell. Reaksi alergi membuat reaksi atau gejala seperti gatal, batuk,mengi, bersin, mata berair serta anafilaksis yang dapat mengancam nyawa. Penyakit alergi dapat menurunkan produktivitas kerja, belajar dan kualitas hidup. Gejala gejala ini biasanya dapat dikontrol, dicegah atau diminimalkan, contoh penyakit alergi adalah rinitis alergi, asma Bronkhial, dermatitis dan urtikaria. Berbagai penyakit dapat berhubungan dengan alergi seperti rinosinusitis dan otitis media kronis. Berbagai penyakit seperti konjungtivitis,urtikaria, angioedema, dermatitis kontak, reaksi obat, reaksi makanan ,reaksi sengatan serangga, lateks, kontras, reaksi ana filaksis dan anafilaktoid yang menunjukkan komponen alergi.1-5 Prevalensi penyakit alergi seperti rinitis alergi dan asma bronkhial pada dekade ini semakin meningkat. Dalam penelitian populasi, puncak alergi bervariasi dengan usia. Alergi makan dan ekzema domina pada usia dini, asma menunjukkan puncak bifasik dan rinitis mulai berdampak pada usia dekade dua sampai tiga. Prevalensi dan morbiditas penyakit alergi sangat bervariatif, rinitis alergi ditemukan sekitar 20 % populasi, dermatitis merupakan manifestasi klinis pertama pada anak atopi dan 80 % dermatitis mulai timbula pada usia < 3 tahun, prevalensi kumulatif ditaksir antara 9% sampai dengan 21 % pada anak, sedang pada dewasa ditaksir sekitar 2 sampai 10 %. Asma bronkhial biasanya mulai terjadi pada anak-anak dan2

kebanyakan episode terjadi sebelum usia 3 tahun. Prevalensi ditemukan sekitar 2 % - 15 % yang berbeda diantara berbagai negara, etnik dan usia. Alergi mempunyai faktor-faktor resiko, diantaranya: Riwayat keluarga ; 2). Kehidupan intrauteri; 3). Faktor perinatal; 4). Faktor lingkungan; 5). Diet; 6). Higiene. Faktor-faktor resiko yang lain dapat mempengaruhi penyakit alergi seperti asma, dikarenakan peningkatan konsumsi lemak omega-3 yang sering ditemukan dalam ikan, tempat penitipan anak dan hidup lingkungan pertanian. Hipotesis higiene menunjang bahwa jumlah anggota keluarga besar, binatang piaraan dalam rumah menunjukkan proteksi terhadap perkembangan penyakit atopi.6-7 Rinitis alergi adalah kumpulan gejala pada hidung setelah terpajan alergen menyebabkan inflamasi yang dimediasi oleh immunoglobulin(Ig)E. Terdapat tiga gejala utama yaitu bersin, hidung tersumbat dan mucous discharge. Rinitis diklasifikasikan sebagai intermitten (gejala muncul < 4 hari dalam 1 minggu atau < 4 minggu dalam setahun) dan persisten (gejala muncul > 4 hari dalam seminggu dan > 4 minggu dalam setahun). Klasifikasi ARIA juga membagi tingkat keparahan menjadi ringan, sedang/berat.6-7 Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsivitas saluran Asma napas yang adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat, batuk terutama malam hari dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi saluran napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. 1-5 Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara mukosa hidung dan bronkus dalam patogenesis asma dan rinitis. Kebanyakan pasien asma mempunyai riwayat rinitis tetapi hanya sedikit pasien rinitis menderita asma meskipun kebanyakan mempunyai riwayat hiperreaktivitas bronkus. Interleukin (IL)-5 dan vascular endothelial growth factor merupakan sitokin penting dalam terjadinya hiperreaktivitas bronkus pada pasien rinitis alergi. Jumlah IL-4 dan IL-13 yang rendah berhubungan dengan ketiadaan gejala asma dengan hiperreaktivitas bronkus. Hidung sampai alveoli mempunyai kesamaan sel epitel dan sel inflamasi sehingga diperkirakan merupakan satu kesatuan penyakit. Akan tetapi terdapat beberapa perbedaan dalam hal pajanan alergen dan zat berbahaya, hidung lebih banyak terpajan daripada saluran napas bawah. Beberapa pasien dengan rinitis alergi mempunyai hiperreaktivitas bronkus terhadap metakolin atau histamin, terutama selama dan beberapa saat setelah musim serbuk sari (pollen season).1-53

TONSILITIS KRONIK Tonsillitis kronis adalah peradangan kronis yang mengenai seluruh jaringan tonsil yang umumnya didahului oleh suatu keradangan di bagian tubuh lain, seperti misalnya sinusitis, rhinitis, infeksi umum seperti morbili dan sebagainya. Tonsillitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tidak jarang tonsil tampak sehat. Tapi tidak jarang keadaan tonsil diluar serangan membesar disertai dengan hiperemi ringan yang mengenai pilar anterior dan bila tonsil ditekan keluar detritus.1-5 Etiologi dan Faktor Predisposisi Organisme penyebab tonsillitis kronis sama dengan tonsillitis akut yaitu beta hemolitikus streptokokus. Infeksi yang berulang-ulang bias menyebabkan terjadinya pembesaran tonsil melalui parenchyma atau degenerasi fibroid. Tetapi kadang-kadang kuman dapat berubah menjadi kuman golongan gram negative. Selain itu, yang harus menjadi perhatian adalah factor predisposisi timbulnya tonsillitis kronis adalah rangsangan menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygine mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat.1-5 Terjadinya proses peradangan yang berulang sehingga selain epitel mukosa juga jaringan limfoid mengalami pengikisan maka pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kriptus menjadi lebar. Secara klinis, kriptus ini tampak diisi oleh detritus. Jika proses berjalan terus yang dapat menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di sekitar fossa tonsilaris. Pada anak-anak proses ini dapat disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.1-5 Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring, dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi : TO T1 T2 T3 T4 : tonsil masuk di dalam fossa atau sudah diangkat : 75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring4

Aspek Imunologi Tonsilitis Kronis Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil adalah 50% : 50%, sedangkan di darah 55-75% :15-30%. Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M ( sel membrane)., makrofag, sel dendrite dan APCs ( antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limposit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yg diperlukan untuk diferensiasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama, yaitu : Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan Sebagai organ utama produksi antibody dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik. Struktur histologi tonsil sesuai dengan fungsinya sebagai organ imunologi. Tonsil tidak mempunyai limfatik aferen, tetapi 10 sampai 30 kripta berivaginasi ke dalam parenkim tonsil. Pada tonsilitis kronis telah terjadi penurunan fungsi imunitas dari tonsil. Penurunan fungsi tonsil ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-1, TNF-, IL-6, IL-8, IL-2, INF-, IL-10, dan IL-4. Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi menjadi 3 kejadian yaitu : 1). respon imun tahap I ; 2). respon imun tahap II, dan 3). migrasi limfosit. Pada respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk komparten mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan dalam konsentrasi tinggi material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik. Respons imun tonsila palatina tahap II terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid.8 Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit. Perjalanan limfosit dari penelitian didapat bahwa migrasi limfosit berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melaui HEVdan kembali ke sirkulasi melaui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar limfosit, beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan didalam kripte. RINITIS ALERGI

5

Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi, yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulang dengan alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang dapat terjadi di semua negara, semua golongan dan etnik, semua usia penderita dengan puncak pada usia produktif. Prevalensi Rinitis alergi pada dekade terakhir ini cenderung meningkat mencapai 10-25 % populasi penduduk dunia dan lebih dari 500 juta orang menderita penyakit ini yang merupakan salah satu penyebab terbanyak seseorang mengunjungi dokter umum maupun dokter spesialis telinga hidung tenggorok-bedah kepala leher.6-10 Rinitis alergi muncul ketika membran mukosa terpapar oleh alergen sehingga memberikan respon yang diperantarai oleh immunoglobulin E (IgE), respon ini memacu pelepasan mediator inflamasi. Rinitis alergi ditandai dengan gejala karakteristik seperti bersin-bersin, hidung tersumbat, rinore, rasa gatal, mata merah dan berair. Rinitis alergi ini banyak dikaitkan dengan riwayat atopi pada keluarga, antara lain asma, urtikaria, konjungtivitis alergi, eksema, dan penyakit atopi lainnya.6-10

Klasifikasi Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1.2.

Intermiten (kadang-kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.6-9 Ringan : bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu. Sedang-Berat : bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas6-9

Berdasarkan tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi 1.2.

ASMA Asma bronkial adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan berbagai sel inflamasi yang mengakibatkan terjadinya hipereaktivitas bronkus dalam berbagai tingkat sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan beratnya derajat hiperaktivitas bronkus. Obstruksi saluran nafas pada penyakit asma bersifat reversible, baik secara spontan maupun dengan pengobatan.11-156

PATOFISIOLOGI

Asma merupakan penyakit inflamasi kronis yang yang melibatkan beberapa sel, yang mengakibatkan terlepasnya bermacam-macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target di saluran nafas dan menyebabkan spasme akibat meningkatnya tonus otot polos bronkus sehingga terjadi suatu bronkokonstriksi. Keadaan ini akan disusul dengan timbulnya edema/sembab mukosa dan kebocoran mikrovaskuler, keluarnya sekret atau hipersekresi mukus ke dalam lumen bronkus dan stimulasi refleks-refleks saraf.11-15 Semua keadaan yang terjadi pada bronkus yang disebutkan di atas, yaitu berupa konstriksi, edema, dan hipersekresi akan menyebabkan suatu keadaan yang dikenal dengan obstruksi saluran nafas pada penderita asma. Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan terjadinya respons inflamasi, tetapi pada asma khas ditandai dengan infiltrasi sel eosinofil dan limfosit T yang disertai dengan pengelupasan sel epitel bronkus. Keadaan inilah yang mendasari fenomena hiperresponsif/hipereaktivitas bronkus (HBR). Terjadinya obstruksi bronkus dapat dimulai dari aktivitas biologik pada mediator sel mast dapat dibagi dalam tiga fase utama, yaitu : 1. Fase dini dan spasmogenik (early phase) Jika ada pencetus, terjadi peningkatan tahanan saluran nafas dalam waktu 10-15 menit. Reaksi tersebut dapat hilang dengan penggunaan bronkodilator, seperti simpatomimetik (2-agonis). Sejalan dengan peningkatan tahanan saluran nafas terjadi pula peningkatan faktor kemotaksis neutrofil. Fase cepat ini kemunkinan besar melalui kerja histamin terhadap otot polos secara langsung atau melalui kerja histamin terhadap otot polos secara langsung atau melalui refleks vagal dan dapat dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis histamin H1 dan H2. Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat sebelumnya. 2. Fase lanjut atau lama (late phase) Rangsangan bronkus oleh alergen spesifik menyebabkan peninggian tahanan saluran nafas yang hebat setelah 6-8 jam. Patogenesis reaksi tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan neutrofil 4-8 jam setelah rangsangan. Reaksi lambat mungkin juga berhubungan dengan reaksi sel mast. Leukotrien, prostaglandin, dan tromboksin mungkin juga mempunyai peranan pada reaksi lambat karena meditor ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromoglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.7

3. Fase inflamasi subakut atau kronik (very late phase) Asma yang berlanjut yang tidak diobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan inflamasi di dalam dan di sekitar bronkus. Pada otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi akibat faktor kemotaksis dari sel mast, seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF (Platelet Activating Factor) yang dihasilkan oleh sel mast, basofil, dan makrofag dapat menyebabkan hipertrofi otot polos dan kerusakan mukosa bronkus. PAF juga menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik, dan ketotifen diduga dapat mencegah fase ketiga ini.14-19 Faktor Risiko Asma Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:1.

Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan

apabila terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.2.

Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi

asma. Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus.3.

Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh

pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).14 Berdasarkan Global Strategy for Asthma Management and Prevention 2008, faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor lingkungan, yaitu:1.

Faktor genetik : a). Hipereaktivitas ; b). Atopi/alergi bronkus ; c). Faktor yang memodifikasi penyakit genetik ; d). Jenis kelamin ; e). Ras/etnik Faktor lingkungan ; a). Alergen di dalam ruangan ; b). Alergen diluar ruangan ; c). Makanan ; d). Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, bloker dll) ; e). Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain) ; f). Ekpresi emosi berlebih ; g). Asap rokok dari perokok aktif dan pasif ; h). Polusi udara di luar dan di dalam ruangan ; i). Exercise induced asthma ; J). Perubahan cuaca.14-16

2.

KLASIFKASI8

Menurut Global Initiative for Asthma 2008, seperti terlihat pada tabel 2, beratnya asma sebelum pengobatan dapat diklasifikasikan menjadi asma intermiten, asma persisten ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat. Penilaian beratnya asma berdasarkan gejala asma, frekuensi bangun malam, pemeriksaan fungsi paru. Klasifikasi asma berdasarkan derajat beratnya berguna untuk menentukan penatalaksanaan pada saat penilaian awal. Batas yang jelas dari masing-masing tingkat kadang-kadang tumpang tindih dan gambaran yang bervariasi dari tiap individu yang bisa berubah dari bulan ke bulan.13 Tabel 2.1. Klasifikasi Derajat Berat Asma berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan)13 Intermiten Gejala kurang dari satu kali per minggu Eksaserbasi singkat Gejala malam hari tidak lebih dari dua kali sebulan Fungsi paru

FEV1 atau PEF 80% nilai prediksi

Variabiliti PEF atau FEV1 30%

Keterangan:

FEV1 (Forced Expiratory Volume) = volume ekspirasi paksa detik pertama PEF (Peak Expiratory Flow) = arus puncak ekspirasi Selain itu, GINA juga membuat klasifikasi asma berdasarkan beratnya serangan asma

yang dapat dilihat pada tabel 2 berikut. Tabel Klasifikasi Asma menurut Derajat Serangan13 Parameter klinis, fungsi faal paru, laboratorium Sesak (breathless) Berjalan Bayi : Menangis keras Berbicara Bayi : -Tangis pendek dan lemah -Kesulitan Posisi Bisa berbaring Bicara Kesadaran Sianosis Wheezing Kalimat Mungkin iritabel Tidak ada Sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi Penggunaan otot bantu Biasanya menetek/makan Lebih suka duduk Penggal kalimat Biasanya iritabel Tidak ada Nyaring, sepanjang ekspirasi inspirasi Biasanya ya10

Ringan

Sedang

Berat

Ancaman henti napas

Istirahat Bayi : Tidakmau makan/minum

Duduk bertopang lengan Kata-kata Biasanya iritabel Ada Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop Ya Gerakan Kebingungan Nyata Sulit/tidak terdengar

respiratorik

tidak

paradok torakoabdominal Dangkal / hilang

Retraksi

Dangkal, retraksi interkostal

Sedang, ditambah retraksi

Dalam, ditambah napas cuping

Frekuensi napas

suprasternal hidung Takipnu Takipnu Takipnu Bradipnu Pedoman nilai baku frekuensi napas pada anak sadar : Usia < 2 bulan 2-12 bulan 1-5 tahun Frekuensi napas normal per menit 20mmHg)

Frekuensi nadi normal per menit

Pulsus paradoksus (pemeriksaannya tidak praktis) PEFR atau FEV1 (%nilai dugaan/%nilai terbaik) Pra bonkodilator Pasca bronkodilator

Tidak ada, tanda kelelahan otot respiratorik

>60% >80%

40-60% 60-80% 91-95% >60 mmHg